FIQIH MINORITAS (FIQH AL...
Transcript of FIQIH MINORITAS (FIQH AL...
FIQIH MINORITAS (FIQH AL AQALLIYAT)
Oleh: Fiki Nuafi Qurrota Aini
Abstrak
Pada masa yang semakin berkembang saat ini, umat Islam
dihadapkan pada suatu kondisi dimana peraturan (hukum) yang
telah ditetapkan dan disyari‘atkan dalam agama Islam adakalanya
tidak dapat menyesuaikan zaman moderat. Memang, bukanlah
bersifat statis apa yang telah terkandung dalam sumber hukum
agama Islam. Akan tetapi, hukum-hukum tersebut terkadang
terlalu bersifat “kurang sesuai” dengan apa yang harusnya, menjadi
sumber hukum yang kita butuhkan di jaman liberalis ini. Banyak
terjadi ketimpangan yang terkadang berakhir menjadi sikap
radikalisme. Satu pihak merasa, hukum yang sudah lama tertulis
tersebut, tidak dapat terbantahkan. Sedangkan, hidup kita ini tidak
selamanya akan berdampingan hanya dengan kaum sesama
Muslim. Hal itu membuktikan bahwa, agama sesungguhnya tidak
hanya mengandung unsur
keilahiahan (ketuhanan) tetapi juga keinsaniahan
(kemanusiaan). Oleh karenanya kajian tentang agama
mencakup kajian teologis dan juga antropologis, dalam arti agama
tidak hanya dapat didekati dengan pendekatan teologi tetapi juga
dapat didekati dengan pendekatan antropologi. Pendekatan
pertama diarahkan pada aspek normatifitas agama, sedangkan
pendekatan kedua diarahkan pada aspek historisitasnya.1 Oleh
karenanya, sekiranya umat Muslim yang terhimpit oleh keadaan
inilah yang menjadikan mereka sebagai kaum minoritas, yang
sangat memerlukan adanya hukum fiqh (yang sesuai berdasarkan
aspek historis maupun antropologis) bagi mereka, agar dapat
berdampingan dengan kaum mayoritas yang ada di lingkungan
mereka. Sehingga, di lain sisi tidak menyalahi aturan agama Islam
yang ada, namun juga tidak bersnggungan dengan adat atau segala
peraturan kaum mayoritas (non-muslim) yang telah ada.
Kata Kunci: minoritas, non-muslim, fiqh.
1 Mahsun, “Faham Keagamaan Komunitas ‘Islam Bugis’ Di Lereng
Gunung Merapi Magelang, Jawa Tengah”, (Riset Doktoral, Universitas Islam
Negeri Walisongo Semarang, 2015), 31.
Pencetus Fiqh al Aqalliyat
1) Taha Jabir al Alwani
Taha Jabir al Alwani lahir dari keluarga Sunni, yang
bermukim di negara Iraq, pada tahun 1935. menempuh
pendidikan di Kairo, Mesir yakni pada Universitas al Azhar,
dan menerima gelar doktoral nya pada tahun 1973, dalam
metodologi hukum atau ushul fiqh (yang secara harfiah,
merupakan akar dari kebijakan Islam), yang mana hal tersebut
merupakan dasar terbaik untuk mengkualifikasi seorang mufti.
Sejak tahun 1963 hingga 1969, al Alwani diterima sebagai
pengajar dalam bidang Studi Islam pada Akademi Militer
Iraq, dan dari tahun 1975 hingga 1985, beliau mengajar
Hukum Islam pada Universitas al Imam Muhammad bin
Sa‘ud di Riyadh, Arab.
Saudi. Kemudian, beliau beralih dari benteng Wahabi ini ke
Amerika Serikat, dimana beliau terlibat dalam berbagai
kegiatan intelektualis. Transisi luar biasa inilah yang
mengindikasi al Alwani untuk lebih terbuka akan sikapnya
pada pemikiran-pemikiran atau segala hal yang berkaitan
dengan "Westernisasi”, yang beliau curahkan ke dalam
komunitas Muslim Amerika untuk “menjadi yang terbaik
dalam komunitas Amerika”. Beliau juga merupakan anggota
pada International Fiqh Council (Dewan Fikih Internasional)
di Jeddah, yang berperan sebagai pusat untuk Fiqh Councils
(Dewan Fikih) di seluruh dunia (termasuk pula di dalamnya
adalah North American Fiqh Council (Dewan Fikih bagian
Amerika Utara)), dan membawahi Organization of the Islamic
Conference (Organisasi Konferensi Islam).2
2) Yusuf Qardhawi
Beliau merupakan sosok luarbiasa dalam dunia Islam. Beliau
telah banyak menuliskan berbagai karya yang mencapai lebih
dari seribu buku dalam berbagai subjek Islam dan dianggap
sebagai figur pemimpin pada International Muslim
Brotherhood Movement (Pergerakan Persaudaraan Muslim
Internasional). Dalam fatwa nya, beliau mengungkapkan
dukungan untuk perlawanan kekerasan oleh Israel dan
melawan kaum Amerika yang berada di Iraq. Al Qardhawi
membuat berta utama dunia dengan aksi kunjungan
kontroversialnya ke kota London (Inggris), dimana beliau
mengemukakan pembentukan International Councils of
Muslim Clerics (Dewan Internasional Ulama Muslim).
Beliau lahir pada tahun 1926 di sebuah desa Negeri Mesir,
yakni Saft-Turab. Seperti halnya, Taha Jabir al Alwani, beliau
juga menempuh pendidikan di Universitas al Azhar, yang
mana beliau mendapatkan gelar doktoralnya pada tahun 1973.
