file

27
BAB I PENDAHULUAN Preeklampsia/eklampsia masih merupakan salah satu penyebab utama kematian maternal dan perinatal yang tinggi di Indonesia Diagnosis dini preeklampsia yang merupakan tingkat pendahuluan eklampsia serta penanganannya perlu segera dilaksanakan untuk menurunkan angka kematian ibu dan anak. Sindrom preeklampsia ringan dengan hipertensi, odem, dan proteinuri sering tidak diketahui atau tidak diperhatikan. Pemeriksaan antenatal yang teratur dan secara rutin mencari tanda preeklampsia sangat penting dalam usaha pencegahan preeklampsia berat dan eklampsia, di samping pengendalian terhadap faktor-faktor predisposisi yang lain. Preeklamsi-eklampsia merupakan bagian dari penyakit hipertensi dalam kehamilan (HDK). Preeklampsia adalah hipertensi disertai proteinuri dan odem akibat kehamilan setelah usia kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan. Eklampsia adalah timbulnya kejang pada penderita preeklampsia yang disusul dengan koma. Ks^ang di sini bukan akibat kelainan neurologis. Prinsip penanganan eklampsia terdiri dari menjaga jalan nafas ibu, menghenrikan kejang dan

description

file

Transcript of file

BAB I PENDAHULUAN

Preeklampsia/eklampsia masih merupakan salah satu penyebab utama kematian maternal dan perinatal yang tinggi di Indonesia Diagnosis dini preeklampsia yang merupakan tingkat pendahuluan eklampsia serta penanganannya perlu segera dilaksanakan untuk menurunkan angka kematian ibu dan anak. Sindrom preeklampsia ringan dengan hipertensi, odem, dan proteinuri sering tidak diketahui atau tidak diperhatikan. Pemeriksaan antenatal yang teratur dan secara rutin mencari tanda preeklampsia sangat penting dalam usaha pencegahan preeklampsia berat dan eklampsia, di samping pengendalian terhadap faktor-faktor predisposisi yang lain.Preeklamsi-eklampsia merupakan bagian dari penyakit hipertensi dalam kehamilan (HDK). Preeklampsia adalah hipertensi disertai proteinuri dan odem akibat kehamilan setelah usia kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan. Eklampsia adalah timbulnya kejang pada penderita preeklampsia yang disusul dengan koma. Ks^ang di sini bukan akibat kelainan neurologis.Prinsip penanganan eklampsia terdiri dari menjaga jalan nafas ibu, menghenrikan kejang dan mencegah kejang ulangan, pengendalian tekanan darah tinggi, manajemen cairan, manajemen persalinan, dan manajemen post partum. Komplikasi precklamsia/eklampsia dapat bentpa gagal ginjal akut, sindrom HELLP, abrupsi plasenta, perdarahan otak, dan odem paru. Berikut ini akan diuraikan laporan kasus eklampsia post SC dengan komplikasi gagal ginjal akut dan odem pam.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 DefinisiHipertensi dalam kehamilan (HDK) dahulu dikenal dengan nama toksemia gravidarum. Sekarang istilah toksemia gravidarum tidak dianjurkan dipakai lagi karena istilah tersebut mencakup berbagai penyalat hipertensif dalam kehamilan dengan etiologi berbeda-beda HDK kemudian diklasifikasi menjadi 4, yaitu hipertensi gestasional, preeklampsia, hipertensi kronik, dan superimposed preeclampsia.Istilah hipertensi gestasional mengganti istilah pregnancy-induced hypertension yang merupakan hipertensi tanpa proteinuria pada umur kehamilan >20 minggu. Hipertensi ini bersifat transien saat kehamilan dan menghilang dalam 12 minggu postpartum sehingga diagnosis dibuat secara retrospektif.Preeklamsia yaitu sindrom yang ditandai hipertensi dengan proteinuria pada umur kehamilan >20 minggu yang tekanan darah sebelumnya normal, dan dapat berhubungan dengan gejala/tanda lainnya seperti odem, nyeri kepala, gangguan penglihatan, dan nyeri epigastrium. Preeklampsia dibedakan menjadi preeklampsia ringan (PER) dan preeklampsia berat (PEB).Eklampsia merupakan preeklampsia disertai kejang dan/atau koma yang tidak disebabkan gangguan neurologi lainnya Eklampsia dapat terjadi saat hamil/antepartum (eklampsia gravidarum), persalinan/intrapartum (eklampsia parturienrum), atau nifas/postpartum (eklampsia puerperale). Eklampsia postpartum biasanya terjadi dalam 24 jam pertama, bila terjadi dalam kurun waktu 48 jam sampai 4 minggu postpartum disebut late postpartum eclampsia.Hipertensi kronik adalah hipertensi yang telah ada pada umur kehamilan 12 minggu postpartum. Hipertensi jenis ini lanpa disertai proteinura. Apabila hipertensi kronik disertai protonuria disebut superimposed preeclampsia.

