Perubahan Iklim di Indonesia

185
Adaptasi dan Migasi Perubahan Iklim di Indonesia Edvin Aldrian Mimin Karmini Budiman Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara Kedepuan Bidang Klimatologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Jl. Angkasa I No. 2 Kemayoran, Jakarta Pusat 10720 Telp.: 021-4246321 Faks.: 021-4246703 hp://www.bmkg.go.id BMKG M asyarakat dunia kini dihantui perubahan iklim dengan berbagai dampaknya. Sebagai negara kepulauan, Indonesia mengalami dampak yang dak ringan. Anomali cuaca seper banjir, kekeringan, dan badai kerap terjadi bahkan semakin nggi intensitasnya. Di beberapa daerah, suhu udara kian menyengat sehingga mengubah perilaku petani bercocok tanam. Gelombang laut yang nggi juga membuat nelayan tak berani melaut menangkap ikan. Di sisi lain, permukiman beserta sarana infrastruktur di kawasan pesisir juga mulai terendam akibat kenaikan muka air laut. Fenomena tak lazim tersebut jelas memerlukan upaya serius. Lalu upaya migasi dan adaptasi apa saja yang dapat dilakukan dalam menghadapi perubahan iklim? Di buku inilah Anda akan diajak untuk bukan saja mengenali dan memahami perubahan iklim. Namun lebih dari itu, Anda pun dapat ikut berperan akf dalam berbagai upaya migasi dan adaptasi perubahan iklim. Adaptasi dan Migasi Perubahan Iklim di Indonesia Edvin Aldrian Mimin Karmini Budiman Edvin Aldrian Mimin Karmini Budiman

Transcript of Perubahan Iklim di Indonesia

Page 1: Perubahan Iklim di Indonesia

Adaptasi dan M

itigasi

Perubahan Iklim di Indonesia

Edvin Aldrian M

imin Karm

ini Budiman

Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas UdaraKedeputian Bidang Klimatologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Jl. Angkasa I No. 2 Kemayoran, Jakarta Pusat 10720 Telp.: 021-4246321 Faks.: 021-4246703http://www.bmkg.go.idBMKG

Masyarakat dunia kini dihantui perubahan iklim dengan berbagai dampaknya. Sebagai negara kepulauan, Indonesia mengalami

dampak yang tidak ringan. Anomali cuaca seperti banjir, kekeringan, dan badai kerap terjadi bahkan semakin tinggi intensitasnya.

Di beberapa daerah, suhu udara kian menyengat sehingga mengubah perilaku petani bercocok tanam. Gelombang laut yang tinggi juga membuat nelayan tak berani melaut menangkap ikan. Di sisi lain, permukiman beserta sarana infrastruktur di kawasan pesisir juga mulai terendam akibat kenaikan muka air laut.

Fenomena tak lazim tersebut jelas memerlukan upaya serius. Lalu upaya mitigasi dan adaptasi apa saja yang dapat dilakukan dalam menghadapi perubahan iklim?

Di buku inilah Anda akan diajak untuk bukan saja mengenali dan memahami perubahan iklim. Namun lebih dari itu, Anda pun dapat ikut berperan aktif dalam berbagai upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Adaptasi dan Mitigasi

Perubahan Iklim di Indonesia

Edvin Aldrian M

imin Karm

ini Budiman

Edvin Aldrian Mimin Karmini Budiman

Page 2: Perubahan Iklim di Indonesia

Adaptasi dan MitigasiPerubahan Iklim di Indonesia

Dr. Edvin Aldrian, B.Eng., M.Sc., APUDra. Mimin Karmini, M.Sc

Ir. Budiman, MSi

Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas UdaraKedeputian Bidang Klimatologi

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG)2011

Page 3: Perubahan Iklim di Indonesia

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

Lingkup Hak CiptaPasal 21. Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan

atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan PidanaPasal 72:1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1(satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

Penerbitan buku ini disponsori olehIndonesian Climate Change Trust Fun (ICCTF)

ICCTF

Page 4: Perubahan Iklim di Indonesia

Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim di Indonesia

Pertama kali diterbitkan dalam Bahasa IndonesiaOleh Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara, Kedeputian Bidang Klimatologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG)Jl. Angkasa I No. 2 Kemayoran Jakarta Pusat 10720 Telp.: 021-4246321 Faks.: 021-4246703http://www.bmkg.go.id

Penulis : Dr. Edvin Aldrian, B.Eng., M.Sc., APU, Dra. Mimin Karmini, M.Sc., dan Ir. Budiman, MSi

Penyunting : Dedi Sucahyono, M.Si dan Indah Budiani, S.H., M.Sc

Kontributor : Radhita Purwaningtyas, S.SiDesign Graphic : Amir

Design Cover : M Kholid Afandi

Penyelaras Bahasa : Slamet WidayadiTim Pendukung : Nurmala Faridha, S.IK, N Apriella Lestari, S,IK, Eko Wahyudi, S.E, & Ajie Parikesit, S.E

Hak cipta dilindungi Undang-undangdilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim di Indonesia

Diterbitkan oleh:Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas UdaraKedeputian Bidang KlimatologiBadan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisikax + 174 halaman, 17,6 cm x 25 cmISBN: ...............................

Page 5: Perubahan Iklim di Indonesia

iv

Kata Pengantar

Assalamu’alaikum Wr. Wb.Salam sejahtera bagi Kita semua.

Puji syukur kami panjatkan pada Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas perkenaan-Nya buku saku “Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim” dapat diterbitkan.

Buku saku ini berisikan tentang perubahan iklim dan upaya adaptasi serta mitigasinya, yang diperuntukkan kalangan masyarakat luas, khususnya petani, nelayan, dan siswa SD sampai dengan SMU. Kami berusaha menyajikan buku ini secara sederhana agar mudah difahami oleh masyarakat luas.

Buku saku ini juga merupakan rangkuman dari modul-modul yang telah dibuat oleh Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, BPPT, dan survei yang dilakukan oleh LIPI. Program tersebut terselenggara atas kerja sama dan dukungan dari Indonesian Climate Change Trust Fund (ICCTF) Bappenas.

Penerbitan buku saku perubahan iklim ini adalah salah satu upaya BMKG untuk melakukan sosialisasi perubahan iklim secara luas dalam arti definisi, proses, dampak, dan upaya penanggulangan melalui program adaptasi dan mitigasi. Kegiatan ini merupakan salah satu bentuk wujud aktivitas sosial BMKG kepada masyarakat terutama untuk melihat peluang dan tantangan yang kita hadapi dalam hal perubahan iklim terutama dalam mendukungan ketahanan pangan nasional. Pada akhirnya masyarakat diharapkan untuk melihat isu perubahan iklim dari sisi positif lebih besar untuk dapat meningkatkan peluang adaptasi dan melakukan program mitigasi sebesar dan seluas-luasnya. Selain itu, setelah membaca buku ini diharapkan masyarakat akan lebih akrab dengan jenis layanan informasi iklim dan perubahan iklim yang dikeluarkan oleh BMKG.

Page 6: Perubahan Iklim di Indonesia

v

Kami berharap, buku saku ini bisa dijadikan sebagai salah satu acuan dalam pembelajaran dan memahami dasar perubahan iklim serta upaya apa yang dapat dilakukan masyarakat baik untuk adaptasi maupun mitigasi dalam menghadapi fenomena perubahan iklim yang telah, sedang, dan akan terjadi di Indonesia. Seluruh permasalahan yang dikemukakan dalam penerbitan buku ini diangkat dari berbagai contoh kasus yang ada di Indonesia. Dengan demikian diharapkan tumbuhnya kesadaran tinggi di masyarakat bahwa perubahan iklim di Indonesia merupakan sebuah fakta yang tidak terbantahkan dan bukan merupakan cerita fiksi dari negara maju.

Akhirnya, saya selaku Kepala BMKG menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada UNDP dan ICCTF yang telah memberikan kepercayaan kepada kami dalam melaksanakan Program “Public Awareness, Training and Education Program on Climate Change Issue for all level of Societies, Mitigation and Adaptation”. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua instansi, baik di pusat dan daerah yang telah berpartisipasi dalam pelaksanaan program ini, tim kerja dari ICCTF-BMKG, dan semua pihak yang telah mendukung upaya dari penulisan hingga penerbitan buku ini.

Semoga Allah SWT meridhoi seluruh jerih payah kita dan dapat bermanfaat, berhasil guna serta tujuan dari program ini dapat tercapai.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta, November 2011.Kepala BMKG,

Dr. Ir. Sri Woro B. Harijono, MSc.

Page 7: Perubahan Iklim di Indonesia

vi

Prakata

Perubahan iklim merupakan salah satu topik yang sedang hangat dibicarakan baik pada tataran praktis hingga pada ranah politis. Terlepas dari panjangnya diskusi permasalahan ini, perubahan iklim telah, sedang

dan akan terus terjadi. Dalam hubungan tersebut dan berhubungan dengan letak geografis, maka Indonesia sangat rentan untuk menerima dampak pemanasan global dan perubahan iklim. Sebagai negara beriklim tropis dikelilingi oleh laut dan memiliki peran hutan yang penting sebagai paru paru dunia, maka tanggung jawab untuk menjaga kelestarian lingkungan dari dampak perubahan iklim menjadi meningkat. Peran Indonesia dalam mengatasi isu pemanasan global dan perubahan iklim bukan hanya sebagai kontribusi nasional untuk tingkat Internasional tetapi juga sebagai bentuk warisan untuk generasi mendatang sebagai bentuk survival sebagai bangsa. Hal ini dikarenakan dampak perubahan iklim akan menggerus kapasitas dukung lingkungan sehingga terus menurun dan pada akhirnya mengancam kesinambungan pembangunan berkelanjutan. Beberapa ancaman yang terlihat adalah peningkatan suhu permukaan, peningkatan paras muka laut, cuaca ekstrim, polutan udara yang meningkat dll.

Dalam memberikan pemahaman apa itu pemanasan global dan apa itu perubahan iklim kepada masyarakat diperlukan suatu bahan bacaan yang mudah dicerna, lugas dan memberikan pengertian sederhana. Saat ini masih seringkali terjadi kesalahan pemahaman mengenai hubungan pemanasan global dan perubahan iklim dan bagaimana proses terjadinya. Selain itu masyarakat juga perlu diberikan pemahaman bahwa isu perubahan iklim bukanlah sebuah dongeng negara maju melainkan sudah benar terjadi di bumi Indonesia dengan segala bukti nyata didepan mata. Kita patut bersyukur bahwa saat ini Indonesia

Page 8: Perubahan Iklim di Indonesia

vii

memiliki seluruh bukti utama terjadinya pemanasan global yaitu peningkatan suhu muka bumi yang diwakili oleh suhu laut, peningkatan konsentrasi gas rumah kaca dan penurunan lapisan es daratan. Indonesia adalah satu dari 3 wilayah tropis yang masih memiliki salju abadi dan terus meleleh. Pada kasus perubahan iklim, berbagai bukti yang telah terjadi dapat kita lihat di bumi Indonesia seperti kasus tahun tanpa kemarau 2010 yang memberikan kekacauan ekologis dan dampak ekonomis di masyarakat.

Pada akhirnya masyarakat perlu diberi pemahaman bahwa perubahan iklim bukanlah momok yang perlu ditakuti tetapi memberikan peluang untuk dapat berkembang kemuka dan dapat meningkatkan kapasitas adaptasi bersama dalam menghadapinya. Tentu saja peningkatan kapasitas tersebut harus sesuai dengan karakter perrmasalahan yang kita hadapi bersama dan bukannya cocok untuk kasus di wilayah lain. Selain itu peningkatan peran masyarakat diperlukan untuk melakukan berbagai program mitigasi perubahan iklim baik secara individu maupun komunal.

Peran serta masyarakat juga harus didukung oleh kebijakan publik oleh berbagai instansi pemerintah yang berhubungan dalam penanganan isu perubahan iklim. Pembahasan diperlukan juga untuk melihat peran berbagai institusi dan bagaimana koordinasi dan sinergi yang diharapkan. Manajemen kebijakan perubahan iklim pada tataran nasional dan internasional perlu dikenalkan kepada masyarakat sehingga dapat menjadi acuan untuk hal hal yang selama ini sering dipertanyakan dan diberitakan di media masa. Pada akhirnya sosialisasi kepada masyarakat diperlukan untuk memahami peran institusi yang memberikan pelayanan informasi perubahan iklim pada tingkat dasar. Informasi tersebut merupakan informasi utama yang menunjukkan apa benar perubahan iklim sudah terjadi di bumi Indonesia.

Dengan berbagai lingkup bahasan diatas dan keterbatasan informasi yang ada, buku ini diharapkan dapat memberikan pandangan yang umum mengenai apa yang terjadi dalam hal perubahan iklim di benua maritim Indonesia. Buku ini disusun berdasarkan masukan selama kegiatan pelaksanaan program Indonesian Climate Change Trust Fund (ICCTF) di Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dan bekerja sama dengan Kementrian Pertanian, Kementrian Kelautan dan Perikanan, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Materi yang disusun berdasarkan isi dari modul Trainer of Trainers (ToT) untuk Penyuluh Pertanian dan Penyuluh Perikanan, modul ajar Kurikulum Perubahan Iklim untuk tingkat SD, SMP, SMU dan SMK dan hasil studi lapangan sosialisasi perubahan iklim kepada petani dan nelayan melalui program radio komunitas.

Page 9: Perubahan Iklim di Indonesia

viii

Penulis menyampaikan rasa syukur dan terima kasih kepada pihak yang telah membantu secara langsung maupun tidak langsung dalam penerbitan buku ini. Ucapan terima kasih disampaikan kepada ICCTF sebagai penyandang dana dalam kegiatan sosialisasi, kepada Kepala BMKG beserta jajarannya yang telah mendukung pelaksanaan program sosialisasi, tim kerja pendukung ICCTF dari Kemtan, Kem KP, Kemdikbud, BPPT dan LIPI serta dari rekan kerja di BMKG. Penulis juga turut menyampaikan terima kasih kepada tim managerial pendukung kerja yaitu unit Program Management Unit (PMU).

Akhirnya penulis mengharapkan bahwa buku ini dapat menjadi sumbangsih pemahaman umum terhadap perubahan iklim yang terjadi di bumi benua maritim Indonesia. Buku ini diharapkan dapat menjadi konsumsi umum bagi siswa, praktisi dan pemerhati masalah perubahan iklim hingga pada satuan kelompok tani dan nelayan.

November 2011

Page 10: Perubahan Iklim di Indonesia

ix

Daftar Isi

iv Kata Pengantar Kepala BMKGvi Prakata

1 BAB 1. PLANET BUMI DAN ATMOSFER1 1.1 Bumi4 1.2 Atmosfer

9 BAB 2. CUACA, IKLIM , DAN MUSIM13 2.1 Cuaca15 2.2 Iklim22 2.3 Musim

27 BAB 3. EFEK RUMAH KACA, GAS RUMAH KACA, DAN PEMANASAN GLOBAL

27 3.1 Efek Rumah Kaca31 3.2 Gas Rumah Kaca33 3.3 Pemanasan Global

39 BAB 4. PERUBAHAN IKLIM

47 BAB 5. INDIKASI TERJADINYA PEMANASAN GLOBAL DI INDONESIA47 5.1 Peningkatan Konsentrasi GRK51 5.2 Peningkatan Suhu Muka Bumi54 5.3 Peningkatan Paras Muka Laut57 5.4 Berkurangnya Tutupan Salju di Daratan

63 BAB 6. INDIKASI TERJADINYA PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA 63 6.1 Perubahan Suhu Daratan67 6.2 Peningkatan Curah Hujan Ekstrem68 6.3 Maju Mundurnya Musim73 6.4 Perubahan Jumlah Volume Hujan

Page 11: Perubahan Iklim di Indonesia

x

83 BAB 7. DAMPAK PERUBAHAN IKLIM83 7.1 Dampak Fisik97 7.2 Dampak Nonfisik

107 BAB 8. ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM108 8.1 Komponen Adaptasi Perubahan Iklim111 8.2 Kebijakan Menghadapi Perubahan Iklim114 8.3 Berbagai Usaha Adaptasi yang Bisa Dilakukan Masyarakat116 8.4 Beberapa Upaya Adaptasi yang Dilakukan Kementerian Pertanian124 8.5 Beberapa Upaya Adaptasi yang Dilakukan Kementerian Kelautan

dan Perikanan

129 BAB 9. MITIGASI PERUBAHAN IKLIM130 9.1 Permasalahan Utama Mitigasi Perubahan Iklim di Indonesia132 9.2 Berbagai Aktivitas Manusia yang Menghasilkan GRK134 9.3 Upaya Praktis Dalam Mitigasi Perubahan Iklim135 9.4 Upaya Mitigasi yang Dilakukan Kementerian Pertanian139 9.5 Upaya Mitigasi yang Dilakukan Kementerian Kelautan dan

Perikanan

141 BAB 10. MANAJEMEN PERUBAHAN IKLIM141 10.1 Tinjauan Internasional146 10.2 Tinjauan Kebijakan Nasional

153 BAB 11. JENIS INFORMASI PERUBAHAN IKLIM DARI BMKG

167 KATA PENUTUP

171 DAFTAR PUSTAKA

173 SEKILAS PENULIS

Page 12: Perubahan Iklim di Indonesia

Planet Bumi dan Atmosfer

Planet Bumi dan atmosfer merupakan satu kesatuan ekosistem yang tidak dapat terpisahkan. Keduanya saling berinteraksi. Bumi tanpa atmosfer sama saja dengan kondisi planet-planet lain dalam sistem tata

surya kita, yakni kering, tandus, ekstrem (sangat panas dan sangat dingin), dan tentu saja tak ada kehidupan.

Amosfer telah melindungi Bumi dalam banyak hal. Siklus air di Bumi dapat berlangsung berkat peran atmosfer. Suhu udara yang nyaman di permukaan Bumi juga dikendalikan atmosfer. Seperti diketahui, air dan udara adalah sumber kehidupan baik bagi manusia, hewan, maupun tumbuhan.

Begitu juga sebaliknya, atmosfer tanpa Bumi juga tak banyak berarti. Bumi yang tersusun sebagian besar dari besi itu memiliki medan magnet yang sangat kuat pada ketinggian hingga mencapai ribuan kilometer.

Kuatnya efek medan magnet tersebut dapat menahan atom dan molekul di atmosfer agar tidak terlepas ke luar angkasa. Selain itu, medan magnet juga berperan menghalangi angin radiasi Matahari (solar winds) yang sangat berbahaya bagi mahluk hidup.

1.1. BumiBumi merupakan salah satu planet dalam sistem tata surya dengan

Matahari sebagai pusatnya. Dilihat dari posisi terdekat dari Matahari, Bumi berada pada urutan ketiga, setelah Merkurius dan Venus. Para ilmuwan menduga, Bumi terbentuk sekitar 5.000 juta tahun silam.

BAB 1.

PLANET BUMI DAN ATMOSFER

Page 13: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

Bumi tercipta setelah Matahari terbentuk. Awal mula Bumi ter-

bentuk berasal dari awan raksa-sa yang menggumpal. Awan itu kian panas hingga mem-bentuk sebuah bola merah yang panas. Setelah itu, se-cara berangsur-angsur Bumi mengalami pendinginan.

Akibatnya, permukaan Bumi mengeras. Sebaliknya, kon-

disi di dalam perut Bumi masih sangat panas (bisa mencapai suhu

7.000 oC) dan beberapa ba-gian di antaranya berbentuk cairan.

Bumi merupakan planet yang paling padat dibandingkan ke tujuh planet lainnya dalam sistem tata surya kita. Nilai kerapatan Bumi mencapai 5.517 lebih besar daripada kerapatan air.

Sampai sejauh ini, Bumi adalah satu-satunya planet yang berpenghuni dan menjadi kehidupan bagi manusia, hewan, dan tumbuhan. Beragam jenis mahluk hidup itu merasa nyaman berada di Bumi.

Sekitar 71 % dari permukaan Bumi diisi oleh air, baik dalam bentuk samudra, lautan, sungai, danau, rawa, maupun situ. Sisanya, yang 29 % permukaan Bumi berupa daratan.

Material penyusun Bumi terbesar terdiri dari besi, oksigen, dan silikon. Dari ketiga unsur tersebut, sekitar 88 % bagian dari pusat Bumi adalah besi.

Gambar 1.1. Bumi dilihat dari Apollo 17.

“Sampai sejauh ini, Bumi adalah satu-satunya planet yang berpenghuni dan

menjadi kehidupan bagi manusia, hewan, dan tumbuhan. Beragam jenis mahluk hidup itu

merasa nyaman berada di Bumi.”

Page 14: Perubahan Iklim di Indonesia

Planet Bumi dan Atmosfer

Massa : 5.880 x 1021 ton Kerapatan : 5.517 x kerapatan air Volume : 1.083.208.840.000 km3 Permukaan area : 510.100.500 km2 Permukaan tanah : 148.950.800 km2 atau lebih dari 29 % dari permukaan area Permukaan air : 361.149.700 km2 atau 71 % Keliling ekuator : 40.067 km Keliling kutub : 40.000 km Diameter ekuator : 12.756 km Jarak rata-rata dari Matahari : 140.407.000 km Periode rotasi pada sumbunya : 23 jam 56 menit dan 4,09 detik Periode revolusi mengelilingi Matahari : 365 hari 5 jam 48 menit dan 45,51 detik Kecepatan rotasi : 1.660 km/jam di garis ekuator Kecepatan revolusi : 29,8 km/detik Kemiringan orbit : 23,40

Sumber: Pustaka Anak Cerdas, volume 1, 2008.

Fakta tentang Bumi:

Hal inilah yang menimbulkan efek magnet luar biasa dengan kutub yang berbeda di utara dan selatan.

Medan magnet itu mencapai ribuan km dari permukaan Bumi sehingga dapat menghalangi angin radiasi Matahari (solar winds). Medan magnet ini juga melindungi mahluk hidup dari radiasi Matahari yang berbahaya.

Bumi berputar pada poros atau sumbunya sambil mengelilingi Matahari sesuai orbitnya (lihat Gambar 1.2). Dalam sekali putaran tersebut, diperlukan waktu sekitar 24 jam, tepatnya 23 jam lebih 56 menit dan 4,09 detik. Periode ini dikenal dengan satu hari dan satu malam. Rotasi Bumi pada sumbunya itu menimbulkan waktu siang dan malam,

Sementera itu, waktu tempuh Bumi mengelilingi Matahari pada orbitnya dalam satu putaran sekitar 365 hari lebih 5 jam, 48 menit, dan 45,51 detik. Periode ini dikenal dengan waktu satu tahun. Putaran Bumi mengitari Matahari menimbulkan adanya musim yang berbeda-beda di berbagai wilayah.

Page 15: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

1.2. Atmosfer Planet bumi diselimuti oleh lapisan gas yang disebut atmosfer. Atmosfer

tersusun oleh 78 % nitrogen (N2), 21 % oksigen (O2), 0,9 % argon (Ar), dan 0,03 % karbondioksida (CO2). Sisanya berupa gas-gas lain seperti helium (He), hidrogen (H2), xenon (Xe), ozon (O3), uap air, dan partikel-partikel kecil debu atau aerosol.

Atmosfer memiliki massa sekitar 5 x 1018 kg dimana 75 % dari massa tersebut berada di lapisan troposfer. Semakin tinggi lapisan atmosfer, semakin kecil massanya. Sehingga, tekanan atmosfer juga semakin kecil dengan semakin tingginya lapisan atmosfer.

Atmosfer yang membentang pada ketinggian 500 sampai 1.000 km di angkasa luar itu menjadi pelindung bagi mahluk hidup di Bumi. Tanpa pelindung atmosfer, semua mahluk hidup baik manusia, hewan, maupun tumbuhan akan terbakar oleh Matahari di siang hari. Sebaliknya, di malam hari mahluk hidup tersebut bakal membeku.

Atmosfer mampu melindungi permukaan Bumi karena ia mampu mempertahankan suhu udara dalam fluktuasi yang kecil melalui proses efek rumah kaca dan menahan radiasi Matahari yang berbahaya. Di samping itu, atmosfer juga menyediakan udara yang dibutuhkan mahluk hidup untuk tumbuh dan berkembang.

Gambar 1.2. Saat mengitari Matahari, poros Bumi membentuk sudut 23,5o dari garis tegak lurus dengan orbit Bumi (a). Gambar (b) menunjukkan Bumi mengitari Matahari pada orbitnya. Radiasi Matahari mencapai maksimum di khatulistiwa pada 23 September dan 21 Maret. Sementara itu, pada 22 Juni radiasi Matahari maksimum ada di belahan Bumi utara (BBU) dan 22 Desember radiasi Matahari maksimum berada di belahan Bumi selatan (BBS).

(a) (b)

Page 16: Perubahan Iklim di Indonesia

Planet Bumi dan Atmosfer

Ketebalan atmosfer bumi mencapai ribuan mil (1 mil = 1,6093 km). Lapisan atmosfer paling atas sangat tipis dan renggang. Karena itu partikel yang bergerak bebas dapat lepas dari tarikan gravitasi Bumi dan tertiup ke ruang angkasa oleh solar winds.

Sebaliknya, kondisi lapisan atmosfer di bawahnya (pada ketinggian 10 - 15 km) sangat tebal dan terdiri dari gas, air, debu, dan lain-lain. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya hujan serta perubahan musim dan cuaca.

Atmosfer memiliki suhu yang berbeda-beda dan dikelompokkan menjadi lima lapisan. Jika diurutkan dari permukaan Bumi, lapisan atmosfer terdiri dari troposfer, stratosfer, mesosfer, thermosfer, dan eksosfer (lihat Gambar 1.3). Di lapisan troposfer dan stratosfer inilah menjadi jalur transportasi bagi pesawat terbang.

Gambar 1.3. Kategori lapisan atmosfer secara vertikal berdasarkan suhu (Sumber: Lutgens and Tarbuck’s The Atmosphere, 2001).

Page 17: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

Lapisan troposfer terbentang mulai dari permukaan Bumi sampai ketinggian sekitar 10 – 17 km. Troposfer mengandung lebih dari 75 % massa gas yang ada di lapisan atmosfer, termasuk air dan debu. Di lapisan inilah terjadi dinamika cuaca. Ketika terjadi pemanasan global, lapisan troposfer mengalami peningkatan suhu udara yang paling signifikan (lihat http://www.mycleansky.com/?a=stratosphere).

Hubungan antara suhu udara dan ketinggian pada lapisan troposfer adalah berbanding terbalik. Artinya, semakin tinggi lapisan tersebut maka suhu udaranya kian rendah. Itulah mengapa di puncak gunung, suhu udaranya jauh lebih dingin daripada di pantai atau dataran rendah.

Puncak daratan tertinggi di dunia, Gunung Everest dengan ketinggian sekitar 8.850 m di atas permukaan laut (dpl) misalnya, diselimuti suhu udara yang sangat rendah, sekitar -40 oC. Inilah yang mengakibatkan banyak lapisan salju atau es menyelimuti puncak Gunung Everest. Pendaki gunung akan merasa bangga jika ia sudah mampu menaklukkan puncak berlapiskan salju dengan cuaca yang sangat ekstrim.

Di atas troposfer, terdapat lapisan stratosfer yang sangat dingin dan kering. Di lapisan ini terbentuk awan dari jenis cirus. Awan ini biasanya terdiri dari kristal es karena ia berada pada suhu lingkungan yang ekstra dingin.

“Jadi, jika kita sedang duduk di pesawat terbang yang melintas

jauh, sebenarnya kita telah berada di lapisan stratosfer. Sadar atau tidak, pesawat

terbang tersebut menyemburkan gas buang bersuhu tinggi.”

Page 18: Perubahan Iklim di Indonesia

Planet Bumi dan Atmosfer

Lapisan stratosfer juga menjadi batas ketinggian bagi pesawat terbang komersial berlalu lalang. Jadi, jika kita sedang duduk di pesawat terbang yang melintas jauh, sebenarnya kita telah berada di lapisan stratosfer. Sadar atau tidak, pesawat terbang tersebut menyemburkan gas buang bersuhu tinggi.

Asap itu langsung mengalami kondensasi di lapisan yang sangat dingin. Jika cuaca cerah, dari kejauhan kita bisa melihat hasil kondensasi itu berupa pembentukan awan tipis memanjang yang berada di belakang lintasan pesawat terbang atau dikenal dengan sebutan contrail.

Gas buangan tersebut didominasi unsur karbon. Para ahli berpendapat bahwa asap buangan pesawat terbang yang disemburkan pada lapisan stratosfer tersebut ikut memberi kontribusi terhadap meningkatnya gas rumah kaca.

Keberadaan lapisan stratosfer sangatlah penting bagi kehidupan di Bumi. Sebab, di situlah terdapat lapisan ozon (O3) yang berfungsi menghalangi gelombang ultraviolet dari cahaya Matahari yang berbahaya sehingga ia tidak sampai menembus ke permukaan Bumi.

Jika lapisan ozon berlubang, gelombang ultraviolet tersebut secara leluasa menerobos hingga ke permukaan Bumi. Dampaknya, jika terpapar ke kulit kita, dapat menyebabkan penyakit kanker kulit. Selain itu, hewan dan tumbuhan juga bisa mengalami gangguan serius jika terpapar gelombang ultraviolet yang sangat berbahaya tersebut.

Lapisan ketiga adalah mesosfer yang dikenal memiliki suhu paling dingin, yakni dapat mencapai -90 oC. Hanya ada sedikit molekul udara di lapisan

“Keberadaan lapisan stratosfer sangatlah penting bagi kehidupan di

Bumi. Sebab, di situlah terdapat lapisan ozon (O3) yang berfungsi menghalangi gelombang

ultraviolet dari cahaya Matahari yang berbahaya sehingga ia tidak

sampai menembus ke permukaan

Bumi.”

Page 19: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

mesosfer. Astronot yang mengorbit bersama pesawat ulang-alik di ruang angkasa berada di lapisan mesosfer (http://eo.ucar.edu/kids/sky/air6.htm).

Mesosfer juga berperan dalam melindungi permukaan Bumi dari jatuhnya benda angkasa luar yang disebut meteor. Ribuan meteor itu habis terbakar di lapisan mesosfer sebelum mencapai lapisan stratosfer dan troposfer. Hanya benda langit berukuran raksasa yang mampu menyisakan material sehingga meteor itu jatuh hingga ke Bumi. Hanya saja frekuensi jatuhnya meteor hingga ke Bumi sangatlah jarang terjadi.

Lapisan keempat adalah termosfer yang memiliki suhu sangat tinggi, dapat mencapai 1.500 oC bahkan lebih saat Matahari sedang aktif. Hal itu dapat menimbulkan aurora yang menerangi langit saat malam hari.

Lapisan atmosfer paling tinggi disebut eksosfer. Pada lapisan ini atom dan molekul mudah lepas ke luar angkasa akibat melemahnya gaya gravitasi Bumi seiring dengan semakin jauhnya jarak antara Bumi dan eksosfer.

Page 20: Perubahan Iklim di Indonesia

Cuaca, Iklim, dan Musim

CUACA, IKLIM, DAN MUSIM

BAB 2.

Seperti telah diuraikan pada bagian sebelumnya (Bab 1), troposfer merupakan lapisan atmosfer paling bawah di mana aktivitas cuaca terjadi. Di lapisan troposfer, suhu udara turun dengan bertambahnya

ketinggian. Fenomena ini disebut laju penurunan suhu lingkungan (environmental lapse rate) yang besarnya sekitar 6,5 oC/1.000 m. Artinya, setiap kenaikan ketinggian 1.000 m, suhu udara mengalami penurunan sebesar 6,5 oC.

Besarnya laju penurunan suhu lingkungan di lapisan troposfer tidaklah sama, tergantung daerah lintangnya. Laju penurunan suhu lingkungan di lintang rendah (tropis), lintang tengah, dan lintang tinggi (kutub) dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Setidaknya ada tiga cara massa udara naik ke tingkat lebih tinggi. Pertama, proses adiabatik sebagai akibat adanya penghalang seperti bangunan gedung dan gunung. Penghalang buatan dan alami tersebut akan menahan massa udara yang bergerak secara horisontal, lalu memaksanya naik ke atas.

Cara kedua melalui proses konvergensi horisontal. Seperti diketahui, akibat tekanan rendah di permukaan menyebabkan massa udara mengumpul lalu naik ke atas yang memiliki suhu udara lebih rendah.

Cara ketiga atau terakhir naiknya massa udara adalah akibat pemanasan atau konvektif. Pemanasan yang dipancarkan oleh permukaan Bumi, baik dari daratan maupun lautan akan menghangatkan massa udara lalu naik menuju tempat yang memiliki suhu udara yang dibuang.

Page 21: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

10

Ketika massa udara tersebut berada pada level atau tingkat yang tinggi, ia berubah menjadi dingin karena menempati lingkungan bersuhu udara rendah. Pada ketinggian tertentu, massa udara yang naik itu memiliki tekanan uap air yang sama dengan tekanan uap air jenuh pada level tersebut.

Akibatnya, massa udara yang berbentuk uap air itu berubah fase menjadi cair. Proses ini sering disebut kondensasi. Butir air dari kondensasi ini lalu memben-tuk awan.

Awan dapat dikelom-pokkan berdasarkan keting-gian, bentuk, dan proses per-tumbuhannya. Berdasarkan ketinggian, kita mengenal tiga jenis awan, yakni rendah, menengah, dan tinggi.

Ditinjau dari bentuknya, ada dua kelompok awan. Pertama awan stratus (St)

yang berbentuk seperti lapisan datar dan biasanya cakupannya luas. Kedua, awan cumulus (Cu) yang berbentuk seperti bunga kol.

Sementara itu, berdasarkan proses pertumbuhan vertikal, kita mengenal awan Cu yang bisa berkembang menjadi cumulonimbus (Cb). Kedua jenis awan ini (Cu dan Cb) juga dapat dikategorikan sebagai awan rendah karena ia dapat menjadi dasar awan.

Awan rendah biasanya terdiri dari kabut (awan yang berada di permukaan Bumi), St, stratocumulus (Sc), dan nimbostratus (Ns). Ns adalah awan hujan yang memiliki ketebalan beberapa ratus meter dari permukaan tanah sampai

Gambar 2.1. Profil laju penurunan suhu lingkungan dan tingkat tropopause di lintang rendah (garis merah), lintang tengah (hijau), dan lintang tinggi (biru). Terlihat bahwa tropopause di daerah tropis berkisar antara 15 – 17 km (Sumber: Lutgens and Tarbuck’s The Atmosphere, 2001. (http://www.ux1.eiu.edu/cfjps/1400/atmos_struct.htm).

Page 22: Perubahan Iklim di Indonesia

Cuaca, Iklim, dan Musim

11

ketinggian 5.000 m. Awan Ns bisa menyebabkan hujan sepanjang hari atau semalam suntuk dengan intensitas ringan.

Awan menengah terdiri dari altostratus (As) dan altocumulus (Ac). Selain itu, awan Cu dan Cb juga bisa dikategorikan awan menengah karena dasar awan Cu dan Cb bisa juga tumbuh dan berkembang mulai dari ketinggian 2.000 m.

Awan tinggi biasanya terdiri dari kristal es karena ia berada pada lingkungan dengan suhu udara yang sangat dingin. Awan tersebut disebut cirus (Ci), cirrostratus (Cs), dan cirrocumulus (Cc). Untuk memudahkan pemahaman kita terhadap pengelompokan berbagai jenis awan tersebut, sebaiknya dilihat pada Gambar 2.2.

Lalu, bagaimana awan-awan itu dapat berubah menjadi butiran air hujan? Hal itu terjadi jika butir air yang terkandung di dalam awan rendah dan awan menengah cukup besar jumlahnya. Jika awan-awan tersebut mampu melawan gaya apung dari udara di bawahnya maka butir air itu akan jatuh ke muka Bumi dalam bentuk hujan atau salju.

Gambar 2.2. Jenis-jenis awan yang biasa kita lihat. Jenis awan rendah adalah stratus (St), stratocumulus (Sc), cumulus (Cu), dan cumulonimbus (Cb). Sementara itu, awan menengah terdiri dari altostratus (As) dan altocumulus (Ac). Sedangkan yang tergolong awan tinggi adalah cirrus (Ci), cirrostratus (Cs), dan cirrocumulus (Cc) (Sumber: UCAR).

Cirrusdi atas 5.400 m

Cirrocumulus(mockera’sky)

di atas 5.400 m

Cumulonimbusdari dekat

permukaan tanah sampai di atas

15.000 m

Altocumulus1.800 - 6.000 m

Altostratus1.800 - 6.000 m

Stratusdi bawah 1.800 m

Cumulusdi bawah 1.800 m

Stratocumulusdi bawah 1.800 m

Page 23: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

12

Air hujan akan terjadi di daerah lintang rendah (tropis) seperti Indonesia. Sedangkan hujan salju (es) biasanya terjadi di daerah lintang menengah dan tinggi pada musim dingin.

Hujan es juga bisa terjadi di pegunungan yang suhu udaranya di bawah 0 oC. Dalam beberapa kasus, di beberapa daerah di Indonesia juga pernah mengalami hujan yang disertai dengan butiran es.

Besar kecilnya intensitas hujan tergantung jenis awannya. Pada awan nimbostratus, stratus, dan altostratus akan menghasilkan hujan ringan atau gerimis dengan ketinggian curah hujan kurang dari 10 mm.

Sementara itu, awan stratocumulus dan altocumulus dapat menghasilkan hujan ringan sampai sedang (curah hujan kurang dari 20 mm). Sedangkan awan cumulus dan cumulonimbus dapat menghasilkan hujan lebat dan atau ekstrem (curah hujan di atas 30 mm).

Untuk lebih memahami siklus air di Bumi dari mulai penguapan massa udara (uap air) sampai turun hujan, kita dapat melihat Gambar 2.3. Secara umum, siklus tersebut terdiri dari empat proses sebagai berikut:

Gambar 2.3. Diagram siklus air (Sumber: US Global Change Research Program. www.usgcrp.gov)

Samudra

Awan & uap air

Presipitasi (hujan salju

atau hujan air)

Air tersimpandi dalam es

dan salju

Perpindahan

Evaporasi

Kondensasi (panas laten

atmosfer)

Manajemen air

Keragaman tanah

Tabel air

Aliran air tanah

Kelembaban tanah

Muara sungai

Lapisan pembatas (daratan dan atmosfer

bebas)

Pertukaran radiasi

Aliran arus air

Batuan dasar

Perembesan

Limpasanpermukaan

Evapotranspirasi

Perkolasi

Page 24: Perubahan Iklim di Indonesia

Cuaca, Iklim, dan Musim

13

1. Penguapan massa udara (uap air). 2. Massa udara tersebut lalu naik ke atas akibat konvektif, orografi,

konvergensi, dan adiabatik.3. Pada level atau ketinggian tertentu, massa udara tersebut mengalami

kondensasi atau sublimasi. 4. Awan yang sudah memiliki banyak butir air tersebut lalu turun sebagai

hujan dan atau salju.

Sebelum turun hujan, biasanya bertiup angin dingin dengan kecepatan yang bervariasi, bisa sepoi-sepoi, sedang, atau malah kencang. Kecepatan angin tersebut tergantung dari jenis awan yang akan menumpahkan air hujan ke Bumi.

Angin bertiup akibat turunnya massa udara lantaran meluruhnya awan (disipasi) yang sering disebut downdraft (kecepatan vertikal yang negatif). Pada awan cumulonimbus yang besar dapat menyebabkan kecepatan angin downdraft lebih dari 10 m/detik. Angin ini sangat berbahaya terutama jika terjadi di sekitar bandar udara karena dapat menghempaskan pesawat terbang saat mendarat (landing) di landasan pacu.

2.1. CuacaCuaca adalah keadaan dinamika udara di atmosfer pada waktu dan tempat

tertentu. Cuaca umumnya dapat diungkapkan atau dinyatakan dengan kondisi hujan, suhu udara, jumlah tutupan awan, penguapan, kelembaban, dan kecepatan angin di suatu tempat dari hari ke hari. Kurun waktu yang sering digunakan dalam analisa cuaca adalah satu hari sampai satu minggu.

Contoh sederhana adalah ketika presenter atau pembaca acara menyam-paikan prakiraan cuaca melalui media televisi atau radio. Ia mengatakan, prakiraan cuaca di kota Bekasi pada tanggal tertentu adalah cuaca cerah be-rawan dengan suhu udara maksimum 32 oC dan angin calm.

Maksud dari prakiraan cuaca tersebut adalah di kota Bekasi, Matahari masih bersinar dan terdapat sejumlah awan. Suhu udara pada sekitar pukul 14.00 WIB diduga sebesar 32 oC dengan angin yang mungkin tidak dapat dirasakan oleh manusia.

Contoh lain, ketika si pembawa acara mengatakan, prakiraan cuaca di Jakarta pada tanggal yang sama adalah berawan, kemungkinan hujan pada sore hari dengan intensitas sedang. Artinya, pada tanggal tersebut Jakarta ditutupi cukup awan dan berpeluang terjadi hujan. Hujan dengan intensitas

Page 25: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

14

sedang berarti jenis awan yang terbentuk dapat berupa cumulus atau stratocumulus.

Berdasarkan dua contoh pengungkapan prakiraan cuaca tersebut, terlihat bahwa cuaca hanya menyatakan kondisi atmosfer sesaat, dalam hal ini satu hari. Untuk hari berikutnya, kondisi cuaca bisa berubah drastis atau hampir mirip dengan hari sebelumnya.

Cuaca buruk biasanya diasosiasikan dengan awan badai atau Cumulonim-bus (Cb). Awan Cb yang kuat dapat mencurahkan air hujan dengan intensitas tinggi (di atas 50 mm/jam) dan angin vertikal negatif (downdraft) yang tinggi. Hujan deras mengakibatkan visibility (jarak pandang) sangat pendek sehingga membahayakan transportasi darat, laut, dan udara.

Selain itu, awan badai juga dapat menimbulkan turbulensi di dekat permukaan Bumi sehingga membahayakan pesawat terbang saat landing. Tidak hanya itu, awan badai juga dapat menimbulkan angin puting beliung dan hujan batu es (hail). Pada beberapa kasus, awan badai sering menimbulkan banjir dan menyebabkan tanah longsor.

Cuaca di Indonesia sangat dipengaruhi oleh muson (monsoon), El Nino dan La Nina, Madden Julian Oscillation (MJO), serta Dipole Mode (DM). Pengaruh yang dirasakan biasanya pada saat musim kemarau atau hujan.

Sebagai contoh, musim kemarau yang bersifat kering atau jumlah curah hujan dan hari hujan pada musim kemarau lebih sedikit dibandingkan dengan nilai normalnya. Contoh lain, musim kemarau yang bersifat basah atau jumlah curah hujan dan hari hujan pada musim kemarau lebih besar dibandingkan dengan nilai normalnya.

Sama halnya saat musim hujan. Musim hujan kadang-kadang memiliki jumlah curah hujan dan hari hujan yang sedikit berkurang. Tetapi ada juga jumlah curah hujan dan hari hujan yang sangat besar dibandingkan dengan nilai normalnya.

