Fatwa Mui Dsn Tentang Asuransi (Sekar )

20
Tugas Mandiri Dosen Pembimbing Akutansi Syariah Dr. Leni Novianty, MS, SE. M.Si. Ak. “ FATWA MUI (DSN) TENTANG ASURANSI SYARIAH “ DISUSUN OLEH : SUKARIYAH 21393106954 JURUSAN EKONOMI SYARIAH PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM PEKANBARU

description

Fatwa Mui Dsn Tentang Asuransi

Transcript of Fatwa Mui Dsn Tentang Asuransi (Sekar )

Tugas Mandiri Dosen PembimbingAkutansi Syariah Dr. Leni Novianty, MS, SE. M.Si. Ak. FATWA MUI (DSN) TENTANG ASURANSI SYARIAH

DISUSUN OLEH :SUKARIYAH21393106954JURUSAN EKONOMI SYARIAHPROGRAM PASCA SARJANAUNIVERSITAS ISLAM NEGERISULTAN SYARIF KASIMPEKANBARU2014

BAB IPENDAHULUANA. Latar BelakangPengertian asuransi secara umum ialah transaksi pertanggungan, yang melibatkan dua pihak, tertanggung dan penanggung. Dimana penanggung menjamin pihak tertanggung, bahwa ia akan mendapatkan penggantian terhadap suatu kerugian yang mungkin akan dideritanya, sebagai akibat dari suatu peristiwa yang semula belum tentu akan terjadi atau yang semula belum dapat ditentukan saat / kapan terjadinya. Sebagai kontraprestasinya si tertanggung di wajibkan membayar sejumlah uang kepada si penanggung, yang besarnya sekian prosen dari nilai pertanggungan, yang biasa disebut "premi".Asuransi syariah harus dibangun atas dasar ta'awun (kerja sama), tolong menolong, saling menjamin dan tidak berorientasi pada keuntungan materi semata. Allah SWT berfirman, " Dan saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan dan jangan saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan". Asuransi syariah tidak bersifat mu'awadhoh, tetapi tabarru' yang berarti sumbangan atau sama dengan hibah (pemberian), oleh karena itu haram hukumnya ditarik kembali. Kalau terjadi peristiwa, maka diselesaikan menurut syariat.Dari devinisi diatas tampak bahwa asuransi syariah bersifat saling melindungi dan saling menolong atas dasar ukhuwah Islamiyah antara anggota peserta asuransi syariah dalam menghadapi malapetaka (resiko).B. Rumusan Masalah1. Apa pengertian asuransi syariah?2. Bagaimana akat akat dalam asuransi syariah?3. Syarat apa saja yang harus di penuhi dalam mendirikan asuransi syariah.

