Fukushima: Masa depan Perekonomian Jepang vs Proteksionisme Uni Eropa

download Fukushima: Masa depan Perekonomian Jepang vs Proteksionisme Uni Eropa

of 18

description

tugas akhir mata kuliah Ekonomi Politik Internasional

Transcript of Fukushima: Masa depan Perekonomian Jepang vs Proteksionisme Uni Eropa

Nuklir Fukushima: Masa depan Ekonomi Jepang vs Proteksionisme Uni Eropa Disusun untuk memenuhi Tugas Akhir mata kuliah Ekonomi Politik Internasional

Disusun Oleh : NORMANDY YUSUF H.

(0911243064)

Kementrian Pendidikan Kota Malang Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya Malang Juni 2011

Abstrak

Baru baru ini Jepang mengalami bencana dan mengakibatkan kemerosotan ekonominya. Bencana itu adalah musibah gempa bumi dan disusul kebocoran reactor nuklirnya di daerah Fukushima. Akibat dari bencana itu, Jepang malah semakin terpuruk ekonominya. Negara ataupun pihak yang harusnya membantu, malah menjauh. Terbukti dengan kebijakan proteksionisme yang dikleuarkan oleh Uni Eropa dan juga Amerika Serikat. Akibat dari kebijakan proteksionisme yang dikleuarkan oleh Amerika Serikat dan Uni Eropa tersebut, perekonomian Jepang menghadapi batu sandungan untuk bangkit dari keterpurukan. Jepang adalah negara penghasil komoditas pangan bagi Amerika Serikat dan Uni Eropa. Dan secara otomatis, akibat dari bencana yang dialami Jepang, terutama terkait nuklir nya yang mengalami kebocoran, otomatis akan mempengaruhi ekspor komoditas nya. Karena, mayoritas Komoditas ekspor Jepang ke Amerika mupun Uni Eropa adalah berasal dari daerah terdekat dengan lokasi kebocoran nuklir. Mengetahui negara yang diimpor oleh mereka (Amerika Serikat, Uni Eropa) mengalami kebocoran nuklir, bukannya membantu tetapi malah menerapkan kebijakan protksionisme yang bisa dikatakan semakin membunuh perekonomian yang anjlok. Uni Eropa memberhentikan sementara impor sayur-sayuran dari Jepang, dan Amerika Serikat menggunakan produk lokal mereka dan menahan masuknya produk impor Jepang dengan alasan takut untuk mengimpor bahan yang dikhawatirkan telah terkontaminasi nuklir. Di dalam tulisan ini nantinya akan dibahas secara lebih mendalam tentang kebijakan proteksionisme, dan teori teori yang dipergunakan untuk melihat gejala proteksionisme. Ada juga tentang WTO terkait dengan adanya proteksionisme di pasar global modern ini, serta ada juga tentang teori dependensi dan interdependensi untuk melihat gejala proteksionisme tadi, serta mengetahui apa alasan-alasan suatu pihak melakukan kebijakan melindungi produk lokal terhadap asing tersebut.

Keywords: Jepang. Uni eropa, Proteksionisme, WTO, pasar bebas.

RUMUSAN MASALAH

Tulisan ini akan akan membahas tentang perekonomian Jepang dan Kerjasamanya dengan negara negaraseperti Uni Eropa dan Amerika, khususnya pasca bencana gempa dan kebocoran reaktor nuklir yang dialami oleh Jepang dan dampak dari bencana tersebut bagi ekspor dan perekonomian Jepang. Kemudian, mencari solusi yang mungkin bisa diambil agar peramsalahan tersebut dapat segera terselesaikan. METODE PENULISAN Metode penulisan yang saya gunakan adalah metode pustaka, yang bersumber dari buku buku dan segala literature yang terkait, artikel, internet, dan referensi lain yang koheren. Gambaran Umum Jepang adalah suatu negara yang menganut ekonomi pasar bebas dan sistem kapitalis yang popeuler dari Amerika Serikat dan Inggris. Sistem pendidikan Barat diterapkan di Jepang, dan ribuan orang Jepang dikirim ke Amerika Serikat dan Eropa untuk belajar. Lebih dari 3.000 orang Eropa dan Amerika didatangkan sebagai tenaga pengajar di Jepang. Pada awal periode Meiji, pemerintah membangun jalan kereta api, jalan raya, dan memulai reformasi kepemilikan tanah. Pemerintah membangun pabrik dan galangan kapal untuk dijual kepada swasta dengan harga murah. Sebagian dari perusahaan yang didirikan pada periode Meiji berkembang, dan beberapa di antaranya masih beroperasi hingga kini. Jepang juga telah menjalin kerjasama dalam bidang ekonomi dan perdagangan dengan negara negara Eropa, baik yang tergabung dalam Uni Eropa maupun tidak, termasuk juga negara Amerika . Pasca datangnya bencana tsunami yang melanda Jepang pada tahun 2011 menghancurkan struktur ekonomi mereka, terlebih lagi disusul oleh kebocoran reactor nuklir yang mereka miliki, tepatnya di daerah prefektur Fukushima. Dua bencana yang melanda jepang ini jelas berimbas pada perekonomian mereka, khususnya di bidang ekspor pada bidang pertanian mereka. Karena mereka juga mengekspor produk produk pangan mereka ke AS dan Eropa, maka dampak dari bencana kebocoran nuklir ini adalah kebijakan proteksionisme yang dikeluarkan oleh negara negara yang mengekspor produk-produk pangan dari Jepang. Jelas ini menjadi mimpi buruk bagi Jepang. Akibatnya, Jepang mengalami defisit perdangan yang buruk, terlebih lebih akibat dari kebijakan proteksionisme yang dikeluarkan oleh Eropa dan negara-negara yang mengimpor produk pangan dari Jepang. Sebenarnya banyak pihak yang melarang kebijakan proteksionisme ini, karena akan merugikan pihak produsen / pengekspor barang barang

