Filsafat Hukum (Ika,Ocha,Esti,Wahda)

35
OTONOMI KHUSUS DILIHAT DARI PANDANGAN SOSIOLOGICAL JURISPRUDENCE Dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Perbandingan Sistem Pemerintahan Dosen Pengampu : Halili, S.pd 1. Ika Widyastuti (08401241003) 2. Endah Ninik Estiqomah (08401241022) 3. Wahdatul Waro iah (08401241023) 4. Esti Ariyani (08401241037) PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DAN HUKUM FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2011

Transcript of Filsafat Hukum (Ika,Ocha,Esti,Wahda)

Page 1: Filsafat Hukum (Ika,Ocha,Esti,Wahda)

OTONOMI KHUSUS DILIHAT DARI PANDANGAN

SOSIOLOGICAL JURISPRUDENCE

Dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Perbandingan Sistem Pemerintahan

Dosen Pengampu : Halili, S.pd

1. Ika Widyastuti (08401241003)

2. Endah Ninik Estiqomah (08401241022)

3. Wahdatul Waro iah (08401241023)

4. Esti Ariyani (08401241037)

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DAN HUKUM

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2011

Page 2: Filsafat Hukum (Ika,Ocha,Esti,Wahda)

Kata Pengantar

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayah-

Nya sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Makalah dengan

judul,”OTONOMI KHUSUS sebagai tugas presentasi. Selain itu juga memberikan

pemahaman bagi penulis dalam memahami materi dalam makalah yang disusun oleh penulis.

Oleh karena itu, penulis sampaikan terimakasih khususnya kepada Bapak Halili,

S.Pd sebagai dosen mata kuliah Filsafat Hukum. Dan umumnya kepada semua pihak yang

telah membantu hingga makalah ini bisa terselesaikan.

Akhirnya penulis menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna. Oleh

karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan.

Penulis berharap semoga makalah yang sederhana ini dapat bermanfaat dan dapat

dipersembahkan bagi khasanah ilmu hukum serta dapat berguna sebagai acuan bagi yang

membutuhkan.

Yogyakarta,28 November 2011

Page 3: Filsafat Hukum (Ika,Ocha,Esti,Wahda)

BAB I

PENDAHULUAN

Sociological jurisprudence Mazhab ini dipelopori oleh Roscoe Paund, Eugen Ehrlich,

Benyamin Cardozo, Kantorowics, Gurvitch dan lain-lain. Inti dari pemikiran ini yang

berkembang di amerika yakni : “hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum

yang hidup di dalam masyarakat”. Maksudnya adalah bahwa hukum itu mencerminkan nilai-

nilai yang hidup di dalam masyarakat. Hendaknya aliran ini dibedakan dengan sosiologi

hukum,karena sosiologi hukum adalah merupakan cabang sosiologi yang mempelajari hukum

sebagai gejala sosial. Roscoe Pound dalam bukunya Gurvitch, menjelaskan bahwa perbedaan

antara keduanya yakni apabila Sociological Jurisprudence itu merupakan suatu madzab

dalam filsafat hukum yang mempelajari pegaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat

dan sebaliknya antara masyarakat dan hukum. Sedangkan sosiologi hukum adalah cabang

sosiologi yang mempelajari pengaruh masyarakat kepada hukum dan sejauh mana gejala-

gejala yang ada dalam masyarakat itu dapat mempengaruhi hukum tersebut, di samping itu

juga diselidiki pengaruh hukum terhadap masyarakat. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa

perbedaan antara Sociological Jurisprudence Dengan Sociological hukum yang terpenting

adalah bahwa jikalau di dalam Sociological Jurisprudence cara pendekatannya bermula dari

hukum ke masyarakat, sedangkan sosiologi hukum adalah sebaliknya pendekatan bermula

dari masyarakat ke hukum.

Aliran ini mengetengahkan mengenai pentingnya Living Law-hukum yang hidup di

dalam masyarakat. Kelahiran madzab ini merupakan uatu sinthesa dari these positivism

hukum dan antithesenya madzab Sejarah. Sociological Jurisprudence berpegang kepada

pendapat mengenai pentingnya akal maupun pengalaman. Pandangan ini berasal dari Roscou

Pound yang intisarinya : kedua konsepsi masing-masing aliran (positivism dan madzab

sejarah) ada kebenarannya. Unsur-unsur kekal dalam hukum hanyalah pernyataan-pernyataan

akal yang berdiri di atas pengalaman dan diuji oleh pengalaman. Pengalaman dikembangkan

oleh akal dan akal diuji oleh pengalaman. Hukum adalah pengalaman yang diatur dan

dikembangkan oleh akal, yang diumumkan dengan wibawa oleh badan-badan yang membuat

undang-undang atau mensahkan UU dalam masyarakat yang berorganisasi politik dan

dibantu oleh kekuasaan masyarakat itu sendiri.

Otonomi khusus adalah salah satu bagian dari apa yang dinamakan Hak untuk

menentukan nasib sendiri. Istilah otonomi sendiri muncul dalam berbagai konteks hukum.

Dalam hukum nasional otonomi adalah bagian dari pemerintahan sendiri dari sebuah institusi

Page 4: Filsafat Hukum (Ika,Ocha,Esti,Wahda)

dan organisasi publik. Dalam hak ini termasuk kewenangan membuat peraturan perundang-

undangan, yang menyatakan bahwa pemerintahan otonomi berhak mengatur urusannya

sendiri melalui pengesahan sebuah Undang-undang. Dalam hukum internasional, otonomi

berarti bahwa sebagian dari wilayah suatu negara diberikan kewenangan untuk mengatur

urusannya sendiri yang dalam beberapa hak dengan cara mengesahkan suatu undang-undang

tanpa diikuti pembentukan usatu bangunan kenegaraan yang baru. Secara prinsip, otonomi

diberikan sebagai perolehan suatu wilayah berpemerintahan sendiri (internal-self

government), sebagai pengakuan kemerdekaan parsial dari pengaruh pemerinthan pusat.

