Filsafat Hukum (Ika,Ocha,Esti,Wahda)
-
Upload
wahdatul-waroiyah -
Category
Documents
-
view
83 -
download
2
Transcript of Filsafat Hukum (Ika,Ocha,Esti,Wahda)
OTONOMI KHUSUS DILIHAT DARI PANDANGAN
SOSIOLOGICAL JURISPRUDENCE
Dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Perbandingan Sistem Pemerintahan
Dosen Pengampu : Halili, S.pd
1. Ika Widyastuti (08401241003)
2. Endah Ninik Estiqomah (08401241022)
3. Wahdatul Waro iah (08401241023)
4. Esti Ariyani (08401241037)
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DAN HUKUM
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2011
Kata Pengantar
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayah-
Nya sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Makalah dengan
judul,”OTONOMI KHUSUS sebagai tugas presentasi. Selain itu juga memberikan
pemahaman bagi penulis dalam memahami materi dalam makalah yang disusun oleh penulis.
Oleh karena itu, penulis sampaikan terimakasih khususnya kepada Bapak Halili,
S.Pd sebagai dosen mata kuliah Filsafat Hukum. Dan umumnya kepada semua pihak yang
telah membantu hingga makalah ini bisa terselesaikan.
Akhirnya penulis menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan.
Penulis berharap semoga makalah yang sederhana ini dapat bermanfaat dan dapat
dipersembahkan bagi khasanah ilmu hukum serta dapat berguna sebagai acuan bagi yang
membutuhkan.
Yogyakarta,28 November 2011
BAB I
PENDAHULUAN
Sociological jurisprudence Mazhab ini dipelopori oleh Roscoe Paund, Eugen Ehrlich,
Benyamin Cardozo, Kantorowics, Gurvitch dan lain-lain. Inti dari pemikiran ini yang
berkembang di amerika yakni : “hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum
yang hidup di dalam masyarakat”. Maksudnya adalah bahwa hukum itu mencerminkan nilai-
nilai yang hidup di dalam masyarakat. Hendaknya aliran ini dibedakan dengan sosiologi
hukum,karena sosiologi hukum adalah merupakan cabang sosiologi yang mempelajari hukum
sebagai gejala sosial. Roscoe Pound dalam bukunya Gurvitch, menjelaskan bahwa perbedaan
antara keduanya yakni apabila Sociological Jurisprudence itu merupakan suatu madzab
dalam filsafat hukum yang mempelajari pegaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat
dan sebaliknya antara masyarakat dan hukum. Sedangkan sosiologi hukum adalah cabang
sosiologi yang mempelajari pengaruh masyarakat kepada hukum dan sejauh mana gejala-
gejala yang ada dalam masyarakat itu dapat mempengaruhi hukum tersebut, di samping itu
juga diselidiki pengaruh hukum terhadap masyarakat. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa
perbedaan antara Sociological Jurisprudence Dengan Sociological hukum yang terpenting
adalah bahwa jikalau di dalam Sociological Jurisprudence cara pendekatannya bermula dari
hukum ke masyarakat, sedangkan sosiologi hukum adalah sebaliknya pendekatan bermula
dari masyarakat ke hukum.
Aliran ini mengetengahkan mengenai pentingnya Living Law-hukum yang hidup di
dalam masyarakat. Kelahiran madzab ini merupakan uatu sinthesa dari these positivism
hukum dan antithesenya madzab Sejarah. Sociological Jurisprudence berpegang kepada
pendapat mengenai pentingnya akal maupun pengalaman. Pandangan ini berasal dari Roscou
Pound yang intisarinya : kedua konsepsi masing-masing aliran (positivism dan madzab
sejarah) ada kebenarannya. Unsur-unsur kekal dalam hukum hanyalah pernyataan-pernyataan
akal yang berdiri di atas pengalaman dan diuji oleh pengalaman. Pengalaman dikembangkan
oleh akal dan akal diuji oleh pengalaman. Hukum adalah pengalaman yang diatur dan
dikembangkan oleh akal, yang diumumkan dengan wibawa oleh badan-badan yang membuat
undang-undang atau mensahkan UU dalam masyarakat yang berorganisasi politik dan
dibantu oleh kekuasaan masyarakat itu sendiri.
Otonomi khusus adalah salah satu bagian dari apa yang dinamakan Hak untuk
menentukan nasib sendiri. Istilah otonomi sendiri muncul dalam berbagai konteks hukum.
Dalam hukum nasional otonomi adalah bagian dari pemerintahan sendiri dari sebuah institusi
dan organisasi publik. Dalam hak ini termasuk kewenangan membuat peraturan perundang-
undangan, yang menyatakan bahwa pemerintahan otonomi berhak mengatur urusannya
sendiri melalui pengesahan sebuah Undang-undang. Dalam hukum internasional, otonomi
berarti bahwa sebagian dari wilayah suatu negara diberikan kewenangan untuk mengatur
urusannya sendiri yang dalam beberapa hak dengan cara mengesahkan suatu undang-undang
tanpa diikuti pembentukan usatu bangunan kenegaraan yang baru. Secara prinsip, otonomi
diberikan sebagai perolehan suatu wilayah berpemerintahan sendiri (internal-self
government), sebagai pengakuan kemerdekaan parsial dari pengaruh pemerinthan pusat.
Kemerdekaan ini hanya dapat ditetntukan melalui tingkatan otonomi dalam proses
pengambilan keputusan politik.
Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani, “autonomos/ autonomia”, yang berarti
“keputusan sendiri” (self-ruling). Otonomi dapat mengandung beberapa pengertian sebagai
berikut. (Syahdah Guruh, 2000: 73-74)
1. Otonomi adalah suatu kondisi atau ciri untuk “tidak dikontrol” oleh pihak lain
ataupun kekuatan luar.
2. Otonomi adalah bentuk “pemerintahan sendiri” (self goverment), yaitu hak untuk
memerintah atau menentukan nasib sendiri (the right of self-goverment; self-
determinations).
3. Pemerintahan sendiri yang dihormati, diakui, dan dijamin tidak adanya kontrol oleh
pihak lain terhadap fungsi daerah (local or internal affairs) atau terhadap minoritas
suatu bangsa.
4. Pemerintahan otonomi memiliki pendapatan yang cukup untuk menentukan nasib
sendiri, memenuhi kesejahteraan hidup maupun dalam mencapai tujuan hidup secara
adil (self-determination, self-sufficiency, self-reliance).
5. Pemerintahan otonomi memiliki supremasi atau dominasi kekuasaan (supremacy of
authority) atau hukum (rule) yang dilaksanakan sepenuhnya oleh pemegang
kekuasaan di daerah. (Syahda Guruh LS, 2008 :73-74)
Perolehan otonomi khusus dalam konteks hukum internasional pada umumnya
didasarkan pada suatu perjuangan untuk memperoleh status politik dalam suatu negara yang
telah merdeka. Hukum Internasional memang secara khusus membatasi hak untuk
menentukan nasib sendiri yang berujung pada terbentuknya negara baru pada tiga kategori
yaitu:
1. Masyarakat yang berada di bawah penguasaan (penjajahan) dari negara lain
2. Masyarakat yang berada dibawah pendudukan pemerintahan asing
3. Masyarakat yang masih tertindas oleh suatu pemerintahan yang otoriter.
Otonomi khusus dalam hukum internasional telah diakui sebagai salah satu jalan
untuk menghindari proses disintegrasi dari suatu negara. Oleh karenanya Hukum
internasional memberikan penghormatan terhadap perlindungan dari suatu kelompok bangsa
atau etnis untuk mempertahankan identitasnya. Untuk itu salah satu keuntungan dari
penerapan otonomi adalah sebagai salah satu sarana penyelesaian konflik. Perkembangan dari
prinsip-prinsip otonomi ini sebagai hasil dari perkembangan hukum internasional secara
umum yang didasarkan pada perlindungan terhadap hak asai manusia yang secara langsung
berdampak pada pemajuan standar umum bagi kepercayan terhadap demokrasi, kesetraan,
dan partisipasi rakyat dalam bidang ekonomi, social, budaya, politik, dan hukum dari suatu
negara.
Adanya daerah otonomi dalam suatu negara (a self-governing intra state region)
sebagai suatu mekanisme penyelesaian konflik adalah suatu tindakan pilihan bagi penyeleisan
konflik internal, sehingga memaksa pemerintah pusat utnuk menciptakan daerah otonomi
sebagai suatu intra state region with unique level of local self-government. Untuk itu daerah
otonomi harus mendapatkan pengakuan konstitusional dari negara induk yang didasarkan
pada prinsip pemerintahan sendiri yang derajat kemandiriannya lebih tinggi dibandingkan
daerah lainnya dalam suatu negara
Isi Dari Otonomi
Otonomi dapat berarti keseimbangan yang dibangun dengan konstruksi hukum
antara kedaulatan negara dan ekspresi dari identitas kelompok etnis atau bangsa dalam suatu
negara. Secara konstitusional tingkat dari otonomi sendiri dapat ditentukan melalui
pengalihan kekuasaan legislative dari organ nefara kepada lembaga dari daerah otonomi
tersebut. Dengan mendasarkan prinsip kedualatan negara, satu atau lebih wilayah dapat
diberikan status khusus sebagai daerah otonomi yang berhak menikmati local self-
government yang menurut Lauri Hannikainen mencakup beberapa kewenangan dan isu
tertentu yang penting antara lain:
1. Status dari daerah otonomi harus ditentukan dalam konstitusi atau UU yang berada
diatas ketentuan perundang-undangan di sutau negara. Ini juga bisa didasarkan pada
perjanjian antara pemerintah pusat dan masyarakat di daerah tersebut
2. Daerah otonomi harus mempunyai DPR yang dipilih secara demokratis oleh
masyarakat di daerah tersebut dan memiliki bebarapa kewenangan legislatif yang
mandiri
3. Adanya kewenangan ekslusif dari pemerintah otonomi yang meliputi: pendidkan dan
kebudayaan, kebijakan kebahasaan, urusan sosial, kebijakan agraria dan sumber daya
alam, perlindungan lingkungan, pembangunan ekonomi dan perdagangan daerah,
kesehatan, tata ruang, dan transportasi
4. Daerah otonomi mempunyai kemungkinan untuk menjadi salah satu pihak dalam
proses pengambilan kebijakan dalam level nasional
5. Peradilan lokal harus menjadi bagian dari otonomi dan dapat menikmati kemandirian
dari kekuasaan eksekutif dan legislatif
6. Kewenangan dalam perpajakan akan memberikan dasar kuat bagi pembanguan
ekonomi dari daerah otonomi
7. Daerah otonomi juga harus mempunyai hak untuk bekerja sama dengan daerah atau
masyarakat lain di negara tetangga terutama dalam hal ekonomi dan budaya
Hukum Internasional memang tidak memberikan pembatasan dalam pengaturan
secara konstitusional dalam suatu negara dalam hal bentuk betuk sub sovereign status
atau otonomi. Menurut Husrt Hannum, otonomi yang lebih luas harus diikuti juga oleh
perolehan beberapa kewenangan yang diurus secara langsung.