“Cuaca di Indonesia sangat dipengaruhi oleh muson (monsoon), El Nino dan La Nina, Madden Julian Oscillation (MJO), serta Dipole Mode (DM).

Pengaruh yang dirasakan biasanya pada saat musim kemarau atau hujan.”

Page 26: Perubahan Iklim di Indonesia

Cuaca, Iklim, dan Musim

15

Secara umum, cuaca terdiri dari tujuh unsur sebagai berikut:• Suhu udara, biasanya dinyatakan dalam satuan oC untuk mengetahui

derajat panas atau dingin udara.• Tekanan udara atau berat massa udara per satuan luas. Biasanya

dinyatakan dalam satuan mb (milibar). • Kelembaban udara atau kandungan uap air di udara yang dinyatakan

dalam %.• Penguapan atau laju uap air yang terbentuk akibat proses pergantian

fase cair menjadi uap. Biasanya dinyatakan dalam satuan mm (milimeter).

• Awan atau kumpulan massa tampak yang terdiri dari udara kering dengan butir air atau kristal es pada ketinggian tertentu di atas muka Bumi. Biasanya dinyatakan dalam satuan octaf.

• Hujan atau laju air yang jatuh dari awan ke muka Bumi yang dinyatakan dalam satuan mm.

• Angin atau udara yang bergerak. Biasanya dinyatakan dalam satuan knot untuk kecepatan. Sedangkan untuk arah digunakan mata angin (utara, selatan, barat, timur, tenggara, barat laut, dan barat timur).

2.2. IklimIklim adalah kebiasaan cuaca yang terjadi di suatu tempat atau daerah.

Definisi lain, iklim merupakan karakter kecuacaan suatu tempat atau daerah, dan bukan hanya merupakan cuaca rata-rata (Wirjomiharjo dan Swarinoto, BMKG, 2007). Kurun waktu yang sering digunakan untuk menentukan iklim rata-rata sekitar 30 tahun. Iklim memiliki unsur yang sama dengan cuaca.

Iklim di suatu tempat dipengaruhi oleh letak lintang, lereng, ketinggian, serta seberapa jauh jarak tempat tersebut dari perairan dan juga keadaan arus lautnya. Contoh sederhana jika kita merujuk pada dunia, maka wilayah yang berada di dekat garis ekuator Bumi (derajat berlintang rendah atau nol) disebut wilayah beriklim tropis. Sementara itu, wilayah di lintang menengah dan tinggi dikenal sebagai daerah beriklim subropis dan iklim kutub. Ilmu yang mempelajari tentang pola global iklim dan karakteristiknya adalah klimatologi.

Karakter cuaca suatu daerah ditetapkan berdasarkan kriteria keseringan atau probabilitas nilai-nilai satu atau lebih unsur iklim yang ditetapkan, seperti hujan, suhu, dan angin. Atau bisa juga hanya terdiri hujan, suhu, atau penguapan. Setiap daerah memiliki iklim yang berbeda.

Page 27: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

16

Gambar 2.4. Komponen sistem iklim, proses, dan interaksinya (Sumber: IPCC, 2007)

Perbedaan iklim tersebut karena Bumi ber-bentuk bundar sehingga sinar Matahari tidak dapat diterima serba sama oleh setiap permu-kaan Bumi. Selain itu, permukaan Bumi yang beraneka ragam baik jenis maupun bentuk topografi-nya, tidaklah sama dalam merespon radiasi Matahari yang diterimanya.

Sistem iklim Bumi merupakan sebuah sistem interaksi kompleks antara atmosfer, permukaan tanah, salju dan es, lautan dan badan air lainnya (sungai, waduk, rawa, dan lain-lain), serta makhluk hidup. Komponen iklim yang paling mendominasi karakter iklim adalah atmosfer. Skema komponen sistem iklim, proses, dan interaksinya dapat dilihat pada Gambar 2.4.

Sistem iklim dikatakan seimbang apabila neraca energi di Bumi dalam keadaan seimbang. Sumber energi utama Bumi berasal dari radiasi Matahari. Kesetimbangan energi ini terkait

Presipitasievaporasi

Pertukaranpanas

Tekananangin

Perubahan di laut:sirkulasi, muka laut, biogeokimia

Perubahan permukaan lahan:orografik, penggunaan lahan, vegetasi, ekosistem

Perubahan cryosfer:salju, tanah beku, es laut, lapisan es, gletser

Permukaan daratan

Biosfer

Lapisan es

Interaksitanah-biosfer

Interaksidaratan-atmosfer

Hidrosfer:sungai & danau

Pengaruh aktivitas manusia

Radiasi terestrial

es laut

Interaksi es-laut

Hidrosfer: laut

Interaksiatmosfer-biosfer

Aktivitas gunung berapi

Atmosfer

N2, O2, Ar, H2O, CO2, CH4, N2O, O3, dll.

Aerosol

Perubahan di atmosfer:komposisi, sirkulasi

Perubahan dalam siklus hidrologi

“Sistem iklim Bumi merupakan

sebuah sistem interaksi kompleks antara atmosfer,

permukaan tanah, salju

dan es, lautan dan badan air

lainnya (sungai, waduk, rawa, dan

lain-lain), serta makhluk hidup.”

Page 28: Perubahan Iklim di Indonesia

Cuaca, Iklim, dan Musim

17

dengan keseimbangan radiasi Matahari yang masuk ke Bumi dan radiasi gelombang panjang yang dipancarkan balik dari Bumi (lihat Gambar 2.5).

Jika Bumi kelebihan energi karena terhambatnya radiasi infra merah keluar atmosfer, maka energi tersebut tetap berada di atmosfer. Hal ini terjadi lantaran sistem atmosfer bersifat tertutup. Kelebihan energi tersebut dapat berubah menjadi bentuk energi lainnya sesuai dengan hukum kekekalan energi. Artinya, energi tidak bisa hilang namun berubah dalam berbagai bentuk energi lainnya.

Energi di atmosfer misalnya, dapat berubah menjadi energi kalor, kinetik, dan potensial. Energi kalor berupa panas permukaan. Energi kinetik bisa dalam bentuk peningkatan kecepatan angin. Sedangkan energi potensial berupa peningkatan intensitas hujan. Keseluruhan perubahan bentuk energi tersebut merupakan perubahan parameter iklim. Proses inilah yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim akibat dari fenomena pemanasan global.

Iklim di permukaan Bumi dapat dibedakan antara lain: 1. Iklim kutub (polar climate). Iklim ini dicirikan dengan suhu udara yang

sangat rendah.2. Iklim tengah (temperate climate). Iklim jenis ini terdapat di lintang

tengah antara kawasan kutub dan kawasan tropis, namun batasnya tidak jelas.

Gambar 2.5. Skema neraca energi radiasi Matahari di Bumi (Sumber: IPCC, 2007).

Page 29: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

18

3. Iklim subtropis (subtropical climate). Ciri utama dari iklim ini adalah kemarau di musim panas dan hujan di musim dingin.

4. Iklim tropis (tropical climate). Iklim ini dicirikan oleh suhu yang selalu tinggi dan variasi tahunannya kecil.

5. Iklim khatulistiwa (equatorial climate). Ciri iklim ini memiliki variasi suhu harian kecil dan hujan terjadi di sembarang waktu. Di samping itu, dalam setahun musim hujan maksimum terjadi dua kali.

Sementara itu, tipe iklim dapat dibedakan menjadi enam bagian sebagai berikut:

• Iklim benua (continental climate). Iklim ini terjadi di daratan yang luas dan jauh dari wilayah pesisir.

• Iklim bahari (maritime climate). Tipe iklim ini memiliki perbedaan yang kecil antara suhu udara tahunan dan suhu udara harian. Iklim ini juga ditandai dengan adanya pengaruh angin darat dan laut.

• Iklim mediterania (mediterranian climate). Iklim ini bercirikan panas, kering, dan berlawanan dengan iklim monsun.

• Iklim tundra (tundra climate). Iklim ini memiliki suhu udara yang relatif sangat rendah namun tidak tertutup salju.

• Iklim gunung (mountain climate). Iklim jenis ini berada di tempat-tempat tinggi, dimana makin ke atas suhu udaranya makin rendah.

Letak wilayah Indonesia sangat menentukan jenis iklim yang terjadi. Secara umum, Indonesia termasuk dalam iklim tropis karena diselimuti rata-

“Iklim Indonesia tergolong unik. Hal itu disebabkan banyak hal, di antaranya ia berada pada daerah

tropis dan wilayahnya berbentuk kepulauan. Letaknya yang berada di antara dua samudra (Pasifik dan

Hindia) juga ikut mempengaruhi keunikan iklim di Indonesia. Karena itulah Indonesia memiliki tiga jenis

pola iklim, yakni iklim monsunal, iklim ekuatorial, dan iklim sistem lokal.”

Page 30: Perubahan Iklim di Indonesia

Cuaca, Iklim, dan Musim

1�

rata suhu udara yang panas dengan perbedaan secara ruang tidak signifikan. Sebagai Benua Maritim, maka iklim di Indonesia dicirikan dengan suhu udara dan kelembaban udara yang tinggi.

Iklim Indonesia tergolong unik. Hal itu disebabkan banyak hal, di antaranya ia berada pada daerah tropis dan wilayahnya berbentuk kepulauan. Letaknya yang berada di antara dua samudra (Pasifik dan Hindia) juga ikut mempengaruhi keunikan iklim di Indonesia. Karena itulah Indonesia memiliki tiga jenis pola iklim, yakni iklim monsunal, iklim ekuatorial, dan iklim lokal (lihat Gambar 2.6).

Gambar 2.6. Indonesia memiliki tiga daerah dengan pola curah hujan yang berbeda. Zona A menunjukkan iklim monsunal, B adalah ekuatorial, dan C beriklim lokal.

Unsur iklim yang menarik untuk dikaji di Indonesia adalah curah hujan. Mengapa demikian? Hal itu disebabkan tidak semua wilayah Indonesia mempunyai pola hujan yang sama. Selain itu, curah hujan merupakan parameter iklim yang paling mempengaruhi pola kehidupan masyarakat.

Pola curah hujan di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain monsun, Inter-Tropical Convergence Zone (ITCZ), IODM, ENSO, dan sirkulasi regional lainnya yang terdapat di Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Menu-rut Aldrian dan Susanto (2003), pola curah hujan Indonesia terbagi menjadi tiga daerah utama dengan sebuah wilayah peralihan sebagai berikut:1. Daerah monsunal (zona A) merupakan pola yang dominan di Indonesia

karena melingkupi hampir seluruh wilayah Indonesia. Daerah tersebut memiliki satu puncak pada periode November sampai Maret (November,

Page 31: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

20

Desember, Januari, Februari, dan Maret atau NDJFM) yang dipengaruhi oleh monsun barat laut yang basah. Di samping itu, zona tersebut juga memiliki satu palung pada bulan Mei hingga September (MJJAS) yang dipengaruhi oleh monsun tenggara yang kering. Akibatnya, terdapat perbedaan yang jelas antara musim kemarau (curah hujan bulanan di bawah 150 mm) dan musim hujan (curah hujan bulanan di atas 150 mm). Selain itu, daerah A berkorelasi kuat terhadap perubahan suhu permukaan laut (SPL).

2. Daerah ekuatorial (zona B) mempunyai dua puncak pada Oktober-November (ON) dan Maret-Mei (MAM). Rata-rata hujan setiap bulan cukup tinggi, yaitu lebih dari 150 mm. Pola ini dipengaruhi oleh pergeseran ke utara dan selatan dari ITCZ atau titik equinox (kulminasi) Matahari. Puncak hujan biasanya terjadi pada saat posisi Matahari berada di atas suatu wilayah tersebut yang merupakan wilayah Inter-Tropical Convergence Zone (ITCZ).

3. Daerah iklim lokal (zona C) mempunyai satu puncak pada Juni-Juli (JJ) dan satu palung pada November-Februari (NDJF). Pola ini merupakan kebalikan atau berlawanan dari pola di zona A. Pada saat wilayah tipe monsun (zona A) mengalami musim hujan, maka wilayah tipe lokal (zona C) dilanda musim kemarau. Demikian juga sebaliknya, jika di zona C mengalami musim hujan, di zona A malah dilanda musim kemarau. Selain itu, akibat dari kondisi geografisnya terdapat pula wilayah tipe

Gambar 2.7. Pola umum hujan bulanan di Indonesia periode 1971-2000.

Tipe Ekuatorial

Tipe Monsun

Tipe Ekuatorial

Tipe Monsun

Tipe Lokal

Tipe Lokal

Tipe Monsun

Tipe Ekuatorial

TIPE EKUATORIAL TIPE LOKAL TIPE LOKAL

TIPE MONSUNKeterangan:

Batas wilayah tipe hujan

Tipe MonsunTipe EkuatorialTipe Lokal

200 0 200 400 KmU

S

TB

700600500400300200

0100

700

600

500

400

300

200

0

100

J F M A M J J A S O N D J F M A M J J A S O N D

J M M J S N

700

600

500

400

300

200

0

100

700600500400300200

0100

J M M J S N

Page 32: Perubahan Iklim di Indonesia

Cuaca, Iklim, dan Musim

21

lokal yang memiliki curah hujan cukup rendah sepanjang tahun dengan rata-rata bulanan kurang dari 150 mm. Di wilayah tipe lokal seperti ini musim kemarau terjadi sepanjang tahun. Salah satu penyebab dari tipe iklim jenis lokal ini adalah interaksi yang kuat dari pulau-pulau kecil di wilayah Maluku dan aliran laut lintas Indonesia (Arlindo) dari Samudra Pasifik menuju Samudra Hindia.

Terkait dengan pola curah hujan di Indonesia, perlu dipahami pengertian musim hujan dan kemarau secara benar dan baik. Umumnya, masyarakat sering mengatakan bahwa musim hujan adalah periode yang sering terjadi hujan. Sedangkan musim kemarau adalah periode yang tidak pernah terjadi hujan.

Contoh menarik adalah ketika terjadi musim kemarau pada tahun 2010. Masyarakat beranggapan, tidak terjadi musim kemarau pada tahun 2010 lantaran hujan kerap mengguyur daerah mereka.

Pemahaman masyarakat yang mengatakan tidak ada musim kemarau tentu saja keliru. Sebab, fakta yang sebenarnya terjadi adalah ada musim kemarau namun kemaraunya basah.

Musim kemarau adalah musim dengan curah hujan kurang dari 50 mm/dasarian (istilah dasarian atau 10 harian ini akan dijelaskan kemudian) dan diikuti oleh dasarian berikutnya. Sedangkan musim hujan adalah kondisi sebaliknya dengan curah hujan lebih dari 50 mm/dasarian dan diikuti oleh dasarian berikutnya.

Pergantian musim hujan ke kemarau terjadi apabila curah hujan dalam tiga dasarian kurang dari 50 mm diikuti oleh dua dasarian berikutnya. Kemarau basah merupakan istilah yang menggambarkan bahwa musim kemarau tersebut mengalami banyak hujan.

“Musim kemarau adalah musim dengan curah hujan kurang dari 50 mm/dasarian (istilah dasarian atau 10 harian ini akan dijelaskan kemudian) dan diikuti oleh dasarian berikutnya. Sedangkan musim hujan adalah kondisi sebaliknya dengan curah hujan lebih dari 50 mm/dasarian dan diikuti oleh dasarian berikutnya.”

Page 33: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

22

2.3. MusimMusim adalah pembagian waktu setahun yang ditandai oleh adanya

perbedaan (perubahan) cuaca, ekologi, dan lamanya penyinaran Matahari (waktu siang). Musim terjadi karena rotasi Bumi pada porosnya dalam mengelilingi Matahari. Rotasi Bumi ini miring sejauh 23,5 derajat dari sumbu tegak lurusnya (lihat Gambar 1.2).

Akibatnya, negara-negara yang jauh dari ekuator atau garis khatulistiwa dalam satu tahun memiliki empat musim; panas, gugur, dingin, dan semi. Se-dangkan negara-negara yang berada dekat dengan ekuator yang beriklim tro-pis, seperti Indonesia, hanya mempunyai dua musim; hujan dan kemarau.

Gambar 2.8. Peta rata-rata awal musim kemarau pada 220 batas zona musim (ZOM) di Indonesia.

Beberapa hal yang perlu diketahui terkait informasi cuaca dan iklim:

• Tidak ada informasi rata-rata curah hujan harian. Yang ada adalah informasi jumlah curah hujan dan jumlah hari hujan dalam satu bulan.

• Curah hujan 1 mm adalah jumlah air hujan yang jatuh di permukaan per satuan luas (m2) dengan catatan tidak ada yang menguap, meresap, atau mengalir. Jadi, curah hujan sebesar 1 mm berarti setara dengan 1 liter/m2.

Batas Zona Musim (ZOM)

U

S

TB

Keterangan:

Wilayah Non Zona Musim1,2,3,....... = Nomor Non Zona Musim

Dasarian I - III MaretDasarian I - III AprilDasarian I - III Mei

Dasarian I - III JuniDasarian I - III JuliDasarian I - III Agustus

Page 34: Perubahan Iklim di Indonesia

Cuaca, Iklim, dan Musim

23

Di indonesia, musim didasarkan atas sering atau jarangnya curah hujan sehingga dikenal musim hujan dan musim kemarau. Untuk menandai kedua musim tersebut, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menggunakan kriteria banyaknya curah hujan selama 10 hari (dasarian).

Penetapan dasarian ini dimulai dari 1 Januari. Dengan demikian dasarian pertama adalah satuan waktu sepuluh hari dari tanggal 1 sampai 10 Januari. Dasarian kedua dari 11 sampai 20 Januari. Sementara itu, dasarian ketiga mulai 21 hingga 31 Januari.

Untuk bulan Februari yang mempunyai jumlah 28 atau 29 hari maka dasarian ketiga adalah dari 21 sampai 28 atau 29 hari. Demikian juga untuk bulan-bulan berikutnya. Jika dalam satu bulan ada 30 hari maka dasarian ketiga adalah 21 sampai 30 pada bulan tersebut.

Awal musim didefinisikan sebagai dasarian awal mulainya musim. Jadi, awal musim hujan adalah dasarian pertama yang memiliki curah hujan sama atau lebih dari 50 mm. Sedangkan awal musim kemarau adalah dasarian pertama yang curah hujannya kurang dari 50 mm.

Panjang musim adalah banyaknya dasarian dari awal musim sampai akhir musim. Baik awal maupun panjang musim tidak sama setiap tahunnya tergantung pada kondisi dan tatanan cuaca lainnya dalam skala besar. Dengan kata lain, awal dan panjang musim di setiap tempat berbeda-beda.

Gambar 2.9. Peta rata-rata permulaan musim hujan pada 220 ZOM di Indonesia.

U

S

TB

Keterangan:

Batas Zona Musim (ZOM)

Wilayah Non Zona Musim1,2,3,....... = Nomor Non Zona Musim

Dasarian I - III SeptemberDasarian I - III OktoberDasarian I - III NovemberDasarian I - III Desember

Page 35: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

24

Sesuai dengan letak geografis, Indonesia memiliki variasi musiman. Variasi musiman tersebut dapat terlihat jelas berdasarkan curah hujannya. Oleh karena itu Indonesia dikenal memiliki musim hujan dan kemarau.

Pada umumnya di saat Matahari ada di belahan Bumi selatan (terjadi pada periode Oktober sampai Maret), Indonesia diguyur curah hujan lebih banyak dibandingkan ketika Matahari berada di atas belahan Bumi utara (pada April sampai September). Itulah mengapa, di beberapa wilayah di Indonesia, periode Oktober sampai Maret mengalami musim hujan dan April hingga September bermusim kemarau.

Kondisi tersebut tentu saja tidak sama di antara daerah-daerah yang lain. Berdasarkan analisis BMKG, kondisi musim di berbagai daerah di Indonesia pada tahun 1971 – 2000 menunjukkan perbedaan yang nyata, baik pada awal maupun panjang musimnya (lihatTabel 2.1).

Tabel 2.1. Awal musim hujan dan awal musim kemarau di beberapa tempat di Indonesia pada periode 1971 - 2000.

Lokasi atau daerahAwal Musim

(dasarian ke-)Panjang Musim (dasarian)

Kemarau Hujan Kemarau Hujan

Pandeglang barat Cilacap

Juni IIMei III

September IIIOktober I

1015

2527

Lampung selatanAceh tengah

April IIIMei III

November IIIOktober I

2113

1723

Balikpapan Juli I Oktober I 9 31

Gowa Mei II Oktober III 16 20

Karangasem utara Maret II Desember I 26 11

Lombok barat Mei II November III 15 14

Halmahera Juli III Oktober III 18 19

Jayapura Mei I November III 19 17

Page 36: Perubahan Iklim di Indonesia

Cuaca, Iklim, dan Musim

25

Dr. Ir. Erizal Jamal Kepala Bidang Kerja Sama dan Pendayagunaan HasilPusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Badan Litbang Kementerian Pertanian

Siklus Hidup Petani Sangat Tergantung

Kondisi Iklim dan Cuaca

Dilihat dari mata pencaharian, petani masih menjadi kelompok terbesar dari masyarakat Indonesia. Berdasar-

kan data Badan Pusat Statistik, selama tahun 2009 jumlah tenaga kerja pertanian diperki-rakan mencapai sekitar 43,0 juta orang atau 42 persen dari total tenaga kerja yang ada.

Dari jumlah itu sekitar 40 persen tergolong tidak mampu dan 20 persen di antaranya dikepalai oleh perempuan. Dengan fakta tersebut, jelas bahwa apapun yang terjadi di sektor pertanian akan mempunyai dampak besar bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.

Sebagaimana diketahui, kegiatan pertanian merupakan upaya pemanfaatan sumber daya alam yang sangat erat keterkaitannya dengan kondisi iklim dan cuaca. Kegiatan pengolahan tanah dan persemaian benih padi misalnya, terutama pada petani yang mengusahakan sawah tadah hujan, baru akan dilakukan bila curah hujan sudah mencukupi sehingga tanah dapat diolah dengan bantuan berbagai alat dan benih agar mampu tumbuh dengan baik.

Kondisi ini menyebabkan siklus kehidupan petani sangat tergantung dari kondisi iklim dan cuaca. Selama ini mereka sudah mengatur “jadwal kehidupannya” sesuai siklus iklim selama setahun.

Petani Tasikmalaya dan Garut misalnya, akan meninggalkan kampung halamannya begitu tanaman padi sudah selesai ditanam. Mereka lalu mengadu nasib di kota besar seperti Jakarta dengan berbagai kegiatan

Dr. Ir. Erizal Jamal

Page 37: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

26

informal dan baru pulang lagi bila musim panen telah tiba.Perubahan iklim yang ditandai antara lain oleh pergeseran awal musim

hujan, secara langsung akan mempengaruhi siklus kehidupan petani. Awal kegiatan tanam akan bergeser sehingga akan menggeser siklus mereka dalam mencukupi kebutuhan hidupnya dari usaha non-pertanian. Maklum, mereka semakin sulit mengandalkan hidupnya dari lahan yang semakin terbatas luasannya.

Belum lagi berbagai perubahan dari curah hujan dan lama hari hujan yang berpengaruh secara langsung terhadap kondisi pertanaman sehingga dalam banyak kasus mengancam keberlanjutan usaha tani yang diusahakan. Bila demikian adanya, maka jelas perubahan iklim akan berpengaruh secara nyata pada kehidupan petani.

Berdasarkan kenyataan di atas, pemahaman tentang kejadian perubah-an iklim menjadi penting sekali bagi petani. Melalui pemahaman tentang perubahan iklim yang terjadi maka mereka akan siap menghadapinya dengan melakukan berbagai penyesuaian terhadap “jadwal kehidupannya” dan berupaya mencari inovasi untuk dapat beradaptasi dengan kondisi yang baru.

Page 38: Perubahan Iklim di Indonesia

Efek Rumah Kaca, Gas Rumah Kaca, dan Pemanasan Global

27

BAB 3.

Seperti telah dibahas sebelumnya (Bab 1), atmosfer adalah lapisan gas yang menyelimuti dan melindungi planet Bumi beserta isinya. Tidak bisa dibayangkan Bumi tanpa atmosfer. Seluruh mahluk hidup bakal

terbakar oleh sinar Matahari di kala siang hari dan membeku pada malam harinya.

Namun dengan selimut atmosfer, Bumi menjadi nyaman dan aman dihuni, baik bagi manusia, hewan, maupun tumbuhan. Atmosfer mampu memper-tahankan suhu udara dalam fluktuasi yang kecil melalui proses efek rumah kaca. Efek rumah kaca ini terjadi karena ada gas rumah kaca di atmosfer.

3.1 Efek Rumah KacaEfek rumah kaca terjadi secara alamiah untuk melindungi mahluk hidup

di muka Bumi agar nyaman. Tanpa efek rumah kaca, suhu rata-rata Bumi berkisar -19 °C atau 19 oC di bawah suhu air yang membeku (es). Dengan suhu yang teramat dingin tersebut, semua mahluk hidup, termasuk manusia tidak mampu bertahan, tumbuh, dan berkembang.

Fungsi atmosfer menjadi semacam selimut bagi Bumi. Selimut ini memiliki ketebalan yang pas untuk mengisolasi dan menahan tenaga Surya secukupnya sehingga rata-rata suhu dunia menjadi nyaman.

Selimut tersebut terdiri dari sekumpulan gas atmosfer yang disebut gas rumah kaca (GRK). Disebut GRK karena ia menahan panas seperti halnya dinding-dinding kaca dari sebuah rumah kaca.

EFEK RUMAH KACA, GAS RUMAH KACA, DAN PEMANASAN GLOBAL

Page 39: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

28

Kehidupan di Bumi tergantung pada tenaga atau panas Matahari. Sekitar 70 persen dari cahaya Matahari berhasil mencapai permukaan Bumi dengan berbagai spektrum panjang gelombang (lihat Gambar 3.1).

Sisanya, yang 30 % radiasi Matahari yang terarah ke Bumi dibelokkan oleh atmosfer bagian luar. Radiasi ini selanjutnya disebarkan kembali ke luar angkasa.

Untuk radiasi Matahari yang mengenai permukaan Bumi, radiasi tersebut diserap baik oleh daratan maupun air. Dari permukaan inilah lalu dipantulkan kembali ke atas dalam bentuk radiasi inframerah.

Panas yang berasal dari radiasi inframerah inilah yang diserap oleh GRK. Dengan demikian, radiasi tersebut tertahan dan tidak terlepas dari atmosfer. GRK, meskipun jumlahnya hanya sekitar 1 % dari atmosfer Bumi, namun ia mampu mengatur iklim kita dengan memerangkap panas dan menahannya seperti halnya selimut udara hangat yang menyelimuti Bumi (Larry West, About.com Guide).

Gambar 3.1. Ilustrasi spektrum cahaya radiasi Matahari. Sekitar 43 % radiasi Matahari berada pada kisaran panjang gelombang antara 400 – 700 nm atau dikenal dengan cahaya tampak. Sementara itu, 7 - 8 % berada pada kisaran panjang gelombang kurang dari cahaya tampak, yang jumlahnya sedikit tapi sangat penting karena tingginya tenaga per photon (semakin pendek panjang gelombang, kian tinggi tenaganya). Sebanyak 49 – 50 % radiasi Matahari berada pada kisaran panjang gelombang yang lebih dari cahaya tampak, misalnya dekat kisaran inframerah antara 700 – 1.000 nm (http://www.ucar.edu/learn/1_3_1.htm).

Panjang gelombangRadiasi gelombang pendek

Radiasi gelombang panjang

Ener

gi

Gelombangmikro

Gelombangradio

Profil gelombang

Spektrum energi Matahari

UVRadiasiinframerah

Cahayatampak

Sinar X

400 nm 700 nm 1 mm 1 m 1 km 100 km

43 %

Page 40: Perubahan Iklim di Indonesia

Efek Rumah Kaca, Gas Rumah Kaca, dan Pemanasan Global

29

GRK yang berada di atmosfer itu berfungsi sebagai penyerap energi radiasi Matahari. Setelah itu ia melepaskannya di atmosfer dari yang seharusnya dipancarkan kembali ke ruang angkasa. Fungsi tersebut seringkali dikenal sebagai proses efek rumah kaca dimana terjadi pengumpulan energi terkungkung di atmosfer Bumi (lihat Gambar 3.2).

Contoh sederhana untuk memudahkan pemahaman kita mengenai efek rumah kaca adalah panasnya ruang kabin mobil atau bus di siang hari. Kaca yang mengelilingi mobil berfungsi sebagai dinding dari rumah kaca.

Ketika panas radiasi Matahari mengenai kaca tersebut, ia secara leluasa masuk menerobos ke ruang kabin. Sejurus kemudian, panas tersebut diserap dan dipantulkan dari dalam kabin.

Karena dindingnya berasal dari kaca, maka pantulan panas dari kabin tadi terkungkung. Panas tidak dapat keluar kabin lantaran tertahan oleh kaca tadi. Praktis, ruang kabin berubah menjadi panas menyengat. Kaca di mobil ini berperilaku seperti GRK di atmosfer.

Contoh serupa adalah dengan mengilustrasikan kondisi udara di dalam bangunan rumah kaca. Di daerah tropis seperti Indonesia, bangunan rumah

Gambar 3.2. Efek rumah kaca (Sumber: IPCC, 2007).

Radiasi inframerah dipancarkan dari permukaan Bumi

Sekitar setengah dari radiasi sinar Matahari diserap oleh

permukaan Bumi dan memanaskan permukaan Bumi

EFEK RUMAH KACASebagian sinar inframerah yang

datang ke Bumi diteruskan melewati atmosfer. Namun, sebagian besar diserap dan

dipancarkan kembali ke segala arah oleh awan dan molekul gas

rumah kaca. Hal ini mengakibatkan atmosfer di dekat permukaan Bumi

semakin panas.

Page 41: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

30

kaca ini biasa kita lihat di dataran tinggi yang memang bersuhu udara dingin. Bahkan petani di daerah subtropis atau berlintang tinggi, banyak menggunakan bangunan rumah kaca untuk mendapatkan kehangatan suhu udara yang sesuai bagi tanaman yang dibudidayakannya.

Dinding dan atap yang terbuat kaca dapat menerima panas dari radiasi Matahari. Radiasi tersebut dengan leluasanya menerobos masuk ke dalam ruangan rumah kaca. Ketika sampai di permukaan, panas tersebut lalu diserap dan dipantulkan kembali ke segala penjuru rumah kaca.

Radiasi panas yang dipantulkan lalu terperangkap dan mengumpul di ruangan karena ia memang tidak dapat keluar dari rumah kaca. Dengan kata lain, ia terkungkung di dalam rumah kaca. Akibatnya, suhu udara di dalam rumah kaca jauh lebih tinggi daripada lingkungannya. Fenomena inilah yang disebut efek rumah kaca.

Pada skala mikro, proses penyerapan radiasi Matahari terjadi pada frekuensi atau panjang gelombang yang bersesuaian dengan panjang gelombang atau frekuensi eksitasi antar atom pada molekul GRK seperti karbon dioksida (CO2). Ikatan antar atom itu bereksitasi (bergetar) akibat menyerap energi radiasi yang terpapar.

Semakin banyak jumlah molekul GRK yang terdapat di atmosfer maka akan semakin kuat daya serap atmosfer karena jumlah energi radiasi yang masuk atmosfer Bumi relatif konstan dan hanya bervariasi pada jangka waktu lama. Seperti kita ketahui, jangka waktu (life time) GRK tersebut bertahan di atmosfer sangatlah lama, hingga mencapai ratusan bahkan puluhan ribu tahun.

“Ilustrasi efek rumah kaca dapat dianalogikan sebagai panas yang timbul di dalam kabin mobil di siang hari. Kaca yang mengelilingi kabin mobil berfungsi sebagai dinding dari rumah kaca yang

menerima panas matahari dari luar kabin dan tidak memantulkannya keluar. Efek yang sama dirasakan

pada penumpang yang berada di kabin mobil sehingga ruang kabin menjadi panas menyengat.”

Page 42: Perubahan Iklim di Indonesia

Efek Rumah Kaca, Gas Rumah Kaca, dan Pemanasan Global

31

Akibatnya, molekul gas tersebut berpotensi untuk terus menyerap energi radiasi di atmosfer. Akumulasi energi yang terserap itu lambat laun akan memberikan efek pemanasan global.

Dalam perdebatan dan negosiasi politis pemanasan global, negara maju dituding sebagai biang keladi terjadinya pemanasan global. Hal ini dapat dimaklumi karena mereka telah mengemisikan GRK sejak 1,5 abad silam ketika era industrialisasi menggerakkan roda perekonomiannya. Selama itu pula emisi beberapa jenis GRK terus melayang-layang di atmosfer.

3.2. Gas Rumah Kaca (GRK)Secara alami, gas rumah kaca (GRK) merupakan bagian dari atmosfer

Bumi. GRK adalah molekul gas yang memiliki lebih dari dua atom. Ikatan-ikatan atom itu tidak terlalu kuat sehingga mampu bergetar (vibrasi) saat terjadi penyerapan panas.

CO2 merupakan salah satu GRK. CO2 terdiri dari satu atom karbon dengan satu atom oksigen terikat pada kedua sisinya. Saat atom-atom tersebut terikat tidak cukup kuat, ikatan antarmolekul CO2 dapat menyerap radiasi inframerah dan molekul tersebut mulai bergetar (vibrasi).

Selanjutnya, molekul yang bergetar itu melepaskan radiasi. Radiasi yang dilepas tadi kemungkinan besar diserap lagi oleh molekul GRK lainnya. Siklus penyerapan, pelepasan, dan penyerapan tersebut mempertahankan panas di dekat permukaan Bumi dan secara efektif mengisolasi permukaan Bumi dari ruang angkasa yang dingin.

Ada banyak sumber GRK. GRK paling banyak di muka Bumi adalah uap air yang terbentuk secara alami. Selain itu, terdapat juga GRK yang terbentuk akibat aktivitas umat manusia (anthropogenik). Menurut Protokol Kyoto, GRK antropogenikterdiri dari enam jenis, yakni CO2, CH4 (methane), N2O (nitrous oxide), HFCs (hydrofluorocarbons), PFCs (perfluorocarbons), dan SF6 (sulphur hexafluoride).

Komponen utama atmosfer, yakni N2 dan O2, merupakan molekul yang ter-diri dari dua atom dan terikat sangat kuat. Akibatnya, N2 dan O2 tidak mampu menyerap panas sehingga tidak berkontribusi terhadap efek rumah kaca.

GRK yang berada di atmosfer berfungsi sebagai penyerap energi radiasi Matahari dan melepaskan energi yang terserap tersebut ke atmosfer. Proses penyerapan terjadi pada frekuensi atau panjang gelombang radiasi Matahari yang bersesuaian dengan panjang gelombang eksitasi antaratom pada molekul GRK. Untuk CO2 misalnya, proses tersebut terjadi pada beberapa

Page 43: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

32

panjang gelombang tertentu. Spektrum sinar Matahari memiliki interval panjang gelombang yang

sangat lebar. Frekuensi yang sama tersebut akan membuat ikatan antaratom bereksitasi (bergetar) akibat menyerap energi radiasi yang terpancar. Semakin banyak jumlah molekul GRK yang terdapat di atmosfer maka kian kuat daya serap atmosfer karena jumlah energi radiasi yang masuk atmosfer Bumi relatif konstan dan hanya bervariasi pada jangka waktu lama.

Prinsip kerja molekul GRK dapat dianalogikan dengan peralatan micro wave yang kerap dipakai oleh para ibu rumah tangga di dapur. Micro wave berfungsi memanaskan makanan dengan cara molekul air yang terdapat di dalam makanan tersebut dipanaskan.

Alat micro wave akan memancarkan energi dengan panjang gelombang tertentu yang dapat membuat molekul air bergetar. Seperti halnya prinsip kerja GRK, maka yang terjadi di dalam micro wave, pancaran energi tersebut akan membuat energi tambahan pada molekul air dan mengubahnya dari fase padat (es) menjadi cair atau dari cair menjadi gas (uap). Akibatnya, energi tersebut turut memanaskan makanan yang terdapat di dalamnya.

Di atmosfer, usia GRK bervariasi tergantung jenis molekul gasnya (lihat Tabel 3.1). Pada jangka waktu tersebut, proses penyerapan energi oleh molekul GRK terus terjadi. Dalam perhitungan potensi daya serap energi, kemampuan serap masing-masing GRK dibandingkan dengan potensi daya serap CO2 sebagai satuan unit utama (CO2 equivalent).

Perhitungan daya rusak total diambil sebagai satuan unit tersebut dikalikan perbedaan berat jenis spesies yang dihitung dengan berat jenis CO2.

Tabel 3.1. Usia (life time) beberapa jenis gas rumah kaca (GRK) di atmosfer dan potensi daya rusak terhadap pemanasan global (Sumber: IPCC AR 4, 2007).

GRKUsia

(tahun)Potensi daya rusak

(100 tahun)

Carbon Dioxide (CO2) ratusan 1

Methane (CH4) 12 25

Nitrous Oxide (N2O) 114 298

Hydrofluorocarbon-23 (CHF3) 264 14.800

Sulphur hexafluoride (SF6) 3.200 22.800

PFC-14 (CF4) 50.000 7.390

Page 44: Perubahan Iklim di Indonesia

Efek Rumah Kaca, Gas Rumah Kaca, dan Pemanasan Global

33

3.3. Pemanasan GlobalPemanasan global adalah kenaikan suhu rata-rata udara di dekat

permukaan Bumi dan lautan yang terjadi sejak pertengahan abad ke-19 dan diproyeksikan terus berlangsung. Menurut Laporan Kajian Ke-empat dari IPCC tahun 2007, suhu permukaan global meningkat sebesar 0,74 ± 0,32 oC (1,33 ± 0,32 oF) selama abad ke-20.

Mayoritas kenaikan suhu yang diamati sejak pertengahan abad ke-20 disebabkan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) meningkat tajam. Peningkatan tersebut sebagai akibat dari aktivitas manusia seperti pembakaran bahan bakar fosil dan pengurangan lahan hutan.

Seperti diketahui, kendaraan bermotor, kapal laut, pesawat terbang, pabrik, perkantoran, dan industrialisasi membutuhkan bahan bakar fosil seperti minyak Bumi, solar, premium, dan lain-lain. Sisa dari pembakaran bahan bakar fosil tersebut menyemburkan CO2 ke atmosfer sehingga menambah konsentrasi GRK.

Selain faktor manusia, naiknya konsentrasi GRK juga dapat dipicu oleh faktor alami. Di antaranya, letusan gunung berapi, dinamika iklim di atmosfer dan lautan, serta pengaruh dari luar Bumi seperti gejala kosmis dan ledakan di Matahari.

Ketika konsentrasi GRK di atmosfer bertambah, suhu permukaan Bumi cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Fenomena ini disebut sebagai pemanasan global.

Tanda-tanda utama pemanasan global tidak hanya sebatas pada peningkatan konsentrasi GRK. Lebih dari itu, tanda lainnya adalah terjadinya kenaikan suhu muka Bumi, peningkatan muka air laut, dan melelehnya lapisan es di kedua kutub Bumi.

Peningkatan konsentrasi GRK di atmosfer akan meningkatkan besaran energi yang terdapat di atmosfer. Menurut Hukum Kekekalan Energi, energi tidak dapat hilang melainkan berubah bentuk.

Berdasarkan pengetahuan ini, maka peningkatan energi di atmosfer tadi berubah bentuk menjadi energi panas. Dengan kata lain, peningkatan GRK akan menyebabkan terjadinya perubahan komposisi energi di atmosfer dalam berbagai bentuk, di antaranya berupa pemanasan di muka Bumi.

Kenaikan suhu muka Bumi, baik di darat maupun laut juga menyebabkan naiknya suhu udara muka Bumi. Salah satu akibat dari kenaikan suhu muka Bumi ditandai dengan melelehnya lapisan es di berbagai wilayah daratan. Mencairnya lapisan es di daratan –bukan di lautan—merupakan salah satu

Page 45: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

34

faktor penting dalam penghitungan kenaikan muka air laut.Melelehnya lapisan es tersebut akan menyebabkan kenaikan muka

air laut. Ada dua hal yang menyebabkan kenaikan muka air laut. Pertama, bertambahnya volume air di laut akibat aliran lelehan es yang mencair di daratan. Kedua, adanya pemuaian molekul air sebagai akibat dari suhu muka laut yang meningkat.

Untuk wilayah pesisir, ancaman kenaikan muka air laut akibat pemanasan global dapat terjadi dalam jangka waktu yang sangat lama. Indonesia sebagai negara kepulauan sangat menderita akibat permukaan air laut yang meningkat.

“Dalam perdebatan dan negosiasi politis pemanasan global maka negara maju yang ditengarai telah mengemisikan

GRK sejak 1,5 abad yang lalu dituduh sebagai biang keladi penyebab pemanasan global. Hal ini terutama disebabkan

karena waktu hidup (life time) beberapa jenis GRK di atmosfer mencapai hingga 1,5 – 2,0 abad.”

Jika tidak ada upaya untuk mengerem laju pemanasan global maka mulai 20 tahun (dua dekade) ke depan akan terjadi peningkatan pemanasan sebesar 0,2 °C di setiap 10 tahun. Proyeksi tersebut dilakukan dengan beberapa skenario yang tidak memasukkan pengurangan emisi GRK.

Besarnya pemanasan yang akan terjadi setelahnya akan tergantung kepada jumlah GRK yang diemisikan ke atmosfer. Jika konsentrasi GRK (CO2) dominan di atmosfer, maka suhu udara rata-rata akan meningkat mencapai 2 – 4,5 oC hingga dua kali lipat dibandingkan konsentrasi serupa pada masa pra-industri. GRK lainnya turut pula berperan dalam pemanasan tersebut.

Menurut beberapa skenario, kombinasi dampak dari gas-gas ini akan menjadi dua kali lipat pada paruh kedua abad ini. Konsentrasi CO2 di atmosfer saat ini (data Indonesia dari pemantauan GRK Bukit Kototabang adalah 385 ppm), menurut pengukuran pada udara yang terperangkap pada inti es, jauh lebih besar dibandingkan dengan 650.000 tahun terakhir.

Para ilmuwan yang mengukur perubahan di atmosfer, lautan, permukaan es, dan gletser menunjukkan bahwa Bumi telah mengalami pemanasan akibat adanya emisi GRK di masa lalu. Perubahan-perubahan tersebut merupakan bagian dari pola konsisten dan bukti dari adanya gelombang panas (heat waves) yang lebih besar, pola angin baru, kekeringan yang lebih parah di

Page 46: Perubahan Iklim di Indonesia

Efek Rumah Kaca, Gas Rumah Kaca, dan Pemanasan Global

35

beberapa daerah, bertambahnya presipitasi di daerah lainnya, melelehnya gletser dan es di Arktik, serta naiknya muka laut.

Akibat peningkatan konsentrasi GRK, peningkatan suhu rata-rata, dan anomalinya maka terjadi pencairan lapisan es di daratan sehingga muka air laut mengalami kenaikan. Fakta menunjukkan, lapisan es di Benua Artrik saat ini telah berkurang sekitar 2,7 % per dekade.

