Fenomen Perubahan Iklim Teerkait Dengan Kesehatan Masyarakat

29
Fenomena Perubahan Iklim Terkait Dengan Status Kesehatan Masyarakat 201 4 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fenomena telah terjadinya perubahan iklim (climate change) sepertinya tidak dapat lagi dipertentangkan. Berbagai penelitian ilmiah menggambarkan bahwa karbondioksida (CO2) di lapisan atmosfir yang merupakan konsekuensi hasil sisa pembakaran dari batu bara, kayu hutan, minyak, dan gas, telah meningkat hampir mendekati angka 20% sejak dimulainya revolusi industri. Kawasan perindustrian yang dibangun hampir di seluruh daratan benua dunia telah menghasilkan limbah “Gas Rumah Kaca” (GRK), seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), dan nitrousoksida (N2O), yang dapat menyebabkan terjadinya “efek selimut”. Efek inilah yang kemudian mangakibatkan naiknya suhu di permukaan bumi. Sebagai bahan perbandingan, konsentrasi GRK pada masa pra- industri di abad ke-19 baru sebesar 290 ppmv (CO2), 700 ppbv (CH2), dan 275 ppbv (N2O). Sedangkan pada saat ini, peningkatannya menjadi sebesar 360 ppmv (CO2), 1.745 ppbv (CH4), dan 311 ppbv (N2O). Dengan demikian, menurut para ahli, GRK untuk CO pada tahun 2050 diperkirakan akan mencapai kisaran 550 ppmv. 1 Pencemaran Lingkungan

Transcript of Fenomen Perubahan Iklim Teerkait Dengan Kesehatan Masyarakat

Fenomena Perubahan Iklim Terkait Dengan Status Kesehatan Masyarakat

Fenomena Perubahan Iklim Terkait Dengan Status Kesehatan Masyarakat2014

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Fenomena telah terjadinya perubahan iklim (climate change) sepertinya tidak dapat lagi dipertentangkan. Berbagai penelitian ilmiah menggambarkan bahwa karbondioksida (CO2) di lapisan atmosfir yang merupakan konsekuensi hasil sisa pembakaran dari batu bara, kayu hutan, minyak, dan gas, telah meningkat hampir mendekati angka 20% sejak dimulainya revolusi industri. Kawasan perindustrian yang dibangun hampir di seluruh daratan benua dunia telah menghasilkan limbah Gas Rumah Kaca (GRK), seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), dan nitrousoksida (N2O), yang dapat menyebabkan terjadinya efek selimut. Efek inilah yang kemudian mangakibatkan naiknya suhu di permukaan bumi. Sebagai bahan perbandingan, konsentrasi GRK pada masa pra-industri di abad ke-19 baru sebesar 290 ppmv (CO2), 700 ppbv (CH2), dan 275 ppbv (N2O). Sedangkan pada saat ini, peningkatannya menjadi sebesar 360 ppmv (CO2), 1.745 ppbv (CH4), dan 311 ppbv (N2O). Dengan demikian, menurut para ahli, GRK untuk CO pada tahun 2050 diperkirakan akan mencapai kisaran 550 ppmv.

Observasi lapangan dari stasiun meteorologi di Kutub Utara telah menunjukan adanya peningkatan temperatur suhu tahunan hingga 1C dalam satu generasi terakhir. Dampak buruk dari meningkatnya suhu tersebut adalah melelehnya gletser (melting of glaciers) dan tenggelamnya bongkahan es di wilayah Alaska dan Siberia, sehingga dapat menyebabkan naiknya permukaan laut hingga mampu menenggelamkan pulau-pulau dan menimbulkan banjir besar di berbagai wilayah dataran rendah.

