fd9c202ade938a44051b29daa98aed49

56
http://litbang.tangerangkota.go.id Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Kota Tangerang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Dasar Pemikiran Peta Ketahanan Pangan merupakan kebutuhan esensial bagi kehidupan manusia, karena pangan selain sangat dibutuhkan bagi pemenuhan kebutuhan psikologis, pangan juga dapat membentuk SDM sebagai aset bagi pembangunan bangsa dan negara. Masalah pangan akan dapat menjadi pemicu terjadinya masalah rawan pangan dan masalah gizi. Meskipun Indonesia mengalami pemulihan yang cukup berarti sejak krisis ekonomi tahun 1998, namun masalah kemiskinan, kerawanan pangan dan gizi masih cukup besar dan beragam antar provinsi dan kabupaten. Kerawanan pangan adalah suatu kondisi ketidakcukupan pangan yang dialami daerah, masyarakat, atau rumah tangga, pada waktu tertentu untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologi bagi pertumbuhan dan kesehatan masyarakat. Kerawanan pangan dapat terjadi secara berulang-ulang pada waktu-waktu tertentu (kronis), dan dapat pula terjadi akibat keadaan darurat seperti bencana alam maupun bencana sosial (transien). Sebelum tahun 2005, tidak ada sarana untuk menganalisa dan mengklasifikasi ketahanan dan kerentanan pangan di Indonesia. Karena data yang tersedia hanya ada pada tingkat nasional, maka variasi data antar daerah tidak terlihat dengan jelas. Hal ini menyebabkan sulitnya menentukan daerah dan alokasi sumber daya untuk menanggulangi kerawanan pangan di daerah yang rentan. Pada tahun 2003-2005, DKP, Badan Ketahanan Pangan provinsi dan kabupaten bekerja sama dengan World Food Programme (WFP) menyusun Peta Kerawanan Pangan Indonesia (Food Insecurity Atlas-FIA) yang diluncurkan pada bulan Agustus 2005. FIA 2005 tersebut menggambarkan pemeringkatan situasi ketahanan pangan pada 265 kabupaten di 30 provinsi. Menurunkan tingkat kemiskinan, kerawanan pangan dan kesenjangan antar wilayah tetap merupakan tantangan yang besar bagi pihak perencana dan pengambil kebijakan. Luasnya wilayah, keanekaragaman budaya dan terkonsentrasinya penduduk miskin di daerah tertentu merupakan hambatan untuk menentukan tingkat kerawanan pangan. Peluncuran FIA 2005 ternyata masih menyebabkan kesalahpahaman mengenai pengertian pemeringkatan kabupaten. Kata kerawanan pangan (food insecurity) di indikasikan secara langsung bahwa kabupaten-kabupaten peringkat bawah adalah kabupaten yang memiliki penduduk rawan pangan. Oleh

description

fd9c202ade938a44051b29daa98aed49

Transcript of fd9c202ade938a44051b29daa98aed49

Page 1: fd9c202ade938a44051b29daa98aed49

http

://litb

ang.

tang

eran

gkot

a.go

.id

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Kota Tangerang 1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang dan Dasar Pemikiran Peta Ketahanan

Pangan merupakan kebutuhan esensial bagi kehidupan manusia, karena

pangan selain sangat dibutuhkan bagi pemenuhan kebutuhan psikologis, pangan juga

dapat membentuk SDM sebagai aset bagi pembangunan bangsa dan negara. Masalah

pangan akan dapat menjadi pemicu terjadinya masalah rawan pangan dan masalah

gizi. Meskipun Indonesia mengalami pemulihan yang cukup berarti sejak krisis

ekonomi tahun 1998, namun masalah kemiskinan, kerawanan pangan dan gizi masih

cukup besar dan beragam antar provinsi dan kabupaten. Kerawanan pangan adalah

suatu kondisi ketidakcukupan pangan yang dialami daerah, masyarakat, atau rumah

tangga, pada waktu tertentu untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologi bagi

pertumbuhan dan kesehatan masyarakat. Kerawanan pangan dapat terjadi secara

berulang-ulang pada waktu-waktu tertentu (kronis), dan dapat pula terjadi akibat

keadaan darurat seperti bencana alam maupun bencana sosial (transien).

Sebelum tahun 2005, tidak ada sarana untuk menganalisa dan mengklasifikasi

ketahanan dan kerentanan pangan di Indonesia. Karena data yang tersedia hanya ada

pada tingkat nasional, maka variasi data antar daerah tidak terlihat dengan jelas. Hal

ini menyebabkan sulitnya menentukan daerah dan alokasi sumber daya untuk

menanggulangi kerawanan pangan di daerah yang rentan. Pada tahun 2003-2005,

DKP, Badan Ketahanan Pangan provinsi dan kabupaten bekerja sama dengan World

Food Programme (WFP) menyusun Peta Kerawanan Pangan Indonesia (Food

Insecurity Atlas-FIA) yang diluncurkan pada bulan Agustus 2005. FIA 2005 tersebut

menggambarkan pemeringkatan situasi ketahanan pangan pada 265 kabupaten di 30

provinsi.

Menurunkan tingkat kemiskinan, kerawanan pangan dan kesenjangan antar

wilayah tetap merupakan tantangan yang besar bagi pihak perencana dan pengambil

kebijakan. Luasnya wilayah, keanekaragaman budaya dan terkonsentrasinya

penduduk miskin di daerah tertentu merupakan hambatan untuk menentukan tingkat

kerawanan pangan. Peluncuran FIA 2005 ternyata masih menyebabkan

kesalahpahaman mengenai pengertian pemeringkatan kabupaten. Kata kerawanan

pangan (food insecurity) di indikasikan secara langsung bahwa kabupaten-kabupaten

peringkat bawah adalah kabupaten yang memiliki penduduk rawan pangan. Oleh

Page 2: fd9c202ade938a44051b29daa98aed49

http

://litb

ang.

tang

eran

gkot

a.go

.id

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Kota Tangerang 2

karena itu, peta nasional kedua ini diberi judul baru yaitu “Peta Ketahanan dan

Kerentanan Pangan Indonesia-Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA)”.

1.2. Maksud dan Tujuan

Maksud perubahan nama Peta Kerawanan Pangan (FIA) menjadi Peta

Ketahanan dan Kerentanan Pangan Indonesia-Food Security and Vulnerability Atlas

(FSVA) adalah dilakukan dengan pertimbangan untuk memperjelas pengertian

mengenai konsep ketahanan pangan berdasarkan tiga dimensi ketahanan pangan

(ketersediaan, akses, dan pemanfaatan pangan) dalam semua kondisi bukan hanya

pada situasi kerawanan pangan saja. Pertimbangan yang kedua, FSVA juga

bermaksud untuk mengetahui berbagai penyebab kerawanan pangan secara lebih baik

atau dengan kata lain kerentanan terhadap kerawanan pangan, bukan hanya

kerawanan pangan itu sendiri.

Oleh karena itu, tujuan disusunnya FSVA ini sebagai sarana bagi para

pengambil kebijakan untuk secara cepat dalam mengidentifikasi daerah yang lebih

rentan di Kota Tangerang, dimana investasi dari berbagai sektor seperti pelayanan

jasa, pembangunan manusia dan infrastuktur yang berkaitan dengan ketahanan pangan

dapat memberikan dampak yang lebih baik terhadap penghidupan, ketahanan pangan,

dan gizi masyarakat.

1.3. Landasan Hukum

a. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan (Lembaran Negara Tahun

1996 Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3656);

b. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran

Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437)

juncto Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Tahun 2008

Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4844);

c. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan

(Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Nomor

4254);

d. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan

Penerapan Standar Pelayanan Minimal (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor

150, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4585);

Page 3: fd9c202ade938a44051b29daa98aed49

http

://litb

ang.

tang

eran

gkot

a.go

.id

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Kota Tangerang 3

e. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 25/Permentan/OT.140/2/2010 tentang

Pedoman Umum Program Pembangunan Ketahanan Pangan Lingkup Badan

Ketahanan Pangan Tahun 2010;

f. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 65/Permentan/OT.140/12/2010 tentang

Standar Pelayanan Minimal Bidang Ketahanan Pangan Provinsi dan

Kabupaten/Kota;

g. Peraturan Kepala Badan Ketahanan Pangan Nomor 10/Kpts/OT.140/K/03/2010

tentang Pedoman Teknis Pengembangan Ketersediaan Pangan dan Penanganan

Kerawanan Pangan Tahun 2010.

Page 4: fd9c202ade938a44051b29daa98aed49

http

://litb

ang.

tang

eran

gkot

a.go

.id

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Kota Tangerang 4

1.4. Sistematika Penulisan

Penulisan peta ketahanan dan kerentanan pangan Kota Tangerang dalam buku

ini akan dibagi dalam beberapa bab, yaitu:

BAB I. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang dan Dasar Pemikiran Peta Ketahanan Pangan

1.2. Maksud dan Tujuan

1.3. Landasan Hukum

1.4. Sistematika Penulisan

BAB II. Metodologi

2.1. Kerangka Konsep Ketahanan Pangan dan Gizi

2.2. Konsep Definisi

2.3. Indikator yang digunakan FSVA

BAB III. Ketersediaan Pangan di Kota Tangerang

3.1. Produksi

3.2. Rasio Konsumsi Normatif Per Kapita Terhadap Produksi Pangan

3.3. Tantangan Utama Pemenuhan Kecukupan

3.4. Strategi Untuk Meningkatkan Ketersediaan Pangan

BAB IV. Akses Terhadap Pangan dan Penghidupan di Kota Tangerang

4.1. Penduduk Di Bawah Garis Kemiskinan

4.2. Akses Terhadap Infrastruktur Dasar (Listrik dan Air)

BAB V. Pemanfaatan Pangan di Kota Tangerang

5.1. Akses Terhadap Fasilitas Kesehatan

5.2. Penduduk Dengan Akses Kurang Memadai Ke Air Bersih

5.3. Perempuan Buta Huruf

5.4. Status Gizi

5.5. Dampak (Outcome) Dari Status Kesehatan

BAB VI. Kerentanan Terhadap Kerawanan Pangan Kronis Berdasarkan

Indeks Ketahanan Pangan Komposit di Kota Tangerang

Page 5: fd9c202ade938a44051b29daa98aed49

http

://litb

ang.

tang

eran

gkot

a.go

.id

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Kota Tangerang 5

BAB II

METODOLOGI

2.1 Kerangka Konsep Ketahanan Pangan dan Gizi

World Food Summit (1996), ketahanan pangan didefinisikan sebagai:

”Ketahanan pangan terjadi apabila semua orang secara terus menerus, baik secara

fisik, sosial, dan ekonomi mempunyai akses untuk pangan yang memadai/cukup,

bergizi dan aman, yang memenuhi kebutuhan pangan mereka dan pilihan makanan

untuk hidup secara aktif dan sehat”. Pada FSVA 2009, analisis dan pemetaan

dilakukan berdasarkan pada pemahaman mengenai ketahanan dan kerentanan pangan

dan gizi seperti yang tercantum dalam Kerangka Konsep Ketahanan Pangan dan Gizi

(Gambar 1.1).

Page 6: fd9c202ade938a44051b29daa98aed49

http

://litb

ang.

tang

eran

gkot

a.go

.id

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Kota Tangerang 6

a. Ketahanan Pangan

Di Indonesia, Undang-undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan mengartikan

Ketahanan Pangan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang

tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman,

merata dan terjangkau. Sebagaimana FIA 2005, FSVA dibuat berdasarkan tiga pilar

ketahanan pangan: (i) ketersediaan pangan; (ii) akses terhadap pangan; dan (iii)

pemanfaatan pangan.

Ketersediaan pangan adalah tersedianya pangan secara fisik di daerah,

yang diperoleh baik dari hasil produksi domestik, impor/perdagangan maupun

bantuan pangan. Ketersediaan pangan ditentukan dari produksi domestik, masuknya

pangan melalui mekanisme pasar, stok pangan yang dimiliki pedagang dan

pemerintah, serta bantuan pangan baik dari pemerintah maupun dari badan bantuan

pangan. Ketersediaan pangan dapat dihitung pada tingkat nasional, provinsi,

kabupaten atau tingkat masyarakat.

Akses Pangan adalah kemampuan rumah tangga untuk memperoleh

cukup pangan, baik yang berasal dari produksi sendiri, pembelian, barter, hadiah,

pinjaman dan bantuan pangan maupun kombinasi diantara kelimanya. Ketersediaan

pangan di suatu daerah mungkin mencukupi, akan tetapi tidak semua rumah tangga

memiliki akses yang memadai baik secara kuantitas maupun keragaman pangan

melalui mekanisme tersebut di atas.

Pemanfaatan pangan merujuk pada penggunaan pangan oleh rumah

tangga, dan kemampuan individu untuk menyerap dan metabolisme zat gizi

(konversi zat gizi secara efisien oleh tubuh). Pemanfaatan pangan juga meliputi cara

penyimpanan, pengolahan dan penyiapan makanan termasuk penggunaan air dan

bahan bakar selama proses pengolahannya serta kondisi yang bersih, budaya atau

kebiasaan pemberian makan terutama untuk individu yang memerlukan jenis

makanan khusus, distribusi makanan dalam rumah tangga sesuai kebutuhan masing-

masing individu (pertumbuhan, kehamilan, menyusui dll), dan status kesehatan

masing-masing anggota rumah tangga.

Produksi dan ketersediaan pangan yang cukup di tingkat Kota tidak secara

otomatis menjamin ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga dan individu.

Pangan mungkin tersedia dan dapat diakses namun sebagian anggota rumah tangga

mungkin tidak mendapat manfaat secara maksimal apabila kelompok ini tidak

memperoleh distribusi pangan yang cukup, baik dari segi jumlah maupun keragaman

Page 7: fd9c202ade938a44051b29daa98aed49

http

://litb

ang.

tang

eran

gkot

a.go

.id

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Kota Tangerang 7

atau apabila kondisi tubuh mereka tidak memungkinkan penyerapan makanan karena

penyiapan makanan yang tidak tepat atau karena sedang sakit.

Kerangka konsep ketahanan pangan mempertimbangkan ketersediaan pangan,

akses terhadap pangan dan pemanfaatan pangan sebagai aspek-aspek utama penopang

ketahanan pangan serta menghubungkan aspek-aspek tersebut dengan kepemilikan

aset rumah tangga, strategi penghidupan, dan lingkungan politik, sosial, kelembagaan

dan ekonomi. Dengan kata lain, status ketahanan pangan suatu rumah tangga, atau

individu ditentukan oleh interaksi dari faktor lingkungan pertanian (agro-

environmental), sosial ekonomi dan biologi dan bahkan faktor politik.

b. Ketahanan Gizi

Ketahanan gizi di definisikan sebagai “akses fisik, ekonomi, lingkungan dan

sosial terhadap asupan makanan seimbang, air layak minum, kesehatan lingkungan,

pelayanan kesehatan dasar dan pendidikan dasar”. Ini berarti bahwa ketahanan gizi

membutuhkan kombinasi dari komponen makanan dan non-makanan.