tertentu. Sebelum ada kebijakan proteksionisme ini, jepang dengan uni eropa telah mengadakan kerjasama di bidang ekonomi, khususnya di bidang produk pangan, elektronik dan otomotif. Kerjasama ini semkain berjalan positif karena uni eropa telah setuju untuk menhapuskan hambatan dagang antara kedua belah pihak. Memng, Jepang sebelumnya memberikan batasan dagang ke uni eropa, akan tetapi setelah adanya krisis nuklir dan pasca bencana tsunami, maka Jepang ingin mengembalikan gairah produksinya ke pasar eropa dengan menghapuskan batasan dagangnya ke Eropa. Uni eropa sangat antusias dengan kerjasama yang dilakukannya terhadap Jepang karena beberapa hal. Pertama, sistem ekonomi yang sama, yang kedua adalah karena Jepang merupakan salah satu negara yang cukup menjanjikan di kawasan Asia. DAMPAK BENCANA JEPANG-UNI EROPA Seperti hubungan hubungan baik antara dua pihak lainnya, kerjasama yang dilakukan oleh Jepang dan Uni eropa ini membawa dampak positif bagi kedua belah pihak. Walaupun kedua belah pihak ini tetap berjalan dengan kepentingan politiknya masing masing yang diimplementasikan dalam kebijakan ekonomi yang mereka jalankan pada sisitem ekonominya masing-masing, tetap tidak merubah hubungan kerjasama antara keduanya. Akan tetapi, semuanya berubah ketika Jepang mengalami double disaster atau bencana ganda, yakni bencana tsunami yang mereka alami pada sekitar bulan Maret 2011 kemarin, disusul dengan tragedi bocornya Nuklir yang dimiliki oleh Tokyo Electric Power Co.di prefektur Fukushima, membawa dampak tersendiri bagi kedua belah pihak ini. Bagi Jepang, jelas mereka mengalami keterpurukan ekonomi akibat dua bencana yang datang silih berganti tadi. Perekonomian Jepang benar benar terpukul dengan adanya bencana tadi, terbukti dengan anjloknya ekspor mereka yang mencapai 12, 5 % dari data statistik ekonomi milik Jepang tahun lalu. Bagi Uni Eropa, bencan yang menimpa Jepang ini Jelas mempengaruhi segala pasokan mereka yang berasal dari jepang, khususnya bahan bahan makanan. Akibatnya, mau tak mau pihak Uni Eropa pun mengeluarkan kebijakan proteksionisme.

Apa itu proteksionisme?