2.2 EtiopatogenesisEtiologi preeklampsia belum diketahui dengan pasti, sedangkan patogenesisnya adalah multifaktonal yang melibatkan faktor maternal, paternal, fetal, dan plasental. Salah satu hipotesis utama adalah yang berkaitan dengan imunologi, di mana fetus menerima 50% gen dari ayah yang kemudian akan dianggap benda asing oleh jaringan ibu saat trofoblas fetus migrasi ke desidua ibu setelah implantasi.Pada kehamilan normal, aliran intervili sesungguhnya terbentuk pada umur kehamilan 12 niinggu dan invasi trofoblast sekunder terjadi pada umur. kehamilan 14-16 minggu. Invasi ini menghasilkan disrupsi integritas muskular arteri spiral maternal yang menyebabkan denervasi adrenergik dan mengubahnya menjadi pembuluh darah resisten tinggi menjadi resisten rendah. Pada saat bersamaan, adaptasi biokimia terjadi bersamaan pada vaskular ibu yaitu peningkatan vasodilator terganrung-endotelium prostasiklin (PGk) dan nitric oxide.Pada pasien dengan preeklampsia terjadi kegagalan invasi trofoblast sekunder pada perbatasan desidua-miometrium sehingga terjadi sirkulasi uteroplasenta resisten tinggi dan aliran rendah yang pada akhirnya menyebabkan iskemia plasenta. Perubahan inilah yang tampak secara klinis sebagai preeklampsia. Hal ini pula yang menjdaskan kejadian preeklampsia pada kehamilan berikutnya pada wanita yang berganti pasangan atau pada wanita yang melepas kontrasepsinya. Paparan dan adaptasi maternal secara berulang terhadap antigen asing spesifik pasangannya dianggap dapat menurunkan risiko preeklampsia.2.3 DiagnosisDiagnosis eklampsia dibuat berdasarkan adanya taida-tanda preeklampsia dengan usia kehamilan lebih dari 20 minggu dan kejang yang bersifat umum, sekali atau lebih diikuti atau^tidak dengan koma, dan tidak ditemukan adanya kondisi neurologis lainnya yang berhubungan dengan kejang tersebut. Definisi klasik preeklampsia meliputi 3 elemen, yaitu onset baru hipertensi (didefinisikan sebagai suaru tekanan darah yang menetap > 140/90 mmHg pada wanita yang sebelumnya normotensif), onset baru proteinuria ( didefinisikan sebagai > 300 mg/24 jam atau > +1 pada urinaiisis bersih tanpa infeksi traktus urinarius), dan onset baru odem yang bermakna Pada beberapa konsensus terakhir dilaporkan bahwa odem tidak iagi dimasukkan sebagai kriteria diagnosis.Kejang pada eklampsia biasanya berlangsung 60-75 detik dan tidak lebih dari 3-4 menit., eklampsia bisa terjadi antepartum, intrapartum dan postpartum tergantung dan waktu terjadinya Eklampsia sebagian besar didahului oleh tanda-tanda prodroma atau tanda impending eklampsia yang sesuai dengan tanda-tanda hypertensive encephalopathy. Tanda-tanda prodroma dapat berupa nyeri kepala, gangguan penglihatan, nyeri epigastnum, mual muntah, dan hiperrefleks.Pada saat kejang. terjadi henti nafas, disebabkan karena diafragma menjadi terfiksir, kemudian perlahan lahan nafas penderita kembali normal yang diawali dengan nafas dalam dan panjang. Apabila tidak ditangani dengan baik, kejang pertama ini akan diikuti dengan kejang - kejang berikutnya yang bervariasi dari kejang yang ringan sampai kejang yang berkelanjutan yang disebut status epileptikus. Segera setelah kejang berhenti maka penderita jatuh dalam keadaan koma, keadaan ini tidak berlangsung lama, kecuali terdapat perdarahan serebral atau odem serebri yang luas. Frekuensi pemafasan biasanya n>eningkat setelah kejang eklampsia dan dapat mencapai 50 kali/menit Hal ini dapat menyebabkan hiperkarbia sampai