Ketahanan gizi yang ditunjukkan oleh status gizi merupakan tujuan akhir dari

ketahanan pangan, kesehatan dan pola pengasuhan tingkat individu. Kerawanan

pangan adalah salah satu dari tiga penyebab utama masalah gizi. Penyebab utama

lainnya adalah status kesehatan dan kondisi kesehatan lingkungan masyarakat, dan

pola pengasuhan. Oleh karena itu, di manapun terjadi kerawanan pangan, maka akan

beresiko kekurangan gizi, termasuk kekurangan gizi mikro. Namun demikian, ini

tidak berarti bahwa kerawanan pangan adalah penyebab satu-satunya masalah gizi

kurang, tanpa mempertimbangkan faktor kesehatan dan pola asuh seperti kurangnya

akses ke air layak minum, sanitasi, fasilitas dan pelayanan kesehatan, rendahnya

kualitas pola asuh dan pemberian makan anak serta tingkat pendidikan ibu.

c. Kerentanan

Kerentanan terhadap kerawanan pangan mengacu pada suatu kondisi yang

membuat suatu masyarakat yang beresiko rawan pangan menjadi rawan pangan.

Tingkat kerentanan individu, rumah tangga atau kelompok masyarakat ditentukan

oleh tingkat keterpaparan mereka terhadap faktor-faktor resiko/goncangan dan

kemampuan mereka untuk mengatasi situasi tersebut baik dalam kondisi tertekan

maupun tidak.

Page 8: fd9c202ade938a44051b29daa98aed49

http

://litb

ang.

tang

eran

gkot

a.go

.id

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Kota Tangerang 8

2.2 Konsep dan Definisi

Kerawanan pangan adalah suatu kondisi ketidakcukupan pangan yang dialami

daerah, masyarakat atau rumah tangga pada waktu tertentu untuk memenuhi standar

kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan masyarakat. Kerawanan pangan

dapat bersifat kronis atau sementara/transien.

Kerawanan pangan kronis adalah ketidakmampuan jangka panjang atau

yang terus menerus untuk memenuhi kebutuhan pangan minimum atau dapat juga

didefinisikan Rawan Pangan kronis adalah ketidakmampuan rumah tangga untuk

memenuhi standar minimum kebutuhan pangan anggotanya pada periode yang lama

karena keterbatasan kepemilikan lahan, asset produktif dan kekurangan

pendapatan.Keadaan ini biasanya terkait dengan faktor strukural, yang tidak dapat

berubah dengan cepat, seperti iklim setempat, jenis tanah, sistem pemerintah daerah,

kepemilikan lahan, hubungan antar etnis, tingkat pendidikan, dll.

Kerawanan Pangan Sementara (Transitory food insecurity) adalah

ketidakmampuan jangka pendek atau sementara untuk memenuhi kebutuhan pangan

minimum. Keadaan ini biasanya terkait dengan faktor dinamis yang berubah dengan

cepat seperti penyakit infeksi, bencana alam, pengungsian, berubahnya fungsi pasar,

tingkat besarnya hutang, perpindahan penduduk (migrasi) dll. Kerawanan pangan

sementara yang terjadi secara terus menerus dapat menyebabkan menurunnya kualitas

penghidupan rumah tangga, menurunnya daya tahan, dan bahkan bisa berubah

menjadi kerawanan pangan kronis.

Penanganan rawan pangan dilakukan pertama melalui pencegahan kerawanan

pangan untuk menghindari terjadinya rawan pangan disuatu wilayah sedini mungkin

dan kedua melakukan penanggulangan kerawanan pangan pada daerah yang rawan

kronis melalui program-progam sehingga rawan pangan di wilayah tersebut dapat

tertangani, dan penanggulangan daerah rawan transien melalui bantuan sosial .

Salah satu pendekatan dalam pencegahan rawan pangan melalui pendekatan

adalah melalui : Penyusunan Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (A Food

Security and Vulnerability Atlas) disusun pada periode 3-5 tahunan yang

mengambarkan kondisi sampai tingkat kecamatan/desa sebagai acuan dalam

penentuan program.

Oleh karena itu, Kota Tangerang melakukan penyusunan Peta Ketahanan dan

Kerentanan Pangan (Food Security and Vulnerability Atlas) agar dapat melakukan

identifikasi ketahanan dan kerentanan pangan serta penguatan kelembagaan terkait

Page 9: fd9c202ade938a44051b29daa98aed49

http

://litb

ang.

tang

eran

gkot

a.go

.id

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Kota Tangerang 9

untuk penanganan rawan pangan, sehingga mampu melakukan pencegahan serta

penanggulangan kerawanan pangan yang menggambarkan kondisi sampai tingkat

kecamatan dalam menentukan peningkatan dan pengembangan program pangan di

daerah tersebut.

2.3 Indikator yang digunakan FSVA

Kerawanan pangan merupakan isu multi-dimensional yang memerlukan

analisis dari berbagai parameter tidak hanya produksi dan ketersediaan pangan saja.

Meskipun tidak ada cara spesifik untuk mengukur ketahanan pangan, kompleksitas

ketahanan pangan dapat disederhanakan dengan menitikberatkan pada tiga dimensi

yang berbeda namun saling berkaitan yaitu ketersediaan pangan, akses pangan oleh

rumah tangga dan pemanfaatan pangan oleh individu.

Indikator yang dipilih dalam FSVA ini berkaitan dengan tiga pilar ketahanan

pangan tersebut berdasarkan konsepsi Kerangka Konsep Ketahanan Pangan dan Gizi.

Disamping itu, pemilihan indikator juga tergantung pada ketersediaan data pada

tingkat kabupaten. Indikator yang digunakan untuk FSVA tertera pada Tabel 1.1. Dari

14 indikator yang digunakan pada FIA 2005, 13 indikator telah dipilih dan digunakan

dalam FSVA setelah melalui proses review oleh tim pengarah (Steering Committee)

dan tim pelaksana (Technical Working Group) FSVA yang telah dibentuk untuk

pemuktahiran FSVA. Karena data mengenai angka kematian bayi (Infant Mortality

Rate - IMR) tidak tersedia, maka indikator tersebut dikeluarkan dari indikator FSVA.

FSVA dikembangkan dengan menggunakan 9 indikator kerawanan pangan

kronis dan 4 indikator kerawanan pangan sementara/transien. Jenis data yang

digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari BPS, TNP2K, Dinas Pertanian

Kota Tangerang, Dinas kesehatan Kota Tangerang dan dinas/instansi terkait lainnya.

Pendekatan FSVA (Food Security and Vulnerability Atlas) adalah untuk

menganalisis tingkat ketahanan pangan berdasarkan indikator yang telah terseleksi

melalui penyusunan indeks tingkat ketahanan pangan pada masing-masing indikator.

Page 10: fd9c202ade938a44051b29daa98aed49

http

://litb

ang.

tang

eran

gkot

a.go

.id

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Kota Tangerang 10

Tabel 2.1: Indikator Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan

Indikator Sumber Data

Ketersediaan Pangan

1. Rasio konsumsi normatif per kapita terhadap

ketersediaan bersih „padi + jagung + ubi kayu + ubi

jalar

Dinas Pertanian Kota

Tangerang

Akses Terhadap Pangan dan Penghidupan

2. Persentase penduduk hidup di bawah garis

kemiskinan

TNP2K, Kantor Sekretariat

Wapres

3. Persentase desa yang tidak memiliki akses

penghubung yang memadai

PODES (Potensi Desa)

2011, BPS

4. Persentase rumah tangga tanpa akses listrik Sensus Penduduk (SP) 2010,

BPS

Pemanfaatan Pangan

5. Angka harapan hidup pada saat lahir Hasil Olahan SP2010, BPS

menggunakan metode trussel

(mortpak)

6. Berat badan balita di bawah standar (Underweight) Dinas Kesehatan Kota

Tangerang

7. Perempuan buta huruf Sensus Penduduk (SP) 2010,

BPS

8. Persentase rumah tangga tanpa akses ke air bersih Sensus Penduduk (SP) 2010,

BPS

9. Persentase rumah tangga yang tinggal lebih dari 5

km dari fasilitas kesehatan

PODES (Potensi Desa)

2011, BPS

Kerentanan Terhadap Kerawanan Pangan (untuk penghitungan indeks komposit tidak

digunakan)

Page 11: fd9c202ade938a44051b29daa98aed49

http

://litb

ang.

tang

eran

gkot

a.go

.id

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Kota Tangerang 11

10. Bencana alam SATKORLAK dan

SATLAK Penanggulangan

Bencana

11. Penyimpangan curah hujan BMKG

12. Persentase daerah puso Dinas Pertanian

13. Deforestasi hutan Kementrian Kehutanan

Untuk menentukan nilai akan dilakukan dengan menghitung indeks

dimana rumus indeks adalah : Indeks ij = minmax

min

ii

iij

XX

XX

Dimana :

ij = nilai ke – j dari indikator ke i

“min” dan “max” = nilai minimum dan maksimum dari indikator tersebut

Selanjutnya indeks ketahanan pangan komposit diperoleh dari

penjumlahan seluruh indeks indikator (9 indikator) kerentanan terhadap

kerawanan pangan. Indeks komposit kerawanan pangan dihitung dengan

cara sebagai berikut :

IFI 1/9 )( ELECHEALTHWATERNUTLEXLITROADPBPLAV IIIIIIIII

Page 12: fd9c202ade938a44051b29daa98aed49

http

://litb

ang.

tang

eran

gkot

a.go

.id

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Kota Tangerang 12

BAB III

KETERSEDIAAN PANGAN DI KOTA TANGERANG

Ketersediaan Pangan adalah ketersediaan pangan secara fisik di suatu

wilayah dari segala sumber, baik itu produksi pangan domestik, perdagangan pangan

dan bantuan pangan. Ketersediaan pangan ditentukan oleh produksi pangan di

wilayah tersebut, perdagangan pangan melalui mekanisme pasar di wilayah tersebut,

stok yang dimiliki oleh pedagang dan cadangan pemerintah, dan bantuan pangan dari

pemerintah atau organisasi lainnya. Produksi pangan tergantung pada berbagai faktor

seperti iklim, jenis tanah, curah hujan, irigasi, komponen produksi pertanian yang

digunakan, dan bahkan insentif bagi para petani untuk menghasilkan tanaman pangan.

Pangan meliputi produk serealia, kacang-kacangan, minyak nabati, sayur-

sayuran, buah-buahan, rempah, gula, dan produk hewani. Karena porsi utama dari

kebutuhan kalori harian berasal dari sumber pangan karbohidrat, yaitu sekitar separuh

dari kebutuhan energi per orang per hari, maka yang digunakan dalam analisa

kecukupan pangan yaitu karbohidrat yang bersumber dari produksi pangan pokok

serealia, yaitu padi, jagung, dan umbi-umbian (ubi kayu dan ubi jalar) yang digunakan

untuk memahami tingkat kecukupan pangan pada tingkat provinsi maupun kabupaten.

3.1. Produksi

Beras merupakan makanan pokok, produksi komoditas beras di Kota

Tangerang semakin lama juga mengalami penurunan sama seperti halnya produksi ubi

jalar dan ubi kayu. Produksi serelia dan umbi-umbian tersebut mengalami penurunan

tiap tahunnya dikarenakan kurangnya ketersediaan lahan untuk bercocok tanam

dibandingkan dengan kepadatan penduduk. Hal ini akan mengancam keberlangsungan

tingkat produksi saat ini dan di masa yang akan datang, sehingga untuk selanjutnya

data ketersediaan pangan ini tidak dapat digunakan dalam ketahanan pangan.

Selama tiga tahun terakhir, seperti terlihat tabel dibawah ini produksi serelia,

penurunan tersebut disebabkan oleh penurunan luas tanam dan penurunan

produktivitas. Pada tahun 2009, produksi gabah/beras menurun sebesar 7% (6.658

ton) dari tahun sebelumnya sehingga menjadi 6.192 ton. Sedangkan pada tahun 2010

dan 2011 mengalami penurunan sebesar 26.05 % dan 10.55 %.

Page 13: fd9c202ade938a44051b29daa98aed49

http

://litb

ang.

tang

eran

gkot

a.go

.id

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Kota Tangerang 13

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

1 Gabah/Beras Ton 6,658.00 6,192.00 4,579.00 4,096.00

2 Jagung basah/muda Ton 13.44 6.73 2.36 0.00

3 Ubi kayu Ton 310.05 239.02 164.98 127.00

4 Ubi jalar Ton 35.93 23.95 11.93 5.00

sumber : NBM Kota Tangerang th 2008-2011

Tabel 3.1 Produksi Tanaman Pangan Sumber Karbohidrat yang dominan

di Kota Tangerang Tahun 2008 – 2011

No.Jenis Bahan

MakananSatuan

Tahun

2008

Tahun

2009

Tahun

2010

Tahun

2011

Pada Tabel 3.1 di atas, selain produksi gabah/beras, terlihat pula semakin

menurunnya produksi serealia lainnya yaitu jagung basah/muda, ubi kayu, dan ubi

jalar dari tahun 2008-2011. Sama halnya seperti produksi gabah/beras, produksi umbi-

umbian juga mengalami penurunan. Seperti terlihat pada tabel diatas penurunan ubi

kayu dari tahun sebelumnya pada tahun 2009, 2010, dan 2011 masing-masing sebesar

22.91%, 30.98%, dan 23.02%. Begitu pula dengan produksi ubi jalar, produksi ini

juga mengalami penurunan dari tahun sebelumnya yaitu pada tahun 2009, 2010, dan

2011 mengalami penurunan masing-masing sebesar 33.34%, 50.19%, dan 58.09%.

Penurunan yang cukup signifikan juga dialami oleh produksi jagung yaitu pada tahun

2009 terjadi penurunan sebesar 49.93% (13.44 ton) dari tahun sebelumnya sehingga

menjadi 6.73 ton. Dan pada tahun 2010 terjadi penurunan sebesar 64.93% sehingga

pproduksi jagung pada tahun 2011 sekitar 2.36 ton dan pada tahun 2011 semakin

terjadi penurunan produksi sehingga tidak tercatat adanya produksi jagung pada tahun

ini.

Untuk selanjutnya, pada tabel 3.2 disajikan data produksi serealia tahun 2011

di Kecamatan se-Kota Tangerang. Pada tabel tersebut dapat dilihat hampir di setiap

Kecamatan tidak tersedianya luas panen produksi padi, ubi jalan, dan ubi kayu di

Kecamatan Larangan, Tangerang, Karawaci, dan Cibodas. Seperti pada tabel 3.1, data

produksi jagung pada tahun 2011 di tabel 3.2 tidak tercatat.

Page 14: fd9c202ade938a44051b29daa98aed49

http

://litb

ang.

tang

eran

gkot

a.go

.id

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Kota Tangerang 14

Tabel 3.2 Data produksi serelia

(Rasio Konsumsi Normatif Per Kapita Terhadap Ketersediaan Bersih Serealia)

Kota : TANGERANG

Sumber : KTDA 2012

Tahun: 2011

No Kecamatan Padi Ubi Kayu Ubi JalarProduksi

Total

Populasi

2011

Gram/

kapita/hari

Rasio

Ketersediaan

010 Ciledug - 8.34 10.74 19.08 153,069 0.34 878.61

011 Larangan - - - - 168,877 - -

012 Karang Tengah 75.33 12.08 - 87.41 121,627 1.97 152.37

020 Cipondoh 112.63 42.18 - 154.82 227,396 1.87 160.83

021 Pinang 322.17 25.69 3.96 351.82 166,172 5.80 51.72

030 Tangerang - - - - 157,343 - -

031 Karawaci - - - - 172,959 - -

040 Jatiuwung 12.50 - - 12.50 144,422 0.24 1,265.61

041 Cibodas - - - - 119,929 - -

042 Periuk 457.08 - - 457.08 132,089 9.48 31.64

050 BatuCeper 154.31 - - 154.31 105,585 4.00 74.93

051 Neglasari 1,961.53 45.44 - 2,006.98 92,351 59.54 5.04

3.2. Rasio Konsumsi Normatif Per Kapita terhadap Produksi Pangan

Seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya bahwa indikator

ketersediaan pangan yang digunakan dalam analisis ketahanan pangan komposit

adalah konsumsi normatif per kapita terhadap produksi pangan. Rasio tersebut

menunjukkan apakah suatu wilayah mengalami surplus produksi serealia dan umbi-

umbian.

