Filsafat Spinoza
-
Upload
ahmad-khoirudin -
Category
Documents
-
view
128 -
download
16
description
Transcript of Filsafat Spinoza
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Baruch de Spinoza (24 November 1632 – 21 Februari 1677) (Bahasa Ibrani) adalah
filsuf keturunan Yahudi-Portugis berbahasa Spanyol yang lahir dan besar di Belanda Pikiran
Spinoza berakar dalam tradisi Yudaisme Pemikiran Spinoza yang terkenal adalah ajaran
mengenai Substansi tunggal Allah atau alam Hal ini ia katakan karena baginya Tuhan dan
alam semesta adalah satu dan Tuhan juga mempunyai bentuk yaitu seluruh alam jasmaniah.
Oleh karena pemikirannya ini, Spinoza pun disebut sebagai penganut, panteisme-monistik.
Baruch de Spinoza lahir di kota Amsterdam pada tanggal 24 November 1632
Ayahnya merupakan seorang pedagang yang kaya. Di masa kecilnya, Spinoza telah
menunjukkan kecerdasannya sehingga banyak orang yang mengatakan bahwa ia bisa menjadi
seorang rabbi, Dalam kehidupannya, ia tidak hanya belajar matematika dan ilmu-ilmu alam,
ia juga mempelajari bahasa Latin, Yunani, Belanda, Spanyol, Perancis, Yahudi, Jerman, dan
Italia Pada usianya yang ke 18 tahun, Spinoza membuat marah komunitas Yahudi karena ia
meragukan Kitab Suci sebagai Wahyu Allah, mengkritik posisi imam Yahudi,
mempertanyakan kedudukan bangsa Yahudi sebagai umat pilihan Yahweh, dan keterlibatan
Allah secara personal dalam sejarah manusia.
Sikap yang ditunjukkan Spinoza kepada orang Yahudi, membuat para tokoh agama
Yahudi mengambil sebuah sikap. Para tokoh agama Yahudi pada saat itu menjadi gelisah
dengan semua ajaran-ajaran Spinoza. Para tokoh agama ini terus menerus memaksa agar
Spinoza kembali lagi pada ortodoksi agama, namun hal ini tidak pernah berhasil. Akhirnya
pada tahun 1656, Spinoza dikucilkan dari Sinagoga Tidak hanya kelompok Yahudi yang
mengucilkan Spinoza, keluarganya pun turut mengucilkan dirinya. Meskipun demikian,
Spinoza tetap tenang mengatasi masalah hidupnya, Hingga Akhirnya ia mengganti nama
dirinya dengan Benedictus de Spinoza, sebagai tanda kehidupan barunya.
Dalam keadaan yang telah dikucilkan, Spinoza mencari nafkah dengan cara mengasah
lensa sambil terus menerus menuliskan pemikiran-pemikirannya. Tidak lama setelah
pengucilan ini, Spinoza mengidap penyakit TBC.
Pada tahun 1673, dia diundang untuk mengajar di universitas Heidelberg namun ia
menolaknya. Alasan Spinoza menolak undangan ini dikarenakan baginya tidak ada yang
lebih mengerikan daripada kenyataan bahwa orang-orang dihukum mati karena berpikir
1 | P a g e
bebas. Semasa hidupnya, Spinoza juga bekerja sebagai guru pribadi pada beberapa keluarga
kaya dan dari sinilah Spinoza bertemu dengan tokoh-tokoh partai politik Belanda saat itu,
antara lain Jan de Witt Akhirnya pada tanggal 21 Februari 1677 Spinoza meninggal pada usia
44 tahun karena penyakit TBC paru-paru yang telah lama ia derita.
