Fisiologi Pendengaran

download Fisiologi Pendengaran

of 24

description

Fisiologi Pendengaran

Transcript of Fisiologi Pendengaran

BAB II

PAGE 20

C. Fisiologi Pendengaran (Guyton & Hall, 1996)Gelombang bunyi dari sumber bunyi ditangkap oleh aurikula dan diteruskan melalui canalis akustikus eksternus dan mengalami proses resonansi karena adanya bangunan berbentuk tabung dengan hubungan kepada udara luar secara langsung. Gelombang suara yang telah mengalami proses resonansi ini akan menggetarkan membarana timpani.

Membarana Timpani (ear drum) dan tulang-tulang pendengaran pada telinga bagian tengah akan meneruskan gelombang suara menuju cochlea atau telinga dalam. Membrana timpani berbentuk conus (corong) secara tiga dimensi dengan bagian tengah yang meruncing adalah perlekatan membarn timpani dengan malleus. Sementara itu malleus juga berartikulasi dengan tulang-tulang pendengaran yang lain yaitu incus dan stapes. Setelah tahap resonansi gelombang pada telinga bagian luar maka gelombang tersebut menghasilkan getaran membran timpani yang juga akan mengakibatkan daya ungkit tulang-tulang pendengaran yang pada akhirnya akan menggerakan cairan pada cochlea melalui foramen ovale dengan gerakan menyerupai piston oleh basis stapes. Pada tahapan ini terjadi mekanisasi tulang pendengaran yang mengakibatkan amplifikasi suara oleh karena adanya daya ungkit tulang pendengaran (ossiculla auditiva) yang berhubungan oleh penggetaran membarana timpani yaitu sebesar 1,3 kali lebih kuat. Sementara itu perbandingan luas penampang membrane timpani sebagai penerima gelombang dan luas penampang foramen ovale juga memberikan penguatan kekuatan gelombang yang tinggi. Luas penampang membrane timpani adalah 55 mm2 sedangankan luas penampang foramen ovale pada cochlea adalah 3,2 mm2, keadaan tersebut secara fisika memberikan penguatan sebesar 17 kali. Sehingga pada telinga tengah secara umum didapatkan penguatan gelombang secara total sebanyak 22 kali lebih kuat. Hal ini terjadi karena cairan pada cochlea memiliki daya inert lebih besar daripada udara, sehingga untuk menggerakkan cairan dibutuhkan daya yang lebih kuat. Proses kerjasama antara membran timpani dan tulang pendengaran dalam menghasilkan amplifikasi getaran juga disebut sebagai Impedance Matching atau penyesuaian impendansi sehingga tekanan yang dihasilkan oleh stapes ke cochlea dapat memberikan tekanan yang adekuat terhadap cairan dalam cochlea. Hasil amplifikasi sebesar 22 kali setara dengan peningkatan sekitar 15 dB hingga 20 dB. Dalam sebuah percobaan simulasi jika gelombang suara memasuki telinga tengah tanpa adanya membarana timpani dan tulang pendengaran, sehingga hanya akan melewati udara saja maka terjadi penurunan tingkat persepsi suara sebesar 15 dB hingga 20 dB.Tulang-tulang pendengaran juga memiliki sebuah system proteksi jika sumber bunyi terlalu keras yang disebut dengan attenuation reflex. Mekanisme tersebut dihasilkan oleh adanya kerja oleh muscullus tensor timpani dan muscullus stapedius. Pada saat terjadi kontraksi m. tensor timpani maka akan terjadi penarikan malleus secara bersamaan m. stapedius akan menarik stapes kea rah luar terhadap foramen ovale. Kerja berlawanan arah kedua otot ini akan mengakibatkan rigiditas yang tinggi pada system tulang pendengaran, sehingga akan mengurangi konduksi tulang pendengaran. Reflek tersebut secara garis besar akan memberikan mekanisme :1. Melindungi cochlea dari kerusakan akaibat vibrasi atau gerakan terlalu kuat stapes pada saat sumber suara terlalu keras.

2. Untuk melakukan masking pada suara dengan frekuensi rendah pada lingkungan yang gaduh, sehingga sesorang dapat memfokuskan pada suara rendah pada lingkungan yang riuh.