Di daerah beriklim sedang, banyak gunung gletser mencair. Tutupan saljunya pun semakin berkurang, terutama pada musim semi. Selama abad ke-20, luasan maksimum daerah yang tertutup salju pada musim dingin/semi telah berkurang sekitar 7 % pada belahan Bumi utara.

Selain itu, waktu yang dibutuhkan untuk pembekuan sungai dan danau pun cukup bervariasi. Namun sejak 150 tahun terakhir, periode pembekuan tersebut semakin lambat, yakni menjadi 5,8 hari setiap abad dan mencair lebih cepat 6,5 hari per abad.

Akibat pencairan lapisan es ini, diperkirakan permukaan laut naik sekitar 17 cm selama abad ke-20. Pengamatan geologi mengindikasikan bahwa kenaikan muka laut ini jauh lebih besar dibandingkan yang terjadi pada 2.000 tahun silam.

Beberapa fakta seputar GRK dan pemanasan global:

F Pemanasan permukaan di daerah tropis jauh lebih kecil daripada di subtropis. Pemanasan permukaan di daerah subtropis jauh lebih kecil dari pemanasan permukaan di daerah polar (kutub). Hal ini terjadi karena suhu udara di daerah tropis sudah mendekati suhu permukaan maksimum atau suhu kritis yang sulit untuk meningkat lagi. Selain itu, daerah tropis merupakan daerah dengan kelembaban tinggi akibat kuatnya penguapan yang mana uap air di atmosfer akan meredam dampak pemanasan global. Peningkatan suhu di tropis akan menyebabkan jenuhnya kelembaban di daerah tropis yang pada akhirnya akan melebarkan garis batas daerah tropis atau pembentukan daerah tropis baru.

F Pemanasan permukaan di daerah pesisir jauh lebih kecil daripada pemanasan permukaan di daerah pegunungan. Hal ini disebabkan suhu permukaan di daerah pesisir sudah mendekati suhu kritis sedangkan di daerah pegunungan, suhu masih jauh lebih dingin.

Page 47: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

36

F Karena berat jenis dari molekul GRK jauh lebih besar daripada berat jenis molekul udara umumnya (nitrogen dan oksigen) dan hal ini menyebabkan posisi molekul GRK tersebut berada di atmosfer bawah maka peristiwa pemanasan global lebih intensif terjadi di lapisan bawah atmosfer atau di permukaan Bumi.

F Peningkatan paras muka air laut terjadi karena tambahan volume air akibat pemuaian air laut pada suhu yang lebih tinggi dan penambahan volume air dari lelehan es di daratan. Pelelehan es di laut tidak menambah volume air laut atau paras muka laut.

F Konsentrasi GRK di atmosfer dapat dikurangi secara biologis dengan menambah jumlah fotosintesa dan respirasi tanaman di darat dan lautan. Secara fisika, hal itu dapat dilakukan dengan melarutkan GRK pada air hujan. Sementara itu, secara kimiawi, dilakukan dengan cara melarutkan GRK pada senyawa kimia tertentu melalui reaksi kimia tertentu.

F Konsentrasi GRK jauh berkurang akibat proses fotosintesa tanaman dibandingkan proses fisika dan kimia yang banyak terjadi di lautan. Dengan demikian, daya serap hutan jauh lebih tinggi dibandingkan laut dalam menyerap GRK.

F Penambahan GRK di atmosfer lebih disebabkan oleh penambahan gas buang dari bahan bakar fosil (fuel) yang berasal dari perut Bumi. Sedangkan sumber bahan bakar nabati (biofuel) yang ditanam di muka Bumi dianggap tidak menambah jumlah konsentrasi GRK. Sebab, akumulasi karbon yang tersimpan dalam tanaman selama masa pertumbuhan, berasal dari karbon yang dilepaskan di atmosfer.

F Kelebihan energi di muka Bumi dapat dikurangi dengan pengenalan energi baru seperti energi angin, hidrogen, Matahari, panas Bumi, arus laut, gelombang laut, serta teknologi nuklir fusi dan fisi. Dengan adanya penumpukan energi akibat efek rumah kaca di atmosfer maka idealnya kelebihan energi tersebut diserap oleh sumber daya energi atmosfer atau angin. Tampaknya penerapan energi angin masih sulit dilakukan di wilayah Indonesia. Sebab, selain potensi anginnya tidak seberapa, arah anginnya juga terus berganti arah, baik angin darat, angin laut, maupun angin musiman.

Page 48: Perubahan Iklim di Indonesia

Efek Rumah Kaca, Gas Rumah Kaca, dan Pemanasan Global

37

Drs. Hadi Widiatmoko, M.SiKepala Bidang Pengelolaan Citra Inderaja BMKG

Ulah Manusia Penyebab Terjadinya Perubahan Iklim

Perubahan iklim menurut pendapat saya sebagai weather forecaster/meteorologist dapat dijelaskan sebagai

berikut. Pengetahuan tentang perubahan iklim dapat dipahami dari faktor kendali umum (bersifat alamiah) dan faktor kendali khusus yang sangat dipengaruhi oleh faktor manusia (antropogenik).

Dilihat dari sisi faktor kendali umum, pengetahuan tentang perubahan iklim diperoleh dari studi terhadap fenomena astronomis yang mempengaruhi cuaca dan iklim di Bumi (Astrometeorologi) dan studi fenomena atmosfer atas yaitu studi gangguan Matahari pada atmosfer atas tetapi berpengaruh hingga atmosfer bawah (troposfer), karena atmosfer merupakan kesatuan Aeronomi. Dari kedua cabang ilmu ini, orang dapat mengetahui bahwa pada beberapa juta tahun silam iklim di Bumi mengalami jaman es (ice ages) dan periode panas yang dikenal dengan interglacial periods.

Fenomena perubahan iklim yang terjadi pada jutaan tahun silam tersebut disebabkan oleh faktor alamiah karena variasi periodik dari orbit Bumi yang berpengaruh pada jumlah energi Matahari yang diterima oleh permukaan Bumi. Berdasarkan penelitian dari berbagai literatur, diperkirakan jaman es berlangsung selama lebih dari 90.000 tahun dengan suhu udara mencapai sekitar 10 oC di bawah suhu udara rata-rata saat ini. Sementara itu, periode panas berlangsung sekitar 10.000 tahun silam dengan suhu udara kurang lebih sama dengan kondisi saat ini.

Dari sisi faktor kendali khusus, pengetahuan perubahan iklim diperoleh berdasarkan fakta/data dan hasil analisis indikator-indikator lingkungan

Drs. Hadi Widiatmoko, M.Si

Page 49: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

38

yang memegang peranan penting pada pemahaman kita tentang perubahan iklim dan faktor-faktor penyebabnya. Data dari sebuah indikator dapat memberi informasi keadaan tentang kondisi lingkungan tertentu pada suatu wilayah pada kurun waktu tertentu.

Indikator suhu misalnya, dapat memberi informasi tentang intensitas penggunaan energi (peningkatan kendaraan bermotor, industri, dan lain sebagainya) atau kondisi suatu wilayah mengalami degradasi (misalnya deforestrasi, konversi lahan pertanian/perkebunan menjadi perumahan). Sementara itu, curah hujan dapat memberi informasi tentang perubahan siklus serta neraca hidrologi musiman dan tahunan. Sedangkan tinggi permukaan laut dapat memberi informasi tentang perubahan proporsional massa air dan es di permukaan Bumi. Dan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer memberi informasi mengenai tingkat konsumsi bahan bakar fosil.

Menurut saya, isu perubahan iklim yang menjadi perhatian semua negara di dunia saat ini adalah lebih pada faktor kendali khusus akibat ulah manusia (antropogenik), yang merefleksikan atau mencerminkan hubungan kausalistik kondisi lingkungan Bumi yang meliputi atmosfer, biosfer, hidrosfer, kriosfer, dan pedosfer.

Paling tidak ada tiga hal penting yang harus menjadi perhatian para peneliti perubahan iklim. Pertama, pembuktian berdasarkan data dan fakta indikator kunci perubahan. Hal ini sangat tergantung pada kualitas (validitas dan reabilitas) dan kecukupan (time series) data.

Kedua, pemodelan untuk menggambarkan perubahan indikator iklim yang telah, sedang, dan akan terjadi. Ketiga, analisis dan sintesis, faktor penyebab dan dampak dari perubahan untuk tujuan mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.

Page 50: Perubahan Iklim di Indonesia

Perubahan Iklim

39

BAB 4.

PERUBAHAN IKLIM

Perubahan iklim adalah berubahnya pola dan intensitas unsur iklim pada periode waktu yang dapat dibandingkan (biasanya terhadap rata-rata 30 tahun). Perubahan iklim dapat merupakan suatu perubahan

dalam kondisi cuaca rata-rata atau perubahan dalam distribusi kejadian cuaca terhadap kondisi rata-ratanya.

Sebagai contoh, kejadian cuaca ekstrem yang lebih sering terjadi atau malah berkurang frekuensinya, pola musim yang berubah, dan meluasnya daerah rawan kekeringan. Dengan demikian, fluktuasi yang periodenya lebih pendek dari beberapa dekade atau 30 tahun, seperti kejadian El Nino, tidak dapat dikatakan sebagai perubahan iklim.

Pada Bab 3 diungkapkan, penumpukan gas rumah kaca (GRK) akan menyebabkan energi radiasi yang terserap mengumpul di atmosfer. Hukum Fisika tentang kekekalan energi menjelaskan, energi yang terkumpul tersebut akan tetap bertahan di atmosfer dan hanya dapat berubah bentuk menjadi jenis energi lainnya. Ada tiga perubahan bentuk energi yang terjadi, yakni:

a. Energi panas atau kalor dalam bentuk peningkatan suhu Bumi dan mencairnya es di daratan yang menyebabkan peningkatan muka air laut.

b. Energi gerak atau kinetis dalam bentuk angin puting beliung, badai, topan, dan siklon tropis.

c. Energi berat atau potensial dalam bentuk turunnya hujan air dan es yang lebih deras.

Page 51: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

40

Jika dicermati secara mendalam maka gejala yang diakibatkan dari perubahan bentuk energi tersebut sebenarnya adalah perubahan dari berbagai parameter iklim yaitu suhu, angin, dan hujan. Atau dengan kata lain, terjadi perubahan siklus air di muka Bumi.

Selain suhu, angin, dan hujan, parameter iklim lainnya yang ikut berubah adalah penguapan, kelembaban, dan tutupan awan. Singkat kata, perubahan energi akibat pemanasan global telah mengakibatkan perubahan siklus air yang mengarah pada perubahan iklim.

Secara umum, perubahan iklim berlangsung dalam waktu lama (slow pace) dan berubah secara lambat (slow onset). Perubahan berbagai parameter iklim yang berlangsung perlahan tersebut dikarenakan berbagai peristiwa ekstrem yang terjadi pada variabilitas iklim yang berlangsung secara terus-menerus.

“Perubahan iklim adalah berubahnya baik pola maupun intensitas unsur iklim pada periode waktu yang dapat dibandingkan (biasanya terhadap rata-rata 30 tahun). Perubahan iklim dapat merupakan suatu perubahan dalam kondisi cuaca rata-rata atau perubahan dalam distribusi kejadian

cuaca terhadap kondisi rata-ratanya.”

Peristiwa ekstrem menyebabkan berubahnya besaran statistik rata-rata iklim yang pada akhirnya menggeser atau mengubah iklim pada umumnya. Dengan demikian, pemantauan perubahan iklim dapat dilakukan dengan memantau kondisi iklim ekstrem. Sebagai contoh pola peningkatan suhu Bumi ditandai dengan berbagai rekor baru suhu maksimum secara terus-menerus, sedangkan pola musim berubah dengan adanya pergeseran awal musim.

Istilah perubahan iklim --khususnya untuk perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia (antropogenik), baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga mengubah komposisi atmosfer global yang diamati pada periode waktu hampir sama—kadang-kadang digunakan untuk menjelaskan

Page 52: Perubahan Iklim di Indonesia

Perubahan Iklim

41

adanya pemanasan global. Dengan demikian, perubahan iklim seolah-olah menjadi sinonim (kata lain) dari pemanasan global (global warming).

Jika mengacu pada skema perubahan iklim (lihat Gambar 4.1), perubahan iklim merupakan perubahan pada komponen iklim, yaitu suhu, curah hujan, kelembaban, evaporasi, arah dan kecepatan angin, serta awan. Jadi, perubahan iklim merupakan dampak dari peristiwa pemanasan global.

Respon yang dapat dilakukan terkait perubahan iklim yang telah, sedang, dan akan terjadi adalah dengan melakukan dua tindakan. Pertama, melakukan adaptasi untuk mengatasi akibat atau dampak perubahan iklim. Kedua, melakukan mitigasi untuk mengatasi penyebab perubahan iklim.

Tindakan adaptasi adalah upaya untuk mengatasi dampak perubahan iklim sehingga mampu mengurangi dampak negatif dan mengambil manfaat positifnya. Dalam pengertian lain, adapatasi adalah upaya untuk mengelola hal yang tidak dapat dihindari. Dalam hal ini upaya perubahan dilakukan dengan asumsi bahwa perubahan iklim merupakan suatu keniscayaan yang tidak dapat dihindari dan terjadi secara global.

Beberapa komponen utama kegiatan adaptasi perubahan iklim meliputi antara lain:

- Atribusi komponen perubahan iklim terhadap kegiatan sosial ekonomi dan biosfer.

- Kajian dan studi dampak.- Kerentanan terhadap perubahan iklim.- Kapasitas adaptasi dan kajian ketahanan terhadap perubahan iklim.

Gambar 4.1. Skema perubahan iklim.

Interferensi

MITIGASI

DampaktPositiftNegatif

Proses penyebab perubahan iklim:tGas rumah kaca (CO2,

CH4, N2O).tAerosol.tSiklus karbon yang

terganggu.

Aktivitas manusiatPembakaran bahan

bakar fosil.tAktivitas pertanian.tPerubahan lahan.

RESPON

Perubahan utama iklim:tPeningkatan suhu global

(global warming).tPencairan lapisan es.tPerubahan pola hujan.tKenaikan permukaan

laut dan perubahan sirkulasi laut.

ADAPTASI

Page 53: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

42

Sementara itu, tindakan miti-gasi adalah upaya untuk mengatasi penyebab perubahan iklim melalui kegiatan yang dapat menurunkan emisi atau meningkatkan penyerap-an GRK dari berbagai sumber emi-si. Pengertian lain mitigasi adalah upaya untuk menghindari hal yang tidak dapat dikelola. Dalam hal ini upaya perubahan dilakukan pada sumber penyebab pemanasan glo-bal.

Ilustrasi sederhana perbedaan dari tindakan adaptasi dan mitigasi adalah perilaku seseorang ketika ia berada di dalam ruangan ber-AC (air conditioner) yang dingin. Seperti diketahui, ketika AC diaktifkan, ruangan menjadi dingin lantaran suhu yang rendah.

Dengan mengasumsikan suhu ruangan tersebut tidak dapat diubah maka seseorang dapat melakukan suatu tindakan agar tubuhnya tidak menggigil kedinginan. Karena itulah, untuk menyesuaikan suhu ruangan yang dingin tersebut, ia dapat mengenakan jaket atau baju tebal agar ia merasa nyaman berada di tempat tersebut. Perilaku semacam inilah yang disebut sebagai tindakan adaptasi terhadap dirinya sendiri karena kondisi lingkungan tersebut dianggap tidak mungkin bisa diubah.

Tindakan lain yang dapat dilakukan seseorang adalah dengan

“Tindakan adaptasi adalah upaya untuk mengatasi dampak

perubahan iklim sehingga mampu

mengurangi dampak negatif dan mengambil

manfaat positifnya. Dalam pengertian

lain adapatasi adalah upaya untuk mengelola

hal yang tidak dapat dihindari.”

“Tindakan mitigasi adalah upaya utuk

mengatasi penyebab perubahan iklim melalui kegiatan

yang dapat menurunkan emisi atau meningkatkan

penyerapan GRK dari berbagai sumber emisi. Dalam pengertian lain mitigasi adalah upaya

untuk menghindari hal yang tidak dapat

dikelola.”

Page 54: Perubahan Iklim di Indonesia

Perubahan Iklim

43

berusaha mengubah kondisi dingin ruangan tersebut. Caranya, mengatur suhu ruangan melalui alat remote control pada AC sedemikian rupa sehingga suhunya menjadi lebih hangat.

Pada tindakan semacam ini berarti ia telah melakukan upaya mitigasi agar suasana ruangan tidak terlalu dingin dengan melakukan perubahan pada penyebab dinginnya suasana ruangan. Melalui upaya mitigasi tersebut, ia dapat mengurangi dampak yang tak nyaman dari suhu ruangan yang dingin tadi.

Dari contoh sederhana tersebut dapat dikatakan bahwa secara umum langkah adaptasi dilakukan dengan asumsi bahwa perubahan iklim yang terjadi sudah tidak dapat dielakkan karena sudah, sedang, dan akan terjadi. Dengan demikian diperlukan perubahan pola dan tingkah laku manusia untuk menyesuaikannya.

Gambar 4.2. Komponen dan alur proses perubahan iklim.

qKebakaran hutanqKekeringanqKenaikan muka lautqPuting beliung

PERUBAHAN IKLIM

qKelembabanqTutupan awanqSuhu

qAnginqHujanqPenguapan

PEMANASAN GLOBAL

GAS RUMAH KACA

qLongsorqBanjirqSiklon

RESPON

qSumber energiqRusaknya infrastrukturqTransportasi tergangguqPariwisata terganggu

qMalariaqOPTqSumber airqDBD

DAMPAK NONFISIK

DAMPAK FISIK

P

P

P

Perubahan siklus air

Perubahan energi

P

Adaptasi

Mitigasi

“Singkat kata perubahan

energi akibat pemanasan global telah

mengakibatkan perubahan

siklus air yang mengarah pada

perubahan iklim.”

Page 55: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

44

Pengertian perubahan Iklim menurut berbagai sumber:

a. UU No. 31 Tahun 2009:Perubahan Iklim adalah berubahnya iklim yang diakibatkan, langsung atau tidak langsung, oleh aktivitas manusia yang menyebabkan perubahan komposisi atmosfer secara global serta perubahan variabilitas iklim alamiah yang teramati pada kurun waktu yang dapat dibandingkan.

b. Pengertian menurut pemahaman petani:Perubahan Iklim adalah terjadinya musim hujan dan kemarau yang sering tidak menentu sehingga dapat mengganggu kebiasaan petani (pola tanam) dan mengancam hasil panen.

c. Pengertian menurut pemahaman nelayan:Perubahan iklim adalah susahnya membaca tanda-tanda alam (angin, suhu, astronomi, biota, dan arus laut) karena terjadi perubahan dari kebiasaan sehari-hari sehingga nelayan sulit memprediksi daerah, waktu, dan jenis tangkapan.

d. Pengertian menurut pemahaman masyarakat umum:Perubahan iklim adalah ketidakteraturan musim.

“Pemanasan global dianggap sebagai penyebab utama dari perubahan iklim. Perubahan iklim adalah dampak tidak langsung dari pemanasan global yang

melibatkan unsur aktivitas manusia dan alamiah.”

Apabila langkah adaptasi dilakukan dengan benar maka akan dapat mengurangi dampak risiko perubahan iklim dan dapat mengambil langkah optimal dengan memanfaatkan informasi iklim. Sementara itu, langkah mitigasi dilakukan dengan asumsi bahwa masih ada harapan perubahan iklim dapat dicegah terutama untuk generasi mendatang.

Page 56: Perubahan Iklim di Indonesia

Perubahan Iklim

45

Antoyo SetyadipratiktoBadan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

Dampak Perubahan Iklim Mencakup Hampir Seluruh

Sektor Kegiatan

Perubahan iklim merupakan fenomena terjadinya kondisi alam yang mengalami pergeseran atau anomali terhadap kebiasaannya (rata-ratanya) yang dapat menyebabkan gangguan dalam perilaku

kehidupan manusia dan aktivitas makhluk hidup lainnya (hewan, serangga, tanaman). Kondisi alam yang mengalami anomali tersebut mempunyai rentang waktu yang cukup panjang yakni puluhan tahun bahkan ratusan tahun dalam skala wilayah cukup luas. Secara umum, perubahan iklim merupakan kejadian perubahan fenomena alam dalam periode waktu cukup panjang (puluhan hingga ratusan tahun) yang menyebabkan perubahan dan penyesuaian perilaku serta aktivitas makhluk hidup di permukaan Bumi.

Identifikasi terjadinya perubahan iklim antara lain adalah telah terjadinya pemanasan global yang menimbulkan trend (kecenderungan) peningkatan suhu udara dan suhu permukaan air laut. Pada unsur-unsur iklim, hal itu dapat dilihat dari adanya perubahan pola curah hujan seperti pergeseran awal musim, baik musim hujan maupun kemarau, makin panjangnya periode musim kemarau atau makin pendeknya periode musim hujan, serta bergesernya puncak musim hujan.

Dampak dari perubahan iklim tersebut dapat mencakup hampir seluruh sektor kegiatan, antara lain pertanian, perkebunan, peternakan, kehutanan, kesehatan, dan sektor lainnya. Umumnya dampak tersebut menimbulkan kerugian yang cukup signifikan. Kondisi yang dapat dilihat di lapangan dari dampak perubahan iklim adalah makin menurunnya hasil produksi pertanian/pangan termasuk sayur dan buah-buahan (hortikultur) baik kuantitas maupun kualitasnya, makin sempitnya luasan lahan pertanian, serta makin sering terjadinya kasus penyakit demam berdarah dan penyakit lainnya (ISPA).

Page 57: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

46

Subekti MujiasihBina Operasi Meteorologi Maritim BMKG

Perubahan Iklim Perlu Disosialisasikan

ke Masyarakat Luas

Perubahan iklim merupakan suatu fenomena yang kejadiannya tidak terjadi secara mendadak. Prosesnya membutuhkan waktu yang lama. Sehingga jika terjadi cuaca ekstrim, tidak selalu disebabkan

oleh perubahan iklim. Perlu kajian mendalam untuk menjawabnya. Kajian mendalam iu meliputi pola iklim wilayah setempat seperti waktu-

waktu kejadian nilai maksimum atau minimum, apakah frekuensi kejadian anomali suatu parameter cuaca semakin sering atau tidak. Ataukah waktu kejadian maksimum atau minimum bergeser dari waktu normalnya.

Istilah perubahan iklim sebenarnya sudah lama. Namun tidak semua kalangan masyarakat memahami dengan benar hal-hal yang berkaitan dengan perubahan iklim. Penulis sering mendengar konsep perubahan iklim yang kurang tepat dari beberapa rekan penulis.

Mereka dengan cepat menyimpulkan bahwa beberapa fenomena alam yang terjadi disebabkan oleh perubahan iklim. Karena itu sosialisasi me-ngenai perubahan iklim perlu dilakukan lebih banyak lagi kepada masyara-kat luas, tidak hanya kalangan akademis, namun juga masyarakat awam.

Masyarakat perlu diperkenalkan pengertian cuaca, iklim, perubahan iklim, dampak-dampak yang mungkin terjadi, serta tindakan mitigasinya. Dengan demikian masyarakat menjadi lebih peduli dengan kondisi yang terjadi di sekitarnya, terutama lingkungan terdekatnya.

Kepedulian masyarakat akan sangat membantu keberhasilan program konservasi lingkungan hidup. Selain itu, masyarakat menjadi lebih siap jika terjadi bencana alam atau kejadian cuaca ekstrem. Masyarakat tidak hanya peduli setelah terkena bencana alam tetapi juga sebelum kejadian.

Page 58: Perubahan Iklim di Indonesia

Indikasi Terjadinya Pemanasan Global di Indonesia

47

BAB 5.

Pemanasan global telah terjadi dalam skala luas, termasuk di Indonesia yang ditandai dengan berbagai indikator. Ada empat Indikator utama terjadinya pemanasan global, yakni peningkatan konsentrasi gas rumah

kaca (GRK), peningkatan suhu muka Bumi, peningkatan paras muka laut, dan berkurangnya tutupan salju di daratan.

Semua indikator tersebut bisa ditemukan di Indonesia meskipun ada yang sangat pasti (seperti kenaikan konsentrasi GRK) dan yang sangat tidak pasti (peningkatan paras muka laut). Berikut ini penjelasan dari empat indikator utama terjadinya pemanasan global di Indonesia.

5.1. Peningkatan Konsentrasi GRKKonsentrasi GRK meningkat pada kurun waktu satu setengah abad (150

tahun) belakangan ini terutama dikarenakan oleh berbagai aktivitas manusia, khususnya sejak revolusi industri. Peningkatan konsentrasi tersebut disebab-kan pemakaian bahan bakar minyak dan sejenisnya serta konsumsi manusia yang meningkat selaras dengan pertambahan populasinya.

Konsekuensi dari semua itu adalah bahan bakar minyak (BBM) yang ada di perut Bumi dieksploitasi secara intensif. BBM itu lalu dibakar untuk memenuhi kebutuhan industri dan domestik (rumah tangga). Hasil pembakaran tersebut menimbulkan polutan gas CO2 , N2O, dan lain-lain yang terus menumpuk di lapisan atmosfer. Gas-gas tersebut tak mudah hilang karena selama di atmosfer Bumi ia memang memiliki usia (life time) yang sangat lama, puluhan hingga puluhan ribu tahun.

INDIKASI TERJADINYA PEMANASAN GLOBAL DI INDONESIA

Page 59: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

48

Peningkatan konsentrasi GRK berbanding lurus dengan percepatan proses pemanasan global. Semakin tinggi GRK yang menumpuk maka energi yang terserap di atmosfer bertambah dan meningkatkan suhu muka Bumi yang merupakan dasar dari terjadinya pemanasan global. Dari enam jenis GRK antropogenik yang ditetapkan oleh IPCC, Indonesia telah dan sedang memonitor empat jenis GRK, yakni CO2, CH4, N2O, dan SF6.

Di Indonesia, pemantauan GRK dilakukan di Stasiun Pemantau Atmosfer Global atau Global Atmosphere Watch (GAW). Stasiun GAW yang dibangun pada tahun 1996 atas kerja sama BMKG dan WMO (World Meteorologycal Organization) itu berada di Bukit Kototabang, Sumatera Barat.

Stasiun tersebut merupakan salah satu dari 28 Stasiun GAW di dunia. Stasiun ini mempunyai misi untuk mengukur secara sistematis komposisi kimia dan parameter fisik atmosfer selektif yang penting untuk mengetahui sinyal perubahan iklim.

Gambar 5.1 menunjukkan hasil pengukuran rata-rata konsentrasi CO2 dan kecenderungannya (tren) di atomosfer Indonesia sejak tahun 2004 hingga 2010. Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa konsentrasi CO2 cenderung mengalami kenaikan sejak tahun 2004 sampai 2010.

Gambar 5.1. Rata-rata konsentrasi CO2 yang terukur dan trennya di Stasiun Global Atmosphere Watch (GAW) Kototabang, Sumatera Barat (garis berwarna hijau), Mauna Loa, AS (garis merah), serta rata-rata dari 27 stasiun GAW yang tersebar di seluruh dunia (garis biru) sejak tahun 2004 hingga 2010.

Page 60: Perubahan Iklim di Indonesia

Indikasi Terjadinya Pemanasan Global di Indonesia

49

Kenaikan CO2 disebabkan antara lain adanya peningkatan aktivitas manusia yang menggunakan bahan bakar fosil yang dipakai dalam transportasi (baik darat, laut, maupun udara), pemanasan dan pendinginan ruangan di rumah dan kantor, serta pabrik-pabrik. Meningkatnya konsentrasi CO2 ini juga dapat disebabkan oleh pembakaran hutan serta proses alam seperti pembusukan tanaman.

Gambar 5.1 juga memaparkan perbandingan konsentrasi CO2 di stasiun Bukit Kototabang dengan stasiun Mauna Loa, Hawaii, Amerika Serikat (AS) sebagai stasiun referensi dunia. Selain itu, nilai konsentrasi GRK dari hasil rata-rata global di 27 stasiun GAW yang tersebar di seluruh dunia juga dipaparkan dalam gambar tersebut. Data yang ditampilkan merupakan hasil pemantauan di stasiun Bukit Kototabang yang diukur di pusat pengukuran GRK dunia di Boulder Colorado, AS oleh National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA).

Sementara itu, Gambar 5.2 menunjukkan, rata-rata konsentrasi gas metan (CH4), N2O (nitrous oxide), dan SF6 (sulphur hexafluoride) selama periode pengamatan tahun 2004 – 2010 yang juga mengalami peningkatan. Kadar metan di atmosfer yang meningkat diakibatkan oleh aktivitas manusia berhubungan dengan pertanian dan distribusi gas alam. Metan juga dihasilkan oleh proses alam yang terjadi, misalnya pada lahan basah (wetlands) dan dari emisi lahan pertanian padi basah.

Berdasarkan data dari Stasiun GAW BMKG di Bukit Kototabang, Sumatera Barat, meski dalam pola siklus tahunan, konsentrasi CO2, CH4, dan SF6 cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Nilai kecenderungan peningkatan konsentrasi GRK tahunan (2004 – 2010) di stasiun Bukit Kototabang adalah CO2 sebesar 1,50 part per million (ppm), CH4 senilai 2,70 part per billion (ppb), N2O sejumlah 0,795 ppb, dan SF6 sebanyak 0,265 part per trillion (ppt).

Coba bandingkan dengan kondisi saat ini. Hingga akhir tahun 2010, konsentrasi berbagai jenis GRK tersebut sudah melambung tinggi hingga mencapai sekitar 385 ppm untuk CO2, 1.880 ppb CH4, 324 ppb N2O, dan 7,15 ppt SF6.

Angka-angka tersebut merupakan gambaran nilai ambien GRK di Indonesia. Seperti diketahui, Stasiun GAW Bukit Kototabang adalah satu dari 28 stasiun serupa yang mengukur konsentrasi GRK ambien di dunia dan sudah mendapatkan registrasi dari WMO. Hasil pengukuran dari stasiun GAW Kototabang diperiksa di Laboratorium NOAA di Boulder AS sehingga nilai tersebut

Page 61: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

50

Gambar 5.2. Rata-rata kadar gas metan (CH4), N2O (nitrous oxide), dan SF6 (sulphur hexafluoride) selama periode pengamatan tahun 2004 – 2010 yang cenderung meningkat.

telah divalidasi dengan standar internasional yang tinggi setara dengan hasil dari stasiun GAW lainnya.

Nilai konsentrasi GRK ambien dipengaruhi oleh berbagai aktivitas manusia seperti pembakaran hutan, industrialisasi, dan rumah tangga. Sebagai catatan, dalam sidang United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), target konsentrasi CO2 yang masih didiskusikan adalah sekitar 450 ppm. Berdasarkan target tersebut, posisi Indonesia sebenarnya jauh lebih aman karena masih ada tenggang waktu sekitar 43 tahun atau hingga tahun 2053 untuk mencapai kadar CO2 yang diperkenankan UNFCCC tersebut.

Alasannya, data konsentrasi CO2 dari Stasiun GAW Kototabang menunjukkan bahwa kadar GRK di atomosfer Indonesia masih jauh di bawah konsentrasi di Mauna Loa, Hawaii, AS. Begitu juga jika dibandingkan dengan kadar CO2 rata-rata di seluruh dunia, Indonesia masih berada di bawahnya.

Hal ini berarti bahwa polusi atau emisi GRK di wilayah Indonesia masih jauh di bawah nilai rata-rata dunia. Bukti ini yang harus dipakai untuk menepis

Page 62: Perubahan Iklim di Indonesia

Indikasi Terjadinya Pemanasan Global di Indonesia

51

berbagai tuduhan yang menyebutkan pada 2007 Indonesia merupakan negara emiter ketiga terbesar di dunia (Aldrian, 2007c).

5.2. Peningkatan Suhu Muka BumiPeningkatan suhu muka Bumi ditandai dengan suhu muka laut. Hal ini

karena suhu muka laut lebih memberikan gambaran regional dan global dibandingkan suhu daratan yang terpengaruh oleh kondisi lokal dari berbagai faktor noniklim lainnya. Pemantauan suhu muka laut di Indonesia didapat dari data satelit penginderaan jauh.

Berdasarkan data satelit, di wilayah Indonesia selama 100 tahun terakhir ini terjadi peningkatan suhu muka laut sebesar 0,76 oC. Angka tersebut sedikit di atas angka rata-rata global berdasarkan laporan IPCC, yakni sebesar 0,72 oC dalam 100 tahun.

Gambar 5.4. Peningkatan suhu muka laut wilayah selatan Laut Cina Selatan.

Gambar 5.3. Peningkatan rata-rata suhu global muka Bumi tahun 1880 – 2010 terhadap rata-rata suhu tahun 1951 – 1980.

Page 63: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

52

Peningkatan suhu muka laut di berbagai wilayah bervariasi, tergantung pada pola aliran arus laut di sekitarnya. Peningkatan suhu muka laut ini disebabkan penambahan energi di muka Bumi sebagai akibat pemanasan global dan efek rumah kaca. Akibat dari peningkatan suhu muka laut secara nyata adalah naiknya paras muka laut dan melelehnya lapisan salju di daratan.

Gam

bar

5.5.

Kec

ende

rung

an k

enai

kan

suhu

uda

ra d

i Jak

arta

dan

Sem

aran

g (S

umbe

r: U

nesc

o/Ro

stse

a, 1

992)

Page 64: Perubahan Iklim di Indonesia

Indikasi Terjadinya Pemanasan Global di Indonesia

53

Gambar 5.6. Kondisi suhu permukaan laut selama tahun 1925 – 2005 di Raja Ampat, Papua Barat (gambar atas), Wakatobi, Sulawesi Tenggara (tengah), dan Komodo, Nusa Tenggara Timur (bawah). Terlihat bahwa ketiga daerah tersebut cenderung mengalami kenaikan suhu udara (Sumber: NOAA, 2008).

Page 65: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

54

5.3. Peningkatan Paras Muka LautKenaikan suhu muka Bumi membawa konsekuensi pada naiknya paras

muka air laut. Kenaikan muka air laut dipicu oleh dua sebab utama. Pertama, memuainya molekul air di laut akibat suhu yang lebih tinggi di permukaan. Kedua, penambahan air dari lelehan salju di daratan. Sebaliknya, lelehan es di lautan tidak akan memberikan kontribusi terhadap tambahan paras muka laut.

Penyebab kedua adalah yang paling dikhawatirkan banyak pihak karena volume cadangan es di daratan sangat besar. Seperti diketahui, di Bumi ini banyak terdapat tutupan salju abadi dan yang paling besar adalah di daratan Pulau Greenland dan Benua Kutub Selatan.

Bisa dibayangkan kalau lapisan es di dua daratan tersebut mencair dalam jumlah besar. Praktis, volume air di laut bakal naik dan dapat menyebabkan pulau-pulau kecil tenggelam. Negara kepulauan seperti Maladewa (Maldives) misalnya, tidak tertutup kemungkinan bakal tenggelam karena semua wilayahnya terdiri dari pulau-pulau kecil.

Gambar 5.7. Kecenderungan kenaikan muka laut di Jakarta, Semarang, dan Jepara pada tahun 1980 sampai 2001 (Sumber: Bakosurtanal, 2002).

Page 66: Perubahan Iklim di Indonesia

Indikasi Terjadinya Pemanasan Global di Indonesia

55Gambar 5.8. Kecenderungan kenaikan muka laut di Batam, Kupang, Biak, dan Sorong pada

tahun 1991 sampai 2000 (Sumber: Bakosurtanal, 2002).

Untuk memantau kenaikan paras muka laut di Indonesia, Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) menggunakan stasiun pasang surut (Pasut) yang tersebar di Jakarta, Semarang, Jepara, Batam, Kupang, Biak, dan Sorong. Hasil pengukuran tersebut disajikan pada Gambar 5.7 dan 5.8. Berdasarkan analisis tersebut, dapat diketahui bahwa laju rata-rata kenaikan paras muka laut adalah 5 – 10 mm per tahun.

Pantauan dari kenaikan paras muka laut saat ini juga dapat diperoleh dari data satelit penginderaan jauh dengan tingkat keakuratan masih belum memadai. Hal ini dikarenakan naiknya paras muka laut sangat lambat dan dengan skala yang sangat kecil. Selain itu, ketinggian paras muka laut di muka Bumi tidak sama antara laut dangkal dan laut dalam (deep sea).

Pada Gambar 5.9 menunjukkan, rata-rata tahunan level muka laut global pada masa lampau sampai dengan masa kini. Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa sejak tahun 1880 hingga 2010 muka laut cenderung mengalami kenaikan.

Page 67: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

56

Data kenaikan paras muka laut untuk wilayah Indonesia juga masih terbatas, baik dari segi waktu maupun distribusinya. Pada beberapa kota besar di pesisir seperti Belawan (Medan), Jakarta, Semarang, dan Surabaya, kenaikan paras muka laut diperparah dengan adanya penurunan muka tanah (lihat Tabel 5.1).

Kombinasi antara kenaikan suhu muka Bumi dan penurunan muka tanah akan menambah kecepatan (laju) kenaikan paras muka laut relatif. Pada kondisi ini, kenaikan paras muka laut akibat penurunan muka tanah lebih besar daripada kenaikan paras laut akibat kenaikan suhu muka Bumi. Penurunan muka tanah seringkali disebabkan oleh faktor pemompaan air tanah secara berlebihan, baik untuk konsumsi rumah tangga maupun industri.

5.4. Berkurangnya Tutupan Salju di DaratanTutupan salju di muka Bumi memiliki efek khusus bagi iklim dan pemanasan

global. Lapisan salju yang memiliki warna putih dan permukaan halus ini memiliki nilai albedo (pantulan) yang maksimal dibandingkan dengan tutupan

Gambar 5.9. Rata-rata level muka laut global yang cenderung naik. Perhitungan ini didasarkkan alat pengukur pasang laut (warna biru) yang dilakukan sejak tahun 1950 sampai 1992. Lalu pada tahun 1992 diukur dengan menggunakan satelit penginderaan jauh (warna hitam). Sementara itu, sebelum tahun 1950 merupakan angka dugaan (warna merah). Satuan yang digunakan adalah milimeter (mm) relatif terhadap rata-rata tahun 1961 – 1990.

Page 68: Perubahan Iklim di Indonesia

Indikasi Terjadinya Pemanasan Global di Indonesia

57lahan lainnya seperti air, hutan, sawah, dan perkebunan. Akibatnya, lapisan salju memantulkan secara maksimal radiasi Matahari ke angkasa luar.

Ketika tutupan salju tersebut berkurang karena meleleh maka kemampuan Bumi untuk memantulkan panas radiasi Matahari menjadi berkurang. Konsekuensinya, ia akan menambah kuat laju pemanasan global.

Tabel 5.1. Kenaikan muka laut di beberapa kota pesisir di Indonesia yang diakibatkan pemanasan global dan penurunan muka tanah di wilayah pesisir.

Lokasi stasiun Kenaikan muka laut

(mm/tahun)Sumber atau referensi

Cilacap selatan (Jawa Tengah)

1,30 Hadikusuma, 1993

Belawan (Sumatera Utara)

7,83 ITB, 1990

Jakarta 4,38 ITB, 1990

7,00 Berdasarkan data tahun 1984 - 2006

Semarang (Jawa Tengah)

9,37 ITB. 1990

5,00 Berdasarkan data tahun 1984 - 2006

Surabaya (Jawa Timur)

1,00 Berdasarkan data tahun 1984 - 2006

Sumatera timur 5,47 ITB, 1990

Lampung 4,15 P2O-LIPI, 1991

“Tutupan salju di muka Bumi bisa disebut sebagai termometer alamiah Bumi terhadap pemanasan global. Di daerah tropis terdapat tiga kumpulan

salju abadi yaitu di Gunung Kilimanjaro, Tanzania, Pegunungan Andes di Peru, dan Pegunungan

Jayawijaya di Indonesia.”

Page 69: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

58

Berkurangnya tutupan salju di daratan membawa dampak pada aliran permukaan (run off) dimana beberapa aliran sungai sangat tergantung kepadanya dan pada akhirnya memberikan dampak pada peningkatan paras muka air laut. Nepal adalah negara tanpa pesisir dan memiliki banyak tutupan salju abadi. Lelehan salju tersebut terbawa oleh aliran sungai ke beberapa negara lainnya seperti India, Bangladesh, China, Vietnam, dan Thailand.

Tutupan salju di muka Bumi bisa disebut sebagai alat pengukur (‘termometer’) alamiah Bumi terhadap pemanasan global. ‘Termometer’ ini juga dapat dipakai untuk mendeteksi di daerah tropis yang bersalju. Ada tiga kumpulan salju abadi di daerah tropis, yaitu di Gunung Kilimanjaro di Tanzania, Pegunungan Andes di Peru, dan Pegunungan Jayawijaya di Indonesia (lihat Gambar 5.10). Kalau ketiga salju tersebut mencair, itu pertanda pemanasan global memang sudah berada di ambang pintu.

Gambar 5.10. Penurunan luas tutupan salju abadi di Pegunungan Jaya Wijaya, Papua dengan perbandingan data dari tahun 1936 hingga 2000 (gambar bawah). Sementara itu, gambar atas (kanan) menunjukkan sisa-sisa lapisan salju yang mengalami penyusutan pada tahun 2003. Padahal tahun 1990 (atas-kiri) salju tersebut masih menyelimuti kawasan puncak gunung yang luas.

Page 70: Perubahan Iklim di Indonesia

Indikasi Terjadinya Pemanasan Global di Indonesia

59

Dr. Ir. Subandono Diposaptono, MEng Direktur Pesisir dan Lautan, Ditjen Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau KecilKementerian Kelautan dan Perikanan

Semua Negara Harus Berkontribusi Secara Adil dan Proporsional

Kita tak perlu berdebat lagi mengenai ada-tidaknya perubahan iklim yang melanda dunia akhir-akhir ini.

Berbagai fakta telah menunjukkan, suhu udara di berbagai penjuru Bumi mengalami kenaikan sebagai salah satu pertanda adanya perubahan iklim.

Menurut kajian Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) misalnya, dalam periode 1990-2005 terjadi kenaikan suhu udara di seluruh dunia sebesar 0,15 – 0,3 oC. Secara kuantitatif, kenaikan itu boleh saja dibilang kecil, namun dampak dari fenomena tersebut, dunia dihantui berbagai kecemasan.

Apalagi jika umat manusia di seluruh dunia tak berdaya mengerem kenaikan suhu udara, maka pada tahun 2040 lapisan es baik di Antartika maupun Artik bakal habis meleleh. Sekitar 10 tahun kemudian, bila kenaikan suhu udara itu terus saja terjadi, maka penduduk bakal menderita krisis air tawar sehingga kelaparan akan meluas ke seluruh penjuru dunia.