Halaman Pembuka dari salah satu, karya Spinoza magnum opus, Ethics
Renati Descartes Principiorum Philosophiae, 1663 (Prinsip Filsafat Descartes)
Tractatus Theologico-Politicus, 1670 (Traktat Politis-Teologis)
Tractatus de intellectus emendatione, 1677 (Traktat tentang Perbaikan Pemahaman)
Ethica more geometrico demonstrata, 1677 (Etika yang dibuktikan secara geometris)
Melalui bukunya Tractatus theologico-politicus Spinoza mengemukakan
pemikirannya tentang interpretasi bebas Kitab Injil. Sementara dalam buku Tractatus-
politicus beliau menulis tentang demokrasi dan pentingnya kebebasan berpendapat.Buku
Ethica (judul lengkapnya Ethica Ordine Geometrico Demonstrata) yang merupakan karya
utamanya, ditulis dengan maksud untuk membantu mengurangi penderitaan orang-orang
yang menganut suatu keyakinan. Karya ini bukan semata-mata karya filosofi melainkan
memiliki tujuan praktis : untuk mengajari pembacanya bahwa Tuhan merupakan bagian dari
Penciptaan, bahwa semua hal yang eksis merupakan manifestasi dari Tuhan – termasuk umat
manusia. Agar seseorang mampu memahami hal ini sangat penting untuk bersikap mandiri
dan bebas dari seluruh fanatisme yang membelenggu. Spinoza membuktikan keyakinan
tersebut dalam kehidupannya : argumen-argumennya selalu disampaikan dengan tenang,
dipertimbangkan dengan matang dan masuk akal. Beliau bahkan tidak membiarkan dirinya
terprovokasi.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah gagasan filsafat yang dikemukakan oleh Spinoza?
2. Bagaimana pengaruh pemikiran filsafat Spinoza pada Era berikutnya?
2 | P a g e
BAB II
PEMBAHASAN
Pemikiran Baruch De Spinoza
Pandangan Spinoza mengenai substansi tunggal merupakan tanggapannya atas
pemikiran Descartes tentang masalah substansi dan hubungan antara jiwa dan tubuh. Dalam
filsafat Descartes, terdapat sebuah permasalahan yaitu bagaimana Allah, jiwa, dan dunia
material dapat dipikirkan sebagai satu kesatuan utuh? Dalam bukunya Ethica, ordine
geometrico demonstrata (Etika yang dibuktikan dengan cara geometris), Spinoza mencoba
menjawab permasalahan ini. Ia memulai menjawab permasalahan dari filsafat Descartes
dengan memberikan sebuah pengertian mengenai substansi.1
Substansi dipahami sebagai sesuatu yang ada dalam dirinya sendiri dan dipikirkan
oleh dirinya sendiri, artinya sesuatu yang konsepnya tidak membutuhkan konsep lain untuk
membentuknya. Menurut Spinoza, sifat substansi adalah abadi, tidak terbatas, mutlak, dan
tunggal-utuh. Bagi Spinoza, hanya ada satu yang dapat memenuhi definisi ini yaitu Allah.
Menurut Spinoza, sifat substansi adalah abadi, tidak terbatas, mutlak, dan tunggal-utuh. Bagi
Spinoza, hanya ada satu yang dapat memenuhi definisi ini yaitu Allah Hanya Allah yang
memiliki sifat yang tak terbatas, abadi, mutlak, tunggal, dan utuh.
Selain itu, Spinoza juga mengajarkan apabila Allah adalah satu-satunya substansi,
maka segala yang ada harus dikatakan berasal dari pada Allah. Hal ini berarti semua gejala
pluralitas dalam alam baik yang bersifat jasmaniah (manusia, flora dan fauna, bahkan
bintang) maupun yang bersifat rohaniah (perasaan, pemikiran, atau kehendak) bukanlah hal
yang berdiri sendiri melainkan tergantung sepenuhnya dan mutlak pada Allah. Untuk
menyebut gejala ini, Spinoza menggunakan sebuah istilah yaitu modi, Modi merupakan
bentuk atau cara tertentu dari keluasan dan pemikiran.
Dengan demikian, semua gejala dan realitas yang kita lihat dalam alam hanyalah modi
saja dari Allah sebagai substansi tunggal. Dengan kata lain, alam dan segala isinya adalah
identik dengan Allah secara prinsipil.
Kata kunci ajaran Spinoza adalah Deus sive natur (Allah atau alam). Yang berbeda
dari ajaran ini hanyalah istilah dan sudut pandangnya saja. Sebagai Allah, alam adalah natura
naturans (alam yang melahirkan). natura naturans dipandang sebagai asal-usul, sebagai
sumber pemancaran, sebagai daya pencipta yang asali. Sebagai dirinya sendiri, alam adalah
1 Dr. Hary Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Moderen. 1984, hlm 9
3 | P a g e
natura naturata (alam yang dilahirkan) yaitu sebuah nama untuk alam dan Allah yang sama
tetapi dipandang menurut perkembangannya yaitu alam yang kelihatan. Dengan ini Spinoza
membantah ajaran [Descartes] bahwa realitas seluruhnya terdiri dari tiga substansi (Allah,
jiwa, materi). Bagi Spinoza hanya ada satu substansi saja, yakni Allah/alam.