Fungsi lain dari m. tensor timpani dan m. stapedius adalah untuk mengurangi kemampuan pendengaran sesorang terhadap suara yang dihasilkan oleh pembicaraanya sendiri.

Setelah proses resonansi dan amplifikasi pada telinga bagian luar dan telinga bagian tengah, maka pada cochlea atau telinga bagian dalam akan terjadi perubahan getaran suara menjadi proses gerakan mekanik melalui gerakan piston oleh stapes dan pergerakan cairan cochlea.Cochlea merupakan system yang berbentuk tabung bergelung. Pada saat ada sumber suara dan terjadi proses pergerakan stapes pada foramen ovale maka akan terjadi pergerakan cairan di dalam cochlea. Foramen ovale merupakan awal dati tabung cochlea dengan bagian akhir tabung adalah foramen rotundum atau round window. Pada foramen rotundum terdapat bangunan ligament yang dapat menggembung dan fleksibel sehingga dapat mengikuti perubahan tekanan akibat pergerakan cairan tanpa mengakibatkan keluarnya cairan dalam cochlea.Gerakan piston stapes akan mengakibatkan pergerakan cairan dan bulging (penggembungan) pada foramen rotundum. Sedangkan cochlea sendiri terdiri dari skala vesitibuli, skala media, dan skala timpani. Pada skala vestibuli dan skala timpani diisi oleh cairan perilimphe sedangkan skala media berisi cairan endolimphe. Skala vestibuli dan skala media dipisahkan oleh membran Reissner yang tipis dan mudah bergetar. Di dalam skala media terdapat organ corti yang akan merubah sistem mekanik menjadi impuls yang selanjutnya diteruskan oleh saraf pendengaran menuju pusat pendengaran. Pada saat gerakan cairan pada skala vestibuli terjadi dikarenakan adanya gelombang suara, maka akan terjadi gerakan pada membrane basilar, hal ini menyebabkan pergerakan relatif pada cairan endolimphe di skala media, pergerakan relative tersebut menggetarkan membrane tektorium pada organon corti. Sementara pada organon corti terdapat sel-sel rambut (stereocillia) yang akan mengalami defleksi dikaibatkan oleh adanya getaran membrane tektorium. Hal ini mengakibatkan adanya depolarisasi dan hiperpolarisasi pada arah defleksi yang berlawanan.

Perubahan polarisasi oleh stereocillia akan mengeksitasi serabut saraf yang berhubungan dengan stereocillia tersebut. Eksitasi pada serabut saraf tersebut diteruskan impulsnya melalui ganglion spiral untuk dibawa menuju medulla. Selanjutnya oleh system saraf otak, impuls tersebut diteruskan menuju nucleus olivarius superior dan bersinaps dengan serabut saraf yang menghubungkan impuls kepada leminiscus lateralis. Selanjutnya impuls tersebut disampaikan kepada cortex auditorik di area 41 dan 42 oleh serabut geniculokortikal, sehingga terjadilah persepsi suara.Tidak semua frekuensi suara dapat didengar oleh manusia, hanya suara dengan frekuensi antara 20 Hz hingga 20 KHz yang dapat didengar. D. Etiologi

Penyebab tinnitus sebenarnya masih belum dapat dipastikan. Tinnitus dapat disebabkan oleh adanya penurunan kemampuan pendengaran, antara lain: presbiacusis, penurunan pendengaran yang diakibatkan oleh suara (noise induced hearing loss), Menieres syndrome, atau neuroma akustik (Wadddell, 2004).Pendekatan untuk mempelajari etiologi tinnitus dapat dilakukan dengan membedakan tinnitus menjadi 2 kelompok besar yaitu tinnitus obyektif dan tinnitus subyektif. Tinnitus obyektif adalah jika suara yang didengar oleh penderita dapat didengar pula oleh pemeriksa, sedangkan pada tinnitus subyektif suara hanya terdengar oleh penderita saja (Lockwood et.al., 2002).