Beliau bekerja sebagai mubaligh (pendakwah) dan juga
sebagai seorang Guru di masjid, dan juga berperan sebagai
anggota pemerintahan yang resmi di Egypt’s Bureau of
Religious Endowments (Awqaf) (Biro Wakaf Keagamaan
Mesir). Pada tahun 1961 beliau pindah ke Qatar, dimana
1 2 Shammai Fishman, “Fiqh al Aqalliyat: A Legal Theory for Muslim
Minorities”, Research Monograph on the Muslim World, Series No.1 Paper No.2,
Oktober 2006, hlm.2.
beliau mengembangkan serta memimpin berbagai institusi
prndidikan Islam. Pada tahun 1997 al Qardhawi membentuk
European Council for Fatwa and Research (ECFR) (Dewan
Fatwa dan Riset Eropa), yang bertujuan untuk menyediakan
para minoritas Muslim di Eropa perlindungan yang legal.
Pada Fiqh al Aqalliyat al Muslima---Hayat al Muslimin Wasat
al Mujtama‘at al Ukhra (Fikih Muslim Minoritas—
Kehidupan Komunitas Muslim di tengah Komunitas lainnya),
al Qardhawi menguraikan peraturan-peraturan resmi yang
umum untuk fiqh al aqalliyat dan memberikan contoh serta
aplikasinya. Sebagai seorang tokoh media, beliau
berpartisipasi dalam sebuah acara televisi pada jaringan al-
Jazira yang disebut “al-Shari‘a wal Hayat” (Hukum dan
Kehidupan dalam Islam). Beliau juga memiliki website
pribadi yakni qaradawi.net, dan juga berperan dalam
menjalankan sebuah website yang sangat penting dan terkenal,
yakni website Islamonline.net.3
Sejarah Fiqh al-Aqalliyat
Istilah fiqh al-aqalliyat ini sebenarnya muncul pada awal tahun
1990-an. Tokoh pendirinya adalah Thaha Jabir al-Awani dan
Yusuf al-Qardlawi. Tepatnya, Thaha Jabir menggunakan istilah ini
pertama kali pada tahun 1994 di saat Fiqh Council of North
America yang dipimpinnya memberikan fatwa boleh bagi umat
muslim Amerika memberikan suaranya pada pemilihan presiden di
2 3 Shammai Fishman, “Fiqh al Aqalliyat: A Legal Theory for Muslim
Minorities”...................., hlm.2-3.
Amerika, yang notabene calonnya adalah non-muslim. Sementara
itu, Yusuf Qardlawi mendirikan European Council for Fatwa and
Research (ECFR) di London pada tahun 1997 dengan tujuan
utama, memberikan layanan hukum Islam pada masyarakat
minoritas muslim di Eropa.4
Asal Usul Muslim Minoritas
Asal usul terbentuknya minoritas Muslim di berbagai
Negara, bereda-beda anara satu negara dengan yang lainnya. M.
Ali Kettani menjelaskan ada tiga bentuk munculnya kaum
minoritas Muslim.
1) Suatu komunitas Muslim dijadikan tidak efektif oleh
kelompok non-muslim yang menduduki wilayah komunitas
Muslim, meskipun umat Islam di wilayah itu secara jumlah
tergolong mayoritas. Dalam rentangan waktu yang lama
karena pengaruh kependudukan oleh komunitas non-Muslim
tersebut, komunitas Muslim yang tadinya secara jumlah
mayoritas, berubah menjadi minoritas karena pengusiran
secara besar-besaran oleh komunitas non-Muslim. Di sisi lain,
terjadi gelombang imigran non-Muslim secara besar-besaran.
2) Ketika pemerintah Muslim di suatu negara tidak berlangsung
cukup lama, atau usaha menyebarkan Islam tidak cukup
efektif untuk mengubah Muslim menjadi mayoritas dalam
jumlah di negeri-negeri yang mereka kuasai. Berbagai
kekuasaan politiknya tumbang dan umat Islam mendapati
4 Ahmad Imam Mawardi, “Fiqh Aqalliyat: Pergeseran Makna Fiqh dan
Ushul Fiqh”, Asy Syir’ah, Vol.48, No.2, Desember 2014, hlm.320.
dirinya turun status dari yang mayoritas menjadi minoritas
dalam negerinya sendiri. Hal ini dapat kita lihat contohnya,
yakni di negara India dan Balkan.
Minoritas Muslim terjadi, ketika non-Muslim di lingkungan
non-Muslim pindah agama menjadi Muslim. Jika pemeluk
Islam yang baru ini menyadari akan pentingnya keyakinan
Islam mereka dan memberikan prioritas atas ciri-ciri lain, dan
mencapai solidaritas sesama karena memiliki keyakinan yang
sama maka terbentuklah suatu minoritas Muslim baru.
Biasanya arus imigran dari muallaf menyatu untuk
membentuk suatu minoritas Muslim seperti kasus yang terjadi
di negara Srilangka. Di negara tersebut, umat islam
merupakan penyatuan antara imigran Arab Selatan dan
Muslim muallaf di Srilangka.5
Terminologi Fiqh al-Aqalliyat
Fiqh al Aqalliyat (yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia berartikan sebagai fikih minoritas), terdiri atas dua kata,
yakni fiqh dan aqalliyah. Kata fiqh, secara etimologi (kebahasaan)
berarti “paham yang mendalam”. Secara terminologis, fikih berarti
ilmu tentang hukum-hukum syarak yang bersifat ‘amaliyyah atau
praktis yang digali dan ditemukan dari dalil-dalail yang terperinci.
Kata ‘amaliyyah tersebut berarti menjelaskan bahwa fikih itu
hanya menyangkut tindak tanduk manusia yang bersifat lahiriyah.
