Exsum Pinang Obat Diare
-
Upload
guntiar-rachmaddiansyah -
Category
Documents
-
view
250 -
download
12
description
Transcript of Exsum Pinang Obat Diare
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Masalah
Indonesia adalah salah satu negara yang kaya akan tumbuh-tumbuhan dan
merupakan sumber bahan obat yang banyak digunakan secara tradisional dan turun
temurun. Berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia (WHO) dalam bidang pengobatan
menyebutkan bahwa banyak terjadi resistensi bakteri karena penggunaan obat-obat
antibiotik, sehingga merupakan problem bagi kesehatan penduduk dunia (Woods, et al.,
2009; Chehregani, et al., 2007). Salah satu langkah pengatasan masalah resistensi ini
dengan melakukan penelitian terus menerus untuk mencari antimikroba baru yang aman
dan efektif. Selama 20 tahun terakhir telah dilakukan berbagai penelitian untuk
menyelidiki bahan alam sebagai sumber antibakteri baru (Chehregani, et al., 2007).
Ekstrak ataupun simplisia yang berasal dari tumbuhan mempunyai potensi terapi yang
besar untuk menyembuhkan penyakit (Kumaraswamy, et al., 2008). Namun penelitian
yang dilakukan masih relatif sedikit tentang aktivitas antimikroba terhadap bakteri
patogen (Woods, et al., 2009).
Agenda Riset Nasional (ARN) mencantumkan bahwa penelitian dalam bidang
kesehatan dan obat termasuk produk target pada 2010-2014, dimana salah satu isu pokok tentang
pola penyakit yang diderita oleh masyarakat sebagian besar adalah penyakit infeksi, antara lain
penyakit diare (Anonim, 2011). Biji pinang (Areca catechu L.) secara tradisional dapat
digunakan sebagai obat menceret atau diare.
Pohon pinang banyak ditanam diseluruh Nusantara, dan telah dimanfaatkan oleh
masyarakat khususnya untuk mendapatkan buah, yang digunakan untuk campuran
makan sirih. Orang yang makan buah pinang diyakini memiliki gigi yang kuat meski
usia telah lanjut (Heyne, 1987). Permasalahan dalam penelitian ini, walaupun secara
mikrobiologi telah banyak dilakukan dan efektif untuk antibakteri, namun kandungan
kimia alkaloid arekolin dari biji pinang dapat mengakibatkan mabuk bila dosis terlalu
tinggi dan bila dikunyah terus akan diubah menjadi arekaidin yang dapat menyebabkan
kanker mulut (Bruneton, 1995; Fleming, 2000). Sehingga perlu dilakukan penelitian
lebih lanjut untuk memisahkan senyawa alkaloid yang terdapat pada ekstrak etanol biji
2
pinang dan terhadap fraksi sisa dilakukan pengujian aktivitas antimikroba , selanjutnya
dibuat sediaan kapsul.
B. Urgensi dan Signifikansi
Berdasarkan kenyataan bahwa pemakaian antibiotika yang tidak tepat dalam mengatasi
diare dapat menyebabkan peningkatan resistensi dan dalam rangka pengembangan bahan alam
yang mempunyai potensi cukup besar untuk diandalkan, maka perlu dilakukan pengujian dan
penelitian terhadap khasiat antibakteri biji pinang, agar dapat digunakan menjadi obat herbal
maupun fitofarmaka. Pembuatan sediaan ektrak biji pinang dalam bentuk kapsul dilakukan untuk
memperoleh dosis yang tepat, mudah dalam pemakaian, pengemasan, stabil dalam
pendistribusian serta aktivitas fisiologik bahan obat cukup baik, akan dapat memenuhi kebutuhan
pengobatan di dalam pelayanan kesehatan.
Sumatera utara merupakan sumber daya alam hayati dan sumber tanaman obat
yang sangat potensial, sehingga sangat kaya akan bahan baku obat yang dapat dijadikan
sediaan herbal dan fitofarmaka yang terstandar.Tentunya ini merupakan potensi yang
amat besar untuk memajukan industri farmasi dalam meningkatkan kesehatan dan
kesejahteraan masyarakat, sehingga mampu bersaing di kawasan pasar regional maupun
pasar internasional. Selain itu juga menunjang program pemerintah daerah untuk
melakukan penelitian dan pengembangan obat tradisional menjadi bentuk obat herbal dan
obat fitofarmaka dalam menanggulangi diare.
C. Perumusan Masalah.
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1) Apakah senyawa alkaloid pada
ekstrak biji pinang (Areca catechu L.) dapat dipisahkan menggunakan pelarut kloroform?
2) Apakah ekstrak etanol biji pinang yang telah bebas alkaloid dapat dibuktikan
khasiatnya menggunakan bakteri penyebab diare? 3) Berapa dosis ekstrak biji pinang
yang digunakan untuk membuat sediaan kapsul dan apakah memenuhi persyaratan kapsul
setelah dikonversikan pada dosis manusia?.
D. Maksud dan Tujuan Penelitian.
Maksud dilakukan penelitian ini adalah sebagai bahan masukan pada pemerintah
daerah agar dapat meningkatkan penggunaan obat-obat tradisional dalam pengatasan
penyakit, dalam hal ini obat antidiare, baik obat herbal maupun obat fitofarmaka untuk
pengobatan masyarakat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran
bagaimana cara memisahkan alkaloid dari ekstrak etanol biji pinang (Areca catechu L.),
3
berapa dosis ekstrak biji pinang bebas alkaloid yang menghambat pertumbuhan bakteri
penyebab diare. Dengan demikian ekstrak biji pinang tersebut dapat dibuat menjadi
sediaan kapsul setelah dikonversikan pada dosis manusia dan dapat dimanfaatkan untuk
obat antidiare apabila memenuhi syarat uji kapsul.
E. Ruang Lingkup.
Ruang lingkup penelitian yang dilakukan meliputi pengambilan dan pengolahan
bahan tumbuhan, karakterisasi simplisia, pembuatan ekstrak, pemisahan senyawa
alkaloid, analisis kromatografi lapis tipis (KLT) dan uji antibakteri terhadap bakteri
patogen biakan murni dari Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Farmasi USU Medan
dengan metode difusi agar menggunakan pencadang logam, bakteri yang digunakan
adalah bakteri gram positif Staphylococcus aureus ATCC 29737, Bacillus cereus ATCC
6633, bakteri gram negatif Escherichia coli ATCC 10536,Salmonella thypi ATCC 29213.
Penelitian dilakukan di Laboratorium Fitokimia dan Laboratorium Mikrobiologi Fakultas
Farmasi Universitas Sumatera Utara. Waktu penelitian dilakukan selama lebih kurang 6
(enam) bulan terhitung dari bulan Februari 2011 sampai Juli 2011.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Uraian Tumbuhan Pinang (Areca catechu L.)