Subyektif tinnitus juga dapat disebabkan oleh beberapa keadaan sebagaimana yang tertera pada tabel 1. Tinnitus subyektif bias disebabkan oleh karena berasal dari gangguan telinga (otologic), karena efek dari medikasi ataupun obat-obatan (Ototoxic), gangguan neurologist, gangguan metabolisme, ataupun dikarenakan oleh depresi psikogenik. Sedangkan tinnitus obyektif dapat disebabkan oleh karena adanya gangguan vaskularisasi, gangguan neurologist ataupun gangguan pada tuba auditiva atau Eustachian tube (Crummer & Hassan, 2004). Tabel 1.

Etiologi Tinnitus subyektif dan Tinnitus obyektif

Dikutip dari Crummer & Hassan (2004)

Secara lebih rinci tinnitus subyektif dapat pula disebabkan oleh adanya presbiacusis ataupun karena adanya pengaruh suara yang terlalu keras sebagaimana yang tertera pada tabel 2. Pada tabel dijabarkan mengenai kemungkinan etiologi yang umum terdapat pada penderita dengan tinnitus subyektif. Etiologi tinnitus subyektif antara lain adalah : presbiakusis, paparan suara bising yang lama, trauma akustik yaitu terpapar suara dengan intensitas tinggi sewaktu, otosklerosis yaitu terjadinya proses pengapuran pada tulang pendengaran di telinga tengah ataupun pengapuran pada cochlea, infeksi, autoimun, ataupun predisposisi genetic, dan juga trauma pada kepala ataupun leher (Folmer et.al., 2004).Tabel 2Penyebab Tinnitus Subyektif

Dikutip dari Folmer et. al., 2004

Tinnitus subyektif dapat disebabkoan oleh karena efek medikasi atau obat-obatan sebagaimana tertera pada Tabel 1, untuk lebih jelasnya daftar obat-obatan yang dapat menyebabkan keluhan tinnitus ada pada tabel 3 (Crummer & Hassan, 2004).

Tabel 3

Daftar obat-obatan yang dapat menimbulkan tinnitus

Dikutip dari Scrummer & Hassan (2004).

Sedangkan tinnitus obyektif merupakan tinnitus yang sangat jarang ditemui (Crummer & Hassan, 2004). Berdasar klasifikasi etiologi tinnitus obyektif oleh Lockwood et. al., (2002), maka tinnitus obyektif dibagi menjadi dua (2) sub bagian yaitu pulsatil dan non pulsatil sesuai dengan Tabel 4.TABLE 4. Tinnitus Obyektif

Pulsatile Tinnitus

Neoplasma pada umumnya pada vaskular

Glomus tumors atau paragangliomas (chemodectoma,

paragangliomas)

Glomus tympanicum, glomus jugulare, glomus

jugulotympanicum

Hemangioma

Hemangioma N VII, cavernous hemangioma

Neoplasma Vaskular lainyaMeningioma, adenoma

Lesi VaskularLesi arteri akibat perlukaanAtherosclerotic plaque (carotid atau intracranial)

Vaskular malformations (intracranial, dural; dapat berupasekuel dari trauma)

AneurysmaCarotid artery dissection (spontan atau traumatik)

Kelainan Kongenital arteri

Aberrant internal carotid arteriPersistent stapedial artery

Abnormalitas VenaAbnormalitas bulbus Jugularis (posisi tinggi,

diverticulum, dehiscence, pembesaran)

Kelainan vaskular lainnyaFibromuscular dysplasia pada carotid artery

Kompresi Vaskular pada kokhlea atau Nervus auditorikPada root entry zone

Kasus LainyaPenyakit Katup Jantung (aortic stenosis, insufficiency)

Hipertensi intracranial Benigna ataupseudotumor cerebri

Hyperdynamic state (eg, anemia, thyrotoxicosis)

Otosclerosis dengan anastomosiss antara tulang haversiDengan lapisan endochondral layer