Perhitungan produksi pangan tidak dilakukan dengan menggunakan data rata-

rata produksi tiga tahunan (2008–2011) untuk komoditas padi, jagung, ubi kayu dan

ubi jalar karena produktifitas serealia tersebut tiap tahunnya mengalami penurunan

yang semakin lama mendekati tidak tersedianya produktifitas serealia tersebut,

sehingga perhitungan produksi pangan ini menggunakan data produksi tahun berjalan.

Ketersediaan bersih serealia per kapita dihitung dengan membagi total ketersediaan

serealia di tiap kecamatan dengan jumlah penduduk (data penduduk pertengahan

tahun 2011). Berdasarkan profil konsumsi Indonesia, konsumsi normatif

serealia/hari/kapita adalah 300 gram. Kemudian dihitung konsumsi normatif perkapita

terhadap rasio produksi.

Page 15: fd9c202ade938a44051b29daa98aed49

http

://litb

ang.

tang

eran

gkot

a.go

.id

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Kota Tangerang 15

Peta 3.1 diatas menggambarkan bahwa seluruh wilayah di Kota Tangerang

adalah daerah yang defisit dalam produksi pangan serealia ditunjukkan dengan

gradasi kelompok warna merah, yang pada umumnya daerah tersebut tidak atau

kurang cocok untuk memproduksi tanaman serealia. Kondisi iklim, kelayakan tanah,

berulangnya bencana alam (kekeringan, banjir, dan lain sebagainya) merupakan faktor

kendala lain yang menyebabkan ketidakmampuan daerah-daerah defisit dalam

mencapai swasembada produksi tanaman serealia.

Hampir di semua Kecamatan se-Kota Tangerang mengalami defisit serealia,

seperti yang terlihat pada peta diatas. Penyebab defisitnya ketersediaan serealia di

kecamatan tersebut, meliputi: sistem produksi padi lahan kering yang memiliki

produktivitas yang rendah dan kurangnya ketersediaan lahan untuk bercocok tanam

dibandingkan dengan kepadatan penduduk. Hal ini akan mengancam keberlangsungan

tingkat produksi saat ini dan di masa yang akan datang. Jelas bahwa ketersediaan

pangan yang cukup merupakan suatu prasyarat yang mutlak untuk ketahanan pangan,

namun demikian prasyarat tersebut belum cukup untuk menjamin ketahanan pangan

di tingkat rumah tangga dan individu.

Peta 3.1 Rasio Konsumsi Normatif Per Kapita Terhadap Produksi Bersih Serealia

Page 16: fd9c202ade938a44051b29daa98aed49

http

://litb

ang.

tang

eran

gkot

a.go

.id

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Kota Tangerang 16

3.3 Tantangan Utama Pemenuhan Kecukupan

Laju peningkatan kebutuhan pangan lebih cepat dibandingkan dengan laju

peningkatan kemampuan produksi. Disamping itu peningkatan produktivitas tanaman

di tingkat petani relatif stagnan, karena terbatasnya kemampuan produksi, penurunan

kapasitas kelembagaan petani, serta kualitas penyuluhan pertanian yang jauh dari

memadai. Semakin terbatasnya kapasitas produksi pangan di daerah Kota Tangerang

disebabkan oleh: (i) berlanjutnya konversi lahan pertanian ke penggunaan non

pertanian; (ii) menurunnya kualitas dan kesuburan lahan akibat kerusakan lingkungan;

(iii) persaingan pemanfaatan sumber daya air dengan sektor industri dan pemukiman;

dan (iv) perubahan iklim.

3.4 Strategi Untuk Meningkatkan Ketersediaan Pangan

Di bawah ini adalah kegiatan yang dilakukan untuk menjamin dan

meningkatkan ketersediaan pangan, yaitu:

1. Menata Pertanahan dan Tata Ruang dan Wilayah, melalui:

o Pengembangan reformasi agraria

o Penyusunan tata ruang daerah dan wilayah

o Perbaikan administrasi pertanahan dan sertifikasi lahan

o Pengenaan sistem perpajakan progresif bagi pelaku konversi lahan pertanian

subur dan yang mentelantarkan lahan pertanian

2. Mengembangkan Cadangan Pangan

o Pengembangan cadangan pangan pemerintah (nasional, daerah dan desa)

sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan

Pangan Pasal 5

o Pengembangan lumbung pangan masyarakat

3. Menjaga Stabilitas Harga Pangan

o Pemantauan harga pangan pokok secara berkala untuk mencegah jatuhnya

harga gabah/beras di bawah Harga Pembelian Pemerintah (HPP)

o Pengelolaan pasokan pangan dan cadangan penyangga untuk stabilitas harga

pangan seperti yang tercantum dalam Inpres Nomor 13 Tahun 2005 tentang

Kebijakan Perberasan; SKB Men Koordinator Bidang Perekonomian dan

Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat No. KEP-

46/M.EKON/08/2005 dan Nomor 34/KEP-34/

KEP/MENKO/KESRA/VIII/2005 tentang Pedoman Umum Koordinasi

Page 17: fd9c202ade938a44051b29daa98aed49

http

://litb

ang.

tang

eran

gkot

a.go

.id

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Kota Tangerang 17

Pengelolaan Cadangan Beras Pemerintah; Peraturan Menteri Perdagangan

Nomor 22 Tahun 2005 tentang Penggunaan Cadangan pangan Pemerintah

untuk Pengendalian Harga, dan Surat menteri Pertanian kepada Gubernur dan

Bupati Walikota se-Indonesia Nomor 64/PP.310/M/3/2006 tanggal 13 maret

2006 tentang Pengelolaan Cadangan Pangan)

4. Meningkatkan Aksesibilitas Rumah Tangga terhadap Pangan

o Pemberdayaan masyarakat miskin dan rawan pangan

o Peningkatan efektivitas program Raskin

5. Melakukan Diversifikasi Pangan

o Peningkatan diversifikasi konsumsi pangan dengan gizi seimbang (Perpres

No. 22 Tahun 2009)

o Pemberian makanan tambahan untuk anak sekolah (PMTAS)

o Pengembangan teknologi pangan

o Diversifikasi usaha tani dan pengembangan pangan local

Page 18: fd9c202ade938a44051b29daa98aed49

http

://litb

ang.

tang

eran

gkot

a.go

.id

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Kota Tangerang 18

BAB IV

Akses Terhadap Pangan dan Penghidupan di Kota Tangerang

Akses terhadap pangan merupakan salah satu dari tiga pilar ketahanan pangan.

Indikator ini merupakan salah satu indikator utama yang digunakan untuk analisis di

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (FSVA) ini.

Akses Pangan adalah kemampuan rumah tangga untuk memperoleh cukup

pangan, baik yang berasal dari produksi sendiri, stok, pembelian, barter, hadiah,

pinjaman dan bantuan pangan. Ketersediaan pangan di suatu daerah mungkin

mencukupi, akan tetapi tidak semua rumah tangga memiliki akses yang memadai baik

secara kuantitas maupun keragaman pangan melalui mekanisme tersebut di atas.

Akses pangan tergantung pada daya beli rumah tangga yang ditentukan oleh

penghidupan rumah tangga tersebut. Penghidupan terdiri dari kemampuan rumah

tangga, modal/aset (sumber daya alam, fisik, sumber daya manusia, ekonomi dan

sosial) dan kegiatan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar,

penghasilan, pangan, tempat tinggal, kesehatan dan pendidikan.

Rumah tangga yang tidak memiliki sumber penghidupan yang memadai dan

berkesinambungan, sewaktu-waktu dapat berubah, menjadi tidak berkecukupan, tidak

stabil dan daya beli menjadi sangat terbatas, yang menyebabkan tetap miskin dan

rentan terhadap kerawanan pangan.

4.1 Penduduk di Bawah Garis Kemiskinan

Indikator ini menunjukkan nilai rupiah pengeluaran per kapita setiap bulan

untuk memenuhi standar minimum kebutuhan-kebutuhan konsumsi pangan dan non-

pangan yang dibutuhkan oleh seseorang individu untuk hidup secara layak. Garis

kemiskinan secara nasional menggunakan US$ 1.55 (PPP- Purchasing Power Parity)

per orang per hari. Indikator ini dipakai untuk memonitor kemajuan upaya

pengentasan kemiskinan serta untuk memonitor tren kemiskinan.

Pemerintah Kota Tangerang telah melakukan upaya yang berarti untuk

mengurangi tingkat kemiskinan. Tabel 4.1 menunjukkan bahwa pada tahun 2011,

persentase penduduk miskin di Kota Tangerang di masing-masing kecamatan

memiliki persentase dibawah 10% kecuali pada Kecamatan Neglasari yang mencapai

sekitar 20.79% dan Kecamatan Benda yang mencapai 13.90%. Sebagian besar

penduduk miskin tersebar di Kecamatan Neglasari dengan jumlah penduduk sekitar

Page 19: fd9c202ade938a44051b29daa98aed49

http

://litb

ang.

tang

eran

gkot

a.go

.id

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Kota Tangerang 19

105.585 jiwa terdapat sekitar 21.948 jiwa penduduk miskin, sedangkan di Kecamatan

Larangan memiliki persentase sekitar 2.54% penduduk miskin dari 153.069 jiwa.

Dari tabel 4.1 tercatat jumlah penduduk pada pertengahan tahun 2011

sebanyak 1.847.341 jiwa dengan persentase penduduk miskin 6.14% sehingga

terdapat 113.429 jiwa penduduk miskin di Kota Tangerang pada tahun tersebut.

Tabel 4.1 Data Akses Terhadap Pangan

(Persentase Penduduk Hidup Dibawah Garis Kemiskinan)

Kota : TANGERANG

Sumber : TNP2K

Tahun: 2011

No Kecamatan Penduduk 2011 Miskin % Miskin

010 Ciledug 153069 5372 3.51

011 Larangan 168877 4131 2.45

012 Karang Tengah 121627 4372 3.59

020 Cipondoh 227396 8357 3.68

021 Pinang 166172 10953 6.59

030 Tangerang 157343 8404 5.34

031 Karawaci 172959 12427 7.18

040 Jatiuwung 119929 5584 4.66

041 Cibodas 144422 7178 4.97

042 Periuk 132089 7823 5.92

050 BatuCeper 92351 6223 6.74

051 Neglasari 105585 21148 20.03

060 Benda 85522 11457 13.40

Sumber :Hasil olahan data PPLS 2011

Data tingkat kecamatan mengenai persentase penduduk yang hidup di bawah

garis kemiskinan menunjukkan perbedaan tingkat kemiskinan yang jelas antar

kecamatan (Peta 4.1). Dari 13 kecamatan yang dianalisis, dua kecamatan mempunyai

tingkat kemiskinan lebih tinggi dari 10% (Tabel 4.1) yaitu Kecamatan Neglasari dan

Kecamatan Benda. Oleh karena itu, program penanggulangan kemiskinan harus

diprioritaskan ke kecamatan tersebut.

Kecamatan Neglasari pada peta 4.1 dibawah ini ditunjukkan dengan gradasi

berwarna merah muda dikarenakan persentase pada kecamatan tersebut berada

diantara 20%-25% sehingga diperlukan adanya penanggulangan tingkat kemiskinan

yang efektif dan langsung ke akar-akarnya. Begitu pula halnya, dengan Kecamatan

Page 20: fd9c202ade938a44051b29daa98aed49

http

://litb

ang.

tang

eran

gkot

a.go

.id

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Kota Tangerang 20

Benda yang memiliki persentase diantara 10%-15% sehingga ditunjukkan dengan

gradasi berwarna hijau muda.

4.2 Akses terhadap Infrastruktur Dasar (Listrik dan Jalan)

Kelurahan/Desa yang tidak memiliki akses penghubung yang memadai adalah

kelurahan/desa yang lalu lintas antar kelurahan/desanya yang tidak dapat dilalui oleh

kendaraan roda empat.

Di Kota Tangerang akses infrastruktur pembangunan jalan yang dilalui oleh

kendaraan beroda empat sudah cukup memadai. Pertumbuhan pengembangan

infrastruktur di setiap kecamatan Kota Tangerang sudah dapat dilalui oleh kendaraan

beroda empat. Seperti dilihat pada tabel 4.2 dibawah menunjukkan persentase

kelurahan di setiap kecamatan yang tidak dapat dilalui kendaraan beroda empat

sebesar 0% yang menunjukkan bahwa jalan merupakan moda transportasi utama di

Kota Tangerang dan konektifitas jalan untuk kendaraan roda empat memadai.

Peta 4.1 Persentase Penduduk Miskin Dibawah Garis Kemiskinan Kota Tangerang

Page 21: fd9c202ade938a44051b29daa98aed49

http

://litb

ang.

tang

eran

gkot

a.go

.id

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Kota Tangerang 21

Tabel 4.2 Data Akses Terhadap Pangan

(Persentase Kelurahan Yang Tidak Dapat Dilalui Kendaraan Beroda Empat)

Kota : TANGERANG

Sumber : BPS

Tahun: 2011

No Kecamatan

% KELURAHAN

YANG TIDAK DAPAT

DILALUI

KENDARAAN RODA-4

Skor R_ROAD

010 Ciledug 0.00 6 Prioritas 6

011 Larangan 0.00 6 Prioritas 6

012 Karang Tengah 0.00 6 Prioritas 6

020 Cipondoh 0.00 6 Prioritas 6

021 Pinang 0.00 6 Prioritas 6

030 Tangerang 0.00 6 Prioritas 6

031 Karawaci 0.00 6 Prioritas 6

040 Jatiuwung 0.00 6 Prioritas 6

041 Cibodas 0.00 6 Prioritas 6

042 Periuk 0.00 6 Prioritas 6

050 BatuCeper 0.00 6 Prioritas 6

051 Neglasari 0.00 6 Prioritas 6

060 Benda 0.00 6 Prioritas 6

Sumber : Hasil PODES 2011, BPS Kota Tangerang

Keterbelakangan infrastruktur menghalangi laju perkembangan dari suatu

wilayah. Infrastruktur yang lebih baik akan menarik investasi yang lebih besar pada

berbagai sektor, hal itu akan memberikan daya dorong terhadap penghidupan

berkelanjutan. Misalnya, akses jalan memberikan akses yang lebih baik ke pasar bagi

para produsen, penjual dan pembeli. Akses juga merupakan penghubung yang penting

terhadap pusat pertumbuhan suatu daerah. Jalan memungkinkan orang untuk

mengakses lebih baik terhadap pelayanan dasar lainnya seperti pendidikan, kesehatan,

dan sebagainya yang sangat penting untuk memperbaiki standar kehidupan. Daerah

yang terhubungkan dengan baik oleh jalan akan menerima dukungan infrastruktur lain

yang memperkuat penghidupan masyarakat.