Indonesia sebagai negara kepulauan yang ditaburi keragaman hayati (biodiversity) terumbu karang yang berlimpah ruah, tentu saja paling menderita terpapar dampak perubahan iklim. Betapa tidak, suhu udara yang hangat akan meningkatkan suhu air laut. Praktis, pemanasan semacam ini membuat terumbu karang (coral reef) pucat (bleaching) tak berdaya.

Padahal kita tahu, Indonesia memiliki terumbu karang terluas di muka Bumi, yakni sekitar 51.000 km2 atau 20 % dari luas total terumbu karang di seluruh dunia. Termasuk di antaranya kawasan segitiga terumbu karang

Dr. Ir. Subandono Diposaptono, MEng

Page 71: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

60

(coral triangle) yang dimiliki enam negara; Indonesia, Malaysia, Kepulauan Solomon, Papua Nugini, Timor Leste, dan Filipina.

Jadi, bisa dibayangkan kalau terumbu karang tersebut sekarat. Ikan, udang, dan aneka biota laut yang selama ini hidup bersimbiosis mutualisme akan ikut menghilang. Berbagai biota laut itu menjauh karena terumbu karang tersebut tak lagi memberi sumber kehidupan (pakan) dan tempat berlindung.

Kalau sudah begitu, masyarakat lokal bakal lebih sengsara lagi. Mereka tak dapat menangkap ikan dan aneka biota laut lainnya dengan mudah. Bahkan, biaya operasional untuk melaut tidak sebanding dengan hasil tangkapannya.

Hal itu diperparah lagi dengan adanya abrasi yang terus mengikis da-ratan pesisir mereka. Terumbu karang yang hancur memudahkan arus laut menggerus daratan. Energi itu berkeliaran bebas hingga menabrak garis pantai. Kalau sekarang saja abrasi banyak terjadi di sepanjang pantai utara Jawa, Bali, Kepulauan Riau, dan lain-lain maka kelak di kemudian hari se-rangan abrasi semakin meluas dan bertambah parah.

Apalagi dampak perubahan iklim juga akan diikuti naiknya permukaan air laut (sea level rise). Berdasarkan kajian yang pernah saya lakukan di beberapa kota Jakarta, Pekalongan, dan Semarang, terjadi kenaikan muka air laut yang bervariasi. Di Tanjungpriok misalnya, kenaikan muka air laut itu berkisar 6-10 mm per tahun.

Akibatnya, garis pantainya mundur dan menenggelamkan sebagian da-ratan. Jika saja tak ada upaya serius dalam mengerem laju kenaikan suhu udara, air laut itu menggenangi permukiman, jalan, tambak, dan sarana infrastruktur yang telah dibangun di bibir pantai.

Kenaikan muka laut juga memicu cuaca ekstrim; La Nina dan El Nino. Berbagai kajian menunjukkan, frekuensi La Nina dan El Nino yang jauh sebelumnya hanya terjadi selama 3 – 7 tahun sekali, namun sejak tahun 1970 meningkat menjadi 2 – 4 tahun sekali. La Nina atau cuaca super basah itu mengakibatkan banjir di berbagai daerah. Sedangkan El Nino adalah musim kering yang berkepanjangan sehingga mengakibatkan banyak petani gagal panen.

Dari berbagai uraian tersebut jelas bahwa Indonesia mengalami kerentanan tinggi sebagai dampak dari perubahan iklim. Karena itulah perlu diterapkan strategi adaptasi dan mitigasi untuk menghadapi fenomena

Page 72: Perubahan Iklim di Indonesia

Indikasi Terjadinya Pemanasan Global di Indonesia

61

yang sudah di ambang pintu.Hal itu hanya bisa dilakukan jika seluruh masyarakat di seluruh dunia

bersatu padu, bahu-membahu, bekerja sama, dan bersinergi untuk mengatasi persoalan yang sangat kompleks. Berbagai pendekatan berbasis kearifan lokal dan Iptek wajib dikerahkan guna menjawab tantangan tersebut.

Negara maju dan berkembang harus saling berbagi (sharing) kontribusi secara adil dan proporsional. Bukan malah sebaliknya, saling menuding dan mencari kesalahan pihak lain. Negara maju misalnya, yang selama ini mengemisikan CO2 dalam jumlah besar, harus rela mengurangi penggunaan bahan bakar fosil sebagai biang keladi terjadinya pemanasan global.

Begitu juga negara berkembang. Kawasan mangrove yang telah gundul harus dihijaukan kembali. Hutan pantai yang masih tersisa harus dipertah-an-kan. Segala upaya yang merusak terumbu karang (seperti penggunaan bom dan racun) juga perlu dilibas habis-habisan. Melalui strategi bersama seperti ini, niscaya kerusakan Bumi akibat perubahan iklim dapat dimini-malisir atau bahkan dihentikan.

Page 73: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

62

Foto: Alek Suban

Gambar 7.10. Terjadinya banjir di Jakarta selain mengganggu transportasi juga menimbulkan kerusakan infrastruktur seperti jalan, jembatan, dan lain-lain.

Page 74: Perubahan Iklim di Indonesia

Indikasi Terjadinya Perubahan Iklim di Indonesia

63

BAB 6.

Perubahan iklim terjadi secara global tetapi dampak yang dirasakan bervariasi secara lokal. Indikator utama perubahan iklim terdiri dari perubahan pola dan intensitas berbagai parameter iklim yaitu suhu,

curah hujan, angin, kelembaban, tutupan awan, dan penguapan (evaporasi). Semua indikator tersebut bisa ditemukan di Indonesia meskipun ada

yang sangat pasti (seperti suhu dan hujan) dan ada pula yang sangat tidak pasti (misalnya, perubahan penguapan). Salah satu kesulitan utama terbesar adalah ketersediaan data untuk mengetahui sebuah gejala perubahan iklim dalam rentang waktu yang lama.

Mengacu pada definisi baku IPCC yang menyebutkan perubahan iklim didasarkan oleh perubahan di atas 30 tahun, maka data-data yang tersedia saat ini banyak yang belum dapat memberikan gambaran perubahan yang memadai. Selain itu, beberapa variabilitas iklim juga berlangsung dalam periode relatif lama, di atas 20 tahunan sehingga tidak mudah untuk menjelaskan adanya perubahan iklim.

Namun demikian, setidaknya ada empat indikator yang dapat digunakan untuk menjelaskan adanya perubahan iklim di Indonesia. Berikut ini penjelasan dari ke-4 indikator tersebut.

6.1. Perubahan Suhu DaratanBerbeda dengan suhu laut yang dapat dipakai sebagai indikator global,

maka perubahan suhu daratan lebih menggambarkan perubahan situasi lokal

INDIKASI TERJADINYA PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

Page 75: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

64

yang tergantung pada berbagai faktor iklim dan noniklim. Perubahan suhu daratan meliputi suhu rata-rata, suhu maksimum, dan suhu minimum, baik dalam skala harian maupun bulanan.

Perubahan suhu secara harian penting untuk wilayah tropis seperti Indonesia. Sebab, selain ia menggambarkan perubahan pola siang dan malam, juga menunjukkan adanya sirkulasi angin darat dan angin laut atau angin gunung dan angin lembah.

Perubahan suhu minimum harian menggambarkan perubahan suhu lokal pada waktu dini hari yaitu saat suhu daratan minimum. Suhu minimum yang meningkat menunjukkan kondisi pagi dini hari yang bertambah kering. Sedangkan suhu maksimum menggambarkan suhu terik di saat sore hari.

Perubahan suhu minimum dan maksimum bulanan menggambarkan perubahan pola suhu musiman yang berhubungan dengan suhu di laut. Suhu maksimum bulanan di daratan pesisir seperti kebanyakan wilayah di Indonesia terjadi pada masa pancaroba atau transisi.

Sedangkan suhu minimum bulanan terjadi pada puncak musim kemarau dimana suhu laut mencapai nilai minimumnya dan menghasilkan laju penguapan yang paling rendah. Beberapa indikator perubahan suhu meliputi perubahan suhu maksimum, suhu minimum, hari panas, dan hari dingin.

Suhu merupakan derajat energi suatu benda. Semakin tinggi suhu, maka energi yang dimiliki benda tersebut semakin besar. Suhu permukaan Bumi merupakan panas yang terukur di atmosfer permukaan hingga ketinggian dua meter.

Berdasarkan hasil observasi, suhu permukaan Bumi mengalami kenaikan sejak revolusi industri berlangsung. Seperti diketahui, dunia mengalami revolusi industri sejak tahun 1780. Hingga sekarang, industrialisasi yang

membutuhkan bahan bakar fosil itu terus menggeliat di berbagai negara maju dan negara berkembang.

Di Indonesia, pengamatan perubahan suhu udara telah dilakukan di beberapa wilayah seperti Jakarta, Makassar, dan hampir di seluruh kota-kota besar lainnya. Hasil pengamatan tersebut dapat dilihat pada beberapa gambar berikut ini.

Berdasarkan Gambar 6.1 terlihat bahwa hanya satu tempat yang mengalami penurunan suhu udara maksimum, yakni Tarempa. Besarnya

“Berdasarkan hasil observasi, suhu

permukaan Bumi mengalami kenaikan

sejak revolusi industri berlangsung

yakni sejak tahun 1780.”

Page 76: Perubahan Iklim di Indonesia

Indikasi Terjadinya Perubahan Iklim di Indonesia

65penurunan suhu tersebut sekitar 0,268 oC.

Sementara itu, Sibolga, Jakarta, Cilacap, Bawean, Padang, Manado, Kupang, Ambon, Wamena, Merauke, Jayapura, dan lain-lain mengalami kenaikan suhu udara maksimum yang bervariasi, antara 0,036 oC sampai 1,383 oC. Kenaikan suhu maksimum yang tergolong tinggi terjadi di Wamena, Jayapura, Merauke, Kupang, Bawean, dan Jakarta. Sedangkan kenaikan suhu maksimum yang tergolong rendah terjadi di Biak, Ambon, Padang, Cilacap, Sorong, dan Saumlaki.

Berdasarkan Gambar 6.2, terlihat bahwa suhu udara minimum harian mengalami kenaikan di Padang, Jakarta, Cilacap, Biak, dan Jayapura. Sedangkan yang mengalami penurunan adalah Sibolga, Tarempa, Bawean, Manado, Sorong, Ambon, Waingapu, Kupang, Samulaki, Wamena, dan Merauke.

Khusus di Jakarta, berdasarkan data pengamatan periode tahun 1956 – 2001, suhu udara rata-rata mengalami peningkatan, baik tren maupun perubahannya. Secara rata-rata, suhu udara di Jakarta mengalami peningkatan sebesar 0,07 oC per tahun. Hal tersebut menunjukkan bahwa peningkatan suhu udara bukan hanya terjadi secara global namun juga pada lokasi spesifik seperti Jakarta.

Perubahan tren suhu udara rata-rata juga dapat dilihat di wilayah Makasar.

Gambar 6.1. Tren linear suhu udara maksimum harian di berbagai kota di Indonesia sejak tahun 1983 – 2007.

SIBOLGATertinggi : 39,30Rata-rata : 31,52Laju : 0,0353/10 th

TEREMPATertinggi : 40,0Rata-rata : 30,33Laju : 0,2633/10 th

BAWEANTertinggi : 40,50Rata-rata : 30,39Laju : 1,1520/10 th

JAKARTATertinggi : 38,30Rata-rata : 31,39Laju : 0,9730/10 th

CILACAPTertinggi : 39,40Rata-rata : 30,33Laju : 0,6959/10 th

MANADOTertinggi : 38,90Rata-rata : 30,69Laju : 0,9375/10 th

SORONGTertinggi : 37,80Rata-rata : 30,74Laju : 0,0335/10 th

JAYAPURATertinggi : 39,60Rata-rata : 31,85Laju : 1,2245/10 th

WAINGAPUTertinggi : 39,20Rata-rata : 31,49Laju : 1,1105/10 th

AMBONTertinggi : 39,90Rata-rata : 29,79Laju : 0,8869/10 th

BIAKTertinggi : 40,00Rata-rata : 30,13Laju : 0,3846/10 th

PADANGTertinggi : 39,90Rata-rata : 30,61Laju : 0,7805/10 th

KUPANGTertinggi : 39,80Rata-rata : 31,25Laju : 1,3535/10 th

SAUMLAKITertinggi : 38,60Rata-rata : 30,45Laju : 0,8910/10 th

MERAUKETertinggi : 39,20Rata-rata : 30,52Laju : 1,1562/10 th

WAMENATertinggi : 32,80Rata-rata : 25,97Laju : 1,3827/10 th

Keterangan: oC/ 10 tahun

TURUN :(MENDINGIN)

NAIK :(MEMANAS)

0,0360,0840,3850,6870,696

-0,268

0,780,8910,9670,973

1,1111,1521,1561,225

1,353

1,383

Page 77: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

66

Berdasarkan data pengamatan periode tahun 1972 – 2007, rata-rata kenaikan suhu pada bulan Januari adalah sekitar 0,018 oC per tahun dan pada bulan Juli sekitar 0,082 oC per tahun (lihat Gambar 6.3).

Gambar 6.2. Tren linear suhu udara minimum harian di beberapa kota Indonesia sejak tahun 1983 – 2007.

Gambar 6.3. Perubahan temperatur di Makassar pada tahun 1972 – 2007.

Januari

Juli

Linear (Januari)

Linear (Juli)

SIBOLGATerendah : 10,60Rata-rata : 22,26Laju : -0,3931/10 th

TEREMPATerendah : 14,00Rata-rata : 24,56Laju : -0,1612/10 th

BAWEANTerendah : 16,50Rata-rata : 25,14Laju : -0,6820/10 th

JAKARTATerendah : 15,10Rata-rata : 24,84Laju : 1,2403/10 th

CILACAPTerendah : 14,00Rata-rata : 23,87Laju : 0,3445/10 th

MANADOTerendah : 11,00Rata-rata : 22,40Laju : -0,3350/10 th

SORONGTerendah : 13,80Rata-rata : 25,20Laju : -0,8931/10 th

JAYAPURATerendah : 14,70Rata-rata : 23,22Laju : 0,0431/10 th

WAINGAPUTerendah : 11,80Rata-rata : 23,01Laju : -0,6493/10 th

AMBONTerendah : 13,20Rata-rata : 23,63Laju : -0,2929/10 th

BIAKTerendah : 16,50Rata-rata : 25,14Laju : 0,6820/10 th

KUPANGTerendah : 12,00Rata-rata : 23,40Laju : -1,4167/10 th

SAUMLAKITerendah : 12,40Rata-rata : 24,32Laju : -0,8154/10 th

MERAUKETerendah : 11,10Rata-rata : 23,14Laju : -0,0186/10 th

WAMENATerendah : 6,20Rata-rata : 30,32Laju : -0,4475/10 th

PADANGTerendah : 11,10Rata-rata : 22,91Laju : 0,1555/10 th

Keterangan: oC/ 10 tahun

TURUN :(MENDINGIN)

NAIK :(MEMANAS)

0,0430,0660,1550,3451,24

-0,448-0,515-0,649-0,682

-0,019-0,161-0,293-0,336

-0,815-0,893-1,417

Page 78: Perubahan Iklim di Indonesia

Indikasi Terjadinya Perubahan Iklim di Indonesia

67

6.2. Peningkatan Curah Hujan EkstremSebagaimana dijelaskan sebelumnya, perubahan iklim berasal dari

perubahan energi dan siklus air. Salah satu konsekuensi yang timbul adalah perubahan pola curah hujan ekstrem. Kriteria ekstrem mengacu pada ambang batas statistik.

Penyebab dari peningkatan curah hujan ekstrem adalah meningkatnya fenomena cuaca ekstrem seperti siklon tropis, banjir, kekeringan, berkurangnya jumlah hari hujan, serta penambahan periode hari hujan secara berturut-turut (wet spell). Pada kasus banjir, besaran intensitas hujan pada setiap hari

Gambar 6.4. Distribusi hujan di DKI dan Jawa Barat (gambar atas) serta Nusa Tenggara (bawah) pada bulan Desember, Januari, dan Februari pada periode tahun 1900 – 2000. Gambar tersebut menunjukkan terjadinya peningkatan kemungkinan curah hujan ekstrem 650 mm dari 6 % pada satu abad silam menjadi 21 % pada rerata tahun 1970 – 2000.

1900-19291910-19391920-19491930-19591940-19691950-19791960-19891970-1999

1970 - 200013 % prababilityutk curah hujan

500 mm/bln

1900 - 19293 % prababilityutk curah hujan

500 mm/bln

Curah hujan bulanan (mm)

Pelu

ang

hu

jan

(%

)Pe

luan

g (%

)

Curah hujan (mm/bulan)

1900-1929

1910-1939

1920-1949

1930-1959

1940-1969

1950-1979

1960-1989

1970-1999

1900 - 19296 % prababilityutk curah hujan

650 mm/bln

1970 - 200022 % prababilityutk curah hujan

650 mm/bln

Page 79: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

68

hujan meningkat. Sementara itu, pada kasus kekeringan, peluang terjadinya kondisi ekstrem meningkat dengan periode hari hujan yang lebih pendek.

BMKG telah melakukan analisis distribusi curah hujan di DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Nusa Tenggara (lihat Gambar 6.4). Hasilnya, selama musim penghujan sepanjang tahun 1970 – 2000 daerah-daerah tersebut mengalami keniakan curah hujan ekstrem jika dibandingkan 100 tahun silam.

6.3. Maju Mundurnya MusimSalah satu informasi iklim yang paling penting bagi pertanian adalah

informasi awal datangnya musim kemarau dan musim hujan. Saat ini BMKG dan Kementerian Pertanian memakai periode dasarian (10 harian) dalam penetapan waktu kedatangan musim.

Perubahan iklim dapat membawa konsekuensi berupa perubahan maju dan mundurnya waktu kedatangan musim. Bencana iklim ekstrem seperti banjir dan kekeringan dapat mengubah waktu kedatangan musim dalam jangka panjang.

Perubahan iklim bisa juga dilihat dari adanya pergeseran musim. Di Indonesia, musim mengalami pergeseran, baik pada awal musim maupun panjang musim. Pergeseran tersebut terjadi di musim kemarau dan hujan, baik maju maupun mundur.

Pergeseran musim di Indonesia telah diamati di beberapa wilayah seperti Sumatera, Jawa, dan Sulawesi Selatan berdasarkan data pengamatan selama 30 tahun yaitu periode tahun 1971 – 2000 dan periode tahun 2001 – 2010. Berikut ini penjelasan dari pergeseran musim di wilayah-wilayah tersebut.

a. Pergeseran musim di Sumatera Pergeseran musim di wilayah Sumatera berdasarkan data 30 tahun

ditunjukkan pada Gambar 6.5. Berdasarkan gambar tersebut, musim hujan mengalami pergeseran maju sekitar 1 sampai 2 dasarian. Namun di Zona Musim (ZOM) 67 dan ZOM 68 pola musim mengalami mundur sebanyak 5 hingga 6 dasarian.

Selain terjadi pergeseran musim hujan, pergeseran musim kemarau juga terjadi di wilayah Sumatera. Pergeseran musim kemarau tersebut bervariasi seperti terlihat pada Gambar 6.6.

Berdasarkan gambar tersebut, pada musim kemarau terjadi pergeseran mundur di ZOM 64 dan 73 sekitar 1 – 2 dasarian. Sementara itu, di ZOM 71, 74, dan 76 mengalami pergeseran mundur 3 – 4 dasarian. Lalu, di ZOM 69

Page 80: Perubahan Iklim di Indonesia

Indikasi Terjadinya Perubahan Iklim di Indonesia

69

Gambar 6.5. Pergeseran musim hujan di Sumatera (Sumber: BMKG).

Gambar 6.6. Pergeseran musim kemarau di Pulau Sumatera (Sumber: BMKG).

Page 81: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

70

musim kemaraunya mengalami kemunduran 5 – 6 dasarian. Sedangkan pergeseran musim kemarau yang mengalami maju terjadi di

ZOM 66 dan 72 sekitar 1 – 2 dasarian. Lalu, pada saat yang sama di ZOM 65, 68, 70, dan 75 mengalami musim kemarau yang maju 3 – 4 dasarian. Dan di ZOM 67 mengalami pergeseran maju 5 – 6 dasarian.

b. Pergeseran Musim di JawaSerupa dengan Pulau Sumatera, pergeseran musim di Jawa juga terjadi,

baik pada musim hujan maupun kemarau. Berdasarkan data pengamatan 30 tahun periode 1971 – 2000, musim hujan di Jawa mengalami pergeseran seperti yang ditunjukkan pada Gambar 6.7.

Pola musim hujan di Jawa Barat dan Jawa Tengah sebagian besar mengalami pergeseran maju 3 – 4 dasarian. Sementara itu, di wilayah Tangerang (Banten) dan sekitarnya serta Jawa Timur bagian timur mengalami pergeseran maju 1 – 2 dasarian.

Sedangkan pola musim hujan yang bergeser mundur terjadi di Banten dan DKI Jakarta dengan tingkat yang bervariasi antara 1 – 2 dasarian hingga 3 – 4 dasarian. Untuk wilayah Jawa Timur, terjadi pergeseran mundur 1 – 2 dasarian.

Selain pergeseran musim hujan, Pulau Jawa dan Madura juga mengalami pergeseran musim kemarau (lihat Gambar 6.8). Pergeseran musim kemarau di Jawa sebagian besar (Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Timur)

Gambar 6.7. Pergeseran musim hujan di Jawa (Sumber: BMKG, 2009).

Page 82: Perubahan Iklim di Indonesia

Indikasi Terjadinya Perubahan Iklim di Indonesia

71

mengalami mundur 1 – 2 dasarian dan beberapa lokasi mundur 3 – 4 dasarian.

Sementara itu di ZOM 1, 21, 25, 27, 33, 73, 45, 50, dan 63 pola musim kemaraunya bergeser maju 1 – 2 dasarian. Dan di ZOM 60 musim kemarau bergeser maju 3 – 4 dasarian.

Analisis pergeseran musim juga dilakukan secara spesifik di wilayah Jawa Barat dan Sulawesi Selatan dengan membandingkan rata-rata curah hujan dasarian periode tahun 2001 – 2010 dan tahun 1971 – 2000. Berdasarkan analisis, pada periode tahun 2001 – 2010, awal musim kemarau di Jawa Barat mengalami pergeseran maju (lebih cepat datang) dengan periode 20 hari dibandingkan tahun 1971 – 2000 (lihat Gambar 6.9).

Gambar 6.8. Pergeseran musim kemarau di Jawa (Sumber: BMKG, 2009).

Gambar 6.9. Pergeseran awal musim di Jawa Barat pada tahun 2001 – 2010 terhadap rata-rata periode tahun 1971 – 2000 (Sumber: BMKG, 2009).

Saat ini (2001-2010): awal kemaraunya lebih cepat datang dan lebih panjang periodenya (20 hari) dibandingkan tahun 1971-2000.

Page 83: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

72

c. Pergeseran Musim di Sulawesi SelatanPergeseran musim di wilayah Maros, Sulawesi Selatan terjadi pada awal

musim hujan, dimana musim hujan periode tahun 2001 – 2007 mengalami mundur kurang lebih 10 hari dibandingkan dengan periode tahun 1971 – 2000. Sedangkan untuk musim kemarau, tidak terjadi pergeseran musim.

Pergeseran musim juga terjadi pada wilayah Enrekang, Sulawesi Selatan. Di wilayah tersebut, awal musim kemarau mengalami maju (lebih cepat) sekitar 20 hari pada periode kedua (2001 – 2007) dibandingkan dengan periode pertama (1971 – 2000).

Sedangkan musim hujan di Enrekang, mengalami pergeseran lebih lambat (mundur) sekitar 10 hari pada periode kedua bila dibandingkan dengan periode pertama. Untuk informasi atau keterangan lebih lengkap, dapat dilihat pada Gambar 6.10 berikut ini.

Gambar 6.10. Perbandingan pergeseran musim antara periode 2001 – 2007 (garis merah putus-putus) dan 1971 – 2000 (hitam) di wilayah Makassar, Maros, Enrekang, dan Sidrap Povinsi Sulawesi Selatan (Sumber: BMKG, 2009).

Page 84: Perubahan Iklim di Indonesia

Indikasi Terjadinya Perubahan Iklim di Indonesia

73

6.4. Perubahan Jumlah Volume HujanAkumulasi curah hujan harian,

bulanan, dan tahunan merupakan salah satu catatan iklim penting yang juga menunjukkan potensi kapasitas sumber daya air tercurah. Informasi ini dapat digunakan untuk mengetahui adanya perubahan iklim. Hal ini penting untuk pengelolaan sumber daya air jangka panjang. Sumber informasi tersebut dapat diperoleh selain dari hasil pemodelan skenario iklim mendatang, juga dari observasi langsung jangka panjang.

Gambar 6.11. Penurunan curah hujan tahunan (mm/tahun) di Bengkulu dan Ketapang (Kalimantan Barat).

“Akumulasi curah hujan harian,

bulanan, dan tahunan merupakan salah satu catatan iklim penting yang juga

menunjukkan potensi kapasitas sumber daya

air tercurah.”

Page 85: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

74

Tabel 6.1. Akumulasi penurunan curah hujan (Q) dan potensi kehilangan air tahunan di pulau-pulau besar Indonesia berdasarkan proyeksi luas wilayah di setiap pulau.

Pulau Luas(km2)

Z (signifikansi)

Q(mm/tahun)

Kehilangan air per tahun dari Q x luasan

(juta m3)

Rata-rata

Maks MinRata-rata

Maks MinRata-rata

Min Maks

Sumatera 425.000 -2,24 -0,46 -4,35 -18,00 -1,27 -71,79 7.652 541 30.509

Kalimantan *540.615 -3,00 -2,30 -4,20 -19,89 -12,41 -30,30 10.755 6.707 16.379

Sulawesi 174.600 -1,19 -0,39 -1,87 -8,52 -1,99 -17,99 1.488 347 3.141

Jawa 126.700 -1,66 0,92 -2,81 -11,70 3,38 -31,80 1.483 -428 4.029

Papua **327.160 -2,03 -0,82 -4,83 -22,59 -5,06 -57,36 7.391 1.654 18.767

Keterangan:* Pulau Kalimantan yang berada di wilayah Indonesia.** Pulau Papua yang berada di wilayah Indonesia.

Catatan Sejarah Terjadinya Perubahan IklimPerubahan iklim yang terjadi di masa lalu bisa dideteksi oleh perubahan

yang terkait dengan pola sebaran populasi dan pertanian. Bukti arkeologi, sejarah lisan, dan bukti-bukti sejarah dapat memberikan tanda-tanda perubahan iklam yang telah terjadi.

Catatan perubahan yang terjadi telah direkam dalam berbagai media di alam seperti pada batu-batuan, pepohonan, terumbu karang, lapisan es, dan lain-lain. Variasi iklim yang terjadi dan terekam tersebut dapat direkonstruksi ulang untuk mengetahui pola perubahan yang telah terjadi. Teknik yang biasa dipakai adalah dengan melihat kandungan isotop tertentu dari catatan yang direkam secara alamiah tersebut.

Beberapa dampak perubahan iklim telah dikaitkan dengan runtuhnya berbagai tatanan peradaban manusia seperti kasus di Pulau Galapagos. Berikut ini beberapa contoh catatan sejarah dari perubahan iklim yang terjadi.

1. Glaciers. Glaciers dianggap paling sensitif terhadap perubahan iklim. Besarnya ukuran glaciers ditentukan oleh keseimbangan massa antara pembentukan salju sebagai input dan melelehnya salju sebagai output. Dengan naiknya suhu udara, glaciers akan berkurang kecuali presipitasi dalam bentuk salju bertambah untuk menutupi berkurangnya glaciers

Page 86: Perubahan Iklim di Indonesia

Indikasi Terjadinya Perubahan Iklim di Indonesia

75

akibat meningkatnya glaciers yang meleleh. Glaciers bertambah atau berkurang disebabkan oleh variabilitas alam dan kekuatan luar. Variabilitas suhu, presipitasi, dan pembekuan baik total maupun sebagian air Bumi dapat menentukan evolusi glaciers pada musim tertentu.

2. Tanaman (vegetasi). Perubahan jenis, distribusi, dan tutupan tanaman dapat terjadi akibat perubahan iklim. Perubahan iklim yang ringan (kurang signifikan) mungkin dapat meningkatkan presipitasi dan suhu udara, hal mana mengakibatkan peningkatan tumbuhnya tanaman dan akhirnya mengurangi pelepasan CO2. Akan tetapi, perubahan iklim yang drastis, cepat, dan besar menyebabkan kerusakan pada tanaman. Tanaman akan mati dengan cepat sehingga pada kondisi tertentu lahan dapat menjadi gundul. Akibatnya, pelepasan CO2 ke atmosfer menjadi tinggi dan terjadilah perubahan iklim.

3. Ice Cores. Analisis komposisi es pada pusat pengeboran/pelubangan lempengan es seperti lempengan es Antartika dapat digunakan untuk menunjukkan hubungan antara suhu dan variasi level muka laut global. Udara yang terperangkap dalam gelembung di dalam es dapat juga menunjukkan variasi CO2 di atmosfer pada masa lampau, jauh sebelum adanya pengaruh lingkungn modern. Pengkajian ice cores telah menjadi indikator yang signifikan dari perubahan CO2 dalam beberapa milenium, dan terus menyajikan informasi yang berharga tentang perbedaan antara kondisi atmosfer tempo dulu dan masa kini.

“Perubahan iklim yang drastis, cepat, dan besar menyebabkan kerusakan pada

tanaman. Tanaman akan mati dengan cepat sehingga pada kondisi tertentu lahan dapat menjadi gundul. Akibatnya, pelepasan CO2 ke atmosfer menjadi tinggi dan terjadilah

perubahan iklim.”

Page 87: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

76

4. Dendrochronoloy. Dendrochronoloy adalah analisis pola pertumbuhan lingkaran batang pohon untuk menentukan variasi iklim pada masa lampau. Lingkaran batang yang besar dan tebal menunjukkan periode pertumbuhannya subur dan cukup air. Sementara itu, untuk lingkaran batang pohon yang kecil dan tipis menunjukkan periode dengan curah hujan rendah sehingga kondisi tersebut kurang ideal untuk pertumbuhan.

5. Coral atau terumbu karang. Analisis komposisi isotop dari terumbu karang dilakukan dengan parameter mirip pada ice core atau stalaktit dan stalagmit. Analisa isotop dapat memberikan informasi umur lapisan terumbu karang dan juga kandungan zat kimia yang terbentuk dari jenis iklim yang berbeda. Apabila iklim cenderung basah atau banyak hujan maka air muka laut akan terasa lebih tawar dan memiliki kandungan oksigen yang tinggi, demikian juga sebaliknya. Selain itu, perubahan suhu muka laut juga dapat mempengaruhi pertumbuhan terumbu karang. Perubahan yang mendadak atau suhu di luar batas ambang normal mengakibatkan terumbu karang dapat mengalami proses pemutihan (bleaching). Rekam jejak dari perubahan kondisi terumbu karang tersebut dapat direkonstruksi ulang berdasarkan analisa isotop per lapisan.

Pengakuan (Testimoni) Masyarakat di Berbagai DaerahPerubahan iklim juga dirasakan oleh masyarakat seperti yang dirasakan

di Batu (Jawa Timur), Indramayu (Jawa Barat), Bau Bau (Sulawesi Tenggara), DKI Jakarta, dan Serdang Bedagai (Sumatera Utara). Berikut ini testimoni masyarakat dari berbagai wilayah.

1. Batu, Jawa Timur.Keadaan Kota Batu saat ini sudah banyak berubah jika dibandingkan

dengan periode tahun 1960 – 1970. Pada periode tersebut, Kota Batu masih banyak ditumbuhi pohon dan hutan, udara kotanya juga masih sangat sejuk, dan jarang terjadi banjir.

Coba bandingkan dengan kondisi sekarang yang sudah banyak mengalami pembangunan permukiman yang menyebabkan berkurangnya resapan air hujan. Dampaknya, Kota Batu sering mengalami banjir lantaran aliran permukaan (run off) menjadi lebih besar. Demikian juga dengan perubahan suhu, kini masyarakat merasakan udara yang lebih panas jika

Page 88: Perubahan Iklim di Indonesia

Indikasi Terjadinya Perubahan Iklim di Indonesia

77

dibandingkan dengan periode 1960 – 1970.Hal serupa juga dirasakan oleh kelompok tani yang mengatakan bahwa

musim sudah bergeser. Musim hujan tahun 2010 dirasakan lebih lama dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Bahkan hasil panen apel sangat menurun akibat proses pembungaan terganggu karena curah hujan yang tinggi.

Bersamaan dengan itu, juga terjadi perubahan-perubahan suhu yang kuat. Sebelum tahun 1980, pada pukul 10.00 WIB petani masih sanggup bekerja di ladang. Namun pada masa sekarang ini, pukul 10.00 WIB kondisi udaranya sudah terasa sangat panas. Mereka sudah tidak sanggup bekerja di ladang pada jam tersebut. Alasannya, panas sudah terasa sangat terik.

Jika dulu pada pagi hari mereka masih harus memakai baju berlapis-lapis, maka saat ini mereka sudah tidak perlu lagi mengenakan pakaian yang berlapis-lapis. Perubahan tersebut sudah mulai terjadi dan mereka rasakan sejak tiga tahun terakhir.

Masyarakat petani merupakan masyarakat yang memiliki keterkaitan dengan alam yang cukup besar. Kemampuan mereka membaca alam juga dapat diperoleh dari hasil wawancara mendalam dimana masa tanam dilakukan dengan membaca fenomena pohon bambu.

Ketika daun-daun bambu sudah mulai rontok, hal itu menandakan masa persiapan mengolah lahan sudah bisa dimulai. Lalu mereka segera melakukan penanaman bibit. Namun, sekarang ini pembacaan fenomena tumbuhan tersebut sudah tidak sesuai dengan tahapan dalam kegiatan pertanian

2. Indramayu, Jawa Barat.Berikut ini adalah kondisi cuaca pada tahun 2009 – 2010 yang dirasakan

nelayan Indramayu terkait perubahan atau pergeseran iklim:m Ada angin selatan tenggara padahal seharusnya tidak ada karena saat

itu adalah musim kemarau.m Tidak ada musim angin timur.m Rob makin besar di musim kemarau.m Jenis ikan berubah.m Hasil tangkap menurun karena ikan sembunyi di karang.

Biasanya musim tenang terjadi pada September sampai November. Musim angin tinggi biasanya pada musim tenggara atau Mei hingga

Page 89: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

78

Agustus dan musim barat terjadi pada Desember sampai Februari. Namun sejak tahun 2009 musim-musim tersebut tidak menentu dan cenderung berubah. Dengan kata lain, masyarakat Indramayu merasakan wilayahnya telah mengalami pergeseran musim.

3. Bau Bau, Sulawesi Tenggara.Perubahan yang dirasakan petani di Bau Bau adalah semakin teriknya

Matahari dan kian tidak nyaman. Sebelum terjadi perubahan iklim atau sekitar tiga musim lalu, petani bisa bekerja di sawah dengan nyaman dari sekitar pukul 08.00 sampai 11.00 WITa.

Kini mereka merasakan makin terik. Petani memulai kegiatan bertani sekitar pukul 05.30 – 08.00 WITa. Kemudian pada sore hari (sekitar pukul 16.00 WITa) mereka kembali ke sawah. Jadwal tanam juga bergeser.

Nelayan juga merasakan adanya perubahan iklim di laut. Mereka merasakan adanya gelombang tidak menentu dan angin kencang semakin sering terjadi. Sebagian responden menyebutkan, mereka merasakan arus semakin kuat (87,5 persen) dan kondisi arus semakin tidak menentu.

4. DKI Jakarta.Selama dua musim terakhir, wilayah DKI Jakarta mengalami musim

yang tidak menentu sehingga menyebabkan curah hujan yang tinggi dan mengakibatkan air laut menjadi tawar. Akibatnya, kepiting kecil lebih senang berlindung di lumpur di muara-muara sungai dan tidak muncul ke permukaan.

5. Serdang Bedagai, Sumatera Utara.Masyarakat di Serdang Bedagai lain lagi pengakuannya. Mereka

merasakan adanya pergeseran musim tangkap dan daerah penangkapan ikan.

Page 90: Perubahan Iklim di Indonesia

Indikasi Terjadinya Perubahan Iklim di Indonesia

79

WaryonoPetani padi di Desa Karang Mulya, Kec. Kandang Haur, Indramayu, Jawa Barat

Petani Merugi Akibat Perubahan Iklim

Salah satu dampak perubahan iklim yang dirasakan adalah hujan yang tidak menentu. Pendapatan pun menjadi

berkurang karena sering berspekulasi dalam menentukan waktu tanam. Akibatnya, petani sering mengalami kerugian.

“Namun setelah belajar melalui Sekolah Lapang Iklim (SLI) yang didukung oleh BMKG, pendapatan kami kembali meningkat,” kata Waryono, petani padi di Desa Karang Mulya, Indramayu, Jawa Barat.

Adaptasi dilakukan dengan mempelajari informasi curah hujan, dan kondisi cuaca dan iklim. Sementara itu, mitigasinya dengan mengatasi kebanjiran atau kekeringan.

Informasi tersebut didapat dari BMKG melalui buku dan radio, serta dengan membaca kearifan lokal seperti tumbuhan pohon randu. Di awal musim kering, pohon randu akan merontokkan daunnya. Bila musim hujan, pohon randu tidak berbuah. Begitu pula dengan pohon asam, bila kelembapannya rendah, maka akan keluar daun muda.

Upaya mitigasi yang ia lakukan adalah tidak membakar jerami dan mengurangi penggunaan pestisida. “Saya berharap BMKG dapat memberikan informasi terus- menerus kepada masyarakat, serta mendukung langkah-langkah mitigasi agar seimbang. Karena akan percuma jika kita hanya mempelajari hilirnya tanpa memperhatikan hulunya,” saran Waryono.

Waryono

Page 91: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

80

Sarumi Nelayan dari Baubau, Makassar

Arus Berubah, Ikan Berpindah Tempat

Sebagai nelayan yang tinggal di pinggir pantai di Baubau, Makassar, Sarumi sangat merasakan perubahan yang

terjadi akibat perubahan iklim seperti kondisi angin, hujan yang tidak menentu, termasuk sulitnya menentukan lokasi tangkapan ikan. “Akibat perubahan arus yang terus terjadi, ikan tidak dapat menetap di satu tempat dalam jangka waktu yang lama,” ujarnya.

Sarumi berharap, melalui alat tangkap yang lebih canggih, kendala yang dihadapi saat ini akibat perubahan iklim dapat diatasi. “Informasi iklim yang diberikan oleh BMKG luar biasa manfaatnya dalam menentukan waktu melaut untuk 3 hari ke depan,” ungkapnya. Informasi tersebut ia peroleh dari siaran radio.

cgd

I Wayan Suija Petani Desa Ngkaring Ngkaring, Kota Baubau

Produksi Beras Menurun Lantaran Iklim Tak Bersahabat

Perubahan musim sangat jelas pengaruh-nya terhadap petani, termasuk I Wayan Suija, petani asal Desa Ngkaring Ngkaring, Kota Baubau. Menurutnya, musim sekarang ini sedang normal dan pada

tahun 2011 tidak dirasakan adanya gagal panen. Tahun 2010 pernah terjadi gagal panen karena hujan yang terus-

menerus sehingga apa yang direncanakan petani menjadi gagal akibat

Sarumi

Page 92: Perubahan Iklim di Indonesia

Indikasi Terjadinya Perubahan Iklim di Indonesia

81

kelebihan air. Saat ini, ketika iklim sedang bersahabat, produksi beras mencapai sekitar 100 karung per tahun dalam satu hektar. Pada tahun sebelumnya, produksinya hanya sekitar 60 karung per hektar.

“Saya mendengarkan informasi iklim dari BMKG melalui radio setiap pagi dan sore. Informasi iklim ini kemudian disampaikan kembali dalam rapat dengan kelompok tani. Informasi itu sangat bermanfaat, karena curah hujan bisa diprediksi, sehingga dapat menentukan waktu untuk menjemur dan menanam, seperti sayuran, cabai, dan beras,” ungkap Wayan.

Selain itu, ia juga mendapatkan informasi melalui televisi, namun yang didapatkan masih sangat umum. “Harapan saya, pemerintah atau BMKG dapat selalu memperhatikan nasib petani serta kelanjutannya dan selalu memberikan informasi iklin kepada petani,” pintanya.

I Wayan Suija

Page 93: Perubahan Iklim di Indonesia
Page 94: Perubahan Iklim di Indonesia

Dampak Perubahan Iklim

83

BAB 7.

DAMPAK PERUBAHAN IKLIM

Dampak perubahan iklim telah dirasakan di berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia. Dampak tersebut bervariasi, tergantung letak wilayahnya. Bangkok, ibu kota Thailand misalnya, dapat menjadi

contoh menarik dari adanya dampak perubahan iklim.Banjir besar yang terjadi akhir Oktober 2011 merupakan bencana terburuk

yang belum pernah terjadi sebelumnya. Hingga akhir November 2011, banjir itu makin meluas hampir ke seluruh daerah-daerah vital di kota Bangkok.

Negara pengekspor beras terbesar di dunia itu seolah tak kuasa menghadapi bencana banjir yang telah menewaskan lebih dari 300 orang. Perekonomian negara itu terancam lumpuh total.

Inilah salah satu dampak perubahan iklim yang dirasakan secara langsung oleh masyarakat Thailand. Bencana banjir ini merupakan dampak fisik yang langsung dirasakan pengaruhnya terhadap aktivitas manusia.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Disadari atau tidak, dampak perubahan iklim di Indonesia juga telah dirasakan, baik secara langsung (fisik) maupun tak langsung (nonfisik). Berikut ini penjelasan dari kedua dampak tersebut.

7.1. Dampak FisikSecara fisik, dampak perubahan iklim di Indonesia telah dirasakan oleh

berbagai lapisan masyarakat. Anomali iklim dan musim pada tahun 2010 adalah salah satu contohnya. Sepanjang tahun itu, hujan terus mengguyur seluruh wilayah Indonesia sekalipun daerah tersebut mengalami musim

Page 95: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

84

kemarau. Dampak perubahan iklim telah menyebabkan terjadinya anomali dan iklim di Indonesia.

Di luar itu, dampak fisik lainnya adalah terjadi perubahan siklus air dan perluasan wilayah tropis, perubahan frekuensi kejadian ENSO, peningkatan kejadian puting beliung, kejadian iklim ekstrem, serta gelombang tinggi. Berikut ini penjelasan dari setiap dampak tersebut.

a. Perubahan siklus air dan perluasan wilayah tropis.Kondisi muka Bumi yang semakin panas menyebabkan terjadinya

perubahan siklus air, baik di laut maupun atmosfer. Memanasnya muka laut di daerah tropis menyebabkan evaporasi meningkat. Bersamaan dengan itu, juga terjadi peningkatan volume air dalam pembentukan awan. Akibatnya, terjadi curah hujan dengan intensitas yang lebih tinggi.