Proteksionisme adalah kebijakan ekonomi yang membatasi perdagangan antarnegara melalui cara tata niaga, pemberlakuan tarif bea masuk impor (tariff protection), jalan pembatasan kuota (non-tariff protection), sistem kenaikan tarif dan aturan berbagai upaya menekan impor bahkan larangan impor. Pendeknya, apa pun ancaman terhadap produk lokal harus diminimalkan. Namun, proteksionisme ini bertentangan dengan prinsip pasar bebas. Bagi Jepang, kebijakan proteksionisme ini akan semakin memperlambat bangkitnya perekonomian mereka, karena kebijakan ini membuat mereka dibanned oleh negara negara yang sebelumnya mengimpor produk produk ekspor dari Jepang. Sebenarnya, perdebatan antara pengaplikasian kebijakan proteksionis ini masih menuai banyak pro dan kontra. Di satu sisi, ada pihak yang setuju dengan adanya proteksionisme ini adalah karena mereka ingin melindungi produk-produk lokal dari serbuan barang barang asing (impor). Dengan melindungi produk lokal, otomatis mereka akan menjaga stabilitas perekonomian domestic serta melindungi komoditi ekspor mereka agar bisa bersaing di kelas nasional bahkan internasional. Di samping, produk lokal yang dilindungi ini biasanya merupakan komoditas ekspor yang bila disubsitusi dengan produk impor maka akan menghambat berkembanganya kualitas produk dalam negeri. Sisi lain tidak menyetujui adanya kebijakan proteksionis ini karena kebijakan ini sangat tidak kompeten apabila diterapkan dalam kenyataan ekonomi saat ini. Mereka yang tidak setuju berpendapat bahwa dalam dunia globalisasi yang menjunjung tinggi adanya pasar bebas ini, kebijakan proteksionis ini justru akan menghambat terwujudnya pasar yang bebas dan terbuka seperti yang diekspektasikan. Adanya kebijakan akan menghalangi masuknya investor investor dari negara ataupun pihak pihak lain yang ingin membuka suatu pasar yang bebas yang ingin diterapkan di dunia modern ini. Singkatnya, mereka yang tidak setuju adanya proteksionis ini karena pasar bebas akan sulit diwujudkan pada era globalisasi ini. Garis besar proteksionisme Ditengah tengah rumitnya perdebatan antara pro dan kontra terhadapa kebijakan preteksionisme ini, sebenarnya kita semua hanya perlu menaruh perhatian kita terhadap beberapa hal penting saja. Hal penting itu menurut Murray N. Rothbard ada 2: Pertama, menurut beliau proteksionisme itu adalah hanya kekuatan untuk mengekang perdagangan saja. Terlepas dari apa yang sutau pemerintahan inginkan demi

tercapainya kepentingan ekonomi mereka, proteksionisme bisa digunakan atau ditinggalkan demi kepentingan ekonominya.

Yang kedua, yang paling menurut beliau adalah apa saja yang akan terjadi pada konsumen. Apakah nantinya konsumen itu akan diuntungkan dengan adanya kebijakan proteksionis ini tadi ataukah malah semakin dirugikan dengan adanya kebijakan ini tadi.

Akan tetapi, dari perdebatan yang ada dan poin poin yang perlu diperhatikan tersebut, kita akan selalu menemukan bahwa pada kenyataannya, kebijakan proteksionisme ini akan selalu berujung pada fungsinya yang melumpuhkan, memaksakan dan mengeksploitasi pihak pihak lain. Kerugian yang akan timbul tidak hanya pada produsen lokal saja, bahkan sampai konsumen asing pun akan terkena imbas dari kebijakan proteksionis ini tadi. Salah satu dampak lain yang harus dialami oleh Jepang adalah saat Amerika Serikat juga menerapkan kebijakan proteksionis terhadap mereka. Amerika Serikat dan beberapa negara di dunia menghentikan impor terhadap Susu dan produk segar lainnya dari empat wilayah Jepang yang paling dekat dengan kebocoran radiasi pembangkit listrik nuklir. Regulator AS meningkatkan perlindungan terhadap potensial kontaminasi terhadap makanan terebut. Produk dari prefektur Fukushima, Ibaraki, Tochigi dan Gunma di Jepang dipengaruhi oleh peringatan impor yang dikeluarkan kemarin oleh Lembaga Administrasi Makanan dan Obat. Makanan yang diyakini berasal dari daerah-daerah yang disebutkan diatas akan ditahan di perbatasan Amerika Serikat kecuali importir dapat memverifikasi produk berasal dari daerah lain di Jepang. Konsumen (AS) itu mengambil tindakan setelah menggunakan tes radiasi untuk melindungi terhadap makanan yang terkontaminasi radiasi dari Tokyo Electric Power Co. Fukushima yang telah bocor radiasi ke dalam sayuran dan air laut. Larangan yang dikeluarkan kemarin memperkuat upaya pemantauan. Pemerintah Jepang sendiri telah melarang ekspor susu dan sayuran dari empat daerah pada tanggal 21 Maret. Secara tidak langsung dari data tersebut bisa diketahui bahwa AS jelas telah melakukan kebijakan proteksionisme terhadap Jepang terkait dengan kebocoran PLTN milik

Jrpang yang berada di prefektur Fukushima tersebut. AS merasakan bahaya yang akan timbul dari impor barang barang tersebut segera melindungi ekonominya dengan memberhentikan sementara impor dari Jepang, khususnya impor dari daerah yang paling dekat dengan kawasan kebocoran nuklir. Tindakan AS ini disatu sisi memang membawa dampak positif bagi mereka, karena proteksi mereka terhadap produk asing yang biasanya didatangkan dari Jepang, dan dengan kebijakan ini mereka bisa saja menggunakan produksi dalam negeri atau impor dari negara lain. Bagi Jepang. Ini jelas suatu keadaan yang sangat tidak menguntungkan bagi mereka. Dengan adanya kebijakan ini, maka ekspor mereka ke negara AS akan semkain turun drastis yang secara otomatis akan menghambat pertumbuhan ekonomi mereka pasca double disaster.

