FEMININE WRITING SEBAGAI REAKSI PEREMPUAN ATAS …

20
FEMININE WRITING SEBAGAI REAKSI PEREMPUAN ATAS PENINDASAN: STUDI KASUS TERHADAP ANGGOTA KOLEKTIF BETINA Wenugobal Manggala Nayahi, Inaya Rakhmani Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia E-mail: [email protected] Abstrak Perempuan kerap mengalami opresi dari berbagai pihak, dan suara perempuan terbungkam karena minimnya akses kepada proses produksi di industri media. Karenanya, perempuan membutuhkan ruang komunikasi agar suaranya tidak terus-menerus dibungkam oleh habitus patriarkis. Penelitian ini mengkaji bagaimana proses yang dialami perempuan anggota kolektif alternatif sampai akhirnya mereka berupaya melakukan feminine writing, dengan Kolektif Betina sebagai studi kasus. Pendekatan kualitatif dan paradigma konstruktivisme kritis dipilih sebagai desain penelitian. Dengan melakukan wawancara mendalam bersama 7 informan, mengumpukan dokumen pendukung, dan melakukan observasi sosial, penelitian ini menemukan bahwa Kolektif Betina merupakan sebuah bentuk sisterhood sekaligus fase dimana perempuan di dalamnya belajar melakukan rekonstruksi pengetahuan soal solidaritas perempuan. Anggota Kolektif Betina telah melalui tiga tahap; kapitulasi, revitalisasi, dan radikalisasi, sebelum akhirnya memutuskan untuk menciptakan ruang melalui praktik bermedia untuk melakukan feminine writing. Tambahan temuan menarik dalam penelitian adalah mengenai pengaruh skena punk terhadap feminine writing anggota Kolektif Betina. Feminine Writing as Women’s Reaction to Oppression: Case Study on Kolektif Betina Abstract Women often experience oppressions from various different parties, and their voices are muted because of the limited access to production stage within the media industries. Therefore, women need communication spaces so their voices would not be perpetually silenced by the patriarchal habitus. This research observes how women who are affiliated with alternative collective seek to perform feminine writing, with Kolektif Betina as its case study. Qualitative approach and critical constructivism paradigm are used in this research. By conducting in- depth interview, collecting supporting data, and doing media observations, this research finds that Kolektif Betina is a form of sisterhood, in which the members learn to reconstruct their knowledge about women’s solidarity. These women had underwent three stages; capitulation, revitalization, and radicalization, before finally decided to occupy spaces through media practices to perform feminine writing. An interesting addition to the findings is about the influence of punk scene in these women’s feminine writing. Keywords: Collective, feminine writing, patriarchy, punk, sisterhood, women Pendahuluan Feminis telah lama mengkritik representasi perempuan dalam budaya populer yang memarjinalkan dan memberi stereotip pada perempuan, juga kurangnya keterlibatan Feminine Writing ..., Wenugobal Manggala Nayahi, FISIP UI, 2017

Transcript of FEMININE WRITING SEBAGAI REAKSI PEREMPUAN ATAS …

Page 1: FEMININE WRITING SEBAGAI REAKSI PEREMPUAN ATAS …

FEMININE WRITING SEBAGAI REAKSI PEREMPUAN ATAS PENINDASAN: STUDI KASUS TERHADAP ANGGOTA KOLEKTIF

BETINA

Wenugobal Manggala Nayahi, Inaya Rakhmani

Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia

E-mail:  [email protected]

Abstrak

Perempuan kerap mengalami opresi dari berbagai pihak, dan suara perempuan terbungkam karena minimnya akses kepada proses produksi di industri media. Karenanya, perempuan membutuhkan ruang komunikasi agar suaranya tidak terus-menerus dibungkam oleh habitus patriarkis. Penelitian ini mengkaji bagaimana proses yang dialami perempuan anggota kolektif alternatif sampai akhirnya mereka berupaya melakukan feminine writing, dengan Kolektif Betina sebagai studi kasus. Pendekatan kualitatif dan paradigma konstruktivisme kritis dipilih sebagai desain penelitian. Dengan melakukan wawancara mendalam bersama 7 informan, mengumpukan dokumen pendukung, dan melakukan observasi sosial, penelitian ini menemukan bahwa Kolektif Betina merupakan sebuah bentuk sisterhood sekaligus fase dimana perempuan di dalamnya belajar melakukan rekonstruksi pengetahuan soal solidaritas perempuan. Anggota Kolektif Betina telah melalui tiga tahap; kapitulasi, revitalisasi, dan radikalisasi, sebelum akhirnya memutuskan untuk menciptakan ruang melalui praktik bermedia untuk melakukan feminine writing. Tambahan temuan menarik dalam penelitian adalah mengenai pengaruh skena punk terhadap feminine writing anggota Kolektif Betina.

Feminine Writing as Women’s Reaction to Oppression: Case Study on Kolektif Betina

Abstract Women often experience oppressions from various different parties, and their voices are muted because of the limited access to production stage within the media industries. Therefore, women need communication spaces so their voices would not be perpetually silenced by the patriarchal habitus. This research observes how women who are affiliated with alternative collective seek to perform feminine writing, with Kolektif Betina as its case study. Qualitative approach and critical constructivism paradigm are used in this research. By conducting in-depth interview, collecting supporting data, and doing media observations, this research finds that Kolektif Betina is a form of sisterhood, in which the members learn to reconstruct their knowledge about women’s solidarity. These women had underwent three stages; capitulation, revitalization, and radicalization, before finally decided to occupy spaces through media practices to perform feminine writing. An interesting addition to the findings is about the influence of punk scene in these women’s feminine writing.

Keywords:

Collective, feminine writing, patriarchy, punk, sisterhood, women

Pendahuluan

Feminis telah lama mengkritik representasi perempuan dalam budaya populer yang

memarjinalkan dan memberi stereotip pada perempuan, juga kurangnya keterlibatan

Feminine Writing ..., Wenugobal Manggala Nayahi, FISIP UI, 2017

Page 2: FEMININE WRITING SEBAGAI REAKSI PEREMPUAN ATAS …

perempuan dalam proses produksi (Strinati, 2009). Hal ini dapat diamati pada berbagai ranah

industri kebudayaan, yang pada akhirnya memberikan dampak besar bagi kehidupan sosial

perempuan. Menurut Spender (1980), realitas adalah hasil konstruksi yang berlangsung

melalui proses ‘bicara’ dan berbahasa, dan mereka yang memiliki kontrol akan proses

‘bicara’ tersebut mampu pula mengontrol realitas. Minimnya akses perempuan untuk

mengambil peran penting pada media arus utama telah menghalangi proses ‘bicara’

perempuan demi terciptanya narasi yang berimbang dan adil. Pengalaman perempuan, ketika

didefinisikan oleh laki-laki, berpotensi menghilangkan sebagian atau keseluruhan realitas dari

pengalaman tersebut. Perempuan jadi rentan mengalami berbagai bentuk opresi di media,

seperti komodifikasi, objektifikasi, eksploitasi, kurangnya representasi, serta masalah-

masalah perempuan yang tersampaikan lewat bahasa maskulin.

Menyikapi opresi yang telah bertahan sedemikian lama ini, perempuan kemudian

mencari ranah untuk menyuarakan sendiri permasalahan yang ia hadapi. Cixous (1979)

memperkenalkan apa yang ia sebut sebagai feminine writing (l’ecriture feminine). Ia

menyatakan bahwa perempuan harusnya menulis ‘dirinya sendiri’, di mana perempuan

menuliskan perihal perempuan dan membawa dirinya ke dalam tulisan. Meskipun mengambil

konteks sastra dan literatur feminis, namun peneliti meminjam pemikiran Cixous untuk

memahami upaya perempuan bersuara melalui praktik bermedia yang tidak peneliti batasi

jenisnya, karena proses berbahasa dan komunikasi manusia tidak hanya melalui tulisan.

Proses komunikasi alternatif sebagai bentuk feminine writing inilah yang

dimanfaatkan oleh para anggota salah satu kolektif perempuan di Indonesia1, Kolektif Betina.

Kolektif Betina adalah sebuah kelompok pertemanan perempuan yang memiliki basis

hubungan sehari-hari di dunia maya, yakni melalui aplikasi bertukar pesan (messenger)

Whatsapp. Kolektif Betina didirikan pada tahun 2015 dan kini telah memiliki 42 anggota2.

