for Research and Empowerment BRIEF - ireyogya.org Pendampingan Asimetris Januari... · proses...

4
POLICY BRIEF JANUARI 2017 1 Instute for Research and Empowerment (IRE) adalah sebuah lembaga independen, non parsan, dan non profit, yang berbasis pada komunitas akademik di Yogyakarta Pendahuluan Pendampingan Desa Asimetris Untuk Memperkuat Desa-Desa di Indonesia Model Pendampingan Asimetris Policy brief ini bertujuan untuk mendialogkan problem subtansial antar-regulasi. Mandat UU Desa, terutama pasal 112 ayat (4) terkait dengan pendampingan desa, telah ditafsirkan secara luas oleh PP 43/2014 tentang pelaksanaan UU Desa, Permendesa No. 3/2015 tentang Pendampingan Desa, serta Surat Dirjen Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (PPMD) No. 002/SD/Dep.I/III/2015, perihal pedoman pendampingan desa. Pasal 128-131 PP43/2014 menafsirkan pendampingan desa dengan menggunakan pendekatan multiaktor dan mulpihak. Sedangkan Permendesa No. 3/2015 mengatur pendampingan desa dengan muatan pendekatan sentralistik, menafikan potensi mulpihak dan mulaktor. Dengan merujuk pada hasil penelitian yang dilakukan oleh IRE selama bulan Maret-April 2016 di 7 Kabupaten di Indonesia, yakni Ambon, Buton Selatan, Lombok Timur-NTB, Kulonprogo DIY, Sambas-Kalbar, Musirawas- Sumsel dan Timor Tengah Selatan-NTT, memberikan banyak konfirmasi, bahwasannya Permendesa dan Surat Dirjen PPMD yang menjadi pendoman pelaksanaan rekrutmen pendamping desa yang mengutamakan pendekakatan sentralistik, daklah cukup memadahi di dalam menjawab problema dan tantangan yang dihadapi oleh masing-masing desa dan daerah di Indonesia. Melalui policy brief ini kami mengajukan alternaf kebijakan pendampingan desa asimetris yang lebih sesuai dengan kondisi keragamaan desa- desa di Indonesia. Keragamaan bisa dilihat dari sisi geografis antara pesisir dengan pedalaman, dari sisi kapasitas penyelenggaraan pemerintahan desa, dari sisi budaya dan identas sosial, dari sisi kerawanan konflik sosial lainnya, serta kondisi infrastruktur, sarana dan prasarana di desa. Secara harfiah, asimetris diarkan memiliki bagian atau aspek yang dak sama atau setara. Hal ini menunjukkan adanya potret desa yang beragam di Indonesia. Dengan demikian, pedampingan asimetris, yakni model pendampingan yang memperhakan konteks masalah, tantangan dan keragaman kapasitas penyelenggaraan pemerintahan desa di masing-masing daerah di Indonesia. Model pendampingan desa asimetris menjadi krik atas pengaturan pendampingan desa yang simetris, diseragamkan, tersentralisasi dan dak sensif pada dinamika dan keragaman aras lokal. Model pendampingan desa asimetris menghadirkan fakta obyekf tentang adanya kondisi kedaksamaan (existing condition) desa-desa di Indonesia, antara yang masuk dalam kategori ternggal dan yang sudah berkembang secara mandiri, pada saat dimulainya pelaksanaan UU Desa. Konteks inilah yang perlu direspon secara lebih jelas, dalam bentuk adanya pemetaan penilaian Instute for Research and Empowerment

Transcript of for Research and Empowerment BRIEF - ireyogya.org Pendampingan Asimetris Januari... · proses...