Dengan demikian, hal-hal yang diluar ruang lingkup tersebut,
4 5 Mubasirun, “Persoalan Dilematis Muslim Minoritas dan Solusinya”
Episteme, Vol.10, No.1, Juni 2015, hlm.102-103.
seperti masalah keimanan atau akidah tidak termasuk dalam ruang
lingkup fikih. Kata “aqalliyat” berasal dari kata qallala yang
berarti sedikit, lawan dari banyak. Taha Jabir al Alwani
menyatakan bahwa, secara etimologis aqalliyah bermakna
minoritas atau kelompok, merupakan istilah politik yang
didefinisikan sebagai kelompok masyaraat dalam suatu
pemerintahan yang dalam hal etnis, bahasa, ras atau agama,
berbeda dengan kelompok mayoritas yang berkembang. Menurut
Kamal Sa‘id Habib, minoritas sebagai sebuah istilah kontemporer
tidak dikenal oleh budaya Islam, sebagaimana pengertian yang
dipahami oleh isilah sosiologi sekarang. Akan tetapi, karena telah
tersebar luas, maka diterima dan dikembalikan bentuk dan
definisinya sesuai dengan budaya Islam.6
Konsep Fiqh al-Aqalliyat
Menurut Khalid Mas‘ud, kata “minoritas” disini sangatlah
problematik, dikarenakan tiga hal:
1) Ketidak jelasan simantiknya, memunculkan sub-nation dalam
kerangka sebuah nation-state. Minoritas keagamaan malah
lebih lemah dari sub-nation tadi karena merupakan pecahan
yang lebih kecil lagi;
2) Permasalahan minoritas ini berkaitan dengan situasi minoritas
lainnya, seperti situasi muslim minoritas di negara non-
muslim mayoritas;
6 Nurhayati, “Fikih Minoritas: Suatu Kajian Teoritis”, Ahkam,
Vol.XIII, No.2, Juli 2013, hlm.193-194.
3) Kondisi minoritas muslim di Barat tidak sama dengan
minoritas muslim di non-Barat, seperti India dan Cina.
Dari defiisi di atas, jelas bahwa fiqh al-aqalliyat tetap merupakan
salah satu jenis fikih yang merupakan bagian dari fikih pada
umumnya, hanya saja ia memiliki karakter khusus karena akan
diterapkan pada masyarakat dengan karakter yang khusus, di
tempat yang juga memiliki karakter yang khusus, yang berbeda
dengan fikih pada umumnya, yakni minoritas muslim di suatu
tempat tertentu. Dari sisi sumber hukum, fiqh al-aqaliyat sama
dengan fikih pada umumnya, yakni bersumber pada alquran dan
hadits, yang dibangun berdasarkan ijma’, qiyas, istishhan, al-
maslahah mursalah, sad al-dharra’i, ‘urf, dan dalil-dalil lain yang
telah disampaikan oleh para Ulama’ Ushul Fiqh. Akan tetapi dari
sisi bentuk yang baru, karena pelaku hukumnya adalah masyarakat
yang minoritas muslim yang memiliki karakter khusus, yang tidak
dimiliki oleh mayoritas muslim lainnya.7
Taha Jabir al Alwani, sang penggagas fiqh al-aqalliyat
mengatakan dalam tulisan intinya mengenai fiqh al-aqalliyat
bahwa metode ushul fiqh yang digunakan dalam fiqh al-aqalliyat
tersebut, terdapat 6 (enam) prinsip besar, yakni:
1) Menemukan kesatuan prinsip dalam quran dan melakukan
pembacaan atasnya berdasarkan kenyataan hidup dan
dinamikanya. Disaming itu, Sunnah dipandang sebagai
penguat atas nash alquran itu sendiri, yang harus dipandang
sebagai kesatuan yang fully integrated dengan alquran yang
7 Miskari, “Fikih Muslim Minoritas di Non Muslim Mayoritas”, STAI
Mempawah, hlm.3.
bersama-sama menjadi dasar aplikasi ajaran agama pada
kondisi tertentu.
2) Mengakui kebijaksanaan dan prioritas alquran atas lainnya.
Ketika alquran menetapkan sebuah kaidah umum, seperti
masalah dasar kebaikan dan keadilan dalam hubungan (social
interrelation) antara muslim dengan lainnya, namun
kemudian terdapat hadits atau sunnah yang bertentangan
dengan kaidah umum tersebut, seperti tentang hadits tentang
berdesakan di jalan dan tidak perlunya menjawab salam non-
muslim, maka kaidah alquran lah yang digunakan, semetara
hadits dan sunnah harus ditakwil, atau jika tidak
memungkinkan maka hadits tersebut akan ditolak.
3) Meyakini bahwa alquran dapat menjadi menarik kembali
(membatalkan) turat nubuwwat, mengkritisi dan membersikan
dari deviasi (penyimpangan). Hal ini dilakukan untuk
menyatukan rujukan misi kemanusiaan.
Memahami alquran dengan pendekatan geografi. Bumi ini
milik Allah, Islam adalah agama Nya, maka setiap negara
sesungguhnya adalah negara Islam (dar Islam), sebagaimana
yang terjadi pada saat ini atau dari sisi potensinya pada masa
yang akan datang. Di samping itu, manusia seluruhnya
sesungguhnya merupakan “umat Islam”, baik dari makna
umat millah (agama) atau umat dakwah diana kita
berkewajiban mengarahkannya untuk memeluk agama Islam.
5) Mempertimbangkan universalitas objek perintah alquran. Jika
kita yakini bahwa kitab alquran adalah untuk seluruh umat
manusia, maka ia harus menjadi satu-satunya kitab yang
mampu menghadapi berbagai permasalahan alam yang selalu
ada.