Berdasarkan observasi terbatas yang peneliti lakukan melalui media massa dan media sosial,

peneliti menemukan bahwa Kolektif Betina melakukan upaya-upaya menciptakan ruang bagi

perempuan melalui berbagai media. Salah satu contohnya adalah mengadakan acara Lady

Fast yang bertujuan untuk memberikan informasi mengenai teknik bela diri bagi perempuan

(self-defense), kekerasan berbasis gender (gender-based violence), diskusi mengenai cara

                                                                                                                         1 Bentuk kelompok berupa kolektif jarang terdengar oleh publik, karena beredar di arena skena punk, musik cadas, dan musik independen yang bukan arus utama. Sebagai contoh, ada kolektif Profane Existence (Minneapolis), Pussy Riot (Rusia), GynePunk (Catalan, Spanyol), dan juga kolektif berisi editor zine yang akhirnya memulai gerakan Riot Grrrl di berbagai belahan dunia. Beberapa contoh kolektif yang ada di Indonesia ialah: Mari Jeung Rebut Kembali (Jakarta), Grrrls Barricade (Semarang), WOO (Bandung), Metamorphoo (Palembang), Soundtoloyo (Palembang), Hysteria (Semarang). 2 Informasi ini didapat saat sesi wawancara dengan informan HM, 18 Februari 2017.  

Feminine Writing ..., Wenugobal Manggala Nayahi, FISIP UI, 2017

Page 3: FEMININE WRITING SEBAGAI REAKSI PEREMPUAN ATAS …

menjalin relasi yang sehat, serta menciptakan ruang yang aman bagi para perempuan anggota

grup musik punk untuk berekspresi.

Bentuk kelompok seperti Kolektif Betina juga sangat partikelir dan langka di

Indonesia. Bentuk kelompok berupa ‘kolektif’ jarang ditemui di Indonesia, apalagi kolektif

khusus perempuan. Budaya dan terminologi kolektif sendiri banyak dipakai dalam

pembahasan mengenai resistensi anak muda dan subkultur (Hebdige, 1979). Penggunaan

terminologi kolektif pada Kolektif Betina dipengaruhi pula oleh kenyataan bahwa grup ini

pada awalnya berasal dari pertemanan sekelompok perempuan dalam subkultur musik punk,

terutama di daerah Jakarta, Bandung, dan Semarang3.

Kolektif Betina juga merupakan kelompok perempuan yang pernah mengalami

bentuk-bentuk penindasan dan pembungkaman. Mereka memutuskan untuk bersuara di

hadapan publik setelah mengalami penindasan dan pembungkaman di masa lalu. Hal ini

menunjukkan bahwa konteks penindasan berpengaruh terhadap kehidupan perempuan di

masa depan, hingga pada akhirnya ia dengan sadar dapat melakukan feminine writing. Proses

yang mengantarkan perempuan sampai kepada upaya melakukan feminine writing sebagai

reaksi atas penindasan tersebut adalah hal yang coba digali oleh penelitian ini. Penelitian ini

mengkaji proses dan pengalaman para perempuan anggota kolektif sampai pada akhirnya

memutuskan untuk melakukan feminine writing. Peneliti ingin melihat bagaimana penindasan

berpengaruh terhadap sebuah kolektif yang berperan sebagai solidaritas perempuan, hingga

kemudian membangun berbagai teks dan narasi, melakukan advokasi sosial, dan

menggunakan media, yang semuanya ditujukan untuk menciptakan ruang-ruang bersuara

untuk melakukan feminine writing.

a. Rumusan Masalah

Melihat minimnya ruang bersuara bagi perempuan dalam konteks penindasan dan

observasi awal peneliti mengenai Kolektif Betina, peneliti merumuskan pertanyaan penelitian

sebagai berikut:

1. Bagaimana proses yang dialami para perempuan anggota Kolektif Betina

hingga akhirnya melakukan feminine writing?

2. Bagaimana perempuan anggota Kolektif Betina berupaya menciptakan

ruang di media untuk melakukan feminine writing?

b. Tujuan Penelitian

                                                                                                                         3 Keterangan ini didapat peneliti saat melakukan wawancara dengan informan IV (2 Februari 2017), AS (11 Februari 2017), HM (18 Februari 2017), informan NI (25 Februari 2017).  

Feminine Writing ..., Wenugobal Manggala Nayahi, FISIP UI, 2017

Page 4: FEMININE WRITING SEBAGAI REAKSI PEREMPUAN ATAS …

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji mengenai proses yang dialami para

perempuan anggota Kolektif Betina hingga akhirnya mereka memutuskan melakukan

feminine writing dengan menciptakan ruang naratif di media.

Tinjauan Teoritis

Penelitian ini menggunakan beberapa teori dan konsep untuk membantu peneliti

menganalisis fenomena:

a. Feminine Writing

Cixous percaya bahwa bahasa adalah agen opresi perempuan, karena literatur selalu

dibuat dari perspektif laki-laki (Priya, 2016). Satu-satunya cara untuk mengatasi opresi yang

bersifat verbal ini adalah dengan berbicara melalui bahasa yang tidak didominasi oleh Phallus

(Foster, 1990). Cixous menantang perempuan untuk menuliskan diri mereka dalam dunia

yang dikonstruksi oleh laki-laki. Ia mendorong perempuan untuk meletakkan diri dan hal-hal

yang tidak terpikirkan sebelumnya (unthinkable) ke dalam kata-kata (Tong, 2009).

b. Tahapan Reaksi Individu dalam Konteks Penindasan

Menurut Bulhan (1985) yang menafsirkan tulisan Fanon (1961), dalam sebuah kondisi

di mana terjadi penindasan yang berkepanjangan, pihak yang tertindas akan mengalami tiga

tahapan: adalah kapitulasi (capitulation), revitalisasi (revitalization), dan radikalisasi

(radicalization). Tahap pertama, kapitulasi, melibatkan mekanisme defensif yang

menyebabkan pihak tertindas mengidentifikasi diri dengan pihak penindasnya, meningkatkan

asimilasi dengan budaya dominan, sementara secara simultan menolak budaya milik sendiri.

Bulhan (1985) menyatakan, budaya dominan adalah gagasan yang yang dipaksakan kepada

pihak tertindas melalui kekerasan personal, institusional, dan sistemik. Pada tahap kedua,

revitalisasi, budaya dominan tersebut perlahan-lahan ditanggalkan, dan muncul sebuah

romantisme defensif (defensive romanticism) terhadap budaya sendiri. Tahap ketiga,

radikalisasi, ditandai dengan kemunculan komitmen yang kuat menuju perubahan radikal.

c. Sisterhood

Menurut hooks (1984), seksisme dipertahankan melalui struktur sosial dan

institusional. Hooks menjelaskan bahwa perempuan diajarkan bahwa mereka adalah ‘musuh

alami’, dan solidaritas di antara perempuan tidak akan pernah muncul. Hooks kemudian

mengajak para perempuan untuk menghilangkan gagasan yang dikonstruksi oleh habitus

(Bourdieu, 1984) patriarkis tersebut. Hooks mengajak para pembacanya untuk mempelajari

makna sesungguhnya dari sebuah sisterhood hingga mampu mengidentifikasi permasalahan

yang mereka hadapi, melihat lebih jelas bagaimana mereka menderita dan bagaimana mereka

Feminine Writing ..., Wenugobal Manggala Nayahi, FISIP UI, 2017

Page 5: FEMININE WRITING SEBAGAI REAKSI PEREMPUAN ATAS …

bertindak menghadapi penderitaan tersebut. Dalam perspektif hooks (1984), hal ini termasuk

dalam proses unlearning. Unlearning berarti perempuan mendekonstruksi pengetahuan

kognitif yang selama ini dipupuk oleh habitus patriarkis, dan mempercayai bahwa solidaritas

perempuan yang sehat dan lebih dari sekadar kesamaan opresi bisa terbentuk.

d. Kapital, Habitus, dan Arena dalam Konteks Feminisme dan Gender

Bourdieu (2001) menjelaskan bahwa relasi seksual dikonstruksi melalui pemisahan

fundamental akan laki-laki aktif dan perempuan pasif, sebuah pemisahan yang akhirnya

menghasilkan apa yang Bourdieu sebut sebagai kekerasan simbolik (symbolic violence).

