EVALUASI PERLAKUAN AKUNTANSI KAPITALISASI BELANJA …/Evaluasi...Nama : Heri Adi Prabowo NIM :...

88
36 EVALUASI PERLAKUAN AKUNTANSI KAPITALISASI BELANJA YANG DAPAT DIAKUI SEBAGAI ASET GEDUNG DAN BANGUNAN DALAM NERACA DAERAH TESIS Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Mencapai Derajat Magister Sains Program Studi Magister Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh: Heri Adi Prabowo NIM. S4307019 PROGRAM STUDI MAGISTER AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010

Transcript of EVALUASI PERLAKUAN AKUNTANSI KAPITALISASI BELANJA …/Evaluasi...Nama : Heri Adi Prabowo NIM :...

36

EVALUASI PERLAKUAN AKUNTANSI KAPITALISASI

BELANJA YANG DAPAT DIAKUI SEBAGAI ASET GEDUNG

DAN BANGUNAN DALAM NERACA DAERAH

TESIS

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Mencapai Derajat Magister Sains Program Studi Magister Akuntansi

Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh:

Heri Adi Prabowo NIM. S4307019

PROGRAM STUDI MAGISTER AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2010

37

EVALUASI PERLAKUAN AKUNTANSI KAPITALISASI BELANJA

YANG DAPAT DIAKUI SEBAGAI ASET GEDUNG DAN BANGUNAN

DALAM NERACA DAERAH

RINGKASAN TESIS

Disusun oleh:

Heri Adi Prabowo

NIM. S4307019

Telah disetujui Pembimbing

Pada tanggal : ...........................................

Pembimbing I

DR. Hj. Rahmawati, M.Si., Ak

NIP. 19680401 199303 2 001

Pembimbing II

Doddy Setiawan, S.E., M.Si., IMRI., Ak

NIP. 19750218 200012 1 001

Mengetahui :

Ketua Program Studi Magister Akuntansi

Dr. Bandi, M.Si., Ak. NIP. 19641120 199103 1 002

38

EVALUASI PERLAKUAN AKUNTANSI KAPITALISASI BELANJA

YANG DAPAT DIAKUI SEBAGAI ASET GEDUNG DAN BANGUNAN

DALAM NERACA DAERAH

Disusun oleh:

Heri Adi Prabowo NIM. S4307019

Telah disetujui Tim Penguji

Pada tanggal 18 Januari 2010

Ketua Tim Penguji : Dr. Payamta, M.Si., Ak. CPA .............................

Sekretaris : Dr. Bandi, M.Si., Ak. .............................

Anggota : Dr. Hj. Rahmawati, M.Si., Ak. .............................

Doddy Setiawan, S.E., M.Si., IMRI., Ak. .............................

Mengetahui :

Direktur PPs UNS

Prof. Drs. Suranto, M.Sc., Ph.D. NIP. 19570820 198503 1 004

Ketua Program Studi Magister Akuntansi

Dr. Bandi, M.Si., Ak. NIP. 19641120 199103 1 002

39

PERNYATAAN

PERNYATAAN

Nama : Heri Adi Prabowo

NIM : S4307019

Program Studi : Magister Akuntansi

Konsentrasi : Sektor Publik

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul “Evaluasi Perlakuan

Akuntansi Kapitalisasi Belanja Yang Dapat Diakui Sebagai Aset Gedung Dan

Bangunan Dalam Neraca Daerah” adalah betul-betul karya saya sendiri. Hal-hal

yang bukan karya saya, dalam tesis ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam

daftar pustaka.

Apabila dikemudian hari pernyataan saya ini tidak benar, maka saya bersedia

menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh

atas tesis tersebut.

Surakarta,

Yang menyatakan,

Heri Adi Prabowo

40

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang maha penyayang

lagi maha pengasih karena hanya dengan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat

menyelesaikan penulisan tesis ini yang berjudul berjudul “Evaluasi Perlakuan

Akuntansi Kapitalisasi Belanja Yang Dapat Diakui Sebagai Aset Gedung Dan

Bangunan Dalam Neraca Daerah. Pengelolaan aset tetap pemerintah daerah

menjadi issue utama yang mendasari penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan

gambaran mengenai kondisi yang terjadi di daerah.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada

Asian Development Bank melalui State Audit Reform Sector Development Project

(STAR–SDP) sebagai pemberi beasiswa kepada peneliti dalam menyelesaikan

pendidikan Magister Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret

Surakarta, Ibu DR. Hj. Rahmawati, M.Si., Ak. sebagai Pembimbing I

(satu)/Utama dan Bapak Doddy Setiawan, S.E., M.Si., IMRI., Ak. sebagai

Pembimbing II (dua) dan selaku Ketua Program Studi Magister Akuntansi

Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan motivasi, nasihat,

petunjuk dan bimbingan sangat berharga selama proses penelitian sampai dengan

penyelesaian penulisan tesis ini.

Ucapan terima kasih disampaikan juga kepada Tim Penguji yang diketuai

oleh Bapak Dr. Payamta,M.Si.,Ak. CPA., Ak dan Sekretaris Penguji Bapak

Dr. Bandi, M.Si., Ak yang banyak memberikan masukan konstruktif bagi

41

penyempurnaan tesis ini. Terima kasih dan penghargaan saya sampaikan kepada

Rektor dan Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta beserta

jajarannya yang telah menerima dan memberikan kesempatan pada penulis untuk

menimba ilmu di kampus tercinta ini.

Terima kasih juga saya sampaikan kepada Bapak Bupati Sragen dan

Inspektur Inspektorat Kabupaten Sragen atas ijin dan perkenan yang diberikan

kepada penulis untuk menempuh pendidikan jenjang S-2 di Universitas Sebelas

Maret Surakarta sekaligus melakukan penelitian di Pemerintah Kabupaten Sragen.

Terima kasih juga kepada Bupati Karanganyar dan Bupati Sukoharjo beserta

jajarannya atas ijin yang diberikan untuk melakukan penelitian. Terima kasih

kepada banyak pihak yang telah membantu dan mendukung penulis selama proses

perkuliahan, penelitian sampai dengan penulisan tesis yang mohon maaf tidak bisa

penulis sebutkan satu persatu.

Terima kasih kepada Ayahanda (Alm) FX. Suharso dan Ibunda F.Wahyuni,

atas semangat dan doanya dalam penyelesaian tesis dan studi penulis. Secara

khusus disampaikan terima kasih kepada istri tercinta Tri Supraptini,S.Kep atas

pengertian, pengorbanan dan kesabaran selama penulis menyelesaikan studi serta

buah hatiku Carissa Shofiyah Prabowo yang memberi motivasi dalam hidupku,.

Penulis menyadari, bahwa tiada gading yang tak retak sehingga apa yang

penulis lakukan masih belumlah sempurna karena keterbatasan kemampuan

penulis. Oleh karena itu kritik dan saran penyempurnaan selanjutnya penulis

sangat hargai. Diharapkan apa yang penulis lakukan dapat bermanfaat dalam

memacu perkembangan pelaporan pertanggungjawaban Pemerintah Daerah

42

melalui Laporan Keuangan Daerah (LKD) khususnya pada penyajian aset gedung

dan bangunan.

Surakarta, Januari 2010

Penulis

43

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1

A Latar Belakang ...................................................................................... 1

B Permasalahan ......................................................................................... 8

C Tujuan Penelitian ................................................................................... 9

D Manfaat Penelitian ................................................................................. 9

E Sistematika Penulisan ............................................................................ 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 11

A Kapitalisasi ............................................................................................ 11

1. Kapitalisasi Pada Sektor Swasta (Private)/Perusahaan .................... 11

2. Kapitalisasi Pada Sektor Publik/Pemerintahan ................................ 14

B Belanja Daerah ...................................................................................... 17

C Aset ........................................................................................................ 22

D Aset Tetap Gedung dan Bangunan ........................................................ 26

1. Pengakuan Gedung dan Bangunan ................................................... 27

2. Pengukuran Gedung dan Bangunan ................................................. 28

3. Pengungkapan Gedung dan Bangunan ............................................. 29

BAB III METODA PENELITIAN ............................................................ 30

A Pendekatan Penelitian ............................................................................ 30

B Metoda Pengumpulan Data ................................................................... 31

C Analisa Data .......................................................................................... 34

D Tahap-tahap Penelitian .......................................................................... 35

BAB IV ANALISA DATA ......................................................................... 51

A Kabupaten Sragen .................................................................................. 36

1. Gambaran Umum ............................................................................. 36

2. Proses Penelitian .............................................................................. 37

44

3. Belanja APBD Pemerintah Kabupaten Sragen Tahun Anggaran

2008 Dan Hubungannya Dengan Pertambahan Nilai Aset Gedung

Dan Bangunan .................................................................................. 38

4. Prosedur Kapitalisasi Belanja Yang Dapat Diakui Sebagai Aset

Gedung dan Bangunan ..................................................................... 40

5. Akuntansi Belanja Daerah ................................................................ 42

6. Kapitalisasi Belanja Daerah ............................................................. 43

7. Hasil Audit BPK & Hasil Reviu Inspektorat Terhadap Penyajian

Aset Tetap dalam Laporan Keuangan Daerah .................................. 47

B Kabupaten Karanganyar ........................................................................ 49

1. Gambaran Umum ............................................................................. 49

2. Proses Penelitian .............................................................................. 50

3. Belanja APBD Pemerintah Kabupaten Karanganyar Tahun

Anggaran 2008 Dan Hubungannya Dengan Pertambahan Nilai

Aset Gedung Dan Bangunan ............................................................ 51

4. Implementasi Kapitalisasi Belanja Yang Dapat Diakui Sebagai

Aset Gedung & Bangunan ............................................................... 53

5. Hasil Audit BPK & Hasil Reviu Inspektorat Terhadap Penyajian

Aset Tetap dalam Laporan Keuangan Daerah .................................. 53

C Kabupaten Sukoharjo ............................................................................ 54

1. Gambaran Umum ............................................................................. 54

2. Proses Penelitian .............................................................................. 55

3. Belanja APBD Pemerintah Kabupaten Sukoharjo Tahun Anggaran

2008 Dan Hubungannya Dengan Pertambahan Nilai Aset Gedung

Dan Bangunan .................................................................................. 55

45

4. Implementasi Kapitalisasi Belanja Yang Dapat Diakui Sebagai

Aset Gedung & Bangunan ...............................................................