1. DPR lokal yang dipilih dengan memiliki kewenangan legislatif yang mandiri
2. Kepala pemerintahan yang dipilih
3. Kekuasaan kehakiman lokal yang mandiri dengan kewenangan penuh untuk melakukan
penafsiran terhadap peraturan lokal
4. Adanya perjanjian pembagian kekuasaan antara pemerintah otonomi dengan
pemerintah pusat.
Suatu wilayah otonomi harus dapat menikmati penguasaan yang efektif atas
beberapa masalah-masalah lokal dengan tetap dalam kerangkan norma dasar dari suatu
negara. Otonomi tidak sama dengan kemerdekaan dan pemerintah daerah otonomi sulit untuk
mengharapkan tidak adanya intervensi dari pemerintah pusat dan pada saat yang sama,
negara harus mengadopsi fleksibilitas perlakuan yang akan membuat daerah otonomi mampu
untuk mengelola kewenangannya secara nyata.
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi. Negara
mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau
bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Yang dimaksud satuan-satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus adalah daerah yang diberikan otonomi khusus.
Daerah-daerah yang diberikan otonomi khusus ini adalah
1. Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
2. Provinsi Aceh;
3. Provinsi Papua; dan
4. Provinsi Papua Barat.
Daerah-daerah yang memiliki status istimewa dan diberikan otonomi khusus selain
diatur dengan Undang-Undang Pemerintahan Daerah diberlakukan pula ketentuan khusus
yang diatur dalam undang-undang lain.
1. Bagi Provinsi DKI Jakarta diberlakukan UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang
Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu kota Jakarta sebagai Ibu kota Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
2. Bagi Provinsi NAD diberlakukan UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU Nomor 11
Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh; dan
3. Bagi Provinsi Papua dan Papua Barat diberlakukan UU Nomor 21 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Dari paparan di atas maka makalah yang kami susun akan membahas mengenai otonomi
khusus daerah Aceh, Papua, dan Yogyakarta.
A. ACEH
Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang
bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin
oleh seorang Gubernur.
Pengakuan Negara atas keistimewaan dan kekhususan daerah Aceh terakhir diberikan melalui
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (LN 2006 No 62, TLN
4633). UU Pemerintahan Aceh ini tidak terlepas dari Nota Kesepahaman (Memorandum of
Understanding) antara Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka yang ditandatangani pada
tanggal 15 Agustus 2005 dan merupakan suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju
pembangunan sosial, ekonomi, serta politik di Aceh secara berkelanjutan. Hal-hal mendasar
yang menjadi isi UU Pemerintahan Aceh ini antara lain:
1. Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi dalam sistem NKRI
berdasarkan UUD Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang
dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Aceh sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing.
2. Tatanan otonomi seluas-luasnya yang diterapkan di Aceh berdasarkan UU
Pemerintahan Aceh ini merupakan subsistem dalam sistem pemerintahan secara
nasional.
3. Pengaturan dalam Qanun Aceh maupun Kabupaten/Kota yang banyak diamanatkan
dalam UU Pemerintahan Aceh merupakan wujud konkret bagi terselenggaranya
kewajiban konstitusional dalam pelaksanaan pemerintahan tersebut.
4. Pengaturan perimbangan keuangan pusat dan daerah tercermin melalui pemberian
kewenangan untuk pemanfaatan sumber pendanaan yang ada.
5. Implementasi formal penegakan syari’at Islam dengan asas personalitas ke-Islaman
terhadap setiap orang yang berada di Aceh tanpa membedakan kewarganegaraan,
kedudukan, dan status dalam wilayah sesuai dengan batas-batas daerah Provinsi Aceh.
Pengakuan sifat istimewa dan khusus oleh Negara kepada Aceh sebenarnya telah melalui
perjalanan waktu yang panjang. Tercatat setidaknya ada tiga peraturan penting yang pernah
diberlakukan bagi keistimewaan dan kekhususan Aceh yaitu Keputusan Perdana Menteri
Republik Indonesia Nomor 1/Missi/1959 tentang Keistimewaan Provinsi Aceh, UU 44/1999
tentang Penyelenggaraan Keistimewaan bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh, dan UU
18/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam. Dengan dikeluarkannya UU Pemerintahan Aceh, diharapkan dimanfaatkan
sebesar-besarnya bagi kesejahteraan di Aceh untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan
yang berkeadilan dan keadilan yang berkesejahteraan di Aceh.
