Fibromialgia
description
Transcript of Fibromialgia
- Fibromialgia
Deskripsi
Fibromialgia merupakan sindrom nyeri yang bermanifestasi sebagai nyeri kronik
muskuloskeletal non-artikuler yang tersebar luas (choronic widespread pain) tanpa
ditemukan kelainan pada sistem muskuloskeletal. Prevalensi febromialgia pada
populasi umum adalah sekitar 2-12% dan lebih sering dijumpai pada wanita
dibandingkan dengan pria. Widespread pain adalah nyeri yang meliputi nyeri aksial,
nyeri pada sisi kiri dan kanan tubuh, serta nyeri pada segmen atas dan bawah tubuh.
Etiologi fibromialgia adalah idiopatik yang tidak diketahui secara pasti, namun di
duga adanya predisposisi genetik yang disertai stresor lingkungan sebagai
pencetusnya (Russell dan Bieber, 2006; Buskila, 2009)
Berdasarkan American College of Rheumatology 2010, chronic widespread pain
yang berlangsung sekurang-kurangnya selama 3 bulan merupakan klinis utama pada
febromialgia. Hal ini merupakan pembaharuan dari kriteria American College of
Rheumatology 1990 yang mengharuskan ditemukannya nyeri tekan (tender point)
pada 11 dari 18 titik tekan (Wolfe et al., 2010).
Diagnosis
Kriteria diagnosis febromialgia berdasarkan American College of Rheumatology
2010 adalah ditemukannya 3 keadaan di bawah ini (Wolfe et al., 2010).
1. Widespread pain index (WPI) ≥ 7dan skor symptom severity (SS) ≥ 5 atau WPI
≥ 3-6 dan skor SS ≥ 9.
2. Gejala berlangsung setidaknya selama 3 bulan.
3. Tidak didapatkan kelainan lain yang dapat menjelaskan timbulnya nyeri.
Keterangan :
1. Area yang tercakup dalam WPI adalah :
- Sendi bahu kiri - Tungkai bawah kiri
- Sendi bahu kanan - Tungkai bawah kanan
- Lengan atas kiri - Rahang kiri
- Lengan atas kanan - Rahang Kanan
- Lengan bawah kiri - Dada
- Lengan bawah kanan - Abdomen
- Panggul kiri - Punggung atas
- Panggul kanan - Punggung bawah
- Tungkai atas kiri - Leher
- Tungkai atas kanan
2. Skala skor SS :
Skor SS adalah penjumlahan antara skor severitas 3 gejala utama dan di tambah
skor severitas gejala somatisasi.
1) Tiga gejala utama adalah :
a. Fatigue
b. Tidak segar ketika bangun tidur
c. Gejala kognitif
Masing-masing gejala tersebut harus dilakukan skor severitasnya dengan
batasan sebagai berikut :
0 = tidak didapatkan gejala
1 = gejala ringan dan intermiten
2 = gejala moderat/sedang dan sering muncul
3 = gejala berat, terus-menerus dan mengganggu
2) Gejala Somatik
Gejala somatik yang dapat menyertai adalah nyeri otot, irritable bowel
syndrome, fatigue, gangguan berfikir/memori, kelemahan otot, nyeri kepala,
nyeri/kram perut, kesemutan, dzziness, insomnia, depresi, konstipasi, nyeri
abdomen-atas, mual, kecemasan, nyeri dada non-kardial, pandangan kabur,
demam, diare, mulut kering, gatal-gatal, wheezing, Raynaud’s phenomenon,
telinga berdenging, muntah, heartburn, sariawan, perubahan pengecapan,
kejang, napas terasa pendek, penurunan berat badan, ruam, fotosensitif,
gangguan pendengaran, mudah memar, rambut rontok, sering berkemih,
nyeri saat berkemih, dan spasme kandung kemih.
Skor untuk gejala somatisasi diatas adalah :
0 = tidak didapatkan gejala
1 = gejala yang muncul sedikit
2 = gejala yang muncul sedang
3 = gejala yang muncul banyak
Catatan :
Skor total WPI adalah antara 0 sampai 19
Skor total skala SS adalah penjumlahan antara skor severitas 3 gejala
utama dan skor severitas gejala somatisasi (skor total antara 0 sampai 12)
Penataleksanaan
Terapi farmakologis (Clauw, 2010)
Antidepresan trisiklik (amitriptilin)
Alpha-2-delta ligands (pregabalin, gabapentin)
Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRI)
Serotonin norepinephrine reuptake inhibitors (SNRI)
Tramadol
Terapi nonfarmakologis (Clauw, 2010; Blotman dan Branco, 2007)
Terapi multi disiplin
Cognitive behavior therapy (CBT)
Olah raga kardiovaskular
Akunpunktur
Hipnoterapi
Biofeedback
Edukasi pasien
Relaksasi
Hidrofisioterapi
Kelainan neurokirnia.
Etiologi dan patofisiologi SF belum sepenuhnya diketahui dan dianggap suatu
multifaktorial. Disfungsi sistem neuroendokrin yang menimbulkan penyimpangan
mekanisme nyeri sentral dengan sentisisasi sentral pada saat ini dianggap sebagai
mekanisme yang paling penting.