BAB IIPEMBAHASANA. Asuransi Syariah1. Pengertian Asuransi SyariahAsuransi dalam bahasa Arab disebut Attamin yang berasal dari kata amanah yang berarti memberikan perlindungan, ketenangan, rasa aman serta bebas dari rasa takut. Istilah mentaminkan sesuatu berarti seseorang memberikan uang cicilan agar ia atau orang yang ditunjuk menjadi ahli warisnya mendapatkan ganti rugi atas hartanya yang hilang. Sedangkan pihak yang menjadi penanggung asuransi disebut muamin dan pihak yang menjadi tertanggung disebut muamman lahu atau mustamin.Menurut Fatwa Dewan Asuransi Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Fatwa DSN No.21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah bagian pertama menyebutkan pengertian Asuransi Syariah adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru yang memberikan pola pengembalian untuk mengehadapi resiko tertentu melalui akad atau perikatan yang sesuai dengan syariah.Asuransi syariah bersifat saling melindungi dan tolong menolong yang dikenal dengan istilah taawun, yaitu prinsip yang saling melindungi dan saling tolong menolong atas dasar ukhuwah Islamiyah antara sesama anggota asuransi syariah dalam menghadapi hal tak tentu yang merugikan.Definisi Asuransi menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1992 tentang usaha perasuransian Bab 1, Pasal 1: Asuransi atau Pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. 2. Dasar Hukum Asuransi SyariahDari segi hukum positif, hingga saat ini asuransi syariah masih mendasarkan legalitasnya pada Undang-undang No. 2 tahun 1992 tentang perasuransian. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang Pasal 246, yaitu: Asuransi adalah suatu perjanjian dimana seseorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tentu.Pengertian diatas tidak dapat dijadikan landasan hukum yang kuat bagi Asuransi Syariah karena tidak mengatur keberadaan asuransi berdasarkan prinsip syariah, serta tidak mengatur teknis pelaksanaan kegiatan asuransi dalam kaitannya kegiatan administrasinya. Pedoman untuk menjalankan usaha asuransi syariah terdapat dalam Fatwa Dewan Asuransi Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) No.21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah, fatwa tersebut dikeluarkan karena regulasi yang ada, tidak dapat dijadikan pedoman untuk menjalankan kegiatan Asuransi Syariah.Tetapi fatwa DSN-MUI tersebut tidak memiliki kekuatan hukum dalam Hukum Nasional karena tidak termasuk dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Agar ketentuan Asuransi Syariah memiliki kekuatan hukum, maka perlu dibentuk peraturan yang termasuk peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia meskipun dirasa belum memberi kepastian hukum yang lebih kuat, peraturan tersebut yaitu Keputusan Menteri Keuangan RI No.426/KMK.06/2003, Keputusan Menteri Keuangan RI No. 424/KMK.06/2003 dan Keputusan Direktorat Jendral Lembaga Keuangan No. 4499/LK/2000. Semua keputusan tersebut menyebutkan mengenai peraturan sistem asuransi berbasis Syariah.3. Sejarah Asuransi SyariahPerkembangan industri asuransi syariah di negeri ini diawali dengan kelahiran asuransi syariah pertama Indonesia pada 1994. Saat itu, PT Syarikat Takaful Indonesia (STI) berdiri pada 24 Februari 1994 yang dimotori oleh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) melalui Yayasan Abdi Bangsa, Bank Muamalat Indonesia, PT Asuransi Jiwa Tugu Mandiri, Departemen Keuangan RI, serta beberapa pengusaha Muslim Indonesia. Selanjutnya, STI mendirikan dua anak perusahaan. Mereka adalah perusahaan asuransi jiwa syariah bernama PT Asuransi Takaful Keluarga (ATK) pada 4 Agustus 1994 dan perusahaan asuransi kerugian syariah bernama PT Asuransi Takaful Umum (ATU) pada 2 Juni 1995. Setelah Asuransi Takaful dibuka, berbagai perusahaan asuransi pun menyadari cukup besarnya potensi bisnis asuransi syariah di Indonesia. Hal tersebut kemudian mendorong berbagai perusahaan ramai-ramai masuk bisnis asuransi syariah, di antaranya dilakukan dengan langsung mendirikan perusahaan asuransi syariah penuh maupun membuka divisi atau cabang asuransi syariah.Asuransi syariah sudah mulai dikenal semenjak berdirinya Syarikat Takaful Indonesia pada tahun 1994. Pada tahun 2015 diperkirakan bahwa potensi penerimaan premi syariah di Indonesia akan mencapai US$ 1,20 miliar. Pencapaian posisi ini menempatkan pada posisi terbesar kedua setelah Malaysia yang diperkirakan oleh penelitian Institute of Islamic Banking and Insurance di London sebesar US$ 1,22 miliar. Tetapi jika dibandingkan dengan asuransi konvensional jumlah premi ini sangatlah kecil.4. Manfaat Asuransi SyariahManfaat dari asuransi syariah antara lain, yaitu: 1. Tumbuhnya rasa persaudaraan dan sepenanggungan di antara anggota.2. Implementasi dari anjuran Rasulullah SAW agar umat islam saling tolong-menolong.3. Jauh dari bentuk-bentuk muamalat yang dilarang syariat.4. Secara umum memberikan perlindungan-perlindungan dari resiko kerugian yang diderita satu pihak.5. Meningkatkan efisiensi, karena tidak perlu secara khusus mengadakan pengamanan dan pengawasan untuk memberikan perlindungan yang memakan banyak tenaga, waktu dan biaya.6. Pemerataan biaya, yaitu cukup hanya dengan mengeluarkan biaya dengan jumlah tertentu dan tidak perlu mengganti sendiri kerugian yang timbul yang jumlahnya tidak pasti.7. Sebagai tabungan, karena jumlah yang dibayar pada pihak asuransi akan dikembalikan saat terjadi peristiwa atau berhentinya akad.B. MUDHARABAH MUSYTARAKAH PADA ASURANSI SYARIAH1. Alasan PenetapanBahwa fatwa DSN No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah khususnya mengenai akad Tijarah (Mudharabah) belum memuat akad Mudharabah Musytarakah. Bahwa akad Mudharabah Musytarakah untuk asuransi syariah sangat diperlukan oleh industri asuransi syariah. Bahwa