Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... ·...

105

Transcript of Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... ·...

Page 1: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub
Page 2: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

Foto Cover : Taufi k Rinaldi

Diterbitkan:

Justice for The Poor

World Bank - Sub Offi ce

Jalan Kusuma Atmadja No. 36

Menteng, Jakarta 10310

Ph. 62 -21 310 7158, 391 1908/09

Fax. 62 -21 392 4640

Website: www.justiceforthepoor.or.id

Page 3: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Mei 2009

Page 4: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

ii Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Prakata

Prakata

Reformasi di sektor hukum dan peradilan menjadi hal yang esensial untuk pembangunan berkelanjutan,

pemerintahan yang efektif dan pengurangan kemiskinan – jantung dari misi utama Bank Dunia.

Pemerintah Indonesia, dengan dukungan dari masyarakat internasional, sedang menjalankan serangkaian

program pembaharuan untuk meningkatkan penegakan keadilan melalui institusi-institusi negara - Mahkamah

Agung, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian. Pembaharuan penting kelembagaan telah dijalankan dalam beberapa

tahun terakhir melalui prestasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pembentukan Mahkamah Konstitusi, dan

implementasi cetak biru reformasi Mahkamah Agung yang tengah berlanjut.

Akan tetapi, dalam suatu negeri seperti Indonesia, yang kaya dengan berbagai macam kebudayaan dan pluralisme

hukum, hukum tidak hanya menjadi tanggungjawab negara. Mayoritas permasalahan hukum pada kenyataannya

dipecahkan di luar pengadilan melalui mekanisme yang berlaku di masyarakat. Satu-satunya pengalaman

“keadilan” yang dialami oleh sebagian besar warga negara justru tidak didapat dari gedung pengadilan, dari

balai desa, majelis adat, atau melalui mediasi oleh pemimpin agama dan kepala desa. Perselisihan sehari-hari

yang kerap muncul pada tingkatan ini - tanah, tenaga kerja, warisan, pernikahan, dan perceraian - mempunyai

dampak sosial ekonomi yang berarti dalam kehidupan warga Indonesia. Jika perselisihan seperti itu tidak bisa

dipecahkan secara efi sien dan adil, maka bisa mengakibatkan konfl ik kekerasan sosial.

Oleh karena itu, kebijakan yang berfokus kepada sistem keadilan non-negara adalah elemen yang penting

dalam strategi reformasi hukum dan peradilan. Laporan ini merupakan salah satu keluaran dari program

Justice for the Poor-Bank Dunia, diluncurkan untuk mengembangkan kerangka kebijakan dan operasional guna

meningkatkan efektivitas dan inklusifi tas sosial peradilan non-negara di Indonesia. Berdasarkan riset lapangan

yang dilakukan selama delapan belas bulan di lima provinsi dan data kuantitatif mengenai keadilan dan konfl ik

Survei Pemerintahan dan Desentralisasi, laporan ini mendokumentasikan proses, preferensi, dan praktik dalam

upaya penyelesaian masalah melalui sistem peradilan non-negara di Indonesia dan mengidentifi kasi inovasi

lokal serta regional untuk meningkatkan kinerjanya.

Bekerjasama dengan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA), laporan ini diharapkan bisa menjadi masukan

dalam pengembangan cetak biru pembaruan MA pada tahap berikutnya. Ini juga kontribusi kepada Strategi

Nasional Akses terhadap Keadilan yang sedang dikembangkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

(Bappenas).

Kita berharap bahwa studi ini akan memperluas pemahaman mengenai proses penyelesaian sengketa non-

negara yang bervariasi dan kompleks. Dengan demikian membantu pembuat kebijakan menemukan jalan yang

baru untuk membangun membangun sistem hukum dan peradilan yang efektif dan mudah diakses oleh semua

warga Indonesia.

Joachim von Amsberg

Country Director, Indonesia

Page 5: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

iiiMenemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Ucapan Terima Kasih

Ucapan Terima Kasih

Laporan ini adalah produk Unit Pembangunan Sosial, Bank Dunia di Indonesia, dengan dukungan dari Mahkamah

Agung Republik Indonesia. Ini merupakan hasil kerja tim Justice for the Poor (disingkat Tim Justice) sebagai bagian

dari program “Otonomi Peradilan Desa” (Village Judicial Autonomy). Penelitian ini didasarkan pada sejumlah

studi kasus dari sengketa yang dipecahkan melalui kelembagaan di desa di Indonesia, dilengkapi dengan data

kuantitatif dari Survei Pemerintahan dan Desentralisasi (Governance and Decentralization Survey atau GDS).

Penelitian lapangan dilakukan oleh anggota Tim Justice bersama fasilitator lokal di lima provinsi. Fasilitator

tersebut adalah Fitriyanti dan Rifai Lubis dari LSM Limpapeh di Sumatera Barat; Agus Hadi dan L. Prima Wira

Putra dari Yayasan Lembaga Kemanusiaan Masyarakat Pedesaan di Nusa Tenggara Barat; Yuanita Oktavania dari

Universitas Palangkaraya di Kalimantan Tengah; aktivis LSM Bata Peillouw dan Bai Tualeka di Maluku; dan peneliti

Zuyyinah dan Novia Cici Anggraini di Jawa Timur.

Tim Justice mengucapkan terima kasih kepada seluruh penduduk desa, tokoh masyarakat, pejabat lokal,

para pengacara bantuan hukum, wartawan, akademisi, aktivis masyarakat sipil, polisi, jaksa dan hakim yang

berpartisipasi pada riset, baik sebagai responden maupun peserta pada lokakarya dan diskusi lanjutan. Ucapan

terima kasih secara khusus juga ditujukan kepada Hakim Agung H. Abdurrahman SH. MH., Profesor Rehngena

Purba SH MS. dan Prof. Dr. Valerine J.L.K, SH. MA untuk bimbingan dan dukungan di sepanjang studi.

Penulis utama laporan ini adalah Matt Stephens dan Samuel Clark. Anggota Tim Justice ikut memberikan

kontribusi dan masukan secara tertulis dan lisan serta komentar atas naskah laporan. Lene Ostergaard dan Pieter

Evers berkontribusi terhadap keseluruhan kerangka dan pengembangan panduan penelitian lapangan. Laporan

dari lima provinsi ditulis oleh Peri Umar Farouk (Nusa Tenggara Barat), Dewi Novirianti (Maluku), Lene Ostergaard

(Sumatera Barat), Samuel Clark (Jawa Timur), dan Matt Stephens (Kalimantan Tengah ).

Taufi k Rinaldi, Bambang Soetono, Megadianty Adam, Matt Zurstrassen, dan Philippa Venning turut memberi

komentar dan masukan. Terima kasih juga tertuju kepada Arya Gaduh dan Daan Pattinasarany atas bantuan

mereka dengan analisa data GDS.

Dr. Sinclair Dinnen dari Australian National University, Professor Julio Faundez dari Universitas Warwick, Steven

Golub dari Universitas California di Berkeley, dan Dr. Jaap Timmer dari Leiden University bertindak sebagai reviewer

atas naskah laporan. Alexandre Marc ikut mereview dari internal Bank Dunia. Erica Harper dari International

Development Law Organization, Patrick Barron, Andrea Woodhouse, dan Pamela Dale juga ikut memberikan

komentar. Juliana Wilson, Teguh Nugroho, dan Agni Paramita juga memberi masukan editoral yang berharga.

Seluruh tim mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Joel Hellman, Susan Wong, dan Scott

Guggenheim untuk dukungan intelektual serta bimbingan untuk menyusun laporan ini dan kepada Program

Justice for the Poor. Kami juga menyampaikan penghargaan kepada Bank Dunia-DFID Poverty Reduction

Partnership Trust Fund dan Kedutaan Besar Belanda atas dukungan fi nansialnya.

Pertanyaan seputar laporan bisa dialamatkan kepada Matt Stephens ([email protected]/ mjkstephens@

gmail.com) dan Samuel Clark ([email protected]/[email protected]).

Page 6: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

iv Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Daftar Isi

Daftar Isi

Prakata ii

Ucapan Terima Kasih iii

Daftar Isi iv

Daftar Istilah vi

Ringkasan Eksekutif vii

Pengantar xiv

Bagian I: Pendahuluan 1

A. Pentingnya Peradilan Non-Negara di Indonesia 2

B. Pendekatan Kebijakan Pemerintah Terhadap Non-State Justice di Indonesia 4

C. Menemukan Titik Keseimbangan 6

D. Metodologi 8

Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa 11

A. Peradilan Non-Negara dalam Praktek: Tipologi Sengketa, Pelaku, dan Institusi 12

B. Prosedur, Norma, Sanksi dan Pendorong Penyelesaian Sengketa 19

C. Persinggungan antara Peradilan Formal dan Informal 30

Bagian III: Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara 37

A. Kekuatan: Mengapa Orang-orang Lebih Memilih Peradilan Non-negara? 38

B. Kelemahan: Ketika Mekanisme Peradilan Informal Gagal 41

Bagian IV: Menemukan Titik Keseimbangan: Kesimpulan dan Saran 57

A. Kesimpulan 57

B. Saran-saran 63

Lampiran 71

Daftar Bacaan dan Sumber Informasi 82

Page 7: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

vMenemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Daftar Isi

GambarGambar 1: Sengketa yang dilaporkan terjadi di desa responden selama dua tahun terakhir 13

Gambar 2: Pengalaman responden dengan pengadilan, pemahaman soal hak hukum,

dan kepercayaan terhadap pengadilan 14

Gambar 3: Pelaku Peradilan Informal dan formal yang biasa menyelesaikan sengketa 15

Gambar 4: Struktur Organisasil Majelis Adat di Desa Pelau, Kabupaten Maluku Tengah 18

Gambar 5: Penyelesaian kasus perkelahian di pasar 20

Gambar 6: Kepuasan dengan pelaku formal dan informal 39

Gambar 7: Kepercayaan terhadap tetangga dekat dan desa-desa sekitar 48

Tabel Tabel 1: Konfl ik regional berdasarkan jenis konfl ik viii

Tabel 2: Konfl ik regional berdasarkan jenis konfl ik 13

Tabel 3: Sanksi bagi tindak pidana menurut hukum negara dan hukum adat di lokasi riset terpilih 27

Tabel 4: Kerangka kerja 65

BoksBoks 1: Contoh hukum adat dari Bentek, Nusa Tenggara Barat 24

Boks 2: Contoh perubahan I: Menghadapi kurangnya keterwakilan perempuan dan bias

gender melalui pemberdayaan hukum 45

Boks 3: Contoh Perubahan II: Memperjelas norma dan struktur resolusi perselisihan di NTB 51

Boks 4: Contoh-contoh Perubahan III: Meningkatkan kesesuaian antara peradilan formal

dan informal dan membangun kapasitas – Unit Perantara Peradilan Komunitas Papua Nugini 54

Boks 5: Contoh Perubahan IV: Mendefi nisikan Persinggungan–Sistem Peradilan Barangay di Filipina. 54

Studi KasusStudi Kasus 1: Perkelahian di pasar dalam bayangan konfl ik etnis xiv

Studi Kasus 2: Perselisihan antara sepupu di panangguan, Jawa Timur 16

Studi Kasus 3: Perbatasan yang tidak jelas di Desa Souhoku, Pulau Seram, Maluku 17

Studi Kasus 4: Warisan membawa petaka 22

Studi Kasus 5: Penghinaan ketua adat 25

Studi Kasus 6: Reaksi cepat raja dan polisi mencegah kerusuhan meluas di Ruhua 28

Studi Kasus 7: Perkosaan yang diabaikan di Desa Sepa 29

Studi Kasus 8: Gugatan terhadap denda adat yang berat 32

Studi Kasus 9: Perkelahian jalanan di Madura 34

Studi kasus 10 : Perkelahian (baku hantam) diselesaikan dengan cepat 40

Studi Kasus 11: Lahan Bu Marnis dijual saudara laki-lakinya: Sumpur, Sumatera Barat 43

Studi Kasus 12: ’Itu cuma kelebihan nafsu’ 44

Studi Kasus 13: Konfl ik antara Etnis Batak dan Minang di Kinali 46

Studi Kasus 14: Tembok berlinnya Lombok: Karang Genteng vs Patemon 49

Studi Kasus 15: Pertambangan Sari Gunung menciptakan Kekacauan 50

Studi Kasus 16: Penusukan di Kota – Resolusi Dua Jalur 52

Page 8: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

vi Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Daftar Istilah

Daftar Istilah

Awig-awig Aturan hukum adat (Lombok, Nusa Tenggara Barat)

BJS Barangay Justice System - Sistem Peradilan Barangay (di Filipina)

Bundo Kanduang Dewan adat perempuan, tidak termasuk dalam KAN (Sumatera Barat)

Carok Pertarungan kekerasan fi sik sampai mati (Madura, Jawa Timur)

Damang Pemimpin adat (Kalimantan Tengah)

Datuk Gelar adat turun-temurun yang diwariskan melalui garis matrimonial (garis ibu),

namun hanya untuk pria (Sumatera Barat)

GDS Governance and Decentralization Survey - Survei Pemerintahan dan Desentralisasi

Grosok Endapan lumpur atau kepingan sisa-sisa pertambangan kapur

KAN Kerapatan Adat Nagari -- Dewan Adat Nagari (Sumatera Barat)

KDRT Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Kyai Tokoh agama (Islam) di Jawa Timur dan Jawa Tengah, di Jawa Barat disebut Ajengan,

di Sumatera Barat disebut Buya, di Nusa Tenggara Barat disebut Tuan Guru

LAN Lembaga Adat Nagari -- Dewan Adat Nagari. Sama seperti KAN, namun penggunaan

istilah ini tergantung pada masing-masing Nagari

Let Adat Perangkat Adat (Kalimantan Tengah)

Mamak Paman dari garis keturunan ibu (Sumatera Barat)

Marga Kelompok kaum/keturunan/keluarga (Maluku)

Nagari Kelompok kecil adat berdasarkan wilayah atau desa (Sumatera Barat)

Negeri Unit pemerintahan terendah setingkat dengan desa (Maluku)

Ninik Mamak Garis keturunan tertua yang memegang gelar keturunan (Sumatera Barat)

Raja Di Maluku berarti pemimpin desa/pemimpin adat

Saniri Negeri Perangkat dewan adat (di Maluku)

Santet Ilmu hitam

Sasi Sanksi-sanksi berdasar adat, terkait upaya pemeliharaan lingkungan (Maluku)

Soa Kelompok suku/marga/kaum di Maluku

Tua Biroko Pengurus adat yang menyediakan informasi kepada masyarakat (Maluku)

Tuan Guru Tokoh/pimpinan agama Islam, biasanya mengasuh pesantren (NTB)

Page 9: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

viiMenemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Ringkasan Eksekutif

Ringkasan Eksekutif

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendokumentasikan proses peradilan non-negara (non-state justice) di tingkat desa, dengan fokus utama pada inklusifi tas sosial dan perspektif dari pihak-pihak

yang terpinggirkan. Laporan ini juga dimaksudkan untuk memahami dinamika perubahan di masyarakat dan

bagaimana menerjemahkannya dalam sebuah kerangka kerja yang mempertahankan kekuatan dan mengatasi

kelemahan peradilan non-negara. Laporan ini terdiri dari 34 kajian kasus etnografi yang dikumpulkan dari lima

provinsi di Indonesia selama lebih dari 18 bulan, serta data kuantitatif dari Survei Pemerintahan dan Desentralisasi

2006.

Hal ini merupakan masalah krusial bagi agenda pembangunan Indonesia. Sistem peradilan yang berjalan

baik merupakan faktor penting dalam menjaga ketertiban sosial dan untuk menjamin kepastian hukum yang

mendasari pertumbuhan ekonomi, serta memajukan dan melindungi hak asasi manusia. Pemerintah Indonesia

dan dunia peradilan telah juga berupaya melakukan pembaharuan meskipun belum seluruh persoalan

terselesaikan, khususnya penegakan keadilan untuk masyarakat miskin.

Kesimpulan utama

Bentuk utama penyelesaian sengketa; penting bagi kesejahteraan orang miskin. • Peradilan informal

merupakan bentuk utama penyelesaian sengketa. Bagaimana perselisihan itu dipecahkan memiliki dampak

sosio-ekonomi yang berarti bagi masyarakat miskin.

Mekanisme peradilan informal memiliki beberapa kekuatan yang nyata. • Hasil penelitian menunjukkan

bahwa untuk kasus kecil di tingkat komunitas, peradilan non-negara berjalan cepat dan efektif. Keberhasilan

tersebut tercermin pada tingkat kepuasan yang tinggi.

Namun juga memiliki kelemahan yang signifi kan. • Ketika kasus menjadi lebih besar dan kompleks, dan ada

keterlibatan relasi kuasa, tidak adanya standar peradilan yang jelas, tidak adanya pertanggungjawaban ke pihak

di atas dan di bawahnya, persinggungan yang kabur terhadap sistem hukum formal, serta dikombinasikan

dengan tingkat keterwakilan yang rendah dari perempuan dan kelompok minoritas, bisa menciptakan

kesewenang-wenangan. Dalam kondisi demikian, relasi kekuasa di tingkat lokal dan norma sosial yang

menentukan proses dan hasilnya, yang seringkali merugikan bagi pihak lemah dan tidak berkuasa.

Terdapat contoh perubahan yang positif, meskipuan hanya sedikit dan jarang. • Sistem politik dan

demokrasi yang makin terbuka menciptakan dinamika yang progresif yang dimanfaatkan oleh berbabagai

pihak di tingkat lokal untuk mengeksploitasi terbentuknya berbagai model penyelesaian sengketa yang lebih

inovatif dan inklusif. Kelompok masyarakat pro-reformis ini layak didukung.

Kenyataan keadilan di Indonesia dijalankan bukan di ruang sidang di kota-kota besar, tapi di balai desa

di penjuru nusantara. Temuan paling penting dalam penelitian ini adalah peradilan non-negara merupakan

bentuk utama dalam penyelesaian sengketa. Dalam konteks Indonesia, “peradilan non-negara” atau “peradilan

informal” pada dasarnya adalah “penyelesaian sengketa di-tingkat lokal” – arbitrase dan mediasi yang dilakukan

oleh kepala desa, para pemuka adat, tokoh masyarakat, dan tokoh agama – kadang-kadang didasarkan pada

tradisi, namun sering pula hanya berdasarkan pertimbangan subyektif para pemimpin warga tanpa dasar yang

jelas atau mengacu kepada hukum negara maupun hukum adat.

Page 10: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

viii Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Ringkasan Eksekutif

Pesan penting kedua adalah bagaimana berjalannya non-state justice akan sangat berdampak pada

stabilitas sosial dan kesejahteraan masyarakat miskin. Sebagaimana ditunjukkan pada tabel di bawah ini,

jenis sengketa yang paling sering dihadapi oleh masyarakat Indonesia adalah tindak pidana, sengketa tanah,

kekerasan dalam rumah tangga, warisan, perkawinan, dan perceraian. Individu dan komunitas yang tidak

mampu menyelesaikan sengketa tersebut mengalami dampak sosio-ekonomi yang besar. Efektivitas peradilan

informal menentukan apakah suatu konfl ik bisa diselesaikan secara damai atau justru berkembang mengarah

pada kekerasan. Konfl ik lahan seringkali tercatat sebagai masalah yang paling sulit dipecahkan dan yang paling

mungkin memicu kekerasan.

Tabel 1: Konfl ik regional berdasarkan jenis konfl ik

Tipe Konfl ik Indonesia Sumatera Jawa/Bali Kalimantan Sulawesi NTB/NTT Maluku

Pidana Umum 16.4% 15.6% 16.0% 10.9% 16.9% 24.2% 18.6%

Sengketa

Tanah/Gedung13.3% 9.6% 9.2% 14.2% 17.5% 23.3% 19.5%

Perselisihan Keluarga 10.9% 8.3% 11.0% 8.0% 9.8% 17.3% 15.3%

Penyalahgunaan

Wewenang 2.8% 1.7% 3.0% 2.4% 2.3% 4.0% 4.8%

KDRT 7.6% 5.1% 6.2% 5.2% 4.1% 13.8% 19.8%

Sengketa Pemilu 3.2% 1.3% 4.2% 1.8% 2.0% 2.6% 8.8%

SARA 2.0% 1.2% 1.7% 1.2% 3.4% 1.9% 3.9%

Secara keseluruhan, penyelesaian perselisihan informal bukan merupakan suatu sistem yang

menyeluruh dan koheren, namun merupakan serangkaian proses yang dijalankan oleh pihak yang

berpengaruh. Di beberapa lokasi penelitian, majelis adat setempat dengan struktur dan norma yang jelas

sudah terbentuk. Akan tetapi, secara umum lebih sering dijumpai proses tersebut yang dijalankan oleh para

kepala desa atau para pemimpin agama setempat yang berpengaruh. Mereka biasanya menyelesaikan sengketa

berdasarkan konsep keadilan lokal, atau pemikiran subyektif atas apa yang dianggap pantas, tanpa mengacu

kepada hukum negara, agama atau adat.

Pada kenyataannya, norma sosial dan kekuasaan yang biasanya menentukan hasil penyelesaian

perselisihan di tingkat lokal. Jadi, pada umumnya peradilan non-negara merupakan suatu lingkungan tanpa

hukum (“delegalized environment”). Hal tersebut dapat memudahkan pencapaian hasil mediasi yang fl eksibel.

Tetapi tanpa ada struktur atau norma yang jelas, para pelaku penyelesaian sengketa informal memiliki wewenang

yang sangat luas. Dimana norma sosial yang dominan, hubungan sosial dan relasi kuasa akan menjadi faktor

penentu. Akibatnya, jalan menuju keadilan tidak setara bagi semua orang. Pihak yang berkuasa melewati jalan

yang lancar; pihak yang lemah harus menghadapi jalan yang penuh hambatan.

Pemulihan harmoni masyarakat merupakan tujuan utama yang melandasi penyelesaian sengketa oleh

peradilan non-negara. Akan tetapi, tujuan untuk mempertahankan kerukunan sering disalahgunakan, menjadi

diartikan sama dengan upaya untuk menjaga status quo. Pencapaian keharmonisan lebih mengutamakan

hubungan komunal, dengan mengorbankan hak asasi dan keadilan individu. Sebaliknya, sistem peradilan formal

sering mengutamakan keadilan pribadi diatas kepentingan bersama. Keadaan ini menciptakan kondisi dimana

ketika mencari keadilan baik kepentingan individu ataupun kelompok, sama-sama tidak terlayani dengan baik.

Tujuan untuk mempertahankan harmoni juga melandasi sanksi yang dikenakan oleh sistem non-state

justice. Sanksi untuk sengketa pidana maupun perdata biasanya diukur dengan uang, menggabungkan unsur

hukuman dengan ganti rugi atas kerugian materiil. Penelitian di lapangan juga menemukan beberapa kejadian

hukuman fi sik, termasuk cambukan dan pemukulan, yang secara hukum di luar wewenang para pelaku non-

state justice .

Page 11: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

ixMenemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Ringkasan Eksekutif

Kekuatan dan Kelemahan

Untuk sebagian besar kasus kecil dan ringan, peradilan informal merupakan proses yang tepat dan

efektif. Dari empat belas kasus kecil yang tercatat dalam penelitian ini, sebelas kasus diselesaikan tanpa

kesulitan.

Secara keseluruhan, peradilan non-negara populer, mencerminkan kekuatannya. Para pelaku non-state

justice memiliki legitimasi dan otoritas lokal, yang tidak selalu dimiliki oleh para hakim dan polisi. Masyarakat

mencari bantuan dari para aktor non-state justice justru karena mereka memiliki legitimasi sosial di lingkungan

kampung. Lagipula, prosedur dan substansinya sesuai dengan pendapat umum yang mengutamakan

kerukunan. Tujuannya bersifat menghindari konfl ik dan bersifat restoratif; dan prosesnya bersifat cepat dan

sangat murah. Sifat-sifat tersebut sangat penting bagi masyarakat pedesaan yang saling bergantung satu sama

lain secara ekonomi dan sosial.

Akibatnya masyarakat puas dengan para pelaku peradilan informal – 69 persen responden menyatakan

kepuasannya pada aktor non-state justice dibandingkan dengan 58 persen responden puas dengan pelaku

peradilan formal.

Akan tetapi, penelitian ini menemukan beberapa kekurangan yang signifi kan dalam sistem peradilan

non-negara. Ketika kasus yang dihadapi semakin rumit, pihak dari luar desa turut campur tangan atau ketika

kepentingan perempuan yang dipertaruhkan, peradilan informal mulai terpecah.

Tidak adanya norma dan struktur yang jelas dan tidak adanya pertanggungjawaban keatas maupun

kebawah mengakibatkan terjadinya kesewenang-wenangan. Hal yang mendasari kekuatan peradilan

informal adalah otoritas sosial, namun pelaksanaannya tanpa kontrol sekaligus merupakan kelemahan

terbesarnya. Kelemahan tersebut biasanya dieksploitasi oleh pihak yang kuat sehingga merugikan pihak yang

lemah.

Perempuan kurang terwakili dalam lembaga penyelesaian sengketa di pedesaan. Dari dua pelaku peradilan

informal yang paling populer – kepala desa dan kepala dusun – hanya 3 persen dan 1 persen perempuan. Oleh

karena itu, masalah hukum yang menyangkut kepentingan perempuan sering diabaikan atau tidak ditanggapi

secara serius.

Persengketaan antar etnis sulit untuk dipecahkan. Khususnya dalam mekanisme tradisional berbasis adat,

pelaku penyelesaian sengketa hampir selalu merupakan kaum elit dari suku asli setempat. Kelompok minoritas,

terutama di daerah pasca konfl ik, secara konsisten cenderung memilih pengadilan formal, karena dinilai relatif

netral dan tidak mengandung prasangka.

Sengketa antar kelompok masyarakat juga merupakan masalah yang berat.. Para aktor non-state justice

jarang mampu menerapkan kewenganan mereka melampaui batas wilayah atau sosial. Dalam kasus yang

diteliti, lembaga desa tidak mampu memecahkan sengketa dimana perusahaan swasta – yang sering didukung

oleh pemerintah – turut terlibat. Kasus-kasus ini biasanya mengenai hak atas tanah dan kekayaan di dalamnya,

yang terbukti secara konsisten paling sulit dipecahkan. Ketidakberdayaan ini dapat memicu konfl ik horizontal di

tingkat desa.

Tidak adanya persinggungan yang jelas antara peradilan formal dan informal, khususnya berkaitan

dengan kewenangan yurisdiksi, menciptakan ketidakpastian hukum dan membuka kemungkinan

penyalahgunaan dan manipulasi. Polisi menentukan dan memilih apakah akan melakukan mediasi atau

penuntutan atas suatu kasus, tanpa prosedur resmi. Pengadilan wajib mempertimbangkan hasil penyelesaian

Page 12: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

x Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Ringkasan Eksekutif

sengketa informal, akan tetapi hakim sering mengabaikan kewajiban ini atau bingung tentang yang mana yang

merupakan proses hukum lokal yang sah dan yang tidak. Ketidakpastian tersebut membuat pihak yang lemah

dan tidak berpendidikan, yang tidak memiliki kemampuan untuk memahami atau bergerak di antara beberapa

sistem rentan dieksploitasi.

Kegagalan dalam mendefi nisikan persinggungan tersebut juga berarti bahwa para pelaku non-state justice seringkali memediasikan tindak pidana berat, seperti perkosaan dan pelecehan seksual. Hal ini sering

dilakukan dengan persetujuan atau dukungan dari pihak kepolisian setempat.

Kesenjangan Kebijakan

Meskipun pentingnya untuk menjaga stabilitas sosial dan kesejahteraan ekonomi serta kepopulerannya

di tingkat lokal, peradilan non-negara sangat diabaikan oleh pembuat kebijakan. Program reformasi

hukum dan peradilan dari pemerintah dan donor hampir selalu hanya memperhatikan lembaga negara. Cetak

Biru Mahkamah Agung dan program reformasi Kejaksaan Agung, berbagai macam komisi tingkat nasional yang

baru dibentuk, dan upaya reformasi hukum nasional didukung oleh bantuan donor sebesar lebih dari $60 juta

untuk meningkatkan kualitas keadilan di Indonesia.

Prakarsa tersebut penting, akan tetapi mengingat bahwa sebagian besar orang Indonesia tergantung

pada peradilan informal, kebijakan dan upaya reformasi hukum harus memberikan fokus yang

seimbang terhadap sistem tersebut. Sebuah strategi reformasi hukum yang menyeluruh harus menyoroti

peradilan informal apabila strategi tersebut ingin mencakup sistem yang merupakan satu-satunya pengalaman

keadilan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.

Pemerintah saat ini kurang memperhatikan masalah ini. Kebijakan dan peraturan perundang-undangan

pemerintah pusat penuh dengan pernyataan umum tentang pentingnya mengakui dan mendukung kewenangan

lembaga desa untuk menyelesaikan sengketa. Namun, pernyataan tersebut memerlukan penjelasan tambahan

agar menjadi berarti.

Pemerintah kota/kabupaten memiliki peluang dengan adanya otonomi daerah. Proses desentralisasi

telah memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur bentuk dan struktur pemerintahan

desa, termasuk mekanisme penyelesaian sengketa. Hal tersebut memungkinkan terbentuknya struktur baru

untuk mengatasi konfl ik antar etnis, meningkatkan keterwakilan perempuan, dan mengatasi sengketa antar

masyarakat. Akan tetapi, tidak ditemukan contoh pengaturan kembali atas lembaga tersebut selama penelitian

lapangan.

Faktanya, di Sumatera Barat, Maluku, dan Kalimantan Tengah, kewenangan tersebut telah digunakan

untuk menghidupkan kembali struktur pemerintahan berdasarkan hukum adat. Upaya untuk kembali

ke “cara lama” dimaknai untuk menegaskan kembali identitas budaya asli. Penelitian ini menunjukkan bahwa

pengaktifan kembali lembaga adat kemungkinan tidak akan dapat mengatasi masalah utama yang telah

diidentifi kasi terkait kebutuhan akan perlakuan yang lebih setara terhadap perempuan dan kaum minoritas.

Beberapa unsur masyarakat madani mendesak diadakannya pengakuan menyeluruh atas mekanisme

peradilan informal. Akan tetapi, desakan tersebut mengabaikan tidak adanya standar minimum, tidak adanya

pengawasan dan kelemahan mendasar dalam pelaksanaan peradilan informal yang telah diidentifi kasi dalam

peneilitian ini.

Page 13: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

xiMenemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Ringkasan Eksekutif

Peluang untuk Perubahan

Otonomi daerah merupakan sebuah peluang untuk perubahan. Meskipun tidak ditemukan contoh

reformasi yang substantif di tingkat daerah, perbincangan dengan ratusan pejabat pemerintah, anggota

parlemen, aktivis, pemuka desa dan anggota masyarakat biasa selama pelaksanaan penelitian ini menunjukkan

bahwa terdapat pihak-pihak yang mendukung perubahan. Pihak-pihak tersebut dapat dan harus didukung

untuk mengadvokasikan peraturan daerah yang mendukung sistem peradilan informal yang lebih inklusif dan

akuntabel.

Perubahan yang inovatif di tingkat akar rumput telah teridentifi kasi. Kelompok perempuan di Sumatera

Barat telah memanfaatkan potensi emansipasi dalam meningkatkan kesadaran hukum dan mobilisasi masyarakat

untuk mengubah prosedur dan struktur adat. Persatuan desa Perekat Ombara di Lombok Barat memiliki

pandangan yang progresif tentang adat yang mengakui bahwa adat istiadat setempat perlu beradaptasi

dengan realitas modern, termasuk keterwakilan perempuan. Kesadaran hukum dan pendidikan hukum telah

terbukti membuka berbagai pilihan dan membuat sistem formal lebih mudah diakses oleh semua pihak. Dengan

mengurangi monopoli para pelaku peradilan non-negara, kesadaran akan hak dapat memberdayakan pihak

yang terpinggirkan untuk mendapatkan keadilan yang lebih baik. Contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa

prakarsa pemberdayaan masyarakat di tingkat akar rumput juga dapat mendorong upaya reformasi institusional

yang sistematik.

Rekomendasi

Pentingnya peradilan informal berarti bahwa strategi yang menyeluruh untuk mendukung penegakan

hukum di Indonesia harus mempertimbangkan hal-hal di luar pengadilan. Strategi reformasi hukum dan

peradilan yang berbasis pada pengacara, litigasi dan institusi formal semata tidak menjangkau masyarakat miskin

di pedesaan. Namun demikian, merancang suatu strategi menyeluruh terhambat oleh banyaknya ragam pelaku,

lembaga dan proses yang terlibat. Upaya pembaharuan tersebut kemungkinan betentangan dengan norma

sosial dan struktur kekuasaan yang telah baku – dan norma tersebut tidak dapat dengan mudah dihapuskan

dengan mengeluarkan peraturan perundang-undangan atau pernyataan kebijakan baru.

Memang dapat dikatakan bahwa begitu rumitnya peradilan informal sehingga seolah-olah tidak ada

yang dapat dilakukan. Terdapat dua alasan pembenar untuk menerapkan pendekatan “tidak melakukan apa-

apa”. Pertama, memberikan dukungan kepada peradilan non-negara akan hanya memberikan “peradilan yang

buruk” bagi masyarakat miskin. Dengan demikian, sumberdaya harus diarahkan untuk menjadikan sistem formal

berjalan lebih efektif. Alasan kedua adalah bahwa peradilan informal terlalu rumit dan melekat secara sosial dan

oleh karena itu bukan sasaran yang tepat untuk kegiatan intervensi dari pihak luar.

Pihak lainnya memiliki sikap yang berbeda, dengan beranggapan bahwa praktik lokal merupakan

hal yang ideal dan mendesak adanya pengakuan menyeluruh dari negara atas mekanisme peradilan

informal. Pendekatan ini juga memiliki kelemahan, karena mengabaikan tidak adanya standar minimum dan

tidak adanya pengawasan efektif, yang diidentifi kasikan sebagai suatu kelemahan dalam studi ini.

Di tengah-tengah, terdapat sudut pandang yang lebih realistis; sebuah titik keseimbangan. Peradilan

informal merupakan cara utama untuk menyelesaikan sengketa. Peradilan informal telah terbukti sangat andal.

Oleh karena itu, sistem informal seharusnya menjadi unsur penting yang dipertimbangkan dalam setiap program

yang mendukung penegakan hukum. Akan tetapi, penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat beberapa

masalah yang serius terkait dengan peradilan informal yang perlu ditangani oleh pemerintah dan masyarakat

madani.

Page 14: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

xii Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Ringkasan Eksekutif

Laporan ini mengusulkan sebuah kerangka kerja untuk membangun “titik keseimbangan” antara praktik

peradilan non-negara yang berlaku saat ini dan sistem peradilan formal. Pendekatan ini berupaya untuk

mengawinkan aksesibilitas sosial, kewenangan dan legitimasi proses hukum informal dengan akuntabilitas

kepada masyarakat dan negara. Titik keseimbangan ini berupaya untuk mengakomodasikan berbagai konteks

sosial budaya, adat istiadat dan kebiasaan namun secara bersamaan menetapkan prinsip umum untuk

melindungi pihak yang terpinggirkan. Dengan berdasar pada UUD 1945, prinsip tersebut antara lain adalah: (i)

keterwakilan dengan basis yang luas; (ii) pertanggungjawaban publik dan transparansi; (iii) anti-diskriminasi; (iv)

kesetaraan di depan hukum; dan (v) kebebasan dari penyiksaan.

Rekomendasi tersebut tidak bertujuan untuk menciptakan peradilan informal yang ideal atau sempurna,

tetapi untuk mengatasi dua kelemahan utama: (i) mengatasi kesewenang-wenangan dan menyeimbangkan

otoritas sosial dengan akuntabilitas sosial; dan (ii) meningkatkan kinerja peradilan non-negara dalam melayani

perempuan dan kelompok minoritas.

Pembentukan titik keseimbangan tersebut memerlukan gabungan perubahan di tingkat kebijakan,

peraturan perundang-undangan dan akar rumput. Perubahan tersebut harus memberdayakan pihak yang

lemah dan terpinggirkan, meningkatkan kualitas pelaksanaan peradilan dan menetapkan standar minimum yang

jelas melalui reformasi peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, tindakan yang direkomendasikan

terdiri atas empat tingkatan.

Pertama, lakukan kegiatan di tingkat 1. akar rumput untuk mendukung pertanggungjawaban ke bawah

dan memberdayakan pihak yang lemah dan terpinggirkan untuk menuntut layanan dengan kualitas

yang lebih baik dari peradilan informal. Hal tersebut merupakan prioritas yang paling penting karena

kegiatan tersebut mengatasi kelemahan utama yang dihadapi.

Prioritas kedua adalah untuk melakukan kegiatan di 2. tingkat menengah untuk mengembangkan

kapasitas dan keterampilan teknis dari lembaga dan pelaku peradilan informal.

Prioritas ketiga 3. di luar desa untuk meningkatkan akses terhadap sistem peradilan formal guna membuka

pilihan dan memperluas ”bayangan” hukum.

Untuk mendasari kegiatan di tingkat akar rumput, prioritas terakhir adalah 4. perubahan kebijakan

pemerintah pusat dan daerah untuk mendukung pertanggungjawaban ke atas dengan membuat (i)

pedoman tingkat nasional yang memperkuat persinggungan dengan sektor formal; dan (ii) peraturan

daerah untuk melembagakan serangkaian prinsip untuk peradilan non-negara yang adil dan inklusif

sehingga sesuai dengan standar konstitusi.

Page 15: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

xiiiMenemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Ringkasan Eksekutif

Prioritas tersebut dituangkan dalam tabel di bawah ini.

Tingkat Tindakan Prioritas

Akar Rumput/ Masyarakat Memberdayakan perempuan dan kelompok minoritas melalui peningkatan kesadaran akan hak

Membuat agar para pelaku peradilan non-negara bertanggung jawab ke bawah dengan menjadikan posisi mereka sebagai posisi yang harus dipilih oleh

masyarakat

Membuka akses terhadap sistem formal melalui program pendidikan hukum dan pengadilan keliling

Mendukung mobilisasi dan organisasi sosial untuk mengatasi sengketa antara masyarakat dan pihak luar

Lembaga Desa dan Pelaku

Peradilan informal

Mengembangkan keterampilan dan kemampuan para pelaku peradilan non- negara untuk menyelesaikan sengketa secara profesional

Mendukung klarifi kasi berbagai struktur dan norma yang berlaku di dalam sistem peradilan informal

Mendukung keterwakilan perempuan dan kelompok minoritas di lembaga desa Tingkat Kabupaten/Kota Membuat suatu kerangka peraturan daerah yang menjunjung tinggi standar

konstitusi yang menjamin hak banding, sanksi yang manusiawi dan keterwakilan

perempuan dan kelompok minoritas

Mengembangkan pertanggungjawaban ke atas dengan mendukung pemantauan dan pengawasan atas peradilan informal oleh masyarakat madani dan pemerintah

Tingkat Nasional Mengeluarkan Surat Edaran pengadilan yang mengklarifi kasikan yurisdiksi peradilan non-negara vis-a vis pengadilan

Membentuk Community Justice Liaison Unit (Unit Penghubung Peradilan Komunitas)

di Departemen Hukum dan HAM untuk mendorong keselarasan dan konsistensi

antara peradilan negara dan non-negara (seperti model di Papua Nugini).

Rekomendasi dalam laporan ini mengkerangkakan sebuah kerangka kerja yang pragmatis untuk mencapai

perubahan mendasar yang dapat secara bertahap meningkatkan keadilan bagi pihak yang terpinggirkan.

Berbagai elemen dari kerangka kerja tersebut akan dapat diberlakukan hanya di beberapa lokasi saja, sehingga

tindakan harus disesuaikan dengan kondisi setempat dan didasarkan pada kenyataan yang ada.

Rekomendasi yang luas yang telah diidentifi kasi disini dapat melengkapi reformasi tingkat nasional dengan

cara memfokuskan bantuan pada tingkat yang paling membutuhkannya, sehingga memungkinkan masyarakat

miskin dan terpinggirkan untuk menyelesaikan sengketa mereka dan mendukung upaya reformasi Indonesia.

Page 16: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

xiv Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Pengantar

Pengantar

Studi Kasus 1: Perkelahian di pasar dalam bayangan konfl ik etnis

Marhat adalah seorang penjual ikan yang sukses di Pasar Induk Kuala Kapuas, di tepi sungai Kapuas, Kalimantan Tengah. Dia

besar di daerah tersebut, tapi berasal dari suku Banjar. Kombit adalah seorang petugas di pasar dan berasal dari suku Dayak.

Upah dari pekerjaannya rendah dan dia hidup bersama keluarganya di komplek perumahan sederhana di daerah pinggiran

kota.

Kombit dan Marhat memiliki hubungan yang tidak baik. Dalam beberapa kesempatan, Kombit telah memperingatkan

Marhat untuk berhenti berdagang di wilayah terlarang di pasar tersebut. Kesal dengan peringatan tersebut, suatu hari Marhat

membentak dan mendorong jatuh Kombit. Mereka berkelahi dan melukai lengan Kombit. Kombit melaporkan kejadian itu ke

atasannya, Ramses, yang kemudian melaporkan kejadian tersebut ke polisi.

Ramses khawatir bahwa peristiwa itu diantara dua pihak yang berbeda suku. Dia tahu beberapa stafnya terlibat dalam konfl ik

etnis di Kalimantan Tengah yang memakan ribuan korban di tahun 2001 dan oleh karena itu, penting menangani kekerasan

antaretnis di pasar dengan tegas. Dia mengamati bahwa kejadian di tahun 2001 itu merupakan akibat serangkaian sengketa

kecil yang tidak terselesaikan; yang perlahan-lahan “meledak”. Ramses dan Kombit memilih untuk menyelesaikan masalah

dengan mendatangi polisi, karena seperti kata Ramses, ‘hukum polisi lebih dikenal disini...damang [tokoh adat] tidak terlalu

berwibawa di daerah ini.’

Segera setelah kasus tersebut dilaporkan, Kombit dan Marhat dipanggil polisi untuk memberikan kesaksian. Penyelidikan

berjalan berbulan-bulan, karena Marhat menyuap polisi untuk menutup kasus. Setelah beberapa waktu, Marhat melihat

Kombit tetap berupaya menyelesaikan kasus dan dia minta kasus ditarik dan diserahkan kepada damang.

Akhirnya Marhat berhasil meyakinkan Kombit dan Ramses akan penyesalannya yang dalam dan keinginannya untuk

menyelesaikan masalah secara kekeluargaan di luar pengadilan. Beberapa teman Marhat dari PERKEBAN (Asosiasi

Masyarakat Suku Banjar) juga mengancam Kombit dengan kekerasan jika dia tidak menarik tuntutan di polisi. Karena faktor

tersebut dan ditambah dengan frustasi terhadap lamanya proses hukum, Kombit dan Ramses setuju untuk menyerahkan

kasus tersebut pada damang. Ramses secara khusus merasa tidak mempunyai pilihan lain. ‘Secara hukum nasional, saya

tidak puas,’ katanya.

Setelah proses pengumpulan data dan pertimbangan yang dalam dengan Dewan Adat, Damang memutuskan total

kompensasi dan denda sebesar Rp. 6 juta, termasuk biaya kasus Rp.600.000. Kedua pihak menandatangani persetujuan ini,

tapi Marhat hanya membayar Rp.1,5 juta. Tidak ada tindak lanjut untuk memenuhi persetujuan. Damang hanya bersikap

pasif. ‘Bagaimana bisa saya menyelesaikannya?’ ujarnya. Kombit tidak puas, tapi seperti kata Ramses, ‘dianggap lunas saja.’

Kasus ini menunjukkan masalah yang biasa dihadapi rakyat Indonesia ketika berupaya menyelesaikan masalah

hukum. Sekilas masalah ini terlihat sederhana, tapi penyelidikan mendalam membuktikan adanya penyuapan,

intimidasi, kelambanan polisi dan bayangan kekerasan suku. Proses resolusi bolak-balik antara pelaku keadilan

formal dan informal, dan ketika penyelesaian telah didapat, pelaku penyelesaian sengketa tidak memiliki

keinginan atau kemampuan untuk menegakkan perjanjian perdamaian. Terpaksa mengikuti proses yang tidak

diinginkan, resolusi hanya menyebabkan pihak yang lemah kecewa, sehingga sangat memungkinkan masalah

ini akan terjadi lagi.

Ketika akses terhadap keadilan menjadi sangat penting untuk kerukunan sosial dan kesejahteraan masyarakat,

tindakan apa yang harus dilakukan untuk menangani kelemahan dan mengatasi ketidaksamaan yang

ada? Melalui penyelidikan konteks sosial dan politik, studi kasus dan pengumpulan data survei, laporan ini

mempertimbangkan masalah tersebut dan berusaha mengajukan beberapa solusi.

Page 17: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

1Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian I: Pendahuluan

Bagian I:

Pendahuluan

“[ Negara ] adalah korup…terpisah dan jauh dari masyarakat, yang melihat, tanpa adanya alternatif yang dapat

berjalan, ke cara lama yang menjamin keberlangsungan. Namun cara lama bukan seperti dahulu lagi, dilemahkan

oleh migrasi tenaga kerja, industrialisasi parsial, urbanisasi dan lebih umum lagi oleh kapitalisme.”

H. Patrick Glenn, Legal Traditions of the World1

“Jika kita mengetahui bagaimana memanfaatkan aspek positif dari keadilan tradisional dan mengidentifi kasi

kelemahannya sebagai mekanisme dengan nilai-nilainya, keadilan tradisional (dengan kata lain, keadilan yang

diterapkan masyarakat) akan memainkan peranan penting dalam mencegah masalah kecil berkembang menjadi

konfl ik besar, termasuk konfl ik dalam keluarga atau didalam dusun diantara satu dengan yang lain”

Xanana Gusmao, Perdana Menteri Timor Leste2

1 2

Berfungsinya sistem peradilan dengan baik sangat penting dalam memelihara ketertiban sosial, menjamin

kepastian hukum yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan untuk memajukan dan memberikan

perlindungan hak asasi manusia. Pemerintah Indonesia dan dunia peradilan telah juga berupaya melakukan

pembaharuan meskipun belum seluruh persoalan terselesaikan, khususnya penegakan keadilan untuk masyarakat

1 H. Patrick Glenn ( 2000) Legal Traditions of the World, Oxford: Oxford University Press, hal.77.

2 Jose ‘Kay Rala Xanana’ Gusmao, ’Pidato Pembukaan Presiden’, yang disampaikan pada saat Konferensi Internasional Penyelesaian Konfl ik

Tradisional dan Keadilan Tradisional di Timor-Leste, Dili, 27 Juni 2003.

Foto : Taufi k Rinaldi

Page 18: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

2 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian I: Pendahuluan

miskin. Warga negara merasa sektor keadilan berjalan lambat, korup dan berjarak.3 Pemerintah sendiri mengakui

adanya kelemahan tersistem.4 Upaya pembaharuan hukum untuk mengatasi kelemahan tersebut sudah cukup

kuat dalam mendiagnosa tetapi lamban dalam perkembangannya.

Tetapi penciptaan keadilan tidak hanya menjadi tanggung jawab negara secara eksklusif. Kebanyakan orang

Indonesia mencari penyelesaian masalah hukum mereka melalui sektor informal atau sistem keadilan non-

negara. Keadilan non-negara sering dianggap sebagai alternatif penyelesaian sengketa, tapi dalam kenyataannya

merupakan media utama bagi sebagian besar warga miskin. Barangkali sebanyak 90 persen dari perselisihan

ditangani oleh insititusi non-negara.5

Dalam konteks Indonesia, “peradilan non-negara” adalah “penyelesaian perselisihan di tingkat lokal” – arbitrasi

dan mediasi yang dilakukan oleh kepala desa, pemimpin adat, tokoh masyarakat dan pemuka agama, terkadang

berdasarkan tradisi, namun tidak jarang perselisihan ini diselesaikan secara subyektif oleh pemimpin komunitas

tanpa mengacu kepada hukum negara atau hukum adat.

Untuk kepentingan laporan ini, “peradilan non-negara” atau “peradilan informal” didefi nisikan sebagai semua

bentuk penyelesaian sengketa di luar proses ajudikasi pengadilan formal.6 Ini termasuk sistem hukum adat

sebagai salah satu bagiannya.

A. Pentingnya Peradilan Non-Negara di Indonesia Seperti digambarkan di kasus yang di atas, peradilan informal penting untuk beberapa alasan. Sebagai alat utama

untuk menyelesaikan perselisihan, efektivitasnya menentukan apakah konfl ik dapat dipecahkan dengan damai

atau meledak menjadi kekerasan. Ketika sistem formal lemah dan rentan penyuapan, apabila sistem peradilan

non-negara tidak berfungsi, alternatif penyelesaian lain adalah kekerasan atau pengabaian konfl ik. Hal ini juga

bisa mengarah menjadi kekerasan di kemudian hari.7 Ketidakadilan dan pengabaian konfl ik atas akses terhadap

sumber daya alam selama era Orde Baru merupakan dua diantara beberapa penyebab kekerasan sosial yang

3 Asia Foundation (2001) Citizens’ Perceptions of the Indonesian Justice Sector, Jakarta: Asia Foundation. Bagan mengenai sistem hukum

formal adalah di Lampiran 3.

4 Sebagai contoh, pernyataan Menteri Koordinator Bidang Hukum, Politik, dan Keamanan yang disampaikan dalam pertemuan

Consultative Group on Indonesia pada tanggal 14 Juni 2006, ”Orang-orang belum melihat keadilan nyata dikarenakan oleh persepsi

bahwa lembaga yudikatif yang korup telah merasuk kedalam sistem dan menyebar keseluruh sektor.”

5 Lihat Stephen Golub (2003) ‘Beyond Rule of Law Orthodoxy: the Legal Empowerment Alternative’, Working Paper No. 14, Carnegie

Endowment for International Peace: Washington DC dan Chidi Anselm Odinkalu (2005) ‘Poor Justice or Justice for the Poor? A View from

Africa,’ yang dipresentasikan pada World Bank Legal Development Forum, Washington DC, Desember 2005. Menurut Asia Foundation

(2001), di atas n.3, dari orang Indonesia yang telah benar-benar mengalami sebuah persengketaan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir,

57 persen mengejar penyelesaian di luar sistem formal, 18 persen menggunakan sistem formal dan 32 persen tidak melakukan apapun.

Keseganan terhadap litigasi juga merupakan hal yang umum di negara-negara maju. Di Australia, sebagai contoh, hanya 6 persen dari

sengketa komersiil yang sampai di pengadilan: Australian Law Reform Commission (1998), Issues Paper 25, Review of the Adversarial

System of Litigation, Canberra: Commonwealth of Australia. Michelson mengutip riset [yang] menyatakan sekitar 15 persen sengketa

di Amerika Serikat, Wales dan Inggris masuk kedalam sistem hukum formal: Ethan Michelson ( 2007) ‘Climbing the Dispute Pagoda:

Grievances and Appeals to the Offi cial Justice System in Rural China.’ 72 American Sociological Review 459, 461.