Serotonin berperan untuk mencapai tidur nyenyak (stadium lV) dan inhibisi nyeri
desenden. Asam amino triptofan adalah precursor serotonin. Penurunan konsentrasi
hiptofan dan penurunan hasil ikutan metabolisme triptofan di otak berarti terjadi
kelainan metabolisme serotonin. Penurunan serotonin ini selain menyebabkan
pengurangan tidur nyenyak juga menambah keluhan somatik, depresi, dan timbulnya
sensasi nyeri. Walaupun penelitian lain bertentangan dengan penemuan ini tetapi
penelitian dengan obalobatan memberikan dukungan. Para peneliti memberikan
hipotesis bahwa manfaat senyawa-senyawa trisiklik misalnya amitriptilin dan
cyclobenzaprine disebabkan karena mereka memblokade reuptake dari serotonin pada
celah sinaptik. Hipotesis ini berhubungan dengan hipotesis sebelumnya yang
menyatakan bahwa SF adalah suatu gangguan persepsi nyeri atau arousal disorder.
Telah menjadi konsensus umum bahwa nyeri kronik merupakan suatu stres yang
tingkatannya bergantung pada mekanisme daya tahan seseorang. Stres yang terus
menerus menyebabkan perubahan pada ritme neuroendokrin dan fenomena inilah yang
menurut penelitian didapatkan pada penderita SF. (Bennet, 1999).
Para peneliti telah mengamati bahwa pada penderita SF aktivasi dari reseptor N-
methyl-D-aspartate (NMDA) yang berinteraksidengan excitatory amino acids
meningkatkan nyeri kronik (tetapi tidak pada yang akut). Hal ini didukung oleh
kenyataan bahwa ketamin (suatu obat anestesi) yang cara kerjanya memblokade
reseptor NMDA dapat mengurangi nyeri akibat SF untuk sementara. (Wallace, 1999)
Penurunan kegiatan hypothalamic-pituitary-adrenal axis pada penderita SF
menyebabkan penurunan produksi total kortisol sedangkan pada penderita depresi
didapatkan kadar kortisol lebih tinggi dari pada normal (Millea, 2000)
Terdapat juga gangguan pada hypothalamic-pituitary-thyroid (HPT) axis.
Hipotiroidi didapatkan 3-12 kali lebih banyak pada penderita SF dari pada kontrol.
Terganggunya hypotha-lamic-pituitary-gonadal (HPG) axis mungkin sebagai penyebab
dismenore dan gejala-gejala yang lebih parah pada wanita yang sudah menopause dari
pada yang belum (Carruthers, 2003).
Hipotesis neurokimia yang lain terpusat pada SP, suatu neuropeptida yang
berperan dalam transmisi rangsangan nosiseptif perifer dari radiks dorsalis menuju
pusalpusat otak yang lebih tinggi. Fada penderita SF didapatkan kadar SP di cairan
serebro-spinal tiga kali lipat dari normal (Millea, 2000) juga peningkatan nerve growth
factor. Dan sebaliknya didapatkan penurunan kadar serotonin dan neradrenalin (Staud.,
2006). Kadar yang tinggi dari Sp dihubungkan dengan adanya kesedihan, inner tension,
kesulitan konsentrasi, nyed, gangguan daya ingat dan reaksi wheel and flare yang sering
terlihat sebagai reaksi terhadap goresan ringan pada kulit. Mekanisme kerja SP masih
belum jelas. Diperkirakan bahwa endorfin meningkat konsentrasinya pada waktu latihan
(exercise), mungkin berpengaruh pada modulasi rasa nyeri dengan cara menghambat
pelepasan dari SP di tingkat aksonal.
Peran sistim saraf simpatis.
Penelitian pada kucing membuktikan adanya saraf simpatis pada intrafusal
musclespindle fibers tetapi belum jelas pada manusia. Diperlukan penelitian yang
menerangkan gejala local tension yang menyebar. Dahulu hal ini dianggap berhubungan
dengan extrafusal muscle fiber yang dipicu stres seperti trauma, kurang tidur, latihan.
Peneliti lain memperkirakan aktivitas simpatis pada mikro sirkulasi jaringan otot yang
berperan pada hipoksia otot, terutama pada pasien-pasien fibromialgia setelah latihan.
Hipoksia otot ini dapat dihubungkan dengan adanya nyeri otot yang berlebihan,
kelelahan dan peningkatan nyeri yang dilaporkan pasien SF antara 25 - 48 jam sesudah
latihan yang diulang-ulang. Pengaruh sistem simpatis ini dibuktikan secara bermakna
dengan tes tilt table yang menimbulkan hipotensi (Millea, 2000)
Faktor jaringan setempat.
Pada biopsi otot penderita SF tidak didapatkan bukti yang pasti tentang adanya
penyakit otot (peradangan atau miopati). Walaupun demikian didapatkan gambaran
manifestasi dari kerusakan sel yang mungkin disebabkan oleh gangguan metabolisme
sehubungan dengan hipoksia otot. Didapatkan juga penurunan yang jelas dari kekuatan
otot-otot volunter pada penderita SF sekitar 30-40%. Pada penderita SF yang pada
umumnya tingkat aktivitasnya rendah akan terlihat berkurangnya kekuatan.