Adam Smith (1723-1790), pionir ekonomi politik dari Skotlandia, memopulerkan teori ideal pasar bebas yang seolah-olah invisible hand rontok dan tidak menuntun perekonomian menuju efisiensi, jikalau tidak ada informasi yang akurat. Pasar yang tidak terkendali, yang disesaki oleh konflik kepentingan, membuahkan inefisiensi. Apabila semua pelaku pasar mengedepankan kepentingannya tanpa memperhatikan kondisi pasar yang telah, sedang, dan akan terjadi maka apa yang disebut dengan inefisiensi akan terjadi, dimana kondisi pasar yang tercipta akan sangat sangat tidak kondusif, terutama bagi produsen.Apa yang dikemukakan oleh Adam Smith tersebut diatas sedikit banyakndapat terlihat dari kondisi yang dialami Jepang sat ini. Badan Perdagangan Dunia (WTO) pun angkat bicara terhadapa kasus proteksionisme yang dilakukan oleh Uni Eropa dan Amerika terhadap Jepang yang mengalami krisis pasca bencana ganda tersebut. Mereka (WTO) berkata bahwa proteksionisme adalah suatu hal yang harus disingkirkan secara serius guna tercapainya pemenuhan kepentingan bersama. Akan tetapi, apa yang terjadi adalah kontra indikasi. Gejala proteksionisme sesungguhnya tidak pernah mati, bahkan justru kian menguat. Gejala tersebut terlihat dari masih adanya pemberlakuan subsidi, khususnya di sektor pertanian, yang diterapkan negara-negara maju, khususnya Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang, dan Australia. Liberalisasi perdagangan di sektor pertanian adalah ambisi terbesar WTO. Pasalnya, sektor ini merupakan basis ekonomi, tidak hanya bagi Negara-negara berkembang, melainkan

juga bagi negara-negara maju. Akan tetapi, justru pada isu inilah negara-negara anggota WTO tidak mampu menghasilkan suatu kesepakatan paripurna. Bahkan, dalam isu inilah negara-negara anggota WTO terpecah dalam berbagai blok-blok kepentingan. Penyebabnya tidak lain selain karena adanya berbagai bentuk proteksionisme. Negara-negara maju, seperti AS, Jepang, Uni Eropa, dan Australia bersikukuh mempertahankan subsidi ekspor, dukungan domestik, dan menerapkan kebijakan tariff dan berbagai hambatan non-tarif yang berlapis. Dengan kebijakan-kebijakan tersebut, sektor pertanian negara-negara maju menjadi sangat kuat dan tidak akan mampu ditandingi oleh sektor pertanian negara-negara berkembang. Padahal, hal sebaliknya sudah hampir diterapkan sepenuhnya oleh Negara-negara berkembang. Sebab, di bawah tekanan utang luar negeri, defisit anggaran, dan kebijakan penyesuaian struktural (SAP) Bank Dunia, ADB, dan lembaga-lembaga keuangan internasional lainnya, negara-negara berkembang semakin tidak mampu menghindari penerapan seluruh dalil-dalil perdagangan bebas, mulai dari pembukaan akses pasar, pencabutan dukungan domestik, dan pencabutan subsidi ekspor. Dalam kasus Jepang dengan Uni eropa, adanya proteksionisme yang dilakukan Uni eropa terhadap Jepang ini terkesan lucu. Karena, kedua pihak tersebut sama sama menerapkan kebijakan proteksionisme dalam implementasi sistem ekonominya. Karena negara Jepang mengalami bencana ganda, maka inilah salah satu cara dari Uni Eropa untuk membalas proteksionisme yang digunakan oleh Jepang. Dari sini kita bisa melihat persaingan untuk menjadi yang paling berkuasa di dalam perekonomian dunia. Aroma kapitalisme sangat kental di dalam kasus ini.

Teori dependensi dan Interdependensi Menurut Theotonio Dos Santos, Dependensi (ketergantungan) adalah keadaan dimana kehidupan ekonomi negara-negara tertentu dipengaruhi oleh perkembangan dan ekspansi dari kehidupan ekonomi negara-negara lain, di mana negara-negara tertentu ini hanya berperan sebagai penerima akibat saja. Negara-negara pinggiran yang pra-kapitalis merupakan negaranegara yang tidak dinamis, yang memakai cara produksi Asia yang berlainan dengan cara produksi feodal Eropa yang menghasilkan kapitalisme.negara-negara pinggiran ini, setelah

disentuh oleh kapitalis maju, akan bangun dan berkembang mengikuti jejak negara-negara kapitalis maju. Namun terdapat kritikan mengenai teori tersebut, bahwa negara-negara pinggiran yang pra-kapitalis mempunyai dinamika sendiri yang bila disentuh oleh negara-negara kapitalis maju, akan berkembang secara mandiri. Justru karena negara-negara kapitalis maju ini perkembangan negara negara menjadi semakin lama dan semakin terhambat untuk berkembang lebih baik.

