[Ferry_Hidayat]_Pengantar_Menuju_Filsafat_Indonesi(BookFi.org)
-
Upload
firmanullahyusuf -
Category
Documents
-
view
14 -
download
3
description
Transcript of [Ferry_Hidayat]_Pengantar_Menuju_Filsafat_Indonesi(BookFi.org)
Pengantar Menuju FILSAFAT INDONESIA
Oleh
FERRY HIDAYAT
1. Definisi Baru ‘Filsafat Indonesia’
dalah mustahil menemukan definisi kata ‘Filsafat Indonesia’ dalam kamus-kamus
atau ensiklopedi-ensiklopedi filsafat Barat yang standar. Filsafat Indonesia memang
belum seberuntung Filsafat Timur lainnya yang telah lebih dulu dikenal Barat.
Ambillah karya Paul Edwards sebagai satu ukuran. Dalam karyanya The Encyclopedia of
Philosophy yang 8 jilid itu, terdapat 1.500 artikel yang ditulis oleh 500 kontributor dari filosof
seluruh dunia, tapi tak satupun artikel yang mengenai Filsafat Indonesia. Sementara itu, ada 1
filosof Mesir, 1 filosof Iran, dan 4 filosof Cina yang menyumbangkan artikelnya selain dari 494
filosof Barat, tapi tak satupun filosof Indonesia yang menjadi kontributor artikel di dalamnya.1
St. Elmo Nauman Jr., dalam karyanya yang klasik Dictionary of Asian Philosophies (1979), juga
hanya mencantumkan nama-nama filosof Asia dari daerah Persia, India, Cina, Palestina,
Babilonia, Tibet, Jepang, Arab, Siria, dan Lebanon.2 Tak satupun nama filosof Indonesia yang
disebut. Apatah lagi di dalam Encyclopaedia Britannica atau Encarta Encyclopedia 2005.
Kondisi yang sama juga terjadi ketika anda mencoba browsing di dunia maya lewat fasilitas
mesin search dari situs seperti www.google.com. Dengan penuh putus asa tidak akan
ditemukan artikel-artikel internet yang berjudul ‘Filsafat Indonesia’.3
Itu belum seberapa menyedihkan. Ada lagi kenyataan yang lebih membuat kita, orang Indonesia
sendiri, lebih sedih. Perpustakaan Nasional RI, suatu perpustakaan milik pemerintah di Jakarta,
hanya memiliki koleksi 42 judul buku dalam katalog subyek ‘Filsafat Indonesia’, sedangkan
koleksi buku Filsafat Barat dan Filsafat Timur lainnya malah memiliki beratus-ratus judul.
Seorang filosof Mesir berkaliber internasional seperti Hassan Hanafi juga mengaku tidak pernah
mengetahui adanya Filsafat Indonesia, sehingga pada saat diwawancara oleh GATRA pada 5
Juni 2001 mengatakan dengan penuh sinisme:
A
…kalian misalnya bilang tentang pengaruh Muhammad Abduh, Afghani, Rasyid Ridha, Hasan Al-Banna, atau Sayyid Qutub, tetapi mana pemikir Indonesia? Seperti yang terjadi di Turki, mereka hanya menyebutkan pengaruh dari Abduh, Afghani dan lain-lain. Lalu di mana pemikir Indonesia?
Bahkan di dalam wawancara itu pula Hanafi mengungkap niatnya untuk menulis tentang
pemikir-pemikir Indonesia.
Ini semua berarti, kajian Filsafat Indonesia masih amat baru, bahkan untuk orang Indonesia
sendiri. Namun, walaupun belum terkenal secara internasional, setidaknya Filsafat Indonesia
sudah dikaji di negeri sendiri, oleh segelintir orang yang memelopori kajiannya, seperti Sunoto,
R. Pramono, M. Nasroen, S.A. Kodhi, dan Jakob Sumardjo. Sunoto dan R. Pramono
berlatarbelakang UGM. Sunoto sendiri bekas Dekan Jurusan Filsafat Indonesia di UGM
Yogyakarta, sedangkan M. Nasroen adalah Guru Besar Filsafat di Universitas Indonesia dan
Jakob Sumardjo dari ITB Bandung.
M. Nasroen adalah orang pertama yang memelopori kajian Filsafat Indonesia pada dekade 60-
an. Dalam karyanya yang sangat klasik (Perpustakaan Nasional RI memasukkan bukunya
sebagai salah satu koleksi ‘buku langka’), Guru Besar UI ini dalam banyak halaman
menegaskan keberbedaan Filsafat Indonesia dengan Filsafat Barat (Yunani-Kuno) dan Filsafat
Timur, lalu mencapai satu kesimpulan bahwa Filsafat Indonesia adalah suatu Filsafat khas yang
‘tidak Barat’ dan ‘tidak Timur’, yang amat jelas termanifestasi dalam ajaran filosofis mupakat,
pantun-pantun, Pancasila, hukum adat, ketuhanan, gotong-royong, dan kekeluargaan.4
Demikian pula Sunoto, yang melakukan kajian serius tentang Filsafat Indonesia, walaupun
diakuinya sendiri bahwa kajiannya ‘…masih berkisar pada kefilsafatan Jawa…,’ dan tidak
menyeluruh.5 R. Pramono mencoba lebih jauh dari Sunoto. Selain Jawa, ia menelusuri alam
pikiran Batak, Minangkabau, dan Bugis.6 Sedangkan Jakob Sumardjo, dalam karyanya
Arkeologi Budaya Indonesia, membahas ‘Ringkasan Sejarah Kerohanian Indonesia’, yang
secara kronologis memaparkan sejarah Filsafat Indonesia dari ‘era primordial’, ‘era kuno’, hingga
‘era madya’.7 Dengan berbekal hermeneutika yang sangat dikuasainya, Jakob menelusuri
medan-medan makna dari budaya material (lukisan, alat musik, pakaian, tarian, dan lain-lain)
hingga budaya intelektual (cerita lisan, pantun, legenda rakyat, teks-teks kuno, dan lain-lain)
yang merupakan warisan filosofis agung masyarakat Indonesia. Dalam karyanya yang lain,
Mencari Sukma Indonesia (2003), Jakob pun menyinggung ‘Filsafat Indonesia Modern’, yang
secara radikal amat berbeda ontologi, epistemologi, dan aksiologinya dari ‘Filsafat Indonesia
Lama’. Semua perintis tersebut sangat membantu dalam mencapai pemahaman yang dalam
tentang Filsafat Indonesia.
Semua perintis Filsafat Indonesia tadi mendefinisikan Filsafat Indonesia secara berbeda-beda.
M. Nasroen mendefinisikan Filsafat Indonesia sebagai sekumpulan ajaran-ajaran filosofis yang
asli Indonesia, yang tidak pernah dimiliki oleh Filsafat manapun. Dalam ungkapannya sendiri,
Nasroen menjelaskan:
Pandangan hidup Indonesia [Filsafat Indonesia- pen.] adalah berlainan betul dari Pandangan Hidup Junani dan Pandangan Hidup Barat dan Timur yang bersumberkan pada Pandangan Hidup Junani itu…8
Sedangkan Sunoto, R. Pramono, dan filosof UGM dari Jurusan Filsafat Indonesia lainnya,
mendefinisikan Filsafat Indonesia sebagai ‘…kekayaan budaya bangsa kita sendiri…yang
terkandung di dalam kebudayaan sendiri…’9 Atau, dalam ungkapan R. Pramono, Filsafat
Indonesia berarti ‘…pemikiran-pemikiran…yang tersimpul di dalam adat istiadat serta
kebudayaan daerah…’10 Jadi, dalam pemikiran kelompok filosof UGM itu, Filsafat Indonesia
ialah semua pemikiran filosofis yang ditemukan dalam adat istiadat dan kebudayaan kelompok-
kelompok etnis masyarakat Indonesia, mulai dari Sabang sampai Merauke. Definisi ini juga
dianut oleh Alumni UGM dan Dosen Matakuliah Filsafat Indonesia di UIN Syarif Hidayatullah.
Jakob Sumardjo mendefinisikan Filsafat Indonesia secara amat gamblang dan lugas sebagai
‘Filsafat Etnik Indonesia’, yakni ‘…pemikiran primordial…’ atau ‘…pola pikir dasar yang
menstruktur seluruh bangunan karya budaya…’ dari suatu kelompok etnik di Indonesia. Jika
disebut ‘Filsafat Etnik Jawa’, maka artinya:
filsafat… [yang] terbaca dalam cara masyarakat Jawa menyusun gamelannya, menyusun tari-tariannya, menyusun mitos-mitosnya, cara memilih pemimpin-pemimpinnya, dari bentuk rumah Jawanya, dari buku-buku sejarah dan sastra yang ditulisnya…11
Semua filosof pelopor tadi, nampaknya, mencapai kata sepakat bahwa definisi Filsafat
Indonesia adalah ‘segala warisan pemikiran asli yang terdapat dalam adat-istiadat dan
kebudayaan semua kelompok etnik Indonesia.’ Jadi, semua produk filosofis sebelum datangnya
filsafat asing (Cina, India, Persia, Arab, Eropa) ke Indonesia, dapat disebut sebagai Filsafat
Indonesia. Mereka menekankan ‘keaslian’ bagi Filsafat Indonesia. Padahal, ‘Filsafat asli
Indonesia’ hanya ada pada saat masyarakat Indonesia belum kedatangan penduduk asing. Jika
Filsafat Indonesia hanya berisi ini saja, maka sungguh betul miskinlah tradisi filsafat kita.
Penulis menganggap penting adanya definisi baru, agar Filsafat Indonesia tidak hanya seperti
katak dalam tempurung, yang kebal terhadap pengaruh intelektual asing dan ‘suci’ dari unsur
filosofis asing, dengan cara memperluas scope Filsafat Indonesia, yang bukan hanya
mengandung segala warisan pemikiran asli yang terdapat dalam adat-istiadat dan kebudayaan
semua kelompok etnik Indonesia, tapi juga segala pemikiran Indonesia yang terpengaruh oleh
antar-koneksi filsafat-filsafat sejagat.
Memang benar, sebagaimana sering ditunjukkan oleh penulis buku Filsafat Islam, Persia, Cina,
Jepang, Inggris, Jerman, Amerika, dan lain-lain, bahwa para filosof menamai kajian mereka
dengan sebutan ‘Filsafat Islam’, ‘Filsafat Cina’, ‘Filsafat Jepang’, ‘Filsafat Jerman’, dst., di
samping untuk menegaskan sumbangan komunal dari komunitas tempat mereka berasal
terhadap tradisi filsafat sejagat, juga untuk menunjukkan kekhasan, otentisitas, identitas, atau
fitur distingtif dari filsafat yang mereka kaji daripada tradisi filsafat lain. Tapi, para filosof itu tidak
berhenti sampai di situ saja. Mereka kemudian juga mengakui, baik secara implisit maupun
eksplisit, bahwa tradisi filsafat sejagat juga turut memberi warna-warni dalam struktur filsafat
regional mereka.
Bertrand Russell, dalam buku sejarah filsafat Baratnya yang amat klasik History of Western
Philosophy and Its Connection with Political and Social Circumstances from The Earliest Times
to The Present Day (Sejarah Filsafat Barat dan Hubungannya dengan Kondisi Sosio-Politik dari
Masa Lampau Hingga Sekarang), mengakui pengaruh Filsafat Islam terhadap tradisi Filsafat
Barat. Dengan kata-katanya sendiri, Russell berujar:
Writers in Arabic showed some originality in mathematics and chemistry—in the latter case, as an incidental result of alchemical researches. Mohammedan civilization in its great days was admirable in the arts and in many technical ways, but it showed no capacity for independent speculation in theoretical manners. Its importance, which must not be underrated, is as a transmitter. Between ancient and modern European civilization, the dark ages intervened. The Mohammedans and the Byzantines, while lacking the intellectual energy required for innovation, preserved the apparatus of civilization—education, books, and learned leisure. Both stimulated the West when it emerged from barbarism—the Mohammedans chiefly in the thirteenth century, the Byzantines chiefly in the fifteenth. In each case the stimulus produced new thought better than any produced by the transmitters—in the one case scholasticism, in the other the Renaissance (which however had other causes also)…12
Pengaruh Filsafat Islam terhadap tradisi Filsafat Barat juga diakui oleh filosof Barat lain,
Frederick Mayer. Dalam karyanya yang juga tergolong klasik A History of Ancient & Medieval
Philosophy, lektur filsafat pada University of Redlands California ini mengatakan:
Averrhoes defended, against Al-Gazzali, the value of philosophical discussion. He held that it could give a spiritual interpretation of the faith and lead to a symbolic explanation of dogmas which otherwise would be accepted in their literal sense. After his death Arabic philosophy declined, but his theories played an important part in Western scholastic circles.13
Bukan hanya filosof Barat yang mengakui pengaruh warna-warni filsafat asing dalam struktur
filsafat regionalnya, tapi juga filosof Jepang, seperti Masaaki Kôsaka. Dalam artikelnya The
Intellectual Background of Modern Japanese Thought (Latarbelakang Intelektual dari Alam
Pikiran Jepang Modern), Masaaki mengakui pengaruh Filsafat Barat dalam struktur Filsafat
Jepang, seraya berkata:
When Japan [in the time of The Meiji Restoration-pen.] began dealing with foreign nations, she admitted a host of Western influences. At the time, these sprang solely from modern Europe and America, but it was inevitable that the attention of the Japanese would eventually be caught by the glories of the Renaissance and ancient Greek civilization, and more important, that they would encounter Christianity…14 Huang Songjie, seorang filosof Cina, juga turut mengakui pengaruh tradisi Filsafat Barat
terhadap struktur Filsafat Cina. Dalam artikelnya The ‘Great Triangle’ of Chinese Philosophical
Academia and The Modernization of China (‘Segitiga Emas’ Akademi Filsafat Cina dan
Modernisasi Cina) , Songjie menegaskan bahwa:
Marxist philosophy, Western philosophy and Chinese traditional philosophy are three independent and yet interrelated philosophical trends in the 20th century Chinese academic and cultural world. I refer to this as the "Great Triangle". Dealing properly with this interrelationship is of great importance for the development of Chinese culture and the modernization of China… Western science and culture spread gradually in China after the Opium War (1840) and forcefully challenged traditional Confucianism. Early in 20th century, with the Revolution of 1911 and the May 4th New Culture Movement, traditional Confucianism was attacked intensely by a large number of progressive intellectuals and radical thinkers. During the twenties and thirties of this century, more and more Chinese intellectuals introduced and popularized Western philosophy in China, among which pragmatism was especially influential. But early in 20th century the greatest impact on Chinese society was the introduction and spread of Marxism. From the 1920’s on the "Great Triangle" appeared in the Chinese philosophical arena, in which the traditional Confucianist philosophy was defeated and Marxist philosophy emerged as the winner. The victory of Marxism is due to the fact that the Chinese communists combined Marxism tactically with Chinese social and revolutionary practice; they made of Marxism an ideological weapon against feudalism and imperialism, leading thereby to the founding of New China.15
Tidak mengakui adanya ‘Filsafat asli Indonesia’ dan hanya mengakui pengaruh Modernisme
Barat dalam struktur Filsafat Indonesia juga sama buruknya dan sama naifnya. Memang tidak
dapat disangkal, bahwa kata ‘Indonesia’ baru diciptakan pada tahun 1917, tapi bukan berarti
sebelum tahun itu tradisi Filsafat Indonesia belum ada; sebelum tahun itu, pemikir Indonesia
belum lahir. Memang tak dapat disangkal, bahwa ‘Indonesia’ sebagai suatu lembaga politik
modern Republik ala Barat baru lahir pada 17 Agustus 1945, tapi bukan berarti semua pemikir
yang ada sebelum tanggal itu harus diabaikan begitu saja.