57

5. Hasil Audit BPK & Hasil Reviu Inspektorat Terhadap Penyajian

Aset Tetap dalam Laporan Keuangan Daerah .................................. 58

D Pembandingan Kondisi Obyek Penelitian ............................................. 58

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................... 61

A Kesimpulan ............................................................................................ 61

B Keterbatasan Penelitian ......................................................................... 63

C Saran-Saran ........................................................................................... 64

D Implikasi Manajerial .............................................................................. 65

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 66

46

DAFTAR TABEL

Tabel II.1 Penggolongan Belanja Menurut PP No. 24 Tahun 2005

Permendagri No. 13 Tahun 2006 .......................................... 18

Tabel II.2 Pencatatan Aset Gedung Dalam Neraca Berdasarkan KMK

No. 18/KMK.018/1999 ......................................................... 27

Tabel IV.1

Realisasi Belanja dalam APBD Pemkab Sragen Tahun

Anggaran 2008 ...................................................................... 39

Tabel IV.2 Penambahan Aset Tetap Gedung dan Bangunan Pemkab

Sragen Tahun Anggaran 2008 ............................................... 39

Tabel IV.3 Analisis Penyerapan Belanja Ke Dalam Nilai Aset Tetap

Gedung Bangunan Pemkab Sragen Tahun Anggaran 2008 .. 39

Tabel IV.4 Tabulasi Kebijakan Akuntansi Keuangan Pemkab Sragen

dengan PMK No. 91/PMK.05/2007 ...................................... 46

Tabel IV.5 Realisasi Belanja dalam APBD Pemkab Karanganyar

Tahun Anggaran 2008 ........................................................... 51

Tabel IV.6 Penambahan Aset Tetap Gedung dan Bangunan Pemerintah

Kabupaten Karanganyar Tahun Anggaran 2008

................................................................................................ 52

Tabel IV.7 Analisis Penyerapan Belanja Ke Dalam Nilai Aset Tetap

Gedung Bangunan Pemkab Karanganyar Tahun Anggaran

2008 ....................................................................................... 52

Tabel IV.8 Realisasi Belanja dalam APBD Pemkab Sukoharjo Tahun

Anggaran 2008 ...................................................................... 56

47

Tabel IV.9 Penambahan Aset Tetap Gedung dan Bangunan Pemkab

Sukoharjo Tahun Anggaran 2008 .........................................

56

Tabel IV.10

Analisis Penyerapan Belanja Ke Dalam Nilai Aset Tetap

Gedung dan Bangunan Pemkab Sukoharjo Tahun Anggaran

2008 .......................................................................................

57

Tabel IV.11 Pembandingan Kondisi Obyek Penelitian ............................. 60

48

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Kebijakan Akuntansi Keuangan Pemerintahan Kabupaten

Sragen Yang Mengatur Tentang Belanja

................................................................................................ 69

Lampiran 2 Kebijakan Akuntansi Keuangan Pemerintahan Kabupaten

Sragen Yang Mengatur Tentang Aset

................................................................................................ 72

Lampiran 3 Daftar isian kuesioner yang diedarkan …………………….. 74

Lampiran 4

Ijin penelitian di 3 Kabupaten ( Kabupaten Sragen,

Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Sukoharjo) …………..

81

49

INTISARI

Pengelolaan aset tetap milik pemerintah masih menemui banyak kendala baik dalam pengakuan, penilaian maupun pelaporannya. Kondisi tersebut berdampak pada tidak terpenuhinya kriteria kewajaran dalam penyajian akun aset tetap dalam Laporan Keuangan Daerah (LKD). Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang prosedur/proses pengkapitalisasian belanja yang dapat diakui sebagai aset gedung dan bangunan di Pemerintahan Daerah dan dapat memberikan evaluasi terhadap kapitalisasi belanja yang dapat diakui sebagai aset gedung dan bangunan apakah telah sesuai dengan standar yang ada.

Pendekatan deskriptif (descriptive research) digunakan dalam penelitian ini, yaitu pendekatan penelitian yang berusaha menggambarkan kondisi dan fenomena yang terjadi di lapangan tentang fokus penelitian seobjektif mungkin. Hasil analisis dan pembahasan menghasilkan kesimpulan bahwa prosedur kapitalisasi belanja yang dapat diakui sebagai aset gedung dan bangunan pada Pemerintah Daerah pada prinsipnya tidak diatur secara spesifik dalam peraturan perundang-undangan yang ada, sehingga tidak terdapat keseragaman pada implementasi di lapangan, dan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kapitalisasi (KMK No. 01/KM.12/2001 tentang Pedoman Kapitalisasi Barang Milik/Kekayaan Negara dalam Sistem Akuntansi Pemerintah) belum mengatur secara spesifik tentang prosedur kapitalisasi dan belum ada pemahaman dari Pemerintahan Daerah objek penelitian (Bendahara Umum Daerah maupun Bendahara SKPD) sehingga terjadi kecenderungan (Bendahara Umum Daerah maupun Bendahara SKPD) tidak menerapkan kapitalisasi khususnya kapitalisasi belanja yang dapat diakui sebagai aset gedung dan bangunan. Kata Kunci : Kapitalisasi, Aset, Biaya, Laporan Keuangan Daerah, Regulasi

50

ABSTRACT

The managing of the state-owned fixed assets still meets constraints in terms of asset acknowledgment, asset evaluation, and asset statement. Such a condition causes the naturalness criteria in the account presentation of the fixed-assets in the local financial statement to become unfulfilled. This research is expected to describe the procedure or process of the capitalization of expenditures, which can be acknowledged as the building assets in the local government, and to evaluate whether or not the former capitalization of expenditures has complied with the prevailing standards. This research is a descriptive one. It tries to describe the condition and phenomena of the research objects taking place in the field as tangible as possible. Based on the results of the analysis a conclusion is drawn that the procedure of the capitalization of expenditures, which is acknowledged as the building assets in the local government has not principally been regulated specifically in the prevailing regulations and laws. As a result, there is not any uniformity in the implementation of the capitalization of the expenditures in the field, and the Decree of the Ministry of Finance, Number: 01/KM.12/2001 regarding Guidelines for Government-Owned Assets in the Government Accounting System, has not specifically regulated the procedure of the capitalization of expenditures. In addition, the local governments (Local General Treasuries and SKPD treasuries), which became the objects of this research, have not understood the procedure of the capitalization of expenditures. As a consequence, both the Local General treasuries and the SKPD treasuries tend not to implement the capitalization, particularly the capitalization of expenditures, which is acknowledged as the building assets. Keywords : Capitalization, asset, expenditures, local government’s financial

statement, regulation

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Wujud aset tetap pada dasarnya adalah barang-barang fisik yang

dimiliki oleh suatu entitas untuk memperlancar operasional entititas

51

dalam kegiatan normalnya dan mempunyai masa manfaat atau umur

ekonomis lebih dari satu tahun. Aset tetap pemerintah merupakan

salah elemen penting dalam menunjang operasional pemerintahan.

Aset tetap tersebut dimiliki dan dikuasai oleh pemerintah dalam rangka

untuk menjalankan roda pemerintahan dan tidak dimaksudkan untuk

diperjualbelikan. Diperlukan perhatian dan kebijakan khusus dalam

pengelolaan aset tetap pemerintah sehingga peruntukan,

pemanfaatan, dan penggunaannya tepat sasaran serta pelaporannya

dapat memenuhi kriteria kewajaran sesuai dengan prinsip-prinsip

akuntansi yang berlaku.