Kemerdekaan ini hanya dapat ditetntukan melalui tingkatan otonomi dalam proses

pengambilan keputusan politik.

Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani, “autonomos/ autonomia”, yang berarti

“keputusan sendiri” (self-ruling). Otonomi dapat mengandung beberapa pengertian sebagai

berikut. (Syahdah Guruh, 2000: 73-74)

1. Otonomi adalah suatu kondisi atau ciri untuk “tidak dikontrol” oleh pihak lain

ataupun kekuatan luar.

2. Otonomi adalah bentuk “pemerintahan sendiri” (self goverment), yaitu hak untuk

memerintah atau menentukan nasib sendiri (the right of self-goverment; self-

determinations).

3. Pemerintahan sendiri yang dihormati, diakui, dan dijamin tidak adanya kontrol oleh

pihak lain terhadap fungsi daerah (local or internal affairs) atau terhadap minoritas

suatu bangsa.

4. Pemerintahan otonomi memiliki pendapatan yang cukup untuk menentukan nasib

sendiri, memenuhi kesejahteraan hidup maupun dalam mencapai tujuan hidup secara

adil (self-determination, self-sufficiency, self-reliance).

5. Pemerintahan otonomi memiliki supremasi atau dominasi kekuasaan (supremacy of

authority) atau hukum (rule) yang dilaksanakan sepenuhnya oleh pemegang

kekuasaan di daerah. (Syahda Guruh LS, 2008 :73-74)

Perolehan otonomi khusus dalam konteks hukum internasional pada umumnya

didasarkan pada suatu perjuangan untuk memperoleh status politik dalam suatu negara yang

telah merdeka. Hukum Internasional memang secara khusus membatasi hak untuk

menentukan nasib sendiri yang berujung pada terbentuknya negara baru pada tiga kategori

yaitu:

1. Masyarakat yang berada di bawah penguasaan (penjajahan) dari negara lain

Page 5: Filsafat Hukum (Ika,Ocha,Esti,Wahda)

2. Masyarakat yang berada dibawah pendudukan pemerintahan asing

3. Masyarakat yang masih tertindas oleh suatu pemerintahan yang otoriter.

Otonomi khusus dalam hukum internasional telah diakui sebagai salah satu jalan

untuk menghindari proses disintegrasi dari suatu negara. Oleh karenanya Hukum

internasional memberikan penghormatan terhadap perlindungan dari suatu kelompok bangsa

atau etnis untuk mempertahankan identitasnya. Untuk itu salah satu keuntungan dari

penerapan otonomi adalah sebagai salah satu sarana penyelesaian konflik. Perkembangan dari

prinsip-prinsip otonomi ini sebagai hasil dari perkembangan hukum internasional secara

umum yang didasarkan pada perlindungan terhadap hak asai manusia yang secara langsung

berdampak pada pemajuan standar umum bagi kepercayan terhadap demokrasi, kesetraan,

dan partisipasi rakyat dalam bidang ekonomi, social, budaya, politik, dan hukum dari suatu

negara.

Adanya daerah otonomi dalam suatu negara (a self-governing intra state region)

sebagai suatu mekanisme penyelesaian konflik adalah suatu tindakan pilihan bagi penyeleisan

konflik internal, sehingga memaksa pemerintah pusat utnuk menciptakan daerah otonomi

sebagai suatu intra state region with unique level of local self-government. Untuk itu daerah

otonomi harus mendapatkan pengakuan konstitusional dari negara induk yang didasarkan

pada prinsip pemerintahan sendiri yang derajat kemandiriannya lebih tinggi dibandingkan

daerah lainnya dalam suatu negara

Isi Dari Otonomi

Otonomi dapat berarti keseimbangan yang dibangun dengan konstruksi hukum

antara kedaulatan negara dan ekspresi dari identitas kelompok etnis atau bangsa dalam suatu

negara. Secara konstitusional tingkat dari otonomi sendiri dapat ditentukan melalui

pengalihan kekuasaan legislative dari organ nefara kepada lembaga dari daerah otonomi

tersebut. Dengan mendasarkan prinsip kedualatan negara, satu atau lebih wilayah dapat

diberikan status khusus sebagai daerah otonomi yang berhak menikmati local self-

government yang menurut Lauri Hannikainen mencakup beberapa kewenangan dan isu

tertentu yang penting antara lain:

1. Status dari daerah otonomi harus ditentukan dalam konstitusi atau UU yang berada

diatas ketentuan perundang-undangan di sutau negara. Ini juga bisa didasarkan pada

perjanjian antara pemerintah pusat dan masyarakat di daerah tersebut

2. Daerah otonomi harus mempunyai DPR yang dipilih secara demokratis oleh

masyarakat di daerah tersebut dan memiliki bebarapa kewenangan legislatif yang

mandiri

Page 6: Filsafat Hukum (Ika,Ocha,Esti,Wahda)

3. Adanya kewenangan ekslusif dari pemerintah otonomi yang meliputi: pendidkan dan

kebudayaan, kebijakan kebahasaan, urusan sosial, kebijakan agraria dan sumber daya

alam, perlindungan lingkungan, pembangunan ekonomi dan perdagangan daerah,

kesehatan, tata ruang, dan transportasi

4. Daerah otonomi mempunyai kemungkinan untuk menjadi salah satu pihak dalam

proses pengambilan kebijakan dalam level nasional

5. Peradilan lokal harus menjadi bagian dari otonomi dan dapat menikmati kemandirian

dari kekuasaan eksekutif dan legislatif

6. Kewenangan dalam perpajakan akan memberikan dasar kuat bagi pembanguan

ekonomi dari daerah otonomi

7. Daerah otonomi juga harus mempunyai hak untuk bekerja sama dengan daerah atau

masyarakat lain di negara tetangga terutama dalam hal ekonomi dan budaya

Hukum Internasional memang tidak memberikan pembatasan dalam pengaturan

secara konstitusional dalam suatu negara dalam hal bentuk betuk sub sovereign status

atau otonomi. Menurut Husrt Hannum, otonomi yang lebih luas harus diikuti juga oleh

perolehan beberapa kewenangan yang diurus secara langsung.