Oleh karenanya, negara-negara kepulauan seperti Indonesia inilah yang nantinya akan dengan sangat mudah menerima efek dahsyat akibat meningkatnya ketinggian air laut dan munculnya topan badai. Lebih parahnya lagi, Indonesia sebagai negara yang menggunakan sebagian wilayah garis pantainya sebagai kunci aktivitas perekonomian, seperti misalnya di bidang pariwisata, perikanan bagi para nelayan, pertanian berbasis air, sistem pengendalian banjir, serta ekstrasi dan pengeboran minyak bumi-gas, sudah pasti akan menerima dampak negatif yang lebih besar akibat perubahan iklim apabila dibandingkan dengan negara-negara lainnya di dunia.

B. Rumusan Masalah1. Bagaimana Perubahan Iklim dan Pengaruh Terhadap Lingkungan dan Kesehatan ?2. Bagaimana Pengaruh Variabilitas Iklim Terhadap Water-Borne Diseases ?3. Bagaimana Pengaruh Curah Hujan, Temperatur dan Kelembaban Terhadap Kejadian Penyakit DBD, ISPA dan DIARE ?4. Bagaimana Perubahan Iklim yang Mempengaruhi Status Gizi ?

C. Tujuan1. Untuk mengetahui perubahan Iklim dan Pengaruh Terhadap Lingkungan dan Kesehatan 2. Untuk mengetahui pengaruh Variabilitas Iklim Terhadap Water-Borne Diseases3. Untuk mengetahui pengaruh Curah Hujan, Temperatur dan Kelembaban Terhadap Kejadian Penyakit DBD, ISPA dan DIARE 4. Untuk mengetahui perubahan Iklim yang Mempengaruhi Status Gizi.

BAB IIPEMBAHASAN

2.1 Perubahan Iklim dan Pengaruh Terhadap Lingkungan dan Kesehatan

Iklim dunia secara menyeluruh sedang mengalami kerusakan sebagai konsekuensi dari aktivitas manusia. Hal ini disebabkan oleh peningkatan konsentrasi gas-gas yang menghalangi pantulan energy sinar matahari dari bumi yang menyebabkan peningkatan efek rumah kaca dan mengakibatkan bumi, planet yang kita huni menjadi lebih panas. Hubungan antara perubahan iklim dengan kesehatan manusia adalah sangat kompleks. Terdapat dampak langsung seperti penyakit atau kematian yang berhubungan dengan suhu yang ekstrim dan efek pencemaran udara oleh spora dan jamur. Selebihnya adalah dampak yang tidak langsung dan mengakibatkan penyakit yang ditularkan melalui air atau makanan, penyakit yang ditularkan melalui vektor dan rodent, atau penyakit karena kekurangan air dan makanan.Perubahan iklim mengancam stabilitas ekosistem dan keanekaragaman mahluk hidup (biodiversity). Kerusakan sistem fisik dan ekologi bumi ini juga dapat dibuktikan dengan adanya penipisan lapisan ozon di stratosfer, penurunan keanekaragaman mahluk hidup, degradasi tanah, dan perubahan sistem atau siklus air.

A. Perubahan Iklim dan Variabilitas Iklim

Perlu dibedakan istilah perubahan iklim dengan variabilitas iklim. Perubahan iklim didefinisikan sebagai perubahan signifikan dari iklim maupun variabilitas iklim yang menetap dalam jangka waktu yang lama (satu dekade) atau seterusnya (IPCC, 2001). Perubahan iklim dapat disebabkan oleh proses perubahan alamiah internal (misalnya badai El Nino) maupun eksternal (seperti perubahan persisten yang diinduksi oleh aktivitas manusia, berupa perubahan komposisi udara dan perubahan peruntukan tanah).