Infrastruktur jalan memiliki peran utama dalam kemajuan suatu daerah, di

mana dengan akses jalan yang bagus tentu akan mempercepat proses pembangunan

yang salah satunya akan berdampak langsung dengan peningkatan dan pengembangan

Page 22: fd9c202ade938a44051b29daa98aed49

http

://litb

ang.

tang

eran

gkot

a.go

.id

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Kota Tangerang 22

perekomian masyarakat. Hal ini membuktikan pemerintah Kota Tangerang telah

mampu mewujudkan infrastruktur yang nyaman dan baik demi kelangsungan

masyarakat dalam kehidupan sehari-hari sebagai sarana transportasi, perdagangan

maupun perekonomian.

Seperti disajikan pada peta 4.2 dibawah ini bahwa konektifitas di Kota

Tangerang akses jalan sudah cukup memadai untuk dilalui kendaraan beroda empat

ditunjukkan dengan gradasi berwarna hijau di setiap kecamatan. Dengan memadainya

kualitas jalan atau bahkan tersedianya akses jalan menunjukkan bahwa pembangunan

jalan oleh pemerintah Kota Tangerang telah menjangkau di daerah tersebut. Terlihat

dengan Prioritas 6 pada tabel 4.2 akses infrastuktur jalan telah mampu

mensejahterakan masyarakat dengan di setiap kelurahan di Kota Tangerang dapat

dilalui dengan kendaraan beroda empat, seperti terlihat pada peta 4.2 di bawah ini.

Demikian juga, akses listrik merupakan suatu indikator pendekatan yang baik

untuk melihat tingkat kesejahteraan ekonomi dan peluang penghidupan suatu daerah.

Akses listrik di tingkat rumah tangga memberikan peluang bagi kondisi kehidupan

yang lebih baik. Pada tabel 4.3 dibawah ini terlihat persentase rumah tangga tanpa

akses listrik pada tahun 2011 di Kota Tangerang. Tabel tersebut menunjukkan hampir

Peta 4.2 Kelurahan Yang Tidak Dapat Dilalui Kendaraan Beroda Empat

Page 23: fd9c202ade938a44051b29daa98aed49

http

://litb

ang.

tang

eran

gkot

a.go

.id

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Kota Tangerang 23

semua rumah tangga di Kecamatan Kota Tangerang memiliki akses listrik. Hal ini

menunjukkan rendahnya persentase rumah tangga tanpa akses terhadap listrik.

Tabel 4.3 Data Akses Terhadap Pangan

(% Rumah Tangga Tanpa Akses Listrik)

Kota : TANGERANG

Sumber : BPS

Tahun: 2010

No Kecamatan% RUTA TANPA

LISTRIK

010 Ciledug 0.03

011 Larangan 0.02

012 Karang Tengah 0.02

020 Cipondoh 0.02

021 Pinang 0.11

030 Tangerang 0.04

031 Karawaci 0.09

040 Jatiuwung 0.03

041 Cibodas 0.04

042 Periuk 0.02

050 BatuCeper 0.03

051 Neglasari 0.14

060 Benda 0.08

Sumber : Hasil Olahan SP 2010, BPS

Tersedianya fasilitas listrik di suatu wilayah akan membuka peluang yang

lebih besar untuk akses pekerjaan. Ini juga merupakan indikasi kesejahteraan suatu

wilayah atau rumah tangga. Akses listrik merupakan suatu indikator pendekatan yang

baik untuk melihat tingkat kesejahteraan ekonomi dan peluang penghidupan suatu

daerah. Di Kota Tangerang, persentase rumah tangga yang tidak memiliki akses listrik

dibawah dari 10% ditujukkan gradasi berwarna hijau pada peta 4.3. Variasi rumah

tangga yang tidak memiliki akses listrik pada tingkat kecamatan yaitu persentase

terendah di Kecamatan Larangan, Karang Tengah, Cipondoh, dan Periuk sebesar

0.02% dan persentase tertinggi di Kecamatan Neglasari sebesar 0.11%. Tabel 3.3

menunjukkan bahwa akses terhadap listrik sudah baik (kurang dari 10%) Hal ini

menunjukkan meningkatnya pembangunan infrastruktur di Kota Tangerang.

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, infrastruktur akses listrik dan jalan di

Kota Tangerang semakin mengalami peningkatan. Peta 4.3 menunjukkan persentase

rumah tangga tanpa akses terhadap listrik. Dari gradasi warna peta di bawah ini

Page 24: fd9c202ade938a44051b29daa98aed49

http

://litb

ang.

tang

eran

gkot

a.go

.id

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Kota Tangerang 24

berwana hijau secara keseluruhan yaitu peta tersebut menggambarkan akses

infrastuktur dasar merupakan kunci bagi kesejahteraan ekonomi di Kota Tangerang.

Daya dorong ekonomi yang diperoleh sebagai hasil dari peningkatan infrastruktur

akan memberikan peluang-peluang yang lebih besar kepada pemerintah untuk

memperoleh lebih banyak pendapatan.

Listrik sudah menjadi kebutuhan utama masyarakat dikota besar, seakan akan

mereka tidak bisa hidup tanpa listrik. Walaupun energi listrik sendiri bukanlah

kebutuhan dasar, tetapi energi listrik merupakan pendukung utama untuk tercapainya

kebutuhan-kebutuhan dasar. Tanpa energi listrik, kebutuhan-kebutuhan tersebut sukar

tercapai. Contoh sederhana dapat dilihat dari peran energi listrik untuk memenuhi

kebutuhan pangan masyarakat. Walaupun ketersediaan bahan pangan dapat dicukupi,

tanpa menyelesaikan masalah energi listrik masyarakat tetap akan mengalami

fenomena kekurangan pangan. Hal ini disebabkan karena untuk dapat menyelesaikan

masalah pangan bukan hanya bahan mentah pangan yang diperlukan yang harus

tersedia, namun akses terhadap layanan energi listrik yang memungkinkan bahan

pangan tersebut diolah dan/atau dimasak, juga harus tersedia. Demikian juga dengan

air bersih. Jasa energi dalam bentuk listrik memungkinkan air bersih dipompa dari

sumber-sumber air dan didistribusikan kepada masyarakat.

Peta 4.3 Persentase Rumah Tangga Tanpa Akses Listrik

Page 25: fd9c202ade938a44051b29daa98aed49

http

://litb

ang.

tang

eran

gkot

a.go

.id

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Kota Tangerang 25

BAB V

Pemanfaatan Pangan di Kota Tangerang

Pilar ketiga dari ketahanan pangan adalah pemanfaatan pangan. Pemanfaatan

pangan meliputi: a) Pemanfaatan pangan yang bisa di akses oleh rumah tangga, dan b)

kemampuan individu untuk menyerap zat gizi - pemanfaatan makanan secara efisien

oleh tubuh.

Pemanfaatan pangan oleh rumah tangga tergantung pada: (i) fasilitas

penyimpanan dan pengolahan makanan dimiliki oleh rumah tangga; (ii) pengetahuan

dan praktek yang berhubungan dengan penyiapan makanan, pemberian makan untuk

balita dan anggota keluarga lainnya yang sedang sakit atau sudah tua dipengaruhi oleh

pengetahuan yang rendah dari ibu dan pengasuh, adat/kepercayaan dan tabu; (iii)

distribusi makanan dalam keluarga; dan (iv) kondisi kesehatan masing-masing

individu yang mungkin menurun karena penyakit, higiene, air dan sanitasi yang buruk

dan kurangnya akses ke fasilitas kesehatan dan pelayanan kesehatan.

Bab ini menggambarkan data tentang pola konsumsi pangan penduduk.

Analisa dan peta untuk indikator lainnya (akses terhadap fasilitas kesehatan, air

bersih, perempuan buta huruf, dampak terhadap kesehatan dan gizi) untuk tingkat

kabupaten, akan disajikan dalam bagian berikutnya.

5.1 Akses terhadap Fasilitas Kesehatan

Tersedianya fasilitas kesehatan yang baik, murah dan terjangkau oleh semua

kalangan adalah salah satu tolak ukur keberhasilan pembangunan bidang kesehatan

dan tercapainya masyarakat yang sejahtera. Untuk mencapai hal tersebut, Pemerintah

Kota Tangerang terus menerus meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.

Penyediaan fasilitas kesehatan tidak hanya dilihat dari jumlahnya saja secara fisik

tetapi juga harus dipahami bersama peningkatan fasilitas kesehatan yang saat ini

tengah diupayakan pemerintah yaitu mutu dari fasilitas kesehatan.

Pembangunan kesehatan yang dilaksanakan secara berkesinambungan telah

berhasil meningkatkan status kesehatan dan gizi masyarakat, antara lain, dilihat dari

beberapa indikator, seperti angka kematian bayi, angka kematian ibu, dan umur

harapan hidup waktu lahir yang terus mengalami perbaikan. Status gizi pada anak

balita walaupun terus terjadi kecenderungan menurun, sempat terjadi stagnasi. Oleh

karena itu, diperlukan upaya yang lebih keras dan intensif.

Page 26: fd9c202ade938a44051b29daa98aed49

http

://litb

ang.

tang

eran

gkot

a.go

.id

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Kota Tangerang 26

Keberhasilan itu banyak dipengaruhi oleh pengembangan layanan kesehatan di

sektor publik. Keberhasilan pembangunan kesehatan dipengaruhi oleh faktor yang

mencakup akses dan kualitas layanan kesehatan yang terus membaik. Akses layanan

kesehatan ditunjukkan dengan adanya peningkatan jumlah, jaringan, dan kualitas

fasilitas layanan kesehatan, seperti puskesmas, puskesmas perawatan, puskesmas

pembantu, dan puskesmas keliling.

Tabel 5.1 Data Pemanfaatan Pangan

Rumah Tangan dengan Fasilitas Kesehatan >5 km ke Puskesmas

Kota :

Sumber :

Tahun:

No Kecamatan

% RUTA > 5

KM KE

PUSKESMAS

Skor R_HEALTH

010 Ciledug 0.00 6 Prioritas 6

011 Larangan 0.00 6 Prioritas 6

012 Karang Tengah 0.00 6 Prioritas 6

020 Cipondoh 0.00 6 Prioritas 6

021 Pinang 0.00 6 Prioritas 6

030 Tangerang 0.00 6 Prioritas 6

031 Karawaci 0.00 6 Prioritas 6

040 Jatiuwung 0.00 6 Prioritas 6

041 Cibodas 0.00 6 Prioritas 6

042 Periuk 0.00 6 Prioritas 6

050 BatuCeper 0.00 6 Prioritas 6

051 Neglasari 0.00 6 Prioritas 6

060 Benda 0.00 6 Prioritas 6

Sumber : Hasil PODES 2011, BPS Kota Tangerang

TANGERANG

BPS KOTA TANGERANG

2011

Manfaat fasilitas kesehatan sangat penting untuk menurunkan angka kesakitan

(morbiditas) penduduk dan dengan demikian akan meningkatkan kemampuan

seseorang dalam menyerap makanan ke dalam tubuh dan memanfaatkannya. Akses

yang lebih dekat ke fasilitas kesehatan (rumah sakit, klinik, puskesmas, dokter, juru

rawat, bidan yang terlatih, paramedic, dan sebagainya) merupakan indikator yang

sangat penting untuk menunjukkan bagaimana rumah tangga mendapatkan pelayanan

kesehatan di fasilitas kesehatan/Puskesmas.

Pada Tabel 5.1 diatas menyajikan persentase rumah tangga dengan fasilitas

kesehatan lebih dari 5 km ke Puskesmas. Tabel tersebut menunjukkan persentase

fasilitas kesehatan di daerah Kota Tangerang sudah memadai dan menjangkau akses

Page 27: fd9c202ade938a44051b29daa98aed49

http

://litb

ang.

tang

eran

gkot

a.go

.id

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Kota Tangerang 27

kesehatan dilingkungan daerah setempat. Terlihat dengan persentase rumah tangga di

setiap Kecamatan di Kota Tangerang yang rendah yaitu 0% artinya jarak antara

fasilitas kesehatan (puskesmas) dengan rumah tangga telah terjangkau dengan

tersedianya tempat fasilitas kesehatan (puskesmas) yang jaraknya tidak lebih dari 5

km. Secara umum, akses terhadap fasilitas kesehatan meningkat secara signifikan

dalam beberapa tahun terakhir, hal ini terutama disebabkan oleh meningkatnya

investasi pemerintah daerah untuk pembangunan dan renovasi infrastruktur kesehatan

di Kota Tangerang.

Pada Peta 5.1 di atas, gradasi warna pada peta berwarna hijau di setiap

Kecamatan di Kota Tangerang. Warna Hijau ini menunjukkan fasilitas kesehatan

(puskesmas) yang ada di Kota Tangerang telah terjangkau untuk masyarakat setempat

dengan jarak antara fasilitas kesehatan (puskesmas) yang ada di setiap kecamatan

tidak lebih dari 5 km. Hal ini menggambarkan pembangunan, peningkatan pemerataan

serta keterjangkauan pelayanan kesehatan telah berjalan dengan baik di Kota

Tangerang.

Peta 5.1. Rumah Tangga dengan Akses ke Fasilitas Kesehatan > 5 Km

Page 28: fd9c202ade938a44051b29daa98aed49

http

://litb

ang.

tang

eran

gkot

a.go

.id

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Kota Tangerang 28

5.2 Penduduk dengan Akses kurang memadai ke Air Bersih

Indikator ini digunakan untuk memonitor akses terhadap sumber air

berdasarkan asumsi bahwa sumber air terlindung menyediakan air yang aman untuk

diminum. Air yang tidak aman diminum adalah penyebab langsung berbagai sumber

penyakit.

Air minum terlindung adalah air leding, keran umum, air hujan atau mata air

dan sumur tertutup yang jaraknya lebih dari 10 meter dari pembuangan kotoran dan

pembuangan sampah. Sumber air terlindung tidak termasuk air dari penjual keliling,

air yang dijual melalui tanki, air sumur dan mata air tidak terlindung.

Proporsi penduduk atau rumah tangga dengan akses terhadap sumber air

minum yang terlindung adalah perbandingan antara penduduk atau rumah tangga

dengan akses terhadap sumber air minum yang terlindung dengan penduduk atau

rumah tangga seluruhnya, dinyatakan dalam persentase. Persentase rumah tangga

tanpa akses ke air bersih yaitu persentase rumah tangga yang tidak memiliki akses ke

air minum yang berasal dari air leding/PAM, pompa air, sumur atau mata air yang

terlindungi.