B. YOGYAKARTA
Dalam konteks Indonesia, daerah otonomi khusus diatur dalam Pasal 18 B ayat (1)
Perubahan II UUD 1945 yang menyatakan:
PasaI 18B
(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang
bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
Dalam Konteks Yogyakarta, adalah sebuah keistimewaan karena Yogyakarta secara
sepihak menyatakan kemerdekaan serta kedaulatannya dari Pemerintah Kolonial Hindia
Belanda sekaligus juga mengakhiri serta mengintegrasikan kemerdekaan dan kedaulatannya
kepada Pemerintah Republik Indonesia melalui Dekrit kerajaan yang dikenal dengan Amanat
5 September 1945 yang dikeluarkan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Paku Alam
VIII. Sesudah itu Sri Sultan Hamengkubowono IX dan Paku Alam VII mengeluarkan
kembali dekrit kerajaan, yang dikenal dengan Amanat 30 Oktober 1945, yang menyerahkan
kekuasaan legislatif kepada Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta. Semenjak saat itu dekrit
kerajaan tidak hanya ditandatangani kedua penguasa monarki melainkan juga oleh ketua
Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta sebagai simbol persetujuan rakyat. Pada 18 Mei
1946, secara resmi nama Daerah Istimewa Yogyakarta mulai digunakan dalam urusan
pemerintahan yang dikeluarkan melalui Maklumat No 18 tentang Dewan-Dewan Perwakilan
Rakyat di Daerah Istimewa Yogyakarta. Melalui Dekrit Kerajaan ini dinyatakan bahwa
hubungan antara Negeri Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Negeri Kadipaten
Pakualaman dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia bersifat langsung, dan
kedua kepala Negeri bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden, yang dikukuhkan
dengan piagam kedudukan oleh Presiden Republik Indonesia tanggal 19 Agustus 1945, yang
diterimakan pada tanggal 6 September 1945. Secara hukum perkembangan ini sungguh
menarik karena meski tidak diatur melalui UU khusus, akan tetapi melalui dekrit kerajaan
dapat dinyatakan bahwa Yogyakarta menganut bentuk pemerintahan monarki konstitusional
dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Perkembangan Keistimewaan Yogyakarta
Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta secara legal formal dibentuk dengan UU
Nomor 3 Tahun 1950 yang kemudian diubah menjadi UU No 19 Tahun 1950. Pemerintah DI
Yogyakarta berdasarkan UU tersebut menikmati kewenangan antara lain:
1. Urusan Umum
2. Pemerintahan Umum.
3. Agraria.
4. Pengairan, djalan-djalan dan gedung-gedung.
5. Pertanian, Perikanan dan koperasi.
6. Kehewanan.
7. Keradjinan, perdagangan dalam negeri dan perindustrian.
8. Perburuhan.
9. Sosial.
10. Pembagian (Distribusi).
11. Penerangan.
12. Pendidikan, pengadjaran dan kebudajaan
13. Kesehatan.
14. Lalu lintas dan angkutan bermotor.
15. Perusahaan.
Dalam kedua peraturan perundang-undangan ini tidak tampak berbagai kewenangan
khusus seperti yang telah dijabarkan oleh Hurst Hannum maupun oleh Lauri Hannikainen.
Meski demikian sudah tampak berbagai kewenangan eksklusif dari Pemerintah DI
Yogyakarta
Yang cukup menarik bahwa kedudukan penguasa kerajaan di Yogyakarta justru
tidak diatur oleh kedua UU ini, secara politis ini berarti Pemerintah Pusat mengakui keduanya
sebagai Penguasa dari DI Yogyakarta. Namun, dengan tidak adanya penjelasan secara hukum
tentang posisi keduanya ini yang kemudian rentan dalam penafsiran tentang siapa yang
berhak menduduki posisi eksekutif dalam pemerintahan di Yogyakarta. Dilema ini sudah
muncul sejak meninggalnya Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Pakualam VIII sebagai
Gubernur dan Wakil Gubernur Propinsi DI Yogyakarta.
Dilema dari posisi dan keistimewaan dari Yogyakarta ini dicoba dijawab melalui
RUU Keistimewaan Yogyakarta yang dirancang oleh DPRD DI Yogyakarta. Untuk itu
penting untuk melihat kewenangan yang digagas dalam RUU Keistimewaan Yogyakarta ini.
No Isi Otonomi Pengaturan
1 Status Daerah Otonomi Diatur melalui RUU Keistimewaan
Yogyakarta
2 Status dan Kewenangan DPRD Diatur melalui UU Otonomi Daerah yang
umum; tidak mempunyai kewenangan
eksklusif
3 Peradilan dan penegakan hukum Diatur melalui UU nasional yang berlaku;
tidak mempunyai kewenangan eksklusif
4 Perpajakan Diatur melalui UU Otonomi Daerah yang
umum; tidak mempunyai kewenangan
ekskulsif
5 Kerjasama Internasional -; tidak mempunyai kewenangan ekskulsif
6 Kewenangan Eksklusif Pertanahan, Budaya serta kewenangan lain
yang telah diatur melalui UU Otonomi
Daerah
7 Pembagian Keuangan Diatur melalui UU Perimbangan Keuangan
Pusat dan Daerah; tidak mempunyai
kewenangan ekskulsif
8 Kepala Eksekutif Penetapan oleh DPRD Propinsi: hanya
Sultan/Pakualam dan/atau kerabatnya yang
berhak menduduki posisi eksekutif
Dari sisi pengaturan otonomi, tidak tampak adanya perbedaan antara keistimewaan
yang akan dipunyai oleh Yogyakarta dengan otonomi yang dinikmati oleh propinsi yang lain
yang tidak berstatus istimewa. Hal ini berbeda dengan status yang saat ini dinikmati oleh
Aceh dan Papua. Keistimewaan Yogyakarta hanya tampak pada pengisian posisi kepala dan
wakil kepala eksekutif di Yogyakarta yang hanya bisa ditempati oleh Sultan/Pakualam
dan/atau kerabat kerajaan dan juga kewenangan di bidang pertanahan (yang dikenal dengan
sultan grond) dan juga budaya.