Laporan Hasil Audit Badan Pemeriksa Keuangan Republik

Indonesia (BPK RI) terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat

(LKPP) selama 4 (empat) tahun dari tahun 2004 sampai dengan tahun

2007 menyatakan opini disclaimer yang salah satu penyebab

dikeluarkannya opini tersebut adalah adanya aset/kekayaan negara

khususnya Barang Milik Negara (BMN) belum diinventarisasi dan

dinilai pada kondisi wajar, sehingga kevalidan dan keakuratan data

masih perlu di cross check lagi. Pengelolaan dan pelaporan aset di

tingkat pusat maupun daerah masih menjadi permasalahan yang

belum terselesaikan sampai saat ini aset. hal ini dapat dilihat dari 1)

hasil audit BPK RI terhadap Neraca Keuangan Pemerintah tahun 2004

menemukan 5 (lima) indikasi penilaian beberapa aset yang dibuat

dibawah nilai sebenarnya atau understated yang menyebabkan sisi

52

ekuitas pada neraca menjadi negatif sekitar Rp. 500 triliun, 2)

pernyataan Auditor Keuangan Negara BPK-RI Soekoyo yang

menyatakan bahwa masih terdapat beberapa aset negara yang dinilai

sebesar Rp. 1,- (satu rupiah), hal tersebut dilakukan dengan

pertimbangan agar aset negara tersebut tercatat terlebih dahulu dan

untuk penentuan nilai yang akurat akan dilakukan kemudian (Kompas,

8/6/2004), 3) pernyataan Ketua BPK-RI Anwar Nasution yang

menyatakan bahwa dari hasil audit BPK RI terhadap Neraca

Keuangan Pemerintah tahun 2007 terdapat aset senilai Rp. l7,06 triliun

di daerah yang rawan terhadap korupsi yang diakibatkan oleh

pengelolaan aset yang belum tepat (Pelita, 4/5/2007).

Disyahkannya peraturan perundang-undangan tentang

desentralisasi yaitu Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004

tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah

Daerah berimplikasi pada banyak hal yang harus disesuaikan oleh

Pemerintah Daerah (Pemda). Salah satu perubahan tersebut adalah

reformasi pengelolaan keuangan daerah dengan diterapkannya

desentralisasi pengelolaan keuangan daerah pada Satuan Kerja

Perangkat Daerah (SKPD). Perubahan-perubahan lain yang terjadi

antara lain dapat dilihat pada 1) struktur APBD yang semula tersusun

atas elemen pendapatan, belanja rutin dan belanja pembangunan

berubah menjadi elemen pendapatan, belanja administrasi umum dan

53

belanja operasional, berdasarkan Permendagri 13/2006 tentang

Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah diubah menjadi pendapatan

daerah, belanja daerah, dan pembiayaan daerah, 2) konsep anggaran

berimbang berubah menjadi konsep anggaran surplus/defisit, dan 3)

laporan pertanggungjawaban APBD yang sebelumnya berbentuk

Laporan Perhitungan APBD diganti dengan Laporan Keuangan

Daerah (LKD) yang terdiri atas Neraca, Laporan Realisasi Anggaran

(LRA), Laporan Arus Kas (LAK), dan Catatan Atas Laporan Keuangan

(CALK) yang berpedoman pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 24

Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah (SAP). Bentuk

Laporan Keuangan Daerah (LKD) hampir sama dengan laporan

keuangan yang disajikan oleh perusahaan swasta pada umumnya.

Neraca daerah yang merupakan salah satu bentuk Laporan

Keuangan Daerah adalah laporan untuk menunjukkan posisi keuangan

berupa aset, hutang dan kekayaan pada suatu tanggal tertentu. Dari

uraian sebelumnya dapat diketahui bahwa komponen aset merupakan

hal yang paling sulit dalam pengelolaan maupun pelaporannya. Salah

satu permasalahan dalam pengelolaan aset tersebut salah satunya

adalah kapitalisasi aset, Badan Pemeriksa Keuangan dan

Pembangunan (BPKP) dalam paparannya pada Bimbingan Teknis

(Bimtek) Review LKD di Kabupaten Sragen tanggal 2 Pebruari 2009

menyatakan bahwa:

Rata-rata di pemerintahan daerah belum melaksanakan pengkapitalisasian belanja yang dapat menambah nilai aset

54

(diakui sebagai aset) sehingga nilai aset yang disajikan belum menyatakan nilai yang sebenarnya terutama untuk aset gedung dan bangunan. Selain itu juga penentuan atau pengklasifikasian elemen-elemen biaya yang dapat dimasukkan dalam masing-masing pos rekening yang membentuk nilai nominal pos rekening tersebut belum menyatakan bahwa semua elemen-elemen biaya yang harus dilaporkan telah dimasukkan dalam jumlah tersebut. Kapitalisasi belanja dalam arti yang sederhana dapat diartikan

sebagai pengakuan terhadap belanja yang dapat menambah nilai

suatu aset. Kapitalisasi belanja yang dapat menambah nilai aset tetap

dapat disebabkan antara lain oleh biaya yang dialokasikan untuk

perbaikan, rehabilitasi, dan perawatan suatu aset. Kondisi dilapangan

menunjukan seringkali nilai rehabilitasi cukup besar, apalagi jika dilihat

kenyataan bahwa SD Inpres yang didirikan tahun 1980-an baru

direhabilitasi setelah 20 (dua puluh) tahun kemudian, tentunya

memerlukan biaya yang cukup besar untuk melaksanakannya.

Sebagaimana dalam akuntansi komersial, pengalokasian belanja

yang menambah masa manfaat aset dimasukkan sebagai penambah

nilai aset tersebut. Namun dalam praktik di lapangan pada sektor

publik (pemerintahan) hal ini menambah keruwetan bagi pelaksana

pencatatan. Mereka harus memastikan, aset yang mana yang

diperbaiki. Penentuan gedung sekolah yang akan diperbaiki,

nampaknya tidak sulit dilakukan namun dalam kenyataannya cukup

membuat permasalahan tersendiri bagi pelaksana di lapangan, hal ini

dapat kita lihat dari kasus-kasus yang berkaitan dengan Dana Alokasi

Khusus (DAK) Sektor Pendidikan yang sebagian besar diperuntukkan

55

untuk pembangunan dan perbaikan gedung sekolah menemui banyak

permasalahan dalam pelaksanaannya yang berujung pada

penyelesaian di pengadilan. Contoh nyata, seorang Kepala Sekolah di

Kabupaten Sragen diadukan oleh pihak Komite Sekolah ke pengadilan

terkait dengan tuduhan telah melakukan mark up atas proyek

rehabilitasi sekolah yang dananya bersumber dari Dana Alokasi

Khusus (DAK) Sektor Pendidikan senilai Rp. 250.000.000,- (dua ratus

lima puluh juta rupiah). Belum lagi permasalahan pengelolaan gedung

sekolah yang diperbaiki berkaitan dengan pengukuran, pengakuan dan

pelaporan nilai dari gedung sekolah tersebut. Berdasarkan kondisi

tersebut penelitian berkaitan dengan kapitalisasi belanja menjadi

sangat penting untuk dilakukan untuk memperoleh pemahaman

tentang implementasi kapitalisasi belanja yang dapat menambah nilai

aset pada akuntansi pemerintahan daerah.

Penelitian terdahulu berkaitan dengan aset pemerintah antara

lain telah dilakukan oleh Abdullah dan Halim (2006) yang menyatakan

alokasi untuk belanja modal berasosiasi positif terhadap belanja

pemeliharaan untuk konteks pemerintahaan daerah di Indonesia

setelah otonomi daerah dilaksanakan. Besaran belanja modal

berasosiasi dengan pendapatan daerah yang bersumber dari

pemerintah pusat, tapi tidak dengan pendapatan sendiri. Dewi (2006)

menyatakan proses pengelolaan belanja dengan menggunakan

metoda Activity-Based Costing (ABC) dapat mendeteksi adanya biaya-

56

biaya yang tidak menambah nilai bagi terlaksananya program unit

kerja/dinas/instansi sehingga pemotongan biaya atas biaya-biaya

tersebut dapat menambah efisiensi kinerja pemerintah dalam

memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Wirjolukito (2008), dalam

penelitiannya menyatakan untuk mempertahankan konsep kapitalisasi,

PSAK No. 26 perlu ditambah beberapa item pengungkapan selain

yang sudah ada sekarang untuk membendung terjadinya asimetri

informasi, antara penyaji dan pengguna laporan keuangan.

Pendekatan teoritis yang terstruktur dipandang kurang tepat, karena

adanya gap yang lebar antara teori dan praktek di lapangan. Akan

tetapi jika tidak dan ingin mengadopsi standar internasional, yang tentu

saja banyak keuntungannya, maka IAS No.23 merupakan suatu

alternatif yang cukup baik dan direkomendasikan, Subronto (2009)

yang menyatakan Neraca Daerah Pemerintah Kabupaten Sragen per

31 Desember 2007 belum menyajikan secara wajar nilai aset tanah

dalam rekening aset tetapnya, hal ini dapat dilihat dari belum

sesuainya penyajian aset tanah Neraca Daerah Pemerintah Sragen

per 31 Desember 2007 dengan Standar Akuntansi Pemerintahan

berkaitan dengan klasifikasi aset tanah, pengakuan aset tanah dan

pengukuran/penilaian aset tanah serta belum terpenuhinya penyajian

wajar asersi aset tanah berkaitan dengan hak dan kewajiban, penilaian

dan penyajian aset tanah.