6) Fikih yang kita warisi saat ini, sebenarnya bukanlah rujukan
fatwa atau model hukum yang senantiasa mampu
berdialektika dengan persoalan kia saat ini. Ketidak mampuan
fikih lama membaca masalah kita saat ini, bukanlah sebuah
kekurangan melainkan sebuah hal yang wajar karena mereka
hidup bukan berada pada zaman kita.
Dari ringkasan kutipan tersebut, sangat jelas terdapat tiga poin
besar yang diusung oleh fiqh al-aqalliyat dari sisi ushuliyah, yakni:
1) Adanya upaya perombakan metodologi yang sudah dianggap
mapan dalam fikih tradisionalis, yaitu secara hierarkis
mendasarkan secara istinbath hukum kepada nash alquran,
hadits, ijma’, qiyas, kepada dominasi alquran dan
pertimbangan kondisi melalui doktrin maslahah dan konsep
adat atau ‘urf.
2) Melakukan pergeseran makna maqasid al-syari‘ah dari
konsepsi al-daruriyat al-khams yang diambil dari kosep
daruriyat, hajiyat dan tahsiniyat menjadi prinsip umum yang
berintikan kebaikan dan keadilan.
3) Generalisasi bahwa universalitas alquran adalah untuk proyek
kemanusiaan secara umum, hal ini meruntuhkan tembok
pemisah antara umat Islam dan non-muslim.8
8 Ahmad Imam Mawardi, “Fiqh Aqalliyat Pergeseran Makna Ushul
Fiqh dan Usul Fiqh”, Asy-Syir‘ah, Vol.48, No.2, Desember 2014, hlm.323-324.
Ukuran dalam Penetapan Fikih Muslim Minoritas
1) Fikih minoritas dilihat sebagai upaya membangun
fleksibilitas hukum Islam ketika umat Islam berada dalam
posisi minoritas dalam sebuah negara atau ketika umat Islam
hidup bukan di negara yang tidak menjadikan Islam sebagai
dasar negara. Dalam konteks sosial politik, fikih minoritas
merupakan fikihnya orang kalah dan tidak berdaya. Dalam
ketidakberdayaan itu, tema tema yang dipermaslahkan seperti
memilih pemimpin non-Muslim, soal sembelihan binatang
yang diduga tanpa baca bacaan basmallah, hukum seorang
Muslim yang bekerja di rsetoran untuk berjualan minuman
keras, memberi salam kepada non-Muslim dan sebagainya.
2) Melalui cara berpikir tersebut, maka fikih minoritas
cenderung diletakkan sebagai “langkah darurat” dari situasi
yang dianggap “tidak normal”. Dengan menggunakan logika
darurat ini, maka umat Islam diperbolehkan melakukan
sesuatu yang semula diwajibkan.9
Kaidah fikih yang biasa digunakan untuk melegitimasi hal ini
adalah adh-dharuratu tubth almahzhurat (kondisi darurat
memperbolehkan seserang untuk melakukan sesuatu yang
dilarang). Dengan demikian, fiqh al aqalliyat mendasarkan
argumentasi-argumentasinya pada logika dan metodologi hukum
Islam yang dirumuskan para Ulama’. Landasan paling dasar yang
biasa digunakan, doktrin kemaslahatan dan ‘urf (tradisi). Dengan
demikian, sumber-sumber penetapan hukum seperti al Quran,
9 Ahmad Suaedy, Alamsyah M. Dja’far, dkk., Islam dan Kaum
Minoritas, (Jakarta: The Wahid Institute, 2012), hlm.27.
hadits, ijma’ dan qiyas (analogi) harus diletakkan dalam konsepsi
tersebut. Disamping itu, konsepsi maqashid asy syari‘ah (tujuan
dasar pemberlakuan hukum Islam) yang berintikan perlindunan
pada lima hal pokok (dharuriyat al khamsah) baik pada tingkatan
dharuriyat, hajiyyat maupun tahsiniyyat, merupakan prisnsip
umum yang berintikan pada keadilan dan kebaikan. Maka, inti
ajaran Islam yang terdapat dalam universalitas al Quran adalah
penegakan prinsip kemanusiaan, dimana perbedaan Muslim dan
non-Muslim menjadi tidak terlalu relevan diperdebatkan.10
Produk Fatwa dalam Fiqh al Aqalliyat
ECFR yang diketuai oleh Yusuf al Qardhawi barangkali adalah
satu-satunya lembaga fatwa di Eropa yang terorgansasi dengan
baik. Hal ini dapat dilihat dari tiga sisi:
1) Sarjana dan tokoh agama yang terlibat di dalamnya memiliki
kualifikasi pendidikan yang mumpuni dalam bidang-bidang
yang diperlukan untuk memberikan fatwa yang tepat bagi
permasalahan hukum Islam di Barat. Sarjana-sarjana yang
terlibat di dalamnya tidak hanya dari sarjana yang bertempat
tinggan di Eropa, namun juga yang bertempat tinggal di luar
Eropa. Bahkan, terdapat pula yang bertempat tinggal di negara
non-Barat.
2) Metodologi yang digunakan dalam menentukan hukum itu
tegas, yakni ijtihad yang didasarkan pada maqashid al
syari‘ah.
9 10 Ahmad Suaedy, Alamsyah M. Dja’far, dkk., Islam dan Kaum
Minoritas...................., hlm.27-28.