Dari sisi hukum akan sangat sayang apabila keistimewaan Yogyakarta hanya
istimewa di tiga isu tersebut, karena sangat banyak kekhasan yang bisa diatur melalui UU
Keistimewaan Yogyakarta. RUU Keistimewaan Yogyakarta dapat dinyatakan sebagai low
degree of autonomy.
C. PAPUA
Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang kemudian menjadi Provinsi Papua
dan Provinsi Papua Barat yang diberi Otonomi Khusus dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Otonomi Khusus sendiri adalah kewenangan khusus yang diakui dan
diberikan kepada Provinsi Papua, termasuk provinsi-provinsi hasil pemekaran Provinsi
Papua, untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua.
Otonomi ini diberikan oleh Negara Republik Indonesia melalui Undang-undang Nomor 21
Tahun 2001 (LN 2001 No. 135 TLN No 4151).Hal-hal mendasar yang menjadi isi Undang-
undang ini adalah:
Pertama, pengaturan kewenangan antara Pemerintah dengan Pemerintah Provinsi
Papua serta penerapan kewenangan tersebut di Provinsi Papua yang dilakukan dengan
kekhususan;
Kedua, pengakuan dan penghormatan hak-hak dasar orang asli Papua serta
pemberdayaannya secara strategis dan mendasar; dan
Ketiga, mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik yang berciri:
1. partisipasi rakyat sebesar-besarnya dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan
dalam penyelenggaraan pemerintahan serta pelaksanaan pembangunan melalui
keikutsertaan para wakil adat, agama, dan kaum perempuan;
2. pelaksanaan pembangunan yang diarahkan sebesar-besarnya untuk memenuhi
kebutuhan dasar penduduk asli Papua pada khususnya dan penduduk Provinsi Papua
pada umumnya dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip pelestarian lingkungan,
pembangunan berkelanjutan, berkeadilan dan bermanfaat langsung bagi masyarakat;
dan
3. penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan yang transparan dan
bertanggungjawab kepada masyarakat.
Keempat, pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab yang tegas dan jelas
antara badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, serta Majelis Rakyat Papua sebagai
representasi kultural penduduk asli Papua yang diberikan kewenangan tertentu.
Provinsi Papua sebagai bagian dari NKRI menggunakan Sang Merah Putih sebagai
Bendera Negara dan Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan. Provinsi Papua dapat memiliki
lambang daerah sebagai panji kebesaran dan simbol kultural bagi kemegahan jati diri orang
Papua dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah yang tidak diposisikan sebagai simbol
kedaulatan.
1. Wilayah Papua
Provinsi Papua terdiri atas Daerah Kabupaten dan Daerah Kota yang masing-masing
sebagai Daerah Otonom. Daerah Kabupaten/Kota terdiri atas sejumlah Distrik. Distrik
(dahulu dikenal dengan Kecamatan) adalah wilayah kerja Kepala Distrik sebagai perangkat
daerah Kabupaten/Kota; Distrik terdiri atas sejumlah kampung atau yang disebut dengan
nama lain. Kampung atau yang disebut dengan nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum
yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan
nasional dan berada di daerah Kabupaten/Kota.
Di dalam Provinsi Papua dapat ditetapkan kawasan untuk kepentingan khusus yang
diatur dalam peraturan perundang-undangan atas usul Provinsi. Pemekaran Provinsi Papua
menjadi Provinsi-provinsi yang baru dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah
memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumberdaya
manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang.
2. Pemerintahan
Pemerintahan Daerah Provinsi Papua terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat Papua
(DPRP) sebagai badan legislatif, dan Pemerintah Provinsi sebagai badan eksekutif. Dalam
rangka penyelenggaraan Otonomi Khusus di Provinsi Papua dibentuk Majelis Rakyat Papua
(MRP) yang merupakan representasi kultural orang asli Papua yang memiliki kewenangan
tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua, dengan berlandaskan pada
penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan
kerukunan hidup beragama.
Legislatif
Kekuasaan legislatif Provinsi Papua dilaksanakan oleh DPRP. Jumlah anggota DPRP
adalah 1 1/4 (satu seperempat) kali dari jumlah anggota DPRD Provinsi Papua sebagaimana
diatur dalam peraturan perundang-undangan. Sebagai contoh mudah, jika jatah anggota
DPRD Papua menurut UU Susduk MPR, DPR, DPD, dan DPRD adalah 100 kursi maka
jumlah kursi DPRP adalah 125 kursi.
Eksekutif
Pemerintah Provinsi Papua dipimpin oleh seorang Kepala Daerah sebagai Kepala
Eksekutif yang disebut Gubernur. Gubernur dibantu oleh Wakil Kepala Daerah yang disebut
Wakil Gubernur. Tata cara pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur ditetapkan dengan
Perdasus sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Berbeda dengan Provinsi-provinsi
lain di Indonesia, yang dapat dipilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Papua
memerlukan syarat khusus, diantaranya adalah Warga Negara Republik Indonesia dengan
syarat-syarat:
orang asli Papua;
setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mengabdi kepada rakyat
Provinsi Papua;
tidak pernah dihukum penjara karena melakukan tindak pidana, kecuali dipenjara
karena alasan-alasan politik; dan
tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap, kecuali dipenjara karena alasan-alasan politik.