Semangat ‘anti-tradisi’ semacam itu pernah mencuat dalam tulisan-tulisan polemis ‘Sutan Takdir
Muda’ dengan Ki Hajar Dewantara, yang kemudian dikenal sebagai Polemik Kebudayaan
1935,16 dimana Sutan Takdir berpendapat bahwa tradisi ‘Indonesia Lama’—termasuk struktur
budaya, peradaban, seni, dan filsafatnya sebagai satu paket—harus dibuang jauh-jauh ke
belakang dan, sebagai gantinya, tradisi Dunia Modern yang mengandung ‘budaya progresif’
harus diadopsi, dipelajari, dan dikuasai, supaya Indonesia dapat mewarisi kebesaran struktur
budaya Modern itu dan menjelmakannya untuk dirinya sendiri sebagai ‘Indonesia Modern’. Motif-
motif ‘anti-tradisi’ juga sempat hadir dalam deklarasi dan pernyataan-sikap para sastrawan yang
tergabung dalam kelompok Angkatan ’45, yang terungkap dalam Surat Kepercayaan
Gelanggang Indonesia Merdeka (Jakarta, 18 Februari 1950):
…Kami tidak akan memberikan suatu kata ikatan untuk kebudayaan Indonesia. Kalau kami berbicara tentang kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat kepada melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan,… Revolusi bagi kami ialah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yang harus dihancurkan…17
Upaya pengadopsian filsafat asing ke dalam struktur tradisional Indonesia dalam wujud proyek
Modernisasi (Westernisasi) berada pada track yang benar, apabila dimaksudkan untuk
menghancurkan sisa-sisa sukuisme dan feodalisme pra-Kemerdekaan, tapi menjadi salah-
langkah, apabila ditujukan untuk membuang seluruh heritage filosofis lama.
Pada saat Modernisasi mulai mengetam hasil panennya setelah 2 abad berjalan, yang
puncaknya tercapai di era Orde Baru Soeharto, tidaklah salah jika ada orang yang mau ‘kembali
ke Tradisi’, bukan untuk sekadar romantisme yang nostalgik, tapi untuk interpretasi-ulang, cipta-
ulang, daur-ulang, reka-ulang, pemaknaan-ulang atau introspeksi terhadap tradisi sendiri.
Mungkin ada ‘penyakit-penyakit Modernitas’ yang ‘obatnya’ justru terdapat dalam Tradisi.
Mungkin juga ada Tradisi yang elemen-elemennya malah menopang sendi-sendi yang rapuh
dari struktur Modernitas. Tradisi yang dimaknai-ulang oleh orang modern tentu bukan lagi tradisi
kuno, tapi menjadi suatu Modernitas baru, karena tradisi kuno sudah sejak lama hilang,
digantikan oleh Modernitas. Ketika Modernitas telah menjadi barang kuno oleh orang Indonesia
sekarang, maka penafsiran-ulang terhadap Tradisi mungkin saja menghasilkan ‘Modernitas
Baru’.
Definisi baru Filsafat Indonesia mesti merangkul Tradisi dan Modernitas sekaligus. Tidak boleh
ada preferensi yang berlebihan pada salah satunya. Jika pilihan dijatuhkan pada salah satu dari
keduanya, berarti Filsafat Indonesia telah dimiskinkan isinya.
Mitologi kuno yang sarat elemen filosofis, sebagai bagian dari Tradisi, setidaknya dapat
dijadikan titik-tolak (turning point) untuk pindah ke khazanah filosofis selanjutnya, jika bukan
sebagai pintu gerbang (gateway) untuk masuk ke alam pikiran Indonesia. Banyak penulis
sejarah filsafat yang sengaja memasukkan kajian mitologis sebagai kajian pembuka dalam
bukunya, apalagi jika bukunya memang disusun menurut kronologi. Thomas Kasulis, dalam
artikelnya Japanese Philosophy, memulai kajiannya dengan mitologi Jepang kuno. Mohammad
Hatta, dalam buku Alam Pikiran Yunani, juga memulai kajiannya dengan mitologi Yunani.
Bahkan, Plato, dalam setiap tulisannya, menggunakan mitologi, baik sebagai bahan-baku (raw
material) filsafatnya maupun sebagai target kritik untuk membangun struktur filosofisnya.
Untuk membuat definisi yang baik dari Filsafat Indonesia, maka dibutuhkan beberapa
perbandingan dengan definisi filsafat yang lain. Misalnya, ‘Filsafat Islam’ disebut demikian,
karena filsafat itu lahir di wilayah kuasa Islam dan diproduksi oleh komunitas religius Islam yang
menetap di wilayah itu. Hal serupa juga berlaku bagi ‘Filsafat Kristen’ dan ‘Filsafat Yahudi’.
Sementara, ‘Filsafat Jerman’ disebut demikian, karena ia ditulis dengan aksara dan bahasa
Jerman. Ini serupa dengan definisi ‘Filsafat India’, ‘Filsafat Rusia’, ‘Filsafat Cina’, ‘Filsafat
Kontinental’ (Filsafat yang ditulis berbahasa Eropa Kontinental), ‘Filsafat Analitis’ (Filsafat yang
ditulis berbahasa Inggris atau Amerika), ‘Filsafat Korea’, dan ‘Filsafat Arab’, yang mendasarkan
penamaan filosofisnya dari penggunaan aksara dan bahasa nasionalnya. ‘Filsafat Afrika’ lebih
menekankan segi distingtif tradisi filosofisnya dari tradisi filsafat sejagat lainnya. Ini serupa
dengan ‘Filsafat Persia’, ‘Filsafat Bantu’, dan ‘Filsafat Pakistan’.
Berdasarkan perbandingan di atas, berarti definisi Filsafat Indonesia dapat dibangun dari 3 segi:
1) wilayah tempat filosof itu berada; 2) aksara dan bahasa yang digunakan filosof untuk menulis
karya filosofisnya; dan 3) segi distingtif pemikiran filosofisnya dari tradisi filsafat sejagat. Kalau 3
segi ini diterapkan pada definisi Filsafat Indonesia, maka Filsafat Indonesia adalah filsafat yang
diproduksi oleh semua orang yang menetap di wilayah yang dinamakan belakangan sebagai
Indonesia, yang menggunakan bahasa-bahasa di Indonesia sebagai mediumnya, dan yang
isinya kurang-lebih memiliki segi distingtif bila dibandingkan dengan filsafat sejagat lainnya.
Pernyataan bahwa Filsafat Indonesia adalah filsafat yang diproduksi oleh semua orang yang
menetap di wilayah Indonesia berimplikasi, bahwa semua orang yang berasal dari kelompok
etnis, kelompok ras, atau kelompok religius yang berbeda, asalkan semuanya menetap di
Indonesia, maka semuanya filosof Indonesia.
Pernyataan bahwa Filsafat Indonesia adalah filsafat yang menggunakan bahasa-bahasa di
Indonesia sebagai medium ekspresi filosofisnya berimplikasi, bahwa semua orang yang
menetap di Indonesia, asalkan menggunakan bahasa-bahasa yang hidup di Indonesia sebagai
mediumnya, maka semuanya adalah filosof Indonesia. Disebut ‘bahasa-bahasa di Indonesia’,
karena Indonesia memiliki 587 bahasa etnik disamping ‘bahasa persatuan’ nya yakni Bahasa
Indonesia.
Untuk sifat ketiga, bahwa Filsafat Indonesia adalah filsafat yang sekurang-kurangnya memiliki
segi distingtif dari filsafat sejagat lainnya, harus diberi penjelasan tambahan. Distinctiveness
bukanlah suatu keharusan dalam Filsafat Indonesia, sebab, harus diakui, bahwa segi distingtif
dalam isi Filsafat Indonesia amatlah sedikit daripada segi adaptifnya. Lebih banyak borrowing
nya daripada otentisitasnya. Lebih banyak segi ‘pinjamannya’ daripada segi ‘aslinya’. Yang asli
dalam Filsafat Indonesia hanya Filsafat-Filsafat Etnisnya, sedangkan yang pinjaman cukup
banyak, meliputi pinjaman dari ‘Filsafat Cina’, ‘Filsafat India’, ‘Filsafat Arab’, ‘Filsafat Persia’,
hingga ‘Filsafat Barat’. Pinjaman-pinjaman itu, pada saatnya, akan dipulangkannya lagi setelah
ia berhasil membangun suatu corak lain, apakah dalam bentuk sintesa dialektis, adaptasi,
transformasi, metamorfosis, atau malah rejeksi dan objeksi.
Definisi baru Filsafat Indonesia ini juga berimplikasi pada masalah kapan lahirnya kajian Filsafat
Indonesia. Jika dimaksud sebagai suatu nama cabang filsafat yang dikaji filosof Indonesia, yang
membedakannya dari kajian Filsafat Barat dan Filsafat Asia lainnya, maka Filsafat Indonesia
lahir pada dekade 60-an. Tapi, jika dimaksud sebagai aktivitas berpikir logis-rasional yang
diproduksi orang Indonesia, maka Filsafat Indonesia lahir bukan sejak dekade itu, tapi malahan
sejak local genius primitif memproduksi mitologi filosofis, yang diperkirakan para sejarawan
berproduksi sejak era neolitik sekitar 3500-2500 SM, yang jejak-jejaknya masih dapat ditelusuri
hingga sekarang dalam kebudayaan suku Sakuddei di Kepulauan Mentawai (Sumatera Barat),
suku Atoni di Timor Timur, suku Marind-Anim di Papua (Irian Barat), juga di suku Minangkabau,
Jawa, Nias, Batak, dan lain-lain.18
2. Mazhab, Sumber, dan Tokoh Filsafat Indonesia
ini tibalah pada tempatnya untuk membahas cabang-cabang dari ‘Filsafat Indonesia’ dan tokoh-
tokoh kunci yang menguasai cabang itu. Di sini penulis membagi Filsafat Indonesia ke dalam 6
mazhab besar, berdasarkan pada sumber-sumber inspirasinya: Filsafat Etnik, Filsafat Timur,
Filsafat Barat, Filsafat Islam, Filsafat Kristen, dan Filsafat Paska-Soeharto.
Filsafat Etnik
Jakob Sumardjo telah menjelaskan di muka, bahwa yang dimaksud dengan ‘Filsafat Etnik’ ialah
‘…pemikiran primordial…’ atau ‘…pola pikir dasar yang menstruktur seluruh bangunan karya
budaya…’ dari suatu kelompok etnik di Indonesia. Maka, jika disebut ‘Filsafat Etnik Jawa’, itu
artinya:
filsafat… [yang] terbaca dalam cara masyarakat Jawa menyusun gamelannya, menyusun tari-tariannya, menyusun mitos-mitosnya, cara memilih pemimpin-pemimpinnya, dari bentuk rumah Jawanya, dari buku-buku sejarah dan sastra yang ditulisnya…19
‘Filsafat Etnik’ adalah filsafat orisinil dari Indonesia, yang diproduksi oleh local genius primitif
sebelum kedatangan pengaruh filsafat asing. Di era neolitikum, sekitar tahun 3500–2500 SM,
penduduk Indonesia asli telah membentuk komunitas berupa desa-desa kecil yang telah
mengenal sistem pertanian, sistem irigasi sederhana, sistem peternakan, pembuatan perahu,
sistem pelayaran sederhana, dan seni bertenun.20 Mereka juga sudah mulai berspekulasi
mengenai segala yang mereka perhatikan dari alam, sehingga merekapun sudah memproduksi
filsafat, sekalipun dalam bentuk yang sangat sederhana. Mitologi-mitologi filosofis yang
diproduksi suku-suku etnis Indonesia kini sudah banyak yang dibukukan, sehingga para peneliti
Filsafat Indonesia kini dapat membacanya, baik dalam Bahasa Indonesia maupun dalam bahasa
asing. Misalnya, mitologi filosofis suku Dayak-Benuaq telah dibukukan dan diterjemahkan ke
Bahasa Inggris oleh Michael Hopes, Madras & Karaakng dengan judul Temputn: Myths of The
Benuaq and Tunjung Dayak (Jakarta: Puspa Swara & Rio Tinto Foundation, 1997).