Sebagaimana telah diketahui imobilisasi fisik akan menimbulkan penurunan kekuatan
otot. Selain itu didapatkan juga bahwa jumlah titik nyeri ada hubungannya dengan
kekuatan otot karena adanya nyeri akan menghambat kontraksi otot. Dalam suatu
penelitian penderita SF wanita didapatkan bahwa kadar GH Somatomedin C dalam
serum menurun. Somatornedin C ini sangat diperlukan untuk menjaga homeostasis
normal. Sekitar 80% dari produksi GH tiap hari disekresikan pada stadium IV dari tidur.
Pada penderita SF terdapat pengurangan dari stadium IV tidurnya yang mengakibatkan
penurunan kadar somatomedin di serum. Karena pentingnya peranan hormon ini pada
homeostasis otot, maka akibatnya, pada pasien ini didapatkan perbaikan jaringan otot
yang kurang sempurna dan banyak mikro trauma yang terjadi pada otot sesudah
menjalani latihan.
Gejala sindroma fibromialgia
Lima gejala pada jaringan muskuloskeletal atau jaringan ikat fibrous yang paling
sering dilaporkan adalah (1) nyeri, (2) kaku, (3) edem jaringan lunak, (4) titik nyeri dan
(5) spasme otot dan nodul.
Gejala yang khas adalah nyeri difus, menyebar atau nyeri umum yang berfluktuasi
yang seringkali disertai kekakuan yang menonjol. Kekakuan terutama dirasakan pada
waktu bangun pagi hari dan biasanya berlangsung selama beberapa jam, yang akan
dapat kembali menyerang pada saat-saat penderita tidak aktif dalam kegiatan hariannya
(Carruthers, 2003). Pembengkakan ditemukan pada jaringan artikular, periartikular, atau
jaringan lunak (Puttick,2001). Didapatkan nyeri sendi menyeluruh yang tidak disertai
kemerahan yang bisa untuk membedakannya dari rematoid artritis (Carruthers, 2003).
Titik nyeri yang diutarakan oleh pasien yang sering disertai spasme otot atau nodul
merupakan tanda penting dalam diagnosis SF. Titik nyeri berkelompok di daerah sekitar
leher dan bahu, dada atas, dan punggung bawah.
Gejala lain adalah kelelahan yang sangat, tidur yang tidak nyenyak
(nonrestorative) dengan kelelahan pagi hari (60% - 90%), NKTT (Nyeri Kepala Tipe
Tegang) dan migren (28% - 58%), iritabilitas pada saluran cerna dan kandung kencing
(34%- 53%), dismenore, parestesi, Raynaud's phenomenon (30%), nyeri dada, ansietas,
depresi (20%), dan pembengkakan dan baal pada ekstremitas.
Titik nyeri lebih banyak ditemukan pada pasien dengan keluhan nyeri dibanding
dengan yang tidak ada keluhan, juga pada nyeri yang tersebar dari pada nyeri yang
tertokalisir. Gejala depresi, ketelahan dan gangguan tidur lebih sering didapatkan pada
mereka yang jumlah titik nyerinya lebih banyak walaupun tidak selalu berhubungan
dengan keluhan nyeri (Croft P, 1994).
Gejala-gejala penyerta yang didapatkan bisa meliputi gejala gejala dan keadaan-
keadaan yang tersebui diatas, bersamaan dengan juga kelemahan prolaps katup mitral,
takikardia, hypermobility syndrome, Problem-problem kognitif (berpikir, konsentrasi,
dan daya ingat), vertigo tinitus, tendinitis, bursitis, sicca syndrome (kulit, mata, dan
mulut menjadi kering), reticular skin discotoration, temporomandibular joint
dysfunction, sciatica, dan lupus.
Ada kemungkinan bahwa penderita SF juga menderita sindroma nyeri miofasial
(SNM) secara bersamaan yang disebut kompleks SF dan SNM. Nyeri kronik secara
tersendiri dapat menyebabkan stres dari kekurangan tidur, hal ini merupakan salah satu
sebab mengapa banyak kasus SF disertai dengan SNM. Dalam hal ini yang dideritanya
bukan hanya jumlah dari gejala-gejala kedua kelompok penyakit tersebut, tetapi lebih
banyak lagi (Starlanyl,1999).
Gejala-gejaia diatas dikelompokkan dalam tiga kelompok (lnanici, 2001):
A. Gejala Muskuloskeletal
- Nyeri pada lokasi yang multipel
- Kekakuan Rasa membengkak pada
jaringan jaringan lunak
C. Gejala-gejala yang berhubungan
- Nyeri kepala tipe tegang
- Migren
- Dismenore
- Irritable bowel syndrome
- Restless legs syndrome
B. Gejala bukan Muskuloskeleta
- Kelelahan
- Kelelahan dipagi hari
- Kesulitan tidur
- Kesemutan
- Ansietas
- Depresi
- Gejala-gejala sicca
- Sindroma uretra pada wanita
Diagnosis.
Diagnosis SF harus dipertimbangkan bila pasien menderita nyeri muskuloskeletal
yang tidak jelas hubungannya dengan pola lesi anatomis (Millea, 2000). Sebelum tahun
1990, diagnosis SF dilakukan secara ekslusi dan berdasarkan data-data subyektif. Dalam
usaha untuk secara sistimatis mendefinisikan sindroma ini, World Congress on
Myofascial Pain and Fibromyalgia yang ke-2 menerbitkan "Deklarasi Copenhagen",
yang menetapkan fibromialgia sebagai suatu diaenosis yang mandiri. Pada tahun 1990
American College of Rheumatology memutuskan bahwa fibromialgia dapat didiagnosis
berdasarkan anamnesis nyeri yang meluas yang berlangsung lebih dari tiga bulan
disertai dengan nyeri pada 11 atau lebih dari 18 titik-titik nyeri bilateral yang dapat
dirinci satu persatu pada jaringan otot (lnanici, 2001; Puttick, 2001).
