FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI NILAI HIDUP...
Transcript of FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI NILAI HIDUP...
i
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI NILAI HIDUP
MATERIALISTIS PADA MASYARAKAT
PADANG PARIAMAN
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi persyaratan
memperoleh gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)
Disusun oleh:
MUHAMMAD IQBAL
NIM: 1111070000054
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H / 2016 M
ii
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI NILAI HIDUP
MATERIALISTIS PADA MASYARAKAT
PADANG PARIAMAN
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi persyaratan
memperoleh gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)
Disusun oleh:
MUHAMMAD IQBAL
NIM : 1111070000054
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Gazi, M.Si Puti Febrayosi, M.Si
NIP. 19711214 200701 1 014
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H / 2016 M
iii
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi yang berjudul “FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
NILAI HIDUP MATERIALISTIS PADA MASYARAKAT PADANG
PARIAMAN” telah diujikan dalam sidang munaqosyah Fakultas Psikologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 7 Desember
2015. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Psikologi.
Jakarta, 7 Desember 2015
Sidang Munaqosyah
Dekan / Wakil Dekan / Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota
Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag., M.Si Dr. Abdul Rahman Shaleh, M.Si
NIP. 19680614 199704 1 001 NIP. 19720823 199903 1 002
Anggota
Ima Sri Rahmani, MA., Psikolog Suta Haryanthi, M.Psi. T., Psikolog
NIP.19770101 200312 1 002 NIP. 19771209 200912 2 002
Dr. Gazi, M.Si Puti Febrayosi, M.Si
NIP. 19711214 200701 1 014
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : Muhammad Iqbal
NIM : 1111070000054
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul "FAKTOR-FAKTOR
YANG MEMPENGARUHI NILAI HIDUP MATERIALISTIS PADA
MASYARAKAT PADANG PARIAMAN" merupakan hasil karya asli saya dan
tidak melakukan tindakan plagiat dalam penyusunannya. Semua sumber yang
digunakan dalam penulisan skripsi ini telah saya cantumkan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan
hasil karya asli atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya
tersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 7 Desember 2015
Muhammad Iqbal
NIM: 1111070000054
v
HIKMAH
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amal kebajikan yang terus-menerus jauh lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta sebaik-baik
harapan” (QS Al-Kahfi, ayat 46)
“Dan kamu mencintai harta dengan kecintaan yang berlebih-lebihan. Sekali-kali jangan!....”
(QS Al-Fajr, ayat 20-21)
“Hai orang-orang yang beriman, jangalah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Siapa yang berbuat demikian,
maka mereka termasuk orang-orang yang rugi” (QS Al-Munafiqun, ayat 9)
“Dan tiadalah kehidupan dunia kecuali permainan dan senda gurau belaka, Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa.
Apakah kalian tidak memahaminya? (QS Al-An’am, ayat 32)
“Yang dinamakan kekayaan bukanlah banyaknya harta benda, tetapi kekayaan yang sebenarnya ialah kekayaan jiwa (hati)”
(Muhammad ملسو هيلع هللا ىلص)
vi
ABSTRAK
(A) Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(B) Desember 2015
(C) Muhammad Iqbal
(D) Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Nilai Hidup Materialistis Pada
Masyarakat Padang Pariaman
(E) xiv + 106 halaman
(F) Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi
nilai hidup materialistis. Adapun faktor-faktor yang ingin diketahui
pengaruhnya dengan nilai hidup materialistis pada penelitian ini adalah
harga diri, perbandingan sosial, rasa syukur, pola komunikasi keluarga,
kelekatan tidak nyaman, dan status sosio ekonomi. Populasi dalam
penelitian ini adalah masyarakat Padang Pariaman, Sumatera Barat.
Penelitian menggunakan analisis faktor konfirmatorik untuk menguji
validitas konstruk alat ukur dan uji hipotesis penelitian menggunakan teknik
analisis regresi berganda.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang dijadikan variabel
bebas dalam penelitian ini memberikan pengaruh terhadap nilai hidup
materialistis sebesar 16.9 %. Hasil tersebut signifikan secara statistik
(p<0.05). Kemudian dari tujuh variabel bebas yang dianalisis, hanya dua
yang mempengaruhi nilai hidup materialistis secara signifikan, yaitu
perbandingan sosial dan rasa syukur. Penelitian selanjutnya diharapkan
untuk memilih sampel dengan karakteristik budaya yang berbeda dan pada
masyarakat metropolitan.
Bahan Bacaan: 62 (buku + jurnal + artikel + website)
Kata Kunci: Materialistis, nilai, orientasi hidup,
vii
ABSTRACT
(A) Department of Psychology UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(B) Desember 2015
(C) Muhammad Iqbal
(D) Factors that Influence Materialistic Values In Padang Pariaman Society
(E) xiv + 106 pages
(F) This study aims to explore relationship between self-esteem, social
comparison, gratitude, family communication pattern, insecure attachment,
and socioeconomic status toward materialistic behavior. The study
population is people of Padang Pariaman, West Sumatera. This research
uses confirmatory factor analysis to test validity of measurements, and use
multiple regression analysis to hypotesis test.
The results showed that the factors used as independent variables in this
study gives an influence on the materialistic behavior amounted to 16.9 % .
The result was statistically significant ( p < 0.05). Then from all
independent variables analyzed, only two significantly influence on
materialistic behavior, namely social comparison and gratitude. Further
research is expected to select sample with different cultural characteristics
and metropolitan communities
Keyword: Materialistic values, life goals.
References: 62 (books + journals + articles + website)
viii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan banyak karunia dan
rahmat dalam hidup ini sehingga berkat pertolongan-Nya penulis akhirnya bisa
menyelesaikan skripsi ini dengan baik sekalipun melewati rintangan yang
berat. Sholawat beriring salam diberikan kepada Nabi Tercinta, Muhammad
SAW, yang lewat lisannya Allah SWT menyampaikan wahyu sehingga
manusia mengetahui jalan kebenaran hakiki.
Banyak pihak yang membantu dalam memudahkan urusan skripsi ini,
terutama apresiasi sebesar-sebesarnya kepada orang tua tercinta yang selalu
memberi dukungan di setiap keadaan.. Terima kasih juga sebanyak-banyaknya
kepada pihak-pihak yang telah membantu, yaitu sebagai berikut:
1. Kepada Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag, M.Si ; Dekan Fakultas Psikologi
beserta Wakil-wakil Dekan; Bapak Dr.Abdurrahman Shaleh, M.Si, Wadek
Bidang Akademik; Bapak Ikhwan Luthfi, M.Si, Wadek Bidang
Administrasi; Ibu Dra. Diana Mutiah, M.Si, Wadek Bidang
Kemahasiswaan dan Alumni; serta Bapak Miftahuddin, M.Si, Ketua
Jurusan Psikologi; yang telah banyak membimbing peneliti selama
perkuliahan.
2. Kepada Bapak Dr. Gazi, M.Si; Dosen pembimbing skripsi yang banyak
memberikan inspirasi dan masukan-masukan positif selama pengerjaan
skripsi ini, serta kepada Kak Puti Febrayoshi, M.Si; Dosen pembimbing
skripsi II yang banyak sekali menyampaikan ilmu mengenai pengolahan
data dan atas segala bimbingan dan masukannya.
3. Kepada Ibu Nia Tresniasari, M.Si selaku pembimbing akademik yang
telah banyak membantu dalam hal akademis selama perkuliahan.
4. Kepada seluruh Dosen-dosen Fakultas Psikologi; khususnya terimakasih
sebanyak-banyaknya kepada Bapak Baidhowi, Ibu Yufi, dan Kak Adiyo,
atas bimbingan dan ilmunya selama penelitian dan perkuliahan.
ix
5. Kepada seluruh staff pegawai psikologi yang membantu pengurusan
administrasi skripsi; khususnya kepada Ibu Iis.
6. Kepada Keluarga penulis yang telah banyak membantu selama
perkuliahan berlangsung.
7. Kepada sahabat – sahabat MAPK Kotobaru yang selalu memberikan
semangat di kala futur.
8. Kepada seluruh teman-teman kelas B Angkatan 2011 Fakultas Psikologi.
9. Serta kepada seluruh pihak-pihak yang telah memberikan kontribusi dalam
penelitian ini yang tidak bisa namanya disebutkan satu per satu.
Akhir kata, peneliti hanya berharap Allah Subhanu wa Taala memberikan
balasan kebaikan kepada mereka semua yang membantu dalam penelitian ini.
Jakarta, 7 Desember 2015
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. iii
HALAMAN PERNYATAAN .............................................................................. iv
MOTTO .................................................................................................................. v
ABSTRAK ............................................................................................................ vi
KATA PENGANTAR ........................................................................................ viii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... x
DAFTAR TABEL ............................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xiv
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................ 1 - 9
1.1 Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1
1.2 Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah ...................................... 7
1.2.1 Pembatasan Masalah ..................................................................... 7
1.2.2 Perumusan Masalah ...................................................................... 7
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................... 8
1.4 Manfaat penelitian .................................................................................. 8
1.4.1 Secara Teoritis ................................................................................ 8
1.4.2 Secara Praktis ................................................................................. 9
BAB 2 LANDASAN TEORI ....................................................................... 10 - 40
2.1 Nilai Hidup Materialistis ...................................................................... 10
2.1.2 Pengertian Nilai Hidup Materialistis ............................................ 10
2.1.2 Aspek-Aspek Nilai Hidup Materialistis ....................................... 12
2.1.3 Faktor Yang Mempengaruhi Nilai Hidup Materialistis ................ 13
2.1.4 Indikator dan Pengukuran Nilai Hidup Materialistis .................... 18
2.2 Harga Diri ............................................................................................. 19
2.2.1 Pengertian Harga Diri ................................................................... 19
2.2.2 Indikator dan Pengukuran Harga Diri .......................................... 20
2.3 Perbandingan Sosial ............................................................................. 21
2.3.1 Pengertian Perbandingan Sosial ................................................... 21
2.3.2 Indikator dan Pengukuran Perbandingan Sosial ........................... 22
2.4 Rasa Syukur .......................................................................................... 22
2.4.1 Pengertian Rasa Syukur ................................................................ 22
2.4.3 Indikator dan Pengukuran Rasa Syukur ....................................... 23
2.5 Pola Komunikasi Keluarga ................................................................... 24
2.5.1 Pengertian Pola Komunikasi Keluarga ......................................... 24
2.5.2 Tipe Pola Komunikasi Keluarga .................................................. 26
2.5.3 Indikator dan Pengukuran Pola Komunikasi Keluarga ................ 27
xi
2.6 Kelekatan Tidak Nyaman ..................................................................... 28
2.6.1 Pengertian Kelekatan Tidak Nyaman ........................................... 28
2.6.2 Aspek Kelekatan Tidak Nyaman .................................................. 29
2.6.3 Indikator dan Pengukuran Kelekatan Tidak Nyaman................... 30
2.7 Status Sosioekonomi ............................................................................ 30
2.7.1 Pengertian Status Sosioekonomi .................................................. 30
2.7.2 Indikator dan Pengukuran Status Sosioekonomi .......................... 32
2.8 Kerangka Berpikir ................................................................................ 32
2.8.1 Harga Diri dan Nilai Hidup Materialistis ..................................... 33
2.8.2 Perbandingan Sosial dan Nilai Hidup Materialistis ...................... 34
2.8.3 Rasa Syukur dan Nilai Hidup Materialistis .................................. 35
2.8.4 Pola Komunikasi Keluarga dan Nilai Hidup Materialistis ........... 37
2.8.5 Kelekatan Tidak Nyaman dan Nilai Hidup Materialistis ............. 37
2.8.6 Status Sosioekonomi dan Nilai Hidup Materialistis ..................... 38
2.9 Hipotesis Penelitian .............................................................................. 40
BAB 3 METODE PENELITIAN ................................................................ 41 - 64
3.1 Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel ........................... 41
3.2 Variabel Penelitian ............................................................................... 41
3.3 Pengertian Operasional Variabel .......................................................... 42
3.4 Teknik Pengumpulan Data ................................................................... 43
3.4.1 Instrumen Penelitian ..................................................................... 44
3.5 Uji Validitas Instrumen Alat Ukur ....................................................... 50
3.5.1 Uji Validitas Item Nilai hidup materialistis .................................. 53
3.5.2 Uji Validitas Item Harga Diri ....................................................... 54
3.5.3 Uji Validitas Item Perbandingan Sosial........................................ 55
3.5.4 Uji Validitas Item Rasa Syukur .................................................... 56
3.5.5 Uji Validitas Item Pola Komunikasi Keluarga Berorientasi Sosial ...... 57
3.5.6 Uji Validitas Item Pola Komunikasi Keluarga Berorientasi Konsep .... 58
3.5.7 Uji Validitas Item Kelekatan Tidak Nyaman ............................... 60
3.6 Teknik Analisis Data ............................................................................ 60
BAB 4 HASIL PENELITIAN ..................................................................... 65 - 74
4.1 Gambaran Umum Subjek Penelitian .................................................... 65
4.2 Hasil Analisis Deskriptif ...................................................................... 66
4.3 Uji Hipotesis Penelitian ........................................................................ 67
BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN .................................... 75 - 86
5.1 Kesimpulan .......................................................................................... 75
5.2 Diskusi .................................................................................................. 75
5.3 Saran ..................................................................................................... 84
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 87 - 92
LAMPIRAN ................................................................................................. 93-105
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Skor Skala Likert ............................................................................. 44
Tabel 3.2 Cetak Biru Skala Nilai Hidup Materialistis ..................................... 45
Tabel 3.3 Cetak Biru Skala Harga Diri ............................................................ 46
Tabel 3.4 Cetak Biru Skala Perbandingan Sosial ............................................ 46
Tabel 3.5 Cetak Biru Skala Rasa Syukur ......................................................... 47
Tabel 3.6 Cetak Biru Skala Pola Komunikasi Keluarga .................................. 48
Tabel 3.7 Cetak Biru Skala Kelekatan Tidak Nyaman .................................... 48
Tabel 3.8 Kategorisasi Status Sosioekonomi ................................................... 49
Tabel 3.9 Muatan Faktor Item Nilai Hidup Materialistis ................................. 53
Tabel 3.10 Muatan Faktor Item Harga Diri ..................................................... 55
Tabel 3.11 Muatan Faktor Item Perbandingan Sosial ...................................... 56
Tabel 3.12 Muatan Faktor Item Rasa Syukur .................................................. 57
Tabel 3.13 Muatan Faktor Item Pola Komunikasi Keluarga Sosial................. 58
Tabel 3.14 Muatan Faktor Item Pola Komunikasi Keluarga Konsep .............. 59
Tabel 3.15 Muatan Faktor Item Kelekatan Tidak Nyaman.............................. 60
Tabel 4.1 Gambaran Umum Responden .......................................................... 65
Tabel 4.2 Analisis Deskriptif ........................................................................... 66
Tabel 4.3 Pedoman Interpretasi Skor ............................................................... 67
Tabel 4.4 Kategorisasi Skor Variabel .............................................................. 67
Tabel 4.5 Model Summary Analisis Regresi ................................................... 68
Tabel 4.6 Pengaruh Keseluruhan IV Terhadap DV ......................................... 69
Tabel 4.7 Koefisien Regresi ............................................................................. 70
Tabel 4.8 Proporsi Varians Tiap IV Terhadap DV .......................................... 73
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir ........................................................................ 46
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Kuisioner Penelitian ..................................................................... 93
Lampiran 2 Syntax Uji Validitas ..................................................................... 99
Lampiran 3 Output Regresi ............................................................................ 106
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Masyarakat Padang Pariaman tumbuh dengan Budaya Minangkabau. Tapi ada
yang membuat masyarakat Padang Pariaman berbeda dengan masyarakat lainnya
di Minangkabau, yaitu adanya budaya menjemput. Budaya menjemput dilakukan
ketika seorang wanita ingin menikah dengan seorang laki-laki, maka pihak wanita
harus “membeli” pihak laki-laki dengan harga yang disepakati. Semakin tinggi
status sosial pihak laki-laki, maka semakin tinggi pula harga yang harus
dibayarkan oleh pihak perempuan. Tinggi rendahnya status sosial pihak laki-laki
ditentukan oleh keturunan, pekerjaan, dan jabatan.
Budaya menjemput pada masyarakat Padang Pariaman ini menjadi ciri
khas budaya yang tidak bisa ditemukan di daerah lain. Sebab itu orientasi materi
pada masyarakat Padang Pariaman ini menjadi sangat menarik untuk ditelaah,
terutama dalam perspektif psikologi. Hal ini karena dalam perspektif psikologi,
budaya menjemput pada masyarakat Padang Pariaman ini erat kaitannya dengan
nilai hidup materialistis. Nilai hidup materialistis adalah suatu orientasi nilai yang
dijadikan pedoman hidup seseorang yang mengarahkan segala keinginan, cita-cita
dan perilaku individu pada pencapaian atau peraihan yang berbentuk materi yang
mencakup kesuksesan secara finansial, menaikkan popularitas, dan status sosial
(Kasser, Ryan, Couchman, & Sheldon, 2004). Dari definisi terlihat bahwa nilai
hidup materialistis adalah seperangkat nilai dan konsep yang menempatkan materi
2
yang berupa kesuksesan finansial, popularitas, dan status sosial menjadi standar
penilaian yang paling utama. Dalam hal ini, budaya menjemput erat kaitannya
dengan nilai hidup materialistis karena menilai dan menghargai seseorang dilihat
dari segi pekerjaan, penghasilan, ataupun kedudukan sosial individu tersebut.
Sebab itu, seseorang cenderung dihormati tatkala memiliki pekerjaan yang
bergengsi ataupun penghasilan yang tinggi. Sehingga hal ini membuat orang
berlomba-lomba meraih kedudukan yang tinggi dalam sistem kemasyarakatan
dengan menjadikan dirinya sebaik mungkin dalam urusan pekerjaan dan
kesuksesan finansial.
Ketika suatu budaya sangat mengedepankan cara pandang yang
materialistis, maka hal ini akan mempengaruhi individu-individu yang hidup
dalam budaya tersebut untuk memiliki nilai hidup yang materialistis pula. Hal ini
sesuai dengan teori belajar sosial yang dikemukakan oleh Bandura (1971) di mana
perilaku individu dapat dipengaruhi oleh interaksi antara lingkungan dengan
skema kognitif individu, yakni melalui pengalaman langsung (direct experience)
atau dengan mengamati perilaku orang-orang sekitar. Namun dibalik itu semua,
hal yang paling penting untuk ditelaah adalah mengapa budaya Padang Pariaman
erat kaitannya dengan nilai hidup materialistis? Dan faktor apa saja yang
mempengaruhi terbentuknya nilai hidup materialistis yang kuat pada budaya
Padang Pariaman?
Dalam studi literatur yang sudah peneliti lakukan, diketahui beberapa
faktor yang mempengaruhi nilai hidup materialistis yang sudah dipublikasikan
dalam jurnal, artikel, dan buku-buku psikologi, di antara faktor yang peneliti
3
rangkum adalah faktor rendahnya variabel harga diri (Park & John, 2010),
tingginya variabel perbandingan sosial (Chan & Prendergast, 2007), rendahnya
rasa syukur (Polak & McCullough, 2006), arah pola komunikasi keluarga (Moore
& Moschis, 1981), kelekatan yang tidak nyaman (Norris et al., 2012), dan status
sosioekonomi yang rendah (Chang & Arkin, 2002; Ahuvia & Wong, 2002).
Faktor pertama yang diprediksi mempengaruhi nilai hidup materialistis
yang diangkat dalam penelitian ini adalah harga diri, atau disebut juga dengan
self-esteem. Pada penelitian-penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa individu
yang memiliki harga diri rendah cenderung akan menjadi seseorang yang tinggi
dalam bernilai hidup materialistis, begitu pun sebaliknya (Park & John, 2010;
Mick, 1996; Kasser et al., 2004). Sebagai upaya menaikkan (self-enhance)
kekurangan dirinya yang terwujudkan dalam harga dirinya yang rendah, individu
dengan harga diri yang rendah akan menganggap dirinya menjadi lebih berharga
apabila memiliki kepemilikan materi dan kekayaan (Park & John, 2010; Chang &
Arkin, 2002)
Perbandingan sosial adalah faktor kedua yang diangkat dalam penelitian
ini yang diprediksi akan menyebabkan individu menjadi bernilai hidup
materialistis. Membandingkan diri dengan orang lain membuat seseorang ingin
memiliki apa yang dimiliki oleh orang lain. Apalagi orang yang dijadikan
perbandingan adalah orang yang lebih mampu secara materi dibanding dirinya
(Kasser et al., 2004). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Chan
dan Prendergast (2007) yang menemukan hubungan yang positif antara
perbandingan sosial dengan nilai hidup materialistis.
4
Faktor ketiga yang diangkat dalam penelitian ini yang diprediksi akan
mempengaruhi nilai hidup materialistis seseorang adalah rasa syukur atau
gratitude. Rasa syukur diprediksi akan menurunkan nilai hidup materialistis pada
seseorang karena rasa syukur memiliki hubungan yang negatif dengan nilai hidup
materialistis. Hal ini disebabkan karena individu yang memiliki rasa syukur tinggi
cenderung mempunyai rasa terima kasih kepada orang lain dan kepada apa saja
yang memberikan keuntungan dan kebaikan padanya. Individu dengan rasa
syukur juga cenderung puas terhadap apa yang dimilikinya dan memaknai setiap
hal kecil yang ia miliki sehingga ia bersyukur dengan materi yang dimilikinya
sekarang dan tidak cenderung berambisi mengumpulkan dan mengejar
kepemilikan materi. Sedangkan ciri-ciri ini diketahui sangat bertentangan dengan
individu yang memiliki nilai hidup materialistis yang tidak pernah puas dengan
apa yang dimilikinya saat ini (Polak & McCullough, 2006)
Faktor keempat dan kelima yang diangkat dalam penelitian ini yang
diprediksi mempengaruhi nilai hidup materialistis adalah pola komunikasi
keluarga yang mempunyai dua dimensi, yaitu berorientasi sosial dan berorientasi
konsep. Pola komunikasi keluarga dimensi berorientasi sosial atau disebut juga
socio-oriented adalah pola sosialisasi komunikasi yang mengutamakan
keharmonisan hubungan interpersonal dan menghindari konflik, berlawanan
pendapat, perdebatan, dan sangat memperhatikan apa pendapat orang lain
terhadap apa yang akan dikatakannya, agar tercipta keharmonisan dengan lawan
bicaranya. Artinya, pola komunikasi ini lebih mementingkan keharmonisan
hubungan interpersonal, memikirkan apakah apa yang akan dikatakan akan
5
melukai perasaan orang lain, atau membuat lawan bicaranya tidak nyaman.