Akses terhadap air bersih memegang peranan yang sangat penting untuk

pencapaian ketahanan pangan. Air yang tidak bersih akan meningkatkan angka

kesakitan dan menurunkan kemampuan dalam menyerap makanan dan pada akhirnya

akan mempengaruhi status nutrisi seseorang. Dibawah ini disajikan tabel 5.2

persentase rumah tangga tanpa akses air bersih. Pada tabel tersebut, rumah tangga di

setiap kecamatan di Kota Tangerang memiliki persentase terhadap fasilitas air

bersih/sehat tidak lebih dari 30%, sehingga dapat dikatakan fasilitas air bersih/sehat

telah memadai di Kota Tangerang. Akses air bersih dirasakan oleh masyarakat Kota

Tangerang dengan begitu maka mereka akan merasakan dampak baik untuk

kehidupan sehari-hari. Akses terhadap air bersih dan sanitasi merupakan salah satu

fondasi inti dari masyarakat yang sehat, sejahtera dan damai. Masyarakat Kota

Tangerang telah menyadari akan pemahaman dan kesadaran akan peranan air

bersih/sehat. Dengan demikian, akses fasilitas air bersih/sehat menjadi sangat penting,

karena air merupakan kebutuhan yang primer digunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Page 29: fd9c202ade938a44051b29daa98aed49

http

://litb

ang.

tang

eran

gkot

a.go

.id

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Kota Tangerang 29

Tabel 5.2 Data Pemanfaatan Pangan

Persentase Rumah Tangga Tanpa Akses Air Bersih/Sehat

Kota :

Sumber :

Tahun:

No Kecamatan

% RUTA TANPA

AKSES AIR

BERSIH/SEHAT

Skor R_WATER

010 Ciledug 23.7 6 Prioritas 6

011 Larangan 18.44 6 Prioritas 6

012 Karang Tengah 21.55 6 Prioritas 6

020 Cipondoh 12.58 6 Prioritas 6

021 Pinang 21.98 6 Prioritas 6

030 Tangerang 18.35 6 Prioritas 6

031 Karawaci 13.03 6 Prioritas 6

040 Jatiuwung 8.72 6 Prioritas 6

041 Cibodas 13.62 6 Prioritas 6

042 Periuk 10.23 6 Prioritas 6

050 BatuCeper 5.05 6 Prioritas 6

051 Neglasari 17.14 6 Prioritas 6

060 Benda 5.37 6 Prioritas 6

Sumber : Hasil olahan data SP2010, BPS Kota Tangerang

TANGERANG

BPS KOTA TANGERANG

2010

Seperti yang dibahas sebelumnya, persentase rumah tangga terhadap akses air

bersih/ sehat di Kota Tangerang dikatakan cukup baik dengan persentase dibawah

30%. Namun ada beberapa Kecamatan yang memiliki persentase tertinggi diantara

kecamatan lainnya yaitu Kecamatan Ciedug sebesar 23.7%, Kecamatan Pinang

sebesar 21.98%, dan Kecamatan Karang Tengah sebesar 21.55%.

Pada Peta 5.2, menggambarkan keadaan akses terhadap air bersih. Peta

dibawah ini bergradasi warna hijau secara keseluruhan di Kota Tangerang, sehingga

dapat dikatakan fasilitas air bersih/sehat sudah memadai dan terpenuhi kualitasnya.

Untuk dapat menjaga kebersihan air ada banyak upaya yang dapat lakukan untuk

membuat air bersih terus mengalir dan mencukupi kebutuhan hidup kita. Tak sulit

bagi kita untuk melestarikan keberadaan air sampai kapanpun, asalkan kita

mempunyai komitmen yang kuat untuk tetap menjaga dan melestarikannya karena

ketersediaan sarana air bersih sangat penting dalam pemenuhan kebutuhan untuk

melakukan segala aktivitas.

Page 30: fd9c202ade938a44051b29daa98aed49

http

://litb

ang.

tang

eran

gkot

a.go

.id

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Kota Tangerang 30

5.3. Perempuan Buta Huruf

Perempuan Buta Huruf adalah persentase perempuan di atas 15 tahun yang

tidak dapat membaca atau menulis. Tingkat pendidikan perempuan terutama ibu dan

pengasuh anak sangat berpengaruh terhadap status kesehatan dan gizi, dan menjadi

hal yang sangat penting dalam pemanfaatan pangan. Indikator ini menunjukkan

ketertinggalan perempuan di atas 15 tahun dalam mencapai pendidikan yang

merupakan cerminan besar kecilnya perhatian pemerintah, baik pusat maupun lokal

terhadap pendidikan penduduknya.

Masih tingginya angka buta aksara di kalangan perempuan, seharusnya

menjadi proritas bagi pemerintah untuk mengentaskannya. Karena ketika angka buta

aksara masih tinggi di kalangan perempuan, akan memberikan konsekwensi besar

dalam melakukan pencerdasan bagi anak.

Sebagian besar persoalan buta huruf masih didominasi perempuan yang selalu

menjadi kaum terbelakang dan termarginalkan dalam soal pemerataan pendidikan.

Peta 5.2. Rumah Tangga Tanpa Akses Ke Air Bersih

Page 31: fd9c202ade938a44051b29daa98aed49

http

://litb

ang.

tang

eran

gkot

a.go

.id

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Kota Tangerang 31

Hingga saat ini kaum perempuan, terutama yang tinggal di pelosok-pelosok, masih

dianggap sebagai pihak yang belum mendapat prioritas untuk memperoleh

pendidikan. Padahal kaum perempuan, terutama ibu rumah tangga, merupakan elemen

penting dalam pendidikan anak-anak, selain pendidikan formal di bangku sekolah.

Kaum ibu yang buta huruf sedikit-banyak tentu kesulitan mendidik anak-anak mereka

karena ada kesenjangan informasi serta wawasan antara ibu dan anak.

Banyaknya kaum perempuan yang tidak bisa membaca dan menulis, tentu

menjadi ironi bagi masa depan pendidikan anak kelak. Ini karena perempuan sebagai

calon ibu nantinya menjadi pendidikan pertama yang berkewajiban membimbing dan

mendidik anak sebelum masuk bangku sekolah. Berawal dari pendidikan keluarga,

seorang Ibu menempati posisi yang sangat sentral dalam mendidik anak agar diberi

pendidikan akhlak dan budi pekerti yang baik.

Melek huruf adalah langkah primordial bagi seseorang untuk menjadi generasi

cerdas dan berwawasan luas sehingga akan tercipta bibit-bibit unggul yang bisa

diandalkan untuk kemajuan bangsa ke depan. Dengan melek huruf yang berarti dapat

membaca, seseorang dapat meningkatkan wawasan dan kualitas diri. Hal itu bisa

berimplikasi positif pada keterbukaan berbagai upaya peningkatan kesejahteraan.

melek huruf merupakan investasi penting untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat. Dengan melek huruf terbukalah pintu komunikasi sosial, budaya, dan

ekonomi. Itu merupakan modal dasar untuk menggapai kesejahteraan bagi seseorang.

Di Kota Tangerang persentase perempuan buta huruf dapat dilihat pada tabel

5.3 di bawah ini. Secara umum, persentase perempuan buta huruf di Kota Tangerang

dapat dilihat secara jelas pada tabel di bawah sudah cukup membaik. Persentase

perempuan buta huruf di Kecamatan Karawaci mencapai 1.01%, yaitu dari 64.909

perempuan berusia 15 tahun ke atas terdapat 657 perempuan yang buta huruf. Namun,

masih adanya yang mencapai persentase diatas 5% yaitu Kecamatan Pinang dan

Kecamatan Neglasari dengan persentase masing-masing 6.12% dan 7.64%.

Page 32: fd9c202ade938a44051b29daa98aed49

http

://litb

ang.

tang

eran

gkot

a.go

.id

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Kota Tangerang 32

Tabel 5.3 Data Pemanfaatan Pangan

Persentase Perempuan Buta Huruf

Kota :

Sumber :

Tahun:

No Kecamatan PEREMPUAN 15 +BUTA

HURUF

% Buta

HurufSkor R_LIT

010 Ciledug 51886 736 1.42 6 Prioritas 6

011 Larangan 59739 735 1.23 6 Prioritas 6

012 Karang Tengah 43495 911 2.09 6 Prioritas 6

020 Cipondoh 75929 1726 2.27 6 Prioritas 6

021 Pinang 56938 3486 6.12 5 Prioritas 5

030 Tangerang 55274 1171 2.12 6 Prioritas 6

031 Karawaci 64909 657 1.01 6 Prioritas 6

040 Jatiuwung 42861 437 1.02 6 Prioritas 6

041 Cibodas 52873 748 1.41 6 Prioritas 6

042 Periuk 46315 663 1.43 6 Prioritas 6

050 BatuCeper 32090 680 2.12 6 Prioritas 6

051 Neglasari 36191 2766 7.64 5 Prioritas 5

060 Benda 28768 1261 4.38 6 Prioritas 6

Sumber : Hasil olahan data SP2010, BPS Kota Tangerang

TANGERANG

BPS KOTA TANGERANG

2010

Strategi untuk menekan angka buta huruf dapat dilakukan dengan

menggunakan pendekatan bukan dengan baca-tulis dan berhitung semata-mata.

Namun, berbekal pendekatan yang bersinergi dengan aktivitas ekonomi dan sosial,

seperti program pengentasan kaum miskin.

Masih tingginya angka buta huruf kaum perempuan dapat diatasi dengan

mengintegrasikan program pemberantasan buta huruf dan kegiatan yang memancing

minat, yakni pemberdayaan ekonomi kaum perempuan. Strategi itu memang cukup

menjanjikan, karena memang sebagian besar masyarakat yang buta huruf adalah

dengan tingkat ekonomi yang sangat rendah sehingga mereka banyak yang tidak

mengenyam pendidikan dasar.

Selain itu, perlu perumusan kembali program pelatihan yang ”menarik” dan

mudah dicerna penduduk berusia 45 tahun ke atas. Upaya itu perlu juga melibatkan

orang-orang yang mampu memotivasi para penyandang buta huruf sehingga tidak

putus di tengah jalan, antara lain dengan memotivasi para guru yang menghadapi

murid yang khusus tersebut.

Page 33: fd9c202ade938a44051b29daa98aed49

http

://litb

ang.

tang

eran

gkot

a.go

.id

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Kota Tangerang 33

Dari tabel 5.3. di atas, dapat digambarkan peta tematik dibawah ini. Peta ini

memberikan gradasi warna yang berbeda yaitu Kecamatan dengan persentase

dibawah 5% berwarna hijau, sedangkan Kecamatan dengan persentase diatas 5%

ditunjukkan dengan warna hijau muda.

5.4. Status Gizi

Ketahanan pangan merupakan salah satu aspek yang mempengaruhi status

kesehatan dan gizi. Status gizi anak ditentukan oleh asupan makanan dan penyakit

yang dideritanya.

Status gizi balita diukur berdasarkan umur, berat badan (BB) dan tinggi badan

(TB). Berat badan anak ditimbang dengan timbangan digital yang memiliki presisi 0,1

kg, panjang badan diukur dengan length-board dengan presisi 0,1 cm, dan tinggi

badan diukur dengan menggunakan microtoise dengan presisi 0,1 cm. Variabel BB

dan TB anak ini disajikan dalam bentuk tiga indikator antropometri, yaitu: berat

badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat badan

menurut tinggi badan (BB/TB). Untuk menilai status gizi anak, maka angka berat

Peta 5.3 Perempuan Buta Huruf

Page 34: fd9c202ade938a44051b29daa98aed49

http

://litb

ang.

tang

eran

gkot

a.go

.id

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Kota Tangerang 34

badan dan tinggi badan setiap balita dikonversikan ke dalam bentuk nilai terstandar

(Z-score) dengan menggunakan baku antropometri WHO 2006.

1. Gizi kurang dan buruk/underweight (berat badan berdasarkan umur (BB/U) dengan

Zscore kurang dari -2 dari median menurut referensi WHO 2005, yang mengacu

kepada gabungan dari kurang gizi akut dan kronis);

2. Pendek/stunting (tinggi badan berdasarkan umur (TB/U) dengan Zscore kurang

dari -2 dari median menurut referensi WHO 2005, yang mengacu ke kurang gizi

kronis jangka panjang); dan

3. Kurus/wasting (berat badan berdasarkan tinggi badan (BB/TB) dengan Zscore

kurang dari -2 dari median menurut referensi WHO 2005, yang mengacu kepada

kurang gizi akut atau baru saja mengalami kekurangan gizi).

WHO mengklasifikasikan masalah gizi sebagai masalah kesehatan masyarakat

di suatu negara, provinsi atau kabupaten berdasarkan tingkat underweight, stunting

dan wasting sebagai berikut:

Klasifikasi Underweight Stunting Wasting

Baik < 10% < 20% < 5%

Kurang 10-19% 20-29% 5-9%

Buruk 20-29% 30-39% 10-14%

Sangat Buruk ≥ 30% ≥ 40% ≥ 15%

Tabel 5.4 Nilai Z-Score Masing-Masing Indikator Status Gizi

Indikator BB/U memberikan gambaran tentang status gizi yang sifatnya

umum, tidak spesifik. Tinggi rendahnya prevalensi gizi buruk atau gizi buruk dan

kurang mengindikasikan ada tidaknya masalah gizi pada balita, tetapi tidak

memberikan indikasi apakah masalah gizi tersebut bersifat kronis atau akut.

Underweight pada balita adalah anak di bawah lima tahun yang berat badannya dari -

2 standar deviasi (-2 SD) dari berat badan normal pada usia dan jenis kelamin

tertentu. Berdasarkan hasil Riskesdas2007, persentase balita menurut status gizi

(BB/U) di Kota Tangerang ditunjukkan pada tabel dibawah ini.

Tabel 5.5 Persentase Balita Menurut Status Gizi (BB/U)

Sumber : Riskesdas 2007

Gizi Buruk Gizi Kurang Gizi Baik Gizi Lebih

Tangerang 5.1 11.1 77.9 6.0

KotaKategori Status Gizi BB/U

Page 35: fd9c202ade938a44051b29daa98aed49

http

://litb

ang.

tang

eran

gkot

a.go

.id

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Kota Tangerang 35

Pada Tabel 5.5 di atas persentase gizi buruk dan kurang di Kota Tangerang

yaitu 16.2%, hal ini sudah mencapai target nasional perbaikan gizi tahun 2015 (20%)

dan MDGs 2015 (18,5%). Namun harus diwaspadai karena memiliki prevalensi gizi

lebih yaitu 6.0%.

Status gizi balita merupakan salah satu indikator yang sangat baik digunakan

pada kelompok penyerapan pangan. Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi

balita adalah situasi ketahanan pangan rumah tangga, status gizi dan kesehatan ibu,

pendidikan ibu, pola asuh anak, akses terhadap air bersih, akses terhadap pelayanan

kesehatan yang tepat waktu.

Untuk mengetahui apakah balita memiliki berat badan kurang atau tidak, maka

harus dilakukan pengukuran berat badan dan pencatatan umur dalam bulan. Berat

badan paling banyak digunakan karena hanya memerlukan satu pengukuran, hanya

saja tergantung pada ketetapan umur, tetapi kurang dapat menggambarkan

kecenderungan perubahan situasi gizi dari waktu ke waktu.