Pada tabel dibawah tercanlum kriteria untuk klasifikasi fibromialgia menurut the
American College of Rheumatology tahun 1990 dan pada gambar terlihat lokasi
anatomis dari titik-titik nyeri menurut kriteria tersebut (Gilliland, 2006; National
Fibromyalgia Partnership Publication, 2001).
Tabel 1. Kriteria diagnosis fibromialgia berdasarkan klasifikasi dari American
College of Rheumatology (1990)(*)
A. Anamnesis nyeriyang meluas
Nyeri dianggap meluas bila terdapat semua hal-hal yang tersebut dibawah ini :
1. Nyeri pada sisi kiri badan
2. Nyeri pada sisi kanan badan
3. Nyeri diatas pinggang
4. Nyeri dibawah pinggang
5. Nyeri rangka yang aksial (vertebra servikal atau dada depan atau vertebra
torakal atau punggung bawah)
Pada definisi ini nyeri bahu dan bokong dianggap sebagai nyeri dari masing-masing
sisi. Nyeri punggung bawah dianggap nyeri segmen bawah.
B. Nyeri pada 11 dari 18 tempat titik nyeri pada palpasi dengan jari(**)
Nyeri peda palpasi dengan jari harus ada pada paling tidak 11 dari 18 tempat titik-
titik nyeri berikut ini:
1. Oksiput bilateral, pada insersi otot suboksipital
2. Servikal bawah: bilateral, pada sisi anterior dari rongga antar prosesus
transversus pada C5-C7
( *)Untuk tujuan klasifikasi pasien dikatakan menderita fibromialgia bila kedua kriteria itu dipenuhi. Nyeri yang meluas harus telah diderita paling tidak selama 3 bulan. Adanya gangguan klinis lain tidak menyingkirkan diagnosa fibromialgia.
( **)Palpasi dengan jari harus dilaksanakan dengan kekuatan sekitar 4 kg. Untuk dinyatakan didapatkan titik nyeri, pasien harus menyatakan bahwa palpasi itu dirasakan nyeri (painful); jawaban terasa sakit (tender) tidak dianggp sebagai nyeri
3. Trapesius: bilateral, pada titik tengah dari tepi atas
4. Supraspinatus: bilateral pada origonya diatas spina skapula dekat batas medial
5. Rusuk kedua: bilateral, pada bagian depan dari sambungan coslochondral kedua
ditepi sedikit lateral dari sambungan di permukaan atas.
6. Epikondilus lateralis: bilateral 2 cm sebelah distal dari epikondilus
7. Gluteal: bilateral padakwadranatasluardari pantatdi lipatanototsebelahdepan
8. Trochante r mayor bilateral, posterior dari prominensia trocha nter
9. Lutut bilateral, pada bantalan lemak sisi medial sebelah proksimal dari garis
sendi
Walaupun istilah titik nyeri (tender points) dan titik picu (trigger points) sering
dipakai dalam arti yang sama pada kepustakaan, SF bisa diidentifikasi dari titik-titik
nyeri yang tetap, tidak sebagai halnya dengan titik picu. Travell dan Simons
mendefinisikan titik picu sebagai suatu tempat didalam lingkungan otot yang kaku (the
taut band) yang mencetuskan gambaran nyeri khas yang menjalar, tingling, atau mati
rasa sebagai respons dari penekanan yang berkepanjangan. Sebaliknya titik nyeri yang
dapat timbul pada otot, ligamen, tendon, atau jaringan periosteal, lebih terlokalisir dan
tidak menyebarkan nyeri ke daerah sekitarnya pada waktu mendapat stimulasi yang
berkepanjangan.
Titik nyeri di palpasi secara bilateral pada masing-masing sisi dengan
menggunakan ibu jari atau dua jari pertama, memberikan tekanan yang tetap dan
seragam (4 kg/cm2) suatu kekuatan yang cukup untuk memutihkan kuku ibu jari
pemeriksa. Dolorimetry tidak bisa menampilkan suatu diag-nosis sebaik pemeriksaan
dengan jari. Kebanyakan pasien SF mempunyai ambang titik nyeri pada 2 kg/cm2
(lnanici, 2001). Pemeriksa mempalpasi diatas tempat-tempat tersebut dengan perlahan-
lahan dan merasakan adanya spasme sambil memeriksa adanya nyeri atau kemerahan
pada kulit. Pemeriksa memberikan tekanan yang semakin meningkat dengan ibu jari
atau satu jari sehingga penderita (1) mengatakan kepada pemeriksa agar berhenti karena
sakit, (2) menarik diri, atau (3) menyeringai. Kemudian tempat tersebut harus diperiksa
untuk melihat adanya warna kemerahan (erythema flare).