Nonpulsatile Tinnitus

Palatal myoclonus

Spasm, fasciculations, or fibrillations dari m. tensor

tympani atau m. stapedius

emisi otoakustik spontanPatulous eustachian tube

Tinnitus obyektif type pulsatil merupakan tinnitus obyektif yang sering ditemukan. Tinnitus pulsatil pada umunya diakibatkan oleh adanya turbulensi aliran darah arteri (percabangan arteri carotis interna) ataupun adanya aliran darah yang sangat cepat pada pembuluh darah lain di sekitar organ pendengaran. Kelainan aliran darah tersebut akan menyebabkan hantaran gelombang melalui tulang ataupun didnding pembuluh darah yang terhubung kepada cochlea, dan menghasilkan interpretasi suara. Sedangkan tinnitus obyektif tipe non-pulsatil merupakan tinnitus obyektif yang paling jarang ditemukan. Major cause dari tinnitus non-pulsatil adalah adanya palatal myoclonus yang diakibatkan adanya kontraksi ritmik pada palatum mole atau soft palatal (Lockwood et. al., 2002). E. Patofisiologi

E.1. Tinnitus SubyektifPenyakit atau gangguan pada telinga merupakan sebab yang paling banyak sebagai etiologi tinnitus subyektif, yang kemudian disebut sebagai otologic disorder atau gangguan otologik. Sebagian besar tinnitus sebyektif disebabkan oleh hilangnya kemampuan pendengaran (hearing loss), baik sensorineural ataupun konduktif. Gangguan pendengaran yang paling sering menyebabkan tinnitus subyektif adalah NIHL (noise induced hearing loss) karena adanya sumber suara eksternal yang terlalu kuat impedansinya (Crummer & Hassan, 2004).Sumber suara yang terlalu keras dapat menyebabkan tinnitus subyektif dikarenakan oleh impedansi yang terlalu kuat. Suara dengan impedansi diatas 85 dB akan membuat stereosilia pada organon corti terdefleksi secara lebih kuat atau sudutnya menjadi lebih tajam, hal ini akan direspon oleh pusat pendengaran dengan suara berdenging, jika sumber suara tersebut berhenti maka stereosilia akan mengalami pemulihan ke posisi semula dalam beberapa menit atau beberapa jam. Namun jika impedansi terlalu tinggi atau suara yang didengar berulang-ulang (continous exposure) maka akan mengakibatkan kerusakan sel rambut dan stereosilia, yang kemudian akan mengakibatkan ketulian (hearing loss) ataupun tinnitus kronis dikarenakan oleh adanya hiperpolaritas dan hiperaktivitas sel rambut yang berakibat adanya impuls terus-menerus kepa ganglion saraf pendengaran (Folmer et. al., 2004).Menieres syndrome dengan adanya keadaan hidrops pada labirintus membranaseous dikaranakan cairan endolimphe yang berlebih, tinnitus yang terjadi pada penyakit ini ditandai dengan adanya episode tinnitus berdenging dan tinnitus suara bergemuruh (Crummer & Hassan, 2004).Neoplasma berupa acoustic neuroma juga dapat menyebabkan terjadinya tinnitus subyektif. Neoplasma ini berasal dari sel schwann yang tumbuh dan menyelimuti percabangan NC VIII (Nervus Oktavus) yaitu n. vestibularis sehingga terjadi kerusakan sel-sel saraf bahkan demyelinasi pada saraf tersebut Crummer & Hassan, 2004).Tinnitus yang diakibatkan oleh obat-obatan digolongkan dalam tinnitus ototoksik. Ototoksisitas yang terjadi akibat dari penggunaan obat-obatan tertentu sebagaimana telah dibahas sebelumnya akan mempengaruhi sel-sel rambut pada organon corti, NC VIII, ataupun saraf-saraf penghubung antara cochlea dengan system nervosa central (Crummer & Hassan, 2004).Gangguan neurologis ataupun trauma leher dan kepala juga dapat menyebabkan adanya tinnitus subyektif, namun demikian patofisiologi ataupun mekanisme terjadinya tinnitus karena hal ini belum jelas (Crummer & Hassan, 2004). Penelitian-penelitian yang dilakukan didapatkan karakteristik penderita tinnitus obyektif yang memiliki gangguan metabolisme antara lain menderita hypothyroidism, hyperthyroidism, anemia, avitaminosa B12, atau defisiensi Zinc (Zn). Disamping itu penderita tinnitus rata-rata menunjukkan perubahan sikap dan gangguan psikologis walaupun sebetulnya depresi merupakan salah satu etiologi dari tinnitus subyektif (psikogenik). Gangguan tidur, deperesi, dan gangguan konsentrasi lebih banyak ditemukan pada penderita tinnitus subyektif dibandingkan dengan yang tidak mengalami gangguan psikologis (Crummer & Hassan, 2004).E.2. Tinnitus ObyektifTinnitus obyektif banyak disebabkan oleh adanya abonormalitas vascular yang mengenai fistula arteriovenosa congenital, shunt arteriovenosa, glomus jugularis, aliran darah yang terlalu cepat pada arteri carotis (high-riding carotid) stapedial artery persisten, kompresi saraf-saraf pendengaran oleh arteri, ataupun dikarenakan oleh adanya kelainan mekanis seperti adanya palatal myoclonus, gangguan temporo mandibular joint, kekauan muscullus stapedius pada telinga tengah (Folmer et. al., 2004).Kelainan pada tuba auditiva (patulous Eustachian tube) akan menyebabkan terdengarnya suara bergemuruh terutama pada saat bernafas karena kelainan muara tuba pada nasofaring. Biasanya penderita tinnitus dengan keadaan ini akan menderita penurunan berat badan, dan mendengar suaranya sendiri saat berbicara atau autophony. Tinnitus dapat hilang jika dilakukan valsava maneuver atau saat penderita tidur terlentang dengan kepala dalam keadaan bebas atau tergantung melebihi tempat tidurnya (Crummer & Hassan, 2004).E.2.a. Pulsatile TinnitusTinnitus pulsatil banyak diderita oleh pasien dengan turbulensi aliran arteri ataupun aliran darah yang cepat pada pembuluh darah. Penyakit jantung yang berhubungan dengan arteriosklerosis dan penuaan meningkatkan prevalensii tinnitus pulsatil, adanya stenosis arteri juga banyak ditemukan pada penderita dengan tinnitus jenis ini. Stenosis artery intracranial dapat menyebabkan turbulensi aliran darah pada bagian stenosis dan bagian distal dari stenosis (Gambar 12). Sementara itu stenosis arteri carotis merupakan tempat yang umum ditemukan, padahal arteri carotis tempatnya berdekatan dengan bagian proximal cochlea. Sehingga melalui tulang getarab turbulensi aliran darah mempengaruhi cochlea dan menyebabkan tinnitus obyektif. Pasien dengan thyrotoksikosis dan atrial fibrilasi juga dapat menderita tinnitus pulsatill (Lockwood et.al., 2002)..