3) Masalah-masalah yang diberikan fatwa atau diputuskan
hukumnya oleh ECFR didokumentasikan dengan baik.11
Sementara itu, FCNA yang juga giat membahas dan memberikan
jawaban atas permasalahan masyarakat minoritas muslim, belum
mendokumentasikan kajiannya dalam bentuk buku, tetapi masih
dalam bentuk format arsip digital dalam situs resmi yang
dimilikinya. Meskipun demikian, beberapa sarjana yang terlbat di
dalamnya, seperti Thaha Jabir al-Alwani dan Salah Sultan
menuangkan beberapa putusan atau pandangan fiqh al aqalliyat
dalam beberapa tulisan mereka.
Berikut adalah beberapa contoh kasus hukum yang telah diberikan
fatwanya dan diterbitkan oleh lembaga ECFR sendiri, terutama
yang dikutip dalam kita fiqh al aqalliyat yang ditulis oleh
pemimpin lembaga tersebut, Yusuf al Qardhawi serta salah satu
anggotanya, Bin Bayyah serta yang dilansir oleh FCNA yang
sebagian disampaikan oleh mantan pemimpinnya, yakni Thaha
Jabir al Alwani:
1. Bidang Keyakinan dan Ibadah Ritual
Merupakan bidang kajian utama dalam setiap agama.
Berbagai persoalan dalam bidang ini menjadi persoalan yang
paling sensitif, krusial dan penting jika dibandingkan dengan
bidang lainnya.
Contoh yang terdapat dalam bidang ini salah satunya yakni
‘Ucapan Selamat atas Hari Raya Ahli Kitab’.
10 11 Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas (Fiqh al Aqalliyat dan
Evolusi Maqashid al Syari‘ah dari Konsep ke Pendekatan), (Yogyakarta: LkiS,
2010), hlm.153-154.
Masalah ini merupakan hal yang senantiasa dipertanyakan,
baik di negara yang Muslim nya menjadi mayoritas maupun
Muslimnya merupakan minoritas. Pertanyaan ini juga pernah
disampaikan oleh seorang Muslim kandidat doktor dari
Jerman pada ECFR.12
Jawaban yang diberikan adalah bahwa menyampaikan
selamat atas hari raya ahli kitab itu diperbolehkan, berdasarkan
pada dalil al Quran, yang berada pada Surat ke 60, al Mumtahanah
ayat 8 dan 9:
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku
adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena
agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang -orang yang
berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang
kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang
memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari
negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu.
Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka
mereka itulah orang-orang yang zalim.”
Menurut Yusuf Qardhawi, ayat ini secara jelas dan tegas
mengajarkan dua pola interaksi dengan non- Muslim, yakni:
berlaku baik dan adil kepada mereka yang tidak memusuhi, serta
tidak menjadikan mereka yang memusuhi atau memerangi umat
Islam sebagai kawan. Berbuat adil yang dimaksud adalah, tidak
mengurangi hak mereka, sementara kita berbuat baik yang
dimaksud adalah memberikan sebagian hak kita kepada mereka.
12 Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas..............hlm.154-155.
Menyampaikan ucapan selamat hari raya kepada mereka adalah
suatu perbuatan yang diperbolehkan, karena bagian dari perbuatan
yang baik ketika memberikan efek yang positif dalam pola
interaksi kemanusiaan (yang tidak diperbolehkan dalam hal ini
adalah mengikuti acara ritual keagamaan mereka).13
Selain itu, orang-orang Ahlul Kitab14 memiliki kedudukan
khusus yang tidak dimiliki oleh orang- orang non-Muslim
selain mereka, dalam perlakuan umum maupun penentuan
hukum.15
Memanglah banyak para Ulama’ yang dengan tegas
mengharamkan ucapan selamat dan mengikuti hari raya Ahli
Kitab. Ibnu Taymiyyah seorang yang secara tegas mengulas
hal ini dalam kitabnya, Iqtidha’ al Shirath al Mustaqim
Mukhalafah Ahl al Jahim. Yusuf Qardhawi menyatakan
kesepakatannya dengan Ibnu Taymiyyah dalam hal
keharaman umat Islam mengikuti hari raya mereka atau
mereka mengikuti hari raya umat Islam. Namun, Yusuf
Qardhawi dengan ECFR-nya tidak sependapat dengan
keharaman ucapan selamat hari raya kepada non-Muslim,
apalagi jika mereka masih terdapat ikatan kekeluargaan,
tetangga ataupun hubungan kerja. Yusuf Qardhawi
13 Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas ............, hlm.155-156.
14 Yang dimaksud dengan ahlul Kitab ialah mereka yang agamanya
(pada mulanya) berdasarkan Kitab Samawi meskipun kemudian mengalami
perusakan dan penggantian, seperti kaum Yahudi dan Nasrani yang agama
mereka berdasarkan Taurat dan Injil. Lihat pada Yusuf Qardhawi, Minoritas Non-
Muslim di dalam Masyarakat Islam, hlm.16. 15 Yusuf Qardhawi, Minoritas Non-Muslim di dalam Masyarakat Islam,
yang diterjemahkan oleh Muhammad Baqir, (Bandung: Mizan, Oktober 1985),
hlm.16.
menyatakan bahwa pernyataan Ibnu Taymiyyah tersebut
sesuai dengan konteks zamannya ketika fatwa itu
disampaikan.16
2. Bidang Ekonomi
Masalah-masalah yang berhubungan dengan ekonomi menjadi
masalah hukum yang secara nyata dihadapi secara langsung
oleh masyarakat muslim minoritas di Barat. Banyak masalah
ekonomi yang mereka ajukan pada lembaga fatwa ECFR, di
antaranya adalah tentang hukum membeli rumah tempat
tinggal secara kredit bank di Barat.