1. DPR lokal yang dipilih dengan memiliki kewenangan legislatif yang mandiri

2. Kepala pemerintahan yang dipilih

3. Kekuasaan kehakiman lokal yang mandiri dengan kewenangan penuh untuk melakukan

penafsiran terhadap peraturan lokal

4. Adanya perjanjian pembagian kekuasaan antara pemerintah otonomi dengan

pemerintah pusat.

Suatu wilayah otonomi harus dapat menikmati penguasaan yang efektif atas

beberapa masalah-masalah lokal dengan tetap dalam kerangkan norma dasar dari suatu

negara. Otonomi tidak sama dengan kemerdekaan dan pemerintah daerah otonomi sulit untuk

mengharapkan tidak adanya intervensi dari pemerintah pusat dan pada saat yang sama,

negara harus mengadopsi fleksibilitas perlakuan yang akan membuat daerah otonomi mampu

untuk mengelola kewenangannya secara nyata.

Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi. Negara

mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau

bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Yang dimaksud satuan-satuan

pemerintahan daerah yang bersifat khusus adalah daerah yang diberikan otonomi khusus.

Daerah-daerah yang diberikan otonomi khusus ini adalah

1. Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta;

Page 7: Filsafat Hukum (Ika,Ocha,Esti,Wahda)

2. Provinsi Aceh;

3. Provinsi Papua; dan

4. Provinsi Papua Barat.

Daerah-daerah yang memiliki status istimewa dan diberikan otonomi khusus selain

diatur dengan Undang-Undang Pemerintahan Daerah diberlakukan pula ketentuan khusus

yang diatur dalam undang-undang lain.

1. Bagi Provinsi DKI Jakarta diberlakukan UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang

Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu kota Jakarta sebagai Ibu kota Negara

Kesatuan Republik Indonesia;

2. Bagi Provinsi NAD diberlakukan UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang

Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU Nomor 11

Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh; dan

3. Bagi Provinsi Papua dan Papua Barat diberlakukan UU Nomor 21 Tahun 2001

tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

Dari paparan di atas maka makalah yang kami susun akan membahas mengenai otonomi

khusus daerah Aceh, Papua, dan Yogyakarta.

A. ACEH

Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang

bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri

urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan

perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia

berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin

oleh seorang Gubernur.

Pengakuan Negara atas keistimewaan dan kekhususan daerah Aceh terakhir diberikan melalui

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (LN 2006 No 62, TLN

4633). UU Pemerintahan Aceh ini tidak terlepas dari Nota Kesepahaman (Memorandum of

Understanding) antara Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka yang ditandatangani pada

tanggal 15 Agustus 2005 dan merupakan suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju

pembangunan sosial, ekonomi, serta politik di Aceh secara berkelanjutan. Hal-hal mendasar

yang menjadi isi UU Pemerintahan Aceh ini antara lain:

1. Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi dalam sistem NKRI

berdasarkan UUD Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang

dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Aceh sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing.

Page 8: Filsafat Hukum (Ika,Ocha,Esti,Wahda)

2. Tatanan otonomi seluas-luasnya yang diterapkan di Aceh berdasarkan UU

Pemerintahan Aceh ini merupakan subsistem dalam sistem pemerintahan secara

nasional.

3. Pengaturan dalam Qanun Aceh maupun Kabupaten/Kota yang banyak diamanatkan

dalam UU Pemerintahan Aceh merupakan wujud konkret bagi terselenggaranya

kewajiban konstitusional dalam pelaksanaan pemerintahan tersebut.

4. Pengaturan perimbangan keuangan pusat dan daerah tercermin melalui pemberian

kewenangan untuk pemanfaatan sumber pendanaan yang ada.

5. Implementasi formal penegakan syari’at Islam dengan asas personalitas ke-Islaman

terhadap setiap orang yang berada di Aceh tanpa membedakan kewarganegaraan,

kedudukan, dan status dalam wilayah sesuai dengan batas-batas daerah Provinsi Aceh.

Pengakuan sifat istimewa dan khusus oleh Negara kepada Aceh sebenarnya telah melalui

perjalanan waktu yang panjang. Tercatat setidaknya ada tiga peraturan penting yang pernah

diberlakukan bagi keistimewaan dan kekhususan Aceh yaitu Keputusan Perdana Menteri

Republik Indonesia Nomor 1/Missi/1959 tentang Keistimewaan Provinsi Aceh, UU 44/1999

tentang Penyelenggaraan Keistimewaan bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh, dan UU

18/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe

Aceh Darussalam. Dengan dikeluarkannya UU Pemerintahan Aceh, diharapkan dimanfaatkan

sebesar-besarnya bagi kesejahteraan di Aceh untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan

yang berkeadilan dan keadilan yang berkesejahteraan di Aceh.

B. YOGYAKARTA

Dalam konteks Indonesia, daerah otonomi khusus diatur dalam Pasal 18 B ayat (1)

Perubahan II UUD 1945 yang menyatakan:

PasaI 18B

(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang

bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.