Kajian ‘Filsafat Etnik’ telah banyak dilakukan oleh filosof Indonesia. M. Nasroen adalah orang
pertama yang memelopori kajian ‘Filsafat Etnik’ pada dekade 60-an,21 lalu Sunoto, yang
melakukan kajian serius tentang Filsafat Etnik Jawa.22 R. Pramono mengkaji Filsafat Etnik Jawa,
Batak, Minangkabau, dan Bugis.23 Sedangkan Jakob Sumardjo, dalam karyanya Arkeologi
Budaya Indonesia dan Mencari Sukma Indonesia, membahas Filsafat Etnik Jawa, Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Melayu, dan lain-lain.24 Franz Magnis-Suseno juga
mengkaji Filsafat Etnik Jawa, seperti karya-karyanya yang berjudul Kita dan Wayang (Jakarta,
1984), Etika Jawa dalam Tantangan, dan Etika Jawa: sebuah Analisa Filsafat tentang
K
Kebijaksanaan Hidup Jawa. I Made Swasthawa Dharmayuda mengkaji Filsafat Bali yang
terkandung dalam adat-istiadat suku Bali dalam karyanya Filsafat Adat Bali. P.J. Zoetmulder
mengkaji Filsafat Etnik Jawa dari segi kesusastraannya dalam buku Kalangwan: Sastra Jawa
Kuno Selayang Pandang dan Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam
Sastra Suluk Jawa. Nian S. Djoemena mengkaji Filsafat Etnik Jawa dari tradisi luriknya dalam
buku Lurik: Garis-garis Bertuah (The Magic Stripes). Soewardi Endraswara mengkaji Filsafat
Etnik Jawa dari tradisi peribahasanya dalam buku Mutiara Wicara Jawa. Purwadi mengkaji
Filsafat Etnik Jawa terutama kearifan tokoh Semar dalam pewayangan Jawa dalam karyanya
Semar: Jagad Mistik Jawa dan Woro Aryandini mengkaji kearifan tokoh Bima dalam karyanya
Citra Bima dalam Kebudayaan Jawa. Suwardi Endraswara membahas Filsafat Hidup yang
dipahami khas orang Jawa dalam karyanya Filsafat Hidup Jawa, dan masih banyak lagi filosof
Indonesia yang mengkaji Filsafat Etnik, bahkan hingga detik ini.
Filsafat Timur
Yang dimaksud dengan ‘Filsafat Timur’ adalah tradisi filsafat yang dikembangkan oleh orang-
orang ‘Timur’, sebagai kebalikan dari orang ‘Barat’. Istilah ini jelas saja diberikan oleh bangsa
Barat untuk bangsa Timur. Pada kenyataannya, tidak semua bangsa Timur filsafatnya dikenal
baik oleh bangsa Barat. Yang tradisii filsafatnya dikenal baik hanya sebagian saja, yakni, ‘Filsafat
Cina’, ‘Filsafat Jepang’, dan ‘Filsafat India’.
‘Filsafat Cina’ baru-baru ini saja dipelajari dengan serius oleh filosof Indonesia, walaupun
nyatanya orang Cina sudah menetap di Indonesia lebih dari 30 abad yang lalu! ‘Filsafat Cina
Klasik’, seperti Filsafat Lao Tzu (605-531 SM), Konfusius (551-479 SM), dan Chuang Tzu (w.360
SM), kini dengan penuh antusias dikaji-ulang dan ditafsir-ulang. Indra Widjaja mengkaji Filsafat
Chuang Tzu dalam karyanya Filsafat Perang Sun Tzu, sedangkan Anand Krishna menafsir-ulang
Filsafat Lao Tzu untuk dipahami secara modern dalam karyanya Mengikuti Irama Kehidupan:
Tao Teh Ching bagi Orang Modern. Soejono Soemargono membuat ikhtisar sejarah Filsafat Cina
dalam karyanya yang pionir Sejarah Ringkas Filsafat Tiongkok.
‘Filsafat Cina Modern’ sudah mulai dikaji oleh filosof Indonesia sejak abad 19 M. Sun Yat-
Senisme telah dikaji oleh Kwee Kek Beng (1900-1974) lewat terjemahan karya Sun Yat Sen
Djalan Ke Kemerdekaan dari bahasa Cina ke bahasa Melayu,25 Filsafat Anti-Konfusianisme dikaji
oleh Kwee Hing Tjiat (1891-1939), Filsafat Marxisme-Leninisme dan Maoisme dikaji oleh Oey
Gee Hoat dan Siauw Giok Tjhan,26 Tan Ling Djie, Wang Jen Shu, Ong Eng Djie, Lie A Tjong,
Lien Tiong Hien, Lie Wie Tjung, dll.27 Namun, karya Leo Suryadinata yang berjudul Mencari
Identitas Nasional: Dari Tjoe Bou San sampai Yap Thiam Hien (Jakarta: LP3ES, 1990) dan
Politik Tionghoa Peranakan di Jawa (Jakarta: Sinar Harapan, 1994) memuat dengan jenial
ikhtisar sejarah filsafat politik Cina Modern yang dipahami filosof Indonesia dari etnik Cina.
‘Filsafat India’ juga masih sedikit yang mengkaji. Dari survei, penulis hanya menemukan satu
karya saja yang mengkaji ‘Filsafat India Klasik’, itupun hanya sebatas ikhtisar sejarah, seperti
karya Harun Hadiwidjono yang berjudul Sari Filsafat India. Sedangkan yang mengkaji ‘Filsafat
India Modern’ sudah cukup banyak, di antaranya ialah R. Wahana Wegig yang mengkaji Filsafat
Etika dari Mahatma Gandhi dalam karyanya Dimensi Etis Ajaran Gandhi.
Yang cukup menarik dipelajari ialah karya orisinal hasil dari blending antara Filsafat Etnik
Indonesia dengan Filsafat India atau hasil dari blending antara Buddhisme dan Hinduisme, yang
saya namakan ‘Filsafat India-Indonesia’. Filsafat ini adalah hasil eksperimen filosofis dari
beberapa filosof kreatif dari Indonesia, yang menghasilkan corak filosofis yang menarik dan
orisinil. Sambhara Suryawarana, seorang penulis kitab suci Buddhisme yang hidup di kerajaan
Medang Hindu di sekitar tahun 929-947, memuji-muji raja Sindok yang Hinduist di dalam kitab
suci Buddhist yang dikarangnya, Sang Hyang Kamahayanikan. Mpu Prapanca (1335-1380)
menulis buku Negarakertagama dan Ramayana Kakawin. Ramayana Kakawin ialah terjemahan
epik Hindu-India yang disesuaikan dengan alam pikiran Indonesia primitif, sementara
Negarakertagama ialah karya puisi epik berbahasa Jawa Kuno yang menjelaskan filsafat yang
dianut Kertanagara (1268-1292), seorang raja terbesar dari Dinasti Singhasari, yang
memadukan filsafat Siwaisme-Hindu dengan Buddhisme. Sedangkan Mpu Tantular, seorang
pengarang yang hidup di masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350-1389), menulis buku
Sutasoma, yang memadukan filsafat Buddhisme dengan Syiwaisme-Hindu.
Raja Dharmawangsa (991-1006) pernah memerintahkan penerjemahan Mahabharata ke bahasa
Jawa Kuno—tindakan yang memungkinkan masuknya alam pikiran primitif Jawa ke dalam epik
Hinduisme-India itu. Juga raja Jayabaya (1130-1160), yang memerintahkan penyaduran
Bharatayudha versi India menjadi versi Jawa, untuk menggambarkan perang saudara antara
Jayabaya (sebagai Pandawa) dengan sepupunya Jenggala (sebagai Kurawa). Bahkan, raja
Indra (782-812) dari Sailendra membangun Candi Borobudur yang bertingkat 9, untuk memuja
arwah 9 keluarga moyangnya dalam perjalanan mereka menuju Nirvana.
‘Filsafat Jepang’ masih jarang dikaji. Dari survei, penulis hanya menemukan 2 karya yang ditulis
filosof Indonesia mengenai cabang filsafat ini: pertama, karya Tun Sri Lanang yang berjudul
Busido, dan kedua, karya Irmansyah Effendi yang berjudul Rei Ki: Teknik Efektif untuk
Membangkitkan Kemampuan Penyembuhan Luarbiasa Secara Seketika.
Filsafat Barat
‘Filsafat Barat’ atau Western Philosophy ialah tradisi filsafat yang dikembangkan bangsa Barat
sejak masa klasik (abad 5 SM-5 M), pertengahan (6 M-14 M), dan masa modern (15 M-
sekarang), yang diproduksi di negara-negara Barat seperti Yunani, Italia, Perancis, Jerman,
Inggris, Amerika, dan lain-lain. Sekarang kajian Western Philosophy dipecah-pecah menjadi
banyak cabang, seperti Analytic Philosophy, Continental Philosophy, German Philosophy, dan
lain-lain.
‘Filsafat Barat’ yang cabang-cabangnya amat banyak itu telah banyak dikaji oleh filosof
Indonesia, bahkan bisa dikatakan sebagai filsafat yang paling banyak dikaji dan yang paling
dikuasai oleh mereka. Sejak abad 19 M, saat kolonialis Belanda menerapkan ‘Politik Etis’
dengan berdirinya sekolah-sekolah ala Barat dan gereja-gereja Protestan yang mengajarkan
peradaban Barat Modern di tengah-tengah pribumi Indonesia, ‘Filsafat Barat’ mulai dipelajari
pelajar-pelajar pribumi. Hingga proklamasi kemerdekaan RI pun, ‘Filsafat Barat’ sering dijadikan
counter-culture terhadap ‘Filsafat Etnik’ oleh para filosof Indonesia yang telah Western-minded.
‘Sejarah Filsafat Barat’, terutama sejarah Filsafat Barat abad 20, telah dikajii oleh K. Bertens
dalam karyanya Filsafat Barat Abad XX dan Filsafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman. ‘Filsafat
Barat Klasik’, seperti Filsafat Yunani-Kuno sejak Thales hingga Plotinus, telah dikaji oleh
Mohammad Hatta (salah satu founding father kita) dalam bukunya Alam Pikiran Yunani.
‘Filsafat Barat Modern’ adalah cabang yang paling banyak dikaji, karena hampir semua lembaga
sosial-politik Indonesia banyak yang terinspirasi darinya. Bentuk pemerintahan Republik,
konstitusi negara modern, lembaga perwakilan rakyat, distribusi kekuasaan yang sejalan dengan
Trias Politica, partai politik, dan ideologi partai tersebut sungguh-sungguh cerminan pengaruh
alam pikiran Barat.
Filsafat Marxisme-Leninisme pernah dikaji oleh Tan Malaka dalam bukunya Madilog:
Materialisme, Dialektika, Logika dan D.N. Aidit dalam bukunya Tentang Marxisme, Problems of
The Indonesian Revolution, dan Kibarkan Tinggi Pandji Revolusi!. Semaoen mengkaji
organisasi buruh komunis dalam bukunya Toentoenan Kaoem Boeroeh. Filsafat Sosialisme-
Demokrat pernah dikaji oleh Sutan Syahrir dalam tulisannya Sosialisme di Eropah Barat dan
Masa Depan Sosialisme Kerakyatan. Filsafat Politik Republik pernah dikaji oleh Tan Malaka
dalam buku Naar de ‘Republiek Indonesia’ dan perkembangan Kapitalisme di Indonesia juga
dibahas dalam bukunya Massa Actie. Soekarno, ‘si penyambung lidah rakyat’, pernah
membahas Filsafat Nasionalisme dalam bukunya Mencapai Indonesia Merdeka. Filsafat
Fasisme Jerman pernah mencuat dalam pidato Soepomo di Rapat BPUPKI menjelang
kemerdekaan dan Filsafat Modernisasi mengisi hampir seluruh wacana sosial-politik di era Orde
Baru Soeharto.
Di era Soeharto, yakni era ‘filsafat sebagai candu’, banyak sekali cabang filsafat Barat yang dikaji
oleh filosof Indonesia. Filsafat Estetika dikaji oleh Jakob Sumardjo dalam bukunya Filsafat Seni.
Juga oleh Wajid Anwar L. dalam kedua bukunya Filsafat Estetika dan Filsafat Estetika (Sebuah
Pengantar). Filsafat Etika dikaji oleh K. Bertens dalam beberapa karyanya seperti Keprihatinan
Moral, Telaah atas Masalah Etika, Perspektif Etika, Kajian atas Masalah-Masalah Aktual, dan
Aborsi sebagai Masalah Etika. Juga dikaji oleh W. Poespoprodjo dalam bukunya Filsafat Moral,
dan I.R. Poedjawijatna dalam bukunya Etika Filsafat Tingkah Laku. Rosady Ruslan mengkaji
Filsafat Etika yang diterapkan pada bidang Kehumasan dalam karyanya Etika Kehumasan,
sedangkan M. Dawam Rahardjo mengkaji Filsafat Etika yang diterapkan dalam bidang Ekonomi
dan Manajemen dalam bukunya Etika Ekonomi dan Manajemen.
Filsafat Epistemologi Barat dikaji SJ. Sudarminta dalam bukunya Epistemologi Dasar, Pengantar
ke Beberapa Masalah Pokok Filsafat Pengetahuan dan M. Ghozi Badrie dalam karyanya Filsafat
Umum: Aspek Epistemologi. Sedangkan Widoyo Alfandi mengkaji Filsafat Epistemologi yang
diterapkan dalam bidang Geografi dalam karyanya Epistemologi Geografi. Filsafat Logika dikaji
oleh I.R. Poedjawijatna dalam karyanya Logika: Filsafat Berpikir dan Burhanuddin Salam dalam
bukunya Logika Formal. Filsafat Kosmologi dikaji oleh Moertono dalam karyanya Filsafat
Kosmologi/Filsafat Alam Semesta: Filsafat Teori Kejadian-Kejadian Factual, Dihampiri secara
Manusiawi Filsafat.
