Faktor-faktor Apakah Yang Dapat Mempengaruhi Lama Hari Rawat Pasien Pasca Operasi Laparatomi Di...
-
Upload
masyithaitha -
Category
Documents
-
view
230 -
download
17
description
Transcript of Faktor-faktor Apakah Yang Dapat Mempengaruhi Lama Hari Rawat Pasien Pasca Operasi Laparatomi Di...
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Dalam era reformasi, tuntutan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan
yang bermutu semakin kuat, tetapi tuntutan tersebut belum mendapat tanggapan
yang layak dan tepat. Situasi yang demikian menimbulkan ketidak puasan kepada
sekelompok pasien juga masyarakat yang pada akhirnya menimbulkan tuduhan
terjadinya malpraktek (Syamsinar Santi, 2007).
Sebagian besar rumah sakit menunjukkan pelayanan yang tidak efisien
sebagai salah satu sumber peningkatan biaya, sementara kualitas pelayanan
kesehatan di rumah sakit menjadi sebuah hak yang sama untuk seluruh pasien.
Untuk menghadapi penghematan biaya dan sumber yang lebih sedikit, maka
kualitas pelayanan keperawatan tidak dapat ditawar lagi. Ditempat-tempat
perawatan akut, perhatian utama berfokus pada bagaimana cara untuk
memulangkan pasien secepat mungkin dengan waktu rawat yang dipersingkat
(Perry dan Potter, 2005).
Rumah sakit sedang mencari cara baru dalam memberikan pelayanan yang
bertujuan untuk mencapai efisiensi dan waktu rawat yang lebih pendek. Fokus
Rumah Sakit adalah untuk memberikan pelayanan perawatan yang berkualitas
tinggi sehingga pasien dapat pulang lebih awal dengan aman kerumahnya. Oleh
karena itu diperlukan tenaga perawat yang profesional dan harus memiliki
pegetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk membina hubungan yang
adekuat dengan pasien dan anggota keluarganya sehingga mereka mau
berpartisipasi secara aktif dalam rencana perawatan (Perry danPotter, 2005).
Saat menghadapi pembedahan, pasien akan mengalami berbagai stressor.
Oleh karena itu sangat membutuhkan informasi sebelum dan sesudah operasi agar
pasien dan keluarga dapat berpartisipasi secara aktif sehingga dapat
meminimalkan terjadinya komplikasi (Perry dan Potter, 2005).
Lama hari rawat pasien pasca operasi laparatomi adalah hari rawat pasien
sejak menjalani operasi sampai pada saat pasien pasca operasi khususnya
laparatomi perlu mendapat perhatian yang besar karena beberapa komplikasi
dapat terjadi setelah operasi apabila tidak ditangani dengan baik, sehingga lama
hari rawat pasien menjadi panjang yang akhirnya dapat menyebabkan dampak
biaya perawatan menjadi meningkat baik terhadap pasien maupun terhadap pihak
rumah sakit ( Corwin & Elizabeth J, 2001).
Beberapa penelitian sebelumnya menyatakan bahwa ada beberapa faktor
yang dapat mempengaruhi lama hari rawat pada pasien pasca operasi laparatomi
diantaranya oleh Asadul Islam dan M. R. Limpo (2001) menyebutkan bila mana
perawatan pasien pasca operasi bervariasi yaitu sekitar 7 sampai 30 hari dengan
rata-rata hari rawat 7 sampai 14 hari, sedangkan pada pasien pasca operasi
laparatomi terdapat perbedaan lama hari rawat antara pasien frekuensi perawatan
luka, teknik perawatan luka. Citra Dewi (2006) juga menyebutkan bahwa ada
pengaruh mobilisasi dini terhadap proses penyembuhan luka pasca operasi
laparatomi dimana proses penyembuhan dapat berlangsung cepat 5 sampai 10 hari
sehingga dapat memperpendek lama hari rawat.
2
Berdasarkan data yang di ambil dari Ruangan Operasi Rumah Sakit
Umum Daerah Labuang baji Makassar pada bulan Januari sampai dengan bulan
Agustus Tahun 2009 menunjukkan bahwa pasien yang telah menjalani bedah
operasi laparatomi sebanyak 150 pasien dengan lama hari rawat yang bervariasi
dengan rata-rata hari rawat antara 7 sampai 14 hari sedangkan pasien yang
mengalami komplikasi mempuyai hari rawat yang panjang antara 20 sampai 30
hari bahkan lebih (Ruangan Operasi RSUD Labuang Baji Makassar).
Oleh sebab itu, peneliti ingin mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi lama hari rawat pada pasien pasca operasi laparatomi di ruang
perawatan bedah RSUD Labuang Baji Makassar.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah “Faktor-faktor apakah yang dapat mempengaruhi lama hari
rawat pasien pasca operasi laparatomi di ruang perawatan bedah RSUD Labuang
Baji Makassar ?”.
C. TUJUAN PENELITIAN
1. Tujuan umum
Diketahuinya faktor-faktor yang mempengaruhi lama hari rawat pada
pasien pasca operasi laparatomi di ruang perawatan bedah RSUD Labuang
Baji Makassar.
3
2. Tujuan khusus
a. Diketahuinya pengaruh faktor frekuensi perawatan
luka terhadap lama hari rawat pada pasien pasca operasi laparatomi.
b. Diketahuinya pengaruh faktor mobilisasi dini terhadap
lama hari rawat pada pasien pasca operasi laparatomi.
c. Diketahuinya pengaruh faktor tekhnik perawatan luka
terhadap lama hari rawat pada pasien pasca operasi laparatomi.
d. Diketahuinya faktor mana yang paling berpengaruh
terhadap lama hari rawat pada pasien pasca operasi laparatomi.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Untuk Rumah Sakit
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan dalam
merumuskan kebijakan pelayanan keperawatan medik dan sebagai bahan
informasi terkait dengan lama perawatan yang efisien pada pasien pasca
operasi laparatomi.
2. Untuk Tenaga Keperawatan
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada
profesi keperawatan tentang pentingnya pengetahuan tentang faktor-faktor
yang mempengaruhi lama hari rawat pada pasien pasca operasi laparatomi
serta sebagai bahan referensi untuk pengembangan penelitian lebih lanjut
tentang lama perawatan yang efisien bagi pasien dengan luka pasca operasi
laparatomi.
4
3. Untuk Institusi Pendidikan Keperawatan
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan
bagi institusi pendidikan dalam aplikasi penerapan Asuhan Keperawatan
Medikal Bedah di Masyarakat.
4. Untuk Penulis
Dari hasil penelitian diharapkan dapat menjadi pengalaman berharga
bagi penulis dan dapat meningkatkan wawasan dalam bidang penelitian serta
dapat menambah pengetahuan dalam hal perawatan pada pasien pasca operasi
laparatomi.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. TINJAUAN UMUM TENTANG LUKA
1. Pengertian
Luka adalah rusaknya kesatuan atau komponen jaringan, dimana secara
spesifik terdapat substansi jaringan yang rusak atau hilang.
Ketika luka timbul, beberapa efek akan muncul, yaitu:
a. Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ
b. Respon stress simpatis
c. Perdarahan dan pembekuan darah
d. Kematian sel
2. Mekanisme terjadinya luka
a. Luka insisi ( Incised wound )
Luka yang terjadi karena teriris oleh instrument yang tajam. Misalnya
yang terjadi akibat pembedahan. Luka bersih (aseptic) biasanya tertutup
oleh sutura setelah pembuluh darah yang luka diikat (ligasi).
b. Luka memar ( contusion wound )
Luka yang terjadi akibat benturan oleh suatu tekanan dan
dikarakteristikkan oleh cedera pada jaringan lunak, perdarahan dan
bengkak.
6
c. Luka lecet ( Abrated wound )
Luka yang terjadi akibat kulit bergesekan dengan benda lain yang
biasanya dengan benda yang tidak tajam.
d. Luka tusuk ( punctured wound )
Terjadi akibat adanya benda, seperti peluru atau pisau yang masuk ke
dalam kulit dengan diameter yang kecil.
e. Luka gores ( Lacerated wound )
Terjadi akibat benda yang tajam seperti oleh kaca atau oleh kawat
f. Luka tembus ( Penetrating wound )
Merupakan luka yang menembus organ tubuh biasanya pada bagian
awal luka masuk diameternya kecil tetapi pada bagian ujung biasanya
luka akan melebar.
g. Luka bakar ( Combustio )
3. Tingkat kontaminasi terhadap luka
a. Clean Wounds (luka bersih), yaitu luka bedah tak terinfeksi
yang mana tidak terjadi proses peradangan (inflamasi) dan infeksi pada
system pernafasan, pencernaan, genital dan urinary. Luka bersih biasanya
menghasilkan luka yang tertutup, jika diperlukan dimasukkan drainase
tertutup. Kemungkinan terjadinya infeksi luka sekitar 1% sampai 5%.
b. Clean-contamined Wounds (luka bersih terkontaminasi),
merupakan luka pembedahan dimana saluran respirasi, pencernaan,
genital atau perkemihan dalam kondisi terkontrol, kontaminasi tidak
7
selalu terjadi, kemungkinan timbulnya infeksi luka adalah 3% sampai
11%.
c. Contamined Wounds (luka terkontaminasi), termasuk luka
terbuka, fresh, luka akibat kecelakaan dan operasi dengan kerusakan besar
dengan teknik aseptic atau kontaminasi dari saluran cerna ; pada kategori
ini juga termasuk insisi akut, inflamasi nonpurulen. Kemungkinan infeksi
luka 10% sampai 17%.
d. Dirty or Infected Wounds (luka kotor atau infeksi), yaitu
terdapatnya mikroorganisme pada luka
4. Stadium luka
a. Stadium I : Luka Superfisial (Non – Blanching Erithema) :
yaitu luka yang terjadi pada lapisan epidermis kulit.
b. Stadium II : Luka “ Partial Thikness” : yaitu hilangnya
lapisan kulit pada lapisan epidermis dan bagian atas dari dermis.
Merupakan luka superficial dan adanya tanda klinis seperti abrasi, blister
atau lubang yang dangkal.
c. Stadium III : Luka “Full Teckness” : yaitu hilangnya kulit
keseluruhan meliputi kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan yang
dapat meluas sampai bawah tetapi tidak melewati jaringan yang
mendasarinya. Lukanya sampai pada lapisan epidermis, dermis dan fasia
tetapi tidak mengenai otot. Luka timbul secara klinis sebagai suatu lubang
yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan.
8
d. Stadium IV : Luka “Full Thicknees” yang telah mencapai
lapisan otot, tendon dan tulang dengan adanya destruksi/kerusakan yang
luas (Rab & Tabrani, (1998).
5. Waktu Penyembuhan
a. Luka akut yaitu luka dengan masa penyembuhan sesuai
dengan konsep penyembuhan yang telah disepakati.
b. Luka kronis yaitu luka yang mengalami kegagalan dalam
proses penyembuhan, dapat karena faktor eksogen dan endogen.
6. Klasifikasi luka operasi dapat dibagi menjadi :
a. Luka operasi bersih
Merupakan operasi yang dilakukan pada daerah kulit yang pada
kondisi pra bedah tanpa peradangan dengan tidak membuka traktus
respiratorius, orofaring, traktus urinarius atau traktus bilier. Merupakan
operasi berencana dengan penutupan kulit primer dengan atau tanpa
pemakaian drain tertutup. Contoh pada operasi hernia, tumor payudara
dan tumor kulit.
b. Luka operasi bersih terkontaminasi
Merupakan operasi dengan membuka traktus digestivus, traktus
bilier, traktus urinarius, traktus respiratorius, sampai orofaring, traktus
reproduksi kecuali ovarium. Membutuhkan proses penyembuhan yang
lebih lama. Contoh pada operasi appendektomi, prostatektomi,
histerektomi dan laparatomi.