A. Tentang Tuhan
Kesatuan antara Allah dan alam semesta untuk pertama kali diberi rumusan secara
moderen. Substansi ini memiliki sebabnya dalam dirinya sendiri. Hakekat (esentia)-nya
mencakup juga keberadaan (exsistentia)-nya. Hakekatnya di tentukan oleh atribut-attribut
atau sifat-sifat asasinya yang tiada batasnya. Tiap sifat asasi dengan cara yang sempurna
mengungkapkan hakekat esensinya yang kekal dan tak terbatas itu. Akan tetapi segala hal
yang kongkrit, yaitu dunia yang beraneka raga ini, adalah modi atau cara berada substansi
yang satu itu.
Demikian lah pengertian tentang Allah yang di ajarkan Spinoza tidak sama dengan
yang di ajarkan Descartes. Bagi Descartes Allah adalah suatu pribadi yang menciptakan
dunia, akan tetapi bagi Spinoza Allah adalah suatu kesatuan umum, yang mengungkapkan
diri di dalam dunia. Segala yang ada adalah Allah, tiada sesuatu pun yang tidak tercakup di
dalam Allah dan tiada sesuatupun yang dapat berada tanpa Allah.2
Sekalipun hakekat Allah di tentukan oleh siffat-sifat asasinya yang tiada batasnya,
namun manusia yang terbatas Ini hanya dapat mengenal dua sifat asasi Allah, yaitu:
pemikiran dan keluasan. Segala realitas yang konkrit adalah modi atau cara berada Allah,
menampakkan diri dalam bentuk rangkap, yaitu: dalam corak pikiran yang individual dan
dalam corak keluasan yang individual, yang masing-masing hanya mewujudkan realitas yang
tidak lengkap saja.
Hal-hal bendawi adalah cara berada Allah dibawah sifat asasi keluasan, atau cara
berada Allah di dalam ruang. Dan hal-hal bendawi itu sesuai dengan idea-ideanya yang
berada dibawah sifat asasi pemikiran, atau dapat juga disebut: cara berada Allah dalam
keluasan dan cara beradanya dalam pemikiran, adalah sama. Keduanya hanya dibedakan
dalam pengenalan. Pengertian subyektif dan obyektif adalah sama, atau pikiran dan
keberadaan adalah sama.
B. Tentang Humanisme
2 Poejowijatno,i.r, pembimbing kea rah ilmu filsafat. 1963
4 | P a g e
Spinoza membedakan antara manusia dan mahluk-mahluk lainnya bahwa: tubuh
manusia lebih ruwet daripada tubuh mahluk-mahluk lainnya. Tubuh manusia adalah alat jiwa
manusia untuk mengungkapkan diri dalam banyak idea. Tiada pengaruh timbale balik dalam
arti sebenernya di antara tubuh dan jiwa.3
Gejala-gejala yang nampak sama pada keduanya sebenarnya hanya pengungkapan-
pengungkapan yang bermacam-macam dari satu kenyataan. Jajaran proses-proses tubuhi dan
proses jiwani adalah dua aspek dari kejadian yang sama. Kesadaran “adanya sesuatu” dan
“sesuatu yang ada” itu sendiri adalah dua sisi dari hal yang sama. Proses tubuhi dan ji.wani
berjalan sejajar.
Di dalam manusia juga tiada “aku” yang tetap. Jiwa tidak lain adalah suatu arus
kejadian-kejadin jiwani (psikis) suatu rentetan pengkhususan-pengkhususan pemikiran Allah
atau pemikiran tentang isi tertentu yang di lakukan Allah.
Idea-idea yang jelas dan terpilah-pilah yang terdapat dalam jiwa manusia adalah idea-
idea Allah. Idea-idea itu pasti secara sempurna dan pada dirinya menjadi jaminan kepastian.
Idea-idea itu adalah sama dengan realitas diluar, karna sifatnya yang jelas dan terpilah-pilah.
Jikalau terdapat hal-hal tidak benardan menyesatkan, hal itu di sebab kan karna idea-idea
yang telah didukungkan yang tidak lagi mengandung pengetahuan yang benar.