Tabel 5.6 Data Pemanfaatan Pangan

Berat Badan Balita Di Bawah Standar (Underweight )

Kota :

Sumber : PSG DINKES KOTA TANGERANG

Tahun:

No KecamatanBalita

2011Burkur % Burkur Skor R_NUT

010 Ciledug 7852 938 11.95 3 Kurang

011 Larangan 7614 754 9.90 4 Baik

012 Karang Tengah 4501 738 16.40 3 Kurang

020 Cipondoh 9197 1083 11.78 3 Kurang

021 Pinang 6915 906 13.10 3 Kurang

030 Tangerang 5242 906 17.28 3 Kurang

031 Karawaci 9135 1086 11.89 3 Kurang

040 Jatiuwung 6968 215 3.09 4 Baik

041 Cibodas 7823 1225 15.66 3 Kurang

042 Periuk 6675 788 11.81 3 Kurang

050 BatuCeper 5221 575 11.01 3 Kurang

051 Neglasari 4814 751 15.60 3 Kurang

060 Benda 4127 839 20.33 2 Buruk

Sumber : Dinkes Kota Tangerang

TANGERANG

2011

Page 36: fd9c202ade938a44051b29daa98aed49

http

://litb

ang.

tang

eran

gkot

a.go

.id

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Kota Tangerang 36

Pada tabel 5.6 tersebut dapat dilihat, Kecamatan yang memiliki persentase

tertinggi yaitu Kecamatan Benda dengan persentase sebesar 20.33%. Kurang gizi

pada balita dapat disebabkan oleh kemiskinan sehingga akses pangan anak terganggu.

Penyebab lain adalah infeksi (diare), ketidaktahuan orang tua karena kurang

pendidikansehingga pengetahuan gizi rendah, atau faktor tabu makanan dimana

makanan bergizi ditabukandan tak boleh dikonsumsi anak balita. Sehingga, dengan

adanya berbagai penyuluhan, sosialisasi, pendampingan dan lain sebagainya

diharapkan di Kecamatan Benda status gizi pada balita dapat ditingkatkan.

Begitu pula, dapat dilihat Kecamatan yang memiliki status gizi yang baik yaitu

Kecamatan Larangan dan Kecamatan Jatiuwung. Kecamatan tersebut memiliki

persentase masing-masing 9.90% dan 3.09%. Persentase ini sudah dibawah 10% ,

sehingga Kecamatan tersebut tergolong status gizi baik pada balita. Namun ada

beberapa Kecamatan lainnya di Kota Tangerang yang memiliki status gizi kurang.

Untuk mengatasi kasus kurang gizi memerlukan peranan dari keluarga, praktisi

kesehatan,maupun pemerintah. Pemerintah harus meningkatkan kualitas Posyandu,

jangan hanya sekedar untuk penimbangan dan vaksinasi, tapi harus diperbaiki dalam

hal penyuluhan gizi dan kualitas pemberian makanan tambahan, pemerintah harus

dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat agar akses pangan tidak terganggu.

Untuk lebih jelasnya, berat badan balita dibawah standar (underweight) dapat

dilihat pada peta tematik di bawah ini. Peta dibawah terlihat gradasi warna yang

berbeda, dengan warna merah menunjukkan status gizi buruk pada balita, warna hijau

muda menunjukkan status gizi kurang pada balita, dan warna hijau menunjukkan

status gizi baik pada balita. Peta tersebut menggambarkan secara keseluruhan

gambaran berat badan balita dibawah standar (underweight) di Kota Tangerang.

Page 37: fd9c202ade938a44051b29daa98aed49

http

://litb

ang.

tang

eran

gkot

a.go

.id

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Kota Tangerang 37

Menimbang begitu pentingnya menjaga kondisi gizi balita untuk pertumbuhan

dan kecerdasannya, maka sudah seharusnya para orang tua memperhatikan hal-hal

yang dapat mencegah terjadinya kondisi buruk pada anak. Untuk mencegah dan

mengatasi masalah kekurangan gizi secara efektif, perlu prioritas untuk kelompok

rentan gizi, memahami penyebab kurang gizi adalah multidimensi, intervensi yang

tepat dan efektif untuk mengatasi penyebabnya, dan meningkatkan komitmen serta

investasi dalam bidang gizi. Berikut ini adalah rekomendasi untuk mengatasi masalah

gizi:

1. Fokus pada kelompok rentan gizi, termasuk:

a. Anak usia di bawah dua tahun. Usia dua tahun pertama di dalam

kehidupan adalah usia yang paling kritis sehingga disebut “jendela

peluang (window of opportunity)” karena mencegah kurang gizi pada usia

ini akan sangat berarti untuk kelompok ini pada khususnya dan

masyarakat pada umumnya. Meskipun kerusakan sudah terjadi dan

seharusnya dihindari sejak dari usia 9 bulan sampai usia 24 bulan,

Peta 5.4 Berat Badan Anak (< 5 Tahun) di Bawah Standar

Page 38: fd9c202ade938a44051b29daa98aed49

http

://litb

ang.

tang

eran

gkot

a.go

.id

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Kota Tangerang 38

kerentanan anak terhadap penyakit dan resiko kematian masih tetap tinggi

di usia lima tahun pertama. Itulah sebabnya banyak intervensi kesehatan

dan gizi yang difokuskan pada anak bawah lima tahun. Intervensi

kesehatan dan gizi harus difokuskan pada anak di bawah dua tahun, akan

tetapi apabila anggaran memadai maka perlu dilakukan juga untuk anak

di bawah lima tahun.

b. Anak-anak kurang gizi. Kelompok ini memiliki resiko lebih tinggi untuk

meninggal karena meningkatnya kerentanan terhadap infeksi. Anak yang

terdeteksi kurang gizi seharusnya dirawat dengan tepat untuk mencegah

mereka menjadi gizi buruk.

c. Ibu hamil dan menyusui karena kelompok ini memerlukan kecukupan

gizi bagi pertumbuhan dan perkembangan janin, dan untuk menghasilkan

ASI (air susu ibu) untuk bayi mereka.

d. Penderita penyakit kronis seperti tuberkulosis dan atau HIV/AIDS. Perlu

gabungan intervensi pengobatan medis, cakupan gizi yang baik,

peningkatan ketahanan pangan rumah tangga dan pendidikan perilaku.

e. Kurang gizi mikro untuk semua kelompok umur, terutama pada anak-

anak, ibu hamil dan menyusui. Kekurangan gizi mikro pada semua

kelompok umur cukup tinggi disebabkan karena asupan karbohidrat yang

tinggi, rendahnya asupan protein (hewani, sayur dan buah), sayur dan

buah serta makanan yang berfortifikasi. Pada kondisi ini biasanya tingkat

stunting pada balita juga cukup tinggi.

2. Perencanaan dan penerapan intervensi multi-sektoral untuk mengatasi TIGA

penyebab dasar kekurangan gizi (pangan, kesehatan dan pengasuhan).

Satu sektor saja (sektor kesehatan atau pendidikan atau pertanian) tidak dapat

mengatasi masalah gizi secara efektif karena masalah tersebut adalah multi sektor.

a. Intervensi langsung dengan manfaat langsung terhadap gizi (terutama

melalui Sektor Kesehatan):

Memperbaiki gizi dan pelayanan ibu hamil, terutama selama 2

trimester pertama usia kehamilan: makan lebih sering, beraneka

ragam, dan bergizi; minum pil besi atau menggunakan suplemen

gizi mikro tabur (Sprinkle) setiap hari; memeriksakan kehamilan

sekurangnya 4 kali selama periode kehamilan.

Page 39: fd9c202ade938a44051b29daa98aed49

http

://litb

ang.

tang

eran

gkot

a.go

.id

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Kota Tangerang 39

Promosi menyusui ASI selama 0-24 bulan: inisiasi menyusui dini

segera sesudah bayi lahir; menyusui ASI eksklusif sampai 6 bulan

pertama, melanjutkan pemberian ASI sampai 24 bulan; melanjutkan

menyusui walaupun anak sakit.

Meningkatkan pola pemberian makanan tambahan untuk anak usia

6-24 bulan: mulai pemberian makanan tambahan sejak anak berusia

7 bulan; pemberian makanan lebih sering, jumlah sedikit, beraneka

ragam dan bergizi (pangan hewani, telur, kacang-kacangan, polong-

polongan, kacang tanah, sayur, buah dan minyak); hindari

pemberian jajan yang tidak sehat.

Pemantauan berat dan tinggi badan bayi 0-24 bulan atau jika sumber

daya memungkinkan, untuk anak 0-59 bulan secara teratur, untuk

mendeteksi kurang gizi secara dini sehingga bisa dilakukan

intervensi sedini mungkin. Meningkatkan komunikasi mengenai

berat badan anak, cara mencegah dan memperbaiki kegagalan berat

dan tinggi anak dengan keluarga.

Mengatasi masalah kurang gizi akut pada balita dengan

menyediakan fasilitas dan manajemen berbasis masyarakat

berdasarkan pedoman dari WHO/UNICEF dan Departemen

Kesehatan.

Memperbaiki asupan gizi mikro: promosi garam beryodium;

penganekaragaman asupan makanan; fortifikasi makanan;

pemberian pil besi untuk ibu hamil; pemberian vitamin A setiap 6

bulan sekali untuk anak 6-24 bulan (atau anak 6-59 bulan jika

alokasi anggaran mencukupi), serta ibu menyusui dalam jangka

waktu 1 bulan setelah melahirkan atau masa nifas; pemberian obat

cacing.

Mengintensifkan kegiatan penyuluhan atau pendidikan informasi

kesehatan dan gizi (IEC) baik secara langsung maupun tidak

langsung, dengan bermacam-macam media (media massa, pengeras

suara di mushola, perayaan hari besar dll.) untuk menjangkau tidak

hanya ibu dan pengasuh anak, tetapi juga kepala desa, pemuka desa,

pemuka agama, para suami dan anggota keluarga lain, remaja putri,

guru, tenaga penyuluh, penyedia pelayanan masyarakat.

Page 40: fd9c202ade938a44051b29daa98aed49

http

://litb

ang.

tang

eran

gkot

a.go

.id

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Kota Tangerang 40

b. Intervensi tidak langsung dengan manfaat tidak langsung terhadap gizi

(terutama melalui sektor di luar kesehatan)

Promosi pemanfaatan halaman rumah: pemanfaatan halaman rumah

dengan cara menanam sayuran, buah-buahan, kacang-kacangan;

memelihara unggas (ayam, bebek); dan memelihara ikan.

Mobilisasi kepemimpinan berbasis masyarakat dari kepala desa,

pemuka agama, PKK, kelompok tani dan lain-lain, untuk terlibat

dalam intervensi gizi terutama keterlibatan pada saat pendidikan

higiene dan gizi.

Memperbaiki air minum: meningkatkan akses terhadap sumber air

bersih untuk rumah tangga dan sekolah-sekolah; promosi minum air

matang sebagai ganti air mentah; membuat tangki penampung air

untuk menyimpan air hujan; meminta anak untuk membawa air

minum ke sekolah untuk penghilang rasa dahaga.

Memperbaiki higiene dan sanitasi: mencuci tangan sebelum makan

dan setelah dari toilet; memperbaiki sistem pembuangan limbah;

pembuangan sampah/limbah yang tepat dan benar.

Meningkatkan status kaum perempuan; meningkatkan pendidikan

kaum perempuan, memperbaiki pengetahuan/kemampuan

pengasuhan dan pemberian makan anak; meningkatkan pembagian

tanggung jawab suami dan anggota keluarga dalam pengasuhan dan

pemberian makan anak.

Memperkuat kapasitas pemerintah di tingkat provinsi dan kabupaten

dalam hal merencanakan, melaksanakan, memantau dan

mengevaluasi intervensi gizi.

Perlu dipahami bahwa intervensi tidak langsung ini hanya bersifat

melengkapi intervensi langsung, bukan pengganti intervensi gizi

langsung.

3. Prioritas dan peningkatan investasi serta komitmen dalam hal gizi untuk

mengatasi masalah gizi

Dampak ekonomi akibat kekurangan gizi pada anak-anak adalah sangat tinggi.

Kekurangan gizi pada anak akan menyebabkan hilangnya produktivitas pada masa

dewasa, dan tingginya biaya pelayanan kesehatan dan pendidikan. Ada beberapa

macam bentuk dari malnutrisi pada masa anak-anak yang dapat menyebabkan

Page 41: fd9c202ade938a44051b29daa98aed49

http

://litb

ang.

tang

eran

gkot

a.go

.id

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Kota Tangerang 41

hilangnya produktivitas mereka pada masa dewasa yang berkaitan dengan rendahnya

kemampuan kognitif.

Investasi di bidang gizi merupakan salah satu jenis intervensi pembangunan

yang paling efektif dari segi biaya, karena memiliki rasio manfaat-biaya yang tinggi,

bukan hanya untuk individu, tetapi juga pembangunan negara yang berkelanjutan,

sebab intervensi ini dapat melindungi kesehatan, mencegah kecacatan dan dapat

memacu produktivitas ekonomi dan menjaga kelangsungan hidup.

5.5. Dampak (Outcome) dari Status Kesehatan

Angka harapan hidup merupakan dampak dari status kesehatan dan gizi.

Angka harapan hidup pada saat lahir adalah perkiraan lama hidup rata-rata bayi baru

lahir dengan asumsi tidak ada perubahan pola mortalitas sepanjang hidupnya. Angka

harapan hidup merupakan salah satu indikator tingkat kesehatan masyarakat.

Pada tabel 5.7 dibawah ini disajikan Angka Harapan Hidup (AHH) Kota

Tangerang, dapat dilihat angka harapaan hidup yang memiliki prioritas 5 adalah

Kecamatan Periuk dan Kecamatan Neglasari dengan angka harapan hidup masing-

masing adalah 67.87 dan 69.33. Artinya di Kecamatan Periuk bayi-bayi yang

dilahirkan dapat hidup sampai umur 67 atau 68 tahun. Begitu pula di Kecamatan

Periuk bayi-bayi yang dilahirkan akan dapat hidup sampai umur 69 atau 70 tahun.

Untuk itu, Angka Harapan Hidup merupakan alat untuk mengevaluasi kinerja

pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan penduduk pada umumnya, dan

meningkatkan derajat kesehatan pada khususnya. Angka Harapan Hidup yang rendah

di suatu daerah harus diikuti dengan program pembangunan kesehatan, dan program

sosial lainnya termasuk kesehatan lingkungan, kecukupan gizi dan kalori termasuk

program pemberantasan kemiskinan.

Angka harapan hidup waktu lahir dapat dijadikan tolok ukur dalam

menentukan derajat kesehatan anak. Dengan mengetahui angka harapan hidup, maka

dapat diketahui sejauh mana perkembangan status kesehatan anak. Hal ini sangat

penting dalam menentukan program perbaikan kesehatan anak selanjutnya. Usia

harapan hidup juga dapat menunjukkan baik atau buruknya status kesehatan anak

yang sangat terkait dengan berbagai faktor, seperti faktor sosial, ekonomi, budaya,dan

lain-lain.

Page 42: fd9c202ade938a44051b29daa98aed49

http

://litb

ang.

tang

eran

gkot

a.go

.id

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Kota Tangerang 42

Seperti terlihat pada tabel dibawah ini angka harapan hidup di Kota

Tangerang rata-rata sudah di atas 70 tahun. Hal ini membuktikan program

pembangunan kesehatan di Kota Tangerang sudah baik.