Gambar 14Tampak stenosis arteri (anak panah) yang

Menyebabkan adanya turbulensi aliran darah

Dengan getaran yang selanjutnya mempengaruhi

Cochlea dan menimbulkan tinnitus obyektif.Dikutip dari Lockwood et. al. (2002). E.2.b. Non-pulsatile TinnitusTinnitus jenis ini jarang ditemukan, sementara itu tinnitus obyektif juga merupakan kasus yang jarang, sehingga dapat dikatakan bahwa kasus non-pulsatil tinnitus adalah sangat jarang ditemukan. Penyebab terjadinya tinnitus jenis ini sebagaimana telah dijelaskan pada sub-bab etiologi sebelumnya. Tinnitus jenis ini juga sering berhubungan dengan kontraksi periodik abnormal pada otot-otot faring, mulut, dan wajah bagian bawah, sehingga akan mempengaruhi kerja tuba auditiva (Lockwood et. al., 2002).F. Pendekatan Diagnosis Klinis untuk Tinnitus

Mengingat penanganan terhadap tinnitus adalah meletakkan dasar pemikiran bahwa penyakit tersebut adalah gejala dari sebuah penyakit lain yang menyebabkanya, maka dalam melakukan diagnostik digunakan pendekatan klinis, supaya dapat dibedakan tinnitus menurut etiologinya (Waddel, 2004; Lockwood et. al., 2002).