Laporan terakhir The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyatakan bahwa pengetahuan ilmiah saat ini tentang bagaimana iklim akan berubah memberikan gambaran emisi gas rumah kaca dimasa mendatang. Laporan tersebut juga mengestimasi perubahan temperatur global antara 1,4oC dan 5,8oC pada akhir tahun 2100. Pembuat kebijaksanaan internasional bertujuan menjaga peningkatan temperatur global pada kisaran dibawah 2oC. Penemuan IPCC selanjutnya menyarankan bahwa efek pemanasan global akan menyebabkan peningkatan permukaan air laut, dan peningkatan dalam kejadian cuaca ekstrim, seperi ringkasan sebagai berikut (IPCC, 2001-a).

a. Temperatur permukaan bumi diproyeksikan meningkat antara 1,4oC sampai 5,8oC sebagai kisaran rata-rata global dari tahun 1990 sampai tahun 2010;b. Pemanasan (ekspansi thermal) dari lautan, bersamaan dengan pelelehan gletser dan es di daratan, akan menyebabkan permukaan air laut diproyeksikan naik 0,09 sampai 0,88 meter antara tahun 1990 sampai tahun 2010, hal ini akan berlangsung terus bahkan setelah konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi stabil;c. Kejadian cuaca ekstrim seperti gelombang panas, kekeringan, dan banjir diprediksi akan terus meningkat, demikian juga temperatur minimal yang lebih tinggi dan semakin sedikit hari-hariyang dingin;d. Gletser dan puncak es yang meleleh diproyeksikan akan terus semakin meluas selama abad XXI, dengan ancaman gletser tropis dan subtropis dan beberapa kasus akan menghilang.

B. Distribusi Global Perubahan Iklim

Efek perubahan iklim akan tidak sama di semua tempat, misalnya tidak semua populasi penduduk mengalami risiko banjir di daerah pantai. Banjir karena serangan badai telah mengancam 50 juta penduduk setiap tahun. Apabila permukaan air laut naik setinggi setengah meter, maka angka ini dapat meningkat dua kalinya. Hasil penelitian para ahli menunjukkan bahwa gletser di Greenland telah mencair dalam waktu yang lebih singkat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini akan membahayakan bagi masyarakat yang tinggal di daerah pantai yang rendah. Sebagai contoh jika permukaan air laut naik setinggi 1 meter, hal ini berdampak 1% tanah di Mesir; 6% tanah di Nederland; dan 17,5% tanah di Bangladesh akan tertutup air, serta hanya 20% tanah di Pulau Marshall yang terletak di atas permukaan air. Efek lain terhadap kesehatan manusia tidak didistribusikan secara merata. Efek pemanasan global terhadap lingkungan dan kesehatan tidak hanya karena distribusi yang tidak merata, melainkan juga tergantung dari kemampuan masing-masing negara yang terkena dampak untuk menangani perubahan tersebut.

C. Efek Terhadap Kesehatan Manusia

Walaupun efek perubahan iklim dan konsekuensi pemanasan global tidak dimengerti secara pasti, beberapa efek langsung terhadap pajanan peningkatan temperatur dapat diukur, seperti peningkatan kejadian penyakit yang berhubungan dengan kenaikan temperatur, peningkatan angka kematian karena gelombang udara panas seperti yang terjadi di Perancis tahun 2003. Kondisi iklim yang tidak stabil dapat juga menyebabkan peningkatan kejadian bencana alam, seperti badai, angin siklon puting beliung, kekeringan, dan kebakaran hutan, yang berdampak terhadap kesehatan fisik dan mental masyarakat yang terserang. Pola iklim yang terganggu juga menyebabkan efek tidak langsung terhadap kesehatan manusia. Efek terhadap pola hujan yang meningkatkan bencana banjir dapat menyebabkan peningkatan kejadian penyakit perut karena efeknya pada sumber air dan penyediaan air bersih, penyakit malaria, demam berdarah dengue, chikungunya dan penyakit lainnya yang ditularkan melalui rodent seperti leptospirosis. Efek tidak secara langsung ini menjadi sangat serius pada daerah di dunia dengan penduduk miskin. Terdapat sejumlah penyakit yang diprediksi prevalensinya akanmeningkat sebagai akibat perubahan iklim.

