Fisafat Hukum Part 3

download Fisafat Hukum Part 3

of 5

description

Fisafat Hukum Part 3

Transcript of Fisafat Hukum Part 3

Filsafat hukum yang dibentuk dalam zaman Yunani menjelaskan bahwa aturan masyarakat ada hubungan dengan aturan alam. Alam ini ditanggapi sebagai suci dan sakral sebab berkaitan dengan kuasa ilahi. Karenanya dalam hati rakyat hiduplah kesadaran bahwa aturan alam harus ditaati. Aturan alam dicerminkan dalam aturan masyarakat, maka tauran ini harus ditaati pula. Ketaatan kepada aturan menimbulkan keadilan dalam hidup bersama dan menjamin keamanan dan kebahagiaan hidup. Dalam Abad Pertengahan aturan alam tetap dianggap sebagai norma bagi kehidupan orang, akan tetapi motifnya berubah. Alam tidak dipandang lagi sebagai sesuatu yang suci, sehingga alasan dari dulu untuk tunduk kepadanya telah hilang. Namun menurut ajaran agama yang bertambahkuat dalam zaman itu alam merupakan ciptaan Allah. Karenanya dengan menurut aturan alam manusia tunduk kepada kehendak Allah. Dalam pandangan ini keadilan merupakan suatu keutamaan dalam hati manusia yang menaati apa yang diperintahkan Allah. Boleh terjadi bahwa manusia melanggar perintah-perintah itu. Bila hukuman menyusul itulah bukan karena nasibnya sial, melainkan karena keadilan Allah.Hukum positif menjamin kepastian hidup, tetapi baru menjadi lengkapbila disusun sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan. Menurut tradisi klasik dan skolastik prinsip-prinsip keadilan itu terkandung dalam suatu hukum alam, entah hukum itu berasal dari alam, entah dari Allah, entah dari akal budi manusia. Pertanyaan yang dapat diajukan disini ialah: apakah prinsip-prinsip keadilan memerlukan suatu institusionalisasi supaya sungguh-sungguh menjadi hukum?Kriterium ynag digunnakan disini ialah bahwa prinsip-prinsip keadilan ituhanya dapat dipandang sebagai hukum yang sungguh-sungguh bila mereka berkerja secara efektif dalam mengatur hidup bersama manusia yang konkret. Inilah bukan halnya dengan prinsip-prinsip keadilan. Bila belum diinstitusionalisasi dalam peraturan-peraturan prinsip-prinsip keadilan dapat berguna sebagai pedoman bagi hukum, tetapi dengan demikian mereka sendiritidak menjdi hukum. Dapat disetujui bahwa hukum alam, yang mengadung prinsip-prinsip keadilan itu, disebut hukum pra-positif, atau hukum pra-yuridis. Tetapi sebagai norma bagi pratek yuridis prinsip-prinsip ini baru menjadi efektifdalam hukum positif yang adil. Kesimpulanya ialah bahwa dalam hukum yang sebenarnya dua segi disatukan: hukum adalah hukum yang adil dan pasti. Bila salah satu segi berkurang, hukum itu kehilangan artinya sebagai hukum.Hal itu dapat dijelaskan dengan membandingkan hubungan antara kedua arti hukum, yakni hukum yang pasti dan hukum yang adil, dengan hubungan antara badan dan jiwa. Memang jelas bahwa badan tanpa jiwa tidak ada artinya. Tetapi dilain fihak benar juga bahwa jiwa tidak dapat berdikari. Jiwa hanya dapat hidup bila bersatu dengan badan untuk bersama-sama membentuk manusia. Namun persatuan yang erat antara badan dan jiwa tidak menyebabkan bahwa kedua bagian ini dapat disamakan sehingga tidak beda lagi. Baik badan maupun jiwa menunjuk suatu segi yang lain dalam hidup manusia. Seperti badam dan jiwa bersaru dalam manusia demikina pula peraturan-peraturan dan prinsip-prinsip keadilan bersatu dalam hukum yuridis, yakni hukum positif yang benar. Namun seperti badan dan jiwa tidak pernah menjaid satu, demikian pula peraturan-peraturan dan prinsip-prinsip keadilan tidak pernah menjadi satu. Betapa besar juaga usaha untuk mewujudkan suatu hukum positif yang benar hasilnya tidak akan pernah sempurna. Tetap akan ada dualisme antara norma-norma keadilan dan hukum yang diciptakan manusia sebagai hukum positif.Dalam zaman Yunani-Romawi hukum alam disamakan dengan prinsip-prinsip suatu aturan ilahi yang terkandung dalam alam itu. Dalam pandangan filsuf-filsuf Yuani kuno