Faktor-Faktor Pribadi Yang Dapat Memicu Stress

7
The Stressful Personality Faktor-Faktor Pribadi yang dapat Memicu Stress Oleh : Ami Andayani, I1O01058 Perbedaan kepribadian seseorang menjelaskan mengapa beberapa orang menanggapi suatu situasi dengan reaksi stress yang negatif, sebagian yang lain menanggapinya dengan atau bahkan tidak memunculkan reaksi sedikitpun dan yang lain menanggapinya dengan reaksi positif yang akan membuatnya berkembang. Karakteristik kepribadian seseorang mempengaruhi reaksi-reaksi stress karena kepribadian adalah sebuah perantara dalam rangkaian stressor dan stress itu sendiri. Sebuah perantara adalah suatu kondisi, tingkah laku, atau karakteristik yang mempengaruhi, mengubah atau meringankan hubungan diantara dua hal. Pengaruh yang muncul tersebut bisa meningkatkan atau justru memperlemah kedua hal tersebut. Berbagai aspek atau dimensi dari kepribadian seseorang akan mempengaruhi seberapa luas pengalaman stress yang dialami oleh orang tersebut sebagai sebuah konsekuensi dalam menghadapi suatu kondisi yang memicu stress (stressor). Aspek-aspek kerpibadian tersebut diantaranya adalah : Intolerance for Ambiguity Beberapa orang sangat memerlukan kesistematisasian atau sangat terstruktur. Mereka memiliki kebutuhan yang sangat

description

masykur deedat

Transcript of Faktor-Faktor Pribadi Yang Dapat Memicu Stress

The Stressful Personality

The Stressful Personality

Faktor-Faktor Pribadi yang dapat Memicu StressOleh : Ami Andayani, I1O01058

Perbedaan kepribadian seseorang menjelaskan mengapa beberapa orang menanggapi suatu situasi dengan reaksi stress yang negatif, sebagian yang lain menanggapinya dengan atau bahkan tidak memunculkan reaksi sedikitpun dan yang lain menanggapinya dengan reaksi positif yang akan membuatnya berkembang.

Karakteristik kepribadian seseorang mempengaruhi reaksi-reaksi stress karena kepribadian adalah sebuah perantara dalam rangkaian stressor dan stress itu sendiri. Sebuah perantara adalah suatu kondisi, tingkah laku, atau karakteristik yang mempengaruhi, mengubah atau meringankan hubungan diantara dua hal. Pengaruh yang muncul tersebut bisa meningkatkan atau justru memperlemah kedua hal tersebut. Berbagai aspek atau dimensi dari kepribadian seseorang akan mempengaruhi seberapa luas pengalaman stress yang dialami oleh orang tersebut sebagai sebuah konsekuensi dalam menghadapi suatu kondisi yang memicu stress (stressor). Aspek-aspek kerpibadian tersebut diantaranya adalah :

Intolerance for AmbiguityBeberapa orang sangat memerlukan kesistematisasian atau sangat terstruktur. Mereka memiliki kebutuhan yang sangat kuat untuk mendefinisikan semua aspek-aspek dari pekerjaannya. Sebagai contoh, mereka perlu tahu secara tepat apa yang harus mereka kerjakan, bagaimana tugas itu harus dikerjakan, dan apa yang dipikirkan oleh managemen atas hasil kerja mereka. Individu-individu dengan karakteristik seperti ini seringkali enggan untuk mengambil keputusan-keputusan yang berhubungan dengan identifikasi dan pemecahan masalah. Di luar pekerjaan, mereka memiliki kegiatan-kegiatan yang rutin dan terprediksi. Orang-orang lain tampak tidak membutuhkan informasi sedetail kelompok yang pertama, tidak memiliki masalah ketika menghadapi situasi yang tidak terantisipasi, dan ingin sekali mencoba aktifitas yang baru dan berbeda di luar pekerjaan. Perbedaan diantara dua kelompok orang ini adalah kelompok pertama tidak memiliki toleransi terhadap ambiguitas sedang kelompok yang kedua sebaliknya. Contoh situasi kerja yang dapat memunculkan situasi-situasi yang ambigu bagi orang- orang yang terlibat di dalamnya adalah konflik dan kurangnya kohevisitas kelompok, role ambiguity, dan organizational stressor.