Tanaman pinang (Areca catechu L.) di Indonesia sejak dulu telah banyak
dimanfaatkan oleh masyarakat khususnya buah, yang digunakan untuk campuran makan
sirih. Tanaman pinang mudah tumbuh di Indonesia, biasanya ditanam di pekarangan
rumah, taman, atau tumbuh di pinggir sungai dengan bentuknya yang indah. Biji pinang
disebut dengan betel nut dan ditanam secara luas di India, Sri Langka sampai ke Cina
dan Philipina, di Malaysia dan Indonesia, juga diperoleh di Afrika sebelah Timur
(Tanzania) (Bruneton, 1995). Bijinya dapat dikomsumsi dalam keadaan segar atau telah
dididihkan dengan air atau setelah dikeringkan (Heyne, 1987). Batang langsing tingginya
sampai 25 meter dan besarnya lebih kurang 15 cm, Pelepah daun.berbentuk tabung,
panjang 80 cm dengan tangkai daun pendek. Helaian daun panjang sampai 80 cm, anak
daun 85 kali 5 cm, dengan ujung sobek dan bergigi. Buah buni bulat telur terbalik
memanjang, merah oranye, panjang 3,5-7 cm dengan dinding buah yang berserabut, biji
1, berbentuk telur (Steenis, 1987).
Pinang memiliki nama yang berbeda di sejumlah daerah, di Jawa Barat disebut
jambe, penang atau wohan, di Sumatera memiliki banyak nama yaitu pineng, pineung,
batang mayang dan batang bongkah (Heyne, 1987).
Kandungan kimia dari biji pinang adalah gula 50-60%, lipid 15%, tanin 15% dan
0,2-0,5 % alkaloid (arekolin, arekaidin, guvasin (tetrahidronicotinic acid) dan guvakolin
(Bruneton, 1995; Eisenbrand dan Tang (1992), juga golongan tanin, sitosterol,
karbohidrat, saponon dan karotenoid (Eisenbrand dan Tang 1992). Oleh Wang dan Lee
(1996), disebutkan ekstrak buah pinang selain mengandung tanin, juga senyawa flavan,
fenolik, asam galat, getah, lignin minyak menguap dan tidak menguap dan garam.
Kandungan tanin biji pinang sebesar 15% (Masduki, 1996).
Secara tradisional biasanya dikunyah sebagai campuran sirih yang banyak
digunakan di Asia sebelah Timur. Biji pinang dicurigai bersifat sitotoksik dan teratogenik
yang berasal dari alkaloid (Bruneton, 1995). Menurut Eisenbrand dan Tang, 1992 dan
Fleming, 2000), disebutkan bahwa arekolin pada biji pinang karena dikunyah terus akan
5
diubah menjadi arekaidin yang dapat menyebabkan kanker mulut. Pemberian arekolin
dosis 10 mg/kg bb 1.p, pada tikus selama 10-30 hari atau lebih 300 hari dapat
menyebabkan tremor dan peningkatan serebral asetilkolin (Eisenbrand dan Tang, 1992).
Biji pinang bisa untuk mengobati cacingan, beri-beri, perut kembung, luka, serta batuk
berdahak, obat kudis, difteri, haid terlalu banyak, hidung berdarah, borok, bisul, eksim,
mencret dan gigi goyah (Mardisiswojo dan Rajakmangunsudarso, 1985; Perry, 1980).
Sebagai tonik, astringent, antiperiodik, miotik dan dapat sebagai deterjen (Perry, 1980).
B. Ekstraksi
Ekstraksi atau penyarian merupakan kegiatan penarikan zat yang dapat larut dari
bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut yang sesuai (Ditjen POM, 1986) atau
merupakan proses penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari
bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut yang sesuai (Ditjen POM, 2000). Menurut
Ansel (2005), ekstraksi adalah penarikan zat pokok yang diinginkan dari bahan mentah
obat dengan menggunakan pelarut yang dipilih dimana zat yang diinginkan larut. Bahan
mentah obat yang berasal dari tumbuh-tumbuhan atau hewan tidak perlu diproses lebih
lanjut, kecuali dikumpulkan atau dikeringkan.
Ekstraksi perlu menggunakan pelarut dan teknologi yang sesuai karena
merupakan tahap awal pada jalur isolasi metabolit sekunder dari tanaman obat. Secara
umum proses ekstraksi ada beberapa macam, yaitu ekstraksi dengan menggunakan
pelarut, destilasi uap, dan cara ekstraksi lainnya. Ekstraksi dengan menggunakan pelarut
terdiri dari cara dingin (maserasi dan perkolasi) dan cara panas (refluks, sokletasi, digesti,
infus, dan dekok). Destilasi uap digunakan untuk mengekstraksi senyawa kandungan
menguap (minyak atsiri) dari bahan (segar atau simplisia). Adapun cara ekstraksi lainnya,
yaitu ekstraksi berkesinambungan, superkritikal karbondioksida, ekstraksi ultrasonik, dan
ekstraksi energi listrik (Depkes, 2000).
Struktur kimia zat aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia akan
mempengaruhi kelarutan serta stabilitas senyawa-senyawa tersebut terhadap pemanasan,
logam berat, udara, cahaya dan derajat keasaman. Dengan diketahuinya zat aktif yang
dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan cairan penyari dan cara penyarian
yang tepat (Ditjen POM, 1986). Pemilihan cairan penyari harus mempertimbangkan
banyak faktor, yaitu murah dan mudah diperoleh, stabil secara fisika dan kimia, bereaksi
6
netral, tidak mudah menguap dan tidak mudah terbakar, tidak mempengaruhi zat
berkhasiat dan diperbolehkan oleh peraturan. Untuk proses penyarian Farmakope
Indonesia menetapkan bahwa sebagai cairan penyari adalah air, etanol, etanol-air. Etanol
dipertimbangkan sebagai penyari karena kapang dan kuman sulit tumbuh dalam etanol
20% ke atas, tidak beracun, netral, absorbsinya baik, etanol dapat bercampur dengan air
pada skala perbandingan, panas yang diperlukan untuk pemekatan lebih sedikit. Untuk
meningkatkan penyarian biasanya digunakan campuran antara etanol dan air (Ditjen
POM, 1986).
Maserasi merupakan proses paling tepat dimana obat yang sudah halus
memungkinkan untuk direndam dalam menstrum/pelarut sampai meresap dan
melunakkan susunan sel sehingga zat-zat yang mudah larut akan melarut (Ansel, 2005).
Maserasi adalah proses pengekstrakkan simplisia menggunakan pelarut dengan beberapa
kali pengocokkan/pengadukkan pada temperatur ruangan selama tiga hari, yang
dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari
akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif,
yang akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam
sel dengan yang ada di luar sel, maka larutan yang terpekat akan didesak keluar.
Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di
luar dan di dalam sel. Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara
pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan (Ditjen
POM, 1986).
C. Kromatografi
Kromatografi merupakan suatu teknik pemisahan yang menggunakan fase diam
(stationary phase) dan fase gerak (mobile phase). Saat ini, kromatografi merupakan
teknik pemisahan yang paling umum dimanfaatkan untuk melakukan analisis, baik
analisis kualitatif maupun kuantitatif, atau preparatif dalam bidang farmasi (Rohman,
2007).
Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Penggunaan umum KLT adalah sebag)ai metode untuk mencapai hasil kualitatif,
kuantitatif atau preparatif, selain itu dipakai untuk menjajaki sistem pelarut dan sistem
penyangga yang akan dipakai dalam kromatografi kolom atau kromatografi cair kinerja
7
tinggi (Gritter, et al., 1991). Kromatografi lapis tipis banyak digunakan untuk tujuan
analisis yang dalam pelaksanaannya lebih mudah dan murah dibandingkan dengan
kromatografi kolom, peralatan yang digunakan juga lebih sederhana dan hampir semua
laboratorium dapat melaksanakan setiap saat secara cepat, selain itu identifikasi
pemisahan komponen dapat dilakukan dengan pereaksi warna, fluorosensi atau dengan
radiasi menggunakan sinar ultraviolet (Rohman, 2007).
