FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN...
-
Upload
doannguyet -
Category
Documents
-
view
267 -
download
0
Transcript of FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN...
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENGGUNAAN
PENOLONG PERSALINAN DI PROVINSI PAPUA
(DATA SDKI 2012)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Oleh:
SARYATI
1110101000063
PEMINATAN PROMOSI KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015 M/1436 H
i
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persayaratan memperoleh gelar strata satu di Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta
2. Sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Jakarta, 26 Juni 2015
Saryati
ii
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANPROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKATPEMINATAN PROMOSI KESEHATANSkripsi, Juni 2015
Saryati, NIM : 1110101000063
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Penggunaan Penolong PersalinanDi Provinsi Papua (Data SDKI 2012)
xv + 118 halaman, 18 tabel, 3 gambar, 2 lampiran
ABSTRAK
Penolong persalinan adalah orang yang menolong ibu melahirkan baikmerupakan tenaga kesehatan maupun bukan tenaga kesehatan. Penggunaanpenolong persalinan bukan tenaga profesional akan menimbulkan resikokomplikasi saat persalinan. Keadaan ini dapat meningkatkan kejadian kematianibu sehingga dapat mempengaruhi status kesehatan ibu dan juga bayi yangdilahirkan. Provinsi Papua merupakan provinsi dengan persentase penggunaanpenolong persalinan tenaga kesehatan paling rendah yaitu sebesar 39,9% danberada di bawah rata-rata angka nasional (90,88%). Penelitian ini dilakukan untukmengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan penggunaan penolongpersalinan oleh ibu melahirkan di Provinsi Papua berdasarkan data SDKI 2012.
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain studi CrossSectional. Sumber data penelitian adalah data Survei Demografi dan KesehatanIndonesia (SDKI) 2012. Analisis statistik menggunakan uji Chi Square dilakukanuntuk melihat faktor-faktor yang berhubungan dengan penggunaan penolongpersalinan di Provinsi Papua.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ibu yang menggunakan penolongpersalinan tenaga kesehatan sebesar 51,9%, penggunaan bukan tenaga kesehatan46,3% dan tanpa penolong persalinan 1,8%. Berdasarkan hasil uji statistikdiketahui bahwa faktor yang berhubungan dengan penggunaan penolongpersalinan di Provinsi Papua antara lain paritas (pvalue 0,000), status perkawinan(pvalue 0,000) tingkat pendidikan ibu (pvalue 0,000), tingkat pendidikan suami(pvalue 0,000), status pekerjaan ibu (pvalue 0,000), status pekerjaan suami(pvalue 0,014), tingkat kekayaan (pvalue 0,000), wilayah tempat tinggal (pvalue0,000), kunjungan pelayanan antenatal (pvalue 0,000). Disarankan agarpemerintah daerah meningkatkan sarana prasana yang dapat digunakanmasyarakat untuk mengakses pelayanan persalinan dan melakukan pendidikankesehatan kepada masyarakat guna meningkatkan pengetahuan masyarakattentang penolong persalinan.
Kata Kunci : Penolong Persalinan, pelayanan kesehatan, Provinsi Papua
Daftar bacaan : 61 (1968-2014)
iii
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SIENCESPUBLIC HEALTH STUDY PROGRAMHEALTH PROMOTION CONCENTRATION
Undergraduate Thesis, June 2015
Saryati, NIM : 1110101000063Determinant of Birth Attendant Utilizations in Papua Province (Data ofIndonesian Demographic and Health Survey 2012)
xv + 118 pages, 18 tabels, 3 pictures, 2 attachment
ABSTRACT
Birth attendant is a people who help mother during childbirth even as askilled birth attendant or unskilled birth attendant. Utilization of birth attendantwith unskilled birth attendant would have complication risk during childbirth.This kind of condition would increase mortality of mother that will affect tomother health status and the newborns. In Papua, there is still some mother whosegive birth with unskilled birth attendant even more without birth attendant. Papuais a province that the utilization of skilled birth attendant’s percentage was thelower, that is only 39,9% and it was under the national average (90,88%). Thisstudy aims to know the factors associated with utilization of birth attendant bymother during childbirth in Papua Province according to IDHS’s data in 2012.
This research is a quantitative research with cross sectional study design.The data source of this study is Indonesia Demographic and Health Survey(IDHS) data in 2012. Chi square test is used as statistics analysis to look forfactors associated with utilization of birth attendant in Province of Papua.
The results showed that mother who used utilization of skilled birthattendant is 51,9%, utilization of unskilled birth attendant is 46,3%, and withoutbirth attendant is 1,8%. Based on the research results, indicate that factors relatedto utilization of birth attendant in Papua Province were parity (p value 0,000),marital status (p value 0,000), mother education level (p value 0,000), husbandeducation level (p value 0,000), mother occupation (p value 0,000), husbandoccupation (p value 0,014), family economic level (p value 0,000), place ofresidence (p value 0,000), antenatal care (p value 0,000). Based on these results, itis suggested to the local government to increase the infrastructure that can use forcommunity to accessed maternal care and to make health education forcommunity to excalation community knowledge about birth attendant.
Keyword : Birth attendant, health service, Papua Province
Reading list: 61 (1968-2014)
iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN
Skripsi dengan Judul
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENGGUNAANPENOLONG PERSALINAN DI PROVINSI PAPUA
(DATA SDKI 2012)
Telah disetujui, diperiksa dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji SkripsiProgram Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Disusun Oleh:
SARYATI
1110101000063
Jakarta, Juli 2015
Pembimbing 1 Pembimbing 2
Dr. M. Farid Hamzens, M.si Ratri Ciptaningtyas, MHSNIP: 19630621 199403 1 001 NIP: 19840404 200812 2 007
PEMINATAN PROMOSI KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2015 M / 1436 H
iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN
Skripsi dengan Judul
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENGGUNAANPENOLONG PERSALINAN DI PROVINSI PAPUA
(DATA SDKI 2012)
Telah disetujui, diperiksa dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji SkripsiProgram Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Disusun Oleh:
SARYATI
1110101000063
Jakarta, Juli 2015
Pembimbing 1 Pembimbing 2
Dr. M. Farid Hamzens, M.si Ratri Ciptaningtyas, MHSNIP: 19630621 199403 1 001 NIP: 19840404 200812 2 007
PEMINATAN PROMOSI KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2015 M / 1436 H
iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN
Skripsi dengan Judul
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENGGUNAANPENOLONG PERSALINAN DI PROVINSI PAPUA
(DATA SDKI 2012)
Telah disetujui, diperiksa dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji SkripsiProgram Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Disusun Oleh:
SARYATI
1110101000063
Jakarta, Juli 2015
Pembimbing 1 Pembimbing 2
Dr. M. Farid Hamzens, M.si Ratri Ciptaningtyas, MHSNIP: 19630621 199403 1 001 NIP: 19840404 200812 2 007
PEMINATAN PROMOSI KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2015 M / 1436 H
vvv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Saryati
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 20 Oktober 1992
Alamat : Kp. Pematang Tengah RT/RW 003/004
Kelurahan Mekarjaya, Kecamatan Panimbang,
Pandeglang, Banten
Jenis Kelamin : Perempuan
Kewarganegaraan : Indonesia
Agama : Islam
Email : [email protected]
Telepon : 085776801450
Riwayat Pendidikan
1998 – 2004 SDN Mekarjaya 2, Panimbang
2004 – 2007 Mts MMA Pusat Caringin, Labuan
2007 – 2010 MAN 2 Model Serang, Banten
2010 – sekarang Peminatan Promosi Kesehatan
Jurusan Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
KATA PENGANTAR
Puji syukur peneliti penjatkan kehadirat Allah swt. yang telah memberikan
rahmat dan nikmat sehat, umur, serta kelapangan waktu bagi peneliti. Sehingga
peneliti dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul “Faktor-Faktor Yang
Berhubungan Dengan Penggunaan Penolong Persalinan Di Provinsi Papua
(DATA SDKI 2012)”. Sholawat serta salam selalu tercurah kepada Nabi
Muhammad saw. yang telah menuntun umatnya menujukehidupan yang penuh
dengan cahaya Islam.
Peneliti menyadari bahwa skripsi ini tidak akan tersusun dan selesai tanpa
bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itulah, peneliti ingin menyampaikan
terima kasih kepada:
1. Mamah dan Ayah tercinta,orang tua penulis yang mendidik dan
membesarkan dengan penuh kasih sayang hingga saat ini. Selalu
mendoakan, memberikan dukungan, motivasi, perhatian, dan pengorbanan
yang tidak pernah putus kepada peneliti. Kakak serta adik penulis, Teh
Sumyati, Andi dan Zahra yang selalu memberikan dukungan dan semangat
kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas semua
limpahan kasih sayang yang kalian berikan kepada penulis. Semoga Allah
SWT senantiasa memberikan limpahan rahmat, hidayah serta nikmat sehat
kepada kalian semua keluargaku tercinta.
2. Bapak, Dr. H. Arif Sumantri, SKM, MKes, selaku dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Fajar Ariyanti, SKM, MKes, PhD, selaku Kepala Program Studi
Kesehatan Masyarakat dan penanggung jawab skripsi.
4. Ibu Raihana Nadra Al-Kaff, SKM, MMA, selaku penanggung jawab
Peminatan Promosi Kesehatan dan Penesehat Akademik.
5. Bapak, Dr. M. Farid Hamzens, M. Si dan Ibu Ratri Ciptaningtyas, MHS,
selaku Dosen Pembimbing atas arahan, nasehat, waktu serta bimbingannya
selama peneliti mengerjakan skripsi ini.
6. Bapak dr. Yuli Pranpanca Satar, MARS., Ibu Hoirun Nisa, M.Kes,
Ph.D.,dan Bu Julie Rostina, SKM, MKM selaku penguji sidang skripsi,
terima kasih atas kesediaan bapak dan ibu menjadi penguji dan
memberikan saran yang positif untuk perbaikan penulisan skripsi.
7. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Kesehatan Masyarakat yang telah
memberikan ilmu yang bermanfaat bagi peneliti.
8. Kak Ida Farida yang telah memberikan banyak masukan serta berbagi ilmu
dan pengalaman kepada peneliti.
9. Seluruh teman-teman kelas Promkes 2010 (Wahyunita, Furi, Zahrita, Siva,
Yuli, Ayu, Ilmi, Supriadi, Fadlur, Prima, Richo, Hervina, Dita, dan
Randika) yang selalu siap mendengarkan keluh kesah peneliti selama
mengerjakan skripsi.
10. Dan tak lupa kepada rekan-rekan lain yang telah membantu peneliti dalam
proses penyetakan skripsi ini.
Skripsi yang telah dibuat oleh peneliti ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, peneliti mengharapkan kritik dan saran demi kemajuan di masa yang
akan datang. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Amin.
Jakarta, Juni 2015
Peneliti
DAFTAR ISILEMBAR PERNYATAAN..................................................................................... i
ABSTRAK .............................................................................................................. ii
ABSTRACT........................................................................................................... iii
PERNYATAAN PERSETUJUAN ........................................................................ iv
PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI ...................Error! Bookmark not defined.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP.............................................................................. vii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... viii
DAFTAR ISI.......................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL................................................................................................ xiii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xv
DAFTAR SINGKATAN ..................................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................6
1.3 Pertanyaan Penelitian ...................................................................................6
1.4 Tujuan Penelitian..........................................................................................7
1.4.1 Tujuan Umum ................................................................................... 7
1.4.2 Tujuan Khusus .................................................................................. 7
1.5 Manfaat Penelitian........................................................................................8
1.5.1 Bagi Dinas Kesehatan Provinsi Papua ................................................... 8
1.5.3 Bagi Peneliti Lain................................................................................... 8
1.6 Ruang Lingkup Penelitian..............................................................................8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................. 9
2.1 Penolong Persalinan .......................................................................................9
2.2 Perilaku Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan................................................11
2.3 Model perilaku pemanfaatan pelayanan kesehatan Andersen .....................12
2.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Dalam Pemilihan PenolongPersalinan.......................................................................................................... 16
2.3.1 Faktor Predisposisi ............................................................................... 16
2.3.2 Faktor Pemungkin ............................................................................... 24
2.3.3 Faktor Kebutuhan................................................................................ 28
2.5 Kerangka Teori.............................................................................................31
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS............................................................................................................................... 33
3.1 Kerangka Konsep .........................................................................................33
3.2 Definisi Operasional.....................................................................................35
3.3 Hipotesis.......................................................................................................38
BAB IV METODE PENELITIAN ....................................................................... 40
4.1 Desain Penelitian..........................................................................................40
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian .......................................................................40
4.3 Populasi dan Sampel ....................................................................................41
4.3.1 Populasi .............................................................................................. 41
4.3.2 Sampel................................................................................................ 41
4.4 Instrumen Penelitian.....................................................................................42
4.5 Pengumpulan Data .......................................................................................48
4.6 Pegolahan Data.............................................................................................49
4.7 Analisis Data ................................................................................................50
BAB V................................................................................................................... 51
5.1 Analisis Univariat.........................................................................................51
5.1.1 Gambaran Penggunaan Penolong Persalinan Di Provinsi Papua......... 51
5.1.2 Gambaran Responden Berdasarkan Faktor Predisposisi ..................... 52
5.1.3 Gambaran Responden Berdasarkan Faktor Pemungkin...................... 57
5.1.4 Gambaran Responden Berdasarkan Faktor Kebutuhan ....................... 59
5.2 Analisis Bivariat...........................................................................................62
5.2.1 Gambaran Faktor Predisposisi Dengan Penggunaan PenolongPersalinan ...................................................................................................... 62
5.2.2 Gambaran Faktor Pemungkin Dengan Penggunaan Penolong Persalinan....................................................................................................................... 69
5.2.3 Hubungan Faktor Kebutuhan Dengan Penggunaan Penolong Persalinan....................................................................................................................... 71
BAB VI ................................................................................................................. 73
6.1 Keterbatasan Penelitian ..............................................................................74
6.2 Gambaran Penggunaan Penolong Persalinan pada Ibu Melahirkan diProvinsi Papua....................................................................................................74
6.3 Hubungan Faktor Predisposisi Dengan Penggunaan Penolong Persalinan..79
6.3.1 Umur Ibu .............................................................................................. 79
6.3.2 Paritas................................................................................................... 83
6.3.3 Status Perkawinan ................................................................................ 87
6.3.4 Tingkat Pendidikan Ibu ........................................................................ 91
6.3.5 Tingkat Pendidikan Suami/Pasangan................................................... 94
6.3.6 Status Pekerjaan Ibu ............................................................................. 96
6.3.7 Status Pekerjaan Suami ........................................................................ 97
6.4 Hubungan Faktor Pemungkin Dengan Penggunaan Penolong Persalinan.99
6.4.1 Tingkat Kekayaan ................................................................................ 99
6.4.2 Wilayah Tempat Tinggal.................................................................... 101
6.5 Hubungan Faktor Kebutuhan Dengan Penggunaan Penolong Persalinan106
6.5.1 Komplikasi Kehamilan....................................................................... 106
6.5.2 Kunjungan Pelayanan Antenatal ........................................................ 108
6.6 Hubungan Faktor Predisiposisi, Faktor Pemungkin, dan Faktor KebutuhanTerhadap Penggunaan Penolong Persalinan ....................................................110
BAB VII .............................................................................................................. 113
7.1 Kesimpulan...............................................................................................114
7.2 Saran.........................................................................................................115
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 118
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Definisi Operasional ........................................................................... 35
Tabel 4.1 Daftar Variabel Dan Kuesioner Dalam SDKI 2012............................ 43
Tabel 4.2 Variabel dan Kode Variabel Penelitian................................................ 49
Tabel 5.1 Distribusi Penggunaan Penolong Persalinan pada Ibu Melahirkan di
Provinsi Papua-Data SDKI 2012......................................................... 49
Tabel 5.2 Distribusi Responden Berdasarkan Umur Ibu di Provinsi Papua
Data SDKI 2012......................................................... ................. 51
Tabel 5.3 Distribusi Responden Berdasarkan Paritas Ibu di Provinsi Papua
Data SDKI 2012 ......................................................... ................. 53
Tabel 5.4 Distribusi Responden Berdasarkan Status Perkawinan Ibu di
Provinsi Papua-Data SDKI 2012 ......................................................... 54
Tabel 5.5 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Ibu di
Provinsi Papua-Data SDKI 2012 ......................................................... 55
Tabel 5.6 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Suami/Pasangan di Provinsi Papua-Data SDKI 2012......................... 56
Tabel 5.7 Distribusi Responden Berdasarkan Status Pekerjaan Ibu di
Provinsi Papua-Data SDKI 2012 ......................................................... 56
Tabel 5.8 Distribusi Responden Berdasarkan Status Pekerjaan Suami/Pasangan
di Provinsi Papua-Data SDKI 2012 ..................................................... 57
Tabel 5.9 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Kekayaan di
Provinsi Papua-Data SDKI 2012 ......................................................... 58
Tabel 5.10 Distribusi Responden Berdasarkan Wilayah Tempat Tinggal di
Provinsi Papua-Data SDKI 2012 ....................................................... 59
Tabel 5.11 Distribusi Responden Berdasarkan Kunjungan Pelayanan Antenatal
di Provinsi Papua-Data SDKI 2012 .................................................. 60
Tabel 5.12 Distribusi Responden Berdasarkan Riwayat Komplikasi Kehamilan
di Provinsi Papua-Data SDKI 2012 .................................................. 61
Tabel 5.13 Hubungan antara Umur Ibu dengan Penggunaan Penolong Persalinan
di Provinsi Papua-Data SDKI 2012 ..................................................... 62
Tabel 5.14 Hubungan antara Paritas Ibu dengan Penggunaan Penolong Persalinan
di Provinsi Papua-Data SDKI 2012 ..................................................... 63
Tabel 5.15 Hubungan Status Perkawinan Ibu dengan Penggunaan Penolong
Persalinan di Provinsi Papua-Data SDKI 2012 ................................... 64
Tabel 5.16 Hubungan Tingkat Pendidikan Ibu dengan Penggunaan Penolong
Persalinan di Provinsi Papua-Data SDKI 2012 ................................... 65
Tabel 5.17 Hubungan antara Tingkat Pendidikan Suami dengan Penggunaan
Penolong Persalinan di Provinsi Papua-Data SDKI 2012 ................... 66
Tabel 5.18 Hubungan antara Status Pekerjaan Ibu dengan Penggunaan
Penolong Persalinan di Provinsi Papua-Data SDKI 2012 ................. 67
Tabel 5.19 Hubungan antara Status Pekerjaan Suami dengan Penggunaan
Penolong Persalinan di Provinsi Papua-Data SDKI 2012 ................. 68
Tabel 5.20 Hubungan antara Tingkat Kekayaan dengan Penggunaan
Penolong Persalinan di Provinsi Papua-Data SDKI 2012 ................. 69
Tabel 5.21 Hubungan antara Wilayah Tempat Tinggal dengan Penggunaan
Penolong Persalinan di Provinsi Papua-Data SDKI 2012 ................. 70
Tabel 5.22 Hubungan antara Komplikasi Kehamilan dengan Penggunaan
Penolong Persalinan di Provinsi Papua-Data SDKI 2012 ................. 71
Tabel 5.23 Hubungan antara Kunjungan Antenatal dengan Penggunaan
Penolong Persalinan di Provinsi Papua-Data SDKI 2012 ................. 72
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Model Perilaku Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
Andersen & Newman (2005) ......................................................... 15
Gambar 2.2 Kerangka Teori ................................................................................. 32
Gambar 3.1 Kerangka Konsep ............................................................................. 36
Gambar 4.1 Penentuan Sampel ............................................................................ 41
DAFTAR SINGKATAN
AKI : Angka Kematian Ibu
AKB : Angka Kematian Bayi
BAPPENAS : Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
BKKBN : Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
BPS : Badan Pusat Statistik
FIGO : International of Gynecology and Obstetrics
ICM : International Confideration of Midwives
IMD : Inisiasi Menyusui Dini
KH : Kelahiran Hidup
MDGs : Millennium Development Goals
SDKI : Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia
WHO : World Health Organization
WUS : Wanita Usia Subur
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Upaya menurunkan angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu target
Millenium Development Goals (MDGs). AKI di Asia Tenggara menunjukkan
angka yang masih tinggi yaitu sebesar 200 per 100.000 Kelahiran Hidup
(KH). Indonesia merupakan negara dengan AKI tertinggi di Asia Tenggara
setelah Timor Leste (WHO, 2013). Berdasarkan laporan Survei Demografi
Kesehatan Indonesia (SDKI) pada tahun 2012 terjadi peningkatan AKI dari
tahun sebelumnya, AKI pada tahun 2007 adalah 228 per 100.000 KH,
meningkat menjadi 359 per 100.000 KH pada 2012 (BPS, 2013).
Tingginya AKI ini dipengaruhi oleh beberapa faktor langsung dan tidak
langsung. Menurut World Health Organization (WHO) faktor langsung yang
mempengaruhi kematian ibu antara lain pendarahan (25%), infeksi (15%),
Eklampsia (12%), persalinan lama (8%), Aborsi yang tidak aman (13%),
penyebab langsung lainnya (8%), dan penyebab tidak langsung (19%) (Leah,
2013).
Selain hal tersebut menurut McCarthy and Maine (1992), kematian ibu
dapat disebabkan oleh faktor jauh dan faktor perantara. Adapun faktor jauh
terdiri dari status perempuan dalam keluarga dan komunitas (pendidikan,
pekerjaan, penghasilan, sosial dan kemandirian), status keluarga dalam
komunitas (pendapatan keluarga, pendidikan anggota lainnya, pekerjaan
anggota lainnya), dan status komunitas (kekayaan, sumber daya komunitas
2
seperti ketersediaan dokter, klinik, dan ambulans). Faktor perantara terdiri dari
status kesehatan, status reproduksi, akses terhadap pelayanan kesehatan
(lokasi pelayanan kesehatan, jarak pelayanan yang tersedia, kualitas pelayanan
dan akses terhadap informasi tentang pelayanan), perilaku wanita dalam
menggunakan pelayanan kesehatan.
Hal tersebut menunjukkan bahwa kematian ibu tidak hanya di pengaruhi
oleh faktor medis saja, melainkan terdapat pula faktor-faktor pendukung lain
yang dapat mempengaruhinya, seperti akses ibu terhadap pelayanan
kesehatan, ketersediaan tenaga penolong persalinan yang profesional, dan
persalinan dengan operasi caesar (Michelle Hynes, 2012)
Menurut beberapa penelitian di Indonesia, penolong persalinan merupakan
salah satu faktor yang berhubungan dengan kematian ibu melahirkan (Sadiq,
2002; Wijayanti, 2005; Wibowo & Darmastuti, 2009; Rani, 2010). Kematian
ibu dapat terjadi pada saat kehamilan, persalinan, dan nifas. Kematian ibu erat
kaitannya dengan penolong persalinan. Oleh karena itu, salah satu cara yang
paling efektif untuk menurunkan angka kematian ibu adalah dengan
meningkatkan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih
(BAPPENAS, 2011).
Provinsi Papua merupakan salah satu provinsi dengan angka kematian ibu
yang masih tinggi. Berdasarkan laporan SDKI (2007) angka kematian ibu di
Provinsi Papua sebesar 362 per 100.000 KH, pada tahun 2011 tercatat angka
kematian ibu sebesar 304,6 per 100.000 KH (Dinkes Papua, 2013). Angka
tersebut masih jauh dari target MDGs yakni, 102 per 100.000 kelahiran hidup
pada 2015.
3
Berdasarkan profil kesehatan Provinsi Papua tahun 2012, diketahui bahwa
penyebab langsung yang dapat menyebabkan kematian ibu adalah perdarahan
40,00%, hipertensi dalam kehamilan 3,08%, infeksi 26,42%, Abortus 7,69%,
partus lama 3,08%, lain-lain 21,54% (Dinkes Papua, 2012). Tingginya
kejadian ini dapat disebabkan oleh rendahnya persalinan ibu yang ditolong
oleh tenaga kesehatan yang terampil.
Berdasarkan hasil laporan SDKI tahun 2012, Provinsi Papua merupakan
daerah dengan angka penolong persalinan bukan oleh tenaga kesehatan paling
tinggi, yaitu mencapai 55,5%. Sedangkan angka penolong persalinan oleh
tenaga kesehatan hanya mencapai 39,9%, angka ini lebih rendah dari capaian
Provinsi Maluku (49,9%) dan Provinsi Sulawesi Barat (43,3%). Capaian
persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan di provinsi Papua masih jauh dari
target MDGs, yakni 95% persalinan ditolong tenaga kesehatan pada tahun
2015. Rendahnya persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan ini
mengakibatkan tingginya kejadian perdarahan dan infeksi saat persalinan di
Provinsi Papua, yang berdampak pada kematian ibu.
Berdasarkan Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI (InfoDatin)
tahun 2013, diketahui bahwa jumlah penolong persalinan yaitu bidan di Papua
pada tahun 2013 hanya mencapai 1.353 orang, jumlah ini masih kurang jika
dibandingkan dengan provinsi lain. Adapun rasio ibu hamil dan bidan di
Provinsi Papua pada sudah memenuhi syarat yaitu setiap bidan mampu
menangani 21-30 ibu hamil dan berada pada zona biru. Akan tetapi,
berdasarkan jumlah persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan diketahui
Provinsi Papua masih berada di zona merah. Rasio bumil dan bidan tinggi
4
tersebut ternyata tidak mempengaruhi angka persalinan ditolong tenaga
kesehatan. Hal ini dapat disebabkan oleh distribusi bidan yang kurang merata
serta kemampuan dan kualitas pelayanan yang masih kurang (Kemenkes,
2014)
Menurut laporan SDKI 2012, persalinan yang ditolong oleh tenaga
kesehatan bervariasi sesuai karakteristik latar belakang ibu. Ibu yang berumur
lebih tua cenderung menggunakan tenaga kesehatan sebagai penolong
persalinan dibandingkan dengan ibu yang berumur 20 tahun atau usia yang
masih muda. Persalinan ditolong tenaga kesehatan juga menurun pada ibu
dengan urutan kelahiran yang tinggi.
Tempat tinggal juga berpengaruh dalam penggunaan penolong persalinan,
terdapat perbedaan persentase penolong persalinan oleh tenaga kesehatan di
pedesaan dan perkotaan. Kehidupan masyarakat masih dipengaruhi oleh
budaya patriarki yaitu segala bidang kehidupan berpusat pada kekuasaan laki-
laki terutama di pedesaan atau pedalaman, hal ini dapat berpengaruh terhadap
kontrol perempuan dalam mengambil keputusan penggunaan penolong
persalinan (Goo, 2012). Distribusi tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan
yang tidak merata juga dapat berdampak pada rendahnya penggunaan
penolong persalinan di daerah pedesaan. Akan tetapi, berdasarkan SDKI tahun
2012 ibu yang bertempat tinggal di pedesaan menggunakan tenaga kesehatan
Penolong persalinan oleh tenaga kesehatan juga meningkat sejalan dengan
tingginya tingkat pendidikan dan tingkat kekayaan keluarga ibu (BPS, 2013).
Penolong persalinan merupakan salah satu dari bentuk pelayanan
kesehatan yang sangat dibutuhkan bagi semua ibu melahirkan. Menurut
5
Andersen dan Newman (2005), terdapat tiga faktor yang mempengaruhi
seseorang dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan, yakni faktor
predisposisi, faktor pemungkin, dan faktor kebutuhan. Oleh karena itu, teori
yang dapat digunakan untuk membahas pemanfaatan penolong persalinan
adalah teori The Behavioral Model Of Health Service Use oleh Andersen dan
Newman (2005).