Dos Santos menguraikan 3 bentuk ketergantungan: 1. Ketergantungan Kolonial

Terjadi penjajahan dari negara pusat ke negara pinggiran. Kegiatan ekonominya adalah ekspor barang-barang yang dibutuhkan negara pusat. Hubungan penjajah-penduduk sekitar bersifat eksploitatif.

2. Ketergantungan Finansial-Industrial:

Negara pinggiran merdeka tetapi kekuatan finansialnya masih dikuasai oleh negaranegara pusat.

Ekspor masih berupa barang-barang yang dibutuhkan negara pusat. Negara pusat menanamkan modalnya baik langsung maupun melalui kerjasama dengan pengusaha lokal.

3. Ketergantungan Teknologis-Industrial:

Bentuk ketergantungan baru. Kegiatan ekonomi di negara pinggiran tidak lagi berupa ekspor bahan mentah untuk negara pusat.

Perusahaan multinasional mulai menanamkan modalnya di negara pinggiran dengan tujuan untuk kepentingan negara pinggiran.

Meskipun demikian teknologi dan patennya masih dikuasai oleh negara pusat. Dos Santos membahas juga struktur produksi dari sebuah proses industrialis, bahwa: 1. Upah yang dibayarkan kepada buruh rendah sehingga daya beli buruh rendah. 2. Teknologi padat modal memunculkan industri modern, sehingga:

Menghilangkan lapangan kerja yang sudah ada. Menciptakan lapangan kerja baru yg jumlahnya lebih sedikit. Larinya keuntungan ke luar negeri membuat ketiadaan modal untuk membentuk industri nasional sendiri. Oleh sebab itu, kapitalisme bukan kunci pemecahan masalah melainkan penyebab munculnya masalah ini.

Andre Gunder Frank dalam bukunya: Capitalism and Underdevelopment in Latin America, menggunakan konsep yang mirip dengan Prebisch dengan istilah negara-negara metropolis dan negara-negara satelit. Kaum borjuis di negara-negara metropolis bekerjasama dengan pejabat pemerintah dan kaum bojuis di negara-negara satelit. Fungsi kaum borjuis dan pemerintah negara satelit adalah sebagai payung politik serta memberi kemudahan bagi beroperasinya borjuis negara metropolis. Karena itu kemakmuran rakyat jelata jadi dinomorduakan. Tiga komponen utama teori Frank: 1. Modal asing. 2. Pemerintah lokal di negara-negara satelit. 3. Kaum borjuis di negara-negara satelit. Ciri-ciri dari perkembangan kapitalisme satelit: 1. Kehidupan ekonomi yang tergantung. 2. Terjadinya kerjasama antara modal asing dengan kelas tuan tanah (pemerintah) dengan para pedagang (borjuis lokal). 3. Terjadinya ketimpangan antara yang kaya dan yang miskin.

Akhirnya Frank menyatakan keterbelakangan di suatu negara hanya bisa diatasi melalui revolusi yang melahirkan sistem sosialis, tanpa melalui sistem kapitalis terlebih dahulu. Kaitan antara teori dependensi ini dengan kasus Jepang-Uni Eropa adalah bahwa dengan teori ini, kita bisa melihat bentuk huungan antar kedua belah pihak yang terlihat sangat bergantung dengan hubungan kerjasama antara keduanya. Jepang yang berposisi sebagai pengekspor, terutama untuk bahan bahan pertanian dan pangan membutuhkan Uni Eropa sebagai sasaran pasarnya. Sedangkan Uni Eropa yang disini sebagai negara pemasok barang barang, khususnya untuk hasil pertanian sangat membutuhkan Jepang untuk kepentingan tersebut, disamping juga menjadikan Jepang sebagai sasaran ekspor mereka, dan begitau pula sebaliknya dengan Jepang. Akan tetapi, melihat perilaku hubungan antar keduanya, bisa dikatakan kalau bentuk hubungan kedua negara lebih cenderung kepada interdependensi. Interdependensi ini adalah suatu teori yang memperlihatkan bahwa hubungan kedua belah pihak tersebut lebih kepada hubungan yang saling memiliki ketergantungan antara satu dengan lainnya. Mengapa interdependensi? Karena Interdependensi terlihat lebih matching untuk menggambarkan hubungan keduanya yang mana hidup dalam era globalisasi, yang dihuni oleh neoliberal dan kapitalisme. Dunia saat ini menjunjung tinggi kesetaraan dalam segala bidang, termasuk ekonomi. Meskipun sebenarnya hanya sebuah kedok untuk mengeksploitasi saja.