Reeves dkk dikutip oleh Krsnich mengusulkan indeks tftik nyeri sebagai berikul 0
= tidak ada nyeri, 1 = nyeri tanpa menarik diri, 2= nyeri sambil menarik diri, 3 = nyeri
sambil menarik diri dengan keras, dan 4 = tidak tahan sentuhan (untouchable). Tidak
jarang, daerah yang memberikan gejala nyeri paling menonjol berpindah dari waktu ke
waktu (Millea, 2000). Kriteria diagnosis SF dan ACR ini masih merupakan cara yang
paling banyak dipakai untuk sarana diagnosis SF, uralaupun ada kekurangan-
kekurangan dalam praktek, yaitu :
1. Rasa nyeri pada titik-titik nyeri yang dinyatakan hanya pada lokasi-lokasi anatomis
tedentu itu ternyata seringkali dapat dirasakan di seluruh tubuh penderila.
2. lntensitas rasa nyeri pada seseorang penderita selalu berubah dari waktu ke waktu,
hingga lokasi titik nyeri bisa kurang ataupun melebihi jumlah 11 titik yang menjadi
persyaratan diagnosis. Tidak selalu ada rasa nyeri di semua empat kuadran tubuh.
3. Pemijatan yang dilakukan oleh pemeriksa merupakan sumber dari "human error"
(sehubungan dengan lokasi analomis dan kuatnya pemijatan), selain itu seringkali
terdapat kerancuan dengan nyeri pada penderita Sindroma Nyeri Miofasial
(National Fibromyalgia Partnership Publication, 2001).
Anamnesis, pemeriksaan fisik dengan evaluasi neurologis, sangat penting pada
diagnosis SF. Adanya spasme otot, nodul, reticular skin discoloration dan pola tidur
yang tidak nyenyak (yang dapat dilihat pada rekaman EEG), merupakan hal yang khas
(Krsnich-Shriwise, 1997; Millea, 2000) Diagnosis SF yang sederhana bisa ditegakkan
dari adanya hasil-hasil normal pada pemeriksaan laboratorium rutin, foto Rontgen,
pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan luas gerak sendi.
Karena SF sering timbul bersamaan dengan keadaan-keadaan lain diperlukan
pemeriksaan tambahan untuk mengetahui hal tersebut. Adanya gangguan klinis lain
tidak menyingkirkan diagnosis fibromialgia.
SF harus dibedakan dari SNM dimana SF lebih banyak diderita wanita daripada
pria sedangkan SNM hampir sama angka kejadiannya antara pria dan wanita. Selain itu
gangguan sensitivitas otot-otot pada SF lebih luas, sedangkan pada SNM lebih
terlokalisir. Pada SF penyebabnya bersifat sistemik sedangkan SNM akibat dari
gangguan neuromuskuler yang lebih bersifat gangguan mekanisme fisik dari pada
biokimia (Starlanyl, 1999)
Russel dalam mengelompokkan jenis-jenis gangguan nyeri pada jaringan lunak
memasukkan SF pada kategori umum (generalized) yang berarti bahwa penyakit ini
disebabkan oleh proses sistemik yang mempengaruhi sistim muskuloskeletal, sedangkan
SNM dimasukkan dalam kelompok regional yang berarti suatu gangguan akibat
pemakaian jaringan muskuloskeletal yang berlebihan (overuse) yang meliputi lebih dari
satu jenis struklur tubuh dalam satu daerah (region) (Russel,2001)
Penatalaksanaan.
Walaupun belum didapatkan pengobatan untuk SF, penanganan dari gejalanya
masih mungkin dilakukan. Tetapi sampai saat ini belum ada cara untuk dapat
memberikan pengurangan dari nyeri atau gejala yang lain untuk jangka panjang.
Dalam garis besarnya, penatalaksanaan SF adalah sebagai berikut: (Farhey,2001)
A. Non Farmakologis
Diagnosa yang tegas, pendidikan, penenteraman pikiran (reassurance)
dukungan emosional
Latihan-latihan kebugaran Kardiovaskuler
Cognitive Behavior Therapy
EMG Biofeedback
Latihan relaksasi
Akupunktur
Terapi fisik / manipulasi
Pengobatan dalam kelompok interdisiplin
B. Terapi Farmakologis
A. Non Farmakologis
Penatalaksanaan dimulai dengan diagnosis pengenalan titik nyeri / titik picu.
Banyak penderita merasa lega bahwa ternyata gejala-gejala yang dialaminya
memang betul-betul ada dan disebabkan oleh suatu sindroma yang dikenal dan
mungkin dapat diobati. Selanjutnya penderita akan ditangani oleh suatu tim dengan
pendekatan secara proaktif yang menyangkut pasien itu sendiri, dokter, fisioterapis
dan occupational therapist (OT) termasuk juga perawat, tehnisi blofeedback,
psikolog dan psikiater.
Pada umumnya tujuan penatalaksanaan SF adalah (1) memutuskan lingkaran
nyeri, (2) mengembalikan pola tidur, (3) meningkatkan tingkat aktivitas fungsional.
Seperti juga penyakit-penyakit kronis yang lain, gejala-gejala SF terjadinya hilang
timbul, sehingga pengobatannya merupakan hal yang berkesinambungan, dan
bukannya untuk satu episode saja. Karena SF adalah suatu sindroma multi faktorial
maka untuk mendapatkan hasil yang baik, diperlukan bermacam-macam strategi.
