Fraktur Le Fort
description
Transcript of Fraktur Le Fort
CASE REPORT
FRAKTUR LE FORT II
Disusun oleh:
Marsha Ayu O. 160110070076
Pembimbing:
Arfiandri, drg., Sp.BM
PROGRAM PROFESI
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2012
BAB I
PENDAHULUAN
Fraktur maksilofasial merupakan fraktur yang sering terjadi di kota-kota
besar sebagai akibat dari faktor luar seperti kecelakaan lalu lintas (etiologi
terbanyak), kecelakaan kerja, kecelakaan akibat olah raga, kecelakaan akibat
peperangan dan juga sebagai akibat dari tindakan kekerasan. Fraktur
maksilofasial ini terletak didaerah yang anatominya spesifik, sebagaimana yang
kita ketahui bahwa kepala merupakan daerah tempat organ-organ penting
seperti otak dan pusat persyarafan. Sehingga fraktur maksilofasial ini mewakili
permasalahan terbesar bagi pelayanan kesehatan umum diseluruh belahan dunia
karena tingginya insidensi dan kerugian finansial yang ditimbulkan dari fraktur
maksilofasial ini.
Insidensi fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada
pengendara sepeda motor lebih banyak dijumpai pada laki-laki dibandingkan
perempuan dan lebih banyak dijumpai pada usia produktif (21-30 tahun). Fraktur
mandibula merupakan fraktur yang paling banyak terjadi (57,69%), selanjutnya
fraktur kombinasi maksilofasial (21,15%), fraktur maksila (13,46%), fraktur
komplek nasal (3,85%), fraktur maksilofasial yang diikuti oleh jenis fraktur lainnya
(1,92%) dan
jenis fraktur maksilofasial yang paling sedikit sekali terjadi adalah fraktur
komplek zigoma (0,96%) dan fraktur dentoalveolar (0,96%). Perawatan yang
paling sering dilakukan pada pasien fraktur maksilofasial ini adalah Open
Reduction and Internal Fixation (98,08%). Selebihnya adalah perawatan Open
Reduction and Internal Fixation beserta perawatan lainnya
berupa craniotomy (0,96%) dan tracheostomy(0,96%).
Prinsip perawatan fraktur yang diberikan bertujuan untuk
mengembalikan fragmen-fragmen tulang pada hubungan anatomi semula
(reduksi), mempertahankannya supaya terjadi proses penyembuhan luka pada
tulang (fiksasi) serta lamanya waktu fiksasi (immobilisasi). Walaupun teknologi
bedah memberikan hasil yang baik, pencegahan fraktur maksilofasial merupakan
langkah yang bijak. Dengan keterlibatan berbagai pihak, Insidensi fraktur
maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor yang
dapat mengakibatkan menurunnya kualitas hidup seseorang dapat dicegah dan
angka dari insidensi fraktur akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara
sepeda motor ini dapat dikurangi.