MRP
MRP beranggotakan orang-orang asli Papua yang terdiri atas wakil-wakil adat, wakil-
wakil agama, dan wakil-wakil perempuan yang jumlahnya masing-masing sepertiga dari total
anggota MRP. Keanggotaan dan jumlah anggota MRP ditetapkan dengan Perdasus. Masa
keanggotaan MRP adalah 5 (lima) tahun. Pelantikan anggota MRP dilaksanakan oleh Menteri
Dalam Negeri.
MRP mempunyai tugas dan wewenang, yang diatur dengan Perdasus, antara lain :
memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon Gubernur dan Wakil
Gubernur yang diusulkan oleh DPRP; dan
memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap Rancangan Perdasus yang
diajukan oleh DPRP bersama-sama dengan Gubernur;
3. Parpol
Penduduk Provinsi Papua dapat membentuk partai politik. Rekrutmen politik oleh
partai politik di Provinsi Papua dilakukan dengan memprioritaskan masyarakat asli Papua.
Partai politik wajib meminta pertimbangan kepada MRP dalam hal seleksi dan rekrutmen
politik partainya masing-masing.
4. Peraturan Daerah
Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua dalam
rangka pelaksanaan pasal-pasal tertentu dalam UU 21/2001. Perdasus dibuat dan ditetapkan
oleh DPRP bersama-sama Gubernur dengan pertimbangan dan persetujuan MRP. Peraturan
Daerah Provinsi (Perdasi) adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan
kewenangan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Perdasi dibuat dan
ditetapkan oleh DPRP bersama-sama Gubernur.
5. Keuangan
Dana Perimbangan
Dalam rangka otonomi khusus Provinsi Papua (dan provinsi-provinsi hasil pemekarannya)
mendapat bagi hasil dari pajak dan sumber daya alam sebagai berikut:
1. Pajak Bumi dan Bangunan sebesar 90% (sembilan puluh persen)
2. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebesar 80% (delapan puluh persen)
3. Pajak Penghasilan Orang Pribadi sebesar 20% (dua puluh persen)
4. Kehutanan sebesar 80% (delapan puluh persen)
5. Perikanan sebesar 80% (delapan puluh persen)
6. Pertambangan umum sebesar 80% (delapan puluh persen)
7. Pertambangan minyak bumi 70% (tujuh puluh persen) selama 25 tahun terhitung dari
tahun 2001. Mulai tahun ke-26 menjadi 50% (lima puluh persen)
8. Pertambangan gas alam 70% (tujuh puluh persen) selama 25 tahun terhitung dari
tahun 2001. Mulai tahun ke-26 menjadi 50% (lima puluh persen).
Sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) penerimaan Pertambangan minyak bumi dan
gas alam dialokasikan untuk biaya pendidikan, dan sekurang-kurangnya 15% (lima belas
persen) untuk kesehatan dan perbaikan gizi
Dana lain-lain
Dana Alokasi Khusus yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
dengan memberikan prioritas kepada Provinsi Papua. Penerimaan khusus dalam rangka
pelaksanaan Otonomi Khusus yang besarnya setara dengan 2% (dua persen) dari plafon Dana
Alokasi Umum Nasional, yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pendidikan dan
kesehatan yang berlaku selama 20 (dua puluh) tahun. Dana tambahan dalam rangka
pelaksanaan Otonomi Khusus yang besarnya ditetapkan antara Pemerintah dengan DPR
berdasarkan usulan Provinsi pada setiap tahun anggaran, yang terutama ditujukan untuk
pembiayaan pembangunan infrastruktur.
6. Perekonomian
Usaha-usaha perekonomian di Provinsi Papua yang memanfaatkan sumber daya
alam dilakukan dengan tetap menghormati hak-hak masyarakat adat, memberikan jaminan
kepastian hukum bagi pengusaha, serta prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, dan
pembangunan yang berkelanjutan, yang pengaturannya ditetapkan dengan Perdasus.
Pembangunan perekonomian berbasis kerakyatan dilaksanakan dengan memberikan
kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat adat dan/atau masyarakat setempat yang
dilakukan dalam kerangka pemberdayaan masyarakat adat agar dapat berperan dalam
perekonomian seluas-luasnya. Penanam modal yang melakukan investasi di wilayah Provinsi
Papua harus mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat setempat. Pemberian
kesempatan berusaha Perundingan yang dilakukan antara Pemerintah Provinsi,
Kabupaten/Kota, dan penanam modal harus melibatkan masyarakat adat setempat
7. Penegakan Hukum
Kepolisian
Tugas Kepolisian di Provinsi Papua dilaksanakan oleh Kepolisian Daerah Provinsi
Papua sebagai bagian dari Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pengangkatan Kepala
Kepolisian Daerah Provinsi Papua dilakukan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia dengan persetujuan Gubernur Provinsi Papua. Seleksi untuk menjadi perwira,
bintara, dan tamtama Kepolisian Negara Republik Indonesia di Provinsi Papua dilaksanakan
oleh Kepolisian Daerah Provinsi Papua dengan memperhatikan sistem hukum, budaya, adat
istiadat, dan kebijakan Gubernur Provinsi Papua. Pendidikan dasar dan pelatihan umum bagi
bintara dan tamtama Kepolisian Negara Republik Indonesia di Provinsi Papua diberi
kurikulum muatan lokal, dan lulusannya diutamakan untuk penugasan di Provinsi Papua.
Penempatan perwira, bintara dan tamtama Kepolisian Negara Republik Indonesia dari luar
Provinsi Papua dilaksanakan atas Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
dengan memperhatikan sistem hukum, budaya dan adat istiadat di daerah penugasan.