asidosis laktaL tergantung derajat hipoksianya. Pada kasus yang berat dapat ditemukan sianosis. Penderita juga dapat mengalami kenaikan suhu tubuh sampai diatas 39G yang disebabkan karena perdarahan intraserebral, di mana kenaikan suhu tubuh ini merupakan salah satu tanda prognosis yang buruk.Pada kira- kira 5 % kasus kejang eklampsia terjadi penurunan kesadaran yang berat bahkan koma yang menetap setelah kejang. Hal ini sebagai akibat odem serebri yang luas. Sedangkan kematian pada kasus eklampsia dapat pula terjadi akibat hemiasi uncus trans tentorial.Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan untuk menunjang diagnosis eklampsia adalah, sebagai berikut: peroeriksaan darah lengkap, hitung trombosit, dektrolit, protein kuantitatif, fungsi liver (laktat dehidrogenase, SCOT dan SGPT, bilirubin), asam urat, glukosa serum. CT scan dan MRI dapat memperiihatkan beberapa kelainan pada pasien dengan eklampsia antara lain odem serebral, infark fokal, perdarahan intrakranial, dan leukoensefalopati posterior. Namun tidak ada temuan CT scan atau MRI yang kbas untuk eklampsia. CT scan kepala digunakan untuk deteksi perdarahan intrakranial pada pasien dengan nyeri kepala berat yang tiba-tiba, defisit neurologi fokal, kejang dengan postictal state berkepanjangan, atau eklampsia atipikal.2.4 PenatalaksanaanKejang pada penderita eklampsia merupakan suatu life-threatening emergency yang hams mendapatkan penanganan yang adekuat untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas ibu dan anak. Sebanyak 60% kematian maternal pada eklampsia disebabkan karena perdarahan serebral yang disebabkan oleh karena peningkatan tekanan darah. Pada prinsipnya penanganan ekJampsia terdiri dari : 1. Menjagajalan nafas ibuPada penderita eklampsia yang sedang mengalami kejang, mencegah tergigitnya lidah dan aspirasi cairan sekresi yang berasal dari saluran makanan, harus menjadi prioritas utama penanganan eklampsia. Pada waktu kejang, penderita ditempatkan sedemikian rupa sehingga kepala dalam posisi miring ke kiri untuk memperbaiki aliran darah ke uterus, dan tempatkan bantalan lidah untuk mdindungi lidah agar tidak tergigit. Sekresi yang banyak di rongga mulut segera dihisap dan jangan terlalu jauh masuk ke dalam rongga mulut untuk menghindari reflek vagal. Untuk menjamin oksigenasi berikan oksigen sungkup 5-6 1/menit. Secara simultan pasang intravenous line, dan lakukan pengambilan contoh darah untuk peroeriksaan laboratorium.2. Menghentikan kejang dan mencegah kejang ulanganSampai saat ini MgSO4 merupakan obat pilihan untuk menghentikan kejang dan mencegah serangan kejang ulangan pada penderita eklampsia Kerja MgSO4 tidak saja sebagai anti kejang namun juga bersifat sebagai serebral vasodilator, dengan cara menghambat masuknya ion Ca2+ kedalam sel mdaltri NMDA(N-Methyl-D-aspartate) yang merupakan subtipe dari glutamate channel. Disamping itu MgSO4 juga dapat memperbaiki fungsi endotd. MgSO4 dapat diberikan secara intermiten maupun kontinyus dengan pompainfus.Pemberian MgSO4 dalam batas batas terapeunk yang aman yaitu 4-7 mEq/L. Pasien yang mendapatkan pengobatan dengan MgSO4 harus dimonitor kemungkinan adanya gejala gejala toksisitas, yaitu hilangnya reflek patella dan depresi sampai henti nafas. Kedua tanda klinis itu harus diperiksa setiap jam. Karena MgSO4 diekskresikan lewat ginjal, maka pada penderita dengan kelainan ginjal atau oliguria ( urine output < 100 cc per 4 jam ) harus dilakukan pemeriksaan