57

Penelitian dilakukan terfokus pada implementasi belanja yang

dinyatakan dalam Daftar Penggunaan Anggaran Satuan Kerja

Perangkat Daerah (DPA-SKPD) yang dapat diakui (dikapitalisasi)

sebagai penambah nilai aset khususnya pada aset gedung dan

bangunan dengan alasan untuk memperoleh gambaran tentang

prosedur kapitalisasi belanja yang dapat menambah nilai aset yang

diterapkan pada Pemerintah Daerah serta memberikan evaluasi untuk

mengidentifikasi adanya perbedaan penerapan kapitalisasi belanja

yang dapat menambah nilai aset dengan standar dan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Kontribusi terhadap kualitas

pelaporan aset khususnya aset gedung dan bangunan yang

memenuhi kriteria wajar menjadi motivasi dalam penelitian ini.

Lokasi penelitian adalah Pemerintah Kabupaten Sragen,

Pemerintah Kabupaten Sukoharjo, dan Pemerintah Kabupaten

Karanganyar dengan pertimbangan:

a. Pemerintah Kabupaten Sragen, Pemerintah Kabupaten

Sukoharjo, dan Pemerintah Kabupaten Karanganyar telah

membuat Laporan Keuangan Daerah Tahun Anggaran 2008

yang berpedoman pada Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun

2005.

b. Laporan Keuangan Daerah Tahun Anggaran 2008 Pemerintah

Kabupaten Sragen, Pemerintah Kabupaten Sukoharjo, dan

Pemerintah Kabupaten Karanganyar telah direviu oleh

58

Inspektorat Daerah masing-masing daerah dan sedang dalam

proses audit oleh BPK RI. Hasil Audit BPK RI terhadap LKD

Pemerintahan Daerah Tahun Anggaran 2007 menyatakan opini

Wajar (Pemerintah Kabupaten Karanganyar), Wajar Dengan

Perkecualian (Pemerintah Kabupaten Sragen), dan Disclaimer

(Kabupaten Sukoharjo).

Berdasarkan alasan-alasan di atas, Pemerintah Kabupaten Sragen,

Pemerintah Kabupaten Sukoharjo, dan Pemerintah Kabupaten

Karanganyar dipilih menjadi lokasi penelitian dengan pertimbangan

bahwa dari tiga lokasi penelitian tersebut cukup mewakili Laporan

Keuangan Daerah (LKD) Pemerintahan Daerah yang ada saat ini.

B. Permasalahan

Berdasarkan pada latar belakang di atas maka penelitian

difokuskan pada prosedur/proses dalam melakukan kapitalisasi

belanja yang dapat diakui sebagai aset gedung dan bangunan serta

mengevaluasi elemen-elemen dalam belanja yang dapat dikapitalisasi

ke dalam aset gedung dan bangunan telah sesuai dengan standar

yang ada.

Cakupan penelitian dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori,

yaitu:

59

1. Ruang lingkup persoalan diteliti yaitu persoalan prosedur/proses

yang ditempuh dalam melakukan kapitalisasi belanja yang dapat

diakui sebagai aset gedung dan bangunan serta evaluasi terhadap

elemen-elemen dalam belanja yang dapat dikapitalisasi ke dalam

aset gedung dan bangunan disesuaikan dengan standar yang ada.

2. Ruang lingkup subjek dalam penelitian adalah belanja daerah, dan

3. Ruang lingkup wilayah/lokasi penelitian adalah Pemerintah

Kabupaten Sragen, Pemerintah Kabupaten Sukoharjo, dan

Pemerintah Kabupaten Karanganyar.

Permasalahan dalam penelitian ini diwujudkan dalam pertanyaan

penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana prosedur/proses pengkapitalisasian belanja yang dapat

diakui sebagai aset gedung dan bangunan yang dilakukan di

Pemerintahan Daerah Kabupaten Sragen, Kabupaten Karanganyar

dan Kabupaten Sukoharjo?

2. Apakah kapitalisasi belanja yang diakui sebagai aset gedung dan

bangunan di Pemerintahan Daerah Kabupaten Sragen, Kabupaten

Karanganyar dan Kabupaten Sukoharjo telah sesuai dengan

standar yang ada?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

60

1. Memberikan gambaran tentang prosedur/proses pengkapitalisasian

belanja yang dapat diakui sebagai aset gedung dan bangunan di

Pemerintahan Daerah.

2. Memberikan evaluasi terhadap kapitalisasi belanja yang dapat

diakui sebagai aset gedung dan bangunan apakah telah sesuai

dengan standar yang ada.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi

beberapa pihak, yaitu sebagai berikut:

1. Pemerintah Daerah, bahwa melalui penelitian ini dapat

meningkatkan kualitas penyajian rekening aset dalam Laporan

Keuangan Daerah (LKD) yang memenuhi kriteria wajar, khususnya

untuk aset gedung dan bangunan.

2. Akademisi, bahwa penelitian ini dapat menambah pengetahuan

tentang kapitalisasi aset dalam akuntansi pemerintahan khususnya

kapitalisasi belanja yang dapat diakui sebagai aset gedung dan

bangunan dalam neraca daerah.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan hasil penelitian terbagi atas 5 (lima) bagian

atau bab yang terdeskripsi antara lain atas:

BAB II : PENDAHULUAN

61

Menguraikan latar belakang penelitian, ide-ide dasar, isue

utama yang mendasari penelitian, tujuandan manfaat

penelitian.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Memuat kajian terhadap literatur-literatur yang dipergunakan

sebagai dasar teori dalam penelitian.

BAB III : METODA PENELITIAN

Menguraikan metoda penelitian yang digunakan dalam

penelitian untuk memperoleh data dan informasi yang

dibutuhkan serta tahapan-tahapan yang dilakukan dalam

melakukan penelitian.

BAB IV : ANALISIS DATA

Mendeskrisikan kondisi yang terjadi di lapangan berkaitan

dengan fokus penelitian serta evaluasi terhadap kondisi

yang ada.

BAB V : KESIMPULAN, KETERBATASAN, SARAN DAN IMPLIKASI

Memuat kesimpulan atas kondisi yang terjadi di lapangan,

saran-saran untuk peneliti berikutnya dan implikasi

manajerial dari penelitian yang dilakukan.

BAB II

LANDASAN TEORI

62

A. Kapitalisasi

1. Kapitalisasi Pada Sektor Swasta (Private)/Perusahaan

Alokasi biaya yang tepat harus dilaksanakan diantara

berbagai pos aktiva dan beban karena akan mempengaruhi

perhitungan laba perusahaaan untuk serangkaian periode

akuntansi. Segala pengeluaran perusahaan akan dicatat sebagai

biaya (expense), namun sebenarnya beberapa jenis pengeluaran

perusahaan harus dikapitalisasi. Kapitalisasi (capitalization)

dilakukan apabila pengeluaran yang terjadi dianggap mempunyai

future benefit, manfaat masa depan, manfaat yang tidak habis

dalam periode pelaporan yang bersangkutan. Sebagai contoh

pengeluaran tersebut misalnya pembelian aktiva tetap dimana

penggolongan terhadap aktiva dibatasi oleh jumlah pengeluaran

minimal, misalnya di atas Rp.500.000,- (lima ratus ribu rupiah) dan

dibatasi oleh masa manfaat minimal, misalnya lebih dari 1 (satu)

tahun manfaat.

Kapitalisasi aktiva tetap pada umumnya akan diikuti dengan

alokasi pembebanan biaya dengan menggunakan perhitungan

depresiasi. Jadi secara prinsip, kapitalisasi tidak menghilangkan

pengakuan biaya, hanya membagi beban sesuai dengan masa

manfaat dan tidak membebankannya sekaligus pada saat

pembelian. Secara periodik pembebanan biaya tersebut harus

63

tetap dikonversi untuk menambah (kapitalisasi) atau mengurangi

(depresiasi) nilai aktiva tetap bersangkutan.

Hung, et al. (2005) mendeskripsikan kapitalisisasi sebagai

berikut:

The capitalized cost of an asset is the total present values of its full net costs that an asset spends over its life. We show the total present value of equivalent annual costs (EAC) equals the capitalized cost of an asset that could be replaced for infinite periods.

Berdasarkan definisi diatas, kapitalisasi merupakan biaya yang

dikeluarkan terhadap suatu aset yang menjadi nilai tambah bagi

aset tersebut di masa sekarang dan menambah masa hidup/masa

manfaat aset tersebut. Nilai total sekarang dari aset yang

dilaporkan merupakan penggabungan dari biaya-biaya yang

dikeluarkan selama satu periode akuntansi atau 1 (satu) tahun.

Duffy (2002) menyatakan:

Capitalized assets represent funds spent on a particular project that are considered an investment in that project. As long as there is a reasonable belief that the project will generate revenue, there is value associated with the project. As long as there is value associated with the project, expenses can be capitalized up to the reasonable value of the project. This allows companies to track but not allocate costs associated with projects that have multi-year start-up cycles before revenue will be generated. It also allows companies to match expenses with revenues as the revenues are produced.