LAPORAN KASUS
I. Identitas
Nama : Tn.Moch Dhofar
JK : Laki-laki
Umur : 25 tahun
Alamat : Ngablak sari I/8 Sayung,Demak
Agama : Islam
Status : Kawin
No RM : 01.25.08.15
Tanggal Periksa : Jumat ,10 April 2015
II. Anamnesa
Keluhan Utama : Pasien post kecelakaan tunggal
Riwayat penyakit sekarang :
± 5 hari SMRS, saat pasien sedang mengendarai sepeda motor
dengan kecepatan sedang tanpa lampu di daerah sayung, saat pasien akan
melewati jempatan yang menanjak tiba-tiba pasien hilang kendali,motor yang
digunakan pasien menjadi liar dan pasien terpental dan pasien menabrak pilar
pembatas jembatan dengan wajah terlebih dahulu,pada saat itu di ketahui
pasien tidak menggunahkan Helm,setelah itu pasien masih tersadar dan minta
pertolongan ke warga yang melintas, mual muntah (+) I kali, pasien berteriak
kesakitan di daerah wajah, dan mengeluarkan darah dari kedua lubang hidung
dan mulut, oleh warga yang menolong perdarahan di tutup dengan
kain.Pasien lalu dibawa ke IGD RSI-SA,
III. Primary Survey :
A : adanya darah keluar dari hidung dan mulut, C-Spine Kontrol
B : RR: 22 x/menit
C : T= 110/70 mmHg, N= 76 x/menit,
D : GCS=15, pupil bulat isokor Ø 3mm, Parese -/-
Secondary Survey: t.a.k
Riwayat penyakit dahulu
a) Riwayat hipertensi (+)
b) Riwayat Diabetes Melitus (-)
Riwayat penyakit keluarga
a) Riwayat DM (-)
b) Riwayat Sakit Serupa (-)
Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien merupakan buruh pabrik oleh PT.BPJS Tenaga Kerja.
Kesan : sosial ekonomi cukup
Pemeriksaan Fisik:
- Kepala : Normosefali, deformitas (-), Facies adenoid (-), distribusi rambut
- Mata : Sklera ikterik -/-, konjungtiva pucat -/-, refleks cahaya
langsung,bengkak,breil hematom (+/+)
- Telinga: discharge (-/-)
- Hidung: kemerahan, discharge (+/+) berupa darah, krepitasi (+) deviasi (+)
- Mulut : sianosis (-), mukosa hiperemis (+) robekan pada bibir atas 1x0,5
x0,5 cm
- Leher : Pembesaran kelenjar getah bening -/-
- Thorax :
Pulmo :
Inspeksi : gerakan dada simetris, jejas pada dada (-)
Palpasi : sterm fremitus ka=ki, fraktur pada tulang dada (-)
Perkusi : sonor
Auskultasi : sdv (+), suara tambahan (-)
Cor
Inspeksi : jejas (-), iktus kordis tak tampak
Palpasi : ictus cordis kuat angkat (-)
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : BJ1 > BJ2, suara tambahan (-)
Abdomen
Inspeksi : permukaan datar
Auskultasi : BU (+) normal, peristaltik normal
Perkusi : timpani pada seluruh lapang abdomen
Palpasi : supel, NT (-), NTL (-), hepar lien tidak teraba
Ekstremitas Superior dan inferior : dbn
Status Lokalis (THT): a. Pemeriksaan Telinga
Kanan Kiri
Telinga luar
Normotia Daun telinga Normotia
Hiperemis (-)
Abses (-)
Nyeri tekan (-)
Retroaurikuler Hiperemis (-)
Abses (-)
Nyeri tekan (-)
Fistel (-) Fistel (-)
Liang telinga
Lapang Lapang/sempit Lapang
Hiperemis (-) Warna epidermis Hiperemis (-)
(-) Sekret (-)
(-) Serumen (-)
Intak
Refleks cahaya (+) Membran timpani
Intak
Refleks cahaya (+)
Kanan Kiri
Pemeriksaan luar
(+) Deformitas (-)
Nyeri tekan
(-) Dahi (-)
(+) Pipi (+)
(+) Krepitasi (+)
Rhinoskopi Anterior
Lapang Cavum nasi Lapang
Hipertrofi, livid Konka inferior Hipertrofi, livid
Eutrofi Konka media Eutrofi
Eutrofi Konka superior Eutrofi
Tenang Mukosa Tenang
Deviasi (+) Septum Deviasi (-)