fatwa Mudharabah Musytarakah untuk asuransi syariah perlu dibuat secara khusus sebagai implementasi dari fatwa DSN No.50/DSN-MUI/III/2006 tentang Mudharabah Musytarakah.Bahwa oleh karena itu, Dewan Syariah Nasional memandang perlu menetapkan fatwa tentang Akad Mudharabah Musytarakah pada Asuransi Syariah untuk dijadikan pedoman.2. Ketentuan HukumMudharabah Musytarakah boleh dilakukan oleh perusahaan asuransi, karena merupakan bagian dari hukum Mudharabah. Mudharabah Musytarakah dapat diterapkan pada produk asuransi syariah yang mengandung unsur tabungan (saving) maupun non tabungan.C. TABARRU' PADA ASURANSI SYARI'AH.1. Alasan Menetapkan FatwaBahwa fatwa No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah dinilai sifatnya masih sangat umum sehingga perlu dilengkapi dengan fatwa yang lebih rinci. Bahwa salah satu fatwa yang diperlukan adalah fatwa tentang Akad Tabarru untuk asuransi. Bahwa oleh karena itu, Dewan Syariah Nasional memandang perlu menetapkan fatwa tentang Akad Tabarru untuk dijadikan pedoman.2. Ketentuan HukumAkad Tabarru merupakan akad yang harus melekat pada semua produk asuransi. Akad Tabarru pada asuransi adalah semua bentuk akad yang dilakukan antar peserta pemegang polis.D. WAKALAH BIL UJRAH PADA ASURANSI SYARIAH 1. Alasan Penetapan FatwaBahwa fatwa DSN No.10/DSN-MUI/2000 tentang Wakalah dan fatwa No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah dinilai sifatnya masih sangat umum sehingga perlu dilengkapi dengan fatwa yang lebih rinci. Bahwa salah satu fatwa yang diperlukan adalah fatwa tentang Wakalah bil Ujrah untuk asuransi, yaitu salah satu bentuk akad Wakalah di mana peserta memberikan kuasa kepada perusahaan asuransi dengan imbalan pemberian ujrah (fee).Bahwa oleh karena itu, Dewan Syariah Nasional memandang perlu menetapkan fatwa tentang Wakalah bil Ujrah untuk dijadikan pedoman.E. Perbedaan Asuransi Syariah dengan Asuransi KonvensionalAda 8 perbedaan mendasar antara asuransi syariah dengan asuransi konvensional. Perbedaan tersebut adalah :1) Asuransi syariah memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang betugas mengawasi produk yang dipasarkan dan pengelolaan investasi dananya. Dewan Pengawas Syariah ini tidak ditemukan dalam asuransi konvensional.2) Akad yang dilaksanakan pada asuransi syariah berdasarkan tolong menolong. Sedangkan asuransi konvensional berdasarkan jual beli.3) Investasi dana pada asuransi syariah berdasarkan bagi hasil (mudharabah). Sedangkan pada asuransi konvensional memakai bunga (riba) sebagai landasan perhitungan investasinya 4) Kepemilikan dana pada asuransi syariah merupakan hak peserta. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Pada asuransi konvensional, dana yang terkumpul dari nasabah (premi) menjadi milik perusahaan. Sehingga, perusahaan bebas menentukan alokasi investasinya.5) Dalam mekanismenya, asuransi syariah tidak mengenal dana hangus seperti yang terdapat pada asuransi konvensional. Jika pada masa kontrak peserta tidak dapat melanjutkan pembayaran premi dan ingin mengundurkan diri sebelum masa reversing period, maka dana yang dimasukan dapat diambil kembali, kecuali sebagian dana kecil yang telah diniatkan untuk tabarru. 6) Pembayaran klaim pada asuransi syariah diambil dari dana tabarru (dana kebajikan) seluruh peserta yang sejak awal telah diikhlaskan bahwa ada penyisihan dana yang akan dipakai sebagai dana tolong menolong di antara peserta bila terjadi musibah. Sedangkan pada asuransi konvensional pembayaran klaim diambilkan dari rekening dana perusahaan. 7) Pembagian keuntungan pada asuransi syariah dibagi antara perusahaan dengan peserta sesuai prinsip bagi hasil dengan proporsi yang telah ditentukan. SedangkSS pada asuransi konvensional seluruh keuntungan menjadi hak milik perusahaan.8) Asuransi syariah dibebani kewajiban membayar zakat dari keuntungan yang diperoleh sedangkan konvensional tidak.F. Mekanisme Kerja Asuransi SyariahDidalam operasional syariah yang sebenarnya terjadi adalah saling bertanggung jawab, membantu dan melindungi diantara para peserta itu sendiri. Perusahaan diberi kepercayaan oleh para peserta untuk mengelola premi, mengembangkan dengan jalan yang halal, memberikan santunan kepada yang mengalami musibah sesuai isi akta perjanjian tersebut.Adapun proses yang dilalui seputar mekanisme kerja asuransi syariah dapat diuraikan:a. Underwriting Adalah proses penafsiran jangka hidup seseorang calon peserta yang dikaitkan dengan besarnya risiko untuk menentukan besarnya premi.b. Polis Asuransi Adalah surat perjanjian antara pihak yang menjadi peserta asuransi dengan perusahaan asuransi.c. Premi (Kontribusi), Premi dalam asuransi syariah umumnya dibagi beberapa bagian, yaitu : Premi tabungan, Premi tabbaru dan Premi biaya.d. Pengelolaan Dana Asuransi (Premi), Pengelolaan dana asuransi dapat dilakukan dengan akad mudharobah, mudharobah musyarakah atau wakalah bil ujrah. Pada akad mudharobah, keuntungan perusahaan asuransi syariah dari bagian keuntungan dana daari investasi (sistem bagi hasil).e. Jenis Investasi Usaha Asuransi Syariah, Investasi merupakan penggunaan modal untuk menciptakan uang , baik melalui sarana yang menghasilkan pendapatan maupun melalui kerja sama yang lebih berorientasi risiko yang dirancang untuk mendapatkan perolehan modal.f. Klaim adalah hak peserta asuransi yang wajib diberikan oleh perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad.g. Penutupan Asuransi Adalah berakhirnya perjanjian asuransi. Penyebab berakhirnya perjanjian asuransi bisa disebabkan oleh dua hal, yaitu:a. Perjanjian secara wajar karena masa berlakunya sudah berakhir sebagaimana perjanjian semula.b. Perjanjian berakhir secara tidak wajar karena dibatalkan oleh salah satu pihak walau masa berlaku perjanjian belum berakhir

BAB IIIPENUTUPA. KESIMPULANKeputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 426/ KMK.06/2003 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Peraturan inilah yang dapat dijadikan dasar untuk mendirikan asuransi syariah sebagaimana ketentuan dalam Pasal 3 yang menyebutkan bahwa Setiap pihak dapat melakukan usaha asuransi atau usaha reasuransi berdasarkan prinsip syariah Ketentuan yang berkaitan dengan asuransi syariah tercantum dalam Pasal 3-4 mengenai persyaratan dan tata cara memperoleh izin usaha perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah, Pasal 32 mengenai pembukaan kantor cabang dengan prinsip syariah dari perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi konvensional, dan Pasal 33 mengenai pembukaan kantor cabang dengan prinsip syariah dari perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah.Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 424/ KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Ketentuan yang berkaitan dengan asuransi syariah tercantum dalam Pasal 15-18 mengenai kekayaan yang diperkenankan harus dimiliki dan dikuasai oleh perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah.

Daftar Pustaka

Dewi, Gemala. Aspek-aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, Jakarta : Kencana Prenada Media Group. 2004 Sudarsono, Heri. Bank dan Lembaga Keuangan Syari'ah Deskrifsi dan ilustrasi. Yogyakarta: EKONSIA, Kampus Fakultas Ekonomi UII. 2003 Suwitro, Warkum. Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait (BAMUI dan Takaful di Indonesia). Jakarta: Raja Grafindo Persada 1997