Tabel 5.7 Data Pemanfaatan Pangan

Angka Harapan Hidup Kota Tangerang

Kota :

Sumber :

Tahun:

No KecamatanANGKA

HARAPAN HIDUPSkor R_LEX

010 Ciledug 72.10 6 Prioritas 6

011 Larangan 72.83 6 Prioritas 6

012 Karang Tengah 71.37 6 Prioritas 6

020 Cipondoh 71.87 6 Prioritas 6

021 Pinang 73.43 6 Prioritas 6

030 Tangerang 73.87 6 Prioritas 6

031 Karawaci 70.67 6 Prioritas 6

040 Jatiuwung 72.90 6 Prioritas 6

041 Cibodas 71.37 6 Prioritas 6

042 Periuk 67.87 5 Prioritas 5

050 BatuCeper 72.07 6 Prioritas 6

051 Neglasari 69.33 5 Prioritas 5

060 Benda 72.17 6 Prioritas 6

Sumber : Hasil olahan dengan menggunakan metode CEBCS Program MORTPAK-UN

2010

TANGERANG

SP2010 BPS KOTA TANGERANG

Dari Tabel 5.7 di atas dapat dilihat secara lebih jelas dalam bentuk peta

tematik dibawah ini. Terlihat gradasi warna hijau muda dan warna hijau pada peta di

atas. Warna hijau muda menunjukkan angka harapan hidup pada saat lahir yaitu 67

tahun sampai 70 tahun, sedangkan warna hijau menunjukkan angka harapan hidup

pada saat lahir yaitu diatas 70 tahun. Untuk di Kecamatan Periuk dan Kecamatan

Neglasari diperlukan peningkatan dalam program kesehatan lingkungan, kecukupan

gizi dan kalori termasuk program pemberantasan kemiskinan. Penambahan usia

harapan hidup waktu lahir menunjukkan telah terjadinya peningkatan kemampuan

penduduk dalam memperbaiki kualitas hidup dan lingkungan. Peningkatan kualitas

hidup akan sebanding dengan peningkatan status sosio-ekonomi keluarga. Sedangkan

kualitas lingkungan, biasanya berkaitan dengan kesadaran masyarakat untuk hidup

dalam lingkungan fisik yang lebih baik.

Page 43: fd9c202ade938a44051b29daa98aed49

http

://litb

ang.

tang

eran

gkot

a.go

.id

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Kota Tangerang 43

Peta 5.5 Angka Harapan Hidup

Page 44: fd9c202ade938a44051b29daa98aed49

http

://litb

ang.

tang

eran

gkot

a.go

.id

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Kota Tangerang 44

BAB VI

Kerentanan Terhadap Kerawanan Pangan Kronis Berdasarkan Indeks Ketahanan

Pangan Komposit di Kota Tangerang

Sebagaimana disebutkan di dalam Bab II, bahwa kondisi kerentanan terhadap

kerawanan pangan kronis secara komposit ditentukan berdasarkan 9 indikator yang

berhubungan dengan ketersediaan pangan, akses pangan dan penghidupan, serta pemanfaatan

pangan dan gizi, yang dijelaskan secara rinci pada Bab III, Bab IV, dan Bab V.

Peta komposit menjelaskan bahwa kondisi kerentanan terhadap kerawanan pangan di

Kota Tangerang disebabkan oleh kombinasi dari berbagai dimensi kerawanan pangan.

Kemudian, dengan melihat seluruh peta individu maka kita dapat mengidentifikasi penyebab

utama kondisi kerawanan dan kerentanan pangan di Kota Tangerang. Harus disebutkan

bahwa penyebab kerawanan dan kerentanan pangan antar satu kecamatan dengan kecamatan

lainnya bervariasi, dengan demikian cara penyelesaiannya juga berbeda. Peta ini dapat

membantu untuk memahami perbedaan dan kesamaan dasar di antara kecamatan-kecamatan,

dan dengan demikian akan membantu para pembuat kebijakan untuk mengambil langkah-

langkah yang tepat dalam menangani isu-isu paling kritis yang relevan untuk daerah tersebut.

Peta 6.1 Kerentanan Terhadap Kerawanan Pangan Kota Tangerang

0 2 4

kilometers

NEGLASARI

TANGERANG

KARAWACI

CIPONDOH

KARANG TENGAH

PINANG

JATIUWUNG

CIBODAS

BATUCEPER

BENDA

CILEDUG LARANGAN

PERIUK

LegendaIndeks Komposit

>= 0.80 (Prioritas 1)

0.64 - 0.8 (Prioritas 2)

0.48 - 0.64 (Prioritas 3)

0.32 - 0.48 (Prioritas 4)

0.16 - 0.32 (Prioritas 5)

< 0.16 (Prioritas 6)

Page 45: fd9c202ade938a44051b29daa98aed49

http

://litb

ang.

tang

eran

gkot

a.go

.id

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Kota Tangerang 45

Sesuai dengan kesepakatan peta komposit dikelompokkan dengan kelompok gradasi

warna merah yaitu merah tua (Prioritas 1), merah (Prioritas 2) dan merah muda (Prioritas 3).

Kelompok warna merah tua menunjukkan kecamatan-kecamatan yang harus mendapat

prioritas khusus dalam peningkatan ketahanan pangan dan penanganan masalah kerawanan

pangan. Di Kota Tangerang dalam peta 6.1 diatas tidak terdapat prioritas 1 dan prioritas 2,

namun terdapat prioritas 3 ditunjukkan berwarna merah muda pada Kecamatan Neglasari.

Dengan demikian, pemetaan ini menggambarkan tingkat kemungkinan terjadinya

kerawanan pangan suatu kecamatan secara relatif dibandingkan dengan kecamatan lainnya.

Dengan perkataan lain, kecamatan-kecamatan yang berwarna merah memiliki tingkat resiko

kerawanan pangan yang lebih besar dibandingkan kabupaten-kabupaten yang berwarna hijau

sehingga memerlukan perhatian segera. Meskipun demikian, Prioritas 3 (warna merah muda)

tidak berarti semua penduduknya berada dalam kondisi rawan pangan. Sebaliknya juga pada

kabupaten di Prioritas 6 (warna hijau tua) tidak berarti bahwa semua penduduknya tahan

pangan.

Pada Peta dibawah ini dapat tergambarkan kerentanan terhadap kerawanan

pangan di Kecamatan Neglasari rentan terhadap kerawanan pangan Prioritas 3 secara

umum disebabkan oleh: Prevalensi underweight pada balita, Persentase penduduk

hidup dibawah garis kemiskinan, Rumah tangga tanpa akses terhadap air bersih,

Rumah tangga tanpa akses terhadap listrik.

Demikian juga, meskipun Kecamatan Benda, Kecamatan Tangerang, dan

Kecamatan Pinang, dan Kecamatan Ciledug berada pada kelompok „Kecamatan

Prioritas 4‟, yang menunjukkan situasi ketahanan pangan yang lebih baik, namun

beberapa indikator masih harus diperhatikan antara lain akses terhadap listrik,

kemiskinan dan air bersih, serta underweight.

Begitu halnya dengan Kecamatan Jatiuwung, Kecamatan Cibodas, Kecamatan

Karawaci, Kecamatan Batu Ceper, Kecamatan Cipondoh, Kecamatan Karang Tengan,

dan Kecamatan Larangan yang berada pada Prioritas 5, namun terdapat beberapa

indikator yang juga harus diperhatikan yaitu underweight, kemiskinan dan air bersih.

yang masing-masing berwarna hijau dan hijau tua yang menunjukkan situasi pangan

jauh lebih baik.

Page 46: fd9c202ade938a44051b29daa98aed49

http

://litb

ang.

tang

eran

gkot

a.go

.id

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Kota Tangerang 46

Prioritas 1 Prioritas 4

1. Kemiskinan 1. Underweight pada balita

2. Tanpa akses terhadap listrik 2. Kemiskinan

3. Underweight pada balita 3. Tidak memadainya produksi pangan

4. Tidak bisa dilalui kendaraan roda 4 4. Tanpa akses terhadap air bersih

5. Tanpa akses terhadap air bersih 5. Tanpa akses terhadap listrik

Prioritas 2 Prioritas 5

1. Underweight pada balita 1. Tidak memadainya produksi pangan

2. Desa yang tidak bisa dilalui kendaraan roda 4 2. Underweight pada balita

3. Tanpa akses terhadap air bersih 3. Kemiskinan

4. Kemiskinan 4. Tanpa akses terhadap air bersih

5. Tanpa akses terhadap listrik

Prioritas 3 Prioritas 6

1. Underweight pada balita 1. Tidak memadainya produksi pangan

2. Kemiskinan 2. Kemiskinan

3. Tanpa akses terhadap air bersih 3. Underweight pada balita

4. Tidak memadainya produksi pangan pokok

Tabel 6.1 Faktor Penentu Utama Kerawanan Pangan Per Prioritas

Faktor Penyebab

Dari faktor penentu utama kerawanan per prioritas, dapat ditentukan

prioritasnya berdasarkan penghitungan indeks masing-masing indikator. Indeks

ketahanan pangan komposit dibuat dengan menggunakan 9 indikator kerentanan

terhadap kerawanan pangan, yaitu indeks ketersediaan pangan (IAV), indeks akses

terhadap pangan (penduduk miskin (IBPL), akses terhadap jalan yang memadai (IROAD),

dan akses terhadap listrik (IELE)), indeks pemanfaatan pangan (buta huruf (ILIT), angka

harapan hidup pada saat lahir (ILEX), berat badan balita dibawah standar (INUT), air

bersih (IWATER), fasilitas kesehatan (IHEALTH)).

Dari tabel 6.2 dibawah ini dapat dilihat nilai indeks untuk masing-masing

indikator dan juga nilai indeks ketahanan pangan komposit (IIFI). Ranges yang

digunakan untuk Indeks Ketahanan Pangan Komposit:

1. Prioritas 1 : r ≥ 0.80

2. Prioritas 2 : 0.64 < r ≤ 0.80

3. Prioritas 3 : 0.48 < r ≤ 0.64

4. Prioritas 4 : 0.32 < r ≤ 0.48

5. Prioritas 5 : 0.16 < r ≤ 0.32

6. Prioritas 6 : 0 < r ≤ 0.16

Page 47: fd9c202ade938a44051b29daa98aed49

http

://litb

ang.

tang

eran

gkot

a.go

.id

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Kota Tangerang 47

No Kecamatan IAV IBPL IROAD IELEC ILex INut ILIT IWATER IHEALTH IFI R_IFI

010 Ciledug 0.69 0.06 0.00 0.08 0.29 0.51 0.06 1.00 0.00 0.30 Prioritas 5

011 Larangan 0.00 0.00 0.00 0.00 0.17 0.40 0.03 0.72 0.00 0.15 Prioritas 6

012 Karang Tengah 0.12 0.07 0.00 0.00 0.42 0.77 0.16 0.88 0.00 0.27 Prioritas 5

020 Cipondoh 0.13 0.07 0.00 0.00 0.33 0.50 0.19 0.40 0.00 0.18 Prioritas 5

021 Pinang 0.04 0.24 0.00 0.75 0.07 0.58 0.77 0.91 0.00 0.37 Prioritas 4

030 Tangerang 0.00 0.16 0.00 0.17 0.00 0.82 0.17 0.71 0.00 0.23 Prioritas 5

031 Karawaci 0.00 0.27 0.00 0.58 0.53 0.51 0.00 0.43 0.00 0.26 Prioritas 5

040 Jatiuwung 1.00 0.13 0.00 0.08 0.16 0.00 0.00 0.20 0.00 0.17 Prioritas 5

041 Cibodas 0.00 0.14 0.00 0.17 0.42 0.73 0.06 0.46 0.00 0.22 Prioritas 5

042 Periuk 0.03 0.20 0.00 0.00 1.00 0.51 0.06 0.28 0.00 0.23 Prioritas 5

050 BatuCeper 0.06 0.24 0.00 0.08 0.30 0.46 0.17 0.00 0.00 0.15 Prioritas 6

051 Neglasari 0.00 1.00 0.00 1.00 0.76 0.73 1.00 0.65 0.00 0.57 Prioritas 3

060 Benda 0.01 0.62 0.00 0.50 0.28 1.00 0.51 0.02 0.00 0.33 Prioritas 4

Tabel 6.2 Indeks Ketahanan Komposit

Nilai IIFI berkisar antara 0 sampai 1. Jika nilai IIFI samna dengan 0 maka menunjukkan daerah tersebut tahan pangan.

Sebaliknya, apabila nilai IIFI sama dengan 1 maka daerah tersebut termasuk kategori rawan pangan.

Page 48: fd9c202ade938a44051b29daa98aed49

http

://litb

ang.

tang

eran

gkot

a.go

.id

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Kota Tangerang 48

Strategi peningkatan ketahanan pangan perlu dilakukan melalui pendekatan

jalur ganda (twin-track approaches) yaitu:

1. Pendekatan jangka pendek: Membangun ekonomi berbasis usaha mikro kecil

dan rumah tangga untuk meningkatkan pendapatan;

2. Pendekatan jangka menengah dan panjang: Memenuhi pangan utama bagi

kelompok masyarakat miskin dan rawan pangan melalui pendekatan

pemberdayaan dengan melibatkan partisipasi dan peran aktif seluruh pemangku

kepentingan.

Strategi penentu utama Ketahanan Pangan dan Gizi per Kecamatan, berikut

dibawah ini adalah stategi peningkatan pangan dan gizi pada masing-masing

kecamatan:

a. Kecamatan Ciledug

Ketersediaan air bersih merupakan hal yang harus dipenuhi untuk

mewujudkan ketahanan pangan rumahtangga. Oleh karena itu pemerintah

perlu membangun sarana air bersih untuk memenuhi kebutuhan penduduk. Di

Kecamatan Ciledung persentase rumah tangga terhadap akses air bersih/sehat

memiliki persentase 23.7%, hal ini dikatakan cukup baik dan memadai.

Namun Kecamatan Ciledug ini memiliki persentase tertinggi dibandingkan

dengan kecamatan lainnya di Kota Tangerang.

Begitu halnya dengan angka underweight pada balita perlu mendapat

perhatian khusus dari pemerintah daerah. Pemerintah daerah perlu

merevitalisasi peran dan fungsi Posyandu, PKK, bidan dan institusi kesehatan

lainnya untuk meningkatkan akses ke pelayanan kesehatan yang lebih

berkualitas. Penyuluhan kesehatan dan gizi perlu lebih digiatkan untuk

meningkatkan higiene, pola pengasuhan dan praktek pemberian makan dengan

menggunakan berbagai saluran komunikasi dengan menekankan bukan hanya

kepada ibu-ibu tetapi juga kepada bapak-bapak, remaja putri dan kakek-nenek.

Persentase berat badan balita dibawah standar (underweight) diatas 10% yaitu

sebesar 11.95%, sehingga kecamatan ini tergolong status gizi kurang pada

balita.

Intervensi utama perlu dilakukan dalam:

Akses ke air bersih

Mengatasi underweight pada balita

Page 49: fd9c202ade938a44051b29daa98aed49

http

://litb

ang.

tang

eran

gkot

a.go

.id

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Kota Tangerang 49

b. Kecamatan Larangan

Akses terhadap air bersih perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah

daerah. Pemerintah perlu membangun sarana air bersih, agar dapat memenuhi

kebutuhan penduduk. Persentase rumah tangga tanpa akses bersih di

Kecamatan Larangan sebesar 18.44%, walaupun masih dikatakan akses air

bersih/sehat ini memadai dan terpenuhi kualitasnya, namun perlu ditingkatkan.

Intervensi utama perlu dilakukan dalam:

Akses ke air bersih

Mengatasi underweight pada balita

c. Kecamatan Karang Tengah

Persentase berat balita dibawah standar (underweight) di Kecamatan Karang

Tengah sebesar 16.40%, sehingga Kecamatan ini tergolong status gizi kurang.