Fase diam pada KLT sering disebut penjerap, walaupun berfungsi sebagai
penyangga untuk zat cair di dalam sistem kromatografi cair-cair (Gritter, et al., 1991).
Ukuran diameter partikel penjerap KLT antara 10-30 µm. Banyak penyerap yang telah
digunakan, termasuk silika gel, silika yang dimodifikasi dengan hidrokarbon, selulosa,
alumina, kieselguhr, gel sephadex dan β-siklodekstrin. Ketebalan sekitar 250 mm dengan
melapiskan penjerap ke permukaan lapisan kaca, gelas, aluminium atau plastik (Rohman,
2007). Fase gerak adalah medium angkut, terdiri dari satu atau beberapa pelarut, yang
bergerak di dalam fase diam, yaitu suatu lapisan berpori karena adanya gaya kapiler
(Stahl, 1985). Pemilihan sistem pelarut yang dipakai didasarkan atas prinsip like dissolves
like, artinya untuk memisahkan sampel yang bersifat nonpolar digunakan sistem pelarut
yang bersifat nonpolar juga. Proses pengembangan akan lebih baik bila ruangan
pengembangan tersebut telah jenuh dengan uap sistem pelarut (Adnan, 1997).
Nilai Rf dihitung dengan menggunakan perbandingan sebagaimana persamaan
sebagai berikut:
Nilai maksimum adalah 1, artinya solut bermigrasi dengan kecepatan sama
dengan fase gerak. Nilai minimum adalah 0, ini teramati jika solut tertahan pada posisi
titik awal di permukaan fase diam (Rohman, 2007). Faktor-faktor yang mempengaruhi
harga Rf pada KLT, adalah struktur kimia dari senyawa yang dipisahkan, sifat dari
penyerap dan derajat aktivitasnya, tebal dan kerataan lapisan penyerap, derajat kemurnian
fase gerak, derajat kejenuhan uap pengembang pada bejana, jumlah cuplikan dan suhu
(Sastrohamidjojo, 1991).
8
D. Diare
Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau setengah
cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya lebih dari 200 g atau
200 ml/24 jam. Definisi lain memakai kriteria frekuensi, yaitu buang air besar encer lebih
dari 3 kali per hari. Buang air besar encer tersebut dapat/tanpa disertai lendir dan darah
(Ciesla and Guerrant, 2003).
Menurut lama waktu terjadinya, diare dibagi menjadi dua, yaitu diare akut dan
diare kronis. Diare akut timbul dengan tiba-tiba dan berlangsung beberapa hari,
sedangkan diare kronis berlangsung lebih dari tiga minggu. Diare akut ditandai dengan
adanya infeksi yang disebabkan oleh bakteri Escherichia coli, Shigella sp., Salmonella
sp., virus, amuba serta dapat juga oleh toksin bakteri, seperti Staphylococcus aureus,
Clostridium welchii yang mencemari makanan, sedangkan diare kronis terkait dengan
gangguan gastrointestinal (Zein et al., 2004).
Diare sebenarnya hanya proses fisiologi tubuh untuk mempertahankan diri dari
serangan mikroorganisme (virus, bakteri, parasit, dan sebagainya) atau bahan-bahan
makanan yang dapat merusak usus agar tidak menyebabkan kerusakan mukosa saluran
cerna. Diare terjadi akibat pergerakan yang cepat dari materi tinja sepanjang usus besar
(Zein et al., 2004). Diare dapat disebabkan karena infeksi, alergi makanan/minuman dan
intoleransi, gangguan gizi, kekurangan enzim tertentu, dan pengaruh psikis (keadaan
terkejut dan ketakutan). Diare karena infeksi dapat disebabkan akibat virus, bakteri
(invasif), enterotoksin, dan parasit (Tjay dan Rahardja, 2002).
Bakteri-bakteri yang dapat menyebabkan diare, antara lain Aeromonas
hydrophilia, Bacillus cereus, Campylobacter jejuni, Clostridium defficile, Clostridium
perfringens, Escherichia coli, Pleisiomonas, Shigelloides, Salmonella spp, Staphylococus
aureus, Vibrio cholerae dan Yersinia enterocolitica (BPOM, , 2002).
E. Pengobatan Diare
Pengobatan dapat dilakukan dengan obat-obat antibiotik dan antimikroba.
1. Antibiotik
Salah satu cara pengobatan penyakit diare terutama yang disebabkan infeksi
bakteri adalah menggunakan antibiotik. Pemberian antibotik secara empiris jarang
diindikasikan pada diare akut infeksi karena 40% kasus diare infeksi sembuh kurang dari
9
tiga hari tanpa pemberian antibiotik. Pemberian antibiotik diindikasikan pada pasien
dengan gejala dan tanda diare infeksi (demam, feses berdarah, leukosit pada feses), untuk
mengurangi ekskresi dan kontaminasi lingkungan, persisten atau penyelamatan jiwa pada
diare infeksi, diare pada pelancong, dan pasien immunocompromised. Pemberian
antibiotik secara empiris dapat dilakukan, tetapi terapi antibiotik spesifik diberikan
berdasarkan kultur dan resistensi kuman (Zein et al., 2004).
2. Antimikroba.
Antimikroba adalah senyawa yang mengganggu pertumbuhan dan metabolisme
mikroba (Pelczar dan Chan, 2006). Senyawa yang digunakan untuk membasmi mikroba
penyebab infeksi pada manusia harus memiliki toksisitas selektif. Toksisitas selektif
artinya senyawa tersebut harus bersifat toksik untuk mikroba tetapi relatif tidak toksik
untuk sel hospes (Syarif, et al., 1995). Antimikroba dibedakan menjadi dua tipe yaitu,
antimikroba bakteriostatik dan bakterisid. Senyawa yang bekerja bakteriostatik
menghambat pembiakan mikroorganisme akan tetapi tidak membunuhnya. Senyawa yang
bekerja bakterisid akan merusak mikroorganisme secara irreversibel (Mutschler, 1999;
Syarif, et al., 1995).
F. Kapsul.
Kapsul adalah sediaan padat, terdiri dari obat dalam cangkang keras atau lunak
yang dapat larut. Cangkang umumnya terbuat dari gelatin, dapat juga dari pati atau bahan
yang sesuai (Ditjen POM, 1995). Pembuatan cangkng kapsul juga tergantung pada
formulasi kapsul dari gelatin, bisa lunak dan keras. Cangkang kapsul kosong dibuat dari
campuran gelatin, gula dan air, jernih tidak berwarna dan pada dasarnya tidak
mempunyai rasa. Gelatin bersifat stabil di udara bila dalam keadaan kering, tetapi mudah
mengalami peruraian oleh mikroba bila lembab atau disimpan dalam larutan berair. Oleh
karena itu kapsul gelatin lunak mengandung lebih banyak uap air daripada kapsul keras,
pada pembuatannya ditambahkan bahan pengawet untuk mencegah timbulnya jamur
dalam cangkang (Ansel, 1989).