Filsafat Semiotika dalam perspektif Roland Barthes dikaji oleh Kurniawan dalam bukunya
Semiologi Roland Barthes, sedangkan Filsafat Hukum dikaji oleh Soetikno dalam bukunya
Filsafat Hukum, Suhadi dalam bukunya Filsafat Hukum, Lili Rasjidi dalam kedua karyanya
Filsafat Hukum: Apakah Hukum itu? dan Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya. Juga oleh
Moertono dalam bukunya Filsafat Hukum: Metodik Penelitian Ilmu Desisi. Filsafat Politik dikaji
oleh J.H. Rapar dalam beberapa karyanya seperti Filsafat Pemikiran Politik, Filsafat Politik
Aristoteles, Filsafat Politik Agustinus, Filsafat Politik Machiavelli, dan Filsafat Politik Plato. Franz
Magnis-Suseno juga punya concern dalam Filsafat Politik, sebagaimana terlihat dalam bukunya
Filsafat Kebudayaan Politik.
Filsafat Sejarah dikaji oleh beberapa filosof, seperti H.R.E Tamburaka dalam bukunya Pengantar
Ilmu Sejarah, Teori Filsafat Sejarah, Kunto Wijoyo dalam bukunya Metodologi Sejarah, dan
Purwo Husodo dalam karyanya Filsafat Sejarah Oswald Spengler. Filsafat Agama dikaji oleh
Tom Jacobs, SJ dalam bukunya Paham Allah, dalam Filsafat, Agama-Agama dan Teologi,
Hamzah Ya’qub dalam karyanya Filsafat Agama, Hamka dalam bukunya Filsafat Ketuhanan,
H.M. Rasjidi dalam karya terjemahannya Filsafat Agama, dan Louis Leahy dalam bukunya
Filsafat Ketuhanan Kontemporer.
Filsafat Ilmu dikaji oleh Djohansjah dalam bukunya Budaya Ilmiah dan Filsafat Ilmu, Jujun
Suriasumantri dalam dua buku masterpiece-nya Ilmu dalam Perspektif dan Filsafat Ilmu: Sebuah
Pengantar Populer, Burhanuddin Salam dalam dua karyanya Logika Materiil, Filsafat Ilmu
Pengetahuan dan Sejarah Filsafat Ilmu dan Teknologi, Hartono Kasmadi dalam bukunya Filsafat
Ilmu, M. Solly Lubis dalam bukunya Filsafat Ilmu dan Penelitian, Hidanul I Harun dalam bukunya
Filsafat Ilmu Pengetahuan, dan Chairul Arifin dalam karyanya Filsafat Ilmu Pengetahuan: Suatu
Pengantar. Filsafat Pendidikan dikaji oleh Redja Mudyahardjo dalam karyanya Filsafat Ilmu
Pendidikan, Imam Barnadib dalam bukunya Filsafat Pendidikan, dan Paul Suparno dalam
bukunya Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan.
Filsafat Manusia dikaji oleh Zainal Abidin dalam bukunya Filsafat Manusia, Burhanuddin Salam
dalam bukunya Filsafat Manusia: Antropologi Metafisika, Kasmiran Wuryo Sanadji dalam
bukunya Filsafat Manusia, N. Drijarkara dalam karyanya Filsafat Manusia, dan Moertono dalam
karyanya Filsafat Manusia/Antropologi Kefilsafatan: Potensi Penanganan Masalah. Filsafat
Kebebasan dikaji oleh satu-satunya filosof Nico Syukur Dister dalam karyanya Filsafat
Kebebasan. Sedangkan Filsafat Analitik dikaji oleh dua orang filosof, yakni Rizal Mustansyir
dalam karyanya Filsafat Analitik: Sejarah, Perkembangan, dan Peranan Para Tokohnya dan
Kaelan dalam karyanya Filsafat Analitis menurut Ludwig Wittgenstein. Filsafat Sastra dan
Budaya juga dikaji satu-satunya oleh FX. Mudji Sutrisno dalam karyanya Filsafat Sastra dan
Budaya. Juga Filsafat Matematika yang cuma dikaji oleh The Liang Gie dalam karyanya Filsafat
Matematika. Filsafat Ekonomi juga dikaji satu-satunya oleh Save M. Dagun dalam karyanya
Pengantar Filsafat Ekonomi, sedangkan Filsafat Desain dan Supervisi dikaji oleh Ir. Hamid
Shahab dalam bukunya Filosofi Desain & Supervisi. Demikian pula Filsafat Administrasi yang
dikaji hanya oleh Sondang P. Siagian dalam buku Filsafat Administrasi.
Filsafat Barat Paska-modern juga sempat mampir di Indonesia, yang dikaji oleh Budi Hardiman
F. dalam karyanya Melampaui Positivisme dan Modernitas, Onno W. Purbo dalam karyanya
Filsafat Naif Dunia Cyber, dan Ridwan Makassary dalam karyanya Kematian Manusia Modern.
Yang cukup menarik untuk dibahas disini ialah Filsafat Barat yang diadaptasikan dengan situasi
kongkrit Indonesia, yang saya namakan ‘Filsafat Barat-Indonesia’ atau ‘Adaptasionisme Barat’.
Cabang filsafat ini merupakan genre filosofis yang corak Baratnya telah sejauh mungkin dirubah,
untuk disesuaikan dengan situasi historis kongkrit di Indonesia. Tokoh-tokoh dari cabang filsafat
ini antara lain ialah Tan Malaka, Soekarno, Toety Heraty, Mohammad Hatta, M. Dawam
Rahardjo, Sri-Edi Swasono, Kris Budiman, dan S.C. Utami Munandar. Tan Malaka mengkaji
‘teori gerilya’ dari Filsafat Komunisme untuk diterapkan pada situasi kongkrit Indonesia dalam
karyanya Gerpolek (Gerilya Politik-Ekonomi). Soekarno mengkaji komunitas Proletar dari Filsafat
Komunisme untuk diterapkan pada situasi kongkrit Indonesia, sebagaimana terlihat dalam
tulisan-tulisannya yang dikumpulkan dan diterbitkan oleh Penerbit Grasindo dengan judul Bung
Karno tentang Marhaen. Adaptasionisme juga dilakukan Moh. Hatta, ketika ia berbicara tentang
demokrasi Barat modern untuk diterapkan dalam situasi kongkrit Indonesia dalam bukunya
Mohammad Hatta: Beberapa Pokok Pikiran dan dalam kumpulan tulisannya yang diterbitkan Tim
LP3ES dengan judul Karya Lengkap Bung Hatta. Juga pengkajian demokrasi Barat yang
diterapkan Sjahrir dalam situasi kongkrit Indonesia dalam karyanya Pemikiran Politik Sjahrir.
Filsafat Feminisme yang diterapkan dalam mengkaji kaum wanita Indonesia dilakukan oleh
Soekarno dalam bukunya Sarinah: Keajaiban Wanita dalam Perjuangan Republik Indonesia, Kris
Budiman dalam bukunya Feminis Laki-Laki dan Wacana Gender, S.C. Utami Munandar dalam
bukunya Emansipasi dan Peran Ganda Wanita Indonesia dan Toety Heraty dalam bukunya
Calon Arang: Kisah Perempuan Korban Patriarki. M. Dawam Rahardjo mengkaji ‘Teori
Ketergantungan Dunia Ketiga’ untuk diterapkan dalam mengkaji Ekonomi Indonesia dalam
bukunya Transformasi Pertanian, Industrialisasi dan Kesempatan Kerja. Sedangkan Sri-Edi
Swasono mengkaji pemikiran adaptasionisme Hatta dalam bukunya Demokrasi Ekonomi:
Keterkaitan Usaha Partisipasi v.s.Konsentrasi Ekonomi dan Satu Abad Bung Hatta.
Filsafat Islam
‘Filsafat Islam’ adalah filsafat yang lahir di wilayah kuasa Islam dan diproduksi oleh komunitas
religius Islam yang menetap di wilayah itu. Selain ‘Filsafat Barat’ dan ‘Filsafat Timur’, ‘Filsafat
Islam’ juga merupakan salah satu cabang yang sering dikaji dan yang paling dikuasai oleh filosof
Indonesia, apalagi saat ini komunitas Islam di Indonesia menempati posisi sebagai mayoritas.
‘Filsafat Islam’ kini dapat dipecah ke dalam banyak cabang, seperti Filsafat Sufisme, Filsafat
Pendidikan, Filsafat Kebudayaan, Filsafat Hukum, Filsafat Politik, Filsafat Epistemologi, dan
Filsafat Pembebasan (Liberasionisme). Pembagian Filsafat Islam dalam kategori regional juga
cukup menarik, seperti ‘Filsafat Islam Arab’ dan ‘Filsafat Islam Persia’, karena kedua cabang itu,
walaupun sama-sama bersifat ‘Islam’ tapi keduanya memiliki corak yang berbeda. Bahkan, kini
juga dapat dibangun ‘Filsafat Islam Indonesia’, karena problem filosofis yang dihadapi dalam
situasi historis kongkrit oleh filosof Islam di Indonesia berbeda dengan yang dihadapi oleh filosof
Islam di Arab atau di Persia.
Filsafat Sufisme dikaji oleh Alwi Shihab dalam karyanya Islam Sufistik, K. Permadi dalam
bukunya Pengantar Ilmu Tasawwuf, M. Solichin dalam karyanya Kamus Tasawuf, Sukardi Kd.
dalam bukunya Salat dalam Perspektif Sufi, Meison Amir Siregar dalam karyanya Rumi: Cinta
dan Tasawuf dan oleh Asep Salahuddin dalam karyanya Ziarah Sufistik.
Filsafat Pendidikan Islam dikaji oleh Hamdani Ihsan dalam karyanya Filsafat Pendidikan Islam,
Abdurrahman S. Abdullah dalam bukunya Teori Pendidikan menurut Al-Quran, H.M. Arifin dalam
Filsafat Pendidikan Islam, Zuhairini dalam Filsafat Pendidikan Islam, Jalaluddin & Usman Said
dalam Filsafat Pendidikan Islam, dan oleh Imam Barnadib dalam karyanya Filsafat Pendidikan
Islam. Sedangkan Filsafat Kebudayaan Islam dikaji oleh satu-satunya pengkaji, yakni, Musa
Asya’arie dalam bukunya Filsafat Islam: Tentang Kebudayaan.
Filsafat Hukum Islam dikaji oleh Zaini Dahlan dalam karyanya Filsafat Hukum Islam, Ishak Farid
dalam Ibadah Haji dalam Filsafat Hukum Islam, T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Falsafah
Hukum Islam, dan oleh Ismail Muhammad Syah dalam karyanya Filsafat Hukum Islam.
Sedangkan Filsafat Politik Islam dikaji oleh A. Munawwir Sadzali dalam karyanya yang
monumental Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran dan Kamaruzzaman dalam
buku Relasi Islam dan Negara.
Teori pengetahuan dari mazhab Islam dikaji oleh Imam Syafi’i dalam karyanya Konsep Ilmu
Pengetahuan dalam Al-Quran dan oleh Mohammad Miska Amien dalam bukunya Epistemologi
Islam. Sedangkan Filsafat Pembebasan (Liberasionisme) dikaji oleh Muh. Hanif Dhakiri dalam
dua bukunya Islam dan Pembebasan dan Paulo Freire, Islam dan Pembebasan. Juga oleh
Fachrizal A. Halim dalam karyanya Beragama dalam Belenggu Kapitalisme.
Karya-karya pengantar Filsafat Islam juga banyak ditulis oleh filosof Islam Indonesia seperti oleh
Abdul Aziz Dahlan dengan judul Pemikiran Falsafi dalam Islam, Soedarsono dalam karyanya
Filsafat Islam, Oemar Amin Hoesin dalam dua bukunya yang amat klasik Filsafat Islam dan
Filsafat Islam: Sedjarah dan Perkembangannya dalam Dunia Internasional, H. Musa Asya’arie
dalam karyanya Filsafat Islam: Kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis, Prospektif,
dan oleh J.W.M. Bakker dalam karyanya yang klasik Pengantar Filsafat Islam.
Filsafat Islam Regional seperti ‘Filsafat Arab Klasik’, misalnya, dikaji oleh Harun Nasution dalam
karyanya Teologi Islam, Hasan Asari dalam bukunya Nukilan Pemikiran Islam Klasik, dan oleh
Ilhamuddin dalam buku Pemikiran Kalam Baqillani. ‘Filsafat Arab Modern’ dikaji, umpamanya,
oleh H.A. Mukti Ali dalam bukunya Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah, A. Munir dalam
bukunya Aliran Modern dalam Islam, H.A. Mukti Ali dalam buku Islam dan Sekularisme di Turki
Modern dan oleh Harun Nasution dalam karyanya Muhammad Abduh dan Teologi Rasional
Mu’tazilah. ‘Filsafat Islam Persia’ juga banyak yang mengkaji, terutama setelah Syi’isme
disebarluas oleh cendekiawan Syi’ah Indonesia seperti Jalaluddin Rachmat dan Haidar Bagir.
Amroeni Drajat mengkaji Filsafat Yahya Al-Suhrawardi dalam karyanya Filsafat Illuminasi:
Sebuah Kajian terhadap Konsep ‘Cahaya’ Suhrawardi.