Dalam tulisan-tulisannya mengenai dominasi maskulin, Bourdieu menjelaskan bahwa habitus

terpisah secara gender (gendered habitus). Walau demikian, Lovell (2000) menyatakan

bahwa dalam sebuah masyarakat modern dan posmodern, tinggal sedikit sekali games (arena

sosial tempat praktik terjadi) yang khusus diperuntukkan bagi lelaki, di mana perempuan

dieksklusikan secara formal—meski juga banyak dari perempuan tersebut yang tak

sepenuhnya diterima atau dianggap serius sebagai salah seorang aktor (player) di arena

tersebut. Lovell (2000) menyatakan bahwa perempuan telah lama berupaya melakukan

‘gatecrashing’ pada arena yang dikuasai oleh laki-laki. Ia menamai fenomena ini sebagai

cross-gender habitus. Chambers kemudian mencoba mengombinasikan pemikiran Bourdieu

mengenai habitus dengan pemikiran MacKinnon (1989) mengenai peningkatan kesadaran

(consciousness-raising). Bagi MacKinnon (1989), consciousness-raising merupakan elemen

yang fundamental bagi feminisme; ia adalah metode bagi feminisme itu sendiri.

Consciousness-raising menunjukkan pada perempuan mengenai situasi penindasan yang

mereka alami, dengan cara yang meyakinkan bahwa mereka bisa berbuat sesuatu untuk

mengubah hal tersebut (MacKinnon, 1989). MacKinnon (1989) memaparkan bahwa

kesadaran (consciousness) mengkonstitusikan pengetahuan terhadap realitas sosial dari

menjadi seorang perempuan. Upaya consciousness-raising membangun pemahaman

mengenai bagaimana realitas tumbuh, dan bagaimana realitas tersebut dapat diubah.

Metode Penelitian

Pendekatan kualitatif dipilih oleh peneliti karena mampu menggali lebih dalam makna

dari pengalaman manusia, dan mampu menghasilkan data observasi yang lebih kaya secara

teoritis (Rubin dan Babbie (2010). Paradigma yang peneliti gunakan ialah paradigma

konstruktivisme, dengan studi kasus sebagai strategi penelitian. Vaughan (1992) menyatakan

bahwa studi kasus memampukan peneliti mengkaji perilaku individu di level mikro, sembari

mengacu kepada level makro dan proses sosial pada skala yang lebih besar. Dalam perjalanan

Feminine Writing ..., Wenugobal Manggala Nayahi, FISIP UI, 2017

Page 6: FEMININE WRITING SEBAGAI REAKSI PEREMPUAN ATAS …

penelitian dengan menggunakan studi kasus, peneliti dapat membangun teori maupun

mengembangkan teori yang sudah ada untuk menganalisis kasus yang baru dan kompleks.

Penelitian ini menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, yaitu wawancara

mendalam (in-depth interview) dengan 7 informan, dengan sifat pertanyaan semi-structured

dan unstructured. Peneliti juga melakukan pengumpulan dokumen pendukung. Menurut

Creswell (2013), dalam sebuah penelitian kualitatif, peneliti memilih partisipan, lokasi,

dokumen, atau materi visual tertentu yang sejalan dengan tujuan penelitian, serta dianggap

paling dapat membantu peneliti memahami masalah dan fenomena. Peneliti mengumpulkan

zine, kolase, dan film dokumenter dari para informan yang masih menyimpan media yang

mereka produksi. Dokumen pendukung lain peneliti dapatkan dengan mengecek media sosial

milik para informan. Dengan mengumpulkan karya informan, peneliti mendapatkan

gambaran langsung mengenai praktik bermedia informan.

Observasi sosial pun dilakukan untuk mencatat dan menganalisa sikap dan interaksi

pada saat terjadinya, meski bukan sebagai bagian dari kelompok yang sedang diteliti (Ritchie

dan Lewis, 2003). Peneliti melakukan observasi secara langsung dengan mendatangi Lady

Fast Jilid 2, yang diadakan oleh Kolektif Betina pada bulan April 2017. Di sana, peneliti

melihat secara langsung bagaimana perempuan-perempuan anggota Kolektif Betina

berinteraksi. Dalam memilih infoman, peneliti menggunakan teknik purposive sampling dan

snowball sampling. Peneliti memilih informan dengan kriteria:

1. Berjenis kelamin perempuan.

2. Merupakan anggota tetap Kolektif Betina.

3. Menggunakan medium lain selain Kolektif Betina untuk membangun narasi soal

perempuan. Medium yang dimaksud tidak dibatasi oleh peneliti, karena merupakan

elemen yang akan digali lebih lanjut dalam penelitian.

4. Tema narasi mengeksplorasi mengenai isu perempuan, seperti kehidupan sehari-hari

perempuan, hubungan ibu dan anak, tubuh dan seksualitas, kekerasan terhadap

perempuan, isu-isu sosial dan politik terkait perempuan, kebebasan perempuan,

pembungkaman terhadap perempuan.

Selanjutnya, analisis data akan dilakukan dengan proses coding. Tahap yang akan

dilalui ialah open coding, axial coding, dan selective coding.

Hasil Penelitian

Feminine Writing ..., Wenugobal Manggala Nayahi, FISIP UI, 2017

Page 7: FEMININE WRITING SEBAGAI REAKSI PEREMPUAN ATAS …

Sebagai sebuah proses dengan Kolektif Betina sebagai entitas sentral dalam studi kasus,

peneliti menemukan bahwa kehidupan informan menjadi dua tahapan; sebelum dan sesudah

mengenal Kolektif Betina. Tahapan ini merujuk pada peran Kolektif Betina sebagai sebuah

sisterhood bagi perempuan-perempuan di dalamnya. Dalam perjalanan menjahit temuan data

dengan teori dan konsep, peneliti menemukan bahwa bell hooks (1984) mengemukakan

mengenai tindakan unlearning—di mana perempuan melakukan dekonstruksi pengetahuan

kognitif perihal fenomena gender, hubungan sosial dengan laki-laki dan perempuan, dan

relasi kekuasaan, karenanya melakukan rekonstruksi pengetahuannya soal posisi perempuan

dalam fenomena sosial. Penemuan data di lapangan mengantarkan peneliti kepada pemikiran

Fanon (1961) soal tahapan pembentukan identitas pihak yang tertindas: kapitulasi,

revitalisasi, dan radikalisasi.

Di tahap kapitulasi, peneliti menemukan bahwa informan menghadapi beberapa

kondisi yang sama, yakni bentuk sisterhood (Hooks, 1984) tidak sehat yang sempat dialami

informan (sebelum proses unlearning), bentuk-bentuk pembungkaman yang informan alami

baik dari laki-laki maupun perempuan, serta bagaimana informan sampai mengadopsi

perspektif dan karakteristik pihak penindasnya. Di tahap revitalisasi, informan menemukan

Kolektif Betina serta merasakan manfaat Kolektif Betina sebagai sebuah ruang yang aman,

informan menemukan skena punk dan bahan bacaan berperspektif kritis mengenai isu-isu

perempuan. Pada tahap radikalisasi, ada upaya akumulasi kapital yang dilakukan sebagai

seorang individu maupun kelompok, upaya feminine writing, serta praktik bermedia yang

dilakukan oleh informan untuk menyuarakan isu-isu perempuan.

Baga

n 1.

Kera

ngka

Penj

Kapitulasi

•  Pertemanan tidak sehat dengan perempuan lain

•  Pembungkaman dari sesama perempuan

•  Pembungkaman dari laki-laki

Revitalisasi

•  Penemuan akan skena punk

•  Penemuan akan bahan bacaan/narasi kritis

•  Penemuan akan Kolektif Betina sebagai sebuah sisterhood positif atau ruang aman

Radikalisasi

•  Melakukan feminine writing

•  Consciousness-raising

•  Mendorong perempuan lain untuk membangun ruang aman bagi dirinya sendiri

Feminine Writing ..., Wenugobal Manggala Nayahi, FISIP UI, 2017

Page 8: FEMININE WRITING SEBAGAI REAKSI PEREMPUAN ATAS …

abaran Temuan Data

Pembahasan

Perempuan diajarkan oleh habitus yang patriarkis untuk percaya bahwa perempuan

lain adalah musuh alamiah (Hooks, 1984). Peneliti menemukan bahwa di tahap kapitulasi,

habitus berhasil sampai mempengaruhi hubungan sosial informan dengan perempuan lainnya.