Dalam Konteks Yogyakarta, adalah sebuah keistimewaan karena Yogyakarta secara

sepihak menyatakan kemerdekaan serta kedaulatannya dari Pemerintah Kolonial Hindia

Belanda sekaligus juga mengakhiri serta mengintegrasikan kemerdekaan dan kedaulatannya

kepada Pemerintah Republik Indonesia melalui Dekrit kerajaan yang dikenal dengan Amanat

5 September 1945 yang dikeluarkan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Paku Alam

VIII. Sesudah itu Sri Sultan Hamengkubowono IX dan Paku Alam VII mengeluarkan

kembali dekrit kerajaan, yang dikenal dengan Amanat 30 Oktober 1945, yang menyerahkan

kekuasaan legislatif kepada Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta. Semenjak saat itu dekrit

Page 9: Filsafat Hukum (Ika,Ocha,Esti,Wahda)

kerajaan tidak hanya ditandatangani kedua penguasa monarki melainkan juga oleh ketua

Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta sebagai simbol persetujuan rakyat. Pada 18 Mei

1946, secara resmi nama Daerah Istimewa Yogyakarta mulai digunakan dalam urusan

pemerintahan yang dikeluarkan melalui Maklumat No 18 tentang Dewan-Dewan Perwakilan

Rakyat di Daerah Istimewa Yogyakarta. Melalui Dekrit Kerajaan ini dinyatakan bahwa

hubungan antara Negeri Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Negeri Kadipaten

Pakualaman dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia bersifat langsung, dan

kedua kepala Negeri bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden, yang dikukuhkan

dengan piagam kedudukan oleh Presiden Republik Indonesia tanggal 19 Agustus 1945, yang

diterimakan pada tanggal 6 September 1945. Secara hukum perkembangan ini sungguh

menarik karena meski tidak diatur melalui UU khusus, akan tetapi melalui dekrit kerajaan

dapat dinyatakan bahwa Yogyakarta menganut bentuk pemerintahan monarki konstitusional

dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Perkembangan Keistimewaan Yogyakarta

Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta secara legal formal dibentuk dengan UU

Nomor 3 Tahun 1950 yang kemudian diubah menjadi UU No 19 Tahun 1950. Pemerintah DI

Yogyakarta berdasarkan UU tersebut menikmati kewenangan antara lain:

1. Urusan Umum

2. Pemerintahan Umum.

3. Agraria.

4. Pengairan, djalan-djalan dan gedung-gedung.

5. Pertanian, Perikanan dan koperasi.

6. Kehewanan.

7. Keradjinan, perdagangan dalam negeri dan perindustrian.

8. Perburuhan.

9. Sosial.

10. Pembagian (Distribusi).

11. Penerangan.

12. Pendidikan, pengadjaran dan kebudajaan

13. Kesehatan.

14. Lalu lintas dan angkutan bermotor.

15. Perusahaan.

Dalam kedua peraturan perundang-undangan ini tidak tampak berbagai kewenangan

khusus seperti yang telah dijabarkan oleh Hurst Hannum maupun oleh Lauri Hannikainen.

Page 10: Filsafat Hukum (Ika,Ocha,Esti,Wahda)

Meski demikian sudah tampak berbagai kewenangan eksklusif dari Pemerintah DI

Yogyakarta

Yang cukup menarik bahwa kedudukan penguasa kerajaan di Yogyakarta justru

tidak diatur oleh kedua UU ini, secara politis ini berarti Pemerintah Pusat mengakui keduanya

sebagai Penguasa dari DI Yogyakarta. Namun, dengan tidak adanya penjelasan secara hukum

tentang posisi keduanya ini yang kemudian rentan dalam penafsiran tentang siapa yang

berhak menduduki posisi eksekutif dalam pemerintahan di Yogyakarta. Dilema ini sudah

muncul sejak meninggalnya Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Pakualam VIII sebagai

Gubernur dan Wakil Gubernur Propinsi DI Yogyakarta.

Dilema dari posisi dan keistimewaan dari Yogyakarta ini dicoba dijawab melalui

RUU Keistimewaan Yogyakarta yang dirancang oleh DPRD DI Yogyakarta. Untuk itu

penting untuk melihat kewenangan yang digagas dalam RUU Keistimewaan Yogyakarta ini.

No Isi Otonomi Pengaturan

1 Status Daerah Otonomi Diatur melalui RUU Keistimewaan

Yogyakarta

2 Status dan Kewenangan DPRD Diatur melalui UU Otonomi Daerah yang

umum; tidak mempunyai kewenangan

eksklusif

3 Peradilan dan penegakan hukum Diatur melalui UU nasional yang berlaku;

tidak mempunyai kewenangan eksklusif

4 Perpajakan Diatur melalui UU Otonomi Daerah yang

umum; tidak mempunyai kewenangan

ekskulsif

5 Kerjasama Internasional -; tidak mempunyai kewenangan ekskulsif

6 Kewenangan Eksklusif Pertanahan, Budaya serta kewenangan lain

yang telah diatur melalui UU Otonomi

Daerah

7 Pembagian Keuangan Diatur melalui UU Perimbangan Keuangan

Pusat dan Daerah; tidak mempunyai

kewenangan ekskulsif

8 Kepala Eksekutif Penetapan oleh DPRD Propinsi: hanya

Sultan/Pakualam dan/atau kerabatnya yang

berhak menduduki posisi eksekutif

Page 11: Filsafat Hukum (Ika,Ocha,Esti,Wahda)

Dari sisi pengaturan otonomi, tidak tampak adanya perbedaan antara keistimewaan

yang akan dipunyai oleh Yogyakarta dengan otonomi yang dinikmati oleh propinsi yang lain

yang tidak berstatus istimewa. Hal ini berbeda dengan status yang saat ini dinikmati oleh

Aceh dan Papua. Keistimewaan Yogyakarta hanya tampak pada pengisian posisi kepala dan

wakil kepala eksekutif di Yogyakarta yang hanya bisa ditempati oleh Sultan/Pakualam

dan/atau kerabat kerajaan dan juga kewenangan di bidang pertanahan (yang dikenal dengan

sultan grond) dan juga budaya.