9
c. Luka operasi terkontaminasi
Merupakan operasi dengan membuka traktus digestivus, traktus
bilier, traktus urinarius, traktus respiratorius sampai osofaring, traktus
reproduksi kecuali ovarium dan pada luka karena kecelakaan dalam
waktu kurang dari 6 jam. Contoh pada operasi usus besar, laserasi,
operasi kulit akibat ruda paksa dan fraktur terbuka.
d. Luka operasi kotor dengan infeksi
Merupakan operasi yang dilakukan pada perforasi traktus
digestivus, traktus uroggenitalia atau traktus respiratorius yang terinfeksi,
abses dan trauma lama, melewati daerah purulent, akibat pembedahan
yang terkontaminasi, pada luka yang terbuka lebih dari 6 jam setelah
kejadian atau terdapat jaringan non vital yang luas atau terinfeksi. Dokter
yang melakukan operasi menyatakan sebagai luka operasi kotor
terinfeksi. (Sjamsuhidajat & Jong, 2005).
B. TINJAUAN UMUM TENTANG PROSES PENYEMBUHAN LUKA
Tubuh secara normal akan merespon terhadap cedera dengan jalan “Proses
Peradangan”, yang dikarakteristikkan dengan lima tanda umum utama, yaitu
bengkak (swelling), kemerahan (redness), panas (heat), nyeri (pain) dan
kerusakan fungsi (impaired function).
Proses penyembuhan luka mencakup beberapa fase, yaitu :
1. Fase Inflamasi
10
Fase Inflamasi adalah adanya respon vaskuler dan seluler yang terjadi
akibat perlukaan yang terjadi pada jaringan lunak. Tujuan yang hendak
dicapai adalah menghentikan perdarahan dan membersihkan area luka dari
benda asing, sel-sel mati dan bakteri untuk mempersiapkan dimulainya
proses penyembuhan. Pada awal fase ini kerusakan pembuluh darah akan
menyebabkan keluarnya platelet yang berfungsi sebagai hemostasis. Platelet
akan menutupi vaskuler yang terbuka (clot) dan juga mengeluarkan
“substansi vasokontriksi” yang mengakibatkan pembuluh darah kapiler
vasokontriksi. Selanjutnya terjadi penempelan endotel yang akan menutup
pembuluh darah. Periode ini berlangsung 5 sampai 10 menit dan setelah itu
akan terjadi vasodilatasi kapiler akibat stimulasi saraf sensoris (local sensory
nerve ending). Lokal reflex aktion dan adanya substansi vasodilator
(histamin, branadikinin, serotonin dan sitokin). Histamin juga menyebabkan
peningkatan permeabilitas vena, sehingga cairan plasma darah keluar dari
pembuluh darah dan masuk ke daerah luka dan secara klinis terjadi edema
jaringan dan keadaan lingkungan tersebut menjadi asidosis.
Secara klinis fase inflamasi ini ditandai dengan eritema, hangat pada
kulit, edema dan rasa sakit yang berlangsung sampai hari ke-3 atau hari ke-4.
2. Fase Proliferatif
Proses kegiatan seluler yang penting pada fase ini adalah memperbaiki
dan menyembuhkan luka dan ditandai dengan proliferasi sel. Peran
fibroblast sangat besar pada proses perbaikan yaitu bertanggung jawab pada
11
persiapan menghasilkan produk struktur protein yang akan digunakan
selama proses rekonstruksi jaringan.
Pada jaringan lunak yang normal (tanpa perlukaan), pemaparan sel
fibroblas sangat jarang dan biasanya bersembunyi di matriks jaringan
penunjang. Sesudah terjadi luka, fibriblas akan aktif bergerak dari jaringan
sekitar luka ke dalam daerah luka, kemudian akan berkembang (proliferasi)
serta mengeluarkan beberapa substansi (kolagen, elastin, hyaluronic acid,
fibronectin dan proteoglycans) yang berperan dalam membangun
(rekonstruksi) jaringan baru. Fungsi kolagen yang lebih spesifik adalah
membentuk cikal bakal jaringan baru (connective tissue matriz) dan dengan
dikeluarkannya substrat oleh fibroblast sebagai kesatuan unit dapat
memasuki kawasan luka. Sejumlah sel dan pembuluh darah baru yang
tertanam di dalam jaringan baru tersebut disebut sebagai jaringan
“granulasi”.
Fase proliferasi akan berakhir jika epitel dermis dan lapisan kolagen
telah terbentuk, terlihat proses kontraksi dan akan dipercepat oleh berbagai
growth faktor yang dibentuk oleh makrofag dan platelet.
3. Fase Maturasi
Fase ini dimulai pada minggu ke-3 setelah perlukaan dan berakhir
sampai kurang lebih 12 bulan. Tujuan dari fase maturasi adalah
menyempurnakan terbentuknya jaringan baru menjadi jaringan
penyembuhan yang kuat dan bermutu. Fibroblas sudah mulai meninggalkan
jaringan granulasi, warna kemerahan dari jaringan mulai berkurang karena
12
pembuluh mulai regresi dan serat fibrin dari kolagen bertambah banyak
untuk memperkuat jaringan parut. Kekuatan dari jaringan parut akan
mencapai puncaknya pada minggu ke-10 setelah perlukaan.
Untuk mencapai penyembuhan yang optimal diperlukan keseimbangan
antara kolagen yang diproduksi dengan yang dipecahkan. Kolagen yang
berlebihan akan terjadi penebalan jaringan parut atau hypertrophic scar,
sebaliknya produksi yang berkurang akan menurunkan kekuatan jaringan
parut dan luka akan selalu terbuka (Marison, 2004).
Luka dikatakan sembuh jika terjadi kontinuitas lapisan kulit dan
kekuatan jaringan parut mampu atau tidak mengganggu untuk melakukan
aktifitas normal. Meskipun proses penyembuhan luka sama bagi setiap
penderita, namun outcome atau hasil yang dicapai sangat tergantung pada
kondisi biologis masing-masing individu, lokasi serta luasnya luka.
Penderita muda dan sehat akan mencapai proses yang cepat dibandingkan
dengan kurang gizi, disertai penyakit sistemik seperti diabetes mellitus.
C. TINJAUAN UMUM TENTANG OPERASI LAPAROTOMI
Laparotomi merupakan tindakan operasi yang dilakukan pada daerah
abdomen (Spencer, 1994). Menurut Sjamsuhidrajat dan Jong, 2005, laparatomi
merupakan teknik sayatan yang dilakukan pada daerah abdomen yang dapat
dilakukan pada bedah digestif dan kandungan dengan arah sayatan yang meliputi :
1. Median untuk operasi perut luas.
2. Paramedian (kanan) untuk massa apendik.
13
3. Pararektal
4. Mc Burney untuk apendektomi
5. Pfannenstiel untuk operasi kandung kemih atau uterus
6. Transfersal
7. Subkostal kanan untuk kolesistektomi
Gbr 1. Open laparotomy
Adapun tindakan bedah digestive dan bedah kebidanan yang sering
dilakukan dengan teknik sayatan arah laparatomi adalah :
1. Herniotomi
Tindakan bedah hernia disebut herniatomi. Hernia merupakan protrusi
atau penonjolan isi suatu rongga melalui defek atau bagian lemah dari dinding
rongga bersangkutan.
2. Gastrektomi
Pembedahan pada tukak peptik akibat perforasi atau perdarahan yang
bertujuan mengurangi sekresi asam lambung yang dapat dilakukan dengan
14
tindakan vagotomi trunkus dan vagotomi parsial yang akan menurunkan
produksi asam lambung.
3. Kolesistoduodenostomi
Adalah pembedahan pada tumor obstruksi duktus koleduktus, kaput
pancreas, papilla vater dan duktus pancreas, duodenum, duktus koleduktus
kaput pancreas, vena mesentrika superior, duktus hepatikus, arteri mesentrika
superior dan kandung empedu.
4. Hepatektomi
Tindakan pembedahan yang dilakukan pada hati bila terjadi karsiloma
yang dapat dilakukan hepatektomi bila terjadi metastasis atau reseksi sebagian
berupa segmentektomi atau lobektomi.
5. Splenorafi/Splenektomi
Splenorafi adalah tindakan pembedahan yang bertujuan mempertahankan
limpa yang fungsional dengan tehnik bedah. Tindakan ini dapat dilakukan
pada trauma tumpul maupun tajam pada limpa. Splenektomi dilakukan jika
terdapat kerusakan limpa yang tidak dapat diatasi dengan splenorafi.
6. Apendektomi
Tindakan yang dilakukan pada apendiks akibat peradangan baik bersifat
akut maupun kronik. Teknik apendiktomi dengan Mc. Burney secara terbuka.
7. Kolostomi
Kolostomi merupakan kolokytaneostomi yang disebut juga anus
preternaturalis yang dibuat sementara atau menetap.
8. Histerektomi
15
Terapi bedah disini untuk penderita yang mengalami keluhan menahun
dan pada penderita hemoroid derajat III dan IV.
9. Fistulotomi atau Fistulektomi
Pada fistel dilakukan fistulektomi dan fistalektomi artinya fistel di buka
dari lubang asalnya sampai ke lubang kulit. Luka dibiarkan terbuka sehingga
proses penyembuhan dimulai dari dasar persekun dan intertionem. Sedangkan
tindakan bedah kandungan yang sering dilakukan dengan tehnik sayatan arah
laparatomi adalah berbagai jenis operasi uterus, operasi pada tuba fallopi dan
operasi pada ovarium dan jenis tindakan dengan tehnik laparatomi yang
dilakukan pada bedah kandungan adalah :
a. Histerektomi
Histerektomi adalah pembukaan uterus untuk mengeluarkan isinya dan
kemudian menutupnya lagi, yang dapat dilakukan dengan cara :
1) Histerektomi total yaitu mengangkat seluruh uterus dengan membuka
vagina.
2) Histerektomi subtotal yaitu pengangkatan bagian uterus diatas vagina
tanpa membuka vagina.
3) Histerektomi radikal yaitu untuk karsinoma serviks uterus dengan
mengangkat uterus, alat-alat adneksia sebagian dari parametrium, bagian
atas vagina dan kelenjar-kelenjar regional.
4) Eksterasi pelvic yaitu operasi yang lebih luas dengan mengangkat semua
jaringan didalam rongga pelvik. Termasuk kandung kencing atau
rectum.
16
b. Salpingo oforektomi bilateral
Merupakan pengangkatan sebagian ovarium diselenggarakan pada
kelainan jinak. Pada tumor ganas ovary kanan dan kiri diangkat dengan
tuba bersama dengan uterus. Selain dengan tindakan bedah arah sayatan
laparatomi pada bedah digestif dan kandungan, tehnik ini juga sering
dilakukan pada pembedahan organ lain menurut Michail & Seymour
(1997) antara lain ginjal dan kandung kemih.
D. TINJAUAN UMUM TENTANG FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI LAMA HARI RAWAT
Lama proses penyembuhan luka pasca operasi adalah jumlah hari rawat
pasien sejak menjalani operasi sampai saat pasien sembuh dan dapat dipulangkan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Asadul Islam dan M. Rum Limpo
pada tahun 2001 menyatakan bahwa lama hari rawat pada pasien pasca operasi
bervariasi yaitu 7 sampai 30 hari dengan rata-rata hari rawat antara 7 sampai 14
hari.
Salah satu terpenting dalam pelaksanaan pasien pasca pembedahan adalah
mengupayakan proses penyembuhan luka akibat pembedahan secara primer yakni
menyatukan kedua tepi luka berdekatan dan saling berhadapan, jaringan yang
dihasilkan sangat sedikit, dalam waktu 10 sampai 14 hari, repitalisasi secara
normal sudah sempurna dan biasanya hanya menyisahkan jaringan paruh tipis
yang dengan cepat memudar dengan warna merah muda menjadi putih (Marison,
2004).
17
Fokus rumah sakit dalam pemberian pelayanan perawatan yang berkualitas
bertujuan untuk memulangkan pasien lebih awal dengan aman kerumahnya. Hari
rawat yang pendek akan memberi keuntungan antara lain penghematan biaya dan
sumber yang lebih sedikit terhadap rumah sakit terutama bagi pasien sendiri
(Brunner & Suddarth, 2002).