Keuntungan pemberian bentuk kapsul (Syamsuni, 2006) yaitu: a) bentuknya
menarik. b) cangkang kapsul tidak berasa sehingga dapat menutupi obat yang memiliki
rasa dan bau tidak enak. c) mudah ditelan dan cepat hancur/larut dalam perut sehingga
obat cepat diabsorpsi. d) dokter dapat mengkombinasi beberapa macam obat dan dosis
10
yang berbera-beda sesuai kebutuhan pasien. e) kapsul dapat diisi dengan cepat karena
tidak memerlukan bahan tambahan /pembantu seperti pada pembuatan pil dan tablet.
Kerugian pemberian bentuk sediaan kapsul (Syamsuni, 2006) yaitu: a)tidak dapat
digunakan untuk zat-zat yang mudah menguap karena pori-pori kapsul tidak dapat
menahan penguapan.b) tidak dapat digunakan untuk zat-zat yang higroskopis. c) tidak
dapat digunakan untuk zat-zat yang dapat bereaksi dengan cangkang kapsul.
11
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Fitokimia dan Laboratorium Mikrobiologi
Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. Waktu penelitian dilakukan selama lebih
kurang 6 (enam) bulan terhitung dari bulan Februari 2011 sampai Juli 2011.
B. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimental (experimental
research) dan penelitian deskriptif (descriptive research). Penelitian eksperimental untuk
mengetahui pengaruh atau hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat.
Dalam penelitian ini yang termasuk variabel bebas adalah konsentrasi ekstrak etanol,
fraksi kloroform dan fraksi etanol sisa dari simplisia biji pinang (Areca catechu L.)
dengan konsentrasi 300, 200, 100, 50, 25, 12,5, 6,25, dan 3,125 mg/ml, sedang variabel
terikat adalah diameter daerah hambat yang diukur dalam satuan milimeter (mm).
C. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian yang dilakukan meliputi pengambilan dan pengolahan bahan tumbuhan
(secara purposif, yakni tanpa membandingkan dengan tumbuhan serupa dari daerah lain),
karakterisasi simplisia, pembuatan ekstrak, pemisahan senyawa alkaloid, analisis
kromatografi lapis tipis (KLT) dan uji antibakteri terhadap bakteri patogen biakan murni
dari Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Farmasi USU Medan dengan metode difusi
agar menggunakan pencadang logam, bakteri yang digunakan adalah bakteri gram positif
Staphylococcus aureus ATCC 29737, Bacillus cereus ATCC 6633, bakteri gram negatif
( Escherichia coli ATCC 10536, Salmonella thypi ATCC 29213).
D. Teknik Analisa Data
Data yang dikumpulkan sebagaimana yang diuraikan dalam teknik pengumpulan
data, dianalisis dengan analisis deskriptif, dimana analisis tersebut dilaksanakan secara
simultan dan berkesinambungan sejalan dengan pengumpulan data. Hasil yang diperoleh
selanjutnya dibandingkan dengan standar literatur (jika ada), jika belum ada standar hasil
yang diperoleh dapat dibuat sebagai acuan untuk penelitian berikutnya .
12
E. Pemberkasan dan Pelaporan
Hasil kegiatan disajikan dalam bentuk dokumen penelitian atau laporan penelitian
dalam bentuk laporan akhir yang disertai dengan ringkasan eksekutif (executive
summary). Laporan tersebut berisi uraian pemisahan alkaloid dari ekstrak etanol biji
pinang (Areca catechu L.), pencarian dosis ekstrak biji pinang bebas alkaloid yang
menghambat pertumbuhan bakteri penyebab diare dan konversinya pada manusia serta
pembuatan sediaan kapsul antidiare yang memenuhi standar mutu.
F. Hasil Penelitian
Adapun hasil (output) yang diperoleh dari kegiatan ini adalah sebagai berikut:
1) Pelaksanaan kegiatan penelitian ini akan menghasilkan dokumen dan laporan
penelitian yang berisikan pengembangan biji pinang sebagai obat tradisional yang belum
tentu keamanannya menjadi obat herbal yang terstandar dan aman. 2) Kapsul antidiare
yang dihasilkan dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesehatan
masyarakat.
G. Organisasi Pelaksana Kegiatan Penelitian
Organisasi pelaksana dipimpin oleh seorang pemimpin (Team Leader) dengan
pengalaman minimal 5 (lima) tahun dalam pekerjaan sejenis. Tenaga ahli (inti) yang
disediakan oleh penyedia jasa konsultasi minimal sebagai berikut: Kepala Proyek,
Analisis Fitokimia, Ahli Mikrobiologi dan Teknologi Formulasi Farmasi.
13
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Ekstraksi
Penyarian terhadap serbuk simplisia biji pinang (Areca catechu L.) dilakukan
secara maserasi dengan pelarut etanol 80%, dimana diharapkan senyawa metabolit
sekunder yang terkandung dalam simplisia dapat tersari sempurna. Selanjutnya ekstrak
etanol difraksinasi dengan pelarut kloroform yang bertujuan untuk menarik senyawa-
senyawa yang bersifat semipolar termasuk senyawa alkaloid yang terdapat pada ekstrak
etanol sehingga ekstrak yang tinggal bebas dari senyawa alkaloid yang dapat
menyebabkan mabuk dan kanker pada mulut. (Bruneton, 1995; Fleming, 2000,
Eisenbrand dan Tang,1992). Fraksi etanol sisa digunakan untuk pengujian analisis
antimikroba.
B. Hasil Pemeriksaan Karakterisasi Simplisia dan Fraksi Etanol.
Pengujian standard mutu dari simplisia dan ekstrak biji pinang adalah untuk
mengetahui apakah simplisia atau ekstrak yang dipakai memenuhi syarat yang tercantum
dalam monografi resmi terbitan Departemen Kesehatan (Materia Medika Indonesia),
sehingga dapat dipakai sebagai bahan obat dan bahan baku dalam pembuatan ekstrak.
Hasil pemeriksaan karakterisasi simplisia dan ekstrak etanol dari biji pinang dapat dilihat
pada Tabel berikut:
Tabel 4.1 Hasil karakterisasi simplisia dan ekstrak biji pinang (Areca catechu L.)
Hasil (%) No
Parameter Persyaratan
simplisia % Simplisia Ekstrak
1 Kadar air
≤ 10
6,80 8,78
2 Kadar sari larut air
≥ 30 34,70 36,68
3 Kadar sari larut etanol
≥ 40 48,25 52,54
4 Kadar abu total
≤ 2
0,90 0,68
5 Kadar abu tidak larut asam
≤ 1 0,65 0,45
14
Menurut Ditjen POM (2000), standarisasi suatu simplisia merupakan pemenuhan
terhadap persyaratan sebagai bahan dan menjadi penetapan nilai untuk berbagai
parameter produk. Pengujian terhadap karakterisasi simplisia (standarisasi) yang
dilakukan ternyata memenuhi persyaratan yang ditetapkan MMI, seperti terlihat pada
(Tabel 4.1). Namun persyaratan untuk ekstrak belum tertera pada monograf, diharapkan
hasil penelitian ini dapat menjadi acuan untuk penetapan parameter ekstrak biji pinang.