Dari sisi hukum akan sangat sayang apabila keistimewaan Yogyakarta hanya

istimewa di tiga isu tersebut, karena sangat banyak kekhasan yang bisa diatur melalui UU

Keistimewaan Yogyakarta. RUU Keistimewaan Yogyakarta dapat dinyatakan sebagai low

degree of autonomy.

C. PAPUA

Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang kemudian menjadi Provinsi Papua

dan Provinsi Papua Barat yang diberi Otonomi Khusus dalam kerangka Negara Kesatuan

Republik Indonesia. Otonomi Khusus sendiri adalah kewenangan khusus yang diakui dan

diberikan kepada Provinsi Papua, termasuk provinsi-provinsi hasil pemekaran Provinsi

Papua, untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa

sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua.

Otonomi ini diberikan oleh Negara Republik Indonesia melalui Undang-undang Nomor 21

Tahun 2001 (LN 2001 No. 135 TLN No 4151).Hal-hal mendasar yang menjadi isi Undang-

undang ini adalah:

Pertama, pengaturan kewenangan antara Pemerintah dengan Pemerintah Provinsi

Papua serta penerapan kewenangan tersebut di Provinsi Papua yang dilakukan dengan

kekhususan;

Kedua, pengakuan dan penghormatan hak-hak dasar orang asli Papua serta

pemberdayaannya secara strategis dan mendasar; dan

Ketiga, mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik yang berciri:

1. partisipasi rakyat sebesar-besarnya dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan

dalam penyelenggaraan pemerintahan serta pelaksanaan pembangunan melalui

keikutsertaan para wakil adat, agama, dan kaum perempuan;

2. pelaksanaan pembangunan yang diarahkan sebesar-besarnya untuk memenuhi

kebutuhan dasar penduduk asli Papua pada khususnya dan penduduk Provinsi Papua

pada umumnya dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip pelestarian lingkungan,

Page 12: Filsafat Hukum (Ika,Ocha,Esti,Wahda)

pembangunan berkelanjutan, berkeadilan dan bermanfaat langsung bagi masyarakat;

dan

3. penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan yang transparan dan

bertanggungjawab kepada masyarakat.

Keempat, pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab yang tegas dan jelas

antara badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, serta Majelis Rakyat Papua sebagai

representasi kultural penduduk asli Papua yang diberikan kewenangan tertentu.

Provinsi Papua sebagai bagian dari NKRI menggunakan Sang Merah Putih sebagai

Bendera Negara dan Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan. Provinsi Papua dapat memiliki

lambang daerah sebagai panji kebesaran dan simbol kultural bagi kemegahan jati diri orang

Papua dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah yang tidak diposisikan sebagai simbol

kedaulatan.

1. Wilayah Papua

Provinsi Papua terdiri atas Daerah Kabupaten dan Daerah Kota yang masing-masing

sebagai Daerah Otonom. Daerah Kabupaten/Kota terdiri atas sejumlah Distrik. Distrik

(dahulu dikenal dengan Kecamatan) adalah wilayah kerja Kepala Distrik sebagai perangkat

daerah Kabupaten/Kota; Distrik terdiri atas sejumlah kampung atau yang disebut dengan

nama lain. Kampung atau yang disebut dengan nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum

yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat

berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan

nasional dan berada di daerah Kabupaten/Kota.

Di dalam Provinsi Papua dapat ditetapkan kawasan untuk kepentingan khusus yang

diatur dalam peraturan perundang-undangan atas usul Provinsi. Pemekaran Provinsi Papua

menjadi Provinsi-provinsi yang baru dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah

memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumberdaya

manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang.

2. Pemerintahan

Pemerintahan Daerah Provinsi Papua terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat Papua

(DPRP) sebagai badan legislatif, dan Pemerintah Provinsi sebagai badan eksekutif. Dalam

rangka penyelenggaraan Otonomi Khusus di Provinsi Papua dibentuk Majelis Rakyat Papua

(MRP) yang merupakan representasi kultural orang asli Papua yang memiliki kewenangan

tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua, dengan berlandaskan pada

penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan

kerukunan hidup beragama.

Page 13: Filsafat Hukum (Ika,Ocha,Esti,Wahda)

Legislatif

Kekuasaan legislatif Provinsi Papua dilaksanakan oleh DPRP. Jumlah anggota DPRP

adalah 1 1/4 (satu seperempat) kali dari jumlah anggota DPRD Provinsi Papua sebagaimana

diatur dalam peraturan perundang-undangan. Sebagai contoh mudah, jika jatah anggota

DPRD Papua menurut UU Susduk MPR, DPR, DPD, dan DPRD adalah 100 kursi maka

jumlah kursi DPRP adalah 125 kursi.

Eksekutif

Pemerintah Provinsi Papua dipimpin oleh seorang Kepala Daerah sebagai Kepala

Eksekutif yang disebut Gubernur. Gubernur dibantu oleh Wakil Kepala Daerah yang disebut

Wakil Gubernur. Tata cara pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur ditetapkan dengan

Perdasus sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Berbeda dengan Provinsi-provinsi

lain di Indonesia, yang dapat dipilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Papua

memerlukan syarat khusus, diantaranya adalah Warga Negara Republik Indonesia dengan

syarat-syarat:

orang asli Papua;

setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mengabdi kepada rakyat

Provinsi Papua;

tidak pernah dihukum penjara karena melakukan tindak pidana, kecuali dipenjara

karena alasan-alasan politik; dan

tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan yang telah

berkekuatan hukum tetap, kecuali dipenjara karena alasan-alasan politik.