Para informan mengaku memiliki perasaan skeptis terhadap keberadaan pertemanan

perempuan yang positif pada mulanya. Seluruh informan, tanpa terkecuali, mengaku pernah

memiliki pengalaman yang tidak menyenangkan berteman dengan sekelompok perempuan.

Informan menjelaskan, pengalaman tidak menyenangkan tersebut berupa bullying, kompetisi

tidak sehat, rasa curiga satu sama lain, dan sikap menghakimi.

Dalam tahap kapitulasi pula, perempuan mengalami berbagai bentuk pembungkaman

yang datang dari laki-laki sebagai kelompok dominan. Pada tahap ini, informan terbungkam

ketika menghadapi penindasan yang dilancarkan kepadanya. Bentuk terbungkamnya

informan ini disebabkan oleh beberapa hal: informan tidak memahami bahwa sikap yang ia

terima merupakan bentuk-bentuk penindasan, informan masih berusia kanak-kanak ketika

mengalami pembungkaman (yang berupa kekerasan seksual), informan merasa sungkan

karena ada relasi kuasa timpang yang terjalin dengan si penindas.

Saat masih ada dalam tahap kapitulasi, tidak muncul keinginan untuk melawan karena

ketidaktahuan bahwa hal tersebut merupakan pelecehan. Bourdieu (1990) mencetuskan

sebuah terminologi untuk keadaan ‘rela’ ini: kekerasan simbolik (symbolic violence). Peneliti

melihat bahwa di tahap kapitulasi, ada bermacam bentuk kekerasan simbolik dilancarkan

pada para informan. Peneliti menemukan bahwa ada banyak kejadian dimana informan

terlambat menyadari bahwa tindakan yang ia alami merupakan tindak kekerasan, dan

karenanya memilih bungkam meski merasa tidak nyaman. Pada tahap ini pula, informan

mengidentifikasi diri dengan pihak penindas dan habitus di mana ia berada—yang peneliti

lihat sebagai habitus patriarkis, diiringi dengan praktik-praktik yang bersifat seksis dan

misoginis. Lebih jauh lagi, informan sampai mengadopsi perspektif dan karakteristik dari

pihak penindasnya. Hal ini tampak melalui perilaku negatif informan terhadap satu sama lain

di masa lalu, serta perilaku seksis yang informan miliki di masa lalu. Meski menghadapi

pembungkaman dari sesama perempuan, para informan pun mengakui bahwa mereka juga

sempat menjadi pihak yang membungkam perempuan lain. Pembungkaman ini dilakukan

para perempuan dalam bentuk terlibat dalam pertengkaran dengan perempuan lain, ujaran-

Feminine Writing ..., Wenugobal Manggala Nayahi, FISIP UI, 2017

Page 9: FEMININE WRITING SEBAGAI REAKSI PEREMPUAN ATAS …

ujaran kebencian terhadap pilihan dan gaya hidup perempuan lain, dan rasa ingin

berkompetisi yang diakui informan sering muncul di masa lalu.

Memasuki tahap revitalisasi dimana mulai muncul kesadaran para pihak tertindas

akan penindasan yang ia alami, peneliti menemukan beberapa faktor yang menjadi penanda

penting bagi bangkitnya kesadaran para perempuan ini. Di level pertemanan dengan

perempuan lain atau solidaritas perempuan, persepsi informan yang pesimis terhadap

pertemanan perempuan yang positif berubah ketika informan bergabung ke dalam Kolektif

Betina. Di dalam Kolektif Betina, informan belajar tentang kondisi yang ideal bagi solidaritas

perempuan. Transisi inilah yang dijelaskan oleh Hooks (1984) sebagai sebuah tindakan

unlearning, di mana perempuan melepaskan segala gambaran-gambaran lama yang

dikonstruksi oleh ideologi supremasi laki-laki, dan mulai belajar untuk hidup dan bergerak

kembali dalam sebuah solidaritas perempuan. Ada dekonstruksi dan usaha rekonstruksi

pengetahuan soal solidaritas perempuan. Peneliti menyimpulkan, tahap unlearning berada di

fase yang sama dengan tahap revitalisasi.

Pada umumnya, informan merasa menemukan apa yang selama ini mereka cari dalam

Kolektif Betina: bentuk pertemanan yang sehat dan suportif. Informan mengaku banyak

belajar untuk berhenti bersikap seksis kepada sesama perempuan, yang selama ini telah

menjadi pola pikir yang banal karena sedemikian kuat terinternalisasi oleh habitus patriarkis.

Upaya ini mulai dilakukan informan secara kecil-kecilan di lingkungan mereka sendiri.

Secara sederhana, sejak menemukan Kolektif Betina informan kembali percaya bahwa

pertemanan perempuan yang positif dapat terbentuk.

Faktor penting lainnya Kolektif Betina memandang pembungkaman yang anggotanya

alami dengan perspektif kritis. Freeman (1971 dalam hooks, 1984: 48) menyebutkan bahwa

perspektif kritis dalam sebuah sisterhood mampu menguntungkan perempuan. Peneliti

melihat, kemampuan berpikir dan memandang penindasan yang dialami secara kritis ini

merupakan sebuah kapital yang penting bagi para informan. Di sini, informan belajar untuk

melihat bagaimana struktur sosial membentuk perilaku mereka terhadap satu sama lain, juga

terhadap penindasan yang selama ini mereka alami. Informan jadi mampu membangun rasa

percaya diri, belajar untuk perlahan-lahan melawan penindasan, serta mengapresiasi nilai-

nilai solidaritas dalam kelompok. Hal ini menjadikan Kolektif Betina sebagai sebuah fase, di

mana perempuan-perempuan yang masuk ke dalamnya melepaskan nilai dan norma yang

sudah lama dikonstruksi oleh habitus patriarki, kemudian mempelajari ulang soal kondisi

yang ideal bagi perempuan, baik dalam hal solidaritas perempuan yang positif, juga relasi

kuasa antara perempuan dan laki-laki.

Feminine Writing ..., Wenugobal Manggala Nayahi, FISIP UI, 2017

Page 10: FEMININE WRITING SEBAGAI REAKSI PEREMPUAN ATAS …

Perubahan yang positif ini ternyata didukung oleh adanya kesamaan-kesamaan yang

dimiliki anggota Kolektif Betina. Seluruh informan mengaku pernah mengalami bentuk-

bentuk pembungkaman dan opresi, baik dari laki-laki maupun dari sesama perempuan.

Seluruh informan pernah mengalami tindakan pelecehan sampai dengan kekerasan seksual,

baik bersifat verbal maupun fisik. Kondisi tertindas yang sama ini ternyata mampu

membentuk ikatan erat di antara anggota Kolektif Betina. Bahkan, hal ini ternyata kemudian

menjadi sebuah kekuatan bagi para anggota Kolektif Betina; karena merasa anggota lain juga

memiliki pengalaman tidak menyenangkan yang sama di masa lalu—termasuk pengalaman

mengalami kekerasan seksual, perempuan-perempuan ini bisa secara lebih leluasa

membagikan pengalaman mereka tanpa perasaan takut dihakimi. Kesamaan-kesamaan ini

menyebabkan para anggota memiliki rasa empati dan solidaritas terhadap perempuan lain

yang mengalami hal yang sama. Oleh karena itu, informan sepakat bahwa Kolektif Betina

adalah sebuah ruang yang aman4 bagi perempuan di dalamnya.

Sebelum membentuk kelompok perempuan, informan tidak mampu mengakumulasi

kapital sepenuhnya karena suaranya sebagai individu selalu dibungkam. Membentuk

kelompok dengan sesama perempuan—apapun kesamaan yang mengikat perempuan-

perempuan di dalamnya—merupakan sebuah upaya mengakumulasi kapital.

Memutarbalikkan opresi yang dialami sehingga menjadi sebuah kekuatan inilah yang tak ada

pada model sisterhood seperti yang bell hooks amati. Kesamaan opresi justru menjadi faktor

yang menyebabkan para anggota mampu berinteraksi dengan anggota lainnya dengan lebih

leluasa, luwes, dan lepas. Keleluasaan ini ditandai dengan tidak munculnya sikap-sikap

negatif yang informan miliki sebelumnya.