(+) darah discharge (+) darah
Tidak dilakukan Rhinoskopi Posterior Tidak dilakukan
b. Pemeriksaan Hidung
c. Pemeriksaan Mulut dan Orofaring
Kanan Kiri
Gigi
Tidak ada Karies Tidak ada
Lidah
Merah muda Warna Merah muda
Normoglossia Bentuk Normoglossia
Tidak ada Deviasi Tidak ada
Tidak ada Tremor Tidak ada
Arcus faring + uvula
Simetris Simetris/tidak Simetris
Merah muda Warna Merah muda
Tidak ada Bercak eksudat Tidak ada
Peritonsil
Merah muda Warna Merah muda
Tidak ada Edema Tidak ada
Tidak ada Abses Tidak ada
Tonsil
T1 Ukuran T1
Tidak hiperemis Warna Tidak hiperemis
Tidak rata Permukaan Tidak rata
Tidak melebar Kripta Tidak melebar
Tidak ada Detritus Tidak ada
Dinding faring posterior
Tidak hiperemis Warna Tidak hiperemis
Tidak adaWarna jaringan
granulasiTidak ada
Licin Permukaan Licin
Diagnosis:Fraktur Os. Nasal
DD: Fraktur Le Fort II Cedera Kepala Ringan
Pemeriksaan Penunjang :
Pemeriksaan Lab :
- Hb : 15,3 (13,5-17,5) g/dL - Ht : 43,6 (40-52) % - Lekosit: 17.000 (4.400-11.300) /mm3
- Trombosit: 252.000 (150.000-450.000) /mm3
- APTTT: 26,3 (15,8-35,8) detik - Gol Darah : O
- GDS : 144 mg/dl
- Na : 139,4- K : 4,43- Cl : 113,6- HbsAG : (+) reaktiv
e. Pemeriksaan radiologi :
IV. Diagnosa Kerja : Mild HI + SBF Anterior dan media dextra + #Linear a/r frontal Sinistra + #Lefort II + #palatum + VL a/r palatum Sinistra
V. Rencana Pengobatan: Pro ORIF
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
FRAKTUR MAKSILA
1. Klasifikasi Fraktur Maksila
Fraktur ini terbagi atas tiga jenis fraktur, yakni ; fraktur Le Fort I, Le Fort II, Le Fort III.
Dari beberapa penelitian, insidensi dari fraktur maksila ini masing-masing sebesar 9,2% dan
29,85%.
a. Fraktur Le Fort I
Fraktur Le Fort I dapat terjadi sebagai suatu kesatuan tunggal atau bergabung
dengan fraktur – fraktur Le Fort II dan III. Pada Fraktur Le Fort I, garis frakturnya dalam
jenis fraktur transverses rahang atas melalui lubang piriform di atas alveolar ridge, di atas
lantai sinus maksilaris, dan meluas ke posterior yang melibatkan pterygoid plate. Fraktur ini
memungkinkan maksila dan palatum durum bergerak secara terpisah dari bagian atas wajah
sebagai sebuah blok yang terpisah tunggal. Fraktur Le Fort I ini sering disebut
sebagai fraktur transmaksilari.
b. Fraktur Le Fort II
Fraktur Le Fort II lebih jarang terjadi, dan mungkin secara klinis mirip dengan
fraktur hidung. Bila fraktur horizontal biasanya berkaitan dengan tipisnya dinding
sinus, fraktur piramidal melibatkan sutura-sutura. Sutura zigomatimaksilaris dan
nasofrontalis merupakan sutura yang sering terkena.
Seperti pada fraktur Le Fort I, bergeraknya lengkung rahang atas, bias merupakan
suatu keluhan atau ditemukan saat pemeriksaan. Derajat gerakan sering tidak lebih besar
dibanding fraktur Le Fort I, seperti juga gangguan oklusinya tidak separah pada Le Fort I.
c. Fraktur Le Fort III
Le Fort III adalah Fraktur craniofacial disjunction, merupakan cedera yang parah.
Bagian tengah wajah benar-benar terpisah dari tempat perlekatannya yakni basis kranii.
Fraktur ini biasanya disertai dengan cedera kranioserebral, yang mana bagian yang
terkena trauma dan besarnya tekanan dari trauma yang bisa mengakibatkan pemisahan
tersebut, cukup kuat untuk mengakibatkan trauma intrakranial.