Di sisi lain, semakin kuat penguapan, sirkulasi arus laut juga meningkat. Beberapa dampak dari proses ini adalah lapisan troposfer di daerah tropis akan meningkat, termasuk daerah dengan suhu di atas 0 oC naik menjadi lebih tinggi.

Peningkatan penguapan yang tinggi akan menyebabkan daerah tropis menjadi jenuh. Akibatnya, wilayah tropis semakin meluas dan menciptakan wilayah tropis baru di daerah subtropis.

Konsekuensi logisnya, terjadi perubahan ketahanan dari berbagai komoditas pertanian khas tropis. Selain itu, hama dan penyakit tanaman yang selama ini hanya menyerang di daerah tropis akan menjalar ke daerah tropis yang baru terbentuk tersebut (subtropis).

“Dampak lain dari percepatan dan peningkatan intensitas siklus air adalah adanya penguatan sumber fenomena cuaca. Artinya, daerah yang

memiliki potensi basah akan semakin lebih basah. Sebaliknya, wilayah yang berpotensi kering akan

menjadi lebih kering. Penguatan sumber fenomena cuaca ini berkaitan dengan meningkatnya besaran

energi di atmosfer.”

Page 96: Perubahan Iklim di Indonesia

Dampak Perubahan Iklim

85

Dampak lain dari percepatan dan peningkatan intensitas siklus air adalah adanya penguatan sumber fenomena cuaca. Artinya, daerah yang memiliki potensi basah akan semakin lebih basah. Sebaliknya, wilayah yang berpotensi kering akan menjadi lebih kering. Penguatan sumber fenomena cuaca ini berkaitan dengan meningkatnya besaran energi di atmosfer.

Beberapa contoh kasus yang berhubungan dengan hal ini adalah peningkatan intensitas siklon tropis dan berbagai jenis cuaca ekstrem lainnya. Peningkatan sumber energi di atmosfer menyebabkan siklon tropis menjadi lebih garang dan memiliki ekor yang jauh lebih kuat dan lebih panjang.

Akibatnya, ada wilayah di Indonesia yang terkena ekor siklon kuat sehingga menyebabkan hujan deras dan banjir. Sedangkan di wilayah lain akan kering karena sumber uap air tertarik ke wilayah ekor siklon.

Pada dasarnya, Indonesia bukanlah wilayah yang dilewati siklon. Siklon hanya melintas pada daerah di atas lintang 10 derajat. Namun demikian, ekor siklon tersebut dapat mencapai wilayah Indonesia. Ketika terjadi siklon yang kuat, praktis ekor siklon tersebut semakin panjang menerjang wilayah Indonesia.

Gambar 7.1. Ilustrasi perubahan siklus air. Ketika suhu muka laut berubah menjadi lebih panas maka volume uap air dan presipitasi atau curah hujan akan semakin tinggi.

Page 97: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

86

Gam

bar

7.2.

Pet

a ri

siko

ben

cana

ala

m b

erup

a ge

mpa

bum

i, gu

nung

api

, dan

sik

lon

di In

done

sia.

Page 98: Perubahan Iklim di Indonesia

Dampak Perubahan Iklim

87

b. Anomali iklim dan musim. Dalam kondisi normal, Indonesia memiliki dua musim; hujan dan kemarau.

Namun sepanjang tahun 2010, hampir seluruh kawasan Indonesia hanya mengalami musim hujan. Hal ini menyebabkan berbagai macam dampak, baik pada produksi pertanian, perkebunan, perikanan, transportasi, maupun gangguan pada beberapa jenis (spesies) hewan dan tumbuhan tertentu.

Salah satu contoh yang pernah menghebohkan adalah ledakan populasi ulat bulu di Pulau Jawa akhir tahun 2010. Menurut pakar ulat bulu IPB (Institut Pertanian Bogor), Prof Dr Aunu Rauf, membludaknya populasi ulat bulu tersebut dipicu oleh musim hujan yang berkepanjangan pada tahun 2010.

Akibat musim hujan yang panjang, keseimbangan antara populasi ulat dan musuh alaminya (predator dan parasitoid) terganggu. Dengan kata lain, jumlah predator sangat minim, tidak sebanding dengan ulat bulu. Inilah yang menjadikan populasi ulat bulu berkembang pesat.

Dampak dari anomali iklim dan musim lainnya adalah penurunan produksi pertanian dan perkebunan. Pada tahun 2010 misalnya, ketika hujan terus mengguyur daerah perkebunan tebu berdampak pada penurunan produksi gula.

Hujan yang terlalu banyak itu selain menurunkan kadar rendemen gula pada tanaman tebu, juga menyulitkan petani memanen tebu. Maklum, truk-truk tak mampu melewati jalan-jalan tanah yang becek dan licin. Akibatnya, pabrik gula tak mampu menggiling tebu sesuai dengan kapasitasnya.

Musim hujan sepanjang tahun juga menyebabkan mundurnya musim tanam. Kondisi ini menjadi semakin buruk dengan adanya serangan OPT (organisme pengganggu tanaman) sehingga produksi padi menurun. Penurunan produksi tersebut sebenarnya juga sudah diketahui melalui angka ramalan (Aram) II; dibandingkan tahun 2009, produksi padi pada tahun 2010 mengalami penurunan.

c. Perubahan frekuensi El Nino dan La Nina (ENSO).El Nino diartikan sebagai fenomena di wilayah Samudra Pasifik ekuatorial

yang ditandai dengan adanya perbedaan positif antara suhu muka laut atau sea surface temperature (SST) yang teramati di wilayah Nino 3,4 dibandingkan periode normal.

Perlu diketahui, secara geografis, wilayah Nino 3,4 terletak di 120o – 170o Bujur Barat dan 5o Lintang Utara – 5o Lintang Selatan. Dalam perhitungan tersebut, data SST rata-rata yang digunakan adalah dari tahun 1971 – 2000.

Page 99: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

88

El Nino diakibatkan oleh pindahnya kolam hangat (warm pool) dari utara Irian ke Pasifik tengah akibat suhu di lapisan thermocline sudah melewati nilai kritis. Perpindahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari tingginya perbedaan suhu di daerah warm pool dengan di Pasifik tengah.

Berdasarkan hukum mekanika fluida, hal itu akan menyebabkan perpindahan aliran warm pool menuju ke Pasifik tengah dengan pusat di kedalaman thermocline. Sementara itu, La Nina merupakan kondisi kebalikan dari El Nino atau fase dingin dari ENSO atau El Nino Southern Oscillation (NOAA News Online, 23 Februari 2005).

Seperti diuraikan sebelumnya, salah satu fenomena iklim global yang sangat berpengaruh di wilayah Indonesia, baik di atmosfer maupun di laut adalah ENSO yang di antaranya terdapat fenomena El Nino. Untuk mengetahui pengaruh pemanasan global terhadap fenomena El Nino dapat dilihat dari mekanisme kerja El Nino itu sendiri.

Hangatnya suhu muka laut di utara Pulau Papua juga membentuk kolam hangat di laut dalam (deep sea) pada lapisan thermocline dengan kedalaman hingga 300 m. Ketika lapisan thermocline ini memiliki perbedaan suhu air yang tinggi dengan daerah di Pasifik tengah maka akan terjadi perpindahan kolam hangat ke arah timur (Samudra Pasifik).

Kondisi ini dikenal sebagai fenomena El Nino. Pengaruh dari pemanasan global terhadap fenomena ini adalah lebih cepat terkumpulnya energi di kolam hangat, baik di permukaan laut maupun di lapisan thermocline.

Dengan demikian, kolam hangat menjadi lebih hangat, potensi mencapai suhu kritis lebih tinggi dan lebih mudah pindah ke Pasifik tengah. Berdasarkan pengetahuan ini kita dapat memperkirakan bahwa pemanasan global akan menimbulkan frekuensi kejadian El Nino meningkat lantaran proses penumpukan panas akan semakin cepat (lihat Gambar 7.3).

Gambar 7.3. Peningkatan intensitas El Nino berdasarkan pada indeks suhu muka laut wilayah Nino3 dari tahun 1950 – 2005.

Page 100: Perubahan Iklim di Indonesia

Dampak Perubahan Iklim

89

Selain itu, pemanasan global juga dapat memperkuat intensitas El Nino akibat kekuatan pemanasan dari massa air laut yang menumpuk di daerah kolam hangat. Menurut penelitian Aldrian dan Susanto (2003), dampak El Nino tidaklah sama untuk seluruh wilayah Indonesia, tergantung pola curah hujan suatu daerah tertentu. Di daerah dengan pola hujan monsoon misalnya, memiliki pengaruh El Nino yang kuat.

d. Kebakaran hutan.Meningkatnya kekeringan memicu kasus kebakaran hutan meskipun

hampir seluruh kasus kebakaran hutan lebih disebabkan oleh faktor manusia. Kebakaran hutan meningkat tajam apabila terjadi hari tanpa hujan di atas seminggu.

Pada tahun-tahun terjadinya El Nino, kasus kebakaran lahan dan hutan juga meningkat tajam. Sebaliknya, pada tahun-tahun La Nina atau kemarau basah, kebakaran hutan menurun.

Jumlah titik api (hot spot) di Pulau Kalimantan dan Sumatera berkorelasi kuat dengan tingkat intensitas El Nino yang terjadi di Samudra Pasifik yang diwakili oleh suhu muka laut di wilayah Nino3 (lihat Gambar 7.4). Besaran korelasi meningkat pada paruh setengah tahun kedua antara bulan Juli dan Desember.

Gambar 7.4. Korelasi antara jumlah titik api (hot spot) dan intensitas El Nino di Pulau Kalimantan dan Sumatera. Banyaknya jumlah titik api tersebut menunjukkan El Nino sedang terjadi.

Page 101: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

90

Gam

bar

7.5.

Pet

a ke

jadi

an k

ebak

aran

hut

an d

i Ind

ones

ia s

elam

a ku

run

wak

tu 1

997

sam

pai 2

005.

Page 102: Perubahan Iklim di Indonesia

Dampak Perubahan Iklim

91

e. Meningkatnya kejadian puting beliung.Pemanasan global akan meningkatkan

temperatur permukaan sehingga menimbulkan kenaikan perbedaan tekanan udara antara satu daerah dengan daerah lainnya. Kondisi ini dapat memicu kenaikan frekuensi kejadian angin puting beliung. Seperti diketahui, angin merupakan salah satu unsur iklim yang dikendalikan oleh radiasi Matahari, perbedaan topografi, dan perbedaan tekanan udara.

Menurut catatan BMKG, sepanjang tahun 2007 – Maret 2008 terjadi 23 kejadian puting beliung di Provinsi Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta. Kerusakan yang ditimbulkan oleh puting beliung tersebut bervariasi, mulai ringan hingga sedang.

Angin puting beliung ini merusak cerobong asap, mematahkan dahan pohon, menumbangkan pohon-pohon berakar dangkal, dan merobohkan papan-papan iklan. Selain itu, di wilayah lain, angin puting beliung juga menghamburkan atap rumah. Bahkan rumah semi permanen pun ikut bergeser tertiup angin puting beliung.

Kondisi semacam ini juga makin sering terjadi di Bogor akhir Oktober 2011. Hujan yang disertai angin kencang itu telah merobohkan pohon, menerbangkan atap rumah, dan menjungkalkan papan-papan iklan di pinggir-pinggir jalan.

f. Kejadian iklim ekstrem (banjir dan kekeringan).Secara geografis, posisi Indonesia yang terletak di antara dua samudra

(Pasifik dan Hindia) sangat rawan terhadap kejadian iklim ekstrem berupa banjir dan kekeringan. Apalagi dengan adanya perubahan iklim, El Nino akan menyebabkan kekeringan di Indonesia, terutama wilayah yang mempunyai pola curah hujan bertipe monsoon.

BMKG mencatat, kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera akibat kemarau panjang terjadi pada tahun-tahun El-Nino, yakni 1997, 2002, 2004,

“Pemanasan global akan

meningkatkan temperatur permukaan

sehingga menimbulkan

kenaikan perbedaan

tekanan udara antara satu

daerah dengan daerah lainnya. Kondisi ini dapat memicu kenaikan

frekuensi kejadian angin

puting beliung.”

Page 103: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

92

dan 2006. Hutan gambut di Kalimantan misalnya, secara alami mudah terbakar ketika kemarau panjang melanda kawasan tersebut.

Di saat El-Nino kekeringan juga mengancam daerah pertanian di berbagai wilayah di Indonesia. Banyak petani gagal panen lantaran kemarau berkepanjangan sehingga persediaan air untuk tanaman terbatas.

Sementara itu, ketika terjadi La Nina, curah hujan di Indonesia meningkat pada saat musim kemarau. Fenomena tersebut juga menyebabkan awal musim hujan bergeser maju (Bell et al., 1999).

Pada tahun 2010 misalnya, terjadi suatu fenomena kemarau basah sehingga sepanjang tahun terjadi musim hujan. Hal ini merupakan salah satu contoh iklim ekstrem yang terjadi di Indonesia sebagai akibat dari terjadinya perubahan iklim.

La Nina juga sering mengakibatkan banjir. Di Indramayu, Jawa Barat misalnya, tanaman padi yang siap panen tenggelam akibat banjir. Begitu juga dengan kota-kota besar seperti Jakarta, Medan, dan Surabaya. Banjir telah mengakibatkan roda perekonomian terganggu.

Di samping banjir dan kekeringan, perubahan iklim juga berdampak pada terjadinya rob (muka laut meluber ke daratan akibat gelombang pasang) yang merusak berbagai infrastruktur. Kasus semacam ini banyak terjadi di Semarang dan Demak, Jawa Tengah.

Gambar 7.6. Banjir di Indramayu menerjang areal padi sawah akan dipanen.

Page 104: Perubahan Iklim di Indonesia

Dampak Perubahan Iklim

93

Gam

bar

7.7.

Pet

a be

ncan

a ba

njir

di I

ndon

esia

tahu

n 19

85 s

ampa

i 200

5.

Page 105: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

94

Gam

bar

7.8.

Pet

a be

ncan

a ke

keri

ngan

di I

ndon

esia

tahu

n 19

80 s

ampa

i 200

1.

Page 106: Perubahan Iklim di Indonesia

Dampak Perubahan Iklim

95

g. Hujan asam dan pengasaman di laut.Penumpukan konsentrasi gas rumah kaca akan menyebabkan peningkatan

komposisi asam lemah di atmosfer. Senyawa dengan ikatan karbon merupakan jenis senyawa asam lemah yang juga bertambah di atmosfer. Jika tidak terdeposisi atau turun maka senyawa tersebut akan terus melayang di atmosfer sampai batas waktu usia senyawa gas rumah kaca tersebut.

Deposisi dapat terjadi pada dua jenis, yaitu deposisi basah akibat terbawa air hujan atau deposisi kering yang terbawa oleh angin atau akibat lain. Deposisi basah terjadi dengan perubahan komposisi kimia air hujan sehingga air hujan akan bersifat masam.

Dengan melakukan analisa kimia air hujan, kita dapat mengetahui unsur senyawa yang terdapat pada air hujan dan juga derajat keasaman yang terbawa. Sampel (contoh) air hujan diuji dengan alat ion chromatography untuk melihat unsur senyawa yang terlarut. Batas ambang derajat keasaman air hujan yang biasa dipakai adalah dengan pH 5,6.

Deposisi senyawa asam yang bercampur dengan air hujan tersebut lalu terbawa turun ke permukaan bumi, termasuk ke permukaan air laut. Hal ini menimbulkan terjadinya pengasaman di laut.

h. Rob dan gelombang tinggi di laut.Rob merupakan gejala naiknya muka air laut di daerah pesisir akibat pasang

laut. Peristiwa ini lebih disebabkan oleh perubahan struktur fisik muka tanah di wilayah pesisir yang menyebabkan intrusi air laut ke daerah pesisir.

Peristiwa rob terjadi di banyak kota besar yang berada di wilayah pesisir seperti Jakarta dan Semarang. Dengan naiknya muka air laut akibat pemanasan global maka ancaman kejadian rob akan semakin meningkat.

Gambar 7.9. Rob di Demak (kiri) dan Semarang (kanan) ini telah merangsek jauh hingga ke daratan.

Page 107: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

96

Selain rob, juga terjadi gelombang tinggi di laut akibat cuaca ekstrem yang meningkat. Gelombang tinggi berkorelasi dengan kuatnya tiupan angin kencang akibat peristiwa pembentukan awan hujan yang kuat.

Gelombang tinggi yang sering terjadi pada musim pancaroba dan puncak musim hujan ini seringkali menimbulkan kecelakaan pada transportasi laut. Selain itu, nelayan juga tidak berani melaut dan menangkap ikan ketika terjadi gelombang tinggi.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, berbagai bencana hidrometeorologi (tanah longsor, banjir, kekeringan, angin topan, gelombang pasang, abrasi, serta kebakaran hutan dan lahan) telah melanda Indonesia belakangan ini (lihat Tabel 7.1). Berbagai bencana tersebut menimbulkan korban manusia dan kerusakan rumah yang tidak sedikt (lihat Tabel 7.2).

Tabel 7.1. Kejadian bencana hidrometeorologi tahun 2002 – 2010 (Sumber: Badan Nasional Penanggulangan Bencana).

Jenis BencanaTahun

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Tanah Longsor 48 70 54 50 73 104 112 225 401 115

Banjir dan Tanah Longsor 17 37 9 13 31 52 39 14 43 69

Banjir 51 159 285 248 328 339 495 478 1.016 119

Kekeringan - 66 327 222 184 152 198 101 43 0

Angin Topan 14 30 65 47 84 122 166 350 402 137

Gelombang Pasang/Abrasi - 6 8 6 14 30 34 36 12 13

Kebakaran Hutan dan Lahan

4 21 10 2 - - 11 34 4 7

Total 134 389 758 588 714 799 1.055 1.238 1.921 460

Page 108: Perubahan Iklim di Indonesia

Dampak Perubahan Iklim

97

Tabel 7.2. Dampak kejadian bencana hidrometeorologi di Indonesia pada April 2011 . (Sumber: Badan Nasional Penanggulangan Bencana).

Jenis Bencana Jumlah Kejadian

Korban Kerusakan Rumah

Meninggal dan Hilang

Menderita dan

Mengungsi

Rusak Berat

Rusak Sedang

Rusak Ringan Terendam

Angin Topan 72 7 5.540 822 696 3.527

Banjir 49 9 88.040 325 6 4.068 42.297

Banjir bandang 29 50 16.868 529 37 1.262 9.197

Banjir dan tanah longsor

8 5 8.731 2.824 253 4.452 212

Gelombang pasang/abrasi

8 4 3.498 85 86 108 574

Kebakaran 70 4 1.556 327 1 35

Kebakaran hutan dan lahan

1 -

-

Tanah longsor 38 36 681 175 4 119

Total 275 115 124.914 5.087 1.083 13.571 52.280

7.2. Dampak NonfisikDampak perubahan iklim secara nonfisik terjadi akibat hubungan tidak

langsung yang pada akhirnya mengganggu aktivitas kehidupan manusia. Meskipun dampak ini tidak terlihat pada parameter perubahan iklim, namun dapat mengakibatkan terjadinya perubahan fisik seperti pada struktur bangunan dan fasilitas pendukung lainnya.

Berikut ini beberapa sektor atau bidang yang dianggap sensitif terhadap dampak perubahan iklim:

1. Kesehatan• Kasus demam berdarah (DBD) dan malaria meningkat. Peningkatan ini

disebabkan oleh naiknya suhu daratan pada masa transisi antar musim. Anomali iklim pada tahun 2010 mengakibatkan sepanjang tahun terjadi kemarau basah dengan diselingi hari hujan. Pada saat yang sama, saluran-saluran air banyak yang mampet sehingga air buangan tidak dapat mengalir. Kondisi ini sangat nyaman bagi pertumbuhan nyamuk sebagai vector borne untuk DBD sehingga penderita demam berdarah meningkat. Kasus ini meningkat lebih tinggi pada masa peralihan dari musim hujan ke kemarau dibandingkan masa peralihan dari musim

Page 109: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

98

kemarau ke hujan. Hal ini dikarenakan pada masa peralihan pertama masih banyak hujan atau sisa aliran air permukaan. Sementara itu, pada masa peralihan kedua, suhu di daratan lebih tinggi dari biasanya.

• Ancaman diare sepanjang tahun. Masih di tahun 2010, perubahan musim seperti berlebihnya aliran air di permukaan mengancam penyebaran penyakit menular melalui air. Musim hujan yang berkepanjangan tersebut menyebabkan terjadinya epidemi diare sepanjang tahun.

• Peningkatan kasus kebakaran hutan akibat kekeringan yang berlanjut akan mengakibatkan penyakit pernapasan seperti Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). Pada musim kemarau, aliran udara bergerak secara horisontal dan tidak ada daya angkat seperti pada musim penghujan. Akibatnya, debu partikulat dari asap kebakaran hutan tersebut menumpuk di permukaan dan menimbulkan kepekatan sehingga rawan terhadap penyakit ISPA.

2. Infrastruktur• Kerusakan infrastruktur terkait erat dengan perubahan curah hujan

terutama peningkatan cuaca ekstrem. Struktur bangunan, terutama kapasitas dan daya maksimum beban, bisa terkena dampak ketika limpahan curah hujannya sangat tinggi. Perubahan pola tersebut akan banyak mempengaruhi kekuatan struktur dalam jangka panjang. Kerusakan yang terjadi seringkali tidak terasa dalam jangka pendek tetapi lambat laun akan terasa nyata. Salah satu akibat curah hujan ekstrem yang berpengaruh pada infrastruktur adalah badai dan banjir. Kelebihan curah hujan di hulu dapat merusak kapasitas tampung reservoir air untuk PLTA sehingga seringkali melimpas menjadi aliran buangan yang kurang bermanfaat. Selain itu, curah hujan yang tinggi dapat menimbulkan pendangkalan di waduk sebagai akibat dari banyaknya erosi yang dibawa air hujan tadi. Kebijakan pembuangan limpasan air dan pengerukan sedimen lumpur perlu diambil sebagai solusi antisipasi agar kapasitas struktur bangunan waduk tidak mengalami kerusakan secara permanen.

• Peningkatan suhu ekstrem dapat mempengaruhi tingginya paras muka air laut yang lambat laun akan mempengaruhi infrastruktur di wilayah pesisir. Tambak-tambak ikan dan udang di daerah pesisir misalnya, akan tergenang air akibat tingginya kenaikan muka air laut.

Page 110: Perubahan Iklim di Indonesia

Dampak Perubahan Iklim

99

3. Energi• Penurunan intensitas curah hujan pada musim kemarau dan

peningkatan kekeringan akan menyebabkan pasokan air berkurang dan mempengaruhi ketersediaan air terutama pada pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Penurunan curah hujan akan berdampak langsung pada penurunan debit aliran permukaan. Diperlukan antisipasi jauh lebih dini untuk peringatan dini iklim ekstrem dan manajemen sumber daya energi yang lebih baik untuk pengelolaan reservoir air (danau dan waduk) terutama untuk keperluan pembangkit energi.

• Peningkatan suhu di pesisir akan mempersulit proses pendinginan pembangkit listrik yang sedianya memanfaatkan air laut sebagai pendingin alamiah. Diperlukan upaya adaptasi berupa pengambilan air pendingin pada kedalaman laut yang lebih dalam dibandingkan biasanya. Atau cara lain, perlu dilakukan penyesuaian dalam proses pendinginannya.

4. Sumber daya air• Perubahan pola curah hujan dapat berdampak pada berkurangnya

ketersediaan air di permukaan dan penurunan kualitas air akibat pekatnya kandungan polutan di air permukaan yang menurun kuantitasnya. Permasalahan sumber daya air menyangkut aliran air di permukaan dan aliran air di bawah tanah. Permasalahan utama sumber daya air di Indonesia adalah tidak meratanya distribusi musiman dari air yang tersedia. Dengan jumlah curah hujan sekitar 2.300 mm per tahun sebenarnya Pulau Jawa memiliki kelebihan sumber daya air, tetapi sekitar 80 % air yang tercurah tersebut jatuh pada musim hujan. Sisanya yang 20 % tercurah pada musim kemarau. Dalam hal ini diperlukan manajemen sumber daya air yang mengacu pada prediksi iklim yang jitu untuk mendukung ketersediaan sumber daya air yang memadai sepanjang tahun.

5. Pertanian• Pergeseran musim hujan dan kemarau dapat mempengaruhi pola

masa (kalender) tanam dan perubahan pola tanam. • Perubahan suhu dapat menyebabkan peningkatan serangan hama

penyakit atau organisme pengganggu tanaman (OPT), dan gosong daun pada sayuran.

Page 111: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

100

• Perubahan pola angin dapat menyebabkan penyebaran hama, terganggunya penyerbukan dan pembuahan.

• Perubahan pola hujan, khususnya kekeringan dan banjir, dapat menyebabkan kegagalan pembuahan dan penyerbukan.

• Perubahan kelembaban dapat menyebabkan peningkatan OPT.• Peningkatan tinggi muka laut dapat menyebabkan masuknya air asin

ke areal persawahan di wilayah pesisir.

6. Kelautan dan perikanan• Pergeseran musim dapat menyebabkan terjadinya perubahan waktu

dan jenis tangkapan ikan.• Perubahan suhu muka laut dapat menyebabkan perubahan lokasi

tangkapan, perpindahan lokasi ikan, serta pengurangan jenis dan jumlah ikan.

• Perubahan pola angin dan gelombang tinggi dapat menyebabkan ne-layan gagal melaut. Selain itu, perubahan tersebut juga dapat meng-akibatkan terjadinya pengadukan di waduk, tambak, dan keramba ja-ring apung sehingga turbiditas meningkat.

• Perubahan pola hujan, fenomena banjir, dan kekeringan dapat mempengaruhi pola budi daya petani tambak.

• Perubahan frekuensi El Nino dapat menyebabkan peningkatan hasil tangkapan (tuna) dan peningkatan produksi garam. Sebaliknya, pada saat La Nina dan kemarau basah dapat menyebabkan produksi garam turun dan hasil penangkapan tuna jauh berkurang.

• Perubahan kelembaban udara dapat menyebabkan peningkatan keasinan air tambak dan mempengaruhi pola budi daya.

• Peningkatan tinggi muka laut dapat menyebabkan peningkatan ter-jadinya rob, erosi tebing pantai, serta tenggelamnya pulau dan tam-bak.

7. Wisata• Perubahan suhu muka Bumi menyebabkan terjadinya pemutihan

(bleaching) terumbu karang yang merupakan kerusakan objek wisata bahari. Pemutihan terumbu karang tersebut lebih disebabkan oleh perubahan suhu yang mendadak, baik peningkatan akibat pemanasan global maupun tahun-tahun El Nino. Padahal untuk memulihkan terumbu karang seperti kondisi semula dibutuhkan waktu yang sangat

Page 112: Perubahan Iklim di Indonesia

Dampak Perubahan Iklim

101

lama, dapat mencapai ratusan tahun. • Akibat suhu meningkat dan perubahan pola musim, beberapa jenis

flora dan fauna terancam punah. Padahal flora dan fauna tersebut selama ini menjadi pesona wisata Indonesia.

• Kenaikan muka laut dapat menyebabkan terjadinya banjir atau rob di wilayah pesisir yang dapat pula merusak infrastruktur wisata seperti akses jalan, fasilitas rekreasi, dan lain-lain.

• Peningkatan iklim ekstrem di laut, darat, dan udara dapat menyebabkan terganggunya transportasi wisata yang pada akhirnya dapat mengurangi minat wisatawan untuk berkunjung atau dapat mempersingkat waktu kunjungan.

• Industri wisata menyukai suasana cerah sinar Matahari. Jadi, jika iklim kemarau basah terus terjadi dan sinar Matahari berkurang, praktis dapat menurunkan daya tarik bagi para wisatawan.

8. Kehutanan• Peningkatan suhu dan perubahan pola hujan, seperti kemarau panjang,

dapat menyebabkan peningkatan risiko kebakaran hutan dan lahan serta mengancam ketersediaan air.

• Perubahan biodiversitas dapat terjadi dikarenakan perubahan suhu dan pola curah hujan akibat iklim ekstrem. Di lain pihak, terjadinya kemarau basah dapat menguntungkan karena dapat mempercepat penghijauan di sektor kehutanan.

9. Transportasi• Peningkatan curah hujan ekstrem dan perubahan pola angin dapat

menyebabkan terganggunya transportasi baik di darat, laut, maupun udara. Bahkan iklim dan cuaca ekstrem seringkali menjadi biang terjadinya berbagai kecelakaan. Transportasi darat misalnya, terganggu dan bahkan menimbulkan kecelakaan serius ketika curah hujan tinggi yang diikuti tanah longsor. Tanah longsor itu menimbun jalan raya dan mengubur kendaraan yang melintas. Di laut, akibat gelombang tinggi, menimbulkan gangguan pada kapal penumpang dan barang yang sedang berlayar. Begitu juga di udara, akibat adanya hempasan angin samping, angin lereng, dan pertumbuhan awan konvektif, laju pesawat terbang menjadi kurang nyaman.

Page 113: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

102

Tabel 7.3. Dampak perubahan iklim di berbagai sektor.

Sektor

Parameter Utama Perubahan Iklim

Curah hujan (kualitas & kuantitas) Suhu Kelembaban udara Angin

Kenaikan permukaan air laut dan rob

Musim

Pertanian • Penurunan produktivitas, produksi, mutu hasil, efisiensi, dll karena banjir, kekeringan (kemarau panjang), dan hujan asam.

• Penyusutan & degradasi lahan

• penurunan hasil produksi karena terjadi busuk pada tanaman

• Peningkatan serangan OPT (orga- nisme pengganggu tanaman)

• Perubahan kesesuaian jenis ta- naman.

• Terjadinya gagal penyerbukan dan gagal pembuahan

• Peningkatan evapotranspirasi

• Penyebaran OPT

• Intrusi air laut dan rob

• Penyusutan & degradasi lahan

Perubahan kalender tanam

Infrastruktur • Kerusakan infrastruktur akibat banjir• Kerusakan bangunan akibat hujan asam• Kerusakan akibat abrasi

Rusaknya infrastruktur akibat peningkatan suhu

Kerusakan bangunan oleh jamur dan udara lembab

Kerusakan bangunan karena puting beliung dan badai

Rusaknya infrastruk-tur pesisir

Terganggunya perencanaan pembangunan oleh perubahan musim yang sulit diprediksi

Infrastruktur daerah pesisir

• Kerusakan infrastruktur akibat banjir• Peningkatan abrasi

Kerusakan bangunan oleh jamur dan udara lembab

Kerusakan bangunan karena puting beliung dan badai

Kerusakan permukiman dan bangunan pesisir

Kesehatan • Penurunan daya tahan tubuh• Peningkatan serangan penyakit• Ancaman kekurangan pangan• Penurunan mutu air konsumsi

• Penurunan daya tahan tubuh• Peningkatan serangan penyakit

• Penurunan daya tahan tubuh

• Peningkatan serangan penyakit

Penyebaran penyakit Munculnya penyakit kulit dan pencernaan

• Peningkatan penyakit outbreak

• Munculnya jenis penyakit baru

Perikanan dan kelautan

Kendala melaut meningkat dengan peningkatan kejadian dan intensitas

Pengadukan pada danau, waduk, dan tambak budi daya sehingga mengakibatkan kematian karena keracunan pada ikan.

Keteraturan musim terganggu yang merubah lokasi, jenis, dan waktu penangkapan.

Terganggunya aktivitas perikanan (TPI) di pesisir

Sulit memprediksi musim ikan dan angin

Transportasi Terganggunya transportasi laut dan udara Terganggunya transportasi laut dan udara

Terganggunya transportasi laut dan udara

Banjir di wilayah ban-dara dan pelabuhan, serta jalan raya di sekitar pantai

Sumber daya air

• CH (kekeringan)• Meningkatkan jumlah kejadian banjir selama 5

tahun terakhir• Peningkatan frekuensi dan intensitas banjir

Penurunan SDA karena meningkatnya penguapan

Penurunan SDA karena meningkatnya penguapan

Penurunan SDA karena meningkatnya penguapan

Penurunan mutu air tanah daerah pesisir

Terganggunya supply waduk

Energi Penurunan ketersediaan air untuk pembangkit listrik tenaga air terutama selama musim kemarau

Terganggunya proses pendinginan pembangkit listrik

Peningkatan energi kinetik untuk pembangkit listrik

Terganggunya PLTA oleh perubahan suplly air waduk

Wisata Perubahan debit sungai sarana wisata dan olah raga

• Penurunan tingkat kenyamanan wisata

• Penurunan potensi wisata daerah pegunungan

Penurunan tingkat kenyamanan wisata

Potensi wisata olah raga meningkat

Kerusakan daerah wisata pantai dan pulau

Pola kunjungan wisata yang sulit diprediksi

Kehutanan • Peningkatan risiko kekeringan dan kebakaran hutan

• Pengurangan lahan gambut

• Peningkatan risiko kebakaran hutan

• Punahnya beberapa spesies

Peningkatan cendawan dan penyakit pohon

Perluasan wilayah kebakaran hutan dan semakin sulitnya penanganan kebakaran hutan

Rusaknya hutan mangrove

Gagalnya pembu-ngaan dan perkem-bangbiakan tanaman

Page 114: Perubahan Iklim di Indonesia

Dampak Perubahan Iklim

103

Tabel 7.3. Dampak perubahan iklim di berbagai sektor.

Sektor

Parameter Utama Perubahan Iklim

Curah hujan (kualitas & kuantitas) Suhu Kelembaban udara Angin

Kenaikan permukaan air laut dan rob

Musim

Pertanian • Penurunan produktivitas, produksi, mutu hasil, efisiensi, dll karena banjir, kekeringan (kemarau panjang), dan hujan asam.

• Penyusutan & degradasi lahan

• penurunan hasil produksi karena terjadi busuk pada tanaman

• Peningkatan serangan OPT (orga- nisme pengganggu tanaman)

• Perubahan kesesuaian jenis ta- naman.

• Terjadinya gagal penyerbukan dan gagal pembuahan

• Peningkatan evapotranspirasi

• Penyebaran OPT

• Intrusi air laut dan rob

• Penyusutan & degradasi lahan

Perubahan kalender tanam

Infrastruktur • Kerusakan infrastruktur akibat banjir• Kerusakan bangunan akibat hujan asam• Kerusakan akibat abrasi

Rusaknya infrastruktur akibat peningkatan suhu

Kerusakan bangunan oleh jamur dan udara lembab

Kerusakan bangunan karena puting beliung dan badai

Rusaknya infrastruk-tur pesisir

Terganggunya perencanaan pembangunan oleh perubahan musim yang sulit diprediksi

Infrastruktur daerah pesisir

• Kerusakan infrastruktur akibat banjir• Peningkatan abrasi

Kerusakan bangunan oleh jamur dan udara lembab

Kerusakan bangunan karena puting beliung dan badai

Kerusakan permukiman dan bangunan pesisir

Kesehatan • Penurunan daya tahan tubuh• Peningkatan serangan penyakit• Ancaman kekurangan pangan• Penurunan mutu air konsumsi

• Penurunan daya tahan tubuh• Peningkatan serangan penyakit

• Penurunan daya tahan tubuh

• Peningkatan serangan penyakit

Penyebaran penyakit Munculnya penyakit kulit dan pencernaan

• Peningkatan penyakit outbreak

• Munculnya jenis penyakit baru

Perikanan dan kelautan

Kendala melaut meningkat dengan peningkatan kejadian dan intensitas

Pengadukan pada danau, waduk, dan tambak budi daya sehingga mengakibatkan kematian karena keracunan pada ikan.

Keteraturan musim terganggu yang merubah lokasi, jenis, dan waktu penangkapan.

Terganggunya aktivitas perikanan (TPI) di pesisir

Sulit memprediksi musim ikan dan angin

Transportasi Terganggunya transportasi laut dan udara Terganggunya transportasi laut dan udara

Terganggunya transportasi laut dan udara

Banjir di wilayah ban-dara dan pelabuhan, serta jalan raya di sekitar pantai

Sumber daya air

• CH (kekeringan)• Meningkatkan jumlah kejadian banjir selama 5

tahun terakhir• Peningkatan frekuensi dan intensitas banjir

Penurunan SDA karena meningkatnya penguapan

Penurunan SDA karena meningkatnya penguapan

Penurunan SDA karena meningkatnya penguapan

Penurunan mutu air tanah daerah pesisir

Terganggunya supply waduk

Energi Penurunan ketersediaan air untuk pembangkit listrik tenaga air terutama selama musim kemarau

Terganggunya proses pendinginan pembangkit listrik

Peningkatan energi kinetik untuk pembangkit listrik

Terganggunya PLTA oleh perubahan suplly air waduk

Wisata Perubahan debit sungai sarana wisata dan olah raga

• Penurunan tingkat kenyamanan wisata

• Penurunan potensi wisata daerah pegunungan

Penurunan tingkat kenyamanan wisata

Potensi wisata olah raga meningkat

Kerusakan daerah wisata pantai dan pulau

Pola kunjungan wisata yang sulit diprediksi

Kehutanan • Peningkatan risiko kekeringan dan kebakaran hutan

• Pengurangan lahan gambut

• Peningkatan risiko kebakaran hutan

• Punahnya beberapa spesies

Peningkatan cendawan dan penyakit pohon

Perluasan wilayah kebakaran hutan dan semakin sulitnya penanganan kebakaran hutan

Rusaknya hutan mangrove

Gagalnya pembu-ngaan dan perkem-bangbiakan tanaman

Page 115: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

104

Hendra Yusran SiryBalai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan

Perubahan Iklim Menambah Masalah Kian Kompleks

Anugerah geografis sekaligus ciri kewilayahan Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic state)

terbesar berperan penting dalam sistem iklim global. Dengan 17.480 buah pulau serta garis pantai sepanjang sekitar 95.181 km, pesisir dan laut Indonesia merupakan bagian penting dari regulator iklim global.

Kondisi geografis ini juga memiliki kerentanan terhadap perubahan iklim yang telah, sedang, dan akan berlangsung. Perubahan iklim memicu dan memacu anomali serta variabilitas iklim dan mengakibatkan percepatan dan kekerapan berbagai kejadian iklim yang luar biasa (extreme climate events) seperti peningkatan intensitas El Nino dan La Nina, kenaikan curah hujan yang tinggi, dan kenaikan tinggi muka air laut. Perubahan iklim juga berdampak pada kejadian iklim yang berlangsung perlahan namun mempunyai dampak kerusakan besar atau slow onset climate events.

Perubahan iklim dan dampaknya mempunyai dimensi sosial yang sangat tinggi. Berubah dan bervariasinya iklim yang berakibat pada perubahan bagi masyarakat serta tatanannya adalah dimensi sosial yang harus dicermati dan diantisiapasi. Kompleksitas skala dan dampak perubahan iklim menempatkan dimensi sosial dan ekonomi sebagai rujukan penting dalam penerapan berbagai upaya mengatasi dan mengantisipasi dampak perubahan iklim.

Panel Internasional Perubahan Iklim (IPCC) menyatakan bahwa pemanasan global dan perubahan iklim dapat menyebabkan terjadinya

Hendra Yusran Siry

Page 116: Perubahan Iklim di Indonesia

Dampak Perubahan Iklim

105

perubahan yang signifikan dalam sistem fisik dan biologis. Naiknya tinggi muka air laut di sebagian pesisir yang mempunyai tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, telah menyebabkan terjadinya kerawanan yang serius serta penurunan kualitas kehidupan dan lingkungan pesisir dan laut.

Perubahan iklim dan kompleksitas skala serta dampaknya menuntut perlunya strategi adaptasi dan mitigasi yang tepat. Rentang pemahaman strategi adaptasi dan mitigasi dampak perubahan iklim masih beragam dan membutuhkan tingkat pemahaman yang sama serta keterpaduan guna mencegah kebuntuan dan terjadinya maladaptasi dan malmitigasi, yang pada akhirnya memiliki dampak yang lebih besar.

Perubahan iklim juga memperburuk dan menambah kompleksitas permasalahan yang saat ini ada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil seperti degradasi ekosistem, pencemaran, erosi, ketersediaan air bersih, dan keanekaragaman hayati. Masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil yang pada umumnya berprofesi sebagai nelayan dan pembudidaya ikan memiliki keterbatasan dalam berbagai hal (seperti sumber daya, sarana, dan prasarana, akses untuk evakuasi, pendidikan dan pemahaman terhadap bencana akibat perubahan iklim) merupakan kelompok masyarakat paling terkena dampak dari perubahan iklim. Guna menghadapi dan mengantisipasi dampak perubahan iklm diperlukan kebijakan dan strategi untuk adaptasi dan mitigasi dampak perubahan iklim untuk bidang kelautan dan perikanan.

Kebijakan dan strategi program untuk adaptasi dan mitigasi guna mengurangi kerentanan dan meningkatkan kapasitas masyarakat (human system) serta ekosistem wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam mengantisipasi dampak negatif perubahan iklim bisa dicapai dengan melakukan sosialisasi perubahan iklim dan dampaknya. Minimnya pemahaman terhadap dimensi sosial pada dampak perubahan iklim berpotensi menyebabkan upaya dan program dalam antisipasi perubahan iklim mengalami kebuntuan dalam pelaksanaannya yang pada akhirnya besaran dampaknya akan menjadi lebih besar.

Upaya yang dilakukan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) bekerja sama dengan kementerian/lembaga termasuk Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui program ICCTF (Indonesia Climate Change Trust Fund) merupakan kontribusi untuk mengenalkan perubahan iklim

Page 117: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

106

dan dampaknya kepada pelaku utama dan pelaku usaha di sektor kelautan dan perikanan.

Di samping upaya sosialisasi tersebut, pemahaman perubahan iklim dan dampaknya serta upaya antisipasinya memerlukan penelitian dan pengembangan, khususnya menyangkut dimensi sosial ekonomi. Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan (BBRSEKP), Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan (Balitbang KP), Kementerian Kelautan dan Perikanan telah melakukan penelitian yang berkaitan dengan perubahan iklim, seperti perubahan iklim dan sistem sosial-ekologis di sektor kelautan dan perikanan. Penelitian tersebut mengamati empat komponen pembentuk sistem sosial ekologis (SES) sektor kelautan dan perikanan yaitu sumber daya, prasarana, penyedia sarana dan pelaku utama sektor kelautan dan perikanan, serta dampak perubahan iklim terhadap empat komponen SES dan respon yang diberikan.

Penelitian perubahan iklim BBRSEKP juga mengkaji persepsi masyarakat pelaku utama dan usaha perikanan di beberapa sentra usaha kelautan dan perikanan. BBRSEKP mengagenda riset untuk mendukung antisipasi terhadap dampak perubahan iklim adalah upaya mitigasi, ketahanan, dan kesiapan masyarakat terhadap perubahan iklim. Agenda riset tersebut melingkupi upaya yang dilakukan pemerintah, kendala dan strateginya, serta bagaimana interaksi aspek-aspek ekologi, sosial, dan ekonomi.

Page 118: Perubahan Iklim di Indonesia

Adaptasi Perubahan Iklim

107

BAB 8.

ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

Upaya adaptasi yang dilakukan manusia terhadap lingkungan di sekitarnya, termasuk iklim, bukanlah hal baru. Pada musim dingin di kawasan Eropa misalnya, masyarakat di sana telah lama beradaptasi

dengan mengenakan pakaian tebal agar tubuh mereka tidak menggigil kedinginan diterpa suhu udara yang rendah.

Hal serupa juga dilakukan masyarakat Indonesia yang bermukim di dataran tinggi atau pegunungan. Untuk menghadapi suhu udara yang dingin di malam hari, mereka menyesuaikan diri dengan mengenakan jaket atau baju tebal agar tubuh tetap dalam kondisi hangat.

Sebaliknya bagi masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir atau pantai. Pakaian yang mereka kenakan biasanya terbuat dari kain tipis agar mudah menyerap keringat di siang hari.

Tak ada catatan yang pasti kapan upaya-upaya adaptasi semacam itu dilakukan. Namun yang jelas, disadari atau tidak, kebiasaan beradaptasi tersebut sudah berlangsung sangat lama.

Dari beberapa contoh tersebut, jelas bahwa adaptasi adalah suatu usaha mahluk hidup untuk menyesuaikan diri terhadap kondisi lingkungan yang ada. Dalam konteks perubahan iklim, upaya adaptasi dilakukan untuk mengelola permasalahan yang tidak dapat dihindari. Singkat kata, adaptasi adalah upaya untuk mengatasi akibat yang ditimbulkan.

Seperti telah dibahas pada Bab sebelumnya bahwa perubahan iklim telah, sedang, dan akan terus terjadi sehingga perlu dilakukan upaya menyesuaikan

Page 119: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

108

diri terhadap kondisi tersebut. Lalu, upaya-upaya adaptasi apa saja yang perlu dilakukan agar kita dapat hidup nyaman menghadapi perubahan iklim?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita pahami dulu komponen-komponen adaptasi perubahan iklim berikut ini.

8.1. Komponen Adaptasi Perubahan IklimDalam konteks perubahan iklim, dikenal dua istilah penting yang sering

digunakan, yaitu adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Menurut UNFCCC, adaptasi diartikan sebagai upaya penyesuaian diri ke dalam sistem iklim yang berubah.

Karena itu upaya pengurangan dampak atau risiko perubahan iklim, termasuk penanganan bencana, termasuk ke dalam kategori adaptasi perubahan iklim. Mengapa demikian? Hal ini disebabkan kegiatan tersebut masuk ke dalam pengertian menyesuaikan diri terhadap kondisi alam yang berubah (yang bisa saja diakibatkan oleh perubahan iklim).

Menurut Inter-government Panel on Climate Change (IPCC), terdapat lima komponen utama kegiatan adaptasi perubahan iklim, yakni: a. Atribusi komponen perubahan iklim terhadap kegiatan sosial ekonomi

dan biosfer.Atribusi menyangkut masalah kompo-

nen yang memberi kontibusi terhadap per-ubahan, baik dalam konteks pemanasan global, perubahan iklim, maupun dampak-nya. Terkait pemanasan global, masalah atribusi menyangkut komponen iklim dan noniklim yang berkontribusi terhadap pe-ningkatan suhu muka Bumi seperti letusan gunung api, sinar kosmis, dan perubahan radiasi Matahari.

Dalam hal perubahan iklim, masalah atribusi utama menyangkut kontribusi perubahan lingkungan dan tutupan lahan terhadap faktor iklim. Terkait dengan dampak, atribusi menyangkut kontribusi perubahan parameter iklim atau gas rumah kaca (GRK) yang terjadi terhadap dampak yang ditimbulkan seperti banjir,

“Atribusi menyangkut

masalah komponen

yang memberi kontibusi terhadap

perubahan, baik dalam konteks

pemanasan global, perubahan

iklim, maupun dampaknya.”

Page 120: Perubahan Iklim di Indonesia

Adaptasi Perubahan Iklim

109

kekeringan, kebakaran hutan, perubahan populasi hewan, perubahan migrasi burung, dan lain sebagainya.

b. Kajian dan studi dampak.Dampak dari perubahan iklim selalu dihubungkan dengan upaya

adaptasi. Beberapa unsur pendukung upaya adaptasi sangat tergantung pada pengenalan dampak yang ditimbulkan pada objek perubahan iklim.

Dampak yang terjadi dapat berupa langsung terlihat atau tidak langsung tetapi menunjukkan akibat secara perlahan. Contoh dari dampak langsung adalah perubahan pola hujan, kekeringan, banjir, kebakaran hutan, gelombang panas, angin puting beliung, dan lain-lain.

Dengan memahami bahwa perubahan iklim adalah proses yang dimulai secara lambat dan laju yang pelan, saat ini semakin banyak dampak tidak langsung yang mulai dikenali. Contoh dampak tidak langsung adalah dampak sektoral seperti pola penyakit pada manusia dan tanaman, gangguan pariwisata, infrastruktur, transportasi, dan lain sebagainya.

Salah satu kesulitan terbesar dalam melihat dampak perubahan iklim adalah melakukan kajian atribusi faktor perubahan iklim terhadap dampaknya dan memisahkan pada penyebab noniklim.

c. Kerentanan terhadap perubahan iklimDalam beradaptasi, ternyata upaya yang sama tidak selalu menghasilkan

hasil serupa pada masyarakat. Hal ini terutama disebabkan oleh dua faktor, yakni kerentanan dan kapasitas adaptasi.

Kerentanan adalah ukuran ketidakberdayaan masyarakat atau komunitas terhadap upaya adaptasi karena faktor paparan atau hamparan bencana yang dihadapi dan dikombinasikan dengan faktor kesiapan komunitas tersebut untuk beradaptasi (kapasitas adaptasi).

Ada kondisi dimana masyarakat siap tetapi bencana yang dihadapi sangat besar sehingga tingkat kerentanannya tinggi. Sementara itu, ada kondisi dimana kerentanan kecil karena paparan bencana yang kecil dengan kesiapan masyarakat yang tinggi.

Paparan bencana yang dimaksud adalah bencana iklim akibat dari perubahan iklim yang ditandai dengan bencana yang berhubungan dengan parameter iklim seperti curah hujan, angin, suhu, tekanan, kelembaban, dan tutupan awan. Sebagai contoh wilayah yang berubah dengan tutupan awan yang semakin tinggi menjadi rentan untuk budidaya tembakau.

Page 121: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

110

d. Kapasitas adaptasi dan kajian ketahanan terhadap perubahan iklimKapasitas adaptasi berhubungan erat dengan daya tahan terhadap per-

ubahan iklim dan merupakan ukuran kelenturan masyarakat dalam melaku-kan upaya adaptasi. Tidak ada ukuran yang universal dari kapasitas adaptasi sehingga ukuran kerentanan juga menjadi tidak seragam. Hal ini sangat ber-beda dengan ukuran paparan bencana yang dapat diukur dalam satuan il-miah.

Kapasitas adaptasi menyangkut masalah sosial, ekonomi, dan budaya dengan jumlah faktor yang tidak terbatas berhubungan dengan aktivitas yang dilakukan. Sebagai contoh dalam mengkaji kerentanan perubahan iklim terhadap pertanian di Jawa, faktor irigasi merupakan salah satu faktor dominan yang menentukan.

Namun hal ini tidak berlaku di Pulau Bali karena irigasi lokal yang disebut Subak itu sudah menjadi bagian sosial budaya masyarakat yang melekat. Karena itu irigasi di Bali yang sudah melekat erat dalam adat itu bukan lagi dianggap hambatan dalam beradaptasi terhadap perubahan iklim.

Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam penghitungan kapasitas adaptasi adalah unsur income (pendapatan atau ekonomi), pendidikan, sarana kesehatan, prasarana perhubungan, dan prasarana telekomunikasi.

e. Risiko iklimRisiko iklim adalah faktor yang diperoleh akibat peluang terjadinya

bencana iklim dan konsekuensi yang ditimbulkan oleh kejadian iklim tersebut. Bencana iklim yang dimaksudkan dapat berhubungan dengan kondisi iklim ekstrem akibat perubahan iklim.

Besarnya konsekuensi yang ditimbulkan oleh peluang terjadinya iklim ekstrem tersebut dapat dinyatakan dalam satuan keekonomian atau faktor kerugian seperti risiko hilangnya jiwa, harta benda, dan infrastruktur. Sebagai contoh, peningkatan peluang udara dengan kelembaban tinggi dapat meningkatkan risiko penurunan jam kerja buruh. Pada kasus ini, terjadi risiko iklim yang dapat dihitung dalam satuan kehilangan potensi ekonomi akibat faktor iklim.

Kasus lain adalah peningkatan peluang kejadian demam berdarah akibat meningkatnya peluang faktor iklim yang mendukung kondisi tersebut. Hal ini mengakibatkan peningkatan risiko iklim untuk kasus demam berdarah. Contoh lainnya adalah peluang terjadinya banjir yang menyebabkan puso dan kehilangan hasil panen pertanian akibat risiko kejadian iklim ekstrem.

Page 122: Perubahan Iklim di Indonesia

Adaptasi Perubahan Iklim

111

Sebagai negara kepulauan, Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Dengan status sebagai negara berkembang, kemampuan Indonesia dalam melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim belumlah sebaik negara-negara maju. Oleh karena itu dikhawatirkan pembangunan yang sedang dilaksanakan pemerintah bisa terhambat karena dampak perubahan iklim.

Golongan yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim adalah masyarakat miskin. Mereka juga merupakan golongan yang paling terkena dampak terhambatnya pembangunan nasional. Dengan demikian, respon terhadap perubahan iklim harus mengikutsertakan program pengentasan kemiskinan.

Adaptasi terhadap perubahan iklim merupakan aspek kunci

yang harus menjadi agenda pembangunan nasional dalam

rangka mengembangkan pola pembangunan yang tahan terhadap dampak perubahan iklim dan gangguan anomali cuaca yang terjadi saat ini serta antisipasi dampaknya ke depan.

Tujuan jangka panjang dari agenda adaptasi perubahan iklim

di Indonesia adalah terintegrasinya adaptasi perubahan iklim ke dalam

perencanaan pembangunan nasional.

8.2. Kebijakan Menghadapi Perubahan IklimAgenda adaptasi perubahan iklim harus difokuskan pada bidang yang

rentan terhadap perubahan iklim, yakni: sumber daya air, pertanian, perikanan, pesisir dan laut, infrastruktur dan permukiman, kesehatan, serta kehutanan. Untuk mencapai pembangungan yang tahan terhadap risiko iklim, masing-masing bidang tersebut perlu mengenal empat hal.

Pertama, tujuan agenda adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang ingin dicapai terkait erat dengan tujuan pembangunan nasional, yang dapat juga diselaraskan dengan pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) Indonesia.

“Tujuan jangka

panjang dari agenda adaptasi perubahan

iklim di Indonesia adalah terintegrasinya adaptasi

perubahan iklim ke dalam perencanaan

pembangunan nasional.”

Page 123: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

112

Kedua, kondisi yang ada pada masing-masing bidang yang difokuskan saat ini, baik biofisik, program, inisiatif yang ada, maupun institusi yang bertanggung jawab terhadap dampak perubahan iklim.

Ketiga, perubahan kunci yang diperlukan pada program, investasi, atau rencana yang sudah ada. Keempat, investasi dan kegiatan tambahan atau kegiatan baru yang diperlukan.

Dalam strategi pembangunan, agenda adaptasi untuk menghadapi anomali iklim atau variabilitas iklim saat ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain:

1. Penguatan informasi.

Prof. Dr. Emil SalimDewan Pertimbangan Presiden RI

Kebijakan 7-26

Menurut Ketua Dewan Pertimbangan Presiden (DPP) Prof Dr Emil Salim, pemerintah Indonesia melalui

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menggariskan kebijaksanaan pembangunan 7-26 %. Artinya, laju pertumbuhan ekonomi yang harus dicapai sebesar 7 % dengan minus 26 % emisi gas rumah kaca dari tingkat tahun 2000 untuk dicapai tahun 2020.

Sasaran pembangunan ini harus dicapai dengan pola pembangunan yang menurunkan tingkat kemiskinan di bawah 11 % dan tingkat pengangguran di bawah 14 % dalam lingkup lingkungan yang hijau lestari.

Dengan sasaran dan pola pembangunan seperti ini, kata Emil Salim, Indonesia turut menurunkan emisi gas rumah kaca sehingga bisa mencegah naiknya suhu bumi sebesar 2 oCelsius pada tahun 2020.

BMKG kini menyediakan informasi penting tentang iklim untuk bisa dijadikan pegangan bagi kita semua mengisi kebijakan pembangunan 7-26 %.

flore

snew

s.co

m

Prof. Dr. Emil Salim

Page 124: Perubahan Iklim di Indonesia

Adaptasi Perubahan Iklim

113

2. Peningkatan basis informasi iklim di hulu. Basis informasi iklim –yang meliputi variabilitas dan perubahannya-- merupakan informasi dasar yang sangat dibutuhkan dalam melakukan upaya adaptasi. Dengan melihat faktor adaptasi di atas, keseluruhan unsur adaptasi memerlukan informasi iklim, baik untuk atribusi, dampak, kerentanan, maupun risiko. Jenis informasi yang diperlukan meliputi gas rumah kaca, perubahan parameter utama iklim dan tren yang terjadi, kerentanan wilayah, serta peluang kejadian ekstrem. Keseluruhan jenis informasi tersebut diperlukan dalam bentuk historis masa lampau, masa kini, serta proyeksi masa depan. Karena itu perlu adanya pengembangan sistem pengamatan cuaca, iklim, dan hidrologi khususnya di luar Jawa. Selain itu, perlu juga peningkatan kapasitas BMKG dalam membuat ramalan cuaca dan iklim yang lebih akurat mencakup seluruh wilayah di Indonesia.

3. Peningkatan kesadaran dan penyebarluasan informasi perubahan iklim dan informasi adaptasi pada berbagai tingkat masyarakat.Langkah peningkatan kesadaran tersebut harus diberikan terutama kepada masyarakat yang rentan sebagai tindakan kesiapsiagaan dini dan peningkatan kesadaran tentang bencana iklim yang semakin meningkat. Di samping itu, peningkatan kesadaran juga dilakukan dalam cara pandang masyarakat terhadap isu perubahan iklim agar tidak selalu negatif serta melihat pada sisi peluang dibandingkan dengan sisi ancaman. Informasi adaptasi –dalam bentuk pengalaman nyata misalnya-- juga perlu disebarluaskan dalam menyikapi perubahan iklim yang telah, sedang, dan akan terjadi sehingga dapat diambil peluang positif dalam menghadapi perubahan iklim tersebut.

4. Peningkatan kapasitas pengkajian ilmiah.Pengkajian ilmiah tentang perubahan iklim dan dampaknya serta upaya pengendaliannya perlu ditingkatkan. Selain itu, perlu juga dikembang-kan model proyeksi perubahan iklim jangka pendek, menengah, dan panjang untuk skala lokal atau regional. Semua langkah itu diperlukan untuk menilai kerentanan dan dampak iklim serta menyusun renca-na dan strategi kebijakan adaptasi terhadap perubahan iklim dalam jangka pendek, menengah, dan panjang. Upaya yang tak kalah penting lainnya adalah perlu adanya koordinasi dan sinergi riset perubahan iklim antarsektor serta sinergi antara pusat dan daerah.

Page 125: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

114

5. Peninjauan kembali kebijakan-kebijakan inti.Berbagai kebijakan inti, baik secara langsung maupun tidak langsung yang akan dipengaruhi oleh perubahan iklim sebaiknya ditinjau kembali. Dari langkah tersebut, kita dapat mengidentifikasi berbagai penyesuaian yang harus dilakukan terhadap program-program yang didesain dengan mempertimbangkan arah perubahan iklim, kenaikan muka air laut, serta perubahan kondisi sosial-ekonomi. Upaya ini dimaksudkan untuk mendapatkan kebijakan dan program yang lebih sesuai dalam menghadapi perubahan iklim.

6. Peningkatan kapasitas untuk mengintegrasikan perubahan iklim dengan pengarusutamaan adaptasi perubahan iklim ke dalam perencanaan, perancangan infrastruktur, pengelolaan konflik, dan pembagian kawasan air tanah untuk institusi pengelolaan air.

7. Pengarusutamaan adaptasi perubahan iklim ke dalam kebijakan dan program di berbagai sektor (dengan fokus pada penanggulangan bencana, pengelolaan sumber daya air, pertanian, kesehatan, dan industri).

8. Pengembangan isu perubahan iklim dalam kurikulum sekolah menengah dan perguruan tinggi.

9. Pengembangan sistem infrastruktur dan tata-ruang serta sektor-sektor yang tahan dan tanggap terhadap goncangan dan perubahan iklim. Di samping itu, perlu juga dikembangkan dan ditata kembali tata ruang wilayah, khususnya pada kawasan pantai.

8.3. Berbagai Usaha Adaptasi yang Bisa Dilakukan MasyarakatSeluruh masyarakat, apapun profesinya, sebenarnya dapat berkontribusi

dalam usaha adaptasi perubahan iklim. Semakin serius kita melakukan upaya adaptasi, kian terasa nyaman dalam menghadapi perubahan iklim.

Berikut ini hal-hal praktis yang bisa dilakukan masyarakat luas dalam upaya melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim.rMasyarakat umum:• Memanfaatkan informasi iklim dan cuaca untuk optimalisasi aktivitas dan

peningkatan kapasitas adaptif.

• Melakukan program pengurangan risiko bencana terkait iklim seperti penghutanan kembali (reboisasi) dan penghijauan terutama di kawasan hutan/lahan yang kritis, baik di hulu maupun di hilir (kawasan pesisir)

Page 126: Perubahan Iklim di Indonesia

Adaptasi Perubahan Iklim

115

dengan melibatkan peran serta masyarakat luas.

• Meningkatkan ketahanan tubuh menghadapi pergeseran musim.

• Membangun infrastruktur dengan menyesuaikan risiko dampak perubahan iklim.

• Membuat rumah panggung.

• Membangun dam (tanggul) untuk penahan banjir dan membuat drainase untuk pengelolaan air.

• Membuat resapan biopori untuk penanggulangan banjir.

• Memperbaiki manajemen pengelolaan air, termasuk sistem dan jaringan irigasi.

• Mengembangkan teknologi panen air, seperti membangun embung, dam parit, dan lain sebagainya.

rPetani:• Meningkatkan pengetahuan dan informasi tentang perubahan iklim

antara lain melalui Sekolah Lapang Iklim, sistem peringatan dini, dan sistem jaringan informasi iklim.

• Menyesuaikan kalender tanam.

• Menyesuaikan jenis komoditas yang akan ditanam.

• Memilih jenis dan varietas tanaman yang lebih tahan terhadap perubahan lingkungan, antara lain tahan kekeringan, tahan genangan, berumur genjah, dan tahan terhadap air payau.

• Mengembangkan jenis dan varietas tanaman yang toleran terhadap stres lingkungan. Contoh stres lingkungan adalah kenaikan suhu udara, kekeringan, genangan (banjir), dan salinitas.

• Menjaga tingkat keasaman tanah dengan menambahkan kapur (amelioran).

• Menerapkan teknologi hemat air (efisiensi penggunaan air), terutama pada lahan yang rentan terhadap kekeringan.

• Menerapkan sistem irigasi berselang dan melakukan efisiensi penggunaan air, seperti irigasi tetes dan pemberian mulsa.

• Menanam lebih dari satu jenis tanaman (tumpang sari).

• Mengembangkan teknologi silase untuk mengatasi kelangkaan pangan musiman.

• Mengembangkan teknologi pengelolaan tanah dan tanaman untuk meningkatkan daya adaptasi tanaman.

Page 127: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

116

• Menerapkan teknologi pengelolaan tanah dan tanaman untuk meningkatkan daya adaptasi tanaman.

• Mengembangkan ternak yang adaptif terhadap lingkungan yang lebih ekstrem (kekeringan, suhu tinggi, dan genangan).

• Mengembangkan sistem integrasi tanaman-ternak (crop livestock system atau CLS) untuk mengurangi risiko dan optimalisasi penggunaan sumber daya lahan.

• Mengembangkan sistem perlindungan usaha tani dari kegagalan akibat perubahan iklim atau crop weather insurance.

r Nelayan:• Meningkatkan pengetahuan dan informasi tentang perubahan iklim

antara lain melalui Sekolah Lapang Iklim, sistem peringatan dini, dan sistem jaringan informasi iklim.

• Menanam vegetasi pantai seperti mangrove, waru laut, cemara, dan lain-lain.

• Menyesuaikan alat tangkap.

• Menyesuaikan bentuk rumah di pesisir (rumah panggung) atau memba-ngun struktur terapung.

• Menanam mangrove sebagai pembatas tambak dan pelindung pantai.

• Melakukan wanamina (gabungan antara hutan mangrove dan budidaya ikan).

• Mencari akses informasi mengenai iklim dan lokasi penangkapan.

• Menyesuaikan pakan dan pendukung produksi tambak yang rendah emisi.

• Menguatkan kelembagaan nelayan untuk ketahanan menghadapi perubahan iklim

• Melakukan tindakan perlindungan diri di balik pulau.

• Membuat APO (alat pemecah ombak).

8.4. Beberapa Upaya Adaptasi yang Dilakukan Kementerian Pertanian

Kementerian Pertanian melakukan berbagai upaya adaptasi terhadap perubahan iklim pada sektor pertanian dan peternakan. Berikut ini penjelasan lengkap dari beberapa upaya tersebut.

Page 128: Perubahan Iklim di Indonesia

Adaptasi Perubahan Iklim

117

8.4.1 Upaya Adaptasi di Sektor PertanianUpaya-upaya adaptasi di sektor pertanian dilakukan antara lain dengan

menciptakan berbagai varietas unggul adaptif, menerapkan teknologi pengelolaan sumber daya air, dan mengaplikasikan teknologi pengelolaan sumber daya lahan. Ketiga upaya adaptasi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. t Menciptakan Varietas Unggul Adaptif (VUA)

Salah satu upaya adaptasi perubahan iklim di bidang pertanian adalah dengan menciptakan beberapa varietas unggul adaptif (VUA) sebagai akibat munculnya hama bagi tanaman, kondisi lahan, dan salinitas. Beberapa VUA yang sudah ditemukan Kementerian Pertanian antara lain:

- Varietas padi tahan wereng coklat, yakni Inpari 2 dan Inpari 3.

- Varietas padi tahan rendaman atau genangan; Inpari 4.

- Varietas padi berumur genjah; Inpari 11.

- Varietas padi toleran terhadap salinitas; Margasari dan Lambur.

- Varietas padi tahan kering; Dodokan dan Silungonggo.

- Varietas kedelai tahan kering; Argomulyo dan Burangrang.

- Varietas kacang tanah tahan kering; Singa dan Jerapah.

- Varietas kacang hijau tahan kering; Kutilang.

- Varietas jagung tahan kering; Bima, Lamuru, Sukmaraga, dan Anoman.

t Menerapkan Teknologi Pengelolaan Sumber Daya Air Kementerian Pertanian juga mengusulkan beberapa alternatif teknologi

dalam pengelolaan sumber daya air. Beberapa teknologi alternatif tersebut antara lain:

- Teknologi panen hujan dan aliran permukaan.Teknologi panen hujan adalah teknologi yang didasarkan atas penampungan kelebihan air pada musim hujan dan memanfaatkannya untuk musim kemarau. Dengan kata lain, teknologi ini menyimpan air di musim hujan dan menggunakannya pada musim kemarau. Beberapa teknologi panen hujan dan aliran permukaan adalah:• Teknologi embung: Embung berfungsi sebagai tempat resapan

air yang dapat meningkatkan kapasitas simpanan air tanah dan menyediakan air di musim kemarau.

• Teknologi dam parit: Teknologi ini mengumpulkan atau memben-dung aliran air pada suatu parit (drainage network) dengan tujuan

Page 129: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

118

untuk menampung volume aliran permukaan sehingga selain da-pat digunakan untuk mengairi lahan di sekitarnya, juga dapat me-nurunkan kecepatan aliran (run off), erosi, dan sedimentasi.

- Teknologi IrigasiAda enam teknologi irigasi yang diusulkan Kementerian Pertanian, yaitu:• Sumur renteng: Sumur renteng merupakan teknologi irigasi yang

cocok dikembangkan pada tanah bertekstur berpasir. Seperti diketahui, tanah jenis ini memiliki kemampuan meloloskan air yang sangat tinggi sehingga tidak mampu menyimpan air dalam waktu lama. Karena itu sumur renteng perlu dikenalkan di daerah semacam ini. Prinsip sumur renteng adalah menampung air untuk irigasi dalam sebuah bak penampungan yang terhubung dengan bak penampungan lain melalui pipa di bawah tanah. Prinsipnya, persis seperti mekanisme kerja bejana yang saling berhubungan.

• Irigasi kapiler: Irigasi kapiler cocok dikembangkan di daerah yang memiliki topografi terjal dan sumber air yang relatif terbatas. Prinsip dasar irigasi kapiler adalah memanfaatkan air dari sumber mata air atau sungai yang disalurkan menuju bak penampungan secara gravitasi menggunakan pipa pralon (PVC). Dari bak penampungan, air kemudian didistribusikan dengan menggunakan selang plastik kapiler.

• Irigasi tetes: Sistem irigasi tetes memasok air (dan pupuk) tersaring ke dalam tanah melalui suatu pemancar (emiter atau dripper). Sistem ini bekerja dengan mendistribusikan air dalam ukuran debit yang kecil, konstan, dan tekanan rendah (antara 1 – 3 bar). Air akan menyebar ke tanah, baik ke samping maupun ke bawah karena gaya kapiler dan gravitasi. Bentuk sebarannya tergantung jenis tanah, kelembaban, permeabilitas tanah, dan jenis tanaman. Jenis tanaman yang diairi dengan irigasi tetes biasanya yang ditanam dalam barisan, seperti hortikultura dan sayur-sayuran.

• Irigasi macak-macak: Irigasi macak-macak adalah teknik pemberian air yang bertujuan membasahi lahan hingga jenuh pada ketinggian tertentu, tanpa penggenangan. Dalam teknik irigasi klasik, untuk mengirigasi lahan sawah petani biasanya membuat genangan hingga ketinggian 15 cm secara terus-menerus (continous flow).

Page 130: Perubahan Iklim di Indonesia

Adaptasi Perubahan Iklim

119

Teknik irigasi ini akan berpengaruh pada penggunaan air yang tidak efisien. Sebab, genangan sedalam 10 – 15 cm seperti yang dilakukan petani tersebut dapat menyebabkan tingginya kehilangan air lewat perkolasi yang di dalamnya juga terlarut unsur hara yang bersifat mobil sehingga tingkat kehilangan hara juga menjadi tinggi. Namun melalui irigasi macak-macak, kehilangan air dan hara bisa dicegah. Penggunaan air menjadi lebih efisien.

• Teknologi Irigasi curah (sprinkle irrigation): Teknologi irigasi curah mendistribusikan air dengan cara menyemprotkan air ke udara dan menjatuhkannya di sekitar tanaman seperti hujan. Penyemprotan dilakukan dengan mengalirkan air bertekanan melalui orifice kecil atau nozzle. Tekanan dapat diperoleh dengan cara dipompa. Untuk mendapatkan penyebaran air yang seragam, diperlukan pemilihan ukuran nozzle, tekanan operasional, spasing sprinkler, dan laju infiltrasi tanah yang sesuai.

• Teknologi irigasi parit (furrow irrigation): Irigasi parit merupakan salah satu teknik irigasi lahan kering untuk tanaman palawija (jagung, kedelai, dan kacang tanah) atau sayuran. Dibandingkan dengan irigasi konvensional (sistem submersi atau genangan), teknik ini membutuhkan air lebih efisien karena irigasi hanya disalurkan pada parit yang berada persis di samping baris tanaman. Parit tersebut berukuran lebar 35 – 40 cm di bagian atas dan 15 – 20 cm di bagian bawah dengan kedalaman 10 - 15 cm. Jarak antarparit 80 – 100 cm, tergantung jarak tanamnya. Sumber air irigasi parit dapat berasal dari saluran irigasi atau dari air tanah yang dinaikkan menggunakan pompa. Agar efisien, kebutuhan dosis irigasi dan interval pemberian irigasi harus mempertimbangkan karakteristik tekstur tanah, jenis dan tahap pertumbuhan tanaman, kedalaman perakaran, serta evapotranspirasi.

t Menerapkan Teknologi Pengelolaan Sumber Daya LahanSetidaknya ada tiga teknologi pengelolaan sumber daya lahan yang dapat

diterapkan sebagai upaya adaptasi terhadap perubahan iklim. Ketiga teknologi tersebut adalah teknologi pengelolaan hara, teknologi budidaya lahan kering, dan pengembangan usaha tanah ramah lingkungan.

1. Teknologi pengelolaan hara.

Page 131: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

120

Hasil panen akan tercapai optimum jika jumlah hara yang diberikan sesuai pada waktu yang tepat untuk memenuhi kebutuhan tanaman selama masa pertumbuhannya. Strategi pengelolaan hara yang efektif dan efisien selayaknya ditujukan untuk:• Memaksimalkan penyerapan hara.

• Memanfaatkan sebaik mungkin hara yang tersedia dalam bentuk jerami, sisa tanaman lain, dan pupuk kandang.

• Mengukur kebutuhan nitrogen (N) pada tanaman padi dengan aplikasi teknologi bagan warna daun (BWD).

Hasil panen yang optimal dapat diperoleh melalui pemupukan ber-imbang serta memperhatikan kesesuaian hara. Pemakaian pupuk N yang kurang optimal mengakibatkan hasil panen rendah. Seba-liknya, pemakaian pupuk N yang berlebihan akan memicu tana-man lebih rentan terhadap infeksi penyakit dan mudah rebah.

BWD dapat membantu petani untuk mengetahui apakah tanaman perlu segera diberi pupuk N atau tidak. Berdasarkan percobaan, penggunaan BWD dapat menekan biaya pemakaian pupuk 15 – 20 % dari takaran yang umum digunakan petani.

2. Teknologi budidaya lahan kering. Teknologi budidaya lahan kering bertujuan untuk memanen air sekaligus mencegah kehilangan air permukaan dan evaporasi. Teknologi budidaya lahan kering bermanfaat untuk mengatasi kekeringan yang muncul pada musim kemarau. Beberapa jenis teknologi konservasi lahan kering adalah sebagi berikut:• Strip rumput: rumput yang ditanam berselang-seling dengan

tanaman utama dan disusun memotong lereng. Tujuannya, untuk mengurangi kecepatan aliran air dan menyaring lapisan atas tanah yang terbawa air.

• Teras: bertujuan untuk menghambat aliran permukaan, memu-dahkan air meresap ke dalam tanah, dan mencegah erosi.

• Tanam lorong: penanaman tanaman pangan pada lorong di antara barisan pagar tanaman.

• Tanaman penutup tanah: tanaman yang ditanam secara strip digilir dengan tanaman semusim, atau ditanam sendiri/bersama tanaman pokok, ataupun ditanam sebagai penutup tanah pada

Page 132: Perubahan Iklim di Indonesia

Adaptasi Perubahan Iklim

121

lahan kebun. Penggunaan tanaman penutup ini bertujuan untuk mengurangi erosi.

• Rorak: adalah lubang yang dibuat pada bidang olah ataupun pada saluran resapan sebagai tempat penampungan aliran air muka.

• Embung: adalah tempat memanen air pada saat hujan dan digunakan untuk mengairi tanaman ketika musim kering melanda.

• Dam parit: upaya untuk mengumpulkan atau membendung aliran air pada suatu parit melalui penampungan air permukaan guna mengairi lahan di sekitarnya dan menurunkan kecepatan air pada saat musim hujan.

3. Pengembangan sistem usaha tani ramah lingkungan.Sistem usaha tani ramah lingkungan dapat dilakukan melalui dua cara sebagai berikut: • Pengelolaan tanaman terpadu (PTT).

PTT merupakan upaya mengoptimalkan penggunaan sumber daya dan memanfaatkan teknologi pertanian yang ditetapkan secara partisipatif untuk meningkatkan produksi di masa mendatang.

• Sistem pertanian terpadu lahan kering iklim kering (SPTLK-IK).SPTLK-IK merupakan kegiatan usaha tani yang berbasis zero waste (tanpa limbah) dan clean run off (tanpa erosi permukaan) yang dilakukan melalui pendekatan integrasi antara tanaman pangan atau perkebunan dengan ternak sapi bali. Program perbenihan padi, jagung, dan kacang hijau serta pembibitan ternak sapi bali merupakan program utama dari model penerapan SPTLKIK.

Prinsip zero waste dilakukan dengan mengolah sampah sebagai hasil kegiatan pertanian yang digunakan untuk pakan ternak. Kotoran ternak yang dihasilkan dapat dimanfaatkan sebagai pupuk bagi tanaman. Sementara itu, prinsip clean run off dilakukan melalui penanaman tanaman sela di antara tanaman utama, sehingga mengurangi pengikisan tanah (erosi) di musim hujan.

8.4.2. Upaya Adaptasi Di Sektor PeternakanPerubahan iklim yang menyebabkan kekeringan dan banjir dapat

membatasi pertumbuhan tanaman, khususnya hijauan pakan ternak. Hal ini dapat mengakibatkan berkurangnya kuantitas dan kualitas makanan yang

Page 133: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

122

tersedia. Selain berdampak terhadap pakan ternak, perubahan iklim juga berdampak terhadap jenis penyakit ternak.

Perubahan ekosistem, termasuk perubahan iklim dan perubahan lingkungan pada kenyataannya berlangsung lebih cepat dari yang diharapkan. Hal ini mempengaruhi kesehatan hewan yang diternakkan.

Penyakit dan stres pada hewan ternak akibat perubahan iklim dapat terjadi dalam empat kondisi; cuaca panas, cuaca ekstrem, adaptasi sistem produksi ternak terhadap lingkungan baru, serta penyakit hewan yang baru muncul dan muncul kembali.

Keterkaitan antara iklim dan penyakit relatif mudah untuk diidentifikasi. Dinamika penularan dan penyebaran geografis sebagian besar penyakit-penyakit yang ditularkan melalui insekta (serangga) dan rodensia sangat sensitif terhadap iklim. Kebanyakan penyakit yang ditularkan melalui vektor mencakup spesies arthropoda seperti nyamuk, lalat, caplak atau kutu.

Sementara itu, penyakit-penyakit yang berkaitan dengan cuaca panas (heat-related diseases) tidak hanya mengakibatkan ternak mengalami stres, tetapi juga menurunkan produktivitas dan fertilitas. Dalam kondisi stres cuaca panas, siklus birahi sapi dapat menjadi lebih panjang, tanda-tanda birahi menjadi lemah, dan terjadi peningkatan kematian fetus.

Berdasarkan pengamatan, beberapa jenis penyakit yang diperkirakan terkait erat dengan perubahan iklim dapat dilihat pada Tabel 8.1 berikut ini.

“Penyakit dan stres pada hewan

ternak akibat perubahan iklim dapat terjadi dalam empat kondisi; cuaca panas,

cuaca ekstrem, adaptasi sistem produksi ternak terhadap lingkungan baru, serta penyakit

hewan yang baru muncul dan muncul kembali.”

Page 134: Perubahan Iklim di Indonesia

Adaptasi Perubahan Iklim

123

Tabel 8.1. Daftar penyakit ternak yang diperkirakan berkaitan dengan perubahan iklim dan perubahan lingkungan.

No. Nama PenyakitPerubahan

IklimPerubahan Lingkungan

1.

Penyakit yang ditularkan melalui vector:a. Bluetongue b. West Nilec. Rift Valley Feverd. African Horse Sicknesse. Lumpy Skin Diseasef. Leishmaniasisg. Epizootic Hameorraghic Diseases

√√√√√√√

√XXXX√X

2.Penyakit yang ditularkan melalui caplak

√ √

3.Penyakit parasit, yang tidak ditularkan melalui caplak

√ √

4. Pasteurellosis √ X

5. Avian inluenza √ √

6. Anthrax √ √

7. Blackleg √ X

8. Rabies √ √

9. Tubercullosis X √

Terkait dengan kondisi tersebut, adaptasi di sektor peternakan yang dilakukan Kementerian Pertanian sebagai upaya mengurangi dampak perubahan iklim dilakukan dengan antara lain:

a. Membenahi sistem perkandangan. Perkandangan adalah salah satu upaya untuk melindungi ternak dari pengaruh iklim yang negatif serta menciptakan kondisi iklim mikro yang optimal. Ketika suhu udara meningkat, mekanisme fisiologis mengharuskan alokasi energi untuk kinerja produksi dan reproduksi dipakai guna mempertahankan keseimbangan panas tubuh. Hal ini akan berdampak buruk, yakni produktivitas ternak menurun. Salah satu upaya untuk mengatasinya adalah dengan mengendalikan panas yang diterima dan meningkatkan panas yang terbuang oleh ternak. Caranya, dengan memberi naungan atau atap kandang yang lebih

Page 135: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

124

efektif. Dengan kata lain, kita harus menciptakan kondisi iklim mikro yang terdapat dalam kandang secara kondusif bagi ternak untuk berproduksi.

b. Memperbaiki mutu pakan ternak.Perubahan iklim juga dapat memicu selera ternak dalam mengonsumsi pakan. Karena itu, pakan ternak selayaknya diperbaiki mutunya sehingga dapat meningkatkan produktivitas ternak.

c. Menyesuaikan suhu. Agar produksi yang dihasilkan optimal maka hewan yang akan diternakkan di suatu daerah harus disesuaikan dengan iklim (suhu) yang ada. Artinya, carilah tempat yang memiliki parameter iklim (suhu) yang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangbiakan hewan yang akan diternakkan. Jangan sebaliknya, memaksakan beternak pada daerah yang tidak sesuai berdasarkan parameter iklim tersebut.

Di luar ketiga upaya adaptasi tersebut, kita juga dapat menerapkan communal livestock sheltering dan integrated crop livestock management. Artinya, peternak dapat menerapkan berbagai integrasi seperti ternak dengan kelapa sawit, ternak dengan padi, serta ternak dengan komoditas lainnya. Melalui integrasi semacam ini, dapat diperoleh hasil optimal tanpa menyisakan limbah (zero waste).

8.5. Beberapa Upaya Adaptasi yang Dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan

Bagi masyarakat yang bermukim di pesisir, Kementerian Kelautan dan Perikanan memberikan tiga pilihan adaptasi terhadap perubahan iklim (lihat Gambar 8.1), yakni proteksi (protect), mundur (retreat), dan akomodasi (accomodate). 1. Strategi proteksi.

Strategi proteksi dapat dilakukan dengan membuat bangunan pantai yang mampu mencegah banjir air laut (rob) agar tidak merangsek ke darat. Pola ini bertujuan melindungi permukiman, industri wisata, jalan raya, daerah pertanian, tambak, dan lain-lain dari genangan air laut.

Tangggul dan bangunan pantai tidak hanya dirancang berdasarkan muka air pasang tinggi dan gelombang laut pada saat ini, tetapi juga harus memperhitungkan amblesan tanah, kenaikan muka air laut, dan gelombang laut akibat angin pada kondisi ekstrem.

Page 136: Perubahan Iklim di Indonesia

Adaptasi Perubahan Iklim

125

Upaya proteksi lain yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan restorasi peremajaan pantai (beach nourishment) dan rehabilitasi mangrove. Proses ini meliputi pengambilan material dari tempat yang tidak membaha-yakan dan diisikan ke tempat yang membutuhkan.

Lahan hasil timbunan ini kemudian ditanami mangrove sehingga dapat meredam banjir rob yang merangsek ke darat. Fungsi lain dari hutan mangrove adalah sebagai penyerap karbon sehingga tanaman ini dapat mengurangi pemanasan global.

Gambar 8.1. Strategi adaptasi perubahan iklim untuk masyarakat yang bermukim di pesisir

2. Strategi mundur.Strategi mundur bertujuan menghindari genangan air laut dengan

cara merelokasi permukiman, industri, daerah pertanian, dan lain-lain ke arah daratan yang jauh dari laut. Dengan demikian kawasan tersebut tidak terjangkau air laut sebagai akibat kenaikan paras muka air laut.

3. Strategi akomodatif.Strategi ini dilakukan dengan menyesuaikan kenaikan paras muka air laut.

Salah satu contohnya adalah dengan membuat rumah panggung di tepi pantai

Page 137: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

126

agar aman dari genangan air laut, terutama pada waktu banjir air pasang. Bagi daerah pertanian yang tergenang air laut akibat kenaikan paras muka air laut, kawasan tersebut dapat diubah peruntukannya menjadi lahan budidaya perikanan.

Berbagai pilihan teknologi adaptasi terhadap kenaikan paras muka laut sebagai dampak dari perubahan iklim dapat dilihat pada Tabel 8.2.

Upaya adaptasi lainnya yang tidak kalah penting adalah rehabilitasi dan konservasi. Rehabilitasi bertujuan untuk memulihkan dan memperbaiki wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil guna menjamin keberlanjutan fungsi ekosistem, mewujudkan pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil dan jasa lingkungan secara berkelanjutan, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Pasal 32 UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil mengatur mengenai rehabilitasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Menurut UU tersebut, rehabilitasi wajib dilakukan dengan memperhatikan keseimbangan ekosistem dan/atau keanekaragaman hayati setempat.

Rehabilitasi dilakukan dengan berbagai cara. Di antaranya pengayaan sumber daya hayati, perbaikan habitat, perlindungan spesies biota laut agar tumbuh dan berkembang secara alami, serta dilakukan dengan ramah lingkungan.

Sementara itu, pengertian konservasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, menurut UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wikayah Pesisir adalah upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman hayatinya.

Gambar 8.2. Rumah panggung di kawasan pesisir Padang Pariaman ini merupakan salah satu strategi akomodatif dalam upaya adaptasi terhadap perubahan iklim.

Foto

: Sub

ando

no D

.

Page 138: Perubahan Iklim di Indonesia

Adaptasi Perubahan Iklim

127

Tabel 8.2. Pilihan teknologi adaptasi kenaikan paras muka air laut.