Kejaksaan
Tugas Kejaksaan dilakukan oleh Kejaksaan Provinsi Papua sebagai bagian dari
Kejaksaan Republik Indonesia. Pengangkatan Kepala Kejaksaan Tinggi di Provinsi Papua
dilakukan oleh Jaksa Agung Republik Indonesia dengan persetujuan Gubernur.
Peradilan
Kekuasaan kehakiman di Provinsi Papua dilaksanakan oleh Badan Peradilan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Di samping kekuasaan kehakiman tersebut, diakui
adanya peradilan adat di dalam masyarakat hukum adat tertentu. Peradilan adat adalah
peradilan perdamaian di lingkungan masyarakat hukum adat, yang mempunyai kewenangan
memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana di antara para warga
masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Pengadilan adat disusun menurut ketentuan
hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Pengadilan adat memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana
berdasarkan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Pengadilan adat tidak
berwenang memeriksa dan mengadili sengketa perdata dan perkara pidana yang salah satu
pihak yang bersengketa atau pelaku pidana bukan warga masyarakat hukum adatnya.
Hukum Adat adalah aturan atau norma tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat
hukum adat, mengatur, mengikat dan dipertahankan, serta mempunyai sanksi. Masyarakat
Hukum Adat adalah warga masyarakat asli Papua yang sejak kelahirannya hidup dalam
wilayah tertentu dan terikat serta tunduk kepada hukum adat tertentu dengan rasa solidaritas
yang tinggi di antara para anggotanya.
Pengadilan adat tidak berwenang menjatuhkan hukuman pidana penjara atau
kurungan. Putusan pengadilan adat mengenai delik pidana yang perkaranya tidak dimintakan
pemeriksaan ulang oleh pengadilan tingkat pertama, menjadi putusan akhir dan berkekuatan
hukum tetap.
8. Adat Papua dan Perlindungannya
Adat adalah kebiasaan yang diakui, dipatuhi dan dilembagakan, serta dipertahankan
oleh masyarakat adat setempat secara turun-temurun. Pemerintah Provinsi Papua wajib
mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-hak
masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan peraturan hukum yang berlaku.
Masyarakat adat adalah warga masyarakat asli Papua yang hidup dalam wilayah dan terikat
serta tunduk kepada adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para
anggotanya.
Hak-hak masyarakat adat tersebut meliputi hak ulayat masyarakat hukum adat dan
hak perorangan para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Hak Ulayat adalah
hak persekutuan yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah
tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya, yang meliputi hak untuk
memanfaatkan tanah, hutan, dan air serta isinya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. Penyediaan tanah ulayat dan tanah perorangan warga masyarakat hukum adat
untuk keperluan apapun, dilakukan melalui musyawarah dengan masyarakat hukum adat dan
warga yang bersangkutan untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah yang
diperlukan maupun imbalannya.
Orang asli Papua berhak memperoleh kesempatan dan diutamakan untuk
mendapatkan pekerjaan dalam semua bidang pekerjaan di wilayah Provinsi Papua
berdasarkan pendidikan dan keahliannya. Dalam hal mendapatkan pekerjaan di bidang
peradilan, orang asli Papua berhak memperoleh keutamaan untuk diangkat menjadi Hakim
atau Jaksa di Provinsi Papua. Orang asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras
Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima
dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua. Sedangkan penduduk
Papua, adalah semua orang yang menurut ketentuan yang berlaku terdaftar dan bertempat
tinggal di Provinsi Papua
9. Hak Asasi dan Rekonsiliasi
Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan penduduk Provinsi Papua wajib menegakkan,
memajukan, melindungi, dan menghormati Hak Asasi Manusia di Provinsi Papua. Untuk hal
itu Pemerintah membentuk perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Pengadilan Hak
Asasi Manusia, dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Provinsi Papua. Untuk
menegakkan Hak Asasi Manusia kaum perempuan, Pemerintah Provinsi berkewajiban
membina, melindungi hak-hak dan memberdayakan perempuan secara bermartabat dan
melakukan semua upaya untuk memposisikannya sebagai mitra sejajar kaum laki-laki.
Dalam rangka pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa di Provinsi Papua
dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Tugas Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
adalah melakukan klarifikasi sejarah Papua untuk pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan merumuskan dan menetapkan langkah-
langkah rekonsiliasi.
10. Agama, Pendidikan, dan Kebudayaan
Setiap penduduk Provinsi Papua memiliki hak dan kebebasan untuk memeluk agama
dan kepercayaannya masing-masing. Pemerintah Provinsi Papua berkewajiban untuk
menjamin:
kebebasan, membina kerukunan, dan melindungi semua umat beragama untuk
menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya;
menghormati nilai-nilai agama yang dianut oleh umat beragama;
mengakui otonomi lembaga keagamaan; dan
memberikan dukungan kepada setiap lembaga keagamaan secara proporsional
berdasarkan jumlah umat dan tidak bersifat mengikat.
Pemerintah mendelegasikan sebagian kewenangan perizinan penempatan tenaga asing bidang
keagamaan di Provinsi Papua kepada Gubernur Provinsi Papua.
Pemerintah Provinsi bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan pada
semua jenjang, jalur, dan jenis pendidikan di Provinsi Papua. Pemerintah Provinsi wajib
melindungi, membina, dan mengembangkan kebudayaan asli Papua. Pemerintah Provinsi
berkewajiban membina, mengembangkan, dan melestarikan keragaman bahasa dan sastra
daerah guna mempertahankan dan memantapkan jati diri orang Papua. Selain bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa kedua di semua
jenjang pendidikan. Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar di jenjang
pendidikan dasar sesuai kebutuhan.