Permasalahn ini menjadi urgent, karena rumah merupakan
tempat tinggal yang menjadi kebutuhan vital bagi masyarakat
Muslim di Barat, tetapi menjadi problematis ketika mayoritas
Ulama’ mengharamkan semua transaksi yang memiliki unsur
riba. Akan tetapi, hal ini merupakan sesuatu yang urgent
mendapatkan perhatian dan kepastian hukum ketika
diletakkan dalam konteks kebutuhan primer masyarakat
minoritas Muslim di Barat.17
Yusuf al Qardhawi mengetahui bahwa mayoritasUlama’
mengharamkan praktik riba dalam bentuk apapun dan
menganggapnya sebagai salah satu dosa dari tujuh dosa besar
yang harus dihindari. Namun, ketika melihat realitas yang
terjadi, beliau menganggap bahwa adanya kebutuhan yang
bisa menempati posisi sebagai kondisi darurat yang dalam
16 Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas ............, hlm.156.
17 Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas ............, hlm.159-160.
kaidah fikih menjadi sebab bolehnya sesuatu yang dilarang (al
hajatu tanzilu manzilat al dharurah). Pandangan Yusuf
Qardhawi ini didasarkan kepada beberapa pendapat fuqaha
kontemporer seperti Muhammad Rasyid Ridha, Musthafa al
Zarqa dan keputusan beberapa lembaga fatwa internasional
seperti Lembaga Fatwa Kuwait, Majlis Ulama Dunia, ECFR
dan FCNA yang memiliki kesimpulan sama tentang bolehnya
membeli rumah dengan memanfaatkan kredit bank berbunga
(ribawi) karena suatu kebutuhan yang mendesak. Alasan
lainnya yang dikemukakan adalah analisis manfaat dan
keuntungan yang akan mengantarkan pada kemaslahatan
hidup minoritas Muslim di Barat.18
3. Bidang Politik
Salah satu contoh dari bidang politik fiqih minoritas, adalah
hukum ikut serta dalam masalah politik. Jika dilihat dalam
konteks dar al Islam fiqh al siyasah, menegaskam bahwa
berpartisipasi dalam masalah politik merupakan sesuatu yang
disyari‘atkan dalam upaya membangun kemaslahatan bersama
dan menegakkan prinsip-prinsip Islam yang agung. Partisipasi
yang dimaksud disini adalah partisipasi yang berkaitan
dengan hal yang bersifat umum, mulai dari yang paling dasar,
yakni memenuhi hak dan kewajiban politik sebagai warga
negara, mengikuti pemilu, mencalonkan diri untuk suatu
jabatan politis, dan lain sebagainya. Hal ini menjadi sebuah
permasalahan, jika diletakkan dalam konteks partisipasi umat
18 Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas ............, hlm.160.
Islam dalam kegiatan politik di negara-negara non-Islam di
Barat.
Pertanyaan tentang kebolehan umat Islam di Barat ikut
pemilihan presiden yang mana calon-calonnya tersebut
beragama non-Islam merupakan satu contoh permasalahan,
sebab syarat menjadi pemimpin menurut fikih klasik sangat
ketat meliputi masalah agama, kepribadian, keilmuan serta
syarat lainnya.
19Atas permaslahan inilah, ECFR memberi pandangan hukum
sebagai berikut:
1) Tujuan kerjasama atau ikut serta dalam politik adalah
untuk ikut menjaga hak, kebebasan dan mempertahankan
nilai-nilai diri serta eksistensi umat Islam di negara
tersebut.
2) Hukum asal menentukan disyari‘atkannya kerjasama
politik bagi umat Islam di negara Eropa dengan status
hukum boleh, sunnah dan wajib atas
dasar ayat al Quran, yakni surat ke-5, surat al Maidah
ayat 2,
“....dan tolong menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong
menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”
3) Kerjasama politik meliputi, menjadi anggota lembaga
kemasyarakatan, ikut serta dalam partai politik dan lain
sebagainya.
19 Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas ............, hlm.165.
4) Kaidah yang pling penting dalam kerjasama politik ini
adalah tetap berpegang teguh pada akhak Islami seperti
kejujuran, keadilan, tanggung jawab serta menghargai
pluralisme dan pandangan yang berbeda.
5) Ikut serta dalam pemilihan umum dengan syarat
berpegang pada kaidah-kaidah syari‘at, etika dan
perundang-undangan, dengan niat kemaslahatan dan tidak
didasarkan pada kepentingan individu.
6) Bolehnya menggunakan harta benda untuk kepentingan
pemilihan umum tersebut walaupun yang dipilih bukan
seorang Muslim, sepanjang dipandang mampu
mewujudkan kemaslahatan umum.
7) Kebolehan kerjasama poloitik tersebut berlaku sama bagi
perempuan Muslimah sebagaimana yang berlaku pada
laki-laki.20
Pandangan ECFR di atas lebih menekankan kepada konteks
dan berorientasi pada kemaslahatan, yang merupakan inti dari
maqashid al syari‘ah. Teks-teks dalil yang digunakan sebagai
dasar dalam fikih klasik, seperti karya al-Ghazali, al-Mawardi
dan al-Farra’, lebih dipahami sisi tujuannya dibandingkan
dengan sisi makna harfiyyah teks itu sendiri. Pandangan
ECFR ini sangat sesuai dengan pandangan FCNA dan
beberapa sarjana Muslim Amerika kontemporer seperti
Muqtedar Khan yang jelas-jelas mendukung Obama pada
Pemilu Amerika tahun 2008 dengan menjadikan terwujudnya
20 Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas ............, hlm.166.
kemaslahatan bagi umat Islam khususnya dan dunia pada
umumnya, sebagai konsiderasi utama.21
4. Bidang Hukum Keluarga
Salah satu konsentrasi dalam bidang hukum keluarga pada
fikih minoritas adalah tentang konversi agama seorang Istri
menjadi muslimah, sementara suaminya tetap memeluk
agama asalnya.