lagipula dalam filsafat Plato dan Aristoteles hukum ditanggapi sebagai pernyataan dari Yang Ilahi. Demikian juga dalam filsafat Stoa yang sangat berpengaruh dalam kerajaan Romawi. Dalam fisafat Abad Pertengahan hukum diatrikan sebagai pernyataan kehendak Allah edngan alam dan dengan manusia. Baik hukum alam maupun hukum positif memiliki kekuatan hukum, walapun dalam tingkatnya masing-masing.Dalam sistem-sitem rasionalisme dari abad XVII dan XVIII hukum alam sudah tidak digabung lagi dengan kehendak Allah. Menurut Grotius, Wolff dll. Hukum alam termasuk prinsip-prinsip akal budi praktis yang mengatur hidup. Karena hubungan nya dengan akal budi prinsip-prinsip ini sudah tidak mempunya hubungan dengan hidup bersama suatu masyarakat yang konkret. Mereka berlaku lepas dari hubungan ini, dan karenanya lepas dari hukum positif juga.Dalam zaman sekarang fisuf-filsuf yang menerima suatu hukum alam memandanganya sebagai norma bagi hukum positif. Tetapi norma itu baru menjadi hukum dalam hubungannya dengan peraturan yang konkret dalam masyarakat, yakni dalam hukum positif yang sejati.Kesimpulanya ialah bahwa dengan menerima hukum alam sebenarnya diterima adanya kriteria untuk menilai apa hukum yang sungguh menurut prinsip keadilan. Hukum semacam ini biasanya disebut hukum alam. Tetapi nama itu tidak penting. Asal diketahui bahwa menganut hukum alam sekarang tidak berarti bahwa seluruh terori hukum alam zaman dulu dipanggil kembali. Perlu saja bahwa inspirasinya dihidupkan kembali oleh sebab memang inspirasi itu tetap berguna bagi zaman sekarang, yang ni bahwa peraturan-peratuan harus disusun sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan supaya dapat menjadi hukum yang benar.Ada orang yang berpendapat bahwa hukum mewajibkan oleh karena menemukan dasarnya dalam ajaran agama. Norma-norma yang pertama-tama diakui sebagai pedoman bagi hidup adalah perintah-perintah agama. Perintah-perintah agama adalah perintah Allah sendiri. Perintah Allah harus ditaati manusia. Inilah pandangan para sarjana yang bersikap fundamentalis dalam hal-hal keagamaan, entah mereka bersandar pada ajaran Kristiani entah pada ajarang Islam.Inilah pandangan filsuf-filsufneokantianisme diantara HANS KELSEN. Diakui bahwa memang peraturan-peraturan hukum mewajibkan. Tetapi kewajiban itu tidak pernah berasal dari peraturan-peraturan sebagai kenyatan. Suatu kenyataan tidak pernha dapat melahirkan suatu kewajiban. Kelsen menegaskan hal ini oleh karena ia tetap berpengang pada perbedaan yang tajam antara ada dan harus (Sein dan Sollen) yang berasal dariKant. Apa yang tidak ada hubungan dengan apa yang harus, yakni kewajiban.Berdasarkan pertimbangan ini Kelsen menarik kesimpula bahwa norma hukum yang menjadi dasar kewajiban bukanlah suatu norma eksistensial yang ada hubungan dengan isi hukum. Norma dasar hukum bersifat formal, yankni hanya ada hubungan dengan bentuk hukum. Norma logis ini ditanggapi sebagai syarat untuk dapat berpikir tentang hukum.Untuk menerangkan apa yang dimaksud dengan etika, kiranya kami dapat bertolak ari suatu definisi yang umumnya diterima: etika adalah ajaran mengenai tingkah laku manusia menurut norma baik dan jahat. Pertanyaan utama disini ialah: dari mana datangnya bahwa gagasan-gagasan tertentu diakui sebagai norma bagi tingkah laku tiap-tipa manusia. Gagasan-gagasan lain tidak? Pendek kata: dicari dasar etika. Evidensi ini dapat diringkas dalam rumusan umum: lakukanlah yang baik, hindarkan lah yang jahat. Evidensi etis ini dapat ditemukan dalam prinsip-prinsip abstrak lain, seperti: hormati orang lain. Tetapi bagaimana orang lain harus dihormati tidak selalu kentara. Sebaliknya tentang penerapan prinsip-prinsip mum kepada situasi tertentu perbedaan pendapat sulit dihindarkan. Namun adanya pelbagai pandangan dapat penilaian etis bukan berarti bahwa kesadarn atis hilang. Kesadaran etis berarti bahwa diakui adanya perbedaan