WHO (2004) telah mengidentifikasi beberapa penyakit yang sangat besar kemungkinan karena perubahan iklim telah menyebabkan terjadinya wabah. Telah direkomendasikan memasang sistem peringatan dini untuk memonitor perubahan distribusi penyakit. Beberapa penyakit yang bukan wabah juga berhubungan dengan perubahan iklim. Penggunaan teknologi dan pengindraan jarak jauh atau Geographical Information System (GIS) telah memungkinkan peningkatan pemetaan risiko beberapa penyakit, misalnya penyakit cacing perut. Terdapat sedikit variasi musim terhadap kejadian penyakit infeksi cacing, tetapi terdapat beberapa bukti bahwa kelembaban tanah adalah sangat penting (WHO, 2004) dan sangat dipengaruhi oleh perubahan iklim dan presipitasi air hujan. Pemetaan risiko secara geografis (geographical risk mapping) kecacingan seperti schistizomiasis dan filariasis telah ditangani dengan penggunaan data temperatur, presipitasi dan vegetasi.

Penyakit diare merupakan penyebab signifikan kesakitan dan kematian secara global. Dua juta anak-anak meninggal setiap tahunnya di negara dengan penduduk berpenghasilan menengah ke bawah walaupun sudah ada peningkatan penggunaan oralit untuk terapinya. Kesakitan dan kematian tersebut berhubungan dengan pemakaian air yang tidak memenuhi syarat kesehatan serta hygiene dan sanitasi lingkungan yang tidak memadai. Walaupun demikian, diare juga masih menjadi masalah di negara dengan penduduk berpenghasilan menengah ke atas, karena diare tidak hanya berhubungan dengan higiene dan sanitasi lingkungan, tetapi juga berhubungan dengan praktek higiene dan keamanan pangan. Terdapat variasi musiman dalam penyakit diare, dimana pada peningkatan temperatur berhubungan dengan peningkatan jumlah penderita diare yang masuk rumah sakit di semua bagian belahan bumi ini. Studi yang dilakukan di Peru menunjukkan bahwa penderita diare yang masuk rumah sakit meningkat sebanyak 4% untuk setiap peningkatan temperatur 1oC di musim kemarau, dan meningkat 12% untuk setiap peningkatan temperatur 1oC di musim penghujan. Di Fiji studi pada hal yang sama menunjukkan adanya peningkatan kasus bulanan 3% untuk setiap peningkatan temperatur per 1oC (Singh et al., 2001).

Pemanasan global yang terjadi menyebabkan perubahan iklim dan cuaca di seluruh dunia. Sebagian belahan dunia menjadi lebih kering, dan sebagian lagi menjadi lebih basah. Sebagian dunia ada yang menjadi lebih panas dan sebagian lagi menjadi lebih dingin. Semua itu mempengaruhi spesies yang hidup didalamnya, khususnya nyamuk yang sangat peka terhadap perubahan cuaca yang terjadi secara cepat. Perubahan iklim secara tidak langsung mempengaruhi distribusi, populasi, serta kemampuan nyamuk dalam menyesuaikan diri (Patz, 2006). Nyamuk Aedes sebagai vektor penyakit demam berdarah dengue (DBD) hanya berkembang biak pada daerah tropis yang temperaturnya lebih dari 16oC dan pada ketinggian kurang dari 1.000 meter di atas permukaan air laut. Namun sekarang nyamuk tersebut telah banyak ditemukan pada daerah dengan ketinggian 1.0002.195 meter di atas permukaaan air laut. Pemanasan global menyebabkan suhu beberapa wilayah cocok untuk berbiaknya nyamuk Aedes, dimana nyamuk ini dapat hidup optimal pada suhu antara 24-28 oC. Karena itu mudah difahami bahwa perubahan iklim karena pemanasan global memperluas ruang gerak nyamuk Aedes sehingga persebaran daerahnya menjadi lebih luas. Perluasan persebaran daerah ini akan meningkatkan risiko terjangkitnya penyakit DBD di suatu daerah yang sebelumnya belum pernah terjangkit. Secara umum dapat dikatakan bahwa perubahan iklim meningkatkan curah hujan yang berdampak pada meningkatnya habitat larva nyamuk sehingga meningkatkan kepadatan populasi nyamuk. Peningkatan kelembapan juga meningkatkan agresivitas dan kemampuan nyamuk menghisap darah dan berkembang biak lebih cepat.