Suatu ‘Filsafat Islam Regional’ lainnya, seperti ‘Filsafat Islam Indonesia’, sudah banyak yang
membahas, terutama mengenai mazhab-mazhab seperti ‘Tradisionalisme’, ‘Modernisme’,
‘Revivalisme’, ‘Neo-modernisme’, ‘’Transformasionisme’, ‘Liberalisme’, dan ‘Perenialisme’,
sehingga tak perlu dibahas lagi di sini. Hanya saja, ada kecenderungan baru saat ini yang
penulis namakan ‘sesatisme’ atau ‘murtadisme’, yang mulai menyuarakan pandangan-
pandangan mereka dalam buku-buku tebal yang dipublikasikan secara luas. Walaupun belum
layak dianggap sebagai suatu mazhab filsafat, pandangan mereka mulai diterima luas oleh
masyarakat Islam Indonesia. Pendasaran argumentasi mereka pada terjemahan Al-Quran
berbahasa Indonesia atau ‘terjemahan sewenang-wenang’ mereka sendiri atas ayat Al-Quran—
ini keunikan tersendiri dari mereka, yang sekaligus juga merupakan bukti ketololan mereka akan
tata-bahasa bahasa Arab—cukup membuktikan bahwa mereka memiliki sandaran filosofis yang
jelas. Yang mereka pegang bukanlah Al-Quran, tapi terjemahannya atau ‘tafsir bebas’ nya. Dan
terjemah atau ‘tafsir bebas’ adalah sejenis filsafat. Hartono Ahmad Jaiz dapat dimasukkan dalam
mazhab ini. Dalam bukunya Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, Jaiz mengritik sebagai ‘sesat’
beberapa mazhab ‘Filsafat Islam’ yang pernah ada sebelumnya, yakni, mazhab-mazhab
‘Liberalisme’, ‘Modernisme’ dan ‘Neo-modernisme’. Bukunya yang lain Ada Pemurtadan di IAIN,
mengritik beberapa dosen UIN/IAIN yang bercorak liberal, modern, dan neo-modern.
Filsafat Kristen
Seperti Filsafat Islam, Filsafat Kristen (Christian Philosophy) adalah filsafat yang lahir di wilayah
kuasa Kristen dan diproduksi oleh komunitas religius Kristen yang menetap di wilayah itu. Selain
‘Filsafat Barat’, ‘Filsafat Kristen’ juga merupakan bidang yang amat dikuasai oleh filosof-filosof
Kristen Indonesia. ‘Filsafat Kristen’ terbagi dalam beberapa cabang: ‘Filsafat Kristen Awal’,
‘Filsafat Kristen Helenistik’, ‘Filsafat Kristen Pertengahan’ (yang disebut pula dengan sebutan
‘Filsafat Skolastik’), ‘Filsafat Kristen Renaisans dan Reformasi’, dan ‘Filsafat Kristen Modern dan
Kontemporer’. Di samping pembagian itu, ‘Filsafat Kristen’ pun dapat dikaji secara regional,
seperti ‘Filsafat Kristen Jerman’, ‘Filsafat Kristen Amerika’, ‘Filsafat Kristen Amerika Latin’,
‘Filsafat Kristen Filipina’, bahkan ‘Filsafat Kristen Indonesia’, karena situasi kongkrit yang harus
diresponi umat Kristen di negara-negara itu tidak mesti sama.
‘Filsafat Kristen Awal’, dikaji oleh Nico Syukur Dister dalam karyanya Filsafat Agama Kristiani:
Mempertanggungjawabkan Iman akan Wahyu Allah dalam Yesus Kristus. ‘Filsafat Skolastik’, sejak
Santo Anselmus hingga Santo Thomas Aquinas, telah dikaji oleh A. Hanafi dalam bukunya
Filsafat Skolastik. ‘Filsafat Kristen Modern dan Kontemporer’, misalnya, dikaji oleh Thomas Hidya
Tjaya dalam bukunya Kosmos: Tanda Keagungan Allah, Refleksi menurut Louis Bouyer.
Yang tak kalah menariknya ialah ‘Filsafat Kristen Indonesia’, yakni sistem filsafat yang
diadaptasikan dengan situasi riel yang dialami filosof Kristen di Indonesia. ‘Filsafat Kristen
Indonesia’ dapat dibagi dalam 4 cabang seperti ‘Transformasionisme’, ‘Pribumisme’,
‘Liberasionisme’, dan ‘Feminisme’. ‘Transformasionisme’ dikaji oleh JB. Banawiratma dalam
karyanya 10 Agenda Pastoral Transformatif, HAM, dan Lingkungan Hidup. Sedangkan
‘Pribumisme’ dikaji oleh Robert J. Hardawiryana dalam bukunya Cara Baru Menggereja di
Indonesia: Umat Kristen Mempribumi. ‘Liberasionisme’ cukup banyak yang mengkaji sejak era
Soeharto, seperti yang dilakukan oleh J.B. Mangunwijaya, Franz Magnis-Suseno, Wahono
Nitiprawiro, J.B. Banawiratma, A. Suryawasita, I. Suharyo, C. Putranta, R. Hardawiryana, AL.
Purwahadiwardaya, TH. Sumartana, Greg Soetomo, dan Budi Purnomo. Sedangkan ‘Feminisme’
dikaji secara Kristiani oleh Smita Notosusanto, seperti kajiannya dalam buku Perempuan dan
Pemberdayaan dan St. Darmawijaya dalam bukunya Perempuan dalam Perjanjian Lama.
Filsafat Paska-Soehartoisme
‘Filsafat Paska-Soehartoisme’ berarti filsafat yang lahir untuk mengritik paham dan praxis
Soehartoisme—modernisasi yang dianut Soeharto ‘si Bapak Pembangunan’ itu—dan hendak
menghapus segala residu-residunya dengan cara menggantinya dengan paham alternatif. Kritik
terhadap Soehartoisme sudah mulai merebak sejak dasawarsa 1970-an dari kampus ITB
Bandung (1973) dan Peristiwa Malari di Jakarta (1974), tapi semua kritikan itu tidak didengar. Sejak
dasawarsa 1990-an menjelang lengser Soeharto, kembali kritikan dilancarkan oleh beberapa filsuf baru.
Merekalah cikal-bakal tokoh filsafat yang kemudian dinamakan filsafat paska-Soeharto. Yang termasuk
pelopor filsafat ini ialah Sri-Bintang Pamungkas, Budiman Sudjatmiko, Muchtar Pakpahan, Sri-Edi
Swasono, dan Pius Lustrilanang. Sri-Bintang Pamungkas mengritik Soehartoisme dalam karyanya Sri
Bintang: ‘Saya Musuh Politik Soeharto’, Dari Orde Baru ke Indonesian Baru Lewat Reformasi Total, Dari
Orde Baru ke Indonesia Baru, dan Dibalik Jeruji: Menggugat Dakwaan Subversif. Sedangkan Budiman
Sudjatmiko mengritik Soehartoisme lewat pidato resmi partainya PRD. Muchtar Pakpahan mengritik
Soehartoisme lewat bukunya Menarik Pelajaran dari Kedung Ombo (1990), Menuju Perubahan Sistem
Politik (1994), DPR RI Semasa Orde Baru (1994), dan Rakyat Menggugat (1996). Filsafat paska-
Soehartoisme yang dianut Pius Lustrilanang dikaji oleh Sihol Siagian dalam karyanya Menolak Bungkam:
Pius Lustrilanang.
Setelah Soeharto lengser, rupanya Soehartoisme tidak bersama-sama tumbang. Soehartoisme masih
bertahan, beradaptasi dengan situasi Indonesia baru, bahkan hingga saat ini. Soehartoisme tetap
bertahan, yang terjadi hanyalah perbaikan-perbaikan tambal-sulam yang kerap disebut ‘Reformasi’, yang
dilakukan eksponen-eksponen Soehartoist yang masih selamat dari kritik rakyat. Hal itulah yang
menggelisahkan Sri-Edi Swasono, kakak kandung dari Sri-Bintang, sehingga ia khawatir bahwa yang
terjadi malah ‘deformasi’ (pembekuan), bukannya perubahan keadaan umum Indonesia yang signifikan.
Kekhawatiran itu diungkap dalam karyanya Dari Daulat Tuanku ke Daulat Rakyat dan Dari Lengser ke
Lengser.
3. Isme-Isme dalam Filsafat Indonesia
ebelum menentukan isme-isme apa saja yang dapat dibuat dalam semesta Filsafat Indonesia,
alangkah baiknya jika mengkaji lebih dulu tentang bagaimana suatu isme dalam filsafat dibuat.
Ada 2 cara membuat kategori isme yang selama ini dipakai peneliti filsafat: (1) isme dibuat
dengan cara menyebut nama seorang filosof tertentu yang darinya suatu isme dapat dibangun,
seperti Marxisme, Leninisme, Maoisme, Platonisme, Konfusianisme, Aristotelianisme,
Phytagoreanisme, dan lain-lain; lalu, (2) isme dibuat dengan cara menyebut ajaran atau doktrin
terpenting yang ditemukan dari teks-teks filosof tertentu. Misalnya, dalam teks-teks Plato
rupanya ditemukan doktrin sangat penting tentang idea, sehingga peneliti filsafat menyebut
ajaran Plato yang amat penting itu dengan sebutan idealism. Begitu pula dengan ajaran penting
Hegel tentang Idea yang darinya berasal sebutan idealism.
S
Perbedaan kedua cara penyebutan isme itu sangat berpengaruh pada fondasi filsafat yang
dibangun. Jika disebut ‘Platonisme’, maka landasan filsafat yang dibangun berasal dari teks-teks
atau praktek-praktek (tertulis ataupun disaksikan) Plato selama hidupnya. Tapi jika disebut
‘idealisme’, maka landasan filsafat yang dibangun berasal dari teks-teks atau praktek-praktek
(tertulis ataupun disaksikan) beberapa filosof,—baik itu Plato, Hegel, McTaggart, atau Iqbal—
asalkan kesemuanya memiliki ajaran penting tentang idea.
Apakah penyebutan isme-isme dalam struktur Filsafat Barat dapat diterapkan pada struktur
Filsafat Indonesia? Ada 2 kemungkinan. Pertama, jika teks-teks Filsafat Indonesia memang
menyebutkan sumber-sumber filosofis dari filosof Barat seperti Marx, Hegel, atau Plato, maka
bisa saja menyebut filosof Indonesia yang menganut mereka sebagai filosof Indonesia yang
‘Marxist’, ‘Hegelianist’, atau ‘Platonist’. Tan Malaka dan D.N. Aidit, karena itu, dapat disebut
sebagai filosof Marxist. Kedua, jika teks-teks Filsafat Indonesia mengajarkan suatu doktrin
penting tentang idea, misalnya, maka layaklah disebut sebagai ‘idealist’. Maka, Syahrir dapatlah
disebut ‘sosialist’, Soekarno ‘nasionalist’, dan Soepomo ‘sosialist-nasional’, karena ketiganya
membahas dengan panjang-lebar dalam karya-karya mereka berturut-turut tentang sosialisme,
natie, dan fasisme Jerman. Tapi, pada galibnya, filosof-filosof Indonesia memiliki doktrin-doktrin
khas, yang berbeda dari yang biasa ditemukan dalam teks-teks Filsafat Barat. Jadi, peneliti
filsafat boleh saja meminjam kategorisasi isme Barat atau boleh pula membuat kategorisasinya
sendiri, sesuai dengan tema-tema yang diangkat oleh seorang filosof di negaranya.
Kedua cara pembuatan isme tadi akan kita terapkan pada struktur Filsafat Indonesia. Cara 1
penulis terapkan ketika membuat isme-isme seperti Soekarnoisme dan Soehartoisme. Cara 2
penulis terapkan ketika membuat isme-isme seperti ‘lamaisme’, ‘sintesisme’, ‘adaptasionisme’,
‘baruisme’, ‘terpimpinisme’, ‘pembangunanisme’, dan ‘paska-pembangunanisme’. Untuk maksud
pengantar, disini akan dibahas sedikit tentang isme-isme dalam Filsafat Indonesia.
Sintesisme
Sintesisme berakar dari kata ‘sintesa’ (synthesis), yang berarti menggabungkan bagian-bagian
atau unsur-unsur yang berbeda untuk membuat satuan yang kompleks. Artinya, suatu filsafat
digabungkan dengan filsafat lainnya untuk membentuk struktur filsafat yang baru. Biasanya,
filsafat-filsafat yang dicampur-baur itu berlawanan sifatnya, berbeda isinya, kontras nuansanya.
Memang ada beberapa titik-temu di antara filsafat-filsafat yang berbeda itu, tapi lebih banyak
‘titik-pisah’nya. Tapi justru ‘titik-pisah’ itu, jika dicampur-baur dengan ‘titik-pisah’ yang lain, akan
melahirkan satuan yang kompleks. Contoh sintesisme yang paling populer di mata sejarawan
filsafat ialah apa yang dilakukan Mpu Prapanca (1335-1380), seorang filosof yang hidup di masa
pemerintahan Kertanegara (1268-1292) dari Dinasti Singhasari. Mpu Prapanca menulis buku
berjudul Negarakertagama, berisi epik filosofis yang ditulis dengan gaya puitik berbahasa Jawa
Kuno, yang memadukan filsafat Siwaisme-Hindu dengan Buddhisme. Cara yang sama juga
ditempuh oleh Mpu Tantular, seorang filosof yang hidup di masa pemerintahan Hayam Wuruk
(1350-1389), yang menulis buku Sutasoma, di dalamnya ia berhasil memadukan filsafat
Buddhisme dengan Syiwaisme-Hindu.
Perpaduan dua filsafat India yang amat berbeda itu—Buddhisme justru lahir di India sebagai
reaksi negatif terhadap Hinduisme—oleh filosof-filosof Indonesia melahirkan corak filsafat yang
baru, yang terkenal sebagai filsafat Tantrayana.
Soekarno, seorang pendiri Republik kita, juga seorang sintesist. Dia mencoba menyintesa tiga
aliran filsafat yang amat bertolak-belakang: Nasionalisme, Agama (Islam, Kristen, Hinduisme
dan Buddhisme), dan Komunisme (NASAKOM), tapi gagal di tengah perjuangannya. Nurcholish
Madjid, seorang filosof Islam, juga seorang sintesist. Beliau mencoba menyintesa tiga aliran
filsafat yang berbeda: Islam, Nasionalisme (Keindonesiaan), dan Barat Modern (Kemodernan)
dalam karyanya Islam, Keindonesiaan, dan Kemodernan, untuk mendobrak tradisi Filsafat Islam
Masyumi dan mendukung Soehartoisme. Berbeda dengan Soekarno, Nurcholish sangat
berhasil, karena amat didukung penguasa saat itu.
Adaptasionisme
Adaptasionisme berakar dari kata ‘adaptasi’ (adaptation), yang berarti menyesuaikan sesuatu
untuk situasi atau kegunaan yang baru. Artinya, suatu filsafat diubah sedemikian rupa, sehingga
menjadi sesuai dengan situasi Iindonesia dan dapat digunakan dalam konteks Indonesia.
Biasanya, yang disesuaikan dengan kondisi dan situasi Indonesia adalah filsafat-filsafat asing,
bukan filsafat asli Indonesia sendiri. Filosof yang tergolong isme ini umumnya berasumsi bahwa
segala produksi filsafat bersifat lokal, regional, dan partikular; tidak ada filsafat yang universall
secara absolut. Karena itu pula, kebenaran filsafat tidak pernah universal-absolut. Menurut logika
mereka, misalnya, Marxisme yang lahir dari sejarah lokal Barat tidak bisa diterapkan atau
dicangkok begitu saja pada sejarah kongkrit Indonesia, karena kedua area itu memiliki struktur
budaya dan peradaban yang berbeda. Marxisme yang hendak dibangun akar-akarnya di
Indonesia harus diubah sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan alam Indonesia.
Tokoh-tokoh seperti Ki Hajar Dewantara, Tan Malaka, Soekarno, Toety Heraty, Mohammad
Hatta, M. Dawam Rahardjo, Sri-Edi Swasono, Kris Budiman, S.C. Utami Munandar, D.N. Aidit,
dan lain-lain adalah contoh dari filosof adaptasionist yang mengadaptasikan Filsafat Barat ke
dalam situasi kongkrit Indonesia. Ki Hajar terkenal dengan ‘prinsip nasi goreng’nya. Nasi goreng
adalah makanan asli tradisional yang biasanya digoreng dengan minyak kelapa. Namun, jika
margarin yang berasal dari Belanda dapat membuat nasi goreng itu bertambah enak, maka tak
ada alasan seseorang harus menolak penggunaan margarin itu, selama yang menggorengnya
ialah orang Indonesia sendiri. Artinya, jika ‘margarin Belanda’ (Filsafat Barat) diadaptasikan
dengan ‘nasi goreng’ (situasi kongkrit Indonesia), maka ‘margarin’ itu akan menambah sedapnya
‘nasi goreng’. Sedangkan Tan Malaka, dia mengadaptasikan ‘teori gerilya’ Komunisme untuk
diterapkan pada situasi kongkrit Indonesia dalam karyanya Gerpolek (Gerilya Politik-Ekonomi).
Soekarno mengadaptasikan konsep ‘proletar’ dari Komunisme untuk diterapkan pada situasi
kongkrit Indonesia, sebagaimana terlihat dalam tulisan-tulisannya yang dikumpulkan dan
diterbitkan oleh Penerbit Grasindo dengan judul Bung Karno tentang Marhaen.
Adaptasionisme juga dilakukan oleh tokoh-tokoh Filsafat Islam, seperti Syaikh Ahmad Khatib,
Syaikh Thaher Djalaluddin, Syaikh Muhammad Djamil Djambek, Haji Abdul Karim Amrullah, Haji
Abdullah Ahmad, Zainuddin Labai Al-Junusi, Kiyai Ahmad Dahlan, Mohammad Natsir, Oemar
Said Tjokroaminoto, Agus Salim, Haji Misbach, dan lain-lain, yang mengadaptasikan Filsafat
Barat ke dalam situasi Islam di Indonesia. Zainuddin Labai dan Mohammad Natsir, misalnya,
mengadaptasi konsep nasionalisme Barat ke dalam situasi Islam Indonesia via buku-buku
Musthafa Kamil Pasha (1874-1908). Datuk Batuah dan Natar Zainuddin dari Padang Panjang,
Haji Misbach dari Surakarta, Semaun, Alimin Prawirodirdjo dan Darsono dari Semarang
mengadaptasikan Komunisme Barat ke dalam pandangan-dunia Al-Quran. Begitu pula dengan
H. Oemar Said Tjokroaminoto, yang mengadaptasikan Sosialisme Barat ke dalam situasi Islam
Indonesia, sehingga menghasilkan karya Islam dan Sosialisme.
Lamaisme
Isme ini bertolak dari pandangan, bahwa segala tradisi lama, tradisi primordial, dan tradisi asli
Indonesia adalah tradisi yang harus dilestarikan, sebab dalam tradisi itulah terletak asal dan
tujuan keberadaan manusia Indonesia, alpha dan omega kehidupan manusia Indonesia,
sangkan dan paran dari penciptaan manusia Indonesia. Dalam pandangan filosof yang
menganut isme ini, tidak ada konsep ‘baru’; tidak ada ‘yang baru’ yang dapat membatalkan
‘yang lama’. ‘Yang lama’ ialah ‘yang tetap’ absolut. Konsep waktu dan ruang historis tidak
berlaku bagi isme ini, sebab ‘yang lama’ terjadi selama-lamanya, abadi, dan tidak berubah.
Segala perubahan merupakan pemberontakan terhadap ‘yang lama’, dan karena itu amat
ditentang oleh penganut isme ini. Semua filosof etnik Indonesia (seperti M. Nasroen, Sunoto, R.
Pramono Jakob Sumardjo, P.J. Zoetmulder, Soewardi Endraswara, Woro Aryandini, dan lain-
lain) dapat dikatakan masuk dalam isme ini, sebab mereka semua menganggap bahwa
pandangan filosofis lama yang dimiliki etnis-etnis asli Indonesia tetap baik, tetap relevan, tetap
harus diterapkan pada situasi modern, tetap harus diwariskan ke generasi baru sebagai
‘penjaga’ identitas. Lamaisme menjadi trend kembali di era Orde Baru, karena filosof lamaist
menemukan borok-borok modernisasi Barat sekuler yang diusulkan filosof baruist. Semua filosof
agama, baik dari Islam, Katolik, Protestantisme, Buddhisme, Hinduisme, dan Konfusianisme,
yang menolak pembaruan (religious reforms) dalam dogmatika tradisionalnya juga dapat masuk
dalam kelompok lamaisme ini.
Baruisme
Isme ini adalah lawan dari lamaisme. Apa yang hendak dilestarikan oleh lamaisme akan
diserang dan dibatalkan oleh baruisme, karena ia bertolak pada anggapan bahwa segala tradisi
lama adalah tradisi yang tidak membawa kepada kemajuan, tradisi usang yang tidak lagi relevan
dengan zaman yang terus berubah, atau tradisi dekaden yang apabila tetap dilestarikan akan
membuat Indonesia tidak pernah maju. Isme ini sangat anti dengan filsafat etnik asli, karena,
dalam logika tokoh-tokohnya, filsafat etnik masih melestarikan feudalisme dan sukuisme yang
justru dianggap sebagai musuh kebudayaan baru Indonesia. Tokoh-tokoh baruisme, misalnya,
adalah Tan Malaka, Sutan Takdir Alisjahbana, Nurcholish Madjid, sastrawan Indonesia
Angkatan ’45, dan lain-lain.
Tan Malaka, dalam bukunya Massa Actie, amat mencela tradisi lama dan mengusulkan tradisi
baru yang diambil dari tradisi Barat. Begitu pula halnya dengan Sutan Takdir. Sejak polemiknya
yang terkenal di era 1930-an dengan Ki Hajar Dewantara hingga tulisan-tulisannya sampai
beliau wafat, Sutan Takdir secara konsisten mengutuk tradisi lama dan mengusulkan tradisi
baru Barat sebagai gantinya. Sastrawan Angkatan ’45 juga pernah mempublikasikan suatu
‘manifesto budaya’, terkenal dengan nama Surat Kepercayaan Gelanggang, yang isinya
menolak untuk ‘…melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan,…’,
sebab, ‘Revolusi bagi kami ialah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yang harus
dihancurkan.’ Nurcholish Madjid mengutuk tradisi lama dari Filsafat Islam di Indonesia
(Masyumisme) yang lebih mementingkan ‘cara’ daripada ‘tujuan’ atau lebih mementingkan ‘kulit’
daripada ‘isi’, yang amat jelas terlihat dalam apologi Negara Islam. Nurcholish, lantas,
mengusulkan desakralisasi atau sekularisasi, yang pada intinya merupakan pemutusan
langsung (direct shift) dan penolakan tegas untuk melestarikan Masyumisme kuno. Sebagai
gantinya, Nurcholish menciptakan prinsip baru yang amat revolusioner di era 1970-an, Islam,
Yes! Partai Islam, No!
Terpimpinisme
Disebut ‘terpimpinisme’ karena konsep ‘keterpimpinan’ menjadi pusat wacana. Terpimpinisme
bertolak dari pandangan bahwa rakyat Indonesia masih membutuhkan figur seorang pemimpin
yang dapat mendidik mereka, melindungi mereka, menunjuki mereka, dan memandu mereka
untuk menuju kemajuan. Terpimpinisme sama dengan paternalisme, dalam artian, bahwa
paternalisme menganggap penting keberadaan seorang ‘bapak bangsa’ (pater) yang mendidik,
membina, menunjuki, memandu, dan memimpin rakyat sebagai ‘anak-anak kecil’ nya.
Contoh dari konsep ‘keterpimpinan’ yang amat terkenal dalam sejarah Filsafat Indonesia ialah
konsep ‘keterpimpinan’ yang dapat dijumpai dalam sebagian besar tulisan dan praktek
Soekarno, salah seorang pendiri RI kita, yang disini dinamakan ‘Soekarnoisme’.
Soekarnoisme—segala tulisan dan praktek Soekarno—mengajarkan dua jenis ‘keterpimpinan’:
‘Demokrasi Terpimpin’ dan ‘Ekonomi Terpimpin’. ‘Demokrasi Terpimpin’ ialah sejenis praktek
demokrasi yang dilakukan dengan cara dipimpin oleh seorang sesepuh—istilah Soekarno—
yang dapat membimbing, menunjuki, dan memandu rakyat menuju keadilan sosial-politik.
Sedangkan ‘Ekonomi Terpimpin’ ialah sejenis praktek ekonomi-politik yang dilakukan dengan
cara dipimpin oleh lagi-lagi seorang sesepuh yang dapat membimbing dan mengantarkan rakyat
Indonesia menuju keadilan sosial-ekonomis. Dua ‘keterpimpinan’ itu akan berhasil, jika dipimpin
oleh seorang sesepuh luar-biasa, dewa yang lahir di abad modern, yang dipuja rakyat sebagai
teladan rakyat. Sayang sekali, terpimpinisme jenis ini gampang sekali dituduh sebagai
otoritarianisme terselubung, dan itu terbukti dengan praktek pengangkatan Soekarno sebagai
‘presiden seumur hidup’.
Soeharto dapat pula dimasukkan ke dalam filosof terpimpinist ini. Paternalisme Soeharto
mengajarkan keharusan adanya seorang bapak yang dapat memandu dan mengantarkan rakyat
kepada kemajuan; bapak yang sangat melindungi rakyatnya tapi juga sangat tuli dengan suara
rakyatnya, karena suara rakyat hanya suara ‘anak kecil’ yang harus terus dibimbing. Soeharto
pun mendapat julukan ‘Bapak Pembangunan’, karena ia memandu rakyatnya menuju kemajuan
seperti layaknya seorang bapak terhadap anak-anak.
Pembangunanisme
Isme ini lahir sebagai reaksi atas ‘Terpimpinisme Soekarno’—disebut pula sebagai
‘Soekarnoisme’—yang dianggap gagal membawa Indonesia menuju kemajuan. Isme ini amat
bertolak-belakang dengan Soekarnoisme, dalam artian, bahwa ia tidak lagi meneruskan paham
Soekarno tentang ‘revolusi’, ‘Manipol USDEK’, ‘setan Nekolim’, ‘politik sebagai panglima’,
‘Demokrasi Terpimpin’ dan ‘Ekonomi Terpimpin’, tapi menggantinya dengan pandangan
‘ekonomi sebagai panglima’, ‘stabilitas demi pembangunan, ‘akselerasi pembangunan’,
‘pembangunan jangka-panjang’, ‘globalisasi ekonomi’, dan ‘globalisasi kapital’.
Isme ini bertolak pada asumsi, bahwa ‘politik revolusi’ sudah tidak relevan lagi, karena bukan
menghasilkan kemajuan tapi malah menyengsarakan rakyat. Isme ini menawarkan ‘politik
pembangunan’ sebagai solusinya, dengan penekanan bahwa dengan pembangunanlah
Indonesia akan berhasil maju.
Paska-pembangunanisme
Isme ini lahir sebagai reaksi atas kegagalan ‘Pembangunanisme Soeharto’—yang dapat disebut
pula ‘Soehartoisme’—dalam membawa rakyat menuju kesejahteraan dan kemakmuran, sesuai
dengan yang dicita-citakan UUD 1945.
4. Periodisasi Filsafat Indonesia
eriodisasi yang biasa dilakukan oleh sejarawan filsafat Barat ialah Periode Klasik, Periode
Pertengahan, Periode Modern, dan Periode Kontemporer. Sedangkan sejarawan filsafat
Cina membagi Filsafat Cina dalam periode-periode seperti Periode Klasik, Periode
Pertengahan, dan Periode Modern. Lalu pertanyaannya kemudian adalah apakah sejarawan
filsafat Indonesia juga harus mengikuti pembagian periode seperti itu? Jika memang harus
mengikuti periodisasi Barat dan Cina itu, kapankah periode Klasik dari Filsafat Indonesia itu?
Bisa saja dikatakan bahwa periode Klasik dari Filsafat Indonesia adalah periode yang dihitung
sejak era neolitik (sekitar 3500-2500 SM) hingga awal abad 19 M, lalu periode Modern sejak
awal abad 19 M hingga era Soeharto lengser, dan periode Kontemporer sejak Soeharto lengser
hingga detik ini (2005).
Sekilas nampaknya periodisasi tadi tidak problematik, tapi jika ditelaah lebih dalam
mengandung banyak persoalan. Persoalan-persoalan yang muncul ialah seperti: perbedaan
apakah yang paling signifikan antara Filsafat Indonesia pada era Klasik, era Modern, dan era
Kontemporer itu? Apakah perbedaan periode itu didasarkan pada perbedaan point of concern
(pusat perhatian) yang dikaji filosof di era tertentu? Apakah perbedaan antara ‘yang klasik’
dengan ‘yang modern’ hanyalah perbedaan antara ‘yang menolak’ dengan ‘yang menerima’
pengaruh Barat? Apakah perbedaan periode hanya sekadar penanda waktu, dari satu ‘titik
pemberhentian’ ke ‘titik pemberhentian’ selanjutnya? Jika ya, apa yang membedakan ‘titik
pemberhentian’ yang satu dengan ‘titik-titik’ yang lain? Apakah yang membedakan ‘yang klasik’
dan ‘yang modern’ hanyalah sekadar perpindahan tema filosofis (thematic shift)?
Banyaknya persoalan yang muncul dengan mengikuti periodisasi ala Barat dan Cina
menunjukkan, bahwa model periodisasi seperti itu tidak tepat untuk sejarah Filsafat Indonesia.
Harus dicari model periodisasi lain yang dapat memuat kurang-lebih segala filsafat yang pernah
diproduksi sejak era neolitikum hingga sekarang. Di bawah ini akan diajukan 2 model periodisasi
yang mungkin lebih cocok untuk penulisan sejarah Filsafat Indonesia.
Periodisasi Berdasarkan Interaksi Budaya
Periodisasi Filsafat Indonesia dapat dibuat berdasarkan datangnya budaya-budaya
asing yang berinteraksi dengan budaya asli Indonesia, dengan cara membuat kronologi historis
dan menyebutkan dari budaya dunia mana sumber filosofis itu berasal-mula. Dengan model ini,
misalnya, dapat dikatakan bahwa Filsafat Indonesia dapat dipecah ke dalam periode-periode
P
seperti periode Etnik, periode Cina, periode India, periode Persia, periode Arab, dan periode
Barat. Periode Etnik dimulai ketika filsafat etnik asli Indonesia masih dipeluk dan dipraktekkan
oleh orang Indonesia sebelum kedatangan filsafat asing. Sedangkan periode Cina, India, Persia,
Arab, dan periode Barat dimulai ketika orang Indonesia mulai kemasukan filsafat dari sumber-
sumber budaya asing Cina, India, Persia, Arab, dan Barat.
Filsafat Indonesia pada periode Etnik, misalnya, berisi mitologi filosofis, pepatah-petitih,
peribahasa, hukum adat, dan segala yang asli dalam filsafat-filsafat etnik Indonesia. Filsafat
Indonesia pada periode Cina mencakup Taoisme, Konfusianisme, Anti-konfusianisme, Sun Yat-
Senisme, dan Maoisme. Filsafat Indonesia pada periode India mencakup Hinduisme,
Buddhisme, Tantrayana, dan Hinduisme-Bali. Periode Persia mencakup Ibnu-‘arabisme dan
Ghazalisme. Periode Arab mencakup Wahhabisme, dan periode Barat mencakup filsafat
Nasionalisme, Sosialisme-Demokrat, Komunisme hingga Developmentalisme. Periode
Kontemporer mencakup filsafat Pancasila, Liberasionisme, Transformatifisme, Pribumisme,
Feminisme, New Agisme, Liberalisme hingga Paska-modernisme.
Periodisasi Berdasarkan Kejadian Historis Penting
Periodisasi Filsafat Indonesia juga dapat dibuat berdasarkan kejadian-kejadian penting
dalam perjalanan sejarah Indonesia, seperti periode pra-Kemerdekaan, periode Kemerdekaan,
periode Soekarno, periode Soeharto, dan periode paska-Soeharto.
Yang termasuk dalam periode pra-Kemerdekaan ialah filsafat-filsafat mitologi etnik asli
Indonesia, filsafat adat etnik Indonesia, filsafat Konfusianisme, filsafat Hinduisme dan
Buddhisme, filsafat Tantrayana, filsafat Islam-Arab, filsafat Sufisme Persia, dan filsafat
Pencerahan Barat. Sedangkan filsafat-filsafat yang masuk dalam periode Kemerdekaan ialah
filsafat Modernisme Islam, filsafat Marxisme-Leninisme, filsafat Maoisme, filsafat Sosialisme
Demokrat, dan filsafat Demokrasi. Sedangkan yang masuk dalam periode Soekarno ialah
filsafat Revolusi, filsafat Sosialisme Indonesia, filsafat NASAKOM, dan filsafat neo-imperialisme.
Periode Soeharto dimulai ketika filsafat Modenisasi dan Developmentalisme didewa-dewakan,
kemudian filsafat Pancasila, filsafat Ekonomi Pancasila, filsafat Kebatinan, filsafat sekularisme
yang sedang marak. Periode paska-Soeharto dimulai ketika kritik terhadap filsafat
Developmentalisme marak dan filsuf mencari alternatif pada filsafat-filsafat lain seperti
Liberasionisme, Transformatifisme, Reformisme, dan Revolusionisme.
5. Metode Pengkajian Filsafat Indonesia
etode itu ibarat ‘kacamata’ yang digunakan untuk memahami gejala atau realitas. Kegunaan
metode dalam lapangan filsafat sungguh sangat besar. Filsafat adalah realitas yang terus
bergerak abadi dan berseliweran di depan mata seorang filosof, karena sejarah (waktu dan
ruang) terus berubah abadi. Hanya metodelah yang mampu membuat still photo dari realitas
filsafat yang bergerak abadi itu.
Banyak sekali metode yang dapat digunakan untuk memahami gejala filsafat di
Indonesia, mulai dari yang imported hingga yang dikembangkan sendiri di tanah-air. Di bawah
ini hanya sekadar contoh dari beberapa metode pengkajian filsafat yang telah dilakukan oleh
beberapa pengkaji Filsafat Indonesia.
Metode Survival Economy
Metode ini mengingatkan kita pada dikotomi superstructure-infrastructure dalam
Marxisme. Marx pernah berpendapat bahwa produksi budaya (superstructure)—mencakup
agama, seni, dan filsafat—berjalan bersamaan dengan jenis produksi ekonomis (infrastructure).
Bahkan, infrastructurelah yang menentukan corak superstructure. Jika mode of production yang
diterapkan ialah ‘feudalisme’, maka kebudayaan yang diproduksi bersamaan dengan itu ialah
budaya feudalistik. Begitupula dengan mode of production kapitalisme, yang melahirkan budaya
kapitalistik.
Metode sejenis ini dipakai oleh Jakob Sumardjo, baik dalam bukunya Mencari Sukma
Indonesia dan Arkeologi Budaya Indonesia. Menurut Jakob, filsafat suatu masyarakat di Indonesia
tergantung pada cara masyarakat itu bertahan hidup (survive); cara masyarakat itu memanfaatkan alam
sekitarnya demi kelangsungan hidup komunalnya. Jika masyarakat itu dapat bertahan hidup dengan cara
bersawah, maka filsafat yang diproduksi akan berhubungan dengan sawah (konsep kesuburan, konsep
hari baik, konsep musim baik, konsep hidup sesuai alam, dll.).
Berdasarkan jenis survival economy yang dianut suatu masyarakat, Jakob membagi Filsafat
Indonesia ke dalam 4 jenis pola-pikir, yakni ‘pola-pikir masyarakat persawahan’, ‘pola-pikir masyarakat
perladangan’, ‘pola-pikir masyarakat peramu-berburu’, dan ‘pola-pikir masyarakat pesisir-maritim’,28
dimana di antara 4 pola-pikir (filsafat) itu terdapat perbedaan yang amat besar.
Metode Historis
Metode ini adalah metode yang paling kuno untuk mengkaji fenomena kemanusiaan, termasuk
fenomena filsafat. Filsafat Indonesia pertama-tama ditaruh dalam bingkai sejarah, lalu diurai dalam suatu
kronologi, kemudian dalam kronologi itu dimasukkan nama-nama tokoh Filsafat Indonesia. Setelah daftar
nama memenuhi kronologi, dimulailah pencarian data-data historis yang mencakup biografi tokoh, karya-
karya tokoh, peran-peran tokoh itu dalam sejarah filsafat, dan bisa pula ditambahkan data-data tentang
M
peran historis tokoh itu dalam sejarah dunia atau dalam sejarah filsafat dunia. Metode ini telah
digunakan, misalnya, oleh Ferry Hidayat dalam karyanya Sketsa Sejarah Filsafat Indonesia.
Titik-tolak Ferry ialah pandangan bahwa filsafat—dimanapun dan kapanpun ia diproduksi—
merupakan produk sejarah, dan karena itu, maka konteks sejarah yang melingkari filsafat itu harus
ditemukan jika filsafat hendak dipahami secara lebih baik. Filsafat Marxisme, misalnya, akan lebih baik
dipahami jika ditemukan konteks historis yang melingkari produksi Marxisme itu: kondisi sosial apa yang
menyebabkan Karl Marx membangun filsafat Komunisme? Masalah kongkrit apa di Jerman dan di
Inggris yang menyebabkan Marx menulis Das Kapital? Realitas politik apa di era Marx dan Engels hidup
yang mendorong mereka membangun classless society? Jika semua pertanyaan itu dapat ditemukan
jawabannya lewat kajian historis, maka filsafat Marxisme dapat dipahami secara lebih dalam.
Metode Komparasi dan Kontras
Cara lain untuk mengkaji Filsafat Indonesia ialah dengan cara mencari perbedaan dan
kesamaan di antara filsafat-filsafat sejagat yang ada, lalu perbedaannya ditunjukkan, sehingga nampak
fitur distingtif dari Filsafat Indonesia. M. Nasroen menggunakan metode perbandingan dan kontras untuk
menunjukkan segi-segi berbeda dari Filsafat Indonesia yang membedakannya dari filsafat-filsafat sejagat
lainnya dalam karyanya Falsafah Indonesia. Ia membandingkan tradisi Filsafat Barat, Filsafat Timur, dan
Filsafat Indonesia, lalu berkesimpulan bahwa Filsafat Indonesia amat berbeda dari dua filsafat lainnya
karena mengajarkan ajaran-ajaran asli tentang mupakat, pantun-pantun, Pancasila, hukum adat,
ketuhanan, gotong-royong, dan kekeluargaan.
Metode Kritik Teks
Metode ini mengkaji Filsafat Indonesia langsung dari teks-teks filsafat yang diwariskan seorang
filosof tertentu. Artinya, semua karya seorang filosof Indonesia dikumpulkan, lalu ditelaah secara
seksama, diperhatikan konsep-konsep utamanya. Setelah selesai ditelaah, dibangunlah beberapa
kesimpulan tentang teks itu, dan dari kesimpulan itu dibangunlah pengertian tentang struktur filsafat yang
dibangun teks itu. Metode ini telah diterapkan P.J. Zoetmulder, Sunoto, R. Pramono, dan Jakob
Sumardjo dalam karya-karya mereka.
Metode Internalisasi
Metode ini dipakai oleh Sunoto dalam karyanya Menuju Filsafat Indonesia. Untuk
memahami konsep-konsep kenegaraan Jawa Kuno, Sunoto mengunjungi candi-candi di Jawa,
mengamati relik-relik candi untuk merenungi pesan cerita yang dipahatkan di atasnya,
menghirup udara di sekitar candi, bersemadi di dalam area candi untuk merasakan auranya,
mencoba memasukkan citra fisik dan citra metafisik dari candi itu ke dalam badan dan jiwanya,
dan saat itu semua berhasil diinternalisir, Sunoto menghentikan semadinya dan kemudian
membangun konsep-konsep subjektif tentang konsep kenegaraan Jawa darinya.
Selain metode di atas, tentu saja masih banyak metode lainnya yang dapat dipakai
dalam memahami gejala dan realitas Filsafat Indonesia.
6. Beberapa Saran Topik Kajian ‘Filsafat Indonesia’
ajian Filsafat Indonesia masih baru, dan karenanya, masih sangat luas. Setiap pengkaji
Filsafat Indonesia tidak akan kehabisan bahan kajian, karena Filsafat Indonesia adalah
‘tanah air filsafat’ yang baru. Setiap orang dapat menjadi ‘anggota’ dan ‘warganegara’
di dalamnya dan setiap orang akan mendapat ‘lahan kajian’ yang berhektar-hektar luasnya. Di
bawah ini hanyalah ‘sedikit hektar lahan kajian’ yang dapat dijadikan pertimbangan dalam
memilih judul kajian dalam penulisan ilmiah (seperti makalah, paper, proceedings, tesis, atau
disertasi) terhadap fenomena filsafat yang disebut Filsafat Indonesia itu.