Duffy (2002) mengaitkan kapitalisasi aset dengan investasi,

kapitalisasi didefinisikan sebagai sejumlah dana yang dibelanjakan

terhadap suatu proyek (aset) tertentu dengan mempertimbangkan

adanya investasi dalam proyek (aset) tersebut. Sepanjang terdapat

64

keyakinan bahwa proyek akan menghasilkan pendapatan dan

terdapat nilai yang dapat dihubungkan dengan proyek (aset)

tersebut maka biaya kapitalisasi layak dilakukan.

Edu, et al. (2009) membahas kapitalisasi dihubungkan

dengan bunga pinjaman, dalam hal ini biaya yang dikeluarkan

terhadap suatu aset menggunakan dana pinjaman dan tidak

berupa uang tunai. Dalam kegiatan simpan pinjam biasanya akan

terdapat bunga pinjaman dalam pelunasan pinjaman tersebut.

Menurut Edu, et al. (2009) bunga pinjaman tersebut dimasukkan

dalam nilai aset sekarang, sebagai dinyatakan berikut:

Capitalization of interest, from the financial stand-point, refers to the cost associated with the borrowing of funds, or obtaining a loan in order to finance the acquisition of certain fixed assets. The focal point of this paper is an examination of the nature of the costs of fixed assets that can be capitalized Consequently, discussions revolve around the meaning of capitalization of interest or borrowing costs; steps that are involved in the computation of capitalization of interest costs; the arguments in favour and against interest costs capitalization. Technical difficulties or problems that confront an organization‘s policy on capitalization of interest costs such as the identification of the amount of financing costs that should be capitalized are also discussed. The paper concludes that there are finely balanced arguments in favour and against capitalisation. Furthermore, enterprises should be allowed to decide whether or not to capitalize their borrowing costs on fixed assets that take a substantial period of time to bring into service; and the requirements that are applicable to those enterprises that do not capitalize borrowing costs are aimed at ensuring that a consistent capitalization policy is adopted within the enterprise. Again, through disclosure the impact of capitalization on the results and financial position of the enterprise are understood; and that there is comparability between enterprises capitalizing interest costs

65

Biaya yang dikapitalisasi sebagai harga perolehan untuk

aktiva tetap gedung adalah harga beli, biaya perbaikan sebelum

gedung itu dipakai, komisi pembelian, bea balik nama, pajak-pajak

yang menjadi tanggungan pembeli pada waktu pembelian. Apabila

gedung itu dibuat sendiri maka harga perolehan gedung terdiri dari

biaya-biaya pembuatan gedung, biaya perencanaan, biaya

pengurusan izin bangunan, pajak-pajak selama masa

pembangunan gedung, bunga selam pembuatan gedung, asuransi

selama masa pembangunan. Alat-alat perlengkapan gedung

seperti tangga berjalan, lift dan lain-lain dicatat tersendiri dalam

rekening alat-alat gedung dan akan didepresiasi selama umur alat-

alat tersebut.

Wichita Falls Public Schools Administrative Regulation USA

dalam modulnya mendeskripsikan kriteria kapitalisasi untuk tanah

dan bangunan sebagai berikut:

Land and Buildings: 1. Acquisitions of land and buildings will be capitalized as

fixed assets regardless of cost. 2. New construction to existing buildings will be capitalized

regardless of cost. Remodeling which increases the useful life of the building or substantially changes the use of the building will be capitalized as an addition to the building cost. Exceptions to this rule must be documented in the permanent file for the property.

3. Building improvements and major repairs not meeting the criteria in 2 above, but for which the cost is $100,000 or greater, will be capitalized as an addition to the building cost. Exceptions to this rule must be documented in the permanent file for the property.

66

Hal penting yang perlu dicermati dalam deskripsi kriteria

kapitalisasi untuk tanah dan bangunan di atas adalah dalam

melakukan kapitalisasi: 1) mengabaikan sumber pembiayaan

tersebut diperoleh, 2) biaya penambahan konstruksi baru

(rehabilitasi) terhadap bangunan dikapitalisasi ke dalam nilai

bangunan tersebut dan manambah masa penggunaan, 3)

penambahan konstruksi baru (rehabilitasi) tersebut bernilai $

100,000 (seratus ribu dollar Amerika) atau lebih.

2. Kapitalisasi Pada Sektor Publik/Pemerintahan

Definisi kapitalisasi berdasarkan Keputusan Menteri

Keuangan Republik Indonesia (KMK RI) No. 01/KM.12/2001

tentang Pedoman Kapitalisasi Barang Milik/Kekayaan Negara

dalam Sistem Akuntansi Pemerintah Pasal 1 adalah sebagai

berikut:

Kapitalisasi adalah penentuan nilai pembukuan terhadap semua pengeluaran untuk memperoleh aset tetap hingga siap pakai, untuk meningkatkan kapasitas/efisiensi, dan atau memperpanjang umur teknisnya dalam rangka menambah nilai-nilai aset tersebut.

Standar Akuntansi Pemerintahan PSAP 07-8 mengatur kapitalisasi

sebagai berikut:

50. Pengeluaran setelah perolehan awal suatu aset tetap yang memperpanjang masa manfaat atau yang kemungkinan besar memberi manfaat ekonomik di masa yang akan datang dalam bentuk kapasitas, mutu produksi, atau peningkatan

67

standar kinerja, harus ditambahkan pada nilai tercatat aset yang bersangkutan. 51. Kapitalisasi biaya dimaksud pada paragraf 50 harus ditetapkan dalam kebijakan akuntansi suatu entitas berupa kriteria seperti pada paragraph dan/atau suatu batasan jumlah biaya (capitalization thresholds) tertentu untuk dapat digunakan dalam penentuan apakah suatu pengeluaran harus dikapitalisasi atau tidak. 52. Dikarenakan organisasi pemerintah sangatlah beragam dalam jumlah dan penggunan aset tetap, maka suatu batasan jumlah biaya kapitalisasi (capitalization thresholds) tidak dapat diseragamkan untuk seluruh entitas yang ada. Masing-masing entitas harus menetapkan batasan jumlah tersebut dengan mempertimbangkan kondisi keuangan dan operasionalnya. Bila telah terbentuk maka batasan jumlah biaya kapitalisasi (capitalization thresholds) harus diterapkan secara konsisten dan diungkapkan dalam Catatan atas Laporan Keuangan.

Lebih lanjut, kapitalisasi juga diatur dalam Permendagri No.

13 Tahun 2006 Pasal 239 yang menyatakan bahwa kebijakan

kapitalisasi aset merupakan pengakuan terhadap jumlah kas/setara

kas dan nilai wajar imbalan lainnya yang dibayarkan sebagai

penambah nilai aset tetap. Pemeliharaan terhadap aset tetap yang

bersifat rutin dan berkala tidak dapat dikapitalisasi. Rehabilitasi

yang bersifat sedang dan berat dikapitalisasi apabila memenuhi

salah satu kriteria menambah volume, menambah kapasitas,

meningkatkan fungsi, meningkatkan efisiensi dan/atau menambah

masa manfaat.

Pengeluaran-pengeluaran untuk gedung dan bangunan yang

dapat dikapitalisasi diatur dalam Pasal 3 KMK RI No.

01/KM.12/2001 yaitu:

68

a. pembangunan gedung dan bangunan meliputi: 1) pembangunan gedung dan bangunan yang

dilaksanakan melalui kontrak berupa pengeluaran nilai kontrak, biaya perencanaan dan pengawasan, biaya perizinan, jasa konsultan, biaya pengosongan dan pembongkaran bangunan lama;

2) pembangunan yang dilaksanakan secara swakelola berupa biaya langsung dan tidak langsung sampai siap pakai meliputi biaya bahan baku, upah tenaga kerja, sewa peralatan, biaya perencanaan dan pengawasan, biaya perizinan, biaya pengosongan dan pembongkaran bangunan lama;

Batasan nilai nominal rupiah yang dapat dikapitalisasi untuk

gedung dan bangunan dinyatakan dalam Pasal 6 KMK RI No.

01/KM.12/2001 yaitu:

(1) Nilai Satuan Minimum Kapitalisasi Aset Tetap adalah pengeluaran pengadaan baru dan penambahan nilai aset tetap dari hasil pengembangan, reklasifikasi, renovasi, dan restorasi.

(2) Nilai Satuan Minimum Kapitalisasi Aset Tetap meliputi: a. pengeluaran untuk per satuan peralatan dan mesin,

dan alat olah raga yang sama dengan atau lebih dari Rp. 300.000 (tiga ratus ribu rupiah); dan

b. pengeluaran untuk gedung dan bangunan yang sama dengan atau lebih dari Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah).

(3) Nilai Satuan Minimum Kapitalisasi Aset Tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dikecualikan terhadap pengeluaran untuk tanah, jalan/irigasi/jaringan, dan aset tetap lainnya berupa koleksi perpustakaan dan barang bercorak kesenian.

B. Belanja Daerah

Definisi belanja menurut Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun

2005 adalah sebagai berikut:

Belanja adalah semua pengeluaran dari Rekening Kas Umum Negara/Daerah yang mengurangi ekuitas dana lancar dalam periode tahun anggaran bersangkutan yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh pemerintah

69

Definisi lain dari belanja menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No.