POLICY BRIEF JANUARI 2017

1

Institute for Research and Empowerment (IRE) adalah sebuah lembaga independen, non partisan, dan non profit, yang berbasis pada komunitas akademik di Yogyakarta

Pendahuluan

Pendampingan Desa Asimetris Untuk Memperkuat Desa-Desa di Indonesia

Model Pendampingan Asimetris

Policy brief ini bertujuan untuk mendialogkan problem subtansial antar-regulasi. Mandat UU Desa, terutama pasal 112 ayat (4) terkait dengan pendampingan desa, telah ditafsirkan secara luas oleh PP 43/2014 tentang pelaksanaan UU Desa, Permendesa No. 3/2015 tentang Pendampingan Desa, serta Surat Dirjen Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (PPMD) No. 002/SD/Dep.I/III/2015, perihal pedoman pendampingan desa. Pasal 128-131 PP43/2014 menafsirkan pendampingan desa dengan menggunakan pendekatan multiaktor dan multipihak. Sedangkan Permendesa No. 3/2015 mengatur pendampingan desa dengan muatan pendekatan sentralistik, menafikan potensi multipihak dan multiaktor.

Dengan merujuk pada hasil penelitian yang dilakukan oleh IRE selama bulan Maret-April 2016 di 7 Kabupaten di Indonesia, yakni Ambon, Buton Selatan, Lombok Timur-NTB, Kulonprogo DIY, Sambas-Kalbar, Musirawas- Sumsel dan Timor Tengah Selatan-NTT, memberikan banyak konfirmasi, bahwasannya Permendesa dan Surat Dirjen PPMD yang menjadi pendoman pelaksanaan rekrutmen pendamping desa yang mengutamakan pendekakatan sentralistik, tidaklah cukup memadahi di dalam menjawab problema dan tantangan yang dihadapi oleh masing-masing desa dan daerah di Indonesia.

Melalui policy brief ini kami mengajukan alternatif kebijakan pendampingan desa asimetris yang lebih sesuai dengan kondisi keragamaan desa-desa di Indonesia. Keragamaan bisa dilihat dari sisi geografis antara pesisir dengan pedalaman, dari sisi kapasitas penyelenggaraan pemerintahan desa, dari sisi budaya dan identitas sosial, dari sisi kerawanan konflik sosial lainnya, serta kondisi infrastruktur, sarana dan prasarana di desa.

Secara harfiah, asimetris diartikan memiliki bagian atau aspek yang tidak sama atau setara. Hal ini menunjukkan adanya potret desa yang beragam di Indonesia. Dengan demikian, pedampingan asimetris, yakni model pendampingan yang memperhatikan konteks masalah, tantangan dan keragaman kapasitas penyelenggaraan pemerintahan desa di masing-masing daerah di Indonesia. Model pendampingan desa asimetris menjadi kritik atas pengaturan pendampingan desa yang simetris, diseragamkan, tersentralisasi dan tidak sensitif pada dinamika dan keragaman aras lokal.

Model pendampingan desa asimetris menghadirkan fakta obyektif tentang adanya kondisi ketidaksamaan (existing condition) desa-desa di Indonesia, antara yang masuk dalam kategori tertinggal dan yang sudah berkembang secara mandiri, pada saat dimulainya pelaksanaan UU Desa. Konteks inilah yang perlu direspon secara lebih jelas, dalam bentuk adanya pemetaan penilaian

Institute for Research and Empowerment

IRE POLICY BRIEF/JANUARI 2017

2

POLI

CY

BR

IEF

(assessment mapping) potret kapasitas desa di masing-masing daerah di Indonesia.

Adanya pemetaan penilaian (assessment mapping) atas kondisi desa-desa di Indonesia inilah yang seharusnya menjadi dasar melakukan kebijakan rekrutmen pendamping desa. Dengan memperhatikan kondisi, problema dan tantangan desa, profil pendamping desa seperti apakah yang relevan tentunya. Data yang dilansir oleh Kementrian Desa, PDT dan Transmigrasi bahawa terdapat sebanyak 52,79% desa di Indonesia masuk dalam kategori desa tertinggal. Sebanyak 39.091 dari 74.093 jumlah desa di Indonesia berada dalam kondisi memprihatinkan. Data ini tentu saja membantu di dalam pemetaan penilaian desa. Meski perlu lebih detail lagi, khususnya pemetaan penilaian dilihat dari indikator kondisi pelayanan dasar, infrastruktur dasar, transportasi, pelayanan publik, penyelenggaraan pemerintahan dan potensi konflik identitas lainnya.