kadar MgSO4 serum.Reflek patella akan menghilang pada kadar MgSO4 mencapai 10 mEq/L, bila melebihi 10-12 mEq/L maka terjadi depresi nafas dan bila kadar plasma MgSO4 melebihi 12 mEq/L akan terjadi paralisis otot pemafasan. Bila terjadi tanda tanda toksisitas tersebut maka MgSO4 harus segera dihentikan dan diberikan antidotumnya yaitu kalsium glukonas 1 gram intravenous. Dibandingkan dengan anti kejang yang lainnya seperti diazepam dan fenitoin, MgSO4 lebih efektif. Diazepam dapat mengakibatkan depresi nafas, hipotonia, penurunan kesadaran dan masalah termoregulator pada bayi. Pemberian MgSO4 dihentikan setelah 24 jam post partum pada preeklampsia berat atau 24 jam setelah kejang terakhir. Untuk mencegah kejang ulangan selain memberikan MgSO4 dalam dosis pemeliharaan, pemberian obat antihipertensi harus dipertimbangkan pada MAP > 125 mmHg, untuk mencegah terjadinya tanda tanda hypertensive encephalopathy.3. Pengendalian tekanan darahTujuan dari penurunan tekanan darah pada eklampsia adalah untuk menurunkan risiko terjadinya perdarahan serebral, gagal jantung, infark miokard dan solusio plasenta Penurunan tekanan darah tidak boleh terlalu cepat karena dapat membahayakan ibu dan janin. Saat ini telah disepakati untuk memberikan antihipertensi pada tekanan darah sistolik > 160 mmHg dan diastolic > 109 mmHg. Treatment goal yang harus dicapai adalah MABP 105-125 mmHg, yang bertujuan untuk mempertahankan system otoregulasi serebral, tetapi tetap dapat mempertahankan sirkulasi uteroplasenta. Tingginya tekanan darah bukanlah satu satunya prediktor untuk menentukan prognosis penyakit harus dilihat beberapa tanda klinis dan laboratorium lainnya seperti nilai hematokrit, protenuria, peningkatan ensim hati, ada tidaknya tanda tanda 1UGR (Into Uterine Growth Restriction ). Jadi tujuan utama dari pengobatan antihipertensi adalah untuk mencegah komplikasi yang berbahaya pada ibu akibat tingginya tekanan darah, tetapi tetap dapat meiindungi kehamilan dan janin yang dikandungnya. Pemberian obat antihipertensi tidak dapat mengendalikan penyakit secara kesduruhan, hanya dengan cara melahirkan bayi. morbiditas dan mortalitas dapat dicegah.4. Manajemen CairanSalah satu penyebab kematian ibu pada eklampsia adalah kegagalan kardiorespirasi. Pada seorang penderita eklampsia, mengalami vasospame merryduruh yang mengakibatkan terjadinya gangguan perfusi organ. Terjadi penurunan volume plasma akibat maldistribusi volume cairan ekstraseluler. Selain itu pada preeklampsia juga terjadi penurunan aliran darah ke ginjal. Keadaan ini memudahkan penderita mengalami odem dan pemberian cairan harus mempertimbangkan keadaan ini. Untuk mencegah terjadinya komplikasi iatrogenik, seperti odem paru, gagal jantung kin, dan adult respiratory distress syndrome maka kesimbangan antara cairan masuk dan keluar harus dimonitor. Terdapat kontroversi mengenai monitoring dengan central venous pressure (CVP) dapat membantu mengetahui adanya overload cairan, sebab pada preeklampsia terdapat hubungan yang buruk dengan volume plasma. Bila CVP dipakai untuk monitoring maka nilainya harus dipertahankan pada level dibawah 5 cm H2O. Secara rutin kristaloid sering dipakai untuk hidrasi sebelum tindakan anestesia regional. Pada pasien ekspansi volume bisa menurunkan COP lebih lanjut dan karena itu secara teoritis lebih menguntungkan menggunakan kristaloid dibandingkan dengan koloid. Jenis cairan yang digunakan adalah ringer laktat atau ringer asetat. Ringer