2.2 Pengaruh Variabilitas Iklim Terhadap Water-Borne Diseases.

1. Water-Borne Diseases

Water-Borne Diseases, adalah penyakit pada individu atau kelompok penduduk yang peka, disebabkan oleh kuman patogen, yang berada di media air, dengan pola penularan melalui saluran pencernaan, pernapasan, absorbsi kulit dari organisme mikroba, ataupun algae yang beracun, semua tersebut akibat kualitas air, karena kondisi hygiene dan sanitasi sebagai peran utama tidak dijaga (Frost F.J. et al, 1996) Variabilitas iklim disuatu daerah mengakibatkan adanya variasi suhu udara, kelembaban, curah hujan, serta limpasan air, mempunyai potensi atas perkembangan kehidupan microbial agents, dengan lebih dari 100 tipe bacteria pathogen, virus, dan protozoa, khususnya dalam air kotor ( Feachem R,et al.,1981; Bitton G.,et al.,1986.;Mara D and Feachem RGA, 1999).

Paparan waterborne diseases, juga foodborne diseases dapat terjadi melalui air minum, terutama yang tercemar kotoran manusia, juga ikan laut (baik adanya toksin, mikroba, atau karena buangan aiur kotor),atau dari sumber air olahan, baik dari bahan baku air irigasi ataupun air yang tercemar .( Rose J.B.,et al.2001). Khusus untuk waterborne diseases, adanya pengaruh variabilitas iklim menyebabkan limpasan air hujan, beban air kotor kota, rembasan dari septictank, sistem olahan air kotor yang terkombinasi antara saluran irigasi dan saluran air hujan menjadi berat. Di sisi lain gelombang laut dapat membawa sampah, termasuk hewan mati, kotoran manusia dan juga air kotor yang tak terolah (Craun GF, 1991).

2. Sumber kontaminasi dan Pola alur paparan

Banyak sekali alur masuknya sumber pencemaran ke dalam media air, dengan adanya variabilitas iklim , sehingga berpengaruh kepada manusia yang peka, terhadap pathogen yang berada di media air, dengan peran utama kondisi higiene dan sanitasi , baik melalui inhalasi, absorbsi kulit, toksin di algae (ganggang). Sebagai contoh, agent pathogen masuk melalui air minum yang tercemar, memakan makanan ikan laut yang diternak di air yang tercemar, maupun makan ikan dari air irigasi, maupun air tercemar yang sudah diproses (Frost F.J and Craun G.F, 1996). Masuknya sumber pencemar tersebut, juga bisa melalui kontak dengan air tercemar dari usaha komersil, seperti dalam usaha tempat pancing, atau tempat rekreasi, kolam renang (ASM, 1998).

Kualitas air sangat tergantung atas pengelolaan air dan tanah, baik dari bahan baku air yang ada, maupun dari air laut yang secara langsung atau tidak langsung dipengaruhi oleh titik masuknya zat pencemar, seperti industri, aktifitas kota, pertanian (Craun GF, 1991). Beban ekologis air semakin berat oleh adanya variabiliutas iklim, selain berpengaruh terhadap kehidupan hewan liar, melimpahnya mikroba secara alamiah, dan juga melimpahnya air laut karena system yang ada, sangat mempengaruhi kesehatan manusia (NRC, 1990; Epstein P.R.,et al.,1998).

3. Beberapa gangguan kesehatan akibat waterborne diseases

Salah satu penyakit yang merupakan kombinasi dari waterborne diseases dan food-borne diseases yang mempunyai insidens tinggi dan hamper menyebar ke dunia, terutama di Negara dengan kondisi sanitasi yang tidak memenuhi syarat, adalah penyakit kholera / cholera. Pada air laut sering ditemui Vibrio bacteria, yang salah satu penyebab penyakit kholera, dan sangat terkait dengan makanan sebagai medianya (Epstein PR, 1993).Disamping hal tersebut terkorelasi dengan kholera adalah penderita diare, walaupun penderita diare dapat disebabkan oleh berbagai penyebab, namun kholera menimbulkan morbiditas dan mortalitas yang bermakna.