Terdapat dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk menghadapi hal ini dan mengurangi stress yang menyertai situasi-situasi ambigu yang harus dihadapi. Cara yang pertama adalah dengan meminimalisir derajat ambiguitas yang harus dihadapi. Bekerja dalam situasi yang terstruktur dan memiliki derajat ketidakpastian yang rendah akan membantu mengurangi stress. Cara kedua adalah dengan meningkatkan level toleransi terhadap ambiguitas. Dengan menciptakan pengalaman-pengalaman baru dan mencoba berada dalam situasi yang tidak terstruktur secara bertahap akan menghasilkan sesuatu yang positif. Keberhasilan dalam menghadapi situasi yang tidak terstruktur akan mengalihkan ancaman-ancaman dari dalam diri dan sebagai konsekuensi dari hal ini adalah berkurangnya stress. Locus of Control

Seseorang yang memiliki locus of control eksternal (mereka yang merasa bahwa mereka hanya memiliki sedikit pengaruh atas setiap kejadian yang menimpa mereka) cenderung untuk menerima situasi sebagai ancaman atau menyebabkan stress dan cenderung mengalami reaksi-reaksi yang merugikan. Sedangkan seseorang yang memiliki locus of control internal mempercayai bahwa terdapat hubungan antara tingkah laku mereka sendiri dengan hasil dari suatu kejadian atau sumber stress; dimana orang-orang dengan locus of control eksternal tidak mempercayainya.The Coronary-prone Behavior Pattern

Pada tahun 1950, dua orang kardiologis dari California, Meyer Friedman dan Ray Rosenman, mulai mengembangkan sebuah pendekatan untuk memprediksi penyakit jantung bukan hanya dari laporan medik tapi juga dari bagaimana individu berinteraksi dengan lingkungannya. Hasil dari penelitian ini adalah apa yang disebut dengan the coronary-prone behavior pattern atau CPBP. Orang-orang yang memiliki karakteristik dari pola tingkah laku ini diklasifikasikan sebagai individu Type A; mereka yang tidak memiliki karakteristik ini dikenal sebagai Type B.

Dalam buku mereka, Type A Behavior and Your Heart, Friedman dan Rosenman menggambarkan kerpibadian Type A menampakkan suatu kompleks tindakan-emosi yang bisa diobservasi pada setiap orang yang secara agresif terlibat dalam suatu kronik, perjuangan yang tak henti untuk memperoleh lebih dalam waktu yang sesedikit mungkin, dan jika diminta untuk melakukan hal tersebut, melawan usaha-usaha yang bertentangan dari orang lain atau sesuatu yang lain.

Timbul pertanyaan, apakah terdapat hubungan antara Type A dengan stress negatif. Para peneliti belum menemukan jawaban yang pasti, tapi hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: Jika anda seorang Type A, dengan karakteristik yang anda miliki anda memiliki kecenderungan untuk meningkatkan beberapa sumber stress (seperti bekerja di luar kemampuan) dimana pada saat yang sama menurunkan ketahanan anda terhadap stress (dengan menolak atau ketidakmampuan untuk rileks, lebih santai, dll). Anda kemudian menciptakan stress bagi diri anda sendiri dengan secara konstan mengarahkan diri pada sumber stress yang mana merupakan hal yang sangat dihindari oleh Type B.

Bila seorang Type A ingin mengubah tingkah lakunya maka hal yang paling penting adalah mencoba bersikap lebih santai. Mulai dengan melakukan perubahan pada jadwal rutin dengan mengurangi kegiatan-kegiatan yang tidak terlalu penting atau bisa didelegasikan. Mulai belajar untuk mengatakan tidak bila memang diperlukan. Segera setelah melakukan perubahan rutinitas, luangkan waktu untuk diri anda sendiri; waktu untuk berfikir dan berefleksi; waktu untuk mempertanyakan apa yang sebenarnya berharga bagi anda dan mengapa, apa hal yang paling penting untuk anda.

Hal apapun yang menginterupasi pola tingkah laku Type A dan menjadi kebiasaan akan memiliki efek yang positif. Anda bisa bekerja lebih efektif dan efisisen, bekerjalah dalam waktu yang mencukupi dan anda bisa melakukan hal lain.Coping Mechanism

Kepribadian juga mempengaruhi bagaimana cara seseorang menghadapi stress atau mempertahankan dirinya dari stress. Setiap kali seseorang merasa dirinya terancam, secara fisik atau psikologis, individu tersebut akan berhadapan dengan beberapa type pertahanan diri.

Mekanisme pertahanan diri tidak selalu negatif atau tidak produktif; mereka sangat penting dalam upaya untuk mempertahankan keseimbangan pribadi. Beberapa diantaranya cenderung untuk kurang efektif atau menghasilkan efek yang tidak diinginkan dibandingkan dengan yang lainnya. Beberapa yang lain bila salah digunakan akan memberikan hasil yang tidak diinginkan. Mekanisme apa yang dipilih biasanya bergantung pada kebiasaan. Beberapa mekanisme pertahanan diri tersebut adalah : Proyeksi

Sebagai suatu mekanisme pertahanan diri, proyeksi biasanya dilakukan dengan menyalahkan orang lain atas suatu sumber stress yang mana seharusnya andalah yang bertanggung jawab atas hal tersebut. Proyeksi membantu mempertahankan perasaan mampu dan berharga ketika menghadapi suatu kegagalan. Proyeksi dalam sementara waktu akan berguna untuk melindungi seseorang pada saat mereka tidak mampu mengahadapi stressor tambahan. Akan tetapi dalam penggunaan yang ekstrim, proyeksi dapat mengarahkan penggunanya pada sebuah kesimpulan bahwa kesulitan yang dialminya adalah hasil dari sesuatu yang lain atau nasib buruk. Proyeksi dapat menghalangi kemampuan seseorang untuk melihat kesalahan dan jalan keluar. Sehingga dapat menyebabkan kesalahan yang sama terulang kembali dan mnyebabkan stress pada masa yang akan datang. Rasionalisasi

Rasionalisasi melibatkan proses berpikir logis, alasan-alasan yang secara sosial dapat diterima untuk tingkah laku atau kejadian-kejadian yang memicu stress. Karena rasionalisasi lebih berdasarkan realitas bila dibandingkan dengan proyeksi, maka rasionalisasi cenderung menjadi mekanisme pertahanan diri yang lebih sehat. Akan tetapi, tetap saja rasionalisasi juga memiliki potensi merusak. DisplacementMekanisme pertahanan diri ini melibatkan peralihan emosi dari objek sebenarnya pada objek pengganti. Permasalahan yang utama dari mekanisme ini bukan pada peralihan emosi, akan tetapi pemilihan objek yang seringkali tidak tepat atau membahayakan. Represi

Represi merupakan mekanisme pertahanan diri yang paling tidak efektif dan membahayakan. Represi akan menunda suatu situasi dan dengan melakukan hal ini akan meningkatkan potensi stress dibandingkan dengan menguranginya. Ketika emosi-emosi ditekan kealam bawah sadar dibandingkan dengan dialihkan hal ini dapat menjadi terakumulasi dan sangat beresiko memunculkan suatu konfrontasi ketika emosi-emosi tersebut dikeluarkan.DAFTAR PUSTAKA

Matteson, Michael T., and Ivanchevich, John M., Managing Job Stress and Health. USA: The Free Press, 1982.