2. Pemeriksaan klinis
Pemeriksaan klinis pada masing-masing fraktur Le Fort tersebut berbeda.
a. Pemeriksaan Fraktur Le Fort I
Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort I dilakukan dalam dua pemeriksaan yakni secara
ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan
visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya edema pada bibir atas dan
ekimosis. Sedangkan secara palpasi terdapat bergeraknya lengkung rahang atas. Pada
pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara
visualisasi dapat terlihat adanya open bite anterior. Sedangkan secara palpasi terdapat rasa
nyeri. Selanjutnya pemeriksaan fraktur Le Fort I dilakukan dengan foto rontgen dengan
proyeksi wajah anterolateral.
b. Pemeriksaan Fraktur Le Fort II
Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort II dilakukan dalam dua pemeriksaan yakni secara
ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan
visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat pupil cenderung sama tinggi,
ekimosis, dan edema periorbital. Sedangkan secara palpasi terdapat tulang hidung bergerak
bersama dengan wajah tengah, mati rasa pada daerah kulit yang dipersarafi oleh nervus
infraorbitalis. Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan
palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya gangguan oklusi tetapi tidak separah jika
dibandingkan dengan fraktur Le Fort I. Sedangkan secara palpasi terdapat bergeraknya
lengkung rahang atas. Pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan pemeriksaan dengan foto
rontgen proyeksi wajah anterolateral, foto wajah polos dan CT scan.
c. Pemeriksaan Fraktur Le Fort III
Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort III dilakukan secara ekstra oral. Pada
pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi. Secara visualisasi dapat
terlihat pembengkakan pada daerah kelopak mata, ekimosis periorbital bilateral. Usaha
untuk melakukan tes mobilitas pada maksila akan mengakibatkan pergeseran seluruh
bagian atas wajah.
Pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan pemeriksaan dengan foto rontgen proyeksi
wajah anterolateral, foto wajah polos dan CT scan.
3. Perawatan Fraktur Maksila
Perawatan pada masing-masing fraktur maksilofasial itu berbeda satu sama lain. Oleh
sebab itu perawatannya akan dibahas satu per satu pada masing-masing fraktur maksilofasial.
Tetapi sebelum perawatan defenitif dilakukan, maka hal yang pertama sekali dilakukan adalah
penanganan kegawatdaruratan yakni berupa pertolongan pertama (bantuan hidup dasar) yang
dikenal dengan singkatan ABC. Apabila terdapat perdarahan aktif pada pasien, maka hal yang
harus dilakukan adalah hentikanlah dulu perdarahannya. Bila pasien mengeluh nyeri maka
dapat diberi analgetik untuk membantu menghilangkan rasa nyeri.
Setelah penanganan kegawatdaruratan tersebut dilaksanakan, maka perawatan
defenitif dapat dilakukan.
Pada fraktur Le Fort I dirawat dengan menggunakan arch bar, fiksasi maksilomandibular,
dan suspensi kraniomandibular yang didapatkan dari pengawatan sirkumzigomatik. Apabila
segmen fraktur mengalami impaksi, maka dilakukan pengungkitan dengan menggunakan tang
pengungkit, atau secara tidak langsung dengan menggunakan tekanan pada splint/arch bar.
Sedangkan perawatan pada fraktur Le Fort II serupa dengan fraktur Le Fort I. Hanya
perbedaannya adalah perlu dilakukan perawatan fraktur nasal dan dasar orbita
juga. Fraktur nasal biasanya direduksi dengan menggunakan molding digital dan splinting.
Selanjutnya, pada fraktur Le Fort III dirawat dengan menggunakan arch bar, fiksasi
maksilomandibular, pengawatan langsung bilateral, atau pemasangan pelat pada sutura
zigomatikofrontalis dan suspensi kraniomandibular pada prosessus zigomatikus ossis frontalis.