6 Ini tidak menunjukkan bahwa ada perbedaan yang jelas antara sistem negara dan peradilan non-negara atau formal dan informal.

Beberapa proses “informal” juga mengikuti proses formal dan dapat melibatkan anggota-anggota aparat negara (terutama polisi dan

pegawai pemerintah daerah). Lagipula, penyelesaian sengketa informal kadang-kadang mempergunakan peraturan dan sumber yang

lain dari sistem hukum formal.

7 Pengabaian konfl ik ‘di permukaan tampak tenang dan damai, namun ada gunung berapi yang tersembunyi dibawah permukaan.’

Thomas Zitelmann (2005) “The Cambodian Confl ict Structure. Confl ict about land in a wider perspective.” GTZ: Phnom Penh.

Page 19: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

3Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian I: Pendahuluan

terjadi di Maluku, Kalimantan, Sulawesi dan wilayah lain di Indonesia pada masa setelah reformasi.8

Penyelesaian masalah yang efektif juga sangat krusial bagi kesejahteraan masyarakat miskin. Laporan ini meneliti

sejumlah kasus yang menggarisbawahi hubungan antara keadilan dengan kemiskinan – keluarga di pedesaan

secara melanggar hukum diambil lahannya oleh perusahaan perkebunan di Sumatera Barat; anak yang diadopsi

yang tidak diberikan warisan di Jawa Timur; perempuan yang bercerai tidak bisa mendapatkan haknya atas harta

gono-gini di Kalimantan Tengah. Semuanya tergantung pada sistem keadilan informal untuk menjamin hak

ekonominya. Kegagalan yang terjadi pada kasus-kasus tersebut membuat mereka harus menghadapi kenyataan

terpinggirkan secara ekonomi dan sosial.

Popularitas keadilan non-negara adalah respon alami atas ketidakmampuan negara memenuhi permintaan

masyarakat untuk mendapatkan keadilan.9 Tapi itu juga merefl eksikan karakteristik di dalamnya yang justru cocok

dengan kondisi lokal. Peradilan non-negara melekat dalam realitas politik dan sosial di tingkat lokal. Pelaksana

keadilan di luar negara mempunyai legitimasi dan otoritas yang tidak selalu dimiliki oleh polisi atau hakim.

Prosedur dan substansi sesuai dengan pendapat umum yang mengutamakan pentingnya harmoni. Tujuannya

bersifat menghindari konfl ik dan restoratif; dan prosesnya bersifat cepat dan sangat murah. Sifat-sifat tersebut

sangat penting bagi masyarakat pedesaan yang saling bergantung satu sama lain secara ekonomi dan sosial.

Tetapi ada masalah dengan praktik non-state justice pada saat ini. Yang paling mendasar, peradilan informal

mengabaikan kepentingan kelompok minoritas dan perempuan. Banyak pelaku peradilan non-negara di tingkat

desa kurang mampu menyelesaikan masalah. Ketidakseimbangan kekuasaan menghalangi perlakuan yang

sama dan mengakibatkan pihak yang lemah sering terpaksa menerima penyelesaian yang tidak diinginkan

atau tidak mampu menerapkan putusan yang telah disepakati. Hal ini menyebabkan banyak konfl ik yang

hanya diselesaikan secara parsial, dengan kemungkinan bisa muncul lagi dalam bentuk kekerasan. Lagipula,

persinggungan yang kurang jelas antara peradilan formal dan informal, khususnya berkaitan dengan yurisdiksi

kewenangan masing-masing, menciptakan ketidakpastian hukum dan membuka peluang terjadinya manipulasi

dalam menyelesaikan konfl ik. Oleh karena itu, terlihat adalah, meskipun diluar kewenangannya kasus pidana

berat dapat dimediasikannya pada tingkat lokal, bahkan seringkali justru memperkuat struktur kekuasaan yang

ada diatas tercapainya keadilan untuk para korban.

Namun, meski non-state justice sangat penting untuk stabilitas, keamanan dan kesejahteraan warga miskin,

sangat mengagetkan ketika tidak banyak dokumentasi mengenai bagaimana masyarakat menggunakan sistem

peradilan informal untuk mencari keadilan di Indonesia. Bahkan sedikit kebijakan pemerintah yang ada yang

dimaksudkan untuk membuat sistem ini lebih adil dan inklusif secara sosial.

Hal ini apabila dibandingkan dengan program reformasi hukum dan peradilan pemerintah dan lembaga donor

yang lebih terfokus pada institusi negara. Ini terjadi karena pengadilan, kejaksaan dan kepolisian lebih mudah

dilihat, dijangkau dan dimengerti. Paling tidak untuk organisasi donor, lembaga ini juga jauh lebih dikenal. Ini juga

disebabkan cara kerja peradilan non-negara kurang dipahami. Perumusan kebijakan yang tepat untuk keadilan

informal sangat kompleks karena diversitas institusi, norma dan proses dalam ”sistem” tersebut. Sehingga,

strategi komprehensif untuk reformasi hukum dan peradilan harus mengangkat peradilan non-negara apabila

8 Pada puncaknya, konfl ik sosial mempengaruhi 7 dari [pada masa itu] 32 propinsi di Indonesia. Menurut pengamatan Jakarta Post, ‘Konfl ik

antar suku di Maluku berakar dari pemerintahan yang lemah, kesenjangan antara rakyat kaya dan miskin yang semakin merenggang, dan

ketidakadilan.’ Jakarta Post, ‘Maluku, Kalimantan Strife “Lingering”’, 1 May 2006. Untuk informasi tambahan, lihat International Crisis Group

(2001) Communal Violence in Indonesia: Lessons from Kalimantan, Asia Report No 19; dan International Crisis Group (2000) Indonesia’s

Maluku Crisis: the Issues, Indonesia Briefi ng Paper, 19 July.

9 Hal ini yang oleh Faundez disebut sebagai “pemerintahan yang belum mampu” (governance defi cit). Lihat Julio Faundez (2006) ‘Should

Justice Reform Projects Take Non-State Justice Seriously? Perspectives from Latin America.’ Makalah dipaparkan di World Bank Legal

Development Forum, Washington DC, Desember 2005.

Page 20: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

4 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian I: Pendahuluan

bercita-cita menjangkau sistem yang menjadi satu-satunya pengalaman keadilan untuk sebagian besar warga

Indonesia.

Laporan ini bertujuan untuk memberikan kontribusi kecil dalam membantu mengisi kesenjangan informasi dan

kebijakan ini. Penelitian ini dilakukan secara eksplisit untuk mengidentifi kasi kerangka kerja untuk memperkuat

inklusivitas sosial dan efektifi tas kerja sistem peradilan non-negara. Secara spesifi k, tujuan dari laporan ini

adalah:

Mendokumentasikan proses, preferensi dan praktik sistem peradilan non-negara di Indonesia, • dengan perhatian khusus pada inklusifi tas sosial dari proses ini dengan fokus pada pengalaman

kelompok minoritas dan perempuan

Meneliti prakarsa dan inovasi lokal untuk pembaharuan peradilan non-negara • Mengembangkan sebuah kerangka kerja yang memadukan sistem peradilan non-negara yang • menghormati tradisi lokal tetapi didasarkan pada standar Undang Undang Dasar Republik

Indonesia

Fokus pada inklusifi tas sosial berdasarkan asumsi bahwa bias gender merupakan salah satu penyebab utama

kemiskinan;10 dan bahwa diskriminasi etnis adalah inti dari konfl ik sosial yang melanda Indonesia sejak jatuhnya

rezim Soeharto. Memahami bagaimana peradilan informal mempertahankan bias gender dan diskriminasi

etnis dan pada saat yang sama bagaimana bisa menjadi bagian dari solusi adalah salah satu hasil utama yang

diharapkan dari studi ini.

B. Pendekatan Kebijakan Pemerintah Terhadap Non-State Justice di Indonesia

Sebagaimana yang berlaku di hampir sebagian besar negara berkembang, sistem hukum di Indonesia adalah

pluralistik. Yaitu bahwa aturan dan institusi hukum berasal dari dua atau lebih tradisi hukum. Tantangan kebijakan

untuk memadukan non-state justice dalam kerangka kerja hukum nasional bukanlah suatu hal yang baru. Bahkan,

sepanjang sejarah kolonialisme dan setelah kemerdekaan, pemerintah terus bergulat dengan pertanyaan

bagaimana mendekati peradilan informal dan mengakomodasi sistem hukum yang beragam.

Ada empat pendekatan umum untuk menjangkau non-state justice.11 Abolisi adalah ketika negara bersikeras

terhadap keseragaman atau penyatuan hukum dan menghapuskan sistem peradilan non-negara. Pendekatan

ini sering didasarkan kecenderungan peradilan non-negara bertentangan dengan hak asasi manusia. Pada

sisi ekstrim yang lain, penyatuan penuh (full incorporation) adalah pendekatan dimana peradilan non-negara

secara penuh terintegrasi dengan sistem hukum negara, dengan peran masing-masing yang jelas. Di bawah

pendekatan kemandirian (non-incorporation), komunitas lokal diberikan wewenang untuk menerapkan dan

mengikuti nilai, norma dan kebiasaan lokal. Pada pendekatan ini, peradilan formal dan informal berdampingan/

hidup bersama tapi beroperasi secara mandiri, dengan batasan yurisdiksi yang ketat diantara keduanya.

Pendekatan ini sering digunakan untuk mengakomodasi hukum tradisional di dalam komunitas masyarakat

asli. Terakhir, usaha pendekatan penyatuan parsial (partial incorporation) berusaha untuk menggabungkan

keuntungan dan kekurangan dari peradilan formal dan informal. Kedua sistem bekerja secara independen, tetapi

sistem keadilan informal mendapat pengakuan, dampingan dan pengawasan dari negara. Model terakhir ini

merupakan kompromi antara penyatuan penuh dan kemandirian.

10 Sebagai contoh, diperkirakan bahwa Indonesia mengalami kerugian sebesar $2.4 milyar per tahun, dikarenakan oleh ketidaksetaraan di

tempat kerja: lihat Bappenas/World Bank/AusAID/ADB/DFID (2007) Gender in CDD Projects: Implications for PNPM.

11 Connolly, B. (2005) ‘Non-State Justice Systems and the State: Proposals for a Recognition Typology’, 38 Connecticut Law Review 239.

Page 21: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

5Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian I: Pendahuluan

Di Indonesia terjadi fl uktuasi antara penyatuan penuh (minimal secara retorika), abolisi dan kemandirian.

Pendekatan Historis

Ketika Indonesia merdeka pada tahun 1945, warisan sistem hukum terdiri dari kombinasi pengaruh hukum

tradisi, kolonial dan Islam. Pemerintah kolonial Belanda menghadapi keadaan ini dengan menerapkan hukum

secara berbeda berdasarkan kelompok etnis. Artinya, orang Eropa mengikuti hukum Belanda, sedangkan orang

Indonesia menjadi subyek hukum adat. Hukum adat sendiri sangat beragam–ada sekitar 300 kelompok etnis

yang masing-masing memiliki hukum adat sendiri.12

Secara kelembagaan, status mekanisme peradilan desa juga bermacam-macam, merefl eksikan ketegangan antara,

pada satu sisi pengakuan keberagaman, dan pada sisi lain keinginan untuk kesatuan hukum dan “modernitas”.

Hingga 1874, yang disebut Pengadilan Pribumi beroperasi sesuai dengan hukum dan prosedur adat. Pada 1874-

1935, pengakuan terhadap pengadilan ini dibatalkan, meski dalam praktiknya tetap berlangsung. Pada 1935,

pemerintah kolonial menghidupkan kembali peradilan desa dengan mewajibkan hakim mempertimbangan

hasil Dewan Adat di pengadilan negeri.13

Ketika Republik baru dibentuk pada tahun 1945, kebijakan nasional mengajukan keseragaman sistem hukum.

Secara institusional, pluralisme hukum dipandang sebagai sesuatu yang bertentangan dengan kedudukan

sebagai negara merdeka dan modernitas.14 Namun demikian, konstitusi beserta dengan amandemennya

kemudian telah memberikan pengakuan bersyarat terhadap hukum adat.15 Pengakuan ini sangat terbatas.

Hakim ‘wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam

masyarakat’.16 Dukungan untuk peradilan non-negara juga direfl eksikan dalam dokumen kebijakan nasional

pemerintah seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2004-2009, dimana dinyatakan bahwa hukum

adat perlu dihormati dan diperkuat.17 Disamping pernyataan dan retorika di atas, sebagaimana dinyatakan

oleh Lindsey, ‘Adat adalah sumber hukum cadangan yang hanya diterapkan secara informal atau jika tidak ada

peraturan perundang-undangan yang mengatur.’18 Hukum negara tertulis selalu diutamakan dibandingkan

hukum adat.

Dan walaupun hakim wajib mempertimbangkan hasil dari peradilan non-negara, pada kenyataannya mereka

bebas untuk mengabaikannya, dan banyak berlaku seperti itu.

Pendekatan Kontemporer: Dampak Desentralisasi

Kebijakan pemerintah mengenai kebutuhan untuk menghormati dan memperkuat pengakuan terhadap

peradilan non-negara hanya retorika saja. Akan tetapi, walaupun peradilan tetap menjadi fungsi pemerintah

12 Szczepanski, K (2002) ‘Land Policy & Adat Law in Indonesia’s Forests’, 11 Pacifi c Rim Law & Policy Journal 231.

13 Sebastiaan Pompe (2002) Court Corruption in Indonesia. Mimeo belum diterbitkan: Jakarta.

14 Daniel Fitzpatrick (1999) ‘Beyond Dualism: Land Acquisition and Law in Indonesia’, di T Lindsey (ed) Indonesia: Law and Society. Sydney:

Federation Press, hal.74.

15 Undang-Undang Dasar menyatakan bahwa: ‘Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta

hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik

Indoneisa, yang diatur dalam undang-undang.’ (Pasal 18(2)); dan bahwa ‘Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati

selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.’ ( Pasal 28I(3)).

16 Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 28(1).

17 Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009, Bab 9.

18 Timothy Lindsey (2006) ‘Inheritance and Guardianship and Women: Islamic Laws in Aceh, a Year After the Tsunami.’ Makalah dipersiapkan

untuk International Development Law Organization.

Page 22: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

6 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian I: Pendahuluan

pusat, proses otonomi daerah yang diterapkan pada 1999 telah membuka kesempatan untuk memperkuat atau

mengubah penyelesaian sengketa informal. Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

menyebutkan pemerintah daerah mempunyai otoritas untuk mengkonfi gurasi ulang struktur pemerintahan desa

– termasuk mekanisme penyelesaian masalah – sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan keterbukaan.

Seiring dengan semangat otonomi, UU No. 22 Tahun 1999 juga membentuk Badan Perwakilan Desa yang dipilih

langsung oleh masyarakat dan membagi kekuasaan eksekutif pada tingkat desa. Pada sisi “yudisial”, pasal 101

ayat (e) memberikan otoritas kepada kepala desa, bersama dengan Dewan Adat untuk menyelesaikan konfl ik.

UU No. 32 Tahun 2004, yang menggantikan UU No. 22 Tahun 1999 menghapus yurisdiksi ini, tapi kemudian

dikembalikan lagi dengan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Desa.

Hakim Agung Rehngena Purba telah menyoroti manfaat mendukung “otonomi peradilan desa” ini. Menurut dia,

‘proses membawa kasus ke pengadilan dapat dihindari [dan] harmonisasi kehidupan yang damai ...bisa semakin

ditingkatkan’.19

Akan tetapi, kalau pemerintah daerah telah mengeksploitasi peluang ini, perubahan yang dilakukan bukan

demokratis atau inklusif, melainkan penghidupan kembali “cara lama” (Lampiran 1 meringkas perubahan peraturan

pada lima provinsi yang diteliti). Di Maluku, provinsi itu berusaha untuk kembali ke struktur desa tradisional yang

dikenal dengan nama “negeri” dan di Sumatera Barat dikenal dengan “nagari”. Di Kalimantan Tengah, inisiatif

diambil untuk memperkuat pengakuan terhadap pemimpin adat, dikenal dengan nama “damang”. Perubahan

tersebut menempatkan etnis setempat dan elit laki-laki sebagai pemegang kendali. Konsep keadilan lokal yang

sempit bisa diajukan – apa yang digambarkan oleh Benda-Beckmann sebagai, ‘sering berlaku sebagai hukum

laki-laki senior’ yang ‘dipertahankan sebagai alasan untuk membenarkan hubungan dominasi dan penindasan.’20

Didorong oleh “regionalisme dan nasionalisme lokal” (semangat kedaerahan), resiko ini mencegah tuntutan

dari kelompok yang terpinggirkan seperti perempuan dan etnis minoritas untuk keterwakilan dan pengakuan

di dalam institusi lokal yang mengatur hidup mereka. Proses marginalisasi terhadap kelompok terpinggirkan

dapat menimbulkan perpecahan sosial yang bisa memicu konfl ik kekerasan, dan menyebabkan kemiskinan.

Kebijakan pemerintah harus merespon secara tepat untuk mencegah munculnya perpecahan sosial. Peradilan

non-negara mempunyai peranan penting dalam hal ini.

Jadi, otonomi daerah meciptakan resiko maupun peluang. Dan perpaduan dinamika sosial dan politik ini telah

mengacaukan proses ini sekali lagi dengan menimbulkan pertanyaan: sistem peradilan seperti apa yang ingin

dimiliki Indonesia dalam masyarakat yang sangat beragam dan pluralistik.

C. Menemukan Titik KeseimbanganJika negara lemah dan “cara lama” patut dipertanyakan relevansinya, memicu munculnya pertanyaan, “Apa lagi?”

Menurut Glenn kejahatan dan kekerasan adalah dampak yang tidak bisa dielakan.21 Ini memang mungkin bisa

menjelaskan terjadinya konfl ik di sejumlah wilayah di Indonesia pada pasca reformasi. Dia juga mengacu pada

middle ground atau “titik keseimbangan” yang memadukan kekuatan keadilan formal dan informal. Konsep ini

mengakui kenyataan bahwa komunitas harus diberdayakan sehingga bertanggungjawab atas manajemen

konfl ik, tapi pada saat yang sama merefl eksikan kepentingan seluruh unsur masyarakat, tidak hanya elit etnis asli.

Konsep ini juga dapat mengakomodir tradisi hukum pluralistik yang beragam, tetapi sekaligus menghormati

19 Rehngena Purba (2004) ‘Peradilan dan Penyelesaian Sengketa Alternatif Kajian Pada Masyarakat Karo’, makalah dipaparkkan di Universitas

Karo, 1 July 2004, di hal. 15.

20 Franz von Benda-Beckmann (1990) ‘Ambonese Adat as Jurisprudence of Insurgency and Oppression,’ 5 Law & Anthropology 25 di hal 39.

21 Glenn n.1 diatas, hal.77.

Page 23: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

7Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian I: Pendahuluan

supremasi Undang-Undang Dasar dan kerangka hukum negara. Secara retorika, inilah pendekatan yang

diterapkan oleh Republik Indonesia dalam era otonomi daerah, tapi dalam kenyataan, hasil konkrit di lapangan

dari arah kebijakan ini belum kelihatan.

Sebenarnya, “menemukan titik keseimbangan” merupakan hal yang kompleks, karena cenderung berlawanan

dengan tradisi dan kepentingan yang berkuasa. Respon secara hukum dan teknokratis tidak tepat. Membuat

kebijakan mengenai peradilan non-negara sangat rumit, mengingat keberagaman dan jumlah institusi, pelaku

dan norma yang merupakan “sistem” informal ini. Reformasi peradilan ternyata menjadi tugas yang berat dalam

pengadilan di Indonesia, yang hanya menjangkau pada tingkat kabupaten di seluruh 450 kabupaten di Indonesia.

Tapi peradilan informal berada di lebih dari 70.000 desa. Akan tetapi, sangatlah jelas bahwa penegakan hukum

mensyaratkan baik lembaga sosial maupun negara kuat dimana semua warga negara diperlakukan sama dan

kepentingan serta nilai-nilai kehidupan mereka dihormati.

Seiring dengan semakin diakuinya dominasi regionalisme, para pakar juga mengobservasi bahwa

‘kecenderungan mengarah ke kepentingan lokal dan etnisitas tidak diterima oleh semua pihak.’22 Pendukung

model pemerintahan desa dan penyelesaian sengketa yang inklusif dan contoh perubahan telah ada di berbagai

kalangan masyarakat.

Studi ini diluncurkan untuk meletakkan titik keseimbangan mendasar peradilan lokal, bukan keadilan tradisional,

yang dilandasi tindakan pendukung reformasi di tingkat lokal di luar elit tradisional. Pendekatan ini berusaha

mengawinkan aksesibilitas sosial, otoritas dan legitimasi proses peradilan informal dengan akuntabilitas terhadap

komunitas dan negara. Pendekatan ini mengakui kenyataan pluralisme hukum di Indonesia dan bahwa satu

model yang seragam untuk peradilan non-negara tidak menjadi pilihan dan tidak bisa diterapkan. Oleh karena

itu, titik keseimbangan ini seharusnya mengakomodasi konteks perbedaan sosio-kultural, kebiasaan dan sifat

yang berbeda tetapi pada saat yang bersamaan juga menghormati perlindungan hukum dalam konstitusi untuk

melindungi pihak yang terpinggirkan.23

Membangun kerangka kerja untuk memadukan harus didasarkan pada pemahaman yang paripurna terhadap

pelaksanaan peradilan non-negara saat sekarang ini. Sehingga, bagian IIA dan B, tubuh utama dari tulisan ini,

menggambarkan tipologi dan proses sengketa, berdasarkan studi kasus kualitatif dan data kuantitatif survei.

Bagian ini menjelaskan preferensi, persepsi dan pengalaman komunitas, dengan fokus khusus pada kelompok

minoritas etnis dan agama, serta perempuan. Bagian IIC menguji persinggungan antara peradilan informal dan

formal sebagai hal yang krusial untuk meningkatkan kualitas keduanya dan menuju kearah kepastian hukum.

Bagian III menganalisa kekuatan dan kelemahan keadilan non-negara, mencatat bagaimana aksesibilitas dan

legitimasi sosial terkadang dikalahkan oleh ketidakseimbangan kekuasaan dan penekanan pada menjaga

keteraturan sosial diatas rasa keadilan. Bagian IV menyimpulkan temuan-temuan utama sebelum menampilkan

sejumlah rekomendasi yang konkrit.

22 Franz & Keebet von Benda-Beckmann (2001), “Recreating the nagari: Decentralisation in West Sumatera”, makalah dipaparkan di

konferensi ke-3 European Association for SE Asian Studies, London, 6-8 September 2001.

23 Serangkaian prinsip ini mencakup representasi berbasis luas, akuntabilitas dan transparansi publik. Termasuk didalamnya, di antaranya,

hak untuk melawan diskriminasi, (Undang-Undang Dasar pasal 28B2 & 28I2), kesetaraan dimuka hukum (28D1) dan kebebasan dari

penyiksaan (28G2). Pemerintah juga baru-baru ini memasukkan Pernyataan Hak Asasi Manusia Internasional kedalam perundangan

nasional melalui Undang-undang No. 11 dan No. 12 Tahun 2005, termasuk didalamnya proses perlindungan (due process) yang

lengkap.

Page 24: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

8 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian I: Pendahuluan

D. Metodologi Metode analisa yang digunakan untuk mengidentifi kasi bagaimana menemukan tititik keseimbangan adalah

pendekatan metode campuran (mixed-methods) yang mengkombinasikan data kualitatif dan kuantitatif untuk

mendapatkan analisis yang mendalam dan luas. Sumber data utama termasuk:

1. Konsultasi dengan institusi pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarkat (LSM) dan lembaga donor di tingkat

nasional. Kerjasama dengan Mahkamah Agung dibangun pada tahap ini.

2. Riset lapangan di Kalimantan Tengah, Jawa Timur, Maluku, Nusa Tenggara Barat dan Sumatera Barat selama

2004 dan 2005.24

3. Data kuantitatif dari Survei Pemerintahan dan Desentralisasi [Governance and Decentralization Survey (GDS)]

2006.

4. Studi konteks hukum untuk peradilan non-negara di Indonesia. .

5. Studi literatur mengenai sistem peradilan non-negara yang diterapkan di luar Indonesia.

6. Studi banding untuk meneliti peradilan informal di Bangladesh dan Filipina.

Sensitivitas, kompleksitas dan ambiguitas berbagai isu yang dikaji mengarah bahwa metode utama dari penelitian

ini adalah kualitatif. Karena itu, sebagian besar temuan dan analisa di dalam laporan ini berdasarkan pada studi

kasus, wawancara informan kunci dan diskusi kelompok terfokus (focus group discussions) di tingkat desa.

Sumber Data

Sumber data utama adalah 34 studi kasus yang dikumpulkan dari lokasi penelitian oleh tim Justice for the Poor

bekerjasama dengan peneliti dari LSM atau universitas setempat.25

Kasusnya bervariasi dari yang bersifat perselisihan kecil seperti perbedaan pendapat antar penduduk di dalam

satu desa, perselisihan antar-desa yang berjalan lama dan mengarah ke kekerasan, hingga konfl ik antara

penduduk desa dengan pihak luar. Ada tujuh belas kasus tanah, sumber daya alam dan kerusakan lingkungan;

tujuh kasus pidana ringan atau penganiayaan; empat pembunuhan; tiga perkosaan, pelecehan seksual dan

kekerasan dalam rumah tangga; dua berhubungan dengan pernikahan; dan satu “penghinaan adat”. Pola-pola

ini konsisten dengan data lain mengenai tipologi perselisihan lokal.26 Ringkasan dari setiap kasus terdapat di

Matriks Kasus pada Lampiran 2.

Penelitian kualitatif dilengkapi dengan data dari Survei Desentralisasi dan Pemerintahan (GDS) 2006 yang

dilakukan oleh Pusat Studi Kebijakan Publik-Universitas Gadjah Mada (PSKP-UGM), dan didukung oleh Bank

Dunia. Pada tahun 2006, GDS mengumpulkan informasi dari 32.000 responden termasuk kepala keluarga, kepala

desa, pekerja di bidang pendidikan dan kesehatan serta pejabat pemerintah. Survei dilakukan di 133 dari 450

kabupaten di Indonesia, mencakupi seluruh 33 provinsi.

24 Laporan terpisah ditulis dari kelima lokasi dan tersedia online di www.justiceforthepoor.or.id. Laporan ini didiskusikan dalam lokakarya

verifi kasi dan konsultasi secara berseri dengan pemangku kepentingan setempat selama tahun 2005 dan 2006 di semua lokasi penelitian

kecuali Jawa Timur. Peserta lokakarnya termasuk pegawai pemerintahan, anggota DPRD, akademisi, LSM, tokoh adat dan pejabat desa,

pelajar dan anggota masyarakat.

25 Ada lebih banyak kasus yang terdokumentasi, namun 34 kasus di dalam makalah ini adalah kasus-kasus yang memiliki data yang lengkap

dari pihak yang bersengketa, mediator, dan dokumentasi (berkas kasus setempat, laporan polisi dan pengadilan) untuk mengecek

informasinya. Salah satu kasus diambil dari kunjungan lapangan di Lampung tahun 2007.

26 Bahkan kasus-kasus yang sampai ke polisi mengikuti pola yang serupa. Pada survei di Jawa Timur, polisi melaporkan bahwa tiga bentuk

kasus yang paling umum yang mereka tangani adalah penganiayaan (33 persen), kekerasan dalam rumah tangga dan pemerkosaan (31

persen) dan sengketa tanah (10 persen): lihat Anton Baare (2004), ‘Policing and Local Level Confl ict Management in Resource Constrained

Environments’ Mimeo, Jakarta: World Bank. Lihat juga World Bank (2004), Village Justice in Indonesia; World Bank: Jakarta dan UNDP et al

(2006) Access to Justice in Aceh: Making the Transition to Sustainable Peace and Development, UNDP: Jakarta.

Page 25: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

9Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian I: Pendahuluan

Selain studi kasus dan data survei, wawancara informan kunci dilakukan dengan LSM, akademisi, hakim,

jaksa, polisi dan pengacara serta pejabat pemerintah dan anggota parlemen di tingkat nasional, provinsi dan

kabupaten untuk meningkatkan pemahaman terhadap konteks lokal dan arah kebijakan lokal. Pada tingkat

daerah ke bawah, wawancara selalu dilakukan dengan pihak yang bersengketa dan saksi, kepala desa dan

dusun, pemimpin agama, pemuka adat dan tokoh masyarakat. Diskusi kelompok terfokus dilakukan dengan

perempuan dan etnis minoritas. Secara keseluruhan, 452 orang diwawancara dan 343 menghadiri lokakarya

verifi kasi yang diselenggarakan di lima provinsi.

Pemilihan Lokasi Penelitian

Provinsi lokasi penelitian dipilih berdasarkan empat kriteria. Pertama, mewakili konstelasi etnis dan agama.

Kedua, merupakan kombinasi lokasi paska-konflik dan wilayah dimana hukum adat masih berlaku secara

kuat atau sudah hampir tidak ada lagi. Ketiga, mewakili cakupan geografis di Barat, Tengah dan Timur

dari wilayah Indonesia. Pertimbangan terakhir adalah sejauhmana pemerintah lokal di setiap lokasi telah

berinisiatif mengeluarkan peraturan daerah untuk melaksanakan otonomi daerah di tingkat pedesaan.

Lokasi desa di setiap provinsi dipilih berdasarkan masukan dari responden di tingkat lokal.

Keterbatasan Data

Data kualitatif dan kuantitatif sama-sama memiliki keterbatasan. Ada resiko bahwa penelitian kualitatif terlalu

fokus pada kasus yang sensasional atau luar biasa. Survei kuantitatif dapat menggenalisir dan menyaring

pengalaman nyata yang sebaiknya ditangkap melalui pengamatan dan interaksi langsung. Kami sudah berupaya

mengatasi keterbatasan ini dengan mengintegrasikan kedua sumber utama dan memverifi kasi temuan melalui

lokakarya dengan berbagai kelompok yang berkepentingan (multi-stakeholder) dan mendiskusikannya dengan

cakupan responden yang luas. Dari diskusi kelompok terfokus dan wawancara informal di tingkat pedesaan kami

telah dikumpulkan data baik dari pihak yang berselisih maupun penduduk biasa untuk memperoleh perpaduan

pengalaman langsung beserta pendapat umum mengenai proses peradilan non-negara.

Page 26: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

10 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Page 27: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

11Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian II:

Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa

Untuk memperdalam pemahaman mengenai non-state justice di Indonesia, bagian ini menguraikan secara

terperinci tipologi dan proses sengketa. Bagian ini dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama memaparkan

tipologi, para pelaku dan preferensi dalam penyelesaian sengketa. Bagian ini menggarisbawahi pentingnya

non-state justice dalam menyelesaikan sengketa di Indonesia dan keterkaitan erat antara keadilan, konfl ik dan

kemiskinan. Bagian kedua menguraikan proses penyelesaian sengketa informal - prosedur, norma-norma

dan pendorong resolusi. Bagian ketiga menguji persinggungan antara sistem peradilan formal dan informal,

mengeksplorasi kapan dan mengapa kedua sistem berinteraksi, beserta dampaknya.

Foto : Taufi k Rinaldi

Page 28: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

12 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa

A. Peradilan Non-Negara dalam Praktek: Tipologi Sengketa, Pelaku, dan Institusi

Temuan Utama & Implikasi Kebijakan

Tipologi Sengketa. Kriminalitas, konfl ik tanah, kawin/cerai dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah

jenis perselisihan yang paling sering terjadi. Kasus tanah merupakan yang paling sukar untuk dipecahkan dan

paling rentan memicu kekerasan.

Peradilan non-negara adalah forum penyelesaian sengketa utama. Kepala dan perangkat desa, tokoh

masyarakat, pemuka adat dan polisi adalah pelaku yang paling sering diminta bantuan dalam hal penyelesaian

sengketa. Persidangan di pengadilan dan pengacara hampir tidak libat sama sekali, bahkan untuk kasus

pidana.

Perempuan dan Minoritas kurang terwakili. Pelaku penyelesaian sengketa biasanya laki-laki yang berumur

setengah baya atau sudah tua. Hampir tidak ada perempuan yang berperan sebagai pengambil keputusan

dalam lembaga desa dan etnis minoritas juga nyaris tidak terwakilkan.

Kesadaran hukum. Orang yang memahami hak mereka lebih cenderung percaya pada dan menggunakan

sistem hukum formal. Ini berarti kesadaran hukum membuka pilihan dan megalihkan ketidakseimbangan

kekuasaan sesuai dengan kehendak mereka.

Variasi regional. Jenis sengketa dan pola resolusi berbeda-beda di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, suatu

strategi untuk menjangkau dan memperkuat peradilan non-negara perlu disesuaikan dengan kondisi lokal.

Tipologi Perselisihan

‘Sembilan puluh persen kasus yang masuk adalah kasus tanah.’

Kepala Desa, Tamilou, Pulau Seram, Maluku.

Seperti ditunjukkan di Gambar 1, kriminalitas, konfl ik tanah, masalah hukum perdata (kawin, cerai dan warisan)

dan KDRT secara konsisten dilaporkan oleh anggota masyarakat sebagai jenis sengketa yang paling sering terjadi

pada tingkat desa selama dua tahun terakhir.

Tanpa perkecualian di semua lokasi penelitian, sengketa tanah dilaporkan sebagai masalah yang paling rumit

diselesaikan dan paling mungkin memicu kekerasan.

Perempuan biasanya melaporkan permasalahan hukum pribadi (pernikahan, perceraian dan warisan) sebagai

permasalahan hukum utama mereka. Pola umum sengketa ini dan sengketa tanah adalah persaingan atas

penguasaan sumber daya yang sangat penting terhadap kesejahteraan dan ekonomi. Banyak kasus warisan

dan perceraian berkaitan dengan tanah dan pembagian harta kekayaan.

Page 29: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

13Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa

Gambar 1: Sengketa yang dilaporkan terjadi di desa responden selama dua tahun terakhir

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18

Persentase

Sumber: Survei GDS

Walaupun tindak pidana menjadi sengketa yang paling sering terjadi secara nasional, kejadian sengketa tanah

meningkat menjadi 19 persen di luar Pulau Jawa, dimana masyarakat pedesaan lebih sering berhadapan dengan

perusahaan perkebunan, kehutanan dan pertambangan, sebuah sumber utama ketegangan. Tabel di bawah

membandingkan angka di tingkat nasional dengan hasil di tingkat regional.

Tabel 2: Konfl ik regional berdasarkan jenis konfl ik

Tipe Konfl ik Indonesia Sumatera Jawa/Bali Kalimantan Sulawesi NTB/NTT Maluku/Papua

Tindak Pidana 16,4% 15,6% 16,0% 10,9% 16,9% 24,2% 18,6%

Sengketa Tanah/Gedung 13,3% 9,6% 9,2% 14,2% 17,5% 23,3% 19,5%

Perselisihan Keluarga 10,9% 8,3% 11,0% 8,0% 9,8% 17,3% 15,3%

Penyalahgunaan

Wewenang2,8% 1,7% 3,0% 2,4% 2,3% 4,0% 4,8%

KDRT 7,6% 5,1% 6,2% 5,2% 4,1% 13,8% 19,8%

Sengketa Pemilu 3,2% 1,3% 4,2% 1,8% 2,0% 2,6% 8,8%

SARA 2,0% 1,2% 1,7% 1,2% 3,4% 1,9% 3,9%

Sumber: Survei GDS

Siapa Menyelesaikan Perselisihan? Formal Melawan Informal

Masyarakat pedesaan mempunyai banyak pilihan atau “jalan menuju keadilan.” Sistem hukum formal adalah

salah satunya, terutama di kawasan perkotaan. Namun pada umumnya pilihan ini dipandang korup, mahal,

lamban, dan berjarak. Gambar 2 menunjukkan hanya 2.1 persen dari responden pernah berhubungan dengan

pengadilan dalam dua tahun terakhir. Lebih lanjut, hanya 34.2 persen percaya pada keadilan formal; mayoritas

tidak percaya (24.3 persen) atau tidak beropini (41.5 persen). Jadi, masyarakat menyatakan preferensi yang kuat

pada penyelesaian sengketa secara informal, berdasarkan mediasi dan konsiliasi.27 Menariknya, orang yang sadar

27 Hal ini sesuai dengan temuan dari penelitian yang sebelumnya, lihat Asia Foundation (2001) diatas n.3 dan World Bank (2004) diatas n.26.

UNDP (2007) Justice for All? An Assessment of Access to Justice in Five Provinces of Indonesia Jakarta: UNDP menggatakan bahwa 58 persen

masyarakat merasa puas dengan keadilan informal, berbanding dengan 28 persen untuk keadilan formal.

Page 30: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

14 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa

akan hak hukum mereka cenderung lebih sering menggunakan hukum formal dan mempercayainya.

Gambar 2: Pengalaman responden dengan pengadilan, pemahaman soal hak hukum, dan

kepercayaan terhadap pengadilan

0% 20% 40% 60% 80% 100%

Percaya kepadaPengadilan

Memahami Hak-hakyang benar

Pengalaman denganPeradilan

Yes No Don't know

Sumber: Survei GDS

Kepada Siapa Orang-orang Meminta Bantuan?

‘Rakyat pergi ke yang dekat dan yang mereka kenal dulu’

Penduduk desa, Kalimantan Tengah.

Kepala desa dan Kepala dusun merupakan pilihan yang paling dituju oleh kebanyakan penduduk desa. Seperti

ditunjukkan di Gambar 3, 41.1 persen dari responden mengatakan bahwa perangkat desa yang biasanya

menyelesaikan masalah. Pelaku penyelesaian sengketa utama yang lain adalah pemuka agama; tokoh masyarakat

dan pemimpin adat (semuanya 34,8 persen); dan polisi serta militer (27,6 persen).

Sebagian besar tindak pidana berat diserahkan kepada polisi, walaupun seperti terlihat dalam Studi Kasus nomor

10 di bawah, hal itu tidak mencegah penyelesaian secara adat pada saat yang bersamaan. Pelaku lain lebih jauh

dan cenderung hanya dipanggil ketika ada perselisihan yang serius, yang melintasi batas wilayah desa atau

ketika perselisihan gagal diselesaikan di tingkat bawah. Untuk kasus yang melibatkan pihak luar, seperti sengketa

antara masyarkat desa dan perusahaan kelapa sawit, pejabat kecamatan dan kabupaten bisa terlibat.

Dominasi Laki-laki Setengah Baya

Aparat desa, para pemimpin adat dan agama serta tokoh masyarakat adalah pelaku penyelesaian perselisihan

yang paling populer. Kecuali kepala desa, semua biasanya ditunjuk dan tidak dipilih secara langsung oleh rakyat.

Hampir semuanya laki-laki setengah baya atau sudah tua. Secara keseluruhan, 97 persen kepala desa dan 99

persen kepala dusun adalah laki-laki. Rata-rata umur kepala desa 45 tahun, dan kepala dusun 48 tahun.28

Selama penelitian, kami hanya menemukan seorang kepala desa perempuan di Maluku, satu di Nusa Tenggara

Barat, diberitahu bahwa ada seorang damang yang perempuan di Kalimantan Tengah tetapi tidak bertemu

28 Data survei GDS.

Page 31: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

15Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa

dan tidak seorangpun di Jawa Timur. Perempuan dilarang menjadi anggota lembaga adat di Sumatera Barat,

jadi mereka tidak terwakili dalam Kerapatan Adat.29 Organisasi perempuan berperan sedikit sebagai mediator,

khususnya untuk sengketa yang melibatkan perempuan, tetapi mereka jarang mempunyai otoritas pengambilan

keputusan.

Terutama untuk sistem peradilan berbasis adat, pelaku yang menyelesaikan perselisihan hampir selalu berasal dari

suku asli atau pribumi. Ini tidak berarti bahwa kelompok etnis lain selalu dilarang – di Sumatera Barat, misalnya,

pendatang dapat diakui menjadi anggota suku. Di beberapa wilayah di Maluku, suku non-asli membentuk

marga sendiri dan mengintegrasikan diri ke dalam struktur adat setempat. Tetapi pada dasarnya peradilan adat

itu bersifat eksklusif berdasarkan asal etnis. Implikasi dari ini akan diuji lebih lanjut di bagian III di bawah.

Gambar 3: Pelaku Peradilan Informal dan formal yang biasa menyelesaikan sengketa

0 5 10 15 20 25 30 35

LSM

Pengacara

Pemerintah Kabupaten

Paralegal

Jaksa

Kurang tahu

Pemerintah Kecamatan

Keluarga/Teman

Polisi

Tokoh Adat/ Masyarakat

Pemerintah Desa

persentase

Sumber: Survei GDS

Tidak Terlihatnya Sektor Formal

Sektor formal hampir tidak kelihatan. Pertanahan, kriminalitas dan masalah hukum keluarga adalah hal

fundamental bagi keamanan dan kesejahteraan masyarakat biasa, tetapi para pengacara, jaksa dan pengadilan

hampir tidak relevan dalam penyelesaian sengketa mereka.30 Kepolisian aktif, seperti yang diharapkan terhadap

kasus kriminal, tapi hampir sebagian besar keluhan yang dilaporkan ke polisi pada kenyataannya dimediasikan

atau dikembalikan ke desa ketimbang diproses pada sistem formal.31 Jadi, walaupun pasal 6 ayat (2) UU No. 4

Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menetapkan bahwa hanya pengadilan yang boleh memberikan

sanksi atas tindak pidana, pelaku peradilan non-negara juga melakukan hal yang sama untuk menangani tindak

pidana.

29 Perempuan diwakili melalui lembaga Bundo Kanduang, namun tidak punya peran yang nyata dalam proses mengambil putusan.

30 Sektor formal terlibat dalam 16 dari 34 kasus yang dipelajari untuk laporan ini, dengan 4 kasus berlanjut ke pengadilan. Pengacara

terlibat dalam negosiasi informal di dua studi kasus – dalam salah satunya untuk mengintimidasi pihak yang lebih lemah. Namun di

kasus lainnya pengacara tidak memiliki peran langsung.

31 Lihat Baare, diatas n.26, hal 9.

Page 32: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

16 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa

LSM Juga Tidak Menonjol

Minimnya pengakuan peran LSM, walaupun ada banyak yang aktif dalam menyelesaikan perselisihan dan

advokasi di bidang seperti pertanahan, hak buruh dan perlindungan lingkungan. Hasil survei membuktikan

minimnya kapasitas LSM untuk menjangkau wilayah pedesaan.

Bagaimana Orang-orang Memilih Pelaku Penyelesaian Sengketa?

Pilihan tentang ke mana masyarakat membawa kasus mereka umumnya bergantung pada kebiasaan pembagian

tugas di antara pemimpin mereka, dan pada kapasitas dari individu-individu yang terlibat.

Masalah pidana ringan yang dapat didamaikan biasanya dirujuk kepada kepala RT/RW, kepala dusun, pemuka

adat atau kepala desa. Kasus perceraian atau masalah rumah tangga juga biasanya ditujukan kepada pelaku

yang sama, walau terkadang pemuka agama juga mempunyai peranan. Masalah yang terkait pemerintahan

desa biasanya langsung ditangani oleh kepala desa. Dalam beberapa kasus, orang melaporkan langsung ke

polisi setempat. Konfl ik tanah biasanya dilaporkan ke kepala desa atau pemimpin adat dimana mereka sangat

berpengaruh. Perselisihan besar yang melibatkan kepentingan pihak luar selalu menjadi lebih kompleks. Kasus

tersebut terkadang ditangani LSM, atau dilaporkan langsung ke Camat, pemerintah kabupaten atau Badan

Pertanahan Nasional.

Pilihan-pilihan itu sering tergantung tidak hanya pada pembagian tugas antara pelaku, tetapi pada kemampuan

masing-masing untuk memediasikan suatu masalah. Kepala desa di desa Sembuluh I di Kalimantan Tengah,

sebagai contoh, tidak terlalu disukai masyarakat sehingga jarang dilibatkan dalam penyelesaian perselisihan.

Di desa lainnya, polisi setempat mempunyai reputasi yang buruk. ‘Apa yang dilakukan polisi disini?’ kata salah

seorang penduduk. ‘Tidak ada.’ Dikenal sebagai penerima uang pelicin dari pengusaha, polisi itu secara praktis

bukan merupakan penengah antara masyarakat dan sistem hukum formal. Dengan demikian, satu “jalan menuju

keadilan” sudah tertutup.

Warga desa tidak berharap adanya netralitas dari mediator dalam kasus yang melibatkan keluarga atau sahabat

dekat. ‘Jelas, Pak RT lebih bersimpati kepada keluarganya,’ kata seorang warga desa Henda di Kalimantan Tengah.

Ini adalah salah satu fakta yang mempengaruhi pilihan pelaku penyelesaian sengketa.

Jadi, pihak yang bersengketa biasanya memilih pelaku penyelesaian sengketa berdasarkan kapasitas mereka

untuk memecahkan sebuah perselisihan secara kasus per kasus. Kapasitas ditentukan oleh kombinasi hubungan

pribadi dan kelembagaan dengan status dan keterampilan individu.

Berikut ini dua contoh kasus, selain menggambarkan proses penyelesaian sengketa, juga menggambarkan

bagaimana cara pemilihan pelaku untuk menyelesaikan sengketa dapat dinegosiasikan atau bisa langsung

turun ke kepala desa.

Studi Kasus 2: Perselisihan antara sepupu di panangguan, Jawa Timur

Sengketa tanah ini antara Halim (kepala dusun) dan Amir (sepupunya Halim) terjadi pada 2001 di desa Panangguan,

Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur. Perselisihan berawal ketika Amir kembali ke Panangguan setelah pergi beberapa

lama. Ketika kembali, ia mendengar bahwa seseorang telah menawarkan Halim uang Rp. 8 juta untuk tanah yg menurut

dia masih kepunyaan bapaknya.

Kakak Halim, Ali, menawarkan bantuan untuk menjadi penengah dalam perselisihan ini. Tiga pertemuan dilakukan di rumah

Ali untuk mengklarifi kasi pemilikan atas tanah tersebut. Pada pertemuan itu, tidak ada titik temu untuk menyelesaikan

masalah, jadi Halim melaporkan kasus ini kepada kepala desa. Seminggu kemudian, kepala desa mengadakan rapat yang

dihadiri Halim, Amir dan para saksi masing-masing.

Page 33: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

17Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa

Kepala desa kemudian menjelaskan bagaimana prosesnya berlangsung:

‘Karena (masalah) nggak selesai pada tingkat bawah jadi dibawa ke tingkat desa. Guna menyelesaikan masalah ini, saya

mengacu pada dokumen yang saya punya yang tertera nama ayah Halim. Penjelasan saksi agak membingungkan. Mereka

nggak sepakat. Rupanya (tanah itu) tidak dibeli secara transparan di masa lalu. Sepertinya tanah itu dijual ketika si pemilik

membutuhkan uang secara mendadak, dan akan membeli kembali kalau sudah punya uang. Harga jualnya juga murah.

Pihak Amir sudah mengakui hal ini. Menurut versi Halim, tanah itu benar-benar terjual. Suasana pada pertemuan itu tegang.

Amir mengancam akan melakukan kekerasan. Lalu, tanah itu kemudian saya bagikan. Saya mengembalikan sebagian

kepada Amir. Saya menekan mereka juga. Apabila dia tidak menerima resolusi itu, tanah itu akan menjadi milik desa. Mereka

takut. Rakyat desa mendukung proses ini. Masalah berhasil selesai’.

Dokumen yang dipegang kepala desa adalah dokumen tanah yang lama (Petok C) yang digunakan pada masa

penjajahan Belanda. Seperti yang sering terjadi, buku itu ketinggalan zaman dan tidak bisa menentukan pemilikan.

Pada akhirnya, kepala desa menggunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk membagi tanah, didukung oleh tekanan

dari masyarakat serta diwarnai ancaman kekerasan.

Kasus berikutnya juga mengenai peselisihan tentang batas dan kepemilikan tanah yang diselesaikan oleh kepala

desa sebagai pemegang otoritas sosial dan bukan menjalankan penerapan hukum.

Studi Kasus 3: Perbatasan yang tidak jelas di Desa Souhoku, Pulau Seram, Maluku

Udin dan Haryadi membeli tanah dari Among Pieters. Tanah itu terdaftar, tetapi Among tidak memberikan sertifi kat

ketika menjual tanah itu. Tanah itu berdekatan dengan tanah milik Minggus Tamaela. Beberapa waktu kemudian,

Among meminta Udin dan Haryadi untuk menebang pohon di tanah tersebut. Setelah hal itu dilakukan, Minggus

protes dan mengatakan bahwa pohon itu ada di wilayah tanah miliknya. Dia mengancam Udin dan Haryadi dengan

akan mengambil tindakan kekerasan apabila tidak mengembalikan pohon yang sudah ditebang itu.

Udin dan Haryadi melaporkan kasus ini kepada kepala desa (Raja). Raja dan stafnya memanggil pihak yang berselisih itu

untuk bertemu di kantornya. Dia meminta Among dan Minggus untuk membayar sehingga Badan Pertanahan Nasional

bisa turun dan menentukan batas dari tanah milik mereka. Keputusan ini langsung menyelesaikan masalah.

Enam tahun kemudian, Udin bertengkar dengan tetangganya, Lahamaku, seputar masalah perbatasan tanah. Udin

melaporkan masalah ini kepada Raja yang kemudian mengirimkan “tim tanah” untuk mengukur perbatasan tanah

milik Udin dan Lahamaku. Tim itu menentukan bahwa tanah yang diperebutkan itu menjadi milik Udin, tapi karena

Lahamaku sudah menggunakan tanah itu sejak lama, dia juga punya hak untuk membelinya. Udin tidak puas dengan

keputusan itu tapi akhirnya menerima, sadar bahwa hanya sedikit alternatif bagi warga desa biasa selain menerima

keputusan Raja.

Dalam dua kasus di atas ini, pelaku penyelesaian sengketa menggunakan kombinasi antara pengetahuan umum,

pengetahuan sejarah, tekanan komunitas dan kompromi untuk mencari penyelesaian secara damai sehingga

bisa menghindari terjadinya kekerasan.

Ada implikasi positif dan negatif dari pluralitas pilihan yang tersedia bagi warga desa dalam menyelesakan

perselisihan. Kebebasan yang luas memberikan anggota masyakarat kemampuan untuk memilih pelaku

yang mempunyai legitimasi sosial yang tepat untuk setiap tipe perselisihan. Di sisi lain, pihak yang berselisih

kemungkinan tidak setuju mengenai siapa yang mempunyai otoritas untuk menyelesaiakan sebuah kasus -

kalau ini terjadi sangat susah mencari konsensus.

Apa yang dimaksud dengan Dewan Adat?