baik dan jahat, yang tidak berdasarkan kepentingan individual.Kewajiban untuk mentaati normanorma etis disadari manusia dalam segala hubungannya, yakni terhadapa diri sendiri, terhadapa sesama Allah. Akibatnya dalam hubungan-hubungan ini manusia tidak bebas mengikuti nafsu individualnya. Ia harus mentaati apa yang baik dan pantas, dilihat dari fihak nilai-nilai hidup yang umumnya diakui manusia.Diantara bidang hidup dimanakah kewajiban etis main peranannya pertama-tama bidang hidup bersama harus disebut. Pertanyaan yang timbul dalam bidang ini ialah: kewajian etis untuk hidup bersama titik tolaknya darimana? Dapat disimpulkan bahwa prinsip hukum sam dengan prinsip etika. Seperti etika hukum pun berdasar pada martabat manusia sebagai pribadi. Kewajiban yang ada dalam hukumberasal dari kenyataan yang sama. Semua pripsip lain seperti prinsip-prinsip keadilan, prinsip-prinsip ketuhanan manusia atau hak manusia merupakan kesimpulan dari prinsip utama tadi, yakni martabat manusia sebagai pribadi. Hubungan antara etika atau moral dengan hukum merupakan salah satu pokok pemikiran para ahli filsafat hukum sampai abad ini (a.I.PUFENDORF, THOMASIUS, KANT, STAMMLER, RADBRUCH, HART, REINACH, MESSNER). Jelaslah urainnya meraka tentang hukum tidak sama dengan etika.Dalam lintasan sejarah kepekaan terhadap martabat manusia makin meningkat. Oleh karena itu dalam memikirkan masalah-masalah hukum, hukum makin digabungkan dengan hak-hak manusia.Pendek kata, menurut tanggapan umum peranan hukum adalah menciptakan suatu aturan masayarakat yang baik sehingga hak-hak manusia terjamin.Tanpa hukum hidup manusia menjadi kacau. Tanpa hukum manusia kehilangan kemungkinan untuk berkembang secara manusiawi.Orang yang menurut jalan pemikiran ini sebenernya meletakkan suatu dasar lain bagi dibentuknya hukum. Hukum dibentuk untuk menjaga keamanan. Tanpa hukum hidup manusia tidak aman, selalu diancam oleh orang lain yang ingin mewujudkan cita-cita yang melawan cita-cita sendiri.Teori empirisme ini diambil alih oleh beberapa tokoh neopositivisme. Menurut filsafat mereka hukum berfungsi sebagai penjaga keamanan dalam hidup bersama. Orang harus bersedia untuk membatasi kebebasannya untuk dapat menikmati keamanan dalam hidup pribadi.Pemikiran negatif terhadap hukum merupakan juga latar belakang filsafat hukum dalam alirang-aliran eksistensialisme, filsuf-filsuf eksistensialisme menekan kebebasan manusia sebagai kebebasan individual. Titik tolak ini tidak memungkinkan mereka lagi untuk memandang hukum sebagai gejalaa yang wajar, oleh sebab hukum yang bersifat umum itu sulit diperdamaikan dengan manusia dalam perkembangan pribadinya. Manusia harus berkembang sekalipun kelakuannya diatur oleh hukum. Hukum membatasi kebebasannya, lain tidak.Justru karena perbedaan ini hukum dibutuhkan. Hukum mengatur hidup bersama dengan menentukan manakah hak dan kewajiban tiap-tiap manusia pribadi dalam hidup bersama. Namun pada dasarnya pribadi dan hidup bersama tidak saling bersaingan, asal saja aturan hukum yang ditentukan tepat.Tujuan hukum ialah mewujudkan suatu masyarakat yang memelihara kepentingan umum, yang menjaga hak-hak manusia, yang menciptakan suatu hidup bersama yang adil. Namun suatu masyarakat ideal tidak pernah akan dicapai. Hal ini dijelaskan oelh orang yang mendapatkan inspirasi dari fihak agama. Menurut agama manusia berdosa, artinya kepentingan individual didahulukan diatas kepentingan umum, hak-hak manusia dilanggar, keadilan dalam hidup bersama tidak dihiraukan lagi (Messner, dll)Pengadilan itu tidak hanya dibentuk untuk bertindak terhadap pelanggar-pelanggar hukum (hukum pidana), tetapi juga untuk menjadi wasit dalam persaingan antara kepentingan -kepentingan individual. Itu tidak berarti kepentingan individual menjadi prinsip hukum. Seandainya kepentingan individual menjadi prinsip hukum ketidakadilan dapat dibenarkan juga demi kepentingan individual.