asetat dianggap memiliki kdebihan karena proses pembentukan bikarbonat dari asetat terjadi di otot sedangkan laktat menjadi bikarbonat memerlukan fungsi hepar yang baik, dimana pada preeklampsia sering terjadi gangguan hepar.5. Manajemen persalinanMelahirkan bayi merupakan terapi definitif dari eklampsia. Bila persalinan per vaginam memenuhi syarat, maka persalinan pervaginam merupakan cara yang terbaik untuk pendenta preeklampsia/eklampsia Apabila keadaan ibu bdum stabil. persalinan sebaiknya ditunda, kecuali sudah ada tanda-tanda persalinan. Untuk memulai persalinan perlu diperhatikan hal-hal seperti kejang sudah dihentikan dan diberikan antikejang untuk mencegah kejang ulangan, tekanan darah terkendali dan hipoksia telah dikoreksi. Pada skor pelvik yang rendah dan kehamiian masih sangat preterm, seksio sesaria lebih baik dibandingkan dengan persalinan pervaginam. Pada seksio sesaria, analgesia epidural menjadi pilihan untuk anestesia, karena tidak mempengaruhi COP, aliran darah ke plasenta tidak dipengaruhi dan pengendalian tekanan darah lebih baik. Hipovolumia bisa terjadi pada pemakaian obat-obat regional anestesia, karena itu diperlukan loading cairan sebanyak 400-500 ml kristaloid sebelum anestesia regional dilakukan untuk mencegah hipotensi dan fetal distress. Kontraindikasi anestesia regional adalah bila terdapat DIC, aiau bila kadar trombosit dibawah 100.000.Pada keadaan di mana harus dilakukan anestesia umum, maka perhatian terhadap kemungkinan adanya odem laring yang dapat mempersulit intubasi serta dapat menyebabkan obstruksi respirasi post-operative atau henti jantung harus diperhatikan. Ergometrin tidak boleh diberikan, untuk mencegah perdarahan post partum dapat diberikan infus oksitosin ( 40 ID/dalam dekstrose). Hipertensi berat yang bersamaan dengan intubasi trakea pada kasus preeklampsia dengan anestesia general memngkatkan tekanan intrakraniai maternal secara signifikan dan hal ini berisiko terjadinya kejadian serebrovaskular yang berbahaya. Selain itu dengan perangsangan saraf simpatis ketika dilakukan laringoskopi meningkatkan risiko terjadinya odem paru pada pasien. Banyak agen yang dapat digunakan untuk mdemahkan respon pressor selama laringoskopi dan intubasi. Salah satunya adalah pemberian nitrogliserin intravena yang dititrasi untuk mengurangi MAP sekitar 20% sebdum induksi anestesi umura pada preeklampsia berat. Hal ini dikarenakan respon presor dapat mengakibatkan risiko peningkatan konsumsi oksigen miokardium, aritmia jantung, odem paru dan berkurangnya aliran darah uterus yang dapat membahayakan janin.Pada anestesi general, tekanan arteri sistemik dan pulmoner meningkat signifikan selama intubasi trakea, suction, dan ekstubasi pada akhir operasi Pada anestesi epidural. MAP turun sedikit saat induksi anestesia, sedangkan tekanan arteri pulmoner tidak berubah. Kadar hormon adrenokortikotropik (ACTH) dan betaendorfin meningkat signifikan saat insisi kulit pada anestesi general, sedangkan pada anestesi epidural tidak ada perubahan. Kadar epinefrin dan norepinefrin meningkat signifikan, begitu pula dopamin meningkat sepanjang operasi dan sampai posrparrum pada anestesi general. Pada anestesi epidural tidak ada perubahan pada epinefrin dan dopamin, sedangkan kadar norepinefrin menurun. Bayi pada ibu yang mendapat anestesia general cenderung memiliki Afgar score 25%, atau produksi urin 50%, atau produksi urin 75%, atau produksi urin 4 minggu E bila >3bulan dan memerlukan