Seperti ditulis di atas, “sistem” non-state justice sering merupakan mediasi secara kekeluargaan di antara keluarga

dan komunitas. Akan tetapi, di beberapa lokasi, Dewan Adat berkerja dengan struktur kelembagaan dan

Page 34: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

18 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa

norma – biasanya secara lisan tapi terkadang tertulis. Sistem hukum adat biasanya terorganisir, dengan struktur

institusional yang menerapkan peraturan dan prosedur tertulis serta menghasilkan putusan tertulis.

Berdasarkan defi nisinya, proses dan struktur adat adalah bervariasi dan fl eksibel, tapi diagram di bawah ini

disajikan sebagai contoh salah satu struktur adat di Desa Pelau, Provinsi Maluku.

Gambar 4: Struktur Organisasil Majelis Adat di Desa Pelau, Kabupaten Maluku Tengah

RajaOtoritas Tertinggi di Desa

Saniri NegeriPemimpin masing-masing Soa

dan perangkat adat

Penghulu MesjidPemuka Agama Islam

Wakil PemudaLaki-laki

Wakil pemudaPerempuan

Juru CatatMenulis hasil Majelis

Adat

Soa

Marga

TuabirokoMenyediakan Informasi ke

publik

Struktur Adat ini mencakup unsur utama di komunitas – Raja atau kepala desa sebagai sumber otoritas tertinggi,

penghulu Islam mewakili otoritas agama dan pemimpin masing-masing Soa (suku) mewakili masyarakat secara

keseluruhan. Wakil pemuda merupakan jalur komunikasi dari Raja ke pemuda di desa. Kadang-kadang mereka

berperan dalam menyelesaikan perselisihan kecil yang melibatkan pemuda.

Untuk peselisihan di dalam suatu keluarga atau marga, kepala marga yang bertanggungjawab atas proses

penyelesaian. Ketika perselisihan lebih serius atau antar[a] marga, otoritas Raja biasanya diperlukan. Raja boleh

pilih untuk bertindak sendirian atau di dewan dengan kepala soa, yang juga merupakan pengurus adat (dikenal

dengan nama saniri negeri). Ketika sudah dicapai kesepakatan untuk menyelesaikan masalah, saniri negeri

bertanggung jawab atas mengatur penyelenggaraan.

Variasi Regional

Bercermin dari keanekaragaman norma sosial di setiap lokasi yang diteliti, variasi regional yang signifi kan telah

ditemukan dalam hal pelaku dan lembaga penyelesaian sengketa yang digunakan oleh masyakarat, norma

yang diterapkan serta kekuatan struktur institusi hukum adat dan pelaku. Pemuka agama, misalnya, memainkan

peranan yang terbatas di Kalimantan Tengah, tapi justru menjadi pelaku kunci di Jawa Timur dan sebagian wilayah

Lombok, dimana Kyai dan Tuan Guru sangat dihormati dan diakui sebagai tokoh pimpinan penting bagi umat

Islam. Di Sumatera Barat, para pemimpin agama tergabung dalam struktur adat, seperti di Lombok, di bawah

Page 35: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

19Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa

“trias politica”, yaitu gabungan antara negara, adat dan agama sebagai elemen penting dalam pemerintahan

desa.

Kekuatan hukum adat dan tingkat intensitas masyarakat dalam pengakuan adat juga sangat bervariasi. Di Jawa

Timur, lembaga dan hukum “adat” bukan merupakan wacana yang mengemuka, sedangkan di Sumatera Barat,

NTB dan Maluku, para pemimpin adat sangat penting dalam penyelesaian sengketa. Di Kalimantan Tengah,

kebangkitan “adat” sejak otonomi daerah hanya kuat di atas kertas saja tapi belum terealisasi di lapangan.

Implikasi

Dari sisi kebijakan, variasi ini memiliki dua implikasi penting. Pertama, berbagai kebijakan pemerintah nasional

maupun peraturan daerah dalam memperkuat peradilan informal (non-state justice) akhir-akhir ini tidak

mencakup seluruh preferensi dan pengalaman keadilan di tingkat lokal. Dengan memfokuskan pada Dewan

Adat dan pemulihan struktur tradisional, mereka melewatkan, misalnya, peran sentral kyai di Jawa Timur. Mereka

mengabaikan fakta bahwa perangkat adat seringkali memiliki tingkat penerimaan terbatas dari masyarakat di

wilayah urban. Implikasi kedua adalah, kerangka kerja untuk menjangkau peradilan non-negara harus cukup

fl eksibel untuk mengakomodasi variasi regional. Juga harus cukup luas untuk menangkap keinginan masyarakat

secara keseluruhan dibandingkan kelompok masyarakat tertentu saja.

B. Prosedur, Norma, Sanksi dan Pendorong Penyelesaian Sengketa

Apa yang kita tuju adalah suatu situasi yang win-win, sehingga semua pihak merasa seolah-olah mereka tidak

dihukum atau kena sanksi melalui mediasi tersebut. Yang mereka rasakan adalah kewajiban untuk berbagi dan untuk

mencapai keadilan. Tak ada yang kalah.’

Hasanain, Tuan Guru Muda, Lombok Barat, NTB.

Temuan Utama

• Prosedur penyelesaian sengketa bersifat fl eksibel dan cair, tapi biasanya terdiri dari proses pencarian fakta,

pertimbangan secara mendalam, dan mediasi atau arbitrase “ringan”.

• Sukarela tapi seringkali tidak ada alternatif lain. Peradilan informal secara teori sifatnya sukarela, tetapi

tanpa adanya alternatif lain, seringkali orang miskin terpaksa menerima keputusan yang tidak memuaskan.

Pihak yang lemah juga sering dipaksa menerima proses atau hasil penyelesaian sengketa karena intimidasi

atau karena takut akan kemungkinan balas dendam.

• Norma sosial mengalahkan norma hukum. Norma yang diterapkan kadang-kadang jelas, tetapi yang

lebih sering diterapkan justru adalah norma sosial yang berdasarkan rasa keadilan setempat atau apa yang

layak menurut pertimbangan pimpinan desa. Dengan demikian, hubungan sosial dan kekuasaan biasanya

menentukan hasil penyelesaian sengketa informal.

• Sanksi-sanksi bervariasi, tapi biasanya berupa uang denda. Jumlahnya biasanya mempertimbangkan

kemampuan fi nansial tertuduh untuk membayar. Hukuman fi sik pernah terjadi, meskipun jarang.

• Pentingnya harmoni bisa menghasilkan impunitas. Tujuan utama penyelesaian sengketa adalah untuk

memulihkan harmoni dan ketertiban sosial, tetapi faktor ini dapat mengorbankan keadilan dan hak asasi. Ini

terutama terjadi pada perempuan, dimana haknya kadang-kadang dikorbankan demi menjaga kestabilan

sosial dan status quo.

Page 36: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

20 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa

Bagaimana Sengketa Diselesaikan?

Prosedur penyelesaian sengketa informal secara inheren bersifat fl eksibel dan bervariasi. Tapi dalam banyak

studi kasus yang terdokumentasi, sebuah prosedur umumnya sudah jelas, sebagaimananya digambarkan

dalam diagram di bawah.

Gambar 5: Penyelesaian kasus perkelahian di pasar 32

Keluhan Diterima: Kombit dan Ramses Melapor ke Polisi dan Damang

Setelah tidak mendapat tanggapan efektif dari polisi, Kombit dan Ramses melapor ke damang secara lisan.

Pencarian Fakta: Perangkat Adat, Saksi-saksi dan Pihak yang Bersengketa

Setelah terima laporan, damang memanggil pengurus adat (yang dikenal dengan let adat) untuk diberi penjelasan

mengenai insiden yang terjadi. Setelah itu dia memanggil kedua belah pihak dan para saksi secara terpisah ke

rumahnya untuk menggali fakta kasus.

Pengambilan keputusan/Mediasi/Arbitrase “Ringan”

Damang memanggil perangkat adat untuk “persidangan” Dewan Adat. Dalam mengkaji fakta kasus, mereka

mengacu pada buku hukum adat dan menentukan sanksi bagi Marhat. Sanksi ini disampaikan secara tertulis

dalam bentuk surat perdamaian. Marhat dan Kombit kemudian dipanggil kembali oleh damang dan kedua

pihak menyetujui tawaran penyelesaian yang diajukan Dewan Adat dan menandatangani surat tersebut.

Penerimaan/Pemulihan/Upacara Adat

Menurut adat dayak, setelah penyelesaian tercapai maka kedua pihak yang bertikai diakui sebagai anggota

baru keluarga masing-masing. Ini kemudian disahkan melalui upacara adat dengan mengorbankan seekor

ayam (diperlukan bila dalam perkelahian sengketa menyebabkan kucuran darah), selanjutnya dua pihak

makan bersama.

Penerapan

Surat Perdamaian yang ditandatangani

itu memperkuat penerapan penyelesaian

sengketa, didukung oleh sanksi sosial. Damang

tidak memiliki kekuasaan untuk menegakkan

pelaksanaan sanksi, jadi, seperti dalam banyak

kasus, Marhat sebagai pihak yang lebih kaya

dan berkuasa hanya membayar 25 persen

dari denda yang dijatuhkan. Damang tidak

bertindak untuk menerapkan sanksi.

Melaporkan ke Otoritas yang Lebih Tinggi/

Mediator lain atau Menghindari Konfl ik

Dalam kasus ini, pihak yang bertikai menerima

“arbitrase ringan” dari damang. Bila mereka

menolak, bagaimanapun, pilihan Kombit

adalah melaporkan ke mediator lain, otoritas

yang lebih tinggi, atau sekali lagi melapor ke

polisi. Alternatif terakhir adalah menyingkir

- menghentikan kasus-atau meningkatkan

konfl ik.

PENOLAKAN

32 Kasus Perkelahian di Pasar ditampilkan di Pengantar. Diagram ini mempergunakan Bagan 8 dalam UNDP (2007), diatas n.27, hal. 225.

Page 37: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

21Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa

Proses penyelesaian kasus Perkelahian di Pasar secara umum menggambarkan proses resolusi sengketa yang

sering digunakan:

Keluhan/keberatan diterima1. dalam bentuk tertulis atau, lebih sering, lisan.

Pencarian fakta2. : mediator mendiskusikan kasus secara terpisah dengan pihak yang bersengketa, saksi

mata, dan tokoh masyarakat dari wilayah tinggal mereka.

Pertimbangan fakta kasus: 3. bisa dilakukan sendirian, bersama dengan dewan adat, atau dalam

musyawarah. Untuk kasus rumit, proses ini bisa memerlukan beberapa kali pertemuan.

Mediasi atau Arbitrase “Ringan”: 4. Mediator mempertemukan pihak-pihak yang bertikai untuk mencoba

menengahi, atau menyampaikan saran penyelesaian dan/atau sanksi. Ini bisa didasarkan pada hukum

adat baik tertulis maupun lisan, hukum agama atau justru pandangan subyektif dari mediator.

Kesepakatan atau Penolakan: 5. Pihak yang bertikai bisa menerima atau menolak penyelesaian yang

ditawarkan. Kesepakatan kadang disertai dengan intimidasi/ancaman, keinginan untuk menghindari

sistem hukum formal atau ketakutan terhadap kemungkinan balas dendam. Jika kesepakatan

penyelesaian sengketa tidak tercapai, mereka beralih ke mediator lain, membawah kasus ke hukum

formal atau menghentikan tuntutannya.

Penerapan: 6. Kesepakatan seringkali dalam bentuk tertulis dan ditandatangani justru untuk memperkuat

tekanan dalam penerapannya. Keterlibatan masyarakat dalam proses penyelesaian sengketa bisa

menjadi faktor tambahan sebagai sanksi sosial. Ketakutan akan balas dendam atau proses hukum

formal juga mendukung penegakkan kesepakatan itu. Pada akhirnya, bagaimanapun juga, pelaksanaan

kesepakatan ini tergantung pada kemauan orang yang bersengketa. Pihak yang berkuasa sering

mengabaikan hasil mediasi.

Meski prosedur ini sering diikuti dalam penyelesaian sengketa informal, tidak selalu persis seperti di atas.

Sebagaimana jelas ditunjukkan dalam Studi Kasus 4 di bawah, beberapa proses penyelesaian bisa berjalan

sekaligus dengan melibatkan beberapa mediator berbeda. Dan seperti ditunjukkan dalam kasus Perkelahian di

Pasar, sengketa maju-mundur antara sistem formal dan informal. Kadang-kadang proses penyelesaian berjalan

pada jalur yang paralel atau sejajar. Ancaman melimpahkan kasus ke kepolisian atau ancaman balas dendam

sering digunakan untuk mendorong penyelesaian yang cepat.

Tentu saja ada variasi setempat terkait standar prosesnya. Di Madura, Jawa Timur, umum terjadi pembalasan

dendam, vigilantisme dan “membunuh untuk harga diri”. Perkelahian berdarah satu lawan satu hingga meninggal

– yang dikenal di tempat itu sebagai carok – diterima baik secara sosial dan kultural sebagai cara memecahkan

perselisihan, terutama sekali jika harga diri dan kedudukan sosial laki-laki ditantang. Secara paradoks, ketakutan

akan carok merupakan pendorong kuat untuk menyelesaikan sengketa secara damai.

Hak untuk Mendengar dan Didengarkan

Pihak yang bersengketa boleh menghadirkan diri, menyampaikan argumentasi mereka dan berpartisipasi secara

aktif dalam proses penyelesaian sengketa informal. Tetapi ada pengecualian di Sumatera Barat, dimana mereka

yang bersengketa hanya bisa menghadap Dewan Adat, sementara proses pengambilan keputusan menjadi

hak eksklusif dari para pemimpin garis keturunan suku laki-laki, atau disebut mamak. Kaum perempuan tidak

terwakili dalam proses ini – akibatnya kepentingan mereka sering diabaikan.

Proses-proses Sengketa

Proses penyelesaian sengketa informal biasanya berbentuk mediasi dan konsiliasi, dan pada dasarnya bersifat

sukarela. Seperti kata salah seorang pemimpin adat di Kalimantan, ‘Masyarakat melihat damang sebagai salah

Page 38: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

22 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa

satu pemimpin lokal. Kalau mereka ingin terima kami, mereka terima. Kalau nggak mau, nggak.’

Walaupun bersifat sukarela dan berdasarkan pada konsensus, mekanisme ini sering menggunakan apa yang

bisa disebut “arbitrase ringan”, dimana para pelaku atau institusi penyelesaian sengketa mengeluarkan “putusan”,

namun persetujuan tetap berada di pihak yang bersengketa. Seperti kata Raja dari Desa Asilulu di Maluku,

‘Raja tidak bertindak seperti pengadilan, kita pakai pendekatan kekeluargaan. Jika para pihak tidak puas, mereka

bisa membawa kasusnya ke polisi atau pengadilan. Namun himbauan saya jarang tidak dipatuhi oleh para pihak

yang bersengketa.’

Akan tetapi, sifat sukarela itu bersifat relatif. Membawa kasus ke pengadilan sebetulnya mustahil bagi sebagian

besar masyarakat miskin. Demikian juga, menentang kekuasan Raja bisa berdampak buruk. Demikianlah, bagi

pihak lemah khususnya, bila mereka menolak atau gagal menerapkan hasil penyelesaian sengketa informal,

hampir bisa dipastikan mereka tidak akan membawa kasus itu ke pengadilan atau penguasa yang lebih tinggi,

melainkan lebih untuk menghindari konfl ik.

Kasus di bawah ini menggambarkan pendekatan yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa dan tipe kasus

yang sering terjadi.

Studi Kasus 4: Warisan membawa petaka33

Sengketa warisan antar-kampung ini melibatkan dua saudara sepupu. Sammat tinggal di Desa Palengaan Daja dan Sadirman

adalah warga Desa Poreh, keduanya ada di Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur. Sengketa ini mengenai lahan yang digarap

Sardiman, tapi lahan itu berada di desa tempat tinggal Sammat.

Sardiman menerima lahan itu sebagai warisan dari ayahnya, yang sebelumnya menikah dengan perempuan asal Desa

Palengaan Daja. Istri ayahnya terdahulu meninggal---sebelum melahirkan anak---dan meninggalkan warisan lahan, dan

selanjutnya ayah Sadirman menikah lagi, dan lahirlah Sardiman. Perempuan yang dinikahi ayah Sadirman dari Desa Palengaan

Daja itu rupanya bibi dari Sammat, dan karena itu, ketika ayah Sadirman meninggal, Sammat mengklaim lahan itu menjadi

haknya.

Pada awalnya, Sammat mencoba mengklaim secara sepihak lahan yang disengketakan itu dengan memberi tanda berupa

patok-patok. Tapi Sardiman menolak tindakan itu, sehingga Sammat melapor ke kepala desa wilayah sengketa, Desa

Palengaan Daja – desa tempat tinggal Sammat. Kepala desa mengundang kedua pihak ke rumahnya, tapi Sardiman menolak

hadir. Salah satu saksi, Rahmat, menjelaskan apa yang terjadi:

‘Dalam penyelesaian kasus ini semuanya ada lima kali pertemuan. Yang pertama dilakukan dirumah pak Klebun (kepala desa)

tetapi tidak ada kesepakatan, kemudian pertemuan kedua dilakukan di lokasi karena Pak Klebun langsung turun ke lokasi,

tetapi juga tidak diperoleh penyelesaian.’

Pertemuan ketiga dilakukan di Dusun Tenggina Dua. Pertemuan dilakukan di dusun ini agar dua pihak dapat hadir dalam

musyawarah karena lokasi ini merupakan lokasi tengah-tengah antara pihak Palengaan Daja dan pihak Poreh. Pertemuan

bertempat di rumah seorang tokoh masyarakat yang juga dulu sebagai kepala dusun.

Ketika Sardiman dan para pendukungnya dari Desa Poreh datang di dusun itu, tiba-tiba mereka bersorak ‘Carok...carok...

carok...!’ Kedua pihak yang bersengketa ini sama-sama membawa pendukung, dan hampir semuanya membawa clurit.

Kepala dusun maupun kepala desa mampu menenangkan massa, dan meyakinkan mereka agar menyerahkan senjata tajam

itu. Bagaimanapun, mereka tidak mampu memfasilitasi kesepakatan.

Sampai sekarang belum ada penyelesaian. Untuk waktu yang cukup lama, tanah yang disengketakan dibiarkan dan tidak

terpakai. Kepala desa dua kali lagi mencoba mengadakan pertemuan, tapi dua pihak menolak hadir. Selanjutnya, Sadirman

dari Desa Poreh kembali menggarap lahan itu. Saat ini status lahan tidak ditentang tapi juga belum terselesaikan.’

33 Untuk kasus yang selengkapnya lihat Mohammad Said (2004), “Inheritance brings Misfortune” di Samuel Clark (ed.), (2004) ‘More than

just Ownership: Ten Land and Natural Resource Confl ict Case Studies from East Java and Flores’, Indonesian Social Development Paper No.

4, Jakarta: World Bank.

Page 39: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

23Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa

Yang agak mengejutkan, meskipun kasus warisan ini melibatkan warga beragama Islam, pemimpin agama

tidak terlibat. Ini menunjukkan bahwa pihak yang bersengketa bisa memilih mediator yang paling tepat

menurut mereka. Kasus ini juga menggambarkan sulitnya mencapai konsensus dan peranan kekerasan atau

ancaman kekerasan dalam penyelesaian konfl ik. Tanpa ada penyelesaian berdasarkan dasar hukum yang jelas,

kemungkinan besar perselisihan ini akan muncul kembali.

Norma-norma Apa yang Diterapkan?

Sistem peradilan non-negara terdiri dari beberapa sumber hukum dan norma, yang tersedia dengan tingkat

yang berbeda dan dengan kekuatan berbeda pada wilayah-wilayah penelitian ini. Sumber hukum itu termasuk:

(i) hukum adat; (ii) hukum keagamaan; dan (iii) hukum negara dan peraturan daerah. Di beberapa area penelitian,

dua atau bahkan tiga dari sistem normatif ini sudah terintegrasi, tetapi persaingan juga muncul ketika hukum

negara, agama dan adat dan prosesnya tidak konsisten.

Kodifi kasi Hukum Adat Makin Sering Dilakukan...

Hukum adat biasanya disampaikan melalui tradisi lisan, tapi di sebagian lokasi penelitian sudah ada upaya

mengkodifi kasi atau membukukan hukum adat yang dilakukan pemerintah, LSM dan/atau tokoh adat setempat.

Di Kalimantan Tengah, misalnya, pada tahun 1996 sekelompok LSM dan cendekiawan dari suku Dayak, bersama-

sama dengan Pemerintah Provinsi, mengeluarkan buku hukum adat. Buku tersebut mencakup prosedur dan

sanksi untuk berbagai pelanggaran, termasuk perselingkuhan; hubungan seksual/kehamilan sebelum nikah;

pembunuhan; pencurian dan perampokan; dan fi tnah.34

Seluruh damang yang berjumlah delapan orang yang kami ajak bicara selama penelitian ini mengetahui adanya

buku tersebut dan mengatakan bahwa kitab itu menjadi sebagai rujukan dalam hal penyelesaian sengketa, tapi

hanya seorang yang memilikinya. Seorang damang yang lain di Kalimantan Tengah juga mencoba melakukan

kodifi kasi hukum adat di kecamatannya dan diterbitkan tahun 2004.35 Beberapa kabupaten di Kalimantan Barat

juga sedang menyusun buku hukum adat setempat.36

Di Sumatera Barat, hukum adat mencakupi berbagai aspek dalam kehidupan sosial, terutama berkaitan dengan

hak kepemilikan dan penggunaan tanah. Baru-baru ini beberapa nagari sudah mulai menyusun kodifi kasi

hukum adat melalui Peraturan Nagari.37 Di Lombok, ada perbedaan pandangan mengenai sisi baik dan buruknya

mengkodifi kasi hukum adat, tetapi ada kecenderungan terhadap upaya kodifi kasi adat lokal dalam bentuk

peraturan desa, yang disana dikenal sebagai awig-awig.38

34 Setwilda Tingkat I Kalimantan Tengah (1996) Lembaga Kedamangan dan Hukum Adat Dayak Ngaju di Propinsi Kalimantan Tengah;

Palangkaraya: Pemerintah Propinsi Kalimantan Tengah.

35 Y. Nathan Ilun (2004) ‘Mengenal Hukum Adat’ Makalah tidak diterbitkan, 2004.

36 Lihat http://www.sanggau.go.id/bappeda/index.php?option=com_content&task=view&id=53 &Itemid=9, pemberitaan media dari

Kabupaten Sanggau, Kalimantan Selatan tertanggal 23 Mei 2007, diakses 20 November 2007.

37 Contohnya, Nagari Minangkabau di Kabupaten Tanah Datar telah mengeluarkan Peraturan Nagari No. 1 Tahun 2002, tentang

Pemberantasan Penyakit Sosial, No. 2 Tahun 2003 tentang Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan, serta No. 3 Tahun 2002 tentang

Gotong Royong.

38 Di Desa Bentek misalnya, awig-awig dikeluarkan pada tahun 2001 meliputi pengelolaan lingkungan, kewajiban keagamaan dan

kerjasama antar desa dalam pengelolaan sumber air.

Page 40: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

24 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa

Boks 1: Contoh hukum adat dari Bentek, Nusa Tenggara Barat

Bentek berada di bawah kepemimpinan kepala desa yang terkenal, Kamardi. Dia seorang aktivis dan pengacara yang

sering menghadiri dialog nasional mengenai masalah pemerintahan desa, adat maupun soal penyelesaian sengketa.

Pada tahun 2001, Majelis Adat Bentek mengeluarkan Kitab Awig-Awig tertulis. Berisi 28 pasal, aturan itu mengatur

kewajiban keagamaan, hubungan seksual pra-nikah, dan perlindungan lingkungan. Contoh pasal yang mencakup

prinsip umum hingga persyaratan khusus, yang didukung dengan sanksi-sanksi, diantaranya:

Pasal 3 (c): Setiap orang wajib mentaati ajaran agamanya masing-masing• Pasal 6 (a): Pergaulan muda-mudi hendaknya didasarkan atas norma-norma yang berlaku baik yang tertuang • dalam ajaran agama maupun adat istiadat dengan menjaga kehormatan masing-masing

Pasal 9 (a): Setiap manusia berkewajiban menjaga, melestarikan keutuhan dan memanfaatkan alam secara • selaras, serasi dan seimbang

Pasal 10 (b): Setiap orang atau kelompok maupun badan usaha yang diberikan izin pemanfaatan • Gumi paer

dilarang melakukan kegiatan yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan.

Pasal 10 (c): Setiap orang dilarang: membuka merambah kawasan hutan secara tidak syah; melakukan • penebangan atau mengambil hasil hutan secara besar-besaran (bisnis); melakukan penebangan pohon

dengan radius/jarah 500 meter dari tepi waduk, embung, dam, dll; 200 meter dari mata air sungai atau anak

sungai.

Pasal 10 (f ): Setiap orang dilarang menangkap ikan dengan menggunakan zat kimia (racun).• Pasal 10 (h): Setiap orang dilarang membakar hutan.•

Banyak responden dari seluruh lima lokasi penelitian menyatakan pandangan bahwa dalam konteks modern,

kodifi kasi merupakan hal yang penting untuk legitimasi dan pengakuan dari luar terhadap hukum adat.

Sementara, beberapa responden lainnya menolak kodifi kasi, karena bertentangan dengan sifat hukum adat

yang dinamis. Mereka juga khawatir, kodifi kasi hukum adat bisa membatasi penafsiran hanya pada perorangan

atau kelompok tertentu tentang isi norma-norma yang diatur, sedangkan hal itu sering diperdebatkan. Ada juga

kekhawatiran yang cukup beralasan, bahwa mendefi nisikan kebiasan atau tradisi – termasuk proses penyelesaian

sengketa – dengan meniru prosedur resmi pemerintah, bisa mengurangi fl eksibilitas mekanisme peradilan non-

negara.

...tetapi norma-norma sosial yang tidak tertulis masih dominan

Akan tetapi, yang lebih sering ditemukan dari pada hukum adat tertulis adalah proses penyelesaian sengketa

tanpa ada aturan atau norma yang berlaku. Perselisihan sering diselesaikan berdasarkan konsep keadilan

setempat atau bahkan apa yang secara subyektif dipikirkan oleh para pemimpin lokal, tanpa mengacu pada

hukum negara, agama atau adat. Pihak yang mampu mengumpulkan sebagian besar yang berwenang biasanya

yang menentukan lokasi dan proses dan kemudian juga hasilnya.

Jadi, walaupun ada banyak “jalan menuju keadilan,” secara keseluruhan proses penyelesaian sengketa informal

bukan merupakan sistem yang komprehensif dan jelas, melainkan seperangkat proses yang dijalankan dan

dikuasai oleh individu yang berpengaruh. Mereka menentukan struktur, proses dan norma-norma yang akan

diterapkan.

Apakah norma dalam bentuk tertulis atau lisan atau semata-mata didasarkan pada akal sehat, pada kenyataannya

norma sosial dan kekuasaan yang biasanya menentukan hasil penyelesaian sengketa di tingkat lokal.39 Kasus

Souhoku dan Panangguan di atas adalah dua contoh dimana kepala desa berhasil mencapai kompromi untuk

39 Sebagaimana dinyatakan oleh Narayan, ‘Interaksi warga miskin dengan tuan tanah, pengusaha, rentenir,[...] lebih diatur oleh norma-

norma sosial, yang mengarahkan siapa yang memiliki nilai apa dalam setiap hubungan timbal balik daripada diatur melalui hukum

negara.’, Deepa Narayan et al (2000), Voices of the Poor, Can Anyone Hear Us?, New York: OUP, hal. 278.

Page 41: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

25Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa

memecahkan sengketa tanah antara teman dan saudara sepupu. Hasil yang dicapai tidak mengacu pada

hukum negara atau adat atau kebenaran obyektif. Hal itu tidak relevan. Sebagaimana kata seorang Kepala

Desa di Lombok, Kamardi, ‘Yang kita upayakan adalah solusinya.’ Hasil penyelesaian sengketa tersebut mampu

menenangkan ketegangan – memberikan suatu solusi – paling tidak dalam jangka pendek.

Jadi, pada umumnya peradilan non-negara merupakan suatu lingkungan tanpa hukum (‘delegalized environment’).

Hal tersebut dapat memudahkan pencapaian hasil mediasi yang fl eksibel. Tetapi tanpa ada struktur atau norma

yang jelas, para pelaku penyelesaian sengketa informal memiliki wewenang yang sangat luas. Apabila norma

sosial yang dominan, hubungan sosial dan kekuasaan akan menjadi faktor penentu. Kenetralan sulit ditemukan

di tingkat desa dan akibatnya, jalan menuju keadilan tidak setara bagi semua orang. Pihak yang berkuasa

melewati jalan yang lancar; pihak yang lemah harus menghadapi jalan yang penuh hambatan.

Bahkan kalau norma dan prosedur penyelesaian sengketa sudah jelas dan dipahami dengan baik, belum tentu

bisa diterapkan dengan konsisten. Penyalahgunaan dan eksploitasi sangat biasa, sebagaimana diterangkan

dalam kasus berikut dari Sumatera Barat. Dalam kasus ini, lemahnya status sosial perempuan dan keinginan

kepala adat untuk “memberi pelajaran”, mendorong tindakan pemaksaan sanksi terhadap perempuan, padahal

hal itu tidak pernah terjadi sebelumnya dalam kasus yang sama. Norma sosial, bukan undang-undang, memang

menentukan hasil yang dicapai.

Studi Kasus 5: Penghinaan ketua adat

Kedua pihak hidup bertetangga di nagari Sumpur, Sumatera Barat. Salah satunya bergelar Datuk, menunujukkan bahwa

dia ketua adat. Pihak lain adalah seorang perempuan yang menikah dengan marga lain di nagari itu. Konfl ik meletus

di antara mereka, ketika terjadi perkelahian antara anak-anak mereka, dan kemudian menyebabkan tindakan saling

mengejek antar keluarga. Pada saat mengejek itu, ketua adat dipanggil dengan “wa’ang”, (kamu) bukannya dipanggil

“Datuk” sebagaimana mestinya. Beberapa anggota keluarga dari ketua adat itu mendengar dan kemudian melaporkan

ke lembaga Kerapatan Adat Nagari (KAN), bahwa mamak mereka dihina menurut adat.

Anggota KAN adalah semua ketua adat/mamak dan oleh karena itu kaum laki-laki. Selanjutnya KAN mengundang

dua pihak untuk menjelaskan apa yang terjadi, kemudian membentuk tim untuk merumuskan sanksi yang tepat. Pada

akhirnya perempuan itu kena denda Rp 300.000,- untuk dibayarkan kepada KAN. Denda itu justru dibayarkan pada KAN

daripada kepada “korban”, karena dianggap sebagai penghinaan terhadap nagari secara keseluruhan.

Pihak perempuan menganggap keputusan itu tidak wajar, karena dia juga menerima penghinaan dari pihak lain, ‘Ini

bukan kali pertama Datuk dipanggil dengan sebutan “wa’ang” oleh seseorang. Bahkan kemenakannya juga melakukannya.

Tetapi sebelumnya tidak ada sanksi.’

Kepala Kerapatan Adat Nagari (KAN) juga menyadari kedua pihak sama-sama bersalah. ‘Tetapi ninik mamak ingin

memberi pelajaran. Pada masa ini banyak orang muda yang tidak menghormati mamak mereka.’ Dia juga mengakui ada

kecemburuan sosial karena perempuan itu sukses dalam berbisnis dan bisa membangun rumah di nagari, sedangkan

ketua adat itu masih tinggal di gubuk bambu dan penghasilannya juga tidak pasti.

Pihak perempuan belum secara formal diangkat dalam kelompok suku atau marga (dalam istilah Minangkabau belum

“bermamak”), dan dengan begitu tidak ada mamak yang bisa mewakilinya. Secara adat dia masih orang luar atau orang

asing. Jika perempuan ada mamak yang bisa mewakili dia, maka kasusnya akan langsung diselesaikan oleh para tokoh

suku itu, daripada diangkat ke KAN. Berdasarkan pengalaman itu, perempuan kemudian diangkat dalam kelompok suku

Datuk Basa Nan Tinggi, yang nantinya akan mewakilinya dalam kasus-kasus adat mendatang.

Pada adat Sumatera Barat, tidak ada kemungkinan “naik banding”. Hanya perselisihan yang belum terpecahkan

yang bisa “naik tangga-batanggo naik”, dengan begitu hanya sedikit proses “check and balance” dalam model

peradilan ini. Tanpa akuntabilitas ke atas, perempuan ini tidak memiliki alternatif, kecuali menerima keputusan

yang menurut ia tidak adil.

Page 42: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

26 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa

Sanksi-sanksi

Pertautan dengan sistem-sistem peradilan non-negara seharusnya didasarkan pada konsep supremasi konstitusi.

Karena itu, sanksi harus konsisten dengan hak kebebasan dari siksaan, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal

28G ayat 2 UUD 1945. Walaupun menurut hukum nasional, pengadilan memiliki wewenang eksklusif untuk

mengadili kasus pidana dan kasus perdata yang mencakup hak yang dilindungi oleh perundang-undangan

nasional, dalam kenyataannya para pelaku peradilan informal juga menangani dua jenis kasus itu.

Penerapan sanksi melalui peradilan informal, pada dasarnya tidak membedakan antara pelanggaran pidana

(kepentingan publik) dan perdata (kepentingan pribadi). Pembedaan semacam ini jarang terjadi, terutama di

lingkungan masyarakat adat, dimana masalah pribadi seringkali dipahami melalui kacamata suku atau keluarga.

Pemulihan kerukunan antar suku atau keluarga menjadi pendorong penyelesaian, bukan hak individu. Bentuk

sanksi yang diterapkan juga ditentukan oleh kepentingan kerukunan atau harmoni komunal.

Untuk perselisihan sederhana, kata maaf seringkali bisa diterima. Dalam kasus lain, pembayaran denda atau ganti

rugi merupakan bentuk sanksi utama – seringkali sanksi berbentuk uang ini mengandung unsur hukuman dan

pembayaran kompensasi atas luka fi sik atau kerusakan barang. Bila terdapat hukum adat tertulis, biasanya juga

mencantumkan jumlah denda untuk setiap pelanggaran. Pada kenyataannya, ketika menentukan sanksi yang

dianggap sesuai, pengurus adat biasanya bersikap fl eksibel dan mempertimbangkan kemampuan keuangan

dari pihak yang dianggap bersalah. Di Kalimantan Tengah, pasal 37 dari Buku Hukum Adat mencantumkan, bila

pelaku yang bersalah tidak bisa membayar denda, maka dibebankan pada keluarganya.

Hukuman Badan Pernah Terjadi, Tapi Jarang

Hukuman fi sik atau badan memang jarang, tapi masih dipraktikkan di beberapa wilayah. Di Desa Amahai, Pulau

Seram, Maluku, seorang pemuda pernah dicambuk karena melempari kantor kepala desa dengan batu (Studi

Kasus 21). Di Nagari Paninggahan dan Gantung Ciri, Sumatera Barat, Wali Nagari kadang-kadang mendelegasikan

proses penyelesaian sengketa kecil ke organisasi pemuda, yang nanti akan memberikan sanksi berupa pukulan

bagi siapa yang melanggar. Sanksi lain meliputi nasihat, atau dikeluarkan dari acara-acara adat, sampai sanksi

diusir dari desa-dibuang secara adat.

Tabel dibawah berisi perbandingan sanksi untuk kasus-kasus pidana tertentu berdasarkan undang-undang

negara, contoh hukum adat tertulis dari Kalimantan Tengah, dan dari sebuah desa di Nusa Tenggara Barat, serta

sanksi yang diterapkan dalam kasus-kasus yang dikaji dalam laporan ini.

Page 43: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

27Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa

Tabel 3: Sanksi bagi tindak pidana menurut hukum negara dan hukum adat di lokasi riset terpilih

Pidana/

Norma

KUHP Adat Dayak,

Kalimantan Tengah

Adat Desa Bentek,

NTB

Contoh Sanksi dari

kasus yang diteliti.

Pembunuhan Maksimal 15 tahun 375-750 kati ramu ** Dirujuk ke polisi Rp 36 juta: Kasus 16

Pemerkosaan Maksimal 12 tahun

4 – 15 tahun/Rp 12 juta – 300

juta jika terjadi dalam rumah

tangga (UU PKDRT)

45 – 90 kati ramu

90 – 150 kati ramu, jika

korban belum dewasa.

49,000 –

100,000 UB *

Tidak ada sanksi.

Kasus 7 & 28.

Bukan tindak kriminal jika atas

kesepakatan bersama.

7 – 9 tahun jika disertai

kekerasan.

Dakwaan alternatif adalah

pelanggaran moralitas publik.

Maksimal 32 bulan atau Rp

450,-

Denda bervariasi

antara 30 – 300 kati

ramu.

Rp 5 juta untuk si pria.

Kasus 24

Penganiayaan Maksimal 32 bulan/

denda Rp 4500,-

1 – 15 kati ramu 49,000 –

100,000 UB

Rp 6 juta: Kasus 1

Permintaan Maaf: Kasus 9

Tiada sanksi: Kasus 12

Pencurian/

Perampokan

Pencurian: Maksimal 5 tahun;

9 tahun jika disertai kekerasan

atau Rp 900,-

Perampokan: 12 tahun,

20 tahun jika disertai

kekerasan; hukuman mati jika

menyebabkan korban tewas

atau Rp 900,-

15 – 45 kati ramu 49,000 –

100,000 UB

Tidak ada contoh kasus

Fitnah 9 bulan – 4 tahun 30 – 45 kati ramu 5,450 – 49,000 UB Permintaan maaf, Rp

300,000 dan makanan

untuk seluruh penghuni

desa. Kasus 5

*UB atau “Uang bolong” merupakan bentuk mata uang atau alat tukar menukar yang sah yang berlaku pada zaman dahulu di pulau Lombok,

NTB. Sekarang dipakai sebagai ukuran sanksi adat. Pada 2006, 1000 UB = 1 ekor ayam, 1 botol minyak kelapa, satu kotak buah-buahan, kayu,

atau Rp 12,000,-.

** Kati ramu adalah ukuran/takaran barang, biasanya 1 kati ramu setara dengan 6 ons. Barang bisa berupa emas atau uang. Dalam kasus

pembunuhan terkenal di Palangkaraya, sanksi denda sebesar Rp 12 juta. Tapi lebih dari itu, ada hewan yang harus dikorbankan, upacara adat

serta biaya penguburan yang layak. Pokoknya, sanksi bersifat luas dan fl eksibel.

Sebagian sanksi yang didokumentasikan dalam riset ini, termasuk mencambuk dan memukul pelanggar,

berlawanan dengan perlindungan UUD terhadap larangan penyiksaan. Namun, dengan tidak adanya

pengawasan yang efektif atas peradilan non-negara, sanksi seperti itu diberikan dengan impunitas.

Page 44: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

28 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa

Pendorong Resolusi: Menjaga Harmoni

Yang kita upayakan adalah solusinya. Kalau mencari yang benar, tidak pernah akan selesai.’

Kepala Desa, Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Prinsip utama peradilan informal adalah pemulihan kerukunan. Ketertiban sosial sangat penting di masyarakat

pedesaan, dimana saling ketergantungan sosial dan ekonomi sangat tinggi. Jadi, dengan sifat tidak saling

berhadapan dan mengutamakan kompromi dan fl eksibilitas, maka peradilan nonformal memiliki beberapa

kelebihan dibanding keputusan hakim pengadilan. Di Palangkaraya, pada kasus pembunuhan (Studi Kasus 16),

keluarga pelaku dan keluarga korban sudah dua kali bertemu dan berbagi makanan sejak peristiwa terjadi, dan

mereka memiliki hubungan baik. Dalam Studi Kasus 4, resolusi tidak tercapai tetapi kekerasan bisa dihindari.

Sebuah kasus di Desa Tanah Awu, Lombok Tengah, diselesaikan melalui adat, sedangkan keputusan Mahkamah

Agung untuk kasus yang sama diabaikan masyarakat. Pada kasus Ruhua di Seram, Maluku (yang digambarkan

di bawah ini), kepala desa bisa memulihkan kembali hubungan baik antara kelompok yang bertikai yang sudah

melewati perbatasan desa. Tindakan yang cepat, yang didasarkan pada realitas sosial bisa mencegah meluasnya

kekerasan.

Studi Kasus 6: Reaksi cepat raja dan polisi mencegah kerusuhan meluas di Ruhua

Halue Sunawe, seorang pemuda dari Ruhua di Pulau Seram, Maluku, pergi memetik cengkeh ke desa sebelah, Haya.

Desa Haya sejak lama bermusuhan dengan desa tetangga, Tehoru. Beberapa orang dari Desa Haya mencurigai Halue

berasal dari Tehoru, sehingga kemudian mereka memukuli Halue saat memetik cengkeh.

Halue kemudian mengumpulkan teman-temannya dan berencana membalas dendam. Mereka menghentikan

angkutan umum dari desa Haya, dan melemparinya dengan batu hingga semua kaca jendela pecah.

Pemilik kendaraan melaporkan insiden itu ke kepolisian. Polisi kemudian memanggil Raja dan Sekretaris Desa, serta pihak-

pihak yang bertikai. Difasilitasi oleh Raja, kedua pihak itu setuju untuk saling memaafkan dan menandatangani perjanjian

‘damai’. Halue didenda Rp 500,000,- untuk mengganti kerusakan kendaraan. Dia puas dengan hasil kesepakatan, karena

diproses cepat dan tanpa melalui proses pengadilan.

Harmoni dan Impunitas

Akan tetapi, mengutamakan kerukunan bisa mengorbankan hak asasi manusia dan keadilan perorangan.

Khususnya pada komunitas yang berbasis suku, dasarnya pemulihan harmoni adalah keseimbangan hubungan

komunal. Inilah yang menjadi alasan sesungguhnya, misalnya, Dewan Adat di Maluku dan Sumatera Barat terdiri

atas para kepala suku. Keberadaan mereka mewakili komunitas secara keseluruhan dan mereka melihat masalah

melalui kacamata komunal. Kepentingan komunal mengalahkan individu, karena harmoni antar suku menjaga

stabilitas dan keamanan desa secara keseluruhan.

Page 45: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

29Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa

Studi Kasus 7: Perkosaan yang diabaikan di Desa Sepa

Pada tahun 2003, perempuan berinisial P berusia 17 tahun diperkosa oleh adik suaminya sendiri di Desa Sepa, Pulau

Seram, Maluku. Ketika P mengadukan kasus yang dialaminya, P malah dipukuli oleh suaminya.

Perempuan itu lantas menceritakan kepada orang tuanya apa yang terjadi, kemudian hubungan antara keluarga P dan

suami memanas. Muncullah ancaman-ancaman dan penghinaan. Karena merasa diancam, maka orangtua suami P

mengadukan kasus ancaman ini kepada kepala desa. Namun kepala desa memutuskan untuk mengembalikan kasusnya

kepada pihak ketua Adat, karena para pihak yang bersengketa merupakan anggota suku Naulu dan suku Naulu telah

mempunyai mekanisme sendiri untuk menyelesaikan kasus/sengketa.

Ketua adat akhirnya menggelar musyawarah. Pertemuan dihadiri kedua keluarga, saniri negeri dan kepala dusun masing-

masing. Tetapi yang diselesaikan oleh mekanisme adat bukan persoalan perkosaan, melainkan peristiwa ancaman yang

justru dialami oleh keluarga suami P. Oleh sebab itu, pelaku perkosaan tidak ikut dipanggil dalam musyawarah.

Musyawarah diakhiri dengan penentuan denda. Kedua belah pihak baik keluarga korban maupun pelaku diwajibkan

membayar denda berupa piring dan kain berang. Kasus perkosaannya diabaikan. Ketika ditanya tanggapannya atas

penyelesaian kasus itu, P menjawab dengan marah, ‘Puas? Tidak. Saya tidak puas.’

Kasus ini menunjukkan bahwa subyektifi tas konsep harmoni itu bisa disalahgunakan dan dimanipulasi

untuk mendiamkan pengaduan dari kaum lemah. Pihak atau kelompok yang terpinggirkan juga rentan

“dimusyawarahkan” atau dipaksa untuk menerima keputusan yang tidak memuaskan.40

“Kerukunan atau ketentraman” seringkali diartikan dengan mempertahankan status quo atau sikap jangan

melawan pihak yang punya kekuasaan. Dalam kasus di atas, kebutuhan untuk mementingkan keharmonisan

membuat hak-hak korban diturunkan ke posisi sekunder, atau bahkan tidak mendapat perhatian sama sekali.

Ini juga terlihat jelas pada Studi Kasus 5 (kasus “Penghinaan Ketua Adat”), dimana perempuan tanpa status sosial

di desa dipaksa untuk menerima denda yang menurut ia tidak adil. Bandingkan juga dengan Studi Kasus 8 di

bawah, dimana seorang anggota DPRD sanggup mengabaikan sanksi adat. Baginya, harmoni itu tidak terlalu

penting. Kekuasaan dan status memberinya kebebasan untuk mengabaikan kepentingan komunal.

Pola-pola Penyelesaian Sengketa

Kasus-kasus Kecil Diselesaikan Secara Cepat...

Kasus-kasus kecil di dalam satu desa, seperti pencurian kecil-kecilan, perkelahian antara pemuda, atau sengketa

atas batas tanah atau sumber daya alam, pada umumnya mudah ditangani melalui penyelesaian secara

informal. Dari empat belas kasus semacam itu yang terdokumentasi di dalam laporan ini, sebelas diantaranya

bisa dipecahkan di tingkat lokal. Otoritas dan legitimasi sosial yang dimiliki pelaku penyelesaian sengketa cukup

untuk mencapai resolusi.

... tetapi ketika kasus yang dihadapi semakin rumit atau pihak dari luar desa turut campur

tangan, peradilan informal mulai terpecah.

Sebaliknya, kategori kasus lain secara konsisten sulit dipecahkan. Dari sembilan kasus perselisihan antar desa,

40 Seperti apa yang Merry telah simpulkan, ‘Umumnya keadilan populer (popular justice) cenderung mendorong dan menguatkan

kekuasaan setempat daripada merubahnya,’ lihat Sally Engle Merry, ‘Sorting Out Popular Justice,’ dalam Sally Engle Merry & Neal Milner

(ed)(1993) The Possibility of Popular Justice, Ann Arbor, Michigan: University of Michigan Press.

Page 46: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

30 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa

hanya tiga kasus yang bisa diselesaikan. Hanya satu dari tiga kasus yang melibatkan pihak luar dapat dipecahkan,

dan dalam kasus ini hasil resolusi belum bisa sepenuhnya diterapkan. Ini biasanya terkait masalah tanah atau

kepentingan ekonomi lain yang cukup signifi kan. Kasus yang melibatkan perempuan atau kelompok etnis

minoritas biasanya juga sulit dipecahkan (lihat Bab III). Dan perlu diperhatikan juga bahwa semata-mata kasus

saja tidak menceritakan keseluruhan cerita – banyak masalah hukum yang dialami oleh perempuan khususnya

ditekan, sampai mereka diam saja dan masalahnya sama sekali diabaikan.

C. Persinggungan antara Peradilan Formal dan Informal

Temuan utama:

Interaksi antara peradilan formal dan non-formal sering terjadi. 1. Dari 34 kasus yang dikaji, 16 kasus melibatkan

pelaku sektor hukum formal dan empat kasus dibawa ke pengadilan. Interaksi ini biasanya terpicu bila kasusnya

mengarah pada kekerasan, kasusnya ada kaitan dengan kepentingan ekonomi atau melibatkan kepentingan di

luar desa.

Kepolisian menengahi hampir semua keluhan. 2. Diskresi polisi untuk memediasikan sengketa sangat luas dan

tidak terbatas; kadang-kadang akibatnya ketidakadilan dan korupsi.

Persinggungan kurang terdefi nisikan. 3. Pengadilan wajib mempertimbangkan hasil peradilan informal. Tapi

hakim seringkali kurang memahami kebiasaan dan tradisi lokal. Wewenang peradilan informal tidak terdefi nisikan,

dengan konsekuensi kejahatan serius dimediasi padahal seharusnya diadili melalui jalur formal.

Norma-norma yang bertentangan. 4. Norma-norma sering bertentangan. Hasil proses peradilan formal dan

informal bisa berbeda untuk kasus yang sama, yang menimbulkan inkonsistensi dan ambiguitas hukum.

Interaksi Antara Sistem Hukum Formal dan Informal Sering Terjadi

Walaupun kebanyakan perselisihan ditangani melalui mekanisme informal, interaksi antara upaya penyelesaian

formal dan informal biasa terjadi dan sungguh tidak bisa dielakkan di negara dengan sistem hukum yang bersifat

pluralistis. Dari 34 kasus yang dimuat dalam laporan ini, 16 melewati mekanisme informal dan melibatkan pelaku

peradilan formal. Empat kasus dibawa ke pengadilan. Oleh karena itu, kasus-kasus ini menjadi contoh yang

tepat untuk mendokumentasikan dan menganalisa persinggungan antara peradilan formal dan informal.

Temuan riset ini menunjukkan bahwa interaksi antara formal dan informal nampaknya muncul oleh tiga faktor

utama. Pertama, kasus itu diwarnai kekerasan serius. Data konfl ik yang diperoleh dari surat kabar menunjukkan

ketika kasus melibatkan kekerasan, keterlibatan polisi dalam penyelesaian kasus meningkat dari 27 persen ke

86 persen. Kedua, kasus yang melibatkan “pihak luar”, termasuk kepentingan sektor swasta atau etnis minoritas.

Beberapa kasus dari Sumatera Barat menggambarkan situasi ini (lihat Kasus 13, 29, 30 dan 33). Faktor terakhir,

kasus yang terkait dengan kepentingan ekonomi yang besar mungkin akan diselesaikan lewat “naik banding”

melalui sistem formal.

Kebanyakan kasus yang sudah melewati sistem informal akan masuk sistem formal melalui polisi. Data GDS

(Survei Pemerintahan dan Desentralisasi) yang ditampilkan di atas menunjukkan polisi terlibat dalam 26,7 persen

perselisihan, sedangkan jaksa maupun pengacara hanya 1,4 persen dan 2,4 persen masing-masing.41

41 Serupa dengan hal ini, rangkaian data berbasis laporan surat kabar mengenai konfl ik di Jawa Timur menunjukkan 37,4 persen dari

semua persengketaan melibatkan polisi, tapi hanya 7,3 persen yang sampai ke pengadilan. Lihat Patrick Barron and Joanne Sharpe

(2005) ‘Counting Confl icts: Using Newspaper Reports to Understand Violence in Indonesia’, Confl ict Prevention and Reconstruction Paper

No. 25. Washington, DC: World Bank.