Hasil penelitian yang dilakukan Juliwanto (2009) di Aceh Tenggara,
diketahui bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan penolong
persalinan yaitu pengetahuan ibu, Sikap ibu, dan budaya. Jarak ke tempat
pelayanan kesehatan dan sosial budaya juga diketahui berhubungan dengan
pemilihan penolong persalinan di Gorontalo (Amalia, 2011). Berdasarkan
penelitian yang dilakukan Fauziyah, dkk (2013) dan Paladan, dkk (2013) di
Toraja Utara diketahui terdapat hubungan antara paritas dengan pemanfaatan
tenaga kesehatan sebagai penolong persalinan. Hasil penelitian lain yang
dilakukan di Sulawesi Tengah menemukan bahwa kepercayaan terhadap
pelayanan antenatal juga berpengaruh dalam mengambil keputusan untuk
memilih penolong persalinan (Buyandaya, 2012)
Berdasarkan penjelasan diatas, diketahui bahwa provinsi Papua merupakan
daerah terendah dalam pencapaian persalinan ditolong tenaga kesehatan.
Mengingat masih rendahnya penolong persalinan oleh tenaga kesehatan di
provinsi Papua, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian terkait
dengan faktor-faktor yang berhubungan dengan keputusan ibu dalam memilih
penolong persalinan di Provinsi Papua dengan menggunakan data SDKI 2012.
6
1.2 Rumusan Masalah
Provinsi Papua merupakan salah satu wilayah dengan angka kematian ibu
yang masih tinggi. Salah satu pemicu tingginya kematian ibu di Provinsi
Papua adalah masih rendahnya penolong persalinan oleh tenaga kesehatan.
Berdasarkan laporan SDKI (2012) persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan
di papua hanya mencapai 39,9%, sedangkan persalinan ditolong oleh bukan
tenaga kesehatan yaitu mencapai 55,5%. Selain itu, masih terdapat ibu yang
melakukan persalinan tanpa penolong sebesar 3,2%. Capaian persalinan
ditolong oleh tenaga kesehatan di Provinsi Papua masih jauh dari target
MDGs 95%. Berdasarkan hal tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan pemilihan
penolong persalinan di provinsi Papua dengan menggunakan data Survei
Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012.
1.3 Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran penggunaan penolong persalinan di Provinsi Papua
berdasarkan hasil SDKI tahun 2012?
2. Apakah ada hubungan antara faktor predisposisi (umur, paritas, status
perkawinan, pendidikan ibu, pendidikan suami, status pekerjaan ibu, status
pekerjaan suami) ibu dengan penggunaan penolong persalinan di Provinsi
Papua berdasarkan hasil SDKI tahun 2012?
3. Apakah ada hubungan antara faktor pemungkin (tingkat kekayaan dan
wilayah tempat tinggal) ibu dengan penggunaan penolong persalinan di
Provinsi Papua berdasarkan hasil SDKI tahun 2012?
7
4. Apakah ada hubungan antara faktor kebutuhan (kunjungan pelayanan
antenatal) ibu dengan penggunaan penolong persalinan di provinsi Papua
berdasarkan hasil SDKI tahun 2012?
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan
penggunaan penolong persalinan di Provinsi Papua berdasarkan hasil
SDKI tahun 2012
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Diketahuinya gambaran penggunaan penolong persalinan di Provinsi
Papua berdasarkan hasil SDKI tahun 2012?
2. Diketahuinya hubungan antara faktor predisposisi (umur, paritas,
status perkawinan, pendidikan ibu, pendidikan suami, status pekerjaan
ibu, status pekerjaan suami) ibu dengan penggunaan penolong
persalinan di Provinsi Papua berdasarkan hasil SDKI tahun 2012?
3. Diketahuinya hubungan antara faktor pemungkin (tingkat kekayaan
dan wilayah tempat tinggal) ibu dengan penggunaan penolong
persalinan di Provinsi Papua berdasarkan hasil SDKI tahun 2012
4. Diketahuinya hubungan antara faktor kebutuhan (kunjungan pelayanan
antenatal) ibu dengan penggunaan penolong persalinan di Provinsi
Papua berdasarkan hasil SDKI tahun 2012
8
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagi Dinas Kesehatan Provinsi Papua
Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan data dan
informasi terkait faktor yang mempengaruhi pemilihan penolong
persalinan di Papua pada tahun 2012, sehingga dapat dijadikan bahan
pertimbangan untuk menentukan kebijakan untuk peningkatan cakupan
persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan.
1.5.3 Bagi Peneliti Lain
Diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan bacaan dan rujukan
peneliti selanjutnya dalam melakukan penelitian terkait kesehatan ibu,
khususnya dalam pemilihan penolong persalinan.
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan
dengan ibu dalam penggunaan penolong persalinan di Provinsi Papua
berdasarkan SDKI 2012. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional
dengan menggunakan data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI)
tahun 2012. Populasi dalam penelitian ini mengacu pada populasi dalam SDKI
2012. Sampel penelitian adalah wanita usia subur 15-49 tahun yang pernah
melahirkan lima tahun terakhir di Provinsi Papua sesuai dengan SDKI 2012.
Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember 2014 oleh mahasiswa
peminatan Promosi Kesehatan program studi Kesehatan Masyarakat Fakultas
Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan (FKIK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penolong Persalinan
Persalinan dan kelahiran merupakan suatu kejadian fisiologi yang
normal. Persalinan adalah proses membuka dan menipisnya serviks, dan janin
turun ke dalam jalan lahir. Kelahiran adalah proses saat janin dan ketuban
didorong keluar melalui jalan lahir. Persalinan dan kelahiran normal adalah
proses pengeluaran janin yang terjadi pada kehamilan cukup bulan (37- 42
minggu), berlangsung tanpa komplikasi baik pada ibu maupun pada janin
(Prawirohadrjo, 2009).
Penolong persalinan terlatih menurut WHO, ICM (International
Confideration of Midwives), dan FIGO (International of gynecology and
obstetrics) adalah profesional kesehatan terakreditasi seperti bidan, dokter atau
perawat yang telah diberi pendidikan dan dilatih dalam keterampilan yang
diperlukan untuk menangani persalinan normal (tanpa komplikasi), kelahiran
bayi, dan periode pasca salin dini, juga mampu mengidentifikasi, mengelola,
serta merujuk komplikasi pada ibu dan bayi baru lahir (Sastrawinata, 2009).
Menurut Departemen Kesehatan (2008) Penolong persalinan yang aman
adalah dilakukan oleh tenaga kesehatan yang kompeten dan sesuai dengan
standar yang telah ditetapkan. Pada prinsipnya penolong persalinan harus
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Pencegahan infeksi;
10
b. Metode pertolongan persalinan sesuai dengan standar yang telah
ditetapkan;
c. Segera merujuk kasus yang tidak dapat ditangani ke tingkat pelayanan
yang lebih tinggi;
d. Dapat melaksanakan inisiasi menyusui dini (IMD);
e. Dapat memberikan Injeksi Vit K 1 dan salep mata pada bayi baru lahir.
Penolong persalinan oleh tenaga kesehatan ini merupakan salah satu
tujuan pemerintah untuk mengurangi angka kematian ibu (AKI) dan angka
kematian bayi (AKB). Hal ini dikarenakan penolong persalinan
profesional dapat melakukan pencegahan akan terjadinya infeksi dalam
persalinan. Infeksi dalam persalinan atau infeksi intrauretin merupakan
salah satu infeksi yang dapat menyebabkan kematian ibu. Infeksi
intrauterine (korioamnionitis, infeksi intraannion,amnionitis) merupakan
infeksi akut pada cairan ketuban, janin dan selaput korioamnion yang
disebabkan oleh bakteri. Sekitar 25% infeksi intrauterine disebabkan oleh
ketuban pecah dini. Makin lama jarak antara ketuban pecah dengan
persalinan, makin tinggi pula resiko morbiditas dan mortalitas ibu dan
janin (Prawirohadrjo, 2009). Oleh karena itu, penggunaan tenaga
kesehatan sebagai penolong persalinan sangatlah diperlukan.
Tenaga penolong persalinan dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu
pertama penolong persalinan dengan tenaga kesehatan yang termasuk
didalamnya adalah dokter umum, dokter kandungan, bidan dan bidan desa,
dan tenaga profesional lainnya (Farrer, 2001). Kedua adalah penolong
11
persalinan bukan tenaga kesehatan yaitu dukun, keluarga/teman/lainnya
selain tenaga profesional yang terlatih.
2.2 Perilaku Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
Perilaku merupakan suatu kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang
dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar.
Skinner (1938) merumuskan bahwa perilaku merupakan respons seseorang
terhadap rangsangan dari luar. Perilaku terjadi melalui proses adanya stimulus
terhadap organisme dan kemudian adanya respons dari organisme tersebut
atau disebut dengan “S-O-R”. Berdasarkan batasan tersebut, maka perilaku
kesehatan merupakan suatu respons seseorang terhadap stimulus yang
berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan,
dan minuman, serta lingkungan (Notoatmodjo, 2007).
Perilaku pemanfaatan pelayanan kesehatan sangat erat kaitannya dengan
persepsi masyarakat terhadap sehat-sakit. Perilaku ini menyakut pada upaya
atau tindakan seseorang pada saat menderita sakit atau kecelakaan. Pada
prinsipnya kategori pelayanan kesehatan dibagi menjadi dua yaitu pelayanan
yang beroriantasi publik (masyarakat) dan pelayanan yang beroriantasi
perorangan (individu) (Notoatmodjo, 2007).
12
2.3 Model perilaku pemanfaatan pelayanan kesehatan Andersen
Andersen mengembangkan model perilaku penggunaan pelayanan
kesehatan pada akhir 1960an, dengan menggunakan keluarga sebagai unit
analisisnya. Kemudian Andersen bersama Anderson, Smedby dan Newman
menggunakan model ini untuk penelitian dengan unit analisisnya individu.
Model ini dikenal dengan nama “A behavioral model of health services use”.
Model ini dapat menggunakan keluarga atau individu sebagai unit analisisnya.
Model ini bertujuan untuk mengetahui alasan penggunaan pelayanan
kesehatan, mendefinisikan dan mengukur kesetaraan dalam akses pelayanan
kesehatan, membantu pemangku kebijakan dalam membaut kebijakan tentang
pelayanan kesehatan yang merata. Dalam model ini disebutkan bahwa untuk
memanfaatkan pelayanan kesehatan, keluarga dan individu di pengaruhi oleh
faktor predisposisi seseorang untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan,
kemampuan untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan, dan kebutuhan
mereka untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan. Berdasarkan hal tersebut,
pemanfaatan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh tiga komponen, yaitu
predisposisi (predisposing), pemungkin (enabling), dan kebutuhan (need).
Setiap komponen tersebut terdiri dari beberapa subkomponen, yang dijelaskan
sebagai berikut:
1) Predisposisi (predisposing)
Faktor predisposisi merupakan kecenderungan seseorang dalam
memanfaatkan pelayanan kesehatan. Faktor ini berada dalam setiap
individu dan berbeda-beda setiap individu, sehingga faktor ini
termasuk dalam faktor yang sulit atau tidak dapat diubah. Dalam
13
model ini kecenderungan pemanfaatan pelayanan kesehatan
dikelompokkan dalam tiga variabel yang terdiri dari variabel
demografi; struktur sosial yaitu menggambarkan pemanfaatan
pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh status individu dalam
komunitas, karakteristik ini dapat menunjukkan gaya hidup sekaligus
perilaku individu dalam lingkungan sosialnya dan dapat berhubungan
dengan pola pemanfaatan pelayanan kesehatan (Andersen, 1968;
Andersen & Newman, 2005). Dalam veriabel tersebut terdiri dari
setiap karakteristik, sebagai berikut:
a. Variabel demografi: umur, jenis kelamin dan status
perkawinan
b. Variabel struktur sosial: pendidikan, pekerjaan, kesukuan,
ras, dan lainnya.
c. Variabel keyakinan terhadap pelayanan kesehatan: sikap,
pengetahuan, dan keyakinan individu dalam manfaat-
manfaat pelayanan kesehatan dalam pemenuhan kesehatan
mereka.
2) Pemungkin (enabling)
Faktor pemungkin merupakan faktor yang memungkinkan/
memfasilitasi seseorang dalam menggunakan pelayanan kesehatan.
faktor ini sangat erat kaitannya dengan kemampuan sumber daya
untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan, karena meskipun telah
mempunyai faktor predisposisi seseorang tidak akan bertindak tanpa
adanya faktor ini. Dalam faktor pemungkin ini terdapat dua
14
subkomponen yaitu sumberdaya keluarga dan sumberdaya
komunitas. Sumberdaya keluarga merupakan kemampuan keluarga
untuk mengakses pelayanan kesehatan, seperti pendapatan kelurga,
asuransi kesehatan, dan lainnya. Sedangkan, sumberdaya komunitas
merupakan ketersediaan sumberdaya disekitar individu tinggal yang
dapat digunakan untuk memgakses pelayanan kesehatan, seperti
wilayah tempat tinggal individu dan ketersediaan pelayanan
kesehatan.
3) Kebutuhan (need)
Faktor kebutuhan merupakan faktor yang langsung
mempengaruhi individu untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan.
Faktor ini berhubungan langsung dengan kondisi atau kesakitan
individu. Faktor ini digambarkan oleh dua kategori yaitu pertama
penilaian individu (perceived need), yaitu penilaian individu terhadap
keadaan kesehatan yang dirasakan. Pada penilaian individu ini,
melihat pandangan seseorang terhadap kesehatan dan keadaan
fungsional mereka sendiri, serta bagaimana mereka mengalami gejala
sakit, nyeri, dan kekhawatiran tentang kesehatan mereka dan
penilaian mereka terhadap masalah kesehatan yang mereka rasakan
cukup untuk mencari bantuan profesional. Dan kedua adalah
penilaian klinik (evaluated clinic) yaitu penilaian kesehatan oleh
tenaga profesional atau tenaga kesehatan. Dua keadaan ini
mempengaruhi seseorang dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan.
15
Berdasarkan penjelasan diatas, model pemanfaaytan pelayanan kesehatan
Andersen diilustrasikan sebagai berikut:
Gambar 1. Model Perilaku Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
→ = hubungan antar komponen----= subkomponen dari masing-masing komponen
Sumber: Andersen & Newman, 2005 (Societal and Individual Determinants of Medical
Care Utilization in The United States)
Predisposisi
Demografi
StrukturSosial
KepercayaanKesehatan
Pemungkin
Sumber dayakelurga
Sumber dayaKomunitas
Persepsi
KebutuhanPenggunaanpelayanankesehatan
Evaluasi
16
2.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Dalam Pemilihan Penolong
Persalinan
Pemilihan penolong persalinan oleh tenaga kesehatan merupakan salah
satu bentuk pemanfaatan pelayanan kesehatan. Berdasarkan Andersen
pemanfaatan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu faktor
predisposisi (predisposing), faktor pemungkin (enabling), dan faktor
kebutuhan (need). Adapun faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
2.3.1 Faktor Predisposisi
A. Karakteristik Demografi
Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan
karakteristik demografi yang mempunyai peran dalam
mempengaruhi ibu untuk memilih penolong persalinan adalah
umur, tempat tinggal, dan paritas (Salam & Siddiqui, 2006;
Simanjuntak,dkk., 2012; Fauziyah,dkk., 2013). Karakteristik
demografi ibu yang mempengaruhi terhadap pemilihan penolong
persalinan sebagai berikut:
1. Umur Ibu
Umur merupakan lama hidup seseorang yang dihitung
sejak dilahirkan. Umur adalah tingkat yang menempatkan
individu-individu dalam urutan perkembangan. Umur yang
baik untuk kehamilan dan persalinan adalah antara umur 20-35
tahun, ini disebut juga dengan usia reproduksi sehat. Wanita
yang melahirkan di bawah usia 20 tahun atau lebih dari 35
17
tahun akan mempunyai resiko yang tinggi baik pada ibu
maupun bayi (Kemenkes, 2011).
Umur ibu merupakan faktor yang dapat berpengaruh
terhadap pengambilan keputusan untuk memilih tenaga
penolong persalinan. Ibu yang lebih muda cenderung lebih
memilih menggunakan tenaga kesehatan sebagai penolong
persalinan daripada ibu yang lebih tua, beberapa penelitian
menunjukkan bahwa ibu yang berumur lebih tua lebih sedikit
menggunakan tenaga kesehatan sebagai penolong
persalinannya. Sedangkan, berdasarkan hasil SDKI 2012
diketahui bahwa Presentase kelahiran ditolong tenaga
kesehatan lebih rendah diantara ibu yang berumur 20 tahun
daripada ibu yang lebih tua (BPS, 2013).
2. Paritas
Paritas merupakan frekuensi ibu pernah melahirkan anak
baik hidup atau mati, tetapi bukan aborsi. Pengalaman
melahirkan merupakan bagian penting untuk menentukan hasil
kehamilan saat ini. Paritas dapat dibedakan menjadi primipara,
multipara dan grande multipara. Primipara adalah wanita
yang telah melahirkan bayi aterm sebanyak satu kali.
Multipara adalah wanita yang pernah melahirkan anak hidup
beberapa kali, dimana persalinan tersebut tidak lebih dari
lima kali. Sedangkan Grande multipara adalah ibu yang pernah
melahirkan lima kali atau lebih (Salmah,dkk., 2006).
18
Menurut Wikjhosastro (2007), paritas adalah jumlah
anak yang dilahirkan, termasuk yang meninggal dengan usia
kehamilan >36 minggu. Paritas 1-3 merupakan paritas yang
paling aman bagi kesehatan ibu maupun janin dalam
kandungan. Paritas 2-3 merupakan paritas yang paling aman di
tinjau dari sudut kematian maternal, paritas 1 dan paritas tinggi
(lebih dari 3) mempunyai resiko angka kematian maternal
lebih tinggi (Yenita, 2011).
Menurut Kementerian kesehatan (2011), paritas dapat
dikategorikan menjadi dua, yaitu paritas dikategorikan rendah
apabila ibu melahirkan kurang atau sama dengan 3 kali
kelahiran, sedangkan paritas tinggi yaitu apabila ibu
melahirkan lebih dari 3 kali kelahiran.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Assfaw (2010) di
Ethiopia, ibu dengan paritas rendah lebih memilih
menggunakan tenaga kesehatan sebagai penolong persalinan
dibandingkan dengan ibu dengan paritas tinggi. Hal ini
dikarenakan pengalaman ibu dengan paritas rendah yang
masih kurang dalam persalinan, sehingga mereka cenderung
memiliki ketakutan lebih tinggi dibanding ibu yang telah
sering melahirkan. Penelitian yang dilakukan Fauziyah, dkk
(2013), juga mengungkapkan bahwa terdapat hubungan antara
paritas dengan pemilihan penolong persalinan. Penelitian lain
yang dilakukan Tarekegn, dkk (2014) di Ethiopia, diketahui
19
bahwa ibu dengan paritas rendah mempunyai peluang 2,4 kali
untuk menggunakan tenaga kesehatan sebagai penolong
persalinan.
3. Status Perkawinan
Berdasarkan UU No.1 tahun 1974, perkawinan ialah
ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Status perkawinan merupakan salah satu faktor yang
dapat mempengaruhi seseorang untuk memanfaatkan
pelayanan kesehatan, termasuk penolong persalinan.
B. Karakteristik Struktur Sosial
1. Pendidikan
Berdasarkan UU RI Nomor 20 Tahun 2003, pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Republik
Indonesia, 2003).
20
Pendidikan merupakan faktor utama yang
memepengaruhi individu dalam hal pengetahuan, sikap dan
perilaku. Pendidikan merupakan indikator penting yang dapat
menggambarkan modal sosial dari sumber daya manusia dan
hasil pembangunan sosial ekonomi (BPS, 2013). Pendidikan
berarti bimbingan yang diberikan kepada seseorang pada orang
lain agar mereka dapat memahami. Semakin tingginya
pendidikan seseorang semakin mudah pula mereka menerima
informasi, dan pada akhirnya makin banyak pengetahuan yang
mereka miliki (Mubarak,dkk, 2007).
Wanita yang mempunyai pendidikan tinggi cenderung
mempunyai pengetahuan dan kesadaran tentang manfaat dari
pelayanan kehamilan dan komplikasi kehamilan. Wanita yang
memiliki pendidikan tinggi lebih memilih menggunakan
pelayanan modern daripada wanita dengan pendidikan rendah.
Pendidikan juga dapat membantu mereka mengambil
keputusan untuk menangani kesehatan mereka, termasuk
dalam pengambilan keputusan memilih penolong persalinan
(Assfaw, 2010).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 47 Tahun 2008
tentang wajib belajar, pendidikan seseorang rendah apabila
hanya tamat sampai Sekolah Menengah Pertama atau
pendidikan setingkat lainnya ke bawah. Sedangkan pendidikan
21
tinggi adalah seseorang dengan pendidikan sampai Sekolah
Menegah Atas atau setingkat lainnya keatas.
Berdasarkan hasil penelitian Simanjuntak (2012) dan
Amalia (2011), terdapat hubungan antara pendidikan ibu
dengan pemilihan penolong persalinan. Ibu yang memiliki
pendidikan tinggi lebih memilih menggunakan tenaga
kesehatannya daripada ibu yang berpendidikan rendah. Hal ini
sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Jat dkk (2011)
yang dilakukan di India, didapatkan bahwa ibu dengan
pendidikan lebih tinggi memiliki 2,35 kali kesempatan untuk
memilih tenaga kesehatan sebagai penolong persalinannya,
dibandingkan dengan ibu yang memiliki pendidikan rendah.
Selain pendidikan ibu, pendidikan suami atau pasangan
juga mempunyai pengaruh terhadap pemilihan penolong
persalinan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Dagne
(2010) di Ethiopia, menyebutkan bahwa wanita dengan suami
atau pasangan yang mempunyai pendidikan tinggi mempunyai
peluang 2,2 kali untuk menggunakan tenaga kesehatan sebagai
penolong persalinannya.
2. Status Pekerjaan
Pekerjaan merupakan aktivitas atau kegiatan yang
dilakukan oleh seseorang untuk memperoleh penghasilan.
Sesorang yang bekerja (mempunyai penghasilan)
memberikan kontribusi besar pada kesejahteraan keluarga
22
karena semakin baik pekerjaan seseorang maka semakin
besar pula penghasilan dan semakin baik juga
kesejahteraan keluarga (Arung, dkk., 2013).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Arung, dkk
(2013) di Toraja Utara, diketahui bahwa terdapat hubungan
antara status pekerjaan ibu dengan pemilihan pelayanan
persalinan oleh tenaga kesehatan. Selain status pekerjaan ibu,
status pekerjaan suami atau pasangan juga mempunyai
pengaruh dalam keputusan ibu untuk memanfaatkan penolong
persalinan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Kanini
di Kenya pada tahun 2012, di ketahui terdapat hubungan antara
status pekerjaan suami/pasangan dengan penggunaan penolong
persalinan.
3. Budaya
Kebudayaan mempunyai pengaruh besar terhadap
pembentukkan sikap seseorang. Menurut Kontjaraningrat
(2004) kebudayaan adalah kompleks yang mencakup
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat
istiadat dan perbedaan kemampuan-kemampuan dan
kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan seseorang sebagai
anggota masyarakat (Juliwanto, 2008).
Berdasarkan hasil penelitian Juliwanto (2008) terdapat
hubungan antara budaya dengan pemilihan tenaga penolong
persalinan. Ibu dengan budaya yang tidak mendukung 48%
23
cenderung lebih memilih bukan tenaga kesehatan untuk
penolong persalinan dibandingkan dengan budaya yang
mendukung 15,2%. Budaya dalam penelitian ini merupakan
budaya yang mendukung penolong persalinan oleh tenaga
kesehatan.
C. Kepercayaan Pada Kesehatan
Kepercayaan pada kesehatan berkaitan dengan sikap,
pengetahuan dan kepercayaan terhadap manfaat-manfaat
pelayanan kesehatan. Adapun variabel yang termasuk dalam
kepercayaan pada kesehatan yang mempengaruhi pemilihan
penolong persalinan sebagai berikut:
1. Pengetahuan Ibu
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, hal ini terjadi
setelah seseorang melakukan pengindraan (yakni penglihatan,
pendengaran, penciuman, rasa dan raba) terhadap suatu objek
(Notoatmodjo, 2007). Pengetahuan merupakan domain yang
sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang. Perilaku
seseorang akan lebih langgeng apabila didasari dengan
pengetahuan (Fitriani, 2011).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Buyandaya (2012) dan Amalia (2011) diketahui terdapat
hubungan antara pengetahuan ibu dengan pemilihan penolong
persalinan. Hal ini sejalan pula dengan hasil penelitian yang
dilakukan Juliwanto (2008), diketahui bahwa ibu dengan
24
pengetahuan baik lebih memilih tenaga kesehatan sebagai
penolong persalinannya dibandingkan dengan ibu yang
pengetahuannya kurang.
2. Sikap Ibu
Sikap adalah merupakan reaksi atau respons seseorang
terhadap stimulus atau objek. Sikap belum merupakan suatu
tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi
tindakan atau perilaku. Menurut Alport (1994), sikap
mempunyai 3 komponen utama yaitu (1) kepercayaan atau
keyakinan, ide dan konsep terhadap suatu objek; (2) kehidupan
emosional atau evaluasi emasional terhadap suatu objek; (3)
kecenderungan untuk bertindak (trend to behave). Ketiga
komponen tersebut secara bersama-sama membentuk sikap
yang utuh (Mubarak,dkk, 2007).
Sikap yang dimaksud disini adalah pandangan atau
pendapat ibu terhadap penolong persalinan. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan Juliwanto (2008) terdapat hubungan
antara sikap ibu dengan pemilihan penolong persalinan. Ibu
yang mempunyai sikap kurang setuju mempunyai peluang 5
kali untuk memilih penolong persalinan bukan oleh tenaga
kesehatan.
2.3.2 Faktor Pemungkin
Faktor pemungkin (enabling) merupakan memungkinkan
seseorang untuk mengakses atau menggunakan pelayanan kesehatan
25
yang terdiri dari sumber daya keluarga dan sumber daya yang terdapat
di lingkungan. Adapun faktor pemungkin ibu dalam pemilihan
penolong persalinan sebagai berikut:
1. Jarak kepelayanan kesehatan
Keterjangkauan pelayanan kesehatan mempengaruhi
seseorang dalam pemilihan pelayanan kesehatan. Jarak juga
merupakan komponen kedua yang memungkinkan seseorang
untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan (Sari, 2010).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Amalia (2011) yang
dilakukan di Gorontalo, terdapat hubungan antara jarak ke tempat
pelayanan kesehatan terhadap pemilihan penolong persalinan.
Jarak rumah ibu dari fasilitas kesehatan berkontribusi terhadap
penggunaan pelayanan persalinan, ibu yang tinggal dengan jarak
30 min atau kurang cenderung 1,25 kali untuk menggunakan
penolong persalinan oleh tenaga kesehatan, dibandingkan ibu yang
bertempat tinggal dengan jarak lebih dari 30 menit (Choulagai,
dkk., 2013).
2. Wilayah Tempat Tinggal Ibu
Wilayah tempat tinggal merupakan unit administratif
terkecil yaitu Desa/Kelurahan ditempati oleh sejumlah orang
yang terbagi dalam dua unit perkotaan dan perdesaan. Perkotaan
adalah suatu wilayah administratif setingkat desa/kelurahan
yang memenuhi persyaratan tertentu dalam hal kepadatan
penduduk, persentase rumah tangga pertanian, dan sejumlah
26
fasilitas perkotaan, sarana pendidikan formal, sarana kesehatan
umum, dan sebagainya. Sedangkan Perdesaan adalah suatu
wilayah administratif setingkat desa/kelurahan yang belum
memenuhi persyaratan tertentu dalam hal kepadatan penduduk,
persentase rumah tangga pertanian, dan sejumlah fasilitas
perkotaan, sarana pendidikan formal, sarana kesehatan umum,
dan sebagainya (BPS, 2010).