dialisis. Pcnycbab dari terjadinya gagal ginjai akut dapat dibagi dalara 3 kategori besar; prerenal (yang dihubungkan dengan hipoperfusi ginjai tanpa melibatkan parenkim), intraarcnai (yang mengakibatkan kerusakan instrinsik pada parenkim ginjai), dan postrenal (yang berimplikasi pada obstruktif uropati). Keadaan patologis prerenal dan intrarenai (akut tubular nekrosis) sekitar 83-90% dari semua kasus gagal ginjal akut pada preeklampsia Prinsip penanganan gagal ginjal akut adalah mengobati penyebab atau penyakit yang mendasarinya. Pasien gagal ginjai akut harus MRS dan dirawat di ruang intensif untuk menjaga keseimbangan cairan, dektrolit, asam basa. nutrisi serta pemberian antibiotik. Adapun hemodialisis diperrimbangkan pada pasien dengan indikasi cito dan etektif. Indikasi cito antara lain adanya perikarditis/efusi perikardium, ensefalopati/neuropati azotemik. bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, serta biperkaleraia (>. 6,5). Indikasi elektif meliputi sindrom uremia, hipertensi sufit terfcontrof, overload cairan, persiapan preoperasi, diguria-anuria (3-5 hari), BUN > 120 mg% dan kreatinin > 10mg% atau CCT < 5 ml/menit, Bila dialisis diperlukan selama masa kehamilan, maka hemodialisis yang dianjurkan bukan dengan dialisis peritoneal. Sindrom HELLPSindrom HELLP ditandai dengan haemolysis, elevated liver enzymes, dan low platelet. Abrupsi plaseniaAbrupsi plasenta terjadi pada kira-kira 2% wanita dengan preeklampsia dan menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortaiitas perinatal. Insiden abrupsi plasenta meningkat pada pasien dengan hipertensi kronik sebelumnya. Manajemen obstetrik tergantung keparahan dan adanya komplikasi seperti hipotensi, koagulopati, dan fetal distress. Abrupsi plasenta yang sampai membunuh fetus mengindikasikan adanya perdarahan yang banyak yaitu sekitar 50% volum darah maternal. Abrupsi plasenta berat dapat menyebabkan terjadinya disseminated intravaskular coagulation (DIG). Manajemen definitf yaitu persalinan segera Pemberian packed red blood cells (PRO), fresh frozen plasma, dan platdet (jarang) dapat dipertimbangkan.

Perdarahan otakKomplikasi ini merupakan salah satu penyebab utama kematian maternal pada pasien eklampsia. Odem paru akutOdem paru akut terjadi pada kira-kira 3% pasien PEB. Odem paru akut terjadi karena tekanan onkotik koloid yang rendah, peningkatan tekanan hidrostatik intravaskular, dan/atau peningkatan permeabilitas kapiler pulmoner. Echokardiografi dapat digunakan untuk mengeksklusi sebab kardiogemk dan odem paru. Kebanyakan kasus terjadi dalam 2-3 hari postpartum dan resolusi terjadi setelah terapi penyebab dasarnya (misalnya overhidrasi, sepsis, gagal jantung). Penatalaksanaan awal odem paru antara lain pemberian oksigen. pembatasan cairan, dan pemberian diurelik (misalnya furosemid). Kateter arteri pulmoner memfasilitasi manajemen pasien dengan odem paru berat. Penanganan berikutnya meliputi terapi vasodilator untuk mengurangi preload dan afterload, dan dopamin atau dobutamin pada pasien dengan gagal ventikel kiri. Intubasi trakea dan ventilasi jarang dilakukan, namun hal ini berguna bila terjadi gagal nafas sebagai komplikasi odem paru refrakter. Acute respiratory distress syndrome (ARDS) dapat terjadi pada PEB terutama di mana terjadi peningkatan permeabilitas kapiler pulmoner.2.6 PrognosisEklampsia masih merupakan penyebab utama kematian ibu dan bayi, terutama di negara berkembang. Penyebab kematian ibu