Dengan kata lain komunikasinya banyak tertahan dan tidak bisa menyampaikan
apa yang sebenarnya ia rasakan. Pola komunikasi keluarga berorientasi sosial ini
diprediksi dapat meningkatkan nilai hidup materialistis karena mereka yang
berpola komunikasi jenis ini menghindari konflik ide yang dipandangnya benar
dengan ide yang berkembang di masyarakat, sehingga mereka cenderung hanya
mengikuti apa yang sedang terjadi di masyarakat tanpa memikirkan baik atau
buruknya pandangan masyarakat itu (Moore & Moschis, 1981).
Sedangkan pola komunikasi keluarga dimensi berorientasi konsep adalah
pola komunikasi yang lebih menekankan penyampaian sesuatu yang menurut
perspektifnya benar, walaupun konsep tersebut tidak disetujui oleh masyarakat
dan tidak terlalu peduli dengan apa yang dikatakan orang terhadap
pembicaraannya tersebut. Sehingga pola komunikasi jenis ini berani melakukan
konflik ide, melakukan perdebatan, dan persebrangan ide dengan lawan
komunikasinya. Dengan kata lain pola komunikasi ini jarang menahan apa yang
ingin ia sampaikan, kontras dengan pola komunikasi berorientasi sosial yang
dijelaskan sebelumnya. Pola komunikasi keluarga berorientasi konsep
berhubungan negatif dengan nilai hidup materialistis karena mereka tidak
cenderung ikut-ikutan dengan tren yang ada pada masyarakat yang cenderung
materialistis dan biasanya mereka yang mempunyai pola komunikasi ini lebih
terdidik secara akademik (Moschis & Moschis, 1981).
Faktor keenam dalam penelitian ini yang diprediksi dapat mempengaruhi
nilai hidup materialistis adalah kelekatan tidak nyaman atau disebut juga insecure
6
attachment. Kelekatan tidak nyaman yang dimaksud adalah kelekatan pada masa
dewasa atau adult attachment yang terdiri dari dua aspek, yaitu anxious
attachment dan avoidant attachment. Sedangkan kelekatan yang nyaman (secure
attachment) tidak memiliki pengaruh terhadap nilai hidup materialistis. Oleh
karena itu yang dipakai dalam penelitian ini hanyalah kelekatan tidak nyaman.
Menurut Norris et al. (2012), individu yang mengalami kelekatan yang tidak
nyaman menjadikan nilai hidup materialistis sebagai kompensasi terhadap
pengalaman negatif tersebut. Mereka menjadikan materi dan kekayaan sebagai
objek kelekatan mereka, sehingga bisa mengalihkan ketidaknyaman mereka
dalam mencari objek kelekatan pada orang-orang terdekat, dan materi dijadikan
sebuah alat untuk menjadikan mereka nyaman dalam membangun relasi dengan
orang lain.
Selain keenam faktor psikologis diatas, terdapat satu faktor demografis
dalam penelitian ini yang diprediksi mempengaruhi nilai hidup materialistis pada
individu, yaitu status sosioekonomi. Status sosioekonomi yang rendah diprediksi
menyebabkan seseorang memiliki nilai hidup materialistis. Karena mereka
menganggap tujuan memperbaiki ekonominya adalah suatu hal yang realistis
untuk dicapai, disamping bertujuan untuk menutupi kekurangan ekonominya.
Status sosioekonomi yang rendah juga menyebabkan perasaan tidak nyaman
dengan keadaan hidupnya sehingga menurutnya yang bisa membuat hidupnya
lebih nyaman adalah dengan ekonomi yang lebih baik (Chang & Arkin, 2002;
Ahuvia & Wong, 2002).
7
Berdasarkan hal-hal yang telah peneliti uraikan sebelumnya, peneliti
tertarik untuk meneliti masalah yang berkaitan dengan nilai hidup materialistis
pada masyarakat Padang Pariaman berdasarkan latar belakang budaya yang sudah
dijelaskan, serta untuk mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi
terbentuknya nilai hidup materialistis. Oleh karena itu, judul yang diangkat pada
penelitian ini adalah “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nilai Hidup Materialistis
pada Masyarakat Padang Pariaman”.
1.2 Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah
1.2.1 Pembatasan Masalah
Penelitian ini dibatasi pada masalah yang berkaitan dengan nilai hidup
materialistis pada masyarakat Padang Pariaman, dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya yaitu harga diri, perbandingan sosial, rasa syukur, pola
komunikasi keluarga, kelekatan tidak nyaman, dan status sosioekonomi.
1.2.2 Perumusan Masalah
1. Apakah ada pengaruh harga diri, perbandingan sosial, rasa syukur, dua
dimensi pola komunikasi keluarga, kelekatan tidak nyaman, dan status
sosioekonomi terhadap nilai hidup materialistis?
2. Berapa besar kontribusi harga diri, perbandingan sosial, rasa syukur, dua
dimensi pola komunikasi keluarga, kelekatan tidak nyaman, dan status
sosioekonomi secara keseluruhan dalam mempengaruhi nilai hidup
materialistis?
3. Apakah ada pengaruh secara signifikan harga diri terhadap nilai hidup
materialistis?
8
4. Apakah ada pengaruh secara signifikan perbandingan sosial terhadap nilai
hidup materialistis?
5. Apakah ada pengaruh secara signifikan rasa syukur terhadap nilai hidup
materialistis?
6. Apakah ada pengaruh secara signifikan dua dimensi pola komunikasi keluarga
terhadap nilai hidup materialistis?
7. Apakah ada pengaruh secara signifikan status sosioekonomi terhadap nilai
hidup materialistis?
8. Berapa besar kontribusi masing-masing variabel harga diri, perbandingan
sosial, rasa syukur, pola komunikasi keluarga, kelekatan tidak nyaman, dan
status sosioekonomi dalam mempengaruhi nilai hidup materialistis?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh antara harga diri,
perbandingan sosial, rasa syukur, pola komunikasi keluarga, kelekatan tidak
nyaman, dan status sosioekonomi dengan nilai hidup materialistis.
1.4 Manfaat penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1.4.1 Secara Teoritis
Secara teoritis, hasil penelitian diharapkan dapat memberikan tambahan
pemikiran, bahan bacaan, dan referensi terhadap ilmu psikologi secara khusus,
dan ilmu sosial secara umum tentang pengaruh harga diri, perbandingan sosial,
rasa syukur, pola komunikasi keluarga, kelekatan tidak nyaman, dan status
sosioekonomi terhadap nilai hidup materialistis.
9
1.4.2 Secara Praktis
Secara praktis, penelitian ini ingin mengungkapkan pengaruh harga diri,
perbandingan sosial, rasa syukur, pola komunikasi keluarga, kelekatan tidak
nyaman, dan status sosioekonomi terhadap nilai hidup materialistis. Selain itu,
secara praktis dapat memberikan sumbangan terhadap pemecahan masalah budaya
masyarakat Padang Pariaman yang berhubungan dengan nilai hidup materialistis.
Secara teknis juga bisa memperbaiki tatanan budaya yang erat kaitannya dengan
nilai hidup materialistis.
10
BAB 2
LANDASAN TEORI
Dalam bab ini akan dijelaskan landasan teori mengenai nilai hidup materialistis,
harga diri, perbandingan sosial, rasa syukur, pola komunikasi keluarga, kelekatan
tidak nyaman, status sosioekonomi, kerangka berpikir, beserta hipotesis
penelitian.
2.1 Nilai Hidup Materialistis
2.1.1 Pengertian nilai hidup materialistis
Menurut Inglehart (dalam Ahuvia & Wong, 2002), nilai hidup materialistis adalah
kecenderungan individu yang lebih mementingkan kebutuhan yang berbentuk
materi (kepemilikan benda dan kekayaan) dibandingkan kebutuhan yang bersifat
non-materi (kualitas hidup, pengembangan diri, nilai-nilai luhur). Ketika individu
bisa lebih memberi prioritas pada nilai-nilai non-materi dibanding nilai materi,
maka disebut post-materialistis.
Selanjutnya, menurut Belk (1985, hal. 265), nilai hidup materialistis
adalah “importance a person attaches to worldly possessions”. Maksudnya,
orientasi hidup seseorang yang jauh lebih mementingkan kepemilikan duniawi
yang biasanya berbentuk kebendaan atau material yang diwujudkan melalui
kekayaan.
Menurut Richin dan Dawson (1990), nilai hidup materialistis adalah
sebuah nilai personal yang dimiliki individu yang mengarahkan orientasi
hidupnya pada kepemilikan materi dan menganggap kepemilikan materi tersebut
sebagai simbol dari kesuksesan dan membawa kebahagiaan. Individu yang
11
materialistis menurut definisi ini yakin bahwa hanya kekayaan materi yang bisa
menggambarkan kesuksesan dan kebahagiaan dalam hidupnya.
Menurut Shrum et al. (2012), nilai hidup materialistis adalah “motivated
goal pursuit intended to construct and maintain self-identity”. Maksudnya adalah
peraihan tujuan (melalui penggunaan materi) yang dimotivasi dan diniatkan untuk
membangun dan memelihara identitas diri. Menurut definisi ini nilai hidup
materialistis dimiliki saat seseorang ingin menjaga eksistensi dirinya dengan
berbagai macam cara dan upaya melalui penggunaan harta dan materi.
Selanjutnya, menurut Kasser et al. (2004), nilai hidup materialistis adalah
suatu orientasi nilai yang dijadikan pedoman hidup seseorang yang mengarahkan
segala keinginan, cita-cita dan perilaku individu pada pencapaian atau peraihan
yang berbentuk materi yang mencakup kesuksesan secara finansial, menaikkan
popularitas, dan status sosial. Menurut definisi ini nilai hidup materialistis adalah
orientasi atau tujuan hidup. Jadi, nilai hidup materialistis menurutnya adalah
tujuan hidup yang mendambakan pemenuhan hasrat akan kepemilikan materi
berlimpah, dan menomorduakan orientasi-orientasi hidup lainnya, seperti orientasi
hidup keagamaan, kemanusiaan, pro-lingkungan dan nilai-nilai luhur lainnya.
Materi yang dimaksud dalam definisi menurut Kasser et al. (2004) tersebut
juga mencakup arti yang cukup luas. Materi bukan hanya uang atau kesuksesan
finansial semata, melainkan juga materi yang berbentuk popularitas, dan
pencitraan diri. Kasser menyebut tiga materi tersebut dengan external goals
(Kasser, 2000; Kasser & Ryan, 1996), atau tujuan hidup yang bersifat eksternal,
dimana tujuan ini hendak dicapai karena disertai niat untuk bisa diperlihatkan
12
kepada orang lain dan lingkungan sosialnya. Berbeda dengan tujuan hidup yang
bersifat intrinsik, yang hanya bisa dirasakan oleh diri sendiri dan orang-orang
yang pernah mengalaminya (personal experience).
Setelah menganalisis beberapa pengertian diatas, pengertian yang dipakai
dalam penelitian ini adalah yang diajukan oleh Kasser et al. (2004), yaitu suatu
orientasi nilai yang dijadikan pedoman hidup seseorang yang mengarahkan segala
keinginan, cita-cita dan perilaku individu pada pencapaian atau peraihan yang
berbentuk materi yang mencakup kesuksesan secara finansial, menaikkan
popularitas, dan status sosial.
2.1.2 Aspek-aspek nilai hidup materialistis
Terdapat tiga aspek nilai hidup materialistis (Kasser & Ryan, 1993, 1996; Kasser,
2000), yaitu kesuksesan finansial, kepopuleran sosial, dan pencitraan diri. Yang
dimaksud dengan kesuksesan finansial adalah nilai hidup yang dimotivasi karena
keinginan meraih keuntungan materi secara berlebihan, dan mempunyai
keyakinan bahwa kesuksesan finansial dan kesuksesan materi adalah prioritas
yang paling utama dalam hidup. Sehingga individu yang memiliki keyakinan ini
memandang orang lain dengan kacamata penilaian kesuksesan finansial, yaitu
semakin sukses finansial seseorang, semakin layak dihormati dan diikuti
langkahnya dan menyampingkan orientasi hidup lain. Ditingkat ekstrim,
keyakinan kesuksesan finansial ini bisa membuka kesempatan untuk berbuat
kriminal dan korupsi. Aspek kedua dari nilai hidup materialistis adalah
kepopuleran sosial, yaitu nilai hidup yang dimotivasi untuk meraih tujuan
popularitas dan dikenal oleh lingkungan sosial dalam rangka meraih reward
13
positif dari orang lain dan diakui kesuksesannya. Individu yang memiliki
keyakinan ini mulai mau berbuat sesuatu yang menurutnya bisa membuat dirinya
populer. Senang dengan pujian dan ingin dipuji walaupun sebenarnya ia tidak
pantas untuk mendapatkannya. Sedangkan aspek ketiga dari nilai hidup
materialistis adalah pencitraan diri, yaitu nilai hidup yang dimotivasi untuk
memiliki pencitraan diri positif di mata orang lain. Pencitraan diri ini bisa
berbentuk pencitraan sifat dan perilaku; dimana ia ingin bersifat dan berperilaku
baik jika itu bisa membuat orang berpendapat bahwa ia adalah orang dengan sifat
dan perilaku baik. Serta pencitraan fisik, dengan indikator-indikator fisik seperti
pakaian yang dipakai harus bagus jika ada banyak orang lain memperhatikan, dan
sebagainya.
2.1.3 Faktor yang mempengaruhi nilai hidup materialistis
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi nilai hidup materialistis. Ada faktor
yang dikategorikan dari aspek individu seperti harga diri, kelekatan tidak nyaman,
personal insecure, ada pula faktor yang dikategorikan dari aspek keluarga seperti
gaya asuh dan perceraian, serta faktor lingkungan seperti pengaruh media dan
teman sebaya.
2.1.3.1 Faktor keluarga
1. Gaya asuh orangtua
Gaya asuh orangtua lebih hangat dan penuh kontrol akan mempengaruhi
berkembangan nilai hidup materialistis pada anak tersebut. Seperti penelitian
yang dilakukan oleh Kasser, Ryan, Zax, dan Sameroff (1995) bahwa orangtua
yang lebih hangat dalam mengasuh dan orang tua yang mengapresiasi anaknya
14
dapat memperkecil kemungkinan anaknya memiliki nilai hidup materialistis,
dibandingkan orangtua yang terlalu kaku dan jarang memberikan kesempatan
untuk anaknya memberikan pendapat.
2. Perceraian orangtua
Penelitian dalam Kasser (2002) membuktikan perceraian adalah faktor yang
berkaitan dengan nilai hidup materialistis. Perceraian mengakibatkan seseorang
berkurang mendapatkan kasih sayang dan tidak mendapatkan kenyamanan
dalam hidupnya. Untuk mengisi kekosongan itu, individu tersebut bernilai
hidup materialistis agar bisa merasa lebih nyaman sebagai kompensasi dari
kekosongan kasih sayang yang didapatkan dari orang tua yang bercerai.
3. Pola komunikasi keluarga
Pola komunikasi dapat menyebabkan terbentuknya nilai hidup materialistis
karena informasi yang masuk didapatkan melalui komunikasi dengan dunia
luar, khususnya keluarga. Ada dua pola komunikasi keluarga, yaitu berorientasi
sosial yaitu pola komunikasi yang sangat menekankan keharmonisan hubungan
dengan orang lain dan pola komunikasi berorientasi konsep.
Pola komunikasi keluarga berorientasi sosial diprediksi dapat
menyebabkan nilai hidup materialistis karena mereka yang berpola komunikasi
jenis ini menghindari konflik ide yang dipandangnya benar dengan ide yang
berkembang di masyarakat, sehingga mereka cenderung hanya mengikuti apa
yang sedang terjadi di masyarakat tanpa memikirkan baik atau buruknya
pandangan masyarakat itu (Moore & Moschis, 1981).
15
2.1.3.2 Faktor individu
1. Harga diri
Individu dengan harga diri rendah cenderung mempunyai nilai hidup
materialistis disebabkan karena orientasi dalam peraihan materi adalah sebagai
bentuk kompensasi dari rendahnya harga diri. Individu dengan harga diri yang
rendah akan menganggap dirinya menjadi lebih berharga apabila memiliki
kepemilikan materi dan kekayaan (Park & John, 2010; Chang & Arkin, 2002)
2. Ketidaknyaman pribadi
Ketidaknyamanan pribadi ini bisa berbentuk ketidaknyaman fisik dan
psikologis. Ketika individu mengalami pengalaman atau situasi yang tidak
mendukungnya untuk memenuhi kepuasan dasar psikologinya, maka individu
itu akan memiliki perasaan ketidaknyamanan dalam hidupnya, sehingga
individu tersebut menjadi berorientasikan pada kepemilikan materi dan
kekayaan sebagai bentuk kompensasi dari perasaan ketidaknyaman tersebut
(Kasser et al., 2004).
3. Keraguan terhadap diri
Ketika seseorang meragukan kapasitas dirinya, maka ia akan memiliki nilai
hidup materialistis. Keraguan terhadap dirinya ini terjadi ketika ia merasakan
ketidakpastian dalam dirinya dan tidak punya pegangan disaat kemajuan zaman
yang semakin pesat. Oleh karena itu ia melakukan kompensasi perasaan
internalnya yang penuh keraguan dengan memperlihatkan sesuatu yang
eksternal yang tampak oleh orang lain yang bisa dibanggakan yaitu materi
(Chang & Arkin, 2002)
16
4. Kelekatan tidak nyaman
Menurut Norris et al. (2012), individu yang mengalami kelekatan yang tidak
nyaman menjadikan nilai hidup materialistis sebagai kompensasi terhadap
pengalaman negatif tersebut. Mereka menjadikan materi dan kekayaan sebagai
objek kelekatan mereka, sehingga bisa mengalihkan ketidaknyaman mereka
dalam mencari objek kelekatan pada orang-orang terdekat, dan materi
dijadikan sebuah alat untuk menjadikan mereka nyaman dalam membangun
relasi dengan orang lain.
2.1.3.3 Faktor lingkungan sosial
1. Perbandingan sosial
Orang-orang cenderung membandingkan dirinya dengan orang dan melakukan
penilaian atas perbandingan tersebut. Individu yang melakukan perbandingan
keatas atau pada orang yang lebih baik, biasanya menghasilkan penilaian diri
yang negatif terhadap dirinya karena bisa menjadikan dirinya inferior dan
minder karena perbandingan yang ia lakukan (Sirgy, 1998).
Membandingkan diri dengan orang lain membuat seseorang ingin
memiliki apa yang dimiliki oleh orang lain. Apalagi orang yang dijadikan
perbandingan adalah orang yang lebih mampu secara materi dibanding dirinya
(Kasser et al., 2004). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Chan dan Prendergast (2007) yang menemukan hubungan yang positif antara
perbandingan sosial dengan nilai hidup materialistis.
17
2. Pengaruh interaksi sosial
Faktor yang paling konsisten dalam mempengaruhi nilai hidup materialistis
pada remaja adalah pengaruh interaksi dengan orang lain yang bernilai hidup
materialistis pula, khususnya faktor interaksi dengan teman sebaya (Ahuvia &
Wong, 2002). Dari sudut pandang sosial, teman sebaya adalah agen sosialisasi
yang memberikan masukan dan arahan tentang cara bersikap dan berperilaku
melalui modeling, reinforcement, dan interaksi sosial.
3. Faktor media
Iklan-iklan komersial yang ditampilan di media cetak dan elektronik adalah
faktor yang cukup besar mempengaruhi nilai hidup materialistis pada individu.
Bahasa dan visual periklanan komersial saat ini sangat persuasif mengajak
masyarakat untuk membeli produk yang diiklankan. Sebagai contoh, sebuah
iklan memperlihatkan ketika seseorang membeli produknya, orang tersebut
dianggap sukses dan populer dikarenakan telah memakai produknya yang
mahal (Kasser, 2002).
Apalagi saat ini dunia hiburan dan dunia periklanan saat ini tumbuh sangat
besar mengajak dengan segala cara agar masyarakat mau membeli produk yang
ditawarkan. Tidak hanya orang dewasa, anak-anak dan remaja saat ini juga
menjadi aktif sebagai konsumer. Bahkan tidak sedikit produk untuk anak dan
remaja yang sukses dipasaran karena produsen memanfaatkan kesempatan
mempengaruhi anak-anak meminta-minta kepada orang tuanya untuk
membelikan produk tersebut. Saat tangisan seorang anak yang meminta
18
dibelikan suatu barang oleh orang tuanya adalah jalan utama anak tersebut
menjadi seorang yang bernilai hidup materialistis (Ahuvia & Wong, 2002).
2.1.4 Indikator dan pengukuran nilai hidup materialistis
Pengukuran nilai hidup materialistis berfokus pada tiga indikator yaitu : (1)
orientasi seseorang pada kesuksesan finansial, (2) orientasi kepada kepopuleran
atau menjadi terkenal, dan (3) orientasi individu terhadap pencitraan diri yang
bersifat fisik. Ada beberapa alat ukur yang sudah berkembang dalam mengukur
nilai hidup materialistis adalah sebagai berikut:
1. Belk's Materialisme Scale dikembangkan oleh Belk (1985). Alat ukur ini
mengukur nilai hidup materialistis yang terdiri dari tiga subskala yaitu,
“envy”, “non-generousity”, dan “possessiveness”. Menggunakan lima
poin skala likert dari rentangan “sangat tidak setuju” sampai dengan
“sangat setuju”. Beberapa penelitian menemukan alat ukur ini memiliki
reliabilitas yang rendah sehingga saat ini jarang dipakai untuk meneliti
nilai hidup materialistis. (Srikant, 2013).
2. Value Materialism Scale dikembangkan oleh Richin dan Dawson (1990).
Dalam versi aslinya, alat ukur ini terdiri dari 18 item dan mempunyai
reliabilitas sebesar 0,80 (Srikant, 2013). Alat ukur ini terdiri dari tiga
subskala yaitu “centrality”, “happiness”, dan “success”.
3. Aspiration Index
Dikembangkan oleh Kasser & Ryan (Kasser, 2002). Alat ukur ini terdiri
dari tiga komponen yaitu: komponen “kesuksesan finansial”, “social
recognition”, dan “appealing appearance”.
19
Dalam penelitian kali ini, peneliti akan memodifikasi alat ukur mengenai
nilai hidup materialistis berdasarkan teori yang dikembangkan oleh Kasser dan
Ryan (Kasser, 2002, 2014; Kasser & Ryan, 1993, 1996; Kasser et al., 2004).
Dengan pertimbangan alat ukur baku yang dikembangkan Kasser dan Ryan (1993,
1996) memakai struktur bahasa Inggris yang sulit, dan jika diterjemahkan ke
Bahasa akan menimbulkan sedikit kerancuan. Oleh karena itu peneliti
memodifikasi alat ukur sendiri tetapi berdasarkan aspek-aspek yang sudah
dijelaskan pada teori.