Hasil penelitian yang dilakukan Salam & Siddiqui (2006) di
India, diketahui bahwa ibu yang tinggal di perkotaan lebih
memilih menggunakan tenaga kesehatan sebagai penolong
persalinan dibandingkan dengan ibu yang tinggal di perdesaan.
3. Tingkat kekayaan
Pengukuran kekayaan rumah tangga, didapatkan dengan
melalui pengukuran karakteristik latar belakang rumah tangga
(mengukur standar hidup rumah tangga dalam jangka panjang).
Pengukuran ini didasarkan pada data karakteristik perumahan dan
kepemilikan barang, jenis sumber air minum, fasilitas toilet dan
kakakteristik lain terkait dengan status sosial ekonomi rumah
tangga (BPS, 2013). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Salam & Siddiqui (2006) terdapat hubungan antara tingkat
kekayaan dengan pemilihan penolong persalinan. Hal ini
disebutkan bahwa ibu dengan ekonomi tinggi lebih memilih
tenaga kesehatan untuk penolong persalinan dibandingkan dengan
ibu yang ekonomi rendah.
27
4. Pendapatan Keluarga
Pendapatan keluarga merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi seseorang untuk dapat menggunakan pelayanan
kesehatan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Amalia di
Gorontalo pada tahun 2011, diketahui bahwa pendapatan keluarga
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi seorang ibu
untuk memanfaatkan pelayanan penolong persalinan. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan di Tapanuli Utara oleh
Siamanjuntak, dkk pada 2012, diketahui bahwa keluraga dengan
pendapatan diatas UMR lebih memilih bidan sebagai penolong
persalinannya.
5. Biaya Persalinan
Biaya kesehatan adalah besarnya dana yang harus
disediakan untuk menyelenggarakan atau memanfaatkan berbagai
upaya kesehatan yang diperlukan oleh perorangan, keluarga,
kelompok dan masyarakat. Biaya kesehatan ditinjau melalui dua
sudut, yaitu melalui penyedia pelayanan kesehatan dan melalui
pemakai jasa pelayanan (Azwar, 2010). Biaya persalinan
merupakan salah satu biaya kesehatan yang dilihat melalui sudut
pemakai jasa pelayanan, yaitu besarnya dana yang harus
dikeluarkan oleh ibu hamil atau kelaurga untuk mendapatkan
pelayanan penolong persalinan. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan Simanjuntak, dkk pada tahun 2012 di Tapanuli Utara,
28
diketahui bahwa terdapat hubungan antara biaya persalinan dengan
pemanfaatan penolong persalinan.
6. Dukungan Keluarga
Dukungan keluarga merupakan salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi ibu dalam mengambil keputusan dalam memilih
penolong persalinan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Simanjuntak, dkk pada tahun 2012 di Tapanuli Utara, diketahui
bahwa terdapat hubungan antara dukungan keluarga dengan
pemanfaatan penolong persalinan.
2.3.3 Faktor Kebutuhan
Faktor kebutuhan (need) merupakan faktor langsung yang
mempengaruhi individu untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan.
Menurut Fosu (1994) Faktor kebutuhan menggambarkan status
kesehatan yang dirasakan seseorang (Chakraborty, dkk., 2003). Faktor
kebutuhan terdiri dari dua komponen yaitu perceive dan evaluated.
Perceive need merupakan suatu keadaan yang dirasakan oleh
seseorang yang dapat mempengaruhi dalam pencarian pelayanan
kesehatan. Menurut Andersen (2008) yang termasuk dalam perceive
need adalah kematian, kesakitan dan tingkat kecacatan. Menurut
Phillip (1990) dalam bukunya yang berjudul Health and Healthcare in
Third World menyatakan bahwa faktor need bagi wanita hamil
berbeda dengan orang sakit, tanggapan terhadap kesehatan kehamilan,
kesakitan dan komplikasi kehamilan termasuk dalam kelompok ini
(Holst, 2014). Komplikasi kehamilan merupakan salah satu faktor
29
yang berhubungan langsung terhadap kematian ibu. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan Auliasih, dkk (2013) yang dilakukan di
Sulawesi Selatan, diketahui bahwa ibu yang pernah mengalami
komplikasi kehamilan lebih memilih tenaga kesehatan sebagai
penolong persalinannya.
Evaluated need menggambarkan pendapat tenaga kesehatan
terkait status kesehatan dan kebutuhan mereka terhadap pelayanan
kesehatan (Andersen, 1995). Keterlibatan tenaga kesehatan dalam
keputusan ibu hamil untuk menggunakan tenaga kesehatan sebagai
penolong persalinan dapat terjadi saat ibu melakukan kunjungan
pelayanan antenatal untuk pemeriksaan kehamilannya.
Menurut WHO (2010), pelayanan antenatal adalah pengawasan
sebelum persalinan terutama ditujukan pada pertumbuhan dan
perkembangan janin dalam rahim (Ritonga, 2013). Tujuan dari usaha
pelayanan antenatal adalah untuk memantau kemajuan kehamilan dan
memastikan kesehatan ibu serta tumbuh kembang bayi, juga untuk
meningkatkan dan mempertahankan kesehatan fisik, mental dan sosial
ibu (Jekti & Mutiatikum, 2011).
Pelayanan antenatal dapat memberikan kesempatan bagi petugas
kesehatan untuk memberikan informasi secara spesifik tentang
masalah kehamilannya, yang dapat juga mempengaruhi ibu membuat
keputusan untuk persalinannya (Lelei, dkk.,2013). Ibu yang
melakukan kunjungan antenatal memiliki kesempatan untuk menerima
pendidikan kesehatan tentang kehamilan dan komplikasi kehamilan.
30
Selain itu, mereka juga dapat menerima informasi tentang manfaat
melakukan persalinan oleh tenaga kesehatan dan mampu
merencanakan persalinan yang aman, sehingga ibu yang melakukan
kunjungan antenatal lebih cenderung memilih tenaga kesehatan
sebagai penolong persalinan.
Pelayanan antenatal terdiri dari kunjungan pertama (K1), yaitu
kontak pertama ibu hamil dengan tenaga kesehatan yang mempunyai
kompetensi. Kunjungan ke-4 (K4) yaitu kunjungan ibu hamil dengan
kontak 4 kali atau lebih dengan tenaga kesehatan. Kontak 4 kali
dilakukan sebagai berikut: minimal satu kali pada trismester I (0-12
minggu), minimal satu kali pada trismester ke-2 (≥ 12-24 minggu),
dan minimal 2 kali pada trismester ke-3 (≥ 24 minggu sampai dengan
kelahiran) (Direktorat Bina Kesehatan Ibu, 2012).
Berdasarkan uraian tersebut, maka kunjungan ke pelayanan
antenatal paling sedikit dilakukan sebanyak 4 kali. Kunjungan
pelayanan antenatal memberikan pengaruh kepada ibu hamil untuk
memilih tenaga kesehatan sebagai penolong persalinannya, baik di
fasilitas kesehatan maupun dirumah (USAID, 2007).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Jekti & Mutiatikum
(2011), ibu yang sering melakukan kunjungan terhadap pelayanan
antenatal, lebih cenderung memilih tenaga kesehatan sebagai
penolong persalinan di bandingkan dengan ibu yang tidak patuh
mengunjungi pelayanan antenatal. Penelitian lain yang dilakukan oleh
Choulagai, dkk (2013) yang dilakukan di Nepal, diketahui bahwa ibu
31
yang setidaknya menyelesaikan kunjungan antenatal sebanyak 4 kali
atau lebih, memiliki peluang sebesar 2,4 kali untuk menggunakan
penolong persalinan oleh tenaga kesehatan.
2.5 Kerangka Teori
Kerangka teori ini disusun berdasarkan The Behavioral Model Of Health
Service Use Andersen tentang pemanfaatan pelayanan kesehatan dan dari
berbagai hasil penelitian yang telah dilakukan dan diketahui berpengaruh
dalam pemilihan penolong persalinan. Faktor-faktor yang mempenaruhi
pemilihan penolong persalinan ini dikelompokkan menjadi tiga bagian yaitu
faktor predisposisi, faktor pemungkin, dan faktor kebutuhan. Kerangka teori
dalam penelitian ini digambarkan sebagai berikut:
32
Gambar 2. Kerangka TeoriFaktor-Faktor Pemilihan Penolong Persalinan Adaptasi Model
Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Andersen
→ = hubungan antar komponen----= subkomponen dari masing-masing komponen
Sumber: Ronald Andersen and John F. Newman (2005), diadaptasi oleh Salam &
Siddiqui (2006); Assfaw (2010); Kanini (2012); Simanjuntak,dkk (2012); Arung, dkk
(2013); Choulagai, dkk (2013).
Predisposisi
- Umur- Paritas- Status
perkawinan
- Pendidikan ibu- Pendidikan
suami- Status
pekerjaan ibu- Status
pekerjaansuami
- Budaya
- Pengetahuan- Sikap
Pemungkin
- Tingkat kekayaan- Dukugan keluarga- Biaya persalinan- Pendapatan
kelurga
- Jarakkepelayanankesehatan
- Wilayah TempatTinggal
- Komplikasikehamilan
- Kunjunganpelayananantenatal
Kebutuhan Penggunaanpelayanankesehatan
33
BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian merupakan kerangka hubungan antara konsep-
konsep yang akan diukur atau diamati dalam penelitian, terdiri dari variabel-
variabel serta hubungan antar variabel. Kerangka konsep mengacu pada kerangka
teori dan dikembangkan dari tujuan penelitian yang telah dirumuskan
(Notoatmodjo, 2010).
Berdasarkan kerangka teori yang telah dijelaskan sebelumnya terdapat
beberapa faktor yang mempengaruhi ibu dalam melakukan pemilihan penolong
persalinan diantaranya yaitu faktor predisposisi (umur, paritas, status perkawinan,
pendidikan ibu, pendidikan suami, status pekerjaan ibu, status pekerjaan suami,
budaya, pengetahuan, sikap), faktor pemungkin (jarak kepelayanan kesehatan,
wilayah tempat tinggal, tingkat kekayaan, pendapatan keluarga, biaya persalinan,
dukungan keluarga) dan faktor kebutuhan (komplikasi kehamilan dan kunjungan
pelayanan antenatal). Adapun variabel yang digunakan sebagai berikut:
34
Gambar 3.1 Kerangka Konsep
Dalam penelitian tidak semua variabel digunakan, terdapat beberapa variabel
yang tidak diamati dalam penelitian ini. Hal ini dikarenakan keterbatasan penelitian
yang menggunakan data sekunder dari SDKI 2012, sehingga variabel-variabel yang
digunakan mengacu pada data yang tersedia dalam SDKI 2012. Variabel-variabel
yang tidak diamati antara lain yaitu pengetahuan, sikap, budaya, jarak kepelayanan
kesehatan, pendapatan keluarga, biaya persalinan dan dukungan keluraga. Variabel-
variabel tersebut tidak ada dalam data SDKI 2012.
FaktorPredisposisi
- Umur- Paritas- Status
perkawinan- Pendidikan ibu- Pendidikan
suami- Status
pekerjaan ibu- Status
pekerjaansuami
FaktorPemungkin
- Tingkatkekayaan
- WilayahTempatTinggal
FaktorKebutuhan
- Komplikasikehamilan
- Kunjunganpelayananantenatal
Penggunaanpenolongpersalinan
35
3.2 Definisi Operasional
Tabel 3.1 Definisi Operasional
No Variabel DefinisiAlat
Ukur
Cara
ukurHasil Ukur
Skala
Ukur
Variabel Dependen
1. Penggunaan
Penolong
persalinan
Jenis penolong
persalinan yang
digunakan ibu untuk
menolong
persalinannya pada
saat melahirkan
dalam lima tahun
terakhir
Kuesioner
SDK12-
WUS
bagian 4
No. 433
Observasi
data
SDKI
0. Tanpa
penolong
persalinan
1. Bukan
tenaga
kesehatan
2. Tenaga
kesehatan
(BPS, 2013)
Ordinal
Variabel Independen
1. Umur Ibu Tingkat umur ibu
pada ulang tahun
terakhir dikurangi
umur anak terakhir
yang lahir dalam 5
tahun sebelum
survey
Kuesioner
SDK12-
WUS
bagian 1
No. 103,
215
Observasi
data
SDKI
0 = < 20
1 = 20 – 34 tahun
2 = 35 – 49 tahun
(BPS, 2013)
Ordinal
2. Status
Perkawinan
Ikatan perkawinan
yang dimiliki oleh
ibu pada kelahiran
anak terakhir
Kuesioner
SDK12-
WUS
bagian 6
No. 601-
Observasi
data
SDKI
0. Pisah
1. Cerai Hidup
2. Cerai Mati
3. Hidup
bersama
Ordinal
36
No Variabel DefinisiAlat
Ukur
Cara
ukurHasil Ukur
Skala
Ukur
603 4. Menikah
(BPS, 2013)
3. Paritas Jumlah kelahiran,
baik hidup maupun
mati yang pernah
dialami ibu
Kuesioner
SDK12-
WUS
bagian 2
No. 202-
208
Observasi
data
SDKI
0. 6+
1. 4-5
2. 2-3
3. 1
(BPS, 2013)
Ordinal
4. Wilayah
Tempat
tinggal
Lokasi tempat
tinggal ibu yang
dikategorikan
berdasarkan
perkotaan dan
pedesaan
Kuesioner
SDK12-
WUS
pengenala
n tempat
No. 5
Observasi
data
SDKI
0. Pedesaan
1. Perkotaan
(BPS, 2013)
Ordinal
5. Pendidikan
Ibu
Tingkat pendidikan
formal tertinggi yang
pernah dicapai ibu
Kuesioner
SDK12-
WUS
bagian 1
No. 105-
106
Observasi
data
SDKI
0. Tanpa
Pendidikan
1. Pendidikan
Dasar
2. Pendidikan
Menengah
3. Pendidikan
tinggi
(BPS, 2013)
Ordinal
6. Pendidikan
suami/pasang
an
Tingkat pendidikan
formal tertinggi yang
pernah dicapai
suami/pasangan
KuesionerSDK12-WUSbagian 8No. 804-
805
Observasi
data
SDKI
0. Tanpa
Pendidikan
1. Pendidikan
Dasar
2. Pendidikan
Menengah
Ordinal
37
No Variabel DefinisiAlat
Ukur
Cara
ukurHasil Ukur
Skala
Ukur
3. Pendidikan
tinggi
(BPS, 2013)
7. Status
pekerjaan ibu
Status bekerja pada
ibu, baik yang
dilakukan dirumah
maupun di luar
rumah dan
memperoleh
penghasilan/imbalan
Kuesioner
SDK12-
WUS
bagian 8
No. 808
Observasi
data
SDKI
0. Tidak Bekerja
1. Bekerja
(BPS, 2013)
Ordinal
8. Status
pekerjaan
suami/Pasan
gan
Status bekerja pada
suami yang
dilakukan untuk
memperoleh
penghasilan
Kuesioner
SDK12-
WUS
bagian 8
No. 805A
Observasi
data
SDKI
0. Tidak Bekerja
1. Bekerja
(BPS, 2013)
Ordinal
9. Tingkat
kekayaan
Tingkat kekayaan
rumah tangga,
didapatkan dengan
mengukur
karakteristik latar
belakang rumah
tangga (mengukur
standar hidup rumah
tangga dalam jangka
panjang)
Kuesioner
SDK12-
RT
Bagian III
dan IV
Observasi
data
SDKI
0. Terbawah
1. Mengengah
bawah
2. Menengah
3. Menengah
atas
4. Teratas
(BPS, 2013)
Ordinal
10. Kunjungan
Pelayanan
Antenatal
Jumlah kunjungan
ibu kepelayanan
kesehatan untuk
memeriksakan
Kuesioner
SDK12-
WUS
bagian 4
Observasi
data
SDKI
0. Tidak ANC
1. Tidak tahu
2. 1
3. 2-3
Ordinal
38
No Variabel DefinisiAlat
Ukur
Cara
ukurHasil Ukur
Skala
Ukur
kehamilannya No. 408 4. 4+
(BPS, 2013)
11. Komplikasi
Kehamilan
Riwayat komplikasi
kehamilan yang
dialami ibu selama
masa kehamilan
Kuesioner
SDK12-
WUS
bagian 4
No. 414C
Observasi
data
SDKI
0. Pernah
1. Tidak Pernah
(BPS, 2013)
Ordinal
3.3 Hipotesis
1. Ada hubungan antara umur ibu dengan penggunaan penolong persalinan di
Provinsi Papua.
2. Ada hubungan antara paritas dengan penggunaan penolong persalinan di
Provinsi Papua.
3. Ada hubungan antara status perkawinan dengan penggunaan penolong
persalinan di Provinsi Papua.
4. Ada hubungan antara pendidikan ibu dengan penggunaan penolong
persalinan di Provinsi Papua.
5. Ada hubungan antara pendidikan suami dengan penggunaan penolong
persalinan di Provinsi Papua.
6. Ada hubungan antara status status pekerjaan ibu dengan penggunaan
penolong persalinan di Provinsi Papua.
7. Ada hubungan antara status pekerjaan suami dengan penggunaan penolong
persalinan di Provinsi Papua.
8. Ada hubungan antara tingkat kekayaan dengan penggunaan penolong
persalinan di Provinsi Papua.
39
9. Ada hubungan antara wilayah tempat tinggal dengan penggunaan
penolong persalinan di Provinsi Papua
10. Ada hubungan anatara komplikasi kehamilan dengan dengan penggunaan
penolong persalinan di Provinsi Papua
11. Ada hubungan antara kunjungan pelayanan antenatal dengan penggunaan
penolong persalinan di Provinsi Papua
40
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain cross
sectional. Desain cross sectional adalah penelitian yang variabel terikat dan
variabel bebasnya diukur dalam satu waktu tertentu. Dalam penelitian ini yang
termasuk dalam variabel terikat adalah penolong persalinan, sedangkan
variabel bebasnya adalah umur, paritas, status perkawinan, pendidikan ibu,
pendidikan suami, status pekerjaan ibu, status pekerjaan suami, tingkat
kekayaan, wilayah tempat tinggal, kunjungan pelayanan antenatal dan
komplikasi kehamilan.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) merupakan penelitian
berskala nasional yang dilakukan di 33 provinsi di Indonesia. SDKI 2012
dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) bekerja sama dengan
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan
Kementerian Kesehatan.
Penelitian ini berfokus pada satu provinsi yaitu provinsi Papua, yang akan
dilaksanakan pada Desember 2014.
41
4.3 Populasi dan Sampel
4.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini mengacu pada jumlah populasi SDKI
2012. Populasi dalam penelitian ini adalah semua wanita usia subur
(WUS) 15-49 tahun yang pernah melahirkan dalam kurun waktu lima
tahun terakhir atau dari tahun 2008-2012.
4.3.2 Sampel
Metode sampling yang digunakan dalam SDKI 2012 adalah
sampling tiga tahap. Tahap pertama adalah memilih sejumlah
primary sampling unit (PSU) dari kerangka sampel PSU secara
probability proportional to size (PPS). PSU adalah kelompok blok sensus
yang berdekatan yang menjadi wilayah tugas koordinator tim Sensus
Penduduk 2010. Tahap kedua adalah memilih satu blok sensus secara
PPS di setiap PSU terpilih. Tahap ketiga adalah memilih 25 rumah
tangga biasa di setiap blok sensus terpilih secara sistematik (BPS, 2013).
Dalam penelitian ini terdapat kriteria sampel yang peneliti gunakan dalam
penelitian, sebagai berikut:
Kriteria inklusi: Sampel dalam penelitian ini adalah wanita usia subur
(WUS) 15-49 tahun yang pernah melahirkan dalam lima tahun terakhir
pada SDKI 2012 dengan kelahiran tunggal.
Kriteria eksklusi: Jumlah kelahiran kembar di Provinsi Papua hanya
sebesar 1,4%, untuk menghindari bias maka karakteristik sampel
disamaratakan menjadi ibu yang melahirkan dengan kelahiran tunggal.
42
Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 337
ibu, dan yang tidak digunakan dalam penelitian ini sebanyak 583 ibu.
Jumlah ini diperoleh setelah melalui proses cleaning atau pembersihan
data dari data yang tidak tersedia atau data missing dalam tahap
pengambilan sampel yang diperlukan dalam penelitian ini.
Adapun langkah-langkah penentuan sampel dalam penelitian ini
sebagai berikut:
Gambar 4.1 Penentuan Sampel
4.4 Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner SDKI
2012. Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner wanita
usia subur (WUS) 15-49 tahun dan kuesioner rumah tangga. Kuesioner WUS
Wanita usia 15-49 tahun yang memenuhi syarat untukdiwawancarai dalam SDKI 2012 di provinsi papua =
968 wanita
Wanita usia 15-49 tahun yang memenuhi syaratberdasarkan hasil kunjungan dalam SDKI 2012 di
provinsi papua = 920 wanita
Wanita usia subur 15-49 tahun yang pernah melahirkandalam lima tahun terakhir di provinsi Papua = 349
wanita
Setelah melalui proses cleaning data missing atau datatidak tersedia, jumlah sampel yang diperoleh sebesar337 ibu yang pernah melahirkan dalam lima tahun
terakhir
43
dan rumah tangga ini digunakan untuk mengumpulkan informasi yang
berhubungan dengan variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian, yaitu
penolong persalinan, umur, paritas, status perkawinan, pendidikan ibu,
pendidikan suami, status pekerjaan ibu, status pekerjaan suami, tingkat
kekayaan, wilayah tempat tinggal, kunjungan pelayanan antenatal dan
komplikasi kehamilan.
Adapun daftar variabel dan kusioner yang digunakan dalam penelitian ini
sebagai berikut:
Tabel 4.1Daftar Variabel Dan Kuesioner Dalam SDKI 2012
No. Variabel Keterangan Kuesioner
1. Penolong persalinan Kuesioner Wanita Usia Subur bagian 4No. 433
2 Umur ibu Kuesioner Wanita Usia Subur bagian 1No. 103, 215
3 Status Perkawinan Kuesioner SDK12-WUS bagian 6No. 601-603
4 Pendidikan ibu Kuesioner Wanita Usia Subur bagian 1No. 105-106
5 Pendidikan suami Kuesioner SDK12-WUS bagian 8No. 804-805
6 Status pekerjaan ibu Kuesioner Wanita Usia Subur bagian 8No. 808
7 Status pekerjaan suami Kuesioner SDK12-WUS bagian 8No. 805A
8 Paritas Kuesioner Wanita Usia Subur bagian 2No. 202-208
9 Wilayah tempat tinggal Kuesioner Wanita Usia Subur bagianpengenalan tempat No. 5
10 Tingkat kekayaan Kuesioner Rumah Tangga Bagian IIIdan IV
11 Komplikasi Kehamilan Kuesioner Wanita Usia Subur bagian 4No. 414C
12 Kunjungan Pelayanan Antenatal Kuesioner Wanita Usia Subur bagian 4No. 408
44
Adapun pengukuran data dari setiap variabel yang digunakan adalah sebagai
berikut:
1) Pemilihan Penolong persalinan
Pemilihan penolong persalinan didefinisikan sebagai pilihan ibu
dalam menggunakan tenaga kesehatan, non tenaga kesehatan atau tanpa
penolong pada saat melahirkan dalam lima tahun terakhir. Penolong
persalinan yang ditanyakan dalam kuesioner SDKI 2012 terdiri dari 3
(tiga) kategori yaitu petugas kesehatan (dokter umum, dokter kandungan,
perawat, bidan dan bidan desa), orang lain (dukun, teman/kelurga dan
lainnya), dan tanpa penolong. Hasil ukur yang digunakan adalah 0
apabila ibu melahirkan tanpa penolong persalinan, 1 apabila ibu
menggunakan bukan tenaga kesehatan dan 2 apabila ibu menggunakan
tenaga kesehatan.
2) Umur Ibu
Umur ibu dalam penelitian ini didefinisikan sebagai umur ibu pada
ulang tahun terakhir dikurangi dengan umur anak terakhir. Umur ibu
didapatkan dari jawaban kuesioner SDKI 2012 yang dikurangi umur anak
terakhir 5 tahun sebelum survei dilakukan. Dalam penelitian ini umur ibu
dikelompokkan menjadi umur muda yaitu kurang dari 20 tahun (< 20),
umur ibu sedang 20-35 tahun, dan umur lebih tua lebih dari 35 tahun
(>35) (Kemenkes, 2011). Hasil ukur yang digunakan adalah 0 apabila
umur ibu kurang dari 20 tahun, 1 apabila umur ibu 20-34 tahun, dan 2
apabila umur ibu 35-49 tahun.
3) Paritas
45
Paritas dalam penelitian ini didefinisikan sebagai jumlah
kelahiran yang pernah dialami ibu, baik lahir hidup maupun lahir mati.
Jawaban ini diperoleh melalui jumlah anak yang pernah dimiliki ibu baik
hidup atau mati, yang ditanyakan dalam kuesioner SDKI 2012. Hasil
ukur yang digunakan adalah 0 apabila paritas ibu lebih dari 6, 1 apabila
paritas ibu 4 sampai 5, 2 apabila paritas ibu 2-3, dan 3 apabila paritas ibu
1.
4) Status Perkawinan
Status perkawinan dalam penelitian ini didefinisikan sebagai ikatan
perkawinan yang ibu miliki pada kelahiran anak terakhir. Hasil ukur yang
digunakan adalah 0 apabila responden pisah, 1 apabila responden cerai
hidup, 2 apabila responden cerai mati, 3 apabila responden hidup bersama, dan
4 apabila responden menikah .
5) Pendidikan Ibu
Pendidikan ibu dalam penelitian ini didefinisikan sebagai tingkat
pendidikan formal tertinggi yang dicapai oleh ibu. Jenjang pendidikan
yang ditanyakan dalam kuesioner SDKI 2012 terdiri dari tidak pernah
bersekolah, Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP),
Sekolah Menengah Atas (SMA), Akademi atau Universitas. Dalam
penelitian ini, pendidikan dikategorikan sesuai dengan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2008 mengenai Wajib
Belajar. Pendidikan rendah jika tamat < SMA dan pendidikan tinggi jika
tamat ≥ SMA (Kemendiknas, 2008). Hasil ukur yang digunakan adalah 0
46
apabila ibu tanpa pendidikan, 1 apabila pendidikan dasar, 2 apabila
pendidikan menengah dan 3 apabila pendidikan tinggi.
6) Pendidikan Suami/Pasangan
Pendidikan suami/pasangan dalam penelitian ini didefinisikan
sebagai tingkat pendidikan formal tertinggi yang dicapai oleh
suami/pasangan. Hasil ukur yang digunakan adalah 0 apabila suami atau
pasangan tanpa pendidikan, 1 apabila pendidikan dasar, 2 apabila
pendidikan menengah dan 3 apabila pendidikan tinggi.
7) Status pekerjaan ibu
Status pekerjaan ibu dalam penelitian ini didefinisikan sebagai
status bekerja pada ibu, baik yang dilakukan dirumah maupun di luar
rumah dan memperoleh penghasilan/imbalan. Status bekerja pada ibu
didapatkan melalui jawaban ibu menggunakan kuesioner SDKI 2012.
Hasil ukur yang digunakan adalah 0 apabila ibu tidak bekerja/IRT dan 1
apabila ibu bekerja.
8) Status pekerjaan suami/Pasangan
Status pekerjaan suami/pasangan yang didefinisikan sebagai jenis
kegiatan yang dilakukan suami/pasangan untuk mendapatkan
penghasilan/imbalan. Hasil ukur yang digunakan adalah 0 apabila
suami/pasangan tidak bekerja dan 1 apabila suami/pasangan bekerja.
9) Tingkat kekayaan
Tingkat kekayaan dalam penelitian ini didefinisikan Tingkat
kekayaan rumah tangga, didapatkan dengan mengukur karakteristik latar
belakang rumah tangga yang digunkana untuk mengukur standar hidup
47
rumah tangga dalam jangka panjang. Tingkat kekayaan didasarkan pada
karakteritik perumahan dan kepemilikan barang, jenis air minum,
fasilitas sanitasi rumah tangga yang dimiliki dan karakteristik lain yang
sesuai dengan status ekonomi rumah tangga. Setiap karakteristik tersebut
kemudian diberi skor untuk setiap rumah tangga, yang kemudian
dijumlahkan untuk menghasilkan skor total setiap rumah tangga yang
kemudian diurutkan. Selanjutnya tingkat rumah tangga ini dibagi ke
dalam quintiles mulai dari satu (paling rendah) sampai dengan lima
(paling tinggi). Kemudian dihasilkan lima kategori yaitu terbawah,
menengah kebawah, menengah, menengah keatas, dan teratas. Hasil ukur
yang digunakan adalah 0 terbawah, 1 menengah kebawah, 2 menengah, 3
menengah keatas, dan 4 teratas.
10) Wilayah tempat tinggal
Wilayah tempat tinggal dalam penelitian ini didefinisikan sebagai
tempat tinggal ibu yang dikategorikan berdasarkan perkotaan dan
pedesaan. Pengelompokkan wilayah tempat tinggal ini mengacu pada
Peraturan Kepala Pusat Statistik Nomor 37 Tahun 2010 Tentang
Klasifikasi Perkotaan dan Perdesaan. Hasil ukur yang digunakan adalah 0
apabila wilayah tempat tinggal ibu pedesaan, 1 apabila wilayah tempat
tinggal ibu perkotaan.
11) Komplikasi Kehamilan
Komplikasi kehamilan didefinisikan sebagai riwayat komplikasi
kehamilan ibu selama masa kehamilannya. Hasil ukur yang digunakan
48
apabila 0 apabila ibu pernah mengalami komplikasi kehamilan, dan 1
apabila ibu tidak pernah mengalami komplikasi kehamilan.
12) Kunjungan pelayanan antenatal
Kunjungan Pelayanan Antenatal didefinisikan jumlah kunjungan
ibu kepelayanan kesehatan untuk memeriksakan kehamilannya. Hasil ukur
yang digunakan adalah 0 apabila ibu tidak melakukan kunjungan
antenatal, 1 apabila ibu melakukan kunjungan 1 kali, 2 apabila ibu
melakukan kunjungan 2-3 kali, dan 3 apabila ibu melakukan kunjungan
lebih dari 4 kali.
4.5 Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu
dengan cara mengumpulkan data dari hasil Survei Demografi Kesehatan
Indonesia (SDKI) tahun 2012. Data yang diperoleh dan dianalisis dari
SDKI 2012 yaitu penolong persalinan, umur, paritas, status perkawinan,
pendidikan ibu, pendidikan suami, status pekerjaan ibu, status pekerjaan
suami, tingkat kekayaan, wilayah tempat tinggal, kunjungan pelayanan
antenatal. Adapun kode variabel yang digunakan dalam penelitian ini
sebagai berikut:
49
Tabel 4.2Variabel dan Kode Variabel Penelitian
No. Variabel Kode data
Variabel Dependen1. Penolong persalinan M3F, M3G, M3, M3HVariabel Independen1. Umur ibu V0122. Pendidikan ibu V1063. Pendidikan suami V7014. Status pekerjaan ibu V7145. Status pekerjaan suami V7046. Status perkawinan V5017. Paritas V2018. Tempat tinggal V1029. Tingkat kekayaan V19010. Komplikasi Kehamilan M4311. Kunjungan Pelayanan Antenatal M14
4.6 Pegolahan Data
Pengolahan data pada penelitian ini dilakukan dengan bantuan perangkat
lunak (software). Pengolahan data yang dilakukan pada penelitian ini
dilakukan melalui tahap-tahap sebagai berikut:
1) Cleaning yaitu pembersihan data yang dilakukan dengan cara tabulasi
frekuensi dari variabel-variabel yang akan diteliti. Cleaning data ini
dilakukan untuk mengecek data yang tidak sesuai dan data yang
hilang/missing.
2) Recoding yaitu pengkodean ulang pada variabel-variabel yang
membutuhkan perubahan tertentu. Pengkodean ini disesuaikan dengan
kebutuhan penelitian.
3) Weighting data yaitu melakukan pembobotan pada tiap variabel sebelum
dilakukannya analisis data.
50
4.7 Analisis Data
Analisi data yang dilakukan pada penelitian ini sebagai berikut:
1) Analisis Univariat
Analisis univariat adalah analisis yang dilakukan untuk
menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian.
Pada umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi frekuensi
dan persentase dari tiap variabel. Dalam penelitian ini analisis univariat
akan digunakan untuk menghasilkan distribusi frekuensi terhadap variabel
yang diteliti.
2) Analisis Bivariat
Pada penelitian ini analisis bivariat dilakukan untuk melihat
hubungan antara variabel dependen dan variabel independen. Hasil uji
untuk analisis bivariat ini dilihat dengan uji chi square dengan membuat
tabel silang variabel independen dan dependen. Pada penelitian ini
digunakan tingkat kepercayaan sebesar 95% dan derajat kemaknaan (α)
5% atau 0,05, yaitu apabila diperoleh nilai p≤0,05 maka terdapat hubungan
yang signifikan antara variabel dependen dan independen, dan apabila
diperoleh nilai p>0,05 maka tidak terdapat hubungan yang signifikan
antara variabel dependen dan variabel independen.
51
BAB V
HASIL
5.1 Analisis Univariat
Analisis univariat menggambarkan distribusi frekuensi dari masing-masing
variabel yang diteliti, baik variabel dependen maupun variabel independen.
Adapun variabel tersebut adalah penolong persalinan, umur ibu, paritas, status
perkawinan, pendidikan ibu, pendidikan suami, status pekerjaan ibu, status
pekerjaan suami, tingkat kekayaan, wilayah tempat tinggal, komplikasi
kehamilan dan kunjungan antenatal.
5.1.1 Gambaran Penggunaan Penolong Persalinan Di Provinsi Papua
Gambaran distribusi frekuensi ibu berdasarkan penggunaan penolong
persalinan di Provinsi Papua dapat dilihat pada tabel 5.1 berikut ini:
Tabel 5.1Distribusi Penggunaan Penolong Persalinan pada Ibu Melahirkan
di Provinsi Papua Data SDKI 2012
Penggunaan Penolong Persalinan Tidak Dibobot Dibobot(n) (%) (n) (%)
Tanpa Penolong Persalinan 6 1,8 6 0,7Bukan Tenaga Kesehatan 175 51,9 350 42,5
Tenaga Kesehatan 156 46,3 468 56,8Total 337 100 824 100
52
Berdasarkan Tabel 5.1 diketahui bahwa setelah dilakukan pembobotan
(weighting) persentase ibu yang melahirkan tanpa penolong persalinan
sebanyak 0,7% ibu, persentase ibu yang menggunakan bukan tenaga
kesehatan sebagai penolong persalinannya sebanyak 42,5% ibu, dan ibu yang
menggunakan tenaga kesehatan sebagai penolong persalinan saat melahirkan
sebanyak 56,8%. Dari hasil pembobotan tersebut menunjukkan bahwa
persentase ibu yang menggunakan tenaga kesehatan lebih tinggi dibanding ibu
yang menggunakan bukan tenaga kesehatan. Hal ini dikarenakan jumlah
residual penggunaan tenaga kesehatan yang tinggi yaitu sebesar 193,3. Meski
demikian, dari hasil tersebut menunjukkan bahwa persentase penggunaan
bukan tenaga kesehatan masih tinggi.
5.1.2 Gambaran Responden Berdasarkan Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi dalam penelitian ini terdiri dari umur ibu, paritas,
status perkawinan, pendidikan ibu, pendidikan suami, status pekerjaan ibu,
dan status pekerjaan suami. Dalam penelitian ini variabel-variabel tersebut
dikategorikan sesuai dengan data SDKI 2012. Gambaran distribusi frekuensi
ibu berdasarkan faktor predisposisi dapat dilihat pada tabel-tabel berikut ini:
53
1) Distribusi Umur Ibu
Tabel 5.2Distribusi Responden Berdasarkan Umur Ibu
Umur IbuTidak Dibobot Dibobot
(n) (%) (n) (%)<20 tahun 43 12,8 43 6,2
20-34 tahun 232 68,8 464 67,035-49 tahun 62 18,4 186 26,8
Total 337 100 693 100
Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa setelah dilakukan
pembobotan (weighting) ibu yang berumur <20 tahun sebanyak 6,2%, ibu
yang termasuk dalam kelompok umur 20-34 tahun sebanyak 67,0%, dan ibu
yang termasuk dalam kelompok umur 35-49 tahun sebanyak 26,8%.
Berdasarkan hasil analisis, baik yang tidak dilakukan pembobotan atau yang
dilakukan pembobotan tersebut, menunjukkan bahwa ibu pada kelompok
umur 20-34 tahun lebih tinggi di banding ibu dengan kelompok umur lainnya.
2) Distribusi Paritas Ibu
Tabel 5.3Distribusi Responden Berdasarkan Paritas Ibu
Paritas Tidak Dibobot Dibobot(n) (%) (n) (%)
6+ 41 12,2 41 4,34-5 67 19,9 134 14,12-3 138 40,9 414 43,31 91 27 364 38,2
Total 337 100 953 100
54
Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa setelah dilakukan
pembobotan (weighting) persentase ibu yang memiliki paritas 6+ sebesar
4,3%, ibu yang termasuk dalam kelompok paritas 4-5 sebanyak 14,1%, ibu
yang termasuk dalam kelompok paritas 2-3 sebanyak 43,3%, dan ibu yang
termasuk dalam kelompok paritas 1 sebanyak 38,2%. Berdasarkan hasil
analisis, baik yang tidak dilakukan pembobotan atau yang dilakukan
pembobotan tersebut, menunjukkan bahwa persentase paritas ibu di Provinsi
Papua lebih tinggi pada ibu yang termasuk dalam kelompok paritas 2-3.
3) Distribusi Status Perkawinan Ibu
Tabel 5.4Distribusi Responden Berdasarkan Status Perkawinan Ibu
Status PerkawinanTidak
Dibobot Dibobot
(n) (%) (n) (%)Pisah 1 0,3 5 1,2
Cerai hidup 5 1,5 20 5,0Cerai mati 7 2,1 21 5,2
Hidup bersama 30 8,9 60 15,0Menikah 294 87,2 294 73,5
Total 337 100 400 100
Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa setelah dilakukan
pembobotan (weighting) persentase ibu yang memiliki status perkawinan
pisah sebanyak 1,2%, ibu yang memiliki status perkawinan cerai hidup
sebanyak 5,0%, ibu yang memiliki status perkawinan cerai mati sebanyak
5,2%, ibu yang memiliki status hidup bersama sebanyak 15,0%, dan ibu yang
memiliki status menikah sebanyak 73,5%. Berdasarkan hasil analisis, baik
55
yang tidak dilakukan pembobotan atau yang dilakukan pembobotan tersebut,
menunjukkan bahwa persentase ibu yang berstatus menikah lebih tinggi
dibandingkan ibu yang memiliki status perkawinan lainnya.
4) Distribusi Tingkat Pendidikan Ibu
Tabel 5.5Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Ibu
Tingkat Pendidikan IbuTidak
Dibobot Dibobot
(n) (%) (n) (%)Tanpa pendidikan 125 37,1 125 17,3Pendidikan dasar 65 19,3 130 18,0
Pendidikan menengah 120 35,6 360 49,8Pendidikan tinggi 27 8 108 14,9
Total 337 100 723 100
Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa setelah dilakukan
pembobotan (weighting) persentase ibu yang tanpa pendidikan sebesar 17,3%,
ibu yang memiliki tingkat pendidikan dasar sebesar 18,0%, ibu yang memiliki
pendidikan menengah sebesar 49,8%, ibu yang memiliki pendidikan tinggi
sebesar 14,9%. Berdasarkan hasil tersebut terlihat perbedaan antara ibu
dengan tanpa pendidikan sebelum dilakukan pembobotan dan setelah
dilakukan pembobotan. Sebelum dilakukan pembobotan ibu dengan tanpa
pendidikan merupakan tingkat pendidikan paling banyak yang dimiliki ibu,
sedangkan setelah dilakukan pembobotan tingkat pendidikan paling banyak
yaitu pendidikan menengah.
56
5) Distirbusi Tingkat Pendidikan Suami/Pasangan
Tabel 5.6Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Suami/Pasangan
PendidikanSuami/Pasangan
TidakDibobot Dibobot
(n) (%) (n) (%)Tanpa pendidikan 75 22,3 75 9,0Pendidikan dasar 61 18,1 122 14,6
Pendidikan menengah 167 49,6 501 60,1Pendidikan tinggi 34 10,1 136 16,3
Total 337 100 834 100
Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa setelah dilakukan
pembobotan (weighting) persentase suami/pasangan yang dimiliki ibu dengan
tanpa pendidikan sebesar 9,0%, suami/pasangan yang dimiliki ibu dengan
tingkat pendidikan dasar sebesar 14,6%, suami/pasangan yang dimiliki ibu
dengan pendidikan menengah sebesar 60,1%, suami/pasangan yang dimiliki
ibu dengan pendidikan tinggi sebesar 16,3%. Berdasarkan hasil tersebut
menunjukkan bahwa presentase tingkat pendidikan suami paling banyak
terdapat pada suami/pasangan dengan pendidikan menengah.
6) Distribusi Status Pekerjaan Ibu
Tabel 5.7Distribusi Responden Berdasarkan Status Pekerjaan Ibu
Status Pekerjaan IbuTidak
Dibobot Dibobot
(n) (%) (n) (%)Tidak Bekerja 119 35,3 119 21,4
Bekerja 218 64,7 436 78,6Total 337 100 555 100
57
Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa setelah dilakukan
pembobotan (weighting) persentase ibu yang tidak bekerja sebesar 21,4%,
sedangkan ibu yang bekerja sebesar 78,6%. Berdasarkan hasil tersebut
menunjukkan bahwa presentase ibu yang bekerja lebih tinggi dibanding ibu
yang tidak bekerja, baik sebelum dilakukan pembobotan maupun setelah
dilakukan pembobotan.
7) Distribusi Status Pekerjaan Suami/Pasangan
Tabel 5.8Distribusi Responden Berdasarkan Status Pekerjaan Suami/Pasangan
Status PekerjaanSuami/Pasangan
TidakDibobot Dibobot
(n) (%) (n) (%)Tidak Bekerja 37 11 37 5,8
Bekerja 300 89 600 94,2Total 337 100 637 100
Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa setelah dilakukan
pembobotan (weighting) persentase suami/pasangan yang tidak bekerja
sebesar 5,8%, sedangkan suami/pasangan yang bekerja sebesar 94,2%.
Berdasarkan hasil tersebut menunjukkan bahwa presentase suami/pasangan
yang bekerja lebih tinggi dibandingkan suami/pasangan yang tidak bekerja,
baik sebelum dilakukan pembobotan maupun setelah dilakukan pembobotan.
5.1.3 Gambaran Responden Berdasarkan Faktor Pemungkin
Faktor pemungkin dalam penelitian ini terdiri dari tingkat kekayaan
dan wilayah tempat tinggal. Tingkat kekayaan responden dibagi menjadi 5
58
kategori yaitu terbawah, menengah bawah, menengah, menengah atas, teratas.
Untuk tempet tinggal dibagi menjadi 2 kategori yaitu wilayah pedesaan dan
wilayah perkotaan. Kategori dalam penelitian ini menyesuaikan dengan SDKI
2012. Gambaran distribusi frekuensi ibu berdasarkan faktor pemungkin dapat
dilihat pada tabel-tabel berikut ini:
1) Distribusi Tingkat Kekayaan
Tabel 5.9Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Kekayaan
Tingkat KekayaanTidak
Dibobot Dibobot
(n) (%) (n) (%)Terbawah 234 69,4 234 43,3
Menengah bawah 39 11,6 78 14,4Menengah 37 11,0 111 20,5
Menengah atas 17 5,0 68 12,6Teratas 10 3,0 50 9,2Total 337 100 541 100
Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa setelah dilakukan
pembobotan (weighting) persentase ibu yang memiliki tingkat kekayaan
terbawah sebesar 43,4%, ibu yang memiliki tingkat kekayaan menengah
bawah sebesar 14,4%, ibu yang memiliki tingkat kekayaan menengah sebesar
20,5%, ibu yang memiliki tingkat kekayaan menengah atas sebesar 12,6%,
dan ibu yang memiliki tingkat kekayaan teratas sebesar 9,2%. Berdasarkan
hasil analisis, baik yang tidak dilakukan pembobotan atau yang dilakukan
pembobotan tersebut, menunjukkan bahwa persentase ibu yang memiliki
59
tingkat kekayaan terbawah lebih tinggi dibandingkan ibu yang memiliki
tingkat kekayaan lainnya.
2) Distribusi Wilayah Tempat Tinggal
Tabel 5.10Distribusi Responden Berdasarkan Wilayah Tempat Tinggal
Wilayah Tempat TinggalTidak
Dibobot Dibobot
(n) (%) (n) (%)Pedesaan 243 72,1 243 56,4Pekotaan 94 27,9 188 43,6
Total 337 100 431 100
Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa setelah dilakukan
pembobotan (weighting) persentase ibu yang bertempat tinggal diwilayah
pedesaan sebesar 56,4%, sedangkan ibu yang bertempat tinggal diwilayah
pekotaan sebesar 43,6%. Berdasarkan hasil tersebut menunjukkan bahwa
presentase ibu yang bertempat tinggal di wilayah pedesaan lebih tinggi
dibandingkan ibu yang bertempat tinggal di wilayah pekotaan, baik sebelum
dilakukan pembobotan maupun setelah dilakukan pembobotan.
5.1.4 Gambaran Responden Berdasarkan Faktor Kebutuhan
Dalam penelitian ini yang dijadikan sebagai faktor kebutuhan adalah
kunjungan antenatal dan komplikasi kehamilan. Kunjungan antenatal ini
merupakan jumlah atau frekuensi ibu dalam melakukan kunjungan ke
pelayanan antenatal. Dalam penelitian ini di kategorikan menjadi 5, yaitu
tidak antenatal, tidak tahu, 1 kali, 2-3 kali dan lebih dari 4. Komplikasi
60
kehamilan dikategorikan menjadi 2 yaitu pernah dan tidak pernah. Kategori
ini menyesuaikan dengan data SDKI 2012. Gambaran distribusi frekuensi ibu
berdasarkan faktor kebutuhan dapat dilihat pada tabel-tabel berikut ini:
1) Distribusi Kunjungan Antenatal
Tabel 5.11Distribusi Responden Berdasarkan Kunjungan Pelayanan Antenatal
Kunjungan ANCTidak
Dibobot Dibobot
(n) (%) (n) (%)Tidak ANC 123 36,5 123 12,1Tidak Tahu 38 11,3 76 7,5
1 kali 9 2,7 27 2,62-3 kali 42 12,5 168 16,54+ kali 125 37,1 625 61,3Total 337 100 1019 100
Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa setelah dilakukan
pembobotan (weighting) persentase ibu yang memiliki tidak melakukan
kunjungan sebesar 12,1%, ibu yang tidak tahu/tidak menjawab saat
wawancara sebesar 7,5%, ibu yang melakukan kunjungan sebanyak 1 kali
sebesar 2,6%, ibu yang melakukan kunjungan sebanyak 2-3 kali sebesar
16,5%, dan ibu yang melakukan kunjungan sebanyak 4+kali sebesar 61,3%.
Berdasarkan hasil analisis, baik yang tidak dilakukan pembobotan atau yang
dilakukan pembobotan tersebut, menunjukkan bahwa persentase ibu yang
melakukan kunjungan antenatal 4+kali lebih tinggi dibandingkan ibu yang
melakukan kunjungan kurang dari 4+ kali. Akan tetapi, pada hasil tersebut
menunjukkan perbedaan persentase pada ibu yang tidak melakukan
61
kunjungan. Pada hasil sebelum pembobotan persentase ibu yang tidak
melakukan kunjungan dengan yang melakukan kunjungan 4+ kali lebih tinggi
akan tetapi setelah pembobotan terlihat perbedaan yang sangat jauh.
2) Distribusi Riwayat Komplikasi Kehamilan
Tabel 5.12Distribusi Responden Berdasarkan Riwayat Komplikasi Kehamilan
Komplikasi KehamilanTidak
Dibobot Dibobot
(n) (%) (n) (%)Pernah 34 10,1 80 9,7
Tidak Pernah 303 89,9 744 90,3Total 337 100 824 100
Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa setelah dilakukan
pembobotan (weighting) persentase ibu yang pernah mengalami komplikasi
kehamilan sebesar 9,7%, sedangkan ibu yang tidak pernah mengalami
komplikasi kehamilan sebesar 90,3%. Berdasarkan hasil tersebut
menunjukkan bahwa presentase ibu yang tidak pernah mengalami komplikasi
kehamilan lebih tinggi dibandingkan ibu yang pernah mengalami komplikasi
kehamilan, baik sebelum dilakukan pembobotan maupun setelah dilakukan
pembobotan.
62
5.2 Analisis Bivariat
Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel
independen dengan variabel dependen. Analisis bivariat dilakukan dengan uji
Chi Square. Dikatakan berhubungan secara signifikan apabila didapatkan nilai
p≤0,05 dan dikatakan tidak berhubungan secara signifikan apabila didapatkan
nilai p>0,05.
5.2.1 Gambaran Faktor Predisposisi Dengan Penggunaan Penolong Persalinan
1) Hubungan antara Umur Ibu dengan Penggunaan Penolong Persalinan
Hasil analisis bivariat antara umur ibu dengan penggunaan penolong
persalinan akan dijelaskan pada tabel 5.13 berikut ini:
Tabel 5.13Hubungan antara Umur Ibu dengan Penggunaan Penolong Persalinan
di Provinsi Papua-Data SDKI 2012
Umur Ibu
Penggunaan Penolong Persalinan
Total PvalueTanpa
Penolong
BukanTenaga
Kesehatan
TenagaKesehatan
n % n % n % n %
0,324< 20tahun 0 0 27 62,8 16 37,2 43 10020-34 tahun 10 2,2 228 49,1 226 48,7 464 10035-49 tahun 3 1,6 102 54,8 81 43,5 186 100
13 1,9 357 51,5 323 46,6 693 100
Berdasarkan hasil tabel diatas, diketahui bahwa ibu yang melahirkan
tanpa penolong lebih tinggi terjadi pada kelompok umur 20-34 tahun sebesar
(2,2%), dan ibu yang menggunakan bukan tenaga kesehatan untuk menolong
persalinannya lebih tinggi pada kelompok umur <20 tahun (62,8%).
Sedangkan ibu yang menggunakan tenaga kesehatan lebih tinggi pada ibu
dengan kelompok umur 20-34 tahun. Berdasarkan hasil uji statistik
63
didapatkan Pvalue 0,324 yang artinya pada α= 5% diketahui bahwa tidak
terdapat hubungan yang signifikan antara umur ibu dengan penggunaan
penolong persalinan pada ibu melahirkan di Provinsi Papua berdasarkan data
SDKI 2012.
2) Hubungan antara Paritas dengan Penggunaan penolong Persalinan
Hasil analisi bivariat antara paritas dengan penggunaan penolong
persalinan akan dijelaskan pada tabel 5.14 berikut ini:
Tabel 5.14Hubungan antara Paritas dengan Penggunaan Penolong Persalinan
di Provinsi Papua-Data SDKI 2012
Paritas Ibu
Penggunaan Penolong Persalinan
Total PvalueTanpa
Penolong
BukanTenaga
Kesehatan
TenagaKesehatan
n % n % N % n %
0,0006+ 0 0 28 68,3 13 31,7 41 1004-5 6 4,5 72 53,7 56 41,8 134 1002-3 6 1,4 222 53,6 186 44,9 414 1001 4 1,1 148 40,7 212 58,2 364 100
16 1,7 470 49,3 467 49,0 953 100
Berdasarkan hasil tabel diatas, diketahui bahwa ibu yang melahirkan
tanpa penolong lebih tinggi pada ibu dengan paritas 4-5 yaitu 4,5 %, dan ibu
dengan penolong persalinan bukan tenaga kesehatan lebih tinggi pada ibu
dengan paritas 6+ yaitu sebanyak 68,3%. Berdasarkan hasil uji statistik di
peroleh Pvalue 0,000 yang artinya pada α = 5% terdapat hubungan yang
signifikan antara paritas dengan penggunaan penolong persalinan pada ibu
melahirkan berdasarkan data SDKI 2012.
64
3) Hubungan antara Status Perkawinan dengan Penggunaan penolong
Persalinan
Hasil analisi bivariat antara status perkawinan dengan penggunaan
penolong persalinan akan dijelaskan pada tabel 5.15 berikut ini:
Tabel 5.15Hubungan antara Status Perkawinan dengan PenggunaanPenolong Persalinan di Provinsi Papua-Data SDKI 2012
StatusPerkawinan
Penggunaan Penolong Persalinan
Total PvalueTanpa
Penolong
BukanTenaga
Kesehatan
TenagaKesehatan
n % n % N % n %
0,000
Pisah 0 0 0 0 5 100 5 100Cerai Hidup 0 0 0 0 20 100 20 100Cerai Mati 0 0 15 71,4 6 28,6 21 100
HidupBersama
2 3,3 32 53,3 26 43,3 60 100
Menikah 5 1,7 154 52,4 135 45,9 294 1007 1,8 201 50,2 192 48,0 400 100
Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa ibu yang melahirkan tanpa
penolong persalinan lebih tinggi pada ibu dengan status menikah yaitu 1,7%,
dan ibu yang menggunakan penolong persalinan bukan tenaga kesehatan lebih
tinggi pada ibu dengan cerai mati yaitu 71,4%. Berdasarkan hasil uji statistik
diperoleh Pvalue 0,000 yang artinya pada α = 5% terdapat hubungan yang
signifikan antara status perkawinan dengan penggunaan penolong persalinan
di provinsi Papua berdasarkan data SDKI 2012.
65
4) Hubungan antara Pendidikan Ibu dengan Penggunaan Penolong Persalinan
Hasil analisi bivariat antara pendidikan ibu dengan penggunaan
penolong persalinan akan dijelaskan pada tabel 5.16 berikut ini:
Tabel 5.16Hubungan antara Pendidikan Ibu dengan Penggunaan Penolong
Persalinan di Provinsi Papua-Data SDKI 2012
TingkatPendidikan
Penggunaan Penolong Persalinan
Total PvalueTanpa
Penolong
BukanTenaga
Kesehatan
TenagaKesehatan
n % n % n % n %
0,000
TanpaPendidikan
3 2,4 104 83,2 18 14,4 125 100
PendidikanDasar
2 1,5 76 58,5 52 40,0 130 100
PendidikanMenengah
6 1,7 99 27,5 255 70,8 360 100
PendidikanTinggi
0 0 0 0 108 100 108 100
11 1,5 279 38,6 433 59,9 723 100
Berdasarkan hasil tabel diatas, diketahui bahwa ibu yang melahirkan
tanpa penolong persalinan lebih tinggi pada kelompok ibu tanpa pendidikan
yaitu sebesar 2,4%, dan ibu dengan tanpa pendidikan lebih tinggi
menggunakan penolong persalinan bukan tenaga kesehatan yaitu 83,2%.
Sedangkan penggunaan tenaga kesehatan sebagai penolong persalinan lebih
tinggi digunakan oleh ibu dengan ibu yang mempunyai pendidikan tinggi
yaitu sebesar 100%. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh Pvalue 0,000
yang artinya pada α = 5% terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat
pendidikan ibu dengan penggunaan penolong persalinan oleh ibu melahirkan
di Provinsi Papua berdasarkan data SDKI 2012.
66
5) Hubungan antara Pendidikan Suami/Pasangan dengan Penggunaan
Penolong Persalinan
Hasil analisi bivariat antara tingkat pendidikan suami/pasangan
dengan penggunaan penolong persalinan akan dijelaskan pada tabel 5.17
berikut ini:
Tabel 5.17Hubungan antara Pendidikan Suami/Pasangan dengan Penggunaan
Penolong Persalinan di Provinsi Papua-Data SDKI 2012
TingkatPendidikan
Penggunaan Penolong Persalinan
Total PvalueTanpa
Penolong
BukanTenaga
Kesehatan
TenagaKesehatan
n % n % n % n %
0,000
TanpaPendidikan
2 2,7 68 90,7 5 6,7 75 100
PendidikanDasar
2 1,6 76 62,3 44 36,1 122 100
PendidikanMenengah
6 1,2 189 37,7 306 61,1 501 100
PendidikanTinggi
4 2,9 24 17,6 108 79,4 136 100
14 1,7 357 42,8 463 55,5 834 100
Berdasarkan hasil tabel diatas, diketahui bahwa suami/pasangan
dengan tanpa pendidikan lebih tinggi menggunakan penolong persalinan
bukan tenaga kesehatan untuk menolong persalinan ibu melahirkan yaitu
sebanyak 90,7%, dan tanpa penolong persalinan untuk ibu melahirkan sebesar
2,7%. Sedangkan penggunaan tenaga kesehatan lebih tinggi digunakan pada
ibu yang memiliki suami/pasangan dengan pendidikan tinggi sebesar 79,4%.
Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh Pvalue 0,000 yang artinya pada α =
5% terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan
67
suami/pasangan dengan penggunaan penolong persalinan oleh ibu melahirkan
di Provinsi Papua berdasarkan data SDKI 2012.
6) Hubungan antara Status Pekerjaan Ibu dengan Penggunaan Penolong
Persalinan
Hasil analisi bivariat antara status pekerjaan ibu dengan penggunaan
penolong persalinan akan dijelaskan pada tabel 5.18 berikut ini:
Tabel 5.18Hubungan antara Status Pekerjaan Ibu dengan Penggunaan Penolong
Persalinan di Provinsi Papua-Data SDKI 2012
StatusPekerjaan Ibu
Penggunaan penolong persalinan
Total Pvalue
Tanpapenolong
Bukantenaga
kesehatan
Tenagakesehatan
n % n % n % n %Tidak Bekerja 1 0,8 28 23,5 90 75,6 119 100
0,000Bekerja 10 2,3 294 67,4 132 30,3 436 100
11 2,0 322 58,0 222 40,0 555 100
Berdasarkan hasil tabel diatas, diketahui bahwa ibu yang bekerja lebih
tinggi menggunakan penolong persalinan bukan tenaga kesehatan untuk
menolong persalinannya yaitu sebanyak 67,4%, dan tanpa penolong
persalinan untuk persalinannya sebesar 2,3%. Sedangkan penggunaan tenaga
kesehatan lebih tinggi pada ibu yang tidak bekerja yaitu sebesar 75,6%.
Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh Pvalue 0,000 yang artinya pada α =
5% terdapat hubungan yang signifikan antara status pekerjaan ibu dengan
penggunaan penolong persalinan oleh ibu melahirkan di Provinsi Papua
berdasarkan data SDKI 2012.
68
7) Hubungan antara Status Pekerjaan Suami/Pasangan dengan Penggunaan
Penolong Persalinan
Hasil analisi bivariat antara status pekerjaan suami/pasangan dengan
penggunaan penolong persalinan akan dijelaskan pada tabel 5.19 berikut ini:
Tabel 5.19Hubungan antara Status Pekerjaan Suami/pasangan dengan Penggunaan
Penolong Persalinan di Provinsi Papua-Data SDKI 2012
StatusPekerjaan
Penggunaan penolong persalinan
Total Pvalue
Tanpapenolong
Bukantenaga
kesehatan
Tenagakesehatan
n % n % n % n %Tidak bekerja 1 2,7 27 73,0 9 24,3 37 100
0,014Bekerja 10 1,7 296 49,3 294 49,0 600 100
11 1,7 323 50,7 303 47,6 637 100
Berdasarkan hasil tabel diatas, diketahui bahwa suami/pasangan yang
tidak bekerja lebih tinggi menggunakan penolong persalinan bukan tenaga
kesehatan untuk menolong persalinan ibu melahirkan yaitu sebanyak 73,0%,
dan tanpa penolong persalinan untuk persalinannya sebesar 2,7%. Sedangkan
penggunaan tenaga kesehatan lebih tinggi pada ibu yang memiliki
suami/pasangan yang bekerja sebesar 49,0%. Berdasarkan hasil uji statistik
diperoleh Pvalue 0,014 yang artinya pada α = 5% terdapat hubungan yang
signifikan antara status pekerjaan suami/pasangan dengan penggunaan
penolong persalinan oleh ibu melahirkan di Provinsi Papua berdasarkan data
SDKI 2012.
69
5.2.2 Gambaran Faktor Pemungkin Dengan Penggunaan Penolong Persalinan
1) Hubungan antara Tingkat Kekayaan dengan Penggunaan Penolong
Persalinan
Hasil analisi bivariat antara tingkat kekayaan dengan penggunaan
penolong persalinan akan dijelaskan pada tabel 5.20 berikut ini:
Tabel 5.20Hubungan antara Tingkat Kekayaan dengan Penggunaan Penolong
Persalinan di Provinsi Papua-Data SDKI 2012
TingkatKekayaan
Penggunaan penolong persalinanTotal P
valueTanpa
penolongBukan tenaga
kesehatanTenaga
kesehatann % n % n % n %
Terbawah 3 1,3 164 70,1 67 28,6 234 100
0,000
Mengengahbawah 4 5,1 16 20,6 58 74,4 78 100
Menengah 3 2,7 6 5,4 102 91,9 111 100Menengah
atas 0 0 0 0 68 100 68 100
Teratas 0 0 5 10,0 45 90,0 50 10010 1,8 191 35,3 340 62,8 541 100
Berdasarkan hasil tabel diatas, diketahui bahwa ibu dengan tingkat
kekayaan terbawah lebih tinggi menggunakan penolong persalinan bukan
tenaga kesehatan untuk menolong persalinannya yaitu sebanyak 70,1%,
dan ibu dengan tingkat menengah bawah lebih tinggi dengan tanpa
penolong persalinan untuk persalinannya sebesar 5,1%. Sedangkan
penggunaan tenaga kesehatan lebih tinggi pada ibu dengan tingkat
kekayaan menengah atas sebesar 100%. Berdasarkan hasil uji statistik
diperoleh Pvalue 0,000 yang artinya pada α = 5% terdapat hubungan yang
70
signifikan antara tingkat kekayaan dengan penggunaan penolong
persalinan oleh ibu melahirkan di Provinsi Papua berdasarkan data SDKI
2012.
2) Hubungan antara Wilayah Tempat Tinggal dengan Penggunaan Penolong
Persalinan
Hasil analisis bivariat antara wilayah tempat tinggal dengan
penggunaan penolong persalinan akan dijelaskan pada tabel 5.21 berikut ini:
Tabel 5.21Hubungan antara Wilayah Tempat Tinggal dengan Penggunaan
Penolong Persalinan di Provinsi Papua-Data SDKI 2012
WilayahTempatTinggal
Penggunaan penolong persalinanTotal P
valueTanpa
penolongBukan tenaga
kesehatanTenaga
kesehatann % n % n % n %
Pedesaan 4 1,6 163 67,1 76 31,3 243 1000,000Pekotaan 4 2,1 24 12,8 160 85,1 188 100
8 1,9 187 43,4 236 54,8 431 100
Berdasarkan hasil tabel diatas, diketahui bahwa ibu dengan wilayah
tempat tinggal pedesaan lebih tinggi menggunakan penolong persalinan bukan
tenaga kesehatan untuk menolong persalinannya yaitu sebanyak 67,1%. Ibu
yang melahirkan tanpa penolong lebih tinggi pada ibu yang bertempat tinggal
di pekotaan sebesar 2,1%. Sedangkan penggunaan tenaga kesehatan lebih
tinggi digunakan oleh ibu yang bertempat tinggal di wilayah pekotaan sebesar
85,1%. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh Pvalue 0,000 yang artinya
pada α = 5% terdapat hubungan yang signifikan antara wilayah tempat tinggal
71
ibu dengan penggunaan penolong persalinan oleh ibu melahirkan di Provinsi
Papua berdasarkan data SDKI 2012.
5.2.3 Hubungan Faktor Kebutuhan Dengan Penggunaan Penolong Persalinan
1) Hubungan antara Komplikasi Kehamilan dengan Penggunaan Penolong
Persalinan
Hasil analisis bivariat antara komplikasi kehamilan dengan
penggunaan penolong persalinan akan dijelaskan pada tabel 5.22 berikut ini:
Tabel 5.22Hubungan antara Komplikasi Kehamilan dengan Penggunaan Penolong
Persalinan di Provinsi Papua-Data SDKI 2012
KomplikasiKehamilan
Penggunaan penolong persalinanTotal P
valueTanpa
penolongBukan tenaga
kesehatanTenaga
kesehatann % n % n % n %
Pernah 1 1,2 40 50,0 39 48,8 80 1000,283Tidak Pernah 5 0,7 310 41,7 429 57,7 744 100
6 0,7 350 42,5 468 56,8 824 100
Berdasarkan hasil tabel diatas, diketahui bahwa ibu pernah mengalami
komplikasi kehamilan lebih tinggi melakukan persalinan tanpa penolong yaitu
sebanyak 2,9 %, dan lebih tinggi dalam menggunakan bukan tenaga kesehatan
sebagai penolong persalinannya yaitu 50%. Sedangkan penggunaan tenaga kesehatan
lebih tinggi pada ibu yang tidak pernah mengalami komplikasi kehamilan sebesar
57,7%. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh Pvalue 0,283 yang artinya pada α =
5% tidak terdapat hubungan yang signifikan antara komplikasi kehamilan dengan
72
penggunaan penolong persalinan oleh ibu melahirkan di Provinsi Papua berdasarkan
data SDKI 2012.
2) Hubungan antara Kunjungan Antenatal dengan Penggunaan Penolong
Persalinan
Analisis bivariat antara kunjungan antenatal dan penggunaan penolong
persalinan dijabarkan dalam tabel 5.23 sebagai berikut:
Tabel 5.23Hubungan antara Kunjungan Antenatal dengan Penggunaan Penolong
Persalinan di Provinsi Papua-Data SDKI 2012
KunjunganAntenatal
Penggunaan penolong persalinanTotal P
valueTanpa
penolongBukan tenaga
kesehatanTenaga
kesehatann % n % n % n %
Tidakantenatal 6 4,9 102 82,9 15 12,2 123 100
0,000Tidak Tahu 0 0 44 57,9 32 42,1 76 100
1 kali 0 0 21 77,8 6 22,2 27 1002-3 kali 0 0 100 59,5 68 40,5 168 1004+ kali 0 0 95 15,2 530 84,8 625 100
6 0,6 362 35,5 651 63,9 1019 100
Berdasarkan hasil tabel diatas, diketahui bahwa ibu yang tidak antenatal lebih
tinggi melakukan persalinan tanpa penolong sebesar 4,9%. Ibu yang tidak
melakukanantenatal juga menggunakan penolong persalinan bukan tenaga kesehatan
untuk menolong persalinannya yaitu sebanyak 82,9 %, dan lebih tinggi dengan tanpa
penolong persalinan untuk persalinannya yaitu 4,9%. Sedangkan penggunaan tenaga
kesehatan sebagai penolong persalinan lebih tinggi pada ibu yang melakukan
kunjungan antenatal 4+ kali 84,8%. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh Pvalue
0,000 yang artinya pada α = 5% terdapat hubungan yang signifikan antara kunjungan
73
antenatal dengan penggunaan penolong persalinan oleh ibu melahirkan di Provinsi
Papua berdasarkan data SDKI 2012.
BAB VI
PEMBAHASAN
74
6.1 Keterbatasan Penelitian
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder hasil
Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) pada tahun 2012. Penelitian ini
mempunyai keterbatasan yaitu variabel-variabel yang diteliti terbatas pada
variabel yang terdapat dalam SDKI 2012. Beberapa variabel tidak terdapat dalam
SDKI, sehingga beberapa variabel yang terdapat dalam kerangka teori yang tidak
dapat diteliti.
6.2 Gambaran Penggunaan Penolong Persalinan pada Ibu Melahirkan di
Provinsi Papua
Penolong persalinan merupakan orang yang membantu pada saat ibu
melahirkan, baik tenaga kesehatan maupun bukan tenaga kesehatan. Dalam SDKI
2012 yang termasuk kedalam penolong persalinan tenaga kesehatan yaitu dokter,
dokter kandungan, perawat, bidan dan bidan desa. Sedangkan yang bukan tenaga
kesehatan adalah penolong persalinan tradisional atau dukun bayi/beranak,
kelurga/teman dan lain sebagainya (BPS, 2013).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 337 ibu yang melahirkan di
Provinsi Papua yang menggunakan tenaga kesehatan hanya mencapai 46,3%
angka ini sama dengan capaian penolong persalinan dari SDKI 2007. Capaian ini
belum memenuhi target MDGs (Millenium Development Goals) 95% pada tahun
2015. Sedangkan ibu yang menggunakan penolong persalinan bukan tenaga
75
kesehatan mencapai (51,9%), angka ini sama dengan hasil yang didapat SDKI
2007. Selain itu, di Provinsi Papua juga masih terdapat ibu yang melahirkan
dengan tanpa penolong atau melakukan persalinan sendiri yaitu sebesar (1,8%),
angka ini sudah mengalami penurunan dari hasil capaian SDKI 2007 yaitu
(12,0%) (BPS, 2008).
Tingginya penggunaan penolong persalinan bukan tenaga kesehatan ini dapat
meningkatkan resiko terjadinya komplikasi persalinan dan dapat berujung pada
kematian ibu. Selain kematian ibu, persalinan yang tidak ditolong oleh tenaga
yang terampil dapat mengakibatkan kematian pada bayi. Hal ini disebabkan oleh
masih kemampuan dan keterampilan tenaga penolong yang tidak kompeten
(Kemenkes RI, 2012). Selain masih tingginya penolong persalinan oleh bukan
tenaga kesehatan, masih adanya ibu melahirkan di Papua yang tidak
menggunakan penolong persalinan semakin menambah resiko angka kematian
ibu. Berdasarkan profil kesehatan Provinsi Papua tahun 2012 diketahui bahwa
penyebab kematian ibu adalah perdarahan 40,00%, hipertensi dalam kehamilan
3,08%, infeksi 26,42%, Abortus 7,69%, partus lama 3,08%, lain-lain 21,54%
(Dinkes Papua, 2012). Berdasarkan hal tersebut diketahui bahwa perdarahan
merupakan penyebab kematian paling tinggi, kejadian perdarahan ini dapat
ditangani apabila ibu ditolong oleh tenaga profesional yang kompeten.
Penolong persalinan bukan oleh tenaga kesehatan lebih tinggi digunakan oleh
ibu melahirkan di Provinsi Papua dibandingkan dengan penggunaan tenaga
kesehatan. Hal ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Andersen &
Newman (2005) diketahui bahwa dalam menggunakan pelayanan kesehatan
76
seseorang dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu predisposisi, pemungkin dan
kebutuhan. Faktor predisposisi terdiri dari demografi, sturktur sosial, dan
kepercayaan kesehatan. Beberapa hal yang dapat berhubungan dengan keputusan
ibu dalam menggunakan pelayanan kesehatan yaitu umur ibu, status perkawinan
dan paritas. Umur ibu dapat mempengaruhi kesehatan ibu selama proses
melahirkan. Ibu yang melahirkan dengan umur terlalu muda atau terlalu tua dapat
menjadi penyebab terjadinya masalah persalinan yang dapat berujung pada
kematian ibu (Depkes, 2009). Keadaan ini dapat mempengaruhi ibu untuk
memutuskan penggunaan penolong persalinan.
Paritas merupakan jumlah kelahiran yang pernah dialami ibu baik lahir hidup
maupun lahir mati. Paritas termasuk kondisi reproduksi ibu yang dapat
menyebabkan komplikasi kehamilan apabila ibu mengalami paritas tinggi
(McCarthy and Deborah, 1992). Paritas berhubungan juga dengan pengalaman
ibu dalam proses melahirkan. Pengalaman ibu ini dapat mendukung ibu untuk
memilih penggunaan penolong persalinan. Status perkawinan ibu dapat menjadi
salah satu faktor yang mendukung ibu untuk menggunakan penolong persalinan.
Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa ibu yang memiliki status menikah
sebesar (87,2%). Status perkawinan ibu ini berhubungan juga dengan dukungan
suami dalam pengambilan keputusan untuk menggunakan penolong persalinan,
dibandingkan dengan ibu yang tidak menikah atau tidak memiliki pasangan.
Faktor lain yang dapat mempengaruhi seseorang dalam mengakses pelayanan
kesehatan antara lain pendidikan, pekerjaan, budaya, agama, mobilitas penduduk.
Pendidikan ibu dan suami/pasangan sangat berpengaruh terhadap penggunaan
77
penolong persalinan. Ibu dan suami/ pasangan yang mempunyai pendidikan
rendah akan mempengaruhi terhadap pengetahuan ibu dan suami/pasangan
tentang penolong persalinan yang baik. Pengetahuan ibu dan suami yang rendah
juga dapat berdampak pada kepercayaan ibu dan suami/pasangan terhadap
kesehatan. Oleh karena itu, pendidikan sangat mempengaruhi seseorang untuk
menggunakan pelayanan kesehatan. Pekerjaan juga mendukung seseorang untuk
menggunakan tenaga kesehatan. Pekerjaan ibu dan suami/pasangan dapat
menggambarkan status ekonomi keluarga yang juga dapat mendukung akses
pelayanan kesehatan. status ekonomi juga digambarkan melalui tingkat kekayaan
keluarga. Ibu yang memiliki tingkat kekayaan yang tinggi akan lebih memilih
menggunakan tenaga kesehatan dibanding ibu dengan tingkat kekayaan rendah.
Budaya merupakan faktor yang sangat mempengaruhi perilaku seseorang.
Berdasakan penelitian yang dilakukan Alwi dkk (2001) yang dilakukan pada suku
Amungme dan suku Kamoro Provinsi Papua, diketahui bahwa masyarakat
memandang persalinan merupakan peristiwa alami dan urusan perempuan dan
tidak perlu dibesar-besarkan, selain itu mereka juga menganggap bahwa darah
dan kotoran persalinan dapat menimbulkan penyakit yang mengerikan bagi laki-
laki dan anak-anak sehingga harus disembunyikan atau dijauhkan. Hal ini tentu
saja dapat berdampak pada kesehatan ibu dan juga bayi yang dilahirkan bahkan
dapat juga menyebabkan kematian ibu dan anak, karena tidak ada penolong
persalinan yang terlatih dan terampil untuk membantu ibu pada saat melahirkan.
Budaya yang ada di wilayah tempat tinggal ibu di Provinsi Papua dapat
mendukung untuk memilih penolong persalinan. Kehidupan masyarakat Papua
78
yang masih dipengaruhi oleh budaya patriarki, yaitu segala urusan kehidupan
berpusat pada kekuasaan laki-laki, termasuk dalam hal pengambilan keputusan.
Oleh karena itu, masih banyak perempuan di Papua yang kesulitan untuk
mengakses pelayanan kesehatan dikarenakan keputusan masih berada di tangan
laki-laki terutama di wilayah pedalaman Papua.
Selain hal tersebut, wilayah tempat tinggal ibu juga menunjukkan
kemampuan ibu dalam mengakses tenaga kesehatan, ketersediaan fasilitas
kesehatan dan jumlah tenaga kesehatan juga mempengaruhi ibu untuk dapat
mengakses penolong persalinan. Berdasarkan Data dan Informasi
Kementerian Kesehatan RI (InfoDatin) tahun 2013, diketahui bahwa jumlah
penolong persalinan yaitu bidan di Papua pada tahun 2013 hanya mencapai
1.353 orang, jumlah ini masih kurang jika dibandingkan dengan provinsi lain.
Adapun rasio ibu hamil dan bidan di Provinsi Papua pada sudah memenuhi
syarat yaitu setiap bidan mampu menangani 21-30 ibu hamil dan berada pada
zona biru. Akan tetapi, berdasarkan jumlah persalinan ditolong oleh tenaga
kesehatan diketahui Provinsi Papua masih berada di zona merah. Rasio bumil
dan bidan tinggi tersebut ternyata tidak mempengaruhi angka persalinan
ditolong tenaga kesehatan. Hal ini dapat disebabkan oleh distribusi bidan yang
kurang merata serta kemampuan dan kualitas pelayanan yang masih kurang
(Kemenkes, 2014).
Ketersediaan tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan yang masih
banyak hanya dapat diakses oleh ibu yang bertempat tinggal diwilayah
pekotaan dibandingkan ibu yang bertempat tinggal diwilayah pedesaan,
79
pedalaman dan daerah terpencil, hal ini dipengaruhi oleh wilayah Papua yang
juga termasuk pegunungan dengan jarak tempat tinggal yang jauh dari
pelayanan kesehatan. Ibu yang berada di daerah perkotaan akan lebih mudah
untuk mengakses pelayanan kesehatan, hal ini dikarenakan ketersediaan
tenaga dan fasilitas masih berpusat di daerah pekotaan.
6.3 Hubungan Faktor Predisposisi Dengan Penggunaan Penolong Persalinan
Menurut Andersen dan Newman (2005), dalam memanfaatkan pelayanan
kesehatan seseorang dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu faktor predisposisi, faktor
pemungkin dan faktor kebutuhan. Dijelaskan bahwa ketiga faktor ini dapat
mempengaruhi seseorang dalam mengambil keputusan untuk menentukan dalam
memanfaatkan pelayanan kesehatan, hal ini termasuk juga dalam keputusan ibu
untuk menggunakan penolong persalinan untuk membantu ibu pada saat
melahirkan. Adapun faktor predisposisi yang dimaksud adalah umur ibu, paritas,
status perkawinan, pendidikan ibu, pendidikan suami, status pekerjaan ibu dan
status pekerjaan suami. Gambaran faktor predisposisi ini akan dijabarkan sebagai
berikut:
6.3.1 Umur Ibu
Berdasarkan hasil uji statistik didapat Pvalue sebesar 0,324, yang artinya
bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara umur ibu dengan
penggunaan penolong persalinan. Umur merupakan salah satu faktor
demografi yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Umur ibu
melahirkan juga merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan
80
terjadinya komplikasi persalinan yang dapat berujung pada kematian ibu.
Umur ibu yang ideal untuk melahirkan adalah 20-35 tahun, ini disebut juga
dengan usia reproduksi sehat. Wanita yang melahirkan di bawah usia 20 tahun
atau lebih dari 35 tahun akan mempunyai resiko yang tinggi baik pada ibu
maupun bayi (Kemenkes, 2011).
Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa penggunaan penolong
persalinan bukan tenaga kesehatan lebih tinggi pada ibu dengan kelompok
umur <20 tahun yaitu (62,8%), kelompok umur ibu yang melakukan
persalinan tanpa penolong paling tinggi berada pada kelompok umur 20-34
tahun yaitu (2,2%). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Bashar (2012) di Kenya, Simanjuntak dkk (2012) di Tapanuli
Utara dan Assfaw (2010) di Distrik Samre Saharti, Tigray, Ethiopia. Pada
penelitian tersebut diketahui bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara
umur ibu dengan penggunaan penolong persalinan.
Umur ibu yang lebih tua memiliki resiko terjadinya komplikasi saat
melahirkan, keadaan ini dapat mendukung ibu untuk menggunakan tenaga
kesehatan sebagai penolong persalinannya. Hal ini dapat dimungkinkan
karena perasaan khawatir ibu terhadap keadaan yang dapat mengancam
kesehatan ibu. Persepsi seseorang terhadap kerentanan dan keparahan suatu
penyakit atau gejala yang mengancam akan mempengaruhi seseorang
bertindak untuk melakukan pengobatan atau pencegahan (Rosenstock,dkk,
1988). Hasil penelitian ini diketahui bahwa umur ibu yang lebih tua (35-49
81
tahun) lebih tinggi menggunakan bukan tenaga kesehatan untuk penolong
persalinannya sebesar (54,8%).
Tingginya penggunaan penolong persalinan oleh ibu yang melahirkan
pada kelompok umur 35-49 tahun ini, dapat dipengaruhi pula oleh kurangnya
pengetahuan ibu terhadap penolong persalinan serta kurangnya pengetahuan
kesehatan tentang resiko terjadinya komplikasi jika melahirkan pada umur
yang terlalu tua. Pengetahuan merupakan hasil dari mengingat kejadian yang
pernah di alami baik sengaja maupun tidak sengaja (Mubarak, dkk; 2007).
Pengetahuan seperti ini dapat diperoleh ibu melalui pengalaman saat
melakukan proses persalinan sebelumnya. Pengalaman yang baik akan
mendukung membentuk sikap positif ibu.
Selain umur yang terlalu tua, umur terlalu muda juga mempunyai resiko
terjadinya komplikasi saat melahirkan, hal ini dapat dikarenakan keadaan ibu
yang belum siap untuk melakukan proses persalinan. ibu yang terlalu muda
untuk melahirkan membutuhkan penolong persalinan yang terampil dan
kompeten untuk mengurangi resiko terjadinya komplikasi dan dapat
melakukan penanganan yang tepat jika terjadi komplikasi. Akan tetapi,
berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa (62,8%) melakukan persalinan
dengan penolong bukan tenaga kesehatan. Angka ini lebih tinggi
dibandingkan dengan kelompok umur ibu lainnya.
Semakin bertambahnya umur seseorang, maka dapat terlihat taraf berpikir
seseorang semakin matang dan dewasa (Mubarak, 2007). Keputusan
seseorang akan berbeda pada umur yang muda dan umur yang lebih tua. Umur
82
yang lebih tua akan mengambil keputusan setelah mempelajari masalah
tersebut dengan lebih teliti dan menilai kualitas keputusan tersebut
dibandingkan pada seseorang dengan umur yang lebih muda (Lizárraga, dkk.,
2007). Hal ini terlihat dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa umur ibu
20-34 tahun menggunakan tenaga kesehatan sebesar (48,7%) dan ibu dengan
umur 35-49 tahun (43,5%), angka ini lebih tinggi di banding ibu dengan umur
<20 tahun (37,2%). Meski hasil tersebut menunjukkan penggunaan tenaga
kesehatan tinggi, akan tetapi hasil yang diperoleh untuk penggunaan penolong
persalinan bukan tenaga kesehatan lebih tinggi dibandingkan hasil tersebut.
Masih tingginya penggunaan penolong persalinan oleh bukan tenaga
kesehatan ini dapat dipengaruhi oleh kurangnya pengetahuan ibu tentang
persalinan yang aman. Lingkungan sekitar dan pengalaman ibu juga turut
mempengaruhi keputusan ibu untuk menggunakan penolong persalinan,
dimana pengalaman juga bertambah seiring dengan umur ibu. Hasil penelitian
ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan Arung (2013) di Toraja
Utara, bahwa ibu yang menggunakan tenaga kesehatan sebagai penolong
persalinannya lebih banyak pada kelompok ibu yang lebih muda dibandingkan
dengan kelompok umur ibu yang lebih tua, hal ini dikarenakan ibu yang lebih
muda memungkinkan untuk menjaga keamanan dan keselamatan dalam
proses persalinan. Amano dkk (2012) menyatakan bahwa ibu dengan umur
<20 tahun 6 kali lebih memilih melahirkan di fasilitas kesehatan dari pada ibu
yang lebih tua. Pernyataan ini tidak sejalan dengan hasil yang didapat, dimana
dalam penelitian ini diketahui bahwa ibu dengan umur <20 tahun lebih banyak
83
menggunakan bukan penolong persalinan dan lebih rendah dalam penggunaan
tenaga kesehatan.
Pada penelitian ini diketahui bahwa penggunaan penolong persalinan oleh
tenaga kesehatan masih rendah pada semua kelompok umur ibu. Untuk
meningkatkan penggunaan tenaga kesehatan sebagai penolong persalinan
pemberian pendidikan/pengetahuan kesehatan tidak hanya diberikan pada ibu
hamil saja, melainkan kepada anggota kelurga lainnya seperti suami, ibu
kandung bahkan ibu mertua, agar memiliki pemahaman yang sama terhadap
pentingnya penggunaan tenaga kesehatan pada saat proses persalinan. Selain
itu, masih tingginya penggunaan bukan tenaga kesehatan untuk menolong
proses persalinan di kalangan ibu-ibu semua umur, maka perlunya ada
pendampingan dari petugas kesehatan setempat, untuk mengantisipasi bila
terjadi komplikasi sekaligus upaya untuk menurunkan angka kematian ibu di
Provinsi Papua.
6.3.2 Paritas
Paritas merupakan jumlah anak yang pernah dilahirkan ibu baik hidup
maupun mati, namun bukan aborsi. Semakin banyaknya jumlah anak yang
pernah dilahirkan akan menambah pengalaman ibu dalam proses melahirkan,
sehingga mempengaruhi untuk mengambil keputusan dalam penggunaan
tenaga penolong persalinan. Hasil analisis didapatkan Pvalue sebesar 0,000
84
yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara paritas dengan
penggunaan penolong persalinan.
Menurut McCarthy and Deborah (1992) disebutkan bahwa paritas
merupakan salah satu status reproduksi wanita yang termasuk dalam faktor
lanjutan yang mempengaruhi kehamilan, komplikasi kehamilan dan kesakitan
atau kematian ibu. Menurut Kementerian kesehatan (2011), paritas dapat
dikategorikan menjadi dua, yaitu paritas dikategorikan rendah apabila ibu
melahirkan kurang atau sama dengan 3 kali kelahiran, sedangkan paritas
tinggi yaitu apabila ibu melahirkan lebih dari 3 kali kelahiran. Berdasarkan
hasil analisis diketahui bahwa ibu yang memiliki paritas lebih dari enam (6+)
sebanyak 4,3% ibu, sedangkan ibu yang memiliki paritas 4-5 sebanyak 14,1%
ibu. Semakin tingginya paritas ibu, maka semakin besar peluang mengalami
komplikasi kehamilan.
Menurut Manuaba, wanita dengan paritas tinggi menghadapi resiko
perdarahan akibat atonia uteri yang semakin meningkat karena terjadinya
perubahan serabut otot menjadi jaringan pada uterus. Hal ini dapat
menurunkan kemampuan uterus dalam berkontraksi sehingga sulit untuk
melakukan penekanan pada pembuluh-pembuluh darah yang terbuka setelah
melepaskan plasenta (Yenita, 2011). Akan tetapi, hasil analisis menunjukkan
bahwa ibu dengan paritas 6+ menggunakan penolong persalinan bukan tenaga
kesehatan lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok lainnya yaitu sebesar
63,8% ibu menggunakan bukan tenaga kesehatan. Kelompok paritas lain yang
menggunakan bukan tenaga kesehatan tinggi kedua yaitu ibu dengan paritas 4-
85
5 sebesar 53,7% ibu. Berdasarkan hasil tersebut menunjukkan bahwa ibu yang
memiliki paritas tinggi lebih banyak menggunakan penolong persalinan bukan
tenaga kesehatan. Selain itu, berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa
ibu dengan paritas 6+ paling banyak berada pada kelompok ibu 34-49 tahun.
Berdasarkan hal tersebut menunjukkan bahwa ibu dengan umur tua dan
mempunyai paritas tinggi memiliki resiko komplikasi kehamilan lebih tinggi.
Tingginya penggunaan penolong persalinan bukan tenaga kesehatan oleh
ibu dengan paritas tinggi ini dapat dipengaruhi juga oleh pengalaman ibu
dalam proses persalinan. Ibu yang berada pada paritas lebih dari tiga memiliki
pengalaman melahirkan yang lebih banyak dibandingkan ibu yang berada
pada paritas kurang dari tiga. Pengalaman ibu dalam proses persalinan ini
dapat mempengaruhi ibu untuk memutuskan dalam penggunaan penolong
persalinan. Menurut Mubarak, dkk (2007) pengalaman merupakan kejadian
yang pernah dialami seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Pengalaman merupakan proses yang dapat merubah sikap seseorang. Oleh
karena itu, pengalaman yang lebih banyak pada ibu dengan paritas tinggi
dalam proses persalinan dapat mengurangi perasaan takut dan khawatir ibu
pada saat melahirkan, dibandingkan dengan ibu yang paritas rendah dan masih
kurang berpengalaman.
Pengalaman ibu menggunakan penolong persalinan juga dapat
menimbulkan kepercayaan pada penolong persalinan tersebut. Ibu yang yang
ditolong oleh bukan tenaga kesehatan pada persalinan sebelumnya dengan
tidak mengalami masalah saat persalinan, memiliki kemungkinan untuk
86
menggunakan penolong persalinan bukan tenaga kesehatan pada persalinan
berikutnya. Kepercayaan ibu terhadap penggunaan penolong persalinan dapat
dipengaruhi pula oleh pengetahuan ibu. Menurut Andersen (1968),
pengetahuan terhadap suatu penyakit dapat menimbulkan kepercayaan
kesehatan seseorang. Pengetahuan ibu yang kurang atau tidak memiliki
pengetahuan tentang paritas dan kesehatan reproduksi, dapat memungkinkan
ibu untuk menggunakan penolong persalinan yang salah dibandingkan ibu
yang memiliki pengetahuan tentang paritas. Ibu yang tidak mengetahui bahaya
dari paritas tinggi dalam kehamilan dan persalinan cenderung memiliki rasa
takut yang sedikit dan tidak ragu untuk menggunakan penolong persalinan
bukan tenaga kesehatan.
Pengalaman ibu dalam persalinan yang didukung dengan rendahnya
pengetahuan inilah yang dapat menyebabkan masih tingginya ibu yang
menggunakan bukan tenaga kesehatan untuk proses persalinannya. beberapa
penelitian lain yang juga sejalan dengan hasil penelitian ini yaitu Jat dkk
(2011) di India, dan Bashar (2012) di Bangladesh, diketahui terdapat
hubungan antara paritas dengan penggunaan penolong persalinan. Penelitian
lain yang dilakukan Mekonenn & Mekonenn (2002) di Ethiopia, menunjukkan
bahwa wanita dengan anak lebih dari satu memiliki 50% kemungkinan lebih
kecil untuk menggunakan tenaga kesehatan untuk menolong persalinannya.
Informasi kesehatan mengenai kesehatan reproduksi wanita sangat
diperlukan untuk meningkatkan pengetahuan kesehatan ibu tentang paritas
dan penggunaan penolong persalinan yang tepat. Pendidikan kesehatan juga
87
diberikan untuk merubah sikap ibu terhadap penolong persalinan. Kemitraan
antara tenaga kesehatan dan penolong persalinan tradisional juga perlu
ditingkatkan, mengingat masih tingginya ibu dengan paritas tinggi yang
menggunakan menggunakan bukan tenaga kesehatan sebagai penolong
persalinannya.
6.3.3 Status Perkawinan
Status perkawinan mempunyai pengaruh terhadap keputusan ibu untuk
menggunakan penolong persalinan. Status perkawinan ibu menunjukkan
dukungan suami atau pasangan dalam memilih penolong persalinan.
Berdasarkan data SDKI 2012 diketahui bahwa sebanyak (23,9%) ayah di
Provinsi Papua turut berperan mendiskusikan penolong persalinan dalam
persiapan kelahiran. Berdasarkan uji statistik didapat Pvalue sebesar 0,000
yang artinya terdapat hubungan antara status perkawinan dengan penggunaan
penolong persalinan.
Hubungan status perkawinan merupakan sumber utama dukungan untuk
para orang dewasa (Gallo,dkk., 2003). Berdasarkan hasil penelitian diketahui
bahwa sebesar (45,9%) ibu yang menikah menggunakan tenaga kesehatan
sebagai penolong persalinannya. Angka ini lebih tinggi dibandingkan ibu yang
memiliki status tidak menikah. Hal ini dapat disebabkan karena ibu yang
menikah memiliki dukungan sosial dari suami dan keluarga lainnya.
Dukungan yang diberikan suami dalam penggunaan penolong persalinan
dapat melalui pendampingan suami pada saat melakukan pemeriksaan
88
kehamilan, mendiskusikan kesehatan ibu dengan tenaga kesehatan, dan
mempersiapkan rencana kelahiran (BPS, 2013). Selain ibu yang menikah, ibu
yang hidup bersama dengan pasangan juga menggunakan tenaga kesehatan
sebagai penolong persalinan tinggi yaitu sebesar (43,3%). Hal ini juga dapat
disebabkan adanya dukungan dari pasangan ibu untuk menggunakan tenaga
kesehatan.
Dukungan sosial yang positif terhadap pelayanan kesehatan, akan
mendukung keputusan yang positif dalam menggunakan tenaga kesehatan
sebagai penolong persalinannya. Akan tetapi, dalam penelitian ini diketahui
bahwa ibu dengan status menikah dan hidup bersama tinggi dalam
penggunaan penolong persalinan bukan tenaga kesehatan yaitu sebesar
(52,4%) dan (53,3%). Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa kelompok
ibu menikah dan hidup bersama pasangan juga memiliki angka persalinan
tanpa penolong lebih tinggi dibandingkan dengan ibu yang tidak mempunyai
status perkawinan. Hal ini dapat disebabkan kurangnya pengetahuan
suami/pasangan dan keluarga ibu tentang persalinan yang aman oleh tenaga
kesehatan. Pengetahuan suami/pasangan yang kurang tentang tenaga
kesehatan akan berdampak pada dukungan suami/pasangan dalam
menggunakan penolong persalinan.
Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa ibu yang bercerai atau berpisah
hidup menggunakan tenaga kesehatan sebagai penolong persalinannya. Hal ini
dapat disebabkan masih adanya dukungan dari suami meski sudah bercerai
atau berpisah dibandingkan dengan ibu yang bercerai mati. Hasil
89
menunjukkan bahwa ibu yang bercerai mati menggunakan penolong
persalinan bukan tenaga kesehatan sebesar (71,4%). Hal ini dapat disebabkan
tidak adanya dukungan dari suami yang membantu ibu untuk menentukan
penggunaan penolong persalinan.
Dukungan yang diberikan suami dapat bersifat emosional atau finansial.
Dukungan yang diberikan suami dapat berupa pendampingan suami saat ibu
melakukan pemeriksaan kehamilan, mendiskusikan kesehatan ibu hamil
dengan tenaga kesehatan untuk membantu menjaga kesehatan ibu dan
melakukan perencanaan persalinan yang termasuk didalamnya penentuan
penolong persalinan, transportasi, tempat persalinan, biaya persalinan dan
lain-lain (BPS, 2013). Ibu yang memiliki suami/pasangan lebih mendapatkan
bantuan untuk mengakses tenaga kesehatan terutama dalam pengeluaran untuk
biaya persalinan. Biaya persalinan yang tinggi akan berdampak negatif bagi
ibu untuk mengakses tenaga kesehatan terutama pada ibu yang miskin.
Ketiadaan suami dapat menghambat ibu untuk mengkases pelayanan
kesehatan. Berdasarkan SDKI 2012 salah satu penghambat ibu untuk
mengakses pelayanan kesehatan di Provinsi Papua adalah ibu tidak berani
untuk pergi sendiri kepelayanan kesehatan (26,8%) (BPS, 2013). Oleh karena
itu, keberadaan suami/pasangan dapat mendukung ibu untuk mengakses
pelayanan kesehatan.
Suami atau pasangan mempunyai peran penting dalam pengambilan
keputusan, meski sebagian besar ibu yang memutuskan untuk memilih
penolong persalinannya, namun masih banyak ibu yang patuh terhadap
90
keputusan suami hal ini berkaitan dengan kedudukan suami didalam keluarga.
Hal ini dikarenakan masyarakat Papua yang masih menganut budaya patriarki,
yaitu laki-laki merupakan pemegang keputusan dalam rumah tangga atau
masyarakat. Selain itu, ada istilah yang mengatakan bahwa perempuan yang
menikah merupakan milik bersama, artinya perempuan yang sudah menikah
tidak hanya milik suami melainkan milik seluruh kerabatnya (Goo,2012). Hal
ini juga dapat berpengaruh terhadap pengambilan keputusan ibu untuk
menggunakan penolong persalinan yang juga akan dipengaruhi oleh keluarga
suami salah satunya yaitu ibu mertua.
Kentalnya budaya yang melekat dalam kehidupan masyarakat Papua,
maka besar kemungkinan bahwa terlihat perbedaan antara kedudukan suami
dan isteri dalam keluarga. Penelitian yang dilakukan Alwi (2001)
menyebutkan bahwa masih terdapat ibu yang tidak akan melakukan persalinan
ke pelayanan kesehatan sebelum mendapatkan ijin suami. Kepercayaan
terhadap adat setempat juga dapat memperngaruhi keputusan ibu untuk
menggunkan tenaga penolong persalinan. Di Provinsi Papua masih banyak
terdapat masyarakat yang masih sangat patuh terhadap kepercayaan terhadap
leluhur, sehingga apabila melanggar akan diberi hukuman. Hal ini dapat juga
mengakibatkan tingginya ibu melahirkan tanpa menggunakan penolong
persalinan dan persalinan dengan bukan tenaga kesehatan.
91
6.3.4 Tingkat Pendidikan Ibu
Pendidikan mempunyai peran penting dalam perilaku seseorang.
Pendidikan dapat juga mempengaruhi terhadap pengetahuan dan sikap
seseorang terhadap pelayanan kesehatan, termasuk dalam menggunakan
tenaga kesehatan sebagai penolong persalinan. Hasil analisis memperoleh
Pvalue sebesar 0,000 yang artinya terdapat hubungan yang signifikan antara
tingkat pendidikan ibu dengan penggunaan penolong persalinan.
Pendidikan dapat mempengaruhi seseorang dalam mengambil keputusan
untuk menggunakan pelayanan kesehatan. Menurut Andersen and Newman
(2005), pendidikan dapat menunjukkan gaya hidup seseorang dan pola
perilaku seseorang yang berhubungan juga dengan penggunaan pelayanan
kesehatan. Tingkat pendidikan seseorang dapat menunjukkan kesadaran dan
ketertarikan yang lebih terhadap masalah kesehatan. Ibu dengan pendidikan
tinggi akan lebih cenderung untuk menggunakan tenaga kesehatan untuk
penolong persalinannya dibandingkan dengan ibu yang mempunyai
pendidikan rendah atau tanpa pendidikan.
Hasil analisis menunjukkan bahwa ibu dengan tanpa pendidikan lebih
tinggi menggunakan penolong persalinan bukan tenaga kesehatan yaitu
sebesar 83,2% dan melakukan persalinan tanpa penolong persalinan lebih
tinggi dibandingkan dengan ibu lainnya. Sedangkan ibu dengan pendidikan
tinggi lebih banyak menggunakan tenaga kesehatan sebagai penolong
persalinannya yaitu sebesar 100%. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui
bahwa pendidikan ibu sangat mempengaruhi keputusan ibu untuk
92
menggunakan penolong persalinan. Tingkat pendidikan ibu yang rendah akan
mempengaruhi perilaku ibu yang cenderung kearah yang kurang sehat.
Sedangkan ibu yang berpendidikan tinggi memiliki kemungkinan yang lebih
tinggi untuk berperilaku sehat, termasuk dalam mengakses pelayanan
kesehatan. Hal ini ada kaitannya pula dengan pengetahuan yang dimiliki oleh
ibu.
Tingkat pendidikan dapat pula mempengaruhi pengetahuan yang dimiliki
seseorang. Ibu yang mempunyai pengetahuan kurang tentang persalinan yang
aman akan cenderung untuk menggunakan penolong persalinan bukan tenaga
kesehatan atau bahkan melakukan persalinan tanpa penolong persalinan. Hal
ini dikarenakan ibu tidak mengetahui masalah yang dapat ditimbulkan pada
saat melahirkan dan hal yang harus dilakukan untuk mencegah terjadinya
komplikasi saat persalinan. Penelitian yang dilakukan Simanjuntak, dkk
(2012) di Tapanuli Utara, menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara
pengetahuan ibu dengan penggunaan penolong persalinan.
Pengetahuan ibu yang kurang tentang penolong persalinan dapat juga
berpengaruh terhadap sikap ibu terhadap penggunaan penolong persalinan.
Sikap ibu yang memiliki pendidikan tinggi akan berbeda dengan ibu yang
memiliki pendidikan rendah atau tanpa pendidikan terhadap penolong
persalinan oleh tenaga kesehatan. Sikap dapat merubah tanggapan seseorang
terhadap suatu objek, akan tetapi tidak harus memprediksi tindakan tertentu
(Azjen & Fishbein, 1977). Sikap tidak secara langsung dapat mempengaruhi
perilaku ibu untuk menggunakan penolong persalinan. Akan tetapi, ibu yang
93
memiliki sikap yang kurang terhadap tenaga kesehatan akan berpengaruh
terhadap keputusan ibu untuk menggunakan tenaga kesehatan sebagai
penolong persalinannya. Penelitian yang dilakukan Juliwanto (2009) di Aceh,
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang antara sikap ibu dengan
pemilihan penolong persalinan
Sikap dapat terbentuk melalui keyakinan atau kepercayaan seseorang
terhadap sesuatu. Penggunaan penolong persalinan bukan oleh tenaga
kesehatan pada ibu yang berpendidikan rendah atau tanpa pendidikan dapat
dipengaruhi oleh kepercayaan lingkungan setempat ibu terhadap tenaga
kesehatan. Di beberapa daerah Papua masih terdapat ibu yang berpikir bahwa
terjadinya komplikasi saat kehamilan atau persalinan merupakan hukuman
karena melanggar adat setempat (Dumatubun, 2002). Hal ini dapat disebabkan
pula oleh kurangnya informasi-informasi kesehatan yang didapat oleh ibu,
sehingga pengetahuan yang didapatkan oleh ibu hanya didapatkan dari
pengalaman ibu ataupun dari kepercayaan-kepercayaan masyarakat setempat.
Pemberian informasi-informasi kesehatan melalui media komunikasi
umum, dan melalui petugas-petugas kesehatan terkait penolong persalinan
kepada ibu hamil. Berkerjasama dengan lembaga-lembaga masyarakat lain
untuk memberikan pendidikan kesehatan kepada ibu, suami atau pasangan,
dan keluarga sehingga dapat menambah wawasan dan pengtahuan serta dapat
mengubah sikap ibu dan tindakan ibu untuk memilih penolong persalinan.
94
6.3.5 Tingkat Pendidikan Suami/Pasangan
Berdasarkan hasil uji statistik didapat Pvalue sebesar 0,000 yang artinya
terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan suami atau pasangan
dengan pemilihan penolong persalinan. Suami mempunyai peran dalam
pengambilan keputusan untuk penggunaan penolong persalinan. Berdasarkan
data SDKI 2012, menyebutkan bahwa suami yang turut berperan dalam
pengambilan keputusan untuk perencanaan persalinan sebesar (23,9%).
Tingkat pendidikan suami/pasangan yang tinggi akan lebih memilih
tenaga kesehatan sebagai penolong persalinan istrinya. suami/pasangan yang
mempunyai pendidikan rendah akan cenderung memilih tenaga penolong
persalinan oleh bukan tenaga kesehatan. Hal ini dikarenakan pengetahuan
suami/pasangan yang kurang tentang persalinan yang aman. Tingkat
pendidikan yang tinggi akan memudahkan seseorang untuk lebih mudah
menerima informasi, sehingga menambah pengetahuan orang tersebut.
Sebaliknya jika pendidikan seseornag rendah maka akan menghambat
perkembangan sikap seseorang (Mubarak, dkk., 2007). Oleh karena itu, suami
dengan pendidikan yang tinggi akan lebih mendukung untuk menggunakan
tenaga kesehatan sebagai penolong persalinan istrinya, dibandingkan dengan
suami yang mempunyai pendidikan rendah. Hal ini sesuai dengan penelitian
yang Dagne (2010) diketahui bahwa wanita yang mempunyai pasangan
dengan pendidikan tinggi cenderung menggunakan tenaga kesehatan untuk
persalinannya daripada wanita yang mempunyai pasangan tanpa pendidikan
95
Pendidikan yang tinggi yang akan mempengaruhi suami/pasangan untuk
lebih peduli tentang kesehatan dibanding suami/pasangan dengan pedidikan
rendah. Pendidikan suami/pasangan juga dapat memperlihatkan peran
suami/pasangan dalam perawatan kesehatan keluaraga termasuk dalam
perwatan kehamilan istri dan persiapan kelahiran (BPS, 2013). Pendidikan
suami/pasangan yang tinggi akan lebih positif dalam menerima informasi
kesehatan dibanding suami/pasangan yang mempunyai pendidikan rendah
atau tanpa pendidikan. Hal ini akan berdampak pula pada pengetahuan
suami/pasangan tentang kesehatan ibu hamil dan pelayanan persalinan.
Pengetahuan suami tentang pelayanan persalinan, juga dapat berdampak
pada sikap suami terhadap tenaga kesehatan. Pengetahuan yang kurang akan
berdampak pula pada sikap yang kurang. Sikap juga dapat terbantuk melalui
kepercayaan dan keyakinan, ide dan konsep terhadap suatu objek (Mubarak,
dkk., 2007). Kepercayaan dan keyakinan suami terhadap persalinan yang
salah akan berdampak pada dukungan suami terhadap keputusan ibu untuk
memilih penggunaan penolong persalinan. Suami/pasangan yang lebih
percaya pada penolong tradisional atau bukan tenaga kesehatan akan lebih
mendukung ibu untuk menggunakan penolong persalinan bukan tenaga
kesehatan.
Hasil penelitian yang dilakukan Restiyanti (2013) di Toraja Utara,
diketahui bahwa terdapat hubungan antara pendidikan suami atau pasangan
dengan perencanaan persalinan termasuk didalamnya merencanakan
pemilihan penolong persalinan. Langi (2009), ibu yang memiliki suami
96
dengan pendidikan tinggi lebih tinggi menggunakan tenaga kesehatan sebagai
penolong persalinannya dibandingkan dengan ibu yang memiliki pendidikan
rendah.
6.3.6 Status Pekerjaan Ibu
Pekerjaan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
seseorang dalam menggunakan pelayanan kesehatan. Berdasarkan hasil uji
statistik didapatkan nilai Pvalue sebesar 0,000 yang artinya terdapat hubungan
yang signifikan antara pekerjaan ibu dengan pemilihan penolong persalinan.
penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Amano dkk (2012)
Ethiopia tenggara, diketahui bahwa terdapat hubungan antara pekerjaan ibu
dengan pemanfaatan pelayanan persalinan.
Menurut Andersen dan Newman (2005) pekerjaan dapat menunjukkan
gaya hidup dan pandangan seseorang terhadap pelayanan kesehatan.
Pekerjaan ibu yang mendukung akan memudahkan ibu untuk mengakses
pelayanan kesehatan. Lingkungan pekerjaan seseorang dapat menjadikan
seseorang memperoleh pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung
maupun tidak langsung (Mubarak, dkk., 2007). Pekerjaan dapat menjadi
sumber seseorang untuk memperoleh pengalaman. Pengalaman dapat
diperoleh melalui interaksi antara individu dengan lingkungan. Lingkungan
pekerjaan ibu yang tidak mendukung dapat pula berpengaruh terhadap
pengetahuan ibu tentang penggunaan penolong persalinan. Pekerjaan ibu yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah status bekerja pada ibu, baik yang
97
dilakukan dirumah maupun di luar rumah dan memperoleh
penghasilan/imbalan berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa jenis
pekerjaan yang dimiliki ibu sebesar (38,8%) bekerja di bagian pertanian.
Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa lingkungan pekerjaan ibu
dapat berpengaruh terhadap pengetahuan ibu, yang juga dapat mendukung
pembentukkan sikap ibu terhadap penggunaan penolong persalinan. Ibu yang
berada pada lingkungan pekerjaan yang kurang mendukung pendidikan
kesehatan, akan memiliki pengetahuan kesehatan yang kurang. Oleh karena
itu, informasi-informasi kesehatan diperlukan disetiap lingkungan pekerjaan.
Hal ini bertujuan untuk menambah pengetahuan ibu.
6.3.7 Status Pekerjaan Suami
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu yang memiliki suami bekerja,
melakukan persalinan tanpa penolong lebih tinggi yaitu (2,7%) dan
menggunakan bukan tenaga kesehatan sebanyak (73%), hasil statistik didapat
0,014 yang artinya terdapat hubungan antara pekerjaan suami dengan
pemilihan penolong persalinan yang digunakan ibu melahirkan. Hasil
penelitian ini sejalan dengan Langi (2009) diketahui bahwa pekerjaan suami
memiliki hubungan dengan pemilihan penolong persalinan ibu.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa ibu yang menggunakan
penolong persalinan tenaga kesehatan lebih tinggi pada ibu yang mempunyai
suami bekerja yaitu (49%). Hal ini menunjukkan bahwa dukungan suami
dapat mempengaruhi ibu dalam mengambil keputusan untuk menggunakan
98
tenaga kesehatan sebagai penolong persalinan. Hal ini sejalan dengan Dhakal
(2011) bahwa semakin tinggi tingkat keterampilan pekerjaan suami, semakin
tinggi kemungkinan ibu mmelahirkan di institusi pelayanan kesehatan dan
dibantu oleh tenaga kesehatan. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Restiyanti (2013) di Toraja Utara, diketahui bahwa tidak
ada hubungan yang antara pekerjaan suami dengan pemilihan penolong
persalinan.
Ibu yang mempunyai suami bekerja lebih tinggi melakukan kunjungan
antenatal lebih dari 4 kali dibandingkan dengan ibu yang mempunyai suami
tidak bekerja. Ibu yang memiliki suami bekerja mempunyai kesempatan yang
lebih tinggi untuk mengakses pelayanan kesehatan dan menggunakan tenaga
kesehatan sebagai penolong persalinannya. Pekerjaan suami merupakan salah
satu faktor yang dapat menggambarkan angka pendapatan keluarga, dan juga
dapat mendukung akses ibu untuk mendapatkan pelayanan persalinan oleh
tenaga kesehatan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Juliwanto (2009)
diketahui bahwa terdapat hubungan antara pendapatan keluarga dengan
pemilihan penolong persalinan.
Dalam penelitian ini ibu yang memiliki suami tidak bekerja lebih banyak
menggunakan penolong persalinan bukan oleh tenaga kesehatan. Selain itu,
sebanyak (75,7%) suami yang tidak bekerja bertempat tinggal di wilayah
pedesaan dan (51,4%) ibu yang memiliki suami yang tidak bekerja
mempunyai pendidikan rendah. Hal ini menyebabkan ibu yang memiliki
suami atau pasangan yang tidak bekerja kurang mendapatkan dukungan dari
99
suami. Oleh karena itu, perlunya dukungan dari anggota kelurga lain maupun
petugas kesehatan untuk meningkatkan penggunaan tenaga kesehatan sebagai
penolong persalinan.
6.4 Hubungan Faktor Pemungkin Dengan Penggunaan Penolong
Persalinan
Faktor pemungkin merupakan faktor yang dapat memungkinkan ibu
untuk mengakses penolong persalinan. Adapun faktor pemungkin yang dapat
mendukung ibu untuk menggunakan penolong persalinan pada penelitian ini
antara lain tingkat kekayaan dan wilayah tempat tinggal ibu yang akan dijabarkan
sebagai berikut.
6.4.1 Tingkat Kekayaan
Tingkat kekayaan merupakan salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi seseorang untuk mengakses pelayanan kesehatan. Hasil uji
statistik didapatkan Pvalue sebesar 0,000 yang artinya terdapat hubungan
yang signifikan antara tingkat kekayaan dan penggunaan penolong persalinan
oleh ibu melahirkan di Provinsi Papua. Penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan Jat, dkk (2011) di India, diketahui bahwa ibu yang
termasuk dalam kelompok kekayaan menengah atas dan teratas lebih memilih
menggunakan penolong persalinan tenaga kesehatan dibandingkan ibu yang
termasuk dalam kelompok terbawah dan menengah bawah.
Tingkat kekayaan dapat digunakan untuk mengukur status ekonomi
rumah tangga. Dalam SDKI 2012 kekayaan rumah tangga merupakan
100
karakteristik latar belakang rumah tangga yang digunakan sebagai pandekatan
untuk mengukur standar hidup rumah tangga dalam waktu yang panjang.
Pengukuran ini didasarkan pada data karakteristik perumahan dan
kepemilikan barang, jenis sumber air minum, fasilitas toilet dan karakteristik
lain yang terkait dengan status ekonomi rumah tangga. Tingkat kekayaan
dalam SDKI dibagi kedalam lima kuantil yaitu kuantil terbawah, menengah
bawah, menengah, menengah atas dan teratas (BPS, 2013). Hasil analisis
menunjukkan bahwa ibu di Provinsi Papua yang termasuk dalam tingkat
kekayaan terbawah sebesar (43,3%), menengah bawah (14,4%), menengah
(20,5%), menengah atas (12,6%), dan teratas (9,2%).
Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa ibu yang memiliki tingkat
kekayaan tinggi akan penggunaan tenaga kesehatan sebagai penolong
persalinan, seperti ibu dengan tingkat kekayaan menengah menggunakan
tenaga kesehatan sebesar 91,9%, ibu dengan tingkat kekayaan menengah atas
menggunakan tenaga kesehatan sebesar 100%, dan ibu dengan tingkat
kekayaan teratas menggunakan tenaga kesehatan sebagai penolong persalinan
sebesar 90%. Hal ini berbeda dengan ibu yang berada pada tingkat kekayaan
terbawah yang menggunakan tenaga kesehatan hanya sebesar 28,6%, dan
lebih tinggi dalam menggunakan bukan tenaga kesehatan sebagai penolong
persalinannya yaitu sebesar 70,1%.
Berdasarkan hal tersebut diketahui bahwa ibu yang memiliki tingkat
kekayaan atas akan lebih memilih menggunakan tenaga kesehatan sebagai
penolong persalinannya dibandingkan ibu yang berada pada tingkat kekayaan
101
terbawah. Hal ini dapat berhubungan dengan sumberdaya yang dimiliki ibu
memenuhi untuk menggunakan pelayanan kesehatan termasuk penggunaan
tenaga kesehatan. Tingkat kekayaan merupakan salah satu sumberdaya yang
dapat mendukung untuk menggunakan pelayanan kesehatan (Andersen,
1968). Tingkat kekayaan keluarga juga menunjukkan kemampuan ibu untuk
mengeluarkan biaya untuk mengakses persalinan oleh tenaga kesehatan.
Dalam penelitian ini diketahui bahwa ibu yang menggunakan tenaga
kesehatan sebagai penolong persalinannya lebih tinggi pada ibu yang
termasuk dalam tingkat kekayaan menengah sampai ibu yang memiliki
tingkat kekayaan atas. Hal ini menunjukkan bahwa ibu yang memiliki tingkat
kekayaan tinggi lebih mudah dalam mengakses pelayanan persalinan.
6.4.2 Wilayah Tempat Tinggal
Provinsi Papua merupakan salah satu pulau besar di Indonesia.
Namun, jumlah penduduk yang Provinsi Papua jauh lebih sedikit
dibandingkan dengan besar pulau tersebut. Penyebaran penduduk Papua
masih belum merata. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa dari 337 ibu
yang melahirkan lima tahun lalu (2008-2012) ibu yang bertempat tinggal di
pedesaan sebesar (56,4%), dan ibu yang bertempat tinggal di perkotaan
sebesar (43,6%).
Hasil uji statistik menunjukkan Pvalue sebesar 0,000 yang artinya
terdapat hubungan yang signifikan antara wilayah tempat tinggal dengan
penggunaan penolong persalinan. Hasil penelitian ini sejalan dengan
102
penelitian yang dilakukan Dagne (2010) di Ethiopia, diketahui bahwa ibu
yang berada di wilayah pedesaan lebih sedikit menggunakan tenaga kesehatan
sebagai penolong persalinannya dibandingkan dengan ibu yang bertempat
tinggal diwilayah perkotaan.
Berdasarkan penelitian ini wilayah tempat tinggal ibu berhubungan
dengan penggunaan tenaga kesehatan sebagai penolong persalinan. Ibu yang
bertempat tinggal di perkotaan menggunakan tenaga kesahatan sebagai
penolong persalinan lebih tinggi dibandingkan ibu yang bertempat tinggal di
pedesaan. Hal ini dikarenakan ibu yang bertempat tinggal lebih mudah untuk
mengakses pelayanan persalinan. Ketersediaan tenaga kesehatan yang
mendukung untuk melakukan penolongan persalinan lebih banyak tersedia di
wilayah perkotaan dibandingkan wilayah pedesaan.
Berdasarkan data tahun 2013 diketahui bahwa ketersediaan tenaga
kesehatan di Papua antara lain rasio dokter umum di Provinsi Papua yang
telah mencapai rasio provinsi adalah kota Jayapura yaitu (88,0%).
Ketersediaan perawat di provinsi Papua sudah memenuhi capaian Indonesia
tahun 2013 dengan rasio rata-rata nasional sebesar 117,5% per 100.000
penduduk. Jumlah rasio perawat di Papua sudah melebihi yaitu pada tahun
2013 mencapai 166,3% per 100.000 penduduk. Rasio bidan di baru mencapai
58,0% per 100.000 penduduk, rasio ini sudah lebih dari rata-rata rasio bidan
di provinsi Papua yaitu sebesar 55,1% per 100.000 penduduk (Kemenkes RI,
2013). Penyebaran tenaga kesehatan yang belum merata di Papua menjadi
103
penyebab rendahnya capaian penggunaan tenaga kesehatan untuk penolong
persalinannya.
Selain itu, Provinsi Papua merupakan provinsi yang mempunyai
banyak suku juga menjadi salah satu hal yang mempengaruhi perilaku
masyarakat Papua. Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2000, diketahui
bahwa terdapat sebanyak 319 suku di Papua (Papua.go.id). banyaknya suku-
suku di Papua juga mempunyai pengaruh atas perilaku masyarakat Papua
termasuk perilaku kesehatan masyarakat, yang salah satunya adalah perilaku
penggunaan tenaga kesehatan sebagai penolong persalinannya.
Kepercayaan masyarakat terhadap kebiasaan-kebiasaan adat dalam
proses persalinan dapat menyebabkan sulitnya masyarakat untuk
mempercayai tenaga kesehatan dan menggunakannya. Kepercayaan
masyarakat yang masih kental terhadap adat istiadat sekitarnya masih tinggi di
daerah-daerah pedesaan atau pedalaman Papua. Ibu yang bertempat tinggal di
pedesaan mempunyai peluang lebih besar mendapatkan pengaruh dari adat
setempat dalam melakukan persalinan.
Menurut Andersen & Newman (2005) wilayah tempat tinggal
seseorang dapat mendukung untuk mengakses pelayanan kesehatan karena
norma setempat atau adanya nilai komunitas yang mempengaruhi perilaku
individu yang tinggal di lingkungan tersebut. Salah satu pengaruh budaya
terhadap persalinan yaitu persalinan yang dilakukan oleh orang Hatam dan
Sough. Persalinan bagi orang Hatam dan Sough adalah suatu masa krisis.
Persalinan biasanya di dalam pondok (semuka) yang dibangun di belakang
104
rumah. Darah bagi orang Hatam dan Sough bagi ibu yang melahirkan adalah
tidak baik untuk kaum laki-laki, karena bila terkena darah tersebut, maka akan
mengalami kegagalan dalam aktivitas berburu. Oleh karena itu, seorang ibu
yang melahirkan harus terpisah dari rumah induknya. Persalinan juga dibantu
oleh seorang dukun perempuan (Ndaken) yang sudah mempunyai posisi yang
penting dalam masyarakat (Dumatubun, 2002). Berdasarkan hal tersebut
menunjukkan bahwa di beberapa daerah Papua masih kentalnya pengaruh
kepercayaan masyarakat terhadap adat setempat. Kepercayaan tersebut dapat
menimbulkan sikap ibu terhadap penggunaan penolong persalinan.
Selain pengaruh budaya, distribusi tenaga kesehatan dan fasilitas
kesehatan yang belum merata, keterjangkauan daerah tempat tinggal
masyarakat juga menjadi penyebab rendahnya akses masyarakat terhadap
pelayanan kesehatan. Rendahnya akses ini juga dapat disebabkan oleh kurang
tersedianya pelayanan kesehatan di daerah-daerah tertentu di Provinsi Papua,
seperti halnya pada daerah terpencil dan perbatasan Papua. Provinsi Papua
merupakan provinsi yang berbatasan langsung dengan Papua New Guinea.
Daerah perbatasan tersebut berbukit dan bergunung, sehingga daerah-daerah
yang berada diperbatasan tersebut masih merupakan daerah tertinggal.
Sulitnya akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan disebabkan daerah
yang berjauhan dan transportasi yang sulit didapat. Hal ini menjadikan
penyebab sulitnya meningkatkan pelayanan kesehatan di masyarakat. Hal ini
berbeda dengan ibu yang bertempat tinggal di wilayah pekotaan. Meski sarana
prasarana belum mencapai yang ditargetkan pemerintah, akan tetapi ibu yang
105
bertempat tinggal di pekotaan memiliki peluang yang lebih tinggi untuk
dengan mudah mengakses pelayanan kesehatan dibandingkan ibu yang berada
diwilayah pedesaan atau bahkan di pedalaman.
Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa ibu yang tinggal di
perkotaan lebih banyak menggunakan tenaga kesehatan dibandingkan ibu
yang tinggal di pedesaan. Akan tetapi, meski penggunaan tenaga kesehatan
tinggi pada ibu yang bertempat tinggal di perkotaan, namun pada hasil analisis
diketahui bahwa persentase ibu yang melakukan persalinan tanpa penolong
lebih tinggi pada ibu yang berada perkotaan sebesar (2,1%). Hal ini dapat
disebabkan oleh perbedaan jumlah populasi ibu yang bertempat tinggal di
pedesaan jauh lebih banyak dibandingkan ibu yang bertempat tinggal
diwilayah perkotaan.
Masih adanya ibu yang bertempat tinggal diperkotaan yang
melahirkan tanpa penolong juga dapat dipengaruhi oleh pendidikan ibu yang
masih rendah, hasil analisis menunjukkan ibu diperkotaan yang yang
termasuk dalam tingkat kekayaan terbawah sebesar (23,4%) dan ibu masih
memiliki pendidikan dasar sebesar (11,7%) dan (9,6%) ibu mempunyai suami
tidak bekerja dan sebesar (7,4%) ibu tidak melakukan kunjungan antenatal.
Beberapa hal tersebut dapat menjadi penyebab ibu yang berada di perkotaan
melahirkan tanpa menggunakan persalinan. Oleh karena itu, kerjasama antara
pemerintah daerah dan pemerintah pusat serta lembaga-lembaga masyarakat
lain sangat diperlukan untuk memberikan informasi kesehatan pada ibu, suami
atau pasangan dan juga pada keluarga serta masyarakat sekitar serta
106
peningkatan penyediaan sarana dan prasarana untuk mengakses tenaga
kesehatan bagi masyarakat desa dan pedalaman.
6.5 Hubungan Faktor Kebutuhan Dengan Penggunaan Penolong Persalinan
6.5.1 Komplikasi Kehamilan
Hasil analisis menunjukkan bahwa ibu yang pernah mengalami
komplikasi kehamilan di Provinsi Papua sebesar (10,1%) dan ibu yang tidak
pernah mengalami komplikasi kehamilan sebesar (89,9%). Hasil
menunjukkan bahwa ibu yang pernah mengalami komplikasi kehamilan lebih
tinggi melakukan persalinan tanpa penolong yaitu (2,9%), ibu yang
melahirkan menggunakan penolong persalinan bukan tenaga kesehatan lebih
tinggi pada ibu yang pernah mengalami komplikasi kehamilan yaitu (58,8%).
Hasil uji statistik didapatkan Pvalue sebesar 0,559 yang artinya tidak terdapat
hubungan yang signifikan antara komplikasi kehamilan dengan penggunaan
penolong persalinan.
Hasil analisis ini menunjukkan bahwa jumlah ibu yang menggunakan
bukan tenaga kesehatan lebih tinggi pada kelompok ibu yang tidak pernah
mengalami komplikasi kehamilan. Hal ini dapat disebabkan karena jumlah
perbedaan populasi yang terlalu besar antara ibu yang pernah mengalami
komplikasi dengan ibu yang tidak pernah mengalami. Perbedaan ini dapat
disebabkan juga oleh ibu yang tidak menjawab pada saat proses wawancara
atau dapat juga oleh banyaknya data yang missing. Dari hasil analisis
didapatkan data yang missing sebanyak 578 dari jumlah populasi 920 ibu.
107
Meskipun dengan jumlah data missing sejumlah diatas, akan tetapi penelitian
ini sudah memenuhi syarat kekuatan uji 80%.
Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa ibu tidak terdapat
hubungan antara komplikasi kehamilan dan penolong persalinan, hal ini
dikarenakan penggunaan penolong persalinan bukan tenaga kesehatan tinggi
pada ibu yang pernah mengalami komplikasi kehamilan maupun yang tidak
pernah mengalami komplikasi kehamilan. Berdasarkan hasil analisis juga
menunjukkan bahwa ibu yang tidak pernah mengalami komplikasi kehamilan
lebih tinggi menggunakan tenaga kesehatan sebesar (47,2%). Hasil penelitian
ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Auliasih, dkk (2013)
yang dilakukan di Sulawesi Selatan, yaitu ibu yang mempunyai komplikasi
kehamilan dari menggunakan dukun beranak pada kelahiran sebelumnya
menjadi pada tenaga kesehatan untuk penolong persalinan saat ini.
Menurut McCarthy and Deborah (1992) komplikasi kehamilan
merupakan penyebab langsung terjadinya kematian ibu. Oleh karena itu,
bantuan tenaga kesehatan pada saat ibu melahirkan merupakan hal yang
sangat penting. Akan tetapi, masih banyak ibu yang tetap menggunakan
penolong bukan tenaga kesehatan bahkan tidak menggunakan penolong
persalinan. Hal ini dapat disebabkan oleh pengetahuan dan sikap ibu yang
kurang terhadap pelayanan persalinan, kurangnya pengetahuan ibu ini dapat
terjadi karena kurangnya informasi kesehatan yang didapatkan oleh ibu.
Informasi tentang persalinan bagi ibu yang berada di pedesaan atau daerah
pedalaman dapat berupa informasi yang dipengaruhi oleh adat setempat dan
108
telah dilakukan secara turun temurun, dan berpengaruh terhadap persepsi ibu
yang menganggap komplikasi kehamilan merupakan hukuman karena ibu
melanggar adat setempat. Bagi ibu yang tidak pernah mengalami komplikasi
kehamilan dan tidak menggunakan tenaga kesehatan dapat disebabkan oleh
pengalaman ibu pada saat melahirkan anak-anak sebelumnya.
Paparan informasi kesehatan mengenai persalinan sangatlah penting
untuk menarik minat ibu dalam menggunakan tenaga kesehatan sebagai
penolong persalinan. Selain itu, upaya pemenuhan sarana dan prasarana untuk
mengakses pelayanan persalinan sangat dibutuhkan, karena dapat
memudahkan ibu untuk mengakses tenaga kesehatan. Pelayanan yang baik
juga dapat meningkatkan kepercayaan ibu untuk menggunakan tenaga
kesehatan sebagai penolong persalinannya.
6.5.2 Kunjungan Pelayanan Antenatal
Pelayanan antenatal merupakan salah satu kebutuhan pokok yang
harus dipenuhi oleh ibu hamil. Dalam pelayanan antenatal ini selain
memeriksakan kehamilan ibu, juga dilakukan konseling dan perencanaan
persalinan. Penyuluhan kesehatan yang diberikan dapat menambah
pengetahuan ibu terhadap penolong persalinan. Kunjungan antenatal
dianjurkan paling sedikit dilakukan sebanyak 4 kali.
Hasil uji statistik didapat Pvalue sebesar 0,000 yang artinya terdapat
hubungan yang signifikan antara kunjungan pelayanan antenatal dengan
penggunaan penolong persalinan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang
109
dilakukan oleh Auliasih,dkk (2013), Amano, dkk (2012), diketahui bahwa
terdapat hubungan antara kunjungan pelayanan antenatal dengan penggunaan
penolong persalinan.
Dalam penelitian ini diketahui bahwa ibu yang melakukan kunjungan
antenatal 4 kali atau lebih, lebih memilih menggunakan tenaga kesehatan oleh
tenaga kesehatan dibandingkan dengan ibu yang tidak melakukan kunjungan
antenatal. Hal ini dikarenakan pada saat ibu melakukan kunjungan antenatal,
ibu lebih mengetahui keadaan kehamilannya dan mengetahui kebutuhan yang
diperlukan ibu pada saat hamil dan melahirkan. Pelayanan antenatal dapat
memberikan kesempatan bagi petugas kesehatan untuk memberikan informasi
secara spesifik tentang masalah kehamilannya, yang dapat juga
mempengaruhi ibu membuat keputusan untuk persalinannya (Lelei,
dkk.,2013). Ibu yang melakukan kunjungan antenatal memiliki kesempatan
untuk menerima pendidikan kesehatan tentang kehamilan dan komplikasi
kehamilan. Selain itu, mereka juga dapat menerima informasi tentang manfaat
melakukan persalinan oleh tenaga kesehatan dan mampu merencanakan
persalinan yang aman, sehingga ibu yang melakukan kunjungan antenatal
lebih cenderung memilih tenaga kesehatan sebagai penolong persalinan.
Informasi-informasi kesehatan yang didapatkan ibu pada saat
melakukan kunjungan pelayanan antenatal memberikan pengaruh kepada ibu
untuk memilih menggunakan tenaga kesehatan pada saat melakukan
kunjungan antenatal. Oleh karena itu, peningkatan penyediaan fasilitas
pelayanan antenatal sangatlah dibutuhkan untuk meningkatkan penggunaan
110
tenaga kesehatan. Ketersediaan tenaga kesehatan yang terampil dalam
melakukan pemeriksaan kehamilan dan dalam melakukan konseling atau
penyuluhan untuk pendidikan kesehatan sangatlah diperlukan, untuk
meningkatkan kinerja pelayanan dan meningkatkan kepercayaan masyarakat
terhadap pelayanan antenatal dan tenaga kesehatan.
6.6 Hubungan Faktor Predisiposisi, Faktor Pemungkin, dan Faktor Kebutuhan
Terhadap Penggunaan Penolong Persalinan
Faktor predisposisi merupakan kecenderungan seseorang dalam
memanfaatkan pelayanan kesehatan. Faktor ini berada dalam setiap individu dan
berbeda-beda setiap individu, sehingga faktor ini termasuk dalam faktor yang
sulit atau tidak dapat diubah (Andersen, 1995). Faktor predisposisi terdiri dari
tiga komponen yang terdiri dari demografi, struktur sosial, dan kepercayaan
kesehatan. Dalam penelitian ini yang termasuk variabel yang termasuk kedalam
kategori demografi anatara lain umur ibu, paritas, status perkawinan, pendidikan
ibu, pendidikan suami, pekerjaan ibu dan pekerjaan suami.
Faktor pemungkin merupakan keadaan yang memungkinkan seseorang untuk
menggunakan pelayanan kesehatan (Andersen & Newman, 2005). Faktor
pemungkin ini didukung oleh adanya sumberdaya dari diri seseorang tersebut
dan sumberdaya dari lingkungan untuk mengakses pelayanan kesehatan. Adapun
yang termasuk kedalam faktor pemungkin dalam adalah tingkat kekayaan ibu
dan wilayah tempat tinggal ibu. Faktor lain yang mempengaruhi seseorang untuk
menggunakan pelayanan kesehatan adalah faktor kebutuhan. Faktor kebutuhan
111
merupakan faktor yang dapat langsung mempengaruhi seseorang untuk mencari
pelayanan kesehatan. Dalam penelitian ini yang termasuk dalam faktor
kebutuhan adalah komplikasi kehamilan dan kunjungan pelayanan antenatal.
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa faktor predisposisi yang
berhubungan dengan penggunaan tenaga kesehatan yaitu faktor demografi yang
berhubungan adalah paritas. Paritas dapat mempengaruhi ibu untuk
menggunakan tenaga kesehatan sebagai penolong persalinan. Hal ini dipengaruhi
oleh pengalaman ibu dalam melahirkan, pengalam ibu ini dapat mendukung ibu
untuk menggunakan penolong persalinan baik tenaga kesehatan maupun bukan
tenaga kesehatan atau tanpa persalinan. Hal ini tergantung dari pengalaman baik
atau buruk yang ibu alami.
Variabel Struktur sosial yang berhubungan antara lain tingkat pendidikan ibu
dan tingkat pendidikan suami, pekerjaan ibu dan pekerjaan suami. Pendidikan
dan pekerjaan seseorang dapat menunjukkan status seseorang dalam komunitas,
dan menunjukkan gaya hidup dan pola perilaku seseorang yang berhubungan
pula dengan penggunaan pelayanan kesehatan (Andersen & Newman, 2005).
Pendidikan ibu dan pendidikan suami atau pasangan dapat berpengaruh terhadap
pengetahuan dan sikap ibu dan suami/pasangan terhadap penggunaan penolong
persalinan. Pekerjaan ibu dan suami/pasangan memiliki peran penting dalam
penggunaan pelayanan kesehatan. hal ini berhubungan dengan kemampuan ibu
untuk menggunakan penolong persalinan.
Berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa faktor pemungkin
yang berhubungan dengan penggunaan penolong persalinan antara lain yaitu
112
tingkat kekayaan dan wilayah tempat tinggal ibu. Dua hal ini dapat
mempengaruhi ibu dalam mengakses tenaga kesehatan. tingkat kekayaan dan
wilayah tempat tinggal ibu yang tidak mendukung akan menyebabkan ibu untuk
menggunakan penolong persalinan bukan tenaga kesehatan atau melakukan
persalinan tanpa penolong. Wilayah tempat tinggal mungkin berhubungan
dengan norma yang ada untuk menggunakan pelayanan kesehatan (Andersen &
Newman, 2005).
Adapun faktor kebutuhan yang berhubungan dengan penggunaan penolong
persalinan yaitu kunjungan pelayanan antenatal. pelayanan antenatal ini dapat
mempengaruhi ibu untuk menggunakan tenaga kesehatan sebagai penolong
persalinannya hal ini dimungkinkan karena ibu yang melakukan kunjungan
antenatal lebih mengetahui kondisi kehamilan serta mengetahui perencanaan
persalinan yang aman.
Berdasarkan Andersen (1968) menunjukkan bahwa variabel predisposisi,
pemungkin dan kebutuhan dalam penggunaan tenaga kesehatan saling
berhubungan satu sama lain. Faktor predisposisi, pemungkin dan kebutuhan
dibutuhkan agar ibu dapat mengakses tenaga kesehatan sebagai penolong
persalinan. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa faktor-faktor yang
berhubungan dengan penggunaan penolong persalinan oleh ibu melahirkan di
Provinsi Papua antara lain faktor predisposisi yaitu paritas, pendidikan ibu,
pendidikan suami/pasangan, pekerjaan ibu, pekerjaan suami/pasangan; faktor
pemungkin yaitu tingkat kekayaan, wilayah tempat tinggal; dan faktor kebutuhan
yaitu kunjungan pelayanan antenatal. Faktor-faktor tersebut mempunyai
113
hubungan yang signifikan dalam penggunaan penolong persalinan. Berdasarkan
hal tersebut menunjukkan bahwa faktor perdisposisi, pemungkin dan kebutuhan
dapat mendukung ibu untuk menggunakan penolong persalinan.
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
114
7.1 Kesimpulan
1) Penggunaan tenaga kesehatan sebagai penolong persalinan masih rendah
digunakan ibu melahirkan di Provinsi Papua dibandingkan penggunaan
dengan bukan tenaga kesehatan, selain itu masih terdapat ibu yang melahirkan
tanpa menggunakan penolong persalinan.
2) Faktor predisposisi ibu melahirkan di Provinsi Papua untuk menggunakan
penolong persalinan:
a. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara umur ibu dengan
penggunaan penolong persalinan di Provinsi Papua pada tahun 2012.
b. Terdapat hubungan yang signifikan antara paritas ibu dengan penggunaan
penolong persalinan di Provinsi Papua pada tahun 2012.
c. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara status perkawinan ibu
dengan penggunaan penolong persalinan di Provinsi Papua pada tahun
2012.
d. Terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan ibu dengan
penggunaan penolong persalinan di Provinsi Papua pada tahun 2012.
e. Terdapat hubungan yang signifikan antara penggunaan penolong
persalinan dengan penggunaan penolong persalinan.
f. Terdapat hubungan yang signifikan antara status pekerjaan ibu dengan
penggunaan penolong persalinan di Provinsi Papua pada tahun 2012.
115
g. Terdapat hubungan yang signifikan antara pekerjaan suami/pasangan
dengan penggunaan penolong persalinan di Provinsi Papua pada tahun
2012.
3) Faktor pemungkin ibu melahirkan di Provinsi Papua untuk menggunakan
penolong persalinan:
a. Terdapat hubungan yangg signifikan antara tingkat kekayaan ibu
dengan penggunaan penolong persalinan di Provinsi Papua pada tahun
2012.
b. Terdapat hubungan yang signifikan antara wilayah tempat tinggal
dengan penggunaan penolong persalinan di Provinsi Papua pada tahun
2012.
4) Faktor kebutuhan ibu melahirkan di Provinsi Papua untuk menggunakan
penolong persalinan:
a. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara komplikasi kehamilan
dengan penggunaan penolong persalinan di Provinsi Papua pada tahun
2012.
b. Terdapat hubungan yang signifikan antara kunjungan pelayanan
antenatal dengan penggunaan penolong persalinan di Provinsi Papua
pada tahun 2012.
7.2 Saran
A. Bagi Dinas Kesehatan Provinsi Papua
116
1. Meningkatkan kemitraan antara bidan dan penolong persalinan tradisional
atau dukun, sebagai salah satu usaha pencegahan komplikasi dan agar
meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap tenaga kesehatan.
2. Melakukan pelatihan kepada penolong persalinan tradisional atau dukun
tentang persalinan yang aman dan agar terampil melakukan penolong
persalinan yang aman.
3. Meningkatkan pelayanan kesehatan dasar melalui Poskesdes dan
Posyandu terutama diwilayah pedesaan, agar masyarakat dapat dengan
mudah mengakses pelayanan kesehatan dasar.
4. Melakukan kemitraan dengan lembaga non pemerintah untuk mendukung
keberhasilan pencapaian penolong persalinan oleh tenaga kesehatan, yang
dapat dilakukan melalui pendidikan kesehatan yang bertujuan untuk
meningkatkan pengetahuan dan persepsi masyarakat terhadap tenaga
kesehatan.
B. Bagi Peneliti lain
Peneliti lain yang akan melakukan penelitian lanjutan mengenai
penggunaan penolong persalinan dapat melanjutkan menggunakan analisis
117
multivariat sehingga dapat melihat faktor yang paling mempengaruhi terhadap
penggunaan penolong persalinan, dan dapat pula dengan menggunakan
penelitian kualitatif sehingga dapat menggali lebih dalam terkait faktor yang
mendukung penggunaan penolong persalinan pada ibu yang melahirkan.
118
DAFTAR PUSTAKA
Adewemimo, Adeyinka W., Sia E. Msuya, Christine T. Olaniyan, Adetoro A.Adegoke.2013.Utilisation of skilled birth attendance in Northern Nigeria: Across-sectional survey. Midwifery 30 (2014) e7–e13
Alwi, Qomariah., Lannywati Ghani & Delima.2001.Budaya persalinan SukuAmungme dan Suku Kamoro, Papua.Universa Medicina Vol.23 No.4 hal115-156.
Amalia, L.2011. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ibu dalam Pemilihan PenolongPersalinan. Artikel-Jurnal Gorontalo: Universitas Negeri Gorontalo.
Amano, Abdella., Abebaw Gebeyehu & Zelalem Birhanu.2012.Institutional deliveryservice utilization in Munisa Woreda, South East Ethiopia: a communitybased cross-sectional study. BMC Pregnancy and Childbirth 2012,12 (105).
Andersen, Ronald.1968. A Behavioral Model Of Families' Use Of Health Services.Research Series No. 25. Chicago: Center For Health Administation Studies,University Of Chicago
Andersen, Ronald & John F. Newman.2005. Societal and Individual Determinants ofMedical Care Utilization in the United States. The Milbank Quarterly, Vol.83, No. 4 (pp. 1–28), reprinted from The Milbank Memorial Fund Quarterly:Health and Society, Vol. 51, No. 1 (pp. 95–124)
Andersen, Ronald Max.1995. Revisiting the Behavioral Model and access to MedicalCare: Does It Matter?*. Journal of Health and Social Behavioral Vol. 36(March), 1-10.
Andersen, Ronald Max.2008.National Health Surveys and the Behavioral Model ofHealth Services Use. Medical Care, Vol. 46, No 7
Anwar I, dkk.2008. Inequity in maternal health-care services: evidence from home-based skilled-birth-attendant programmes in Bangladesh. Bulletin of theWorld Health Organization, 252–259.
Arung, Nensi Debora; Asiah Hamzah & Sukri Palutturi.2013.Proses PengambilanKeputusan Ibu Hamil Terhadap Pelayanan Persalinan Di Puskesmas Lempo
119
Toraja Utara. Artikel Penelitian UnHas.Sulawesi tengah: UniversitasHasanuddin.
Assfaw, Yalem Tsegay.2010.Determinants of Antenatal Care, Institutional Deliveryand Skilled Birth Attendant Utilization in Samre Saharti District, Tigray,Ethiopia. Master Thesis in Public Health. Umeå International School of PublicHealth
Azwar, Azrul.2010.Pengantar Administrasi Kesehatan Edisi Ketiga.Tangerang:Binarupa Aksara Publisher
BAPPENAS.2011.Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium DiIndonesia 2011. Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
Bashar, S. M. Abul.2012. Determinants Of The Use Of Skilled Birth Attendants AtDelivery By Pregnant Women In Bangladesh. Umeå University: Sweden
BPS.2010.Peraturan Kepala Pusat Statistik Nomor 37 Tahun 2010 TentangKlasifikasi Perkotaan dan Perdesaan. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
BPS.2008. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2007. Jakarta: BPS.
BPS.2013. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012. Jakarta: BPS.
Buyandaya, Tahir Abdullah & Syamsiar S.Russeng.2012. Faktor DeterminanPemilihan Tenaga Penolong Persalinan Di Wilayah Kerja Puskesmas PalasaKabupaten Parigi Moutong Tahun 2012.Jurnal Pascasarjana UnHas.Sulawesitengah: Universitas Hasanuddin.
Chakraborty1, Nitai, M. Ataharul Islam, Rafiqul Islam Chowdhury2, WasimulBari1and Halida Hanum Akhter.2003. Determinants of the use of maternalhealth services in rural Bangladesh. Health Promotion International Vol. 18.No. 4
Choulagai, Bishnu, Sharad Onta, Narayan Subedi, Suresh Mehata, Gajananda PBhandari, Amod Poudyal, Binjwala Shrestha, Matthews Mathai, Max Petzold,& Alexandra Krettek.2013.Barriers To Using Skilled Birth Attendants’Services In Mid- And Far-Western Nepal: A Cross-Sectional Study. BMCInternational Health and Human Rights 2013,13:49
Dagne, Eyerusalem.2010.Role Of Socio-Demographic Factors On Utilization OfMaternal Health Care Services In Ethiopia.UMEA University
120
Dinkes Papua.2012.Profil Kesehatan Papua 2012. Papua: Dinas Kesehatan.
Dinkes Papua.2013.Data dan Informasi Kesehatan Tahun 2013. Papua: DinasKesehatan.
Dirjen Bina Gizi dan KIA.2011.Pedoman Pelaksaan Kegiatan: Komunikasi,Informasi, Edukasi (KIE) Kesehatan Reproduksi Untuk Petugas Kesehatan DiTingkat pelayanan dasar. Jakarta: kementerian kesehatan RI.
Dumatubun, A.E.2002. Kebudayaan, Kesehatan Orang Papua Dalam PerspektifAntropologi Kesehatan.Jurnal Antropology Vol. 1 No.1
Farrer, H.2001.Perawatan Maternitas. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran.
Fitriani, S.2011.Promosi Kesehatan. Jogyakarta: Graha Ilmu.
Gallo, Linda C., Wendy M. Troxel, Karen A. Matthews & Lewis H. Kuller.2003.Marital Status and Quality in Middle-Aged Women: Associations With Levelsand Trajectories of Cardiovascular Risk Factors. Health Psychology Vol. 22,No.5, 453– 463
Goo, manuel Goubo.2012."Memahami Masalah Perempuan Papua Dalam BudayaDan Kesehatan".Artikel. http://majalahselangkah.com/old/memahami-masalah-perempuan-papua-dalam-budaya-dan-kesehatan/ diakses pada 22 Juli2015
Holst, Christine.2014.Use of skilled birth attendants in Nepal, A study of influencingfactors, structural barriers and government strategies andinterventions.Thesis.Olso, Norway
Jat, Tej Ram, Nawi Ng & Miguel San Sebastian.2011. Factors affecting the use ofmaternal healthservices in Madhya Pradesh state of India:a multilevelanalysis. International Journal for Equity in Health,1-11.
Jekti, Rabea Pangerti & D. Mutiatikum.2011. Hubungan Antara KepatuhanAntenatal Care Dengan Pemilihan Penolong Persalinan.Jurnal KesehatanReproduksi Vol.1 No2, 84-91
Juliwanto, E.2009.Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keputusan MmemilihPenolong Persalinan Pada Ibu Hamil Di Kecamatan Babul RahmahKabupaten Aceh Tenggara Tahun 2008. Thesis.Medan: Sekolah PascasarjanaUniversitas Sumatera Utara.
121
Kanini, Caroline Mumbe.2012.Utilization Of Skilled Birth Attendants Among WomenOf Reproductive Age In Central District, Kitui County.Thesis. ReproductiveHealth Of Kenyatta University
Kemendiknas RI.2008.Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun2008 Tentang Wajib Belajar. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun2008, No. 90.Sekertariat Negara.Jakarta.
Kemenkes RI.2011.Buku Pedoman Pengenalan Tanda Bahaya Pada Kehamilan,Persalinan Dan Nifas Bagi Kader. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Kemenkes RI.2012.Pedoman Pelayanan Antenatal Terpadu. Jakarta: KementerianKesehatan RI.
Kemenkes RI.2013.Ringkasan Eksklusif:Data dan Informasi Provinsi Papua .Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Kemenkes RI.2014.InfoDatin: Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI,Situasi Bidan Di Indonesia. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Lizárraga, María L. Sanz de Acedo, María T. Sanz de Acedo Baquedano & y MaríaCardelle-Elawar.2007. Factors that affect decision making: gender and agedifferences. International Journal of Psychology and Psychological Therapy,Vol. 7, No. 3 (2007) pp. 381-391
Leah, B. C.2013.Barrier To Utilization Of Focused Antenatal Care Among PregnantWomen In Ntchisi District In Malawi. Tampere: University of Tampere.
McCarthy, James & Deborah Maine.1992.A Framework for Analyzing theDeterminants of Maternal Mortality. Studies in Family Planning, Vol. 23,No. 1 (1992), pp. 23-33
Menkokesra.2010.Kesehatan Indonesia Timur Tertinggal. Jakarta: KementeriianKoordinasi Bidang Kesejahteraan Rakyat.
Michelle Hynes, O. S.2012.A Study of Refugee Maternal Mortality in 10 Countries,2008—2010. International Perspectives on Sexual and Reproductive Health,Vol. 38, No. 4 (DECEMBER 2012), pp. 205-213, 2.
Mubarak, Wahit Iqbal, dkk.2007.Promosi Kesehatan:Sebuah Pengantar ProsesBelajar Mengajar Dalam Pendidikan.Yogyakarta:Graha Ilmu
Notoatmodjo, S.2007.Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta.
122
Notoatmodjo, S.2010.Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Papua.2005."Suku Bangsa Asli Papua Menurut Abjad". darihttps://www.papua.go.id/bps/left%20frame%20web%202005/penduduk/suku%20bangsa%20asli%20papua%20menurut%20urutan%20abjad.htm diaksespada 13 Juli 2015
Prawirohadrjo, Sarwono.2009.Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternaldan Neonatal. Jakarta: PT Bina Pustaka.
Riskesdas.2010.Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Kementerian Kesehatan.
Ritonga, Fatimah Jahra.2013.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ibu Hamil DalamMelakukan Pemeriksaan Antenatal Di Desa Tanjung Rejo Kec. Percut SeiTuan Kab.Deli Serdang.Jurnal Keperawatan Klinis Universitas SumateraUtara Vol. 4, No. 1 (2012)
Republik Indonesia.2003.Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang SistemPendidikan Nasional.Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2003, No.78.Sekretariat Negara.Jakarta.
Rosenstock, Irwin M., Victor J. Strecher, Marshall H. Becker.1988.Social LearningTheory and the Health Belief Model.Health Education Quarterly Vol. 15 No.2(pp: 175-183)
Salam, Abdul, S ASiddiqui.2006.Socioeconomic Inequalities In Use Of DeliveryCare Services In India. J Obstet Gynecol India Vol. 56, No. 2, 123-127
Sari, T. W.2010.Analisis Spasial Tempat Pertolongan Persalinan Di KelurahanSendangmulyo Semarang Tahun 2010. Jurnal Kesehatan Reproduksi: TheIndonesian Journal of Reproductive Health, 113-124.
Sastrawinata, U. S.2009.Optimalisasi persalinan Non-institusional UntukMenurunkan Angka Kematian Ibu. MKB, volume 41 No.4, 212-219.
Simanjuntak, Harto P., Heru Santosa, Maya Fitria.2012.Faktor-Faktor YangBerhubungan Dengan Pemilihan Penolong Persalinan Di Wilayah KerjaPuskesmas Sipahutar Kecamatan Sipahutar Kabupaten Tapanuli UtaraTahun 2012. Jurnal Gizi, Kesehatan Reproduksi dan Epidemiologi USU Vol.2, No. 3 (2013)
Tarekegn, Shegaw Mulu, Leslie Sue Lieberman & Vincentas Giedraitis.2014.Determinants of maternal health service utilization in Ethiopia: analysis of
123
the 2011 Ethiopian Demographic and Health Survey. BMC Pregnancy andChildbirth 2014, 14:161.
Titus, Lelei., Kiprop Danie, Elizabeth Barasa, Chepngetich Margaret.2013. FactorsAffecting Skilled Birth Attendant Utilization In Kibra Constituency,RailaVillage (Nairobi, Kenya).University Of Nairobi
WHO.2013.Cause Specific Mortality and Morbidity: Maternal Mortality Ratio.Dipetik March 17, 2014, dari World Health Organization:http://apps.who.int/gho/data/view.main.1370?lang=en
Yenita, Sri.2011.Faktor Determinan Pemilihan Tenaga Penolong Persalinan DiWilayah Kerja Puskesmas Desa Baru Kabupaten Pasaman Barat Tahun2011.Thesis.Padang:Universitas Andalusia Padang
124
Frequencies
Statistics
jenis penolong 1
N Valid 693
Missing 0
jenis penolong 1
Frequency Percent
Valid
Percent
Cumulative
Percent
Valid tanpa penolong 13 1.9 1.9 1.9
bukan tenaga kesehatan 357 51.5 51.5 53.4
tenaga kesehatan 323 46.6 46.6 100.0
Total 693 100.0 100.0
Frequenciesumur
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid <20tahun 43 6.2 6.2 6.2
20-34 tahun 464 67.0 67.0 73.2
35-49 tahun 186 26.8 26.8 100.0
Total 693 100.0 100.0
Crosstabsumur * jenis penolong 1 Crosstabulation
jenis penolong 1
Total
tanpa
penolong
bukan tenaga
kesehatan
tenaga
kesehatan
umur
<20tahun Count 0 27 16 43
% within umur .0% 62.8% 37.2% 100.0%
20-34 tahun Count 10 228 226 464
% within umur 2.2% 49.1% 48.7% 100.0%
35-49 tahun Count 3 102 81 186
% within umur 1.6% 54.8% 43.5% 100.0%
Total Count 13 357 323 693
% within umur 1.9% 51.5% 46.6% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Pearson Chi-Square 4.664a 4 .324
Likelihood Ratio 5.458 4 .243
Linear-by-Linear Association .068 1 .794
N of Valid Cases 693
125
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Pearson Chi-Square 4.664a 4 .324
Likelihood Ratio 5.458 4 .243
Linear-by-Linear Association .068 1 .794
a. 2 cells (22,2%) have expected count less than 5. The minimum expected
count is ,81.
WEIGHT BY parity.
FrequenciesParity
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 6+ 41 4.3 4.3 4.3
4-5 134 14.1 14.1 18.4
2-3 414 43.4 43.4 61.8
1 364 38.2 38.2 100.0
Total 953 100.0 100.0
Crosstabsparity * jenis penolong 1 Crosstabulation
jenis penolong 1
Total
tanpa
penolong
bukan tenaga
kesehatan
tenaga
kesehatan
parity 6+ Count 0 28 13 41
% within parity .0% 68.3% 31.7% 100.0%
4-5 Count 6 72 56 134
% within parity 4.5% 53.7% 41.8% 100.0%
2-3 Count 6 222 186 414
% within parity 1.4% 53.6% 44.9% 100.0%
1 Count 4 148 212 364
% within parity 1.1% 40.7% 58.2% 100.0%
Total Count 16 470 467 953
% within parity 1.7% 49.3% 49.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Pearson Chi-Square 30.080a 6 .000
Likelihood Ratio 28.982 6 .000
Linear-by-Linear Association 21.217 1 .000
N of Valid Cases 953
126a. 2 cells (16,7%) have expected count less than 5. The minimum expected
count is ,69.
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Pearson Chi-Square 32.757a 8 .000
Likelihood Ratio 42.629 8 .000
Linear-by-Linear Association 11.092 1 .001
N of Valid Cases 400
a. 6 cells (40,0%) have expected count less than 5. The minimum expected
count is ,09.
pernikahan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Married 294 73.5 73.5 73.5
Living with partner 60 15.0 15.0 88.5
Widowed 21 5.2 5.2 93.8
Divorced 20 5.0 5.0 98.8
No longer living
together/separated5 1.2 1.2 100.0
Total 400 100.0 100.0
pernikahan * jenis penolong 1 Crosstabulation
jenis penolong 1
Total
tanpa
penolong
bukan
tenaga
kesehatan
tenaga
kesehatan
Pernikahan Married Count 5 154 135 294
% within
pernikahan1.7% 52.4% 45.9% 100.0%
Living with
partner
Count 2 32 26 60
% within
pernikahan3.3% 53.3% 43.3% 100.0%
Widowed Count 0 15 6 21
% within
pernikahan.0% 71.4% 28.6% 100.0%
Divorced Count 0 0 20 20
% within
pernikahan.0% .0% 100.0% 100.0%
No longer
living
together/se
parated
Count 0 0 5 5
% within
pernikahan .0% .0% 100.0% 100.0%
Total Count 7 201 192 400
% within
pernikahan1.8% 50.2% 48.0% 100.0%
127
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Pearson Chi-Square 1.338E2a 6 .000
Likelihood Ratio 147.605 6 .000
Linear-by-Linear Association 110.332 1 .000
N of Valid Cases 834
a. 3 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected
count is 1,26.
Frequencies
didiksuami
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid tanpa pendidikan 75 9.0 9.0 9.0
pendidikan dasar 122 14.6 14.6 23.6
pendidikan menengah 501 60.1 60.1 83.7
pendidikan atas 136 16.3 16.3 100.0
Total 834 100.0 100.0
didiksuami * jenis penolong 1 Crosstabulation
jenis penolong 1
Total
tanpa
penolong
bukan
tenaga
kesehatan
tenaga
kesehatan
Didik
suami
tanpa
pendidikan
Count 2 68 5 75
% within
didiksuami2.7% 90.7% 6.7% 100.0%
pendidikan
dasar
Count 2 76 44 122
% within
didiksuami1.6% 62.3% 36.1% 100.0%
pendidikan
menengah
Count 6 189 306 501
% within
didiksuami1.2% 37.7% 61.1% 100.0%
pendidikan atas Count 4 24 108 136
% within
didiksuami2.9% 17.6% 79.4% 100.0%
Total Count 14 357 463 834
% within
didiksuami1.7% 42.8% 55.5% 100.0%
128
FrequenciesStatistics
didikibu
N Valid 723
Missing 0
Didikibu
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid tanpa pendidikan 125 17.3 17.3 17.3
pendidikan dasar 130 18.0 18.0 35.3
pendidikan menengah 360 49.8 49.8 85.1
pendidikan atas 108 14.9 14.9 100.0
Total 723 100.0 100.0
Crosstabsdidikibu * jenis penolong 1 Crosstabulation
jenis penolong 1
Total
tanpa
penolong
bukan
tenaga
kesehatan
tenaga
kesehatan
didikibu tanpa
pendidikan
Count 3 104 18 125
% within didikibu 2.4% 83.2% 14.4% 100.0%
pendidikan
dasar
Count 2 76 52 130
% within didikibu 1.5% 58.5% 40.0% 100.0%
pendidikan
menengah
Count 6 99 255 360
% within didikibu 1.7% 27.5% 70.8% 100.0%
pendidikan
atas
Count 0 0 108 108
% within didikibu .0% .0% 100.0% 100.0%
Total Count 11 279 433 723
% within didikibu 1.5% 38.6% 59.9% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Pearson Chi-Square 2.212E2a 6 .000
Likelihood Ratio 262.780 6 .000
Linear-by-Linear Association 200.400 1 .000
N of Valid Cases 723
129
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Pearson Chi-Square 2.212E2a 6 .000
Likelihood Ratio 262.780 6 .000
Linear-by-Linear Association 200.400 1 .000
a. 3 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected
count is 1,64.
FrequenciesStatistics
jenis penolong 1
N Valid 824
Missing 0
jenis penolong 1
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid tanpa penolong 6 .7 .7 .7
bukan tenaga
kesehatan350 42.5 42.5 43.2
tenaga kesehatan 468 56.8 56.8 100.0
Total 824 100.0 100.0
Crosstabskerjasuami * jenis penolong 1 Crosstabulation
jenis penolong 1
Total
tanpa
penolong
bukan
tenaga
kesehatan
tenaga
kesehatan
Kerja
suami
tidak
bekerja
Count 1 27 9 37
% within
kerjasuami2.7% 73.0% 24.3% 100.0%
bekerja Count 10 296 294 600
% within
kerjasuami1.7% 49.3% 49.0% 100.0%
Total Count 11 323 303 637
% within
kerjasuami1.7% 50.7% 47.6% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Pearson Chi-Square 8.519a 2 .014
Likelihood Ratio 8.976 2 .011
Linear-by-Linear Association 8.134 1 .004
N of Valid Cases 637
a. 1 cells (16,7%) have expected count less than 5. The minimum expected
count is ,64.
130
FrequenciesStatistics
kerjasuami
N Valid 637
Missing 0
Kerjasuami
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid tidak
bekerja37 5.8 5.8 5.8
bekerja 600 94.2 94.2 100.0
Total 637 100.0 100.0
Crosstabskerjaibu * jenis penolong 1 Crosstabulation
jenis penolong 1
Total
tanpa
penolong
bukan
tenaga
kesehatan
tenaga
kesehatan
kerjaibu tidak bekerja Count 1 28 90 119
% within kerjaibu .8% 23.5% 75.6% 100.0%
bekerja Count 10 294 132 436
% within kerjaibu 2.3% 67.4% 30.3% 100.0%
Total Count 11 322 222 555
kerjaibu * jenis penolong 1 Crosstabulation
jenis penolong 1
Total
tanpa
penolong
bukan
tenaga
kesehatan
tenaga
kesehatan
kerjaibu tidak bekerja Count 1 28 90 119
% within kerjaibu .8% 23.5% 75.6% 100.0%
bekerja Count 10 294 132 436
% within kerjaibu 2.3% 67.4% 30.3% 100.0%
Total Count 11 322 222 555
% within kerjaibu 2.0% 58.0% 40.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Pearson Chi-Square 80.128a 2 .000
Likelihood Ratio 80.191 2 .000
Linear-by-Linear Association 74.272 1 .000
N of Valid Cases 555
a. 1 cells (16,7%) have expected count less than 5. The minimum expected
count is 2,36.
131
Statistics
kerjaibu
N Valid 555
Missing 0
kerjaibu
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid tidak bekerja 119 21.4 21.4 21.4
bekerja 436 78.6 78.6 100.0
Total 555 100.0 100.0
Frequencies
jenis penolong 1
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid tanpa penolong 8 1.9 1.9 1.9
bukan tenaga kesehatan 187 43.4 43.4 45.2
tenaga kesehatan 236 54.8 54.8 100.0
Total 431 100.0 100.0
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Pearson Chi-Square 1.283E2a 2 .000
Likelihood Ratio 139.438 2 .000
Linear-by-Linear Association 105.133 1 .000
tempattinggal * jenis penolong 1 Crosstabulation
jenis penolong 1
Total
tanpa
penolong
bukan
tenaga
kesehatan
tenaga
kesehatan
Tempat
tinggal
pedesaan Count 4 163 76 243
% within
tempattinggal1.6% 67.1% 31.3% 100.0%
perkotaan Count 4 24 160 188
% within
tempattinggal2.1% 12.8% 85.1% 100.0%
Total Count 8 187 236 431
% within
tempattinggal1.9% 43.4% 54.8% 100.0%
132
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Pearson Chi-Square 1.283E2a 2 .000
Likelihood Ratio 139.438 2 .000
Linear-by-Linear Association 105.133 1 .000
N of Valid Cases 431
a. 2 cells (33,3%) have expected count less than 5. The minimum expected
count is 3,49.
Frequencies
tempattinggal
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid pedesaan 243 56.4 56.4 56.4
perkotaan 188 43.6 43.6 100.0
Total 431 100.0 100.0
Wealth index * jenis penolong 1 Crosstabulation
jenis penolong 1
Total
tanpa
penolong
bukan tenaga
kesehatan
tenaga
kesehatan
Wealth
index
Poorest Count 3 164 67 234
% within Wealth
index1.3% 70.1% 28.6% 100.0%
Poorer Count 4 16 58 78
% within Wealth
index5.1% 20.5% 74.4% 100.0%
Middle Count 3 6 102 111
% within Wealth
index2.7% 5.4% 91.9% 100.0%
Richer Count 0 0 68 68
% within Wealth
index.0% .0% 100.0% 100.0%
Richest Count 0 5 45 50
% within Wealth
index.0% 10.0% 90.0% 100.0%
Total Count 10 191 340 541
% within Wealth
index1.8% 35.3% 62.8% 100.0%
133
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Pearson Chi-Square 2.347E2a 8 .000
Likelihood Ratio 267.804 8 .000
Linear-by-Linear Association 152.234 1 .000
N of Valid Cases 541
a. 5 cells (33,3%) have expected count less than 5. The minimum expected
count is ,92.
FrequenciesStatistics
Wealth index
N Valid 541
Missing 0
Wealth index
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Poorest 234 43.3 43.3 43.3
Poorer 78 14.4 14.4 57.7
Middle 111 20.5 20.5 78.2
Richer 68 12.6 12.6 90.8
Richest 50 9.2 9.2 100.0
Total 541 100.0 100.0
Crosstabsantenatal * jenis penolong 1 Crosstabulation
jenis penolong 1
Total
tanpa
penolong
bukan tenaga
kesehatan
tenaga
kesehatan
antenatal tidak
antenatal
Count 6 102 15 123
% within
antenatal4.9% 82.9% 12.2% 100.0%
tidak tahu Count 0 44 32 76
% within
antenatal.0% 57.9% 42.1% 100.0%
1 Count 0 21 6 27
% within
antenatal.0% 77.8% 22.2% 100.0%
2-3 Count 0 100 68 168
% within
antenatal.0% 59.5% 40.5% 100.0%
4+ Count 0 95 530 625
% within
antenatal.0% 15.2% 84.8% 100.0%
Total Count 6 362 651 1019
% within
antenatal.6% 35.5% 63.9% 100.0%
134
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Pearson Chi-Square 3.673E2a 8 .000
Likelihood Ratio 365.205 8 .000
Linear-by-Linear Association 293.762 1 .000
N of Valid Cases 1019
a. 5 cells (33,3%) have expected count less than 5. The minimum expected
count is ,16.
Frequenciesantenatal
Frequency Percent
Valid
Percent
Cumulative
Percent
Valid tidak antenatal 123 12.1 12.1 12.1
tidak tahu 76 7.5 7.5 19.5
1 27 2.6 2.6 22.2
2-3 168 16.5 16.5 38.7
4+ 625 61.3 61.3 100.0
Total 1019 100.0 100.0
FrequenciesKomplikasi
Frequency Percent
Valid
Percent
Cumulative
Percent
Valid pernah 80 9.7 9.7 9.7
tidak
pernah744 90.3 90.3 100.0
Total 824 100.0 100.0
CrosstabsKomplikasi * jenis penolong 1 Crosstabulation
jenis penolong 1
Total
tanpa
penolong
bukan tenaga
kesehatan
tenaga
kesehatan
Komplikasi pernah Count 1 40 39 80
% within
Komplikasi1.2% 50.0% 48.8% 100.0%
tidak
pernah
Count 5 310 429 744
% within
Komplikasi.7% 41.7% 57.7% 100.0%
Total Count 6 350 468 824
% within
Komplikasi.7% 42.5% 56.8% 100.0%
135
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Pearson Chi-Square 2.522a 2 .283
Likelihood Ratio 2.458 2 .293
Linear-by-Linear Association 2.490 1 .115
N of Valid Cases 824
a. 1 cells (16,7%) have expected count less than 5. The minimum expected
count is ,58.
136
137
138
139
140
141
142
143
144
145
146
147
148
149
150
151
152
153
154
155
156
157