antara lain perdarahan otak, gagal jantung dengan odem paru, gagal ginjal, dan masuknya isi lambung ke jalan nafas saat kejang. Kematian bayi antara lain karena hipoksia intrauterin dan prematuritas. Prognosis eklampsia ditentukan oleh Kriteria Eden yaitu adanya koma yang lama, frekuensi nadi di alas 120 kali permenit, suhu 39,4 celcius atau lebih, tekanan darah sistol lebih dari 200 mmHg. kejang lebih dari 10 kali, proteinuria 10 gr/L atau lebih, dan tidak ada odem atau odem menghilang. Bila dijumpai salah satu tanda-tanda yang di atas maka disebut dengan eklampsia ringan, bila dijumpai 2 atau lebih tergolong berat dan prognosis akan lebih jelek.Tingkat kematian ibu dilaporkan berkisar antara 0-13,9%. Risiko paling tinggi dijumpai pada subkelompok wanita dengan eklampsia pada kehamilan kurang dari 28 minggu. Tingkat kematian ibu dan komplikasi yang berat paling rendah dijumpai pada wanita yang melakukan asuhan prenatal yang teratur pada dokter yang berpengalaman pada fasilitas kesehatan tersier. Angka kematian perinatal pada kehamilan eklamptik adalah 9-23% dan berhubungan era! dengan usia kehamilan. Kematian perinatal terutama diakibatkan oleh persalinan prematur, solusio plasenta dan asfiksia intrauterin.Hubungan antara hipertensi, gejala dan tanda dari iritabilitas kortikal (sakit kepala, gangguan penglihalan, mual, muntah, demam, hiperrefleksia) dan kejang-kejang masih belum jdas. Analisis retrospektif terhadap 383 kasus eklampsia di Inggris menemukan hanya 59% wanita eklampsia menunjukkan satu atau lebih gejala prodromal - sakit kepala, gangguan penglihatan (skotomata, amaurosis, pandangan kabur, diplopia, hemianopsia homonimus), atau nyeri epigastrium - sebelum terjadinya kejang eklampsia Selanjutnya, besamya peningkatan tekanan darah tampaknya tidak dapat memprediksi terjadinya eklampsia, walaupun keadaan tersebut berhubungan erat dengan insidensi terjadinya gangguan serebrovaskular. Pada penelitian yang melibatkan 179 kasus, ditemukan faktor-faktor yang setidaknya secara parsial bertanggung jawab lerhadap gagalnya pencegahan terhadap eklampsia yaitu kesalahan dokter (36%). kegagalan magnesium (13%), onset pada paska persalinan lanjut (12%). onset dini sebelum kehamilan 21 minggu (3%). onset mendadak (18%) dan asuhan antenatal yang kurang (19%). Oleh karena itu, banyak kasus-kasus eklampsia tampaknya tidak dapat dicegah. walaupun pada wanita-wamta dengan asuhan prenatal yang teratur.BAB IIILAPORAN KASUS

I. IdentitasNama:Ni Luh Putu Widhi WahyuniUmur:27 tahunJenis kelamin:PerempuanAgama:HinduBangsa:IndonesiaStatus:Sudah menikahPekerjaan:Pegawai swastaNo CM:01.49.52.50Diagnosis:p1001 post SC hari ke-4 + follow-up eklampsia + gagal ginjal akut (GGA) + odem paru akut (acute lung oedem (ALO))Tindakan:SCMRS:18 Juli 2011Tanggal operasi:14 Juli 2011

II.AnamnesisPasien merupakan rujukan RS Bali Med dengan diagnosis post SC + eklampsia + odem paru akut (acute lung oedem (ALO)) + gagal ginjal akut (GGA) pro hemodialisis. Pasien datang tidak sadar dengan riwayat kejang 3 hari yang lalu (1 hari setelah operasi sesar). Awalnya pasien kontrol rutin kehamilan di Quantum pada tanggal 8 Juli 2011. Saat itu pertama kali diketahui pasien menderita tekanan darah tinggi (170/110 mmHg), di mana kontrol-kontrol sebdumnya tekanan darah pasien dalam batas normal. Pasien kemudian MRS di RS Bali Med Pasien disarankan untuk segera melahirkan, namun sempat ditunda beberapa hari atas permintaan pasien sambil menunggu