Bagi hooks (1984 dalam Tong, 2009), sisterhood sendiri bersifat politis dan bukannya

sebuah konsep personal. Menurutnya, perempuan bisa menjadi saudari (sisters) dalam

konteks menjadi mitra politis (political comrades). Meski Kolektif Betina secara berkala

mengadakan acara dan kampanye yang berupaya meningkatkan kesadaran publik soal

persoalan perempuan (consciousness-raising) dan anggota-anggotanya secara aktif

membangun narasi yang politis, namun peneliti berargumen bahwa sebuah sisterhood tidak

harus selalu berfungsi sebagai sebuah kendaraan politis. Ini peneliti temukan dalam Kolektif

Betina, di mana para informan justru menyatakan bahwa Kolektif Betina lebih mirip dengan

sebuah kelompok pertemanan dan support system ketimbang sebuah gerakan sosial yang

bersifat politis. Kolektif Betina pun tidak menyatakan diri sebagai sebuah kolektif feminis.

                                                                                                                         4  Informan menggunakan frasa safe space ketika ditanyai mengenai manfaat Kolektif Betina.  

Feminine Writing ..., Wenugobal Manggala Nayahi, FISIP UI, 2017

Page 11: FEMININE WRITING SEBAGAI REAKSI PEREMPUAN ATAS …

Kolektif Betina lebih ditujukan agar para perempuan di dalamnya memiliki tempat yang

aman untuk saling berbagi. Di dalam Kolektif Betina, informan memperoleh berbagai bentuk

pengetahuan dan dukungan dari perempuan lain yang sama-sama tertindas. Pengetahuan dan

dukungan ini kemudian menjadi kapital bagi individu agar narasinya sebagai seorang

perempuan di luar Kolektif Betina semakin kuat. Bentuk pemikiran kritis milik anggota-

anggotanya juga menjadi sebuah kapital. Kapital ini juga berguna di level kelompok, karena

sirkulasi kapital membuat Kolektif Betina menjadi solidaritas perempuan yang tidak hanya

saling berbagi pengalaman penindasan, namun juga memandang penindasan secara kritis dan

bergerak melalui ruang-ruang yang memungkinkan untuk melawan penindasan tersebut.

Informan juga mengemukakan keinginan agar perempuan-perempuan di tempat lain

membentuk ruang-ruang alternatif seperti Kolektif Betina. Ada keinginan untuk

menggandakan ruang aman yang sama, agar perempuan lain ikut mengakumulasi jenis-jenis

kapital yang serupa.

Proses mengupayakan ruang alternatif ini, di pandangan peneliti, adalah tahap

revitalisasi. Pada tahapan ini, muncul kesadaran dalam diri para perempuan bahwa habitus

patriarki bukannya tidak memiliki alternatif lain. Mulai muncul pengetahuan bahwa ada

pilihan lain yang tersedia bagi para perempuan. Dalam penelitian ini, kemunculan tahap

revitalisasi ditandai dengan perkenalan informan dengan sebuah arena yang berbeda dari

arena-arena dalam kehidupan informan sebelumnya: skena punk. Sebanyak 6 dari 7 informan

merupakan perempuan yang pernah atau masih bersinggungan dengan skena punk. Di skena

punk, informan mulai mengenal zine sebagai media alternatif, etos DIY atau do it yourself,

ideologi dalam subkultur punk, konsep kemandirian dan kreativitas, konsep solidaritas,

budaya berkolektif, narasi-narasi yang bersifat politis, seksisme, solidaritas, isu-isu

perempuan, dan mulai tumbuh kesadaran untuk membentuk jejaring dengan individu dan

komunitas lainnya. Perkenalan informan dengan skena punk ini adalah bentuk mobilisasi

arena yang disarankan oleh Bourdieu dan Wacquant (1992 dalam Chambers, 2005: 340).

Menurut keduanya, perpindahan arena akan menyebabkan interaksi antar kelompok

meningkat, dan nilai-nilai yang sudah ditanamkan habitus sejak lama perlahan mulai goyah

ketika bertemu dengan nilai-nilai baru yang berbeda.

Para informan yang melakukan mobilisasi arena menuju skena punk ini sebenarnya

sedang melakukan gatecrashing (Lovell, 2000). Para perempuan ini berupaya memasuki

skena punk, yang adalah arena di mana perempuan kerap dieksklusikan secara informal, dan

tidak dianggap serius sebagai salah seorang aktor dalam arena tersebut. Lovell (2010)

menjelaskan fenomena ini sebagai cross-gender habitus. Tindakan mengeksklusi perempuan

Feminine Writing ..., Wenugobal Manggala Nayahi, FISIP UI, 2017

Page 12: FEMININE WRITING SEBAGAI REAKSI PEREMPUAN ATAS …

dalam skena punk ini diperkuat dengan pernyataan para informan mengenai posisi perempuan

di skena. Para informan pernah mengalami kekerasan seksual berupa pelecehan fisik saat

sedang berada di skena. Beredar pula anggapan bahwa perempuan berperan sebagai

‘pemanis’ di dalam skena—jika sebuah grup musik punk memiliki personil perempuan, akan

lebih banyak pula penonton yang hadir. Informan melihat bahwa masih banyak anggapan

bahwa perempuan di skena punk sekedar berperan sebagai objek untuk dipandangi. Pelecehan

di dalam skena seringkali diwajarkan dengan argumen-argumen seperti perempuan harusnya

tidak berada di skena tersebut, karena punk adalah arena dengan mayoritas laki-laki sebagai

aktor (Leblanc, 1999). Praktik ini tentunya kontradiktif dengan ideologi dalam subkultur punk

yang menghargai kebebasan individu dan menolak bentuk-bentuk penindasan oleh

kekuasaan. Ideologi politik dalam skena punk terdiri dari inklusivitas dan perlawan terhadap

seksisme (Moore, 2004), sementara pada kenyataannya praktik-praktik di dalamnya justru

seringkali menindas perempuan. Informan dihadapkan pada sebuah situasi dilematis, di mana

informan telah melakukan mobilisasi arena dan menemukan berbagai narasi politis yang

memicu kesadaran kritis dalam arena yang baru, namun arena baru ini ternyata juga

membungkam informan sampai batas-batas tertentu.

Sebuah pola menarik yang terus-menerus muncul pada proses dekonstruksi pada para

informan. Mereka menyatakan tertarik pada isu perempuan awalnya karena diperkenalkan

kepada medium zine dalam skena punk. Zine berperan banyak mengajarkan para informan

mengenai isu-isu perempuan, yang dibalut dengan semangat kebebasan dan otoritas dan tidak

pernah informan dapatkan sebelumnya. Informan mengaku zine merupakan elemen penanda

yang penting dalam transisi mereka menuju pemikiran yang lebih kritis soal isu-isu

perempuan. Dari ketujuh informan, hanya ada satu informan yang sebelumnya tidak

bersinggungan dengan skena punk. Meski demikian, pendapat Bourdieu dan Wacquant

(1992) mengenai mobilisasi arena juga tetap berlaku pada informan ini, karena informan

mengaku mengenal isu-isu perempuan semenjak bergabung dengan sebuah organisasi

penghasil wacana soal perempuan dengan perspektif kritis, yakni Jurnal Perempuan.

Informan ini mengaku pandangannya soal isu-isu perempuan berubah semenjak mengenal

Jurnal Perempuan. Ia menyatakan mendapat banyak bahan bacaan, teori, dan konsep

mengenai feminisme dan gender di Jurnal Perempuan.

Beberapa narasi hadir dalam bentuk yang lebih populis dan merupakan bagian

berkesenian seperti zine, beberapa narasi lainnya hadir dalam bentuk tulisan-tulisan ilmiah

mengenai perempuan. Melalui narasi baru di sebuah arena yang baru, informan memahami

bahwa ada pilihan selain yang selama ini ditawarkan kepadanya oleh habitus patriarki. Di

Feminine Writing ..., Wenugobal Manggala Nayahi, FISIP UI, 2017

Page 13: FEMININE WRITING SEBAGAI REAKSI PEREMPUAN ATAS …

tahap revitalisasi ini, kerelaan yang ada pada diri informan saat menghadapi patriarki dan

relasi sosial antar gender pun perlahan-lahan runtuh. Informan mulai menyadari bahwa

kondisi ideal bagi perempuan bisa dicapai dan diupayakan.