Fair Trade? Fair trade adalah salah satu argument yang paling populer untuk kasus proteksionisme. Ambil sebuah perumpamaan, bahwa ada sebuah kompetisi yang mengatakan semua pesertanya harus terbuka dan adil. Ketika berbicara mengenai suatu keadilan dalam suatu kondisi kerjasama antara dua pihak, maka yang disebut dengan adil itu adalah sebuah kesepakatan yang telah disetujui oleh kedua pihak tersebut, beserta syarat, kondisi dan ketentuan yang juga telah disetujui bersama oleh pihak pihak yang bekerjasama. Karena pada kenyataannya, kata adil hanyalah sebuah impian, karena didunia psara bebas, adil berarti siap siap dimanfaatkan oleh pihak pihak yang lebih kuat struktur ekonominya. Fair trade mungkin bisa menjadi suatu alternative dalam hubungan antara Jepang dengan Uni Eropa, tetapi dengan adanya fair trade ini kedua belah pihak setuju dengan kesepakatan kesepakatan yang telah disetujui bersama. Semisal dalam kasus ini, Uni

Eropa tetap menimpor produk produk pangan dari Jepang, dengan syarat pihak Jepang dan pihak Uni Eropa bekerjasama untuk melakukan pengawasan produk pangan, khususnya dari daerah terdekat dengan radiasi nuklir yang bocor. Denga menyepakatinya, tujuan ekonomi kedua belah pihak sama sama terpenuhi tanpa adanya pihak yang dirugikan, dan perdagangan berjalan dengan adil tanpa merugikan salah satu pihak yang melakukan kerjasama. Teori keunggulan kooperatif dan perdagangan dunia Teori perdagangan dunia mempunyai thesis dasar bahwa setiap negara mempunyai keunggulan komparatif absolute dan relative dalam menghasilkan suatu komoditas dibandingkan negara lain. Dalam kasus ini, Jepang memiliki keunggulan di bidang produksi bahan bahan pangan. Suatu negara akan mengekspor komoditas yang memiliki keungguan komparatif tersebut dan mengimpor komoditas yang mempunyai keunggulan komparatif yang lebih rendah. Perdagangan antar negara ini akan membawa dunia pada penggunaan sumber daya langka secara lebih efisien dan setiap negara dapat melakukan perdagangan bebaas yang menguntungkan dengan melakukan spesalisasi sesuai dengan keungulan komparatif yang dimilikinya. Prinsip yang sederhana ini merupakan dasar yang tak tergoyahkan dalam konsep perdagangan internasional (Samuelson dan Nordhaus, 1992). Karena teori perdagngan bebas ini membawa dampak positif, sebagian besar negara sepakat melakukan liberalisasi perdagangan internasional dan mereka bergabung dalam suatu organisasi yang disebut WTO yang berdiri pada tahun 1995. Menjadi anggota WTO berarti siap dengan konsekuensi membuka pasar dalam negeri untuk pemilik modal asing dan menerima segala konsekuensi dari pasar bebas. Ternyata selama 8 tahun didirikan, tidak ada negara yang membuka begitu saja jalur impor. Bahkan negara maju seperti AS dan Uni Eropa pun ternyata tidak lantas membuka jalan impor dengan sejuta dalih (Gilpin and Gilpin, 2000) ke negara mereka yang notabene penggagas perdagangan bebas. Dan benar saja, pada kenyataannya WTO tidak bisa memberi solusi terbaik untuk suatu permasalahan negara anggotanya, bahkan untuk membawanya ke sidang angota-anggota WTO. Bila dihubungkan terhadap kasus Jepang dan Uni Eropa, maka posisi antara dua negara yang sedang dalam masalah ini harusnya ditengahi oleh WTO dan diberi jalan keluar yang bisa disepakati oleh kedua belah pihak. Sisi negatif teori perdagangan internasional

David Ricardo pada masanya menjadi seorang ekonom yang menentang kebijakan pemerintah dalam pembatasan perdagangan. Beliau menganggap bahwa pembatasan ini bertolak belakang dengan alsasan utama yang mendorong perdagngan internasional, yakni perbedaan keunggulan komparatif yang menghasilkan suatu komoditas. Bila direfleksikaan dengan kasus Jepang, teori beliau sangat cocok, karena Jepang selaku penghasil komoditi bahan pangan mengekspor barang ke Uni Eropa. Akan tetapi, hal ini akan menimbulkan komoditas ekspor yang lebih murah dan impor komoditas yang lebih mahal dalam penggunaan sumber daya (Lindert and Kindleberger, 1983). Akhirnya, perdagangan internasional ini tadi akan mendorong peningkatan konsumsi dan keuntungan saja. Sebaliknya, kebijakan pembatasan perdagangan oleh pemerintah justru akan merugikan bagi masyarakat dalam negeri dibanding dengan manfaatnya.