Penetapan kadar air dilakukan untuk mengetahui kadar air dari simplisia atau
ekstrak karena air merupakan media yang baik untuk tumbuhnya jamur seperti
Aspergillus flavus yang dapat mengakibatkan perubahan zat berkhasiat yang terdapat
pada biji pinang, ternyata hasilnya lebih kecil dari 10%. Penetapan kadar sari larut air
untuk mengetahui kadar senyawa bersifat polar yang terkandung di dalam simplisia dan
ekstrak biji pinang, hasilnya diperoleh 34,70 % untuk simplisia dan 36,68% untuk
ekstrak, sedang kadar sari larut dalam etanol dilakukan untuk mengetahui kadar senyawa
larut dalam etanol, baik senyawa polar maupun non polar dengan hasil 48,25% untuk
simplisia dan 52,54% untuk ekstrak. Ini menunjukkan bahwa kandungan kimia biji
pinang lebih banyak yang tersari dengan pelarut etanol dibanding pelarut air. Hasil
penetapan kadar sari larut air dan etanol untuk simplisia lebih tinggi dibanding dengan
hasil penetapan MMI, Penetapan kadar abu total dan kadar abu tidak larut asam
ditetapkan untuk melihat kandungan mineral ekstrak. Zat-zat ini dapat berasal dari
senyawa oksida-oksida anorganik. Kadar abu total yang tinggi menunjukkan zat
anorganik seperti logam-logam yaitu Ca, Mg, Fe, Cd dan Pb yang sebahagian mungkin
berasal dari pengotoran. Kadar logam berat yang tinggi dapat membahayakan kesehatan.
Oleh sebab itu dilakukan penetapan kadar abu total dan kadar abu tidak larut asam untuk
memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak mengandung logam berat tertentu, dan tidak
melebihi nilai yang ditetapkan karena berbahaya (toksik) bagi kesehatan (Anonim, 2000).
C. Hasil Skrining Fitokimia
Pemeriksaan skrining fitokimia serbuk simplisia dilakukan menurut MMI (1995) dan
Fransworth (1966), hasilnya dapat dilihat pada Tabel 4. 2.
Skrining fitokimia dilakukan untuk mendapatkan informasi awal dari suatu
tanaman mengenai golongan senyawa metabolit sekunder yang terdapat di dalamnya,
dalam hal ini adalah ingin memastikan kandungan kimia yang terdapat pada serbuk biji
15
pinang yang akan digunakan sebagai bahan untuk sediaan obat agar khasiat yang
diharapkan jelas terbukti. Skrining dilakukan terhadap serbuk simplisia biji pinang
Tabel 4.2 Hasil skrining fitokimia simplisia biji pinang (Areca catechu L.)
No Skrining Pereaksi Hasil (warna/endapan)
1 Alkaloid Dragendorff
Bouchardat
Mayer
(+) jingga kecoklatan
(+) kuning kecoklatan
(+) kekeruhan dan endapan putih
2 Glikosida Molish
Fehling
(+) cincin ungu
(+) endapan merah bata
3 Flavonoid Zn + asam klorida pekat
Mg + asam klorida pekat (+) merah
Tanin FeCl3 1% (+) hijau
Keterangan: (+) = mengandung golongan senyawa,
dengan penambahan pereaksi Dragendorff, Bouchardat dan Meyer, hasilnya memberikan
reaksi positip (Tabel 4.2) yang menunjukkan adanya senyawa alkaloid. Skrining untuk
senyawa glikosida ditunjukkan dengan penambahan pereaksi Molish/asam sulfat pekat,
akan terbentuk cincin ungu, dengan penambahan pereaksi Fehling terbentuk endapan
merah bata, yang menunjukkan adanya senyawa glikosida. Penambahan serbuk Mg
ataupun Zn dan asam klorida pekat memberikan reaksi positip (warna merah) yang
menunjukkan adanya senyawa flavonoid. Hasil ini menunjukkan bahwa kandungan yang
terdapat pada biji pinang benar terbukti ada (positip) .
D. Hasil KLT Ekstrak Etanol dan Fraksi Kloroform biji pinang
Terhadap ekstrak etanol dan fraksi kloroform dilakukan analisis KLT
menggunakan fase diam plat pra lapis silika gel GF254 dengan fase gerak kloroform-
etilasetat (4:6, kloroform-etilasetat (6:4), toluol-etilasetat (6:4) dan kloroform-metanol-
amonia (84:15:1). Penampak noda yang digunakan adalah asam sulfat 50% dalam
metanol, Dragendorff dan FeCl3. Hasil harga Rf dari ekstrak etanol dan fraksi kloroform
dapat dilihat pada Tabel 4.3 dan 4.4. Untuk fraksi etanol diuji secara kualitatif dengan
pereaksi Dragendorff, Bouchardad dan Meyer (Tabel 4.5).
16
Tabel 4.3 Data harga Rf ekstrak etanol biji pinang (Areca catechu L.) dengan cara KLT
Fase gerak
KL-EA
(4:6)
KL-EA
(6:4)
T-EA
4:6
T-EA
6:4
KL-MeOH
NH4OH
8,4:1,5:0,1
H2SO4 0,12 c
0,17 c
0,37 cm
0,15c 0,17c
0, 22ch
0,39cm
0,15 cm
0,24c
0,39cm
0.86c
Dragendorff
0,17 k
0,37 k
0,15k
0,84j
0,17j
0,22 k
0,9j
0,15j 0.86j
FeCl3
0,12 m
0,17bh
0,37bh
0,28m
0,62bh
-
0,24 m
0,42bh
-
Keterangan; Kl = kloroform, T= toluol, EA= etilasetat, bh= biru hijau c= coklat, ch=
coklat kehitaman, cm coklat merah, j=jingga, k= kuning, kh= kuning hijau
Pada Tabel 4.3 dan 4.4 hasil uji KLT terlihat bahwa senyawa alkaloid pada
ekstrak etanol maupun fraksi kloroform dengan Dragendorf memberikan warna jingga.
Senyawa tanin dengan FeCl3 memberikan warna kuning kehijauan, dan senyawa
flavonoid warna merah, sedang dengan H2SO4 tanin memberikan warna muda.
Tabel 4.4 Hasil analisis fraksi kloroform biji pinang (Areca catechu L) dengan cara KLT
Fase gerak
KL-EA
(4:6)
KL-EA
(6:4)
T-EA
4:6
T-EA
6:4
KL-MeOH
NH4OH
8,4:1,5:0,1
H2SO4 0,37 c
0,45c
0,84c 0,17c
0,45cm
0,24ch 0,39cm
Dragendorff 0,37 k
0,84j 0,17j
0,90j
0,15j 0.86j
FeCl3 0,37kh
0,52kh
0,19kh
0,48 m
0,45m
0,24 kh
-
Keterangan; Kl = kloroform, T= toluol, EA= etilasetat, c= coklat, ch= coklat kehitaman,
cm coklat merah, j=jingga, kh= kuning hijau, m= merah - = tidak ada noda
Terbukti bahwa senyawa alkaloid dari ekstrak etanol telah tersari sempurna
karena pada fraksi etanol sisa tidak dijumpai lagi adanya senyawa alkaloid, dimana
dengan penambahan pereaksi alkaloid Dragendorff, Bouchardad dan Mayer tidak
memberikan hasil yang positip (Tabel 4.5). Fraksi etanol sisa yang telah bebas alkaloid
17
ini diharapkan dapat memberikan hasil yang baik terhadap uji aktivitas mikrobiologi pada
bakteri gram positip dan gram negatip yang mewakili bakteri penyebab diare.