Dalam kejadian dimana SF diderita bersama-sama dengan SNM, para peneliti
telah mengetahui bahwa SF dan SNM ini akan saling memperkuat. Karena itu
pengobatannya juga lebih kompleks dari pada bila diderita secara sendiri-sendiri.
Ada pengobatan yang biasanya dipakai untuk mengobati SF ternyata berakibat tidak
baik pada penyakit SNM, demikian pula sebaliknya, letapi ada juga pengobatan
yang bermanfaat untuk kedua-duanya.(Starlanyl, 1999).
Pendidikan.
Penderita-penderita SF yang diberi intervensi program pendidikan
(educationat intervention program) ternyata rasa percaya dirinya dapat meningkat.
Pada penderita ini diberikan keterangan tentang proses dari penyakit SF dan cara-
cara mengatasi, termasuk mengenali dan penatalaksanaan stres, pola tidur, nutrisi,
penyimpanan energi, penatalaksanaan nyeri dan program intervensi perilaku
kognitif, obalobatan dan penyesuaian fisik (physical conditioning).
Pendidikan nutrisi meliputi penggunaan yang hati-hati dari kafein, alkohol dan
nikotin untuk dapat meningkatkan pola tidur yang nyenyak dan memperbaiki tingkat
energi. Karbohidrat meningkatkan pembentukan serotonin bila dimakan tidak
bersama-sama dengan protein. Gula juga meningkatkan serotonin walaupun jangka
waktu efektivitasnya tidak sepanjang karbohidrat. Dianjurkan juga untuk
mengkonsumsi nutrisi tambahan termasuk kalsium dan magnesium (1-1,5 mg per-
hari pada waktu malam hari, dan vitamin B kompleks, atau multi-vitamin).
Pendidikan mengenai cara-cara penghematan energi, termasuk didalamnya
perbaikan kemampuan manajemen waktu untuk mendapatkan cara hidup yang
produktif dan seimbang. Juga latihan-latihan mengenai postur yang baik ditempat
bekerja dan mekanisme kerja tubuh untuk efisiensi kebutuhan energi. Diajarkan juga
mengenai pemakaian alat-alat pembantu yang bisa mengurangi tenaga yang harus
dikeluarkan maupun untuk mengurangi mobilitas yang terlalu tinggi, dimana alat
tersebut harus yang sesuai dengan kaidah-kaidah ergonomis (Farhey, 2001).
Hal-hal yang memperberat gejala-gejala SF diantaranya pola tidur yang tidak
baik, kelelahan, trauma mental (kuatir, ansietas, depresi, kurangnya sistem
pendukung dan kurangnya kemampuan penanggulangan), trauma fisik (aktivitas
fisik yang diulang-ulang atau terlalu banyak, atau dilakukan tidak ergonomis), tidak
aktif dalam waktu yang berkepanjangan, kelebihan berat badan, postur yang tidak
baik, nutrisi yang tidak baik dan perubahan cuaca. Selain itu juga kondisi-kondisi
yang berhubungan / ada bersamaan dengan SF yaitu artritis, neuritis, sindroma
resf/ess legs, hipotiroidi, nyeri kepala, littable bowel syndrome, trittable bladder
syndrome.
Penderita SF mungkin mendapat kesulitan untuk melaksanakan tugas-tugas
pekerjaan dan sosial akibat kurangnya kontrol terhadap gejala-gejalanya. Kesulitan
ini dapat menyebabkan isolasi sosial dan mengurangi harga dirinya (Millea, 2000).
Untuk membantu dalam mengatasi stres, pasien dapat dirujuk pada suatu
kelompok pendukung (support group) dan kalau perlu ke psikolog atau psikiater.
Dipakai juga tehnik-tehnik pengobatan perilaku kognitif dengan meditasi, bantuan
spiritual, latihan relaksasi dan pemafasan, hipnosis, yoga, tai-chi, biofeedback
(Reilly, 1999).
Perlu ditekankan hal-hal yang positif kepada para penderita untuk mengatasi
gangguan akibat SF antara lain: penyakit ini tidak akan mengakibatkan kecacatan,
bahwa penderita-penderita tidak akan mengalami hendaya yang menetap, dan
mereka sebenarnya dapat mengendalikan dan mempengaruhi perjalanan penyakit
dengan cara-cara yang sederhana, misalnya dengan beraktivitas tiap hari dan
memilih untuk melihat segi-segi, yang positif dari pekerjaan dan kehidupan pada
umumnya.(Farhey,2001).
Akupunktur
Penelitian meta analisis menyatakan bahwa akupunktur bernanfaat. Walaupun
tidak menyembuhkan tetapi dapat meningkatkan kualitas hidup penderita (Millea;
2000). Pada terapi akupunktur, bila jarum ditusukkan pada titik akupunktur yang
tradisionil, (bukannya pada titik nyeri) dapat memberikan peningkatan nilai ambang
nyeri sampai 70%. The National lnstitites of Healfh (NIH) pada tahun,1997,
menyatakan bahwa akupunktur dapat memberikan hasil yang baik pada dua
keadaan, yaitu 1) nyeri muskuloskeletal dan 2) rasa mual pada penderita SF
(National Fibromyalgia Partnership Publication, 2001)
Latihan
Cara lain yang sangat efektif untuk penataleksanaan SF dalam jangka panjang
adalah latihan fisik. Otot-otot yang tidak dalam kondisi terlatih (deconditioned)
dianggap sangat rentan terhadap microtrauma yang mungkin berakibat nyeri. Rasa
nyeri padatrtik nyerir sangat berkorelasi dengan kekuatan otot tapi tidak berkorelasi
dengan kemampuan tempuh berjalan kaki dan fleksibiiitas.