JEPANG YANG LEBIH BAIK Berbicara mengenai masa depan perekonomian Jepang, maka hal hal yang bisa membuat Jepang kembali bangkit sebagai roda penggerak ekonomi dunia tergantung pada kebijakan WTO selaku pemimpin dari negara negara penganut pasar bebas ala David Ricardo. Memang pada kenyataannya Jepang masih mengalami masa masa paling sulit dalam perekonomiannya, dan menyebabkan anjloknya nilai ekspor di berbagai sektor dan mengakibatkan inflasi besar besaran di negara tersebut. Dampak dari proteksionisme Uni Eropa terhadap Jepang memang akan menambah berat langkah Jepang untuk segera bangkit dari keterpurukan.Teori dari Samuelson dan Nordhaus (1992) tentang analisis keunggulan komparatif dengan menggunakan banyak komoditi sebagai sarana, namun tetap mengacu pada analisis dua dimensi, yakni sisi produsen dan konsumen. Nantinya, ternyata didapatkan hasil yaitu setiap negara mempunyai urutan komoditas berdasarkan tingkat keunggulan komparatif dua dimensi tersebut. Kembali kepada permasalahan Jepang-Uni Eropa, keberhasilan kebangkitan Jepang memang sangat tergantung pada WTO, disamping kemauan dari dalam untuk bangkit. Apabila untuk ekspor komoditas pangan saja harus dipotong ditengah jalan oleh proteksionis oleh negara tujuan ekspor/ negara impor, maka tidak lain dan tidak bukan adalah tugas dari WTO untuk menyelesaikan masalah pelanggaran asas perdagangan Internasional ini, karena WTO adalah lembaga supranasional yang posisinya di atas negara, dan WTO pun harus bekerja keras untuk menyelesaikan suatu permasalahan anggotanya karena mereka menaungi

negara negara tersebut. Dan, mereka juga lah kunci suksesnya kebangkitan ekonomi Jepang di masa yang akan datang. Kasus bocornya reactor nuklir di Jepang itu kecelakaan, bukan karena human error ataupun yang lainnya. Reactor tersebut bocor akibat gempa yang melanda Jepang tepat sebelum reactor tersebut bocor. Jadi, Jepang kah yang harus disalahkan atas kebocoran tersebut? Untuk lingkup eksternal, jelas bukan kesalahan Jepang, karena ada gempa bumi. Akan tetapi, dari kejadian ini Jepang akan berhati hati terhadap pembangkit tenaga nuklirnya demi keamanan nya sendiri dan juga seluruh dunia. Jepang dipastikan akan butuh waktu lama untuk pemulihan ekonominya. Bisa diketahui bahwa Jepang memang sedang mengalami krisis yang bisa dikatakan buruk. Pembangunan kembali jelas dibutuhkan mengingat keadaan Jepang yang amat sangat memprihatinkan. Apabila Jepang tidak segera pulih dari keterpurukan ekonominya, maka hampir bisa dipastikan bahwa kondisi ekonomi global yang kondusif akan sulit tercapai, karena Jepang merupakan salah satu negara yang maju dan kaya akan teknologi serta SDM nya. Mungkinkah proteksionisme ini adalah wujud dari ketakutan negara negara pencetus pasar bebas karena melihat perkembangan Jepang yang termasuk kawasan timur maju begitu cepat??

Penutup Terkait dengan Jepang sebagai salah satu negara yang cukup berpengaruh di dunia di bidang ekonomi, dan adanya bencana yang mengakibatkan perekonomian mereka mengalami penurunan kualitas dan kuantitas ekspor. Banyak negara yang akhirnya waspada terhadap produk produk yang dihasilkan oleh Jepang, terutama produk produk yang berasal dari daerah yang dekat dengan lokasi kebocoran nuklir, karena waspada terhadap radiasi nuklir terhadap produk komoditi ekspor nya. Akibat dari bencana yang dialami Jepang tersebut adalah proteksionisme yang dilakukan oleh beberapa negara-negara pengimpor komoditas pangan dari Jepang, seperti Uni Eropa dan AS. Hal ini jelas sangat merugikan pihak Jepang. Seperti, AS memberhnetian impor susu dan bahan segar lainnya, sedanhkan Uni Eropa men-stop sementara impor sayur sayuran seperti bayamdari Jepang (dikarenakan penghasil bayam adalah daerah yang dekat dengan lokasi kebocoran nuklir).