Tahap radikalisasi dialami oleh para informan saat informan memutuskan untuk

menyuarakan penindasan dan pembungkaman yang selama ini mereka hadapi melalui

berbagai media. Pada tahap ini, muncul bentuk-bentuk feminine writing. Ada upaya di level

diskursif untuk memproduksi wacana mengenai isu-isu perempuan. Para informan mulai

menyuarakan soal isu-isu yang dekat dengan keseharian informan sebagai seorang

perempuan. Isu-isu ini mencakup pengalaman pribadi informan, perasaan informan, tubuh

dan seksualitas, pembungkaman dan kekerasan yang dihadapi, dan seterusnya. Karenanya,

peneliti menemukan bahwa tahap radikalisasi terletak di level yang sama dengan mulainya

para informan melakukan feminine writing.

Setelah muncul kesadaran bahwa perempuan tidak mendapatkan ruang di media dan

di masyarakat, muncul keinginan dalam diri informan untuk ikut andil menjadi subjek dari

ceritanya sendiri. Informan menggunakan berbagai medium untuk menyuarakan

keprihatinannya pada masing-masing isu. Berdasarkan data temuan penelitian, 6 dari 7

informan pernah dan masih aktif menjadikan zine sebagai ruang di mana informan bisa

bersuara. Zine merupakan media yang paling banyak digunakan individu. Chu (1997)

mengamati bahwa perbedaan zine di masa lalu dengan masa sekarang adalah bahwa kini,

publikasi zine tidak banyak membahas isu tertentu yang spesifik, tapi lebih berfokus pada

hidup keseharian dari penulisnya. Ia melihat bahwa penulis-penulis zine yang mudah

cenderung membuat personal zines atau perzines, yang bersifat otobiografis dan sangat intim.

Para informan pun menggunakan zine untuk menceritakan hal-hal yang bersifat personal dan

memalukan. Seperti dikemukakan oleh Schilt dan Zobl (2008, dalam Zobl, 2009) pembuat

zine memilih jalan self-publishing karena bermacam alasan: ekspresi personal, bentuk

kreativitas, juga sebagai sebuah alat dan ruang yang suportif untuk mencari orang dan

komunitas lain dengan pemikiran serupa. Hal-hal tersebut digarisbawahi oleh informan JN

dan IV, yang lebih banyak menghasilkan zine dibanding informan lainnya. Ada keinginan

kuat dari informan untuk mengekspresikan diri secara bebas dan tidak dibatasi standardisasi

tertentu.

Selain zine, media yang digunakan bervariasi, yakni media berupa teks: upaya verbal,

kolase, film dokumenter, blog, musik, tulisan, seni rupa, serta media bukan teks: aktivisme

dan pembentukan kolektif feminis. Secara garis besar, karakteristik penggunaan media

informan sangat dipengaruhi oleh etos DIY (do it yourself) yang merupakan landasan dari

Feminine Writing ..., Wenugobal Manggala Nayahi, FISIP UI, 2017

Page 14: FEMININE WRITING SEBAGAI REAKSI PEREMPUAN ATAS …

skena punk (Moore, 2010). Informan cenderung memilih untuk menggunakan media secara

mandiri, tanpa intervensi dari pihak-pihak seperti lembaga, institusi, maupun industri. Peneliti

membagi praktik bermedia informan ke dalam beberapa karakteristik, yakni: menjunjung

tinggi kebebasan dalam berkarya dan menjadi bentuk resistensi terhadap media arus utama,

mendorong deprofesionalisasi dan amateurism, penggunaan media bersifat reflektif, feminine

writing ditujukan sebagai alat berjejaring, alat edukasi atau consciousness-raising,

mendorong pembentukan ruang-ruang bersuara bagi perempuan, dan mendorong perempuan

lain agar aktif membangun narasi dan menyuarakan pemikirannya masing-masing.

Karakteristik menjunjung tinggi kebebasan dalam berkarya tampak pada seluruh

penggunaan media informan. Informan sangat menghargai semangat kebebasan dalam

menggunakan media, dan menunjukkan ketidaksukaan terhadap aturan-aturan yang

membatasi karya dan format karya informan. Ketidaksukaan ini ditunjukkan informan dengan

menjadikan aturan-aturan seperti format, deadline, konten, dan larangan-larangan yang ada

dalam industri media arus utama sebagai acuan. Semangat DIY ini sangat terasa dalam

penggunaan media informan, terutama informan yang pernah dan masih aktif dalam skena

punk. Menurut Dunn (2016) skena punk memang bekerja dengan baik pada level personal,

karena etos DIY memberikan kesempatan untuk pemberdayaan diri dan disalienasi

(disalienation).

Karakteristik lainnya ialah deprofesionalisasi dan mendorong keamatiran individu.

Bentuk-bentuk deprofesionalisasi ini ditunjukkan dengan tidak adanya standar atau nilai

‘bagus’ yang ditetapkan individu atas karyanya sendiri. Selain itu, beberapa informan sadar

bahwa karya seni yang dihasilkan tidak mensyaratkan pengalaman atau pendidikan di bidang

seni sebelumnya. Sebagai contoh, informan IV menyadari bahwa untuk menghasilkan kolase

ia hanya membutuhkan kemampuan gunting dan tempel (cut and paste). IV mengakui bahwa

ia memiliki kekurangan, yakni tidak punya kemampuan di bidang desain grafis atau dunia

digital. Salah satu informan yang memproduksi film dokumenter, HM, menyadari bahwa ia

tidak memiliki pengetahuan soal teknik-teknik perfilman. Namun, batasan ini tidak

menghentikan niat HM. Ia tetap mencoba memproduksi film tersebut meski menurutnya ia

tidak memiliki kemampuan di bidang tersebut. Informan yang membuat zine pun tidak

mengupayakan agar zinenya bagus. Standardisasi-standardisasi yang biasa ada pada media

arus utama coba dihilangkan oleh informan. KJ yang adalah seorang musisi, memilih

berkarya di ranah independen. Ia mengaku pernah ditawari kontrak oleh salah satu label

rekaman ternama di Indonesia, namun tidak sampai ke tahap selanjutnya karena ada

kecurangan dari pihak label yang membuatnya tidak lagi mempercayai pihak tersebut. KJ

Feminine Writing ..., Wenugobal Manggala Nayahi, FISIP UI, 2017

Page 15: FEMININE WRITING SEBAGAI REAKSI PEREMPUAN ATAS …

menjelaskan, ada hal-hal tertentu seperti tuntutan penampilan, pencitraan, aturan-aturan

dalam penulisan lagu, aturan pembawaan lagu, dan lain-lain yang menurutnya membatasi

pergerakannya sebagai seorang musisi.

Selanjutnya, peneliti menemukan bahwa penggunaan media informan banyak

berfungsi sebagai bentuk refleksi terhadap diri sendiri, sebagai ruang melepaskan emosi

pribadi. Informan yang menghasilkan zine menyatakan bahwa zine yang dibuat bersifat

personal, atau biasa disebut dengan perzines (personal zines). Chidgey (2006: 3) menyatakan

bahwa para penulis zine seringkali adalah seorang subjek yang resisten, menulis sebagai

bentuk perlawanan terhadap media arus utama dengan menggunakan metode publikasi

golongan pinggir, serta mendokumentasikan kehidupan mereka yang tidak terwakilkan dari

catatan publik. Para informan cenderung menggunakan zine untuk menceritakan hal-hal

memalukan yang selama ini tidak bisa diceritakan kepada orang lain. Melalui zine, informan

menjadi lebih terbuka, termasuk terhadap pengalamannya mengalami kekerasan di masa lalu.

Zine juga berfungsi sebagai obat penawar sakit hati, karena bisa menyalurkan perasaan

penulisnya dengan lebih leluasa. Informan lHM, yang menulis mengenai pencapaian teman-

teman perempuannya di blog pribadinya, mengaku bahwa menulis adalah media terapi

baginya. HM menyadari bahwa ada perasaan negatif dan ingin berkompetisi dalam dirinya

ketika dihadapkan dengan pencapaian perempuan-perempuan lain. Karena menyadari hal

tersebut tidak baik, HM kemudian menuliskan prestasi perempuan-perempuan yang ia kenal

agar bisa mengubah kebiasaan buruknya sebelumnya.