Kehendak manusia pada hakekatnya adalah sama dengan pikirannya. Menghendaki
adalah perbuatan akal semata-mata. Dengan kehendaknya itu manusia berusaha
merealisasikan hakekatnya atau esensinya sendiri, yaitu hakekatnya seperti yang ada pada
Allah sebagai idea. Menghendaki adalah merealisasikan diri, yang dilaksanakan dengan
melalui pikiran. Itulah sebabnya maka kehendak dan pikiran pada hakekatnya adalah satu.4
Oleh karna itu juga tiada kebebasan kehendak, Artinya : manusia tidak memiliki
kebebasan untuk memilih salah satu dari dua kemungkinan. Juga tiada “ aku “ yang tetap.
Yang ada adalah suatu rentetan perbuatan kehendak, yang sama-sama dengan segala kejadian
dunia sama sekali telah di tentukan oleh keharusan batiniah yang mutlak dan oleh hakekat
Allah.
Jiwa tidak lain adalah suatu arus kejadian psikis, suatu rentetan pengkhususan-
pengkhususan pemikiran Allah, atau pemikiran tentang isi tertentu yang di lakukan Allah.
Kehendak terikat kepada imaginasi. Kita hanya mengira, bahwa kita bebas dalam kehendak
kita. Di dalam imaginasi itu kita di pimpin oleh kesan-kesan, gambaran-gambaran ingatan
3 Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2. 1980 hlm,28
4 Ibid, hal. 29
5 | P a g e
dan pengertian-pengertian abstrak. Kebebasan manusia terletak disini, bahwa ia, berbeda
dengan mahluk- mahluk lainnya, sadar bahwa ia mendapat bagian dari keharusan mutlak
Allah.
C. Tentang Kebenaran
Pendidikan pada umumnya dan ilmu pengetahuan pada khususnya mengemban tugas
utama untuk menemukan, pengembangan, menjelaskan, menyampaikan nilai-nilai kebenaran.
Semua orang yang berhasrat untuk mencintai kebenaran, bertindak sesuai dengan kebenaran.
Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai nilai-nilai yang
menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human
dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu kebenaran.5
Kebenaran sebagai ruang lingkup dan obyek pikir manusia sudah lama menjadi
penyelidikan manusia. Manusia sepanjang sejarah kebudayaannya menyelidiki secara terus
menerus apakah hakekat kebenaran itu.
Jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk
melaksanakan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang kebenaran,
tanpa melaksanakan kebenaran tersebut manusia akan mengalami pertentangan batin, konflik
spikologis. Menurut Spinoza bertingkat-tingkat bahkan tingkat-tingkat tersebut bersifat
hirarkhis. Kebenaran yang satu di bawah kebenaran yang lain tingkatan kualitasnya, ada
kebenaran relatif, ada kebenaran mutlak (absolut). Ada kebenaran alami dan ada pula
kebenaran illahi, ada kebenaran khusus individual, ada pula kebenaran umum universal.
Pengaruh Pikiran Pada Era Berikutnya
Tidak dapat disangkal, bahwa dalam perjalanan di sepanjang abad filsafat barat telah
melahirkan pemikiran-pemikiran yang bermacam-macam sekali, yang menadakan penelitian
filsafati yang mengarah ke banyak jurusan.6
Seperti Baruch Spinoza yang pemikirannya renaissance mencapai penyempurnaan
pada dirinya, yang kemudian tercapailah kedewasaan pemikiran yang dipandang sebagai
sumber pengetahuan hanya apa yang secara alamiah dapat dipakai manusia yaitu akal dan
pengalaman. Dalam arti ajaran Spinoza dapat di pandang sebagai suatu mistik filsafati, yang
mengajarkan tentang nisbah antara manusia dan Allah sebagai tokoh yang tiada batasnya.
5 K.Bertens, Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia,1988,hlm 74
6 Dr. Harun Hadiwijono,Op cit,hlm 30
6 | P a g e
Namun harus di akui, bahwa bagaimanapun filsafat barat telah membantu
terbentuknya kebudayaan barat. Filsafat memperlihatkan kepada kita apa yang hidup dalam
diri manusia yang telah menjadi dasar. Filsafat menjelaskan kepada kita apa yang di cari
orang pada zaman tertentu, apa yang hidup dan bergerak di dalam bagian yang terdalam
hidup manusia pada suatu zaman. Ternyata bahwa setiap zaman memiliki filsafat nya sendiri,
yang berusaha menurut keyakinan masing-masing untuk memperbaiki hidup manusia.