Komplikasi pasca operasi dapat menghambat penyembuhan luka sehingga
proses pemulihan memanjang mengakibatkan bertambahnya lama hari rawat yang
sangat membebani pasien, keluarga dan pasien lainnya (kontaminasi silang dan
akibat kontaminasi silang), Staf rumah sakit (peningkatan perawatan dan
kebutuhan hospitalisasi), serta masyarakat secara keseluruhan (peningkatan
hospitalisasi, biaya asuransi dan dapat kehilangan pekerjaan) (Brunner &
Suddarth, 2002).
1. Frekuensi Perawatan Luka
Setelah tindakan pembedahan dilakukan penggantian balutan untuk luka
kering dan bersih balutan diganti 2 atau 3 hari sekali setelah operasi dan juga
tergantung pada jenis balutan yang digunakan, misalnya jika luka pasien pasca
operasi dibalut dengan menggunakan kasa steril yang diolesi NaCl 0,9%, salep
antibiotik atau kasa kering (Suriadi, 2004).
Sebenarnya luka operesi kering yang ditutup primer lebih baik dibiarkan
terbuka, tetapi umumnya secara psikiologis kurang berkenan bagi pasien
maupun keluarganya.
Dasar dalam mempertahankan lingkungan yang hangat dan lembab pada
luka adalah untuk menjaga agar luka tetap tertutup. Sebagian besar balutan luka
18
diangkat setelah 24 jam, dan penelitian membuktikan bahwa pada kasus luka
pembedahan, pengangkatan balutan setelah 24 jam tidak menimbulkan
peningkatan angka infeksi. Namun, penelitian lanjutkan perlu dilakukan karena
saat ini terdapat perhatian terhadap hygiene rumah sakit dan Staphylococcus
aureus yang resisten terhadap metisilin serta organisme lain yang resisten
terhadap berbagai antibiotik (Boyle M, 2009).
Penutup luka yang sudah basah oleh darah atau cairan luka harus diganti.
Penggantiannya harus dilakukan dengan teknik perawatan luka. Pada
kesempatan mengganti balutan ini, sekaligus dicari kemungkinan asal
perdarahan atau bocoran cairan luka tersebut. Kemudian sumber kebocoran
harus ditangani, misalnya dengan tindakan hemostasis. Bila tidak dipasang
drainase pada luka bedah, penutup luka dapat dibiarkan sampai 48 jam pasca
operasi agar tujuan penutupan luka dapat dicapai (Sjamsuhidajat dan Jong,
2005).
Luka operasi perlu diawasi pada masa pasca operasi. Luka tidak perlu
dilihat setiap hari dengan membuka penutup luka, kecuali jika ada gejala atau
tanda gangguan penyembuhan atau radang.
Perawatan luka yang tepat dapat membantu proses penyembuhan luka
dan membantu mencegah terjadinya infeksi luka operasi.
Sebelum melakukan perawatan pada luka, sangatlah penting untuk
mengkaji pasien secara menyeluruh untuk mengidentifikasi masalah yang lebih
luas yang mungkin mempunyai efek merugikan pada penyembuhan luka.
Pengkajian dapat dilakukan dalam 4 tahap, yaitu pengkajian terhadap :
19
a. Faktor-faktor umum pasien yang dapat memperlambat penyembuhan.
b. Sebab-sebab langsung dari luka dan segala patofisiologi yang mendasarinya.
c. Kondisi lokal pada tempat luka.
d. Kemungkinan konsekuensi luka bagi seseorang.
Luka pada periode awal setelah operasi sulit diobservasi secara langsung
kecuali jika menggunakan balutan yang transparan. Balutan dari kamar operasi
hanya boleh dilepas bila eksudat mengucur keluar atau bila terdapat tanda dan
gejala adanya infeksi (Corwin & Elisabeth J, 2001).
Pengkajian untuk luka yang ditutup dengan pembedahan meliputi: sifat
operesi, daerah luka, tanggal operasi, metode penutupan, drain, faktor umum
yang dapat menghambat penyembuhan, alergi terhadap produk perawatan luka,
eksudat, eritema, edema, hematoma, nyeri, bau, infeksi dan mencantumkan luka
diperiksa oleh siapa (Morison, 2004).
Biasanya luka bedah yang selesai dijahit ditutup dengan alasan untuk
melindunginya dari infeksi, disamping agar cairan luka yang keluar terserap,
luka tidak kekeringan dan luka tidak tergaruk oleh pasien. Selain itu
perdarahan dihentikan dengan memberi sedikit tekanan pada luka.
Adapun prosedur tetap perawatan luka operasi yaitu :
a. Tujuan perawatan dan pembalutan luka operasi
1). Memberikan lingkungan yang memadai untuk penyembuhan luka.
2). Absorbsi drainase.
3). Menekan dan imobilisasi luka.
4). Mencegah luka dan jaringan epitel baru dari cedera mekanis.
20
5). Mencegah luka dari kontaminasi bakteri.
6). Meningkatkan hemostatis dengan menekan dressing.
7). Memberikan rasa nyaman mental dan fisik pada pasien (Somantri &
Irman, 2007).
b. Persiapan alat
1). Bak steril berisi :
a). Pinset anatomi 1 buah
b). Pinset sirurgi 1 buah.
c). Sarung tangan steril 1 pasang.
d). Kapas lidi.
e). Kasa steril.
f). Kom 1 buah.
2). Diluar bak steril :
a). Bethadine.
b). Plester.
c). H2O2.
d). Gunting verban.
e). Bengkok.
f). Cairan NaCl 0,9%.
g). Savlon.
h). Bensin atau kapas alkohol.
i). Tempat sampah atau kantong plastik
c. Cara kerja
21
1). Pasien diberitahu dan perawat memperkenalkan diri.
2). Persiapan alat ganti balutan didekat pasien.
3). Jaga privacy pasien (menutup pintu dan jendela).
4). Bantu pasien pada posisi yang nyaman.
5). Cuci tangan dengan sabun antiseptik dibawah air mengalir.
6). Keringkan tangan dengan handuk bersih.
7). Tuangkan cairan NaCl 0,9% kedalam kasa steril.
8). Lepaskan plester dengan melepaskan ujung dan menariknya dengan
perlahan sejajar pada kulit dan mengarah pada balutan.
9). Angkat balutan secara perlahan dengan menggunakan pinset kemudian
masukkan kedalam kantong yang disediakan (tempat sampah).
10). Bersihkan bekas plester dengan bensin atau aseton.
11). Pakai sarung tangan steril.
12). Bersihkan luka dengan cairan desinfektan.
13). Luka diberi obat atau salep bila ada indikasi.
14). Pasang kasa steril sebagai penutup luka.
15). Pasang plester diatas balutan.
16). Lepaskan sarung tangan dan buang pada tempat yang telah
disediakan.
17). Alat instrument direndam dengan larutan klorin 0,5% selama 10
menit.
18). Rapikan ruangan dan bantu pasien kembali pada posisi yang nyaman.
19). Cuci tangan setelah melakukan perawatan luka.
22
20). Catat tindakan yang dilakukan pada catatan perawat seperti :
a). Tanggal dan jam dilakukan perawatan luka.
b). Keadaan pada daerah luka (kering atau terdapat tanda-tanda
infeksi). (RSUD Labuang Baji, 2005).
d. Hal-hal yang harus diperhatikan sebagai teknik sterilisasi dalam
perawatan luka :
1). Mencuci tangan sebelum melakukan tindakan.
2). Mencuci tangan setelah melakukan tindakan.
3). Mencuci tangan dengan menggunakan sabun antiseptik.
4). Menggunakan sarung tangan steril.
5). Melakukan perawatan luka dengan teknik steril.
6). Menggunakan obat atau cairan perawatan luka yang tidak kadaluarsa.
7). Menutup daerah luka dengan kasa steril.
8). Mengganti balutan bila basah.
2. Mobilisasi Dini
Mobilisasi atau pergerakan adalah suatu kebutuhan manusia untuk
melakukan aktifitas dimana aktifitas tersebut dilakukan secara bebas dari
suatu tempat ke tempat lain, atau kemampuan seseorang bergerak dengan
bebas, mudah, berirama dengan maksud tertentu dalam suatu lingkungan
seputar atau sesuatu yang esensial dalam kehidupan seseorang oleh karena
setiap inidividu bergerak untuk memenuhi kebutuhan makan, minum,
mencegah diri mereka dengan trauma, dan untuk memenuhi kebutuhan dasar
(Johnson, et all, 2000).
23
Yang dimaksus dengan mobilisasi adalah merupakan seseorang untuk
bergerak bebas, mudah, teratur, dan mempunyai tujuan untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehat dan penting untuk kemandirian. Sebaliknya keadaan
mobilisasi adalah suatu pembatasan gerak atau keterbatasan fisik dari
anggota badan itu sendiri berupa perubahan posisi miring kanan dan miring
kiri pada hari pertama, duduk pada hari ke 2 sampai 4 serta ambulasi atau
jalan hari 4 sampai 6.
Adapun tujuan dari mobilisasi adalah sebagai berikut :
1. Mempertahankan fungsi tubuh dan mencegah kemunduran serta
mengembalikan rentan gerak aktifitas tertentu sehingga penderita dapat
kembali normal atau setidaknya dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari.
2. Memperlancar peredaran darah
3. Membantu pernapasan menjadi kuat
4. Mempertahankan tonus otot, memelihara dan meningkatkan pergerakan
dari persendian.
5. Memperlancar eliminasi buang air besar dan buang air kecil.
6. Melatih atau ambulasi.
Mobilisasi itu sendiri mencakup pengaturan posisi, ambulasi dan
Range of Motion (ROM) (Brunner & Suddarth, 2002).
1. Pengaturan posisi
Pasien dengan anestesi spinal dapat dilakukan perubahan posisi dari satu
posisi keposisi yang lain setelah 8-12 jam pasca operasi. Pasien dengan
mobilisasi yang terbatas harus dibalik dari sisi ke sisi yang lain setiap 2
24
jam. Posisi baring pasien harus diubah ketika rasa tidak nyaman terjadi
akibat berbaring dalam satu posisi. Setelah pembedahan, pasien
mungkin dibaringkan dalam berbagai posisi (terlentang dari sifat
prosedur bedahnya) untuk meningkatkan rasa nyaman dan
menghilangkan nyeri.
a) Posisi terlentang
Pasien terbaring terlentang tanpa menaikkan kepala. Pada banyak
kasus, ini adalah posisi dimana pasien dibaringkan segera setelah
pembedahan. Bed Cover jangan sampai membatasi gerak ibu jari
kaki dan telapak kaki pasien.
b) Posisi miring
Pasien berbaring miring kesalah satu sisi dengan lengan atas
kedepan. Bagian dasar tungkai agak fleksi. Sementara tungkai fleksi
pada paha dan lutut, kepala pasien disangga dengan bantal, dan
bantal kedua diletakkan memanjang antara tungkai. Posisi ini
digunakan ketika diinginkan sering mengubah posisi pasien dan
dilakukan pada hari pertama pasca operasi, karena untuk membantu
drainase kavitas, seperti dada dan abdomen dan untuk mencegah
komplikasi pernapasan dan sirkulasi pasca operasi.
c) Posisi fowler
Dari semua posisi yang diuraikan untuk pasien, posisi fowler
kemungkinan adalah posisi yang paling sulit dipertahankan.
Kesulitan pada kasus terlentang pada upaya dimana membuat
25
pasien nyaman dengan tempat tidur ketimbang mengupayakan
tempat tidur menyesuaikan dengan kebutuhan pasien. Posisi ini
dilakukan pada hari kedua sampai keempat setelah pasca operasi.
Badan pasien ditinggikan pada sudut 60º sampai 70º . Ini
merupakan posisi duduk yang nyaman. Pasien dengan drainase
abdomen biasanya dibaringkan dalam posisi fowler segera setelah
mereka pulih kesadarannya., tetapi bagian kepala tempat tidur
ditinggikan dengan lambat untuk mengurangi perasaan kepala
terasa ringan. Umumnya pasien merasa pening setelah bagian
kepala tempat tidur dinaikkan. Karena itu frekuensi nadi dan warna
kulit harus dikaji dengan sering. Jika pusing telah hilang, bagian
kepala tempat tidur dapat dinaikkan lagi dalam 1 atau 2 jam.