13 Tahun 2006 adalah sebagai berikut belanja ialah kewajiban

pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan

bersih. Kedua definisi tersebut di atas menjelaskan bahwa transaksi

belanja akan menurunkan ekuitas dana pemerintah daerah. Kedua

peraturan yang mengatur penatusahaan belanja tersebut,

mengklasifikasikan belanja dengan klasifikasi yang berbeda.

Perbedaan dimaksud semata-mata karena ada hal lain yang ingin

dicakup dalam Permendagri No. 13 Tahun 2006. Sebagaimana

diketahui Permendagri No. 13 Tahun 2006 merupakan pedoman

pengelolaan keuangan daerah, yang mencakup mengenai

perencanaan, penganggaran, penatausahaan, akuntansi dan

pertanggungjawaban. Sebagai instrumen penganggaran, beberapa

informasi diperlukan, di antaranya informasi pengendalian yang

dikaitkan dengan konsep anggaran berbasis kinerja.

Tabel II.1

Penggolongan Belanja Menurut PP No. 24 Tahun 2005

Permendagri No. 13 Tahun 2006

PP No. 24 Tahun 2005 Permendagri No. 13 Tahun 2006 Belanja Operasi:

Belanja Tidak Langsung:

70

a. Belanja pegawai

b. Belanja barang

c. Bunga

d. Subsidi

e. Hibah

f. Bantuan sosial

Belanja Modal:

a. Belanja tanah

b. Belanja peralatan dan

mesin

c. Belanja gedung dan

bangunan

d. Belanja jalan, irigasi, dan

jaringan

e. Belanja aset tetap lainnya

f. Belanja aset lainnya

a. Belanja pegawai

b. Belanja bunga

c. Belanja subsidi

d. Belanja hibah

e. Belanja bantuan sosial

f. Belanja bagi hasil kepada

Provinsi/Kabupaten/Kota

dan Pemerintah Desa

g. Belanja bantuan keuangan

kepada

Provinsi/Kabupaten/Kota

dan Pemerintah Desa

h. Belanja tidak terduga

Belanja Langsung:

a. Belanja pegawai

b. Belanja barang dan jasa

c. Belanja modal

Konsep anggaran berbasis kinerja menghendaki adanya

keterkaitan antara output/hasil dari suatu program/kegiatan dikaitkan

dengan input yang digunakan. Dalam bahasa keuangan, input tersebut

tercermin dari belanja yang dikeluarkan untuk membiayai suatu

program ataupun kegiatan. Oleh karena itu untuk tujuan dimaksud

dalam Permendagri No. 13 Tahun 2006 terdapat pengelompokan

Belanja Langsung dan Belanja Tidak Langsung. Belanja Langsung

merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan

program dan kegiatan, sedangkan Belanja Tidak Langsung merupakan

71

belanja yang tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan

program/kegiatan. Selanjutnya, untuk keperluan penyajian Laporan

Pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, Permendagri No. 13 Tahun

2006 telah mengamanatkan bahwa penyajian laporan keuangan

berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005. Untuk lebih

jelasnya dapat dilihat dari tabel II.1. Kewenangan Satuan Kerja

(Satker) dalam transaksi belanja meliputi Belanja Tidak Langsung,

yaitu belanja pegawai, dan Belanja Langsung, yaitu belanja

pegawai, belanja barang dan jasa, belanja modal.

Campo dan Tommasi (1991) dalam Buletin Teknis (Bultek) SAP

No. 04 menyatakan bahwa pengklasifikasian belanja sangat penting

dalam rangka untuk untuk memberikan kerangka dasar baik untuk

pengambilan keputusan maupun untuk akuntabilitas. Undang-Undang

No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, mengklasifikasikan

belanja menurut organisasi, fungsi, dan ekonomi. Pengklasifikasian

belanja tersebut dimaksudkan untuk kepentingan penganggaran dan

pelaporan. Untuk tujuan manajemen anggaran, klasifikasi menurut

jenis belanja sangat penting untuk digunakan dalam pengendalian

anggaran (budgetary control) dan monitoring. PSAP No. 02 Paragraf

34 menetapkan bahwa belanja diklasifikasikan menurut klasifikasi

ekonomi (jenis belanja), organisasi, dan fungsi. Klasifikasi belanja

menurut ekonomi (jenis belanja) yang dikelompokkan lagi menjadi

belanja operasi, belanja modal dan belanja lain-lain/tak terduga.

72

Belanja operasi adalah belanja yang dikeluarkan dari Kas Umum

Negara/Daerah dalam rangka menyelenggarakan operasional

pemerintah, sedangkan belanja modal adalah belanja yang

dikeluarkan dalam rangka membeli dan/atau mengadakan barang

modal. Belanja operasi selanjutnya diklasifikasikan lagi menjadi

belanja pegawai, belanja barang, bunga, subsidi, hibah, bantuan

sosial, dan belanja lain-lain/tak terduga. Klasifikasi belanja menurut

fungsinya terbagi atas belanja pelayanan umum, pertahanan,

ketertiban dan ketentraman, ekonomi, perlindungan lingkungan hidup,

perumahan dan pemukiman, kesehatan, pariwisata dan budaya,

agama, pendidikan, dan perlindungan sosial. Pengklasifikasian ini

mengikuti pola Government Financial Statistics (GFS) yang diterbitkan

oleh International Monetary Fund (IMF).

Klasifikasi belanja menurut Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun

2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah Pasal 27 terbagi atas:

1. Belanja daerah diklasifikasikan menurut organisasi, fungsi, program, dan kegiatan, serta jenis belanja;

2. Klasifikasi belanja menurut organisasi disesuaikan dengan susunan organisasi pemerintahan daerah;

3. Klasifikasi menurut fungsi terdiri dari: (a) klasifikasi berdasarkan urusan pemerintahan untuk tujuan manajerial pemerintahan daerah, dan (b) klasifikasi berdasarkan fungsi pengelolaan keuangan negara untuk tujuan keselarasan dan keterpaduan dalam rangka pengelolaan keuangan negara.

Pengklasifikasi belanja sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri

No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah

adalah sebagai berikut:

73

1. Klasifikasi belanja dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi dan/atau kabupaten/kota yang terdiri dari belanja urusan wajib dan belanja urusan pilihan.

2. Klasifikasi belanja menurut fungsi digunakan untuk tujuan keselarasan dan keterpaduan pengelolaan keuangan negara yang mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. Menurut klasifikasi ini, belanja terdiri atas: pelayanan umum, ketertiban dan ketentraman, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum, kesehatan, pariwisata dan budaya, pendidikan dan perlindungan sosial.

Terdapat perbedaan pengklasifikasian belanja antara PP No. 24

Tahun 2005 dengan Permendagri No. 13 Tahun 2006 dimana dalam

Permendagri No. 13 Tahun 2006 tidak memasukkan fungsi pertahanan

dan agama karena kedua fungsi tersebut adalah kewenangan

pemerintahan pusat dan tidak didesentralisasikan kepada pemerintah

daerah.

Pengklasifikasian belanja berdasarkan kriteria apakah suatu

belanja mempunyai kaitan/hubungan langsung dengan

program/kegiatan atau tidak, terbagi atas 1) belanja langsung seperti

belanja honorarium, belanja barang dan belanja modal dan 2) belanja

tidak langsung seperti misalnya gaji dan tunjangan pegawai bulanan,

belanja bunga, donasi, belanja bantuan keuangan, belanja hibah, dan

sebagainya.

Belanja daerah adalah belanja yang tertuang dalam APBD yang

diarahkan untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan,

pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan. Secara umum belanja

daerah dapat dikategorikan ke dalam belanja aparatur dan belanja

74

publik. Belanja publik merupakan belanja yang penggunaannya

diarahkan dan dinikmati langsung oleh masyarakat. Meskipun

demikian, seiring perubahan peraturan perundang-undangan di bidang

administrasi pengelolaan keuangan daerah sejak pemberlakuan

Kepmendagri No. 29 Tahun 2003 yang selanjutnya diganti dengan

Permendagri No. 13 Tahun 2006 dan diubah dengan Permendagri 59

Tahun 2007 kategorisasi belanja daerah selalu mengalami perubahan

nama. Kebijakan pengelolaan belanja daerah diarahkan untuk

meningkatkan fungsi pelayanan kepada masyarakat, dengan

mengupayakan peningkatan porsi belanja pembangunan dan

melakukan efisiensi pada belanja aparatur.

C. Aset

Aset tetap merupakan elemen pendukung penting dalam

menjalankan roda pemerintahan. Untuk menambah aset tetap,

pemerintah daerah mengalokasikan dana dalam bentuk anggaran

belanja modal dalam APBD. Alokasi belanja modal ini didasarkan pada

kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana, baik untuk kelancaran

pelaksanaan tugas pemerintahan maupun untuk fasilitas publik.