Analisa
Untuk memahami Substansi yang disodorkan oleh Descartes kepada Spinoza,
penulis berpendapat bahwa Substansi itu adalah merupakan sesuatu yang ada dalam diri kita
sendiri atau sesuatu yang tidak membutuhkan aspek lain untuk membentuk diri kita menjadi
ada. Jadi, kita itu berdiri sendiri dan membentuk diri kita sendiri. Itulah yang disebut sebagai
causa prima non causata.
Oleh karena itu, dalam tatanan ada (Primum Ontologicum), Substansi itu disebut
sebagai yang pertama dan yang asali. Sedangkan dalam sistem kelogisan (Primum Logicum),
Substansi merupakan realitas yang pertama dan yang Absolut. Dari sini dapat kita tarik suatu
kesimpulan bahwa dalam pandangan Spinoza hanya ada satu Substansi dan Substansi itu
adalah itu” Dia yang Tak Terhingga atau Allah.
Konsep metafisika Spinoza terhadap Substansi sebagai realitas Yang Absolut, mau
memperlihatkan dengan jelas obyek penjelajahan refleksi metafisika terhadap realitas. Ada
yang paling tinggi dan sempurna, yaitu refleksi tentang Allah sebagai realitas yang Absolut,
murni, tunggal dan sempurna.
Menurut Spinoza, yang disebut substansi adalah apa yang dapat dipahami, tanpa perlu
memahami sesuatu yang lain.Hanya satu yang memenuhi definisi ini,jadi yang dapat
dipikirkan tanpa perlu memikirkan apapapun lagi,yaitu ALLAH. Karena itu, kita harus
bertolak dari Allah. Kita juga sudah mendapatkan dalil fundamental metafisika Spinoza:
HANYA ADA SATU SUBSTANSI SAJA, YAITU ALLAH. Menurut Spinoza,Allah adalah
segala-galanya,tak terpisah,sedemikian rupa hingga antara Allah dan alam,tidak mungkin
diadakan pemisahan sedikit pun. Maka, Spinoza pun memutlakkan imanensi dan menyangkal
transendensi.Atas pandangannya itu,maka Spinoza menolak dirinya dicap sebagai Ateis.Ia
merasa lebih tepat disebut penganut PANTEISME, yang, MONISTIK.
BAB III
PENUTUP
7 | P a g e
Kesimpulan:
1. Salah satu gagasan yang diajukan oleh Spinoza dalam memahami realitas Yang
absolut adalah Substansi Tak Terhingga atau Allah. Gagasan-gagasan Spinoza dalam
mengungkap realitas yang Absolut ini, ia banyak dipengaruhi oleh rasionalisme
Descartes. Namun, pengaruh Descartes yang telah membentuk pola pemikirannya,
tidak semuanya diamini dengan baik oleh Spinoza terutama dalam memahami
Substansi sebagai realitas murni yang Absolut. Dalam memahami Substansi,
Descartes melihat bahwa Substansi itu merupakan suatu realitas yang tidak
membutuhkan sesuatu yang lain. Dengan kata lain, Descartes melihat Allah sebagai
Substansi yang tidak membutuhkan yang lain untuk berada. Tetapi, disamping
Substansi sebagai realitas Absolut, Descartes menerima substansi yang lain
kendatipun substansi yang dimaksud tidak berlaku secara Absolut melainkan relatif.
Berkaitan dengan Substansi yang diajukan oleh Descartes, Spinoza melihat
bahwa Descartes tidak memiliki sebuah komitment yang akurat untuk mendefinisikan
Substansi itu sendiri, karena dalam kenyataannya Descartes masih menerima adanya
Substansi yang lain. Di sinilah Spinoza tidak setuju dengan gagasan yang disodorkan
oleh Descartes. Tetapi, di sisi lain, Spinoza menerima gagasan yang disodorkan oleh
Descartes yang mengatakan bahwa Substansi itu adalah sesuatu yang tidak
membutuhkan yang lain, artinya bahwa Substansi itu adalah suatu realitas yang
mandiri, otonom, utuh, satu dan tunggal.