Cholera, adalah penyakit dengan penyebab V. cholerae patogen. Seperti halnya semua V. cholerae, vibrio ini pertumbuhannya bertambah cepat pada lingkungan dengan NaCl 1%. V. cholera strain non - O1 atau non-0139 jarang sekali memproduksi toksin kolera atau membawa faktor-faktor kolonilisasi dari strain O1 dan O139 yang dapat menimbulkan wabah. (Dep.Kes RI, 2008).Vibrio cholerae sebagai penyebab penyakit cholera merupakan pathogen dari air pantai, yang menyebabkan terjadinya banyak kematian terutama di daerah yang kondisi sanitasi yang jelek dan daerah yang relatif penduduknya tertinggal atau miskin ( Mourino P.R.R.et al.2003). Di sisi lain peran Vibrio cholerae sangat bermakna untuk menyebar karena perubahan ekosistem, terutama oleh perubahan iklim (Colwell, R. R., and J. A. Patz. 1997, Epstein, P. R. 1995).

Keterkaitan dengan perubahan iklim banyak peneliti menyatakan, bahwa keberadaan Vibrio cholerae sangat didukung oleh kehidupan zooplankton dilaut, yaitu pada pelagic plankton , khususnya pada copepod zooplankters, dan pada daerah wabah sangat berhubungan dengan berkembangnya phytoplankton dimaksud (Lobitz, B.,2000). Keberadaan Vibrio cholerae di air laut menjadi lebih berkembang pesat oleh adanya limpasan air, akibat banjir, yang lebih disebabkan oleh perubahan iklim, dan menjadikan air banyak mengandung organik yang terlarut , dissolved ox gen ( Mourino P.R.R.et al.2003) .

Di Indonesia, penderita kholera, hampir merata di beberapa Provinsi, namun pada awal April sampai dengan awal Agustus 2008 di Prponsi Papua , menelan korban 105 jiwa dari penderita diare-kolera, yang seabgian besar dari kabupaten Nabire dan Kabupaten Panilai (Ditjen PP&PL Depkes RI, 2008). Hasil riset kesehatan dasar Departemen Kesehatan RI , tahun 2008, bahwa kematian bayi tahun 2007 terbanyak adalah disebabkan oleh diare yatu 31,4 % (Balibangkes, 2008). Secara umum diare dimaksud penyebabnya berbagai kuman, diantaranya kolera, namun yang pasti didominasi oleh golongan water borne diseases. Kejadian penyakit kolera di dunia yang terkait oleh variabilitas iklim dan konsekuensi yang timbul, misalnya badai, banjir dan yang lain semakin tahun meningkat. Secara empiris kejadian peningkatan penyakit kolera berkorelasi dengan adanya variabilitas iklim pertahunnya(Hartman DL, 2002). Sebagai contoh adanya kejadian ENSO ( El Nio/Sothern Oscillation ) yang berakibat kenaikan suhu menyebabkan di Peru selama tahun 1997 /1998 penderita diare yang rawat inap meningkat 2 kali lipat (Rose JB, et al, 2000)

2.3 Pengaruh Curah Hujan, Temperatur dan Kelembaban Terhadap Kejadian Penyakit DBD, ISPA dan DIARE

Penelitian tentang iklim dengan penyakit ISPA dan diare diambil dari beberapa jurnal dalam dan luar negeri. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh curah hujan, temperatur dan kelembaban udara terhadap kejadian penyakit DBD, ISPA dan diare. Adanya pengaruh yang bermakna antara curah hujan, temperatur dan kelembaban terhadap kejadian penyakit DBD, ISPA dan diare menandakan perlu adanya kerjasama antara Badan Meteorolgi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dengan Dinas Kesehatan dengan tujuan untuk mencegah, memprediksi dan menangani secara tepat Kejadian Luar Biasa DBD, ISPA, Diare.