Biasanya setiap tahun diadakan pengadaan, rehabilitasi dan

pemeliharaan aset tetap oleh pemerintahan daerah sesuai dengan

prioritas anggaran dan pelayanan publik yang memberikan dampak

75

jangka panjang secara finansial. Definisi aset tetap atau aktiva tetap

berdasarkan PSAK No. 16:

Aktiva tetap adalah aktiva berwujud yang diperoleh dalam bentuk siap pakai atau dengan dibangun terlebih dahulu, yang digunakan dalam operasi entitas, tidak dimaksudkan untuk dijual dalam rangka kegiatan normal entitas dan mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun.

Syaiful (2007) mendefinisikan aset sebagai sumber daya ekonomi

yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh pemerintah sebagai akibat dari

peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi dan/atau sosial di

masa depan diharapkan dapat diperoleh, baik oleh pemerintah

maupun masyarakat, serta dapat diukur dalam satuan uang, termasuk

sumber daya non keuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa

bagi masyarakat umum dan sumber-sumber daya yang dipelihara

karena alasan sejarah dan budaya, sedangkan aset tetap adalah aset

berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 12 (dua belas)

bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintah atau dimanfaatkan

oleh masyarakat umum. Bastian (2001: 131) menyatakan aset tetap

sebagai berikut:

Aset tetap adalah aktiva berujud yang diperoleh dalam bentuk siap pakai atau dengan dibangun terlebih dahulu, yang digunakan dalam operasi entitas pemerintah, tidak dimaksudkan untuk dijual dalam rangka kegiatan normal entitas pemerintah dan mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun.

Standar Akuntansi Pemerintahan dalam PSAP 07-1 mendefinisikan

aset:

Aset adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu

76

dan dari mana manfaat ekonomi dan/atau sosial di masa depan diharapkan dapat diperoleh, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta dapat diukur dalam satuan uang, termasuk sumber daya nonkeuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa bagi masyarakat umum dan sumber-sumber daya yang diperlihara karena alasan sejarah dan budaya.

Lampiran II Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 24 Tahun

2005 menyatakan aset sebagai berikut:

60. Unsur yang dicakup oleh neraca terdiri dari aset, kewajiban, dan ekuitas dana. Masing-masing unsur didefinisikan sebagai berikut: (a) Aset adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau

dimiliki oleh pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi dan/atau sosial di masa depan diharapkan dapat diperoleh, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta dapat diukur dalam satuan uang, termasuk sumber daya non keuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa bagi masyarakat umum dan sumber-sumber daya yang dipelihara karena alasan sejarah dan budaya.

(b) Kewajiban adalah utang yang timbul dari peristiwa masa lalu yang penyelesaiannya mengakibatkan aliran keluar sumber daya ekonomi pemerintah.

(c) Ekuitas Dana adalah kekayaan bersih pemerintah yang merupakan selisih antara aset dan kewajiban pemerintah.

61. Manfaat ekonomi masa depan yang terwujud dalam aset adalah potensi aset tersebut untuk memberikan sumbangan, baik langsung maupun tidak langsung, bagi kegiatan operasional pemerintah, berupa aliran pendapatan atau penghematan belanja bagi pemerintah. 62. Aset diklasifikasikan ke dalam aset lancar dan nonlancar. Suatu aset diklasifikasikan sebagai aset lancar jika diharapkan segera untuk dapat direalisasikan atau dimiliki untuk dipakai atau dijual dalam waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal pelaporan. Aset yang tidak dapat dimasukkan dalam kriteria tersebut diklasifikasikan sebagai aset nonlancar. 63. Aset lancar meliputi kas dan setara kas, investasi jangka pendek, piutang, dan persediaan. 64. Aset nonlancar mencakup aset yang bersifat jangka panjang, dan aset tak berwujud yang digunakan baik langsung maupun

77

tidak langsung untuk kegiatan pemerintah atau yang digunakan masyarakat umum. Aset nonlancar diklasifikasikan menjadi investasi jangka panjang, aset tetap, dana cadangan, dan aset lainnya. 65. Investasi jangka panjang merupakan investasi yang diadakan dengan maksud untuk mendapatkan manfaat ekonomi dan manfaat sosial dalam jangka waktu lebih dari satu periode akuntansi. Investasi jangka panjang meliputi investasi non permanen dan permanen. Investasi nonpermanen antara lain investasi dalam Surat Utang Negara, penyertaan modal dalam proyek pembangunan, dan investasi non permanen lainnya. Investasi permanen antara lain penyertaan modal pemerintah dan investasi permanen lainnya. 66. Aset tetap meliputi tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi, dan jaringan, aset tetap lainnya, dan konstruksi dalam pengerjaan.

Aset atau barang daerah merupakan potensi ekonomi yang

dimiliki oleh daerah. Aset daerah diperoleh dari dua sumber, yakni dari

APBD dan dari luar APBD. Secara singkat, berikut pengertian dan

implikasi kedua sumber aset ini:

1. Aset yang bersumber dari pelaksanaan APBD merupakan

output/outcome dari terealisasinya belanja modal dalam satu tahun

anggaran. Namun, pengakuan besarnya nilai aset tidak sama

dengan besaran anggaran belanja modal. Penafsiran atas

Permendagri No.13/2006 memang memungkinkan kita menyataan

bahwa besaran belanja modal sama dengan besaran penambahan

aset di neraca. Hal ini kurang pas jika neraca dipandang dari

konsep akuntansi, karena penilaian suatu aset haruslah sebesar

nilai perolehannya (konsep full cost). Artinya, seluruh biaya yang

dikeluarkan sampai aset tersebut siap digunakan (ready to use)

78

haruslah dihitung sebagai kos aset bersangkutan. Dalam konsep

anggaran kinerja, biaya yang dikeluarkan adalah semua biaya yang

menjadi masukan (input) dalam pelaksanaan kegiatan yang

menghasilkan aset ini. Dengan demikian, termasuk di dalamnya

belanja pegawai dan belanja barang & jasa, selain dari belanja

modal tentunya. Jadi, kos untuk aset adalah seluruh pengeluaran

untuk mencapai outcome.

2. Aset yang bersumber dari luar pelaksanaan APBD. Dalam hal ini,

pemerolehan aset tidak dikarenakan adanya realisasi anggaran

daerah, baik anggaran belanja modal maupun belanja pegawai dan

belanja barang & jasa. Pemda sering menerima aset dari pihak

lain, seperti lembaga donor dan masyarakat. Saat ini, beberapa

daerah menerima penambahan aset yang cukup signifikan dari

pihak lain, seperti di Aceh, Sumut, dan DIY. Di Aceh, ALGAP dan

LGSP memberikan sumbangan peralatan kerja seperti komputer

jinjing, jaringan internet, dan printer. Belum lagi pembangunan

gedung untuk perkantoran dari NGO asing.

D. Aset Tetap Gedung dan Bangunan

Bastian (2001:131-132) mengklasifikasikan aset berdasarkan

kesamaan dalam sifat atau fungsinya dalam aktivitas operasi entitas,

berikut adalah klasifikasi aset tetap yang digunakan: tanah, peralatan

dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi, dan jaringan, aset

79

tetap lainnya; dan konstruksi dalam pengerjaan. Karena aktiva

memiliki wujud maka seringkali aktiva tetap disebut aktiva tetap

berwujud (tangible fixed assets). Aset gedung dan bangunan untuk

sektor publik/pemerintahan diatur dalam Standar Akuntansi

Pemerintahan PSAP 07-3 menyatakan bahwa gedung dan bangunan

mencakup seluruh gedung dan bangunan yang diperoleh dengan

maksud untuk dipakai dalam kegiatan operasional pemerintah dan

dalam kondisi siap dipakai. Termasuk dalam kategori gedung dan

bangunan adalah BMN yang berupa bangunan gedung, bangunan

menara, rambu-rambu, serta tugu titik kontrol.

Menurut Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Republik Indonesia

No. 01/KM.12/2001 tentang Pedoman Kapitalisasi Barang

Milik/Kekayaan Negara dalam Sistem Akuntansi Pemerintahan,

gedung dan bangunan yang harus dibukukan dalam Buku Inventaris

Intrakomptabel dan dilaporkan dalam neraca adalah:

1) Semua gedung dan bangunan yag diperoleh sebelum 1 Januari

2002,

2) Gedung dan bangunan yang diperoleh setelah 1 Januari 2002

dengan biaya perolehannya lebih besar atau sama dengan Rp.

10.000.000,-

3) Gedung dan bangunan yang berasal dari transfer masuk/hibah dan

penerimaan dari pertukaran.

80

Gedung dan bangunan yang tidak memenuhi kriteria di atas dibukukan

dalam buku inventaris yang terpisah/tersendiri dan tidak dilaporkan,

yaitu dalam Buku Inventaris Ekstrakomptabel. Pembukuan gedung dan

bangunan tersebut dalam Buku Inventaris Ekstrakomptabel

berdasarkan KMK No. 18/KMK.018/1999 dalam neraca nampak dalam

tabel berikut:

Tabel II.2

Pencatatan Aset Gedung Dalam Neraca Berdasarkan

KMK No. 18/KMK.018/1999

Klasifikasi BMN Menurut KMK

No.18/KMK.018/1999 Perkiraan Buku Besar Aset dalam BPS

Kode Bidang Nama Bidang Kode

BB Nama Perkiraan

1.06 1.08 1.09 1.10

Bangunan Gedung Bangunan Menara Rambu-rambu Tugu Titik Kontrol/Pasti

131511

Gedung dan Bangunan

1. Pengakuan Gedung dan Bangunan

Gedung dan bangunan yang diperoleh bukan dari donasi

diakui pada periode akuntansi ketika aset tersebut siap digunakan

berdasarkan jumlah belanja modal yang diakui untuk aset tersebut.