Page 47: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

31Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa

Akan tetapi, keterlibatan polisi tidak berarti perselisihan itu pasti akan menuju ke tuntutan hukum. Polisi memiliki

wewenang yang luas untuk memutuskan kasus mana yang cukup serius untuk diserahkan kepada jaksa dan

pengadilan. Di Jawa Timur, misalnya, polisi mengklaim bahwa mereka menyelesaikan 80 persen kasus secara

informal, baik melalui mediasi, atau diserahkan kembali kepada mekanisme peradilan non-negara.42 Wewenang

itu tidak didasarkan pada peraturan atau pedoman operasi.43

Persinggungan antara formal dan informal ini penting untuk beberapa alasan. Pertama, kepastian hukum.

Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 memberikan mandat kepada kepala desa, bekerja sama dengan

lembaga adat, untuk ‘mendamaikan perselisihan masyarakat’ (Pasal 15 Ayat 1(k)). Defi nisi hubungan antara

peradilan formal dan informal sangat tidak terinci. Kondisi ini menimbulkan hasil yang berbeda-beda untuk

keluhan yang sama, sehingga menyebabkan ketidakpastian, ambiguitas dan kebingungan.

Kedua, pengawasan. Jika pengadilan cukup kuat, maka negosiasi di tingkat lokal bisa dijalankan mengatasi

maslah ketidakpastian hukum. Keputusan yang tidak adil melalui sistem peradilan informal bisa diperbaiki di

tingkat yang lebih tinggi, yang membuka pilihan lebih bagi kelompok lemah dan terpinggirkan.

Bagaimana Pengadilan Formal dan Informal Berinteraksi?

Studi kasus yang diteliti menunjukkan bahwa sistem formal dan informal saling berhubungan melalui dua cara

– interaksi langsung atau pun tidak langsung.

Interaksi langsung terjadi (i) ketika sistem pengadilan formal dilibatkan secara langsung dalam menangani

kasus yang sudah melalui sistem informal, melalui proses ‘naik banding’; (ii) atau ketika suatu perselisihan secara

simultan diselesaikan melalui mekanisme formal dan informal.

Akan tetapi, penelitian ini menunjukkan bahwa sekalipun sistem formal tidak secara langsung menangani suatu

kasus, secara tidak langsung tetap memainkan peran penting dalam proses penyelesaian sengketa. Ini terjadi

ketika (i) pelaku sistem formal bertindak secara informal; atau (ii) ketika para pelaku informal atau pihak yang

berselisih menggunakan sistem keadilan formal sebagai acuan atau sumber norma dalam proses penyelesaian

sengketa informal.

Interaksi Langsung: Pengawasan dan Naik Banding

Sama halnya dengan kasus yang bisa naik melalui jalur formal hingga Mahkamah Agung, sengketa juga bisa

“naik banding” dari penyelesaian informal ke formal. Ini bentuk pengawasan pasif, yang hanya muncul ketika

kasus yang sudah ditangani melalui mekanisme informal dirujuk ke sistem hukum formal. Pada Studi Kasus 8 di

bawah ini, seorang yang mengalami masalah terkait siapa yang dinikahi anak perempuannya tidak puas dengan

sanksi adat yang dijatuhkan padanya dan mengajukan “banding” terhadap putusan adat berupa gugatan ke

Pengadilan Negeri.

42 Baare, di atas n.27, hal. 9.

43 Wawancara dengan Profesor Adrianus Meliala, Universitas Indonesia, 7 Desember 2007. Dengan perbandingan polisi di negara lain, Polisi

Federal Australia contohnya, memiliki pedoman yang rinci berdasarkan kekuatan barang bukti, sifat dasar kejahatan, mempertimbangkan

kepentingan umum, usia dan intelegansia dari pelaku kejahatan, sikap daripada korban, dan sebagainya.

Page 48: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

32 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa

Studi Kasus 8: Gugatan terhadap denda adat yang berat44

Haji Anggeng merupakan seorang tokoh terkenal dan anggota DPRD di Lombok Barat. Ia berasal dari Kecamatan

Tanjung di Lombok Barat, tapi karena aktivitas politiknya ia tinggal di ibukota provinsi di Mataram.

Pada bulan Februari 2002, putrinya Linda “diculik” Sahrudin, pemuda dari desa tetangga.44 Sehari kemudian, keluarga

Sahrudin meminta kepala dusun memberitahu secara resmi kepada Anggeng mengenai niat Sahruddin menikahi Linda.

Menurut seorang saksi mata yang hadir dalam salah satu pertemuan, Anggeng menyetujui niat ini tetapi meminta uang

Rp 5 juta sebagai “ganti rugi” atas penculikan itu.

Akan tetapi, dua hari kemudian, Anggeng mengunjungi Linda di rumah Sahruddin, untuk meminta penjelasan mengenai

keinginannya menikah. Ia juga mempertanyakan apakah keluarga Sahruddin mampu menanggung hidupnya. Hari

berikutnya, Linda meninggalkan rumah Sahruddin, dan setelah penyelidikan dari pihak desa, Linda ternyata ada di

rumah ayahnya di Mataram. Ini kemudian ditafsirkan sebagai pelanggaran prosedur perkawinan adat.

Sore itu, kepala dusun, pemimpin agama dan tokoh masyarakat menggelar musyawarah, untuk membahas masalah itu.

Pertemuan itu memutuskan Anggeng melanggar adat. Ia didenda cukup berat, mencakup pembayaran satu kambing

putih, satu kambing hitam, makanan dan uang yang harus dibagikan kepada orang miskin. Anggeng menolak denda

itu dan membawa kasus itu ke pengadilan negeri.

Di pengadilan, Anggeng keberatan atas prosedur, keputusan dan sanksi yang dikeluarkan lembaga adat. Pengadilan

kemudian memutuskan denda itu tidak sah, bukan karena menganggap dewan adat tidak berhak bertindak di luar

kewenangannya hingga menjatuhkan sanksi yang keras seperti itu, tapi karena sanksi itu tidak konsisten dengan hukum

adat setempat. Dalam pertimbangan pengadilan, jika sanksi itu sesuai dengan hukum adat lokal, maka pengadilan akan

mendukungnya.

Menanggapi keputusan pengadilan itu, dewan adat justru meningkatkan sanksi, termasuk mengusir Anggeng dari desa

selama tiga tahun dan membekukan hak-hak perdatanya dan perannya dalam acara adat. Bagaimanapun, sanksi ini

tidak diterapkan, dan tidak berdampak atas kehidupan Anggeng di desa.

Dalam kasus ini, sistem formal bertindak sebagai mekanisme pengawasan proses adat. Seperti dicatat

diatas, pengadilan wajib mempertimbangkan proses peradilan informal dan nilai dan tradisi lokal. Tentu

saja “mempertimbangkan” tidak berarti “mengikat secara hukum”, dan dalam kasus ini keputusan pengadilan

membatalkan keputusan adat.

Jika memenuhi perannya yang sesuai, pengadilan seharusnya memutuskan apakah sanksi adat yang dijatuhkan

atas Anggeng sudah melanggar hak asasi atau hak sipil Anggeng; atau apakah prosedur adat itu cacat menurut

proses hukum yang adil (mungkin, karena tidak seorang pun – bahkan pimpinan adat - bisa mengharuskan

orang lain membayar denda untuk alasan yang tidak jelas). Jika pengadilan memutuskan perkara atas dasar

ini, seharusnya ada keputusan pengadilan bahwa sanksi yang membebankan Anggeng tidak sah dan tidak bisa

dilaksanakan, karena sanksi itu melanggar hukum perdata nasional, dan bukan karena sanksi itu tidak konsisten

dengan adat setempat.

Reaksi dari para pelaku peradilan informal menunjukkan, bahwa pengawasan dari pihak luar tidak selalu disambut

baik. Status Anggeng berarti bahwa dia bisa mengabaikan denda dan sanksi sosial. Tapi pilihan ini tidak tersedia

bagi masyarakat desa yang lebih bergantung pada hubungan sosial yang harmonis dan tunduk pada hubungan

kekuasaan lokal.

44 Di Lombok ada tradisi, yang dikenal sebagai merariq atau memulang, dimana mempelai pria secara simbolis menculik calon mempelai

perempuan dan membawanya ke rumah keluarga si pria, sebagai cara untuk menyampaikan niatnya menikah. Meskipun tidak selalu

begitu, tetapi diasumsikan perempuan setuju.

Page 49: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

33Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa

Interaksi langsung antara proses penyelesaian perselisihan formal dan informal sering memerlukan kompromi

dan negosiasi antara kedua sistem itu, yang seringkali memiliki tujuan yang berbeda. Kasus penikaman di

Kalimantan (Studi Kasus 16 di bawah) memberi contoh bagaimana sistem formal dan informal bisa bekerjasama

dengan baik untuk menyeimbangkan tujuan dari keduanya.

Akan tetapi, seringkali interaksi menjadi berlawanan, terutama bila sistem formal dan informal berada di sisi

berbeda dalam suatu kasus perselisihan. Memang, dalam beberapa peristiwa, sistem formal enggan menerima

upaya banding dari kasus yang sudah diselesaikan secara informal.45 Dalam Studi Kasus 32 yang berasal dari

Sumatera Barat, pengadilan nampaknya diintimidasi dengan ruwetnya aturan kepemilikan tanah adat dan

karenanya menghindari inti masalah perselisihan. Sebagai konsekuensinya, kasus tetap tidak terpecahkan.

Dalam banyak contoh, masyarakat desa tidak mempunyai akses terhadap proses upaya banding ini. Pada kasus

KDRT di Kalimantan Tengah (Studi Kasus 12), upaya korban menyerahkan kembali kasusnya ke polisi dihalangi

oleh ancaman dari pengacara pelaku maupun minimnya kesadaran korban atas hukum. Butuh usaha tambahan

yaitu meningkatkan aksesibilitas pengadilan, bila ingin memperkuat peran “pengawasan” pengadilan terhadap

hukum adat. Dengan demikian, akses terhadap sistem pengadilan formal merupakan bagian yang tak terpisahkan

dalam kerangka memperkuat sistem peradilan informal.

Interaksi Tidak Langsung: Membentuk “Bayangan Hukum”

Bukanlah merupakan hal yang layak dan bukan juga menjadi kepentingan publik bahwa semua masalah

diselesaikan melalui sistem hukum formal. Kita sudah melihat sebelumnya, di negara majupun, hanya sedikit

kasus yang diselesaikan melalui keputusan pengadilan.46 Salah satu fungsi utama dari pengadilan, disamping

memproses sengketa, adalah untuk menetapkan satu standard dari kepastian hukum formal, yang bawahnya

bisa menjalankan penyelesaian perselisihan informal. Inilah yang sering disebut “bayangan hukum” (“shadow of

the law”) dimana ancaman sanksi hukum mengikuti setiap proses.

Beresikonya tindakan hukum dan biaya serta perasaan malu yang terkait bisa menjadi insentif atau pendorong

yang kuat untuk menyelesaikan sebuah kasus secara informal – untuk menghindari proses hukum formal. Itu

juga berarti bahwa akses terhadap sistem pengadilan formal bisa membantu mengatasi ketidakseimbangan

yang bisa menimbulkan ketidakadilan melalui sistem peradilan informal.

Dengan demikian, keterlibatan institusi formal dalam penerapan hasil penyelesaian sengketa informal tidak

hanya terjadi secara langsung melalui upaya banding. Dalam beberapa peristiwa, keterlibatan polisi dengan

ancaman sanksi hukumnya, “membayangi” hasil dan prosedur peradilan informal. Dalam kasus di bawah ini,

polisi terlibat dalam upaya mencari solusi atas perkelahian jalanan di Madura, Jawa Timur, pertama-tama dengan

melindungi korban, kemudian ambil bagian dalam negosiasi dan akhirnya dengan menjamin terselenggaranya

proses penyelesaian sengketa.

45 Ini bertentangan dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 16 (1), ‘Pengadilan tidak boleh

menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang

jelas.’

46 Lihat diatas, n. 5.

Page 50: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

34 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa

Studi Kasus 9: Perkelahian jalanan di Madura

Perkelahian ini bermula dari peristiwa kecil yang kemudian meledak menjadi ruwet, ketika pihak yang bermasalah dan

para pendukungnya tidak setuju soal bagaimana menyelesaikan masalah. Perselisihan ini terjadi di Desa Blumbungan,

Pamekasan, tetapi salah satu pihak yang bersengketa berasal dari desa tetangga.

Perkelahian itu terjadi tiba-tiba, ketika ada kecelakaan sepeda motor di dekat acara penyambutan jamaah haji yang baru

pulang. Seorang pengendara sepeda motor menyalip mobil di dekat lampu lalu lintas, tapi mobil itu langsung belok

kanan tanpa sadar dan menabrak jatuh pengendara motor itu. Wardi, yang tengah menyaksikan proses penyambutan

jamaah haji itu bergegas menolong pengendara motor, dan meneriaki si pengendara mobil, Paidi. ‘Kalau bawa mobil

hati-hati, jangan ugal-ugalan. Ini yang terjadi kalau kamu ngebut.’ Merasa dipermalukan di depan orang banyak, Paidi

turun dari mobil dan menonjok Wardi. Perkelahiannya tidak berjalan lama, karena beberapa orang berhasil memisahkan

mereka. Paidi pulang, sementara Wardi tetap menyaksikan prosesi itu.

Tapi Paidi menganggap itu belum selesai. Merasa marah karena dijadikan bahan hinaan, ia kembali ke lokasi sambil

membawa pisau dapur. Ia lantas menyerang Wardi, dibantu ayahnya, Djoko, yang memukul Wardi menggunakan kursi.

Orang-orang yang lewat segera menghentikan perkelahian dan mereka dipisahkan lagi. Djoko tetap mengancam Wardi,

dan berteriak ia akan membunuh Wardi kalau melihatnya di jalan.

Merasa terancam, Wardi segera melapor ke kepolisian setempat. Setelah mengumpulkan bukti dari saksi, polisi segera

menahan Paidi di kantor kepolisian. Mereka kemudian mengundang kyai untuk mendamaikan persoalan perselisihan itu,

tanpa harus melalui proses formal kepolisian. Tapi, Wardi menolak upaya kyai menyelesaikan kasus itu.

Beberapa hari kemudian Djoko dan Paidi melaporkan kasusnya ke kepala desa. Kepala desa kemudian mengusulkan

musyawarah desa untuk memecahkan masalah. Wardi setuju hadir. Kemudian, kepala desa mengundang tokoh

masyarakat, babinsa, anggota preman dan sejumlah tokoh desa, semuanya dari desa Djoko dan Paidi. Mereka membawa

rancangan surat perdamaian yang isinya Wardi setuju untuk mencabut laporan ke polisi.

Wardi merasa diintimidasi, khususnya atas kehadiran preman dan babinsa. Awalnya ia menolak bekerjasama. Akhirnya,

setelah diskusi yang lama, Wardi setuju kasus itu diselesaikan secara informal, asalkan surat perdamaian itu disaksikan dan

ditandatangani di kantor polisi.

Mekanisme peradilan non-negara umumnya gagal menyeimbangkan hubungan kekuasaan selama negosiasi

terjadi atau penerapan hasil penyelesaian47 Pada kasus KDRT di Kalimantan Tengah (Studi Kasus 12), Perkelahian

di Pasar (Studi Kasus 1) dan pada hampir semua sengketa yang menghadapkan komunitas dengan pihak luar

yang berkuasa, pihak lemah tidak bisa menerapkan hasil resolusi. Hal ini sejalan dengan hasilnya temuan pada

penelitian Village Justice in Indonesia –dimana dari seluruh lima kasus yang dikaji dimana pejabat yang berkuasa

menggelapkan dana pembangunan, perjanjian tertulis melalui mekanisme peradilan informal untuk membayar

kembali uang yang digelapkan diabaikan.48

Penerapan atau penegakkan hasil mekanisme informal tergantung pada tekanan sosial, rasa malu dan

ketergantungan ekonomi. Sama halnya, status hubungan antara pihak-pihak yang bersengketa mempengaruhi

posisi tawar dalam negosiasi. Dengan demikian, pelaku sistem penyelesaian sengketa informal harus pintar

memahami dan menyeimbangkan insentif dan hubungan sosial pihak yang bersengketa agar hasil yang keluar

dapat diterapkan. Ketika elit desa atau orang kuat dari luar dilibatkan, maka akan sulit mencapai keseimbangan

itu.

Kadang-kadang, memanfaatkan kekuasaan negara bisa membantu membuat keseimbangan itu. Dalam kasus

di atas, partisipasi kepolisian berhasil menyeimbangkan hubungan kekuasaan yang tidak setara antara dua pihak

47 Lihat Matthew Stephens (2003) ‘Local-level Dispute Resolution in Post-Reformasi Indonesia: Lessons from the Philippines’ Australian

Journal of Asian Law 5(3), hal. 229.

48 Lihat World Bank (2004) di atas, n.26.

Page 51: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

35Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa

yang bertikai. Kepala Kepolisian Sektor (Kapolsek) dari kasus itu menguraikan bagaimana partisipasi polisi dan

ancaman tindakan hukum bisa memudahkan proses negosiasi:

Kami (polisi) siap menengahi sengketa, inilah yang awalnya kami lakukan dalam kasus ini, agar setiap kasus tidak

perlu dibawa ke pengadilan...Dalam kasus ini kedua belah pihak setuju berdamai asal jika kasus ini terjadi lagi

maka akan dibawa ke pengadilan.

Akan tetapi, pelimpahan kewenangan untuk menengahi atau menuntut pelaku kejahatan rentan disalahgunakan

atau dimanfaatkan untuk mengambil keuntungan. Dalam kasus perkelahian di pasar, polisi menahan proses

kasusnya sampai uang suapnya habis dan kemudian serta merta terlibatannya dihentikan. Dalam kasus

kekerasan dalam rumah tangga, polisi menyerahkan kembali laporan kasus ke damang, tanpa ada tindak lanjut

atau pengawasan terhadap proses selanjutnya, yang ternyata merugikan bagai pihak lemah. Jadi, kewenangan

ini bisa memudahkan maupun menghalangi tercapainya penyelesaian yang baik.

Persinggungan – Ringkasan Singkat

Sistem peradilan negara (formal) maupun non-negara (informal) seringkali digambarkan berada pada posisi

bertentangan (“opposite ends of a continuum”). Istilah yang seringkali digunakan untuk menggambarkan masing-

masing sistem mengindikasikan adanya dikotomi: adversarial vs. restoratif; menang-kalah vs. sama-sama menang,

lepas secara sosial vs melekat secara sosial; netral dan tidak berpihak vs. berpihak dan diskriminatif; sistem yang

berdasarkan aturan vs. sistem yang berdasarkan kekuasaan.

Akan tetapi, kasus-kasus yang diuraikan dalam bagian ini telah menunjukkan kemungkinan kerjasama yang

saling menguntungkan. Pertama, kemampuan bagi mereka yang bersengketa untuk “mengugat” keputusan

peradilan informal melalui sistem formal, bekerja sebagai bentuk akuntabilitas pada suatu sistem yang “lebih

tinggi” dari nilai dan kebiasaan lokal. Kedua, kemampuan negara untuk bekerjasama dengan pelaku informal

sempat memperluas “bayangan hukum” - ini membawa otoritas dan kekuasaan negara turun ke tingkat desa.

Ini bisa mempermudah penerapan hasil penyelesaian sengketa informal karena memperkuat legitimasi sosial

dengan kekuatan negara. Ketiga, pengakuan yang lebih besar oleh pengadilan terhadap peradilan non-negara

bisa sekaligus meningkatkan legitimasi dan relevansi pengadilan karena menjadi lebih sesuai dengan tradisi

lokal.

Tapi bagaimanapun, tanpa adanya pendekatan atau kerangka kerja yang jelas dan konsisten, persinggungan

antara dua sistem itu akan tetap rentan disalahgunakan. Dalam kasus penikaman di Kalimantan (Studi Kasus 16),

hasil peradilan non-negara dinilai sah oleh pengadilan. Sedangkan pada kasus “penculikan putri Anggeng” hasil

penyelesaian informal ditolak. Dalam kedua kasus tersebut, tidak ada satupun penjelasan mengenai bagaimana

keputusan itu dicapai. Yurisdiksi masing-masing dari sistem formal dan informal tidak tentu; akibatnya kejahatan

serius dapat dimediasi pada tingkat desa. Standar dan perlindungan prosedural tidak dinyatakan.

Atas dasar apa proses pengambilan keputusan dinyatakan cacat pada satu kasus tapi pada kasus lain dinyatakan

sah? Senada dengan itu, panduan apa yang dipakai oleh polisi untuk memutuskan menengahi secara informal

atau menuntut secara formal?

Persinggungan antara sistem formal dan informal justru tidak didefi nisikan dan, seperti terlihat dari kasus KDRT

di Kalimantan dan kasus penculikan di Lombok, kadang-kadang hasilnya ambiguitas dan ketidakpastian hukum,

yang justru menguntungkan orang kaya dan berkuasa.

Ini kelemahan yang sangat jelas, dan ini akan dibahas lebih jauh pada bagian berikutnya.

Page 52: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

36 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Page 53: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

37Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian III:

Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara

Penelitian yang dipaparkan sejauh ini menunjukkan bahwa ada kekuatan dan kelemahan yang jelas pada praktik

peradilan non-negara saat ini di Indonesia. Beberapa kasus menunjukkan peradilan informal sering gagal untuk

menyatu dengan standar dasar konstitusional. Para perempuan kurang terwakili, kaum minoritas merasakan

didiskriminasi dan norma-norma tidak selalu jelas. Beberapa sanksi sifatnya sangat keras dan pelaksanaannya

menimbulkan masalah .

Bahkan, masyarakat desa tidak hanya lebih sering menggunakan aktor informal daripada yang formal, tapi

mereka juga menyampaikan tingkat kepuasan yang lebih tinggi. Sebagaimana ditunjukkan di Gambar 6

dihalaman bawah, survei GDS menunjukkan bahwa 69 persen mereka puas dengan para pelaku peradilan

informal dibandingkan dengan 58 persen aktor peradilan formal.49

Untuk mengembangkan sebuah strategi yang melibatkan peradilan non-negara membutuhkan pemahaman

terhadap kekuatan dan kelemahannya. Bagian III ini menganalisa dan membahas hal tersebut secara terperinci.

Bagian ini juga disertai dengan serangkaian “contoh perubahan” dari kondisi lapangan dan negara-negara

tetangga. Langkah-langkah kecil ini memberikan beberapa pandangan yang sederhana menjadi langkah-

langkah yang berbeda tentang bagaimana kelemahan dapat diatasi, dan kekuatan dapat dipertahankan.

49 Yang dianggap formal adalah polisi, pengacara dan jaksa. Sisanya dianggap informal. Asia Foundation (2001), diatas n.3 mencatat

bahwa 86 persen orang menunjukkan kepuasannya terhadap peradilan non-negara.

Foto : Taufi k Rinaldi

Page 54: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

38 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian III:Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara

A. Kekuatan: Mengapa Orang-orang Lebih Memilih Peradilan Non-negara?

‘Pilihan masyarakat terhadap mekanisme penyelesaian sengketa informal bukan hanya disebabkan mekanisme ini

murah, cepat dan mudah. Tetapi aspek yang lebih penting adalah kepatuhan warga terhadap suatu pendekatan

yang memberikan rasa tertib dan tenteram dalam diri dan komunitasnya’

Tokoh Agama dari Ambon, Provinsi Maluku

Temuan utama

• Mudah diakses, cepat dan murah. Peradilan non-negara lebih dapat diakses, cepat dan lebih murah dibandingkan

pengadilan. Ini benar-benar berjalan baik untuk kasus-kasus ringan.

• Menjaga keharmonisan sosial. Menjaga kerukunan sosial sangat dihargai dalam kehidupan pedesaan, dan para

pelaku informal mengutamakan pemulihan hubungan sosial ketika terjadi masalah.

• Fleksibel. Struktur-struktur dan norma-norma bersifat longgar, dalam arti untuk menyesuaikan dengan perubahan

sosial.

• Berdasarkan otoritas dan legitimasi lokal. Masyarakat lebih memilih peradilan non-negara utamanya karena

otoritas para pelakunya di lingkungan pedesaan untuk memecahkan masalah dan melaksanakan putusan.

Mudah Diakses, Cepat dan Murah

Beberapa kekuatan dari peradilan informal sederhana dan ternyata. Kemudahan diakses secara nyata adalah salah

satu keuntungan yang jelas. Ketua rukun warga (ketua RT/RW), kepala desa, pemimpin adat dan tokoh agama

tinggal di desa, dikenal oleh masyarakat dan gampang ditemui. Sebaliknya, polisi dan pengadilan seringkali

berada di ibu kota kabupaten/kota yang terletak jauh.

Kekuatan berikutnya adalah kecepatan. Terutama ketika terkait dengan hak-hak ekonomi, proses penyelesaian

yang lama dapat mempengaruhi kehidupan kaum miskin. Pada saat terjadi kekerasan akan muncul – seperti

pada beberapa kasus di Jawa Timur – tindakan yang cepat sangat diperlukan. Dalam kasus yang berhasil

diselesaikan, prosesnya biasanya berjalan dengan cepat. Kasus pembunuhan di Palangkaraya diselesaikan

dalam tiga minggu, dan perkelahian di Kuala Kapuas dalam dua minggu. Kebanyakan kasus di Jawa Timur dan

Maluku juga ditangani dalam dua-tiga minggu atau kurang.

Sebaliknya, rata-rata waktu yang diperlukan untuk menunggu antara proses pengarsipan dan pembacaan

kasus berkisar antara 4-6 bulan di Pengadilan Negeri, 12 bulan di Pengadilan Tinggi dan 2-3 tahun di Mahkamah

Agung.50 Data terbaru menunjukan rata-rata waktu yang diperlukan untuk penyelesaian kasus hukum dari

kejadian awal sampai kasasi yaitu 7-12 tahun.51

50 Bappenas/World Bank (1996) Law Reform in Indonesia, Cyber Consult: Jakarta, hal. 130.

51 Mahkamah Agung RI (2003), Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung: Jakarta, hal 161.

Page 55: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

39Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian III:Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara

Biaya merupakan pertimbangan penting lainnya. Sengketa kecil pada umumnya diselesaikan tanpa biaya bagi

pihak yang bertikai.52 Pada sebagian besar kasus yang diteliti tidak ada biaya untuk proses pengarsipan atau

pembacaan kasus (sidang).53

Gambar 6: Kepuasan dengan pelaku formal dan informal

0 10 20 30 40 50 60 70 80

LSM

Pemerintah Kabupaten

Pemerintah Kecamatan

Polisi

Jaksa

Pengacara

Pemerintah Desa

Keluarga/Teman

Paralegal

Tokoh Adat/ Masyarakat

Formal

Informal

Sumber: Survei GDS

Data pada Gambar 6, menggambarkan para responden menyatakan kepuasannya yang sangat besar terhadap

pihak-pihak yang sudah mereka kenal – tokoh masyarakat dan tokoh adat, pendamping hukum (paralegal),

anggota keluarga dan teman, dan pemerintah desa. Temuan ini menunjukkan dua implikasi. Pertama, strategi

untuk memperbaiki penyelesaian sengketa sebaiknya berfokus pada tingkat desa dan komunitas, tidak hanya

institusi-institusi negara. Kedua, hal itu juga mendukung usaha untuk meningkatkan kesadaran masyarakat

dengan para pelaku dari tingkat kecamatan dan kabupaten (LSM, para jaksa, pejabat pemerintah, dll), dapat

membantu meningkatkan tingkat kepuasaan dan kepercayaan pada mereka juga.

Kasus Ringan Diselesaikan Secara Cepat dan Damai

Sebagian besar sengketa yang muncul di tingkat desa biasanya ringan – perkelahian antar tetangga atau anak-

anak muda, pencurian kecil dan hujatan atau fi tnah. Dimana resikonya kecil, mekanisme peradilan non-negara

biasanya berjalan efektif. Karena kasus-kasus semacam ini adalah yang paling umum terjadi, kepuasan yang

tinggi sangat diharapkan.

52 Sehubungan dengan keuntungan ekonomis atas peradilan non-negara, penelitian di Colombia menyimpulkan bahwa dengan

menggunakan sistem peradilan non-negara untuk menyelesaikan sengketa tanah dan warisan, pendapatan yang didapatkan lebih besar

dari pada menggunakan pengadilan (formal): lihat Edgardo Buscaglia (2001) ‘Justice and the Poor. Formal vs. Informal Dispute Resolution

Mechanisms’ Makalah dipaparkan di Empowerment, Opportunity and Security through Law and Justice Conference, St. Petersburg, July

2001, hal. 9 & 10.

53 Penyelesaian sengketa adat di Kalimantan Tengah adalah pengecualian. Biaya pencatatan kasus dalam kasus pekelahian pasar adalah

Rp 600,000. Dalam kasus pembunuhan (tidak terencana), Dewan Adat membebankan biaya Rp 6 juta.

Page 56: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

40 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian III:Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara

Studi kasus 10 : Perkelahian (baku hantam) diselesaikan dengan cepat54

Pak Nuri adalah seorang petani dari sebuah desa di provinsi Lampung. Suatu hari, anaknya terlibat perkelahian dengan

teman sekolahnya. Ayah anak (laki-laki) itu ikut campur dan memukul anak laki-lakinya.

Bukannya melaporkan kasus tersebut ke polisi, Pak Nuri mendekati Pak Parmin dan Pak Bejo, kepala dusunnya dan

seorang pendamping hukum (paralegal) dibawah program yang dijalankan oleh LSM bantuan hukum setempat. Seperti

yang Pak Nuri katakan, mereka dikenal sebagai orang-orang, ’Yang dapat memecahkan masalah.’

Parmin dan Bejo bersama memanggil pihak-pihak yang bertikai ke rumah Parmin, membicarakan masalah tersebut

dan mampu memecahkan masalah tersebut dengan cepat dan damai. Pak Nuri berkata blak-blakan bahwa masalah-

masalah yang dibawa ke polisi tidak akan berhasil diselesaikan dengan baik. ‘Jika dibawa ke polisi,’ kata dia, ‘mereka suka

memukulmu dan mengurungmu. Tidak ada yang mengontrol.’

Kewenangan dan Legitimasi Lokal

Faktor penting dan terkait lainnya adalah kemampuan peradilan non-negara untuk menjaga keselarasan

hubungan. Menurut survei Asia Foundation tahun 2001, kebanyakan responden yang memilih peradilan

informal menyatakan bawa motivasi utama mereka adalah harapan mempertahankan kerukunan bersama.55

Para pelaku peradilan informal mampu mencapai hal ini dengan kearifan kewenangan lokal mereka. Warga

mencari bantuan dari kepala desa, pemimpin keagamaan dan tradisional karena mereka memiliki legitimasi

sosial di lingkungan desa. Mereka bukanlah pelaku yang netral dan independen (sebagaimana yang diharapkan

dari para hakim). Mereka secara langsung terlibat dengan perkembangan desa dari hari ke hari dan terbiasa

dengan latar belakang sosial dan politik sengketa. Membedakan antara fungsi penyelesaian sengketa dan fungsi

pemerintahan desa, hubungan politik dan sosial merupakan suatu usaha yang lebih teoritis. Usaha seperti ini

jarang diikuti di tingkat lokal.

Ini terbukti dalam kasus-kasus tanah di desa Panangguan dan Souhoku yang digambarkan diatas (Studi kasus

2 & 3). Dalam kejadian-kejadian ini, kepala desa dan Raja mampu mencapai sebuah jalan keluar yang disetujui

bersama. Bukan menentukan kebenaran yang obyektif atau merujuk kepada norma hukum apapun, tapi

hasilnya diterima oleh pihak-pihak yang bertikai. Kewenangan satu-satunya kepala desa sudah mencukupi

untuk menyelesaikan sengketa dan menjamin penyelenggaraannya.

Mengacu Norma-norma yang Lebih Tinggi

Di banyak tempat di Indonesia, para pelaku peradilan non-negara dianggap memiliki kekuatan supernatural –

faktor ini meningkatkan kapasitas mereka untuk menyelesaikan sengketa lokal dan menjamin pelaksanaannya.

Banyak masyarakat perdesaan di Maluku, contohnya, percaya melanggar sanksi adat yang berhubungan dengan

perlindungan lingkungan, dikenal sebagai sasi, dapat menyebabkan sakit atau bahkan kematian. Di Jawa Timur

dan Lombok, Kyai dan Tuan Guru sering mendapatkan penghargaan kesetiaan yang tinggi dari para pengikutnya,

karena berdasarkan kemampuan mereka untuk mengacu norma “yang lebih tinggi”. Dalam sebuah kasus di

Jawa Timur, seorang kyai mampu mencegah gerombolan orang yang ingin membunuh seorang penduduk

desa yang dituduh melakukan praktik ilmu hitam. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Tokoh masyarakat,

Desa Paengaan Daja, Pamekasan, Jawa Timur:

54 Kasus ini diambil dari catatan lapangan oleh Alpian, Pieter Evers dan Cathy McWilliam dari perjalanan lapangan ke Lampung tahun 2007

untuk mengevaluasi salah satu program dari Justice for the Poor, Bantuan Hukum Berbasis Masyarakat.

55 The Asia Foundation (2001), diatas n.3

Page 57: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

41Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian III:Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara

Hamzah dituduh melakukan praktik santet, dan sebuah rencana dibuat untuk membunuhnya. Akan tetapi, seorang kyai

mendengar tentang rencana itu, dan berdiri di depan jamaah Jum’at di Mesjid dan bersumpah bahwa Hamzah tidak akan

melakukan praktik santet lagi.

Dalam kasus di atas ini, kewenangan dan legitimasi pribadi dari para aktor peradilan non-negara terbukti berperan

efektif. Pengadilan resmi dan sistem formal tidak selalu memiliki legitimasi ini. Kasus Tanah Ayu dari Lombok yang

disebutkan di atas merupakan salah satu dari banyak contoh dimana keputusan pengadilan resmi diabaikan.56

Ketika Anggeng (Studi Kasus 8), menolak sanksi adat di pengadilan, Dewan Adat menambah hukumannya.

Fleksibilitas

‘Jika sungai penuh karena hujan, pencucian piring berpindah. Dengan adanya pergantian raja maka adat juga berubah’

Pepatah adat Minangkabau57

Peradilan non-negara bersifat longgar (fl eksibel). Karena norma, proses dan sanksinya biasanya tidak tertulis,

para aktor dapat menemukan solusi dan menyediakan pendekatan yang cocok secara sosial, dan dibuat khusus

untuk konteks masing-masing kasus.

Sebagaimana diperlihatkan melalui contoh-contoh perubahan yang dicatat nanti di bagian ini, peradilan

informal bisa menjadi longgar dan terbuka terhadap perubahan dinamika dan kenyataan sosial. Contoh-contoh

perubahan tersebut memang sederhana – para perempuan mendapat suaranya di Sumatera Barat; klarifi kasi

atas norma dan proses di Nusa Tenggara Barat; kekuatan kesadaran hukum untuk membuka pilihan. Meskipun

sederhana, contoh-contoh tersebut memberi kesan adanya potensi untuk menjalankan reformasi di tingkat

lokal - dan peluang seperti itu saat ini mungkin tidak ada di pengadilan dan institusi keadilan formal lainnya.

B. Kelemahan: Ketika Mekanisme Peradilan Informal Gagal

‘Sulit hadapi orang yang kuat, pandai dan kaya,’

Penduduk desa perempuan, Palangkaraya, Kalimantan Timur.

Temuan utama

• Kesewenang-wenangan dan kurangnya pengawasan. Walaupun otoritas sosial menjadi kekuatan inti atas

peradilan non-negara, pelaksanaannya yang tidak dikontrol, menjadi kelemahan utama. Kurangnya prosedur dan

norma yang jelas dan tidak adanya akuntabilitas akan membuat pihak yang lemah dan terpinggirkan kurang dilayani,

tanpa alternatif lain.

56 Seorang hakim Pengadilan Negeri di Ambon, menyampaikan kepada tim peneliti setidaknya satu sengketa tanah di wilayah tersebut,

dimana orang-orang mengabaikan keputusan Mahkamah Agung.

57 Pepatah yang menyatakan bahwa adat Minangkabau pada dasarnya dinamis. Disebutkan dalam makalah Timothy Lindsey (1998)

‘Square Pegs & Round Holes: Fitting Modern Title into Traditional Societies in Indonesia’ 7 Pacifi c Rim Law and Policy Journal, 699.

Page 58: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

42 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian III:Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara

• Bias terhadap perempuan. Perempuan memiliki modal politik yang terbatas di tingkat desa, sehingga hanya sedikit

manfaat untuk melindungi kepentingan mereka. Masalah-masalah hukum yang dihadapi perempuan (seperti isu-

isu hukum keluarga, kekerasan dalam rumah tangga), seringkali tidak ditanggapi secara serius atau diabaikan demi

menjaga kerukunan komunal.

• Eksklusivitas Etnis. Terutama sekali untuk sistem adat, banyak institusi-institusi peradilan non-negara didominasi

oleh kaum elit etnis asli. Hal ini dapat bertentangan dengan penyelesaian efektif untuk sengketa antar etnis.

• Sengketa antar kelompok (trans-communal). Mekanisme peradilan non-negara tidak dapat menunjukkan

otoritas di luar batas desa. Akibatnya, sengketa antar desa dan yang melibatkan pihak-pihak ketiga yang berkuasa

akan sulit untuk diselesaikan.

• Pertentangan antara sistem formal dan informal. Mekanisme informal hancur ketika bertentangan, daripada

bekerjasama, dengan sistem formal

Penelitian ini diluncurkan dengan fokus pada pengalaman dan pandangan kaum perempuan dan kelompok

minoritas. Hal ini didasari pemikiran bahwa bias gender adalah salah satu penyebab utama kemiskinan, dan

diskriminasi antara kelompok identitas memicu kekerasan dan ini menjadi inti persoalan konfl ik sosial yang telah

melanda Indonesia di jaman pasca Soeharto. Memahami bagaimana peradilan non-negara mempertahankan

masalah-masalah ini, dan pada saat yang sama, bagaimana bisa menjadi bagian dari solusi adalah salah satu hasil

utama yang diharaplan dari studi ini.

Ketidakseimbangan kekuasaan yang melekat pada peradilan non-negara mendiskriminasi pihak yang lemah

telah dicatat dengan baik.58 Otoritas sosial mungkin menjadi kekuatan kunci dari peradilan informal, tapi

pelaksanaannya yang tanpa pengawasan sekaligus menjadi kelemahan pokoknya. Akibatnya, peradilan informal

menghadapi kelemahan baik internal dan terkait dengan pihak luar. Di bagian ini kita mengemukakan tiga dari

kelemahan-kelemahannya. Ketiga hal tersebut adalah: menyediakan akses terhadap keadilan bagi perempuan;

memenuhi kebutuhan-kebutuhan kaum minoritas etnis; dan akhirnya sengketa antar desa dan pihak ketiga

yang berasal dari luar.

Akses Perempuan Terhadap Keadilan

‘Sangat sulit memikirkan bahwa perempuan akan memutuskan nasib kita.’

Tokoh adat laki-laki di Sumatera Barat.

Secara keseluruhan mekanisme peradilan informal tidak melindungi dan melayani kepentingan perempuan

dengan baik.59 Peradilan informal cenderung untuk mempertahankan keberadaan norma sosial dan hubungan

baik. Perempuan dipisahkan dari struktur kewenangan lokal; kepentingan mereka sering diabaikan. Melindungi

hak perempuan tidak begitu bermanfaat secara politik atau sosial. Hal ini disebabkan dan dicerminkan dengan

kurangnya keterwakilan perempuan dalam mekanisme penyelesaian lokal dan sebuah paradigma yang

mengobyektifi kasi hak-hak perempuan. Akibatnya, banyak permasalahan hukum perempuan yang diabaikan

atau tidak ditangani dengan serius.

58 ‘Pernyataan yang tegas bahwa laki-laki yang kuat memperoleh perlakuan yang lebih baik dalam penerapan hukum adat sangat jelas.’

Odinkalu ( 2005) diatas n.5 dan World bank (2005) n.26. Lihat juga Sinclair Dinnen (2001) “Building Bridges - Law and Justice Reform in

Papua New Guinea” State, Society & Governance in Melanesia Project Working Paper 01/3; Australian National University: Canberra. Tentu

saja banyak penelitian mengindikasikan bahwa sistem hukum formal tidak jauh berbeda. Lihat, contohnya, artikel seminal oleh Mark

Galanter “Why the ‘Haves’ Come Out Ahead: Speculations on the Limits of Legal Change” (1974) 9 Law & Society Review 95.

59 Untuk mendapatkan lebih banyak infomasi tentang topik ini, lihat juga Julia Suryakusuma (2004) Sex Power and Nation, Metafor: Jakarta.

Pengacara dari LBH - APIK (LSM Bantuan Hukum untuk perempuan) di Lombok juga mengatakan perempuan lebih baik dilayani dengan

peradilan formal. Penemuan serupa muncul dalam penelitian tentang akses perempuan terhadap keadilan yang dilaksanakan oleh Bank

Dunia di tiga provinsi selama 2007, Yohanna M.L. Gultom Hardiyanto et al (2008), Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia: Studi

Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok, Jakarta: World Bank.

Page 59: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

43Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian III:Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara

Kita perhatikan di atas, wakil perempuan dalam kepemimpinan desa hampir tidak ada dan biasanya tidak ada

peluang bagi perempuan untuk berperan dalam pembuatan keputusan dalam struktur adat. Di Sumatera

Barat, contohnya, meskipun masyarakat Minangkabau menganut paham matrilineal, keanggotaan Dewan Adat

terbatas untuk laki-laki. Para perempuan tergantung pada paman dari pihak ibu untuk mewakili kepentingan

mereka dalam Dewan Adat, seringkali membawa akibat sosial ekonomi yang signifi kan.

Studi Kasus 11: Lahan Bu Marnis dijual saudara laki-lakinya: Sumpur, Sumatera Barat

Ibu Marnis dan saudara-saudara perempuan di keluarganya menemukan bawa paman dari pihak ibu (mamak) berencana

untuk menjual tanah warisan tanpa ijin dari para perempuan untuk membayar hutang yang dibuat oleh anak laki-lakinya.

Ketika mereka menolak, mamak mengancam mereka secara lisan (langsung) dan fi sik. Mereka memohon kepada empat

keturunan tetua (ninik mamak) untuk mendesak mamak untuk tidak menjual tanahnya.

Tapi ninik mamak mendukung si mamak dan terjadilah penjualan. Mereka lebih memikirkan kemungkinan si mamak

mendapat malu jika keluarganya tidak dapat membayar hutang daripada akibat yang harus ditanggung pihak perempuan

sebagai pemilik tanah. Pihak perempuan ditekan untuk menandatangai perjanjian dan pada akhirnya dilakukan juga,

tapi hanya dengan syarat bahwa tidak ada tanah warisan yang lainnya yang disita. Namun si mamak terus menjual tanah

warisan lagi di tahun berikutnya. Si mamak sekarang sudah meninggal, tapi sudah lebih dari 20 tahun Ibu Marnis masih

menggunakan tabungannya untuk membeli kembali tanah yang dijual si mamak.

Kurangnya keterwakilan belum tentu sama dengan kurangnya akses terhadap keadilan untuk perempuan.

Berbeda dengan Studi Kasus 7 diatas dari desa Sepa, perkosaan dan pelecehan seksual pada umumnya dianggap

sangat serius dan diserahkan langsung kepada polisi. Contohnya, dalam sebuah kasus di Kabupaten Sampang,

Jawa Timur, pemimpin keagamaan dan LSM sukses mendorong dibelakang si korban untuk memaksa polisi

menahan dan menghukum si pelaku.

Kekerasan dalam rumah tangga tidak dipandang sama. Menurut survei Asia Foundation, hanya 12 persen

responden menganggap kekerasan dalam rumah tangga sebagai masalah hukum. Stigma yang melekat

terhadap kekerasan dalam rumah tangga bahwa pihak perempuan tidak melaporkan kasus. Seorang perempuan

di Jawa Timur menyatakan ‘Saya malu melapor, karena orang akan bertanya apa yang telah saya lakukan sampai

dipukuli.’60

Perempuan tidak mungkin mengorbankan perkawinannya karena ketergantungan ekonomi. Dalam diskusi

kelompok terfokus (Focus Group Discussion/FGD) di Jawa Timur, seorang peneliti lokal dari STAIN (Sekolah Tinggi

Agama Islam Negeri) menyatakan, penelitian kuantitatif tentang Pengadilan Agama setempat menunjukkan

bahwa para perempuan di perdesaan dari kelas bawah lebih sering meminta cerai dibanding perempuan

perkotaan dan kelas menengah atas. Penjelasannya adalah para perempuan ini sering mengerjakan tanah dan

memberikan proporsi besar terhadap pendapatan rumah tangga, alias kurang bergantung secara ekonomi pada

suaminya. Observasi ini ditolak secara cepat oleh kebanyakan (pria di perkotaaan) partisipan FGD. Kata mereka

fenomena ini terjadi karena para perempuan itu tidak berpendidikan dan tidak mengerti posisi mereka dalam

Islam.

Cara lain, menghindari konfl ik merupakan “strategi” umum bagi para perempuan.61 Seperti dikatakan oleh

seorang pemimpin komunitas di desa Henda, Kalimantan Tengah:

Memang terjadi disini (kekerasan dalam rumah tangga). Sering juga. Yang dipukul diam aja. Yang mukul diam aja. Tunggu

aja sampai semuanya tenang, dan masalahnya selesai.

60 Wawancara, 26 Februari 2005, Pamekasan, Jawa Timur.

61 Juga lihat Stephens (2003), diatas n.47 mendiskusikan kasus-kasus dari Flores, propinsi NTT: ‘Seringkali para perempuan tidak mengadukan

ke siapa-siapa dan tetap diam mengenai masalah mereka,’ hal. 231.

Page 60: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

44 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian III:Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara

Bahkan ketika kekerasan dalam rumah tangga memang dilaporkan, belum pasti bahwa peradilan formal atau

informal akan merespon dengan baik.

Studi Kasus 12: ’Itu cuma kelebihan nafsu’

Sri tinggal di sebuah rumah sederhana dengan suaminya di salah satu jalan utama di Kecamatan Pahandut, dekat pusat

Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Menurut saudara perempuan Sri, Eka, ketika terlibat hubungan seksual, suami

Sri bisa menjadi sangat kasar, memukul dan mengigitnya. Tidak sanggup menerimanya lagi, Sri pergi meninggalkan

suaminya dan memberitahu ayahnya apa yang terjadi. Mereka melaporkannya kepada polisi. Setelah dua minggu tanpa

ada tindakan, polisi menyarankan masalah tersebut diselesaikan melalui damang, pemimpin adat tradisional.

Dalam adat Dayak, jika seorang istri meninggalkan suaminya, anggapan dasar adalah dia sedang meminta

(mengusahakan) perceraian. Jadi, ketika keluarga-keluarga itu bertemu dihadapan damang, suami Sri meminta

perceraian. Adat Dayak juga memerintahkan bahwa dalam perceraian, harta kekayaan dan barang-barang harus

diserahkan kepada istri, sesuai dengan perjanjian pra-pernikahan yang tertulis. Sri tidak ingin bercerai hanya ingin

kekerasan dihentikan. Bagaimanapun perceraian akhirnya diteken. Suaminya menandatangani dan dia merasa terpaksa

untuk menandatanganinya juga. Ini antara lain karena ada ancaman dari pengacara si suami bahwa dia akan didenda

Rp 100 juta karena melarikan diri. Sri, tidak mengerti hukum dan tidak mampu membayar penasehat hukum, tidak tahu

apa-apa lagi. Eka, saudara perpempuannya, menilai, ‘Sulit hadapi orang yang kuat, pandai dan kaya.’

Si Damang tidak menanggapi aspek kekerasan dalam rumah tangga, merasa hal ini ditangani oleh polisi. Si Polisi,

bagaimanapun juga, telah menyerahkan masalah ini kepada si damang. Jadi, berantakanlah semua. Si suami tidak

menghargai (melaksanakan) pembagian harta kekayaan yang disetujui. ‘Mereka tidak peduli,’ kata Eka. Meskipun si

damang tinggal benar-benar di seberang jalan, dia tidak mengambil tindakan apapapun untuk mendorong pelaksanaan

perjanjian. Tidak ada sanksi sosial yang diterapkan terhadap suaminya juga – dia masih diundang ke acara sekitar

lingkungan rumah dan adat. Sungguh, kekerasan dalam rumah tangga tidak dianggap sebagai masalah serius. Ketika

ditanya mengenai kasus tersebut, Sekretaris damang tertawa dan bekata ’Itu cuma kelebihan nafsu.’

Ketidakmampuan Sri untuk mendapatkan hak atas harta kekayaannya setelah perceraian, terjadi juga di beberapa

provinsi penelitian lainnya. Survei awal untuk program “Pemberdayaan Hukum Perempuan” Bank Dunia juga

menunjukkan bahwa perempuan tidak menuntut harta kekayaan mereka atau hak tunjangan atas perceraian.

Ini terkait stigma sosial dan kurangnya pengetahuan akan hak-hak dan prosedur hukum.62 Hal ini menimbulkan

akibat sosial dan ekonomi yang signifi kan buat si istri. Sri sendiri sekarang tinggal kembali dengan orang tuanya,

bekerja dengan gaji rendah.

Paradigma Perlindungan dan Dominasi Laki-Laki

Kebanyakan hukum adat biasanya dimaksudkan melindungi perempuan dari pelanggaran “moral”, seperti

kehamilan diluar nikah dan pelecehan seksual. Seorang kepala desa di Lombok mengatakan bahwa perempuan

adalah “pembawa hukum”. Dengan kata lain, melindungi kesucian perempuan adalah salah satu prinsip dasar

utama dalam sistem hukum adat. Meskipun hal ini dapat melindungi hak-hak perempuan di keadaan tertentu,

hal tersebut juga mencerminkan sebuah paradigma dimana perempuan dinilai sebagai obyek bukan subyek

aktif terhadap hak mereka sendiri.

Bagaimanapun, mengatasi bias jender adalah mungkin. Boks 2 memberikan dua contoh perubahan yang dicatat

selama penelitian lapangan. Contoh-contoh ini menunjukkan pentingnya memahami dan berkerja dalam

sistem, begitu juga dengan kemampuan kepemimpinan masyarakat dan mobilisasi sosial untuk mengubahnya.

Contoh-contoh itu juga menitikberatkan pentingnya anggota komunitas terpinggirkan untuk meraih kesadaran

tentang bagaimana sistem berjalan dan norma-norma diterapkan dan dapat dimanipulasi.

62 Untuk laporan lebih rinci tentang metodologi dan temuan survei baseline, lihat www. www.justiceforthepoor.or.id.

Page 61: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

45Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian III:Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara

Boks 2: Contoh perubahan I: Menghadapi kurangnya keterwakilan perempuan dan bias gender

melalui pemberdayaan hukum

Kasus Afrida: Menangatasi bias jender di Sumatera Barat dengan memahami hukum adat.