Tiap pasien sebaiknya mendapatkan program latihan: sesuai dengan
kemampuan masing-masing. Program latihan itu terdiri dari latihan postural,
peregangan pasif, penguatan, latihan-latihan aerobik misalnya berenang, bersepeda,
berjalan. Latihan dapat dilakukan tiga kali dalam seminggu; masing-masing selama
40 menit.
Pada penderita SF yang kesakitan dan dalam kondisi yang kurang baik, latihan
dimulai dalam tingkat yang sangat rendah misalnya 5 menit dalam sehari dan di
tingkatkan sedikit demi sedikit. Ada pendapat bahwa latihan fisik secara teratur
lebih bermanfaat dari obat-obatan untuk mengatasi gejala SF.
Pengobatan didalam air (aquatic therapy) sering kali rnerupakan kegiatan
aerobik yang sangat disertai dan bermanfaat pada pasien-pasien SF yang yang
mengalami rudapaksa (Injury), kelebihan berat badan, atau peka terhadap beban
aksial. Sebaiknya latihan teratur ini bisa merupakan kebiasaan untuk seumur hidup.
Pemberian terapi panas dapat meningkat aliran darah lokal mengurangi
kekakuan dan ketegangan. Pemakaian terapi dingin bisa mengurangi nyeri pada
daerah nyeri yang terlokalisir (tender spots) dan memutuskan lingkaran nyeri.
Masase pada otot dan titik nyeri bisa memberikan relaksasi pada otot. Harus
dijaga agar dalam jangka lama tidak terjadi ketergantungan penderita pada
peralatan yang dipakai untuk terapi SF ini.
B. Terapi Farmakologis
Pilihan untuk pengobatan secara farmakologis pada SF antara lain
(Farhey,2001, lnanici, 2001).
1. Analgetika sederhana
Asetarninofen
NSAID dosis rendah bila tidak ada kontra indikasi
2. Analgetika sentral
Tramadol
Kodein
3. Pelemas otol
Karisoprodol
Siklobenzaprin
Metokarbamol
4. Suntikan titik nyeri
Anestesi lokal
Kortikosteroid
5. Anti depresan
Trisiklik
Amitriptllin
Doksepin
Nortriptilin
Selective serotonin reuptake inhibitor
Atalopram
Fluoksetin
Fluvoksamin
Paroksetin
Sertralin
Serotonin norepinephrine reuptake inhibitor
Amitriptilin
Nortriptillin
Venlafaksin
Dalam suatu penelitian nasional di Amerika didapatkan bahwa umumnya
penderita-penderita SF mendapatkan obat-obatan : analgetika non-steroid (33%),
anti depresan (69%), muscle relaxant (13%), benzodiazepine (15%) dan kadang-
kadang analgetika narkotik (37%). Obat-obatan diberikan untuk mengatasi nyeri
dan pola tidur yang tidak baik.
Antidepresan trisiklik amitriptilin atau relaksan otot (cyclobenzaprine) dapat
mengurangi gangguan tidur stadium IV dan dianggap meningkatkan kadar serotonin
otak dan neurotransmiter yang lain dan dianggap sebagai first tine therapy pada SF
(Staud, 2006). Tetapi keduanya dapat menimbulkan rasa lelah dan ngantuk dipagi
hari. Anti depresan trisiklik biasanya diberikan sebelum tidur, dan dosisnya antara
10-30 mg per hari. Dosis ini individual karena absorbsi, metabolisme
danekskresinya bervariasi. Kelihatannya ohat ini bermanfaat juga untuk mengurangi
kekakuan dipagi hari dan menimbulkan tidur yang lebih nyenyak, sehingga bisa
meningkatkan tingkat energi secara keseluruhan. Doxepin dimulai daridosis rendah
(0,67 mg) dan pelan-pelan dinaikkan. Penggunaan anti depresan pada SF harus hati-
hati karena sebagian penderita ada yang merasakan gejala-geialanya memburuk
ketika memakai obat tersebut. Karena itu gejala-gejala harus selalu dimonitor
(Millae,2000). Untuk menghindari persepsi negatif dari obat-obat antidepresan
terutama pada penderita yang tidak depresi, dapat diutarakan bahwa obat-obat ini
dimaksudkan untuk “booster”/ pendukung serotonin dalam mengatasi masalah nyeri
cian tidur (lnanici, 2001).
Kelima macam obat golongan SSRI yaitu sertraline, paroksetine, citalopram,
fluoksetine dan fluvoxamine efek sampingnya lebih kecil dari pada TCA dan dapat
membantu memperbaiki nyeri otot maupun tingkatan energi (kekuatan) penderita.
Golongan SSRI mernpunyai efek stimulasi karena itu diberikan pada waktu pagi
hari ataupun awal malam hari untuk mengurangi efek "hang-over" keesokan
harinya. Obat-obatan ini dimasukkan dalam terapi lini kedua (Farhey,2001; National
Fibromyalgia Partnership Publication, 2001). Kombinasi SSRI dan TCA bekeria
dengan baik terutama untuk penderita yang mengeluh sulit tidur pada pemberian
pengobatan dengan SSRI saja.