MRP

MRP beranggotakan orang-orang asli Papua yang terdiri atas wakil-wakil adat, wakil-

wakil agama, dan wakil-wakil perempuan yang jumlahnya masing-masing sepertiga dari total

anggota MRP. Keanggotaan dan jumlah anggota MRP ditetapkan dengan Perdasus. Masa

keanggotaan MRP adalah 5 (lima) tahun. Pelantikan anggota MRP dilaksanakan oleh Menteri

Dalam Negeri.

MRP mempunyai tugas dan wewenang, yang diatur dengan Perdasus, antara lain :

memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon Gubernur dan Wakil

Gubernur yang diusulkan oleh DPRP; dan

memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap Rancangan Perdasus yang

diajukan oleh DPRP bersama-sama dengan Gubernur;

3. Parpol

Page 14: Filsafat Hukum (Ika,Ocha,Esti,Wahda)

Penduduk Provinsi Papua dapat membentuk partai politik. Rekrutmen politik oleh

partai politik di Provinsi Papua dilakukan dengan memprioritaskan masyarakat asli Papua.

Partai politik wajib meminta pertimbangan kepada MRP dalam hal seleksi dan rekrutmen

politik partainya masing-masing.

4. Peraturan Daerah

Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua dalam

rangka pelaksanaan pasal-pasal tertentu dalam UU 21/2001. Perdasus dibuat dan ditetapkan

oleh DPRP bersama-sama Gubernur dengan pertimbangan dan persetujuan MRP. Peraturan

Daerah Provinsi (Perdasi) adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan

kewenangan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Perdasi dibuat dan

ditetapkan oleh DPRP bersama-sama Gubernur.

5. Keuangan

Dana Perimbangan

Dalam rangka otonomi khusus Provinsi Papua (dan provinsi-provinsi hasil pemekarannya)

mendapat bagi hasil dari pajak dan sumber daya alam sebagai berikut:

1. Pajak Bumi dan Bangunan sebesar 90% (sembilan puluh persen)

2. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebesar 80% (delapan puluh persen)

3. Pajak Penghasilan Orang Pribadi sebesar 20% (dua puluh persen)

4. Kehutanan sebesar 80% (delapan puluh persen)

5. Perikanan sebesar 80% (delapan puluh persen)

6. Pertambangan umum sebesar 80% (delapan puluh persen)

7. Pertambangan minyak bumi 70% (tujuh puluh persen) selama 25 tahun terhitung dari

tahun 2001. Mulai tahun ke-26 menjadi 50% (lima puluh persen)

8. Pertambangan gas alam 70% (tujuh puluh persen) selama 25 tahun terhitung dari

tahun 2001. Mulai tahun ke-26 menjadi 50% (lima puluh persen).

Sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) penerimaan Pertambangan minyak bumi dan

gas alam dialokasikan untuk biaya pendidikan, dan sekurang-kurangnya 15% (lima belas

persen) untuk kesehatan dan perbaikan gizi

Dana lain-lain

Dana Alokasi Khusus yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan

dengan memberikan prioritas kepada Provinsi Papua. Penerimaan khusus dalam rangka

pelaksanaan Otonomi Khusus yang besarnya setara dengan 2% (dua persen) dari plafon Dana

Alokasi Umum Nasional, yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pendidikan dan

kesehatan yang berlaku selama 20 (dua puluh) tahun. Dana tambahan dalam rangka

Page 15: Filsafat Hukum (Ika,Ocha,Esti,Wahda)

pelaksanaan Otonomi Khusus yang besarnya ditetapkan antara Pemerintah dengan DPR

berdasarkan usulan Provinsi pada setiap tahun anggaran, yang terutama ditujukan untuk

pembiayaan pembangunan infrastruktur.

6. Perekonomian

Usaha-usaha perekonomian di Provinsi Papua yang memanfaatkan sumber daya

alam dilakukan dengan tetap menghormati hak-hak masyarakat adat, memberikan jaminan

kepastian hukum bagi pengusaha, serta prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, dan

pembangunan yang berkelanjutan, yang pengaturannya ditetapkan dengan Perdasus.

Pembangunan perekonomian berbasis kerakyatan dilaksanakan dengan memberikan

kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat adat dan/atau masyarakat setempat yang

dilakukan dalam kerangka pemberdayaan masyarakat adat agar dapat berperan dalam

perekonomian seluas-luasnya. Penanam modal yang melakukan investasi di wilayah Provinsi

Papua harus mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat setempat. Pemberian

kesempatan berusaha Perundingan yang dilakukan antara Pemerintah Provinsi,

Kabupaten/Kota, dan penanam modal harus melibatkan masyarakat adat setempat

7. Penegakan Hukum

Kepolisian

Tugas Kepolisian di Provinsi Papua dilaksanakan oleh Kepolisian Daerah Provinsi

Papua sebagai bagian dari Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pengangkatan Kepala

Kepolisian Daerah Provinsi Papua dilakukan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik

Indonesia dengan persetujuan Gubernur Provinsi Papua. Seleksi untuk menjadi perwira,

bintara, dan tamtama Kepolisian Negara Republik Indonesia di Provinsi Papua dilaksanakan

oleh Kepolisian Daerah Provinsi Papua dengan memperhatikan sistem hukum, budaya, adat

istiadat, dan kebijakan Gubernur Provinsi Papua. Pendidikan dasar dan pelatihan umum bagi

bintara dan tamtama Kepolisian Negara Republik Indonesia di Provinsi Papua diberi

kurikulum muatan lokal, dan lulusannya diutamakan untuk penugasan di Provinsi Papua.

Penempatan perwira, bintara dan tamtama Kepolisian Negara Republik Indonesia dari luar

Provinsi Papua dilaksanakan atas Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia

dengan memperhatikan sistem hukum, budaya dan adat istiadat di daerah penugasan.