Maka timbullah pertanyaan, apakah Istri tersebut harus
bercerai dengan suaminya ataukah tidak? Konteks pertanyaan
ini adalah adanya konflik psikologis, karena di stu sisi
mayoritas Ulama berpendapat bahwa Istri tersebut harus
mengajukan cerai, sementara pada sisi yang lain Istri
keberatan meninggalkan Suami yang dicintainya dan
mengorbankan anak dan keluarga yang telah terbangun secara
harmonis.
Jawaban fikih klasik atas permasalahan tersebut di atas cukup
beragam, namun mayoitas masyarakat dan Ulama’
berkeyakinan akan keharusan cerai di antara keduanya, dan
hal ini pula lah yang meyakinkan Yusuf Qardhawi untuk ikut
memberi fatwa bahwa perceraian harus terjadi di antara
keduanya, sebelum beliau mengetahui betul bahwa Muslimah
tersebut berada pada ranah minoritas Muslim di Barat. Setelah
mengetahui hal tersebut, lantas beliau merubah pandangannya
serta menyatakan bahwa Istri tersebut berhak tinggal bersama
Suaminya atas dasar kemaslahatan yang ingin dipeliharanya.
21 Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas ............, hlm.166-167.
Pandangan ini dihasilkan dari metode tarjih maqashidi22 atas
beberapa pendapat yang ada di kalangan Ulama’. Yusuf al
Qardhawi mengemukakan 9 (sembilan) pendapat Ibn Qayyim
atas permasalahan tersebut:
1) Batalnya pernikahan setelah masuk agama Islam;
2) Pernikahan batal apabila Suami tidak mau diajak masuk
Islam;
3) Batalnya pernikahan setelah masa ‘iddah jika Istri telah
digauli dan langsung batal tanpa menunggu ‘iddah jika
belum digauli;
4) Jika Istri masuk Islam sebelum Suami masuk Islam, maka
perceraian terjadi seketika itu juga. Namun, jika Suami
masuk Islam sebelum Istri, kemudian Istri masuk Islam
dalam masa ‘Iddah, maka ia tetap sah menjadi Istrinya.
Sementara jia tidak, maka terjadilah perceraian dengan
berakhirnya ‘iddah;
5) Mempertimbangkan ‘iddah bagi pasangan Suami-Istri,
yakni bahwa jika salah satu masuk Islam sebelum
berhubungan badan maka batallah nikahnya. Jika masuk
Islam setelah berhubungan badan, dan pasangannya
masuk Islam ketika masih dalam keadaan ‘iddah maka
tetap sah perkawinannya. Sementara jika ‘iddah berakhir
sebelum pasangannya masuk Islam maka batallah
pernikahannya;
22 Pengunggulan suatu pendapat atas beberapa pendapat atas
beberapa pendapat yang didasarkan pada dominasi nilai kemaslahatannya.
6) Istri tetap bersama dengan Suaminya dan menunggu
untiuk memeluk Islam walaupun membutuhkan waktu
penantian bertahun-tahun;
7) Suami lebih berhak terhadap Istrinya selama Istri tidak
keluar dari rumahnya;
8) Suami-Istri tersebut tetap dalam pernikahannya selama
tidak dipisahkan oleh Sultan;
9) Istri tetap bersama dengan Suaminya, tetapi tidak boleh
terjadi hubungan Suami-Istri.23
Ibnu Qayyim dan gurunya, Ibn Taymiyyah memilih pendapat
keenam sebagai pendapat yang paling tepat, yakni
memberikan kesempatan walaupun berthaun-tahun bagi Istri
untuk tetap bersama Suami seraya berharap Suaminya masuk
Islam, dengan catatan bahwa keduanya tidak boleh melakukan
hubungan Suami-Istri. Sementara itu, Yusuf Qardhawi
menganggapnya sebagai pilihan yang kurang tepat
dikarenakan bertentangan dengan tabiat serta kecenderungan
psikologis manusia untuk tetap melaksanakan hubungan
Suami-Istri, terlebih ketika cinta dan kasih sayang di antara
mereka berdua masihlah ada. Sehingga, Yusuf al Qardhawi
memilih pendapat ketujuh serta kedelapan yang memberikan
keleluasaan bagi Suami-Istri tersebut untuk tetap sebagai
Suami-Istri selama tidak dipisahkan oleh penguasa (Sultan).
Pendapat inilah yang dianggap lebih memberikan
kemaslahatan.
23 Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas ............, hlm.166-171.
Paradigma Pembentukan Fiqh Minoritas di Indonesia
M. Amin Abdullah merupakan salah seorang
cendekiawan muslim Indonesia yang dikenal telah memunculkan
dan mendorong pentingnya paradigma fiqh aqalliyah (fiqh
minoritas) bagi kaum Muslim yang berada dalam wilayah
mayoritas nonMuslim. Dalam kajian ini, term fiqh aqalliyah
dikembangkan dengan tambahan bahwa kaum Muslim juga perlu
memberikan perlindungan terhadap warga minoritas non-Muslim
melalui paradigma fiqh aqalliyah. Semua ini bertujuan
membangun tantanan hukum fiqh yang bisa saling menghormati
dan menghargai secara totalitas, termasuk jiwa, pikiran, naluri,
keyakinan dan agama. Dengan paradigma ini, kerukunan hidup
beragama yang tulus akan dapat diciptakan secara baik dan
optimal, bukan kerukunan agama yang palsu (having religious).