Tetapi, selain Allah sebagai Substansi. Spinoza juga melihat Alam sebagai
substansi. Dengan kata lain, dalam pandangan Spinoza Allah atau Alam adalah
merupakan suatu kenyataan tunggal yang memiliki satu kesatuan. Pemahaman ini
berangkat dari suatu pemahaman terhadap pembedaan antara Substansi yang oleh
Spinoza disebut sebagai atribut-atribut dan modi. Modi adalah cara berada dari
atribut-atribut dan secara tidak langsung adalah dari Substansi. Memang benar bahwa
Spinoza mengakui hanya ada satu Substansi, tetapi di dalam substansi itu terkandung
atribut-atribut (sifat hakiki) yang tak terhingga jumlahnya.
Namun, dari sekian banyak sifat hakiki itu hanya ada dua yang dapat diketahui
oleh manusia, yaitu keluasan dan pemikiran (extensio dan cogitatio). Dalam hal ini,
Spinoza melihat Allah sebagai keluasan (Deus est res extensa) dan pemikiran (Deus
8 | P a g e
est res cogitans). Keluasan dan pemikiran merupakan dua hal yang memiliki substansi
yang sama. Spinoza menggagas ini dalam ajarannya tentang Substansi tunggal yaitu
Allah atau Alam (Deus Sive Natua).
Menurut Spinoza, realitas Yang Absolut itu memiliki sifat yang abadi, tak
terbatas, dan tunggal. Maka, dari pemahaman seperti ini Spinoza melihat bahwa
karena Allah adalah satu-satunya Substansi, maka segala sesuatu yang ada di bumi
atau alam ini adalah berasal dari Allah. Di sinilah Spinoza terus menerus tenggelam
dalam suatu refleksi tentang hubungan antara Allah dan manusia sebagai satu
kesatuan. Maka, untuk sampai kepada Allah, Spinoza mengatakan bahwa perlu ada
cinta. Cinta merupakan suatu bentuk pengenalan tertinggi terhadap Tuhan. Melalui
cinta, ia melihat bahwa kita dapat menerima segala sesuatu yang ada di alam, dan
dengan demikian manusia menyerahkan diri seutuhnya kepada Tuhan sebagai realitas
Yang absolut. Berawal dari sinilah Spinoza disebut sebagai filsuf yang tenggelam
dalam Tuhan.
2. Tidak dapat disangkal, bahwa dalam perjalanan di sepanjang abad filsafat barat telah
melahirkan pemikiran-pemikiran yang bermacam-macam sekali, yang menadakan
penelitian filsafati yang mengarah ke banyak jurusan. Seperti Baruch Spinoza yang
pemikirannya renaissance mencapai penyempurnaan pada dirinya, yang kemudian
tercapailah kedewasaan pemikiran yang dipandang sebagai sumber pengetahuan
hanya apa yang secara alamiah dapat dipakai manusia yaitu akal dan pengalaman.
Namun harus di akui, bahwa bagaimanapun filsafat barat telah membantu
terbentuknya kebudayaan barat. Filsafat memperlihatkan kepada kita apa yang hidup
dalam diri manusia yang telah menjadi dasar. Filsafat menjelaskan kepada kita apa
yang di cari orang pada zaman tertentu, apa yang hidup dan bergerak di dalam bagian
yang terdalam hidup manusia pada suatu zaman. Ternyata bahwa setiap zaman
memiliki filsafat nya sendiri, yang berusaha menurut keyakinan masing-masing untuk
memperbaiki hidup manusia.
DAFTAR PUSTAKA
9 | P a g e
Ariew, R. Watkins, E. Modern filsafat. Spinoza, B, Etika (1677) (Hackett Publishing
Company inc. 1998)
Bakker, Anton, Ontologi Metafisika Umum, Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Bertens, K. 1976. Ringkasan Sejarah Filsafat. Jakarta: Yayasan Krisius
——Filsafat Barat Abad XX, Jilid II, Jakarta: Gramedia, 1985
Bertens, K. Filsuf-filsuf Besar tentang Manusia, Jakarta: Gramedia, 1988.
Budi Hardiman, F. Filsafat Modern dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: Gramedia,
2004.
Dr. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1980.
Hamersma, Harry, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta: Gramedia, 1984.
Petrus L. Tjahjadi, Simon, Petualangan Intelektual, Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Riyanto, Armada, Metafisika (Diktat Kuliah), Malang: STFT Widya Sasana Malang, 2004.
——-Pengantar Filsafat (Diktat Kuliah), Malang: STFT Widya Sasana Malang, 2002.
Sumantri Surya. 1994. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan
Syam, Muhammad Noor. 1988. Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan
Pancasila.Surabaya: Usaha Nasional
10 | P a g e