Afrida, seorang perempuan yang tidak berpendidikan dan miskin, lelah karena melihat tanah leluhurnya (warisan/

pusaka) dijual oleh kepala sukunya (ninik mamak). Pada suatu kesempatan, Afrida mendapati para pejabat dari kantor

pemerintahan (petugas BPN) mengukur tanah ibunya dan, mengantisipasi kalau-kalau akan ada penjualan berikutnya,

dia memanggil kepala desa untuk meminta agar pengukuran tanah itu dihentikan. Ketika si ninik mamak mendengar

hal itu dia datang dan, membawa pisau, dengan marah mengancam Afrida, bertanya kenapa pengukuran tanah-tanah

itu dihentikan. Meskipun ada protes, tanah ibunya tetap dijual.

Meskipun Afrida merasa sistem peradilan formal lebih adil ketimbang mekanisme informal, karena terkait kepentingan

keluarganya (si mamak adalah saudara laki-laki ibunya) dan takut akan ada pembalasan dari sekitarnya maka dia merespon

dengan mengembangkan pengertian tentang norma dan proses adat serta mencoba untuk mengubahnya.

Afrida bergabung dan berpartisipasi secara aktif dalam musyawarah kepala suku. Bukan hanya sekedar menyediakan

minuman dan makanan kecil, peran yang biasanya disediakan untuk perempuan, dia secara berani menyampaikan

kepentingan perempuan dan mendesak adanya partisipasi yang lebih besar untuk perempuan dalam penjualan tanah.

Afrida sukses mendesak agar semua kepala suku mesti menyetujui kalau ada tanah yang ingin dijual. Hal ini efektif

menghilangkan monopoli satu pihak (kaum laki-laki) atas penjualan tanah dan menyebarkan hak dalam membuat

keputusan diantara kelompok pemimpin keturunan, meskipun laki-laki. Usaha Afrida telah berhasil mencegah penjualan

tanah yang tidak adil dan telah mengangkat statusnya. Dia sekarang dipercaya untuk menjaga dokumen silsilah yang

berharga. Kemampuannya dalam mempelajari “permainan” adat dan berbicara dalam musyawarah, membuatnya dia

sekarang diajak berunding mengenai isu-isu mengenai harta kekayaan dan silsilah.

Perempuan Mengorganisasi dan Melobi untuk Aksi

Di Batu Gadang, Sumatera Barat, sebuah kelompok perempuan, yang awalnya dibentuk karena aktivitas bisnis kecil-

kecilan, menjadi aktif dalam menengahi perselisihan masyarakat. Pada tahun 2002 mereka adalah bagian dari koalisi

yang menyelesaikan perikaian lingkungan antara komunitas dan perusahaan besar, Semen Padang. Di tingkat yang

lebih kecil, kelompok itu juga telah berhasil menengahi perselisihan mengenai pencurian listrik dan melobi untuk

mendapatkan sebuah jalan desa. Mereka berhasil menjamin alokasi kursi di parlemen desa dan juga sedang meminta

perwakilan perempuan dalam Dewan Adat.

Kesuksesan mereka didasari tiga faktor. Pertama, kelompok tersebut mempunyai hubungan dengan sebuah institusi

para perempuan yang berbasis tradisional di Sumatera Barat, Bundo Kanduang. Hal ini memberikan keabsahan

sehingga perempuan dinilai bisa memperbaiki majelis yang sudah ada daripada memperkenalkan struktur baru. Yang

kedua, dengan mengembangkan ekonomi mandiri, para perempuan memperoleh penghargaan dan meningkatkan

pengaruh dalam desa. Terakhir, hubungan dengan LSM lokal membantu para perempuan dalam mempelajari strategi

untuk mengatur bersama- sama dan meningkatkan kesadaran hukum. Hal ini telah membuat mereka siap bergerak

lebih aktif tidak hanya untuk memecahkan masalah tetapi juga untuk mendapatkan kedudukan desa.

Ekslusivitas Etnis

‘Kenapa kok lewat adat sih? Lebih baik hukum Indonesia’

Warga etnis minoritas Madura yang baru kembali ke Kalimantan Tengah

Page 62: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

46 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian III:Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara

Proses penyelesaian sengketa yang berdasarkan adat biasanya tidak cocok untuk sengketa antar etnis.63 Provinsi-

provinsi yang dipelajari bermacam-macam dalam komposisi etnis dan hubungan antar etnis. Kalimantan Tengah

mengalami konfl ik berdarah berskala besar antara orang Dayak dan Madura. Karena kebangkitan kembali adat

setempat sangat terkati dengan kekuasaan etnis Dayak, warga etnis minoritas menganggap penyelesaian

sengketa adat tidak adil buat mereka. Sama halnya di Maluku, para pendatang tidak selalu mengakui Raja, jadi

adat tidak selalu merupakan sebuah jalan keluar untuk menyelesaikan pertikaian yang melibatkan pendatang.64

Di Jawa Timur, homogenitas etnis berarti masalah jarang muncul.65

Kasus di Sumatera Barat

Di Sumatera Barat, adat Minangkabau bisa disebut eksklusif, dalam hal semua warga nagari diharuskan untuk

tunduk pada adat tersebut. Ini memberi akibat khusus bagi pedagang etnis Cina yang telah hidup dari beberapa

generasi di Sumatera Barat, dan juga pada transmigran orang Jawa dan anggota kelompok etnis lainnya,

terutama Batak dari Sumatera Utara. Anggota-anggota kelompok ini disyaratkan untuk ‘diangkat’ oleh marga

sehingga mereka bisa diakui oleh seorang mamak yang dapat mewakili mereka di nagari. Hal ini dikenal dengan

‘bermamak’. Meskipun diangkat ke dalam suku lokal, penduduk non-Minang dihalangi untuk mendapatkan

posisi kepemimpinan. Hukum adat itu asing dan sering kurang dipahami oleh warga pendatang. Hal ini dapat

menimbulkan diskriminasi dan berakibat pada kekerasan, sebagaimana yang terlihat dalam kasus di bawah ini.

Studi Kasus 13: Konfl ik antara Etnis Batak dan Minang di Kinali

Di desa yang berpenduduk 13.000, sekitar 2.000 diantaranya merupakan etnis Batak dari Sumatera Utara. Kasus ini

muncul di pasar Tempurung di akhir tahun 2000, sebagai sengketa pribadi antara orang Batak dan Minang, yang sedang

berjudi. Perkelahian terjadi antara mereka dan kemudian berkembang menjadi konfl ik besar antara komunitas dua

etnis. 94 rumah yang dimiliki oleh orang Batak dibakar dan penduduk Batak melarikan diri atau dievakuasi dari nagari.

Selama tiga bulan, pasar itu ditutup, tidak ada anak-anak yang pergi ke sekolah dan para orang tua tidak pergi kerja.

Sebelumnya, ada sekitar 400 keluarga Batak yang berada di komunitas tersebut. Sekarang sisa 56. Menurut pemimpin

dusun Minang di wilayah tersebut, latar belakang sosial atas konfl ik tersebut adalah perlakuan yang tidak adil terhadap

orang Batak oleh pemimpin suku.

Upaya penyelesaian dilakukan oleh kepala adat dan pejabat pemerintah kecamatan. Perwakilan dari penduduk Batak dan

Minang, termasuk 32 kepala suku, bertemu dengan pejabat pemerintah senior dan kesepakatan ditanda-tangani oleh

dua pihak di kantor kecamatan. Pemerintah daerah memberi ganti rugi kepada pemilik rumah yang telah kehilangan

harta benda dengan Rp 2 juta per-rumah, terlalu sedikit untuk membangun kembali rumah tersebut. Orang-orang

Batak diberikan dusun mereka sendiri dan dapat menggunakan adat mereka. Mereka hanya perlu melaporkan kepada

pemimpin adat Minang untuk pernikahan. Menurut orang-orang Batak, interaksi antara dua komunitas masih terbatas.

Kasus Kalimantan Tengah

Perselisihan hukum dan norma, diperparah dengan tidak adanya kerangka kerja penyelesaian sengketa yang

efektif untuk mempertemukan perbedaannya, akan meningkatkan resiko yang justru memungkinkan sengketa

meledak menjadi kekerasan. Sebagaimana pengamatan Kane et al, ‘masalah ini lebih gawat di daerah paska

konfl ik...dimana ada kebutuhan yang mendesak untuk mencari cara yang tepat untuk menyelesaikan konfl ik

63 Seperti pengamatan Benda Beckman, ‘Hukum adat lokal ... jarang mewakili nilai dan aspirasi dari semua anggota penduduk desa.’ Franz

von Benda Beckman (2000) “Legal Plurarism and Social Justice in Economic and Political Development”, Makalah dipresentasikan dalam

IDS Internasional Woorkshop on Rule of Law and Development, 1-3 Jun1 2000.

64 Untuk pandangan yang bersifat kesejarahan tentang Maluku dan dampak ketertutupan hukum adat atas penduduk tidak asli lihat Franz

von Benda Beckmann (1990) diatas n.20 dan Beckmann, ibid —’seringkali para pendatang memiliki status politik dan ekonomi kelas

kedua dibawah hukum adat tuan rumahnya’, hal.11.

65 78 persen penduduk adalah suku Jawa dan 20 persen suku Madura .

Page 63: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

47Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian III:Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara

antara anggota komunitas yang berbeda.’66

Meskipun demikian, di beberapa daerah paska konfl ik di seluruh Indonesia, daripada membuat mekanisme lokal

yang mewakili semua anggota masyarakat, pemerintah daerah berinisiatif untuk memperkuat penyelesaian

sengketa dengan mengembalikan ke struktur dan proses adat. Kembalinya ke “cara lama”, yang didorong oleh

kebijakan politik, menegaskan kembali berlakukanya identitas regional dan etnis. Hal itu justru mempertegas

perbedaan, bukannya persamaan.

Di Kalimantan Tengah, contohnya, salah satu dari dampak yang paling terlihat dari konfl ik etnis pada 2001

merupakan sebuah penegasan kembali atas identitas kebudayaan Dayak. Seperti dinyatakan oleh seorang

pejabat pemerintah di Kabupaten Kuala Kapuas, ‘Rasa bangga Dayak udah bangkit sejak konfl ik.’ Banyak yang

lainnya menyampaikan pandangan seperti disampaikan seorang pejabat Pemerintah Provinsi, yaitu ’Kalau orang

luar menghormati adat kita, mungkin konfl ik tidak akan terjadi’.

Respon politik untuk membangkitkan peran pemimpin adat belum begitu berdampak di daerah tersebut.

Sebagaimana yang dikatakan oleh anggota DPRD provinsi, ‘Hukum adat itu belum begitu dominan. Apa yang

ada di dalam peraturan belum merefl eksikan apa yang ada di bawah.’ Para damang tidak memiliki sumber

daya, kurang keahlian dan ilmu, dan dapat dipengaruhi dan dimanipulasi oleh kepentingan pemerintah dan/

atau perusahan swasta. Damang di Pondok Demar di Kabupaten Seruyan, contohnya, menerima upah bulanan

Rp 750,000 dari perkebunan kelapa sawit yang terlibat dalam sejumlah sengketa tanah di daerah tersebut. Dia

menyebutnya sebagai biaya penghubung antara perusahaan dengan masyarakat, tapi LSM lokal dan masyarakat

desa menyebutnya sebagai uang sogok.

Namun, dari sisi politik, usaha untuk membangkitkan kembali peran adat tidak berjalan dengan tanpa diketahui

oleh orang yang non-Dayak. Sebelum konfl ik, adat dianggap tidak efektif dalam menyelesaikan sejumlah masalah

yang meningkat antara orang Madura dan Dayak. Di saat yang bersamaan, banyak orang Dayak percaya bahwa

sistem peradilan formal dikuasai oleh orang Madura.67 Orang Madura yang diwawancarai untuk penelitian ini

mengungkapkan bahwa lebih menyukai penyelasaian oleh pemerintah lokal atau sistem hukum formal. Mereka

melihat adat benar-benar milik suku Dayak. Jadi, perubahan-perubahan aturan yang disahkan sejak otonomi

daerah telah memperkuat posisi orang Dayak, tapi tidak merupakan sebuah jalan untuk penyelesaian masalah

lintas etnis.

Kondisi ini merupakan permasalahan besar di Kalimantan Tengah paska-konfl ik. Orang-orang Madura kembali

lagi dalam jumlah yang banyak.68 Banyak yang kembali dengan kondisi yang sulit. Peraturan Daerah di Kabupaten

Kotawaringin Timur, salah satu dari pusat konfl ik utama, membuat kriteria untuk orang Madura untuk dapat

kembali dan tinggal.69 Orang Madura yang dapat diterima oleh masyarakat lokal mungkin mendapati dirinya

sebagai gelandangan, akibat banyak lingkungan orang-orang Madura yang dihancurkan selama konfl ik. Rumah-

rumah mereka yang masih berdiri mungkin sekarang ditempati oleh keluarga lain. Dalam kasus lainnya, barang-

barang milik orang Madura telah dicuri atau dijual. Dalam kasus seperti itu, orang-orang Madura yang meminta

untuk kembali ke rumah mereka menghadapi negosiasi yang sulit dengan orang-orang yang menghuni tempat

tinggal mereka. Banyak yang sudah menghabiskan atau kehilangan segala-galanya ketika melarikan diri dari

Kalimantan setelah kerusuhan, jadi untuk kembali kepada kehidupan biasa tergantung kepada penjaminan

terhadap hak atas harta kekayaan mereka.

66 M.Kane, J.Oola-Onyango & A. Tejan-Cole ( 2005) ‘Reassessing Customary Law Systems as a Vehicle for Providing Equitable Access to

Justice for the Poor.’ Makalah dipaparkan dalam konferensi Arusha, New Frontiers of Social Policy, Desember 12-15, 2005.

67 Dalam sebuah wawancara pada tahun 2003, mantan Kapolda Provinsi Kalimantan Tengah memberitahu kami bahwa polisi pada

kenyataannya tidak berpihak (berat sebelah) atas dasar etnis tapi hanya sekedar mendukung kepada siapapun yang membayar mereka

paling banyak. Hal ini umumnya terjadi pada orang Madura.

68 Sampai dengan Desember 2004, ada 9.000 yang terdaftar telah kembali dari 120.000 orang Madura yang telah mengungsi.

69 Peraturan Daerah Kotawaringin Timur Tahun 2004 tentang Pengawasan Kependudukan di Kotawaringin Timur.

Page 64: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

48 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian III:Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara

Tentu saja mereka pada dasarnya merasa bahwa posisi tawar mereka masih sangat lemah. Kapanpun mereka

dapat dikembalikan ke Madura. Ancaman-ancaman masih sangat umum terjadi. Sebagai orang Madura

kelahiran Kalimantan, Ova, bercerita kepada kami, ‘Sebelum konfl ik, orang Madura keras. Sekarang kami harus

merendahkan diri… posisi kami sangat lemah.’ Hal ini disebabkan rasa takut akan adanya balas dendam dan

terulangnya kembali kekerasan pada February 2001. ‘Pokoknya kami takut,’ dia menambahkan. Ova menceritakan

kembali bagaimana rumah salah satu temannya ditempati oleh orang Dayak setelah mereka melarikan diri ke

Madura akibat konfl ik tersebut. Keluarga Dayak tersebut kemudian menjual rumahnya ke sebuah keluarga etnis

Cina. Teman Ova itu sekarang harus membeli kembali rumah mereka sendiri, bahkan tanpa uang, tanpa kekuatan

yang nyata untuk menjamin hak-hak atas harta kekayaan mereka.

Meskipun beberapa orang damang memberitahu tim peneliti bahwa mereka berpikir adanya sebuah lembaga

multi-etnis untuk menyelesaikan sengketa akan berguna, belum ada tindakan sama sekali untuk memperbaiki

proses penyelesaian sengketa untuk menangani masalah-masalah seperti itu. ‘Tidak ada lembaga yang dapat

melindungi kami,’ Ova menilai.

Sikap yang sama ditunjukan di Pulau Buru, Maluku oleh para transmigran yang menghadapi sengketa pertanahan

yang besar, yang bermula sejak tahun 1954 (Studi kasus 22). Kepala desa yang orang Jawa dan sekretarisnya

tidak ingin menyelesaikannya berdasarkan hukum adat, karena mereka tidak mengerti dan merasa hukum itu

mendiskriminasi pendatang baru. Hal ini menciptakan ketegangan di wilayah tersebut. Sekretaris desa dari desa

transmigran tersebut dengan merujuk kepada konfl ik etnis di Sambas, Kalimantan Barat, tahun 1999 menyatakan,

‘Ini bisa menjadi Sambas kedua’. Raja dari desa tetangga setempat mengakui, ‘Muncul ketegangan disana.’

Sengketa Antar Kelompok Masyarakat

Kekuasaan pelaku peradilan non-negara jarang melampaui batas lingkungan pengaruh mereka, apakah itu

berdasarkan batas wilayah (kepala desa dan lingkungan rumah), berdasarkan marga (tokoh adat) atau sosial

(tokoh agama). Lebih jauh lagi, kepercayaan dan sanksi sosial penting bagi keberlangsungan perjanjian yang

dimediasikan. Sebagaimana dalam Gambar 7 di bawah, responden GDS dilaporkan memiliki tingkat kepercayaan

sosial yang lebih rendah secara drastis terhadap orang-orang dari desa yang bersebelahan dibandingkan dengan

lingkungan tempat tinggal mereka sendiri.

Gambar 7: Kepercayaan terhadap tetangga dekat dan desa-desa sekitar

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100%

Kepercayaan terhadapdesa-desa sekitar

Kepercayaan terhadaptetangga

Semua Orang Beberapa Sedikit Tak Satu Pun Kurang Tahu

Sumber: Survei GDS

Dua faktor tersebut, yaitu ketidakmampuan untuk mempunyai kewenangan sosial dan kurangnya kepercayaan

sosial – dengan ketidakhati-hatian mengkompromikan kemampuan para pelaku desa untuk menyelesaikan

sengketa antar masyarakat. Kasus di bawah ini merupakan contoh yang luar biasa atas masalah tersebut, dari

pulau wisata Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Page 65: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

49Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian III:Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara

Studi Kasus 14: Tembok berlinnya Lombok: Karang Genteng vs Patemon70

Konfl ik dimulai pada pertengahan tahun 1999 ketika seorang penduduk Patemon memperoleh hak milik tanah atas sebuah

kuburan yang berlokasi diantara desanya dan desa sebelah, Karang Genteng. Masyarakat Karang Genteng memperselisihkan

sertifi kat, merasa tanah itu berada dalam wilayah mereka. Tidak seorangpun yakin saat ini apa yang memicu kekerasan, tapi

perkelahian yang memanas pecah di bulan Juli 1999 ketika penduduk Karang Genteng menyerang Patemon. Konfl ik tersebut

memanas sepanjang sisa tahun 1999, memuncak pada bulan Januari 2000, menyebabkan banyak luka-luka dan kematian.71

Sengketa itu sekarang telah berkembang tidak hanya sekedar soal ketidaksetujuan atas tanah dan terjadi saling balas dendam.

Sebagaimana yang diamati oleh Sibawai, pemimpin keagamaan di Karang Geteng, ‘Yang penduduk tahu, bahwa ada anggota

keluarga mereka yang telah dibunuh si anu atau si anu...yang tinggalnya di Kampung Patemon.’

Berlusin-lusin peperangan terjadi selama lebih dari 10 tahun terakhir. ‘Sampai kapanpun kita akan melawan mereka,’ kata

kepala desa Patemon. ‘Bahkan saya sudah perintahkan kepada laki-laki di atas 16 tahun sampai 50 tahun untuk harus selalu

siap sedia berperang melawan Kampung Karang Geteng, … bilamana tidak bersedia lebih baik tidak menjadi warga Kampung

Patemon!’ Penduduk di Patemon menyiapkan persediaan senjata seperti batu, botol, tombak, dan bahkan senjata tangan

buatan. ‘Kalau sudah ada isyarat akan terjadi penyerangan,’ lanjut kepala desa Patemon, didukung oleh kepala organisasi

pemuda setempat, ‘kami memesan batu atau botol beberapa truk untuk menyerang dan bertahan.’

Respon pemerintah setempat luar biasa. Benteng setinggi 3 meter dibangun sepanjang jalan membatasi dua desa. Sekolah dan

fasilitas kesehatan terpisah juga telah dibangun sehingga para penduduk tidak perlu berinteraksi. ‘Coba perhatikan saja,’ kata

Sibawai, ‘melerai pertikaian antar warga, kok yang dilakukan pemerintah malah membuat benteng! apa menurut pemerintah

konfl ik ini sekedar masalah fi sik? Tentunya kan yang harus dilakukan adalah pembenahan secara sosial kemasyarakatan.’

Pengaruh ekonomi yang timbul atas tembok tersebut benar-benar signifi kan. ‘Masyarakat mungkin mulai berfi kir,’ kata kepala

desa Patemon. ‘Yang semula perputaran roda bisnis sekitar Rp 35 juta perhari, menjadi sampai Rp 100 ribu pun tidak dapat.

Konfl ik ini tidak lebih hanya mengorbankan segalanya sampai nyawa.’

LSM lokal telah mencoba untuk mendamaikan dua desa, tapi upaya hanya pada tingkat permulaan. Belum ada upaya untuk

mempertemukan pihak-pihak yang berbeda secara bersama. Sementara itu, dinding setinggi tiga meter diantara dua desa

berdiri sebagai sebuah simbol pemisahan.

Tidak adanya forum yang diakui sebagai wadah komunikasi dan pertemuan perdamaian yang melewati

batas wilayah dapat menyebabkan pertentangan atas nilai dan membuat perselisihan kecil berubah menjadi

konfl ik kekerasan masal. Lebih jauh lagi, ketidakmampuan pelaku peradilan di luar lembaga Negara untuk

memproyeksikan kewenangan di luar batas pengaruh mereka, yang dianggap bisa meningkatkan pengakuan

sosial lewat tindakan ”nasionalisme lokal” di mana mereka berperan sebagai pendukung atau pendamping desa

mereka dan bukan sebagai fasilitator netral yang bertindak sebagai penengah dalam sengketa

Sengketa Melibatkan Pihak Ketiga

Sengketa yang melibatkan warga desa dan pihak ketiga, khususnya perusahaan-perusahaan kehutanan dan

perkebunan kelapa sawit, menjadi hal yang semakin biasa terjadi di lokasi-lokasi penelitian. Sistem informal

biasanya tidak mampu menangani pertikaian-pertikaian seperti itu, ketika sengketa tersebut melibatkan pihak-

pihak di luar kontrol sosial desa. Di Kalimantan Tengah, perselisihan seperti ini makin sering terjadi seiring

dengan kebijakan otonomi daerah yang mendorong perluasan perkebunan kelapa sawit ke dalam tanah adat.71

Didukung oleh pemerintah, perkebunan sering mendapatkan tanah dengan cara tidak adil atau dengan memberi

ganti rugi yang tidak mencukupi. Warga desa di seluruh Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin, contohnya,

melaporkan bahwa mereka secara rutin menerima rata-rata Rp 400,000 per hektar sebagai kompensasi atas

70 Kami tidak memiliki angka (jumlah) yang pasti, karena masyarakat satu desa tidak terbuka memberi data yang konkrit dan polisi tidak

bisa memastikan datanya.

71 Lihat John F McCarthy (2004) “Changing to Gray: Decentralization and the Emergence of Volatile Socio-legal Confi gurations in Central

Kalimantan, Indonesia.” World Development. 32(7) hal. 1199-1223, Juli 2004.

Page 66: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

50 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian III:Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara

tanah mereka yang jatuh ke pihak perkebunan. Kepala Divisi Ekonomi Pemerintah Kabupaten Kotawaringin

Timur, menginformasikan, bahwa kompensasi minimum diharapkan sekitar Rp 600.000,- sampai Rp 1 juta.

Kasus pertambangan batu kapur Sari Gunung di Sampang, Jawa Timur, yang digambarkan dibawah merupakan

contoh bagaimana kewenangan para aktor lokal tidak cukup untuk mencegah kerusakan lingkungan yang

disebabkan oleh pertambangan baru kapur.

Studi Kasus 15: Pertambangan Sari Gunung menciptakan Kekacauan72

Batu kapur telah ditambang di dekat desa Sampang di Jawa Timur sejak masa penjajahan Belanda. Sejak kemerdekaan,

pengoperasiannya dimiliki oleh pemerintah setempat tapi ditangani oleh perusahaan swasta, PT. Sari Gunung.

Selama lebih dari 20 tahun masyarakat setempat telah menyampaikan keluhan kepada perusahaan dan Pemerintah

Kabupaten tentang kerusakan lingkungan hidup dan kerusakan terhadap infrastruktur desa. Pertambangan itu

memproduksi cukup banyak grosok, sebuah produk tidak berguna campuran dari kepingan-kepingan dan lumpur keras.

Karena pertambangan tersebut berada di atas bukit di atas perdesaan, selama musim hujan grosok tersebut jatuh ke

bawah, dari pertambangan tersebut ke perdesaan. Selama hujan deras grosok menyebabkan kerusakan yang parah pada

jalan-jalan dan beberapa rumah warga.

Di tahun 1980-an, Sekretaris Desa mengirimkan surat keluhan kepada Bupati, ditandatangani Camat, Kepala Dusun

dan Kepala Desa. Mereka berpikir karena itu merupakan perusahaan milik pemerintah maka Bupati akan mengambil

tanggung jawab. Namun demikian, Bupati menyatakan bahwa masalah grosok itu bukanlah prioritas.

Tiba-tiba pada tahun 1997 Pemerintah Kabupaten membangun saluran air sehingga air hujan dan grosok akan dialirkan

menjauh dari perdesaan. Akan tetapi, langkah ini mengalihkan masalah itu dari dusun di sebelah barat ke dusun yang

di sebelah timur. Hujan deras yang terjadi pada tahun itu menyebabkan rumah-rumah di bagian timur juga sawah yang

berada jauh di hilir dibanjiri dengan air bercampur grosok.

Surat lainnya dikirimkan, kali ini ke DPRD dan Badan Perencanaan Daerah, tapi lagi-lagi tidak ada respon. Mengalihkan

masalah dari dusun yang di sebelah barat ke yang ke di sebelah timur mulai memicu ketegangan antar kelompok

masyarakat. Pada tahun 2003, sekelompok anak muda dan petani yang lelah membersihkan grosok setelah hujan deras

dan melihat sawah tercemar air kotor, menyumbat saluran yang mengalihkan air. Menanggapi aksi protes ini Kepala Desa

memanggil anak-anak muda ke rumahnya untuk sebuah pertemuan. Masyarakat di dusun sebelah timur mengartikan hal

ini sebagai gerakan permusuhan oleh Kepala Desa, dan sekitar 20 orang warga desa dari dusun bagian timur mendatangi

Kepala Desa. Tidak ingin memanaskan ketegangan, Kepala Desa menerima aksi protes mereka dan saluran tersebut tetap

disumbat.

Hujan berlanjut dan air grosok membanjiri jalan utama dan sejumlah toko serta rumah-rumah. Tidak seorangpun

berani untuk membuka saluran atau bahkan membersihkan air grosok. Dwi Pertiwi, anggota Badan Perwakilan Desa,

menyatakan, ‘Tidak seorangpun di komunitas lainnya berani membersihkannya, bisa timbul keributan jika seseorang

membersihkannya.’ Sudah banyak kecelakaan motor terjadi di jalan utama, menjadi licin karena grosok itu.

Aksi mereka tidak pernah dianggap apalagi dipertimbangkan oleh Pemerintah Desa. Direktur pertambangan

tersebut menjelaskan jika setiap tahun dia memberikan keuntungan perusahaan kepada Pemerintah Kabupaten, jadi,

menurutnya terserah mereka apakah mereka akan menyelesaikan masalah grosok tersebut atau tidak. Karena perusahan

mempekerjakan orang-orang desa, Kepala Desa dan Kecamatan merasa segan untuk menghujat perusahaan tersebut.

Pada saat laporan ini ditulis, sengketa tersebut tetap tidak terselesaikan. Ketegangan sosial tetap tinggi, khususnya antara

dusun di sebelah timur dan barat akibat penyumbatan saluran tersebut.

72 Kasus ini dari Patrick Baron, Rachel Diprose dan Michael Woolclock (2006) Local Confl ict and Community Development in Indonesia:

Assessing the Impact of the Kecamatan Development Program, Kertas Kerja 10, Social Development, World Bank, Jakarta.

Page 67: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

51Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian III:Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara

Warga desa takut menentang kepentingan yang berkuasa dalam kasus penyalahgunaan hak tanah atau

kerusakan lingkungan. Penduduk desa Sembuluh II di Kalimantan Tengah mengeluhkan penyakit kulit dari

polusi air yang mereka yakini disebabkan oleh perkebunan kelapa sawit setempat. Bahkan, seorang perempuan

mengatakan, ‘Kami bergantung kepada mereka untuk pekerjaan dan duit. Kami sih takut melaporkan masalah

ini.’ Kondisi ini dapat menyebabkan ketegangan horisontal antara warga desa yang pro dan kontra terhadap

masuknya investasi dari luar.

Komunitas lokal, didukung LSM advokasi mulai belajar mengorganisir diri sendiri dan belajar menghadapi

kepentingan-kepentingan yang melanggar atas hak-hak tanah mereka. Keterbukaan politik dan demokrasi

mendukung gerakan-gerakan seperti itu. Tapi secara umum, mekanisme peradilan non-negara tidak dapat

menghadapi kekuatan yang tidak berimbang tersebut.

Seperti pada pengalaman orang-orang Madura di Kalimantan Tengah, salah satu tantangan paling mendasar

bagi masyarakat yang bukan penduduk asli dalam memahami dan menjalankan sistem norma adat adalah

kenyataan bahwa prosedur dan substansi tidak tertulis dan tidak jelas buat mereka. Salah satu cara yang telah

diusahakan masyarakat untuk mengatasinya adalah kodifi kasi norma dan struktur penyelesaian sengketa. Boks

3 dibawah ini menggambarkan sebuah contoh serupa dari Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Boks 3: Contoh Perubahan II: Memperjelas norma dan struktur resolusi perselisihan di NTB

‘Desa Bentek, dan desa-desa lain yang bergabung dalam Perekat Ombara merasa perlu memformalkan lembaga yudikatif

di tingkat desa. Disamping fungsinya yang positif di masyarakat, juga secara legal, Kepala Desa sebagaimana ditetapkan

Undang-undang Otonomi Daerah (Pasal 101e UU No. 22/99, penulis) wajib dan berwenang menyelesaikan permasalahan

atau sengketa di wilayah pemerintahannya. Jadi dengan pembentukan secara formal Mahkamah Adat Desa yang menjadi

salah satu bagian dari aparat pemerintahan desa, kami bukan sedang melakukan percobaan yang mengada-ada. Dan ini

pembelajaran berharga bagi masyarakat, karena bermasyarakat juga tidak lepas dari konfl ik, yang juga harus ada saluran

untuk penyelesaiannya.

- Kamardi, Kepala Desa dan Pendiri Perekat Ombara, Lombok, NTB.

Di Kabupaten Lombok Barat, dua puluh lima desa bergabung bersama di tahun 2000 untuk membentuk Persekutuan

Masyarakat Adat Lombok Utara (Perekat Ombara). Aliansi tersebut awalnya dibentuk untuk merespon kerusakan

lingkungan yang ditimbulkan oleh perusahaan-perusahaan kehutanan di wilayah tersebut. Sejak itu, Perekat Ombara

telah meluas ke 32 desa di seluruh kecamatan dan menjadi sebuah pergerakan untuk memperbaharui institusi desa,

termasuk dalam penyelesaian sengketa.

Masing-masing desa anggota telah mengkaji proses penyelenggaran penyelesaian sengketa dengan membentuk

pengadilan desa, yang dikenal sebagai Mahkamah Adat atau Majelis Krama Adat yang terdiri dari tiga pihak yang

berwenang yaitu pemerintah, adat dan pemimpin keagamaan. Beberapa memilih untuk menyusun hukum adat untuk

diterapkan di dalam desa mereka. Desa-desa tersebut memiliki badan eksekutif (kepala desa), legislatif (BPD) dan yudikatif

(dewan adat). Aliansi tersebut juga telah mendirikan sebuah dewan untuk mendengarkan sengketa-sengketa di tingkat

antar desa, memperkenalkan sistem pengawasan untuk tingkat di bawahnya, melalui hak untuk banding.

Tidak seperti kebangkitan adat yang bersifat dari atas-ke-bawah di lokasi-lokasi penelitian lainnya, Perekat Ombara

merupakan gerakan alami. Dengan dukungan dari luar, organisasi tersebut sekarang bergerak untuk memperkuat

posisi perempuan dan kaum minoritas di institusi-institusi setempat. Hal ini termasuk partisipasi dalam pembukuan

adat setempat, diikuti oleh analisa hukum adat yang memiliki perspektif gender dan hak asasi manusia. Karena

berbasis tradisional, kepemimpinan Perekat Ombara memiliki pengertian yang luas tentang “adat” sebagai hal yang

dinamis, perubahan yang bertahap, sejalan dengan fakta sosial modern. Kepemimpinan tersebut menganggap bahwa

mengulurkan tangan kepada kaum perempuan sebagai bagian penting untuk pengakuan sosial.

Page 68: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

52 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian III:Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara

Benturan Antara Sistem Formal dan Informal

Pluralisme hukum mengandung maksud bahwa norma dan sistem hukum yang berbeda kadang-kadang akan

berbenturan. Kasus yang dipelajari menunjukkan bahwa persinggungan diartikan secara luas dalam arti yang

khusus—jika ketentuan perpaduan keduanya tidak ditegaskan, dapat mengakibatkan kesewenang-wenangan

dan kekacauan. Studi kasus dibawah ini menggambarkan bagaimana perselisihan norma-norma dan sanksi-

sanksi antara yang formal dan informal yang berasal dari ketentuan mereka yang berbeda.

Studi Kasus 16: Penusukan di Kota – Resolusi Dua Jalur73

Empat orang laki-laki pergi minum-minum bersama di pusat Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah di malam hari tanggal 31

Agustus 2003. Dua dari mereka salah paham dan terjadilah perkelahian. Setelah saling pukul, Ranno Jonfrid Siae yang berusia

18 tahun menodongkan pisau dan menusuk temannya Syahmanto. Rano melarikan diri dari tempat kejadian, sementara

teman-temannya membawa Syahmanto ke rumah sakit terdekat. Dia meninggal, tidak lama setelah itu.

Rano ditangkap dan ditahan oleh polisi selama dua bulan selama mereka melakukan penyelidikan. Di saat yang bersamaan

proses penyelesaian secara adat dijalankan secara berbarengan. Kedua pelaku dan korban adalah orang Dayak dan tidak

lama setelah kejadian tersebut keluarga mereka bertemu di rumah Ketua RT dari korban untuk mengusahakan penyelesaian

cara adat. Dua pandangan berbeda muncul di antara dua keluarga, yang dimediasi oleh Ketua RT. Ketika persetujuan dicapai,

kemudian itu dibawa ke damang untuk mendapat pengakuan resmi.

Selanjutnya daftar barang-barang yang diminta untuk dibayar oleh keluarga Ranno disusun, jumlah keseluruhannya Rp

36 juta. 75 Ayah Ranno, Jonfrid, dan pengacaranya merasa kalau harga beberapa barang tertentu nilainya berlebihan, tapi

posisi tawar Jonfrid sangat lemah dalam situasi tersebut dan dia mengakui, ‘Sulit bernegosiasi dengan mereka, karena bisa

membuat mereka sangat emosional.’ Dia memutuskan untuk tetap mengikuti proses adat meskipun beberapa teman dan

keluarga mendesaknya mundur... ‘Saya dapat saja membatalkan proses adat, tetapi secara pribadi rasanya nggak benar. Yang

anak saya lakukan nggak benar...menyentuh perasaan dan emosi.’ Jonfrid menerangkan.

Hanya 18 hari setelah kejadian tersebut, persetujuan ditanda-tangani dan Jonfrid membayar denda. Motivasi utamanya

adalah mengurangi ketegangan dan menjamin kerukunan dengan keluarga si korban. ‘Ini mengurangi balas dendam dan

ketakutan... dan itu sudah terbukti.’ Dia juga tahu jalan tengah atau mediasi akan diterima dengan baik di pengadilan dan

diharapkan dapat mengurangi hukuman untuk Ranno. Memang, pengacaranya sudah memberitahu contoh-contoh yang

pernah terjadi sebelumnya. Sekretaris damang juga menjelaskan, tujuan dari resolusi adat adalah membantu ’mengurangi

hukuman penjara.’ Dia menambahkan, bagaimanapun, pelaku membutuhkan ’pengampunan ilahi’ untuk mengurangi

beratnya dosa. ‘ Di penjara hal seperti itu tidak ada’ dia mengatakan dengan muka masam.

Untuk kasus-kasus seserius ini, penyelesaian adat jarang yang menjadi akhir dari penyelesaian masalah. Tuntutan pidana

berlanjut. Sadar akan proses adat dan permohonan keluarga korban yang sudah ditujukkan ke pengadilan untuk meminta

keringanan hukuman yang paling rendah, Pengadilan Negeri Kota Palangkaraya menjatuhkan hukuman 1 tahun penjara.

Keputusan Pengadilan menyatakan:

…karena antara pihak keluarga korban dan pihak keluarga terdakwa telah mengadakan perdamaian adat, perdamaian

mana pihak terdakwa telah memenuhi semua tuntutan menurut Hukum Adat Dayak, sehingga nilai-nilai yang hidup dalam

masyarakat tersebut, patut diperhatikan dan dihormati, oleh karena mana disamping memperhatikan aspek yuridis dan

aspek fi lisofi s Majelis Hakim juga memperhatikan aspek sosiologis...

Hukuman tersebut kemudian diperkuat oleh banding ke Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Ranno sekarang sudah

keluar dari penjara dan bekerja di kabupaten lain. Kedua keluarga telah bertemu dua kali dan menyatakan bahwa hubungan

antara mereka baik.

74

73 Studi kasus ini berdasarkan wawancara dengan ayah pelaku dan pengacara, keluarga korban, jaksa penuntut umum dan salah satu

hakim dalam kasus tersebut dan diskusi dengan si-Damang yang membantu menyelesaikannya. Studi kasus ini juga mempergunakan

Keputusan Pengadilan Negeri Kota Palangkaraya279/Pid.B/2003 & Keputusan Pengadilan Tinggi Kalimantan Tengah 14/Pid/2004/PT.PR

16 Feruari 2004. Kutipan ini berasal dari keputusan Pengadilan Negeri.

74 Daftar tersebut meliputi barang-barang untuk upacara adat, dua babi, satu kerbau, satu sapi, 15 ayam, 500kg beras dan 100kg gula dan

piring dan mangkok khusus. Jumlah ini juga termasuk Rp 6 juta untuk biaya kasus kepada damang dan perangkat adatnya.

Page 69: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

53Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian III:Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara

Kasus tersebut membedakan dasar pikir kedua sistem peradilan. Bagi keluarga tersebut dan damang, hal yang

utama adalah mempercepat penyelesaian dan ”mengurangi balas dendam dan ketakutan.” Sebaliknya tujuan

utama pengadilan formal yaitu untuk menyelenggarakan keadilan untuk kepentingan umum dan untuk

memberikan aspek jera.

Kasus tersebut juga mencerminkan bagaimana sistem tersebut saling mendekati satu sama lain. Keinginan untuk

menghindari resiko dimana pelaku bisa saja “disidang” dan dihukum dua kali untuk pelanggaran yang sama,

membawa pengadilan termasuk Mahkamah Agung, untuk mengetahui sanksi adat. Sama halnya si damang

dan pengacara Ranno mengerti sanksi adat sehingga dapat mengurangi besarnya hukuman penjara. Dalam

kasus tersebut, “benturan” antara norma dan ketentuan yang berlaku berhasil dinegosiasikan untuk memberikan

kepuasan bagi semua pihak.

Sebaliknya, pembunuhan karena “ilmu hitam” yang tercatat di Jawa Timur (Studi Kasus 18 & 19) menggambarkan

adanya kesulitan-kesulitan pada persidangan pengadilan untuk menentukan aturan yang tepat atas apa

yang dimaksud sebagai, “adat-istiadat dan nilai lokal” dan sejauh mana hal ini harus digunakan sebagai bahan

pertimbangan. Di Jawa Timur, praktik santet dianggap tindak pidana. Pada saat yang bersamaan, juga

dipraktikkan secara luas. Dalam banyak kasus, polisi melindungi anggota masyarakat yang dituduh melakukan

santet. Bagi sebagian besar masyarakat menerima keterlibatan polisi. Akan tetapi, jika masyarakat memutuskan

untuk menangani sendiri kasus ini dan meminta keadilan bagi orang yang dituduh melakukan santet, polisi

jarang bertindak untuk menyelidiki pembunuhan tersebut.

Singkatnya, sistem formal tidak menentukan, secara konsisten dan dapat diprediksi, nilai pantas terhadap adat-

istiadat dan tidak menjelaskan tindakan apa yang tidak mencapai nilainya. Dalam kasus penusukan di atas,

pengadilan memandang hasil dari proses peradilan non-negara sebagai hal yang absah dibandingkan dalam

kasus “penculikan” anak Haji Anggeng (Studi Kasus 8), dimana penyelesaian informal ditolak. Tapi tidak ada satu

catatan penjelasan tentang bagaimana keputusan-keputusan ini dicapai. Batas yurisdiksi antara sistem formal

dan informal tidak ditegaskan, artinya meskipun diluar kewenangannya, kasus pidana berat kadang kadang

masih dapat dimediasi di tingkat desa. Standar dan perlindungan prosedural tidak disebutkan. Atas dasar apa

proses tersebut dinyatakan tidak sah dalam salah satu kasus dan sah di kasus lainnya? Demikian juga, apa yang

menjadi pedoman kebijakan polisi untuk menengahi atau menuntut? Persinggungan tersebut tidak diperjelas

dan, sebagaimana yang digambarkan dalam kasus kekerasan rumah tangga di Kalimantan dan kasus Anggeng,

kadang-kadang menghasilkan ambiguitas dan ketidakpastian hukum yang menguntungkan pihak yang kaya

dan berkuasa.

Memperjelas Persinggungan - Contoh-contoh dari Beberapa Negara Tetangga.

Negara-negara sekitar menghadapi tantangan pluralism hukum yang sama dan mengadopsi pendekatan-

pendekatan praktis untuk menghadapi hubungan formal-informal. Negara tetangga Papua Nugini, contohnya,

mengakui pentingnya peran peradilan tradisional, dengan membuat sebuah mekanisme pemerintah untuk

menyelaraskan sistem formal dan informal.

Page 70: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

54 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian III:Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara

Boks 4: Contoh-contoh Perubahan III: Meningkatkan kesesuaian antara peradilan formal dan

informal dan membangun kapasitas – Unit Perantara Peradilan Komunitas Papua Nugini

Seperti Indonesia, sistem informal merupakan bentuk peradilan yang dominan di negara tetangga Papua Nugini. Dengan

tujuan meningkatkan kesesuaian dan konsistensi antara sistem formal dan informal; untuk meningkatkan kapasitas

pelaku peradilan di luar negara; untuk mendokumentasikan dan menyebarkan inovasi lokal yang bersifat progresif; untuk

mendukung keterlibatan organisasi masyarakat sipil dalam sektor peradilan dan untuk mendorong peradilan yang saling

menguatkan, Pemerintah Papua Nugini telah mendirikan sebuah Unit Perantara Peradilan Komunitas (Community Justice

Liaison Unit atau CJLU) sebagai bagian resmi dari Sektor Hukum dan Peradilan.

Melalui pelatihan reguler, pengawasan, peningkatan kesadaran dan program khusus untuk perempuan dan kelompok

yang rentan, CJLU merupakan ekspresi kebijakan yang nyata atas peradilan non-negara. Tapi pada saat yang bersamaan

sebuah praktik untuk menemukan titik keseimbangan antara dua wilayah peradilan.

Sumber: Pemerintah Papua Nugini (2007)

Beberapa ketidakpastian, ambiguitas dan potensi benturan norma-norma dapat dikurangi, dengan

mendefi nisikan secara jelas yurisdiksi antara putusan pengadilan dan penyelesaian sengketa di desa. Hal ini

secara tepat menjadi pendekatan yang diadopsi di negara tetangga dekat Indonesia, Filipina.75

Boks 5: Contoh Perubahan IV: Mendefi nisikan Persinggungan–Sistem Peradilan Barangay di Filipina.

Sistem Peradilan Barangay di Filipina (BJS) merupakan program konsiliasi dan mediasi wajib di tingkat barangay atau

desa, dilaksanakan di semua 42,000 barangay di Filipina. Didirikan di tahun 1978, BJS merupakan perpaduan antara

penyelesaian sengketa formal dan informal. Sistem ini mencoba untuk memperoleh kekuatan mediasi di masyarakat,

dengan pelaksanaan kekuasaan negara.

Filosofi dasar dari BJS bahwa tidak ada sengketa yang boleh ditangani oleh pengadilan sebelum ada usaha awal untuk

menengahinya di tingkat barangay. Mediasi dengan sistem ini dilaksanakan secara informal tanpa pilihan untuk

pembuktian alat bukti. Hal tersebut pada pokoknya merupakan lingkungan yang “tidak resmi”.

BJS tersebut terdiri atas sebuah badan mediasi di masing-masing desa. Kepala desa, atau pemimpin Barangay, mengetuai

badan tersebut yang terdiri dari 10-20 anggota tergantung pada ukuran desa. Kasus-kasus tersebut awalnya dibawa ke

pemimpin barangay untuk mendapatkan usaha perdamaian. Jika penyelesaian sudah didapat, lalu ditulis dan ditanda-

tangani oleh kedua belah pihak. Penyelesaian tersebut kemudian mendapat status sama dengan keputusan pengadilan.

Jika pemimpinnya gagal menghasilkan penyelesaian yang memuaskan, kasus tersebut ditingkatkan ke 3 orang dewan

majelis yang dipilih oleh pihak yang bertikai. Jika gagal, maka kemudian kasus tersebut dapat dibawa untuk diselesaikan

melalui proses peradilan di pengadilan.

Yuridiksi BJS meliputi semua tipe sengketa dengan pengecualian dibawah ini:

• salah satu pihak adalah pejabat pemerintah

• pelaku tindak pidana dapat diberi hukuman penjara melebihi satu tahun atau denda lebih dari 5000 peso.

• ketika sengketa melibatkan pengembang perumahan yang berlokasi di kota-kota yang berbeda; dan

• sengketa lainnya yang oleh Kepala Barangay dianggap lebih tepat diselesaikan pengadilan demi kepentingan keadilan.

(Undang-undang Pemerintah Daerah 1991 Pasal 408)

Walaupun jauh dari sempurna, Sistem Peradilan Barangay secara konsisten memberikan tingkat kepuasan yang tinggi

dan menangani banyak kasus.

75 Untuk informasi lebih lengkap mengenai Sistem Peradilan Barangay, lihat Gerry Roxas Foundation (2000a), Report on the Effi cacy of

the Katarungang Pambarangay Justice System in the National Capital Region, Manila: Gerry Roxas Foundation; Gerry Roxas Foundation

(2000b), The Panay and Guimaras Experience in Barangay Justice. Manila: Gerry Roxas Foundation; GC Sosmena Jr. (1996), ‘Barangay Justice:

a Delegalisation Mechanism’ 20 Hiroshima Law Journal 404; & G. Sidney Silliman (1985), ‘A Political Analysis of the Philippines Katarungang

Pambarangay System of Informal Justice Through Mediation’ 19 Law & Society Review 279.

Page 71: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

55Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian III:Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara

Menegaskan batas yurisdiksi antara sistem formal dan informal melalui perundang-undangan nasional, seperti

contoh Filipina di atas, memperjelas batas-batas kewenangan polisi dan membatasi kapasitas mekanisme

informal untuk menengahi kasus-kasus tindak pidana berat serius, misalnya perkosaan dan kekerasan seksual.

Tentu saja sekedar mengatur hal ini tidak lantas mewujudkannya menjadi kenyataan di lapangan. Di Filipina,

tindak pidana serius terus dimediasi di tingkat barangay walaupun bertentangan dengan hukum negara.

Tetapi mengklarifi kasi isu ini membantu mengurangi kebingungan dan memberi pedoman untuk pelaksanaan

kebijakan.76

Contoh-contoh dari negara tetangga ini dapat memberikan beberapa inspirasi bagi pembuat kebijakan di

Indonesia.

76 Alfredo Tadiar (1988) ‘Institutionalising Traditional Dispute Resolution: the Philippine Experience’ di Asia-Pacifi c Organization for Mediation

(APOM), Transcultural Mediation in the Asia-Pacifi c, Manila.

Page 72: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

56 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Page 73: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

57Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian IV:

Menemukan Titik Keseimbangan: Kesimpulan dan Saran

A. KesimpulanTujuan dari penelitian ini adalah mendokumentasikan proses peradilan non-negara di tingkat desa terutama dari

segi inklusifi tas sosial dan perspektif pihak-pihak yang terpinggirkan. Tulisan ini juga mencoba untuk memahami

dinamika perubahan peradilan non-negara dan menerapkannya ke dalam strategi yang memanfaatkan kelebihan

maupun mengatasi kelemahan penyelesaian sengketa informal.

Kesimpulan Utama

Bentuk utama penyelesaian sengketa; penting bagi kesejahteraan orang miskin. • Peradilan informal

merupakan bentuk utama penyelesaian sengketa. Bagaimana perselisihan itu dipecahkan memiliki dampak

sosio-ekonomi yang berarti bagi masyarakat miskin.

Mekanisme peradilan informal memiliki beberapa kekuatan yang nyata. • Hasil penelitian menunjukkan

bahwa untuk kasus kecil di tingkat komunitas, peradilan non-negara berjalan cepat dan efektif. Keberhasilan

tersebut tercermin pada tingkat kepuasan yang tinggi.

Namun juga memiliki kelemahan yang signifi kan. • Ketika kasus menjadi lebih besar dan kompleks dan ada

keterlibatan relasi kuasa, tidak adanya standar peradilan yang jelas, tidak adanya pertanggungjawaban ke pihak di

atas dan di bawahnya, persinggungan yang kabur terhadap sistem hukum formal serta dikombinasikan dengan

tingkat keterwakilan yang rendah dari perempuan dan kelompok minoritas bisa menciptakan kesewenang-

wenangan. Dalam kondisi demikian, relasi kekuasa di tingkat lokal dan norma sosial yang menentukan proses

dan hasilnya, yang seringkali merugikan bagi pihak lemah dan tidak berkuasa. Kasus-kasus mengenai hak atas

tanah dan kekayaan didalamnya, adalah kasus yang paling rumit dan sulit dipecahkan.

Terdapat contoh perubahan yang positif, meskipuan hanya sedikit dan jarang. • Sistem politik dan

demokrasi yang makin terbuka menciptakan dinamika yang progresif yang dimanfaatkan oleh berbabagi pihak

di tingkat lokal untuk mengeksploitasi terbentuknya berbagai model penyelesaian sengketa yang lebih inovatif

dan inklusif.