Perawat harus menentukan apakah pasien dalam posisi yang tepat
dan nyaman.
2. Ambulasi
Kebanyakan pasien pasca operasi diberikan dorongan untuk turun
dari tempat tidur secepat mungkin. Hal ini ditentukan oleh kestabilan
system kardiovaskuler dan neuromuskuler klien, tingkat aktivitas pasien
yang lazim dan sifat pembedahan yang dilakukan. Setelah anastesi
spinal, bedah minor, bedah sehari, pasien melakukan ambulasi hari ia
dioperasi, tetapi biasanya pasien mau melakukan ambulasi pada hari ke-
4 samapi 6 pasca operasi. Keuntungan ambulasi dini adalah hal tersebut
26
insiden komplikasi pada pasca operasi seperti atelektasis, pneumonia
hipostatik, gangguan gastrointestinal dan masalah sirkulasi.
Atelektasis dan pneumonia hipostatik secara relative tidak sering
terjadi jika pasien bebas bergerak, karena ambulasi
meningkatkan ventilasi dan mengurangi statis bronchial pada paru.
Ambulasi jaga mengurangi kemungkinan distensi abdomen pasca
operasi karena hal itu membantu meningkatkan tonus saluran
gastrointestinal pada dinding abdomen dan menstimulasi peristaltik.
Tromboflebitis atau flebotrombosis terjadi lebih jarang karena
ambulasi dini mencegah statis darah dengan meningkatkan kecepatan
sirkulasi pada ekstremitas. Kecepatan pemulihan pada luka abdomen
lebih cepat bila ambulasi dilakukan lebih dini. Kejadian eveserasi pasca
operasi pada serangkaian kasus benar-benar jarang terjadi bila pasien
diperbolehkan turun dari tempat tidur secepatnya (Perry & Potter, 2005).
Penelitian juga menunjukkan bahwa nyeri berkurang bila ambulasi
dini diperbolehkan, catatan perbandingan memperlihatkan bahwa
frekuensi nadi dan suhu tubuh kembali ke normal lebih cepat bila pasien
berupaya untuk mencapai tingkat aktifitas normal praoperatif secepat
mungkin. Akhirnya lama rawat di rumah sakit akan memendek dan lebih
murah, yang lebih jauh merupakan keuntungan bagi rumah sakit dan
pasien. Ambulasi dini harus jangan melebihi dari toleransi pasien.
Kondisi pasien harus menjadi faktor penentu dan kemajuan langkah
diikuti dengan ambulasi pasien.
27
a) Dengan dukungan keluarga dan dorongan perawat dan keselamatan
sebagai perhatian utama. Pasien dibantu untuk bergerak secara
bertahap dari posisi duduk sampai semua tanda pusing hilang. Posisi
ini dapat dicapai dengan menaikkan kepala tempat tidur.
b) Pasien dapat dibaringkan dengan posisi benar-benar tegak dan
dibalikkan sehingga kedua tungkai menjuntai diatas tepi tempat tidur.
c) Setelah persiapan ini, pasien dapat dibantu untuk dapat berdiri disisi
tempat tidur.
Bila telah terbiasa berjalan. Perawat harus berada di sebelah
pasien untuk memberikan dukungan dan dorongan fisik. Harus hati-
hati untuk tidak membuat pasien letih. Lamanya periode ambulasi
pertama beragam tergantung pada jenis prosedur bedah dan kondisi
fisik serta usia pasien.
3. Range of Motion (ROM)
Jika ambulasi dini tidak dilakukan, latihan ditempat tidur dapat
dilakukan untuk mencapai hasil yang diinginkan sampai tingkat tertentu.
Latihan umum harus dimulai sesegera mungkin setelah pembedahan
(lebih baik dalam 24 jam pertama) dan dilakukan dibawah pengawasan
untuk memastikan bahwa latihan tersebut dilakukan dengan tepat dan
dengan cara yang aman.
Tujuan dari latihan ini adalah untuk meningkatan sirkulasi dan mencegah
terjadinya kontraktur, juga untuk memungkinkan pasien kembali secara
penuh ke fungsi fisiologisnya. Latihan tersebut terdiri dari :
28
a) Latihan nafas dalam untuk menyempurnakan ekspansi paru
b) Latihan lengan melalui rentan gerak penuh, dengan perhatian khusus
pada abduksi dan rotasi eksternal bahu.
c) Latihan tangan dan jari
d) Latihan kaki untuk mencegah foot drop dan deformitas dan untuk
membantu dalam mempertahankan siskulasi yang baik.
e) Latihan fleksi dan mengangkat tungkai untuk membantu aktivitas
ambulasi.
f) Latihan kontraksi abdomen dan gluteal (Henderson, MA. 1997).
3. Teknik perawatan luka
a. Pengertian
Aseptik berarti tidak adanya pathogen penyebab sakit. Tehnik aseptik
adalah usaha mempertahankan pasien sedapat mungkin bebas dari mikro
organisme jika melakukan teknik perawatan luka dengan menggunakan
NaCl 0,9% kemudian diolesi pada daerah luka operasi dengan menggunakan
peralatan yang steril seperti pinset sirurgi, pinset anatomi, sarung tangan,
kapas lidi, kom dan kasa steril (Syamsuhidajat & Jong, 2005).
Teknik perawatan luka adalah prinsip untuk mempertahankan keadaan
bebas kuman, atau prosedur yang dilakukan untuk mengurangi jumlah mikro
organisme disuatu objek, serta mencegah kemungkinan penyebaran dari
migroorganisme ke pasien. Keadaan antiseptik adalah merupakan syarat
mutlak dalam tindakan bedah. Sedangkan antiseptik adalah cara dan
tindakan yang diperlukan untuk mencapai keadaan bebas kuman pathogen.
29
Tindakan ini bertujuan mencegah terjadinya infeksi dengan membunuh
kuman pathogen.
Banyak aturan dan prosedur yang ditetapkan sebagai upaya untuk
mengontrol terjadinya infeksi pada luka. Usaha perawat untuk
meminimalkan serangan dan penyebaran infeksi pada luka didasarkan pada
prinsip tehnik aseptik.
a. Jenis Tehnik Aseptik dalam Praktek Keperawatan
Ada dua jenis tehnik aseptik yang diterapkan dalam praktek
keperawatan yaitu Aseptik Medis dan Aseptik Bedah.
a. Aseptik medis
Adalah tehnik atau prosedur yang dilakukan untuk mengurangi
jumlah mikroorganisme di suatu obyek, serta mencegah kemungkinan
penyebarannya dari mikroorganisme ke pasien.
Karena selama proses parawatan, perawat melakukan kontak dengan
banyak pasien di rumah sakit, maka perawat harus menyadari dan
mengetahui akan prinsip-prinsip medika asepsis sebagai upaya untuk
menghindari transfer kuman dari pasien ke perawat, dari perawat ke
pasien, dari perawat ke perawat lain atau petugas kesehatan lain, atau dari
satu pasien ke pasien lain.
Mata rantai infeksi yang paling mudah untuk diputus adalah cara
penularan. Dalam lingkungan perawatan kesehatan mencuci tangan
adalah merupakan tehnik dasar yang paling penting dalam pencegahan
dan pengontrolan penularan infeksi nosokomial.
30
Adapun peralatan yang digunakan untuk mencuci tangan adalah
sebagai berikut :
a). Sabun
Ada dua jenis sabun yang sering digunakan dilingkungan
perawatan kesehatan yaitu :
(1). Sabun biasa. Secara fisik menyingkirkan kotoran dan organisme
transient dari kulit. Sabun biasa tersedia dalam bentuk batang,
cair, lembaran dan bubuk semuanya dapat digunakan.
(2). Sabun anti mikroba mengandung zat kimia yang dapat membunuh
organisme transient dan beberapa organisme residen, tidak hanya
menyingkirkannya dari kulit. Antimikroba memberikan aktivitas
kimiawi yang persisten, yang berarti bahwa zat-zat kimia tersebut
tetap tinggal di kulit untuk tetap membunuh mikroorganisme
(Schaffer,et al 2000).
b). Orange stick (tusuk kuku yang terbuat dari kayu jeruk)
Alat ini digunakan untuk membersihkan daerah sublingual, yaitu
daerah yang terdapat di bawah kuku dan waktu membersihkan jangan
sampai kulit di bawah kuku lecet. Namun jika kesehatan dan
kebersihan kuku sudah terpelihara baik, cara membersihkan seperti ini
tidak perlu lagi, kecuali jika keadaan tertentu mengharuskan.
c) Air yang mengalir pada wastafel
Mencuci tangan lebih baik dilakukan dengan air yang mengalir
pada wastafel dan kerannya ditutup dan dibuka tidak dengan tangan,
31
maka membuka dan menutupnya haruslah dengan lap kertas (paper
towels).
d). Paper towels atau kertas tissue
e). Keranjang sampah
Larson (1995) merekomendasikan bahwa perawat mencuci
tangan dalam situasi seperti berikut ini :
(1). Jika tampak kotor
(2). Sebelum dan sesudah kontak dengan pasien
(3). Setelah kontak dengan sumber mikroorganisme (darah atau cairan
tubuh, membran mukosa, kulit yang tidak utuh atau obyek yang
mati yang mungkin terkontaminasi).
(4) Sebelum melakukan prosedur invasive seperti pemasangan katheter
intravascular atau catheter menetap (dianjurkan menggunakan
sabun anti mikroba).
(5). Setelah melepas sarung tangan.
Prosedur mencuci tangan menurut potter dan perry (2006) adalah
sebagai berikut :
(a). Gunakan wastafel yang mudah dipakai dengan air yang
mengalir, yang hangat, sabun biasa atau sabun antimikrobial,
lap tangan kertas atau pengering.
(b). Lepaskan jam tangan dan gulung lengan panjang ke atas
pergelangan tangan. Hindari memakai cincin, jika memakai
cincin lepaskan selama mencuci tangan.
32
(c). Jaga supaya kuku tetap pendek dan datar.
(d). Inspeksi permukaan tangan dan jari akan adanya luka atau
sayatan pada kulit dan kutikula, laporkan kalau ada lesi pada
saat merawat pasien yang sangat rentan.
(e). Berdiri di depan wastafel, jaga agar tangan dan seragam tidak
menyentuh wastafel. (jika tangan menyentuh permukaan
wastafel selama mencuci tangan, ulangi).
(f). Alirkan air, tekan pedal dengan kaki untuk mengatur aliran
dan suhu atau dorong pedal lutut secara lateral untuk
mengatur aliran dan suhu.
(g). Hindari percikan air mengenai seragam.
(h). Atur aliran air sehingga suhu hangat.
(i). Basahi tangan dan lengan bawah dengan seksama sebelum
mengalirkan air hangat. Pertahankan supaya tangan dan
lengan bawah lebih rendah daripada siku selama mencuci
tangan.
(j). Taruh sedikit sabun biasa atau sabun antimikroba cair pada
tangan, sabuni dengan seksama. Dapat digunakan butiran
sabun siap pakai.
(k). Gosok kedua tangan dengan cepat paling sedikit 10 sampai
15 detik. Jalin jari-jari tangan dan gosok telapak dan bagian
punggung tangan dengan gerakan sirkular paling sedikit
masing-masing 5 kali. Pertahankan supaya ujung jari berada
33
di bawah untuk memungkinkan pemusnahan mikro
organisme.
(l). Jika daerah di bawah kuku kotor, bersihkan dengan kuku jari
tangan yang satunya dan tambah sabun atau stik
orangewood yang bersih.
(m). Bilas tangan dan pergelangan tangan dengan seksama,
pertahankan supaya letak tangan di bawah siku.
(n). Pilihan : ulangi langkah-langkah 10 sampai 12 namun
tambah periode mencuci tangannya 1,2 dan 3 detik.
(o). Keringkan tangan dengan seksama dan jari tangan ke
pergelangan tangan dan lengan bawah dengan handuk kertas
atau pengering.
(p). Jika digunakan, buang handuk kertas pada tempat yang
tepat.