11. Lingkungan Hidup
Pemerintah Provinsi Papua berkewajiban melakukan pengelolaan lingkungan hidup
secara terpadu dengan memperhatikan penataan ruang, melindungi sumber daya alam hayati,
sumber daya alam nonhayati, sumber daya buatan, konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya, cagar budaya, dan keanekaragaman hayati serta perubahan iklim dengan
memperhatikan hak-hak masyarakat adat dan untuk sebesar-besarnya bagi kesejahteraan
penduduk.
Usul perubahan atas UU 21/2001 dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui
MRP dan DPRP kepada DPR atau Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pelaksanaan UU 21/2001 dievaluasi setiap tahun dan untuk pertama kalinya dilakukan pada
akhir tahun ketiga sesudah Undang-undang ini berlaku. Pemberian otonomi ini disahkan pada
21 November 2001.
Penerbitan Perpu No. 1 Tahun 2008
Perpu 1/2008 merupakan revisi dari UU 21/2001 yang ditujukan untuk memberikan
dasar hukum bagi pelaksanaan otonomi khusus bagi Provinsi Papua Barat. Dalam UU
21/2001, hanya dijelaskan mengenai pelaksanaan otonomi khusus bagi Provinsi Papua.
Definisi "Provinsi Papua" yang dimaksud dalam UU ini diterjemahkan secara berbeda-beda
oleh berbagai pihak, apakah itu Provinsi Papua "sebelum pemekaran" ataukah "setelah
pemekaran". Pada waktu UU 21/2001 disahkan, yang dimaksud Provinsi Papua mencakup
seluruh wilayah Pulau Papua bagian barat. Dalam perkembangannya, bagian sebelah timur
dari Provinsi Papua dipisahkan menjadi Provinsi Papua Barat. Pemberlakuan otonomi khusus
bagi Provinsi Papua Barat memerlukan kepastian hukum yang sifatnya mendesak dan segera
agar tidak menimbulkan hambatan percepatan pembangunan khususnya bidang sosial,
ekonomi, dan politik serta infrastruktur di Provinsi Papua Barat. Oleh karena itu, Presiden
menerbitkan Perpu 1/2008 sebagai dasar hukum pelaksanaan Otonomi Khusus di Provinsi
Papua Barat.
Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah dan Otonomi telah diundangkan. Namun
tampaknya, tidak membawa harapan bagi rakyat republik ini. Masih banyak kelemahan yang
ditemukan, akibat dominasi pemerintahan pusat yang kuat, antara lain sebagai berikut.
1. Daerah otonom tidak mempunyai kewenangan kebijakan strategis dalam
penyelenggaraan pemerintah.
2. Provinsi berwenang menyelenggarakan kewenangan pemerintah pusat “yang
dilimpahkan” (ini berarti masih merupakan kepanjangan tangan saja).
3. Gubernur, Bupati, dan Wali Kota dapat diberhentikan oleh Presiden karena
“melakukan makar”, dan perubahan yang dapat memecah belah Negara Kesatuan,
“tanpa permintaan pemberhentian oleh DPRD”. Hal ini mencerminkan masih
kentalnya intervensi pusat kepada daerah.
4. Tindakan kepolisian terhadap Gubernur, Bupati, dan Walikota dapat dilaksanakan
oleh persetujuan Presiden.
5. Gubernur, Bupati, dan Walikota “berkewajiban memberikan keterangan
pertanggungjawaban kepada Presiden” selaku Kepala Pemerintahan melalui Menteri
Dalam Negeri.
6. Peraturan Daerah tidak boleh mengatur sesuatu hal “yang telah diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
7. Pendapatan Daerah Otonom di antaranya terdiri dari pendapatan yang berasal dari
perimbangan keuangan pemerintah dan Daerah Otonom yang ditetapkan “berdasarkan
suatu presentase” dari seluruh realisasi penerimaan Dalam Negeri yang dikelola
dalam wadah dana oleh “Lembaga Hubungan Keuangan”. Klausul demikian sangat
tidak jelas dan merugikan daerah.
8. Sebutan Daerah Istimewa untuk Aceh (itupun kalau Aceh masih mau bergabung
dengn RI) dan Yogyakarta adalah tetap, dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan
pemerintahan “berpedoman pada Undang-Undang ini. Karakter daerah istimewa tidak
berbeda sama sekali dengam daerah biasa. (ini terjadi apabila kesepakatan seluruh
daerah tetap menggunakan negara kesatuan ). (Syahda Guruh LS, 2008 :79-80)
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Guruh, Syahda LS. (2000). Menimbang Otonomi vs Federal. Bandung : PT Remaja
Rosdakarya.
http://id.wikipedia.org/wiki/Daerah_khusus
Buletin Infoprada 4/Sep/01, 22/Sep/01; Tapol Bulletin Oct/01; Media 26/Oct/01; Jakarta
Post 26/Oct/01, 2/Nov/01; Statement by Papuan Presidium Council, 20/Oct/01)
http://id.wikipedia.org/wiki/Otonomi_khusus_Papua
UU No. 21 Tahun 2001 Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua
UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Darji Darmodiharjo dan Shidarta. (2006). Pokok-pokok Filsafat hukum. Jakarta : PT
Gramedia pustaka utama.