Foto : Taufi k Rinaldi

Page 74: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

58 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian IV: Menemukan Titik Keseimbangan: Kesimpulan dan Saran

Temuan paling penting dalam penelitian ini adalah bahwa peradilan non-negara merupakan bentuk utama

penyelesaian sengketa. Perpaduan antara kemudahan diakses dan kewenangan sosial berarti bahwa sistem

peradilan informal –mediasi dan negosiasi melalui kepala desa, pemimpin agama, hukum adat dan pemimpin

masyarakat–merupakan pengalaman keadilan satu-satunya bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.

Akibatnya, dalam mengadakan pembaharuan sektor peradilan di Indonesia, pendekatan yang terfokus terhadap

sistem negara menjadi tidak cukup karena sebagian besar masyarakat mencari keadilan di tingkat desa dan

bukan di pengadilan negara.

Temuan penting kedua adalah bahwa cara berjalannya peradilan non-negara akan sangat berdampak pada

stabilitas sosial dan kesejahteraan masyarakat miskin. Kasus yang diteliti mencakup akses terhadap tanah dan

sumber daya alam, sengketa kekeluargaan, perceraian dan warisan, tindak pidana berat dan konfl ik kekerasan

antar suku. Ketidakberhasilan penyelesaian sengketa menimbulkan kerugian sosial dan ekonomi bagi

perseorangan dan masyarakat.

Untuk sebagian besar kasus ringan, peradilan informal merupakan proses yang tepat dan efektif. Masyarakat

lebih puas dengan kinerja mekanisme peradilan non-negara daripada pengadilan, kejaksaan dan kepolisian.

Legitimasi dan kewenangan sosial merupakan sumber kepuasan masyarakat terhadap peradilan non-negara,

namun di lain sisi pelaksanaan kewenangan sosial yang tidak terpantau justru menjadi kelemahan utamanya.

Tanpa pengawasan, kelompok terpinggirkan sering tidak diikutsertakan, pembuatan putusan berjalan sewenang-

wenang dan penyelesaian sengketa lebih ditentukan oleh relasi kuasa daripada negara hukum. Peradilan non-

negara cenderung mencerminkan dan dipengaruhi oleh kedekatan hubungan sehingga merugikan perempuan

dan kelompok terpinggirkan. Padahal jelas bahwa ketidakadilan seperti inilah yang memicu meluasnya konfl ik

kekerasan. Konfl ik lahan—yang mempunyai nilai ekonomi yang jelas—adalah hal yang paling sering memicu

konfl ik dan sulit untuk diselesaikan.

Karena itu, hal ini terlalu penting untuk diabaikan. Kegagalan dalam mendukung peradilan non-negara berarti

berlanjutnya ketidaksamarataan, hilangnya hak atas ekonomi dan meningkatnya peluang terjadinya konfl ik.

Tetapi mencari solusi bukanlah hal yang mudah. Perbedaan prosedur dan substansi peradilan non-negara di

masing-masing daerah mempersulit proses untuk membuat kerangka kerja yang berkaitan dengan sistem

peradilan non-negara. Karena itu tidak mengherankan bahwa penelitian ini tidak menemukan contoh

perubahan atau pembaharuan yang menyeluruh yang membuka kesempatan bagi perempuan dan kelompok

terpinggirkan.

Namun, keterbukaan politik dan demokrasi menciptakan dinamika progresif dimana beberapa kelompok

lokal menggali pembentukan model penyelesaian sengketa yang lebih inovatif dan tepat sasaran. Munculnya

gerakan yang mendesak perubahan dan adanya perubahan yang didorong dari bawah – baik berasal dari

pemerintah maupun masyarakat madani – merupakan pertanda bahwa sudah mulai ada perubahan. Hal ini

perlu didukung.

Pemahaman Peradilan Non-Negara di Indonesia: Temuan-temuan Utama

Peradilan Non-Negara telah menjadi Mekanisme Utama dalam Penyelesaian Sengketa

Meskipun sering dipandang sebagai cara penyelesaian alternatif seringkali peradilan non-negara merupakan

satu-satunya pengalaman di bidang keadilan bagi masyarakat Indonesia pada umumnya. Kepala desa, petugas

pemerintahan desa dan agama, tokoh adat dan tokoh masyarakat diakui oleh sebagian besar rakyat desa

sebagai pelaku utama dalam penyelesaian sengketa. Sebagai perbandingan, hanya dua persen dari masyarakat

Page 75: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

59Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian IV: Menemukan Titik Keseimbangan: Kesimpulan dan Saran

pernah berhubungan dengan pengadilan formal. Berhubungan dengan jaksa dan pengacara juga hampir tidak

dilakukan.

Adanya Kaitan antara Keadilan, Stabilitas dan Kemiskinan

Peradilan non-negara menangani persengketaan secara luas, termasuk kasus-kasus yang berkaitan erat dengan

stabilitas dan kehidupan sosial. Kejahatan, konfl ik tanah, warisan, perkawinan dan perceraian, dan kekerasan

dalam rumah tangga adalah bentuk-bentuk masalah hukum yang paling umum. Penyelesaian adil dari

sengketa-sengketa tersebut membantu pihak perempuan mendapatkan harta gono-gini dalam perceraian dan

memastikan bahwa anak mereka memiliki status hukum untuk mendapatkan akses atas pelayanan kesehatan

dan pendidikan. Dan pastinya tidak ada yang lebih penting bagi keamanan dan kesejahteraan mereka selain

kepastian hak penguasaan tanah.

Mekanisme Peradilan Non-Negara didominasi oleh Norma-norma Sosial

Penyelesaian sengketa informal secara keseluruhan tidak memiliki sistem jelas yang menyeluruh, melainkan

merupakan serangkaian proses yang dijalankan oleh pihak yang berpengaruh.

Di beberapa wilayah, misalnya Sumatera Barat, dimana dewan adat setempat telah terbentuk, peradilan non-

negara ditegakkan dengan baik dan memiliki struktur serta hukum dan prosedur tertulis. Namun di kebanyakan

wilayah proses berjalan serupa dengan yang terjadi di Kalimantan dan Maluku, dimana kepala desa atau

pemimpin agama menyelesaikan sengketa berdasarkan pandangan lokal terhadap keadilan ataupun pendapat

subyektif. Keputusan sering tidak ditunjuk kepada hukum negara, agama atau adat. Norma sosial dan relasi

kekuasan menentukan keputusan.

Ketidakjelasan prosedur peradilan non-negara memberi pelaku peradilan non-negara keleluasan dalam

menentukan penyelesaian dan sanksi yang sesuai dengan budaya lokal. Tapi hal ini juga dapat mengakibatkan

ketidakadilan dan diskriminasi bagi kaum lemah.

Menjaga Kerukunan dapat Menghasilkan Kebebasan dari Hukuman (Impunitas)

Kemampuan mengembalikan kerukunan antar pihak adalah salah satu kekuatan utama dari peradilan non-

negara. Namun kepentingan kerukunan dapat juga disalahgunakan untuk mempertahankan status quo. Selain

itu, pada masyarakat yang memiliki marga atau suku, upaya mencapai kerukunan umumnya mengutamakan

menjaga keseimbangan hubungan antar-marga. Seringkali tercapainya kerukunan berarti hilangnya hak asasi

manusia dan keadilan secara individu.

Hal ini sangat jelas terlihat pada kasus Sepa, dimana keluarga dari korban perkosaan yang berusia tujuh belas

tahun dipaksa untuk meminta maaf pada pelaku. Kasus ini merupakan contoh dimana dorongan untuk

mengembalikan kerukunan digunakan untuk menekan keluhan yang sah dan berdasar dari kaum lemah. Tidak

adanya proses pengawasan berarti kaum lemah tidak mempunyai saluran untuk banding ataupun menolak

keputusan yang tercapai.

Upaya menjaga kerukunan juga berpengaruh terhadap penentuan sanksi dalam sistem peradilan non-negara.

Sanksi terhadap sengketa perdata dan pidana biasanya berupa kompensasi berbentuk uang, sehingga tampak

menyamakan unsur hukuman dengan ganti rugi kerusakan material. Penelitian ini juga mencatat adanya

hukuman fi sik, termasuk cambuk dan pukulan, yang secara hukum berada diluar wewenang pelaku peradilan

non-negara. Tanpa adanya kerangka pengawasan yang efektif, pemberian sanksi secara berlebihan dapat terjadi

dan begitu juga pembebasan dari hukuman.

Page 76: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

60 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian IV: Menemukan Titik Keseimbangan: Kesimpulan dan Saran

Kekuatan: Kemudahan Akses dan Legitimasi Sosial

Kombinasi dari fl exibilitas dan legitimasi serta kewenangan sosial di tingkat lokal memberi banyak keuntungan.

Peradilan non-negara, selain lebih populer daripada peradilan formal, kinerjanya juga dilaporankan memberikan

tingkat kepuasan kepada warga masyarakat yang lebih tinggi, yaitu sekitar 69 persen untuk peradilan non-negara

dan 59 persen untuk peradilan negara.

Sengketa sederhana dan ringan di dalam masyarakat umumnya terselesaikan dengan cepat. Dari empat belas

kasus yang tercatat dalam studi ini, sebelas diantaranya dapat diselesaikan tanpa kesulitan berarti.

Pada kasus sederhana, kemudahan akses, kelonggaran, biaya ringan dan kecepatan kinerja dari peradilan non-

negara membawa keuntungan yang lebih signifi kan daripada peradilan formal. Kasus-kasus yang diteliti rata-rata

terselesaikan dalam dua sampai tiga minggu, bahkan kurang. Biaya untuk administrasi kasus biasanya ringan.

Kesukarelaan dan dasar mufakat juga memungkinkan kembalinya hubungan harmonis yang tidak dapat

dilakukan dengan keputusan dari pengadilan. Dalam kasus penikaman di Kalimantan, tercapai penyelesaian

yang memenangkan keduabelah pihak melalui penyelesaian adat yang memungkinkan keluarga pelaku dan

korban tetap menjalin hubungan yang baik.

Kekuatan utama dari peradilan non-negara berada pada wewenang dan legitimasi sosial yang dimilik para

pelakunya. Legitimasi yang melekat pada kepala desa, pemimpin agama dan tokoh masyarakat mampu

meyakinkan pihak yang bersengketa untuk mencari jalan keluar secara bersama dan juga memungkinkan

penegakkan putusan yang dihasilkan dari proses mediasi tersebut.

Kelemahan: Ketidakseimbangan Kekuasaan dan Kurangnya Pertanggungjawaban

Meskipun legitimasi sosial adalah kekuatan hukum adat, pelaksanaannya yang tidak diawasi dapat

mengarahkannya pada ketidakadilan.

Hal ini dapat dimanfaatkan oleh pihak yang lebih berkuasa untuk menggunakan pengaruh mereka untuk

mengatur norma-norma dan proses penyelesaian sengketa. Hal ini sangat jelas pada kasus penghinaan

adat di Sumatera Barat dimana norma-norma diterapkan secara selektif sesuai wewenang orang-orang yang

bersengketa. Kasus perkelahian di pasar dan Anggeng juga menunjukkan bahwa kekuasaan orang-orang yang

bersengketa dapat membuat mereka kebal dari kewajiban pelaksanaan putusan.

Kurangnya Keterwakilan Perempuan

Perempuan dan minoritas kurang terwakili dalam institusi penyelesaian sengketa di desa. Kepala desa dan

kepada dusun adalah pelaku utama penyelesaian sengketa, tetapi hanya 3 persen dan 1 persen dari keduanya

adalah perempuan.

Hal ini tidak mengakibatkan tertutupnya sama akses terhadap keadilan, sebagaimana tetap banyaknya

perempuan yang menyetujui pendapat seorang penduduk desa perempuan di desa Sembuluh II di Kalimantan

Selatan bahwa, ‘Akan lebih mudah (untuk melaporkan masalah) dengan perempuan. Terkadang kami malu

dengan pria’.

Kasus perceraian di Kalimantan dan beberapa kasus lahan dari Sumatera Barat menunjukkan bahwa kurangnya

perwakilan perempuan di institusi peradilan informal membuat mereka mudah dimanfaatkan dan dirugikan. Ini

Page 77: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

61Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian IV: Menemukan Titik Keseimbangan: Kesimpulan dan Saran

juga berarti bahwa masalah hukum perempuan sering diabaikan atau tidak ditanggapi secara serius. Lebih serius

lagi, untuk kasus peka seperti kekerasan dalam rumah tangga, banyak perempuan yang tidak melapor karena

khawatir akan dampak sosialnya.

Sengketa Antar Suku, Antar Desa dan “Pihak Ketiga” Sulit untuk Diselesaikan

Sengketa lintas suku atau agama sulit untuk diselesaikan. Terutama karena dalam mekanisme yang berdasarkan

adat pelaku penyelesaian sengketa hampir selalu berasal dari golongan elit dari suku setempat. Suku minoritas

dan transmigran sering diberi status kelas dua oleh hukum adat. Konfl ik antara suku Batak dan kelompok Minang

lokal di Kinali, Sumatera Barat, dan kembalinya orang Madura ke Kalimantan Tengah memunculkan keraguan

atas kemampuan sistem peradilan yang berdasarkan hukum adat tradisional untuk menjawab kebutuhan

keadilan dengan tetap tanggap menghadapi kebutuhan modernitas keberagaman Indonesia. Kelompok

minoritas, terutama di daerah yang pernah berkonfl ik, secara konsisten lebih memilih sektor peradilan formal

karena menganggap sistem formal cenderung lebih netral, tidak melihat perbedaan suku, dan lebih bebas dari

pengaruh politik.

Sengketa lintas wilayah perbatasan juga sulit diselesaikan. Jarang ada pelaku hukum adat yang dapat membangun

wewenangnya di luar batas wilayah atau sosial mereka. Kenyataan ini diperburuk dengan rendahnya tingkat

kepercayaan sosial antar desa yang berbatasan. 58 persen penduduk desa menyatakan bahwa orang-orang

yang berada di lingkungan mereka dapat dipercaya, tapi hanya 36 persen mengatakan bahwa orang-orang dari

desa-desa tetangga dapat dipercaya.

Kasus “Tembok Berlin” di Lombok adalah contoh yang luar biasa. Pada sebuah pulau tempat pesiar yang indah,

perselisihan dan bentrokan antar kampung mengakibatkan didirikannya tembok pemisah antar kampung

setinggi tiga meter. Pemimpin lokal tidak memiliki wewenang untuk menghentikan kekerasan.

Pentingnya Sengketa Tanah

Sengketa kecil dalam desa tentang batas-batas tanah umumnya dapat diselesaikan tanpa kesulitan melalui

sistem hukum adat. Namun, seperti yang jelas terlihat pada kasus pertambangan Gunung Sari dan sengketa

antara masyarakat dan perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah, masalah menjadi lebih rumit

ketika melibatkan kepentingan kelompok luar yang berkuasa. Aparat desa biasanya tidak memiliki kewenangan

maupun pengaruh yang cukup untuk mencegah timbulnya masalah-masalah lingkungan dan sengketa lahan

dimana pihak perusahaan swasta – yang biasanya didukung oleh pemerintah – mulai terlibat. Lemahnya aparat

desa dalam kondisi seperti ini dapat berakibat munculnya konfl ik horizontal di tingkat lokal, seperti di Sampang

di pertambangan Sari Gunung dan lokasi penelitian lain di Kalimantan Tengah.

Program pemerintah pusat dan daerah untuk mengembangkan perkebunaan kelapa sawit secara besar-

besaran ikut memperumit pokok permasalahan. Sistem peradilan formal maupun informal belum mampu

bekerja secara efektif untuk menyelesaikan sengketa semacam ini. Sistem peradilan non-negara gagal karena

ketidakseimbangan kekuasaan dan pengaruh seperti yang telah disebutkan diatas. Pengadilan formal gagal

dengan alasan yang sama, dan juga karena persengketaan tersebut seringkali mencakup lebih dari permasalahan

hukum murni. Masyarakat sering juga menginginkan kerja sama dengan perusahaan swasta melalui persetujuan

hak guna tanah bersama. Namun sering juga inti sengketa tidak terletak pada hak dan kewajiban hukum dan

lebih terletak pada penegakan prinsip kewajaran dan keadilan sosial – misalnya berkaitan dengan para penghuni

liar jangka lama di tanah milik negara; ataupun komunitas penghuni yang mendapat ijin tinggal tidak resmi

namun tetap dipaksa untuk pindah ke tempat yang baru. Masalah-masalah ini membutuhkan hasil mediasi

yang lentur berdasarkan kepentingan publik.

Page 78: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

62 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian IV: Menemukan Titik Keseimbangan: Kesimpulan dan Saran

Mekanisme peradilan informal tidak berfungsi sebagai forum mediasi yang efektif untuk sengketa-sengketa ini.

Maka dibutuhkan sebuah mekanisme alternatif. Mekanisme alternatif ini harus berdasarkan mediasi dan dapat

mewakili semua pihak yang berkepentingan – pemerintah, sektor swasta, kelompok masyarakat madani dan

masyarakat itu sendiri.

Ketidakjelasan Persinggungan antara Sistem Formal dan Informal

Tidak adanya persinggungan yang jelas antara peradilan informal dan formal, khususnya mengenai kewenangan,

menciptakan ketidakpastian hukum dan membuka kesempatan untuk mencari keuntungan dan manipulasi

sengketa. Seperti yang terjadi pada kasus perceraian di Kalimantan, polisi menentukan kasus apa akan

dimediasikan atau diteruskan secara sepihak dan tanpa mengikuti prosedur resmi.

Seperti pada kasus Anggeng dan carok, pengadilan juga memutuskan secara sepihak untuk menerima atau

menolak adat istiadat lokal tanpa mengunakan kriteria yang jelas. Ketidakpastian seperti ini membuat masyarakat

lemah dan tidak berpendidikan menjadi mudah dieksploitasi.

Tidak adanya kejelasan hak untuk mengajukan banding terhadap hasil peradilan non-negara di pengadilan

negara juga mengurangi pertanggungjawaban fungsi aparat hukum negara.

Otonomi Daerah Merupakan Awal dari Perubahan

Otonomi daerah memberi kesempatan untuk mengatasi beberapa kelemahan-kelemahan ini. Peraturan

perundang-undangan di bidang desentralisasi memberi wewenang pada pemerintah daerah untuk mengatur

bentuk dan struktur pemerintahan desa, termasuk mekanisme penyelesaian sengketa. Hal ini memungkinkan

lahirnya stuktur dan mekanisme baru untuk mengatasi konfl ik antar suku, menambah perwakilan perempuan

dan mengatasi sengketa antar desa yang rumit. Namun demikian, penelitian lapangan ini tidak menemukan

adanya contoh pembentukan struktur ataupun mekanisme baru seperti yang diharapkan.

Bahkan di Sumatera Barat, Maluku dan Kalimantan Tengah, wewenang ini justru digunakan untuk menghidupkan

kembali struktur pemerintahan tradisional yang berdasarkan adat. Kembalinya ke “cara lama” tidak hanya

menegaskan kembali identitas budaya suku lokal, tapi juga melambangkan idealisme yang dibawa dari masa

lalu. Seperti yang diungkapkan oleh Benda-Beckmann pada Sumatera Barat, ‘adat telah diberikan kepentingan

simbolis dan retorik… dan dianggap sebagai jimat yang dapat membawa masa depan yang lebih baik.’77

Temuan penelitian ini juga memperlihatkan bahwa kembalinya hukum adat tidak dapat mengatasi kelemahan-

kelemahan peradilan non-formal, seperti kebutuhan akan perlakuan yang lebih setara terhadap perempuan dan

kaum minoritas.

Namun Contoh Perubahan yang Baik Juga Ada

Penelitian menemukan beberapa contoh pembaharuan di tingkat masyarakat. Kelompok perempuan di

Sumatera Barat telah memanfaatkan potensi emansipasi yang muncul dari kesadaran hukum dan mobilisasi

masyarakat. Setelah membekali diri dengan pengetahuan mendalam mengenai hukum adat, kini mereka

diterima secara baik oleh masyarakat dan mendapatkan hak suara dalam proses penyelesaian sengketa.

Persekutuan Masyarakat Adat Lombok Utara (Perekat Ombara) di Lombok Barat menganut pandangan yang

progresif terhadap adat yang mengakui perlunya budaya lokal untuk beradaptasi dengan realita modern,

77 Benda Beckmann (2001), diatas n.22, hal.33.

Page 79: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

63Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian IV: Menemukan Titik Keseimbangan: Kesimpulan dan Saran

termasuk berkaitan dengan perwakilan perempuan. Desa-desa di dalam persekutuan ini telah membangun

struktur dan mekanisme penyelesaian sengketa yang jelas. dengan norma-norma dan prosedur tertulis serta hak

untuk mengajukan permohonan banding.

Kesadaran hukum dan pendidikan hukum telah membuat sistem formal menjadi lebih mudah diakses semua

kalangan. Dengan mengurangi monopoli pelaku sistem peradilan non-negara, peningkatan kesadaran hak

dapat memberdayakan kelompok terpinggirkan untuk mendapat hasil pengadilan yang lebih baik.

Contoh dari Negara tetangga seperti Sistem Pengadilan Barangay di Filipina dan Unit Perantara Peradilan

Komunitas di Papua Nugini juga dapat memberi inspirasi bagi pembuat kebijakan dalam memperkuat

kemampuan, keberhasilan dan keterbukaan mekanisme peradilan informal.

Walaupun contoh perubahan positif masih terbatas, diskusi dengan ratusan pegawai pemerintah, anggota DPRD,

aktivis, pemimpin desa, dan masyarakat umum memperlihatkan bahwa banyak pihak yang ingin menuntut

ataupun mendorong perubahan. Pihak pro-perubahan seperti ini dapat dan harus didukung.

B. Saran-saran

Saran-saran Utama

• Menggabungkan perubahan di tingkat masyarakat dan perubahan kebijakan. Menemukan titik keseimbangan

yang bermakna yang mensyaratkan gabungan antara perubahan kebijakan, peraturan dan tindakan di tingkat

lokal.

• Memperkuat pertanggungjawaban kepada pencari keadilan. Memberdayakan kelompok yang lemah dan

terpinggirkan untuk menuntut kualitas pelayanan yang lebih baik dari peradilan non-negara.

• Meningkatkan kualitas peradilan non-negara. Meningkatkan kapasitas dan keahlian teknis dari institusi dan

pelaku peradilan non-negara.

• Memperluas ”bayangan” hukum (“Shadow of the law”). Meningkatkan akses ke sistem peradilan formal untuk

menambah pilihan dalam memproses sengketa tingkat lokal.

• Meningkatkan pertanggungjawaban kepada negara dan pengadilan formal. Membentuk pedoman nasional

untuk memperkuat persinggungan dengan peradilan formal dan peraturan daerah supaya prinsip-prinsip utama

yang memajukan kesetaraan dan sejalan dengan standar Undang-Undang Dasar dapat dilembagakan.

Pentingnya peradilan non-negara menunjukkan bahwa sebuah strategi yang menyeluruh dalam mendukung

penegakan hukum di Indonesia harus melihat jauh hingga ke luar pengadilan. Strategi yang hanya meliputi

pengacara, proses litigasi dan pengadilan formal tidak akan menjangkau masyarakat miskin, khususnya di daerah

perdesaan.

Namun perencanaan strategi seperti ini dipersulit dengan besarnya keragaman pelaku, institusi dan proses. Hal

ini tidak dapat dihindari mengingat adanya norma sosial dan struktur kekuasaan yang tidak dapat ditiadakan

oleh peraturan dan kebijakan negara. Rekomendasi untuk memperbaharui institusi lokal dengan mudah dapat

diabaikan karena dianggap terlalu sulit ataupun karena ketidaklayakannya atau diartikan sebagai upaya sentris

untuk merekayasa dan mengubah struktur sosial di tingkat lokal.

Ada anggapan bahwa kerumitan peradilan non-negara sedemikian rupa hingga tidak ada yang dapat dilakukan

untuk memperbaikinya. Berdasarkan pandangan ini, masalah-masalah yang telah dikemukakan tidak bisa

dipecahkan sama sekali. Mendukung peradilan non-negara hanya akan mempertahankan “keadilan yang lemah”

Page 80: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

64 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian IV: Menemukan Titik Keseimbangan: Kesimpulan dan Saran

bagi orang miskin. Sehingga sumber daya yang ada lebih baik diarahkan untuk upaya meningkatkan efektivitas

pengadilan formal.78

Namun pandangan lain menganggap peradilan non-negara dan adat lebih ideal sehingga layak diakui secara

luas oleh negara.79 Sama halnya dengan pendekatan sebelumnya. Pendekatan ini juga memiliki cacat, karena

seakan-akan meremehkan permasalahan yang timbul dari tidak adanya standar minimum dan pengawasan

yang efektif.

Diantara keduanya adalah pandangan yang lebih realistis. Peradilan non-negara adalah mekanisme utama

dalam penyelesaian sengketa. Daya tahannya telah terbukti. Karena itu, pelibatan sistem informal harus menjadi

elemen inti dalam setiap program yang bertujuan mendukung penegakan hukum di Indonesia. Seperti kata

Xanana Gusmao, yang terpenting adalah memupuk bagian yang baik dan membuang bagian yang jelek.

Dapat dikatakan dengan adanya desentralisasi yang efektif pemerintah memberi ruang untuk menerapkan

pendekatan “penyatuan parsial” (partial incorporation) sistem peradilan non-negara. Bagaimanapun, pendekatan

ini belum diterjemahkan dalam tindakan nyata. Di daerah dimana telah ada tindakan, seringkali hasilnya justru

kembali ke “cara lama”, yang cenderung tertutup dan melawan arus kemajuan sosial.

Tulisan ini mengusulkan sebuah kerangka kerja untuk membentuk “titik keseimbangan” antara sistem peradilan

non-negara dan pengadilan formal. Pendekatan ini mencoba untuk menggabungkan akses sosial, wewenang

dan legitimasi dari proses non-negara dengan mekanisme pertanggungjawaban, baik terhadap masyarakat

dan negara. Pendekatan ini menyadari realita pluralisme hukum di Indonesia dan juga bahwa penetapan

satu model untuk seluruh bentuk peradilan non-negara tidak diinginkan ataupun dimungkinkan. Karena itu

titik keseimbangan tersebut harus mengakomodir perbedaan sosial budaya dan adat istiadat dengan tetap

memperkenalkan prinsip-prinsip umum guna melindungi masyarakat terpinggirkan.

Jadi di bagian akhir ini, kami memberi beberapa saran dalam membentuk titik keseimbangan tersebut. Tujuannya

bukan untuk membuat peradilan non-negara yang ideal atau sempurna, tetapi lebih ditujukan pada dua

kelemahan (i) mengatasi ketidakadilan dan menyeimbangkan wewenang sosial dengan pertanggungjawaban

sosial; dan (ii) untuk meningkatkan kinerja peradildan non-negara dalam melayani perempuan dan kelompok

minoritas.

Saran-saran ini ditujukan pada pemerintahan di tingkat pusat dan daerah, organisasi masyarakat yang aktif di

bidang ini dan pihak donor yang mendukung mereka.

Menggabungkan Aksi Masyarakat di Tingkat Akar Rumput dengan Perubahan Kebijakan

Studi kasus, analisa dan contoh-contoh perubahan menunjukkan bahwa pembentukan titik keseimbangan

membutuhkan gabungan dari perubahan kebijakan, peraturan dan tindakan di tingkat lokal. Perubahan ini

harus memberdayakan kaum lemah dan terpinggirkan, meningkatkan kualitas pelayanan pengadilan melalui

mekanisme peradilan informal dan menetapkan standar minimum yang jelas melalui perubahan peraturan.

Jadi, ada empat tingkatan dari tindakan yang disarankan.

78 Hohe dan Nixon membedakan antara “idealis’, yang berpegang pada sistem pengadilan yang sempurna, dan “realis”, yang lebih

cenderung untuk bekerjasama dengan apa yang ada. Lihat Tania Hohe & Rod Nixon (2003) ‘Reconciling Justice: “Traditional” Law and

State Judiciary in East Timor’ (Laporan Kerja yang disiapkan untuk United States Institute of Peace, January 2003), 38. Untuk “pendirian”

tipologi umum, Negara dapat menggunakan kepada mekanisme hukum adat, lihat Connolly (2005), diatas n.11.

79 Studi baru LP3ES mengenai mediasi desa menggembarkan beberapa elemen terkait dengan pendekatan ini: Widodo S. Dwi Saputro,

Burhanuddin, Adnan Anwar & Badrus Sholeh (2007). Balai Mediasi Desa: Perluasan akses hukum dan keadilan untuk rakyat, Jakarta: LP3ES

& NZAID.

Page 81: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

65Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian IV: Menemukan Titik Keseimbangan: Kesimpulan dan Saran

1. Pertama, lakukan kegiatan di tingkat akar rumput untuk mendukung pertanggungjawaban ke bawah

dan memberdayakan pihak yang lemah dan terpinggirkan untuk menuntut layanan dengan kualitas

yang lebih baik dari peradilan informal. Hal tersebut merupakan prioritas yang paling penting karena

kegiatan tersebut mengatasi kelemahan utama yang dihadapi.

2. Prioritas kedua adalah untuk melakukan kegiatan di tingkat menengah untuk mengembangkan

kapasitas dan keterampilan teknis dari lembaga dan pelaku peradilan informal.

3. Prioritas ketiga di luar desa untuk meningkatkan akses terhadap sistem peradilan formal guna membuka

pilihan dan memperluas ”bayangan” hukum.

4. Untuk mendasari kegiatan di tingkat akar rumput, prioritas terakhir adalah perubahan kebijakan

pemerintah pusat dan daerah untuk mendukung pertanggungjawaban ke atas dengan membuat (i)

pedoman tingkat nasional yang memperkuat persinggungan dengan sektor formal; dan (ii) peraturan

daerah untuk melembagakan serangkaian prinsip untuk peradilan non-negara yang adil dan inklusif

sehingga sesuai dengan standar konstitusi.

Tabel 4: Kerangka kerja

Tingkat Tindakan Prioritas

Akar Rumput/ Masyarakat Memberdayakan perempuan dan kelompok minoritas melalui peningkatan kesadaran akan hak

Membuat agar para pelaku peradilan non-negara bertanggung jawab ke bawah dengan menjadikan posisi mereka sebagai posisi yang harus dipilih oleh

masyarakat

Membuka akses terhadap sistem formal melalui program pendidikan hukum dan pengadilan keliling

Mendukung mobilisasi dan organisasi sosial untuk mengatasi sengketa antara masyarakat dan pihak luar

Lembaga desa dan Pelaku

Peradilan Informal

Mengembangkan keterampilan dan kemampuan para pelaku peradilan non-negara untuk menyelesaikan sengketa secara profesional

Mendukung klarifi kasi berbagai struktur dan norma yang berlaku di dalam sistem peradilan informal

Mendukung keterwakilan perempuan dan kelompok minoritas di lembaga desa

Tingkat Kabupaten/Kota Membuat suatu kerangka peraturan daerah yang menjunjung tinggi standar konstitusi yang menjamin hak banding, sanksi yang manusiawi dan keterwakilan

perempuan dan kelompok minoritas

Mengembangkan pertanggungjawaban ke atas dengan mendukung pemantauan dan pengawasan atas peradilan informal oleh masyarakat madani dan pemerintah

Tingkat Nasional Mengeluarkan Surat Edaran pengadilan yang mengklarifi kasikan yurisdiksi peradilan non-negara vis-a-vis pengadilan

Membentuk Community Justice Liaison Unit (Unit Penghubung Peradilan Komunitas)

di Kementerian Hukum dan HAM untuk mendorong keselarasan dan konsistensi

antara peradilan negara dan non-negara (seperti model di Papua Nugini).

Page 82: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

66 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian IV: Menemukan Titik Keseimbangan: Kesimpulan dan Saran

1. Mendukung Pertanggungjawaban ke bawah: Memberdayakan Masyarakat terpinggirkan untuk Menuntut Keadilan yang Lebih Baik

Contoh-contoh perubahan menunjukkan bahwa cara yang paling efektif untuk membawa perubahan adalah

melalui tindakan di tingkat masyarakat yang memberdayakan kelompok lemah dan terpinggirkan untuk

menuntut pelayanan pengadilan yang lebih baik. Kasus Afrida di atas menunjukkan bagaimana kekuatan

informasi hukum dapat mendorong keterwakilan perempuan di dewan adat.

Termasuk dalam saran khusus adalah:

• Kesadaran akan hak-hak hukum: program penyuluhan hukum yang berfokus pada jenis-jenis sengketa

utama yang telah diidentifi kasi dalam penelitian ini (yaitu sengketa tanah, kekerasan dalam rumah

tangga, dan hukum keluarga) akan membantu masyarakat untuk memamahi hak-hak mereka dan

juga cara mempertahankannya. Hal ini juga melindungi kelompok lemah dan terpinggirkan agar tidak

dimanipulasi dan ditipu oleh pihak yang berkuasa.

• Mobilisasi sosial: khususnya untuk sengketa yang melibatkan kepentingan pihak luar, masyarakat harus

belajar bagaimana cara mengambil tindakan bersama. Pendampingan hendaknya disediakan untuk

dan oleh LSM demi meningkatkan kemampuan lokal dalam mengorganisir dan melakukan pembelaan

agar dapat menandingi kekuatan dari sektor swasta dan kepentingan pihak luar yang berkuasa.

• Pemilihan pelaksana peradilan non-negara pada tingkat desa: dimana memungkinkan dan mendapat

dukungan lokal, pelaksana peradilan non-negara hendaknya dipilih untuk menjamin adanya

pertanggungjawaban kepada pencari keadilan. Hal ini bisa dimuat dalam peraturan daerah atau

desa. Namun saran ini tidak akan berlaku untuk beberapa daerah tertentu dimana norma-norma dan

praktek lokal dalam menentukan pelaksana peradilan non-negara sudah berjalan dengan baik, seperti

di Sumatera Barat.

2. Peningkatan Kualitas: Mengembangkan Kapasitas dan Mendorong Perubahan Struktural

Di beberapa daerah di Indonesia mekanisme informal tidak lagi cukup berfungsi secara memadai. Hal ini

khususnya ditemui di lokasi penelitian di Kalimantan Tengah, dimana banyak damang merasa kekurangan

sumber daya dan keahlian teknis dalam menyelesaikan sengketa secara efektif. Kerjasama dengan institusi

tingkat lokal untuk memenuhi kebutuhan ini hendaknya dipusatkan pada:

• Pengembangan pelatihan dan keahlian: Program pelatihan yang dikhususkan pada mediasi, jender

dan dokumentasi kasus akan sangat berguna. Pelatihan dan pengembangan keahlian hendaknya

mengutamakan pihak yang paling sering terlibat dalam proses penyelesaian sengketa informal—yaitu

pemimpin masyarakat, pemimpin adat, kepala desa dan polisi. Pelatihan dan pengembangan keahlian

hendaknya diutamakan pada penyelesaian dari bentuk sengketa yang paling sering terjadi—tindakan

pidana, sengketa tanah, warisan dan perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga.

• Pengadaan program akreditasi untuk pelaksana peradilan non-negara: Pengembangan pelatihan dan

keahlian hendaknya diupayakan agar mendapat akreditasi dari Mahkamah Agung. Pelatihan harus

meliputi prosedur dan substansi dasar dari sistem pengadilan formal dan juga memberi keahlian dalam

mediasi dan penyelesaian sengketa. Program seperti ini akan meningkatkan legitimasi mekanisme

informal dimata pelaksana formal dan sebaliknya.

Page 83: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

67Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian IV: Menemukan Titik Keseimbangan: Kesimpulan dan Saran

• Pengupayaan perwakilan dengan terus melibatkan kelompok terpinggirkan tertentu: Mendorong

keterwakilan membutuhkan dua pendekatan. Pertama, sarana perwakilan perempuan dan kelompok

terpinggirkan harus disediakan. Contoh dari Sumatera Barat dan juga seorang kepala desa perempuan

di Maluku menunjukkan bahwa lobi dan keterwakilan dapat membuat perbedaan. Namun penetapan

aturan yang menentukan batas minimum perwakilan tidak akan menjamin hasil di lapangan.

Keterwakilan harus berjalan sesungguhnya. Untuk memastikan partisipasi kelompok terpinggirkan

– seperti perempuan, suku dan agama minoritas – dibutuhkan pemberdayaan dan pengembangan

kapasitas. Kelompok perempuan di Sumatera Barat telah menunjukkan bagaimana hal ini dapat

dilakukan.

• Mendukung prakarsa pembukuan/kodifi kasi sistem peradilan non-negara: Memperjelas prosedur dan

struktur mekanisme informal memberi beberapa kelebihan. Mekanisme yang lebih transparan dan

mudah dimengerti masyarakat lokal dapat memberdayakan masyarakat. Hal ini juga dapat memperjelas

hubungan dengan sistem pengadilan formal. Bagaimanapun, ada juga resiko yang signifi kan. Upaya

kodifi kasi dapat menjadi penghalang bagi kelenturan mekanisme informal. Selain itu, upaya kodifi kasi

juga dapat dimanfaatkan untuk mengukuhkan pendapat kelompok elit tentang mekanisme informal

dan struktur kekuasaan yang ada. Meskipun demikian, penelitian ini menemukan bahwa kodifi kasi

peradilan non-negara semakin umum dilakukan. Dimana ada permintaan akan kodifi kasi maka

masyarakat sipil dan donor harus memberi dukungan agar dapat mengurangi akibat-akibat yang

negatif. Jelasnya, dukungan ini dapat berbentuk: (a) mendukung proses partisipasif yang melibatkan

semua pemegang kepentingan, khususnya perempuan dan kelompok minoritas; dan (b) mengadakan

analisa jender dan hak asasi manusia atas norma-norma yang terdapat pada langkah dan substansi

peradilan non-negara setempat.

• Pengembangan kapasitas forum antar desa: Kapasitas mekanisme peradilan non-negara pada tingkat

desa untuk menyelesaikan sengketa antar desa dan sengketa yang melibatkan pihak luar sangat kurang.

Forum antar desa yang telah ada harus didukung dengan upaya pengembangan kapasitas mereka,.

• Pendirian Unit Perantara Peradilan Komunitas di Kementerian Hukum dan HAM di tingkat pusat dan daerah.

Unit ini dapat berfungsi sebagai badan pengawas, menjalankan program peningkatan kapasitas pelaku

peradilan non-negara, menjalankan program peningkatan kepedulian bagi kelompok terpinggirkan,

serta pendokumentasian dan penyebaran informasi mengenai prakarsa lokal di tingkat internasional,

nasional dan daerah. Unit ini dapat mengembangkan kerjasama dan kesesuaian antara sistem peradilan

non negara dan negara—yaitu menjadi agen aktif dalam membentuk “titik keseimbangan” antara kedua

sistem peradilan tersebut.

3. Memperlebar “Bayangan Hukum”: Membuat Sistem Pengadilan Formal Menjadi Lebih Mudah Diakses

Keunggulan yang dimiliki peradilan non-negara tidak dapat meniadakan kebutuhan untuk mempermudah akses

terhadap peradilan negara dan meningkatkan kemandirian pengadilan. Meski jarang digunakan, pengadilan

bertindak sebagai mekanisme pertanggungjawaban. Jika salah satu pihak tidak puas dengan hasil dari

proses informal—apakah karena alasan teknis, politik, korupsi atau normatif—keputusan itu dapat “dibanding”

atau ditinjau kembali oleh sistem formal. Banyak perempuan dan etnis minoritas yang lebih memilih sistem

formal untuk menyelesaikan kasus yang serius. Meningkatkan akses terhadap pengadilan akan memperkuat

pengawasan terhadap peradilan non-negara.

• Pendidikan hukum: Data dari GDS menunjukkan bahwa orang yang sadar akan hak-haknya lebih

cenderung menggunakan dan mempercayai sistem hukum formal. Karena itu, pendidikan formal

merupakan langkah pertama yang sangat penting dalam mempermudah akses terhadap sistem

Page 84: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

68 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian IV: Menemukan Titik Keseimbangan: Kesimpulan dan Saran

pengadilan. Program kesadaran hukum masyarakat hendaknya bertujuan untuk membuat sistem

pengadilan formal menjadi lebih jelas dan mudah dimengerti, menyampaikan ruang lingkup dan

wewenangnya, dan menunjukkannya sebagai alternatif yang baik.

• Meningkatkan program paralegal sebagai perantara informal-formal: Kesadaran akan hak tidak akan

berarti tanpa adanya sumber daya untuk menegakkannya. Paralegal adalah anggota masyarakat, yang

telah diberikan pelatihan di bidang hukum, yang dapat dijadikan sumber pertama dalam pencarian

bantuan hukum. Temuan kuantitatif menunjukkan bahwa walaupun jumlah paralegal hanya sedikit,

tingkat kepuasan kepada paralelal sangat tinggi. Mereka bisa menyediakan keahlian di bidang organisasi

dan membuka akses ke sistem formal.

• Mendukung program bantuan hukum yang aktif dan berkesinambungan, khususnya untuk kelompok rentan:

Agar akses ke sistem formal menjadi berarti, paralegal dan orang yang bersengketa membutuhkan

jaringan dimana mereka bisa mendapatkan bantuan hukum. Bantuan hukum ini lebih diperlukan untuk

beberapa jenis sengketa, seperti tindak pidana berat, pelanggaran berulang, sengketa yang melibatkan

tokoh setempat yang berpengaruh, dan sengketa yang secara luas melibatkan sumber daya ekonomi.

Dukungan ini juga khususnya penting untuk perempuan, yang sering dihambat oleh tekanan sosial

dalam mencari bantuan hukum.

• Mendukung program pengadilan keliling: pengadilan keliling, dimana hakim melakukan perjalanan ke

tingkat daerah dan desa untuk menerima kasus perdata dan pidana ringan, memberi dan membuka

kemungkinan untuk mengajukan banding dari hukum adat ke pengadilan negara.

4. Memperkuatkan Pertanggungjawaban ke Atas: Sebuah Kerangka Kerja Kebijakan dan Peraturan

Sebuah kerangka kerja kebijakan dan peraturan akan menampilkan sejumlah prinsip dan standar minimum

untuk meningkatkan kekuatan dan mengatasi kelemahan dari peradilan non-negara.

Perbaikan kerangka kerja kebijakan dan peraturan tidak akan secara langsung menghasilkan perubahan tindakan.

Indonesia, seperti umumnya negara berkembang, marak dengan contoh hukum, peraturan dan kebijakan yang

tidak diterapkan. Tapi adanya peraturan tetap merupakan pernyataan niat yang kuat. Hal ini menjadi titik awal

dalam pedoman kerja pemerintah, LSM dan donor untuk mengadakan peningkatan kapasitas, pelatihan dan

intervensi lainnya dalam meningkatkan kualitas peradilan lokal.

• Pedoman Kebijakan Nasional: Bappenas dalam proses menyusun Strategi Nasional untuk Akses Keadilan

untuk dimasukkan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) untuk tahun

2010-2014. RPJMN 2004-2009 saat ini mengadung retorika standar mengenai pentingnya peradilan

non-negara, tanpa memberi pedoman mengenai cara membentuk hubungan dengan pengadilan

formal ataupun cara mendukung pertanggunjawaban terhadap pencari keadilan dan terhadap

negara. Rencana 2010-2014 seharusnya mencakup kerangka kerja menuju perubahan sambil juga

memberdayakan pemerintah daerah untuk mengatur agar mendapat hasil yang diinginkan.

• Peraturan Mahkamah Agung untuk Memfasilitasi Interaksi Formal-Informal: Kewenangan di bidang

peradilan masih merupakan fungsi utama dari pemerintahan pusat. Jadi, meski pemerintah daerah

mempunyai wewenang untuk mengatur struktur mekanisme peradilan non-negara, Mahkamah Agung

tetap memiliki yurisdiksi untuk menetapkan peraturan dan kebijakan yang memfasilitasi hubungan

formal-informal. Hal ini bisa dicapai dengan: (a) memberi defi nisi yang jelas tentang yurisdiksi mekanisme

peradilan non-negara; (b) mengembangkan program mediasi di pengadilan oleh Mahkamah Agung

untuk memperluas akreditasi mediator tingkat desa; (c) memfasilitasi keterlibatan Pengadilan Negeri

Page 85: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

69Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian IV: Menemukan Titik Keseimbangan: Kesimpulan dan Saran

dan Pengadilan Tinggi dalam pengembangan peraturan regional yang berkaitan dengan peradilan

non-negara; dan (d) membuat mekanisme dan pedoman yang jelas untuk mengajukan upaya banding

dari peradilan informal ke pengadilan formal.

• Membuat Kerangka Kerja Peraturan Daerah: Peraturan tidak akan lansung tercermin pada tindakan

namun tetap diperlukan untuk kemudian dapat menerjemahkan kebijakan nasional menjadi standar

mininum dan kerangka pertanggungjawaban yang tepat di tingkat lokal. Laporan ini menyarankan

ditetapkannya peraturan daerah yang memuat prinsip-prinsip universal yang dapat diterapkan

secara luas namun tetap memberi ruang untuk diadaptasi sesuai kebiasaan dan keadaan setempat.

Pemerintah daerah disarankan untuk menerbitkan peraturan daerah tentang sistem peradilan informal

yang mencakup hal-hal berikut:

Yurisdiksi:o menjelaskan yurisdiksi antara sistem pengadilan formal dan sistem peradilan non-

negara.

Perwakilan:o Memberi jaminan keterwakilan bagi semua anggota masyarakat untuk mekanisme

peradilan non-negara, termasuk perempuan dan kelompok minoritas.

Pemilihan Pelaku:o Kerangka kerja harus menciptakan pertanggungjawab terhadap pencari

keadilan dengan membuat prosedur jelas tentang cara memilih pelaku peradilan non-negara.

Prosedur Dasar:o Kerangka kerja harus memuat pedoman umum berkaitan dengan langkah-

langkah dalam proses mediasi dan penyelesaian sengketa. Pedoman ini hanya mengatur

jaminan terhadap prinsip kesukarelaan, serta hak untuk mendengar dan didengar.

Sengketa antar-komunitas:o Mekanisme khusus harus dibentuk mengatasi sengketa antar-desa,

sengketa antar-komunitas, dan sengketa antara masyarakat dan pihak luar.

Hak Pengajuan banding:o Kerangka kerja harus membuat jalur dan kriteria yang jelas untuk

mengajukan banding dari sistem informal ke sistem formal.

Sanksi:o Memastikan sanksi yang dijatuhkan oleh sistem peradilan non-negara tidak memberatkan

dan tidak bertentangan dengan UUD.

• Membuat forum antar pihak/mediasi sengketa tanah: Untuk meningkatkan komunikasi dan pengawasan

terhadap peradilan desa, forum antar pihak yang terdiri dari hakim, jaksa, polisi dan pelaku peradilan

informal harus dibentuk di tingkat daerah. Dengan pertemuan teratur, forum dapat memberi ruang

untuk membahas dan mengatasi sengketa khusus, membangun sikap saling mengerti, memfasilitasi

dialog mengenai perubahan peraturan dan hukum, serta melakukan pengawasan terhadap peradilan

non-negara. Forum ini juga dapat membentuk mekanisme baru dalam mengatasi sengketa tanah dan

sengketa antar etnis yang rumit, dimana mediasi cenderung lebih efektif daripada putusan pengadilan

karena sifat sengketa yang peka dan rentan kekerasan.

Saran-saran diatas mencoba untuk meningkatkan kekuatan dan mengatasi kelemahan pengadilan informal.

Saran-saran tersebut didasarkan pada harapan, yang cukup masuk akal, bahwa perubahan secara bertahap

dapat meningkatkan keadilan bagi kelompok terpinggirkan.

Program Justice for the Poor sedang menindak lanjuti studi ini dengan dua cara. Pertama, berkaitan dengan

kebijakan, melalui masukan temuan-temuan dan saran-saran penelitian kepada Strategi Nasional Akses terhadap

Keadilan (Stranas) yang sedang dikembangkan oleh Bappenas.

Cara kedua lebih berupa operasional, dengan mengupayakan penerapan saran-saran dalam kerjasama dengan

beragam pihak di propinsi Sumatera Barat dan Nusa Tenggara Barat. Selama pengamatan dalam penelitian ini,

kedua propinsi tersebut telah terbentuk kelompok-kelompok kerja yang beranggotakan pejabat pemerintah

propinsi dan kabupaten/kota, anggota DPRD, hakim, jaksa dan polisi, organisasi masyarakat, kepala desa, kepala

adat dan organisasi keagamaan.

Page 86: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

70 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Bagian IV: Menemukan Titik Keseimbangan: Kesimpulan dan Saran

Bersama kelompok-kelompok kerja ini, Justice for the Poor telah mengembangkan program-program

peningkatan kualitas peradilan non-negara di beberapa desa percontohan, dengan menerapkan saran-

saran yang dikemukakan di tulisan ini. Pendekatan ini sengaja bekerja secara bertahap dengan tujuan yang

tidak muluk-muluk tetapi bersifat mendasar,dengan menanfaatkan institusi yang telah ada. Pendekatan ini

juga dipastikan akan disesuaikan dengan keadaan setempat, dengan mengakui bahwa kesempatan dan

ruang mengadakan perubahan akan berbeda di setiap lokasi. Di Sumatera Barat, advokasi kebijakan sedang

diutamakan karena peraturan daerah tentang hukum adat sedang diujikembali dan diperbaiki. Di NTB, program

mengutamakan pendefi nisian proses, norma dan strukur penyelesaian sengketa, karena pada sisi-sisi inilah

pemangku kepentingan setempat mengidamkan perubahan.

Maka, kerangka kerja yang dibuat diatas menawarkan berbagai pilihan-pilihan yang dapat diterapkan pada

tingkat yang berbeda di lokasi yang berbeda. Karena itu, kerangka kerja tersebut harus disesuaikan dengan

keadaan yang sesungguhnya. Pemerintah Indonesia juga menerapkan beberapa saran-saran dalam tulisan

ini dengan membentuk komponen pemberdayaan hukum masyarakat yang berdiri sendiri dibawah proyek

Program Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal.80

Laporan ini telah menekankan pentingnya keterkaitan peradilan non-negara dengan stabilitas sosial dan

kehidupan ekonomi di tingkat lokal. Strategi menyeluruh yang mendukung penegakan hukum perlu

disesuaikan dengan kenyataan dan mencakup mekanisme peradilan non-negara di tingkat desa. Saran-saran

yang telah dikemukakan di tulisan ini dapat membantu mendukung perbaikan dan perubahan di tingkat

nasional dengan memusatkan bantuan pada tingkatan yang paling dibutukan, memberdayakan kelompok

miskin dan terpinggirkan untuk dapat menyelesaikan sengketa, dan mendukung Indonesia dalam menjalankan

pembaharuan.