Karakteristik penggunaan media informan lainnya adalah sebagai upaya untuk

membentuk jejaring atau networking. Ada kebutuhan untuk menyuarakan hal-hal tertentu

dengan tujuan membentuk jejaring, mencari orang-orang lain yang memiliki pikiran dan

pendapat yang sama. Para informan pun mengaku bahwa media yang mereka gunakan kini,

beserta bentuk-bentuk feminine writing yang mereka lakukan, telah mengenalkan mereka

kepada banyak orang. Teman-teman informan bertambah ketika mereka telah menghasilkan

narasi sendiri di tengah khalayak. Peneliti melihat bahwa hal ini juga adalah upaya informan

untuk mengakumulasi kapital, terutama kapital sosial. Ketika dihadapkan pada

pembungkaman-pembungkaman, individu kemudian mencari orang-orang lain yang

mengalami pembungkaman yang sama, maupun yang tidak terbungkam namun menyetujui

pemikiran individu. Menyuarakan sesuatu secara kolektif memberikan rasa aman bagi

individu.

Berikutnya, informan menggunakan media dan melakukan feminine writing sebagai

upaya memberikan edukasi bagi khalayak, khususnya kepada perempuan-perempuan lain.

Feminine Writing ..., Wenugobal Manggala Nayahi, FISIP UI, 2017

Page 16: FEMININE WRITING SEBAGAI REAKSI PEREMPUAN ATAS …

Peneliti menemukan bahwa upaya inilah yang paling banyak muncul dalam penggunaan

media informan. Ada keinginan besar dari tiap informan agar khalayak luas memahami

persoalan yang terjadi kepada perempuan. Upaya ini dijelaskan oleh MacKinnon (1989)

melalui terminologi consciousness raising. Sangat perlu bagi feminis untuk melakukan

dekonstruksi melalui consciousness-raising (Chambers, 2005). Dekonstruksi inilah yang coba

dilakukan oleh para informan. Informan mengerahkan kapital budaya, sosial, dan simbolik

yang dimiliki untuk melakukan consciousness-raising. Informan yang aktif di skena punk

secara aktif membangun narasi dan melakukan feminine writing melalui lirik lagu, melalui

sesi orasi, dan melalui ajakan-ajakan sebelum acara dimulai (woro-woro) yang terus-menerus

mengingatkan anggota skena bahwa pelecehan terhadap perempuan masih sering terjadi di

skena punk, dan bahwa skena punk bukan milik laki-laki saja. Seksisme di ranah punk ini

banyak dibahas oleh informan yang masih aktif beraktivitas di skena punk. Seperti ajakan

hooks, perempuan harusnya menyadari perbedaan antara ‘menemukan’ diri sebagai bagian

dari kelompok marjinal, dan memilih untuk menjadikan marjinalitas sebagai sebuah ruang

(site) resistensi, untuk mencapai keterbukaan yang radikal akan kemungkinan-kemungkinan

baru. Memanfaatkan marjinalitas sebagai ruang resistensi inilah yang peneliti lihat

terkandung dalam diri para informan. Meski telah berulang kali mengalami pelecehan di

dalam skena, informan mengaku bahwa tidak ada keinginan untuk meninggalkan skena punk

tersebut. Ada perasaan emosional yang mengikat informan dengan skena punk, karena

informan merasa telah mendapatkan banyak manfaat dari skena punk.. Karenanya, informan

memanfaatkan arena yang kontradiktif ini—arena yang menolak bentuk-bentuk penindasan

sambil pula menindas anggota perempuannya—untuk melakukan resistensi dengan cara dan

mediumnya masing-masing. Sebagai contoh, informan HM yang tidak lagi aktif berkarya di

skena, memutuskan untuk membuat sebuah film dokumenter mengenai pelecehan yang sering

dihadapi perempuan dalam skena. JN, yang mencatat bahwa perempuan lebih didengarkan

ketika bicara dalam skena, secara sadar menggunakan feminine capital (Skeggs, 2004, dalam

Huppatz, 2009) yang ia miliki agar bisa bersuara melalui sesi orasi sebelum mulai bermain

musik.

Informan lain menggunakan kapital yang dimiliki sebagai seorang pemusik untuk

menyuarakan isu-isu perempuan lewat lagu. Beberapa informan pun aktif menulis melalui

media-media lokal yang independen, juga melalui media sosial seperti Facebook. Informan

yang memiliki jaringan pertemanan yang lebih luas dari yang lain, seperti KJ, IV, dan SR

juga menggunakan kapital sosial yang dimiliki untuk membentuk kolektif feminis baru, yang

secara spesifik bertujuan menghasilkan kampanye-kampanye terkait persoalan perempuan.

Feminine Writing ..., Wenugobal Manggala Nayahi, FISIP UI, 2017

Page 17: FEMININE WRITING SEBAGAI REAKSI PEREMPUAN ATAS …

Upaya yang bersifat verbal pun dilakukan oleh para informan. Upaya verbal ini bentuknya

mengingatkan ketika informan menemukan ada orang sekitar atau kerabat dekat informan

yang berperilaku seksis dan merendahkan perempuan.

MacKinnon (1989: 101) menyatakan bahwa consciousness-raising berusaha

menjelaskan situasi perempuan lewat cara yang mengafirmasi bahwa perempuan bisa

melakukan sesuatu untuk mengubahnya. Tak hanya melakukan feminine writing, informan

juga meyakinkan perempuan-perempuan lain bahwa pembungkaman dan penindasan bisa

dilawan. Sebagai contoh, informan AS secara sadar membela perempuan yang ia lihat

mengalami pelecehan dalam ruang publik seperti kendaraan umum, untuk menunjukkan

kepada perempuan lain bahwa perempuan harus saling menjaga satu sama lain. Selain itu,

consciousness raising mendorong mereka yang teropresi untuk melawan opresi yang terjadi

pada perempuan lain. Proses unlearning lewat Kolektif Betina mengajarkan perempuan untuk

berhenti melukai dan membungkam satu sama lain, lalu bersatu melawan penindasan dengan

kekuatan-kekuatan kecil serta kapital yang dimiliki.

Kesimpulan

1. Seluruh informan pernah mengalami pembungkaman yang dilakukan oleh kelompok

dominan, yakni laki-laki. Pembungkaman yang dihadapi oleh informan beragam

bentuknya, mulai dari pelecehan verbal sampai dengan kekerasan seksual. Dulunya,

informan tidak menyuarakan perlawanan akan penindasan ini, karena informan masih

berada dalam tahap kapitulasi, dimana tidak ada pemahaman akan kondisi ideal yang

memungkinkan bagi perempuan. Pada tahap ini, informan sampai ikut mengadopsi

perspektif patriarkis, yang salah satunya termanifestasikan dengan mengadopsi bahasa

dan cara pandang penindas dalam memandang perempuan lain. Sebelum menemukan

Kolektif Betina, informan sempat mengalami bentuk-bentuk pertemanan yang tidak sehat

dengan perempuan-perempuan lainnya. Anggapan bahwa pertemanan perempuan selalu

dipenuhi dengan negativitas terpatahkan sejak informan bergabung dengan Kolektif

Betina. Proses unlearning atau dekonstruksi pengetahuan kognitif mengenai solidaritas

perempuan membawa informan kepada pemahaman bahwa kelompok pertemanan

perempuan yang sehat mungkin terbentuk.

2. Tahap revitalisasi dimulai ketika informan mengenal skena punk dan melakukan

mobilisasi arena, berpindah dari arena lamanya ke sebuah arena yang baru. Disini, skena

punk berperan penting dalam memberikan pemahaman alternatif kepada informan

mengenai otoritas terhadap diri sendiri. Informan mengaku mendapatkan banyak hal dari

Feminine Writing ..., Wenugobal Manggala Nayahi, FISIP UI, 2017

Page 18: FEMININE WRITING SEBAGAI REAKSI PEREMPUAN ATAS …

skena punk, termasuk pemahaman mengenai kondisi perempuan yang ideal. Informan

mulai mengenal bacaan-bacaan, narasi, dan teks yang sifatnya kritis (terutama didapatkan

dari zine) yang pada akhirnya memperbarui cara pikir informan. Informan mulai

mengetahui pentingnya perempuan bebas dari bentuk-bentuk penindasan yang selama ini

dialami. Perkenalan informan dengan teks-teks tersebut mendorong informan untuk

menuju tahap radikalisasi.