Banyak faktor yang berkontribusi terhadap kejadian penyakit. Blum (1974) menyatakan bahwa lingkungan merupakan salah satu faktor penentu terjadinya penyakit. Berbagai studi telah dilakukan untuk mengkaji keterkaitan antara faktor-faktor lingkungan dengan kejadian penyakit. Dalam beberapa dekade terakhir, telah terjadi perubahan iklim secara bermakna. Perubahan tersebut akan berpengaruh pula terhadap kemungkinan terjadinya penyakit.

Curah hujan yang tinggi akan menambah jumlah tempat perindukan nyamuk alamiah. Perindukan nyamuk alamiah di luar ruangan selain di sampah-sampah kering seperti botol bekas, kaleng-kaleng juga potongan bambu sebagai pagar sering dijumpai di rumah-rumah penduduk desa serta daun-daunan yang memungkinkan menampung air hujan merupakan tempat perindukan yang baik untuk bertelurnya Aedes aegypti (Prihatnolo, 2009). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kennet F (1993) dalam Sitorus (2003), mengatakan bahwa sebanyak 120% peningkatan kasus DBD diikuti dengan curah hujan bulanan lebih dari 300 mm, Kennet juga menyatakan bahwa 2-3 bulan setelah hujan lebat maka akan terjadi KLB DBD. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa di akhir musim hujan kejadian DBD akan meningkat karena genangan air hujan berpotensi menjadi tempat yang potensial untuk perkembangbiakkan larva nyamuk Aedes aegypti. Mintarsih dan kawan-kawan (1996) dalam penelitian yang dilakukan di Salatiga, bahwa suhu rata-rata mingguan dalam rumah yang berkisar antara 21,95-25,050C umur nyamuk Aedes aegypti memerlukan waktu sekitar 50 hari, sedangkan suhu rata-rata luar rumah yang berkisar antara 22,29-24,470C umur nyamuk Aedes aegypti memerlukan waktu sekitar 52 hari. Menurut Sukamto (2007), Nyamuk Aedes aegypti akan meletakkan telurnya pada temperatur udara sekitar 250 300C. Telur yang diletakkan dalam air akan menetas pada waktu 75 jam atau 3 sampai 4, tetapi pada temperature -170C hanya dapat bertahan selama 1 jam. Menurut Gobler dalam Awida Roose (2008), kelembaban udara mempengaruhi umur nyamuk. Pada suhu 200C kelembaban nisbi 27% umur nyamuk betina 101 hari dan umur nyamuk jantan 35 hari, kelembaban nisbi 55% umur nyamuk betina 88 hari dan nyamuk jantan 50 hari. Pada kelembaban nisbi kurang dari 60% umur nyamuk akan menjadi pendek, tidak dapat menjadi vektor, karena tidak cukup waktu untuk perpindahan virus dari lambung ke kelenjar ludah. Oleh karena itu, kelembaban udara lebih dari 60% membuat umur nyamuk Aedes aegypti menjadi panjang serta potensial untuk perkembangbiakkan nyamuk Aedes aegypti.

Penyebab utama dari penyakit ISPA adalah kemiskinan, polusi udara dan adanya perubahan iklim pada setiap negara. Kebakaran hutan yang intensitasnya meningkat pada saat musim kemarau menghasilkan kualitas udara yang buruk dan menurunkan derajat kesehatan penduduk di sekitar lokasi. Penyakit yang timbul adalah asma, bronkhitis dan ISPA (Wahyu Surakusumah, 2011).

Menurut JG Ayres dan kawan-kawan (2009) dalam jurnalnya mengatakan bahwa peningkatan kasus penyakit infeksi pernafasan kemungkinan dipengaruhi oleh curah hujan ekstrim yang menyebabkan suatu wilayah menjadi dingin. Musim dingin di negara-negara tropis diikuti oleh peningkatan kasus infeksi pernafasan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Luiz Gustavo Gardinassi dan kawan-kawan (2012), menyatakan bahwa suhu dan kelembaban udara berkorelasi positif dengan virus penyakit pernafasan terhadap anak-anak di bagian tenggara Brasil. Hasil penelitian menunjukkan ketika suhu dan kelembaban udara menurun, virus infeksi saluran pernafasan cenderung meningkat. Pada kelembaban relatif sebesar 75% virus pernafasan terdapat dalam beberapa sampel laboratorium.