80 Lihat http://p2dtk.bappenas.go.id/ .

Page 87: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

71Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Lampiran

Lampiran

Lampiran 1: Perubahan peraturan yang berhubungan dengan pemerintahan desa dan peradilan non-

negara di lokasi penelitian sejak adanya Otonomi Daerah

Provinsi Tindakan Provinsi dan Kabupaten Penerapan di Desa

Sumatera Barat Provinsi: Peraturan Daerah No. 9 tahun 2000 tentang

Pokok-pokok Pemerintah Nagari. Provinsi kembali

menggunakan nagari sebagai bentuk terendah

pemerintahan local, berdasarkan Undang-Undang No. 5

tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa

Administrasi tradisional nagari yang

berbasis klan sebagian besar telah

terbentuk kembali di Sumatera Barat

Kabupaten: Dari 12 Kabupaten, delapan di antaranya telah

melaksanakan Peraturan Daerah No. 9 tahun 2000; tiga

kabupaten di antaranya baru terbentuk dan kini mengikuti

kabupaten lamanya. Yang lainnya berada di Kepulauan

Mentawai yang secara etnis sangat berbeda, yang memiliki

sistem mereka sendiri.

Lembaga Adat Nagari (LAN) memiliki

tanggung jawab resmi dalam

penyelesaian sengketa, namun dalam

praktiknya terbagi dengan kepala desa

(wali nagari)

Kalimantan

Tengah

Provinsi: membuat Peraturan Daerah No. 25 tahun 2000

tentang Pembagian Kewenangan antara Pemerintah dan

Pemerintah Provinsi sebagai Daerah Otonomi.

Memberi kepercayaan lebih pada ketua

adat (damang) dan peranan hukum adat

dalam penyelesaian sengketa.

Kabupaten: sejumlah kabupaten telah membuat

peraturan dengan topik yang sama, termasuk Peraturan

Daerah Pulang Pisau No. 11 tahun 2003 tentang Formasi

dan Pemberdayaan Lembaga Adat Dayak dan Peraturan

Daerah Kotawaringin Timur No. 15 tahun 2001 tentang

Lembaga Adat di Kotawaringin Timur.

Kenyataannya, kembalinya adat hanya

setengah hati dan tidak didukung oleh

tindakan nyata. Tidak merubah stuktur

pemerintahan, tapi memperkuat status

hukum adat dan ketua adat (damang).

Jawa Timur Tidak ada perubahan. Pemimpin lokal telah lebih politis

dengan perubahan demokratis. Identitas

Islam juga diperkuat.

Nusa Tenggara

Barat

Provinsi: Membuat peraturan yang menjelaskan peranan

dan struktur pemerintah desa, namun tidak banyak

berbeda dengan pengaturan sebelumnya. Tidak ada

perubahan berarti pada penyelesaian sengketa.

Kabupaten: Beberapa kabupaten mempertimbangkan

untuk membuat peraturan yang mengakui lembaga adat

dan hukum adat.

Beberapa inisiatif yang dipimpin oleh

masyarakat telah menggambarkan

semangat dari otonomi daerah untuk

membuat pengadilan adat desa yang

berdiri sendiri, dengan struktur dan

susunan prosedur dan hukum adat yang

jelas.

Maluku Provinsi: Peraturan Daerah Provinsi Maluku No. 14 tahun

2005 tentang Kembali ke Negeri menetapkan untuk

kembali ke struktur pemerintahan tradisional, yang dikenal

sebagai ‘negeri’, dipimpin seorang raja. Peraturan ini

juga meningkatkan wewenang raja dalam penyelesaian

sengketa.

Kabupaten: Hanya Maluku Tengah yang telah

menerapkan peraturan daerah tersebut. Kota Ambon telah

mempersiapkan rancangan dan empat kabupaten lainnya

melakukan hal yang sama.

Hanya sedikit pengaruhnya pada tingkat

desa. Seperti sebelum situasi tahun 1999,

raja mendapatkan tingkat penerimaan

yang cukup tinggi di beberapa daerah,

terutama di pedalaman, namun memiliki

kewenangan yang berbeda di kota.

Page 88: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

72 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Lampiran

La

mp

ira

n 2

: M

atr

iks

Ka

sus

L

ok

asi

/

W

ak

tu

Pih

ak

ya

ng

be

rse

ng

ke

ta

De

skri

psi

se

ng

ke

ta d

an

pro

ses

pe

ny

ele

saia

nn

ya

Pih

ak

ya

ng

me

nd

uk

un

g

pe

ny

ele

saia

n

Ha

sil

da

n U

pa

ya

ya

ng

dil

ak

uk

an

1K

ua

la K

ap

ua

s,

Ka

lima

nta

n

Ten

ga

h, 2

00

3

Pe

nu

ntu

t: K

om

bit

,

pe

tug

as

pa

sar

da

ri s

uku

Day

ak

Re

spo

nd

en

: Ma

rha

t,

pe

da

ga

ng

su

kse

s ya

ng

rasi

on

al.

Su

ku B

an

jar

Po

sisi

taw

ar

Ma

rha

t ya

ng

leb

ih k

ua

t m

en

yeb

ab

kan

ia m

en

ola

k p

en

yele

saia

n

sen

gke

ta y

an

g t

ida

k

diin

gin

kan

nya

.

Ma

rha

t te

lah

dip

eri

ng

ati

be

rka

li-ka

li o

leh

Ko

mb

it u

ntu

k ti

da

k

be

rda

ga

ng

di w

ilaya

h y

an

g d

ilara

ng

dip

asa

r. P

ad

a a

khir

nya

Ma

rha

t m

en

en

tan

g p

eri

ng

ata

n-p

eri

ng

ata

n t

ers

eb

ut

da

n

me

mu

kul K

om

bit

hin

gg

a c

ed

era

.

Ko

mb

it d

an

ata

san

nya

me

lap

ork

an

ke

jad

ian

ini p

ad

a p

olis

i.

Tid

ak

ad

a t

ind

aka

n a

pa

pu

n y

an

g k

are

na

Ma

rha

t m

en

cob

a

un

tuk

me

nyu

ap

se

ba

ga

i ca

ra k

elu

ar

da

ri p

erm

asa

lah

an

.

Tem

an

-te

ma

n M

arh

at

me

ng

inti

mid

asi

Ko

mb

it a

ga

r m

eru

juk

ma

sala

h in

i ke

Da

ma

ng

da

n m

en

ari

k la

po

ran

po

lisi.

Da

ma

ng

tid

ak

me

nya

da

ri k

ala

u K

om

bit

dip

aks

a u

ntu

k m

en

eri

ma

pe

nye

lesa

ian

ma

sala

h s

eca

ra a

da

t.

Fo

rma

l: P

olis

i da

n a

tasa

n

Ko

mb

it d

i pa

sar

Info

rma

l: D

am

an

g, d

ew

an

ad

at

da

n a

tasa

n K

om

bit

Fo

rma

l: P

en

yid

ika

n

be

rla

ng

sun

g s

ela

ma

em

pa

t

bu

lan

leb

ih t

an

pa

ad

a h

asi

l.

Info

rma

l: P

en

yele

saia

n

sen

gke

ta d

ica

pa

i da

lam

du

a

min

gg

u. M

arh

at

me

min

ta

ma

af

da

n s

etu

ju m

em

bay

ar

ua

ng

pe

ng

ga

nti

se

be

sar

6

juta

ru

pia

h d

an

ua

ng

pe

rka

ra

60

0 r

ibu

ru

pia

h. M

arh

at

ha

nya

me

mb

aya

r 1

,5 ju

ta r

up

iah

.

Da

ma

ng

tid

ak

me

ng

am

bil

tin

da

kan

me

ma

ksa

ap

ap

un

.

2P

en

an

gg

ua

n,

Pa

me

kasa

n,

Jaw

a T

imu

r, 2

00

1

Pe

nu

ntu

t: A

mir

Re

spo

nd

en

:

Ha

lim

Day

a t

awa

r d

ua

pih

ak

yan

g

be

rse

ng

keta

se

imb

an

g.

Ke

pa

la d

esa

me

nd

oro

ng

ke a

rah

ko

mp

rom

i

Ha

lim, s

ep

up

u A

mir

me

nju

al t

an

ah

ya

ng

dik

laim

ole

h A

mir

seh

arg

a 8

juta

ru

pia

h. U

pay

a p

en

yele

saia

n s

en

gke

ta y

an

g

dila

kuka

n o

leh

sa

ud

ara

Ha

lim g

ag

al.

Ka

sus

ini d

ilap

ork

an

ke

kep

ala

de

sa.

Ke

pa

la d

esa

me

ruju

k p

ad

a s

ura

t-su

rat

kep

em

ilika

n t

an

ah

.

Un

tuk

me

nye

lesa

ika

n k

ete

ga

ng

an

, ia

me

mb

ag

i du

a t

an

ah

.

Am

ir d

imin

ta m

en

eri

ma

ke

pu

tusa

n it

u d

en

ga

n a

nca

ma

n

selu

ruh

ta

na

h y

an

g d

ise

ng

keta

kan

aka

n d

iam

bil

ole

h

pe

me

rin

tah

de

sa.

Info

rma

l: p

iha

k ke

lua

rga

,

kep

ala

de

sa

1-2

min

gg

u

Me

skip

un

tid

ak

ad

a

pe

nye

lesa

ian

ya

ng

ide

al d

an

seca

ra h

uku

m, t

ap

i ke

pa

la

de

sa t

ela

h m

en

ga

mb

il

kep

utu

san

ya

ng

ma

suk

aka

l

un

tuk

me

red

aka

n k

ete

ga

ng

an

.

Ku

ran

gn

ya k

ep

ast

ian

hu

kum

da

pa

t m

en

ga

kib

atk

an

se

ng

keta

teru

lan

g k

em

ba

li.

3S

ou

ho

ku,

Pu

lau

Se

ram

,

Ma

luku

Te

ng

ah

19

97

da

n 2

00

3

Ka

sus

I: U

din

da

n H

ary

ad

i

me

law

an

Min

gg

us

Tam

ae

la

Ka

sus

2:

Ud

in m

ela

wa

n

Lah

am

aku

Ka

sus

1: U

din

da

n H

ary

ad

i me

mb

eli

tan

ah

Am

on

g P

iete

rs.

Tan

ah

te

rse

bu

t te

lah

be

rse

rtifi

ka

t, n

am

un

Am

on

g t

ida

k

me

mb

eri

kan

se

rtifi

ka

t sa

at

pe

nju

ala

n. T

an

ah

te

rse

bu

t

be

rba

tasa

n d

en

ga

n b

ida

ng

ta

na

h m

ilik

Min

gg

us

Tam

ae

la.

Se

lan

jutn

ya, A

mo

ng

me

min

ta U

din

da

n H

ary

ad

i un

tuk

me

ne

ba

ng

po

ho

n y

an

g a

da

di l

ah

an

nya

. Se

tela

h p

oh

on

dip

oto

ng

, Min

gg

us

me

mp

rote

s d

an

me

ng

kla

im p

oh

on

itu

ad

a d

i ta

na

hn

ya. M

ing

gu

s m

en

ga

nca

m U

din

da

n H

ary

ad

i jik

a

tid

ak

seg

era

me

ng

em

ba

lika

n p

oh

on

nya

. Ud

in d

an

Ha

rya

di

me

lap

ork

an

ka

sus

ini k

e R

aja

.

Ka

sus

2:

Ud

in b

erk

ela

hi d

en

ga

n L

ah

am

aku

me

ng

en

ai b

ata

s

tan

ah

me

reka

. Ud

in m

ela

po

rka

n k

asu

s in

i ke

Ra

ja. K

ali

ini R

aja

me

ng

irim

kan

tim

nya

da

ri N

eger

i Sa

nir

i un

tuk

me

ma

stik

an

ba

tas

tan

ah

da

n m

em

utu

ska

n h

asi

lnya

.

Info

rma

l: R

aja

da

n s

taff

nya

Ka

sus

1:

Ra

ja m

em

inta

Am

on

g

da

n M

ing

gu

s u

ntu

k m

em

bay

ar

gu

na

me

nd

ap

atk

an

ke

pa

stia

n

ba

tas

tan

ah

.

Ka

sus

2:

Ud

in b

en

ar

da

lam

kasu

s in

i, ja

di L

ah

am

aku

ha

rus

me

mb

aya

r u

ntu

k se

jum

lah

tan

ah

. Ka

sus

ini d

itu

tup

Ud

in t

ida

k p

ua

s d

en

ga

n

pu

tusa

n R

aja

, ta

pi t

erp

aks

a

me

ne

rim

a k

are

na

ku

ran

gn

ya

alt

ern

ati

f p

en

yele

saia

n

sen

gke

ta.

Page 89: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

73Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Lampiran

4P

ale

ng

an

,

Da

ja d

an

Po

reh

,

Ka

bu

pa

ten

Pa

me

kasa

n,

Jaw

a T

imu

r

19

96

Pih

ak

-pih

ak

:

Sa

mm

at

da

n S

ard

ima

n

Po

sisi

day

a t

awa

r h

am

pir

seim

ba

ng

Se

ng

keta

ta

na

h w

ari

san

ya

ng

me

linta

si b

ata

s d

esa

. Ta

na

h

yan

g d

ipe

rma

sala

hka

n b

erl

oka

si d

i de

sa y

an

g d

itin

gg

ali

Sa

mm

at.

Na

mu

n t

an

ah

itu

dig

un

aka

n S

ard

ima

n. S

ete

lah

me

ne

lusu

ri ik

ata

n k

eke

lua

rga

an

da

n is

u p

ew

ari

san

ya

ng

rum

it, S

am

ma

t m

era

sa t

an

ah

te

rse

bu

t m

ilikn

ya. S

am

ma

t

me

nco

ba

me

mp

ert

eg

as

kla

im t

an

ah

te

rse

bu

t d

en

ga

n

me

ma

san

g p

ato

k ka

yu d

iba

tas

tan

ah

. Sa

rdim

an

me

law

an

da

n m

en

gkl

aim

ta

na

h t

ers

eb

ut

mili

knya

. Up

aya

pe

nye

lesa

ian

yan

g d

ilaku

kan

ole

h k

ep

ala

de

san

nya

Sa

mm

at

tid

ak

dit

eri

ma

ole

h S

ard

ima

n. U

pay

a p

en

yele

saia

n o

leh

pih

ak

ne

tra

l ju

ga

ga

ga

l da

n h

am

pir

me

nye

ba

bka

n k

eke

rasa

n m

asa

l an

tara

pe

nd

uku

ng

da

ri k

ed

ua

ke

lom

po

k.

Info

rma

l:

Ke

pa

la d

esa

, to

koh

-to

koh

ma

sya

raka

t, k

elo

mp

ok

be

rse

nja

ta y

an

g m

en

du

kun

g

ma

sin

g-m

asi

ng

pih

ak

Ha

sil:

pe

nye

lesa

ian

se

ng

keta

yan

g g

ag

al.

Ke

pa

la d

esa

da

n

toko

h m

asy

ara

kat

me

nce

ga

h

terj

ad

inya

ke

kera

san

5S

um

pu

r,

Su

ma

tera

Ba

rat,

20

03

Pih

ak

-pih

ak

:

Gu

s, w

arg

a b

aru

di d

esa

,

Da

tuk

Ra

ng

kayo

Ba

sa, t

etu

a

ad

at

sete

mp

at.

Po

sisi

taw

ar

yan

g t

ida

k

seta

ra

Ma

sala

h t

imb

ul s

ete

lah

an

ak

Gu

s d

an

Da

tuk

Ra

ng

kayo

be

rke

lah

i di j

ala

na

n. G

us

san

ga

t ke

cew

a. S

aa

t m

en

ga

du

ke

Da

tuk

Ra

ng

kayo

, ia

leb

ih m

en

gg

un

aka

n k

ata

ga

nti

‘an

da’

,

keti

mb

an

g m

em

an

gg

ilnya

de

ng

an

se

bu

tan

te

rho

rma

t

Da

tuk.

Insi

de

n in

i dila

po

rka

n k

e K

AN

. Se

bu

ah

pe

rte

mu

an

dila

ng

sun

gka

n. G

us

diw

aki

li o

leh

su

am

inya

, ma

ma

k. G

us

dip

eri

nta

hka

n u

ntu

k m

em

bay

ar “

ua

ng

em

as”

seb

esa

r 3

00

rib

u

rup

iah

, me

nye

dia

kan

be

ras

un

tuk

selu

ruh

de

sa, d

an

me

min

ta

ma

af

seca

ra t

erb

uka

.

Info

rma

l:

De

wa

n a

da

t

Ha

sil:

Ma

sala

h t

ers

ele

saik

an

. Da

tuk

Ra

ng

kayo

pu

as,

na

mu

n G

us

tid

ak.

Ia m

era

sa t

ela

h d

ihin

a.

6R

uh

ua

,

Pu

lau

Se

ram

,

Ma

luku

Te

ng

ah

,

De

sem

be

r 2

00

3

Pih

ak

-pih

ak

:

Ha

lue

Su

naw

e d

an

de

sa

Hay

a.

Ha

lue

Su

naw

e, p

em

ud

a d

ari

Ru

hu

a, p

erg

i ke

de

sa t

erd

eka

t

Hay

a u

ntu

k m

em

be

li ce

ng

keh

. De

sa H

aya

te

lah

lam

a

be

rmu

suh

an

de

ng

an

de

sa T

eh

oru

. Be

be

rap

a o

ran

g d

ari

Hay

a m

en

du

ga

Ha

lue

be

rasa

l da

ri T

eh

oru

da

n m

em

uku

linya

.

Ha

lue

ke

mu

dia

n m

em

baw

a t

em

an

-te

ma

nya

da

n m

ele

mp

ari

an

gku

tan

um

um

ya

ng

dim

iliki

ole

h o

ran

g H

aya

de

ng

an

ba

tu.

Pe

mili

k a

ng

kuta

n u

mu

m m

ela

po

rka

n k

asu

s in

i ke

po

lisi.

Info

rma

l:

Po

lisi,

Ra

ja, S

ekr

eta

ris

de

sa

Ke

du

a p

iha

k m

em

inta

ma

af

da

n m

en

an

da

tan

ga

ni s

ura

t

pe

rnya

taa

n. H

alu

e d

ide

nd

a

50

0 r

ibu

ru

pia

h u

ntu

k

me

ng

ga

nti

ke

rusa

kan

mo

bil.

Ia m

en

eri

ma

nya

, ka

ren

a

pro

sesn

ya c

ep

at

da

n t

erh

ind

ar

da

ri p

en

ga

dila

n.

7S

ep

a,

Pu

lau

Se

ram

,

Ma

luku

Te

ng

ah

,

20

03

Ko

rba

n:

P, p

ere

mp

ua

n 1

7

tah

un

.

Pe

lak

u :

kaka

k ip

ar

P

P a

da

lah

re

ma

ja p

utr

i

me

law

an

ke

lua

rga

ya

ng

be

rku

asa

P d

ipe

rko

sa o

leh

ka

kak

ipa

rnya

. Sa

at

ia m

ela

po

rka

n in

i ke

sua

min

ya, i

a d

ipu

kuli.

Ora

ng

tu

a P

me

mp

erm

asa

lah

kan

ini,

me

nye

ba

bka

n k

ete

ga

ng

an

de

ng

an

ke

lua

rga

su

am

i P. S

alin

g

ma

ki d

an

me

ng

an

cam

da

tan

g b

erg

an

tia

n. K

elu

arg

a s

ua

mi P

me

lap

ork

an

ha

l in

i ke

ke

pa

la d

esa

. Na

mu

n o

leh

ke

pa

la d

esa

,

kasu

s in

i dis

era

hka

n k

e k

etu

a a

da

t. A

lasa

nya

, ke

du

a p

iha

k

be

rasa

l da

ri k

lan

ya

ng

sa

ma

.

Sa

at

mu

syaw

ara

h d

ilaku

kan

se

cara

te

rbu

ka, k

etu

a a

da

t

me

ng

esa

mp

ing

kan

ka

sus

pe

me

rko

saa

n. I

a m

em

foku

ska

n

ma

sala

h p

ad

a a

nca

ma

n y

an

g d

ilon

tark

an

ke

lua

rga

P k

ep

ad

a

sua

mi P

. Pe

me

rko

sa t

ida

k d

ipa

ng

gil.

Se

cara

ke

be

tula

n, k

etu

a

ad

at

ad

ala

h k

aka

k ip

ar

P la

inn

ya.

Info

rma

l: k

ep

ala

de

sa, k

etu

a

ad

at

Ha

sil:

Ke

du

a k

elu

arg

a d

ide

nd

a

kare

na

sa

ling

me

ng

an

cam

.

Ka

sus

pe

me

rko

saa

n h

an

ya

diu

mu

mka

n k

e p

ub

lik, t

ida

k

dila

po

rka

n k

e p

olis

i.

Ko

rba

n s

an

ga

t ke

cew

a,

kare

na

ka

sus

pe

rko

saa

nn

ya

diu

mu

mka

n k

e m

asy

ara

kat,

sete

lah

itu

did

iam

kan

.

Page 90: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

74 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Lampiran

8D

esa

Je

ng

ga

la,

Lom

bo

k B

ara

t,

NT

B, 2

00

2

Pih

ak

-pih

ak

: H

. An

gg

en

g

Asw

ad

i, a

ng

go

ta D

PR

D

da

n d

ew

an

ad

at

An

gg

en

g, a

ng

go

ta

ma

sya

raka

t ya

ng

pu

nya

ked

ud

uka

n k

ua

t, m

am

pu

me

ng

ab

aik

an

ke

pu

tusa

n

un

tuk

ha

rmo

nis

de

ng

an

wa

rga

lain

An

ak

pe

rem

pu

an

An

gg

en

g “d

icu

lik” a

ga

r b

isa

din

ika

hi o

leh

Sa

hru

din

, te

rka

it d

en

ga

n a

tura

n a

da

t. A

ng

ge

ng

se

tuju

,

da

n a

kan

me

nd

ap

atk

an

pe

mb

aya

ran

se

be

sar

5 ju

ta r

up

iah

seb

ag

ai d

en

da

ad

at

un

tuk

“pe

ncu

lika

n”.

An

gg

en

g m

en

an

yaka

n k

ep

ad

a p

utr

inya

, ap

aka

h ia

me

ma

ng

me

min

ta d

inik

ah

i ole

h S

ah

rud

in. P

utr

i An

gg

en

g k

em

ud

ian

dit

em

uka

n k

em

ba

li ke

ru

ma

h o

ran

g t

ua

nya

. Wa

rga

me

liha

t

itu

be

rte

nta

ng

an

de

ng

an

ad

at.

Aki

ba

tnya

, An

gg

en

g d

ide

nd

a

ole

h d

ew

an

ad

at.

An

gg

en

g m

en

ola

k p

utu

san

itu

da

n

me

ng

aju

kan

ka

sus

ini k

e p

en

ga

dila

n s

ete

mp

at.

Pe

ng

ad

ilan

me

mu

tusk

an

sa

nks

i ad

at

kep

ad

a A

ng

ge

ng

tid

ak

be

rla

ku.

Me

na

ng

ga

pi i

tu, d

ew

an

ad

at

me

mp

erb

era

t sa

nks

i ya

ng

tela

h m

ere

ka ja

tuh

kan

ke

An

gg

en

g. A

ng

ge

ng

dik

uci

lka

n

da

ri d

esa

nya

se

lam

a t

iga

ta

hu

n d

an

ha

k-h

ak

sip

ilnya

(se

pe

rti

pe

mb

ua

tan

KT

P, p

era

yaa

n a

da

t d

an

lain

-la

in)

tid

ak

dia

kui.

Info

rma

l: K

ep

ala

du

sun

,

ketu

a R

T/R

W, k

ep

ala

ad

ap

t d

i

du

sun

da

n d

esa

Fo

rma

l: p

en

ga

dila

n t

ing

kat

kab

up

ate

n

Ha

sil:

An

gg

en

g t

eta

p t

ing

ga

l

di d

esa

da

n m

en

jad

i ba

gia

n d

ari

ma

sya

raka

t. w

ala

up

un

sa

nks

i

tela

h d

ibe

rika

n k

ep

ad

an

ya.

9B

um

bu

ng

an

,

Pa

me

kasa

n, J

awa

Tim

ur,

Jan

ua

ri 2

00

5

Pe

lak

u:

Pa

idi

Ko

rba

n: W

ard

i.

P h

aru

s m

en

gh

ab

iska

n

wa

ktu

nya

di p

en

jara

,

da

n k

asu

s sa

ling

eje

knya

de

ng

an

W

jug

a d

ise

lesa

ika

n le

wa

t

pe

rja

njia

n b

ers

am

a

Du

a o

ran

g t

ida

k sa

ling

ke

na

l, P

da

n W

, sa

ling

me

ng

eje

k,

sete

lah

ke

nd

ara

an

ke

du

an

ya b

ert

ab

raka

n. P

da

n a

yah

nya

me

ng

an

cam

W d

en

ga

n p

isa

u. W

me

lap

ork

an

ka

sus

ini k

e

Po

lisi d

an

me

no

lak

pe

nye

lesa

ian

da

ma

i ya

ng

dig

ag

as

ole

h

seo

ran

g k

yai.

Po

lisi m

en

ah

an

P. K

asu

s in

i la

lu d

ilap

ork

an

ke

kep

ala

de

sa. M

usy

awa

rah

ke

mu

dia

n d

ige

lar.

Be

be

rap

a h

ari

kem

ud

ian

, ke

pa

la d

esa

, pe

jab

at

mili

ter

sete

mp

at,

an

gg

ota

ge

ng

, da

n s

eju

mla

h t

oko

h m

asy

ara

kat,

se

mu

an

ya b

era

sal

da

ri d

esa

P, b

erk

um

pu

l di r

um

ah

ke

pa

la d

esa

. Me

reka

te

lah

me

nyi

ap

kan

se

bu

ah

pe

rnya

taa

n t

ert

ulis

, di m

an

a W

ard

i

be

rse

dia

se

tuju

me

nca

bu

t la

po

ran

nya

ke

po

lisi.

Me

rasa

tert

eka

n, i

a m

en

ola

knya

. Pa

da

akh

irn

ya, p

ara

an

gg

ota

ge

ng

me

nya

kin

kan

du

a p

iha

k u

ntu

k m

en

yetu

jui p

ern

yata

an

ters

eb

ut.

Fo

rma

l: P

olis

i me

na

ha

n P

aid

i

Info

rma

l: P

olis

i, lu

rah

,

an

gg

ota

ga

ng

, kya

i, w

arg

a

da

n t

oko

h m

asy

ara

kat,

ba

bin

sa

Terl

iba

t d

ala

m p

en

yele

saia

n

ma

sala

h in

i

Ha

sil:

pe

nye

lesa

ian

dit

eri

ma

,

dim

an

a P

da

n a

yah

nya

me

min

ta m

aa

f ke

W. P

dib

eb

ask

an

da

ri p

en

jara

, ka

sus

sele

sai.

Ga

bu

ng

an

an

tara

sa

nks

i

sosi

al d

an

inti

mid

asi

fi s

ik

dip

erg

un

aka

n u

ntu

k

pe

nye

lesa

ian

se

ng

keta

.

10

Lam

pu

ng

, 20

07

Pih

ak

-pih

ak

:

Ka

um

mu

da

du

a d

esa

Po

sisi

taw

ar

yan

g

seim

ba

ng

, de

ng

an

bo

bo

t

kasu

s ya

ng

rin

ga

n

Pa

k N

uri

ad

ala

h p

eta

ni d

esa

te

rpe

nci

l di L

am

pu

ng

. Sa

tu h

ari

,

an

akn

ya b

erk

ela

hi d

en

ga

n t

em

an

se

kela

snya

dis

eko

lah

.

Ora

ng

tu

a t

em

an

se

kela

s a

na

k P

ak

Nu

ri t

uru

t ca

mp

ur

da

n

me

mu

kulin

ya. P

ak

Nu

ri t

ida

k m

ela

po

rka

n k

asu

s in

i ke

po

lisi,

tap

i me

lap

ork

an

nya

ke

Pa

k P

am

in d

an

Pa

k B

ejo

, ke

pa

la

du

sun

nya

da

n p

ara

leg

al d

ari

se

bu

ah

LS

M b

an

tua

n h

uku

m.

Pa

k N

uri

me

ng

ata

kan

ba

hw

a m

ere

ka in

i dik

en

al

seb

ag

ai

“Ora

ng

-ora

ng

ya

ng

bis

a m

en

yele

saik

an

ma

sala

h“.

Info

rma

l: P

arm

in d

an

Be

jo, p

ara

leg

al d

i baw

ah

da

ri s

eb

ua

h p

rog

ram

LS

M

ba

ntu

an

hu

kum

did

usu

nn

ya

Ha

sil:

Pe

nye

lesa

ian

se

ng

keta

be

rha

sil.

11

Su

mp

ur,

Su

ma

tera

Ba

rat,

19

83

Pe

nu

ntu

t: Ib

u M

arn

is d

an

Su

am

i

Re

spo

nd

en

: Ib

u D

es

Ke

terw

aki

lan

pe

rem

pu

an

da

lam

inst

itu

si a

da

t sa

ng

at

kura

ng

. Ha

l in

i me

rug

ika

n

me

reka

.

Di t

ah

un

19

83

, ma

ma

k b

ere

nca

na

me

ng

ga

da

ika

n b

eb

era

pa

pe

tak

saw

ah

ya

ng

dim

iliki

Ma

rnis

, un

tuk

me

mb

aya

r h

uta

ng

an

akn

ya. S

eca

ra a

da

t, m

am

ak

ha

rus

me

min

ta ij

in M

arn

is

terl

eb

ih d

ulu

, na

mu

n h

al t

ers

eb

ut

tid

ak

Ma

ma

k la

kuka

n.

Ma

rnis

me

mb

awa

ka

sus

ini k

ep

ad

a e

mp

at

nin

ik m

am

ak

da

lam

ga

ris

ketu

run

an

nya

. Ma

rnis

be

rha

rap

nin

ik m

am

akn

ya

bis

a m

elin

du

ng

i ta

na

hn

ya. U

ntu

k m

en

gh

ind

ari

ma

ma

k d

an

pu

tra

nya

dip

erm

alu

kan

, nin

ik m

am

ak

me

nd

esa

k M

arn

is u

ntu

k

setu

ju d

en

ga

n p

utu

san

nya

. Ma

rnis

se

tuju

, wa

lau

pu

n d

ia

me

rasa

tid

ak

rela

,de

ng

an

sya

rat

ma

ma

k h

aru

s m

em

be

rika

n

pe

rnya

taa

n t

ert

ulis

ba

hw

a ia

tid

ak

aka

n m

en

jua

l ta

na

h

wa

risa

nn

ya la

gi.

In

form

al:

ke

tua

ad

at

Ha

sil:

Ma

rnis

ke

cew

a d

en

ga

n

kep

utu

san

itu

. Sa

ud

ara

laki

-

laki

nya

te

lah

me

nin

gg

al,

na

mu

n ia

te

tap

ma

sih

ha

rus

me

mb

aya

r h

uta

ng

ya

ng

dit

an

gg

un

gn

ya k

eti

ka m

em

be

li

kem

ba

li ta

na

h y

an

g d

ijua

l

tan

pa

se

pe

ng

eta

hu

an

Ma

rnis

.

Page 91: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

75Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Lampiran

12

Pa

lan

gka

raya

,

Ka

lima

nta

n

Ten

ga

h, 2

00

4

Ko

rba

n:

Sit

i

Pe

lak

u: S

ua

min

ya

Ke

tid

aks

eim

ba

ng

an

keku

asa

an

Se

ora

ng

pe

rem

pu

an

me

ng

ad

uka

n k

eke

rasa

n y

an

g d

ilaku

kan

sua

min

ya k

ep

ad

a k

elu

arg

an

ya. K

elu

arg

a m

ela

po

rka

n k

asu

s

ini k

e p

olis

i da

n p

olis

i me

ng

em

ba

lika

n k

asu

s in

i ke

pa

da

tetu

a a

da

t, d

am

an

g. S

ua

mi y

an

g b

ers

an

gku

tan

ke

mu

dia

n

me

nce

raik

an

Sit

i da

n m

en

ola

k m

em

ba

gi h

art

an

ya. K

are

na

diin

tim

ida

si o

leh

pe

ng

aca

ra s

an

g s

ua

mi,

Sit

i akh

irn

ya

me

ne

rim

a p

utu

san

ka

susn

ya t

ers

eb

ut.

Form

al:

Po

lisi

Info

rma

l:

Tetu

a a

da

t

Fo

rma

l: K

asu

s d

ike

mb

alik

an

ke d

esa

Info

rma

l: K

asu

s ke

kera

san

dia

ba

ika

n d

an

da

ma

ng

tid

ak

me

nd

oro

ng

pe

mb

ag

ian

ha

rta

be

rsa

ma

se

sua

i de

ng

an

pe

rja

njia

n p

ran

ika

h.

13

Tem

pu

ran

g,

Su

ma

tera

Ba

rat,

20

00

Pih

ak

ya

ng

be

rse

ng

ke

ta:

kon

fl ik

da

lam

sa

tu d

esa

,

an

tara

su

ku B

ata

k d

an

Min

an

g

Ke

kera

san

be

rla

tar

etn

is a

nta

ra B

ata

k d

an

Min

an

g m

ele

tus

sete

lah

te

rja

di p

ers

elis

iha

n k

eci

l sa

at

be

rju

di.

Se

bu

ah

pa

sar

da

n 9

4 r

um

ah

te

rba

kar.

Ba

nya

k w

arg

a B

ata

k ke

lua

r d

ari

na

ga

ri

(se

be

lum

ke

rusu

ha

n a

da

40

0 k

ep

ala

ke

lua

rga

, se

kara

ng

tin

gg

al 5

6).

Ke

teg

an

ga

n t

erj

ad

i se

be

lum

ke

rusu

ha

n. S

eju

mla

h

kelu

arg

a B

ata

k m

en

ola

k u

ntu

k m

ele

bu

r d

en

ga

n w

arg

a a

sli

da

n b

ers

ike

ras

un

tuk

teta

p t

erp

isa

h. M

ere

ka y

an

g t

ela

h

be

rba

ur

de

ng

an

ad

at

Min

an

g, t

ida

k m

en

eri

ma

ha

k ya

ng

sa

ma

de

ng

an

wa

rga

asl

i Min

an

g.

Info

rma

l: K

ep

ala

de

sa,

pe

mim

pin

ad

at,

po

lisi

Ha

sil:

ra

sa t

aku

t te

tap

ad

a d

i

an

tara

ke

lua

rga

Ba

tak

yan

g

be

rta

ha

n. S

en

gke

ta t

an

ah

be

rla

nju

t d

i an

tara

ke

du

a

kelo

mp

ok

ma

sya

raka

t it

u.

14

Ge

nte

ng

&

Pa

tem

on

,

Ma

tara

m,

NT

B (

tah

un

?)

Pih

ak

ya

ng

be

rse

ng

ke

ta:

Wa

rga

Ge

nte

ng

da

n

Pa

tem

on

Wa

rga

di P

ate

mo

n m

en

ga

ma

nka

n s

ert

ifi k

at

tan

ah

dip

erb

ata

san

du

a d

esa

. Wa

rga

Ge

nte

ng

me

rasa

, ta

na

h

yan

g d

ise

ng

keta

kan

se

ba

ga

i mili

k m

ere

ka. W

arg

a G

en

ten

g

me

nye

ran

g w

arg

a P

ate

mo

n.

Aks

i sa

ling

se

ran

g t

eru

s b

erl

an

gsu

ng

sa

mp

ai h

ari

ini,

ba

hka

n

keke

rasa

n k

era

p t

erj

ad

i ta

np

a a

da

hu

bu

ng

an

de

ng

an

se

ba

b

awa

l se

ng

keta

. Be

be

rap

a o

ran

g t

ew

as

da

lam

se

ng

keta

be

rke

pa

nja

ng

an

ini.

Ke

du

a w

arg

a d

esa

me

nyi

ap

kan

se

nja

ta,

sep

ert

i ba

tu, b

oto

l, to

mb

ak,

ba

hka

n p

isto

l. P

olis

i da

n

pe

me

rin

tah

loka

l te

rbu

kti t

ak

be

rday

a m

en

an

ga

ni k

asu

s

ini.

Me

reka

me

mb

an

gu

n t

em

bo

k se

tin

gg

i tig

a m

ete

r u

ntu

k

me

mis

ah

kan

ke

du

a k

elo

mp

ok.

Po

lisi,

Pe

me

rin

tah

loka

lH

asi

l: k

eg

ag

ala

n d

ala

m

me

nye

lesa

ika

n s

um

be

r

ma

sala

h m

en

yeb

ab

kan

ko

nfl

ik

be

rke

lan

juta

n. A

kib

at

sen

gke

ta,

eko

no

mi d

i Pa

tem

on

me

roso

t.

15

De

sa S

am

pu

ng

,

Po

no

rog

o, J

awa

Tim

ur,

20

03

Pe

nu

ntu

t: W

arg

a d

esa

Sa

mp

un

g,

Re

spo

nd

en

:

Pe

rta

mb

an

ga

n S

ari

Gu

nu

ng

. Pe

rta

mb

an

ga

n

ini d

imili

ki p

em

eri

nta

h

tap

i dija

lan

kan

ole

h

pe

rusa

ha

an

sw

ast

a.

Ke

pe

nti

ng

an

pih

ak

lua

r

da

n k

eti

da

kse

imb

an

ga

n

keku

ata

n

Lum

pu

r d

ari

pe

rta

mb

an

ga

n s

eca

ra t

eru

s-m

en

eru

s

me

mb

an

jiri s

eb

ag

ian

wila

yah

de

sa, m

eru

sak

jala

n, r

um

ah

da

n

saw

ah

. Sa

lura

n a

ir y

an

g d

iba

ng

un

pe

me

rin

tah

ka

bu

pa

ten

me

nye

ba

bka

n s

eb

ag

ian

lum

pu

r te

ralih

kan

ke

ba

gia

n la

in

de

sa .

Ini m

en

yeb

aka

n k

ete

ga

ng

an

di a

nta

ra p

en

du

du

k d

esa

ters

eb

ut.

Ke

pa

la d

esa

me

ng

irim

kan

su

rat

kep

ad

a p

em

eri

nta

h

kab

up

ate

n d

an

DP

RD

, na

mu

n t

ida

k a

da

ta

ng

ga

pa

n.

Pe

rusa

ha

an

da

n p

em

eri

nta

h k

ab

up

ate

n s

am

a-s

am

a m

en

ola

k

be

rta

ng

gu

ng

jaw

ab

. Tid

ak

ad

a p

iha

k ya

ng

me

ng

am

bil

lan

gka

h h

uku

m. W

arg

a d

esa

da

n p

em

eri

nta

h k

eca

ma

tan

me

rasa

tid

ak

san

gg

up

me

law

an

pe

rusa

ha

an

pe

rta

mb

an

ga

n,

kare

na

se

ba

gia

n b

esa

r p

en

du

du

k d

esa

jug

a b

eke

rja

dip

ert

am

ba

ng

an

itu

.

Info

rma

l: K

ep

ala

de

sa,

sekr

eta

ris

de

sa, d

ew

an

kelu

rah

an

, da

n c

am

at

Fo

rma

l: t

ida

k a

da

sa

tup

un

yan

g t

erl

iba

t

Ha

sil:

ma

sala

h t

ida

k

ters

ele

saik

an

, ke

teg

an

ga

n

di a

nta

ra m

asy

ara

kat

de

sa

sete

mp

at

teta

p b

era

ng

sur

kare

na

lum

pu

r te

rus

me

ng

ge

na

ng

i se

ba

gia

n d

esa

.

Page 92: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

76 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Lampiran

16

Pa

lan

gka

raya

,

Ka

lima

nta

n

Ten

ga

h, A

gu

stu

s

20

03

Pe

nu

ntu

t: k

elu

arg

a

Sya

hm

an

to, a

na

k m

ud

a

yan

g d

itu

suk

hin

gg

a t

ew

as

di P

ala

ng

kara

ya

Re

spo

nd

en

:

Ke

lua

rga

Jo

nfr

id, p

ela

ku

pe

nu

suka

n

Pe

rke

lah

ian

an

tar

du

a t

em

an

te

rja

di u

sai m

em

inu

m m

inu

ma

n

kera

s. R

an

no

Jo

nfr

id S

iae

me

nu

suk

tem

an

nya

Sya

hm

an

to.

Sya

hm

an

to a

khir

nya

te

wa

s ka

ren

a lu

ka t

usu

kan

ya

ng

did

eri

tan

ya. S

ela

ma

pro

ses

pe

me

riks

aa

n, J

on

frid

dip

en

jara

po

lisi s

ela

ma

du

a b

ula

n. P

en

yele

saia

n s

eca

ra a

da

t d

ilaku

kan

seca

ra b

ers

am

aa

n. K

etu

a R

T m

en

jad

i me

dia

tor

ked

ua

kelu

arg

a. S

eb

ag

ai p

en

yele

saia

n s

eca

ra a

da

t, k

elu

arg

a k

orb

an

me

nu

lis s

ura

t ke

pa

da

jaks

a a

ga

r m

en

jatu

hka

n h

uku

ma

n

seri

ng

an

mu

ng

kin

ke

pa

da

Jo

nfr

id.

Pe

ng

ad

ilan

me

mp

ert

imb

an

gka

n p

en

yele

saia

n s

eca

ra a

da

t

yan

g t

ela

h d

ite

mp

uh

da

n h

an

ya m

en

jatu

hka

n h

uku

ma

n

seta

hu

n p

en

jara

.

Info

rma

l: K

etu

a R

T

me

mfa

silit

asi

pe

nye

lesa

ian

kon

fl ik

ya

ng

ke

mu

dia

n

did

oro

ng

ole

h d

am

an

g

Fo

rma

l:

Po

lisi,

jaks

a d

istr

ik, p

rov

insi

,

da

n M

ah

kam

ah

Ag

un

g

Info

rma

l: k

elu

arg

a J

on

frid

me

min

ta m

aa

f d

an

me

mb

aya

r

de

nd

a 3

6 ju

ta r

up

iah

. De

nd

a

dib

aya

r d

ala

m b

en

tuk

he

wa

n

da

n m

aka

na

n, s

ert

a u

an

g t

un

ai

6 ju

ta r

up

iah

un

tuk

Da

ma

ng

.

Se

bu

ah

up

aca

ra d

ilan

gsu

ng

kan

,

da

n k

ed

ua

ke

lua

rga

kin

i

kem

ba

li b

erk

om

un

ika

si.

Fo

rma

l: J

on

frid

dip

en

jara

seta

hu

n d

an

dija

lan

kan

pe

nu

h

ole

h J

on

frid

.

17

De

sa S

em

bu

luh

II,

Ka

lima

nta

n

Ten

ga

h, 2

00

2

Pe

lak

u:

Ba

tun

i da

n

Bu

nta

ng

, du

a n

ela

yan

sete

mp

at

Ko

rba

n:

selu

ruh

wa

rga

de

sa

Hu

bu

ng

an

de

kat

pa

ra

pe

laku

de

ng

an

ke

pa

la d

esa

me

nye

ba

bka

n m

ere

ka

terl

ind

un

gi

Ba

tun

i da

n B

un

tan

g m

en

gg

un

aka

n ja

rin

g ik

an

ya

ng

me

nyi

mp

an

g, s

eh

ing

ga

me

reka

me

nd

ap

atk

an

ika

n d

ala

m

jum

lah

be

sar.

Na

mu

n, h

al t

ers

eb

ut

me

nye

ba

bka

n p

era

lata

n

me

ma

nci

ng

mili

k w

arg

a d

esa

lain

nya

ru

sak.

Pe

rmin

taa

n

wa

rga

ag

ar

me

reka

tid

ak

me

ng

gu

na

kan

jari

ng

te

rse

bu

t ti

da

k

did

en

ga

rka

n. W

arg

a a

khir

nya

me

ng

ad

uka

n m

asa

lah

ini k

e

kep

ala

de

sa d

an

po

lisi.

Na

mu

n u

pay

a m

ere

ka g

ag

al.

Wa

rga

me

ng

elu

ark

an

an

cam

an

ke

kera

san

ke

pa

da

Ba

ntu

ni

da

n B

un

tan

g. I

ni m

em

aks

a k

ep

ala

de

sa m

en

en

ga

hi m

asa

lah

da

n m

ela

ran

g p

en

gg

un

aa

n ja

rin

g y

an

g m

en

yim

pa

ng

.

Lara

ng

an

ini k

em

ud

ian

dia

tur

da

lam

pe

ratu

ran

de

sa.

Info

rma

l: w

arg

a d

esa

, po

lisi

de

sa, k

ep

ala

de

sa.

Se

cara

ke

selu

ruh

an

pro

ses

ini m

em

aka

n w

akt

u h

am

pir

seta

hu

n

Pa

ra n

ela

yan

be

rhe

nti

me

ng

an

cam

da

n a

da

tin

da

kan

da

ri k

ep

ala

de

sa.

Me

na

rikn

ya, t

ah

un

20

03

da

n 2

00

4 d

esa

-de

sa la

in

seca

ra s

po

rad

is m

en

era

pka

n

pe

nye

lesa

ian

se

pe

rti i

ni.

18

Pa

len

ga

an

Lao

k, P

am

eka

san

,

Jaw

a T

imu

r, 2

00

1

Ko

rba

n:

Pe

ncu

ri p

om

pa

air

Pe

lak

u:

seke

lom

po

k

wa

rga

de

sa

Wa

rga

be

rha

sil m

en

gg

ag

alk

an

pe

ncu

ria

n p

om

pa

air

. Pe

laku

kem

ud

ian

dit

an

gka

p d

an

dib

un

uh

se

kelo

mp

ok

wa

rga

. Po

lisi

tid

ak

me

ng

am

bil

tin

da

kan

ap

ap

un

. Wa

rga

de

sa t

aku

t a

da

pe

mb

ala

san

. Ke

taku

tan

te

rse

bu

t te

rbu

kti d

en

ga

n t

ew

asn

ya

du

a w

arg

a d

esa

.

Ke

terl

iba

tan

Kya

i be

rha

sil m

en

ceg

ah

te

rus

be

rla

nju

tnya

aks

i

ba

las

de

nd

am

.

Info

rma

l: K

yai

Fo

rma

l: P

olis

i te

rlib

at

da

lam

kasu

s p

em

bu

nu

ha

n y

an

g

ked

ua

Ha

sil:

un

tuk

sem

en

tara

ran

gka

ian

ke

kera

san

te

rhe

nti

.

Tid

ak

ad

a t

un

tuta

n a

tas

pe

mb

un

uh

an

ya

ng

te

rja

di.

19

Pa

len

ga

an

Da

ja, P

am

eka

san

,

Jaw

a T

imu

r, 2

00

1

Ko

rba

n:

Bru

din

, Wa

rga

de

sa y

an

g d

ike

tah

ui

me

mp

rakt

ikka

n il

mu

hit

am

Pe

lak

u:

pe

mb

un

uh

ya

ng

dis

ew

a w

arg

a d

esa

Bru

din

, ya

ng

dit

ud

uh

me

mp

rakt

ikka

n il

mu

hit

am

, dib

un

uh

ole

h p

rem

an

ya

ng

dis

ew

a w

arg

a y

an

g d

en

da

m t

erh

ad

ap

nya

.

Ke

pa

la d

esa

ta

kut

terl

iba

t d

ala

m m

asa

lah

ini.

Tid

ak

ad

a y

an

g

dit

un

tut

ata

s p

em

bu

nu

ha

n.

Se

tah

un

ke

mu

dia

n, i

stri

Bru

din

jug

a d

itu

du

h m

em

pra

kte

kka

n

ilmu

hit

am

. Ia

jug

a d

ibu

nu

h o

leh

pre

ma

n b

aya

ran

.

Info

rma

l: k

ep

ala

de

sa d

an

kya

i ta

hu

ap

a y

an

g t

erj

ad

i,

tap

i tid

ak

me

ng

am

bil

lan

gka

h

pe

nce

ga

ha

n. T

ida

k a

da

tin

da

k

lan

jut

da

ri p

olis

i

Ha

sil:

Bru

din

te

rbu

nu

h d

an

tid

ak

ad

a t

ind

aka

n y

an

g

dia

mb

il.

20

Ka

bu

pa

ten

Po

no

rog

o d

an

Wo

no

gir

i, Ja

wa

Tim

ur,

20

01

Pe

mu

da

da

ri k

elo

mp

ok

be

lad

iri y

an

g b

ers

ete

ru

Ke

kura

ng

pe

rcay

aa

n

an

tara

du

a k

elo

mp

ok

me

nim

bu

lka

n k

on

fl ik

Pe

mu

da

da

ri W

on

og

iri m

em

uku

l ke

lom

po

k p

em

ud

a

pe

rgu

rua

n b

ela

dir

i Ju

jitsu

da

ri P

on

oro

go

. Mu

ncu

l an

cam

an

ba

lasa

n, s

eh

ing

ga

ga

ng

pe

mu

da

Wo

no

gir

i me

ren

can

aka

n

sera

ng

an

leb

ih d

ulu

.

Po

lisi m

en

ciu

m g

ela

ga

t ke

rib

uta

n t

ers

eb

ut

da

n m

en

uru

nka

n

ap

ara

tnya

. Se

lain

me

mis

ah

kan

ke

du

a k

elo

mp

ok,

po

lisi j

ug

a

me

ng

un

da

ng

pe

mim

pin

ke

du

a k

elo

mp

ok

un

tuk

be

rdia

log

di

pe

rba

tasa

n.

Info

rma

l: P

olis

i da

n

pe

mim

pin

ma

sya

raka

t

me

nce

ga

h b

ert

am

ba

hn

ya

keke

rasa

n

Fo

rma

l: p

em

imp

in u

tam

a

pe

laku

pe

mu

kula

n d

ita

ha

n

da

n d

ipro

ses

seca

ra h

uku

m

Ha

sil:

ke

kera

san

ta

mb

ah

an

be

rha

sil d

ihin

da

ri d

an

pe

mim

pin

ke

lom

po

k d

ihu

kum

.

Page 93: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

77Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Lampiran

21

Am

ah

ai,

Pu

lau

Se

ram

,

Ma

luku

Te

ng

ah

,

20

03

Pe

lak

u:

Bu

ce S

alis

i,

pe

mu

da

de

sa

Se

tela

h m

en

un

gg

ak

min

um

an

ke

ras,

Bu

ce m

ele

mp

ar

ba

tu k

e k

an

tor

kep

ala

de

sa. K

aca

jen

de

la p

eca

h. D

ew

an

ad

at

me

ma

ng

gil

Bu

ce, s

eb

elu

m r

ap

at

de

sa m

en

dis

kusi

kan

ma

sala

h in

i. H

asi

l ra

pa

t m

en

yetu

jui h

uku

ma

n y

an

g d

ike

na

kan

be

rup

a h

uku

ma

n c

am

bu

k d

i de

pa

n p

ub

lik d

en

ga

n r

ota

n

seb

an

yak

se

mb

ilan

ka

li.

In

form

al:

De

wa

n a

da

tH

asi

l: S

ete

lah

hu

kum

an

cam

bu

k d

ilaks

an

aka

n, B

uce

me

nin

gg

alk

an

de

sa d

an

tid

ak

pe

rna

h k

em

ba

li.