Tabel 4.5 Hasil uji kualitaf fraksi etanol sisa biji pinang (Areca catechu L.)
Pereaksi Dragendorff Bouchardad Mayer
Fraksi
etanol - - -
Keterangan: (-) = tidak mengandung senyawa
E. Hasil Uji Aktivitas Antibakteri
Hasil uji fraksi etanol biji pinang terhadap beberapa bakteri menyebab diare dapat
dilihat pada Tabel 4.6 dan Gambar 4.1
Tabel 4.6 Hasil uji antibakteri fraksi etanol biji pinang (Areca catechu L.) terhadap
bakteri Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Salmonella typhi dan
Bacillus cereus
Diameter Daerah Hambat Pertumbuhan (mm)*
Bakteri
No. Konsentrasi
Ekstrak
Staphylococcus
aureus
Escherichia
coli
Salmonella
typhi
Bacillus
cereus
1 300 mg/ml 19,35 19,80 19,80 18,30
2 200 mg/ml 17,70 17,70 18,70 17,10
3 100 mg/ml 16,60 16,35 16,20 13,95
4 50 mg/ml 14,55 16,10 13,80 13,25
5 25 mg/ml 13,30 12,20 - 12,55
6 12,5 mg/m 10,50 10,60 - 11,20
7 6,25 mg/ml 9,30 9,30 - 7,20
8 3,125 mg/ml 8,60 - - -
Keterangan: (*) = hasil rata-rata tiga kali pengukuran, (-) = tidak ada hambatan
Pada tabel 4.6 dan gambar 4.1 terlihat bahwa semakin besar konsentrasi ekstrak
yang diberikan akan menghasilkan daerah hambat yang semakin besar, hal ini disebabkan
semakin banyak zat aktif yang terkandung dalam ekstrak. Aktivitas antibakteri fraksi
etanol pada konsentrasi 300 mg/ml memberikan diameter daerah hambatan terhadap
18
Gambar 4.1. Diagram hasil uji antibakteri fraksi etanol terhadap bakteri
bakteri Staphylococcus aureus sebesar (19,35 mm), Escherichia coli (19,80 mm),
Salmonella typhi (19,80 mm) dan Bacillus cereus (18,30 mm). Ini menunjukkan
bahwa aktivitasnya sebagai antibakteri tidak jauh berbeda, demikian juga untuk
konsentrasi 200 mg/ml aktivitas antibakterinya sama, tetapi pada konsentrasi 100 mg/ml
untuk bakteri Bacillus cereus aktivitasnya lebih kecil dibanding ketiga bakteri lainnya..
Menurut Ditjen POM (1995), suatu zat dikatakan memiliki daya hambat yang
memuaskan mempunyai diameter daerah hambatan lebih kurang 14 sampai 16 mm.
Aktivitas antibakteri fraksi etanol yang memberikan daya hambat memuaskan
dengan konsentrasi terkecil (50 mg/ml) adalah bakteri Escherichia coli (16,10 mm) dan
bakteri Staphylococcus aureus (14,55.mm). Namun untuk bakteri Salmonella typhi
adalah dosis 100 mg/ml dengan diameter hambat (16,20 mm) dan bakteri Bacillus cereus
dosis 200 mg/ml dengan diameter hambat (17,10 mm). Untuk blanko memakai dimetil
sulfoksida (DMSO) tidak memberikan daya hambat pada bakteri.
Senyawa kimia yang dikandung oleh fraksi etanol biji pinang yaitu tanin dan
flavonoid memiliki sifat sebagai antimikroba yang kuat dan dapat menghambat
pertumbuhan beberapa jenis bakteri antara lain Staphylococcus aureus dan Escherichia
19
coli (Agusta, 2000). Oleh Newall, et al, 1996, juga disebutkan bahwa senyawa tanin dan
flavonoid mempunyai aktivitas antibakteri untuk melawan Staphylococcus aureu. Kadar
hambat minimum (KHM) untuk bakteri Staphylococcus aureus adalah dosis 3,125
mg/ml, Escherichia coli dosis 6,25 mg/ml, Salmonella typhi dosis 50 mg/ml dan Bacillus
cereus dosis 6,25 mg/ml, dengan diameter hambat masing-masing secara berturut-turut
adalah 8,60 ; 9,30, 13,80 dan 7,20 mm. Penelitian yang dilakukan oleh Masduki (1996),
menyebutkan bahwa infus biji pinang yang diuji terhadap bakteri Staphylococcus aureus
diperoleh dosis 20 g% memberikan diameter hambat 8,33 mm, untuk ekstrak etanol 6
mm, sedang bakteri Escherichia coli tidak dijumpai zona hambat. Penelitian yang
dilakukan oleh Puspawati (2003), menyebutkan ekstrak etanol biji pinang yang diuji
terhadap bakteri Staphylococcus aureus diperoleh dosis 1,57%. Penelitian terhadap
ekstrak etanol memberikan dosis yang tingga karena masih banyak senyawa-senyawa lain
yang ikut pada ekstrak tersebut.
Senyawa metabolit sekunder yang bersifat lebih polar terdapat dalam jumlah lebih
besar daripada golongan senyawa kimia yang lebih non polar pada fraksi etanol sehingga
lebih mempengaruhi pada bakteri gram positif yang membran luarnya terdiri dari lapisan
peptidoglikan yang lebih banyak dibandingkan bakteri gram negatif yang membran
luarnya terdiri dari lapisan lipopolisakarida yang terdiri dari lipid, polisakarida dan
protein (Pratiwi, 2008 dan Waluyo, 2005), selain itu dinding sel bakteri gram positif
terdapat asam teikoat yang mengandung alkohol (gliserol atau ribitol) (Pratiwi, 2008).
Efek antimikroba dari senyawa flavonoid membentuk kompleks dengan protein
ekstraseluler dan terlarut dengan dinding sel (Hayet, et al., 2008; Boussaada, et al.,
2008). Efek antimikroba dari senyawa tanin ditunjukkan dengan melibatkan mekanisme
yang berbeda, seperti penghambatan enzim mikroba ekstraseluler dan penghambatan
fosforilasi oksidatif pada proses mtabolisme mikroba (Boussaada, et al., 2008).
Berdasarkan uraian di atas menunjukkan bahwa fraksi etanol biji pinang dapat
dibuat menjadi suatu sediaan obat antidiare karena mempunyai aktivitas antibakteri yang
memenuhi standard yang ditetapkan oleh Ditjen POM (1995) yaitu memberikan diameter
hambat minimum 14 mm sampai 16 mm. Serbuk simplisia juga memenuhi persyaratan
karena masih memberikan nilai di bawah persyaratan standard Departemen Kesehatan
terlihat pada Tabel 4.1 (Ditjen POM, 2000).
20
F. Hasil Pembuatan Kapsul
Fraksi etanol biji pinang yang telah di freeze dryer (bebas pelarut), dikeringkan
kembali pada lemari pengering dengan suhu ± 40-500C agar memberikan hasil yang lebih
mudah digerus dengan laktosa yang sebelumnya telah dikeringkan sampai beratnya
konstan. Fraksi etanol yang dimasukkan ke dalam cangkang kapsul berdasarkan dosis
KHM (6,25 mg/ml) kemudian dikonversikan pada manusia yaitu dikali 10 (Lay, 1996)
sehingga satu kapsul berisi 62,5 mg ekstrak..