Membedakan secara garis besar jenis tinnitus yang diderita dan penilaian secara menyeluruh terhadap riwayat tinnitus serta penyakit lain merupakan suatu hal yang harus diteliti. Evaluasi terhadap keluhan tinnitus meliputii (Crummer & Hassan, 2004) :a. Riwayat tinnitus

Evaluasi tinnitus pada pasien diawali dengan mempelajari keseluruhan riwayat tinnitus semenjak pertama kali muncul (seperti tertera pada Tabel 5). Evaluasi tinnitus berdasar riwayat tinnitus meliputi penilaian: i. Onset

Jika tinnitus berkembang seiring dengan penurunan kemampuan mendengar atau penderita adalah usia lanjut maka Presbiakusis bias menjadi penyebabnya.

ii. Lokasi

Tinnitus unilateral bias disebabkan oleh adanya impaksi serumen, otitis eksterna, dan otitis media. Sedangkan tinnitus unilateral denganunilateral tuli sensorik merupakan pertanda adanya neuroma akustik.iii. Bentuk tinnitus (Pattern)Tinnitus terus-menerus berhubungan dengan ketulian. Tinnitus yang episodic kemungkinan Menieres syndrome. Tinnitus pulsatil kemungkinan berasal dari kelainan vascular.iv. Karakteristik

Tinnitus dengan suara rendah dan bergemuruh suspek Menieres syndrome. Sedangkan tinnitus dengan frekuensi tinggi berhubungan dengan tuli sensorik.v. Keterhubungan dengan keluhan vertigo dan penurunan kemampuan pendengaran

Ada hubungan kuat dengan Menieres syndrome.

vi. Paparan obat-obatan ototoksik

Kemungkinan disebabkan oleh adanya Noise Induced atau medication-induced Hearing Loss.vii. Perubahan keluhan dan faktor eksaserbasiTinnitus dengan patulous Eustachian tube mengurang dengan berbaring atau melakukan valsava maneuver.viii. Kelainan MetabolismeHiperlipidemi, gangguan tiroid, defisiensi Vitamin B12, anemia, bias menjadi penyebab tinnitus.

ix. Lainya

Signifikansi keluhan penderita terhadap kualitas hidup sehari-harinya menjadi pedoman manajemen tinnitus.Tabel 5

Daftar evaluasi riwayat tinnitus

Dikutip dari Crummer & Hassan (2004)

b. Pemeriksaan FisikPemeriksaan secara komprehensif pada telinga meliputi kanalis akustikus eksternus, serumen, membrane timpani, ataupun kemungkinan adanya infeksi. Auskultasi pada leher, periaurikularis, orbita dan mastoid juga harus dilakukan. Uji pendengaran menggunakan garpu tala (Weber dan Rinne) juga seharusnya dilakukan (Crummer & Hassan, 2004).b. Pemeriksan Penunjang

Pemeriksaan menggunakan audiometri sebaiknya dilakukan, karena pada umunya keluhan tinnitus adalah keluhan subyektif penderita dengan hubungan kelainan organ pendengaran adalah sangat minimal (Crummer & Hassan, 2004).Pendekatan diagnostik dalam langkah manajemen tinnitus berdasarkan kemungkinan penyebabnya dapat dilakukan melalui algoritma yang dibuat oleh Crummer & Hassan (2004) sebagaimana tertera pada gambar (13) Sedangkan algoritma yang bertitik berat pada riwayat penyakit untuk mengklasifikasikan jenis keluhan tinnitus, dan langkah-langkah pemeriksaan yang diperlukan untuk melakukan evaluasi keluhan tinnitus yang diderita pasien mengikuti algoritma yang disampaikan oleh Lockwood et.al. (2002) tertera pada Gambar 14.Langkah evaluasi tinnitus dan perencanaan penatalaksanaannya dapat dilakukan dengan beberapa tahapan sesuai dengan Gambar 15. Algoritma ini diajukan oleh Folmer et.al. (2004) sebagai acuan untuk melakukan intervensi berdasarkan keluhan tinnitus pada pasien.

Gambar 15Algoritma dalam Pendekatan diagnostic untuk Tinnitus

Dikutip dari Crummer & Hassan (2004)

Gambar 16Algoritma untuk evaluasi keluhan tinnitus

Dikutip dari Lockwood et.al. (2002)Gambar 17Algoritma Evaluasi dan manajemen Tinnitus menurut Folmer et.al. 2004

Dikutip dari Folmer et.al. (2004)G. Penatalaksanaan

Di Amerika FDA (Food and Drug Association) hingga saat ini belum memberikan persetujuan ataupun pengesahan terhadap obat-obatan yang digunakan untuk menangani tinnitus (Lockwood et.al., 2002).