2.2 Harga Diri
2.2.1 Pengertian harga diri
Menurut Rosenberg (dalam Emler, 2001 dan Thomas, 2012), harga diri adalah
sikap evaluatif individu terhadap dirinya sendiri secara keseluruhan mengenai hal-
hal yang berkaitan dengan dirinya. Sikap evaluatif ini bisa positif dan negatif.
Seseorang yang memiliki penilaian positif maka individu tersebut dikatakan
memiliki harga diri yang tinggi, dan sebaliknya apabila memiliki penilaian diri
yang negatif maka individu tersebut memiliki harga diri yang rendah. Sikap
evaluatif terhadap diri sendiri ini juga bisa terbentuk dan terpengaruhi dari
pendapat orang lain mengenai dirinya. Harga diri bisa meningkat ketika individu
mencapai suatu kesuksesan dalam hidupnya dan terhindar dari kegagalan-
kegagalan (Emler, 2001).
Tokoh lain yang mempunyai konsep sedikit berbeda mengenai harga diri
yaitu Myers (2010), yang mendefinisikan harga diri sebagai penilaian
keseluruhan seseorang tentang perasaan dan keberhargaan dirinya. Selanjutnya
20
menurut Coopersmith (sebagaimana dikutip dalam Emler, 2001), harga diri adalah
keyakinan pribadi mengenai kapasitas, signifikansi, kesuksesan, dan keberhargaan
dirinya.
Tokoh lain seperti Cast dan Burke (2002) mendefinisikan harga diri
sebagai sebuah hasil dari verifikasi diri (self-verification) yang terjadi dalam
lingkungannya, baik verifikasi pribadi atau verifikasi kelompok. Menurut definisi
ini, harga diri juga ada pada kelompok, bukan hanya harga diri individu saja.
Akan tetapi pada dasarnya, semua definisi yang sudah disebutkan diatas
mempunyai konsep yang sama mengenai harga diri, yaitu sebuah sikap evaluatif,
perasaan, rangkaian sikap, penilaian pribadi atau verifikasi diri, atau penilaian
positif, terhadap gambaran dirinya. Gambaran diri tersebut meliputi kapabilitas,
kemampuan, atau perasaan secara keseluruhan terhadap dirinya.
Namun dalam penelitian ini, peneliti memakai definisi harga diri menurut
Rosenberg, yaitu sikap evaluatif individu terhadap dirinya sendiri secara
keseluruhan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan dirinya (Emler, 2001).
2.2.2 Indikator dan pengukuran harga diri
Indikator dalam mengukur harga diri adalah penilaian diri yang berkaitan dengan
kualitas diri, kepuasan terhadap diri sendiri sebagai manusia seutuhnya dan
menjalankan fungsi-fungsinya, dan penilaian inidividu terhadap kebanggaan dan
keberhargaan dirinya. Alat ukur yang mengukur harga diri yang paling banyak
digunakan adalah Rosenberg Self Esteem Scale. Alat ukur ini bersifat
unidimensional atau satu dimensi yang mengukur secara umum harga diri. Terdiri
dari 10 item yang mengukur harga diri secara umum. Menurut Emler (2001),
21
Rosenberg Self Esteem Scale dikembangkan dari definisi Rosenberg mengenai
harga diri. Alat ukur ini adalah alat ukur "gold standard" atau alat ukur yang baik
dalam mengukur harga diri. Alat ukur ini adalah alat ukur yang paling banyak
digunakan dalam penelitian harga diri karena memiliki error yang kecil dan murah
(Emler, 2001).
Alat ukur yang digunakan dalam mengukur harga diri pada penelitian ini
dimodifikasi oleh peneliti sendiri berdasarkan skala Rosenberg's Self Esteem
Scale (RSE). Menggunakan lima poin skala likert dari rentangan “sangat tidak
sesuai” sampai “sangat sesuai”. Skala RSE adalah alat ukur satu dimensi yang
memiliki koefisien alpha yang baik (Thomas, 2012).
2.3 Perbandingan Sosial
2.3.1 Pengertian perbandingan sosial
Menurut Festinger (dalam Thomas, 2012), perbandingan sosial adalah kebutuhan
individu dalam menilai opini dan kemampuan dirinya dengan orang lain.
Sedangkan menurut Myers (2010), perbandingan sosial adalah menilai
kemampuan dan pendapat seseorang dengan cara membandingkannya dengan
orang lain. Menurut Wood (1996), perbandingan sosial adalah proses mencari
tahu informasi mengenai orang lain dan membandingkannya dengan diri sendiri.
Selanjutnya menurut Bunk dan Gibbons (2006), perbandingan sosial
adalah kecenderungan individu dalam membandingkan dirinya dengan orang lain,
yang bisa berbentuk pengalaman, pencapaian, dan prestasi. Berdasarkan definisi
ini, hal yang dijadikan objek perbandingan sosial tidak hanya kemampuan diri,
melainkan bisa juga berbentuk segala sesuatu yang berkaitan dengan dirinya dan
22
hidupnya, seperti pengalaman, pencapaian hidup, prestasi dan juga bisa hanya
sekedar opini dan pendapat.
Defenisi perbandingan sosial pada penelitian kali ini menggunakan
defenisi dari Bunk dan Gibbons (2006), yaitu kecenderungan individu dalam
membandingkan dirinya dengan orang lain, yang bisa berbentuk pengalaman,
pencapaian, dan prestasi.
2.3.2 Indikator dan pengukuran perbandingan sosial
Indikator dalam mengukur perbandingan sosial adalah dengan mengetahui tingkat
perbandingan individu dengan orang lain dalam hal pengalaman, prestasi diri,
kepemilikan, dan pencapaian dalam segala bidang kehidupan. Untuk
mengukurnya, peneliti akan memodifikasi alat ukur Social Comparison
Orientation Scale yang dikembangkan oleh Bunk dan Gibbon (2006) yang
memiliki reliabilitas yang baik, yang berkisar antara alpha 0,78 sampai dengan
0,85. Ditambah lagi pemakaian alat ukur ini sesuai dengan definisi yang dipakai.
2.4 Rasa Syukur
2.4.1 Pengertian rasa syukur
McCullough, Tsang, dan Emmons (2002) mendefenisikan rasa syukur sebagai
kecenderungan seseorang untuk mengenali dan menyadari perbuatan baik orang
lain yang memberikan pengalaman atau hasil yang positif yang menguntungkan
bagi dirinya dengan perasaan penuh terima kasih. Rasa syukur bisa jadi berbentuk
pengalaman yang memberikan positive outcome bagi dirinya yang didapatkan dari
orang lain.
23
Watkins, Woodward, Stone dan Kolts (2003) mendefinisikan syukur
sebagai sebuah perasaan terima kasih sebagai penghargaan atas apa yang telah
diterima. Terdapat tiga karakteristik orang yang bersyukur menurut definisi ini,
yaitu orang tersebut memiliki (a) perasaaan penuh berkecukupan, (b) memberikan
apresiasi terhadap kebaikan orang lain, dan (c) orang tersebut memiliki rasa
syukur terhadap hal-hal kecil dalam hidupnya.
Sedangkan Emmons (sebagaimana dikutip dalam Lambert, Finchman,
Stillman, & Dean, 2009) mendefinisikan syukur sebagai sebuah keadaan individu
yang mengenali dan mengapresiasi setiap pemberian yang bersifat altruistik dari
orang lain. Adanya sifat altruistik menjadikan definisi ini lebih sedikit memiliki
standar tinggi bagi seseorang untuk memiliki rasa syukur..
Dalam penelitian ini, definisi yang dipakai adalah definisi menurut
McCullough et al. (2002), yang mendefenisikan rasa syukur sebagai
kecenderungan seseorang untuk mengenali dan menyadari perbuatan baik orang
lain yang memberikan pengalaman atau hasil yang positif yang menguntungkan
bagi dirinya dengan perasaan penuh terima kasih.
2.4.2 Indikator dan pengukuran rasa syukur
Indikator dalam mengukur rasa syukur adalah perilaku bersyukur seseorang dalam
menghadapi berbagai situasi dan pengalaman yang berbentuk penghargaan
terhadap hal kecil, penghargaan terhadap orang lain, dan menghargai apa yang
dimiliki. Terdapat tiga alat ukur yang sudah dikembangkan peneliti-peneliti
sebelumnya dalam mengukur rasa syukur.
24
a. GQ6 (McCullough et al., 2002). Alat ukur GQ6 ini mengukur syukur
dengan unidimensi yang berisi enam item yang berfokus kepada rasa
syukur yang diukur berdasarkan seberapa sering dan intens rasa syukur itu
dirasakan.
b. GRAT (Watkins et al., 2003) adalah alat ukur yang melibatkan tiga aspek
yaitu appreciation of people, appreciation of life, the absence of feeling
deprivation.
Dalam mengukur rasa syukur dalam penelitian ini, peneliti melakukan
modifikasi alat ukur GQ6 yang dikembangkan oleh McCullough et al. (2002)
karena sesuai dengan teori rasa syukur yang dipakai dalam penelitian dan juga alat
ukur ini dikembangkan dengan metode psikometri yang cukup baik, yaitu
menggunakan EFA, CFA, dan tiga kali replikasi CFA, serta diskriminan validitas
(Wood, Maltby, Stewart, & Josep, 2007)
2.5 Pola Komunikasi Keluarga
2.5.1 Pengertian pola komunikasi keluarga
Pola komunikasi keluarga menurut McLeod dan Chaffe (dalam Prasitthipab,
2008) adalah pola pikir dan sosialisasi anak yang merefleksikan bagaimana orang
tua berkomunikasi dengannya. Sedangkan menurut Ritchie dan Fitzpatrick (dalam
Prasitthipab, 2008), pola komunikasi keluarga adalah seperangkat norma yang
membangun cara bertukarnya informasi dan objek komunikasi
Sedangkan menurut Moore & Moschis (1981), pola komunikasi keluarga
adalah tipe interaksi komunikasi yang mencerminkan gaya sosialisasi seseorang
dengan lingkungannya yang direfleksikan dari bagaimana keluarganya
25
berkomunikasi dengannya. Artinya, pola komunikasi keluarga dibentuk oleh
lingkungan keluarga, sehingga ketika seseorang berada di lingkungan sosial,
mereka akan berkomunikasi sebagaimana mereka berkomunikasi dengan
keluarganya.
Pola komunikasi keluarga terdiri dari dua dimensi, yaitu; berorientasi
sosial, yaitu pola sosialisasi komunikasi yang mengutamakan hubungan
interpersonal dan menghindari konflik, berlawanan pendapat, perdebatan, dan
sangat memperhatikan apa pendapat orang lain terhadap apa yang akan
dikatakannya, agar tercipta keharmonisan dengan lawan bicaranya. dan dimensi
berorientasi konsep, yaitu pola komunikasi yang lebih menekankan penyampaian
sesuatu yang menurut perspektifnya benar, walaupun konsep tersebut tidak
disetujui oleh masyarakat dan tidak terlalu peduli dengan apa yang dikatakan
orang terhadap pembicaraannya tersebut (Prasitthipab, 2008; Moschis & Moschis,
1981).
Pola komunikasi keluarga memberikan pondasi kepada individu
bagaimana ia berinteraksi dengan dunia luar dan mempengaruhi perkembangan
kemampuan, pengetahuan, dan sikap seorang individu dalam melakukan perilaku
konsumsi (Moore & Moschis, 1981).
Definisi pola komunikasi keluarga dalam penelitian ini adalah definisi
menurut Moore dan Moschis (1981), yaitu tipe interaksi komunikasi yang
mencerminkan gaya sosialisasi seseorang dengan lingkungannya yang
direfleksikan dari bagaimana keluarganya berkomunikasi dengannya. Yang terdiri
dari dua dimensi; dimensi berorientasi sosial, yaitu pola sosialisasi komunikasi
26
yang mengutamakan hubungan interpersonal dan menghindari konflik,
berlawanan pendapat, perdebatan, dan sangat memperhatikan apa pendapat orang
lain terhadap apa yang akan dikatakannya, agar tercipta keharmonisan dengan
lawan bicaranya; dan dimensi berorientasi konsep, yaitu pola komunikasi yang
lebih menekankan penyampaian sesuatu yang menurut perspektifnya benar,
walaupun konsep tersebut tidak disetujui oleh masyarakat dan tidak terlalu peduli
dengan apa yang dikatakan orang terhadap pembicaraannya tersebut.
2.5.2 Tipe pola komunikasi keluarga
1. Berorientasi Sosial
Pola komunikasi berorientasi sosial adalah pola sosialisasi komunikasi yang
mengutamakan keharmonisan hubungan interpersonal dan menghindari
konflik, berlawanan pendapat, perdebatan, dan sangat memperhatikan apa
pendapat orang lain terhadap apa yang akan dikatakannya, agar tercipta
keharmonisan dengan lawan bicaranya. Pola komunikasi yang berorientasi
sosial menghindari kontroversi dan perdebatan dalam pembicaran dan lebih
baik menahan kritik atau ketidaksetujuan ketika berinteraksi (Moore &
Moschis, 1985; Weaver, Moschis, & Davis, 2011).
Pola komunikasi ini juga mengindikasikan adanya kontrol yang kuat dari
orang tua, seperti adanya hukuman ketika melanggar aturan keluarga. Individu
yang mengalami pola komunikasi berorientasi sosial juga diajarkan untuk tidak
berdebat, menghindari kontroversi, menahan amarah, dan menjauhi hal-hal
yang bisa menimnbulkan masalah (Lull, 1990)
27
2. Berorientasi Konsep
Pola komunikasi berorientasi konsep adalah pola komunikasi yang lebih
menekankan penyampaian sesuatu yang menurut perspektifnya benar,
walaupun konsep tersebut tidak disetujui oleh masyarakat dan tidak terlalu
peduli dengan apa yang dikatakan orang terhadap pembicaraannya tersebut.
Pola komunikasi ini juga menekankan pada tujuan agar bisa menentukan
keputusan secara mandiri (Moore & Moschis, 1985; Weaver et al., 2011). Pola
komunikasi ini sangat menekankan kepada penyampaian dan diskusi ide-ide
yang ada, individu juga diajarkan untuk mengekspresikan idenya tersebut dan
bahkan boleh untuk menentang dan mempertanyakan ide orang lain. Apabila
ada hal-hal kontroversi, individu ditantang untuk melihatnya dari sudut
pandang yang berbeda dan boleh mendiskusikan pandangan tersebut dengan
orang-orang yang lebih berpengalaman (Lull, 1990).
2.5.3 Indikator dan pengukuran pola komunikasi keluarga
Indikator dalam mengukur pola komunikasi keluarga adalah dengan mengetahui
ciri khas komunikasi individu dengan orang lain yang berkaitan dengan
keharmonisan hubungan dengan lawan bicara, seperti menjaga perasaan lawan
bicara saat berkomunikasi. Alat ukur yang digunakan untuk mengukur pola
komunikasi keluarga dimodifikasi oleh peneliti berdasarkan teori yang
dikembangkan oleh Moore dan Mooschis (1981), yang memiliki dua dimensi
yang bersebrangan, dimensi berorientasi sosial dan berorientasi konsep.
28
2.6 Kelekatan Tidak Nyaman
2.6.1 Pengertian kelekatan tidak nyaman
Kelekatan atau attachment pertama kali dikemukakan oleh John Bowlby, yaitu
ikatan emosional yang kuat antara anak dan pengasuh awalnya, biasanya dengan
sosok orang tua (dalam Kennedy & Kennedy, 2004 & Bretherthon, 1992).
Kelekatan pada masa awal hidup (bayi dan anak-anak) akan berpengaruh pada
proses kelekatan seseorang pada masa dewasanya (adults attachment) yaitu
kelekatan seseorang pada orang-orang terdekat seperti teman dan pasangan
(Mischel, Shoda, & Smith, 2004). Sehingga teori kelekatan yang awalnya hanya
meneliti proses kelekatan emosi anak dan ibu bisa terbawa hingga individu
dewasa yang akan mempengaruhi kelekatan emosinya dengan partner, teman, atau
lingkungan sosial yang akan mempengaruhi perkembangan hidupnya (life-span
development) (Chopik et al., 2014).
Kelekatan tidak nyaman yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
kelekatan tidak nyaman pada saat ini (dewasa) (adult insecure attachment).
Kelekatan tidak nyaman adalah kelekatan emosional antara seseorang dengan
figur terdekat yang tidak memberikan kenyaman fisik dan psikologis, yang terdiri
dari aspek; kelekatan penuh kecemasan, yaitu ikatan emosional dengan orang lain
yang diliputi perasaan kegagalan, karena selalu diliputi rasa cemas; dan
penghindaran kelekatan, yaitu situasi dimana tidak mampu membangun ikatan
emosional dan hubungan sosial dengan orang lain (Norris et al., 2012; Chopik et
al., 2014)
29
Jadi, definisi kelekatan tidak nyaman dalam penelitian ini adalah
kelekatan emosional antara seseorang dengan figur terdekat yang tidak
memberikan kenyaman fisik dan psikologis, yang terdiri dari: kelekatan penuh
kecemasan, yaitu hubungan sosial tidak efektif atau mengalami kegagalan, dan
penghindaran kelekatan, yaitu individu yang menghindar atau tidak mampu
membangun ikatan emosial dan hubungan sosial dengan orang lain (Norris et al.,
2012; Chopik et al., 2014)
2.6.2 Aspek kelekatan tidak nyaman
1. Kelekatan Penuh Kecemasan
Individu yang mengalami kelekatan penuh kecemasan (anxious attachment)
adalah individu yang sangat ingin menjalin hubungan sosial dengan orang lain
akan tetapi tidak efektif atau mengalami kegagalan (Norris et al., 2012).
Individu yang mengalami kelekatan penuh kecemasan selalu diliputi rasa
curiga dan cemas ditolak dalam membangun hubungan dengan orang
lingkungan, yaitu kekhawatiran bahwa mereka akan meninggalkannya.
Kekhawatiran ini akan mengarah pada ketidaknyamanan saat dekat dengan
orang-orang disekitarnya (Mikulincer, Shaver, & Pereg, 2003)
2. Penghindaran Kelekatan
Penghindaran kelekatan (avoidant attachment) adalah individu yang
menghindar atau tidak mampu membangun ikatan emosial dan relasi sosial
dengan orang lain (Norris et al., 2012). Individu dengan penghindaran
kelekatan cenderung tertutup dengan orang lain sehingga selalu ada jarak
30
emosiaonal dan interpersonal dengan orang lain (Chopik et al, 2014;
Mikulincer, Shaver, & Pereg, 2003).
2.6.3 Indikator dan pengukuran kelekatan tidak nyaman
Indikator dalam pengukuran kelekatan tidak nyaman adalah tingkat kecemasan
individu terhadap berakhirnya hubungan dengan orang lain, serta tingkat
kenyamanan individu saat membangun hubungan dengan orang. Peneliti
memodifikasi sendiri alat ukur kelekatan tidak nyaman berdasarkan alat ukur
Experience of Close Relationship Scale-Short Form yang dikembangkan oleh
Wei, Russel, Mallinckrodt, dan Vogel (2007). Alat ukur ini digunakan oleh Norris
et al. (2012) dalam mengukur kelekatan tidak nyaman berdasarkan teori yang
mereka kembangkan. Skala ini sudah mengalami pengujian psikometri yang baik
karena dikembangkan dengan metode internal consistency, test-retest realibity,
analisis faktor, dan validitas (dalam Wei et al., 2007)
2.7 Status Sosioekonomi
2.7.1 Definisi Status Sosioekonomi
Status sosioekonomi menurut Ahuvia dan Wong (2002) adalah pengelompokan
individu berdasarkan kombinasi dari tiga dimensi, yaitu (a) pendapatan dalam
setahun, (b) tingkat pendidikan ayah, (c) tingkat pendidikan ibu.
Rindfleisch, Burrough, dan Denton (sebagaimana dikutip dalam Ahuvia &
Wong, 2002) sedikit berbeda dalam mendefinisikan status sosioekonomi, yaitu
kumpulan dari tiga dimensi (1) persepsi kekayaan keluarga, (b) tingkat pendidikan
orang tua, dan (c) pendapatan keluarga. Sedangkan menurut National Center for
31
Education Statistics (2012), status sosioekonomi adalah tingkat pendidikan, status
pekerjaan, dan tingkat pendapatan.
Santrock (dalam Halifat, 2014) mendefinisikan status sosioekonomi
sebagai pengklasifikasian individu menurut kesamaan karakteristik pekerjaan,
pendidikan, atau ekonomi.
Sedangkan di Indonesia, yang secara rutin melakukan pendataan dalam
mengukur status sosioekonomi adalah Badan Pusat Statistik (BPS), yang
meninjau status sosioekonomi dari tingkat pengeluaran individu setiap
periodenya. Berdasarkan data terbaru BPS (Bps.go.id, 2015), persentase
perkembangan distribusi pengeluaran dapat dibagi menjadi 3 golongan besar,
yaitu:
a. Golongan rendah, adalah golongan yang memiliki pengeluaran yang
berada pada cut off dibawah 40% dihitung dari rentangan pengeluaran
seluruh responden survey.
b. Golongan menengah, adalah golongan yang memiliki pengeluaran yang
berada pada cut off antara 40%-80%, dihitung dari rentangan pengeluaran
seluruh responden survey.
c. Golongan tinggi, adalah golongan yang memiliki pengeluaran yang berada
pada cut off 80% keatas, dihitung dari rentangan pengeluaran seluruh
responden survey.
Dalam penelitian ini definisi status sosioekonomi yang akan dipakai
adalah menurut BPS yaitu pengelompokan sosial ekonomi individu dalam
masyarakat yang diukur melalui tingkat pengeluaran individu per bulan.
32
2.7.2 Indikator dan pengukuran status sosioekonomi
Indikator pengukuran status sosioekonomi adalah tingkat ekonomi individu yang
diukur melalui pengeluarannya per bulan. Peneliti akan mengukur status
sosioekonomi mengacu pada 3 kategori cut-off yang dipakai oleh BPS dalam
pembagian status sosioekonomi berdasarkan tingkat pengeluaran (BPS, 2015).
2.8 Kerangka Berpikir
Nilai hidup materialistis adalah suatu orientasi nilai yang dijadikan pedoman
hidup seseorang yang mengarahkan segala keinginan, cita-cita dan perilaku
individu pada pencapaian atau peraihan yang berbentuk materi yang mencakup
kesuksesan secara finansial, menaikkan popularitas, dan status sosial (Kasser et
al., 2004). Banyak dampak negatif yang ditimbulkan oleh nilai hidup materialistis
terhadap kondisi psikologis seseorang, seperti meningkatkan kemungkinan
depresi, meningkatkan kecemasan, rendahnya aktualisasi diri, menurunkan
vitalitas mental (Kasser, 2002). Serta berkorelasi negatif dengan perilaku pro-
sosial, menurunkan kompetensi diri, membuat hubungan dengan orang lain
menjadi kurang hangat, hubungan interpersonal yang negatif, berkurangnya
kemandirian, menurunkan rasa peduli terhadap masyarakat dan lingkungan
(Kasser et al., 2004)
Terdapat beberapa faktor-faktor yang diketahui dapat mempengaruhi nilai
hidup materialistis. Tujuh faktor diangkat dalam penelitian ini dijadikan sebagai
variabel bebas dalam memprediksi nilai hidup materialistis. Adapun faktor-faktor
tersebut adalah rendahnya harga diri, perbandingan sosial yang tinggi, rasa syukur
yang rendah, pola komunikasi keluarga yang lebih cenderung berorientasi sosial
33
dibandingkan pola komunikasi keluarga berorientasi konsep, kelekatan tidak
nyaman, serta status sosioekonomi seseorang.
Untuk mengetahui dinamika masing-masing independent variable dalam
mempengaruhi nilai hidup materialistis. Berikut akan dijelaskan lebih dalam
kerangka berpikir penelitian berdasarkan masing-masing pengaruh independent
variabel terhadap dependent variable berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu.
2.8.1 Harga diri dan nilai hidup materialistis
Dalam penelitian-penelitian sebelumnya disebutkan adanya hubungan harga diri
dan nilai hidup materialistis. Bahwa individu yang memiliki harga diri rendah
cenderung memiliki nilai hidup materialistis yang tinggi (Park & John, 2010;
Mick, 1996; Kasser et al., 2004)
Adanya hubungan yang kuat antara harga diri rendah yang terwujud
dalam banyaknya keraguan akan kapasitas dirinya dan nilai hidup materialistis ini
disebabkan karena nilai hidup materialistis dijadikan suatu strategi self-
enhancement seseorang yang ingin menaikkan penilaiannya terhadap kapasitas
dirinya (Zhou & Gao, 2008).
Hubungan antara harga diri yang negatif dengan nilai hidup materialistis
juga bisa terjadi ketika seseorang ingin menjadikan nilai hidup materialistis
sebagai kompensasi dari ketidaknyaman dirinya dengan cara memiliki kekayaan
dan materi. Bisa disederhanakan menjadi dua tujuan (Zhou & Gao, 2008).
Pertama, nilai hidup materialistis dianggap bisa menguatkan eksistensi dirinya
sebagai manusia. Dengan menguatnya eksistensi dirinya dengan kepemilikan
harta, bisa memenuhi rasa ketidakberdayaan diri mereka yang memiliki harga diri
34
rendah. Mereka menjadi percaya bahwa eksistensi manusia diukur dengan
seberapa banyak diri mereka memiliki harta benda. Kedua, nilai hidup
materialistis dimiliki seseorang diakibatkan karena dalam hidupnya selalu
dikontrol oleh pihak yang lebih kuat atau karena merasa tidak ada kekuatan untuk
mengontrol hidupnya yang menyebabkan harga dirinya menjadi rendah. Mereka
yang mengalami ini menjadikan harta dan materi sebagai bentuk kompensasi dari
ketidakberdayaannya tersebut..
Harga diri yang rendah dapat meningkatkan nilai hidup materialistis
seseorang juga bisa disebabkan karena ketika harga diri individu rendah maka ia
cenderung memiliki penilaian negatif atas dirinya sehingga untuk meningkatkan
keberhargaan dirinya, individu tersebut menganggap dengan kepemilikan materi
ia dapat meningkatkan keberhargaan dirinya sehingga mempunyai penilaian yang
lebih positif atas dirinya. Harga diri yang rendah dikarenakan adanya
ketimpangan antara actual self dan idea self. Hal ini menyebabkan individu tidak
puas dengan dirinya sehingga menjadikan ia bernilai hidup materialistis karena
menganggap apabila meraih kepemilikan materi akan meningkatkan harga diri
(Thomas, 2012).
2.8.2 Perbandingan sosial dan nilai hidup materialistis
Orang-orang cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain (biasanya
significant others), dan melakukan penilaian atas perbandingan tersebut. Individu
yang melakukan perbandingan keatas atau pada orang yang lebih baik, biasanya
menghasilkan penilaian diri yang negatif terhadap dirinya karena bisa menjadikan
dirinya inferior dan minder karena perbandingan yang ia lakukan (Sirgy, 1998).
35
Jika individu melakukan perbandingan sosial melalui status konsumsi
seseorang, maka akan menimbulkan personal insecurity pada dirinya. Dengan
kata lain jika terlalu tinggi membanding-bandingkan, timbul perasaan tidak mau
kalah dengan orang lain. Apalagi saat ini banyak informasi melalui media-media
yang memperlihatkan bahwa mereka yang memiliki banyak barang mewah adalah
mereka yang sukses. Oleh karena itu, individu juga terpacu untuk menyaingi
orang yang dijadikan bandingan tersebut (Kasser et al., 2004)
Perbandingan sosial yang tinggi dapat menjelaskan mengapa individu
bernilai hidup materialistis. Hal ini disebabkan karena individu cenderung
membandingkan dirinya dengan sosok yang lebih ideal dengan dirinya yang
mungkin memiliki materi yang lebih banyak. Individu cenderung membandingkan
dirinya dengan orang lain, teman bergaulnya dan juga sosok yang lebih ideal
seperti public figure atau selebriti. Ketika individu membandingkan dirinya
dengan sosok yang dikagumi cenderung akan membuat dirinya percaya bahwa
sukses dan bahagia itu bisa diraih dengan cara meraih materi yang lebih banyak
seperti materi yang dipunyai oleh sosok yang dikagumi. Membandingkan diri
dengan teman bergaul lebih baik dalam memprediksi nilai hidup materialistis
seseorang dibandingkan membandingkan diri dengan selebriti. Hal ini
dikarenakan teman bergaul lebih mudah terobservasi dalam keseharian individu
(Chan & Prendergast, 2007).
2.8.3 Rasa syukur dan nilai hidup materialistis
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Polak & McCullough (2006),
hubungan antara rasa syukur dan nilai hidup materialistis adalah hubungan yang
36
negatif. Hal ini dikarenakan prinsip nilai hidup materialistis bertolak belakang
dengan prinsip rasa syukur, dimana nilai hidup materialistis berfokus pada sesuatu
yang belum dicapai, seperti mengejar materi dan kekayaan. Sedangkan individu
yang memiliki rasa syukur tinggi akan menerima keadaan hidupnya apa adanya
tanpa rasa ambisi ingin memiliki lebih dari apa yang sudah dimiliki saat ini. Sulit
bagi seseorang memiliki secara bersamaan sifat syukur dan nilai hidup
materialistis karena prinsip keduanya adalah bertolak belakang. Rasa syukur
seharusnya membuat seseorang merasakan hidupnya penuh dengan nikmat dan
karunia, sehingga bisa mengurangi gejala nilai hidup materialistis (Lambert et al.,
2009).
Individu yang memiliki rasa syukur tinggi diasosiasikan memiliki emosi
yang positif dan menghargai setiap perilaku positif yang berdampak pada dirinya.
Hal ini menjadikannya memandang hidup lebih bermakna, lebih aman, dan
memiliki rasa berkecukupan. Hal ini bertolak belakang dengan keinginan untuk
memiliki nilai hidup materialistis karena karakteristik individu yang
berorientasikan materi adalah karena tidak adanya rasa nyaman dalam dirinya
sehingga ingin memiliki materi untuk mengatasi ketidaknyamanan yang
dirasakannya. Apabila individu memiliki syukur yang tinggi maka memiliki rasa
kepuasan yang tinggi dalam hidupnya dan jauh dari ambisi peraihan materi dan ia
lebih fokus pada mensyukuri apa yang telah didapatkannya (Polak &
McCullough, 2006).
37
2.8.4 Pola komunikasi keluarga dan nilai hidup materialistis
Penelitian-penelitian sebelumnya tentang pola komunikasi keluarga berhubungan
dengan kompetensi individu dalam mengkonsumsi barang atau kemampuannya
dalam melakukan konsumsi. Perilaku individu dalam mengkonsumsi barang ini
sangat dekat dengan perilaku materialistis, karena nilai hidup materialistis adalah
perilaku yang berhubungan dengan ekonomi dan konsumsi yang berlebihan dan
termanifestasi menjadi orientasi hidup. Oleh karena itu, Moore dan Moschis
(1981) melakukan penelitian mengenai pola komunikasi keluarga dan nilai hidup
materialistis, dimana hasilnya dimensi pola komunikasi keluarga berorientasi
sosial berhubungan positif dengan nilai hidup materialistis
Sedangkan pola komunikasi berorientasi konsep akan berbeda dalam
menyerap konten media dalam perilaku peraihan materi, hal ini dikarenakan
berorientasi konsep akan mengarahkan individu lebih cerdas dalam
mengkonsumsi kebutuhannya dan tidak berdasarkan standar yang dimiliki orang
lain. Pola komunikasi berorientasi konsep akan menurunkan nilai hidup
materialistis pada individu dan berkorelasi negatif dengan konsep nilai hidup
materialistis (Moore & Moschis, 1981; Kasser et al., 2004).
2.8.5 Kelekatan tidak nyaman dan nilai hidup materialistis
Individu yang memiliki kelekatan tidak nyaman mempunyai keinginan untuk
memiliki hubungan sosial yang hangat dengan orang lain, tetapi selalu dibayangi
kegagalan dalam membangun hubungan (kelekatan penuh kecemasan) ataupun
tidak merasakan kehangatan dan kenyamanan saat membangun relasi
(penghindaran kelekatan). Sebagai bentuk kompensasi dari terputusnya hubungan
38
sosial dengan orang lain, mereka menjadikan kepemilikan harta dan kekayaan
sebagai alat untuk memberikan kenyamanan baginya dalam membangun relasi
dengan orang lain. Mereka percaya dengan kekayaan yang dimiliki akan membuat
orang lain menjadi ingin dekat dengan dirinya sehingga mereka terhindar dari
penolakan sosial dari lingkungan (Norris et al., 2012).
Individu yang memiliki kelekatan tidak nyaman dengan orang lain
mempunyai keinginan untuk memiliki hubungan sosial yang hangat dengan orang
lain tetapi selalu dibayangi kegagalan dalam membangun hubungan tersebut
karena rentan dengan penolakan. Sebagai bentuk kompensasi dari perasaan
rapuhnya hubungan sosialnya tersebut, individu cenderung mengganti objek orang
lain dengan objek materi dengan tujuan agar diakui oleh orang lain karena
memiliki materi sehingga dapat mempunyai hubungan sosial dengan orang lain
yang lebih baik (Norris et al., 2012).
2.8.6 Status sosioekonomi dan nilai hidup materialistis
Individu yang memiliki status sosioekonomi yang rendah menyebabkan
ketidakpuasan dirinya terhadap kondisi ekonomi yang dialaminya. Sehingga
membuat dirinya menjadi tidak nyaman terhadap hal tersebut. Hal ini yang
menyebabkan individu yang memiliki status sosioekonomi rendah cenderung
menjadi bernilai hidup materialistis agar terpenuhi segala kekurangan yang
dirasakan saat dirinya mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan secara
ekonomi tersebut. Status sosioekonomi rendah menyebabkan seseorang menjadi
tidak puas dengan keadaanya itu, sehingga mengarahkan mereka untuk memiliki
obsesi terhadap harta benda (Ahuvia & Wong, 2002).
39
Status sosioekonomi yang rendah membuat seseorang berorientasikan nilai
hidup materialistis dikarenakan tidak terpenuhinya kebutuhan dasar yang hanya
bisa diraih dengan perolehan materi. Individu yang merasakan kekurangan dalam
ekonomi memunculkan perasaan yang tidak puas dengan kondisi materi yang ia
punya sehingga menimbulkan keinginan untuk memperbaiki kondisi hidupnya
dengan meraih materi dan kepemilikan yang banyak (Ahuvia & Wong, 2002).
Untuk memudahkan pemahaman kerangka berpikir penelitian, akan
disederhanakan melalui bagan kerangka berpikir (Gambar 2.1).
Gambar 2.1
Bagan Kerangka Berpikir
Rasa Syukur
Harga diri
Kelekatan Tidak Nyaman
Status Sosioekonomi
Perbandingan Sosial
Nilai hidup
materialistis
Pola Komunikasi Keluarga
Berorientasi Sosial
Berorientasi Konsep
40
2.9 Hipotesis Penelitian
2.9.1 Hipotesis Nihil
H0 : Tidak ada pengaruh yang signifikan antara harga diri, perbandingan
sosial, rasa syukur, pola komunikasi keluarga berorientasi sosial, pola
komunikasi keluarga berorientasi konsep, kelekatan tidak nyaman, dan
status sosioekonomi terhadap nilai hidup materialistis pada masyarakat
Padang Pariaman.
2.9.2 Hipotesis Minor
H01 : Tidak ada pengaruh yang signifikan dari harga diri (self-esteem) terhadap
nilai hidup materialistis.
H02 : Tidak ada pengaruh yang signifikan dari perbandingan sosial terhadap
nilai hidup materialistis.
H03 : Tidak ada pengaruh yang signifikan dari rasa syukur (gratitude) terhadap
nilai hidup materialistis.
H04 : Tidak ada pengaruh yang signifikan dari pola komunikasi keluarga
berorientasi sosial terhadap nilai hidup materialistis.
H05 : Tidak ada pengaruh yang signifikan dari pola komunikasi keluarga
berorientasi konsep terhadap nilai hidup materialistis.
H06 : Tidak ada pengaruh yang signifikan dari kelekatan tidak nyaman
(insecure attachment) terhadap nilai hidup materialistis.
H07 : Tidak ada pengaruh yang signifikan dari status sosioekonomi terhadap
nilai hidup materialistis.
41
BAB 3
METODE PENELITIAN
Pada bab ini akan dibahas mengenai populasi dan sampel penelitian, variabel
penelitian, definisi operasional dari masing-masing variabel, instrumen penelitian,
prosedur pengumpulan data dan metode analisis data.
3.1 Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat Padang Pariaman, Sumatera
Barat. Sampel yang diambil adalah warga Kecamatan Nan Sabaris, Kabupaten
Padang Pariaman yang memiliki kartu identitas atau tercatat sebagai warga dari
dari Kecamatan Nan Sabaris. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 184
orang. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini termasuk ke dalam non-
probability sampling. Teknik ini dipilih karena populasi dalam penelitian ini
sangat besar yaitu berjumlah 411.378 jiwa, oleh karena itu tidak seluruhnya
dijadikan sampel, sehingga dapat dikatakan kemungkinan terambilnya tiap-tiap
anggota populasi tidaklah sama.
3.2 Variabel Penelitian
Adapun variabel penelitian yang akan diteliti dalam penelitian ini yaitu nilai hidup
materialistis sebagai variabel terikat atau dependent variable (Y), serta harga diri
(X1), perbandingan sosial (X2), rasa syukur (X3), pola komunikasi keluarga
dimensi berorientasi sosial (X4), pola komunikasi keluarga berorientasi konsep
(X6), kelekatan tidak nyaman (X7) dan status sosioekonomi (X7) sebagai variabel
bebas atau independent variable.
42
3.3 Definisi Operasional Variabel
Adapun definisi operasional masing-masing variabel dalam penelitian ini adalah:
1. Nilai hidup materialistis adalah suatu orientasi nilai yang dijadikan
pedoman hidup seseorang yang mengarahkan segala keinginan, cita-cita
dan perilaku individu pada pencapaian atau peraihan yang berbentuk
materi yang mencakup kesuksesan secara finansial, menaikkan
popularitas, dan status sosial. Yang meliputi 3 aspek, yaitu kesuksesan
finansial, kepopuleran sosial, dan pencitraan diri.
2. Harga diri (self-esteem) adalah penilaian individu terkait dengan dirinya,
baik itu positif ataupun negatif. Penilaian diri ini berkaitan dengan sikap
dan nilai yang terdiri dari penilaian kualitas diri dengan orang lain,
kepuasan dengan diri sendiri, dan penilaian individu terhadap kebanggaan
dan keberhargaan diri.
3. Perbandingan sosial (social comparison) adalah perilaku individu dalam
membandingkan dirinya dengan orang lain, yang bisa berbentuk
perbandingan dalam hal pengalaman, pencapaian, kepemilikan dan
prestasi diri dengan yang dimiliki orang lain.
4. Rasa syukur (gratitude) adalah perilaku bersyukur atas suatu pengalaman
atau situasi yang berbentuk penghargaan terhadap hal kecil, penghargaan
kepada orang lain, dan menghargai apa yang dimiliki.
5. Pola komunikasi keluarga berorientasi sosial adalah pola komunikasi yang
mengutamakan keharmonisan hubungan interpersonal dan menghindari
43
konflik, berlawanan pendapat, perdebatan, dan sangat memperhatikan apa
pendapat orang lain terhadap apa yang akan dikatakannya.
6. Pola komunikasi keluarga berorientasi konsep adalah pola komunikasi
yang lebih menekankan penyampaian sesuatu yang menurut
perspektifnya benar, walaupun konsep tersebut tidak disetujui oleh
masyarakat dan tidak terlalu peduli dengan apa yang dikatakan orang
terhadap pembicaraannya tersebut.
7. Kelekatan tidak nyaman (insecure attachment) adalah kelekatan emosional
antara seseorang dengan figur terdekat yang tidak memberikan
kenyamanan fisik dan psikologis, yang diukur dengan dua aspek, yaitu
kelekatan yang diliputi rasa kecemasan dan penghindaran adanya
kelekatan dengan orang lain, yang bisa berbentuk takut saat membangun
hubungan sosial dengan orang lain, memiliki kecemasan bahwa orang
terdekat akan meninggalkannya, dan perasaan terlalu memiliki (possesif).
8. Status sosioekonomi adalah tingkat pengeluaran individu per bulan
berdasarkan norma BPK
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan skala
sebagai alat ukur pengumpulan data. Skala yang digunakan adalah model skala
likert, yaitu pernyataan berupa pendapat yang disajikan kepada responden dengan
memberikan indikasi pernyataan dari penyataan tidak sesuai hingga pernyataan
yang sesuai. Adapun subyek memberikan jawaban terhadap model likert ini
dengan memberikan tanda silang centang () pada salah satu alternatif jawaban.
44
Setiap item diukur melalui lima kategori alternatif jawaban, yaitu “Sangat Tidak
Sesuai dengan Diri Saya”, “Tidak Sesuai dengan Diri Saya”, “Terkadang Sesuai,
Terkadang Tidak Sesuai”, “Sesuai dengan Diri Saya”, dan “Sangat Sesuai dengan
Diri Saya”.
Adapun perolehan skor dari item-item dalam alat ukur ini sesuai dengan
jenis pernyataan, yakni dari pernyataan positif (favorable) dan pernyataan negatif
(unfavorable). Dalam pernyataan favorable, skor tertinggi diberikan pada jawaban
sangat sesuai dan skor jawaban terendah pada pilihan jawaban sangat tidak sesuai.
Sedangkan untuk pernyataan unfavorable, skor tertinggi diberikan pada jawaban
sangat tidak sesuai dan skor jawaban terendah diberikan pada pilihan jawaban
sangat sesuai.
Tabel 3.1
Skor Skala Likert
Skala Favorable Unfavorable
Sangat Tidak Sesuai dengan Diri Saya 1 5
Tidak Sesuai dengan Diri Saya 2 4
Terkadang Sesuai, Terkadang Tidak Sesuai 3 3
Sesuai dengan Diri Saya 4 2
Sangat Sesuai dengan Diri Saya 5 1
3.4.1 Instrumen Penelitian
Instrumen pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri dari tujuh skala, yaitu
skala nilai hidup materialistis, skala harga diri, skala perbandingan sosial, skala
rasa syukur, skala pola komunikasi keluarga yang terdiri dari 2 (dua) subskala
yang mewakili masing-masing variabel: berorientasi sosial dan berorientasi
konsep, serta skala kelekatan tidak nyaman. Sedangkan pertanyaan mengenai
45
status sosioekonomi adalah berupa isian yang dilampirkan ketika responden
mengisi biodata.
Adapun skala-skala yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut.
1. Skala Nilai Hidup Materialistis
Skala yang digunakan untuk mengukur nilai hidup materialistis berdasarkan teori
nilai hidup materialistis yang dikemukakan oleh Kasser et.al. (2004).
Tabel 3.2
Cetak Biru Skala Nilai Hidup Materialistis
No Dimensi Indikator No Item
Total Fav
1 Kesuksesan Finansial Orientasi hidup 1 3
Orientasi kerja 2
Sumber kebahagiaan 3
2 Kepopuleran Sosial Kebanggaan terbesar adalah
kepopuleran
4 2
Tanggapan terhadap pujian 5
3 Pencitraan Diri Pencitraan penampilan fisik 6 2
Pencitraan sifat dan perilaku 7
Jumlah 7 7
Terdapat 7 item yang dipakai dalam skala nilai hidup materialistis yang
semuanya adalah pernyataan positif (favorable). Selanjutnya peneliti menentukan
alternatif jawaban dari alat ukur ini yang terdiri dari “Sangat Tidak Sesuai dengan
diri saya”, “Tidak Sesuai dengan diri saya”, “Terkadang Sesuai, Terkadang Tidak
Sesuai”, “Sesuai dengan diri saya”, dan “Sangat Sesuai dengan diri saya”.
2. Skala Harga Diri
Skala yang digunakan untuk mengukur harga diri adalah modifikasi dari
Rosenberg Self-Esteem Scale yang dikembangkan oleh Rosenberg (Emler, 2001).
46
Skala ini mengukur secara unidimensional harga diri berdasarkan teori yang
dikembangkan oleh Rosenberg mengenai harga diri.
Setelah dimodifikasi jumlah item terdiri dari 7 item yang terdiri dari 2 item
favorabel dan 5 item unfavorable. Selanjutnya peneliti menentukan alternatif
jawaban dari alat ukur ini yang terdiri dari “Sangat Tidak Sesuai dengan diri
saya”, “Tidak Sesuai dengan diri saya”, “Terkadang Sesuai, Terkadang Tidak
Sesuai”, “Sesuai dengan diri saya”, dan “Sangat Sesuai dengan diri saya”.
Tabel 3.3
Cetak Biru Skala Harga Diri
Dimensi Indikator Fav Unfav Total
Harga Diri Rasa puas terhadap diri 8 9 2
Kualitas diri 12 10,11 3
Kebanggaan dan keberhargaan
diri
13,14 2
Jumlah 2 5 7
3. Skala Perbandingan Sosial
Skala yang digunakan untuk mengukur perbandingan sosial adalah modifikasi
dari Social Comparison Orientation Scale yang dikembangkan Gibbon dan Bunk
(1999).
Tabel 3.4
Cetak Biru Skala Perbandingan Sosial
Dimensi Indikator Favorable
Perbandingan
Sosial
Membandingkan pencapaian hidup 15, 16
Membandingkan perilaku dan pengalaman 17, 18
Jumlah 4
Setelah dimodifikasi jumlah item terdiri dari 4 item favorable. Selanjutnya
peneliti menentukan alternatif jawaban dari alat ukur ini yang terdiri dari “Sangat
Tidak Sesuai dengan diri saya”, “Tidak Sesuai dengan diri saya”, “Terkadang
47
Sesuai, Terkadang Tidak Sesuai”, “Sesuai dengan diri saya”, dan “Sangat Sesuai
dengan diri saya”.
4. Skala Rasa Syukur
Dalam mengukur rasa syukur, peneliti memodifikasi alat ukur Gratitude
Questionnaire 6 yang dikembangkan oleh McCullough et. al. (2002), yang terdiri
dari 5 item, sebagaimana yang tertera pada tabel 3.5.
Tabel 3.5
Cetak Biru Skala Rasa Syukur
Dimensi Indikator Fav Unfav Total
Rasa Syukur Mensyukuri apa yang sudah
dimiliki dan terhadap hal kecil
19,20,21 3
Tidak mengeluh dengan kondisi
sulit yang sedang/telah dijalani
24 23 2
Jumlah 1 4 5
Setelah dimodifikasi jumlah item terdiri dari 5 item yang terdiri dari 1 item
favorable, dan sisanya unfavorable. Selanjutnya peneliti menentukan alternatif
jawaban dari alat ukur ini yang terdiri dari “Sangat Tidak Sesuai dengan diri
saya”, “Tidak Sesuai dengan diri saya”, “Terkadang Sesuai, Terkadang Tidak
Sesuai”, “Sesuai dengan diri saya”, dan “Sangat Sesuai dengan diri saya”.
5. Skala Pola Komunikasi Keluarga
Alat ukur yang digunakan dimodifikasi berdasarkan teori yang dikembangkan
oleh Moore dan Mooschis (1985). Terdapat 12 item dalam skala pengukuran ini
yang merupakan representasi dari dua dimensi, yaitu dimensi pola komunikasi
keluarga berorientasi sosial dan berorientasi konsep.
48
Setelah dimodifikasi jumlah item terdiri dari 6 item per masing-masing
dimensi. Selanjutnya peneliti menentukan alternatif jawaban dari alat ukur ini
yang terdiri dari “Sangat Tidak Sesuai dengan diri saya”, “Tidak Sesuai dengan
diri saya”, “Terkadang Sesuai, Terkadang Tidak Sesuai”, “Sesuai dengan diri
saya”, dan “Sangat Sesuai dengan diri saya”.
Tabel 3.6
Cetak Biru Skala Pola Komunikasi Keluarga
Dimensi Indikator Fav Unfav Total
Berorientasi
Sosial
Komunikasi sopan harmonis
Menahan kritik atau ketidaksetujuan
24,25,26
27,28,29
6
Berorientasi
Konsep
Komunikasi kritis
Bicara untuk menyampaikan pendapat
pribadi walaupun bertentangan dengan
nilai sosial
30
33,34,35
31,32 6
Jumlah 10 2 12
6. Skala Kelekatan Tidak Nyaman
Skala kelekatan tidak nyaman dimodifikasi berdasarkan alat ukur yang
dikembangkan oleh Wei et. al., (2007). Adapun dua aspek dalam kelekatan tidak
nyaman adalah kelekatan penuh kecemasan, dan penghindaran kelekatan.
Tabel 3.7
Cetak Biru Skala Kelekatan Tidak Nyaman
Dimensi Indikator Fav Total
Kelekatan Penuh
Kecemasan
Merasa cemas berakhirnya kelekatan
emosional
Terlalu bergantung secara emosional
dengan orang lain
36,37,38,39
40,41
6
Penghindaran
Kelekatan
Merasa tidak nyaman memiliki
kelekatan emosional dengan orang lan
Tidak terlalu dekat secara personal
dengan orang lain
42
43
2
Jumlah 8
49
7. Alat ukur Status Sosioekonomi
Untuk mengukur status sosioekonomi, peneliti mengukurnya dari tingkat
pengeluaran seseorang per bulan. Menurut data BPS (2015), status sosioekonomi
berdasarkan pengeluaran dapat diklasifikasikan menjadi tiga golongan, yaitu:
a. Golongan rendah, adalah golongan yang memiliki pengeluaran yang
berada pada cut off dibawah 40% dihitung dari rentangan pengeluaran
seluruh responden.
b. Golongan menengah, adalah golongan yang memiliki pengeluaran yang
berada pada cut off antara 40%-80%, dihitung dari rentangan pengeluaran
seluruh responden.
c. Golongan tinggi, adalah golongan yang memiliki pengeluaran yang berada
pada cut off 80% keatas, dihitung dari rentangan pengeluaran seluruh
responden.
Pengklasifikasian status sosioekonomi menurut BPK tersebut peneliti jadikan
norma untuk menyusun kategori status sosioekonomi pada penelitian ini,
sebagaimana terdapat pada tabel 3.8.
Tabel 3.8
Kategori Status Sosioekonomi
Kategori Rentangan* Cut-Off
Rendah < 450000 <40%
Sedang 450000-1400000 40%-80%
Tinggi > 1400000 >80%
*Rentangan status sosioekonomi disimpulkan berdasarkan norma sampel
penelitian ini.
50
3.5 Uji Validitas Konstruk Instrumen Alat Ukur
Instrumen-instrumen yang digunakan pada penelitian ini akan diuji validitasnya
dengan menggunakan CFA (Confirmatory Factor Analysis). CFA adalah bagian
dari analisis faktor yang digunakan untuk menguji bagus tidaknya item skala yang
digunakan dalam mengukur variabel-variabel penelitian ini, dengan kata lain CFA
digunakan untuk mengetahui item valid sehingga bisa dipakai, dan item mana
yang tidak valid sehingga harus dibuang (drop). Dalam penelitian ini yang diuji
adalah sebuah model unidimensional (satu faktor) dan jika ternyata model fit
dengan data maka dapat dilakukan uji hipotesis apakah masing-masing item
signifikan di dalam mengukur apa yang hendak diukur.
Peneliti menguji validitas konstruk seluruh skala yang digunakan kecuali alat
ukur sosioekonomi, karena variabel sosioekonomi adalah variabel demografis.
Adapun prosedur uji validitas konstruk dengan CFA (Umar, 2011) adalah sebagai
berikut :
1. Dibuat atau disusun suatu definisi operasional tentang konsep atau trait
yang hendak diukur. Untuk mengukur trait atau faktor tersebut
diperlukan item sebagai indikatornya.
2. Disusun hipotesis/teori bahwa seluruh item yang disusun (dibuat)
adalah valid mengukur konstruk yang didefinisikan. Dengan kata lain
diteorikan (hipotesis) bahwa hanya ada 1 faktor yang diukur yaitu
konstruk yang didefinisikan (model unidimensional).
3. Berdasarkan data yang diperoleh kemudian dihitung matriks korelasi
antar item, yang disebut matriks S.
51
4. Matriks korelasi tersebut digunakan untuk mengestimasi matriks
korelasi yang seharusnya terjadi menurut teori/model yang ditetapkan.
Jika teori/hipotesis pada butir 2 adalah benar, maka semestinya semua
item hanya mengukur satu faktor saja (unidimensional).
5. Adapun langkah-langkahnya adalah :
a. Dihitung (di estimasi) parameter dari model/teori yang diuji yang
dalam hal ini terdiri dari dari koefisien muatan faktor dan varian
kesalahan pengukuran (residual)
b. Setelah nilai parameter diperoleh kemudian di estimasi (dihitung)
korelasi antar setiap item sehingga diperoleh matriks korelasi antar
item berdasarkan hipotesis/teori yang diuji (matriks korelasi ini
disebut sigma= Σ).
6. Uji validitas konstruk dilakukan dengan menguji hipotesis bahwa S=Σ
atau dapat dituliskan Ho : S - Σ = 0. Uji hipotesis ini misalnya
dilakukan menggunakan uji chi square, dimana jika chi square tidak
signifikan (p>0.05) maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis nihil (Ho)
tidak ditolak. Artinya, teori yang mengatakan bahwa semua item hanya
mengukur satu konstruk saja terbukti sesuai (fit) dengan data.
7. Jika telah terbukti model unidimensional (satu faktor) fit dengan data
maka dapat dilakukan seleksi terhadap item dengan menggunakan 3
kriteria, yaitu :
a. Item yang koefisien muatan faktornya tidak signifikan dibuang
karena tidak memberikan informasi yang secara statistik bermakna.
52
b. Item yang memiliki koefisien muatan faktor negatif juga dibuang
karena mengukur hal yang berlawanan dengan konsep yang
didefinisikan. Namun demikian, harus diperiksa dahulu apakah
item yang pernyataannya unfavorable atau negatif sudah
disesuaikan (di reverse) skornya sehingga menjadi positif. Hal ini
berlaku khusus untuk item dimana tidak ada jawaban yang benar
ataupun salah (misalnya, alat ukur personality atau motivasi).
c. Item dapat juga di drop jika residualnya (kesalahan pengukuran)
berkorelasi dengan banyak residual item yang lainnya, karena ini
berarti bahwa item tersebut mengukur juga hal lain selain konstruk
yang hendak diukur.
Jika langkah-langkah diatas telah dilakukan, maka diperoleh item-item
yang valid untuk mengukur apa yang hendak diukur. Dalam penelitian ini, peneliti
tidak menggunakan raw score/skor mentah (hasil menjumlahkan skor item). Item-
item inilah yang diolah untuk mendapatkan faktor skor pada tiap skala. Dengan
demikian perbedaan kemampuan masing-masing item dalam mengukur apa yang
hendak diukur ikut menentukan dalam menghitung faktor skor (true score). True
score inilah yang dianalisis dalam penelitian ini.
Untuk kemudahan didalam penafsiran hasil analisis maka peneliti
mentransformasikan faktor skor yang diukur dalam skala baku (Z score) menjadi
t score yang memiliki mean = 50 dan standar deviasi (SD) = 10 sehingga tidak
ada responden yang mendapat skor negatif. Adapun rumus t score adalah:
T score = (10 x skor faktor) + 50
53
Untuk menguji validitas alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini,
peneliti menggunakan CFA dengan menggunakan bantuan software Mplus
Version 7.0 (Muthen & Muthen, 1998-2012).
3.5.1 Uji validitas item nilai hidup materialistis
Peneliti menguji apakah 7 item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar
hanya mengukur nilai hidup materialistis. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan
dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan Chi-square = 44.600, df = 14,
Pvalue = 0.00000, dan nilai RMSEA = 0.109. Oleh sebab itu, peneliti melakukan
modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item
dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan
Chisquare = 13.208, df = 22, P-value = 0.280, RMSEA = 0.033.
Setelah di dapat nilai P-value > 0.05 dapat dinyatakan bahwa model dengan
satu faktor dapat diterima. Artinya seluruh item hanya mengukur satu faktor yaitu
nilai hidup materialistis. Kemudian peneliti melihat apakah item tersebut
mengukur faktor yang hendak diukur secara signifikan dan sekaligus menentukan
apakah item tersebut perlu didrop atau tidak, pengujiannya dilakukan dengan
melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti tabel 3.9 dibawah ini.
Tabel 3.9
Muatan Faktor Item Nilai hidup materialistis
No Item Lamda Error Nilai T Signifikan
1 0.46 0.06 7.54 V
2 0.51 0.06 8.59 V
3 0.46 0.06 7.15 V
4 0.68 0.05 14.10 V
5 0.70 0.06 12.08 V
6 0.60 0.06 10.08 V
7 0.26 0.08 3.29 V
54
Berdasarkan tabel 3.8, nilai t bagi koefisien muatan faktor semua item
signifikan karena t > 1.96 atau t < -1.96. Selanjutnya peneliti melihat muatan
faktor dari item, apakah ada yang bermuatan negatif atau tidak, tetapi diketahui
tidak terdapat item yang muatan faktornya negatif. Artinya, seluruh item valid
untuk mengukur apa yang hendak diukur.
3.5.2 Uji validitas item harga diri
Peneliti menguji apakah ketujuh item yang ada bersifat unidimensional, artinya
benar hanya mengukur harga diri. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan
model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan Chi-square = 91.862, df = 14, Pvalue
= 0.0000, dan nilai RMSEA = 0.174. Oleh sebab itu, peneliti melakukan
modifikasi terhadap model, maka diperoleh model fit dengan Chisquare = 15.856,
df = 11, P-value = 0.1466, RMSEA = 0.049.
Setelah di dapat nilai P-value > 0.05 dapat dinyatakan bahwa model dengan
satu faktor dapat diterima. Artinya seluruh item hanya mengukur satu faktor yaitu
adanya pengakuan. Kemudian peneliti melihat apakah item tersebut mengukur
faktor yang hendak diukur secara signifikan dan sekaligus menentukan apakah
item tersebut perlu didrop atau tidak, pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai
t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti dijelaskan pada tabel 3.10.
Berdasarkan tabel 3.10, nilai t bagi koefisien muatan faktor item 13 tidak
memenuhi signifikansi sehingga harus dibuang. Dan ke enam item lainnya
signifikan karena t > 1.96 atau t < -1.96. Selanjutnya peneliti melihat muatan
faktor dari item, apakah ada yang bermuatan negatif atau tidak, tetapi diketahui
55
tidak terdapat item yang muatan faktornya negatif. Artinya, ke enam item lainnya
adalah item valid untuk mengukur apa yang hendak diukur.
Tabel 3.10
Muatan Faktor Item Harga Diri
No Item Lamda Error Nilai T Signifikan
8 0.80 0.04 19.62 V
9 0.72 0.03 18.59 V
10 0.78 0.03 20.13 V
11 0.62 0.04 13.23 V
12 0.53 0.05 9.40 V
13 0.02 0.07 0.29 X
14 0.22 0.07 2.97 V
3.5.3 Uji validitas item perbandingan sosial
Peneliti menguji apakah keenam item yang ada bersifat unidimensional, artinya
benar hanya mengukur variabel perbandingan sosial. Dari hasil analisis CFA yang
dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan Chi-square = 7.416,
df = 2, Pvalue = 0.0245, dan nilai RMSEA = 0.121. Oleh sebab itu, peneliti
melakukan modifikasi terhadap model, maka diperoleh model fit dengan
Chisquare = 1.395, df = 1, P-value = 0.2376, RMSEA = 0.046.
Setelah di dapat nilai P-value > 0.05 dapat dinyatakan bahwa model
dengan satu faktor dapat diterima. Artinya seluruh item hanya mengukur satu
faktor yaitu adanya pengakuan. Kemudian peneliti melihat apakah item tersebut
mengukur faktor yang hendak diukur secara signifikan dan sekaligus menentukan
apakah item tersebut perlu didrop atau tidak, pengujiannya dilakukan dengan
melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti dijelaskan pada tabel
3.11.
56
Tabel 3.11
Muatan Faktor Item Perbandingan Sosial
No Item Lamda Error Nilai T Signifikan
15 0.68 0.05 13.72 V
16 0.72 0.04 15.87 V
17 0.70 0.05 13.48 V
18 0.79 0.04 16.27 V
Berdasarkan tabel 3.11, nilai t bagi koefisien muatan faktor semua item
signifikan karena t > 1.96 atau t < -1.96. Selanjutnya peneliti melihat muatan
faktor dari item, apakah ada yang bermuatan negatif atau tidak, tetapi diketahui
tidak terdapat item yang muatan faktornya negatif. Artinya, seluruh item valid
untuk mengukur apa yang hendak diukur.
3.5.4 Uji validitas item rasa syukur
Peneliti menguji apakah kelima item yang ada bersifat unidimensional, artinya
benar hanya mengukur rasa syukur. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan
dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan Chi-square = 36.786, df = 5,
Pvalue = 0.000, dan nilai RMSEA = 0.186, oleh sebab itu, peneliti melakukan
modifikasi terhadap model, maka diperoleh model fit dengan Chisquare = 2.768,
df = 2, P-value = 0.2506, RMSEA = 0.046.
Setelah di dapat nilai P-value > 0.05 dapat dinyatakan bahwa model
dengan satu faktor dapat diterima. Artinya seluruh item hanya mengukur satu
faktor yaitu adanya pengakuan. Kemudian peneliti melihat apakah item tersebut
mengukur faktor yang hendak diukur secara signifikan dan sekaligus menentukan
apakah item tersebut perlu didrop atau tidak, pengujiannya dilakukan dengan
57
melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti diterangkan pada tabel
3.12.
Tabel 3.12
Muatan Faktor Item Rasa Syukur
No Item Lamda Error Nilai T Signifikan
19 0.492 0.059 8.354 V
20 0.487 0.061 8.038 V
21 0.897 0.079 11.359 V
22 0.622 0.064 9.667 V
23 0.109 0.073 1.497 X
Berdasarkan tabel 3.11, nilai t bagi koefisien muatan faktor item 23 tidak
memenuhi signifikansi sehingga harus dibuang karena nilai t < 1.96, dan ke empat
item lainnya signifikan karena t > 1.96 atau t < -1.96. Selanjutnya peneliti melihat
muatan faktor dari item, apakah ada yang bermuatan negatif atau tidak, tetapi
diketahui tidak terdapat item yang muatan faktornya negatif. Artinya, ke empat
item lainnya item valid untuk mengukur apa yang hendak diukur.
3.5.5 Uji validitas item pola komunikasi keluarga berorientasi sosial
Peneliti menguji apakah kelima item yang ada bersifat unidimensional, artinya
benar hanya mengukur pola komunikasi keluarga berorientasi sosial. Dari hasil
analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan
Chi-square = 81.499, df = 9, Pvalue = 0.000, dan nilai RMSEA = 0.209, oleh
sebab itu, peneliti melakukan modifikasi terhadap model, maka diperoleh model
fit dengan Chisquare = 4.024, df = 7, P-value = 0.7770, RMSEA = 0.000.
Setelah di dapat nilai P-value > 0.05 dapat dinyatakan bahwa model
dengan satu faktor dapat diterima. Artinya seluruh item hanya mengukur satu
58
faktor yaitu adanya pengakuan. Kemudian peneliti melihat apakah item tersebut
mengukur faktor yang hendak diukur secara signifikan dan sekaligus menentukan
apakah item tersebut perlu didrop atau tidak, pengujiannya dilakukan dengan
melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti tabel 3.13 dibawah ini.
Tabel 3.13
Muatan Faktor Item Pola Komunikasi Keluarga Berorientasi Sosial
No Item Lamda Error Nilai T Signifikan
24 0.47 0.08 5.63 V
25 0.30 0.09 3.41 V
26 0.21 0.09 2.23 V
27 0.56 0.09 5.90 V
28 0.49 0.08 5.74 V
29 0.40 0.08 4.56 V
Berdasarkan tabel 3.15, nilai t bagi koefisien muatan faktor semua item
signifikan karena t > 1.96 atau t < -1.96. Selanjutnya peneliti melihat muatan
faktor dari item, apakah ada yang bermuatan negatif atau tidak, tetapi diketahui
tidak terdapat item yang muatan faktornya negatif. Artinya, seluruh item valid
untuk mengukur apa yang hendak diukur.
3.5.6 Uji validitas item pola komunikasi keluarga berorientasi konsep
Peneliti menguji apakah keenam item yang ada bersifat unidimensional, artinya
benar hanya mengukur Pola Komunikasi Keluarga Berorientasi Konsep. Dari
hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit,
dengan Chi-square = 62.436, df = 9, Pvalue = 0.000, dan nilai RMSEA = 0.180,
oleh sebab itu, peneliti melakukan modifikasi terhadap model, maka diperoleh
model fit dengan Chisquare = 6.041, df = 5, P-value = 0.3022, RMSEA = 0.034.
59
Setelah di dapat nilai P-value > 0.05 dapat dinyatakan bahwa model
dengan satu faktor dapat diterima. Artinya seluruh item hanya mengukur satu
faktor yaitu adanya pengakuan. Kemudian peneliti melihat apakah item tersebut
mengukur faktor yang hendak diukur secara signifikan dan sekaligus menentukan
apakah item tersebut perlu didrop atau tidak, pengujiannya dilakukan dengan
melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti tabel 3.14 dibawah ini.
Tabel 3.14
Muatan Faktor Item Pola Komunikasi Keluarga Berorientasi Konsep
No Item Lamda Error Nilai T Signifikan
30 0.52 0.10 4.85 V
31 0.19 0.08 2.40 V
32 0.17 0.08 2.03 V
33 -0.17 0.09 -1.79 X
34 -0.03 0.08 -0.41 X
35 -0.58 0.13 -4.43 X
Berdasarkan tabel 3.16, item 33, 34, dan 35 harus dibuang karena
memiliki nilai koefisien muatan faktor yang negatif, hal ini berarti 3 item ini tidak
memberikan sumbangan berarti dalam mengukur apa yang hendak diukur.
3.5.7 Uji validitas item kelekatan tidak nyaman
Peneliti menguji apakah ke sepuluh item yang ada bersifat unidimensional, artinya
benar hanya mengukur variabel kelekatan tidak nyaman. Dari hasil analisis CFA
yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan Chi-square =
132.135, df = 20, Pvalue = 0.000, dan nilai RMSEA = 0.175, oleh sebab itu,
peneliti melakukan modifikasi terhadap model, maka diperoleh model fit dengan
Chisquare = 20.235, df = 16, P-value = 0.2098, RMSEA = 0.038.
60
Setelah di dapat nilai P-value > 0.05 dapat dinyatakan bahwa model
dengan satu faktor dapat diterima. Artinya seluruh item hanya mengukur satu
faktor yaitu adanya pengakuan. Kemudian peneliti melihat apakah item tersebut
mengukur faktor yang hendak diukur secara signifikan dan sekaligus menentukan
apakah item tersebut perlu didrop atau tidak, pengujiannya dilakukan dengan
melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti tabel 3.15.
Tabel 3.15
Muatan Faktor Item Kelekatan Tidak Nyaman
No item Lamda Error Nilai T Signifikan
36 0.58 0.05 11.41 V
37 0.83 0.03 26.23 V
38 0.87 0.02 39.88 V
39 0.79 0.02 29.33 V
40 0.94 0.01 58.78 V
41 0.65 0.04 14.92 V
42 0.23 0.07 3.28 V
43 0.21 0.06 3.10 V
Berdasarkan tabel 3.15, nilai t bagi koefisien muatan faktor semua item
signifikan karena t > 1.96 atau t < -1.96. Selanjutnya peneliti melihat muatan
faktor dari item, apakah ada yang bermuatan negatif atau tidak, tetapi diketahui
tidak terdapat item yang muatan faktornya negatif. Artinya, seluruh item valid
untuk mengukur apa yang hendak diukur.
3.6 Teknik Analisis Data
Setelah melakukan analisis faktor konfirmatorik untuk menguji kevalidan skala
penelitian. Akan dilakukan analisis data penelitian dengan menggunakan teknik
regresi berganda (multiple regression analysis) di mana terdapat lebih dari satu
independent variable untuk mengetahui pengaruhnya terhadap dependent
61
variable. Analisis ini digunakan untuk mengetahui arah hubungan antara variabel
independent dengan variabel dependent, apakah positif atau negatif arah
hubungannya, dan untuk memprediksi nilai dari variabel dependen apabila nilai
variabel independen mengalami kenaikan atau penurunan. Pada penelitian ini
terdapat tujuh independent variable dan satu dependent variable. Dengan
menggunakan rumus persamaan garis regresi, yaitu:
Y1 = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 +…..+ bnXn
Keterangan:
Y1 = variabel terikat
a = constant
b1,b2,b3,….bn = koefesien regresi masing-masing variabel bebas
X1,X2,X3,…Xn = variabel bebas yang jumlahnya sebanyak n
Maka apabila semua variabel pada penelitian ini dimasukkan ke dalam
persamaan, maka dapat dijelaskan seperti berikut.
Y1 = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4+ b5X5+ b6X6+b7X7+e
Keterangan:
Y1 = Variabel Terikat (Nilai hidup materialistis)
a = Constant
b1,b2,b3,b4,b5,b6,b7 = Koefesien Regresi masing-masing variabel bebas
X1, = Harga Diri (Self-Esteem)
X2, = Perbandingan Sosial (Social Comparison)
X3 = Rasa Syukur (Gratitude)
X4 = Pola Komunikasi Keluarga Berorientasi Sosial
62
X5 = Pola Komunikasi Keluarga Berorientasi Konsep
X6 = Kelekatan Tidak Nyaman (Unsecure Attachment)
X7 = Status Sosioekonomi
e = Residu
Melalui regresi berganda ini akan diperoleh nilai R, yaitu koefisien korelasi
berganda antara nilai hidup materialistis sebagai dependent variable (DV) dengan
harga diri, perbandingan sosial, rasa syukur, pola komunikasi keluarga
berorientasi sosial, pola komunikasi keluarga berorientasi konsep, kelekatan tidak
nyaman, dan status sosioekonomi sebagai independent variable (IV). Nilai R
hanya untuk mengetahui seberapa kuat hubungan DV dengan seluruh IV. Jika
semakin mendekati 1 semakin kuat hubungannya, dan semakin mendekati 0
semakin lemah. Sedangkan untuk melihat besarnya varians nilai hidup
materialistis yang disebabkan faktor-faktor (independent variabel) yang telah
disebutkan ditunjukkan oleh koefisien determinasi berganda atau R2, yang
perolehan nilainya didapat pengkuadratan nilai R.
R2 menunjukkan variasi atau perubahan dependent variable (Y)
disebabkan independent variable (X) atau digunakan untuk mengetahui besarnya
pengaruh independent variable (X) terhadap dependent variable (Y) atau
merupakan perkiraan proporsi varians dari nilai hidup materialistis yang
dijelaskan oleh harga diri, perbandingan sosial, rasa syukur, pola komunikasi
keluarga berorientasi sosial, pola komunikasi keluarga berorientasi konsep,
kelekatan tidak nyaman, dan status sosioekonomi. Untuk mendapatkan nilai R2,
maka digunakan rumus sebagai berikut :
63
SSreg
R2 =
SSy
Keterangan :
R2 = Proporsi varians
SSreg = Sum of Square Regression (jumlah kuadrat regresi)
SSy = Sum of Square Y (jumlah kuadrat Y)
Selanjutnya R2 diuji signifikansinya (uji F) dilakukan dengan tujuan
melihat apakah ada pengaruh yang signifikan antara IV secara silmultan
(keseluruhan) terhadap kebervariasian DV. Pembagi disini adalah R2 itu sendiri
dengan df-nya (dilambangkan „k‟), dimana „k‟ yaitu banyaknya IV yang
dianalisis (dalam hal ini adalah 7 IV), sedangkan penyebutnya (1-R2) dibagi
dengan df-nya (N-k-1), dimana „N‟ adalah total sampel (dalam hal ini adalah
184). Untuk df dari pembagi sebagai numerator sedangkan df penyebut sebagai
denumerator. Jika dirumuskan, maka:
R2
/ k
F =
(1-R2) / (N-k-1)
Keterangan:
R2 = Proporsi varians
k = Banyaknya independent variable
N = Ukuran sampel
Kemudian selanjutnya dilakukan uji koefisiensi regresi dari tiap-tiap IV
yang di analisis. Uji tersebut digunakan untuk melihat apakah pengaruh yang
diberikan IV signifikan terhadap DV secara sendiri-sendiri atau parsial. Uji ini
digunakan untuk menguji apakah sebuah IV benar-benar memberikan kontribusi
terhadap DV. Sebelum di dapat nilai t dari tiap IV, harus didapat dahulu nilai
64
standar error estimate dari b (koefisien regresi) yang didapatkan melalui akar
MSres dibagi dengan SSx. Setelah didapat nilai Sb (standar error estimate dari b),
barulah bisa dilakukan uji t, yaitu hasil bagi dari b (koefisien regresi) dengan Sb
itu sendiri. Dapat dirumuskan:
bn
tn =
Sbn
Keterangan:
bn = Koefisien regresi variabel bebas ke-n
Sbn = Standart Error Estimate dari koefisien regresi variabel bebas ke-n.
65
BAB 4
HASIL PENELITIAN
Dalam bab ini, dipaparkan mengenai gambaran subjek penelitian, hasil analisis
deskriptif, kategorisasi skor variabel penelitian, hasil pengujian hipotesis dan
pembahasan hasil pengujian hipotesis dan proporsi varians.
4.1 Gambaran Umum Subjek Penelitian
Berikut ini akan diuraikan gambaran responden berdasarkan jenis kelamin, status
pekerjaan, dan status sosio ekonomi. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan
sampel sebanyak 184 individu yang berasal dari Padang Pariaman, Sumatera
Barat.
Tabel 4.1
Gambaran Umum Responden
Demografis Jumlah Presentase
Jenis Kelamin Laki-laki 60 34%
Perempuan 124 67%
Jumlah 184 100%
Status Sosioekonomi Rendah 73 40%
Sedang 64 35%
Tinggi 47 25%
Jumlah 184 100%
Berdasarkan data yang terdapat pada tabel 4.1, dapat dilihat bahwa
responden paling banyak adalah perempuan yang berjumlah 124 orang (67%).
Dan status sosio ekonomi yang rendah lebih banyak ikut berpartisipasi dalam
penelitian ini (40%).
66
4.2 Hasil Analisis Deskriptif
Hasil analisis deskriptif adalah hasil yang memberikan gambaran data penelitian.
Dalam hasil analisis deskriptif ini akan disajikan nilai minimum, maksimum,
mean dan standar deviasi variabel serta kategorisasi tinggi dan rendahnya skor
variabel penelitian. Gambaran hasil analisis deskriptif ini dapat dilihat pada tabel
4.2.
Tabel 4.2
Analisis Deskriptif
Variabel Statistik Deskriptif
N Min Maks Mean Std. Deviasi
Nilai hidup materialistis 184 23.81 77.27 49.98 8.460
Harga Diri 184 30.39 72.05 49.98 8.814
Rasa Syukur 184 33.66 68.13 49.91 8.711
Perbandingan Sosial 184 29.93 80.29 49.97 8.848
Pola Komunikasi Berorientasi Sosial 184 32.59 76.72 50.07 7.229
Pola Komunikasi Berorientasi Konsep 184 30.37 68.42 50.07 9.021
Kelekatan Tidak Nyaman 184 25.23 72.16 50.00 9.273
4.2.1 Kategorisasi variabel
Peneliti menggunakan informasi analisa deskriptif sebagai acuan untuk membuat
norma kategorisasi dalam penelitian ini yang datanya bukan menggunakan data
mentah (raw score) tetapi merupakan true score yang skalanya telah dipindah
menggunakan rumus t-score yang telah dijelaskan pada bab 3. Nilai tersebut
menjadi batas peneliti untuk menentukan kategorisasi rendah dan tinggi dari
masing-masing variabel penelitian. Pedoman interpretasi skor dijelaskan pada
tabel 4.3.
67
Tabel 4.3
Pedoman Interpretasi Skor
Uraian mengenai gambaran kategori skor variabel berdasarkan tinggi dan
rendahnya tiap variabel disajikan pada tabel 4.4 di bawah ini.
Tabel 4.4
Kategorisasi Skor Variabel
Kategorisasi Skor Variabel
Variabel Frekuensi %
Rendah Tinggi Jumlah Rendah Tinggi
Nilai Hidup Materialistis 91 93 184 49.45 50.54
Harga Diri 90 94 184 48.91 51.08
Perbandingan Sosial 96 88 184 52.17 47.82
Rasa Syukur 93 91 184 50.54 49.45
Pola Komunikasi Orientasi Sosial 93 91 184 50.54 49.45
Pola Komunikasi Orientasi Konsep 79 105 184 42.93 57.06
Kelekatan Tidak Nyaman 86 98 184 46.73 53.26
4.3 Uji Hipotesis Penelitian
Uji hipotesis dilakukan untuk mengetahui pengaruh masing-masing variabel bebas
terhadap variabel terikat dalam penelitian ini, analisisnya dilakukan dengan
Regresi Berganda (Multiple Regression Analysis). Data yang dianalisis ialah true
score (bukan data mentah/raw score hasil penambahan) yang diperoleh dari hasil
analisis faktor. Lalu peneliti memindahkan true skor tersebut menjadi t score
(10*truescore+50).
Kategori Rumus
Tinggi X > Mean
Rendah X < Mean
68
Dalam melakukan analisis regresi, ada 3 hal yang dilihat, yaitu; pertama,
melihat besaran R square untuk mengetahui berapa persen varians variabel terikat
(dependent variable) yang dijelaskan oleh variabel bebas (independent variabel);
kedua, apakah secara keseluruhan independent variabel berpengaruh secara
signifikan terhadap DV, kemudian terakhir melihat signifikan atau tidaknya
koefisien regresi dari masing-masing independent variabel.
Pengujian hipotesis dilakukan dengan beberapa tahapan. Pertama, peneliti
melihat besaran R2
untuk mengetahui berapa persen varians dependent variable
(DV) yang dijelaskan oleh independent variabel (IV). Selanjutnya untuk tabel
yang berisi R2, dapat dilihat pada tabel 4.5 berikut ini:
Tabel 4.5
Model Summary Analisis Regresi
Model Summary
R R Square Adjusted R
Square
Std. Error of the
Estimate
.411a .169 .136 3.56457
a. Predictors: (Constant), Status Ekonomi, Pola Komunikasi Orientasi
Konsep, Perbandingan Sosial, Harga Diri, Kelekatan Tidak Nyaman, Pola
Komunikasi Orientasi Sosial, Rasa Syukur
Berdasarkan data pada tabel 4.5 diketahui bahwa perolehan R2 sebesar
0.169 atau 16.9%. Artinya proporsi varians dari nilai hidup materialistis yang
dijelaskan oleh harga diri, perbandingan sosial, rasa syukur, pola komunikasi
keluarga, kelekatan tidak nyaman dan status sosioekonomi dalam penelitian ini
adalah sebesar 16.9 %, sedangkan 83.1% lainnya dipengaruhi oleh variabel lain
diluar penelitian ini.
69
Langkah kedua, peneliti menganalisis dampak dari harga diri,
perbandingan sosial, rasa syukur, pola komunikasi keluarga, kelekatan tidak
nyaman dan status sosioekonomi terhadap nilai hidup materialistis. Adapun
hasilnya dapat dilihat pada tabel 4.6.
Tabel 4.6
Pengaruh Keseluruhan Independent Variabel Terhadap Dependent Variabel
ANOVA
Model Sum of
Squares df
Mean
Square F Sig.
Regression 2211.242 7 315.892 5.107 .000
Residual 10886.661 176 61.856
Total 13097.903 183
a. Predictors: (Constant) Status Ekonomi, Pola Komunikasi Orientasi Konsep,
Perbandingan Sosial, Harga Diri, Kelekatan Tidak Nyaman, Pola Komunikasi
Orientasi Sosial, Rasa Syukur
b. Dependent Variable: Nilai Hidup
Materialistis
Berdasarkan pada tabel 4.6, diketahui bahwa nilai Sig. pada kolom paling
kanan adalah sebesar 0.000. Sedangkan diketahui bahwa syarat terpenuhinya nilai
Sig. adalah < 0.05, maka hipotesis nihil yang menyatakan tidak ada pengaruh
yang signifikan antara harga diri, perbandingan sosial, rasa syukur, pola
komunikasi keluarga berorientasi sosial, pola komunikasi keluarga berorientasi
konsep, kelekatan tidak nyaman, dan status sosioekonomi terhadap nilai hidup
materialistis ditolak. Artinya, ada pengaruh yang signifikan dari harga diri,
perbandingan sosial, rasa syukur, pola komunikasi keluarga berorientasi sosial,
pola komunikasi keluarga berorientasi konsep, kelekatan tidak nyaman, dan status
sosioekonomi terhadap nilai hidup materialistis.
70
Langkah terakhir adalah melihat koefisien regresi dari masing-masing
independent variabel. Untuk mengetahui signifikan atau tidaknya koefisien
regresi yang dihasilkan, dapat dilihat melalui kolom Sig. (kolom keenam). Jika
Sig. < 0.05 maka koefisien regresi yang dihasilkan signifikan pengaruhnya
terhadap nilai hidup materialistis, begitupun sebaliknya. Adapun besarnya
koefisien regresi dari masing-masing independent variabel terhadap nilai hidup
materialistis dapat dilihat pada tabel 4.7 berikut ini.
Tabel 4.7
Koefisien Regresi
Variabel B Error Sig
(Constant) 48.852 9.601 0.000
Harga Diri -0.056 0.077 0.470
Perbandingan Sosial 0.211 0.074 0.005
Rasa Syukur -0.216 0.085 0.012
Pola Komunikasi Orientasi Sosial 0.011 0.086 0.900
Pola Komunikasi Orientasi Konsep 0.017 0.071 0.809
Kelekatan Tidak Nyaman 0.055 0.068 0.421
Status Sosioekonomi 0.001 0.778 0.999
Berdasarkan tabel 4.7, dapat diketahui persamaan regresi sebagai berikut :
nilai hidup materialistis = 48.852 – 0.056 (harga diri) + 0.211 (perbandingan
sosial) – 0.216 (rasa syukur) + 0.011 (pola komunikasi keluarga berorientasi
sosial) + 0.017 (pola komunikasi keluarga berorientasi konsep) + 0.055 (kelekatan
tidak nyaman) + 0.001 (status sosioekonomi).
Dari persamaan regresi di atas, dapat dijelaskan bahwa dari tujuh independent
variabel, hanya perbandingan sosial dan rasa syukur yang signifikan (lihat nilai
71
Sig. <0.05). Penjelasan dari nilai koefisien regresi yang diperoleh pada masing-
masing independent variabel adalah sebagai berikut:
1. Variabel harga diri: diperoleh nilai koefisien regresi sebesar -0.056 dengan
Sig. sebesar 0.47 (Sig. > 0.05), dengan demikian H01 yang menyatakan
tidak ada pengaruh yang signifikan dari harga diri terhadap terhadap nilai
hidup materialistis diterima. Artinya harga diri tidak memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap nilai hidup materialistis.
2. Variabel perbandingan sosial : diperoleh nilai koefisien regresi sebesar
0.211 dengan Sig. sebesar 0.005 (Sig. < 0.05), berarti signifikan. Dengan
demikian H02 yang menyatakan tidak ada pengaruh yang signifikan dari
perbandingan sosial terhadap nilai hidup materialistis ditolak. Artinya
perbandingan sosial memiliki pengaruh yang signifikan terhadap nilai
hidup materialistis.
3. Variabel rasa syukur : diperoleh nilai koefisien regresi sebesar -0.216
dengan Sig. sebesar 0.012 (Sig. < 0.05), dengan demikian H03 yang
menyatakan tidak ada pengaruh yang signifikan dari rasa syukur terhadap
nilai hidup materialistis ditolak. Artinya rasa syukur memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap nilai hidup materialistis.
4. Variabel pola komunikasi keluarga berorientasi sosial: diperoleh nilai
koefisien regresi sebesar 0.011 dengan Sig. sebesar 0.900 (Sig. > 0.05),
dengan demikian H04 yang menyatakan tidak ada pengaruh yang
signifikan dari pola komunikasi keluarga berorientasi sosial terhadap nilai
hidup materialistis diterima. Artinya pola komunikasi keluarga berorientasi
72
sosial tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap nilai hidup
materialistis.
5. Variabel pola komunikasi keluarga berorientasi konsep : diperoleh nilai
koefisien regresi sebesar 0.017 dengan Sig. sebesar 0.809 (Sig. > 0.05),
dengan demikian H05 yang menyatakan tidak ada pengaruh yang
signifikan dari pola komunikasi keluarga berorientasi konsep terhadap
nilai hidup materialistis diterima. Artinya pola komunikasi keluarga
berorientasi sosial tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap nilai
hidup materialistis.
6. Variabel kelekatan tidak nyaman : diperoleh nilai koefisien regresi sebesar
0.055 dengan Sig. sebesar 0.421 (Sig. > 0.05), dengan demikian H06
yang menyatakan tidak ada pengaruh yang signifikan dari kelekatan tidak
nyaman terhadap nilai hidup materialistis diterima. Artinya kelekatan tidak
nyaman tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap nilai hidup
materialistis.
7. Variabel status sosioekonomi : diperoleh nilai koefisien regresi sebesar
0.001 dengan Sig. sebesar 0.999 (Sig. > 0.05), dengan demikian H07
yang menyatakan tidak ada pengaruh yang signifikan dari status
sosioekonomi terhadap nilai hidup materialistis diterima. Artinya status
sosioekonomi tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap nilai
hidup materialistis.
8. Berdasarkan nilai Beta yang tertera pada tabel 4.7, prediktor terkuat yang
berpengaruh secara signifikan adalah rasa syukur (B = -0.216).
73
4.3.1 Pengujian proporsi varians variabel bebas
Selanjutnya peneliti ingin mengetahui sumbangan proporsi varians dari masing-
masing variabel bebas terhadap nilai hidup materialistis. Maka dari itu, peneliti
melakukan analisis regresi berganda dengan cara menambahkan satu variabel
bebas setiap melakukan regresi. Kemudian, peneliti dapat melihat penambahan
dari R² (R Square Change) setiap melakukan analisis regresi dan dapat melihat
signifikansi dari penambahan R² tersebut. Hal ini dapat dilihat pada tabel 4.8
berikut :
Tabel 4.8
Proporsi Varians Tiap Independent Variabel Terhadap Dependent Variabel
Model R
R
Squar
e
Adjust
R
Square
Std.
Error of
the
Estimate
Change Statistics
R2
Chang
e
F
Chang
e df1 df2
Sig. F
Chang
e
Harga Diri .181a .033 .027 8.34358 .033 6.147 1 182 .014
Perbandingan Sosial .360
b .130 .120 7.93657 .097
20.14
6 1 181 .000
Rasa Syukur .406c .165 .151 7.79440 .036 7.663 1 180 .006
Orientasi Sosial .406d .165 .147 7.81565 .000 .023 1 179 .881
Orientasi Konsep .407e .166 .142 7.83579 .000 .081 1 178 .776
Kelekatan Tidak
Nyaman .411
f .169 .141 7.84261 .003 .690 1 177 .407
Status Sosioekonomi .411g .169 .136 7.86486 .000 .000 1 176 .999
Predictors: (Constant), Hd, Ps, Rs, Sos, Kon, Kel, Stat
Berdasarkan data pada tabel 4.8 dapat disampaikan informasi sebagai berikut :
1. Variabel harga diri memberikan sumbangan sebesar 3.3 % terhadap
varians nilai hidup materialistis. Sumbangan tersebut signifikan dengan
nilai Sig. F Change = 0.014 (Sig. F Change < 0.05).
74
2. Variabel perbandingan sosial memberikan sumbangan sebesar 9.7 %
terhadap varians nilai hidup materialistis. Sumbangan tersebut signifikan
dengan nilai Sig. F Change = 0.000 (Sig. F Change < 0.05).
3. Variabel rasa syukur memberikan sumbangan sebesar 3.6 % terhadap
varians nilai hidup materialistis. Sumbangan tersebut signifikan dengan
Sig. F Change = 0.006 (Sig. F Change < 0.05)
4. Variabel pola komunikasi keluarga berorientasi sosial tidak memberikan
sumbangan terhadap varians nilai hidup materialistis dengan nilai Sig. F
Change = 0.881 (Sig. F Change > 0.05).
5. Variabel pola komunikasi keluarga berorientasi konsep tidak memberikan
sumbangan terhadap varians nilai hidup materialistis dengan Sig. F
Change = 0.776 (Sig. F Change > 0.05)
6. Variabel kelekatan tidak nyaman konsep memberikan sumbangan sebesar
0.3 % terhadap varians nilai hidup materialistis. Tetapi sumbangan itu
tidak signifikan karena nilai Sig. F Change = 0.407 (Sig. F Change > 0.05)
7. Variabel status sosioekonomi tidak memberikan sumbangan terhadap
varians nilai hidup materialistis dengan nilai Sig. F Change = 0.99 (Sig. F
Change > 0.05).
75
BAB 5
KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN
Pada bab lima peneliti akan memaparkan lebih lanjut hasil dari penelitian yang
telah dilakukan. Bab ini terdiri dari tiga bagian yaitu kesimpulan, diskusi, dan
saran.
5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data penelitian maka kesimpulan yang dapat diambil
dari penelitian ini adalah ada pengaruh yang signifikan dari harga diri,
perbandingan sosial, rasa syukur, pola komunikasi keluarga berorientasi sosial,
pola komunikasi keluarga berorientasi konsep, kelekatan tidak nyaman, dan status
sosioekonomi terhadap nilai hidup materialistis. Berdasarkan hasil uji hipotesis
yang telah dilakukan, terdapat dua variabel bebas yang signifikan pengaruhnya
terhadap nilai hidup materialistis yaitu perbandingan sosial (dengan arah positif
mempengaruhi dependent variabel) dan rasa syukur (dengan arah negatif
mempengaruhi dependent variabel). Artinya, dua variabel bebas ini memberi
pengaruh yang signifikan terhadap nilai hidup materialistis. Prediktor terbesar
dalam penelitian ini adalah variabel rasa syukur.
5.2 Diskusi
Berdasarkan tabel 4.4, sebagian besar skor nilai hidup materialistis termasuk
dalam kategori tinggi. Hal ini sesuai dengan penjelasan bahwa budaya Masyarakat
Padang Pariaman memang erat hubungannya dengan nilai hidup materialistis
sehingga membuat individu dalam masyarakat tumbuh dengan orientasi hidup
yang bernilai materialistis pula.
76
Sebagaimana dihipotesiskan, variabel perbandingan sosial memiliki
pengaruh signifikan dengan arah positif terhadap nilai hidup materialistis dengan
koefisien regresi sebesar 0.211 menunjukkan arah pengaruh yang positif antara
perbandingan sosial dan nilai hidup materialistis. Dari arah pengaruh tersebut
dapat diartikan jika skor perbandingan sosial seseorang tinggi maka akan tinggi
pula skor perilaku materialitis orang tersebut atau sebaliknya. Temuan ini sejalan
dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Chan dan Prendegast (2007)
yang menunjukkan bahwa individu yang sering melakukan perbandingan sosial
dengan orang lain cenderung lebih bernilai hidup materialistis. Namun
berdasarkan tabel 4.4, sebagian besar responden memiliki perbandingan sosial
yang rendah, hal ini bisa dijelaskan karena sebagian besar responden berada pada
usia remaja di mana pada usia ini objek yang dijadikan bandingan (upward
comparison) belum terlalu besar. Ditambah lagi responden sebagian besar adalah
masyarakat dengan status sosioekonomi yang rendah (lihat tabel 4.1). Biasanya
perbandingan sosial akan semakin tinggi ketika individu berada pada lingkungan
dengan masyarakat dengan status sosioekonomi tinggi di mana status ekonomi
dan kekayaan menjadi suatu identitas dan kehormatan.
Individu yang membandingkan kekayaan dirinya dengan kekayaan orang
lain adalah individu yang suka mengkategorikan teman-teman disekitarnya
dengan sekat-sekat tingkatan kemampuan materi dan finansial. Individu itu yakin
bahwa kesuksesan dan kebahagiaan diraih dengan kekayaan materi, sehingga
individu yang berperilaku seperti ini dikatakan individu yang materialistis dalam
menilai segala sesuatu dalam hidupnya.
Membandingkan diri dengan orang lain membuat seseorang ingin
77
memiliki apa yang dimiliki oleh orang lain dan tidak puas dengan apa yang
dimiliki saat ini. Apalagi orang yang dijadikan bandingan adalah orang yang lebih
mampu secara materi (upward comparison), seperti membandingkan rumah
sendiri dengan rumah orang lain, mobil sendiri dengan mobil teman, dan barang-
barang lainnya. Apalagi saat ini hampir setiap orang memiliki akun media sosial
seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan Path. Di mana setiap orang dapat
dengan mudah memberitahukan apa yang sedang dilakukan, apa yang baru saja
dibeli, dan apa saja kepunyaan yang ia sukai kepada lingkungan jejaring sosialnya
tidak terbatas tempat dan waktu. Tidak jarang hal ini menimbulkan kecemburuan
sosial dan perasaan iri hati yang dapat menyebabkan masalah lain lebih lanjut.
Disisi lain temuan ini menarik, karena pada bab 1 sudah disinggung
bahwa budaya menjemput di mana seorang laki-laki dilabeli terhormat atau tidak
dengan pelabelan status sosial yang diukur melalui kekayaan dan jenis pekerjaan.
Apabila seorang laki-laki mempunyai kekayaan yang baik atau jenis pekerjaan
dengan penghasilan tinggi ingin dijadikan calon suami, harga yang harus
dikeluarkan calon mempelai wanita semakin tinggi. Tinggi rendahnya harga laki-
laki ini juga dapat memperkuat perbandingan sosial individu dalam masyarakat.
Karena ada perbedaan jelas antara laki-laki dengan harga tinggi yang mempunyai
kekayaan yang baik, dan laki-laki dengan harga rendah yang kurang mampu
dalam kekayaan.
Kuatnya budaya ota juga secara langsung memperkuat perbandingan
sosial dalam masyarakat. Budaya ota adalah budaya komunikasi masyarakat
khususnya laki-laki pada tempat-tempat berkumpul seperti lapau (warung) dan
balai-balai masyarakat yang membahas tingkah laku masyarakat secara
keseluruhan. Di tempat tersebut mereka bertukar kabar antara sanak keluarga dan
78
membahas apa saja yang terjadi pada masyarakat. Tidak jarang mereka yang
berkumpul cenderung selalu membangga-banggakan apa yang sudah dilakukan
dirinya dan sanak keluarganya pada orang yang berkumpul. Hal ini membuat
kebanggaan seorang laki-laki meningkat ketika dirinya atau sanak keluarganya
meraih raihan positif seperti kesuksesan di rantau.
Sesuai hipotesis, variabel rasa syukur memiliki pengaruh signifikan
terhadap nilai hidup materialistis dengan koefisien regresi sebesar –0.216,
menunjukkan arah pengaruh yang negatif antara rasa syukur dan nilai hidup
materialistis. Dari arah pengaruh tersebut dapat diartikan jika skor rasa syukur
seseorang tinggi maka skor nilai hidup materialistis seseorang akan rendah dan
sebaliknya. Temuan ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan
oleh McCullough et. al. (2002) dan Polak dan McCullough (2006) bahwa prinsip
nilai hidup materialistis bertolak belakang dengan prinsip rasa syukur, dimana
individu yang bernilai hidup materialistis berfokus pada sesuatu yang belum
dicapai dan bersifat eksternal, seperti mengejar materi dan kekayaan. Sedangkan
individu yang memiliki rasa syukur tinggi akan lebih banyak mengapresiasi
keadaan yang dia lewati saat ini sehingga mengurangi ambisinya untuk mengejar-
ngejar materi dan kekayaan. Individu dengan rasa syukur tinggi adalah individu
yang lebih mementingkan kepuasan intrinsik daripada yang bersifat ekstinsik.
Individu yang banyak memiliki rasa syukur seharusnya membuat ia
merasakan hidupnya penuh dengan nikmat dan karunia, sehingga bisa mengurangi
gejala nilai hidup materialistis yang individunya cenderung haus dengan materi
yang berlimpah dan selalu memikirkan bagaimana caranya agar di masa depan
hidupnya bergelimang harta. Dua hal yang sangat berkontradiksi. Walaupun
79
terkadang sebagian yang sudah memiliki kekayaan dan materi berlimpah bisa juga
memiliki rasa syukur tinggi, namun kasus seperti ini jarang terjadi.
Seperti yang sudah dijelaskan pada Bab 2, bahwa nilai hidup materialistis
adalah orientasi hidup yang bersifat eksternal, yaitu orientasi hidup yang
mementingkan bagaimana tampilan hidupnya yang tampak oleh orang lain dan
bisa dilihat dan dinilai orang lain secara jelas. Orientasi hidup ini disebut dengan
orientasi hidup eksternal. Berbeda dengan seseorang yang lebih mementingkan
kepuasan intrinsiknya yang bersifat ruhani dan spiritual. Orientasi hidup seperti
ini disebut orientasi hidup intrinsik. Rasa syukur lebih dekat pada pemenuhan
orientasi hidup intrinsik. Variabel-variabel lain yang erat kaitannya dengan
orientasi hidup intrinsik adalah rendah hati, tidak menyombongkan diri, dan
tawadhu. Sedangkan diketahui individu yang memiliki nilai hidup materialistis
cenderung tamak, sombong, berbangga diri, dan suka iri hati terhadap individu
yang lebih baik dari dirinya dari segi harta dan kekayaan (Zhou & Gao, 2008).
Hal ini lah yang membuat individu dengan nilai hidup materialistis berpengaruh
negatif dengan well being dan kebahagiaan (Kasser, 2002, 2004). Karena well
being dan kebahagiaan adalah sesuatu yang bersifat intrinsik yang hanya bisa
didapatkan dengan pengalaman-pengalaman intrinsik pula, yaitu salah satunya
dengan rasa syukur.
Dengan mengetahui rasa syukur dan nilai hidup materialistis memiliki
pengaruh yang negatif, hal ini bisa menjadi masukan bagi ilmu psikologi secara
praktis bahwa untuk mengatasi meningkatnya nilai hidup materialistis adalah
dengan memupuk rasa syukur yang banyak, serta dapat menjadi pertimbangan
bagi individu yang bernilai hidup materialistis supaya lebih banyak belajar
80
bersyukur dan mensyukuri hidup. Diharapkan dengan memiliki rasa syukur,
individu tidak terlalu mengejar-ngejar materi dan kekayaan sehingga berdampak
buruk bagi kondisi psikologisnya. Dampak buruk bagi kondisi psikologis individu
yang bernilai hidup materialistis sudah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya.
Ditambah lagi, terbukti dari penelitian ini, nilai hidup materialistis
tampaknya memang harus dihilangkan dengan lebih banyak memupuk sifat-sifat
positif, terbukti dalam penelitian ini negatifnya arah hubungan rasa syukur dengan
nilai hidup materialistis. Rasa syukur diketahui adalah variabel yang diajarkan
melalui norma-norma kesopanan dan keagamaan, dimana rasa syukur dibentuk
dari nilai-nilai intrinsik, nilai-nilai luhur, dan spiritualitas.
Namun berdasarkan tabel 4.4, sebagian besar responden memiliki rasa
syukur yang rendah. Hal ini bisa terjadi karena responden sebagian besar adalah
remaja di mana kedewasaan belum terbentuk dan belum terlalu memikirkan
kebermaknaan hidup sehingga mengurangi rasa syukur. Butuh kepribadian yang
matang untuk bisa memupuk rasa syukur yang tinggi sebagai manusia karena
tabiat manusia adalah makhluk yang tidak pernah puas akan materi.
Sedangkan variabel yang tidak signifikan mempengaruhi nilai hidup
materialistis adalah harga diri, pola komunikasi keluarga berorientasi sosial, pola
komunikasi berorientasi konsep, kelekatan tidaknyaman, dan status sosioekonomi.
Variabel harga diri berpengaruh negatif dengan nilai hidup materialistis
dengan koefisien regresi sebesar –0.056. Artinya, apabila harga diri seseorang
negatif atau rendah, maka kecendrungan untuk bernilai hidup materialistis
semakin tinggi. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Chang dan
Arkin (2002) dan Chaplin dan John (2007). Hanya saja, dalam penelitian ini
81
hubungan negatif antara harga diri dan nilai hidup materialistis tidak siginifikan
secara statistik (Sig. < 0.05).
Variabel harga diri tidak signifikan mempengaruhi nilai hidup materialistis
pada subjek penelitian yang diambil di Padang Pariaman ini. Menurut peneliti,
temuan ini cukup menarik karena dari seluruh penelitian-penelitian sebelumnya
yang menghubungkan harga diri dan nilai hidup materialistis, secara dominan
penelitian dilakukan di daerah-daerah yang berbeda dari segi kontur budaya.
Kebanyakan penelitian sebelumnya dilakukan di Amerika, Eropa, dan China.
Sedangkan penelitian kali ini dilakukan di Padang Pariaman, dengan latar
belakang budaya yang sangat berbeda. Tidak signifikannya hubungan variabel
harga diri dengan nilai hidup materialistis pada subjek penelitian yang diambil di
Padang Pariaman ini menunjukkan perbedaan kontur budaya yang benar-benar
sangat berbeda dengan subjek penelitian-penelitian sebelumnya. Masih kentalnya
budaya kekeluargaan dan kolektifitas di Padang Pariaman tidak membuat
seseorang yang memiliki harga diri rendah melakukan kompensasi dengan
mengejar kekayaan materi. Seperti yang telah dijelaskan di awal, masyarakat
Padang Pariaman yang secara umum adalah suku Minangkabau juga dikenal
sebagai masyarakat yang cukup religius. Peran agama mungkin saja bisa menjadi
penyeimbang bagi seseorang yang memiliki harga diri rendah. Sehingga tidak
melulu dengan peraihan materi. Hal ini juga menjelaskan mengapa skor
katergorisasi variabel harga diri sebagian besar adalah berkategori tinggi (lihat
tabel 4.4).
Dua variabel pola komunikasi keluarga; dimensi berorientasi sosial dan
dimensi berorientasi konsep tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap nilai
82
hidup materialistis dengan koefisien regresi masing-masing sebesar 0.11 dan 0.17
(Sig. < 0.05). Temuan ini tidak sejalan dengan penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Moore dan Mochis (1981) yang memprediksi pola komunikasi
keluarga mempengaruhi nilai hidup materialistis.
Menurut peneliti, tidak signifikannya hubungan antara pola komunikasi
dengan nilai hidup materialistis adalah karena bisa jadi di dalam keluarga
responden menerapkan pola komunikasi yang terkadang berorientasi sosial dan
terkadang berorientasi konsep. Ditambah lagi, sistem kekeluargaan yang
matrelinier (berdasarkan keturunan ibu) memberikan dampak yang signifikan
dalam perkembangan individu dan besarnya peran seorang paman dalam
mendidik seorang individu dalam keluarga inti sedikit banyak memberikan variasi
yang berwarna dalam pola komunikasi keluarga.
Variabel kelekatan tidak nyaman tidak memiliki pengaruh signifikan
terhadap nilai hidup materialistis dengan koefisien regresi sebesar 0.055 (Sig <
0.05). Temuan ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Norris et
al. (2012) yang menemukan kelekatan tidak nyaman mengakibatkan individu
cenderung tinggi nilai hidup materialistisnya. Individu yang memiliki kelekatan
tidak nyaman mempunyai keinginan untuk memiliki hubungan sosial yang hangat
dengan orang lain, tetapi selalu dibayangi kegagalan dalam membangun hubungan
(kelekatan penuh kecemasan) ataupun tidak merasakan kehangatan dan
kenyamanan saat membangun relasi (penghindaran kecemasan). Sebagai bentuk
kompensasi dari terputusnya hubungan sosial dengan orang lain, mereka
menjadikan kepemilikan harta dan kekayaan sebagai alat untuk memberikan
kenyamanan baginya dalam membangun relasi dengan orang lain. Mereka
83
percaya dengan kekayaan yang dimiliki akan membuat orang lain menjadi ingin
dekat dengan dirinya sehingga mereka terhindar dari penolakan sosial dari
lingkungan
Berdasarkan tabel 4.4., sebagian besar responden memiliki kategori yang
tinggi dalam kelekatan tidak nyaman akan tetapi variabel kelekatan tidak nyaman
tidak berpengaruh siginifikan terhadap nilai hidup materialistis, hal ini bisa terjadi
karena disebabkan karena masih kuatnya budaya kesukuan dalam adat Padang
Pariaman membuat individu banyak memiliki kelekatan dengan sanak keluarga
dan sehingga bisa melatih individu dalam membangun relasi dengan orang lain.
Kehidupan sosial masyarakat Minang dikenal dengan pergaulan verbal sehingga
individu selalu dilatih dalam berkomunikasi dan membangun relasi dengan orang
sekitar. Hal ini lah yang membuat skor responden tinggi dalam variabel kelekatan
tidak nyaman.
Variabel status sosioekonomi tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap
nilai hidup materialistis dengan koefisien regresi sebesar 0.001 (Sig < 0.05).
Status sosioekonomi adalah variabel yang cukup sensitif. Orang cenderung
keberatan untuk menyatakan berapa pengeluarannya dalam sebulan. Hal ini dapat
menjadi masukan dan informasi baru bagi penelitian selanjutnya yang ingin
melibatkan faktor sosioekonomi dalam penelitian nilai hidup materialistis.
Masyarakat Padang Pariaman adalah masyarakat dengan mayoritas suku
Minangkabau. Masyarakat Minang kerap secara stereotype dipandang
materialistis karena mereka dikenal orang yang ahli dalam berdagang sehingga
mempertimbangkan untung rugi hidup cenderung dilihat dari untung rugi materi.
Akan tetapi, Masyarakat Minang juga dikenal religius, yang banyak melahirkan
84
ulama-ulama dan memegang syariat agama dalam kehidupan sehari-hari.
Penelitian ini menemukan keterbatasan dalam hal meyakinkan sebagian
orang bahwa nilai hidup materialistis adalah suatu masalah yang harus diteliti,
bahwa nilai hidup materialistis adalah sesuatu yang sedang tumbuh perlahan
merusak tatanan kehidupan sosial dan juga keelokan kepribadian. Dan orang
cenderung sensitif dan takut mengakui bahwasannya ia adalah seseorang yang
materialistis. Masih kurangnya penelitian yang mengarah pada tema ini juga
menjadi kesulitan tersendiri dalam menemukan sumber-sumber yang cocok untuk
dijadikan referensi.
Dalam pengambilan data, peneliti dituntut jeli dalam menyusun alat ukur
karena biasanya orang sensitif ketika ditanya mengenai sikapnya mengenai hal-
hal yang bersifat kematerian. Apalagi pada penelitian ini salah satu variabel
bebasnya adalah status sosioekonomi yang tidak sedikit orang enggan dalam
menyebutkan pengeluarannya secara riil dan sebenarnya.
5.4 Saran
Dalam penelitian ini, peneliti menyadari bahwa masih terdapat banyak
kekurangan. Untuk itu, peneliti memberikan beberapa saran sebagai bahan
pertimbangan untuk dapat melengkapi penelitian selanjutnya, baik berupa saran
teoritis maupun saran praktis.
5.4.1 Saran teoritis
1. Penelitian berikutnya diharapkan melibatkan sampel dengan berbagai
karakteristik budaya lokal, karena menurut penelitian sebelumnya nilai
hidup materialistis adalah sesuatu yang konsisten walaupun penelitiannya
melibatkan sampel dengan karakteristik budaya yang berbeda-beda. Hal
85
ini juga bisa memberikan sumbangsih yang banyak pada pengembangan
ilmu psikologi, dan juga pengembangan ilmu sosial. Serta juga akan lebih
baik apabila menggunakan populasi pada masyarakat metropolitan karena
memiliki tingkat ekonomi yang tinggi.
2. Penelitian selanjutnya juga diharapkan memilih sampel lebih spesifik,
sehingga penelitian bisa lebih fokus.
3. Variabel perbandingan sosial dalam penelitian selanjutnya diharapkan bisa
melihat perbandingan sosial terhadap teman sebaya dan perbandingan
terhadap selebritis. Karena diketahui peran media sangat besar terhadap
kehidupan sosial.
4. Seperti diketahui dalam penelitian ini besar pengaruh IV terhadap DV
sebesar 16.9% sehingga masih banyak variabel terkait lainnya yang
mempengaruhi nilai hidup materialistis namun belum diteliti dalam
penelitian ini.
5. Penelitian berikutnya diharapkan melibatkan variabel-variabel yang
berkaitan dengan nilai spiritualitas, sosial, pro lingkungan, dan
keagamaan. Karena penelitian-penelitian sebelumnya banyak mengaitkan
nilai hidup materialistis dengan variabel-variabel tersebut yang tidak
diaplikasikan pada penelitian ini.
6. Penelitian selanjutnya diharapkan memilih alat ukur yang lebih sesuai dan
memodifikasi alat ukur jauh lebih baik. Karena alat ukur dalam penelitian
memiliki peran sangat vital dan menentukan apa yang hendak diukur.
7. Penelitian selanjutnya sebaiknya menguji pengaruh nilai hidup
86
materialistis terhadap kebahagiaan dan kesejahteraan. Di mana nilai hidup
materialistis diuji sebagai IV. Hal ini untuk mengetahui apakah nilai hidup
materialistis pada budaya masyarakat Padang Pariaman adalah sesuatu
yang seharusnya dikhawatirkan jika nilai hidup materialistis memiliki
pengaruh negatif dengan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup masyarakat
Padang Pariaman.
5.4.2. Saran Praktis
1. Dari hasil penelitian, diketahui perbandingan sosial memberikan pengaruh
positif yang signifikan terhadap nilai hidup materialistis. Artinya,
perbandingan sosial yang semakin tinggi akan membuat kecenderungan
nilai hidup materialistis semakin tinggi. Dalam hal ini, sebaiknya individu
jangan terlalu sering membanding-bandingkan dirinya dengan lingkungan
sosial karena standar dan kemampuan materi yang dimiliki orang berbeda-
beda tergantung kebutuhan yang dimiliki orang tersebut.
2. Rasa syukur dan nilai hidup materialistis memiliki hubungan yang
signifikan yang negatif. Dengan demikian, menanamkan rasa syukur
dalam hidup akan membuat seseorang memiliki kepuasan hidup terhadap
apa yang dimilikinya saat ini sehingga tidak terlalu berhasrat dalam
mengejar kepemilikan materi.
87
Daftar Pustaka
Ahuvia, A. C., & Wong, N. Y. (2002). Personality and values based materialism.
Journal of consumer research, 12(4), 384-402.
Belk, R. W. (1985). Materialism: Trait aspects of living in the material world.
Journal of Consumer Research, 12, 265-280.
BPS (2015). Persentase perkembangan distribusi pengeluaran. Diunduh dari
http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/939
Bretherthon, Inge. (1992). The origins of attachment theory: John Bowlby and
Mary Ainsworth. Developmental Psychology, 28, 749-775.
Bunk, A. P., & Gibbons, F. X. (2006). Social comparison orientation: a new
perspective on those who do and those who don't compare with others. In
S. Guimond (Ed), Social comparison and social psychology (pp. 15-32)
New York: Cambridge University Press.
Carver, A. B., & McCarty J. A. (2013). Personality and psychographics of three
types of gamblers in the United States. International Gambling Studies.
13, 338-55.
Cast, A. D., & Burke, P. J. (2002). A theory of self-esteem. Social Forces, 80(3),
1041-1068
Chan, K., & Prendergast, G. (2007). Materialism and social comparison among
adolescents. Social Behavior and Personality, 35(2), 213-228
Chan, K., & Zhang, C. (2007). Living in a celebrity-mediated social world:
The Chinese experience. Young Consumers, 8, 139-152
Chang, L. C., & Arkin R. M. (2002). Materialism as an attempt to cope with
uncertainty. Psychology & Marketing, 19(5), 389-406.
Chopik, W. J., Edelstein, R. S., Anders, S. M., Wardecker, B. M., Shipman, E.
L., & Samples-Steele, C. R. (2014). Too close for comfort? Adult
88
attachment and cuddling in romantic and parent-child relationship.
Personality and Individual Difference, 69, 212-216
Dittmar, H., Bond, R., Hurst, M., & Kasser, T. (2014). The relationship
between materialism and personal well-being: A meta-analysis. J.
Personality Soc. Psychol. 107, 879-924.
Donnelly, G., Iyer, R., & Howell, R. T. (2012). The big five personality traits,
material values, and financial well-being of self-described money
managers. J. Econ. Psychol. 33, 1129-42.
Donnelly, G., Ksendzova M., & Howell R. T. (2013). Sadness, identity, and
plastic in over-shopping: The interplay of materialism, poor credit
management, and emotional buying motives in predicting compulsive
consumption. J. Econ. Psychol. 39, 113-25.
Emler, Nicholas. (2001). Self-esteem: the costs and causes of low self-worth.
New York: Joseph Rowntree Foundation.
Engle Y., & Kasser T. (2005). Why do adolescent girls idolize male
celebrities? Journal Adolesc. Res. 20, 263-83.
Fitzsimons, Petra (2013). A study examining the possible relationship between
materialism, neuroticism, gratitude, and life satisfaction (unpublished
doctoral dissertation). Department of Psychology, DBS School of Arts
Friedman, B. M. (2006). The moral consequences of economic growth. Society,
43(2), 15-22. doi: 10.1007/BF02687365
Gu, H. W., Hsu, M. H., & Hu, H. H. (2014). Dance with morality: Is individual
materialism the root of moral transgression intentions?. Proceeding of
10th Global Business and Social Science Research Conference. 23 - 24
Juni 2014, Beijing, China
Halifat, F. K. (2014). Pengaruh status sosial ekonomi orang tua terhadap
motivasi belajar siswa kelas XI di SMK Negeri 1 Limboto Kabupaten
Gorontalo (Tesis). Universitas Negeri Gorontalo, Gorontalo.
89
Hurst, M., Dittmar, H., Bond, R., & Kasser, T. (2013). The relationship between
materialistic values and environmental attitudes and behaviors: A meta-
analysis. Journal Environment Psychology. 36, 257-69. doi:
10.1016/j.jenvp.2013.09.003
Johnston, M. E. (2013). Parent materialistic values: effect on domain parenting
and adolescent moral development (unpublished doctoral thesis).
University of Toronto, Toronto.
Kasser, T. (2014). Materialistic values & goals. Manuscript in preparation.
Sending by email.
Kasser, T., & Ahuvia, A. (2002), Materialistic values and well-being in business
students. Eur. J. Soc. Psychol., 32, 137–146. doi: 10.1002/ejsp.85
Kasser, T., & Ryan, R. M. (1993). A dark side of the American dream: correlates
of financial success as a central life aspiration. Journal of Personality
and Social Psychology, 65(2); 410-422
Kasser, T., & Ryan, R. M. (1996). Further examining the American dream:
differential correlates of intrinsic and extrinsic goals. Personality and
Social Psychology Bulletin, 22, 280-287.
Kasser, T., Ryan R. M., Zax, M., & Sameroff, A. J. (1995). The relations of
maternal and social environments to late adolescents‟ materialistic and
prosocial values. Developmental Psychology, 31, 907-914.
Kasser, T., Ryan, R. M., Couchman, C. E., & Sheldon, K. M. (2004).
Materialistic values: Their causes and consequences. In T. Kasser & A.
D. Kanner (Eds.), Psychology and consumer culture. Washington, DC:
American Psychology Association
Kasser, Tim. (2002). The high price of materialism. Cambridge, Massachusetts:
The MIT Press.
Kennedy, J. H, & Kennedy, C. E. (2004). Attachment theory: Implication for
school psychology. Psychology in the School, 41(2), 247-259.
90
Lambert, N. M., Finchman, F. D., Stillman, T. F., Dean, L. R. (2009). More
gratitude, less materialism: The mediating role of life satisfaction. The
Journal of Positive Psychology, 4(1), 32-42.
Lull, James. (1990). Family communication patterns and the social uses of
television. In Inside Family Viewing: Ethnographic Research on
Television's Audiences. London: Routledge, 49-61.
McCullough, M. E., Tsang, J., & Emmons, R. A. (2002). The grateful
disposition: a conceptual and empirical topography. Journal of
Personality and Social Psychology, 82(1), 112-127
Mick, D. G. (1996). Are studies of dark side variables confounded by socially
desirable responding? The case of materialism. Journal of Consumer
Research, 23(2), 106-119. http://www.jstor.org/stable/2489708
Mikulincer, M., & Shaver, P. R., & Pereg, D. (2003). Attachment style and
affect regulation. Motivation and Emotion, 27(2), 77-102.
Mischel, W., Shoda, Y., & Smith, R. E. (2004). Introduction to personality:
toward an integration (7th ed). New York: Wiley.
Moore, R. L., & Moschis, G. P. (1981). The role of family communication in
consumer learning. Journal of Communications, 31, 42-51.
Moschis, George. (1985). The role of family communication in consumer
socialization of children and adolescents. Journal of Consumer Research,
11(4), 898-913.
Myers, D. G. (2010). Social psychology 10th edition. McGraw-Hill Companies.
National Center for Education Statistics. (November 2012). Improving the
Measurement of Socioeconomic Status for the National Assesment of
Educational Progress: A Theoritical Foundation. Washington, DC: U.S.
Government Printing Office.
Norris, J. I., Lambert, N. M., DeWall, C. N., & Fincham. F. D. (2012). Can't buy
me love?: Anxious attachment and materialistic values. Personality and
Individual Difference, 53, 666-669.
91
Park, J. K., & John, D. R. (2010). More than meets the eyes: The influence of
implicit and explicit self-esteem on materialism. Journal of Consumer
Psychology, 21, 73-87.
Polak, E. L., & McCullough, M. E. (2006). Is gratitude an alternative to
materialism? Journal Of Happines Studies, 7, 343-360.
Prasitthipab, Suthida. (2008). Family communication patterns: Can they impact
leadership style? (Tesis). Western Kentucky University, Kentucky
Richins, M. L. (2011). Materialism, transformation expectations, and spending:
Implications for credit use. J. Public Policy Mark. 30, 141-56.
Richins, M. L., & Dawson, D. (1992). A consumer values orientation for
materialism and its measurement: Scale development and validation.
Journal of Consumer Research, 19, 303-316.
Richin, M. L, & Dawson, S. (1990). Measuring material values: A preliminary
report of scale development. Advances in consumer research, 17, 169-
175.
Shrum, L. J., Wong, N., Arif, F., Chugani, S. K., Gunz, A., Lowrey, T. M.,
Nairn, A., Pandelaere, M., Ross, S. M., Ruvio, A., Scott, K., and Sundie,
J. (2012). Reconceptualizing materialism as identity goal pursuits:
functions, processes, and consequences. Journal of Business Research,
66, 1179-1185.
Sirgy, J. (1998). Materialism and quality of life. Social Indicators Research, 43,
227-260.
Solberg, E. C., Diener, E., & Robinson, M. (2004). Why are materialists less
satisfied? In T. Kasser & A. D. Kanner (Eds.), Psychology and consumer
culture: The struggle for a good life in a materialistic world (pp. 29-48).
Washington, DC: American Psychological Association.
Srikant, M. (2013). Materialism in consumer: behavior and marketing.
Management and Marketing Challenges for the Knowledge Society, 8(2),
329-352.
92
Srivastava, A., Locke, E. A., & Bartol, K. M. (2001). Money and subjective
well-being: It‟s not the money, it‟s the motives. Journal Personality
Soc. Psychol. 80, 959-71.
Thomas, S. E. (2012). The role of social pressure as a key contributor of
materialism and related status consumption. (Unpublished doctoral
dissertation). University of Science and Technology, Cochin.
Watkins, P. C., Woodward, K., Stone, T., & Kolts, R. L. (2003). Gratitude and
happiness: Development of a measure of gratitude, and relationships with
subjective well-being. Social Behavior and Personality, 31, 431–451.
Weaver, S. T., Moschis, G. P., & Davis, T. (2011). Antecedents of materialism
and compulsive buying: A life course study in Australia. Australian
Marketing Journal, 19, 247-256
Wei, M., Russel, D. W., Mallinckrodt, B., & Vogel, D. L. (2007). The
experience in close relationship scale-short form: Realibility, validity,
and factor structure. Journal of Pers Assessment, 88(2), 187-204
White, J. B., Langer, E. J., Yariv, L., & Welch, J. C. (2006). Frequent social
compariosn and destructive emotion and behavior: The dark side of
social comparison. Journal of Adult Development, 13(1), 36-44.
Wood, A. M., Maltby, J., Stewart, N., & Joseph, S. (2007). Conceptualizing
gratitude and appreciation as a unitary personality trait. Pers and
Individual Differences, 44, 619-630
Wood, J. W. (1996). What is social comparison and how should we study it?.
Personality Soc Psychol Bull, 22, 520-537.
Wright, N. D., & Larsen, V. (1993). Materialism and life satisfaction: A meta-
analysis. Journal of Consumer Satisfaction, Dissatisfaction and
Complaining Behavior, 6, 158-165.
Zhou, X., & Gao, D. (2008). Social support and money as pain management
mechanisms. Psychology Inquiry, 19(3-4), 127-144.
93
LAMPIRAN 1
Kuisioner Penelitian
INFORM CONSENT
Assalamualaikum wa rahmatullahi wa barokatuhu.
Perkenalkan, nama saya Muhammad Iqbal, mahasiswa Fakultas Psikologi, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam rangka pengerjaan tugas akhir kuliah,
perkenankan saya dengan segala hormat meminta bantuan
Bapak/Ibu/Saudara/Saudari untuk mengisi kuisioner ini dengan benar dan sesuai
dengan petunjuk pengisian. Tidak ada jawaban benar atau salah, karena
pernyataan-pernyataannya hanya untuk mengetahui sikap Anda terhadap
pernyataan tersebut.
Jika Anda bersedia berpartisipasi dalam riset ini, maka silahkan mengisi formulir
persetujuan keikutsertaan dibawah ini:
Data Responden
Inisial : __________
Usia : __________ tahun
Jenis Kelamin : L / P (Silahkan lingkari salahsatu)
Asal Daerah : Kota/Kabupaten_______________________________
Pengeluaran
/ konsumsi : - Per bulan Rp.___________________
- Per hari Rp.___________________
Dengan menandatangani formulir ini, saya menyatakan kesediaan berpartisipasi
dalam riset ini.
(……………………………)
Tanda Tangan
94
PETUNJUK PENGISIAN
Kuisioner ini terdiri dari 67 pernyataan, Anda cukup mengisi tanda centang ()
pada kolom yang sudah disediakan yang menurut Anda sangat cocok/sesuai atau
menggambarkan diri Anda.
Contoh Pernyataan:
No Pernyataan
Sangat Tidak Sesuai dengan diri saya
Tidak Sesuai dengan diri saya
Terkadang Sesuai, Terkadang Tidak
Sesuai dengan diri saya
Sangat Sesuai dengan diri saya
A B C D E
1 Saya suka membaca buku
Dari pernyataan diatas, jika Anda adalah orang yang suka membaca buku,
silahkan centang dengan tanda () pada kolom D (Sesuai dengan diri saya),
seperti dibawah ini:
No Pernyataan
Sangat Tidak Sesuai dengan diri saya
Tidak Sesuai dengan diri saya
Terkadang Sesuai, Terkadang Tidak
Sesuai dengan diri saya
Sangat Sesuai dengan diri saya
A B C D E
1 Saya suka membaca buku
Sebaliknya, apabila Anda adalah orang yang tidak suka membaca buku,
isilah tanda centang () pada kolom B ( Tidak Sesuai dengan diri saya), seperti
dibawah ini:
No Pernyataan
Sangat Tidak Sesuai dengan diri saya
Tidak Sesuai dengan diri saya
Terkadang Sesuai, Terkadang Tidak
Sesuai dengan diri saya
Sangat Sesuai dengan diri saya
A B C D E
1 Saya suka membaca buku
Namun, apabila Anda adalah orang yang sangat suka dengan kegiatan
membaca buku, Anda diharuskan mencentang () pada kolom E, yaitu kolom
“Sangat Sesuai dengan diri saya.” Begitu pun sebaliknya, jika Anda sangat tidak
95
menyukai kegiatan membaca buku, Anda mencentangnya pada kolom A (Sangat
Tidak Sesuai dengan diri saya).
Untuk kolom C (Terkadang Sesuai, Terkadang Tidak), bahwasannya Anda tidak
tahu apakah Anda suka membaca buku atau tidak, karena terkadang Anda suka
membaca buku dan terkadang tidak, bersifat netral.
1. SKALA PERILAKU MATERIALISTIS
No Pernyataan STS TS KD S SS
1 Hal terpenting dalam hidup saya adalah kesuksesan
finansial
2 Impian saya adalah memiliki pekerjaan dengan gaji
besar.
3 Saya bisa bangkit dari rasa sedih, galau, dan terpuruk,
jika diberi uang untuk shopping
4 Saya ingin terkenal agar mempunyai kebanggaan
dihadapan orang
5 Semakin banyak orang memuji, semakin bangga diri
ini.
6
Saya senang membeli pakaian/tas/sepatu ber-merk
terkenal karena itu adalah sebuah kebanggaan bagi
saya.
7 Saya harus selalu dipandang baik oleh lingkungan
sosial
2. SKALA HARGA DIRI
No Pernyataan STS TS KD S SS
8 Saya puas dengan kemampuan diri saya saat ini
9 Saya kurang percaya dengan kemampuan saya
10 Dibanding orang lain, kemampuan saya kurang
11 Saya tidak bisa melakukan sesuatu sebagus orang lain
melakukannya
12 Menurut saya, diri saya memiliki kualitas yang baik
sebagai manusia
13 Saya merasa kurang berharga.
14 Saya kurang punya kebanggaan terhadap diri saya
96
3. SKALA PERBANDINGAN SOSIAL
4. SKALA RASA SYUKUR
No PERNYATAAN STS TS KD S SS
19 Saya tidak tahu arti dari “mensyukuri hidup”
20 Butuh waktu yang lama bagi saya untuk
mensyukuri hal-hal kecil
21
Menurut saya, ada saja sesuatu yang kecil merusak
kebahagiaan hidup saya atau suatu momen indah
dalam hidup saya
22 Saya mengeluhkan keadaan hidup saya hari ini
23 Saya bersyukur terhadap kondisi hidup yang telah
saya lalui, walaupun kondisinya sulit
24 Saya tidak berani memprotes ide orang tua secara
langsung dihadapannya
5. SKALA POLA KOMUNIKASI KELUARGA BERORIENTASI SOSIAL
No PERNYATAAN STS TS KD S SS
25 Keluarga kami percaya bahwa cara terbaik untuk
terhindar dari masalah adalah dengan menjauhinya.
26 Lebih baik tidak membahas hal yang kontroversial
dan tabu dalam keluarga
No PERNYATAAN STS TS KD S SS
A B C D E
15 Saya membandingkan nasib saya dengan nasib
orang lain
16 Saya ingin memiliki apa yang dimiliki orang lain
17 Saya membandingkan hasil kerja saya dengan hasil
kerja orang lain
18 Saya membandingkan penampilan saya dengan
penampilan orang lain
97
27 Saya merasa tidak nyaman kalau berbeda pendapat
dengan orang lain
28 Lebih baik meng-iya-kan saja daripada adu argumen
panjang
29 Butuh waktu lama bagi saya menyampaikan
pendapat yang jujur kepada orang lain/teman
6. POLA KOMUNIKASI KELUARGA BERORIENTASI KONSEP
No PERNYATAAN STS TS KD S SS
30 Keluarga saya tidak pernah membahas masalah yang
tabu
31 Jika berbeda pendapat dengan seseorang, harus
disampaikan kepada orang itu secara langsung
32 Tidak ada gunanya adu argumen dengan orang lain
33
Saya melakukan sesuatu yang saya suka walaupun
orang lain tidak menyukainya
34 Saya berdebat tentang sesuatu yang bisa
diperdebatkan
35 Saya suka menanyakan hal-hal yang tidak disukai
orang lain
7. SKALA KELEKATAN TIDAK NYAMAN
No PERNYATAAN STS TS KD S SS
36 Saya butuh bukti kuat bahwa keluarga atau orang
terdekat benar-benar menyayangi saya.
37 Saya khawatir ditinggalkan teman-teman atau
orang terdekat.
38 Saya khawatir teman-teman tidak peduli saya.
39 Ketika teman atau orang terdekat tidak
memberikan kabar, saya khawatir saya dijauhi
98
40
Saya khawatir teman-teman tidak ada ketika
dibutuhkan
41 Saya ingin teman-teman atau orang terdekat
selalu berada di dekat saya.
42 Saya merasa cemas ketika ingin lebih dekat
secara personal dengan orang-orang sekitar.
43
Orang tua dan teman terdekat tidak pernah tahu
dan mengerti siapa saya sebenarnya.
99
LAMPIRAN 2
SYNTAX UJI VALIDITAS
Syntax Mplus Variabel Nilai Hidup Materialistis
TITLE: ANALISIS FAKTOR NILAI HIDUP MATERIALISTIS
DATA: FILE IS Data PM Baru.TXT;
VARIABLE: NAMES PM1 A99 B99 C99 PM2 PM3 PM4 D99 PM5 PM6
E99 PM7 F99;
USEVAR ARE PM1 PM2 PM3 PM4 PM5 PM6 PM7;
CATEGORICAL PM1 PM2 PM3 PM4 PM5 PM6 PM7;
MODEL: PM BY PM1 PM2 PM3 PM4 PM5 PM6 PM7;
PM6 WITH PM1;
PM7 WITH PM2;
PM5 WITH PM3;
OUTPUT: STDYX;
MOD (ALL 3);
Path Diagram Variabel Nilai Hidup Materialistis
100
Syntax Mplus Variabel Harga Diri
TITLE: ANALISIS FAKTOR HARGA DIRI
DATA: FILE IS HARGA DIRI.TXT;
VARIABLE: NAMES ARE HD1 HD2 HD3 HD4 HD5 HD6 HD7;
USEVAR ARE HD1 HD2 HD3 HD4 HD5 HD6 HD7;
CATEGORICAL ARE HD1 HD2 HD3 HD4 HD5 HD6 HD7;
MODEL: HD BY HD1 HD2 HD3 HD4 HD5 HD6 HD7;
HD7 WITH HD6;
HD7 WITH HD4;
HD7 WITH HD2;
OUTPUT: STANDARDIZED (STDYX);
MOD (ALL 3);
Path Diagram Variabel Harga Diri
101
SYNTAX MPLUS PERBANDINGAN SOSIAL
TITLE: ANALISIS FAKTOR PERBANDINGAN SOSIAL
DATA: FILE IS TES.TXT;
VARIABLE: NAMES ARE PBS99 PBS1 PBS2 PBS3 PBS4 PBS999;
USEVAR ARE PBS1 PBS2 PBS3 PBS4;
CATEGORICAL ARE PBS1 PBS2 PBS3 PBS4;
MODEL: PER BY PBS1 PBS2 PBS3 PBS4;
PBS4 WITH PBS3;
OUTPUT: STDYX;
MOD (ALL 3);
PATH DIAGRAM PERBANDINGAN SOSIAL
102
Syntax Mplus Variabel Rasa Syukur
TITLE: ANALISIS FAKTOR RASA SYUKUR DATA: FILE IS SYUKUR.TXT;
VARIABLE: NAMES ARE SYU1 SYU2 SYU3 SYU4 SYU5 SYU6;
USEVAR ARE SYU1 SYU2 SYU3 SYU4 SYU5;
CATEGORICAL ARE SYU1 SYU2 SYU3 SYU4 SYU5;
MODEL: SYU BY SYU1 SYU2 SYU3 SYU4 SYU5;
SYU5 WITH SYU1;
SYU5 WITH SYU2;
SYU4 WITH SYU2;
OUTPUT: STANDARDIZED (STDYX);
MOD (ALL 3);
Path Diagram Variabel Rasa Syukur
103
Syntax Mplus Pola Komunikasi Keluarga Berorientasi Sosial
TITLE: ANALISIS FAKTOR SOSIAL
DATA: FILE IS SOSIAL.TXT;
VARIABLE: NAMES ARE ITEM1 ITEM2 ITEM3 ITEM4 ITEM5
ITEM6;
USEVAR ARE ITEM1 ITEM2 ITEM3 ITEM4 ITEM5 ITEM6;
CATEGORICAL ARE ITEM1 ITEM2 ITEM3 ITEM4 ITEM5 ITEM6;
MODEL: SOS BY ITEM1 ITEM2 ITEM3 ITEM4 ITEM5 ITEM6;
ITEM3 WITH ITEM2;
ITEM6 WITH ITEM5;
OUTPUT: STANDARDIZED (STDYX);
MOD (ALL 5);
SAVEDATA: FILE IS C:\Users\ACER\Desktop\Orientasi
Materi\Data\sosial.dat;
save = fscores;
Path Diagram Pola Komunikasi Berorientasi Sosial
104
Syntax Mplus Pola Komunikasi Orientasi Konsep
TITLE: ANALISIS FAKTOR KONSEP
DATA: FILE IS KONSEP.TXT;
VARIABLE: NAMES ARE ITEM1 ITEM2 ITEM3 ITEM4 ITEM5
ITEM6;
USEVAR ARE ITEM1 ITEM2 ITEM3 ITEM4 ITEM5 ITEM6;
CATEGORICAL ARE ITEM1 ITEM2 ITEM3 ITEM4 ITEM5 ITEM6;
MODEL: KON BY ITEM1 ITEM2 ITEM3 ITEM4 ITEM5 ITEM6;
ITEM5 WITH ITEM4;
ITEM5 WITH ITEM3;
ITEM4 WITH ITEM2;
ITEM4 WITH ITEM3;
OUTPUT: STANDARDIZED (STDYX);
MOD (ALL 3);
Path Diagram Pola Komunikasi Keluarga Orientasi Konsep
105
Syntax Mplus Kelekatan Tidak Nyaman
TITLE: ANALISIS FAKTOR KELEKATAN
DATA: FILE IS KELEKATAN.TXT;
VARIABLE: NAMES ARE ITEM1 ITEM2 ITEM3 ITEM4 ITEM5
ITEM6 ITEM7 ITEM8 ITEM9 ITEM10;
USEVAR ARE ITEM1-ITEM6 ITEM8 ITEM10;
CATEGORICAL ARE ITEM1-ITEM6 ITEM8 ITEM10;
MODEL: KEL BY ITEM1 ITEM2 ITEM3 ITEM4 ITEM5 ITEM6
ITEM8 ITEM10;
ITEM10 WITH ITEM8;
ITEM3 WITH ITEM2;
ITEM8 WITH ITEM5;
ITEM5 WITH ITEM2;
OUTPUT: STANDARDIZED (STDYX);
MOD (ALL 3);
Path Diagram Kelekatan Tidak Nyaman
106
LAMPIRAN 3
OUTPUT REGRESI
Variables Entered/Removedb
Model Variables Entered Variables Removed Method
1 Stat, Kon, Ps, Sos, Kel, Hd, Rsa
. Enter
a. All requested variables entered.
b. Dependent Variable: pm
Model Summary
Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the
Estimate
1 .411a .169 .136 7.86486
a. Predictors: (Constant), Stat, Kon, Ps, Sos, Kel, Hd, Rs
ANOVAb
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 2211.242 7 315.892 5.107 .000a
Residual 10886.661 176 61.856
Total 13097.903 183
a. Predictors: (Constant), Stat, Kon, Ps, Sos, Kel, Hd, Rs
b. Dependent Variable: pm
Coefficients
a
Model
Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta
1 (Constant) 48.852 9.601 5.088 .000
Hd -.056 .077 -.058 -.724 .470
Rs -.216 .085 -.222 -2.543 .012
Ps .211 .074 .221 2.860 .005
Sos .011 .086 .009 .126 .900
Kon .017 .071 .018 .242 .809
Kel .055 .068 .060 .807 .421
Stat .001 .778 .000 .001 .999
a. Dependent Variable: pm