G. Hasil Evaluasi Kapsul
Evaluasi sediaan kapsul fraksi etanol biji pinang hanya dilakukan terhadap waktu
hancur dan keseragaman bobot. Hasil uji evaluasi kapsul dapat dilihat pada Tabel 4.7
berikut.
Tabel 4.7. Hasil evaluasi sediaan kapsul
No Waktu hancur (menit) Keseragaman bobot (%).
3,05 A = 0,07%
B = 0,09%
Pada tabel di atas terlihat bahwa waktu hancur sediaan kapsul memenuhi
persyaratan yaitu tidak lebih dari 15 menit. Waktu hancur ditentukan untuk mengetahui
waktu yang diperlukan oleh kapsul agar hancur menjadi butiran-butiran bebas yang tidak
terikat oleh suatu bentuk (Tsabitmubarok, 2010). Menurut Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia nomor 661/MENKES/SK/VII/994, makin cepat daya hancur suatu
pil, tablet dan kapsul diharapkan makin besar dan cepat zat aktif yang diserap oleh tubuh.
Dengan demikian diharapkan makin cepat obat tradisinal bereaksi di dalam tubuh maka
semakin cepat dirasakan efeknya.
Hasil uji keseragamam bobot juga memenuhi persyaratan, yaitu persen bobot isi
kapsul terhadap bobot rata-rata tiap isi kapsul tidak boleh lebih dari yang ditetapkan
dalam kolom A (0,07%) dan untuk setiap kapsul terhadap bobot rata-rata ditetapkan
dalam kolom B (0,09%) (Depkes, 1979)
21
BAB V
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan :
1. Ekstrak etanol biji pinang yang digunakan memenuhi persyaratan standard mutu
sebagai bahan obat atau bahan baku obat dengan kadar air, kadar sari larut air, kadar
sari larut etanol, kadar abu total dan kadar abu tidak larut asam secara berturut-turut
adalah 6,80; 34,70; 48,25; 0,90; dan 0,65 untuk simplisia; 8,78; 36,68; 52,54; 0,68 dan
0,45 untuk ekstrak.
2. Senyawa alkaloid yang terdapat pada ekstrak etanol biji pinang dapat dipisahkan
menggunakan pelarut kloroform yang dibuktikan secara kromatografi lapis tipis.
3. Fraksi etanol biji pinang hasil fraksinasi dari ekstrak etanol mempunyai aktivitas
antibakteri terhadap penyebab diare, yaitu Staphylococcus aureus, Escherichia coli,
Salmonella typhi dan Bacillus cereus dengan diameter hambat minimum masing-
masing sebesar 19,35; 19,80; 19;,80 dan 18,30 mm pada dosis 300 mg/ml. Sedang
kadar hambat minimum yang diberikan oleh bakteri Staphylococcus aureus 8,60
mm (dosis 3,125 mg/ml); Escherichia coli 9,30 mm (dosis 6,25 mg/ml),
Salmonella typhi 13,80 mm (dosis 50 mg/ml) dan Bacillus cereus 7,20 mm (dosis
6,25 mg/ml).
4. Sediaan kapsul fraksi etanol biji pinang yang diperoleh memenuhi persyaratan uji
kapsul. Hasil uji evaluasi kapsul untuk waktu hancur 3,05 menit dan keseragamam
bobot A= 0,07% dan B=0,09%.
B. Rekomendasi
1. Direkomendasikan kepada pemerintah daerah Provinsi Sumatera Utara melalui
Dinas Keshatan Provsu agar selalu mendorong masyarakat dalam pemanfaatan
obat tradisional yang berkhasiat dan kualitasnya teruji.
2. Obat tradisional berupa kapsul biji pinang yang telah memenuhi persyaratan baik
uji aktivitas mikrobiologi maupun sediaan kapsulnya, yang dapat digunakan
sebagai obat antidiare, sehingga dapat diproduksi secara missal, murah dan mudah
dijangkau.
22
3. Dengan memproduksi kapsul biji pinang sebagai obat antidiare, dapat menambah
pendapatan daerah karena pinang merupakan salah satu komoditi unggul Sumut.
23
DAFTAR PUSTAKA
Adnan, M., 1997., Teknik Kromatografi Untuk Analisis Bahan Makanan. Yogyakarta:
Penerbit Andi. Hal. 10, 15-16.
Agusta, A., 2000, Minyak Atsiri Tumbuhan Tumbuhan Tropika Indonesia. Bandung:
Penerbit ITB, Hal. 43.
Anonim,2010, Penyebab Diare dan Gejala Diare, File://G:\penyebab diare.htm, diakses
22/11/2010.
Anonim, 2011., Buku Panduan Program Penelitian Unggulan Strategis Nasional,
Direktorat Jenral Pendidikan Tinggi Kementrian Pendidikan Nasional
.
Ansel, H. C. 2005. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia. 605-618
Ambarwati., 2007, Efektivitas Zat Antibakteri Biji Mimba (Azadirachta indica) untuk
Menghambat Pertumbuhan Salmonella thyposa dan Staphylococcus aureus.
Biodiversitas. 8: 320-325.
Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia., 2002., Keracunan Pangan
Akibat Bakteri Patogen. Dapat diakses di : http://www.pom.go.id/public/
siker/desc/produk/RacunBakPatogen.pdf [Diakses tanggal 23 Januari 2011].
Bousaada, O., Chriaa, J., Nabli, R Ammar, S., Saidana, D., Mahjoub, M.A., Chraef, L.,
and helal, AN., 2008. Antimicrobial and Antioxidant activities of Methanol
Extracts of Evax pygmea (Asteraceae) Growing Wwild in Tunisia, World J.
Microbial Biotechnol. 24: 1289-1296.
Bruneton, J., 1995., Pharmacognosy Phytochemistry Medicinal Plants, New York:
Intercept Ltd. 705-706
Chaudhri, R. D., 1996., Herbal Drug Industry, A Practical Approach to Industrial
pharmacognosy. Eastern Publishers. First Edition. NewDelhi. India. P. 38.
Chehregani, A., Azimishad F., dan Alizadet H.H. , 2007, Study on Antibacterial Effect of
Some Allium Species from Hamedan-Iran. International Journal of Agriculture
and Biology. 9(6): 873-876.
Ciesla WP and Guerrant RL. 2003. Infectious Diarrhea. Current Diagnosis and
Treatment in Infectious Disease. New York: Lange Medical Books. 225 - 68.
Depkes RI. ,1989, Materia Medika Indonesia Jilid Ke V. Jakarta: Ditjen POM. Hal. 55-57
24
Depkes RI., 2006, Kotranas. Jakarta: Departemen Kesehatan Departemen Kesehatan
RI. Hal. 1, 8.
Depkes RI, 1986., Sediaan Galenika, Jakarta : Ditjen POM. Hal 1-6
Difco Laboratories, 1977. Difco Manual of Dehydrated Culture Media and Reagents for
Microbiology and Clinical Laboratory Procedure. Ninth Edition. Detroit
Michigan : Difco Laboratories. Hal 32, 64.