3. Tahap radikalisasi dimulai ketika informan secara sadar melakukan aktivitas komunikasi

dan menggunakan media untuk menciptakan ruang demi mengupayakan feminine

writing. Aktivitas komunikasi ini mengambil wujud yang berbeda-beda di tiap informan,

tergantung dari kapasitas yang informan miliki, dan isu dimana informan menaruh

perhatian paling besar. Media yang informan pilih untuk digunakan pun tergantung dari

kemampuan informan, pemahaman informan akan karakteristik media tersebut, serta

kapital yang dimiliki oleh informan. Dalam melakukan feminine writing, informan

banyak dipengaruhi oleh etos DIY atau do it yourself yang berasal dari skena punk.

Karakteristik upaya penggunaan media untuk melakukan feminine writing informan

memiliki beberapa kesamaan, yakni: dekonstrusi, menjunjung tinggi kebebasan dalam

berkarya dan menjadi bentuk resistensi terhadap media arus utama, mendorong

deprofesionalisasi dan amateurism, penggunaan media bersifat reflektif terhadap diri

sendiri, feminine writing ditujukan sebagai alat berjejaring, alat edukasi atau

consciousness-raising, mendorong pembentukan ruang-ruang bersuara bagi perempuan,

dan mendorong perempuan lain agar aktif membangun narasi dan menyuarakan

pemikirannya masing-masing.

4. Upaya consciousness-raising yang dilakukan informan sebagai seorang individu serta

Kolektif Betina sebagai sebuah kelompok merupakan temuan yang penting bagi

penelitian. Upaya ini menunjukkan bahwa karakteristik aktivitas komunikasi perempuan

dalam menciptakan ruang untuk membangun narasi sangat dipengaruhi oleh keinginan

perempuan menciptakan ruang yang aman bagi perempuan-perempuan lainnya.

5. Rangkaian tahapan yang dialami informan dan Kolektif Betina tersebut pada akhirnya

menjawab pertanyaan penelitian. Perempuan yang menjadi anggota Kolektif Betina

menciptakan ruang untuk melakukan feminine writing setelah melewati ketiga tahapan;

kapitulasi, revitalisasi, dan radikalisasi. Di tahap radikalisasi, ada kesadaran dan

komitmen kuat untuk menuju kepada perubahan yang radikal. Pada studi kasus Kolektif

Betina, perubahan yang dimaksud tidak harus selalu bersifat revolusioner. Perubahan ini

bersifat memberdayakan diri sendiri, mengklaim ruangan-ruangan kecil di tengah

Feminine Writing ..., Wenugobal Manggala Nayahi, FISIP UI, 2017

Page 19: FEMININE WRITING SEBAGAI REAKSI PEREMPUAN ATAS …

masyarakat agar perempuan bisa ikut bersuara. Termasuk di dalam perubahan tersebut

adalah upaya perempuan-perempuan dalam Kolektif Betina untuk mengakumulasi

kapital, baik secara individu maupun secara kolektif. Kumpulan kapital inilah yang pada

akhirnya digunakan untuk meningkatkan kesadaran perempuan-perempuan lain bahwa

penindasan dapat dilawan, serta memberikan gambaran mengenai kondisi ideal kepada

perempuan-perempuan yang masih mengalami penindasan.

Saran

1. Penelitian ini menyediakan landasan bagi pemahaman akan bagaimana perempuan

menciptakan ruang untuk menyerukan suaranya sebagai seorang perempuan dalam

kondisi patriarkis. Temuan data menunjukkan bahwa media online atau digital tidak

banyak dipakai oleh subjek penelitian. Penelitian selanjutnya dapat mendalami mengenai

bagaimana perempuan memanfaatkan integrasi antara media online dan offline dalam

menciptakan ruang-ruang di media.

2. Penelitian selanjutnya dapat mengeksplorasi lebih dalam mengenai peran perempuan

dalam subkultur punk di Indonesia, karena ternyata subkultur ini memberikan banyak

pengaruh bagi kehidupan dan pemikiran perempuan di dalamnya.

3. Bagi pihak pembuat kebijakan terkait isu-isu dan kondisi perempuan di media, penelitian ini memberi implikasi mengenai bagaimana perempuan bereaksi dalam menghadapi penindasan yang dialami. Penelitian menunjukkan bahwa upaya perempuan menciptakan ruang yang aman melalui kebebasan berekspresi seringkali menghadapi pembungkaman dari pihak-pihak tertentu. Hal ini diharapkan mampu mendorong pembuat kebijakan untuk menciptakan strategi agar penindasan terhadap perempuan tersebut dapat diberantas, sehingga perempuan memiliki lebih banyak ruang untuk berkarya.

Daftar Referensi

Bourdieu, Pierre (2001) Masculine Domination. Cambridge: Polity Press. Bourdieu, Pierre dan Wacquant, L. (1992) An Invitation to Reflexive Sociology. Cambridge: Polity Press. Bulhan, H. A. (1985). Frantz Fanon and the psychology of oppression. New York: Plenum Press. Chambers, C. (2005). Masculine domination, radical feminism and change. London: SAGE Publications. Vol. 6(3): 325–346. 1464–7001 DOI: 10.1177/1464700105057367. Chu, J. (1997). Navigating the Media Environment: How Youth Claim a Place Through Zines. Social Justice, Vol. 24, No. 3 (69), Children and The Environment (Fall 1997), pp.71-85.

Feminine Writing ..., Wenugobal Manggala Nayahi, FISIP UI, 2017

Page 20: FEMININE WRITING SEBAGAI REAKSI PEREMPUAN ATAS …

Chidgey, R. The Resisting Subject: Per-zines as life story data. University of Sussex Journal of Contemporary History, 10, (2006). Creswell, J. W. (2014). Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. California: SAGE Publications. Dunn, Kevin. 2016. Global Punk: Resistance and Rebellion in Everyday Life. New York: Bloomsbury. Fanon, F. (1961). The Wretched of The Earth. New York: Grove Weidenfield. Hebdige, D. (1979). Subculture: The meaning of style. London: Methuen. Hooks, B. 1984. Feminist Theory: From Margin to Center. Boston, MA: South End Press. Huppatz, K. (2009). Reworking Bourdieu's `Capital': Feminine and Female Capitals in the Field of Paid Caring Work. Volume 43(1): 45–66. DOI: 10.1177/0038038508099097. Lovell, T. (2000). Thinking feminism with and against Bourdieu. Feminist Theory (London, Thousand Oaks, CA and New Delhi) Vol. 1(1): 11–32. DOI: [1464-7001 (200004) 1:1;11–32; 012009]. MacKinnon, C.A. 1989. Toward A Feminist Theory of the State. Cambridge, MA: Harvard University Press. Moore, H. L. (2007). The Subject of Anthropology: Gender, Symbolism, and Psychoanalisis. Cambridge: Polity Press. Moran, I. P. (2010). Punk: The Do-It-Yourself Subculture. Social Sciences Journal: Vol. 10 (1), Article 13. Roberts, M. dan Moore, R. (2009). Peace Punks And Punks Against Racism: Resource Mobilization And Frame Construction In The Punk Movement. Music and Arts in Action 2(1). San Diego State University. ISSN: 1754-7105. Rubin, A. dan Babbie, Earl R. (2010). Research Methods for Social Work. California: Brooks/Cole. Spender, Dale. (1980). Man Made Language. London: Routledge & Kegan Paul. Strinati, D. (2009). An Introduction to Theories of Popular Culture: Second Edition. London: Routledge. Tong, R. P. (2009). Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction. Colorado: Westview Press. Vaughan, Diane. (1992). Theory elaboration: The heuristics of case analysis. In What is a case? Exploring the foundations of social inquiry, edited by C. Ragin and H. Becker, pp. 173–202. Cambridge: Cambridge University Press. Yin, Robert K. (2003). Case Study Research: Design and Methods. California: SAGE Publications. Yin, Robert K. (2011). Qualitative Research from Start to Finish. New York: The Guilford Press. Zobl, E. (2009). Cultural Production, Transnational Networking, and Critical Reflection in Feminist Zines. Chicago: The University of Chicago Press. Signs, Vol. 35, No. 1 (Autumn 2009), pp. 1-1

Feminine Writing ..., Wenugobal Manggala Nayahi, FISIP UI, 2017