Aplikasi Teknologi

A. Protektif

- Dengan struktur keras u Dam, tanggul, penahan banjir (floodwalls)u Seawall, revetment u Groinu Pemecah gelombang terpisah dari pantai u Pintu air dan penahan pasut (tidal barriers)u Penahan intrusi air laut

- Dengan struktur lunak u Pemeliharaan pantai (beach nourishment) secara periodik

u Perbaikan dan pembuatan sand dunesu Perbaikan dan pembuatan wetland

- Dengan cara alami (indigenous)

u Penghutanan kembaliu Penanaman kelapa, waru, dan mangroveu Dinding penahan dari kayu u Dinding penahan dari batu

B. Mundur

- Meningkatkan atau menetapkan kawasan mundur (set back)

Membutuhkan sedikit teknologi

- Memindahkan bangunan-bangunan yang terancam

Membutuhkan banyak teknologi

- Menghilangkan atau meniadakan pembangunan di kawasan berisiko

Membutuhkan sedikit teknologi

- Memperkirakan pergerakan Membutuhkan sedikit teknologi

- Mengatur realignment Membutuhkan berbagai teknologi sesuai dengan lokasi

- Menciptakan penyangga di kawasan upland

Membutuhkan sedikit teknologi

C. Akomodatif

- Perencanaan emergensi u Sistem peringatan diniu Sistem evakuasi

- Perlindungan bencana u Membutuhkan sedikit teknologi

- Perubahan tata guna lahan dan praktik pertanian

u Membutuhkan berbagai teknologi (akuakultur)

- Pengaturan yang ketat untuk kawasan bencana

u Membutuhkan sedikit teknologi

- Meningkatkan sistim drainase u Meningkatkan diameter pipau Meningkatkan kapasitas pompa

Page 139: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

128

Kawasan konservasi dapat berada di lokasi yang telah ditetapkan statusnya dalam tata ruang sebagai kawasan lindung atau kawasan budidaya, dimana aktivitas perikanan sudah berlangsung sebelumnya dan habitat terumbu karangnya mungkin sudah rusak oleh aktivitas manusia. Dengan ditutupnnya suatu kawasan terumbu karang dari kegiatan penangkapan ikan dan aktivitas manusia, diharapkan terumbu karang dan biota laut lainnya yang sudah rusak itu dapat hidup dan berkembang biak secara baik dan berkesinambungan.

Tujuan penetapan kawasan kawasan konservasi ini antara lain adalah:- Mengusahakan terwujudnya pelestarian sumber daya alam hayati

pesisir dan lautan serta ekosistemnya dalam rangka meningkatkan dan mempertahankan produksi perikanan di sekitar daerah perlindungan.

- Menjaga, melindungi, mengelola, dan memperbaiki keanekaragaman hayati pesisir dan lautan, seperti keanekaragaman terumbu karang, ikan, tumbuhan, dan biota laut lainnya.

- Mendidik masyarakat dalam hal perlindungan atau konservasi sehingga dapat meningkatkan rasa tanggung jawab dan kewajiban masyarakat untuk ikut berperan dalam menjaga dan mengelola sumber daya mereka secara lestari.

Selain upaya adaptasi yang bersifat fisik, perlu juga dilakukan upaya nonfisik seperti pembuatan peta risiko kenaikan paras muka air laut, penyuluhan, dan penyadaran masyarakat. Masyarakat, baik yang bermukim di daerah rawan banjir air laut (rob) akibat kenaikan paras muka air laut maupun di luar kawasan tersebut sangat besar perannya. Ketika kita memiliki kesadaran, kepedulian, dan kecintaan terhadap lingkungan serta disiplin terhadap peraturan dan norma-norma yang ada, niscaya kita akan senantiasa hidup nyaman di tengah-tengah kondisi perubahan iklim.

Page 140: Perubahan Iklim di Indonesia

Mitigasi Perubahan Iklim

129

BAB 9.

MITIGASI PERUBAHAN IKLIM

Bagi sebagian masyarakat, mitigasi perubahan iklim sebenarnya juga telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-harinya. Disadari atau tidak, mereka telah melakukan mitigasi dengan berbagai cara.

Sekelompok masyarakat yang gemar melakukan penghijauan dengan aneka jenis vegetasi misalnya, ia memberi kontribusi yang sangat berarti bagi perubahan iklim. Selain mampu menyerap gas rumah kaca (GRK), menanam pohon juga memberi manfaat antara lain memberi naungan dari terik sinar Matahari, sebagai pelindung angin, dan menurunkan suhu lingkungan.

Ketika pohon-pohon yang ditanam itu tumbuh dewasa dan mulai rimbun, saat itulah melalui proses fotosintesis, daun menyerap karbon di atmosfer sekitarnya. Semakin banyak pohon, kian banyak juga GRK yang diserap.

Seperti diketahui, karbondioksida (CO2) merupakan salah satu penyebab utama terjadi perubahan iklim lantaran gas ini berperilaku sebagai GRK yang menyebabkan pemanasan global. Jika konsentrasi CO2 di atmosfer bertambah, praktis suhu udara secara global naik dan terjadi perubahan iklim.

Jadi, ketika tanaman itu menghampar luas maka konsentrasi karbon yang diemisikan ke atmosfer berkurang. Akibatnya, laju perubahan iklim atau pemanasan global melambat.

Begitu juga bagi mereka yang menggunakan sepeda sebagai sarana transportasi. Sadar atau tanpa sadar sebenarnya ia telah melakukan mitigasi terhadap perubahan iklim. Mengapa demikian?

Page 141: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

130

Sepeda adalah kendaraan ramah lingkungan yang tidak mengeluarkan gas buang ke atomosfer. Berbeda dengan mobil, sepeda motor, bus, kereta api, kapal, dan pesawat terbang yang memberi peran sangat tinggi dalam membuang polutan udara.

Dengan mengayuh sepeda berarti ia ikut mencegah atau memperlambat terjadinya perubahan iklim atau pemanasan global. Semakin banyak pendekar-pendekar lingkungan semacam ini maka laju pemanasan global kian lambat.

Berdasarkan dua contoh kegiatan tersebut, kita dapat mengartikan bahwa mitigasi adalah berbagai tindakan aktif untuk mencegah atau memperlambat terjadinya perubahan iklim atau pemanasan global melalui upaya penurunan emisi GRK dan atau peningkatan penyerapan GRK. Dalam hal ini upaya mitigasi dilakukan untuk menghindari permasalahan yang tidak dapat dikelola di kemudian hari.

Pemanasan global dan perubahan iklim adalah masalah yang sulit untuk dikelola di kemudian hari sehingga perlu dilakukan mitigasi untuk mengurangi penyebabnya. Ringkasnya, mitigasi adalah upaya mengatasi penyebab. Mitigasi dilakukan untuk mengurangi risiko dan dampak pemanasan global dan perubahan iklim di masa depan.

9.1.PermasalahanUtamaMitigasiPerubahanIklimdiIndonesia

1. Program diversifikasi sumber energi (Perpres No. 5/2006)Menurut Perpres No. 5/2006, bagian konsumsi dari bahan bakar

minyak Bumi dalam diversifikasi energi harus menurun dari 51 % pada level saat ini menjadi hanya 20 % pada tahun 2025. Namun demikian, konsumsi dari batubara ditingkatkan menjadi 33 %.

Sasaran ini dituangkan secara rinci di dalam dokumen blueprint kebijakan energi nasional 2005. Target yang ditetapkan terkait dengan diversifikasi sumber energi adalah sebagai berikut:- Minyak Bumi berkurang 20 %.- Gas Bumi berkurang 30 %.

“Mitigasi adalah upaya mengatasi

penyebab. Mitigasi dilakukan untuk

mengurangi risiko dan dampak

pemanasan global dan perubahan iklim

di masa depan.”

Page 142: Perubahan Iklim di Indonesia

Mitigasi Perubahan Iklim

131

- Batubara meningkat 33 %.- Geothermal meningkat 55 %.- Biofuel meningkat 5 %.- Energi terbarukan lainnya, termasuk energi nuklir meningkat 5 %.- Batubara cair (coal liquefaction) meningkat 2 %.

2. Penurunan emisi nasional sebesar 26 % dengan upaya sendiri dan 41 % jika mendapat bantuan dari luar negeri hingga tahun 2020.

Pada Pertemuan G-20 di Pittsburg, Amerika Serikat, pada 2009 Indonesia secara sukarela (voluntary) menyampaikan komitmennya

untuk mengurangi emisi GRK secara nasional. Disebut voluntary karena Indonesia bukan termasuk negara yang wajib menurunkan emisi berdasarkan Kyoto Protokol.

Penurunan emisi nasional tersebut adalah sebesar 26 % dari emisi tahun 2005 terhadap proyeksi emisi tahun 2020. Jika ada tambahan bantuan asing, maka penurunan emisi tersebut bertambah 15 % dari proyeksi emisi tahun 2020 menjadi 41 %.

Untuk melakukan proyeksi emisi tahun 2020 terhadap tahun 2005 maka perlu

dilakukan penghitungan baseline emisi tahun 2005 dan penghitungan proyeksi emisi tahun 2020 dengan kapasitas pembangunan yang ada dan menetapkan penurunan berdasarkan hasil proyeksi yang dimaksud. Sumber terbesar dari emisi yang akan diturunkan adalah dari pengrusakan hutan akibat deforestasi, kebakaran hutan, serta emisi dari lahan gambut akibat pengeringan, kebakaran, dan alih fungsi lahan.

3. Inventori Emisi GRK NasionalInventori emisi GRK nasional diperlukan sebagai laporan berkala

tentang status terkini emisi di Indonesia yang disampaikan kepada UNFCCC. Laporan tersebut dipakai untuk melihat kemajuan program mitigasi perubahan iklim dari berbagai negara.

“Sumber terbesar dari emisi adalah dari pengrusakan hutan, kebakaran hutan, serta lahan

gambut akibat pengeringan,

kebakaran, dan alih fungsi lahan.”

Page 143: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

132

Penghitungan GRK nasional idealnya dilakukan atas semua unit kegiatan ekonomi yang ada berdasarkan nilai konversi dengan rumus yang telah ditetapkan oleh IPCC dan UNFCCC. Inventori juga dilakukan untuk mendukung program penurunan emisi GRK sebesar 26 %. Contoh penghitungan emisi GRK adalah konsumsi bahan bakar minyak (BBM) untuk transportasi dan industri, pertanian, peternakan, suplai energi rumah tangga, perubahan tata guna lahan, serta kebakaran hutan dan sampah.

4. Reduced Emission from Deforestation and Degradation (REDD)

Program REDD (pengurangan emisi dari pengrusakan hutan dan degradasi) merupakan salah satu bentuk insentif perdagangan karbon yang sudah berlaku saat ini. Program ini akan memberi insentif kepada pemilik hutan yang mampu mengelola hutan secara lestari sehingga tidak menimbulkan emisi karbon tambahan dan bahkan menyerap emisi karbon di atomosfer.

REDD ditunjang oleh berbagai pengukuran, verifikasi, dan pelaporan yang ketat berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan oleh UNFCCC. Prosedur tersebut dilakukan sebelum, selama, dan setelah proyek dilaksanakan.

Insentif akan dibayarkan setelah semua pelaporan masuk atau pascapelaksanaan proyek. REDD sangat diminati Indonesia karena kita masih memiliki banyak potensi kehutanan. Sayangnya, pelaksanaan REDD tersebut masih banyak mengalami kendala teknis dan kebijakan di lapangan.

9.2.BerbagaiAktivitasManusiayangMenghasilkanGRKBerbagai aktivitas manusia menyumbang GRK di atmosfer dalam jumlah

besar. Bahkan kecenderungan buangan GRK ini kian meningkat seiring dengan perkembangan populasi manusia yang makin bertambah beserta kegiatan industrialisasi di segala bidang yang mengiringinya.

Berikut ini adalah beragam kegiatan manusia beserta sumber utama yang menyebabkan emisi GRK yang semakin menumpuk di atmosfer.

r Industri.Sektor industri berkontribusi terhadap emisi GRK karena kegiatan ini: m Menggunakan bahan bakar minyak (BBM).m Memakai listrik.

Page 144: Perubahan Iklim di Indonesia

Mitigasi Perubahan Iklim

133

m Menghasilkan limbah sampah cair, gas, dan padat.

r Rumah tangga.Kegiatan domestik rumah tangga yang menyebabkan emisi GRK di atmosfer meliputi hal-hal sebagai berikut:m Membakar sampah.m Mengunakan listrik.m Menggunakan kayu bakar,

minyak tanah, atau gas elpiji.m Menghasilkan limbah minyak

goreng.

r TransportasiSektor transportasi baik darat, laut, maupun udara juga memberi kontribusi yang besar terhadap kenaikan emisi GRK. Hal ini disebabkan sarana transportasi tersebut menggunakan BBM.

r PeternakanPeternakan juga memberi andil bagi emisi GRK. Sebab kotoran peternakan (sapi, babi, kambing, ayam, dan lain-lain) jika tidak diolah kembali akan menghasilkan metan yang akan menumpuk ke atmosfer sebagai GRK.

r PersawahanKegiatan petani di sawah juga dapat menimbulkan emisi GRK. Emisi tersebut berasal dari:m Pemakaian pupuk kimia.m Dekomposisi bahan organik.m Pembakaran sisa pertanian.m Pengairan lahan pertanian.

r Pembukaan lahanPembukaan lahan untuk berbagai kepentingan juga menyebabkan emisi GRK di atmosfer semakin tinggi. Sumber utama emisi GRK dari

“Berbagai aktivitas manusia menyumbang GRK di atmosfer dalam

jumlah besar. Bahkan kecenderungannya

kian meningkat seiring dengan perkembangan

populasi manusia yang makin bertambah

beserta kegiatan industrialisasi di

segala bidang yang mengiringinya.”

Page 145: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

134

konversi lahan tersebut meliputi:m Perubahan wilayah hutan atau sawah menjadi permukiman.m Ladang berpindah.m Membuka lahan dengan membakar lahan.

9.3.UpayaPraktisDalamMitigasiPerubahanIklimDengan mencermati berbagai persoalan tersebut, jelas bahwa konsentrasi

GRK di atmosfer cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini membu-tuhkan berbagai upaya mitigasi yang serius dan sungguh-sungguh dari selu-ruh lapisan masyarakat penghuni Bumi.

Beberapa upaya praktis yang dapat Anda lakukan untuk melakukan mitigasi agar laju perubahan iklim dan pemanasan global dapat direm adalah sebagai berikut:• Mengkonsumsi barang berdasarkan kebutuhan, bukan menuruti

kemauan.• Menanam pohon. • Melestarikan keanekaragaman hayati.• Hemat air.• Hemat energi (kurangi penggunaan listrik dan BBM).• Menggunakan pemanas air bertenaga surya.• Menggunakan sumber energi yang ramah lingkungan.• Memanfaatkan sumber listrik tenaga nonfosil seperti PLTA, biogas, biofuel,

biodiesel, geothermal, arus laut, angin, dan surya.• Beralih menggunakan sumber energi rendah emisi. Contohnya dari kayu

bakar atau minyak tanah menjadi gas elpiji.

“Jelas bahwa konsentrasi GRK

di atmosfer cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini membutuhkan

berbagai upaya mitigasi yang serius dan sungguh-sungguh dari seluruh lapisan

masyarakat penghuni Bumi.”

Page 146: Perubahan Iklim di Indonesia

Mitigasi Perubahan Iklim

135

• Hindari posisi stand by pada alat-alat elektronik (televisi, AC, DVD, tape, radio, dan lain-lain). Karena itu cabut saja kabel yang menghubungkan alat-alat tersebut dengan sumber listriknya.

• Menonaktifkan AC, oven, setrika, dan kompor beberapa menit sebelum waktunya.

• Menggunakan moda transportasi massal (seperti bis dan kereta api) atau moda transportasi tanpa BBM seperti sepeda. Kalaupun menggunakan kendaraan pribadi (mobil), jangan sendirian. Ajaklah penumpang lain dalam satu mobil.

• Menggunakan moda transportasi dengan mesin yang memiliki standar emisi rendah, misalnya berstandar Euro.

• Memaksimalkan perawatan jalan dan kendaraan.• Mengurangi penggunaan kayu bakar untuk memasak.• Mengurangi (reduce) sampah secara terbuka.• Jangan membakar sampah.• Hindari pembakaran hutan dan lahan.• Memakai produk dengan nilai emisi rendah dalam pembuatannya. • Memakai produk dengan nilai emisi rendah dalam pemakaiannya.• Menggunakan lampu hemat energi dan memaksimalkan pencahayaan

ruangan yang berasal dari alam. • Menggunakan warna terang di tembok, menggunakan genteng kaca di

plafon, dan memaksimalkan pencahayaan melalui jendela.• Berbelanjalah di lingkungan sekitar, jangan jauh-jauh agar hemat energi.• Membawa tas belanja yang bisa dipakai ulang (reuse).• Melakukan daur ulang (recycle) dan memakai barang atau alat dengan

usia yang lebih panjang.• Mendaur ulang sampah.• Memanfaatkan tanaman sisa pertanian sebagai pakan ternak.• Membuatan pupuk organik.• Memanfaatkan serasah sisa panen untuk dijadikan pupuk kompos.• Memanfaatkan kotoran ternak untuk pupuk dan biogas.

9.4.UpayaMitigasiyangDilakukanKementerianPertanianBerbagai upaya mitigasi untuk menurunkan konsentrasi GRK juga dilakukan

Kementerian Pertanian, baik di sektor pertanian maupun peternakan. Berikut ini upaya-upaya tersebut.

Page 147: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

136

9.4.1.UpayaMitigasidiSektorPertanianSetidaknya ada tiga jenis upaya mitigasi yang dilakukan di bidang pertanian,

yakni menemukan beberapa varietas padi rendah emisi GRK, mengelola gambut secara berkelanjutan, dan mengelola perkebunan ramah lingkungan. Beberapa varietas padi yang rendah emisi GRK namun berproduksi tinggi adalah:

• IR64.• Ciherang.• Way apoburu.• Inpari 1.

Selain itu, lahan gambut juga perlu dikelola secara berkelanjutan. Hal ini penting karena lahan gambut merupakan penyimpan gas CO2 terbesar di lahan pertanian. Pembukaan lahan gambut untuk pertanian akan membuka cadangan karbon terbesar sehingga karbon terlepas ke udara.

Pembukaan lahan dengan cara membakar akan melepaskan banyak CO2 ke udara. Tak hanya itu, drainase dan pembakaran gambut juga ikut memperparah pelepasan GRK. Karena itu beberapa upaya mitigasi yang dilakukan terkait dengan pengelolaan gambut adalah sebagai berikut:

1. Mengembangkan dan menerapkan teknologi tanpa bakar (PLTB) dalam usaha pertanian di lahan gambut. PLTB adalah cara membuka lahan gambut tanpa melakukan pembakaran, untuk mencegah terjadinya kebakaran lahan dan hutan. Sisa-sisa tanaman yang tidak diperlukan dapat digunakan sebagai bahan pembuatan kompos sehingga dapat meningkatkan kesuburan tanah.

2. Memilih jenis tanaman yang tidak memerlu-kan sistem drainase yang dalam, contoh-nya sagu, nipah, karet, dan padi sawah.

3. M e n g e m b a n g k a n teknologi ameliorasi untuk mengurangi emisi CO2 dari lahan gambut.

Gambar9.1. Salah satu mitigasi bidang pertanian adalah memilih tanaman yang tidak memerlukan drainase seperti tanaman padi sawah.

Foto

: Sla

met

Wid

ayad

i

Page 148: Perubahan Iklim di Indonesia

Mitigasi Perubahan Iklim

137

Sementara itu, upaya mitigasi untuk mengelola perkebunan dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Mengembangkan tanaman kelapa sawit dan karet pada lahan semak belukar dan alang-alang.

2. Memanfaatkan lahan alang-alang (cadangan karbon rendah) menjadi lahan perkebunan (cadangan karbon lebih besar).

3. Menggunakan limbah tanaman perkebunan sebagai sumber bahan organik dan sumber bioenergi.

4. Meremajakan tanaman perkebunan yang sudah menurun produk-tivitasnya.

9.4.2.UpayaMitigasiDiSektorPeternakan.Di sektor peternakan, setidaknya ada tiga upaya mitigasi yang dilakukan

Kementerian Pertanian. Pertama, memberikan pakan ternak berupa suple-men atau konsentrat sebagai upaya meningkatkan produktivitas ternak seka-ligus menurunkan emisi gas dan mengurangi biaya pakan.

Pemberian suplemen atau pakan tambahan berupa daun-daunan dari tanaman yang mempunyai kandungan nutrisi yang tinggi dapat meningkatkan daya cerna di dalam rumen terhadap hijauan rumput dan pakan berkualitas rendah lainnya yang masih tersisa (seperti jerami) pada musim kemarau. Dengan demikian, pemanfaatan rumput dan sisa pertanian sebagai pakan dasar dapat dioptimalkan dan kebutuhan nutrisi ternak terpenuhi.

Sebagai contoh kelor (Moringa oleifera Lam) dapat dijadikan suplemen untuk pakan ternak. Kelor tersebut disajikan dalam bentuk mineral block.

“Pemberian suplemen atau pakan tambahan berupa daun-daunan dari tanaman yang

mempunyai kandungan nutrisi yang tinggi dapat meningkatkan daya cerna di dalam rumen terhadap hijauan rumput dan pakan berkualitas

rendah lainnya yang masih tersisa (seperti jerami) pada musim kemarau.”

Page 149: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

138

Kedua, melakukan perbaikan teknik pemberian pakan dengan meman-faatkan sumber pakan lokal. Ada beberapa teknik pembuatan pakan sebagai upaya antisipasi dampak perubahan iklim pada ternak, di antaranya dengan membuat pakan ternak yang berasal dari limbah pertanian, yakni:

a. Limbah dan produk ikutan dari pengolahan kelapa sawit seperti palm pressing fibre (PPF), palm sludge (lumpur sawit), palm kernel cake (PKC), oil palm fronds (OPF), dan empty fruits bunch (EFB). Limbah tersebut dapat dipakai sebagai pakan sapi potong.

b. Limbah tebu juga sangat bermanfaat untuk pakan ternak. Limbah tersebut antara lain berupa pucuk tebu segar, wafer pucuk tebu, pellet pucuk tebu, daun kletekan, sogoan, ampas tebu, empulur ampas tebu, tetes, blotong, dan lain-lain.

c. Limbah kakao juga multi manfaat. Kulit buah kakao misalnya, banyak mengandung mineral (seperti K dan N), protein, lemak, dan sejumlah asam amino. Mengingat kandungan mineral, nutrisi, dan jumlah limbah dapat diperoleh cukup banyak, maka kulit buah kakao layak diolah menjadi pakan ternak.

Gambar9.2. Limbah tebu seperti pucuk tebu segar, wafer pucuk tebu, pellet pucuk tebu, daun kletekan, sogoan, ampas tebu, empulur ampas tebu, tetes, dan blotong dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak.

Foto: Slamet Widayadi

Page 150: Perubahan Iklim di Indonesia

Mitigasi Perubahan Iklim

139

Upayaketigaadalah memanfaatkan limbah ternak untuk pupuk. Limbah ternak berupa feses, urine, dan sisa-sisa pakan dapat digunakan sebagai bahan pembuatan pupuk yang berkualitas. Pupuk organik tersebut mampu menyuburkan tanaman budidaya.

Keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan limbah ternak sebagai bahan pupuk adalah:

a. Terjadi efisiensi karena dengan penggunaan pupuk dari limbah maka akan mengurangi penggunaan pupuk buatan yang harganya lebih mahal.

b. Dengan memanfaatkan limbah ternak untuk pupuk pada tanaman tebu maka terjadi efisiensi karena tidak perlu diangkut terlalu jauh dari kebun.

9.5.UpayaMitigasi yangDilakukanKementerianKelautandanPerikanan

Kementerian Kelautan dan Perikanan juga melakukan berbagai upaya mitigasi perubahan iklim. Mitigasi tersebut dapat dilakukan dengan mene-rapkan teknologi ramah lingkungan, seperti penggunaan bahan bakar ramah lingkungan (bio fuel) sebagai pengganti bahan bakar fosil (fossil fuel), pena-naman vegetasi pantai dan lain sebagainya. 1. Pengembangan bahan bakar ramah lingkungan untuk kapal.

Pengembangan bio fuel (energi dari nabati) sebagai pengganti minyak Bumi akan memberikan kesempatan lebih besar untuk memperbaiki kualitas lingkungan hidup. Bio fuel adalah energi yang bersumber dari berbagai tanaman seperti kelapa, jarak, jagung, ubi kayu, tebu, dan lain sebagainya.

Pemanfaatan bahan bakar nabati ini dapat menurunkan emisi GRK. Dengan demikian, semakin banyak bio fuel yang digunakan di kapal-kapal nelayan maka emisi GRK tidak bertambah.

Di sisin lain, pengembangan energi terbarukan semacam ini juga dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan menciptakan lapangan kerja. Selain itu, pendapatan masyarakat juga dapat meningkat.

2. Penamanan vegetasi pantai.Penanaman vegetasi pantai seperti mangrove, ketapang, cemara, dan

waru laut selain merupakan upaya adaptasi juga sekaligus upaya mitigasi. Disebut upaya adaptasi karena vegetasi tersebut melindungi kawasan pesisir dari dampak perubahan iklim, seperti rob, banjir, dan erosi.

Page 151: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

140

Di sisi lain, vegetasi tersebut juga dapat menyerap emisi karbon sehingga merupakan upaya mitigasi perubahan iklim. Berdasarkan penelitian Nyoto Santoso (2007), mangrove dalam kondisi baik di Batu Ampar, Kalimantan Barat mampu menyerap karbon sebesar 10,68 ton/ha/tahun.

Kementerian Kelautan dan Perikanan bekerja sama dengan OISCA Jepang dan instansi terkait sejak tahun 2003 telah menanam sekitar 50.000 bibit mangrove di Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Setahun berikutnya juga ditanam 20.000 bibit mangrove. Terakhir pada tahun 2005 ditanam lagi 25.000 bibit mangrove (Subandono D, Budiman, dan Firdaus A, 2009).

Penamanan vegetasi pantai (cemara dan waru laut) juga dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan di kawasan pesisir Pacitan, Jawa Timur. Penanaman vegetasi semacam ini selain dapat menyerap karbon, juga dapat melindungi kawasan di sekitarnya dari angin kencang dan tsunami.

Gambar9.3. Penanaman vegetasi pantai dengan cemara (gambar kiri) dan waru laut (kanan) merupakan upaya adaptasi sekaligus mitigasi terhadap perubahan iklim di kawasan pesisir.

Foto

-fot

o: B

udim

an

Page 152: Perubahan Iklim di Indonesia

Manajemen Perubahan Iklim

141

BAB 10.

MANAJEMEN PERUBAHAN IKLIM

Perubahan iklim dan pemanasan global telah menyadarkan masyarakat dunia untuk mengelola berbagai upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Badan-badan baru di bawah bendera Perserikatan Bangsa-Bangsa

(PBB) pun dibentuk untuk mengakomodasi berbagai keputusan strategis guna menghadapi perubahan iklim yang telah, sedang, dan akan terjadi.

Di dalam negeri, manajemen perubahan iklim juga terus digencarkan. Lembaga-lembaga penelitian nonkementerian --seperti Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan)-- Kementerian Lingkugan Hidup, Bappenas, serta beberapa universitas dikerahkan untuk memperkuat kapasitasnya dalam hal basis ilmiah, mitigasi, dan adaptasi.

Di luar itu, pemerintah juga membentuk Dewan Nasional Perubahan Iklim untuk memperkuat kelembagaan yang sudah ada. Berbagai kelembagaan tersebut memiliki tanggung jawab sesuai dengan fungsi dan tugasnya masing-masing.

Semua upaya itu dikerahkan agar para pengambil keputusan dapat menghasilkan kebijakan nasional yang kuat dan tepat berbasis ilmiah, mitigasi, dan adaptasi guna menghadapi perubahan iklim.

10.1. Tinjauan Internasional

Pada tataran internasional, PBB membentuk dua badan yang mengurusi masalah perubahan iklim. Kedua badan tersebut adalah Inter-governmental

Page 153: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

142

Panel on Climate Change (IPCC atau Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim) dan United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC atau Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim).

Menurut sejarahnya, terbentuknya IPCC dan UNFCCC mengacu pada pelaksanaan Konferensi Pertama Iklim Dunia (World Climate Conference atau WCC-1) pada 1979 dan WCC-2 pada 1990. Seperti diketahui, jauh sebelum WCC-1 digelar, penelitian dan peramalan iklim masih sangat minim. Hal ini menjadi salah satu penghambat penyampaian (diseminasi) informasi iklim kepada masyarakat luas.

Di sisi lain, banyak fenomena iklim –perubahan iklim global-- yang berpengaruh terhadap berbagai sektor seperti pertanian, infrastruktur, kesehatan, perikanan, sumber daya air, energi, wisata, dan kehutanan. Sayangnya, masyarakat dunia tidak memiliki informasi iklim yang memadai untuk menjelaskan fenomena perubahan iklim yang telah, sedang, dan akan terjadi.

Berdasarkan hal inilah maka pada 1979 diselenggarakan WCC-1. Pertemuan ini mempengaruhi pembentukan beberapa inisiatif saintifik internasional yang penting. Atas inisiatif dua organisasi PBB --World Meteorological Organization (WMO) dan United Nations Environment Program (UNEP)-- membidani lahirnya IPCC.

IPCC bertugas menghasilkan kerangka saintifik untuk perubahan iklim yang dituangkan dalam Laporan Kajian IPCC (IPCC Assessment Report). IPCC mencatat prestasi gemilang pada tahun 2007. Ketika itu Laporan Kajian ke-4 (Assessment Report atau AR-4) mendapatkan hadiah bergengsi, Nobel untuk kategori Perdamaian.

Sebelumnya, WMO, International Council for Science (ICSU), dan Inter-governmental Oceanic Commission (IOC-Unesco) juga memprakarsai lahirnya World Climate Research Program (WCRP).

Usaha-usaha bertaraf internasional tak hanya berhenti di situ. Sukses menggelar WCC-1, pada 1990 diadakan WCC-2. Pertemuan tersebut menghasilkan banyak hal. Di antaranya terbentuk UNFCCC dan Global Climate Observing System (GCOS). Di samping itu, WCC-2 juga menghasilkan berbagai rekomendasi lanjutan untuk aktivitas WCRP.

Dalam perjalanannya, UNFCCC telah menghasilkan beberapa kesepakatan yang penting. Di antaranya Protokol Kyoto (1997), Nairobi Work Program (2006), Bali Action Plan (2007), dan Copenhagen Protocol (2009).

Dalam rangka memenuhi kebutuhan untuk meningkatkan layanan

Page 154: Perubahan Iklim di Indonesia

Manajemen Perubahan Iklim

143

informasi iklim sekaligus sebagai forum yang efektif di antara para ilmuwan dan para pembuat keputusan, maka WMO menyelenggarakan WCC-3. Pada momen tersebut diajukan penetapan dan pengembangan Global Framework for Climate Services.

Tujuannya, memungkinkan adanya adaptasi iklim dan manajemen risiko terkait iklim melalui keterpaduan antara informasi dan prediksi iklim berbasis sains dengan kebijakan dan penerapannya untuk seluruh lapisan masyarakat.

Gambar 10.1. Peran beberapa lembaga internasional dalam naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa menghadapi perubahan iklim.

Rung lingkup pekerjaan IPCC dan UNFCCC memiliki perbedaan yang mendasar. Berikut ini beberapa perbedaan tersebut:q IPCC

IPCC bekerja berdasarkan basis ilmiah dari hasil kajian para pakar mengenai ilmu perubahan iklim terkini. Kajian yang diproses berupa kompilasi dari publikasi ilmiah internasional berdasarkan jurnal ilmiah yang sudah terakreditasi. Hasil kajian dituangkan dalam Laporan Kajian yang saat ini sudah diterbitkan buku Laporan Kajian ke-4 pada tahun 2007. Sementara itu, buku Laporan Kajian ke-5 sedang disusun.

IOC-UNESCO(Intergovermental

Oceanographic Commission of

UNESCO)

ICSU(Int’l Council for Science)

UNEP(UN Framework

Convention on CC)

Global Climate Obs. System (GCOS)

INT’L PARTNERSHIP OF WMO

WCC-2(1990)

WCC-1(1979)

WCC-3(2009)

3 Program

2 Program

2 Program

WMO(World

Meteorological Organization)

IPCC (Intergovernmental Panel on CC) - 1988w Scientific Framework for CCw AR-IV has received Nobel Peace Prize 2007

WCP (World Climate Program) - 1979w Product: World Climate Research

Program (WCRP)

UNFCCC (UN Framework Convention on CC) - 1990w Political Framework for CCw Product: Kyoto Protocol (1997); Nairobi

Work Prog (2006); Bali Action Plan (2007); Copenhagen Accord (2009)

Global Framework Climate Services - 2009w Product: Climate services application programme, Climate services information system

Page 155: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

144

Seperti telah dikemukakan sebelumnya, buku Laporan Kajian ke-4 mendapatkan hadiah Nobel Perdamaian bersama Al Gore, mantan Wakil Presiden Amerika Serikat yang bekerja sebagai aktivis sosialisasi perubahan iklim. Kajian yang dibahas meliputi perubahan iklim akibat alamiah dan ulah manusia (antropogenik). Hasil kajian tersebut bersifat policy descriptive (memberi gambaran kebijakan), bukan policy prescriptive (memberi resep kebijakan) dan bukan juga policy driven (mengarahkan kebijakan).

Dilihat dari struktur kerjanya, IPCC terdiri dari 3 working group (grup kerja) yaitu:

o Basis Ilmiah. Berisi permasalahan indikasi, deteksi, gejala, serta observasi proses perubahan iklim di darat, laut, tutupan es, dan atmosfer.

o Adaptasi kerentanan dan dampak.Berisi permasalahan untuk upaya adaptasi sektoral, permasalahan kerentanan kewilayahan, serta dampak yang ditimbulkan dari perubahan iklim terhadap biosfer, ekosistem, dan sosial ekonomi.

o Mitigasi.Berisi permasalahan upaya meredam emisi GRK dan upaya menambah daya serap terhadap GRK.

IPCC mengadakan pertemuan sekali atau dua kali setiap tahun yang dihadiri oleh wakil pemerintah. Laporan kajian yang dipersiapkan oleh para pakar dipresentasikan di hadapan wakil pemerintah untuk mendapatkan persetujuan akhir. Dari sini lalu dipublikasikan untuk menjadikan gambaran terkini dari status ilmiah perubahan iklim yang sedang terjadi.

q UNFCCCUNFCCC bekerja berdasarkan pertemuan sesi konvensi setahun sekali dan

ditambah dengan berbagai pertemuan antara. Pertemuan tersebut dapat berupa COP (Conference of Parties), MOP (Meeting of Parties), atau gabungan keduanya yang disebut CMP (Conference and Meeting of Parties).

Pada segmen akhir dari pelaksanaan COP, diadakan high level segment meeting (pertemuan tingkat tinggi) yang biasanya menghasilkan deklarasi atau kebijakan perubahan iklim yang bersifat policy prescriptive. Kebijakan dan deklarasi yang dihasilkan bersifat non-binding (tidak mengikat) tetapi diharapkan dapat diratifikasi di DPR negara masing-masing untuk menjadi pengikat.

Page 156: Perubahan Iklim di Indonesia

Manajemen Perubahan Iklim

145

Beberapa deklarasi atau keputusan penting yang dihasilkan UNFCCC adalah Kyoto Protocol yang dihasilkan pada COP-3 di Kyoto Jepang (1997), Nairobi Work Program pada COP-12 di Nairobi Kenya (2006), dan Bali Action Plan pada COP-13 di Bali, Indonesia (2007). Isi Kyoto Protocol di antaranya:

o Upaya pembatasan emisi GRK di dunia untuk negara maju sebesar 5 % di bawah emisi tahun 1990 yang dicapai akhir tahun 2012.

o Target peningkatan suhu Bumi maksimal sebesar 1,5 oC di atas suhu sebelum masa industrialisasi (sekitar tahun 1850).

o Konsentrasi maksimal CO2 sebesar 450 ppm (bagian per sejuta).

Struktur organisasi UNFCCC terdiri dari dua badan utama yaitu SBSTA (Subsidiary Body on Science and Technology Advice atau Badan Pelengkap tentang Advokasi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) dan SBI (Subsidiary Body on Implementation atau Badan Pelengkap tentang Implementasi Kebijakan). SBSTA bekerja pada kajian aspek pendukung kebijakan, sedangkan SBI membuat penetapan kebijakan politis.

Kedua badan tersebut bekerja pada agenda item yang berkembang sesuai kebutuhan. Biasanya dibentuk forum konsultasi tertentu seperti Adhoc Working Group (Grup Kerja Tidak Tetap) untuk masalah agenda item yang berbeda-beda.

Jika ada permasalahan baru, biasanya dibahas di SBSTA. Hasil dari pertemuan tersebut lalu dibawa ke SBI untuk dikonsultasikan sebelum dibawa ke dalam deklarasi hasil pertemuan.

Berbeda dengan IPCC, maka UNFCCC lebih mendasari kebijakan pada perubahan iklim akibat aktivitas manusia (antropogenik). Sifat dari deklarasi yang dihasilkan dari sebuah konvensi UNFCCC adalah unanimous atau

“Beberapa deklarasi atau keputusan penting yang dihasilkan UNFCCC adalah Kyoto Protocol yang dihasilkan pada COP-3 di Kyoto Jepang (1997),

Nairobi Work Program pada COP-12 di Nairobi Kenya (2006), dan Bali Action Plan pada COP-13 di Bali,

Indonesia (2007).

Page 157: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

146

persetujuan seluruh pihak. Dengan demikian, hasil yang diputuskan biasanya adalah sebuah deklarasi yang kompromistis.

Tujuan utama dari kebijakan atau deklarasi yang dihasilkan adalah target pembatasan emisi GRK dan target pemanasan global yaitu perubahan suhu dan konsentrasi GRK global. Selain itu, UNFCCC juga membahas masalah seperti mekanisme perdagangan karbon, program adaptasi, pendanaan perubahan iklim, transfer teknologi dan monitoring, serta observasi gejala perubahan iklim.

Terkait dengan insentif perdagangan karbon, kita mengenal beberapa istilah seperti REDD (reduced emission on degradation and deforestation atau pengurangan emisi dari kerusakan dan perubahan lahan hutan), CCS (carbon capture and storage atau penangkapan dan penyimpanan karbon), serta geo engineering (teknik rekayasa keBumian).

10.2. Tinjauan Kebijakan NasionalPenyelenggaraan WCC melatarbelakangi pembentukan konsep manaje-

men perubahan iklim di Indonesia. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, menurut IPCC, ada tiga tema utama perubahan iklim yaitu basis ilmiah, adap-tasi, dan mitigasi.

Sejalan dengan hal tersebut, Indonesia memiliki konsep nasional manajemen perubahan iklim yang meliputi tiga komponen tersebut (lihat Gambar 10.1). Selain itu, pemerintah RI juga menyusun Rencana Aksi Nasional (RAN) Mitigasi Adaptasi Perubahan Iklim (MAPI) sebagai tindak lanjut rekomendasi COP-13 di Bali pada Desember 2007.

“Tujuan utama dari kebijakan atau deklarasi yang dihasilkan UNFCCC adalah target pembatasan emisi GRK dan target pemanasan global yaitu perubahan suhu dan konsentrasi GRK global. Selain itu, UNFCCC

juga membahas masalah seperti mekanisme perdagangan karbon, program adaptasi, pendanaan perubahan iklim, transfer teknologi dan monitoring,

serta observasi gejala perubahan iklim.”

Page 158: Perubahan Iklim di Indonesia

Manajemen Perubahan Iklim

147

Dalam penerapan manajemen perubahan iklim di Indonesia, sejumlah kementerian dan lembaga pemerintah terlibat di dalamnya. Institusi tersebut meliputi Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Kementerian Koordinator Perekonomian, Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Bappenas, Kementerian Riset dan Teknologi, BMKG, universitas, serta Dewan Nasional Perubahan Iklim.

Aspek basis ilmiah membahas mengenai proses dan tren terjadinya perubahan iklim meliputi pengamatan dan pengumpulan data, analisa dan pengolahan data, pemodelan iklim, serta peningkatan kapasitas sumber daya manusia. BMKG --yang mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam pemberian informasi Iklim-- bersama-sama dengan universitas berperan aktif sehingga informasi yang diberikan dapat digunakan sebagai deteksi dini terhadap perubahan iklim.

Dalam menyikapi isu perubahan iklim, BMKG mempunyai peranan yang cukup besar, khususnya dalam pemberian dukungan informasi terhadap sektor yang rentan terhadap perubahan iklim yang diformulasikan dalam RAN MAPI. Agar aksi mitigasi dan adaptasi berjalan sukses, diperlukan suatu transfer teknologi, pemantauan (monitoring), dan evaluasi kegiatan.

Dengan menghangatnya isu perubahan iklim maka saat ini hampir seluruh institusi pemerintahan telah mengadakan upaya, baik pengembangan pengetahuan basis ilmiah, adaptasi, maupun mitigasi perubahan iklim. Porsi dan beban kerja yang dilakukan tergantung pada tugas pokok, wewenang, dan otoritas yang dipegang oleh masing-masing instansi tersebut.

“Dalam menyikapi isu perubahan iklim, BMKG mempunyai peranan yang cukup besar, khususnya

dalam pemberian dukungan informasi terhadap sektor yang rentan terhadap perubahan iklim yang diformulasikan dalam RAN MAPI. Agar aksi mitigasi

dan adaptasi berjalan sukses, diperlukan suatu transfer teknologi, pemantauan (monitoring), dan

evaluasi kegiatan.”

Page 159: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

148

Koordinasi dan sinergi kerja antarinstansi dalam penanganan perubahan iklim sangat diperlukan saat ini. Hal ini terutama untuk menghindari tumpang tindih dan juga lebih mengoptimalkan kinerja secara keseluruhan.

Dari sisi perundang-udangan, Indonesia juga telah menerbitkan enam Undang-Undang (UU) yang berhubungan dengan isu perubahan iklim. Ke-6 UU tersebut adalah sebagai berikut:

1. UU No. 5/1994 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati.

2. UU No. 17/2004 tentang Pengesahan Protokol Kyoto Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Perubahan Iklim.

3. UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana.4. UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau

Kecil.5. UU No. 31/2009 tentang Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika.6. UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup.

Dari enam UU tersebut, terdapat dua UU yang menyebut secara eksplisit mengenai perubahan iklim, yakni UU No. 31/ 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika dan UU No. 32/2009 tentang Lingkungan Hidup. UU tersebut menyebutkan, sesuai tugas pokok dan fungsinya, BMKG memiliki wewenang untuk pengelolaan data, monitoring, dan observasi gejala perubahan iklim dan penyediaan informasi dasar perubahan iklim.

Sementara itu, Kementerian Lingkungan Hidup memiliki wewenang untuk penetapan kebijakan lingkungan hidup menyangkut masalah perubahan iklim. Singkat kata, BMKG bekerja di sektor hulu dalam penyediaan data dasar seperti parameter iklim dan GRK ambien. Sedangkan Kementerian Lingkungan Hidup bekerja pada aspek hilir yang mengarah kepada kebijakan adaptasi dan mitigasi.

Sesuai dengan Keputusan Presiden RI Nomor 61 Tahun 2008, BMKG melaksanakan tugas pemerintahan di bidang meteorologi, klimatologi, kuali-tas udara, dan geofisika sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dalam melaksanakan tugasnya, BMKG memiliki beberapa fungsi, di antaranya:

- Merumuskan kebijakan.- Melakukan koordinasi kebijakan, rencana, dan program.- Menyampakian informasi.

Page 160: Perubahan Iklim di Indonesia

Manajemen Perubahan Iklim

149

- Menyampaikan peringatan dini.- Melakukan kerja sama internasional.- Melakukan pengawasan di bidang meteorologi, klimatologi, geofisika,

instrumentasi, kalibrasi, dan jaringan komunikasi.