Untuk melakukan pemetaan penilaian atas kondisi desa ini tentu Kementrian Desa harus melibatkan kerjasama dengan pemerintah daerah dan juga organisasi masyarakat sipil (OMS) di daerah yang selama ini memiliki pengalaman yang panjang dalam program pemberdayaan masyarakat desa. Pemerintah daerah selama ini lebih dekat dan intens dalam mendampingi proses penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa, tentu lebih memahami problema desa, karakter budaya masyarakat, kondisi dan kapasitas desa dan tantangan lainnya yang menyertai desa. Mengabaikan peran pemerintah daerah akan membuat Kemendesa kehilangan pengaruh dan kontrolnya atas pendamping desa yang direkrutnya sendiri. Mengapa demikian? Karena jarak antara Jakarta dengan pelosok desa di Indonesia sangatlah jauh, keterlibatan peran pemerintah daerah dapat memperpendek jarak kendali Kemendesa atas kesungguhan peran pendamping desa di dalam bekerja di desa.

Begitu juga dengan peran OMS atau LSM yang sudah banyak melahirkan kader-kader desa dari program yang selama ini telah dijalankan, sebagaimana riset IRE pada sejumlah OMS di daerah berikut ini: Yayasan Arina Mahina (YAM), salah satu LSM di Kota Ambon yang berdiri

pada tahun 1999 untuk merespon konflik sosial di Ambon agar segera teratasi saat itu. YAM memiliki pengalaman panjang dalam mendorong adanya kohesi sosial warga melalui program pemberdayaan kaum perempuan dan anak dari KDRT, kemiskinan dan kekerasan akibat konflik sosial lainnya. Starategi pengorganisasian yang dilakukan dengan cara membentuk kelompok konstituen di tingkat desa atau negeri, dengan jumlah keanggotaan sampai 75 orang. Kini YAM sudah memiliki jumlah konstituen di 25 negeri. Para perempuan yang tergabung di dalam konstituen ini saling belajar mengembangkan kapasitas, keterampilan peningkatan ekonomi rumah tangga dan terlibat dalam kegiatan pemerintahan tanpa memandang lagi perbedaan agama sebagai sekat yang memisahkan mereka sebelumnya.

Di Buton Selatan, ada LSM Sintesa dan PEKKA. Sintesa mengembangkan program penguatan ekonomi warga dan tata kelola pemerintahan yang baik. Strategi pendekatan yang dilakukan yakni mengorganisir warga berdaya melalui keorganisasian, membentuk koperasi dan terlibat aktif dalam kebijakan pemerintahan desa. Sintesa menkonsolidasi kolaborasi antara pemerintahan desa dan organisasi warga untuk mengembangkan kesejahteraan berbasis aset ekonomi di desa.

Sedangkan Perkumpulan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) melakukan advokasi penguatan terhadap para perempuan janda yang semula karena akibat konflik sosial, kini meluas pada setiap perempuan janda. Kegiatannya juga berkolaborasi dengan pemerintahan desa. PEKKA memiliki jaringan di 20 Provinsi. Di Sulawesi Tenggara memiliki anggota di 20 kecamatan, 68 desa, 78 kelompok dan 1.571 anggota. Di Kabupaten Kulonprogo-DIY, beragam LSM tumbuh, bahkan sejak tahun 80-an, seperti Bina Swadaya, CD Bethesda, dan generasi pasca reformasi seperti LKiS, Sigap, Combine, IRE, IDEA, Rumah Zakat, belum lagi program KKN Perguruan Tinggi, program CSR dll yang kontribusinya sangat besar dalam mengembangkan daya tahan (resiliences) dalam mengembangkan sumber daya warga terkait dengan kesejahteraan melalui aset sumber penghidupan di desa. Para LSM

IRE POLICY BRIEF/JANUARI 2017

3

POLI

CY

BR

IEF ini juga bekerja dalam peningkatan kapasitas

penyelenggaraan pemerintahan desa agar semakin mampu melayani warga. Para LSM ini, juga sudah melahirkan banyak kader-kader yang berkiprah di desa.