Ayres dan kawan-kawan (2009) juga mengatakan bahwa curah hujan yang berlebihan akan membuat rumah menjadi lembab, curah hujan tidak menentu dan kebanyakan penderita yang tinggal di kawasan padat penduduk karena sirkulasi dan sanitasi yang kurang baik merupakan penyebab terjadinya penyakit Pernafasan Kronis seperti ISPA, sedangkan menurut Mairusnita (2007), dampak pada saat musim hujan akan terjadinya kepadatan hunian yang berpengaruh terhadap terjadinya cross infection, dimana ketika ada penderita ISPA yang berada dalam satu ruangan, maka pada saat batuk/bersin melalui udara akan mempercepat proses penularan terhadap orang lain. Bahwa cuaca panas dapat mengakibatkan kelelahan terhadap manusia karena hawa panas menyebabkan banyaknya keringat yang dikeluarkan, sehingga mengalami dehidrasi. Begitu juga dengan anak-anak dan balita dapat terkena penyakit flu, batuk, pilek, demam, gangguan saluran pernapasan, masuk angin, gangguan pencernaan, alergi, dan yang paling berbahaya adalah Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Salah satu faktor terjadinya penyakit ISPA adalah kelembaban (Brussels, 2010).

Menurut Mairusnita (2007), kelembaban udara yang terjadi diakibatkan oleh adanya musim hujan, sehingga menyebabkan bakteri akan bertahan lebih lama dan dalam kondisi rumah yang tidak dilengkapi ventilasi yang baik, maka akan mempercepat proses penularan penyakit.

Curah hujan yang tinggi berpotensi dapat meningkatkan banjir. Pada saat banjir, maka sumber-sumber air minum masyarakat, khususnya sumber air minum dari sumur dangkal akan banyak ikut tercemar. Di samping itu, pada saat banjir biasanya akan terjadi pengungsian di mana fasilitas dan sarana serba terbatas termasuk ketersediaan air bersih. Itu semua menjadi potensial menimbulkan penyakit diare disertai penularan yang cepat (Yoga, 2012).

Menurut Khrisma Wijayanti (2008), salah satu penyakit yang meningkat pada saat perubahan iklim adalah penyakit diare yang penyebab utamanya kebanyakan disebabkan oleh bakteri E.Coli. Menurut Entjang dalam penelitian yang dilakukan oleh salah satu Universitas, Eschericia coli merupakan indikator yang paling baik untuk menunjukkan bahwa air rumah tangga sudah dikotori feces manusia. Eschericia coli merupakan flora normal, hidup di dalam colon manusia dan akan menimbulkan penyakit bila masuk ke dalam organ atau jaringan lain, salah satunya adalah penyakit diare. Putri Wijayanti (2009) dalam penelitiannya mengatakan, bahwa salah satu penyebab diare adalah tercemarnya makanan dan minuman oleh bakteri yang dibawa oleh lalat. Lalat dianggap mengganggu karena kesukaannya hinggap di tempattempat lembab dan kotor seperti sampah. Jika makanan yang dihinggapi lalat, maka dapat menyebabkan penyakit diare. Menurut Departemen Kesehatan bahwa lalat merupakan serangga yang penyebarannya memerlukan kelembaban sebesar 90%. Cahaya, temperature dan kelembaban merupakan faktor yang mempengaruhi penyebaran lalat. Perkembangbiakkannya memerlukan suhu sekitar 200C-250C dan kelembaban yang optimal sebesar 90%, serta untuk istirahatnya memerlukan suhu sekitar 300C -350C. Aktifitas lalat akan terhenti pada suhu