Penggunaan obat SSRI harus diberikan sampai dengan dosis yang cukup
tinggi (yaitu sampai dosis maksimal) untuk dapat menentukan bahwa pengobatan
dengan obat ini gagal. SSRI dapat memicu timbulnya kegelisahan dan cepat marah
pada penderita di permulaan pengobatan. Untuk mengatasinya dapat diberikan
benzodiazepine pada beberapa hari pertama misalnya alprazolam0,25-0,5mg,
lorazepam atau buspirone. Tidak boleh diberikan dalam jangka waktu lama karena
potensinya menimbulkan ketergantungan dan withdrawal seizure. Pada penderita
yang tetap mengalami kesulitan tidur walaupun telah mengatur jarak tidur dan
pemberian obat-obat TCA, dapat diberikan hipnotik, misalnya zolpidem (lnanici,
2001; Farhey, 2001). Cyclabenzaprine diberikan dalam dosis 5 mg - 30 mg sekali
sehari, 1 – 2 jam sebelum tidur. Ternyata obat ini dapat mengurangi nyeri,
menambah lama tidur dan sedikit mengurangi kelelahan diwaktu sore.
Walaupun obat-obat analgetika non-steroid cukup banyak diresepkan, ternyata
obat ini tidak terbukti efektivitasnya untuk terapi SF (Millea, 2000). Kortikosteroid,
obat-obat imunosupresan, dan analgetik opioid merupakan kontra indikasi karena
penghentiannya sering kali memicu suatu sindrom yang gejala-gejalanya
kebanyakan merupakan gejala-gejala fibromialgia. Pendapat lain menyalakan bahwa
analgesik opioid dapat dipakai tetapi dibatasi hanya untuk penderita nyeri hebat
dengan gangguan fungsi yang sangat atau yang dengan obat lain tidak efektif atau
ada kontra indikasi (Millea, 2000)
Tramadol rnerupakan analgesik yang bekerja sentral dengan cara pengikatan
pada reseptor opioid maupun secara inhibisi reuptake norepinephrine dan serotonin.
Obat ini masuk dalam lini kedua (Staud, 2006). Dosis biasanya 100 sarnpai 400
mg / hari, dimulai dengan 50 mg bila dikombinasikan dengan anti depresan.
Kombinasi asetaminofen 500 mg dan kodein 30 mg diberikan 3 - 4 kali pethari
dapat diberikan pada waktu ada lonjakan gejala atau pada penderita-penderita
dengan gejala-gejala yang berat dan tidak dapat diatasi dengan cara-cara lain
(lnanici, 2001).
GH telah diteliti dan dinyatakan bermanfaat untuk pengobatan penderita SF
tetapi mahal (Starlanyl, 1999) dan dimasukkan dalam third line therapy (Staud,
2006). Dilaporkan juga tentang pemakaian guaifenesin dengan dosis 300 - 600 mg
dua kali sehari yang dikatakan dapatmemberikan hasil yang baik.
Bila penanganan hanya dengan obat-obatan saja dan diberikan dalam jangka
waktu lama, lama kelamaan tidak akan bermanfaat lagi.
Suntikan lidokain yang dapat dikombinasikan dengan kortikosteroid pada
titik-titik nyeri (tender points TP) merupakan terapi tambahan yang bermanfaat
terutama pada penderita-penderita yang sangat terganggu oleh rasa nyeri pada
beberapa titik nyerinya.
Sesudah penyuntikan, tempat suntikan tersebut sebaiknya diberi es selama 20
menit tiap jamnya dalam jangka waktu 4 sampai 6 jam dan harus diistirahatkan
selama 48 jam untuk mencegah terjadinya lonjakan rasa nyeri pasca suntikan. Bila
perlu suntikan dapat diulang dalam 3-4 bulan (lnanici, 2001; Farhey, 2001.
Sampai saat ini untuk jangka panjang, penatalaksanaan SF yang pailng
penting adalah pendidikan pasien dan latihan-latihan, diusahakan untuk
memperbaiki pola tidur, secara bertahap meningkatkan kebugaran fisik dan
menyingkirkan semua penderitaan psikologis.
Prognosis
Gejala SF dapat darim ringan sampai yang menyebabkan penderita tidak
berdaya, dan seringkali memberikan konsekwensi sosial dan emosional yang berat.
Sekitar 50% penderita mendapat kesulitan ataupun tak mampu melaksanakan
kegiatan sehari-hari. Penderita yang terpaksa berhenti bekerja ataupun pindah
pekerjaan karena sakitnya sekitar 30-40%. Walaupun gejala-gejala kelihatannya
stabil dalam beberapa waktu, beberapa penelitian jangka paniang menunjukkan
bahwa fungsi fisik dan keluhan nyerinya memberat (Staud, 2006). Penderita-
penderita yang menderita SF sebagai akibat daritrauma, seringkali keadaannya lebih
parah daripada mereka yang tidak mempunyai riwayat trauma.
Walaupun demikian, banyak pemerita dapet mengalami remisi setelah secara
aktif mengikuti pfogram-program menejemen penyakit secara efektif. Belum ada
obat untuk menyembuhkan SF tetapi penderitanya dapat diusahakan untuk menjadi
lebih baik (National Fibrornyalgia Partnership Publication, 2001).