Tinnitus banyak berhubungan dengan berbagai penyakit ataupun gangguan pada organ pendengaran hingga pusat pendengaran, pada tataran inii maka tinnitus sebagai sebuah kelainan yang muncul sebagai kelainan membutuhkan beberapa penanganan khusus. Tinnitus menyebabkan adanya keluhan depresi, insomnia, ataupun kecemasan, maka penatalaksanaannya ditujukan pada terapi psikoterapi untuk mengurangi gangguan tinnitus terhadap kualitas hidupnya. Accoustic Therapy (terapi akustik) di Amerika merupakan langkah Retraining Therapy yaitu terapi yang diformulasikan khusus secara individual sesuai riwayat penyakit pasien berupa menyarankan agar pasien mendengarkan musik yang disukainya pada saat berada di tempat sepi. Jika pasien memiliki kelainan pendengaran berupa ketulian maka penggunaan alat pendengaran akan menolong penurunan tinnitus. Hal tersebut enjadi ajuan manajemen atau penatalaksanaan Tinnitus yang dapat dilakukan selama 1 bulan, 6 bulan, atau 12 bulan tergantung penyakit atau kelainan yang mendasarinya. Sedangkan sebab-sebab lain berupa abnormalitas pembuluh darah hingga adanya neoplasma pada otak yang mengakibatkan tinnitus, maka penatalaksanaannya berada pada penyakit tersebut. Namun pada tuli sensorineural yang menyebabkan tinnitus kronis merupakan penyakit yang hingga saat ini masih sangat sulit ditangani, hal ini menuntut adanya penjelasan yang mencukupi kepada penderita tinnitus kronis dengan penyebab tuli sensorineural (Folmer et.al., 2004).

Penggunaan sediaan agonis reseptor GABA dapat menunjukkan perbaikan pada penderita dengan tinnitus dalam mekanisme yang masih diteliti (Eggermont & Roberts, 2004).

Teori masking (menutupi), dengan metode noise generator (pembangkitan bunyi) yang dilakukan dengan menyalakan radio tanpa siaran (hanya desis) ataupun suara fan (kipas angina) pada saat hendak tidur sehingga tinnitus dikaburkan oleh suara dari luar dapat membuat penderita lebih baik (Folmer et.al., 2004; Crummer & Hassan, 2004; Lockwood et.al., 2002; The British Tinnitus Association, 2004).

Pada dasarnya manajemen tinnitus adalah melakukan masking pada penderita sehingga terjadi perubahan persepsi penderita terhadap keluhan tinnitusnya. Pengobatan terhadap penyakit yang menyebabkan tinnitus, ataupun factor-faktor yang menjadi etiologi tinnitus perlu dilakukan untuk mendukung penurunan keluhan tinnitus (Folmer et.al., 2004; Waddel, 2004; Lockwood et.al., 2002, Eggermont & Roberts, 2004). BAB IIIKESIMPULAN

Dari keseluruhan sumber yang didapatkan maka dapat disimpulkan menjadi beberapa hal :

1. Tinnitus adalah sebuah kelainan yang dapat disebabkan oleh banyak sebab, baik berdasarkan kelainan telinga ataupun penyakit kelainan tekanan darah, hingga adanya neoplasma pada otak.

2. Tinnitus merupakan gejala ataupun kelainan persepsi suara yang dialami oleh seseorang tanpa adanya sumber suara dari luar.3. Penatalaksanaan tinnitus lebih kepada penanganan gangguan kualitas hidup yang diakibatkan oleh tinnitus itu sendiri (insomnia, anxietas, depresi).4. Masking therapy atau teori pangaburan fokus suara penderita tinnitus dapat mengurangi efek psikologis dari tinnitus.5. Tinnitus yang diakibatkan oleh adanya tuli sensorik sangat sulit disembuhkan atau bahakan tak dapat disembuhkan.6. Tinnitus yang diakibatkan oleh adanya tuli konduksi dapat dikurangi dengan penggunaan alat Bantu dengar.7. Evaluasi tinnitus menggunakan langkah pendekatan diagnostik perlu dilakukan untuk dapat memahami riwayat tinnitus pasien serta penyakit ataupun kelainan-kelainan yang pernah dialami oleh penderita. PAGE