(q). Tutup air dengan kaki dan pedal lutut. Untuk menutup kran
yang menggunakan tangan, pakai handuk kertas yang
kering.
b. Aseptik bedah
Aseptik bedah atau tehnik steril termasuk prosedur yang digunakan
untuk membunuh mikroorganisme dari suatu area untuk meyakinkan
bahwa prosedur pembedahan streril.
Tehnik steril juga sering dibutuhkan dalam berbagai tindakan
keperawatan di ruang perawatan, seperti saat persiapan dan pemberian
34
injeksi, pemasangan katheter, terapi intravena, pemasangan infus
trakheobronkial, dan perawatan luka operasi (mengganti balutan).
Adapun prosedur steril dalam perawatan luka adalah sebagai berikut :
a) Menata area steril
(1). Mencuci tangan
(2). Sebelum dilakukan sterilisasi, alat-alat dibungkus rapat agar tidak
terkontaminasi, sehingga saat dibuka alat yang sudah steril tidak
akan terkontaminasi.
(3). Apabila ingin menambah alat-alat yang steril, tempatkan pada sisi
area yang steril.
b) Membuka bungkusan steril
(1). Mencuci tangan.
(2). Ketika membuka alat yang steril, jangan sampai menyentuh obyek
yang steril atau area steril.
(3). Peganglah hanya pada sisi luar pembungkusnya.
(4).Jangan membiarkan sesuatu yang tidak steril menyentuh isi
bungkusan steril (Black, et al, 2001).
c) Menambah alat-alat kedalam area steril
Ketika menambahkan alat-alat steril ke area steril hal yang harus
diperhatikan adalah menjaga agar tidak terjadi kontaminasi seperti :
(1). Mencuci tangan
(2). Membuka pembungkus tanpa menyentuh bagian yang steril
35
(3). Tempatkan alat-alat tersebut pada bidang yang steril dan jaga agar
tangan tidak menyentuh bidang steril. Saat meletakkan alat atau
bahan yang kecil seperti kasa pembalut, posisi tangan berada
kurang lebih 6 sampai 8 inchi diatas permukaan bidang steril. Bila
alat-alat tersebut besar atau berat maka secara hati-hati
ditempatkan pada bidang steril atau bisa dengan menggunakan
korentang steril.
(4). Jaga agar tangan tidak menyentuh bidang steril.
d) Menambah cairan kedalam area steril
(1). Mencuci tangan
(2).Tuangkan sedikit cairan misalnya bethadine kedalam tempat
pembuangan sebelum menuangkan kedalam wadah steril.
(3). Tuangkan cairan kedalam wadah steril kira-kira 6 sampai 8 inchi
diatasnya.
(4).Tuangkan secara perlahan-lahan untuk mencegah terjadinya
percikan.
(5). Jagalah tangan agar tidak bersentuhan langsung dengan area steril
(Black, et al, 2001).
e) Menggunakan sarung tangan steril
(1). Cuci tangan secara menyeluruh
(2).Buka pembungkus kemasan bagian luar dengan hati-hati
menyibakkannya kesamping.
36
(3). Pegang kemasan bagian dalam dan taruh pada permukaan datar
yang bersih tepat di atas ketinggian pergelangan tangan. Buka
kemasan, pertahankan sarung tangan pada permukaan dalam
pembungkus.
(4). Bila sarung tangan belum di bedaki, ambil sebungkus bedak dan
tuangkan sedikit pada tangan di atas bak cuci atau keranjang
sampah.
(5) Identifikasi tangan kanan dan kiri. Setiap sarung tangan
mempunyai manset kurang lebih 5 cm (2 inchi), kenakan sarung
tangan pada tangan dominan terlebih dahulu.
(6) Dengan ibu jari dan dua jari lainnya dari tangan nondominan,
pegang tepi manset sarung tangan untuk tangan dominan. Sentuh
hanya pada permukaan dalam sarung tangan.
(7) Dengan hati-hati tarik sarung tangan pada tangan dominan,
lebarkan manset dan pastikan bahwa manset tidak menggulung
pada pergelangan tangan. Pasti juga bahwa ibu jari dan jari-jari
pada posisi yang tepat.
(8) Dengan tangan dominan yang telah menggunakan sarung tangan,
masukkan jari-jari tangan manset sarung tangan kedua.
(9) Dengan hati-hati tarik sarung tangan kedua pada tangan non
dominan. Jangan biarkan jari-jari dan ibu jari sarung tangan
dominan menyentuh bagian tangan non dominan yang terbuka.
Pertahankan ibu jari tangan non dominan abduksi ke belakang.
37
(10) Manakala sarung tangan kedua telah terpasang, cakupkan kedua
tangan anda. Manset biasaya terlepas setelah pemasangan.
Pastikan untuk hanya menyentuh bagian yang steril.
5.Pengobatan
Penggunaan pengobatan antibiotik untuk profilaksis mungkin banyak luka
ditutup dengan pembedahan dengan resiko dapat berkurang bilamana kadar
kontaminasi yang tinggi dijumpai di kamar operasi.
Pemberian pengobatan dengan terapi antibiotik pada pasca operasi
laparatomi dapat diindikasikan untuk pembedahan resiko tinggi, pada pasien
resiko tinggi, atau pada pembedahan resiko rendah yang dapat membantu
penyembuhan luka, sehingga lama hari rawat pasien pasca operasi laparatomi
menjadi lebih efesien (Efendi & Ferry, 2007).
6. Usia
Usia dalam kamus bahasa Indonesia adalah waktu hidup atau sejak
dilahirkan. Menurut (Nugroho, Wahyudi, 2008), pengelompokan umur
sebagai berikut :
a. Usia dewasa muda : 18 atau 20 sampai 25 tahun.
b. Usia dewasa penuh : 20 sampai 60 tahun.
c. Lanjut usia : lebih dari 60 tahun.
Usia mempunyai hubungan dengan tingkat keterpaparan, besarnya
resiko, serta sifat resistensi tertentu, Di samping itu, usia juga mempunyai
hubungan yang erat dengan beragam sifat yang dimiliki oleh seseorang.
38
Perbedaan penyakit menurut umur sangat mempunyai pengaruh yang
berhubungan dengan :
a. Perbedaan tingkat keterpaparan dan kerentanan menurut umur.
b. Perbedaan dalam proses pathogenesis.
c. Perbedaan dalam hal pengalaman terhadap penyakit tertentu.
Penyimpangan fisik timbul seiring dengan bertambahnya umur.
Ketergantungan juga sering dianggap sebagai salah satu ciri dari lansia atau
dewasa lanjut. Dalam beberapa hal ternyata bahwa lansia memang benar lebih
lemah dan memiliki ketergantungan yang lebih tinggi dibandingkan yang muda.
Tahap penyembuhan luka dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya usia. Beberapa teori menyatakan bahwa penurunan atau perubahan
dalam keefektifan suatu imun berperan dalam penuaan. Mekanisme seluler
tidak teratur diperkirakan menyebabkan serangan pada jaringan tubuh melalui
autoagresi atau imunodepisiensi (Penurunan imun) (Potter & Perry, 2005).
Kulit utuh pada orang dewasa muda yang sehat merupakan suatu barier
yang terhadap trauma mekanis dan juga infeksi, begitu juga efisiensi sistem
imun, sistem kardiovaskuler dan sistem respirasi yang memungkinkan
penyembuhan luka terjadi lebih cepat. Sistem tubuh yang berbeda tumbuh
dengan kecepatan yang berbeda pula, tetapi lebih dari usia 30 tahun mulai
terjadi penurunan yang signifikan dalam beberapa fungsinya, seperti penurunan
efesiensi jantung, kapasitas vital, dan juga penurunan efesiensi sistem imun
yang masing-masing masalah tersebut ikut mendukung terjadinya kelambatan
penyembuhan seiring dengan bertambahnya usia.
39
Dengan bertambahnya usia, kemampuan sistem imun untuk
menghancurkan bakteri dan jamur melemah bahkan sistem ini mungkin tidak
memulai serangannya sehingga sel mutasi terbentuk beberapa kali. Disfungsi
sistem imun dapat diperkirakan menjadi faktor di dalam perkembangan
penyakit kronis seperti kanker, diabetes, dan penyakit kardiovaskuler serta
infeksin (Potter & Perry, 2006).
Penuaan dapat mengganggu semua tahap penyembuhan luka. Prinsip
gerontologis untuk penyembuhan luka, yaitu :
a. Berkurangnya aktivitas sel epidermis pada kulit lansia akan menambah
waktu pembentukan sel epidermis 1/3 waktu dari waktu normal. Arti klinis:
penggantian sel epitel yang lambat berarti penyembuhan luka pada lansia
berlangsung lebih lambat.
b. Proses penuaan menyebabkan atropi dan penipisan kedua lapisan kulit. Arti
klinis: Penipisan epidermis menyebabkan fungsi barier kulit berkurang
sehingga zat kimia dapat dengan mudah masuk ke dalam tubuh.
c. Area permukaan kulit lansia lebih sempit dibandingkan dengan kulit orang
yang lebih muda, juga terjadi kelemahan pada penghubung epidermis dan
dermis. Arti klinis: Karena penghubung kedua lapisan ini semakin melemah
menyebabkan kulit mudah robek.
d. Proses penuaan menyebabkan gangguan fungsi imun sel yang berada pada
kulit. Arti klinis: gangguan fungsi imun pada kulit lansia berarti terjadi
penurunan kemampuan melawan infeksi.
40
e. Hipodermis mengecil seiring dengan peningkatan usia. Arti klinis: bantalan
subkutan lebih sedikit sehingga beresiko mengalami kerusakan kulit.
(Potter & Perry, 2006).
Perawatan post operatif segera bagi pasien lansia sama dengan semua
pasien yang mengalami pembedahan, tetapi dukungan tambahan diberikan
bila terjadi kerusakan fungsi sistem kardiovaskuler, sistem pulmonal atau
sistem perkemihan. Banyak orang lansia dapat mentoleransi pembedahan
dengan baik dan mempunyai pemulihan yang sangat mengagumkan. Ada
kecenderungan bahwa pada kelompok usia yang lebih tua mempunyai
kemungkinan yang lebih besar untuk perawatan yang lebih lama (Brunner &
Suddarth, 2002).
6. Nutrisi
Penyembuhan Luka secara normal memerlukan nutrisi yang tepat. Proses
fisiologis penyembuhan luka tergantung kepada tersedianya protein, vitamin
(terutama vitamin A dan C) dan mineral renik zink dan tembaga. Kolagen
adalah protein yang terbentuk dari asam amino yang diperoleh fibroblast dari
protein yang dimakan. Vitamin A dapat mengurangi efek negatif steroid pada
penyembuhan luka elemen renik zink di perlukan untuk pembentukan epitel,
sitesis kolagen (zink) dapat menyatukan serat – serat kalogen (tembaga) (Perry
dan Potter, 2005)
Terapi nutrisi sangat penting untuk pasien yang lemah akibat penyakit.
Pasien yang telah menjalani operasi dan diberi nutrisi yang baik masih tetap
membutuhkan sedikitnya 1500 Kkal/hari. Pemberian makanan alternative
41
seperti melalui enteral dan parenteral di lakukan pada pasien yang tidak mampu
mempertahankan asupan makanan secara normal (Perry dan Potter, 2005).
Telah diketahui bahwa malnutrisi dapat mempengaruhi kesembuhan
luka, menaikkan kepekaan terhadap infeksi dan menyumbang peningkatan
insidensi komplikasi, pemondokan yang lebih lama dan rawat baring yang lebih
lama pula.
Salah satu pemeriksaan yang baik, cepat, murah dan banyak digunakan
untuk mengetahui status nutrisi pasien adalah dengan pemeriksaan kadar
albumin serum. Albumin dapat diukur dengan pemeriksaan darah sederhana.
Terjadinya hipoalbumin dapat mempengaruhi proses penyembuhan luka pasca
operasi.
Albumin merupakan protein yang bersirkulasi dalam darah yang
diproduksi dalam hati dan sebagai media transport untuk berbagai substansi
seperti bilirubin, asam lemak, zat besi, ion-ion, hormone dan obat-obatan.