22

De

sa S

ava

na

Jay

a

da

n J

iku

me

rasa

,

Pu

lau

Bu

ru,

Ma

luku

Pih

ak

-pih

ak

: Wa

rga

de

sa

Sav

an

a J

aya

(tr

an

smig

ran

)

da

n J

iku

me

rasa

(p

en

du

du

k

asl

i)

Tah

un

19

54

, pe

me

rin

tah

me

nye

dia

kan

ta

na

h d

ua

he

kta

r

un

tuk

seti

ap

ke

lua

rga

tra

nsm

igra

n a

sal J

awa

di P

ula

u B

uru

.

Ha

mp

ir s

em

ua

tra

nsm

igra

n a

da

lah

ta

ha

na

n p

olit

ik d

i pu

lau

Bu

ru y

an

g t

ela

h d

ibe

ba

ska

n. S

ete

lah

ke

lua

rga

tra

nsm

igra

n

tin

gg

al d

isa

na

da

n b

erk

em

ba

ng

, la

ha

n d

ua

he

kta

r m

ula

i

dir

asa

ku

ran

g. M

ere

ka p

ind

ah

ke

ta

na

h y

an

g d

imili

ki

pe

nd

ud

uk

loka

l di d

esa

Jik

um

era

sa. K

om

pe

nsa

si t

ak

pe

rna

h

dib

aya

r. B

an

yak

pa

ra t

ran

smig

ran

ya

ng

bis

a m

en

da

pa

tka

n

sert

ifi k

at

tan

ah

ata

s d

asa

r p

ers

etu

jua

n 1

95

4.

Se

tela

h p

em

eri

nta

ha

n S

oe

ha

rto

tu

mb

an

g, b

an

yak

pe

nd

ud

uk

loca

l ya

ng

me

mp

erm

asa

lah

kan

ka

sus

ini.

Tid

ak

ad

a p

iha

k

yan

g d

ipe

rsa

lah

kan

da

lam

ha

l in

i, n

am

un

se

sua

tu h

aru

s

dila

kuka

n u

ntu

k m

en

ceg

ah

be

ralih

nya

ke

teg

an

ga

n m

en

jad

i

kon

fl ik

ka

ren

a p

rov

insi

te

rse

bu

t p

ern

ah

te

rje

ba

k d

ala

m k

on

fl ik

an

tar

etn

is s

ela

ma

6 t

ah

un

.

Info

rma

l: K

ep

ala

de

sa S

ava

na

Jaya

te

lah

me

lap

ork

an

ka

sus

ini k

ep

ad

a c

am

at,

bu

pa

ti,p

olis

i

da

n p

em

eri

nta

ha

n s

ete

mp

at.

Se

bu

ah

LS

M d

ari

Am

bo

n ju

ga

dili

ba

tka

n.

Tid

ak

ad

a u

sah

a u

ntu

k

me

mp

ert

em

uka

n k

ed

ua

kelo

mp

ok

seca

ra la

ng

sun

g

Ha

sil:

Ka

sus

tid

ak

ters

ele

saik

an

.

Ke

du

a k

elo

mp

ok

be

rha

rap

bu

pa

ti y

an

g b

aru

te

rta

rik

me

nye

lesa

ika

n m

asa

lah

ini.

Ko

nfl

ik h

uku

m k

lasi

k

yan

g d

ipe

rpa

rah

de

ng

an

keti

da

efe

ktif

an

bir

okr

asi

da

n s

yste

m h

uku

m s

ert

a

me

kan

ism

e d

ialo

g a

nta

rde

sa.

23

De

sa S

ei,

Ke

cam

ata

n L

eih

itu

,

Ma

luku

, 20

04

-20

05

Pih

ak

-pih

ak

: A

bid

in

da

n Y

ed

ad

e, k

ed

ua

nya

me

ng

kla

im m

asa

lah

wa

risa

n s

ete

lah

aya

h

me

reka

me

nin

gg

al

Ma

hm

ou

d d

an

Jo

hra

te

lah

me

nik

ah

, ta

pi t

ida

k m

em

pu

nya

i

an

ak.

Me

reka

me

ng

ad

op

si a

na

k, Y

ed

ad

e. M

ah

mo

ud

me

nik

ah

lag

i da

n m

em

pu

nya

i se

jum

lah

an

ak,

te

rma

suk

Ab

idin

.

Tak

lam

a k

em

ud

ian

Jo

hra

me

nin

gg

al,

da

n b

eb

era

pa

ta

hu

n

kem

ud

ia M

ah

mo

ud

jug

a m

en

ing

ga

l. Ye

da

de

da

n A

bid

in

me

rasa

me

mili

ki h

ak

ata

s ta

na

h M

ah

mo

ud

da

n J

oh

ra.

Se

ba

ga

i an

ak

kan

du

ng

, Ab

idin

me

rasa

me

mili

ki h

ak

pe

nu

h

ata

s w

ari

san

. Se

me

nta

ra J

oh

ra, s

esu

ai d

en

ga

n h

uku

m Is

lam

tid

ak

me

mili

ki h

ak

sam

a s

eka

li. A

bid

in k

em

ud

ian

me

nju

al

seb

ag

ian

lah

an

ta

np

a m

em

pe

rdu

lika

n u

pay

a Y

ed

ad

e u

ntu

k

me

ng

he

nti

kan

nya

. Ta

hu

n 2

00

5, A

bid

in m

ela

po

rka

n m

asa

lah

ini k

e Im

am

se

tem

pa

t. S

eb

ua

h m

usy

awa

rah

dila

kuka

n u

ntu

k

me

mb

ah

as

ma

sala

h in

i.

Info

rma

l: Im

am

Ha

sil

: d

ipu

tusk

an

ke

du

a p

iha

k

pu

nya

ha

k a

tas

lah

an

. Ta

pi s

aa

t

pe

ne

litia

n d

ilaku

kan

, tid

ak

ad

a

kep

utu

san

akh

ir t

en

tan

g d

asa

r

hu

kum

ata

s p

em

ba

gia

n t

an

ah

.

24

Ke

lian

g, L

om

bo

k,

NT

B (

tah

un

?)

Pih

ak

-pih

ak

: Ra

tni d

an

Ud

in

Ra

tni h

am

il se

tela

h li

ma

ta

hu

n d

itin

gg

alk

an

su

am

inya

.

Ke

pa

la d

esa

me

mp

ert

em

uka

n k

ed

ua

nya

be

sert

a k

elu

arg

a.

Ra

tni m

inta

Ud

in m

en

ika

hin

ya, d

an

Ud

in t

ida

k ke

be

rata

n.

Na

mu

n p

erk

awin

an

tid

ak

bis

a d

ilaku

kan

ka

ren

a R

atn

i se

cara

resm

i ma

sih

da

lam

sta

tus

me

nik

ah

. Me

ng

gu

na

kan

hu

kum

ad

at

sete

mp

at,

Ud

in d

ike

na

kan

de

nd

a 5

juta

ru

pia

h k

are

na

me

ng

am

bil

istr

i ora

ng

. Pe

mb

aya

ran

de

nd

a m

em

un

gki

nka

n

Ud

in u

ntu

k m

en

ika

hi R

atn

i.

Ud

in t

ida

k m

am

pu

me

mb

aya

r d

en

da

. Ke

du

a p

iha

k

me

mb

awa

ka

sus

ini k

e p

olis

i, la

lu d

ita

ha

n s

ela

ma

be

be

rap

a

ha

ri k

are

na

pe

rzin

ah

an

. Se

tela

h m

em

bay

ar

sua

p, m

ere

ka

dib

eb

ask

an

da

n k

asu

s d

ihe

nti

kan

. Du

a b

ula

n k

em

ud

ian

, Ud

in

me

nik

ah

i wa

nit

a la

in, m

en

gh

ind

ar

da

ri t

an

gg

un

gja

wa

bn

ya

ata

s R

atn

i.

Info

rma

l: K

ep

ala

du

sun

me

rup

aka

n m

ed

iato

r u

tam

a

Ha

sil:

Ra

tni d

itin

gg

alk

an

tan

pa

du

kun

ga

n u

ntu

k a

na

k

ked

ua

nya

. Tid

ak

ad

a c

ara

me

nd

esa

k ke

pu

tusa

n a

da

t

un

tuk

me

ma

ksa

Ud

in.

Page 94: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

78 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Lampiran

25

Ca

kra

ne

ga

ra B

ara

t,

Ma

tara

m,

NT

B, 2

00

4

Pih

ak

-pih

ak

: G

ato

t, a

na

k

an

gka

t ya

ng

te

lah

be

rusi

a

40

ta

hu

n, d

an

Ga

nd

hi,

rem

aja

da

ri a

yah

ya

ng

sam

a

Terb

eb

an

i ole

h u

tan

g, G

ato

t m

en

de

sak

ad

ik t

irin

ya u

ntu

k

me

nd

aft

ark

an

pe

tak

tan

ah

ya

ng

me

reka

mili

ki a

tas

na

ma

me

reka

be

rdu

a. A

wa

lnya

, Ga

nd

hi s

etu

ju. C

uri

ga

de

ng

an

ala

san

Ga

tot,

bib

i Ga

nd

hi m

em

inta

Ga

nd

hi u

ntu

k m

en

gu

ba

h

kep

utu

san

nya

. Ga

nd

hi m

en

yew

a p

en

ga

cara

da

n p

erm

inta

an

pe

rub

ah

an

se

rtifi

ka

t d

iba

talk

an

.

Ga

tot

me

min

jam

ua

ng

ke

pa

da

ke

tua

RTy

an

g ju

ga

me

nd

esa

k

Ga

nd

hi u

ntu

k m

em

bu

at

sert

ifi k

at

ata

s ta

na

h t

ers

eb

ut

da

n

me

nju

aln

ya p

ad

a G

ato

t.

Info

rma

l: K

ep

ala

de

saH

asi

l: D

ibaw

ah

te

kan

an

un

tuk

me

mp

ert

ah

an

kan

re

lasi

keke

lua

rga

an

/te

tan

gg

a, G

an

dh

i

akh

irn

ya s

etu

ju p

ad

a s

aa

t

me

dia

si y

an

g d

ifa

silit

asi

ole

h

kep

ala

de

sa. u

ntu

k m

em

be

rika

n

seb

ag

ian

lah

an

nya

un

tuk

me

mb

aya

r u

tan

g G

ato

t.

26

Su

mp

ur

da

n

Bu

ng

o T

an

jun

g,

Su

ma

tera

Ba

rat,

19

87

-se

kara

ng

Pih

ak

-pih

ak

: Te

tua

ma

sya

raka

t S

um

pu

r d

an

pe

nd

ud

uk

Bu

ng

o T

an

jun

g

Ka

sus

ini m

em

iliki

se

jara

h y

an

g s

ud

ah

be

rla

ng

sun

g la

ma

da

n r

um

it. M

elib

atk

an

ha

mp

ir 1

00

he

kta

r la

ha

n p

ert

an

ian

dis

ep

an

jan

g p

erb

ata

san

ke

du

a n

ag

ari

. Ke

du

a p

en

du

du

k

na

ga

ri b

erc

oco

k ta

na

m d

i ta

na

h t

ers

eb

ut.

Na

ga

ri S

um

pu

r

me

ng

kla

im it

u m

eru

pa

kan

ta

na

h a

da

t m

ere

ka. S

em

en

tara

pe

nd

ud

uk

Bu

ng

o T

an

jun

g m

en

gkl

aim

me

reka

te

lah

me

nd

aft

ark

an

ta

na

h t

ers

eb

ut.

Ke

pa

la d

esa

Su

mp

ur

me

liha

t ka

sus

ini s

eb

ag

ai k

on

fl ik

an

tar

du

a n

ag

ari

. Wa

kil K

etu

a D

ew

an

Ad

at

Su

mp

ur

pe

rcay

a in

i

ad

ala

h k

on

fi k

inte

rna

l wa

rga

Su

mp

ur.

Ha

l in

i te

rka

it d

ug

aa

n

ad

an

ya t

etu

a m

asy

ara

kat

Su

mp

ur

yan

g m

en

jua

l ata

u

me

ng

ga

da

ika

n t

an

ah

se

cara

ille

ga

l ke

pa

da

Bu

ng

o T

an

jun

g.

Ke

lom

po

k p

ere

mp

ua

n ju

ga

pe

rcay

a, k

on

fl ik

te

rja

di a

kib

at

pe

nju

ala

n t

an

ah

ad

at

seca

ra il

leg

al d

an

te

tua

ma

sya

raka

t

tid

ak

ma

u m

en

ga

kui k

esa

lah

an

nya

.

Se

me

nta

ra, m

asy

ara

kat

lain

nya

me

nye

bu

t in

i ad

ala

h k

asu

s

sen

gke

ta b

ata

s w

ilaya

h d

ua

na

ga

ri .

Info

rma

l: S

taf

keca

ma

tan

,

De

wa

n A

da

t, d

ew

an

kelu

rah

an

, da

n k

ep

ala

de

sa

Ha

sil:

ko

nfl

ik t

ida

k te

rse

lesa

ika

n

kare

na

an

gg

ota

ga

ris

ketu

run

an

wa

rga

Su

mp

ur

me

ng

ha

lan

gi

kasu

s in

i sa

mp

ai k

e d

ew

an

ad

at.

Pe

mim

pin

ad

at

en

gg

an

me

nye

lesa

ika

n k

asu

s in

i ke

pe

ng

ad

ilan

de

ng

an

ala

san

aka

n

me

ng

ura

ng

i pe

ng

aru

h in

stit

usi

ad

at.

27

Gu

nu

ng

Sya

rik,

Ke

cam

ata

n

Ku

ran

ji, S

um

ate

ra

Ba

rat,

19

90

-20

00

Pe

nu

ntu

t: A

frid

a, a

ktiv

is

pe

rem

pu

an

se

tem

pa

t

Re

spo

nd

en

: N

inik

Ma

ma

k

Afr

ida

be

rha

sil m

en

ga

tasi

keti

da

kse

imb

an

ga

n

keku

asa

an

lew

at

kesa

da

ran

ata

s h

ak-

ha

knya

da

n

mo

bili

sasi

Nin

ik M

am

ak

da

ri A

frid

a t

ela

h m

en

jua

l ta

na

h a

da

tnya

se

jak

19

87

. Su

atu

ha

ri, A

frid

a m

elih

at

pe

tug

as

kelu

rah

an

me

ng

uku

r

tan

ah

ibu

nya

. Afr

ida

ke

mu

dia

n m

em

inta

ke

pa

la d

esa

un

tuk

me

ng

he

nti

kan

pe

tug

asn

ya. S

aa

t m

en

de

ng

ar

ha

l in

i, N

inik

Ma

ma

k A

frid

a d

ata

ng

da

n m

en

ga

nca

m A

frid

a d

en

ga

n p

isa

u.

Pa

da

akh

irn

ya, t

an

ah

te

rse

bu

t te

rju

al.

Afr

ida

ke

mu

dia

n m

em

pe

laja

ri p

rose

du

r a

da

t d

an

be

rarg

um

en

da

lam

ra

ng

ka m

ela

wa

n b

alik

. Ta

hu

n 2

00

0, A

frid

a

me

ng

org

an

isir

pe

tisi

, me

min

ta a

ga

r w

an

ita

ha

rus

dim

inta

i

pe

rse

tuju

an

da

lam

se

tia

p p

en

jua

lan

ta

na

h. A

frid

a b

erh

asi

l

me

ng

go

lka

n t

un

tuta

nn

ya d

an

dim

asu

kka

n d

ala

m h

uku

m

ad

at.

Info

rma

l: k

ep

ala

de

sa, N

inik

Ma

ma

k

Ha

sil:

Afr

ida

ke

hila

ng

an

tan

ah

nya

, ta

pi d

ia b

isa

be

rka

mp

an

ye u

ntu

k p

eru

ba

ha

n

pro

sed

ur

ad

at

un

tuk

me

ng

am

an

kan

ha

k-h

ak

wa

nit

a.

Page 95: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

79Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Lampiran

28

Pa

ria

ma

n,

Su

ma

tera

Ba

rat,

20

04

Ko

rba

n:

ga

dis

lim

a t

ah

un

Pe

lak

u:

pe

mu

da

22

ta

hu

n

Me

skip

un

du

a-d

ua

nya

ora

ng

Min

an

g, t

ap

i bu

kan

asl

i Min

an

g. K

ed

ua

nya

dia

ng

kat

da

lam

sis

tem

keke

lua

rga

an

Min

an

g

Ga

dis

be

rusi

a li

ma

ta

hu

n d

ipe

rko

sa o

leh

pe

mu

da

be

rusi

a

22

ta

hu

n y

an

g m

eru

pa

kan

te

tan

gg

an

ya. S

eb

ag

ai p

en

du

du

k

ba

ru d

i de

sa, i

bu

ko

rba

n m

asi

h s

un

gka

n u

ntu

k m

ela

po

rka

n k

e

kep

ala

de

sa d

an

nin

ik m

am

ak.

Ora

ng

tu

a k

orb

an

da

n p

ela

ku m

en

cob

a u

ntu

k m

en

yele

saik

an

kon

fl ik

ini s

en

dir

i. P

ad

a p

ert

em

ua

n p

en

da

hu

lua

n, o

ran

g t

ua

pe

laku

me

ng

aku

be

rsa

lah

, na

mu

n t

ida

k m

au

me

mb

aya

r

ua

ng

pe

ng

ga

nti

. Ora

ng

tu

a p

ela

ku ju

ga

me

no

lak

me

ng

ha

dir

i

pe

rte

mu

an

ya

ng

dis

ele

ng

ga

raka

n o

leh

pe

jab

at

pe

me

rin

tah

an

kab

up

ate

n. I

a m

inta

ka

sus

ini d

ita

ng

an

i ole

h n

inik

ma

ma

k

Du

a b

ula

n k

em

ud

ian

, se

bu

ah

LS

M d

i Pa

da

ng

me

ng

an

jurk

an

ibu

ko

rba

n u

ntu

k m

em

eri

ksa

kan

an

akn

ya k

e d

okt

er.

Aki

ba

t

pe

me

riks

aa

n y

an

g y

an

g t

ert

un

da

, tid

ak

dit

em

uka

n b

ukt

i

ad

an

ya p

erk

osa

an

.

Info

rma

l: A

nta

r ke

lua

rga

,

Po

lisi,

pe

jab

at

pe

me

rin

tah

kab

up

ate

n, d

an

LS

M

Ha

sil:

Tid

ak

ad

a p

en

yele

saia

n,

ked

ua

ke

lua

rga

te

rus

hid

up

be

rte

tan

gg

a. I

bu

ko

rba

n s

an

ga

t

kece

wa

, ap

ala

gi p

ela

ku t

eta

p

tin

gg

al d

ise

be

lah

ru

ma

hn

ya.

Po

lisi m

en

gkl

aim

ibu

ko

rba

n

ha

nya

me

nca

ri k

eu

ntu

ng

an

da

lam

ka

sus

ini.

29

Su

ng

ai K

am

uya

ng

,

Ke

cam

ata

n

Luh

ak,

Su

ma

tera

Ba

rat,

19

68

-

seka

ran

g

Pih

ak

-pih

ak

:Wa

rga

Su

ng

ai

Ka

mu

yan

g d

an

pe

tern

aka

n

PT

Je

nyt

a

Ke

pe

nti

ng

an

lua

r ya

ng

san

ga

t ku

at

Se

ng

keta

ta

na

h y

an

g r

um

it, m

elib

atk

an

se

bu

ah

pe

rusa

ha

an

pe

tern

aka

n P

T J

en

yta

. Se

ng

keta

ta

na

h b

erl

an

gsu

ng

se

lam

a

30

ta

hu

n (

19

68

-19

98

). S

en

gke

ta d

i ata

s la

ha

n 6

6 h

ekt

ar,

PT

Je

nyt

a m

em

iliki

ijin

ha

k g

un

a u

sah

a, s

em

en

tara

wa

rga

me

ng

kla

im it

u a

da

lah

ta

na

h a

da

t. P

imp

ina

n p

eru

sah

aa

n

pe

tern

aka

n P

T J

en

yta

ad

ala

h s

eo

ran

g p

erw

ira

mili

ter.

Tah

un

19

98

, wa

rga

me

no

lak

pe

rpa

nja

ng

an

ha

k g

un

a u

sah

a.

Se

tela

h b

eru

nju

k ra

sa d

an

be

ntr

ok

de

ng

an

po

lisi d

an

pe

tug

as

kea

ma

na

n p

eru

sah

aa

n, w

arg

a m

en

du

du

ki la

ha

n t

ers

eb

ut.

Na

mu

n p

em

eri

nta

h m

asi

h t

eta

p m

em

pe

rpa

nja

ng

ha

k g

un

a

usa

ha

.

Tah

un

20

03

, pe

me

rin

tah

de

sa m

en

ge

lua

rka

n s

eb

ua

h

atu

ran

ya

ng

me

nca

ntu

mka

n k

laim

me

reka

ata

s la

ha

n y

an

g

dip

ers

en

gke

taka

n. K

eb

an

yaka

n w

arg

a d

esa

me

ng

an

gg

ap

atu

ran

te

rse

bu

t te

lah

me

nye

lesa

ika

n m

asa

lah

, me

skip

un

pe

me

rin

tah

de

sa t

ida

k b

erh

ak

me

ng

elu

ark

an

atu

ran

sem

aca

m it

u.

Info

rma

l: D

ew

an

ad

at,

ke

pa

la

de

sa

Ha

sil:

Wa

rga

me

nd

ud

uki

lah

an

,

me

skip

un

pe

tern

aka

n P

T J

en

yta

ma

sih

me

me

ga

ng

ijin

ha

k g

un

a

usa

ha

.

Po

ten

si k

eke

rasa

n m

asi

h a

da

jika

pe

rusa

ha

an

me

mu

tusk

an

me

ng

gu

na

kan

ke

mb

ali

ha

k

gu

na

un

tuk

me

ne

nta

ng

wa

rga

de

sa.

30

Ba

tug

ad

an

g,

Su

ma

tera

Ba

rat,

19

83

da

n 2

00

3

Pih

ak

-pih

ak

: Wa

rga

de

sa,

diw

aki

li P

uti

, se

ora

ng

akt

ivis

pe

rem

pu

an

.

PT

Se

me

n P

ad

an

g,

pe

rusa

ha

an

se

me

n

terk

em

uka

Lum

pu

r d

an

lim

ba

h y

an

g d

iha

silk

an

PT

Se

me

n P

ad

an

g t

ela

h

me

rusa

k la

ha

n p

ert

an

ian

di B

atu

ga

da

ng

. Se

tela

h d

ew

an

ad

at

me

no

lak

me

na

ng

an

i ka

sus

ini,

Pu

ti d

an

19

ke

lua

rga

de

sa b

eru

nju

k ra

sa k

e P

T S

em

en

Pa

da

ng

. Dis

ep

aka

ti a

da

nya

pe

mb

aya

ran

ga

nti

ru

gi t

ap

i ja

uh

da

ri y

an

g d

iha

rap

kan

. 10

pe

rse

n d

ari

ga

nti

ru

gi b

ah

kan

dia

mb

il d

ew

an

ad

at.

Ha

l in

i

me

ng

ece

wa

kan

Pu

ti d

an

ke

lua

rga

lain

nya

. Ha

nya

se

dik

it

wa

rga

de

sa y

an

g m

en

du

kun

g m

ere

kaD

ika

ren

aka

n o

leh

PT

Se

me

n P

ad

an

g t

ela

h m

em

bay

ar

ba

nya

k p

iha

k ya

ng

du

du

k

dia

dm

inis

tra

si d

esa

.

Info

rma

l: d

ew

an

ad

at,

ka

um

wa

nit

a d

i de

sa

Ha

sil:

se

ng

keta

dis

ele

saik

an

lew

at

ne

go

isa

si, n

am

un

pe

laks

an

aa

nya

tid

ak

me

mu

ask

an

.

31

Sa

rin

an

g B

aka

da

n M

ua

ra P

ing

ai

Na

ga

ri,

Su

ma

tera

Ba

rat,

De

sem

be

r 2

00

3

Pih

ak

ya

ng

be

rse

ng

ke

ta:

Pe

tan

i da

n k

elo

mp

ok

pe

mu

da

da

ri d

ua

na

ga

ri

yan

g b

ert

eta

ng

ga

Ko

nfl

ik t

erj

ad

i sa

at

du

a p

eta

ni d

ari

du

a n

ag

ari

ya

ng

be

rbe

da

be

rad

u m

ulu

t d

i saw

ah

. Ke

du

a p

eta

ni i

tu m

em

pe

rma

sala

hka

n

ha

k u

ntu

k m

en

go

lah

lah

an

te

rse

bu

t. D

ua

ke

lom

po

k p

em

ud

a

iku

t ca

mp

ur

da

lam

ma

sala

h i

tu. P

erk

ela

hia

n t

erj

ad

i da

n

me

nye

ba

bka

n s

atu

ora

ng

te

wa

s. P

imp

ina

n d

ew

an

ad

at

da

ri

na

ga

ri t

eta

ng

ga

da

n n

ag

ari

ya

ng

tid

ak

terl

iba

t m

ela

kuka

n

pe

nd

eka

tan

ke

pa

da

ke

du

a k

elo

mp

ok

un

tuk

me

ng

he

nti

kan

keke

rasa

n. D

ua

pe

rte

mu

an

pe

rda

ma

ian

dia

da

kan

ole

h b

up

ati

da

n p

olis

i ke

cam

ata

n.

Info

rma

l: K

etu

a K

AN

, bu

pa

ti,

cam

at,

da

n k

ep

ala

de

sa.

Fo

rma

l: P

olis

i

Ha

sil:

ke

kera

san

ya

ng

be

rke

lan

juta

n b

erh

asi

l

dih

ind

ark

an

. Ke

sep

aka

tan

da

ma

i dib

ua

t d

i ma

sjid

ya

ng

dih

ad

iri o

leh

ma

sya

raka

t

um

um

. Ka

sus

tan

ah

da

n p

em

bu

nu

ha

n t

ida

k

ters

ele

saik

an

.

Page 96: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

80 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Lampiran

32

Dila

m, S

olo

k,

Su

ma

tera

Ba

rat,

20

04

Pih

ak

ya

ng

be

rse

ng

ke

ta:

Ko

nfl

ik a

nta

r w

arg

a d

esa

, me

liba

tka

n k

lan

Me

layu

da

n T

an

jun

g

Tah

un

19

64

, Kla

n M

ela

yu d

i Dila

m m

em

be

li ta

na

h w

ari

san

kla

n T

an

jun

g. P

erj

an

jian

te

rtu

lis d

ibic

ara

kan

be

rsa

ma

da

n

pe

nju

ala

n d

ise

tuju

i ole

h t

etu

a k

lan

. Na

mu

n d

em

ikia

n

seju

mla

h o

ran

g d

ari

Kla

n T

an

jun

g t

ida

k m

en

du

kun

g p

rose

s

pe

nju

ala

n t

ers

eb

ut

da

n t

eru

s m

en

gg

an

gg

u k

lan

Me

layu

ya

ng

me

ng

gu

na

kan

lah

an

te

rse

bu

t d

an

me

rusa

k ta

na

ma

n.

Lela

h d

en

ga

n g

an

gg

ua

n y

an

g t

eru

s m

en

eru

s, K

lan

Me

layu

be

rnia

t m

en

jua

l ke

mb

ali

tan

ah

te

rse

bu

t ke

pa

da

Kla

n T

an

jun

g,

jika

ad

a g

an

ti r

ug

i ata

s p

eru

saka

n t

an

am

an

. Kla

n T

an

jun

g

me

no

lakn

ya d

an

me

mb

eri

kan

tu

ntu

tan

ba

lik a

tas

sew

a t

an

ah

ters

eb

ut

seja

k 1

96

4. K

lan

Me

layu

me

lap

ork

an

ka

sus

ini k

e

po

lisi,

na

mu

n t

ida

k b

erh

asi

l da

n a

khir

nya

me

nye

rah

.

Ag

ust

us

20

04

, Kla

n M

ela

yu m

em

baw

a k

asu

s in

i ke

pe

ng

ad

ilan

ne

ge

ri d

i Ka

bu

pa

ten

So

lok.

Me

reka

me

nu

ntu

t

ga

nti

ru

gi a

tas

pe

rusa

kan

ta

na

ma

n d

an

ke

pa

stia

n

kep

em

ilika

n. S

eca

ra im

plis

it, p

utu

san

pe

ng

ad

ilan

me

ng

aku

i

kep

em

ilika

n k

lan

Me

layu

, na

mu

n p

ad

a a

khir

nya

pe

ng

ad

ilan

me

ng

hin

da

ri p

ert

an

yaa

n u

tam

an

ya.

Info

rma

l: P

olis

i, p

em

uka

ad

at

Fo

rma

l: P

olis

i da

n p

en

ga

dila

n

ne

ge

ri

Ha

sil:

Se

mu

a f

oru

m m

en

ga

kui

kep

em

ilika

n t

an

ah

ata

s n

am

a

Kla

n M

ela

yu, t

ap

i pu

tusa

n

ters

eb

ut

tid

ak

dila

ksa

na

kan

.

Tan

ah

ya

ng

dis

en

gke

taka

n

teta

p t

ida

k d

igu

na

kan

da

n

po

ten

si t

imb

uln

ya k

on

fl ik

te

tap

tin

gg

i.

33

Ba

tu S

an

gka

r,

Su

ma

tera

Ba

rat

20

00

Pe

nu

ntu

t: S

un

ard

i (o

ran

g

Jaw

a)

Re

spo

nd

en

: D

atu

k R

ajo

Inta

n

Pe

ng

ad

ilan

me

ng

ata

si m

asa

lah

keti

da

kse

imb

an

ga

n

keku

asa

an

ata

s S

un

ard

i

seb

ag

ai o

ran

g J

awa

Tah

un

20

00

, Su

na

rdi m

em

be

li la

ha

n w

ari

san

ke

lua

rga

da

ri

Da

tuk

Ra

jo In

tan

, nin

ik m

am

ak

sete

mp

at.

Tig

a b

ula

n s

ete

lah

jua

l be

li, S

un

ard

i mu

lai m

em

an

faa

tka

n la

ha

n, n

am

un

up

aya

nya

dit

en

tan

g m

asy

ara

kat

seki

tar.

An

cam

an

ke

kera

san

dit

eri

ma

Su

na

rdi j

ika

ia t

eta

p m

ela

nju

tka

n m

en

go

lah

lah

an

ters

eb

ut.

Mu

syaw

ara

h d

esa

dis

ele

ng

ga

raka

n n

am

un

tid

ak

me

mb

ua

hka

n h

asi

l. K

ed

ua

pih

ak

me

nye

wa

pe

ng

aca

ra d

an

me

mb

awa

ka

sus

ini k

e p

en

ga

dila

n.

Ha

kim

be

rha

sil m

em

ed

iasi

pe

rso

ala

n in

i. S

un

ard

i be

rse

dia

me

ng

em

ba

lika

n la

ha

n, s

ela

ma

ia m

en

da

pa

t g

an

ti r

ug

i

ata

s ke

rusa

kan

ta

na

ma

nn

ya d

an

ua

ng

pe

mb

elia

n t

an

ah

dik

em

ba

lika

n.

Info

rma

l: M

usy

awa

rah

da

n

Po

lisi

Fo

rma

l: P

en

ga

dila

n

Ha

sil

: M

asy

ara

kat

da

n R

ajo

Inta

n m

en

ge

mb

alik

an

ua

ng

pe

nju

ala

n t

an

ah

da

n m

em

bay

ar

ua

ng

ga

nti

ru

gi k

eru

saka

n

tan

am

an

ke

pa

da

Su

na

rdi.

34

Ba

tu G

ad

an

g,

Su

ma

tera

Ba

rat,

20

03

Pe

nu

ntu

t: P

en

yew

a

rum

ah

Re

spo

nd

en

: p

em

ilik

rum

ah

Pe

nye

wa

ru

ma

h s

ala

h m

em

bay

ar

tag

iha

n li

stri

k. P

en

yew

a

me

mb

aya

r ta

gih

an

list

rik

pe

mili

k ru

ma

h b

uka

n t

ag

iha

n li

stri

k

rum

ah

ya

ng

dis

ew

an

ya.

Se

ng

keta

te

rja

di k

eti

ka p

em

ilik

rum

ah

me

nya

da

ri b

ah

wa

tag

iha

n li

stri

k ru

ma

h y

an

g d

ise

wa

kan

tid

ak

pe

rna

h d

ibay

ar.

Ke

tua

RT

be

rusa

ha

me

nye

lesa

ika

n m

asa

lah

ini t

ap

i ga

ga

l.

Se

bu

ah

ke

lom

po

k p

ere

mp

ua

n m

en

de

ng

ar

kasu

s in

i da

n

me

naw

ark

an

ba

ntu

an

un

tuk

me

nye

lesa

ika

n m

asa

lah

ters

eb

ut.

Be

rsa

ma

de

ng

an

Ke

tua

RT,

me

reka

be

rha

sil

me

nye

lesa

ika

n m

asa

lah

lew

at

mu

syaw

ara

h.

Info

rma

l: K

etu

a R

T d

an

Ke

lom

po

k P

ere

mp

ua

n

Ha

sil:

Me

dia

si y

an

g b

erh

asi

l

da

n k

ep

ua

san

dik

ed

ua

pih

ak.

Page 97: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

81Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Lampiran

La

mp

ira

n 3

: S

tru

ktu

r si

ste

m h

uk

um

fo

rma

l In

do

ne

sia

Ke

ha

kim

an

Ke

jak

saa

nK

ep

oli

sia

n

Ad

dit

ion

al C

ou

rts

of

Sp

eci

al J

uri

sdic

tio

n

Su

pre

me

Co

urt

Ma

hka

ma

h A

gu

ng

Hig

h M

ilita

ry

Co

urt

Pe

ng

ad

ilan

Tin

gg

i

Mili

ter

Hig

h A

dm

inis

tra

tiv

e

Co

urt

Pe

ng

ad

ilan

Tin

gg

i

Ta

ta U

sah

a N

eg

ara

Hig

h R

eli

gio

us

Co

urt

Pe

ng

ad

ilan

Tin

gg

i

Ag

am

a

Hig

h C

ou

rt

Pe

ng

ad

ilan

Tin

gg

i

Dis

tric

t C

ou

rt

Pe

ng

ad

ilan

Ne

ge

ri

Re

ligio

us

Co

urt

Pe

ng

ad

ilan

Ag

am

a

Ad

min

istr

ati

ve

Co

urt

Pe

ng

ad

ilan

Ta

ta

Usa

ha

Ne

ga

ra

Mili

tary

Co

urt

Pe

ng

ad

ilan

Mili

ter

Co

nst

itu

tio

na

l Co

urt

Ma

hka

ma

h K

on

stit

usi

Ind

on

esi

an

Na

tio

na

l Po

lice

PO

LRI

Pro

vin

cia

l Po

lice

PO

LDA

Dis

tric

t /

Mu

nic

ipa

l Po

lice

PO

LRE

S

Vill

ag

e P

olic

e P

ost

PO

SP

OL

Su

b-D

istr

ict

Po

lice

PO

LSE

K

Page 98: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

82 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Lampiran

Daftar Bacaan dan Sumber Informasi

Peraturan Perundang-Undangan Tingkat Nasional

UUD 1945

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

UU No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman

UU No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa

UU No. 22 tahun1999 tentang Pemerintahan Daerah

UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga

UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

UU No. 11 tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights

(Kovenan Internsational tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya)

UU No. 12 tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan

Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik)

Peraturan Presiden No. 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Tahun 2004 -2009

Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 2005 tentang Desa

Peraturan Daerah (Perda) Tingkat Provinsi

Perda Sumatera Barat No. 9 tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari

Perda Kalimantan Tengah No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi

Sebagai Daerah Otonom

Perda Pemerintah Provinsi Maluku No. 14 tahun 2005 tentang Penetapan Kembali Negeri Sebagai Kesatuan

Masyarakat Hukum Adat Dalam Wilayah Pemerintahan Provinsi Maluku

Peraturan Daerah (Perda) Tingkat Kabupaten

Perda Pesisir Selatan No. 17 tahun 2001 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari

Perda Pesisir Selatan No. 18 tahun 2001 tentang Susunan Dewan Perwakilan Nagari

Perda Kotawaringin Timur No. 15 tahun 2001 tentang Kedamangan

Perda Kotawaringin Timur No. 2 tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Pendaftaran dan Pengendalian Penduduk

di Kabupaten Kotawaringin Timur

Perda Pulang Pisau No. 11 tahun 2003 tentang Pembentukan Kelembagaan dan Pemberdayaan Adat Dayak

Peraturan Desa

Kitab Awig-Awig Adat Desa Bentek 2000/2001 (Peraturan Desa Bentek 2000/2001)

Peraturan Nagari Minangkabau No. 1 tahun 2002 tentang Pembasmian Penyakit Sosial

Peraturan Nagari Minangkabau No. 2 tahun 2002 tentang Perintah Kebersihan dan Keindahan

Peraturan Nagari Minangkabau No. 3 tahun 2002 tentang Gotong Royong

Page 99: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

83Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Daftar Bacaan dan Sumber Informasi

Artikel, Buku dan Laporan

Abaya, A. (1999) “A Comparative Assessment of Community Justice Systems in the Philippines, Sri Lanka and

Bangladesh.” Nasakah yang belum dipublikasikan, disusun oleh Gerry Roxas Foundation, Manila.

Abel, RL (ed.) (1982) The Politics of Informal Justice. New York: Academic Press.

Anderson, M.R. (1999) ‘Access to Justice and Legal Process: Making Legal Institutions Responsive to Poor People in

LDCs.’ Naskah dibacakan pada World Development Report Meeting, 16-17 Agustus 1999.

Antlöv, H (2003) ‘Village Government and Rural Development in Indonesia: the New Democratic Framework.’

Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 39, no.2.

Arnaldo, AT, Zapa, DB, & Zuniga, MM (1980) ‘The Katarungang Pambarangay: an Appraisal of its Eff ectivity (sic)’

55 Philippines Law Journal 464.

Asia Foundation (2001), Citizens’ Perceptions of the Indonesian Justice Sector. Jakarta: Asia Foundation.

Asian Development Bank (2001a) Law and Policy Reform at the Asian Development Bank. Manila: Asian Development

Bank.

Asia-Pacifi c Organization for Mediation (APOM) (1988) Transcultural Mediation in the Asia-Pacifi c, Manila: Asia-

Pacifi c Organization for Mediation.

Australian Law Reform Commission (1998) Issues Paper 25: Review of the Adversarial System of Litigation, Canberra:

Commonwealth of Australia.

Baare, Anton (2004) ‘Policing and Local Level Confl ict Management in Resource Constrained Environments’ Mimeo,

Jakarta: World Bank.

Bappenas/World Bank (1997) Law Reform in Indonesia. Jakarta: Cyberconsult.

Bappenas/World Bank/AusAID/ADB/DFID (2007) Gender in CDD Projects: Implications for PNPM. Jakarta:

Bappenas.

Barron, P. & Sharpe, J. (2005) ‘Counting Confl icts: Using Newspaper Reports to Understand Violence in Indonesia’,

Confl ict Prevention and Reconstruction Paper No. 25. Washington DC: World Bank.

Barron, P. Diprose, R. & Woolcock, M, (2006) Local Confl ict and Community Development in Indonesia: Assessing

the Impact of the Kecamatan Development Program, Working Paper 10, Social Development, Jakarta: World

Bank.

Benda-Beckmann, K von (1981) ‘Forum Shopping and Shopping Forums: Dispute Processing in a Minangkabau

Village in West Sumatra’ 19 Journal of Legal Pluralism: 117-59

Page 100: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

84 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Daftar Bacaan dan Sumber Informasi

Benda-Beckmann, K von (1984) The Broken Stairways to Consensus: Village Justice and State Courts in Minangkabau.

Dordrecht: Foris Publications.

Benda-Beckmann, F (1990) ‘Ambonese Adat as Jurisprudence of Insurgency and Oppression’ 5 Law and

Anthropology 25.

Benda-Beckmann, F (2000) ‘Legal pluralism and social justice in economic and political development,’ naskah

dipresentasikan pada IDS International Workshop on Rule of Law and Development, 1-3 Juni 2000.

Benda-Beckmann, F & K von (2001) ‘Recreating the Nagari: Decentralization in West Sumatra,’ versi ter-update paper

yang dipresentasikan pada 3rd Conference of the European Association for Southeast Asian Studies, London, 6-8

September 2001.

Buscaglia, E. (2001) ‘Justice and the Poor. Formal vs. Informal Dispute Resolution Mechanisms: A Governance-Based

Approach,’ naskah dipresentasikan pada Empowerment, Opportunity and Security through Law and Justice

Conference, St. Petersburg, Juli 2001

Butt, S., David, N. and Laws, N. (2004) Looking Forward: Local Dispute Resolution Mechanisms in Timor Leste, Sydney:

Australian Legal Resources International.

Clark, S. (ed.) (2004) ‘More than just Ownership: Ten Land and Natural Resource Confl ict Case Studies from East Java

and Flores,’ Indonesia Social Development Paper No. 4, Jakarta: World Bank.

Connolly, B. (2005) ‘Non-State Justice Systems and the State: Proposals for a Recognition Typology.’ 38 Connecticut Law

Review 239.

Dinnen, S. (2001) ‘Building Bridges – Law and Justice Reform in Papua New Guinea’ State, Society & Governance in

Melanesia Project Working Paper 01/3; Canberra: Australian National University.

Evers, P. J. (2002) ‘The Indonesian Rural Judiciary’, Mimeo yang tidak dipublikasikan, Jakarta: World Bank.

Faundez, J. (2006) ‘Should Justice Reform Programs Take Non-State Justice Seriously? Perspectives from Latin America,’

naskah dipresentasikan pada World Bank Legal Development Forum, Washington DC, Desember 2005.

Galanter, M. (1974) ‘Why the ‘Haves’ Come Out Ahead: Speculations on the Limits of Legal Change’ 9 Law & Society

Review 95-160.

Galanter, M. & Krishnan, J. (2004) ‘Bread for the Poor: Access to Justice and the Right of the Needy in India,’

Hastings Law Journal 55(4) 789.

Gerry Roxas Foundation (2000a) Report on the Effi cacy of the Katarungang Pambarangay Justice System in the National

Capital Region. Manila: Gerry Roxas Foundation.

Gerry Roxas Foundation (2000b) The Panay and Guimaras Experience in Barangay Justice. Manila: Gerry Roxas

Page 101: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

85Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Daftar Bacaan dan Sumber Informasi

Foundation.

Glenn, H. Patrick (2001) Legal Traditions of the World; Oxford: Oxford University Press.

Golub, S. (2003) ‘Beyond Rule of Law Orthodoxy: the Legal Empowerment Alternative’. Working Paper No. 14,

Washington DC: Carnegie Endowment for International Peace.

Golub, S. (2003) ‘Non-state Justice Systems in Bangladesh and the Philippines,’ naskah dipersiapkan untuk Dfi D, Januari

2003.

Griffi th, J. (1986). ‘What is Legal Pluralism?’ 24 Journal of Legal Pluralism 1-50.

Gusmao, Jose Kay Rala Xanana ‘President’s Opening Speech’, naskah disampaikan pada International Conference

Traditional Confl ict Resolution and Traditional Justice di Dili, Timor Leste, 27 Juni 2003.

Haverfi eld, R. (1999) ‘Hak Ulayat and the State: Land Reform in Indonesia’, in Lindsey (ed) Indonesia: Law and Society,

Sydney: Federation Press.

Hohe, T. & Nixon, R. (2003) Reconciling Justice: “Traditional” Law and State Judiciary in East Timor, Kertas kerja dipersiapkan

untuk US Institute of Peace, Januari 2003.

Hooker, MB. (1978) Adat Law in Modern Indonesia. New York: Oxford University Press.

Ilun, Y. Nathan (2004) Introducing Adat Law. Naskah yang tidak dipublikasikan, 2004.

International Crisis Group (2001) Communal Violence in Indonesia: Lessons from Kalimantan. Jakarta/Brussels:

International Crisis Group.

International Crisis Group (2000) Indonesia’s Maluku Crisis: the Issues, Indonesia Briefi ng Paper 19 Juli 2000.

Jakarta Post, ‘Maluku, Kalimantan Strife “Lingering”’, 1 Mei 2006

Kane, M, Oloka-Onyango, J. & Tejan-Cole, A. (2005) ‘Reassessing Customary Law Systems as a Vehicle for Providing

Equitable Access to Justice for the Poor.’ Naskah dipresentasikan pada Arusha Conference, New Frontiers of Social

Policy, 12-15 Desember 2005.

Lindsey, T. (1998) ‘Square Pegs and Round Holes: Fitting Modern Title into Traditional Societies in Indonesia?’ 7 Pacifi c

Rim Law and Policy Journal 699.

Lindsey, T. (ed.) (1999) Indonesia: Law and Society, Sydney: Federation Press.

Lindsey, T. (2006) ‘Inheritance and Guardianship and Women: Islamic Laws in Aceh, a Year After the Tsunami,’

naskah dipersiapkan untuk the International Development Law Organization.

Mangahas, M. (1999) ‘Social Climate – A Bright Spot: Barangay Justice.’ 24 January 1999 at www.sws.org.ph/

Page 102: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

86 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Daftar Bacaan dan Sumber Informasi

jan00.htm.

Mahkamah Agung Republik Indonesia (2003) Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung RI. Jakarta: Mahkamah Agung

Republik Indonesia.

McCarthy, John F (2004) ‘Changing to Gray: Decentralization and the Emergence of Volatile Socio-legal Confi gurations

in Central Kalimantan, Indonesia.’ World Development. 32(7) p. 1199-1223, Juli 2004.

Menkel-Meadow, C. (1999) ‘Do the “Haves” Come Out Ahead in Alternative Judicial Systems?’ 15 Ohio State Journal on

Dispute Resolution 19.

Merry, S.E. (1982) ‘The Social Organization of Mediation in Non-industrial Societies: Implications for Informal

Community Justice in America’, dalam Abel, R.L. (ed), The Politics of Informal Justice, New York: Academic Press.

Merry, S.E. (1988) ‘Legal Pluralism’ 22(5) Law and Society Review 869.

Merry, S.E. (1993) ‘Sorting Out Popular Justice,’ pada Merry, S.E. & Milner, N. (eds) (1993) The Possibility of Popular Justice,

Ann Arbor, Michigan: University of Michigan Press.

Messick, R. (1999) ‘Judicial Reform and Economic Development: A Survey of the Issues’ World Bank Research Observer 14

(1): 117-136.

Messick, R & Beardsley, L (eds) (2002) Sourcebook on Access to Justice. Koleksi paper yang tidak dipublikasikan yang

dipersiapkan oleh World Bank Legal Institutions Thematic Group, World Bank Empowerment Retreat, 7-8 Mei

2002.

Michelson , E. (2007) ‘Climbing the Dispute Pagoda: Grievances and Appeals to the Offi cial Justice System in Rural

China.’ 72 American Sociological Review 459.

Moore, S.F. (1973) ‘Law & Social Change: The Semi-Autonomous Social Field as an Appropriate Subject of Study’ 7(4)

Law and Society Review 719.

Narayan, DC. (2000), Voices of the Poor: Can Anyone Hear Us? New York: Oxford University Press.

Nyamu-Musembi, C. (2003) ‘Review of Engaging with Non-State Justice Systems in East Africa’. Naskah dibuat

oleh DfID, Februari 2003.

Odinkalu, C. (2005) ‘Poor Justice or Justice for the Poor? A View from Africa.’ Naskah dipresentasikan pada World Bank

Legal Development Forum, Desember 2005.

Pompe, S. (2003), Court Corruption in Indonesia: An anatomy of institutional degradation and strategy for recovery. Naskah

yang tidak dipublikasikan dibuat oleh penulis.

Purba, R. (2004) ‘Peradilan dan Penyelesaian Sengketa Alternatif Kajian Pada Masyarakat Karo.’ Naskah dipaparkan di

Universitas Karo, 1 Juli 2004.

Page 103: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

87Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Daftar Bacaan dan Sumber Informasi

Rinaldi, T, Purnomo, M. & Damayanti, D. (2007) Combating Corruption in a Decentralized Indonesia, Jakarta: World

Bank.

Saputro, Widodo. S, Burhanuddin, Anwar, A. & Sholeh, B. (2007), Balai Mediasi Desa: Perluasan akses hukum dan

keadilan untuk rakyat, Jakarta: LP3ES dan NZAID.

Setwilda Tingkat I Kalimantan Tengah (1996) Lembaga Kedamangan dan Hukum Adat Dayak Ngaju di Provinsi

Kalimantan Tengah; Palangkaraya: Provincial Government of Central Kalimantan.

Silliman, G. Sidney (1985), ‘A Political Analysis of the Philippines Katarungang Pambarangay System of Informal

Justice Through Mediation’ 19 Law & Society Review 279.

Soerodibroto, S.H. (2001), Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

Jakarta: PT Raja Grafi ndo Persada.

Sosmena Jr., G.C. (1996) ‘Barangay Justice: a Delegalisation Mechanism.’ 20 Hiroshima Law Journal 384-404.

Stephens, M. (2003) ‘Local-level Dispute Resolution in Post-reformasi Indonesia: Lessons from the Philippines.’ 5(3)

Australian Journal of Asian Law 213.

Suryakusuma, J. (2004) Sex, Power and Nation, Jakarta: Metafor.

Szczepanski, K (2002) ‘Land Policy and Adat Law in Indonesia’s Forests.’ 11 Pacifi c Rim Law & Policy Journal 231.

Tadiar, A (1988) ‘Institutionalising Traditional Dispute Resolution: the Philippine Experience’ pada Asia-

Pacifi c Organization for Mediation (APOM), Transcultural Mediation in the Asia-Pacifi c, Manila: Asia-Pacifi c

Organization for Mediation.

Tamanaha, B.Z. (1993) “The Folly of Legal Pluralism” 20 Journal of Law and Society 192.

Tan, BK & Pulido, MG (1981), ‘Katarungang Pambarangay Law: its goals, processes and impact on the right

against self-incrimination’, 56 Philippine Law Journal 425.

UNDP, Bappenas, Syiah Kuala University, World Bank, IDLO & BRR (2006) Access to Justice in Aceh: Making the Transition to

Sustainable Peace and Development, Jakarta: UNDP.

UNDP (2007) Justice for All? An Assessment of Access to Justice in Five Provinces of Indonesia; Jakarta: UNDP.

World Bank (2004), Village Justice in Indonesia: Case Studies on Access to Justice, Village Democracy and

Governance, Jakarta: World Bank.

Zitelmann, T. (2005) ‘The Cambodian Confl ict Structure: Confl ict About Land in a Wider Perspective’, Phnom Penh: GTZ.

Page 104: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub

88 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

Daftar Bacaan dan Sumber Informasi

Page 105: Foto Cover : Taufi k Rinaldisiteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/... · Foto Cover : Taufi k Rinaldi Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub