Fermentasi Kecap_Anastasia Lamtara_12.70.0108_Kelompok E5

25
1. HASIL PENGAMATAN Hasil pengamatan yang didapatkan selama praktikum kecap dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil Pengamatan Karakter Sensoris dari Kecap Manis Kel Perlakuan Aroma Rasa Warna Kekentalan E1 0,5% inokulum + ++ ++ + E2 0,75% inokulum +++ ++ ++ ++ E3 0,75% inokulum + +++ + ++ E4 1% inokulum +++ + + +++ E5 1% inokulum ++ +++ ++ + Keterangan: Aroma: Rasa: Kekentalan: Warna: + : kurang kuat + : kurang kuat + : kurang kental + : kuranghitam ++ : kuat ++ : kuat ++ : kental ++ : hitam +++ : sangat kuat +++ : sangat kuat +++ : sangat kental +++ : sangat hitam Berdasarkan Tabel 1 diatas dapat dilihat bahwa hasil analisa organoleptik masing-masing kelompok didapatkan hasil yang berbeda-beda. Dimana pada kelompok E1 dengan perlakuan 0,5% inokulum dihasilkan kecap dengan aroma kurang kuat, rasa kuat, warna hitam, dan kurang kental. Pada kelompok E2 dengan 0,75% inokulum dihasilkan kecap yang mempunyai aroma sangat kuat, rasa yang kuat, warna hitam, dan kental. Pada kelompok E3 dengan inokulum 0,75% dihasilkan kecap yang aromanya kurang kuat, rasa yang sangat kuat, kurang hitam, dan kental. Pada kelompok E4 1

description

kecap adalah hasil fermentasi kedelai. Dimana proses fermentasi dibagi menjadi 2 tahap utama yaitu fermentasi koji dan moromi

Transcript of Fermentasi Kecap_Anastasia Lamtara_12.70.0108_Kelompok E5

1. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan yang didapatkan selama praktikum kecap dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Pengamatan Karakter Sensoris dari Kecap ManisKelPerlakuanAromaRasaWarnaKekentalan

E10,5% inokulum++++++

E20,75% inokulum+++++++++

E30,75% inokulum+++++++

E41% inokulum++++++++

E51% inokulum++++++++

Keterangan:Aroma:Rasa:Kekentalan:Warna:+: kurang kuat +: kurang kuat+ : kurang kental+: kuranghitam++: kuat++: kuat++: kental++: hitam+++ : sangat kuat+++: sangat kuat +++ : sangat kental +++ : sangat hitam

Berdasarkan Tabel 1 diatas dapat dilihat bahwa hasil analisa organoleptik masing-masing kelompok didapatkan hasil yang berbeda-beda. Dimana pada kelompok E1 dengan perlakuan 0,5% inokulum dihasilkan kecap dengan aroma kurang kuat, rasa kuat, warna hitam, dan kurang kental. Pada kelompok E2 dengan 0,75% inokulum dihasilkan kecap yang mempunyai aroma sangat kuat, rasa yang kuat, warna hitam, dan kental. Pada kelompok E3 dengan inokulum 0,75% dihasilkan kecap yang aromanya kurang kuat, rasa yang sangat kuat, kurang hitam, dan kental. Pada kelompok E4 dengan inokulum 1% dihasilkan kecap dengan aroma yang sangat kuat, rasa yang kurang kuat, kurang hitam, dan sangat kental. Sedangkan pada kelompok E5dengan inokulum 1% dihasilkan kecap yang beraroma kuat, rasa yang sangat kuat, hitam, dan kurang kental. 10 13

2. PEMBAHASAN

Kecap merupakan salah satu makanan yang disukai oleh masyarakat Indonesia. Kecap adalah cairan hasil fermentasi kedelai yang mempunyai kandungan protein yang tinggi dan mempunyai aroma khas, dan warna coklat tua (Tarwiyah, 2001). Menururt Rahman (1992), kecap adalah makanan tradisional yang dibuat melewati proses fermentasi kacang, baik kacang kedelai maupun kacang jenis lainnya. Kecap mempunyai range pH sekitar 4,9 5,0 dengan warna coklat hingga hitam. Biasanya kecap digunakan untuk mempersedap rasa makanan dan memberikan warna pada makanan. Di Indonesia, kecap dibagi menjadi 2 jenis makanan yaitu kecap manis dan kecap asin. Perbedaannya adalah pada kandungan gulanya, dimana kecap manis mengandung gula sekitar 26-61%, sedangkan pada kecap asin kandungan gulanya hanya sekitar 3-6% saja. Kecap asin memiliki konsistensi warna lebih muda dibandingkan dengan kecap manis, dan memiliki kandungan garam yang tinggi sekitar 18-21% (Judoamidjojo, 1987). Proses pembuatan kecap sendiri dibuat menjadi tiga cara yaitu secara fermentasi, hidrolisis kimia, atau kombinasi antara keduanya (Winarno et al, 1980).

Pada praktikum fermentasi kali ini, dilakukan pembuatan kecap dengan cara memfermentasi kedelai. Pada prinsipnya, proses fermentasi adalah memecah senyawa makromolekul kompleks yang terdapat pada kedelai sendiri menjadi senyawa yang lebih sederhana. Kedelai mengandung protein yang akan dipecah menjadi asam amino dan peptida, lemak akan dipecah menjadi asam lemak, dan karbohidrat menjadi monosakarida. Proses pemecahan senyawa ini akan membentuk aroma, rasa, dan flavor dari kecap (Hardjo, 1964). Menurut Cahyadi (2006), salah satu asam amino yang terkandung dalam kedelai adalah leusin dan lisin, dimana keduanya merupakan enzim pemecah yang berguna dalam proses pembuatan kecap.

Proses pembuatan kecap sendiri meliputi 2 tahapan utama yaitu fermentasi kapang (koji) dan fermentasi moromi dengan menggunakan larutan garam. Selama proses fermentasi akan terjadi perubahan secawa biokimiawi seperti kenaikan total nitrogen terlarut, padatan terlarut, pH dan gula pereduksi (Judoamidjojo, 1987); (Rahman,, 1992). Koji merupakan proses penambahan kultur campuran yang diambil dari pembuatan kecap sebelumnya ataupun kultur murni yang ditumbuhkan sendiri (Buckle et al., 1978). Kapang yang dapat digunakan dalam proses fermentasi koji adalah Aspergillus soyae, Aspergillus oryzae, Aspergillus niger dan Rhizopus sp yang menghasilkan enzim protease (Astawan & Astawan, 1991). Selain itu, proses pembuatan kecap dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu dengan cara fermentasi, hidrolisis asam, dan kombinasi keduanya. Kecap yang dibuat secara fermentasi akan mempunyai aroma yang lebih baik dibandingkan dengan cara hidrolisis (Rahayu et al., 2005).

2.1. Fermentasi Koji Pada praktikum yang dilakukan di laboratorium, pertama-tama, kedelai hitam maupun putih yang masih memiliki kulit ari direndam dalam air selama 12 jam. Setelah 12 jam, kedelai akan mekar, kemudian dicuci dengan air bersih dan dipisahkan kulit arinya, lalu ditiriskan hingga kering. Kedelai direbus hingga matang kemudian ditiriskan hingga keringkan dengan tissue. Setelah itu, kedelai dikeringkan dan dimasukkan ke dalam besek yang telah dilapisi dengan daun pisang. Kemudian ditambahkan inokulum komerisal, penambahan inokulum untuk setiap kelompok berbeda-beda. Untuk kelompok E1 menggunakan 0,5% inokulum komersial untuk tempe, sedangkan kelompok E2 dan E3 menggunakan 0,75% inokulum komersial untuk tempe, dan untuk kelompok E4 dan E5 menggunakan 1% inokulum komersial untuk tempe. Setelah diinokulasi, besek ditutup dan diinkubasi selama 3 hari.

Tortora et al. (1995) mengatakan bahwa perendaman kedelai bertujuan untuk menghidrasi air ke dalam biji sehingga apabila kedelai dimasak, nantinya hanya membutuhkan waktu yang singkat karena kedelai sudah melunak akibat adanya perendaman. Hal ini didukung oleh teori dari Kasmidjo (1990) bahwa perendam dapat memberikan kesempatan pada kedelai untuk menyerap air (hidrasi) dan membudahkan penghilangan kulit ari. Selama proses perendaman juga harus menggunakan air yang banyak sehingga seluruh permukaannya terendam air. Selama proses perendaman, kedelai akan mengeluarkan faktor yang menghambat pertumbuhan jamur dari biji kedelai karena senyawa tersebut akan larut dalam air.

Setelah selesai direndam, kedelai dibersihkan dari kulit ari, kedelai direbus hingga matang. Pencucian berguna untuk membersihkan kotoran-kotoran yang masih menempel pada kedelai dan mengendap di dasar wadah (Astawan & Astawan, 1991). Kemudian perebusan sendiri berfungsi untuk mengurangi jumlah mikroorganisme kontaminan pada kedelai dan untuk mengurangi bau langu dari kedelai. Hal ini sesuai dengan teori yang dikatakan oleh Tortora et al. (1995) yang menyatakan bahwa proses perebusan biji kedelai memiliki tujuan untuk merusak protein inhibitor, menginaktifkan zat-zat antinutrisi, membantu pelunakkan biji kedelai dan menghilangkan aroma langu pada kedelai. Fukushima (2004) mendukung teori tersebut, dengan menambahkan bahwa perebusan dapat menginaktivasi enzim lipoksigenase yang mana menimbulkan bau langu pada kedelai, serta dapat mempermudah enzim pada kapang untuk menghidrolisis protein kedelai saat fermentasi berlangsung.

Gambar 1. Perebusan Kedelai

Setelah selesai direbus, kedelai kemudian ditiriskan hingga kering. Tujan proses penirisan adalah untuk mengeringkan kedelai. Kedelai harus dikeringkan untuk mengurangi kandungan air yang terdapat dalam kedelai, selain itu juga untuk menurunkan suhu kedelai sehingga tidak terlalu panas ketika akan di inokulasi dengan inokulum (Santoso, 1994). Atlas (1984), menambahkan bahwa kedelai yang masih dalam kondisi lembab setelah direbus akan membantu perkembangan jamur pada permukaan kedelai serta dapat mengakumulasi enzim proteinase dan amilase. Dimana peran enzim proteinase adalah untuk menguraikan protein kedelai menjadi asam amino. Sedangkan peran dari amilase adalah memecah karbohidrat menjadi gula sederhana, sehingga proses fermentasi menjadi mudah untuk dilakukan.

Gambar 2. Penirisan Kedelai

Tahap selanjutnya adalah tahap peragian, dimana kedelai akan ditaburi dengan inokulum ragi tempe komersial. Tahapan ini merupakan tahap fermentasi koji atau fermentasi dengan menggunakan kapang. Hal ini sesuai dengan Rahman (1992), inokulum yang biasa digunakan untuk pembuatan tempe pada industri skala kecil adalah ragi tempe. Jenis kapang yang digunakan adalah jenis Rhizopus sp. (Santoso, 1994). Pemberikan inokulum adalah salah satu tahapan yang mempengaruhi kecap yang dihasilkan. Menurut Kasmidjo (1990), proses fermentasi koji dilakukan dengan menaburkan bahan yang akan diinokulasikan pada wadah. Maka dari itu, proses yang telah dilakukan selama praktikum sudah sesuai dengan teori tersebut. Proses penjamuran dilakukan dengan mengusap-usapkan dengan merata pada kedelai kemudian diinkubasi selama 4-5 hari pada suhu ruang (Santoso, 1994). Sebenernya kapang yang digunakan untuk proses fermentasi koji bisa bermacam-macam yaitu Aspergillus soyae, Aspergillus oryzae, Aspergillus niger dan Rhizopus sp. yang menghasilkan enzim protease (Astawan & Astawan, 1991). Aspergillus oryzae merupakan salah satu kapang yang banyak menghasilkan enzim -amilase, -galaktosidase, glutaminase, protease, -glukosidase (Rahayu et al., 2005). Dengan penambahan khamir selama tahap koji akan menghasilkan senyawa kimia seperti 4-etilguakol, 4-etilfenol, dan 2-fenil oleh Zigosaccharomyces sp. dan Hansenula sp. yang akan membentuk cita rasa pada kecap. Selain kapang dan khamir, bakteri juga mempunyai peranan penting yaitu untuk memproduksi asam-asam organik seperti asam laktat, asam suksinat, asam asetat, dan asam fosfat yang dapat memperpanjang umur simpan dan memperkuat cita rasa. Lactobacillus delbruckii adalah bakteri asam laktat yang biasanya digunakan untuk menambahkan cita rasa dan juga warna (Kasmidjo, 1990).

Kemudian kedelai yang telah diinokulasi kemudian ditutup dengan menggunakan besek dan diinkubasi selama 3 hari pada suhu ruang. Proses inkubasi ini dimaksudkan untuk member waktu dan kondisi yang tepat bagi kapang untuk melakukan fermentasi (Santoso, 1994). Hal ini didukung oleh teori yang dikatakan oleh Kasmidjo (1990), bahwa proses koji dilakukan dengan menghamparkan inokulum ke dalam wadah yang terbuat dari bambu atau menggunakan stainless steel dalam suhu 25- 35oC selama kurang lebih 2 hari hingga 3 hari. Proses fermentasi harus dilakukan dalam waktu yang tepat, jika fermentasi berjalan terlalu cepat maka jamur tidak dapat menghasilkan enzim. Tetapi jika proses fermentasi terlalu lama, maka akan semakin banyak enzim yang dihasilkan sehingga cita rasa yang dihasilkan akan kurang baik. Hasil fermentasi dari kapang sendiri adalah senyawa senderhana yang dipecah oleh adanya aktivitas kapang, yaitu pemecahan karbohidrat, lemak, dan protein, dimana senyawa ini yang menentukan rasa, aroma, dan komposisi kecap (Rahayu et al., 2005).

Gambar 3. Kedelai Hasil Fermentasi Koji

Setelah diinkubasi selama 3 hari, dilanjutkan dengan pengerikan dengan menggunakan dehumidifier selama 2-4 jam. Perlakuan ini dilakukan untuk menghilangkan kapang yang melekat pada permukaan kedelai (Rahayu et al., 1993). Selain itu proses pengeringan akan menurunkan kadar air dari kedelai sehingga jamur akan mati secara perlahan-lahan karena pertumbuhannya dihambat (Peppler & Perlman, 1979). Selain itu Fardiaz (1992), lama fase ferementasi ditentukan oleh jenis mikroorganisme yang digunakan dan kecepatan penyesuaian mikroorganisme terhadap lingkungan sekitarnya. Kesesuaian lingkungan memegang peranan penting, dimana kondisi yang bersih selama proses fermentasi koji sangat perlu diperhatikan, jika tidak akan menyebabkan hasil fermentasi terkena kontaminasi (Kasmidjo, 1990).

Gambar 4. Kedelai Setelah Proses Dehumidifier

2.2. Fermentasi MoromiTahap berikutnya adalah tahap fermentasi moromi. Hasil dari kedelai kering tersebut dimasukkan ke dalam toples plastik. Kemudian, ditambahkan larutan garam 20% dan direndam selama 1 minggu yang mana setiap harinya dijemur dan diaduk selama 1 jam, dengan pengadukan 15 menit sekali. Setelah 1 minggu, larutan ini dipres dan disaring menggunakan kain saring. Hasil saringan ini dimasak bersamaan dengan bahan tambahan lainnya seperti gula jawa 1 kilogram, kayu manis 20 gram, ketumbar 3 gram, laos 1 jentik, daun pekak 1 biji, dan bahan yang membedakan dengan tiap kelompok adalah untuk kelompok E1 dan E2 adalah cengkeh sebanyak 1 gram, kelompok E3 dan dan E4 adalah sereh 1 buah (yang telah digeprek), dan untuk kelompok E5 adalah pala sebanyak 1 buah (yang telah diparut terlebih dahulu). Setelah dimasak, larutan disaring dan dipindahkan ke dalam wadah steril yang dilanjutkan dengan pengujian sensori yang meliputi aroma, warna, rasa, dam kekentalan.

Moromi adalah adalah proses perendaman koji dalam air garam. Pada tahapan ini mikroorganisme yang berperan adalah mikroba yang tahan terhadap garam seperti Hansenula sp., Zygosaccharomyces sp., dan Lactobacillus sp. (Purwoko & Handjajani, 2007). Selain itu, untuk mengekstrak senyawa-senyawa hidrolisis pada tahap fermentasi kapang perlu dilakukan dengan merendam koji ke dalam air garam. Saat perendaman, bakteri halofilik akan tumbuh secara spontan dan membentuk flavor kecap yang khas. Konsentrasi larutan garam yang digunakan pada praktikum adalah 20%, dimana tujuannya adalah untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme pada kecap yang dihasilkan. Berdasarkan teori yang dikatakan tersebut, tahapan pembuatan larutan garam sudah sesuai dengan teori yang ada. Penambahan larutan garam harus sebesar 20% karena larutan garam yang ideal menurut Astawan & Astawan (1991), adalah sebesar 15-20%. Larutan garam dengan kadar 20% dapat menimbulkan tekanan osmotik yang tinggi sehingga air akan tertarik keluar dari bahan pangan. Akibatnya mikroorganisme menjadi terhambat untuk tumbuh karena mikroorganiseme membutuhkan aw tinggi. Jika kadar garam kurang dari 15% maka mikroorganisme masih dapat tumbuh pada larutan kecap.

Setelah itu, akan difermentasi selama 1 minggu dengan diberikan perlakuan penjemuaran dan pengadukan secara berkala. Menurut Tortora et al. (1995), kedua perlakuan ini berfungsi untuk memberikan aerasi dan menghomogenkan larutan garam sehingga semua permukaan kedelai berkontak langsung dengan larutan garam. Dengan adanya kontak langsung dengan substrat, pertumbuhan kapang dan bakteri dapat meningkat.

Gambar 5. Pengadukan dan Penjemuran Moromi

Proses penyaringan dan pemasakan kecap merupakan proses selanjutnya setelah selesai fermentasi moromi. Pemasakan dengan menggunakan gula jawa dan bumbu-bumbu lainnya ditambahkan ke dalam larutan moromi. Bumbu-bumbu yang digunakan adalah kayu manis, laos, bunga pekak, pala, dan ketumbar yang berperan sebagai peningkat flavor dari kecap yang dihasilkan. Bumbu-bumbu tersebut dipilih karena bumbu tersebut memiliki kandungan minyak atsiri yang membuat aroma dan citarasa dari kecap (Fachruddin, 1997). Tambahan bumbu yang paling penting adalah gula jawa. Gula jawa akan mempengaruhi karakteristik sensoris yang dihasilkan. Menurut Kasmidjo (1990), pembuatan kecap manis gula jawa berguna untuk menciptakan flavor yang spesifik pada kecap, selain itu viskositas kecap akan meningkat seiring dengan jumlah gula yang ditambahkan. Penambahan gula juga berguna untuk memberikan warna pada kecap dan memberikan rasa manis, dimana warna kecap yang dihasilkan akan menjadi coklat hingga coklat tua. Hal ini dikarenakan adanya efek browning yaitu reaksi maillard antara protein dan karbohidrat sehingga warna kecap akan menjadi lebih gelap (Santoso, 1994). Jenis gula yang terdapat pada kecap adalah glukosa, galaktosa, maltosa, arabinosa, dan komponen gula alkohol yaitu gliserol dan manitol (Kasmidjo, 1990). Selain itu, gula merah merupakan gula yang perannya tidak dapat digantikan oleh jenis gula-gula lainnya karena gula merah memiliki rasa khas. Rasa khas itu adalah aroma khas yang sedikit asam dan berbau karamel yang disebabkan karena adanya asam-asam organik (Nurlela, 2002).

Gambar 6. Proses Pemasakan Kecap

2.3. Hasil PengamatanBerdasarkan hasil pengamatan kecap yang dihasilkan setiap kelompok memiliki hasil yang berbeda-beda baik dari segi aroma, rasa, warna, dan kekentalan. Dari segi aroma kecap yang dihasilkan oleh kelompok E2 dan E4 adalah yang memiliki aroma paling kuat, dan E1 dan E3 memiliki aroma yang kurang kuat. Dapat disimpulkan juga bahwa pada penambahan inokulum akan mempengaruhi pembentukan aroma, walaupun terdapat beberapa kelompok yang agak menyimpang. Menurut Astawan & Astawan (1991) dan Rahayu et al. (1993), menyatakan bahwa jumlah inokulum yang ditambahkan akan mempengaruhi kecepatan degradasi protein dan karbohidrat pada kedelai. Degradasi senyawa tersebut akan dilakukan oleh enzim protease, peptidase, dan enzim amilase yang dihasilkan oleh kapang. Semakin banyak kapang yang ditambahkan maka flavor dari kecap akan menjadi kurang baik, karena adanya proses degradasi protein dan karbohidrat yang cepat. Sehingga dapat dikatakan hasil yang didapat kurang sesuai dengan teori, karena hasil yang didapat mengalami fruktuasi.

Selain itu dengan adanya penambahan mempengaruhi aroma dari kecap. Flavor spesifik dari kecap akan dipengaruhi oleh yang digunakan, terutama penambahan gula jawa. Aroma kecap yang terbentuk ditentukan oleh komponen organik yang terdapat dalam kecap (Kasmidjo, 1990). Kecap kedelai ini memang mengandung komponen flavor organik seperti ester, fenol, alkohol, asam, dan heterocyclics. Komponen tersebut merupakan indikator yang penting dalam penentuan kualitas aroma dari kecap kedelai (Feng et al., 2013). Aroma dan flavor dari kecap ditentukan oleh komponen nitrogen pendukung seperti kadaverin, arginin, histidin, dan ammonia. Dimana flavor yang enak akan dihasilkan jika kecap bereaksi dengan asam suksinat ataupun asam glutamat (Armstrong, 1995). Kandungan asam amino yang terbanyak ada pada kecap adalah asam amino glutamate, dimana asam amino ini dihasilkan dari penguraian protein (Muangthai et al., 2007).

Dari segi rasa, dapat dilihat bahwa dari hasil percobaan kelompok E3 dan E5 memiliki rasa yang sangat kuat dan E4 memiliki rasa yang kurang kuat. Hasil yang didapatkan dari sensori ini kurang dapat dibandingkan karena terlalu fruktuatif. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi adanya perbedaan hasil rasa ini adalah perbedaan waktu pemasakan kecap. Amalia (2008) mengungkapkan bahwa proses pemasakan kecap yang terlalu lama akan menyebabkan timbulnya rasa pahit. Dan selama proses pemasakan tidak ada waktu tertentu yang mengatur lama pemasakan, sehingga bisa saja salah satu kelompok memanaskan terlalu lama sehingga timbul rasa pahit. Selain itu, faktor lainnya yang mempengaruhi rasa adalah penambahan bumbu-bumbu yang digunakan selama proses dan aktivitas asam laktat yang tumbuh pada saat proses fermentasi berlangsung (Rahayu et al., 2005). Teori ini didukung oleh Yanfang & Tao (2009), yang mengatakan bahwa flavor merupakan aspek paling penting yang akan menentukan penerimaan terhadap produk.

Hasil pengamatan terhadap warna menunjukkan bahwa kecap yang dihasilkan memiliki warna yang cenderung sama yaitu hitam, tetapi pada kelompok E3 dan E4 warna kecap yang dihasilkan adalah kurang hitam. Warna yang dihasilkan ini tidak berkaitan dengan jumlah penambahan gula jawa, karena jumlah gula yang ditambahkan pada setiap kelompok adalah sama yaitu 1 kg. Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa gula jawa memiliki peranan penting dalam memberikan warna pada kecap. Gula jawa sendiri memiliki karakterisitik yaitu memiliki warna coklat hingga coklat tua dan berbentuk padat. Gula akan mengalami reaksi browning karena adanya proses pemanasan dengan suhu tinggi. Astawan & Astawan (1991), mengatakan bahwa warna dari kecap manis adalah coklat kehitaman, karena adanya reaksi browning antara gula pereduksi dengan asam amino. Kasmidjo (1990) sendiri mendukung, dengan menyatakan bahwa penambahan gula jawa akan membuat kecap menjadi warna coklat karamel. Dimana semakin tinggi suhu pemanasan selama proses pembuatan kecap akan membuat warna coklat semakin pekat (Amalia, 2008).

Aspek terakhir yang dilihat adalah dari segi kekentalan. Kecap E4 sangat kental, dan kecap E2 serta E3 hasilnya kental, sedangkan kelompok E1 dan E5 kecap yang dihasilkan kurang kental. Kecap manis dibuat dengan menggunakan penambahan gula jawa, dimana penambahan gula dalam jumlah besar akan meningkatkan viskositas larutan. Semakin tinggi kandungan gula maka viskositas kecap akan semakin tinggi (Kasmidjo, 1990). Peppler & Perlman (1979) juga menambahkan, bahwa semakin banyak gula jawa yang dicampurkan maka warna, viskositas, aroma dan rasa kecap yang dihasilkan akan semakin baik.

Faktor lainnya yang perlu ditinjau adalah perbedaan perlakuan penambahan inokulum, dimana setiap kelompok ditambahkan inokulum yang berbeda-beda. Berdasarkan hasil percobaan, hasil kurang dapat menunjukkan pengaruh perbedaan konsentrasi inokulum terhadap kecap yang dihasilkan. Hal ini kurang sesuai dengan teori yang dinyatakan oleh Masashi (2006), dimana konsentrasi dari ragi yang digunakan mempunyai pengaruh terhadap hasil kecap pada tahap akhir, komponen yang berperan adalah asam laktat dan etanol. Seharusnya, semakin banyak konsentrasi inokulum yang ditambahkan maka proses fermentasi akan berjalan lebih cepat sehingga produksi etanol dan asam laktat juga semakin banyak. Tetapi jumlah penambahan inokulum juga perlu diperhatikan, jika penambahan terlalu banyak maka akan menyebabkan menurunnya kualitas sensoris karena produksi asam laktat dan etanol yang tinggi. Selama praktikum, hasil yang didapat sulit untuk dibandingkan satu sama lain, hal ini dapat disebabkan karena karakteristik kecap dibentuk dibentuk dari proses pemasakan yang dilakukan.

Hasil yang melenceng dari teori disebabkan karena adanya kesalahan pada saat pembuatan kecap. Selain itu kecap seharusnya mengalami proses fermentasi sekitar 2 hingga 4 minggu (Astawan & Astawan, 1991). Tetapi pada saat praktikum, waktu yang digunakan hanya selama 1 minggu. Sehingga proses fermentasi moromi kurang sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Astawan & Astawan (1991), lama proses fermentasi akan mempengaruhi komponen pembentuk flavor pada kecap. Jika proses fermentasi berjalan terlalu cepat maka, senyawa flavor tidak terbentuk. Teori lainnya menyatakan bahwa pada proses pembuatan kecap dilakukan 2 tahap fermentasi, yaitu fermentasi padat (koji) yang mana membutuhkan waktu 3-5 hari, dan fermentasi moromi (larutan garam) yang membutuhkan waktu 14-28 hari (Purwoko & Handjajani, 2007). Sehingga metode yang digunakan saat praktikum agak menyimpang dari teori yang ada.

Faktor lainnya yang mempengaruhi proses pembuatan kecap adalah jenis kedelai yang digunakan. Kedelai merupakan bahan utama pada proses pembuatan kecap sehingga kualitas kedelai yang baik menentukan kecap yang dihasilkan. Hal ini didukung oleh Astawan & Astawan (1991), kecap dengan mutu yang baik akan dipengaruhi oleh perbedaan varietas kedelai, lama proses fermentasi, dan tingkat kemurnian inokulum yang digunakan. Proses fermentasi juga perlu diatur suhunya, adanya proses aerasi, kadar air, dan kontaminasi dari mikroorganisme yang tidak diharapkan (Kasmidjo, 1990).

3. KESIMPULAN

Kecap merupakan hasil fermentasi dari kacang kedelai. Proses fermentasi kecap dibagi menjadi 2 tahp penting yaitu fermentasi koji dan fermentasi moromi. Inokulum yang ditambahkan adalah ragi tempe komersial yang merupakan Rhizopus sp. Fermentasi koji yang optimal adalah selama 2-4 hari. Fermentasi moromi yang baik adalah menggunakan larutan garam dengan konsentrasi 20%. Penambahan bahan-bahan (spices) berguna untuk menambahkan flavor pada kecap. Gula jawa mempunyai peran penting dalam proses pembuatan kecap, yaitu sebagai pemberi flavor dan memberikan warna coklat pada kecap. Semakin banyak gula yang ditambahkan dan semakin lama proses pemanasan akan menyebabkan kecap menjadi semakin coklat dan viskositasnya meningkat. Semakin tinggi konsentrasi inokulum yang ditambahkan proses fermentasi akan berjalan lebih cepat.

Semarang, 6 Juli 2015Asisten dosen: Abigail Sharon Frisca MeliaAnastasia Lamtara12.70.01084. DAFTAR PUSTAKA

Amalia, T. 2008. Pengaruh Karakteristik Gula Merah dan Proses Pemasakan Terhadap Mutu Organoleptik Kecap Manis. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian IPB.

Amstrong, S.B. 1995. Buku Ajar Biokimia Edisi Ketiga. Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Astawan, M. dan M.W. Astawan. 1991. Teknologi Pengolahan Nabati Tepat Guna Edisi Pertama. Akademika Pressindo. Bogor.

Atlas, R.M. 1984. Microbiology Fundamental And Applications. Mc Milland Publishing Company. New York.

Buckle, K. A.; R. A. Edwards; G. H. Fleet and M. Wooton. 1978. Food Science.Watson Ferguson & Co. Brisbane. Australia.

Cahyadi, W. 2006. Bahan Tambahan Pangan. Bumi Aksara. Jakarta.

Fachruddin, L. 1997. Membuat Aneka Dendeng. Kanisius. Yogyakarta.

Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan. P.T. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Feng, J.; Xiao-Bei, Z.; Zhi-Yong, Z.; Dong, W.; Li-Min, Z.; and Chi-Chung L. 2013. New Model for Flavour Quality Evaluation of Soy Sauce. Czech J. Food Sci. Vol. 31, No. 3: 292305.

Fukushima, D. 2004. Industrialization of Fermented Soy Sauce ProductionCentering Around Japanese Shoyu. Di dalam: Steinkraus, K. H. (ed.). Industrialization of Indigenous Fermented Foods Second Edition. Marcel Dekker, Inc., New York.

Hardjo, S. 1964. Pengolahan dan Pengawetan Kedelai untuk Bahan Makanan Manusia. Bagian Gizi Fakultas Kedokteran UI, Jakarta.

Judoamidjojo, R.M. 1987. The Studies on Kecap - Indigenous Seasoning of Indonesia. Thesis Doktor pada University of Agriculture, Japan.Kasmidjo, R.B. 1990. Tempe: Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta Pemanfaatannya. PAU UGM. Yogyakarta.

Masashi, K. 2006. Method of Brewing Soy Sauce. http://osdir.com/patents/Food-processes/Method-brewing-soy-sauce-07056543.html. Diakses tanggal 6 Juli 2015.

Muangthai, P.; Upajak, P.; and Patumpai, W. 2007. Study of Protease Enzyme and Amino Acid Contents in Soy sauce Production from Peagion Pea and Soy bean. KMITL Sci. Tech. J. Vol. 7 No. S2.

Nurlela, E. 2002. Kajian Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Warna Gula Merah. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. IPB, Bogor.

Peppler, H.J. and Perlman, D. 1979. Microbial Technology. Fermentation Technology. Academic Press. San Fransisco.

Purwoko, T dan Handajani, N.S. 2007. Kandungan Protein Kecap Manis Tanpa Fermentasi Moromi Hasil Fermentasi Rhizopus oryzae dan R. Oligosporus. Jurnal Biodiversitas Volume 8(2) p:223-227.

Rahayu, A.; Suranto, dan Purwoko, T. 2005. Analisis Karbohidrat, Protein, dan Lemak pada Pembuatan Kecap Lamtoro gung (Leucaenaleucocephala) terfermentasi Aspergillus oryzae. Jurnal Bioteknologi 2(1): 14-20.

Rahayu, E.S.; Indriati, R.; Utami, T.; Harmayanti, E. dan Cahyanto, M.N. 1993. Bahan Pangan Hasil Fermentasi. UGM. Yogyakarta.

Rahman, A. 1992. Teknologi Fermentasi. ARCAN Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB. Bandung.

Santoso, H.B. 1994. Kecap dan Taoco Kedelai. Kanisius. Yogyakarta.

Tarwiyah, K. 2001. Kecap.Dewan Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Industri. Sumatera Barat.

Tortora, G.J.; Funke, R. and Case, C.L. 1995. Microbiology. The Benjamin / Cummings Publishing Company, Inc. USA.Winarno, F.G.; Fardiaz, S. dan Fardiaz, D. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. PT.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Yanfang, Z and Tao W. 2009. Flavor and Taste Compounds Analysis in Chinese Solid Fermented Soy Sauce. African Journal of Biotechnology Vol. 8 (4), pp. 673-681.

15

5. LAMPIRAN5.1. Perhitungan

5.2. Laporan Sementara