Albumin terdiri dari 50% protein dan membuat tekanan onkotik plasma 75%
sampai 80%. Nilai normal albumin dalam serum adalah 3.5 sampai 4,5 g/dl
dengan total dalam tubuh berkisar 300 sampai 500 gram (Ary Wibowo &
Agung 2006).
Penyembuhan luka secara normal memerlukan nutrisi yang tepat. Proses
fisiologis penyembuhan luka bergantung pada tersedianya protein, vitamin,
mineral dan tembaga. Adanya asupan nutrisi yang baik dapat membantu terapi
farmakologis, sehingga dapat membantu proses penyembuhan luka pasca
operasi dan dapat mempengaruhi lama perawatan.
42
Pengobatan Usia Nutrisi
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS
A. KERANGKA KONSEP
Berdasarkan tinjauan kepustakaan yang dikemukakan diatas, maka
dasar pemikirannya adalah sebagai berikut :
Variabel Independent Variabel Dependent
Frekuensi Perawatan Luka
Mobilisasi Teknik perawatan
luka
Lama Hari Rawat Pasca operasi Laparatomi
Variabel Kontrol
Keterangan :
Variabel yang diteliti
Variabel yang tidak diteliti
B. HIPOTESIS
43
1. Ada hubungan antara faktor frekuensi perawatan luka dengan lama hari rawat
pada pasien pasca operasi laparatomi.
2. Ada hubungan antara faktor mobilisasi dengan lama hari rawat pada pasien
pasca operasi laparatomi.
3. Ada hubungan antara faktor teknik perawatan luka dengan lama hari rawat pada
pasien pasca operasi laparatomi.
BAB IV
44
METODE PENELITIAN
A. DESAIN PENELITIAN
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini observasional
dengan rancangan kohort prospektif yang dimaksudkan untuk mengetahui faktor-
faktor yang mempengaruhi lama hari rawat pada pasien pasca operasi laparatomi
antara variabel bebas (independen) dengan variabel terikat (dependen) dimana
observasi atau pengukuran terhadap semua variabel dilakukan sekali dalam waktu
yang bersamaan (Nursalam, 2008).
B. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN
1. Tempat penelitian
Tempat penelitian yang dimaksud adalah tempat dimana peneliti akan
melakukan penelitian yakni di Rumah Sakit Umum Daerah Labuang Baji
Makassar.
2. Waktu penelitian
Penelitian ini telah dilaksanakan pada tanggal 17 November sampai 07
Desember 2009.
C. POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN
45
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien yang telah dilakukan
tindakan operasi laparatomi di ruang bedah Rumah Sakit Umum Daerah
Labuang Baji Makassar Tahun 2009 sebanyak 50 pasien.
2. Sampel
Sampel pada penelitian ini adalah pasien yang telah di operasi laparatomi
yang dirawat diruang bedah di Rumah Sakit Umum Daerah Labuang Baji
Makassar sebanyak 31 pasien. Dimana sampel diambil dari data primer (ruang
perawatan bedah) secara probability sampling yaitu semua sampel yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang dirawat diruang bedah Rumah
Sakit Umum Daerah Labuang Baji Makassar tahun 2009.
Kriteria Sampel :
a) Kriteria Inklusi meliputi :
1) Pasien pasca operasi laparatomi pada hari kedua.
2) Pasien yang berumur 20 tahun sampai dengan 50 tahun.
3) Pasien yang mendapat pengobatan antibiotik yang sama seperti
Cefotaxim.
b) Kriteria Eksklusi meliputi :
1) Pasien dengan pasca operasi laparatomi tapi menderita penyakit lainnya
(komplikasi seperti penyakit diabetes mellitus).
2) Pasien pulang paksa atau permintaan sendiri.
3) Pasien meninggal.
D. Alur Penelitian
46
Dalam penelitian ini, penelitian mendapat rekomendasi dari Ketua Program Studi
Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin untuk melakukan
pengambilan data. Sebelum melakukan penelitian ini, terlebih dahulu meminta
izin kepada Direktur RSUD Labuang Baji Makassar untuk mengambilan data
primer diruang perawatan bedah, setelah itu meminta persetujuan dari responden
untuk subjek penelitian adalah semua pasien yang telah menjalani pasca operasi
laparatomi dengan kriteria inklusi : frekuensi perawatan luka, mobilisasi dini dan
teknik perawatan luka yang dilakukan dengan cara observasi, setelah itu
pengolahan data dan analisa data dengan penyajian data dengan metode statistik
SPSS 15 setelah itu membuat pembahasan hasil di susul membuat kesimpulan
dan saran.
47
Penelitian ini dilaksanakan sesuai alur penelitian yang digambarkan dalam bentuk
skema berikut :
Izin Pengambilan Data Awal
Pengambilan Data Awal
Persetujuan Responden
Subjek Penelitian
Semua pasien yang telah menjalani Pasca Operasi Laparatomi
Penetapan Sampel (Kriteria Inklusi):
Frekuensi perawatan Luka
Mobilisasi
Teknik perawatan luka
Observasi
Pengolahan Data dan Analisa Data
Penyajian Data Metode Statistik SPSS 15
Hasil Pembahasan
Kesimpulan dan Saran
48
E. VARIABEL PENELITIAN
1. Identifikasi Variabel
Variabel adalah karakteristik subjek penelitian yang berubah dari suatu
subjek ke subjek lainnya, sehingga dapat pula disebut sebagai karakteristik
suatu benda atau subjek. Menurut fungsinya dalam konteks penelitian secara
keseluruhan, khususnya dalam hubungan antar variabel terdapat beberapa jenis,
yaitu :
a. Variabel bebas (variabel independen) adalah variabel
yang bila terjadi perubahan akan mengakibatkan perubahan variabel lain.
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah frekuensi perawatan luka,
mobilisasi dan tehnik perawatan luka.
b. Variabel tergantung (variabel dependent) adalah
variabel yang berubah diakibatkan adanya perubahan variabel bebas.
Variabel tergantung pada penelitian ini adalah lamanya hari rawat pasien
pasca operasi laparatomi.
c. Variabel kendali atau kontrol adalah variabel yang
nilainya dikendalikan dalam penelitian baik seluruhnya ataupun sebagian
saja seperti : pengobatan, usia dan nutrisi. (Nursalam, 2008).
2. Definisi operasional kriteria obyektif
a. Frekuensi perawatan luka
Yang dimaksud dengan frekuensi perawatan luka dalam penelitian
ini adalah penggantian balutan untuk luka kering dan bersih balutan diganti
49
dua hari sekali setelah operasi dan juga tergantung pada jenis balutan yang
digunakan.
Kriteria objektif :
1 x : Jika dilakukan perawatan luka 1 kali dalam 1 hari.
>1 X : Jika dilakukan perawatan luka > 1 kali dalam 1 hari.
b. Mobilisasi
Mobilisasi adalah tindakan oleh pasien dengan melakukan gerak fungsi
dasar atau mengubah posisi tidur tertentu untuk merangsang peningkatan
sirkulasi darah pada daerah luka operasi. Pengukuran menggunakan skala
Likert dengan alat ukur chek list dengan penilaian sering=3, kadang-
kadang=2, jarang=1, tidak pernah=0.
Kriteria Objektif:
Dilakukan : bila skor responden ≥ 8
Tidak dilakukan : bila skor responden < 8
c. Teknik perawatan luka
Adalah tindakan yang sengaja dilakukan oleh perawat untuk merawat luka
pasca operasi laparatomi dengan menggunakan teknik perawatan steril.
Pengukuran menggunakan skala interval dengan alat ukur chek list, bila
dilakukan diberi nilai 1 dan tidak dilakukan diberi nilai 0.
Kriteria objektif :
Aseptik : bila skor responden ≥ 7
Kurang aseptik : bila skor responden < 7
50
d.Lama hari rawat
Yang dimaksud dengan lama hari rawat dalam penelitian ini adalah
hari rawat pasien setelah menjalani pembedahan laparatomi sampai
pasien dinyatakan sembuh atau diijinkan pulang.
Kriteria objektif :
Hari rawat pendek : Jika lama hari rawat 7 sampai 14 hari.
Hari rawat panjang : Jika hari rawat pasien lebih dari 14 hari.
F. INSTRUMEN PENELITIAN
Instrumen yang dilakukan dalam pengumpulan data pada penelitian ini
adalah dengan menggunakan lembar observasi dan kuisioner yang terdiri dari :
Frekuensi perawatan luka, mobilisasi dini dan tehnik aseptik yang diukur dengan
menggunakan skala Guttman, untuk nilai kuisioner: ya = 1 dan tidak = 0
(Saryono 2008). Kuisioner dengan tipe multiple choice yang terdiri atas 10
pertanyaan dengan kriteria : > 5 = Baik dan < 5 = Kurang
G. PENGOLAHAN DAN ANALISA DATA
1. Pengolahan Data
Prosedur pengolahan data yang dilakukan sebagai berikut :
a. Editing
51
Dilakukan setelah data terkumpul dan dilakukan dengan memeriksa
kelengkapan data, kesinambungan data dan keseragaman data.
b. Koding
Merupakan pemberian kode pada data.
c. Tabulasi
Pembuatan program entry data, cleaning data dan analisis data dalam
bentuk tabel disertai keterangan.
2. Analisa Data
Dilakukan melalui uji hipotesis dan pengolahan data dilakukan dengan
menggunakan program SPSS 15.
a. Analisis univariat
Dilakukan terhadap tiap-tiap variabel penelitian untuk melihat
tampilan didtrisbusi frekuensi dan persentase dari tiap-tiap variabel
independen dan dependen.
b. Analisis bivariat
Analisis ini dilakukan untuk menjawab tujuan penelitian dan menguji
hipotesis peneliti. Untuk maksud tersebut uji statistik yang digunakan
adalah uji Fisher’s Exact Test dengan tingkat kemaknaan α : 0,05.
c. Analisis multivariat
Dalam analisis multivariat ini dilakukan pengujian secara bersama-
sama sehingga dapat dilihat variabel mana yang paling berhubungan
52
dengan lama hari rawat. Karena variabel terikat merupakan variabel
dikotomis maka digunakan analisis regresi logistik.
Analisis ini bertujuan untuk mengetahui besarnya OR murni dari
variabel bebas setelah memperhitungkan variabel lain. Hasil dari analisis
ini adalah nilai odds ratio murni yang sudah dikontrol dengan
menghilangkan pengaruh variabel yang di duga sebagai konfounding dan
memperhitungkan adanya interaksi antara variabel lain dengan variabel
bebas utama.
Variabel yang akan dilakukan dalam analisis multivariat adalah
variasi kovariat yang mempunyai nilai P lebih kecil atau sama dengan
0,05 dalam analisis bivariat tentang hubungan variabel dengan variabel
bebas atau variabel tersebut secara substansif diduga adanya hubungan
yang erat.
H. MASALAH ETIKA PENELITIAN
Dalam melakukan penelitian, peneliti perlu mendapat rekomendasi dari
Program Study Ilmu Keperawatan FKUH dengan mengajukan permohonan izin
kepada Direktur RSUD Labuang Baji Makassar. Setelah mendapat persetujuan
barulah melakukan penelitian dengan menekankan masalah etika yang meliputi :
1. Informed Consent
Lembar persetujuan ini diberikan kepada respon yang akan diteliti yang
memenuhi kriteria inklusi. Bila subjek menolak maka peneliti tidak
memaksakan dan tetap menghormati hak-hak subjek.
53
2. Anonimity.
Untuk menjaga kerahasiaan, peneliti tidak akan mencantumkan nama
responden tetapi lembar tersebut diberi kode.
3. Confidentiality
Kerahasiaan responden dijamin peneliti, hanya kelompok data tertentu
yang akan dilaporkan sebagai hasil penelitian.
54
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini observasional
dengan rancangan kohort prospektif yang dimaksudkan untuk mengetahui faktor-
faktor yang mempengaruhi lama hari rawat pada pasien pasca operasi laparatomi
antara variabel bebas (independen) dengan variabel terikat (dependen) dimana
observasi atau pengukuran terhadap semua variabel dilakukan sekali dalam waktu
yang bersamaan (Nursalam, 2008). yang dilaksanakan pada bulan Desember
2009. Data yang dikumpul meliputi frekuensi perawatan luka, mobilisasi, dan
teknik perawatan luka.
Pengambilan sampel dilakukan dengan cara purposive sampling
dengan jumlah sampel 31. Setelah data terkumpul kemudian data diolah dan
disajikan distribusi frekuensi dan persentase dari variabel yang diteliti, kemudian
dilakukan analisa terhadap variabel tersebut.
Adapun data pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Karakteristik demografi
Distribusi responden berdasarkan karakteristik demografi meliputi :
umur, pendidikan, dan jenis kelamin. Berdasarkan data demografi responden
diperoleh gambaran bahwa sebagian besar responden berumur di antara > 35
tahun ( 58,1% ), dan sebagian besar responden pendidikannya SMA (38,7%).
55
Dari segi jenis kelamin menunjukkan bahwa sebagian besar responden adalah
perempuan (64,5%). Hal ini dapat dilihat pada tabel 5.1.
Tabel 5.1
Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik DemografiDi Ruang Bedah Rumah Sakit Umum Daerah Labuang Baji
Makassar Tahun 2009Karakteristik n %
Umur (dalam tahun) :≤ 20 tahun
21-30 tahun31-35 tahun> 35 tahun
110218
3,232,36,558,1
Pendidikan:SD
SMPSMAPT
77125
22,622,638,716,1
Jenis KelaminLaki-laki
Perempuan1120
35,564,5
Jumlah 31 100,0Sumber : Data Primer, 2009
2. Analisa Univariat
a. Frekuensi Perawatan Luka
Distribusi responden berdasarkan frekuensi perawatan luka pada
pasien pasca operasi laparatomi di ruang bedah Rumah Sakit Umum
Daerah Labuang Baji Makassar menunjukkan bahwa pasien yang
frekuensi perawatan lukanya 1 kali sehari sebanyak 11 (35,5%), dan
frekuensi perawatan lukanya 2 kali sehari sebanyak 20 (64,5%). Hal ini
dapat dilihat pada tabel 5.2.
56
Tabel 5.2
Distribusi Responden Berdasarkan Frekuensi Perawatan Luka di Ruang Bedah Rumah Sakit Umum Daerah Labuang Baji Makassar
Tahun 2009Frekuensi Perawatan Luka n %
1 Kali Sehari
2 Kali Sehari
11
20
35,5
64,5
Jumlah 31 100
Sumber : Data Primer, 2009
b. Mobilisasi
Distribusi responden berdasarkan mobilisasi pada pasien pasca
operasi laparatomi di Ruang Bedah Rumah Sakit Umum Daerah Labuang
Baji Makassar menunjukkan bahwa pasien yang melakukan mobilisasi
sebanyak 18 (58,1%), dan yang tidak melakukan mobilisasi sebanyak 13
(41,9%). Hal ini dapat dilihat pada tabel 5.3.
Tabel 5.3
Distribusi Responden Berdasarkan Mobilisasi Pada PasienPasca operasi laparatomi di Ruang Bedah Rumah Sakit Umum Daerah Labuang Baji
Makassar Tahun 2009Mobilisasi n %
Dilakukan
Tidak Dilakukan
18
13
58,1
41,9
Jumlah 31 100
Sumber : Data Primer, 2009
c. Teknik perawatan luka
Distribusi responden berdasarkan teknik perawatan luka pada pasien
pasca operasi laparatomi di Ruang Bedah Rumah Sakit Umum Daerah
57
Labuang Baji Makassar menunjukkan bahwa pasien yang teknik
perawatan lukanya steril sebanyak 24 (77,4%), dan yang tidak steril
sebanyak 7 (22,6%). Hal ini dapat dilihat pada tabel 5.4.
Tabel 5.4
Distribusi Responden Berdasarkan teknik perawatan luka Pada Pasien Pasca operasi laparatomi di Ruang Bedah
Rumah Sakit Umum Daerah Labuang Baji Makassar Tahun 2009
Teknik perawatan luka n %
Aseptik
Kurang aseptik
24
7
77,4
22,6
Jumlah 31 100
Sumber : Data Primer, 2009
d. Lama hari rawat
Distribusi responden berdasarkan lama hari rawat pada pasien pasca
operasi laparatomi di Ruang Bedah Rumah Sakit Umum Daerah Labuang
Baji Makassar menunjukkan bahwa pasien yang hari rawatnya lama
sebanyak 8 (25,8%), dan hari rawatnya singkat sebanyak 23 (74,2%). Hal
ini dapat dilihat pada table 5.5.
Tabel 5.5
Distribusi Responden Berdasarkan Lama Hari Rawat Pada Pasien Pasca operasi laparatomi di Ruang Bedah
Rumah Sakit Umum Daerah Labuang Baji Makassar Tahun 2009
Lama Hari Rawat n %
Lama
Singkat
8
23
25,8
74,2
Jumlah 31 100
Sumber : Data Primer, 2009
58
3. Analisa Bivariat
Analisa bivariat berfungsi untuk melihat hubungan variabel bebas
terhadap variable dependen dengan menggunakan program komputer SPSS
dimana hubungan antar variabel dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
a. Hubungan frekuensi perawatan luka dengan lama hari rawat pada pasien
pasca operasi laparatomi
Hari rawat yang lama pada pasien pasca operasi laparatomi di Ruang
Bedah Rumah Sakit Umum Daerah Labuang Baji Makassar pada pasien
yang perawatan lukanya 1 kali sehari sebanyak 6 (19,4%) dan pada pasien
yang perawatan lukanya 2 kali sehari sebanyak 2 (6,5%), dengan nilai p =
0,012 yang berarti ada hubungan frekuensi perawatan luka dengan lama
hari rawat pada pasien pasca operasi laparatomi. Adapun nilai OR=10,800
yang berarti frekuensi perawatan luka yang satu kali sehari berisiko 10 kali
lama hari rawatnya dibandingkan dengan frekuensi perawatan luka yang
dua kali sehari. Hal ini dapat dilihat pada tabel 5.6.
Tabel 5.6
Hubungan Frekuensi Perawatan Luka dengan Lama Hari Rawat Pasien Pasca operasi laparatomi di Ruang Bedah Rumah Sakit Umum Daerah
Labuang Baji Makassar
Frekuensi Perawatan Luka
Lama Hari RawatTotal
pLama Singkat
n % n % n %
1 kali sehari2 kali sehari
62
19,46,5
518
16,158,1
1120
35,564,5 0,012
Total 8 25,9 23 74,2 31 100Sumber : Data Primer, 2009 α=0,05 OR=10,800
59
b. Hubungan mobilisasi dengan lama hari rawat pada pasien pasca operasi
laparatomi
Hari rawat yang lama pada pasien pasca operasi laparatomi di Ruang
Bedah Rumah Sakit Umum Daerah Labuang Baji Makassar pada pasien
yang tidak melakukan mobilisasi dengan baik sebanyak 6 (19,4%) dan pada
pasien yang melakukan mobilisasi dengan baik sebanyak 2 (6,4%), dengan
nilai p = 0,043 yang berarti ada hubungan mobilisasi dengan lama hari
rawat pada pasien pasca operasi laparatomi di Ruang Bedah Rumah Sakit
Umum Daerah Labuang Baji Makassar. Adapun nilai OR=6,857 yang
berarti pasien yang tidak melakukan mobilisasi berisiko 6 kali lama hari
rawatnya dibandingkan dengan yang melakukan mobilisasi. Hal ini dapat
dilihat pada tabel 5.7.
Tabel 5.7.
Hubungan Mobilisasi dengan Lama Hari Rawat Pasien Pasca operasi laparatomi di Ruang Bedah Rumah Sakit Umum Daerah
Labuang Baji Makassar
Mobilisasi
Lama Hari RawatTotal
pLama Singkat
n % n % n %
Tidak DilakukanDilakukan
62
19,46,4
716
22,651,6
1318
41,958,1 0,043
Total 8 25,8 23 74,2 31 100Sumber : Data Primer, 2009 α=0,05 OR=6,857
60
c. Hubungan teknik perawatan luka dengan lama hari rawat pada pasien pasca
operasi laparatomi
Hari rawat yang lama pada pasien pasca operasi laparatomi di Ruang
Bedah Rumah Sakit Umum Daerah Labuang Baji Makassar pada pasien
yang teknik perawatan lukanya tidak steril sebanyak 5 (16,1%) dan pada
pasien yang teknik perawatan lukanya steril sebanyak 3 (9,7%), dengan
nilai p = 0,006 yang berarti ada hubungan teknik perawatan luka dengan
lama hari rawat pada pasien pasca operasi laparatomi di Ruang Bedah
Rumah Sakit Umum Daerah Labuang Baji Makassar. Adapun nilai
OR=17,580 yang berarti teknik perawatan luka yang tidak steril berisiko 17
kali lama hari rawatnya dibandingkan dengan teknik perawatan luka yang
steril. Hal ini dapat dilihat pada tabel 5.8.
Tabel 5.8.
Hubungan Teknik Perawatan Luka dengan Lama Hari Rawat Pasien Pasca operasi laparatomi di Ruang Bedah Rumah Sakit Umum
Daerah Labuang Baji Makassar
Teknik Perawatan Luka
Lama Hari RawatTotal
pLama Singkat
n % n % n %
Kurang aseptikAseptik
53
16,19,7
221
6,567,7
724
22,677,4 0,006
Total 8 25,8 23 74,2 31 100Sumber : Data Primer, 2009 α=0,05 OR=17,580
4. Analisa multivariat
Analisis multivariat digunakan untuk melihat faktor yang berhubungan
dengan lama hari rawat pada pasien pasca operasi laparatomi di Ruang Bedah
61
Rumah Sakit Umum Daerah Labuang Baji Makassar. Dari analisis bivariat
diperoleh 3 variabel independent meliputi frekuensi perawatan luka,
mobilisasi, dan teknik perawatan luka, yang berhubungan dengan lama hari
rawat pada pasien pasca operasi laparatomi di Ruang Bedah Rumah Sakit
Umum Daerah Labuang Baji Makassar.
Setelah dilakukan analisis logistik regresi ketiga variabel independen
tersebut sebagaimana hasilnya diuraikan pada tabel 5.9.
Tabel 5.9.
Analisis Multivariat Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Lama Hari Rawat Pada Pasien Pasca Operasi Laparatomi di Ruang Bedah
Rumah Sakit Umum Daerah Labuang Baji Makassar
VariabelKoefisien
RegresiWald df Sig OR
Frekuensi Perawatan 1,222 4,332 1 0,037 12,723
Mobilisasi 1,557 0,086 1 0,770 0,634
Teknik Perawatan 1,286 5,535 1 0,019 20,604
Constant 3,299 5,751 1 0,016 0,000
Sumber : Data Primer, 2009
Berdasarkan tabel di atas, hasil analisis menunjukkan dari tiga variabel
independen, yang paling berpengaruh adalah teknik perawatn luka ( 0,019 ).
62
B. Pembahasan
1. Hubungan frekuensi perawatan luka dengan lama hari rawat pada pasien
pasca operasi laparatomi.
Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan ada hubungan frekuensi
perawatan luka dengan lama hari rawat pada pasien pasca operasi laparatomi
di Ruang Bedah Rumah Sakit Umum Daerah Labuang Baji Makassar.
Berdasarkan hasil observasi peneliti dapatkan di Rumah Sakit Umum
Daerah Labuang Baji Makassar, perawat yang melakukan perawatan luka
hanya tiga orang perawat saja dimana ketiga perawat tersebut pendidikan
terakhirnya DIII keperawatan. Peneliti menemukan frekuensi perawatan luka
tidak semuanya dilakukan dua kali sehari tetapi sebagian besar hanya satu
kali sehari. Perawatan luka yang dilakukan dua kali sehari hanya pada pasien
yang lukanya kotor, sehingga frekuensi perawatan luka lebih dari dua kali
bukan rutinitas.
Data mengenai lama hari rawat yang panjang walaupun telah dilakukan
perawatan luka dua kali sehari dan hari rawat yang singkat pada perawatan
luka yang hanya satu kali sehari, disebabkan karena faktor nutrisi. Hasil
penelitian sesuai dengan penelitian Ary Wibowo dan Agung (2006) yang
mengatakan bahwa penyembuhan luka secara normal memerlukan nutrisi
yang tepat. Proses fisiologi penyembuhan luka bergantung pada tersedianya
protein, vitamin, mineral dan tembaga. Adapun asupan gizi yang baik dapat
membantu terapi farmakologis sehingga dapat membantu proses
penyembuhan luka pasca operasi dan dapat mempengaruhi lama perawatan.
63
Hasil penelitian ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Suriadi (2004)
bahwa setelah tindakan pembedahan dilakukan penggantian balutan untuk luka
kering dan bersih balutan diganti 2 atau 3 hari sekali setelah operasi dan juga
tergantung pada jenis balutan yang digunakan, misalnya jika luka pasien pasca
operasi dibalut dengan menggunakan kasa steril yang diolesi NaCl 0,9%, salep
antibiotik atau kasa kering.
Dasar dalam mempertahankan lingkungan yang hangat dan lembab
pada luka adalah untuk menjaga agar luka tetap tertutup. Sebagian besar
balutan luka diangkat setelah 24 jam, dan penelitian membuktikan bahwa
pada kasus luka pembedahan, pengangkatan balutan setelah 24 jam tidak
menimbulkan peningkatan angka infeksi. Namun, penelitian lanjutan perlu
dilakukan karena saat ini terdapat perhatian terhadap hygiene rumah sakit dan
Staphylococcus aureus yang resisten terhadap metisilin serta organisme lain
yang resisten terhadap berbagai antibiotic (Boyle M, 2009).
2. Hubungan mobilisasi dengan lama hari rawat pada pasien pasca operasi
laparatomi
Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan ada hubungan mobilisasi
dengan lama hari rawat pada pasien pasca operasi laparatomi di Ruang Bedah
Rumah Sakit Umum Daerah Labuang Baji Makassar.
Berdasarkan hasil observasi, responden yang telah melakukan mobilsasi
namun lama hari rawatnya panjang dikarenakan responden kuatir bekas
operasinya terbuka lagi dan juga dengan alasan nyeri di daerah luka. Hasil
penelitian ini sesuai penelitian Citra Dewi (2006) yang mengatakan bahwa
64
pengaruh mobilisasi setelah pasca operasi laparatomi sangat besar manfaatnya
dalam proses penyembuhan luka, karena mobilisasi dapat meningkatkan
sirkulasi didaerah insisi yang dengan sendirinya akan meningkatkan
transfortasi zat-zat ezensial yang berperan dalam proses penyembuhan luka.
Mobilisasi atau pergerakan adalah suatu kebutuhan manusia untuk
melakukan aktifitas dimana aktifitas tersebut dilakukan secara bebas dari
suatu tempat ke tempat lain, atau kemampuan seseorang bergerak dengan
bebas, mudah, berirama dengan maksud tertentu dalam suatu lingkungan
seputar atau sesuatu yang esensial dalam kehidupan seseorang oleh karena
setiap inidividu bergerak untuk memenuhi kebutuhan makan, minum,
mencegah diri mereka dengan trauma, dan untuk memenuhi kebutuhan dasar
Johnson (2000).
Pada pasien pasca operasi mobilisasi mulai dilakukan 24 - 48 jam
setelah tindakan operasi, dengan melakukan gerakan berupa pengaturan
posisi, exercice, yang dilakukan setelah efek anastesi seperti mual, muntah,
pusing, kesulitan bernapas, sakit kepala hilang. Mobilisasi dilakukan untuk
mencegah komplikasi pasca operasi dan luka operasi akan cepat sembuh
sehingga perawatan lebih singkat (Brunner & Suddarth, 2002 ).
Pasien dengan anestesi spinal dapat dilakukan perubahan posisi dari
satu posisi keposisi yang lain setelah 8-12 jam pasca operasi. Pasien dengan
mobilisasi yang terbatas harus dibalik dari sisi ke sisi yang lain setiap 2 jam.
Posisi baring pasien harus diubah ketika rasa tidak nyaman terjadi akibat
berbaring dalam satu posisi. Setelah pembedahan, pasien mungkin
65
dibaringkan dalam berbagai posisi (terlentang dari sifat prosedur bedahnya)
untuk meningkatkan rasa nyaman dan menghilangkan nyeri.
Kebanyakan pasien pasca operasi diberikan dorongan untuk turun dari
tempat tidur secepat mungkin. Hal ini ditentukan oleh kestabilan system
kardiovaskuler dan neuromuskuler pasien, tingkat aktivitas pasien yang lazim
dan sifat pembedahan yang dilakukan. Setelah anastesi spinal, bedah minor,
bedah sehari, pasien melakukan ambulasi hari ia dioperasi, tetapi biasanya
pasien mau melakukan ambulasi pada hari ke-4 samapi 6 pasca operasi.
Keuntungan ambulasi dini adalah hal tersebut insiden komplikasi pada pasca
operasi seperti atelektasis, pneumonia hipostatik, gangguan gastrointestinal
dan masalah sirkulasi (Brunner & Suddarth, 2002 ).
Jika ambulasi dini tidak dilakukan, latihan ditempat tidur dapat
dilakukan untuk mencapai hasil yang diinginkan sampai tingkat tertentu.
Latihan umum harus dimulai sesegera mungkin setelah pembedahan (lebih
baik dalam 24 jam pertama) dan dilakukan dibawah pengawasan untuk
memastikan bahwa latihan tersebut dilakukan dengan tepat dan dengan cara
yang aman (Brunner & Suddarth, 2002 ).
3. Hubungan teknik perawatan luka dengan lama hari rawat pada pasien pasca
operasi laparatomi
Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan ada hubungan teknik
perawatan luka dengan lama hari rawat pada pasien pasca operasi laparatomi
di Ruang Bedah Rumah Sakit Umum Daerah Labuang Baji Makassar.
66
Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan bahwa variabel yang paling
berpengaruh adalah teknik perawatan luka.
Berdasarkan hasil observasi yang peneliti temukan yang sudah
dilakukan teknik perawatan luka aseptik tetepi masih lama hari rawatnya
dikarenakan oleh faktor pasien yang berasal dari luar daerah namun berharap
dapat kembali dalam keadaan bebas dari jahitan. . Sedangkan pasien yang
teknik perawatannya kurang aseptik disebabkan karena faktor usia dan nutrisi
yang kurang sehingga dapat memperlambat pertumbuhan jaringan pada
daerah luka pasca operasi laparatomi.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Ferry Efendi (2007)
menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka
secara umum antara lain adalah faktor usia, semakin tua seseorang akan
semakin lama dalam proses penyembuhan luka. Hal ini dipengaruhi oleh
adanya penurunan elastin dalam kulit, perbedaan penggantian kolagen
mempengaruhi penyembuhan luka sehingga akan mempengaruhi lama
perawatan pada pasien.
Berbagai faktor yang mempengaruhi proses penyembuhan luka pada
usia tua adalah menurut Ferry dan Potter (2005) :
a. Penuaan dapat mengganggu semua proses penyembuhan luka.
b. Perubahan vaskuler mengganggu sirkulasi kedaerah luka.
c. Penurunan fungsi hati mengganggu sintesis faktor pembekuan.
d. Respon inflamasi menjadi lambat.
e. Pembentukan antibody dan limposit menurun.
67
f. Jaringan kalogen kurang lunak.
g. Jaringan parut kurang elastik.
Teknik perawatan luka adalah penanganan perawatan luka dimana
kesterilan alat-alat untuk merawat luka, adalah faktor yang paling penting
untuk mencegah terjadinya infeksi luka sehingga penyembuhannya akan lebih
cepat terjadi. Tujuan pembersihan luka adalah mengeluarkan debris organik
maupun anorganik, dimana adanya debris yang terus menerus termasuk benda
asing, jaringan lunak yang mengalami devitalisasi, krusta, dan jaringan
nekrotik dapat memperlambat penyembuhan luka (Syamsuhidajat & Jong,
2005).
Menurut Syamsuhidajat & Jong, (2005) aseptik berarti tidak adanya
pathogen penyebab sakit. Tehnik aseptik adalah usaha mempertahankan
pasien sedapat mungkin bebas dari mikro organisme jika melakukan teknik
perawatan luka dengan menggunakan NaCl 0,9% kemudian diolesi pada
daerah luka operasi dengan menggunakan peralatan yang steril seperti pinset
sirurgi, pinset anatomi, sarung tangan, kapas lidi, kom dan kasa steril
(Brunner & Suddarth, 2002 ).
Teknik perawatan luka adalah prinsip untuk mempertahankan keadaan
bebas kuman, atau prosedur yang dilakukan untuk mengurangi jumlah mikro
organisme disuatu objek, serta mencegah kemungkinan penyebaran dari
mikroorganisme ke pasien. Keadaan antiseptik adalah merupakan syarat
mutlak dalam tindakan bedah. Sedangkan antiseptik adalah cara dan
tindakan yang diperlukan untuk mencapai keadaan bebas kuman pathogen.
68
Tindakan ini bertujuan mencegah terjadinya infeksi dengan membunuh
kuman pathogen (Brunner & Suddarth, 2002 ).
Banyak aturan dan prosedur yang ditetapkan sebagai upaya untuk
mengontrol terjadinya infeksi pada luka. Usaha perawat untuk meminimalkan
serangan dan penyebaran infeksi pada luka didasarkan pada prinsip tehnik
aseptik.
C. Keterbatasan Penelitian
1. Keterbatasan peneliti
Penelitian ini merupakan pengalaman pertama bagi peneliti, sehingga
masih terlalu banyak kekurangan dan kendala yang dihadapi terutama dalam
mengontrol cakupan nutrisi pada pasien pasca operasi laparatomi dimana
nutrisi merupakan salah satu faktor penyebab proses penyembuhan luka.
2. Keterbatasan waktu
Waktu yang dipakai untuk meneliti dalam penelitian ini sekitar 1 bulan
dimana waktu ini tidak cukup banyak untuk dipakai mengumpulkan
responden yang lebih banyak lagi sehingga sangat berpengaruh terhadap hasil
penelitian yang sempurna.
69
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari hasil pengolahan data penelitian yang telah dilakukan diperoleh
kesimpulan bahwa:
1. Ada hubungan frekuensi perawatan luka dengan lama hari rawat pada pasien
pasca operasi laparatomi di Ruang Bedah Rumah Sakit Umum Daerah
Labuang Baji Makassar.
2. Ada hubungan mobilisasi dengan lama hari rawat pada pasien pasca operasi
laparatomi di Ruang Bedah Rumah Sakit Umum Daerah Labuang Baji
Makassar.
3. Ada hubungan teknik perawatan luka dengan lama hari rawat pada pasien
pasca operasi laparatomi di Ruang Bedah Rumah Sakit Umum Daerah
Labuang Baji Makassar.
4. Faktor yang paling berpengaruh terhadap lama hari rawat pada pasien pasca
operasi laparatomi di Ruang Bedah Rumah Sakit Umum Daerah Labuang
Baji Makassar adalah teknik perawatan luka.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat diberikan beberapa
saran kepada pihak yang terkait yang berhubungan dengan:
1. Bagi Institusi terkait dalam hal ini Rumah Sakit Umum Daerah Labuang Baji
Makassar hendaknya memperhatikan teknik perawatan luka, mobilisasi, dan
frekuensi perawatan luka pada penderita pasca operasi laparatomi dimana
70
tenaga perawat yang melakukan teknik perawatan luka pendidikan
terakhirnya DIII keperawatan sehingga perlu diberi pelatihan yang khusus
perawatan luka sehingga dalam merawat pasien dapat sembuh dalam waktu
yang tidak terlalu lama.
2. Bagi peneliti selanjutnya perlu melakukan penelitian dengan menggunakan
metode yang lain dan menggunakan sampel yang lebih banyak agar hasil
penelitian dapat lebih objektif.
3. Bagi masyarakat sebagai bahan informasi dalam hal perawatan pasien pasca
operasi laparatomi sehingga dapat memperhatikan aspek yang dapat
menunjang penyembuhan luka operasi laparatomi.
71