Di Lombok Timur, terdapat LSM Yayasan Masyarakat Peduli (YMP) yang mengembangkan program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM). Kini sebanyak 47 desa dampingan berkembang baik dan para kader yang berasal dari dalam desa sendiri bermunculan. Desa dampingan kini memiliki kapasitas di dalam mendorong hidup sehat untuk mencegah penyakit diare dan meningkatkanya kematian anak melalui pendekatan multistakeholders. Juga ada Lombok Research Centre (LRC), lembaga think tank lokal yang memadukan antara kegiatan riset dan pemberdayaan masyarakat di bidang pertanian organik. LRC telah menghasilkan temuan pembuatan pupuk organik cair untuk tanaman pangan dan holtikultura berbahan alami, menggunakan batuan silikat. Pupuk ini terbukti lebih efisien dan hemat dibandingkan dengan cara pemupukan dengan cara ditebar. LRC mengerakkan para anak muda untuk mencintai dunia pertanian, seperti kegiatan menanam jeruk dan jahe di area seluas 1 hektar di desa Kutaraja Lombok Timur.

Di Kabupaten Sambas-Kalbar, terdapat LSM Gemawan yang memiliki program Gerbang Desa (Gerakan Membangun Desa-Demokratis dan Mandiri) di 40 desa yang ada di Kalbar. Strategi yang dilakukan, yakni dengan mendorong penyelenggaraan musyawarah desa (Musdes) secara demokratis, mengakomodir representasi

berbagai elemen sosial di dalam masyarakat, khususnya kaum perempuan dalm perumusan RPJMDes secara partisipatif. Gemawan juga membentuk simpan pinjam komunitas berbasis perempuan di desa, agar ekonomi rumah tangga tidak terjembab pada praktek ekonomi rentenir yang dapat mengakibatkan kemiskinan institusi rumah tangga di desa.

Di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS)-NTT, ada LSM Sanggar Suara Perempuan (SSP) yang memiliki concern pada pemberdayaan kaum perempuan. Meningkatkanya angka kekerasan terhadap perempuan membuat LSM hadir untuk mengadvokasi. Strategi yang ditempuh dengan cara mendorong para perempuan membentuk community based organization (CBO) yang diberi nama Jaringan Peduli Masalah Perempuan (JPMP), di dalam JPMP di dalamnya ada 3 jenis peran, yakni ada Community Organizer, fasilitator dan konselor yang masing-masing memiliki peran yang saling teritegrasi satu sama lain. Kini JPMP berkembang di 21 desa yang terdapat 7 kecamatan yang ada di Kabupaten TTS. Melalui pendampingan SSP, perempuan makin berdaya dan memiliki daya tawar serta memiliki kegiatan ekonomi rumah tangga.

Dengan memperhatikan kapasitas dan pengalaman pemerintah daerah dan OMS di atas, maka sudah semestinya kebijakan asimetris lebih diutamakan dalam proses rekrutmen pendamping desa. Pemeritah pusat dalam melakukan pengaturan dalam pendampingan desa, namun pembagian peran untuk saling bersinergi sangatlah penting untuk dilakukan, baik itu antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan berbagai elemen OMS lainnya.

Penerapan model pendampingan desa asimetris ini membuat hubungan pemerintah pusat, provinsi, kabupaten dan desa akan terlibat lebih konsolidatif karena ada pembagian peran yang lebih terstuktur dan sistematis sehingga tidak meletakkan satu pihak menjadi obyek bagi pihak yang lain. Pemerintah pusat melalui Kemendesa-TPDT dapat menyiapkan berbagai regulasi tenaga pendamping desa bersama dengan pemerinta provinsi, dan sekaligus memainkan fungsi pengawasan, sedangkan

IRE POLICY BRIEF/JANUARI 2017

4

JL. Palagan Tentara Pelajar Km. 9,5 Dsn. Tegalrejo RT 01 /RW 09 Desa. Sariharjo, Kec. Ngaglik, Kab. Sleman, Yogyakarta 55581