Kejaksaan

Tugas Kejaksaan dilakukan oleh Kejaksaan Provinsi Papua sebagai bagian dari

Kejaksaan Republik Indonesia. Pengangkatan Kepala Kejaksaan Tinggi di Provinsi Papua

dilakukan oleh Jaksa Agung Republik Indonesia dengan persetujuan Gubernur.

Page 16: Filsafat Hukum (Ika,Ocha,Esti,Wahda)

Peradilan

Kekuasaan kehakiman di Provinsi Papua dilaksanakan oleh Badan Peradilan sesuai

dengan peraturan perundang-undangan. Di samping kekuasaan kehakiman tersebut, diakui

adanya peradilan adat di dalam masyarakat hukum adat tertentu. Peradilan adat adalah

peradilan perdamaian di lingkungan masyarakat hukum adat, yang mempunyai kewenangan

memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana di antara para warga

masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Pengadilan adat disusun menurut ketentuan

hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

Pengadilan adat memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana

berdasarkan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Pengadilan adat tidak

berwenang memeriksa dan mengadili sengketa perdata dan perkara pidana yang salah satu

pihak yang bersengketa atau pelaku pidana bukan warga masyarakat hukum adatnya.

Hukum Adat adalah aturan atau norma tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat

hukum adat, mengatur, mengikat dan dipertahankan, serta mempunyai sanksi. Masyarakat

Hukum Adat adalah warga masyarakat asli Papua yang sejak kelahirannya hidup dalam

wilayah tertentu dan terikat serta tunduk kepada hukum adat tertentu dengan rasa solidaritas

yang tinggi di antara para anggotanya.

Pengadilan adat tidak berwenang menjatuhkan hukuman pidana penjara atau

kurungan. Putusan pengadilan adat mengenai delik pidana yang perkaranya tidak dimintakan

pemeriksaan ulang oleh pengadilan tingkat pertama, menjadi putusan akhir dan berkekuatan

hukum tetap.

8. Adat Papua dan Perlindungannya

Adat adalah kebiasaan yang diakui, dipatuhi dan dilembagakan, serta dipertahankan

oleh masyarakat adat setempat secara turun-temurun. Pemerintah Provinsi Papua wajib

mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-hak

masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan peraturan hukum yang berlaku.

Masyarakat adat adalah warga masyarakat asli Papua yang hidup dalam wilayah dan terikat

serta tunduk kepada adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para

anggotanya.

Hak-hak masyarakat adat tersebut meliputi hak ulayat masyarakat hukum adat dan

hak perorangan para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Hak Ulayat adalah

hak persekutuan yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah

tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya, yang meliputi hak untuk

memanfaatkan tanah, hutan, dan air serta isinya sesuai dengan peraturan perundang-

Page 17: Filsafat Hukum (Ika,Ocha,Esti,Wahda)

undangan. Penyediaan tanah ulayat dan tanah perorangan warga masyarakat hukum adat

untuk keperluan apapun, dilakukan melalui musyawarah dengan masyarakat hukum adat dan

warga yang bersangkutan untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah yang

diperlukan maupun imbalannya.

Orang asli Papua berhak memperoleh kesempatan dan diutamakan untuk

mendapatkan pekerjaan dalam semua bidang pekerjaan di wilayah Provinsi Papua

berdasarkan pendidikan dan keahliannya. Dalam hal mendapatkan pekerjaan di bidang

peradilan, orang asli Papua berhak memperoleh keutamaan untuk diangkat menjadi Hakim

atau Jaksa di Provinsi Papua. Orang asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras

Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima

dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua. Sedangkan penduduk

Papua, adalah semua orang yang menurut ketentuan yang berlaku terdaftar dan bertempat

tinggal di Provinsi Papua

9. Hak Asasi dan Rekonsiliasi

Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan penduduk Provinsi Papua wajib menegakkan,

memajukan, melindungi, dan menghormati Hak Asasi Manusia di Provinsi Papua. Untuk hal

itu Pemerintah membentuk perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Pengadilan Hak

Asasi Manusia, dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Provinsi Papua. Untuk

menegakkan Hak Asasi Manusia kaum perempuan, Pemerintah Provinsi berkewajiban

membina, melindungi hak-hak dan memberdayakan perempuan secara bermartabat dan

melakukan semua upaya untuk memposisikannya sebagai mitra sejajar kaum laki-laki.

Dalam rangka pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa di Provinsi Papua

dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Tugas Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

adalah melakukan klarifikasi sejarah Papua untuk pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa

dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan merumuskan dan menetapkan langkah-

langkah rekonsiliasi.

10. Agama, Pendidikan, dan Kebudayaan

Setiap penduduk Provinsi Papua memiliki hak dan kebebasan untuk memeluk agama

dan kepercayaannya masing-masing. Pemerintah Provinsi Papua berkewajiban untuk

menjamin:

kebebasan, membina kerukunan, dan melindungi semua umat beragama untuk

menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya;

menghormati nilai-nilai agama yang dianut oleh umat beragama;

mengakui otonomi lembaga keagamaan; dan

Page 18: Filsafat Hukum (Ika,Ocha,Esti,Wahda)

memberikan dukungan kepada setiap lembaga keagamaan secara proporsional

berdasarkan jumlah umat dan tidak bersifat mengikat.

Pemerintah mendelegasikan sebagian kewenangan perizinan penempatan tenaga asing bidang

keagamaan di Provinsi Papua kepada Gubernur Provinsi Papua.

Pemerintah Provinsi bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan pada

semua jenjang, jalur, dan jenis pendidikan di Provinsi Papua. Pemerintah Provinsi wajib

melindungi, membina, dan mengembangkan kebudayaan asli Papua. Pemerintah Provinsi

berkewajiban membina, mengembangkan, dan melestarikan keragaman bahasa dan sastra

daerah guna mempertahankan dan memantapkan jati diri orang Papua. Selain bahasa

Indonesia sebagai bahasa nasional, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa kedua di semua

jenjang pendidikan. Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar di jenjang

pendidikan dasar sesuai kebutuhan.