BAB IV
PEMBAHASAN
Satu hari sebelum masuk rumah sakit, Pasien laki-laki berusia 25 tahun
mengendarai sepeda motor dengan kecepatan sedang tanpa lampu di daerah
Garut, tiba-tiba datang motor dari arah berlawanan menabrak pasien sehingga
pasien terjatuh dengan mekanisme jatuh tidak diketahui. Helm (-), pingsan (+) ±
30 menit, mual muntah (-), PT (-), PHM (+). Pasien lalu dibawa ke RSU dr. Slamet
Garut, dilakukan pemasangan infus, injeksi ATS, lalu pasien dirujuk ke RSHS.
Pemeriksaan fisik yang dilakukan di UGD RSHS, dilakukan dalam dua cara
yakni ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan
dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat pupil
cenderung sama tinggi, ekimosis, dan edema periorbital. Sedangkan secara
palpasi terdapat tulang hidung bergerak bersama dengan wajah tengah, mati
rasa pada daerah kulit infraorbital. Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan
dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya
gangguan oklusi ringan karena adanya fraktur pada bagian palatum. Sedangkan
secara palpasi terdapat bergeraknya lengkung rahang atas.
Pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan pemeriksaan dengan foto
rontgen proyeksi wajah Schedel (AP lateral), Panoramik dan Water’s view. Pada
hasil foto roentgen panoramic terdapat garis radiolusen dari puncak alveolar
antara gigi 2.1 dan gigi 2.2 mengarah miring ke apeks gigi 2.3 yang
mengindikasikan terjadinya fraktur pada tulang alveolar pada palatum. Selain itu
hasil dari waters view terlihat gambaran radiolusen pada kedua sisi daerah
zygoma, yang menunjukkan hilangnya kontinuitas sutura zygomatimaksilaris
yang mendukung dugaan terjadinya fraktur le fort II pada pasien ini.
PENATALAKSANAAN
Sebelum perawatan defenitif dilakukan, maka hal yang pertama sekali
dilakukan adalah penanganan kegawatdaruratan yakni berupa pertolongan
pertama (bantuan hidup dasar) yang dikenal dengan singkatan ABC. Apabila
terdapat perdarahan aktif pada pasien, maka hal yang harus dilakukan adalah
hentikanlah dulu perdarahannya. Bila pasien mengeluh nyeri maka dapat diberi
analgetik untuk membantu menghilangkan rasa nyeri. Setelah penanganan
kegawatdaruratan tersebut dilaksanakan, maka perawatan defenitif dapat
dilakukan.
Penanganan fraktur pada alveolar palatum, dilakukan pemasangan Eyeley
(splinting) a.r 2.1-2.2. Sedangkan untuk fraktur le fort II dilakukan Open
Reduction Intermaxillary Fixation dalam NU. Pada pasien ini, operasi dilakukan
dengan pemasangan rubber dan mereposisi oklusi terlebih dahulu. Setelah itu
dilakukan insisi dan diseksi jaringan mukosa dan otot untuk mendapat akses ke
Os. Zygoma pada kedua sisi kanan dan kiri agar dapat dilakukan reposisi dan
fiksasi dengan menggunakan plat L 5 hole 4 screw. Untuk perawatan lebih lanjut,
pasien diminta kontrol untuk dilakukan pemasangan IMF rubber.
Foto Profil
Foto Rongent
Pre Operasi Insisi Mucobuccal Fold RA
Pemasangan Plat Dx Pemasangan Plat Sn
Pemasangan Rubber
Post Operasi
Daftar Pustaka
Archer W. H. 1975. Oral and Maxillofacial Surgery 5th ed. W.B. Saunders.
Pederson, Gordon W. 1996. Buku ajar praktis BEDAH MULUT. Jakarta: penerbit buku kedokteran EGC.