Telp : 0274-867686 Email : [email protected] Website: www.ireyogya.org

Policy Brief ini dipublikasikan olehInstitute for Research and Empowerment

(IRE) Yogyakarta

Rekomendasi Kebijakan

kabupaten menjalankan kewenangan proses rekrutmen tenaga pendamping desa, dan rumusan tentang assessment mapping desa. Desa ikut terlibat memberikan input penting lainnya tentang kebutuhan dan tantangan yang dihadapi, sambil juga membuka diri membuat kebijakan alternatif menghadirkan munculnya kader-kader dari dalam desa sendiri, dengan tetap bersandarkan pada kompetensi dan komitmen dalam membangun desa.

pemerintah pusat dan dapat menjadi intermediary antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah (kabupaten).

Pemerintah Provinsi dan Kabupaten dengan supervisi Pemerintah Pusat (Kemendesa) memperoleh kewenangan dalam melakukan rekrutmen pendamping desa professional agar sesuai dengan konteks dan tantangan desa di daerah. Agar target pencapaian perbaikan desa sesuai dengan kompetensi dan indikator kinerja pendamping desa, maka pemerintah kabupaten berkewajiban untuk melakukan assessment mapping atas kondisi desa di daerah yang disampaikan kepada pemerintah pusat dan provinsi. Melalui assessment mapping ini akan terpotret keragamaan problema dan tantangan di setiap desa yang membuat peran dan fungsi pendamping desa dapat bekerja dengan indikator kinerja yang jelas. Pemerintah Kabupaten juga memperoleh kewenangan untuk mensinergikan pendamping desa profesional dengan para pendamping desa lainnya dari gerakan LSM yang juga bekerja di desa, serta dapat pula melakukan pengawasan atas capaian kinerja yang telah dilakukan para pendamping desa profesional.

Ketiga, perlunya Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten untuk memberikan akses dan ruang kepada para OMS, Perguruan Tinggi dan program CSR lainnya melalui koordinasi dalam kerangka kerja bersama antara pendamping desa profesional dengan para pendamping desa lainnya yang tumbuh dari OMS atau para kader desa. Kebersamaan multipihak dan multiaktor dalam proses fasilitasi akan membuat desa lebih semarak dalam mengejar proses kemajuan yang selama ini menjadi impian bersama.

Penulis Abdur RozakiPeneliti IRE Yogyakarta,

email: [email protected]

CY

BR

IEF

Pertama, perlu ada perubahan kebijakan atas Permendesa No 3/2015 tentang pendamping desa dan Surat Dirjen Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa, Nomer 022/SD/Dep. I/III/2015 perihal pedoman pendampingan desa. Dibutuhkan kebijakan asimetris dalam proses pendampingan desa agar lebih sesuai dengan filosofi desa membangun. Pendekatan asimetris akan lebih menciptakan jejaring dan sinergisitas yang beragam dalam membangun dan memberdayakan desa, baik itu para kader desa sendiri yang telah tumbuh menjadi bagian dari civil society di desa. Para kader desa yang berasal dari dalam dan luar desa akan saling berbagi peran dalam kebersamaan yang inklusif untuk memajukan desa. Selain itu, mandat UU Desa dalam konteks pendampingan desa, Pemerintah Pusat sebaiknya kembali ke peran pembinaan dan pengawasan sesuai pasal 113, sedangkan Pemerintah Provinsi kembali ke pasal 114, dan Pemerintah Kabupaten/Kota pada pasal 115 UU No.6/2014.

Kedua, perlu adanya kemitraan strategis antara Kementrian dengan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten melalui pembagian peran yang saling mengisi satu sama lain. Pemerintah pusat lebih menitikberatkan pada regulasi terkait dengan rumusan pofil dan skema kerja pendamping desa profesional, melakukan supervisi dan pengawasan di dalam proses pencapaian target dari pendampingan desa. Begitu juga dengan Pemerintah Provinsi dapat mensupport peran