Umat beragama harus membangun dialog antara para pemeluk
agama untuk membangun cara berpikir, cara bersikap dan cara
bertindak yang santun, menahan diri, terbuka, dan bijaksana dalam
menyikapi kemajemukan hidup beragama di negeri ini.
Hal ini perlu dalam membangun keharmonisan hubungan
antaragama secara de jure dan juga membangun pola hidup
antaragama yang bercorak being religious, yakni sikap dan tingkah
laku yang rendah hati, mampu menerima dan mengakui perbedaan
sebagai modal konstruktif untuk membangun kehidupan beragama
dan bermasyarakat yang berkeadilan. Dalam upaya membangun
fiqh aqalliyah di Indonesia perlu dibangun rancangan pembacaan
teks keagamaan yang berbasis nilai-nilai agama yang universal
sebagaimana telah diungkapkan dimuka, yakni berdasakan
konsepsi qat’i - zanni. Sebab, tafsir-tafsir itu pada dasarnya adalah
contoh kajian tafsir fiqhi yang relevan pada masa itu, dan belum
tentu relevan untuk masa sekarang, sehingga bisa diganti sesuai
dengan kepentingan situasi dan kondisi masa kini. Sebab, situasi
dan kondisi sosio-budaya dan politik masa Nabi dan para sahabat
juga telah mewarnai karakter tafsiran fiqh dalam memahami ayat-
ayat al-Qur’an pada waktu itu, yang sudah pasti berbeda dengan
kondisi dan situasi sosiobudaya dan politik masa kini.
Pengaruh warisan sejarah kehidupan manusia itulah yang perlu
dikritisi dengan menawarkan fiqh aqalliyah (fiqh minoritas)
sebagai ganti dari wacana fiqh aghlabiyyah (fiqh mayoritas).
Asumsinya, dengan membela kepentingan setiap person, maka
pada akhirnya sama dengan membela banyak person. Fiqh juga
menandaskan hukum qishash sebagai upaya membela hak
minoritas, sebab asumsinya membunuh satu jiwa sama dengan
membunuh banyak jiwa. Inilah dasar utama lahirnya fiqh aqalliyah
dibangun.
Dengan demikian, wawasan kebangsaan yang sudah dan
sedang dikembangkan untuk melindungi seluruh elemen bangsa,
terutama kelompok minoritas perlu dilestarikan karena hal itu
memiliki kesamaan tujuan dengan ajaran fiqh, yakni membangun
persamaan nasib dan tujuan untuk mencapai kesejahteraan
bersama.49 Fiqh aqalliyah pada era kemajemukan ini memiliki
nilai penting untuk menata kehidupan antarumat beragama,
sehingga orientasi fiqh itu mampu melindungi komunitas kecil,
sekaligus juga memberikan ruang gerak untuk melakukan ijtihad
tersendiri yang berbeda dari wacana fiqh di negara yang mayoritas
Muslim.
Tawaran fiqh aqalliyah tentu perlu mendapat apresiasi yang
memadai sebagai upaya meng-counter wacana kaum radikalis yang
masih memandang bahwa karya-karya fiqh aglabiyyah ulama masa
lalu harus dipertahankan di era kemajemukan dan globalisasi ini.
Padahal, adanya pandangan fiqh yang menyakralkan paham fiqh
masa lalu perlu dikritisi. Semua pendapat fiqh ulama masa lalu
tidak perlu disakralkan, bahkan sebaliknya, boleh diperdebatkan.
Inilah masalah yang perlu mendapat perhatian dari kaum Muslim
yang hidup di negara yang majemuk dan era global ini, sehingga
wawasan fiqh (kaum Muslim) terbuka dan kaum non-Muslim
minoritas dapat terlindung.24
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Suaedy, Alamsyah M. Dja’far, dkk., Islam dan Kaum
Minoritas, (Jakarta: The Wahid Institute, 2012).
Dahlan, Moh, “Paradigma Itihad Fiqh Minoritas di Indonesia”,
Analisis, Vol.XII, No.1, Juni 2012.
Fishman, Shammai, “Fiqh al Aqalliyat: A Legal Theory for
Muslim Minorities”, Research Monograph on the Muslim
World, Series No.1 Paper No.2, Oktober 2006.
Imam Mawardi, Ahmad, “Fiqh Aqalliyat Pergeseran Makna
Ushul Fiqh dan Usul Fiqh”, Asy-Syir‘ah, Vol.48, No.2,
Desember 2014.
24 Moh Dahlan, “Paradigma Itihad Fiqh Minoritas di Indonesia”,
Analisis, Vol.XII, No.1, Juni 2012, hlm.64-65.
Imam Mawardi, Ahmad, Fiqh Minoritas (Fiqh al Aqalliyat dan
Evolusi Maqashid al Syari‘ah dari Konsep ke
Pendekatan), (Yogyakarta: LkiS, 2010).
Mahsun, “Faham Keagamaan Komunitas ‘Islam Bugis’ Di Lereng
Gunung Merapi Magelang, Jawa Tengah”, Riset Doktoral,
Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, 2015.
Miskari, “Fikih Muslim Minoritas di Non Muslim Mayoritas”,
STAI Mempawah.
Mubasirun, “Persoalan Dilematis Muslim Minoritas dan
Solusinya” Episteme, Vol.10, No.1, Juni 2015.
Nurhayati, “Fikih Minoritas: Suatu Kajian Teoritis”, Ahkam,
Vol.XIII, No.2, Juli 2013.
Qardhawi, Yusuf, Minoritas Non-Muslim di dalam Masyarakat
Islam, yang diterjemahkan oleh Muhammad Baqir,
(Bandung: Mizan, Oktober 1985).