Filsafat Etnik
1. Metafisika dalam Budaya Jawa
2. Metafisika dalam Budaya Sunda
3. Metafisika dalam Budaya Bugis
4. Metafisika dalam Budaya Bali
5. Metafisika dalam Budaya Batak
6. Metafisika dalam Budaya Riau
7. Metafisika dalam Budaya Lombok
8. Metafisika dalam Budaya Kalimantan
9. Metafisika dalam Budaya Sulawesi
10. Metafisika dalam Budaya Papua
11. Etika dalam Budaya Sunda
12. Etika dalam Budaya Batak
13. Etika dalam Budaya Bugis
14. Etika dalam Budaya Kalimantan
15. Etika dalam Budaya Papua
16. Teori Pengetahuan dalam Budaya Jawa
17. Teori Pengetahuan dalam Budaya Bali
18. Teori Pengetahuan dalam Budaya Lombok
19. Teori Pengetahuan dalam Budaya Sunda
20. Teori Pengetahuan dalam Budaya Papua
21. Teori Pengetahuan dalam Budaya Riau
22. Teori Pengetahuan dalam Budaya Bugis
K
23. Teori Pengetahuan dalam Budaya Kalimantan
24. Teori Pengetahuan dalam Budaya Batak
25. Konsep Kekuasaan dalam Budaya Jawa
26. Konsep Kekuasaan dalam Budaya Bali
27. Konsep Kekuasaan dalam Budaya Batak
28. Konsep Kekuasaan dalam Budaya Bugis
29. Konsep Kekuasaan dalam Budaya Kalimantan
30. Konsep Kekuasaan dalam Budaya Papua
31. Konsep Manusia dalam Budaya Jawa
32. Konsep Manusia dalam Budaya Bali
33. Konsep Manusia dalam Budaya Batak
34. Konsep Manusia dalam Budaya Bugis
35. Konsep Manusia dalam Budaya Riau
36. Konsep Manusia dalam Budaya Papua
37. Kosmologi dalam Budaya Jawa
38. Kosmologi dalam Budaya Sunda
39. Kosmologi dalam Budaya Bali
40. Kosmologi dalam Budaya Bugis
41. Kosmologi dalam Budaya Lombok
42. Kosmologi dalam Budaya Sulawesi
43. Kosmologi dalam Budaya Papua
44. Konsep Tuhan dalam Budaya Jawa
45. Konsep Tuhan dalam Budaya Bali
46. Konsep Tuhan dalam Budaya Lombok
47. Konsep Tuhan dalam Budaya Lampung
48. Konsep Tuhan dalam Budaya Palembang
49. Konsep Tuhan dalam Budaya Aceh
50. Konsep Tuhan dalam Budaya Batak
51. Konsep Tuhan dalam Budaya Riau
52. Teleologi dalam Budaya Jawa
53. Teleologi dalam Budaya Bali
54. Teleologi dalam Budaya Batak
55. Teleologi dalam Budaya Bugis
56. Teleologi dalam Budaya Kalimantan
57. Teleologi dalam Budaya Papua
58. Fungsi Adat dalam Budaya Jawa
59. Fungsi Adat dalam Budaya Bali
60. Fungsi Adat dalam Budaya Batak
61. Fungsi Adat dalam Budaya Jambi
62. Fungsi Adat dalam Budaya Ambon
63. Fungsi Adat dalam Budaya Bugis
64. Fungsi Adat dalam Budaya Papua
65. Konsep Kematian dalam Budaya Jawa
66. Konsep Kematian dalam Budaya Sunda
67. Konsep Kematian dalam Budaya Batak
68. Konsep Kematian dalam Budaya Bugis
69. Konsep Kematian dalam Budaya Papua
70. Konsep Kelahiran Manusia dalam Budaya Jawa
71. Konsep Kelahiran Manusia dalam Budaya Sunda
72. Konsep Kelahiran Manusia dalam Budaya Bali
73. Konsep Kelahiran Manusia dalam Budaya Bugis
74. Konsep Kelahiran Manusia dalam Budaya Papua
75. Makna Perkawinan dalam Budaya Jawa
76. Makna Perkawinan dalam Budaya Sunda
77. Makna Perkawinan dalam Budaya Bali
78. Makna Perkawinan dalam Budaya Lombok
79. Makna Perkawinan dalam Budaya Papua
80. Konsep Dunia Gaib dalam Budaya Jawa
81. Konsep Dunia Gaib dalam Budaya Bali
82. Konsep Dunia Gaib dalam Budaya Sunda
83. Konsep Dunia Gaib dalam Budaya Batak
84. Konsep Dunia Gaib dalam Budaya Bugis
85. Konsep Waktu dalam Budaya Jawa
86. Konsep Waktu dalam Budaya Sunda
87. Konsep Waktu dalam Budaya Batak
88. Konsep Waktu dalam Budaya Bugis
89. Konsep Waktu dalam Budaya Papua
90. Konsep Kawan dan Lawan dalam Budaya Jawa
91. Konsep Kawan dan Lawan dalam Budaya Sunda
92. Konsep Kawan dan Lawan dalam Budaya Bali
93. Konsep Kawan dan Lawan dalam Budaya Bugis
94. Konsep Kawan dan Lawan dalam Budaya Papua
95. Teori Keberhasilan dalam Budaya Jawa
96. Teori Keberhasilan dalam Budaya Sunda
97. Teori Keberhasilan dalam Budaya Bali
98. Teori Kegagalan dalam Budaya Jambi
99. Teori Kegagalan dalam Budaya Lampung
100. Konsep Menghormati dalam Budaya Papua
Filsafat India-Indonesia
1. Metafisika dalam Kakawin Sutasoma
2. Metafisika dalam Negarakertagama
3. Metafisika dalam Sang Hyang Kamahayanikam
4. Teori Pengetahuan dalam Kakawin Sutasoma
5. Teori Pengetahuan dalam Negarakertagama
6. Teori Pengetahuan dalam Sang Hyang Kamahayanikam
7. Konsep Tuhan dalam Kakawin Sutasoma
8. Konsep Tuhan dalam Negarakertagama
9. Konsep Kekuasaan dalam Kakawin Sutasoma
10. Konsep Kekuasaan dalam Negarakertagama
11. ‘Agama Lain’ dalam Kakawin Sutasoma
12. ‘Agama Lain’ dalam Negarakertagama
13. Konsep Waktu dalam Kakawin Sutasoma
14. Konsep Waktu dalam Negarakertagama
15. Konsep Manusia dalam Kakawin Sutasoma
16. Konsep Manusia dalam Negarakertagama
17. Kosmologi dalam Kakawin Sutasoma
18. Kosmologi dalam Negarakertagama
19. Etika dalam Kakawin Sutasoma
20. Etika dalam Negarakertagama
21. Teori Sorga dalam Kakawin Sutasoma
22. Teori Sorga dalam Negarakertagama
23. Teori Politik dalam Kakawin Sutasoma
24. Teori Politik dalam Negarakertagama
25. Teori Kebahagiaan dalam Kakawin Sutasoma
26. Teori Kebahagiaan dalam Negarakertagama
27. Teori Keberhasilan dalam Kakawin Sutasoma
28. Teori Kegagalan dalam Negarakertagama
29. Teleologi dalam Kakawin Sutasoma
30. Teleologi dalam Negarakertagama
31. Konsep Sejarah dalam Kakawin Sutasoma
32. Spiritualitas dalam Kakawin Sutasoma
33. Spiritualitas dalam Negarakertagama
34. Teori Kehidupan dalam Kakawin Sutasoma
35. Teori Kematian dalam Negarakertagama
36. Ajaran Karma dalam Kakawin Sutasoma
37. Konsep Makhluk Halus dalam Kakawin Sutasoma
38. Konsep Dewa-Dewi dalam Kakawin Sutasoma
Filsafat Cina
1. Sun Yat-Sen di Mata Tionghoa Indonesia
2. Maoisme Tionghoa Indonesia
3. Teori Politik Tionghoa Indonesia
4. Komunisme di Mata Tionghoa Indonesia
5. Konfusianisme Tionghoa Indonesia
6. Anti-konfusianisme Tionghoa Indonesia
7. Konsep Keberhasilan Tionghoa Indonesia
8. Konsep Kegagalan Tionghoa Indonesia
9. Konsep Hidup Tionghoa Indonesia
10. Konsep Manusia di mata Tionghoa Indonesia
11. Etika Tionghoa Indonesia
12. Metafisika Tionghoa Indonesia
13. Teori Pengetahuan orang Tionghoa Indonesia
14. Makna Perkawinan menurut Tionghoa Indonesia
15. Makna Kematian menurut Tionghoa Indonesia
Filsafat Islam
1. Pemikiran Metafisika dalam Filsafat Hamzah Fansuri
2. Pemikiran Metafisika dalam Filsafat Ronggowarsito
3. Pemikiran Metafisika dalam Filsafat Ki Ageng Selo
4. Pemikiran Metafisika dalam Filsafat Suryomentaram
5. Pemikiran Metafisika dalam Puisi-Puisi Emha Ainun Najib & Soetardji Calzoum Bachri
Filsafat Barat
1. Demokrasi di Indonesia
2. Federalisme: Konsep dan Aplikasinya
3. HAM dan Akar Filosofisnya
4. Feminisme di Indonesia
5. Eksistensialisme dalam Puisi-Puisi Chairil Anwar
Filsafat Kristen
1. Ekaristi dan Filsafatnya
2. Transubstansiasi: Filsafat dan Sejarahnya
3. Hermeneutika Injili: Filsafat dan Aplikasinya
Filsafat Paska-Soeharto
1. Reformasi: Tujuan-Tujuan dan Aplikasinya
2. Filsafat Reformasi
1 Paul Edwards (ed.), The Encyclopedia of Philosophy, 8 jilid, terbitan New York, Macmillan Publishing Co., Inc., & The Free Press, 1967. Ini adalah salah satu ensiklopedia filsafat yang diakui banyak pelajar filsafat sebagai yang paling terlengkap sampai saat ini. 2 St.Elmo Nauman Jr., Dictionary of Asian Philosophies, (*Routledge and Kegan Paun Ltd., 1979), h. xiii-xvii 3 Baru-baru ini penulis menggunakan fasilitas dari situs www.wikipedia.org untuk mempublikasikan kajian Filsafat Indonesia di dunia maya. Silahkan baca artikel penulis versi Indonesia (http://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat_Indonesia) atau versi Inggris (http://en.wikipedia.org/wiki/Indonesian_Philosophy). 4 M. Nasroen, Falsafah Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), h. 14, 24, 25, 33, dan 38 5 Sunoto, Pemikiran Tentang Kefilsafatan Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan Lembaga Studi Filsafat Pancasila & Andi Offset, 1983), h. iii; Beliau sangat produktif dalam mengkaji Filsafat Indonesia, karya-karyanya yang lain misalnya ialah: Menuju Filsafat Indonesia: Negara-Negara di Jawa Sebelum Proklamasi Kemerdekaan, (Yogyakarta: Hanindita Offset, 1987) dan Selayang Pandang tentang Filsafat Indonesia, (Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM, 1981). 6 R. Pramono, Menggali Unsur-Unsur Filsafat Indonesia, (Yogyakarta: Andi Offset, 1985), h. v-vi 7 Jakob Sumardjo, Arkeologi Budaya Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2002). 8 M. Nasroen, Falsafah Indonesia, h. 3 9 Sunoto, Menuju Filsafat Indonesia, h.ii 10 R. Pramono, Menggali Unsur-Unsur Filsafat Indonesia, h.iii 11 Jakob Sumardjo, Mencari Sukma Indonesia: Pendataan Kesadaran Keindonesiaan di tengah Letupan Disintegrasi Sosial Kebangsaan, (Yogyakarta: AKA Group, 2003), h.116 12 Bertrand Russell, History of Western Philosophy and Its Connection with Political and Social Circumstances from the Earliest Times to The Present Day, (London: George Allen and Uniwin, Ltd., 1946), h. 447-448 13 Frederick Mayer, A History of Ancient & Medieval Philosophy, (New York: American Book Company, 1950), h. 395 14 Masaaki Kôsaka, ‘The Intellectual Background of Modern Japanese Thought’, dalam Guy S. Metraux & François Crouzet (eds.), The New Asia: Readings in The History of Mankind, (Canada: The New American Library, 1965), h.356 15 Sayang sekali penulis tidak bisa melacak website apa yang menerbitkan artikel on-line ini. Yang pasti, artikel ini penulis temukan dengan bantuan mesin search dari www.yahoo.com dengan kata kunci ‘Chinese Philosophy’. Silahkan browse. 16 Harus dibedakan antara pemikiran ‘Sutan Takdir Muda’ dengan ‘Sutan Takdir Tua’. ‘Sutan Takdir Muda’ adalah potret seorang pemberontak yang hendak menerabas kekangan tradisi (harap diingat, beliau lahir dari tradisi Minangkabau yang amat konservatif dalam hal hukum adat), sedangkan ‘Sutan Takdir Tua’ adalah sosok pemikir matang yang lebih realistis melihat kenyataan tentang ekses-ekses modernisasi (Westernisasi), misalnya, berupa nihilisme, ketimpangan ekonomi antara negara kaya dan negara miskin, dan krisis ekologi. 17 Abdul Hadi W.M., ‘Mengenang Asrul Sani (1927-2004): Surat Kepercayaan Gelanggang dan Masalah-Masalah Kesusastraan Kita’, dalam Majalah Sastra HORISON, Maret 2004, h.22 18 Mochtar Lubis, Indonesia: Land under the Rainbow, (Oxford, New York, Singapore: Oxford University Press, 1990), h. 6-14 19 Jakob Sumardjo, Mencari Sukma Indonesia: Pendataan Kesadaran Keindonesiaan di tengah Letupan Disintegrasi Sosial Kebangsaan, (Yogyakarta: AKA Group, 2003), h.116 20 Mochtar Lubis, Indonesia: Land under the Rainbow, h.4-6 21 M. Nasroen, Falsafah Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967). 22 Sunoto, Pemikiran Tentang Kefilsafatan Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan Lembaga Studi Filsafat Pancasila & Andi Offset, 1983); Menuju Filsafat Indonesia: Negara-Negara di Jawa Sebelum Proklamasi Kemerdekaan, (Yogyakarta: Hanindita Offset, 1987), dan Selayang Pandang tentang Filsafat Indonesia, (Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM, 1981). 23 R. Pramono, Menggali Unsur-Unsur Filsafat Indonesia, (Yogyakarta: Andi Offset, 1985). 24 Jakob Sumardjo, Arkeologi Budaya Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2002) dan Mencari Sukma Indonesia: Pendataan Kesadaran Keindonesiaan di tengah Letupan Disintegrasi Sosial Kebangsaan, (Yogyakarta: AKA Group, 2003). 25 Lihat karya kami, Sketsa Sejarah Filsafat Indonesia, yang mengkaji filosof Indonesia dari etnis Cina dalam sub-bab ‘Adaptasionisme Cina’. 26 Ibid. 27 Ibid. 28 Jakob Sumardjo, Mencari Sukma Indonesia, hal. 117