Tingginya angka underweight pada balita perlu mendapat perhatian khusus

dari pemerintah daerah. Pemerintah daerah perlu merevitalisasi peran dan

fungsi Posyandu, PKK, bidan desa dan institusi kesehatan lainnya untuk

meningkatkan akses ke pelayanan kesehatan yang lebih berkualitas.

Penyuluhan kesehatan dan gizi perlu lebih digiatkan untuk meningkatkan

higiene, pola pengasuhan dan praktek pemberian makan dengan menggunakan

berbagai saluran komunikasi dan tidak hanya terbatas kepada ibu-ibu saja

tetapi juga kepada bapak-bapak, remaja putri dan kakek-nenek.

Pembangunan akses air bersih perlu di tingkatkan. Persentase rumah tangga

tanpa akses air bersih sebesar 21.55% di Kecamatan Karang Tengah.

Persentase ini sudah cukup memadai dan terpenuhi kualitas air bersih/sehat.

Namun, perlu ditingkatkan karena Kecamatan ini memiliki persentase lebih

tinggi dibandingkan Kecamatan lainnya di Kota Tangerang.

Intervensi utama perlu dilakukan dalam:

Akses ke air bersih

Mengatasi underweight pada balita

Page 50: fd9c202ade938a44051b29daa98aed49

http

://litb

ang.

tang

eran

gkot

a.go

.id

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Kota Tangerang 50

d. Kecamatan Cipondoh

Tingginya angka underweight pada balita perlu mendapat perhatian khusus

dari pemerintah daerah. Pemerintah daerah perlu merevitalisasi peran dan

fungsi Posyandu, PKK, bidan dan institusi kesehatan lainnya untuk

meningkatkan akses ke pelayanan kesehatan yang lebih berkualitas.

Penyuluhan kesehatan dan gizi perlu lebih digiatkan untuk meningkatkan

higiene, pola pengasuhan dan praktek pemberian makan dengan menggunakan

berbagai saluran komunikasi dengan menekankan bukan hanya kepada ibu-ibu

tetapi juga kepada bapak-bapak, remaja putri dan kakek-nenek. Kecamatan

Cipondoh memiliki status gizi kurang, dari persentase berat badan balita

dibawah standar (underweight) sebesar 11.78%.

Intervensi utama perlu dilakukan dalam:

Mengatasi underweight pada balita

Akses air bersih

e. Kecamatan Pinang

Akses yang cukup terhadap listrik dan air bersih yang perlu di tingkatkan

secara signifikan. Persentase rumah tangga tanpa akses air bersih/sehat sebesar

21.98%, walaupun persentase ini masih dibawah 30% namun persentase ini

tergolong cukup tinggi dibandingkan dengan kecamatan lainnya di Kota

Tangerang. Untuk itu, pemerintah daerah perlu untuk meningkatkan terhadap

akses air bersih. Begitu dengan halnya terhadap akses listrik, persentase

rumah tangga tanpa akses listrik di Kecamatan Pinang sebesar 0.11%.

Hal lain yang perlu mendapat prioritas adalah rendahnya tingkat pendidikan

perempuan. Persentase perempuan buta huruf di Kecamatan Pinang cukup

tinggi dibandingkan pada Kecamatan lainnya di Kota Tangerang dengan

persentase sebesar 6.12%. Persentase ini di atas 5%, sehingga pemerinta perlu

meningkatkan

program pendidikan, baik formal (program pendidikan 9 tahun, pendidikan

gratis) dan pendidikan non-formal (Kejar Paket A, B dan Bimbingan

Masyarakat) perlu di diperhatikan dan dilaksanakan.

Status gizi di Kecamatan Pinang tergolong status gizi kurang dengan

persentase berat badan balita dibawah standar (underweight) sebesar 13.10%.

Tingginya angka underweight pada balita perlu mendapat perhatian khusus

Page 51: fd9c202ade938a44051b29daa98aed49

http

://litb

ang.

tang

eran

gkot

a.go

.id

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Kota Tangerang 51

dari pemerintah daerah. Pemerintah daerah perlu merevitalisasi peran dan

fungsi Posyandu, PKK, bidan desa dan institusi kesehatan lainnya untuk

meningkatkan akses ke pelayanan kesehatan yang lebih berkualitas.

Penyuluhan kesehatan dan gizi perlu lebih digiatkan untuk meningkatkan

higiene, pola pengasuhan dan praktek pemberian makan dengan menggunakan

berbagai saluran komunikasi dengan menekankan bukan hanya kepada ibu-ibu

tetapi juga kepada bapak-bapak, remaja putri dan kakek-nenek.

Intervensi utama perlu dilakukan dalam:

Akses ke air bersih

Buta Huruf

Akses listrik

Mengatasi underweight pada balita

f. Kecamatan Tangerang

Persentase rumah tangga tanpa akses air bersih/sehat sebesar 18.35%. Akses

yang cukup terhadap air bersih yang perlu di tingkatkan secara signifikan.

Persentase berat badan balita dibawah standar di Kecamatan Tangerang ini

sebesar 17.28%, persentase ini cukup tinggi bila dilihat terhaap persentase

berat balitadibawah standar pada kecamatan lainnya di Kota Tangerang. Untuk

itu, Pemerintah daerah perlu merevitalisasi peran dan fungsi Posyandu, PKK,

bidan desa dan institusi kesehatan lainnya untuk meningkatkan akses ke

pelayanan kesehatan yang lebih berkualitas. Penyuluhan kesehatan dan gizi

perlu lebih digiatkan untuk meningkatkan higiene, pola pengasuhan dan

praktek pemberian makan dengan menggunakan berbagai saluran komunikasi

dengan menekankan bukan hanya kepada ibu-ibu tetapi juga kepada bapak-

bapak, remaja putri dan kakek-nenek.

Intervensi utama perlu dilakukan dalam:

Mengatasi underweight pada balita

Akses ke air bersih

Page 52: fd9c202ade938a44051b29daa98aed49

http

://litb

ang.

tang

eran

gkot

a.go

.id

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Kota Tangerang 52

g. Kecamatan Karawaci

Persentase rumah tangga tanpa akses listrik sebesar 0.09%. Persentase ini

masih dibawah 10% namun akses yang cukup terhadap listrik yang perlu di

tingkatkan secara signifikan.

Begitu halnya dengan berat badan balita dibawah standar (underweight), di

Kecamatan Karawaci persentasenya sebesar 11.89%. Angka underweight pada

balita perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah daerah. Di Kecamatan

karawaci ini status gizi kurang karena persentase underweight pada balita di

atas 10% sehingga pemerintah daerah perlu merevitalisasi peran dan fungsi

Posyandu, PKK, bidan desa dan institusi kesehatan lainnya untuk

meningkatkan akses ke pelayanan kesehatan yang lebih berkualitas.

Penyuluhan kesehatan dan gizi perlu lebih digiatkan untuk meningkatkan

higiene, pola pengasuhan dan praktek pemberian makan dengan menggunakan

berbagai saluran komunikasi dengan menekankan bukan hanya kepada ibu-ibu

tetapi juga kepada bapak-bapak, remaja putri dan kakek-nenek.

Intervensi utama perlu dilakukan dalam:

Akses ke listrik

Angka Harapan Hidup

Mengatasi underweight pada balita

h. Kecamatan Jatiuwung

Kecamatan Jatiuwung memiliki tingkat konsumsi normatif per kapita yang

lebih tinggi jika dibandingkan dengan produksi bersih serelianya, hal ini

menunjukkan bahwa masih terdapat kekurangan produksi pangan. Beberapa

upaya perlu dilakukan untuk meningkatkan kapasitas produksi terutama

melalui upaya peningkatan produktifitas. Sejalan dengan hal tersebut, promosi

konsumsi makanan lokal yang ada juga perlu digalakkan.

Intervensi utama perlu dilakukan dalam:

Akses ke air bersih

Page 53: fd9c202ade938a44051b29daa98aed49

http

://litb

ang.

tang

eran

gkot

a.go

.id

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Kota Tangerang 53

i. Kecamatan Cibodas

Underweight pada balita perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah

daerah. Persentase berat badan balita di bawah standar (underweight) sebesar

15.66%. Status gizi di Kecamatan Cibodas ini tergolong status gizi kurang.

Pemerintah daerah perlu merevitalisasi peran dan fungsi Posyandu, PKK,

bidan desa dan institusi kesehatan lainnya untuk meningkatkan akses ke

pelayanan kesehatan yang lebih berkualitas. Penyuluhan kesehatan dan gizi

perlu lebih digiatkan untuk meningkatkan higiene, pola pengasuhan dan

praktek pemberian makan dengan menggunakan berbagai saluran komunikasi

dengan menekankan bukan hanya kepada ibu-ibu tetapi juga kepada bapak-

bapak, remaja putri dan kakek-nenek.

Intervensi utama perlu dilakukan dalam:

Mengatasi underweight pada balita

Akses ke air bersih

j. Kecamatan Periuk

Berat badan balita dibawah standar (underweight) perlu mendapat perhatian

khusus dari pemerintah daerah. Persentase underweight di Kecamatan Periuk

sebesar 11.81%, persentase ini di atas 10%, sehingga status gizi di kecamatan

ini tergolong status gizi kurang. Maka dari itu, pemerintah daerah perlu

merevitalisasi peran dan fungsi Posyandu, PKK, bidan desa dan institusi

kesehatan lainnya untuk meningkatkan akses ke pelayanan kesehatan yang

lebih berkualitas. Penyuluhan kesehatan dan gizi perlu lebih digiatkan untuk

meningkatkan higiene, pola pengasuhan dan praktek pemberian makan dengan

menggunakan berbagai saluran komunikasi dengan menekankan bukan hanya

kepada ibu-ibu tetapi juga kepada bapak-bapak, remaja putri dan kakek-nenek.

Intervensi utama perlu dilakukan dalam:

Angka Harapan Hidup

Mengatasi underweight pada balita

Page 54: fd9c202ade938a44051b29daa98aed49

http

://litb

ang.

tang

eran

gkot

a.go

.id

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Kota Tangerang 54

k. Kecamatan Batu Ceper

Kecamatan Batu Ceper memiliki tingkat konsumsi normatif per kapita yang

lebih tinggi jika dibandingkan dengan produksi bersih serelianya, hal ini

menunjukkan bahwa masih terdapat kekurangan produksi pangan. Beberapa

upaya perlu dilakukan untuk meningkatkan kapasitas produksi terutama

melalui upaya peningkatan produktifitas. Sejalan dengan hal tersebut, promosi

konsumsi makanan lokal yang ada juga perlu digalakkan.

Intervensi utama perlu dilakukan dalam:

Mengatasi underweight pada balita

l. Kecamatan Neglasari

Persentase penduduk hidup di bawah garis kemiskinan di Kecamatan

Neglasari sebesar 20.79%, tingkat kemiskinan ini lebih tinggi dari 10%

sehingga penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan perlu ditangani

secara optimal dengan melibatkan berbagai sektor dan institusi termasuk

pemerintah, sektor publik dan swasta, dan masyarakat sipil serta masyarakat

miskin itu sendiri. Selain itu, pemerintah juga perlu meningkatkan akses

terhadap air bersih dan listrik. Persentase rumah tangga terhadap akses air

bersih/sehat dan akses listrik sebesar 17.14% dan 0.14%. Walaupun kondisi

air bersih/sehat maupun listrik telah memadai namun diperlukan peningkatan

lebih lanjut.

Tingginya angka underweight pada balita perlu mendapat perhatian khusus

dari pemerintah daerah dengan persentase berat badan balita di bawah standar

(underweight) di Kecamatan Neglasari ini sebesar 15.60%. Persentase ini

menunjukkan status gizi kurang pada balita. Maka dari itu, pemerintah daerah

perlu merevitalisasi peran dan fungsi Posyandu, PKK, bidan desa dan institusi

kesehatan lainnya untuk meningkatkan akses ke pelayanan kesehatan yang

lebih berkualitas. Penyuluhan kesehatan dan gizi perlu lebih digiatkan untuk

meningkatkan higiene, pola pengasuhan dan praktek pemberian makan dengan

menggunakan berbagai saluran komunikasi dengan menekankan bukan hanya

kepada ibu-ibu saja tetapi juga kepada bapak-bapak, remaja putri dan kakek-

nenek.

Hal lain yang perlu mendapat prioritas adalah rendahnya tingkat pendidikan

perempuan di Kecamatan Neglasari dengan persentase sebesar 7.64%.

Page 55: fd9c202ade938a44051b29daa98aed49

http

://litb

ang.

tang

eran

gkot

a.go

.id

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Kota Tangerang 55

persentase ini di atas 5% sehingga diperlukan stategi untuk menekan angka

buta huruf di kecamatan ini dengan program pendidikan, baik formal (program

pendidikan 9 tahun, pendidikan gratis) dan pendidikan non-formal (Kejar

Paket A, B dan Bimbingan Masyarakat) perlu di diperhatikan dan

dilaksanakan.

Intervensi utama perlu dilakukan dalam:

Kemiskinan

Akses listrik

Buta Huruf

Angka Harapan Hidup

Underweight pada balita

Akses ke air bersih

m. Kecamatan Benda

Tingginya angka underweight pada balita perlu mendapat perhatian khusus

dari pemerintah daerah dengan persentase yang mencapai 20.33%. Status gizi

di Kecamatan Benda tergolong status gizi buruk karena persentase di

kecamatan ini lebih dari 20%. Untuk itu, pemerintah daerah perlu

merevitalisasi peran dan fungsi Posyandu, PKK, bidan desa dan institusi

kesehatan lainnya untuk meningkatkan akses ke pelayanan kesehatan yang

lebih berkualitas. Penyuluhan kesehatan dan gizi perlu lebih digiatkan untuk

meningkatkan higiene, pola pengasuhan dan praktek pemberian makan dengan

menggunakan berbagai saluran komunikasi dengan menekankan bukan hanya

kepada ibu-ibu saja tetapi juga kepada bapak-bapak, remaja putri dan kakek-

nenek.

Tingkat kemiskinan di Kecamatan Benda ini lebih tinggi dari 10% dengan

persentase penduduk hidup di bawah garis kemiskinan sebesar 13.90%,

sehingga diperlukan adanya penanggulangan tingkat kemiskinan yang efektif.

Penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan perlu ditangani secara

optimal dengan melibatkan berbagai sektor dan institusi termasuk pemerintah,

sektor publik dan swasta, dan masyarakat sipil serta masyarakat miskin itu

sendiri.

Hal lain yang perlu mendapat prioritas adalah rendahnya tingkat pendidikan

perempuan. Persentase perempuan buta huruf di Kecamatan Benda ini

Page 56: fd9c202ade938a44051b29daa98aed49

http

://litb

ang.

tang

eran

gkot

a.go

.id

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Kota Tangerang 56

mencapai 4.38%, walaupun persentase ini masih dibawah 5% namun

perempuan buta huruf berumur 15 tahun harus di tekan. Program pendidikan,

baik formal (program pendidikan 9 tahun, pendidikan gratis) dan pendidikan

non-formal (Kejar Paket A, B dan Bimbingan Masyarakat) perlu di

diperhatikan dan dilaksanakan. Selain itu, pemerintah juga perlu

meningkatkan akses terhadap listrik walaupun persentase rumah tangga tanpa

akses listrik sebesar 0.08%.

Intervensi utama perlu dilakukan dalam:

Mengatasi underweight pada balita

Kemiskinan

Buta Huruf

Akses listrik