Ditjen POM., 1995, Farmakope Indonesia Edisi Ke IV. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik ndonesia. Hal. 896-898..
Ditjen POM., 2000, Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Cetakan I
Jakarta: Ditjen POM. Hal 17, 31-32.
Dwidjoseputro, D. (1994). Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta: Djambatan. Hal. 118-
119, 126, 134, 154.
Eisenbrand dan Tang, 1992, Chinese Drugs of Plant Origin, Chemistry, Pharmacology,
and Use in Traditional and Modern Medicine, New York, Springer-Verlag, p.
139-143
Fleming, T, 2000., PDR for herbal Medicinal, second edition, Medical Economics
Company. Monivale. New Jersey. p. 38.
Fraizer, W.C. and D.C. Westhoff. 1988. Food Microbiology. New York : McGraw-Hill
Book Company. 429-431.
Gritter, R.J., Bobbit, J.M., dan Schwarting, A.E. (1991). Pengantar Kromatografi.
Terbitan Ke-2. Penterjemah: Kosasih Padmawinata. Bandung : Penerbit ITB. Hal.
108-109, 160-179.
Hayet, E., Maha, M., Samia, A., Mata, M., Gros, P., Raida, H., Ali, M.M., Mohammed,
A.S., Gutmann, L., Migrhi, Z., and Mahjoub, M.A., (2008). Antimicrobial,
Antioxidant, and Antiviral Activitie of Retama roetam (Forssk) Webb Flower
Frowing in Tunisia, World J. Microbial Biotechnol, 24: 551-552.
Heyne, K.,1987, Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid I, Jakarta: Yayasan Sarana Wana
Jaya. Hal. 460-463
Kumaraswamy, M.V., Kavitha, H.U., dan Satish, S., 2008, Antobacterial Evaluation and
Phytochemical Analysis of Betula utilis D. Don Against Some Human Pathogenic
Bacteria. Advances in Biological Research 2. (1-2): 21-25.
Kusmiyati, dan Agustini, N.W.S. 2006., Uji Aktivitas Senyawa Antibakteri dari
Mikroalga Prophyridium cruentum. Biodiversitas. 8(1): 48-53.
25
Lay, B.W. (1996). Analisis Mikroba di Laboratorium. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Hal. 57-58, 109.
Madigan, M. T., Martinko J. M. And Parker J. 1997. Brock Biology of Microorganisms.
10th
Edition. New Jersey : Prentice Hall International. p. 633-637,406-407.
Mardisiswojo, S. dan Rajakmangunsudarso, H, 1985, Cabe Puyang Warisan Nenek
Moyang, Jakarta, PN. Balai Pustaka, Hal: 162-163
Masduki, I., 1996, Efek Antibakteri Ekstrak Biji Pinang (Areca catechu) terhadap S.
aureus dan Ecoli in vitr, Cermin Dunia Kedokteran, 109 (21): 1-4
Meyanto, E, Susidarti, R.A, Handayani, S, dan Rahmi F., 2008, Ekstrak Etanolik Biji
Buah Pinang (Areca catechu L.) Mampu Menghambat Proliferasi dan Memacu
Apoptosis Sel MCF-7, Majalah Farmasi Indonesia 19 (1): 12-19.
Mutschler, Ernst. 1999. Dinamika Obat. Edisi Kelima. Bandung : Penerbit ITB. hlm. 623.
Newall, C.A, Anderson, L.A, Phillipson, J.D. 1996. Herbal Medicines A Guide for
Health-care Professionals. The pharmaceutical Press. London hal, 21
Perry, L.M., 1980, Medicinal Plants of East and Southeast Asia: Attributed Properties
and Uses. London: The MIT Press. Hal. 182.
Pelczar, M. J. dan Chan E. C. S., 2006, Dasar-Dasar Mikrobiologi. Edisi II. Jakarta :
Penerbit Universitas Indonesia. hlm. 452-454.
Pratiwi, S.T. , 2008, Mikrobiologi Farmasi. Jakarta: Erlangga. Hal. 23, 111-117.
Puspawati, N.,2010, Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanolik Biji Pinang (Areca
catechu L.) Terhadap Staphylococcus aureus ATTC* 25923 dan Pseudomonas
aeruginosa ATTC* 2785., Biomedika, 3 (1): 73-80
Robinson, T., 1995, KandunganOrganik Tumbuhan Tinggi Edisi keempat. Bandung:
Penerbit ITB. Hal. 150-160.
Rohman, A., 2007, Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 323,
328-329,353.
Saputra, E., 2009, Uji Antibakteri Ekstrak Tanaman Putri Malu (Mimosa pudica)
Terhadap Pertumbuhan Shigella dysentriae. Skripsi. Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Sastrohamidjojo, H., 1991, Kromatografi. Yogyakarta: Penerbit Liberty. Hal. 22-36.
26
Sativa, P. R. 2009. Uji Daya Antibakteri Ekstrak Etanol Bawang Putih (Allium sativum
L.) terhadap Bacillus cereus ATCC 6538 dan secara in vitro. [Skripsi]. Surakarta. :
Fakultas Kedokteran UMS.
Steenis, Van, C.G.G.J, 1987., Flora. Untuk Sekolah Di Indonesia. Cetakan keempat.
Jakarta. PT. Pradnya Paramita. Hal. 140-141.
Suharmiati, H.L. 2006. Cara Benar Meracik Obat Tradisional, Cetakan Pertama. Jakarta
: Agromedia Pustaka. 1.
Supardi, I., dan Sukamto., 1999, Mikrobiologi dalam Pengolahan dan Keamanan
Pangan Edisi pertama. Cetakan pertama. Jakarta: Yayasan Adikarya IKAPI
dengan The Ford Foundation. Hal. 83-94.
Syarif, et al. 1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi Keempat. Jakarta : Gaya Baru.
Tjay, T. H. dan K. Rahardja. 2002. Obat-Obat Penting. Edisi keenam. Jakarta : Elex
Media Komputindo. 61, 177, 275
Tortora, G. J. F., B. R. Case and C. L. Case. 1998. Microbiology an Introduction.
California : Addison Wesley Longman, Inc. p. 532.
Waluyo, L., 2005, Mikrobiologi Umum. Cetakan Ke-2. Malang: UMM Press. Hal. 191-
212.
Wang, C.k., dan Lee, W.H.,1996, Separation Caracteristics, and Biological Activities of
Phenolics in Areca Fruit, J.Agric.Food Chem., 44, 2014-2019
WHO., 1992, Quality Control Methods For Medicinal Plant Materials.
WHO/PHARM/92.559. Geneva. Hal. 25-27.
Woods, Panzaru, S., Nelson D., McCollum, G., Ballard, L.M., Millar, B.C., Maeda, Y.,
Goldsmith, C.E., Rooney, P.J., Loughrey, A., Rao, J.R., dan Moore, J.E., 2009,
An Examination of Antibacterial and Antifungal Properties of Constituents
Described in Traditional Ulster Cures and Remedies. Ulster Med J. 78(1): 13-15.
Zein, U., Sagala, K.H., dan Ginting, J., 2004, Diare Akut Disebabkan Bakteri. e-USU
Repository. Universitas Sumatera Utara. Hal. 1.
Zweig, G, and Sherma, J, 1987., CRC Handbook of ChromatographyGeneral Data and
Principlel. Baton Rough: CRC Press, Inc, 2: 113.