Selain itu, pemerintah Indonesia membentuk Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) yang ditetapkan berdasarkan Perpres No 46 tahun 2008. Tugas DNPI meliputi:

1. Merumuskan kebijakan nasional, strategi, program, dan kegiatan pengendalian perubahan iklim.

2. Mengkoordinasikan kegiatan dalam pelaksanaan tugas pengendalian perubahan iklim yang meliputi kegiatan adaptasi, mitigasi, alih teknologi, dan pendanaan.

3. Merumuskan kebijakan pengaturan mekanisme dan tata cara perdagangan karbon.

4. Melaksanakan pemantauan dan evaluasi implementasi kebijakan tentang pengendalian perubahan iklim.

5. Memperkuat posisi Indonesia untuk mendorong negara-negara maju agar lebih bertanggung jawab dalam pengendalian perubahan iklim.

Di samping, Kementerian LH, BMKG, dan DNPI terdapat juga kementerian atau instansi yang ikut berperan dalam menangani perubahan iklim. Setiap instansi tersebut memiliki perannya masing-masing dalam menangani isu-isu perubahan Iklim nasional (lihat Gambar 10.3).

Kegiatan yang bersifat saintifik misalnya, dilakukan oleh BMKG, universitas, dan instansi terkait. Kegiatan tersebut melingkupi hulu sampai hilir dengan melakukan pengamatan dan koleksi data iklim, pengolahan data dalam kegiatan pemodelan dan riset, serta diseminasi informasi iklim.

Diseminasi informasi iklim dapat

“Di samping, Kementerian LH, BMKG,

dan DNPI terdapat juga kementerian atau instansi yang

ikut berperan dalam menangani perubahan

iklim. Setiap instansi tersebut memiliki

perannya masing-masing dalam menangani isu-

isu perubahan Iklim nasional.”

Page 161: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

150

berupa data historis, data aktual, dan proyeksi atau tren (kecenderungan). Informasi ini kemudian diteruskan kepada Kementerian Lingkungan Hidup yang bertugas menentukan kebijakan dalam bentuk RAN MAPI.

Dengan melihat pengelompokan berbagai permasalahan di atas maka untuk menghadapi isu perubahan iklim dapat digolongkan dalam tiga kelompok --seperti juga pembagian dalam struktur kerja IPCC-- yakni:

1. Basis ilmiah.2. Adaptasi, kerentanan, dan dampak.3. Mitigasi.

Pembagian kerja di setiap institusi yang terlibat dalam kegiatan perubahan iklim sebaiknya mengacu pada tugas pokok dan fungsi instansinya dihubungkan dengan perannya terkait dengan tiga kelompok dasar tersebut. Ketiga kelompok dasar tersebut bisa disebut sebagai tiga pilar utama pengelolaan perubahan iklim.

Pembagian kerja tersebut memiliki institusi primer pada masing-masing pembagian grup kerja yaitu BMKG dan universitas untuk kelompok pertama (basis ilmiah), Kementerian Lingkungan Hidup untuk kelompok kedua (adaptasi, kerentanan, dan dampak), serta kelompok ketiga (mitigasi).

Dari pembagian kerja berdasarkan pilar utama tersebut dapat dilihat juga peran beberapa institusi lainnya dalam mendukung kegiatan sektoral perubahan iklim yaitu Kemenko Perekonomian, Kemenko Kesra, Bappenas, Kementerian Ristek, dan Kemendiknas. Dengan adanya sinergi kerja dari berbagai institusi tersebut maka upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di berbagai sektor dapat dipercepat.

Sesuai tugas pokok dan fungsi dari masing-masing instansi kelembagaan pemerintah, maka peran sebagian dari instansi tersebut menyangkut pengelolaan isu perubahan iklim adalah sebagai berikut:

- DNPI melakukan koordinasi kebijakan, terutama menyangkut negosiasi perubahan iklim.

- KLH melakukan koordinasi kebijakan dampak, adaptasi, dan mitigasi

“Dengan adanya sinergi kerja dari berbagai institusi

tersebut maka upaya adaptasi

dan mitigasi perubahan iklim

di berbagai sektor dapat dipercepat.”

Page 162: Perubahan Iklim di Indonesia

Manajemen Perubahan Iklim

151

perubahan iklim.- BMKG berperan dalam melakukan pemantauan, observasi, tabulasi,

dan pemodelan data iklim serta perubahannya.- Kementerian Ristek melakukan koordinasi dan sinergi riset dan

pengembangan perubahan iklim.- BPPT melakukan kajian dan aplikasi teknologi baru dan tepat guna

untuk mengatasi pemanasan global dan perubahan iklim (technology clearing house).

- Lapan menerapkan teknologi inderaja dan pemantauan atmosfer atas.

- LIPI mengkaji aspek limnologi, iklim paleo, dan oseanografi.- Kementerian Kelautan dan Perikanan memantau oseanografi dan iklim

maritim.- Kementerian terkait (seperti Kemtan, Kementerian PU, Kementerian

Kesehatan, dan lain-lain) memantau dampak sektoral dan sosialisasi mitigasi sektoral.

- Akademisi (universitas dan lembaga penelitian nonpemerintah) melakukan kajian strategis keikliman dan nonkeikliman seperti dampak, adaptasi, dan mitigasi sosial ekonomi.

Gambar 10.2. Skema pemanfaatan scientific output untuk aplikasi kegiatan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim secara nasional.

Page 163: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

152

Gambar 10.3. Tiga pilar utama perubahan iklim dan peran dari badan atau instansi.

Badan/Institusi Pelaksana

SektorRentan Iklim

Basis Ilmiah (Proses & tren perubahan iklim)

ADAPTASI (RAN MAPI)

MITIGASI (RAN MAPI)

1

2

3

3 Pilar utama perubahan iklim

Kebutuhan riil: informasi perubahan iklim di tingkat kecamatan - ditunggu oleh masyarakat luas.

vObservasi & koleksi datavAnalisis datavPemodelan iklimvPembangunan kapasitas

vSektor rentan iklim: pertanian, publik, kesehatan, perikanan, pariwisata.

vPengendalian akibat perubahan iklim yang sudah terjadi.vTransfer teknologi:[Monitoring & evaluasi aksiadaptasi

vTren/perubahan iklim di masa depan (info berbasis ilmiah)

vSektor rentan iklim: transportasi-energi-kehutananvPengendalian akibat perubahan iklim yang akan terjadivTransfer teknologi:[Monitoring & evaluasi aksi mitigasi

SektorRentan Iklim

LPNK

KLH

LPNK

KLH

UNIVERSITAS

qBAPPENAS: Program & pembiayaan

qKementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat

qKementerian Perekonomian

qKementerian Ristek: panduan penelitian iklim

qDNPI: koordinator program

KESRA

BAPPENAS

DNPI

KEMENKO EKONOMI

Page 164: Perubahan Iklim di Indonesia

Jenis Informasi Perubahan Iklim dari BMKG

153

BAB 11.

JENIS INFORMASI PERUBAHAN IKLIM DARI BMKG

BMKG menyediakan layanan data dan informasi perubahan iklim dari hasil pengamatan atau historis yang berasal dari stasiun pengamatan yang dimilikinya. Sampai saat ini BMKG mengoperasikan 21 stasiun

klimatologi yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Selain itu, BMKG juga mendapat pasokan data dari 120 stasiun meteorologi,

31 stasiun geofisika, serta sekitar 5.000 pos stasiun kerja sama. Stasiun kerja sama tersebut terdiri dari pos-pos hujan, stasiun penguapan, pos-pos iklim, dan stasiun meteorologi pertanian khusus (SMPK).

Selain data perubahan iklim berdasarkan hasil pengamatan atau historis, BMKG juga dapat menampilkan hasil kajian perubahan iklim di masa mendatang berdasarkan hasil pemodelan iklim. Pemodelan iklim ini dilakukan berdasarkan berbagai skenario yang telah ditetapkan oleh IPCC.

Selain data primer iklim, BMKG juga menawarkan jasa layanan skenario adaptasi perubahan iklim berdasarkan hasil kajian informasi perubahan iklim lokal dan karakteristik daerah dan perhitungan dasar dari besaran emisi gas rumah kaca (GRK) di daerah. Layanan jasa lainnya adalah sosialisasi proses, dampak, dan informasi perubahan iklim di wilayah Indonesia, termasuk pembuatan media perubahan iklim berdasarkan data pengamatan primer perubahan parameter iklim.

Di samping itu, BMKG juga melakukan pengamatan kualitas udara di 47 stasiun atau unit kerja pemantau kualitas udara. Sebanyak 5 pos pemantau berada di wilayah DKI Jakarta dan 1 stasiun pemantau atmosfer global, yang

Page 165: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

154

dikenal sebagai Stasiun GAW (Global Atmosphere Watch) di Bukit Kototabang, Sumatera Barat.

Stasiun GAW merupakan satu di antara 27 stasiun global yang ada di dunia. Salah satu tugas dan peran utamanya adalah melakukan pengukuran GRK ambien. Nilai GRK ambien adalah besaran konsentrasi GRK yang dianggap telah berada dan menyatu di atmosfer. Pengukuran GRK ambien dilakukan dengan mengambil sampel udara. Sampel ini lalu dianalisa di Laboratorium NOAA di Boulder Colorado, AS.

Parameter yang diamati di Stasiun GAW meliputi NO2, SO2, aerosol (SPM),

PM10, PM2,5, Ozon permukaan, CO, radiasi Matahari, carbon black, gas-gas rumah kaca (CO2, CH4, N2O, CFC, dan SF6), PoPs (persistent organic pollutants), serta kimia air hujan. Kegiatan itu dimaksudkan untuk memberikan nilai referensi (baseline), mengevaluasi, dan mendeteksi pengaruh komposisi kimia atmosfer terhadap iklim dan lingkungan.

Pengamatan konsentrasi debu SPM (suspended particle matter) dilakukan di 47 stasiun pemantau yang tersebar di seluruh Indonesia. Sebanyak 30 stasiun di antaranya juga mengukur tingkat keasaman, konduktivitas, dan komposisi kimia air hujan.

Berdasarkan pengukuran tingkat atau derajat keasaman air hujan, kita dapat mengetahui perubahan akibat peningkatan GRK di atmosfer. Hal ini karena konsentrasi GRK di atmosfer akan berkontribusi terhadap peningkatan konsentrasi asam lemah di udara yang dapat turun (deposisi) bersama dengan

Gambar 11.1. Kantor Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika.

Page 166: Perubahan Iklim di Indonesia

Jenis Informasi Perubahan Iklim dari BMKG

155

Gambar 11.2. Jaringan stasiun pemantau kualitas udara di Indonesia.

butir hujan yang jatuh ke permukaan Bumi.Selain pengukuran SPM dan komposisi kimia air hujan, BMKG juga

melakukan pengukuran PM10, SO2, NO2, dan ozon permukaan. Sampel-sampel debu, air hujan, dan filter-filter hasil pengukuran SO2 dan NO2 dikirim dari stasiun pemantau ke Laboratorium Kualitas Udara BMKG untuk dianalisis lebih lanjut.

Hasil observasi tersebut dikumpulkan dalam satu database, lalu dianalisis untuk menghasilkan informasi dalam bentuk simbol dan gambar agar mudah dipahami masyarakat pengguna. Beberapa informasi perubahan iklim dan kualitas udara dibuat dengan bahasa dan gambar yang mudah dimengerti masyarakat antara lain dalam bentuk:

1. Informasi peta kerentanan perubahan iklim yang ditekankan pada peta informasi trend (kecenderungan) dan potensi bencana iklim berdasarkan data curah hujan.

2. Informasi trend curah hujan dengan derivatif: curah hujan (harian, bulanan, dan tahunan), peta dry spell (hari tanpa hujan berturut-turut), dan peta wet spell (hari hujan berturut-turut). Kedua peta (dry spell dan wet spell) dapat dilihat pada Gambar 11.4).

Page 167: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

156

3. Informasi trend suhu udara dengan derivatif: suhu (maksimum, minimum, dan rat-rata), malam panas, malam dingin, siang panas, siang dingin, beda suhu maksimum dan minimum, dan trend suhu udara atas.

4. Informasi trend kelembaban permukaan dan udara atas.5. Informasi trend tekanan udara.6. Informasi trend arah dan kecepatan angin permukaan dan udara

atas.7. Informasi potensi energi Matahari dan angin.8. Informasi GRK dan kualitas udara.9. Informasi hujan asam.10. Informasi asap dan emisi kebakaran hutan.

Sementara itu, data hasil simulasi skenario iklim di masa mendatang dilakukan pembesaran atau proyeksi pada skala lokal hingga skala kabupaten dengan teknik downscaling secara statistik atau dinamis. Hasil tersebut dikumpulkan dalam satu database kemudian dilakukan suatu analisis untuk menghasilkan informasi dalam bentuk simbol dan gambar agar mudah dipahami pengguna.

Secara umum, seluruh kajian, studi, dan analisa iklim saat ini dapat ditransformasi untuk dilakukan hal serupa pada iklim mendatang. Apabila kajian dilakukan pada iklim terkini memakai data hasil observasi terkini maka

Gambar 11.3. Jaringan Stasiun Pemantauan Atmosfer Global (Global Atmosphere Watch atau GAW) di seluruh dunia.

Page 168: Perubahan Iklim di Indonesia

Jenis Informasi Perubahan Iklim dari BMKG

157

data observasi digantikan oleh data keluaran simulasi model. Seluruh hasil kajian iklim mendatang sifatnya adalah potensi perubahan

dan tidak dapat diambil kesimpulan secara pasti. Dalam hal ini penyajian dilakukan dalam satuan probabilistik statistik berdasarkan populasi data yang dibandingkan atas situasi mendatang dibanding situasi saat ini.

Berbagai informasi perubahan iklim skenario mendatang dibuat dengan bahasa dan gambar yang mudah dimengerti masyarakat antara lain berupa:

1. Pola iklim mendatang meliputi pola curah hujan, suhu, angin, dan tingkat kelembaban.

2. Pola ketersediaan air mendatang berdasarkan pola curah hujan hasil proyeksi simulasi model. Berdasarkan hasil ini kita juga dapat melakukan prediksi perubahan potensi sumber daya listrik tenaga air.

3. Pola iklim ekstrem mendatang berdasarkan potensi terjadinya iklim ekstrem berdasarkan pada parameter iklim utama seperti suhu dan curah hujan.

4. Pola waktu tanam mendatang berdasarkan perubahan pola suhu dan curah hujan hasil proyeksi.

5. Pola kesesuaian iklim mendatang untuk tanaman komoditas berdasarkan perubahan pola parameter iklim.

6. Pola penyebaran penyakit manusia dan tanaman yang erat terkait pada parameter iklim berdasarkan perubahan pola parameter iklim.

7. Pola kerentanan iklim mendatang yang dibuat berdasarkan berbagai perubahan pola parameter iklim yang ada.

Sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, BMKG berperan dalam hal adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang meliputi:

1. Penyediaan database perubahan iklim berdasarkan parameter iklim hasil observasi BMKG. Database meliputi semua parameter dasar atau unsur iklim.

2. Penyediaan informasi perubahan iklim meliputi trend (kecenderungan) perubahan ekstrem, baik untuk unsur iklim dasar, hasil analisa untuk iklim lampau, maupun berdasarkan hasil simulasi skenario iklim mendatang.

3. Penyediaan peta kerawanan bencana perubahan iklim untuk iklim lampau dan hasil simulasi skenario iklim mendatang.

4. Penyediaan peta kerentanan perubahan iklim berdasarkan peta kerawanan bencana iklim untuk iklim lampau dan hasil simulasi

Page 169: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

158

Gambar 11.4. Peta dry spell atau hari tanpa hujan berturut-turut (gambar atas), dan peta wet spell atau hari hujan berturut-turut (bawah).

skenario iklim mendatang.5. Penyediaan perangkat bantu adaptasi (adaptation tool) atau untuk

upaya adaptasi sektoral.

Khusus menyangkut masalah adaptasi, BMKG sedang menyusun peta kerentanan perubahan iklim di masing-masing wilayah. Hal ini perlu dibuat karena tingkat perubahan iklim dan dampaknya tidak sama di setiap daerah.

Page 170: Perubahan Iklim di Indonesia

Jenis Informasi Perubahan Iklim dari BMKG

159

Tabel 11.1. Jenis informasi cuaca dan iklim yang dipakai untuk keperluan adaptasi sektoral.

Jenis Informasi cuaca dan iklim

PERT

AN

IAN

INFR

AST

RUKT

UR

PESI

SIR

INFR

AST

RUKT

UR

KESE

HAT

AN

PERI

KAN

AN

TRA

NSP

ORT

ASI

AIR

ENER

GI

WIS

ATA

KEH

UTA

NA

N

Prakiraan musim hujan (awal musim, maju-mundur musim, dan sifat hujan selama periode musim) p p p p p

Prakiraan musim kemarau (awal musim, maju-mundur musim, dan sifat hujan selama periode musim) p p p p p

Prakiraan gelombang p p p p p

Prakiraan curah hujan bulanan, 3 bulan ke depan p p

Prakiraan potensi banjir bulanan, 3 bulan ke depan p p p p

Penyediaan atlas potensi agroklimat p p p

Penyediaan peta rawan kekeringan p p

Frekuensi suhu dan atau kelembaban lebih dari nilai tertentu p p p

Frekuensi kecepatan angin lebih dari nilai tertentu p p p

Informasi cuaca ekstrem (curah hujan dan suhu) p p p p p p p p p

Informasi konsentrasi gas rumah kaca p p

Peta kualitas udara meliputi NOx, SPM, Ozon permukaan, pH hujan, SO2, dan CO2. p p p

Informasi tentang dispersi polutan p p

Peta daerah rawan gempa dan tsunami p p p p p p p

Peta daerah rawan petir p p p p p

Page 171: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

160

Penekanan pembuatan peta kerentanan tersebut difokuskan pada penyusunan data dari parameter iklim seperti trend dan ekstrem yang terjadi pada curah hujan, suhu, kelembaban, angin, penguapan, dan tutupan awan.

Informasi tersebut kemudian digandengkan dengan informasi kapasitas adaptasi yang bersifat noniklim untuk dapat disusun menjadi sebuah peta kerentanan. Informasi yang disusun berupa informasi masa lampau dan informasi akan datang dari hasil pemodelan skenario iklim.

Selain itu, BMKG sedang membuat peta informasi perubahan iklim sam-pai skala provinsi untuk sektor yang sensitif terhadap iklim. Sektor sensitif tersebut meliputi sumber daya air, energi, pertanian, kesehatan, kehutanan, infrastruktur, pariwisata, transportasi, dan pesisir kelautan. BMKG berupaya untuk menyediakan perangkat bantu adaptasi (adaptation tool) bagi peman-faatan informasi iklim yang optimal sesuai kebutuhan sektor tersebut.

Selain adaptasi, BMKG juga berperan dalam melakukan mitigasi perubahan iklim. Peran tersebut meliputi:

1. Penguatan data GRK nasional dengan pengukuran konsentrasi GRK ambien di Stasiun GAW di Bukit Kototabang, Sumatera Barat dan di Lore Lindu, Palu.

2. Penguatan data GRK provinsi dengan informasi GRK ambien dari sampel udara provinsi.

3. Sistem informasi iklim dan GRK dalam mendukung Indonesian carbon accounting system.

4. Sistem informasi fire danger rating system untuk pencegahan kebakaran hutan.

5. Sistem informasi peringatan dini iklim ekstrem (climate early warning system) untuk pencegahan kebakaran hutan, manajemen sumber daya air bagi energi, dan pengurangan risiko kecelakaan transportasi.

6. Sistem informasi kualitas udara nasional seperti informasi deposisi hujan asam dan deteksi on-line partikulat asap kebakaran hutan.

7. Sistem informasi emisi kebakaran hutan Indonesia.8. Penyusunan peta energi terbarukan bersumber dari tenaga angin dan

Matahari.

Sementara itu, tugas BMKG dalam penanganan GRK adalah sebagai berikut:

1. Memperkuat dan meningkatkan Pusat Data Iklim sebagai Pusat Data dan Informasi Perubahan Iklim dan GRK Nasional.

Page 172: Perubahan Iklim di Indonesia

Jenis Informasi Perubahan Iklim dari BMKG

161

2. Melakukan perhitungan (inventory) emisi GRK nasional.3. Melakukan pemantauan GRK di atmosfer (ambien) yang mewakili

wilayah Indonesia.4. Melakukan pengumpulan, pengolahan, dan analisis data GRK

nasional.5. Memberikan pelayanan (diseminasi data dan informasi) untuk instansi

sektoral sebagai tindak lanjut kebijakan mitigasi dan adaptasi di setiap sektor.

6. Melakukan kajian atau penelitian GRK terkait dengan antisipasi pemanasan global dan perubahan iklim, khususnya untuk mengamankan kepentingan Indonesia.

Gambar 11.5. Proyeksi danau yang mengalami defisit air akibat berkurangnya akumulasi curah hujan pada periode musim kemarau 2015 – 2039.

W. CileuncaW. Cipanunjang Rawa Pening

W. Mrica

SelorejoD. Bratan

W. Batu BulanW. Tiukulit

W. MamakD. BayahD. Tamblingan

Situ Bagendit

W. Jatiluhur

W. Saguling

W. Cirata

W. Penjalin

W. Gajah Mungkur

W. Ngobel

Sengguru

W. Sermo

D. Segara AnakD. Batu JaiD. TiukulitW. Batu BulanW. MamakW. PelaparadoW. Carapa

D. BaturD. BratanD. Bayah

D. Tigi

LodoyoWlingi

Sutami

R. Lamongan

Selorejo

Wonorejo

W. Kedung Ombo

W. Malahayu

W. Cipanunjang

W. Darma

D. Pania

Page 173: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

162

Sosialisasi perubahan iklim ke masyarakat luas juga perlu digencarkan. Karena itulah LIPI bekerja sama dengan BMKG melakukan survei di kalangan petani dan nelayan di lima daerah; Indramayu (Jawa Barat), Bau Bau (Sulawesi Tenggara), Malang (Jawa Timur), Kamal Muara (DKI Jakarta), dan Serdang Bedagai (Sumatera Utara).

Survei dilakukan untuk melihat pengetahuan dan persepsi masyarakat tentang perubahan iklim, pengaruh perubahan iklim, upaya yang dilakukan untuk mengurangi pengaruh perubahan iklim terhadap pertanian dan kenelayanan, serta pengetahuan tentang cuaca/iklim.

Hasil survei tersebut tidak terlalu jauh berbeda dari dugaan semula bahwa pengetahuan dan pengertian perubahan iklim di kalangan petani dan nelayan masih minim. Hasil survei selengkapnya adalah sebagai berikut:

• Sebagian besar petani dan nelayan pernah mendengar atau mengetahui perubahan iklim.

• Pengetahuan dan persepsi tentang perubahan iklim bervariasi menurut petani dan nelayan serta menurut daerah.

• Sumber informasi dari radio masih sangat terbatas, terutama untuk nelayan di lima daerah.

• Perubahan iklim mempengaruhi kegiatan pertanian dan kenelayanan, bervariasi menurut kegiatan dan daerah.

• Sebagian besar petani dan nelayan melakukan upaya mengatasi pengaruh perubahan iklim, bervariasi menurut kegiatan dan daerah.

• Sebagian besar petani dan nelayan pernah mendengar atau mengetahui ramalan cuaca.

• Sebagian besar petani dan nelayan mempertimbangkan ramalan cuaca untuk kegiatan pertanian dan kenelayanan.

• Informasi tentang ramalan cuaca yang diterima petani dan nelayan di lima daerah melalui radio dan BMKG ternyata masih sangat minim.

Berdasarkan hasil survei tersebut, tampak bahwa sosialisasi tentang perubahan iklim memang perlu dilakukan di kalangan petani dan nelayan. Melalui sosialisasi diharapkan mereka dapat lebih memahami dan peduli terhadap fenomena perubahan iklim.

Dengan demikian, mereka lebih siap menghadapi perubahan iklim. Hal ini penting karena petani dan nelayan adalah masyarakat yang paling rentan terkena risiko perubahan iklim.

Page 174: Perubahan Iklim di Indonesia

Jenis Informasi Perubahan Iklim dari BMKG

163

Dr. Ir. Deny Hidayati Peneliti Utama LIPI Bidang Ekologi Manusia

Siaran Cuaca di Radio Bermanfaat Bagi Petani, Nelayan,

dan Pelaku Usaha

Informasi cuaca dan perubahan iklim yang disiarkan oleh radio bervariasi menurut daerah, namun umumnya masih terbatas

pada prakiraan cuaca harian, bulanan, dan tiga bulanan. Meskipun demikian, informasi yang terbatas ini cukup bermanfaat bagi sebagian petani, nelayan, dan masyarakat umum. Informasi perkiraan cuaca bagi petani bermanfaat untuk kegiatan dan produksi pertanian mereka.

Mamak Adam, petani bunga yang menjadi pendengar setia Radio Boss di Batu adalah salah contohnya. Ia mengemukakan informasi hujan yang disiarkan radio sangat berguna. “Kalau mendengar besok hujan, kita tidak perlu menyiram. Tetapi kalau dikatakan besok tidak hujan (panas), saya akan menyiram pagi-pagi. Jadi tidak perlu rebutan air dengan petani lainnya,” kata Mamak.

Pernyataan Mamak ini mempunyai makna yang lebih luas. Informasi perkiraan cuaca ternyata bukan hanya bermanfaat bagi kegiatan dan pertumbuhan tanaman bunganya saja melainkan juga mempunyai manfaat sosial lainnya.

Dari wawancara diketahui bahwa pada musim kemarau, air di lokasi kebun Mamak cukup terbatas karena letaknya relatif tinggi. Apabila semua petani bunga di daerah ini, terutama di kebun-kebun yang terletak di bagian bawah, menyiram bunga maka petani di bagian atas tidak kebagian air, karena itu air menjadi rebutan. Informasi cuaca dapat mengurangi perebutan air di kalangan petani bunga di daerah ini.

Manfaat informasi cuaca juga dikemukakan oleh ketua dan anggota kelompok tani padi di Kabupaten Indramayu. Didi dari Kelompok Tani

ppk.

lipi.g

o.id

Dr. Ir. Deny Hidayati

Page 175: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

164

Makmur III dan Waryono dari Kelompok Tani Makmur II Desa Karang Mulya, Kecamatan Kandang Haur, mengemukakan kelompok tani mereka memanfaatkan informasi cuaca tiga bulanan yang disiarkan oleh Radio Cinde untuk menambah frekuensi tanam padi menjadi dua kali per tahun dengan cara “culik tanam”.

Mereka memanen padi dari satu petak sawah lebih awal untuk dijadikan tempat persemaian. Setelah panen selesai mereka langsung mengolah tanah dan menanam padi yang sudah siap dari persemaian. Dengan demikian waktu tanam mereka lebih awal dari biasanya.

Penanaman padi lebih awal ini berdampak sangat positif. Mereka dapat menghindari gagal panen karena kekeringan pada musim tanam yang kedua ini. Sedangkan kelompok tani yang lain mencoba menanam padi lagi (karena beranggapan hujan akan terus turun seperti tahun lalu, 2010), tetapi gagal karena terlambat tanam. Sedangkan kelompok tani yang lain tidak berani menanam karena takut gagal seperti biasanya.

Meningkatnya frekuensi panen berimplimplikasi pada naiknya produksi dan pendapatan petani kedua kelompok tani tersebut. Peningkatan penda-patan ini juga diindikasikan dari beberapa petani yang mampu membeli motor baru.

Seperti sebagian petani, sebagian nelayan juga menginformasikan manfaat sosialisasi cuaca dan wilayah tangkap pada kegiatan kenelayanan. Manfaat ini tidak hanya dirasakan oleh nelayan dengan armada tangkap modern dan kapasitasnya besar, melainkan juga nelayan kecil.

Seorang nelayan pursain, Haji Mustawan dari Eretan Wetan, Kecama-tan Kandang Haur, menyatakan, kegiatan sosialisasi ini sangat bermanfaat, teruta-ma menentukan wilayah tangkap. “Dengan informasi ini (IDPI dan IL) nelayan tidak lagi mencari ikan, tetapi langsung menangkap ikan,” ujar Mustawan.

Seorang nelayan dengan armada tangkap yang sederhana dan tradisional juga mengemukakan manfaat informasi cuaca dan kondisi laut untuk kegiatan kenelayanannya. “Informasi cuaca, arus, dan gelombang dari radio menjadi dasar kami untuk melaut,” katanya.

Sementara itu nelayan dari Bau Bau, Sarumi menginginkan sosialisasi cuaca dan perubahan sosialisasi terus dilakukan karena iformasi diperoleh nelayan masih terbatas. “Baru sedikit saja masyarakat yang mendapatkan informasi perubahan iklim. Masih terlalu sedikit ketimbang kebutuhan

Page 176: Perubahan Iklim di Indonesia

Jenis Informasi Perubahan Iklim dari BMKG

165

informasi bagi nelayan. Paling tidak, setengah dari seluruh petani dan nelayan mendapatkan informasi ini, barulah program ini boleh diakhiri,” ujarnya.

Sarumi berharap, pemerintah memikirkan cara agar masyarakat masih tetap dapat mengakses informasi tersebut. Toh selama ini Sarumi meneruskan informasi dari radio ke rekan-rekan nelayan tanpa merasa ada paksaan.

Lain lagi dengan pengalaman Samsudin, pembuat tempe dari Desa Tugu, Kecamatan Indramayu.

“Sebelum membuat tempe, saya mendengarkan radio dulu supaya tahu besok hujan atau tidak. Kalau hujan, raginya lebih banyak tetapi jika kalau panas maka raginya lebih sedikit,” ungkapnya.

cgd

Page 177: Perubahan Iklim di Indonesia
Page 178: Perubahan Iklim di Indonesia

Kata Penutup

167

Kata Penutup

Perubahan iklim memang sudah terjadi, baik dalam skala global maupun lokal. Faktanya, berbagai indikator dari dampak perubahan iklim sudah terasa sejak beberapa puluh tahun silam. Hanya saja, akhir-akhir ini

laju perubahan iklim semakin cepat sehingga berdampak luas ke berbagai aspek kehidupan umat manusia. Masyarakat di berbagai penjuru dunia pun mulai memberikan respon.

Terkait dengan hal tersebut, United Nation Development Program (UNDP) memberikan respon dengan menyediakan dana kepada Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Bantuan tersebut digunakan untuk menyosialisasikan serta melakukan berbagai upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim ke seluruh lapisan masyarakat di Indonesia.

Karena itulah, sebagai lembaga pemerintah, BMKG menjalin kerja sama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Kementerian Pertanian (Kemtan), Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), serta Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Bentuk kerja sama tersebut antara lain dengan membuat modul tentang perubahan iklim sebagai upaya sosialisasi ke seluruh lapisan masyarakat.

BMKG bekerja sama dengan Kemtan melakukan sosialisasi perubahan iklim ke komunitas petani. Kolaborasi dengan KKP bertujuan mendesiminasikan hal serupa ke kelompok nelayan. Sasaran kerja sama dengan LIPI adalah menyebarluaskan informasi perubahan iklim melalui program radio ke masyarakat luas.

Page 179: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

168

Sementara itu, bentuk kerja sama BMKG dengan BPPT dan Kemdiknas (melalui Pusat Kurikulum dan Buku atau Puskurbuk) adalah membuat buku modul untuk siswa agar materi perubahan iklim nantinya bisa diintegrasikan ke dalam kurikulum. Dengan cara tersebut, diharapkan para siswa dapat mengenal berbagai hal terkait perubahan iklim serta upaya adaptasi dan mitigasinya.

Dalam kerja sama tersebut, BPPT membuat buku modul khusus untuk siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di bidang kelautan. Sedangkan Puskurbuk membuat buku modul untuk siswa SD, SMP, SMU, guru, dan TOT (trainer of trainer). Tercatat, ada 16 buku modul yang telah dibuat Puskurbuk dalam upaya mengintegrasikan materi perubahan iklim ke dalam kurikulum.

Di luar kerja sama tersebut, BMKG selalu siap memberikan pelayanan dalam menyediakan informasi yang terkait dengan perubahan iklim, prakiraan musim, prakiraan cuaca, dan lain sebagainya. Untuk informasi lebih lengkap, silakan kunjungi situs BMKG di:

http://www.bmkg.go.id/BMKG_Pusat/Depan.bmkg

Akhirnya kami berharap buku ini dapat memberi manfaat kepada masyarakat luas dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan menjadi acuan dalam menghadapi perubahan iklim dan pemanasan global yang telah, sedang, dan akan terjadi.

Page 180: Perubahan Iklim di Indonesia

Daftar Pustaka

169

Daftar Pustaka

Adam, J, 2002: Global land environments since the last interglacial, (http://www.esd.ornl.gov/projects/qen/nerc.html)

Aldrian, E., Meteorologi Laut Indonesia, 2008, ISBN 978-979-1241-19-9, Puslitbang BMG

Aldrian, E., R. D. Susanto, 2003, Identification of three dominant rainfall regions within Indonesia and their relationship to sea surface temperature, International Journal of Climatology, 23, 1435-1452.

Batigne, S., Josee B., & Nathalie F. 2008. Pustaka Anak Cerdas. PT Bhuana Ilmu Populer.

Blog: Skeptic’s Play, 2007: Axial Tilt: The Reason for the Season, (http://skepticsplay.blogspot.com/2007/12/axial-tilt-reason-for-season.html)

Boer, R., Sutardi, Hilman, D., 2007, Indonesia Country Report: Climate Variability and climate changes, and their implication. Ministry of Environment, 68pp. ISBN 878-878-8362-82-1

Clouds Types: http://eo.ucar.edu/webweather/cloud3.html

Crew of Apollo 17, 1972: Earth seen from Apollo 17, (http://en.wikipedia.org/wiki/File:The_Earth_seen_from_Apollo_17.jpg)

Diposaptono, S., Budiman, & Firdaus Agung. 2009. Menyiasati Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Penerbit Buku Ilmiah Populer, PT Sarana Komunikasi Utama. Bogor.

Hendiarti N., Suwarso, E. Aldrian, R. A Ambarini, S. I. Sachoemar, I. B. Wahyono, K. Amri, 2005, Seasonal Variation of Coastal Processes and Pelagic Fish Catch around the Java, Oceanography, 18, No 4, 112-123.

Hendon, H. H., 2003, Indonesian rainfall variability: Impacts of ENSO and local air sea interaction, J. Clim., 16, 1775-1790.

Page 181: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

170

Hoegh-Guldberg, O. 1999, Coral bleaching, Climate Change and the future of the world’s Coral Reefs. Review, Marine and Freshwater Research, 50:839-866.

Holland, G.J. 1993, “Ready Reckoner” - Chapter 9, Global Guide to Tropical Cyclone Forecasting, WMO/TC-No. 560, Report No. TCP-31, World Meteorological Organization; Geneva, Switzerland.

IPCC, 2007: Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change [Solomon, S., D. Qin, M. Manning, Z. Chen, M. Marquis, K.B. Averyt, M.Tignor and H.L. Miller (eds.)]. Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA.

Kementrian Lingkungan Hidup, Rencana Aksi Nasional dalam menghadapi Perubahan Iklim (National action Plan to coupe Climate Change, 2007, 108pp.

Larry West: What is the Greenhouse Effect?, About.com Guide, (http://environment.about.com/od/globalwarming/a/greenhouse.htm)

Lutgens and Tarbuck, 2001: The Atmosphere. (http://www.ux1.eiu.edu/~cfjps/1400/atmos_struct.html)

Modul Perubahan Iklim untuk Penyuluh sektor Pertanian. 2011.

Modul Perubahan Iklim untuk Penyuluh Sektor Kelautan dan Perikanan. 2011.

Petit, J. R, et al, 1999: Climate and atmospheric history of the past 420,000 years from the Vostok ice core, Antarctica, Nature 399, 429-436 (http://en.wikipedia.org/wiki/Climate_change#Physical_evidence_for_and_examples_of_climatic_change)

Philander S.G.H. 1983, El Niño southern oscillation phenomena. Nature, 302, 295–301.

Philander, S. G. H., 1990, El Niño, La Niña and the Southern Oscillation. Academic Press, San Diego, 293 pp.

The Greenhouse Effect (http://www.ucar.edu/learn/1_3_1.htm), ©2000-2001 University Corporation for Atmospheric Research

Tutorial on Earth/Suns Relations and Seasons (http://daphne.palomar.edu/jthorngren/tutorial.htm)

U.S. Global Change Research Program (www.globalchange.gov).”

Page 182: Perubahan Iklim di Indonesia

Sekilas Penulis

171

Sekilas Penulis

Dr. Edvin Aldrian B.Eng., MSc. APU lahir di Jakarta 2 Agustus 1969. Ia mengenyam berbagai jenjang pendidikan tinggi di Kanada, Jepang, dan Jerman. Setelah sempat kuliah selama tiga bulan di Jurusan Teknik Fisika, Institut Teknologi Bandung, ia diterima sebagai mahasiswa di University of Manitoba, Kanada pada Sptember 1989 dan mendapatkan gelar B.Eng dari McMaster University, Kanada pada Oktober 1993.

Tiga tahun kemudian Edvin melanjutkan studi program master di Nagoya University Jepang dan mendapatkan gelar MSc pada Oktober 1998. Dua tahun berikutnya, ia diterima sebagai mahasiswa doktor di Max Planck Institut fur Meteorologie, University Hamburg, Jerman. Gelar doktornya diperoleh pada Juli 2003.

Sejak 1 Oktober 2010 hingga kini, pria yang fasih berbahasa Inggris, Jerman, dan Jepang ini menjabat sebagai Kepala Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Sebelumnya, selama November 1993 ia menjadi staf peneliti di Unit

Page 183: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

172

Pelaksana Teknis Hujan Buatan, Badan Pengkajian dan Pengembangan Teknologi (BPPT). Ia mendapatkan gelar profesor riset atau Ahli Peneliti Utama (APU) pada 1 April 2010.

Di sela-sela kesibukannya itu, Edvin juga menjadi dosen luar biasa untuk program master di UI (Meteorologi Kelautan) dan IPB (Hidrometeorologi, Modifikasi Cuaca, dan Perubahan Iklim). Ia kerap menjadi anggota delegasi ahli dari pemerintah Indonesia seperti pada Konferensi Perubahan Iklim UNFCCC, WMO, IPCC, dan lain-lain. Di samping itu, pada 2009 ia juga menjadi Kepala Delegasi Indonesia pada pertemuan ke-31 ASEAN Sub-committee on Meteorology and Geophysics di Bangkok.

Beberapa penghargaan yang ia terima antara lain START International Young Scientist Award 2004 atas artikel berjudul Modeling Indonesian Rainfall with a Coupled Regional Model yang dipublikasikan di jurnal ilmiah. Edvin juga termasuk satu dari tiga ilmuwan Indonesia yang berkontribusi menulis laporan IPCC pada tahun 2007. Seperti diketahui, laporan IPCC tersebut mendapat penghargaan Nobel perdamaian pada tahun 2007.

Hingga kini, ia telah menulis sekitar 36 karya ilmiah di jurnal ilmiah nasional, 11 karya ilmiah di jurnal internasional, 9 artikel ilmiah populer di media cetak nasional, dan 12 buku. Di media televisi, ia beberapa kali tampil menjadi nara sumber terkait dengan isu perubahan iklim.

Page 184: Perubahan Iklim di Indonesia

Sekilas Penulis

173

Dra. Mimin Karmini, MSc lahir di Ciamis, 25 Januari 1951. Ia mendapatkan sarjana Jurusan Fisika Nuklir dari Universitas Gadjah Mada (UGM). Gelar masternya diperoleh dari Department of Earth and Atmospheric Sciences, Major Meteorology, Saint Louis University, Missouri, Amerika Serikat.

Selepas dari UGM, ia memulai karier sebagai peneliti di Unit Pelaksana Teknis Hujan Buatan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sejak Mei 1981 hingga 1 Februari 2011. Dan terhitung mulai 17 Februari 2011, Mimin, demikian ia disapa, bergabung dengan proyek PMU ICCTF-BMKG.

Selama menjadi peneliti BPPT, ia pernah mengikuti beberapa pelatihan terkait dengan masalah cuaca dan iklim. Di antaranya training tentang meteorologi dan modifikasi awan pada tahun 1985 di UI, Jakarta, Research on cold cloud seeding (1991) di Thailand, Cloud seeding using burn in place flares (1996) di Coahuila, Meksiko, Climate prediction (1998) di IRI – UCSD, AS, dan Radar analysis (2008) di EWR, St. Louis, AS.

Di samping itu, ia juga pernah mengikuti pelatihan Business Management pada September hingga Oktober 2001 di Crown Agent, London, Inggris.

Page 185: Perubahan Iklim di Indonesia

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

174

Ir. Budiman, Msi lahir di Jepara, 29 Maret 1967. Gelar sarjana dan magisternya dipe-roleh dari Institut Pertanian Bogor (IPB). Ia menyelesaikan Program Pascasarjana Jurna-listik di Lembaga Pers Dr Soetomo pada 1993. Kini, ia mendapatkan beasiswa untuk melan-jutkan studi Program Doktor (S3) di IPB.

Sampai sekarang ia sudah menulis dan menyunting 70 buku. Termasuk di antaranya Buku Kapal Selam Indonesia, Mencintai Bangsa dan Negara, Pantura Jawa - Peta Panduan Mudik dan Wisata Lengkap, Ayo Berwisata ke Lampung, Menjelajahi Pesona Wisata di Sumatera Selatan, Pesona Wisata Bengkulu, Hidup Akrab dengan Gempa dan Tsunami, serta Membangun Kembali Permukiman dan Lingkungan Pascagempa & Tsunami Berbasis Masyarakat.

Bukunya yang berjudul Menyelamatkan Diri dari Tsunami mendapat award dari Japan Society of Civil Engineers (JSCE) sebagai buku terbaik tahun 2009. Di dalam negeri, ia juga mendapat 17 penghargaan ketika masih bekerja di Suara Pembaruan. Kini, ia menjadi penulis lepas (freelance writer) di beberapa media cetak seperti Koran Jakarta dan Majalah Samudra.

Selama menjadi wartawan, ia melakukan berbagai peliputan ke hampir seluruh provinsi di Indonesia. Selain itu, ia juga melakukan reportase ke Ottawa (Kanada), Oslo (Norwegia), Tokyo dan Kyoto (Jepang), Beijing (China), Sidney, Melbourne, dan Hobart (Australia), Bangkok (Thailand), Kualalumpur dan Penang (Malaysia), serta Singapura.

Dalam berbagai lomba karya ilmiah populer, ia sering diminta menjadi Dewan Juri. Ia juga menjadi pembicara di IPB, UI, ITB, BMKG, Bakosurtanal, BPPT, dan lain-lain

Menikah dengan Mardiatul Aini, mereka dikaruniai empat putri; Nada Salsabila, Novsa Fakhira, Tania Adila, dan Raisa Pitas Malay.