11. Lingkungan Hidup

Pemerintah Provinsi Papua berkewajiban melakukan pengelolaan lingkungan hidup

secara terpadu dengan memperhatikan penataan ruang, melindungi sumber daya alam hayati,

sumber daya alam nonhayati, sumber daya buatan, konservasi sumber daya alam hayati dan

ekosistemnya, cagar budaya, dan keanekaragaman hayati serta perubahan iklim dengan

memperhatikan hak-hak masyarakat adat dan untuk sebesar-besarnya bagi kesejahteraan

penduduk.

Usul perubahan atas UU 21/2001 dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui

MRP dan DPRP kepada DPR atau Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pelaksanaan UU 21/2001 dievaluasi setiap tahun dan untuk pertama kalinya dilakukan pada

akhir tahun ketiga sesudah Undang-undang ini berlaku. Pemberian otonomi ini disahkan pada

21 November 2001.

Penerbitan Perpu No. 1 Tahun 2008

Perpu 1/2008 merupakan revisi dari UU 21/2001 yang ditujukan untuk memberikan

dasar hukum bagi pelaksanaan otonomi khusus bagi Provinsi Papua Barat. Dalam UU

21/2001, hanya dijelaskan mengenai pelaksanaan otonomi khusus bagi Provinsi Papua.

Definisi "Provinsi Papua" yang dimaksud dalam UU ini diterjemahkan secara berbeda-beda

oleh berbagai pihak, apakah itu Provinsi Papua "sebelum pemekaran" ataukah "setelah

pemekaran". Pada waktu UU 21/2001 disahkan, yang dimaksud Provinsi Papua mencakup

seluruh wilayah Pulau Papua bagian barat. Dalam perkembangannya, bagian sebelah timur

dari Provinsi Papua dipisahkan menjadi Provinsi Papua Barat. Pemberlakuan otonomi khusus

bagi Provinsi Papua Barat memerlukan kepastian hukum yang sifatnya mendesak dan segera

Page 19: Filsafat Hukum (Ika,Ocha,Esti,Wahda)

agar tidak menimbulkan hambatan percepatan pembangunan khususnya bidang sosial,

ekonomi, dan politik serta infrastruktur di Provinsi Papua Barat. Oleh karena itu, Presiden

menerbitkan Perpu 1/2008 sebagai dasar hukum pelaksanaan Otonomi Khusus di Provinsi

Papua Barat.

Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah dan Otonomi telah diundangkan. Namun

tampaknya, tidak membawa harapan bagi rakyat republik ini. Masih banyak kelemahan yang

ditemukan, akibat dominasi pemerintahan pusat yang kuat, antara lain sebagai berikut.

1. Daerah otonom tidak mempunyai kewenangan kebijakan strategis dalam

penyelenggaraan pemerintah.

2. Provinsi berwenang menyelenggarakan kewenangan pemerintah pusat “yang

dilimpahkan” (ini berarti masih merupakan kepanjangan tangan saja).

3. Gubernur, Bupati, dan Wali Kota dapat diberhentikan oleh Presiden karena

“melakukan makar”, dan perubahan yang dapat memecah belah Negara Kesatuan,

“tanpa permintaan pemberhentian oleh DPRD”. Hal ini mencerminkan masih

kentalnya intervensi pusat kepada daerah.

4. Tindakan kepolisian terhadap Gubernur, Bupati, dan Walikota dapat dilaksanakan

oleh persetujuan Presiden.

5. Gubernur, Bupati, dan Walikota “berkewajiban memberikan keterangan

pertanggungjawaban kepada Presiden” selaku Kepala Pemerintahan melalui Menteri

Dalam Negeri.

6. Peraturan Daerah tidak boleh mengatur sesuatu hal “yang telah diatur dalam peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi.

7. Pendapatan Daerah Otonom di antaranya terdiri dari pendapatan yang berasal dari

perimbangan keuangan pemerintah dan Daerah Otonom yang ditetapkan “berdasarkan

suatu presentase” dari seluruh realisasi penerimaan Dalam Negeri yang dikelola

dalam wadah dana oleh “Lembaga Hubungan Keuangan”. Klausul demikian sangat

tidak jelas dan merugikan daerah.

8. Sebutan Daerah Istimewa untuk Aceh (itupun kalau Aceh masih mau bergabung

dengn RI) dan Yogyakarta adalah tetap, dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan

pemerintahan “berpedoman pada Undang-Undang ini. Karakter daerah istimewa tidak

berbeda sama sekali dengam daerah biasa. (ini terjadi apabila kesepakatan seluruh

daerah tetap menggunakan negara kesatuan ). (Syahda Guruh LS, 2008 :79-80)

Page 20: Filsafat Hukum (Ika,Ocha,Esti,Wahda)

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Page 21: Filsafat Hukum (Ika,Ocha,Esti,Wahda)
Page 22: Filsafat Hukum (Ika,Ocha,Esti,Wahda)

BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

Guruh, Syahda LS. (2000). Menimbang Otonomi vs Federal. Bandung : PT Remaja

Rosdakarya.

http://id.wikipedia.org/wiki/Daerah_khusus

Buletin Infoprada 4/Sep/01, 22/Sep/01; Tapol Bulletin Oct/01; Media 26/Oct/01; Jakarta

Post 26/Oct/01, 2/Nov/01; Statement by Papuan Presidium Council, 20/Oct/01)

http://id.wikipedia.org/wiki/Otonomi_khusus_Papua

UU No. 21 Tahun 2001 Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua

UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Darji Darmodiharjo dan Shidarta. (2006). Pokok-pokok Filsafat hukum. Jakarta : PT

Gramedia pustaka utama.