Masalah seperti ini menjadi semakin serius karena WTO selaku pimpinana daari negara-negara penganut pasar bebas tidak bisa memberi solusi terhadap kebijakan proteksionisme yang dilakukan oleh Uni-Eropa terhadap Jepang yang tentu saja seharusnya sebagai salah satu media untuk menyelesaikan masalah masalah yang dialami oleh anggotanya. Sehingga, permasalahan yang sedang dialami oleh kedua pihak yang sama-sama penganut model liberal ini memiliki jalan keluar yang tidak merugikan pihak manapun. Beberapa teori yang digunakan untuk menelaah lebih dalam dan menganalisis permasalahan ini cukup membantu untuk memahami mengapa samapai kebijakan proteksionisme itu sendiri muncul. Dan memahaminya serta m,enganalisis langkah kebijakan tersebut apakah sesuai atau tidak. Saran saya terhadap permasalahan terkait dengan proteksionisme Uni Eropa terhadap Jepang adalah:

Kedua belah pihak melakukan kerjasama yang bersifat urgent, artinya kerjasama tersebut disepakati karena salah satu pihak mengalami masalah terkait dengan ekonominya. Dan nantinya, hasil dari kerjasama ini adalah kedua belah pihak tetap melakukan kerjasama tanpa adanya proteksionisme dari salah satu pihak, dan kegiatan ekspor-impor kedua pihak tetap berjalan sebagaimana biasanya

Pihak WTO sebagai organisasi supranasional seharusnya bisa menyikapi kasus yang terjadi antar Jepang-Uni Eropa dengan tegas. Posisi WTO sebagai wadah dari negara negara yang menganut pasar bebas ini harusnya dapat melindungi anggotany dan menawarkan solusi terbaik untuk permalsalahan yang dihadapi oleh anggotanya. Karena, selama ini WTO selalu gagal untuk memberikan solusi untuk setiap permasalahan yang datang dari anggotanya, dan bahkan semakin mempersulit anggotanya yang mengalami masalah dan perlu untuk diberi bantuan. Akhirnya kesan yang timbul dari WTO adalah hanya sebagai wadah saja.

Seluruh negara-negara yang menganut paham liberalisme dan penganut pasar bebas semestinya tidak menggunakan kebijakan proteksionisme terhadap negara negara lain di pasar dunia. Untuk mencapai sebuah kemakmuran bersama, tidak seharusnya ada kebijakan yang melindungi diri sendiri seperti proteksionisme dan tidak peduli dengan kondisi diluar negara nya. Karena di era globalisasi yang menjunjung tinggi kesetaraan di segala bidang, kebijakan proteksionisme itu tidak pada tempatnya.

Perlunya dilakukan kesadaran bersama dari seluruh dunia untuk memberantas adanya kebijakan proteksionisme, karena proteksionisme ini sangat tidak relevan dengan kehidupan dan perekonomian dunia. Kebijakan Proteksionisme inihanya akan menambah miskin negara negara berkembang, dan menambah kaya negara negara kaya dan berkuasa saja. Singkatnya, proteksionisme ini menambah gap antara negara maju dan berkembang, serta semakin menambah lebarnya pintu eksploitasi negara maju terhadap negara berkembang.

DAFTAR PUSTAKA

Anonym (n.d.). Japan : Partila meltdown likely at 2nd reactor. Retrieved June, 26, 2011, from USATODAY: www.USATODAY.com

Anonym (n.d.). AS hentikan Impor susu dan sayur dari empat prefejtu Jepang. Diakses 26 Juni, 2011, dari Tradenation: www.askapfutures.com

Kusdiantoro, Y. Eropa krisis, ekspor Jepang melambat. Diakses 26 juni, 2011, dari okezone: www.economy.okezone.com

WTO (n.d.). WTO | Debates | Can protectionism protect trade?. Retrieved June, 27, 2011, from Wo (Nations, 2009)rld Trade Organizaton website: http://www.wto.org

Ann Waswo and Nishida Yoshiaki. (2003). Farmers and Village Life in20th Century Japan. London and New York: Routledge Curzon.

Jha, V. (2005). Enviromental Regulation and Food Safety: studies of Protection and Protectionism. Cheltenham, UK: Edward Elgar Publisher.

Joseph E. Stiglitz and Andrew Charlton. (2005). Fair Trade for All: How Trade Can Promote Development. New York: Oxford University Press.

Maier, P. (2007). An analysis of economic and political considerations. A new wave of protectionism? , 3-5.

Nations, U. (2009). The Global Eonomics and Financial Crisis: Regional Impacts,Responses, and Solutions. New York.

Ricardo Melendez Ortiz, Christophe Bellmann, Jonathan Hepburn. (2009). Agricultural Subsidies in the WTO Green Box. New York: Cambridge University Press.

Rothbard, M. N. (1986). Protectionism and The Destruction of Prosperity. Monograph , 1-6.

Anderson, K.: 2005, On the virtues of multilateral trade negotiations, The Economic Record 81(225), 414438. Heckscher, E.: 1919, The effect of foreign trade on the distribution of income, Ekonomisk Tidskrift pp. 497512. Anderson, K.: 2005, On the virtues of multilateral trade negotiations, The Economic Record 81(225), 414438. Trefler, D.: 1993, Trade liberalization and the theory of endogenous protection: An econometric study of us import policy, Journal of Political Economy 101, 138160