Gedung dan bangunan yang diperoleh dari donasi diakui pada saat

gedung dan bangunan tersebut diterima dan hak kepemilikannya

berpindah.

81

Pengakuan atas gedung dan bangunan ditentukan jenis

transaksinya meliputi: penambahan, pengembangan, dan

pengurangan. Penambahan adalah peningkatan nilai gedung dan

bangunan yang disebabkan pengadaan baru, diperluas atau

diperbesar. Biaya penambahan dikapitalisasi dan ditambahkan

pada harga perolehan gedung dan bangunan tersebut.

Pengembangan adalah peningkatan nilai gedung dan bangunan

karena peningkatan manfaat yang berakibat pada: durasi masa

manfaat, peningkatan efisiensiensi dan penurunan biaya

pengoperasian. Pengurangan adalah penurunan nilai gedung dan

bangunan dikarenakan berkurangnya kuantitas asset tersebut.

2. Pengukuran Gedung dan Bangunan

Gedung dan bangunan dinilai dengan biaya perolehan.

Apabila penilaian gedung dan bangunan dengan menggunakan

biaya perolehan tidak memungkinkan maka nilai aset tetap

didasarkan pada nilai wajar/taksiran pada saat perolehan. Biaya

perolehan gedung dan bangunan yang dibangun dengan cara

swakelola meliputi biaya langsung untuk tenaga kerja, bahan baku,

dan biaya tidak langsung termasuk biaya perencanaan dan

pengawasan, perlengkapan, tenaga listrik, sewa peralatan, dan

semua biaya lainnya yang terjadi berkenaan dengan pembangunan

aset tetap tersebut. Jika gedung dan bangunan diperoleh melalui

82

kontrak, biaya perolehan meliputi nilai kontrak, biaya perencanaan

dan pengawasan, biaya perizinan, serta jasa konsultan.

3. Pengungkapan Gedung dan Bangunan

Gedung dan bangunan disajikan di Neraca sebesar nilai

moneternya. Selain itu di dalam catatan atas laporan keuangan

diungkapkan pula:

1) Dasar penilaian yang digunakan untuk menentukan nilai.

2). Rekonsiliasi jumlah tercatat pada awal dan akhir periode yang

menunjukkan:

a. Penambahan,

b. Pengembangan, dan

c. Penghapusan.

3). Kebijakan akuntansi untuk kapitalisasi yang berkaitan dengan

gedung dan bangunan.

BAB III

METODA PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan deskriptif (descriptive research) yaitu pendekatan

penelitian yang berusaha menggambarkan kondisi dan fenomena yang

terjadi di lapangan tentang fokus penelitian seobjektif mungkin.

83

Pendekatan deskriptif bertujuan untuk memberikan penyandaraan

secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-

sifat populasi tertentu (Husaini dan Purnomo 1995). Data yang

dipergunakan dalam penelitian deskriptif adalah data kualitatif yang

bertumpu pada tulisan ucapan atau perilaku yang dapat diamati dari

orang-orang itu sendiri (Bogdan dan Taylor 1992).

Penelitian yang dilakukan berusaha mengevaluasi kondisi yang

terjadi di lapangan menggunakan data kualitatif yang dideskripsikan

sesuai dengan fenomena yang ada dilapangan sehingga dapat

bermanfaat bagi kepentingan praktis maupun ilmu pengetahuan. Tyler

(1950) dalam Hernawo (2007) menyatakan evaluasi adalah proses

yang menentukan sampai sejauh mana pendidikan dapat dicapai,

evaluasi juga diartikan sebagai menyediakan informasi untuk pembuat

keputusan sebagaimana dinyatakan oleh Cronbach (1963),

Stufflebeam (1971) dan Alkin (1969). Maclcolm dan Provus (1971)

dalam Hernawo (2007) mendefinisikan evaluasi sebagai perbedaan

apa yang ada dengan suatu standar untuk mengetahui apakah ada

selisih. Komite gabungan yang dibentuk untuk membahas mengenai

standar evaluasi atau yang disebut dengan Joint Committee (1981)

dalam Hernawo (2007) yang terdiri atas 17 (tujuh belas) anggota yang

mewakili 12 (dua belas) organisasi di dunia telah mendefinisikan

evaluasi sebagai penelitian yang sistematik atau yang teratur tentang

manfaat atau guna beberapa obyek. Purwanto dan Suparman (1999)

84

dalam Hernawo (2007) mendefinisikan evaluasi sebagai proses

penerapan prosedur ilmiah untuk mengumpulkan data yang valid dan

reliable untuk membuat keputusan tentang program pendidikan dan

pelatihan.

Berdasarkan teori-teori tentang pendefinisian istilah evaluasi

tersebut, evaluasi yang dilakukan dalam penelitian ini lebih

menekankan pada sejauh mana gambaran implementasi di lapangan

dihubungkan dengan standar yang ada dan apakah terdapat

perbedaan diantara keduanya yang dapat menimbulkan selisih.

Peneliti dalam penelitian ini bertindak sebagai pelaku utama dalam

investigasi, inventarisasi dan pengolahan data dalam rangka memperoleh

gambaran kondisi di lapangan sesuai fokus dan obyek penelitian sehingga

untuk itu kehadiran peneliti di lapangan secara langsung dalam penelitian

deskriptif mutlak dilakukan.

B. Metoda Pengumpulan Data

Data yang dipergunakan dalam penelitian deskriptif adalah data

kualitatif yang terbagi atas data primer dan data sekunder. Data primer

adalah data yang didapat dari sumber aslinya secara langsung sesuai

dengan tujuan penelitian yang ingin dicapai dengan kata lain data

primer adalah data yang hanya dapat kita peroleh dari sumber asli

atau pertama. Dalam penelitian ini, data primer diperoleh melalui studi

85

lapangan yang dilakukan dengan dua metode pengumpulan data,

yaitu:

a. Wawancara yang dipandu dengan kuesioner (di lampiran), yaitu

suatu proses memperoleh informasi dengan cara melakukan tanya

jawab secara langsung antara peneliti dengan responden yaitu

Bendahara Umum Daerah, Tim Reviu Laporan Keuangan Daerah

(LKD), dan Bendahara Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)

maupun pihak lain yang terkait, dengan menggunakan seperangkat

pertanyaan (kuesioner) yang telah dipersiapkan terlebih dahulu

untuk memperoleh informasi secara tertulis dari responden.

b. Observasi, yaitu kegiatan pengamatan yang dilakukan secara

langsung dan terencana untuk menggambarkan kejadian, perilaku,

dan benda artifak yang ada di lokasi penelitian yang diteliti

Data sekunder merupakan data yang sudah tersedia atau sudah

ada sebelumnya sehingga tinggal mencari dan mengumpulkannya.

Data sekunder berfungsi sebagai pendukung dalam memahami

masalah yang diteliti dan memperjelas masalah menjadi lebih

operasional dalam penelitian. Data sekunder dalam penelitian ini

antara lain adalah Neraca Daerah Per 31 Desember 2008, Catatan

Atas Laporan Keuangan Tahun Anggaran 2008, Kabijakan Akuntansi

Pemerintah Daerah, dan Daftar Gedung dan Bangunan Milik/Dikuasi

Pemerintah Daerah.

86

Penelitian kualitatif berbeda dengan penelitian kuantitatif.

Penelitian kuantitatif sangat tergantung pada data yang diperoleh

melalui daftar pertanyaan yang telah dirancang dan dibatasi

sedemikian rupa yang kemudian daftar pertanyaan tersebut

disampaikan ke responden melalui kurir, pos atau telephone, dalam

penelitian kualitatif kepiawaian seorang peneliti dilapanganlah yang

menentukan keberhasilan proses pengumpulan data. Metode

pengumpulan data dalam penelitian kualitatif merupakan perpanjangan

dari kegiatan yang lazim dilakukan oleh manusia dalam kesehariannya

seperti membaca, melihat, mendengar, berbicara, dan seterusnya.

Dalam bahasa metodologis, kegiatan seperti ini disebut observasi dan

interview. Kedua jenis metode ini merupakan aktifitas utama yang

pada umumnya dilakukan peneliti dalam proses pengumpulan data

kualitatif.

Dalam penelitian deskriptif yang mempergunakan data kualitatif

menuntut peneliti untuk turun langsung ke lapangan berinteraksi

dengan komunitas yang diteliti dan mungkin terlibat langsung dalam

kegiatan yang mereka lakukan. Langkah-langkah pengumpulan data

dalam penelitian ini adalah:

a. Identifikasi subyek penelitian untuk memperoleh gambaran awal

mengenai karakteristik yang dimiliki oleh subyek penelitian subyek

penelitian dan materialitas aset gedung dan bangunan yang dimiliki

subyek penelitian.

87

b. Merancang daftar materi pertanyaan untuk menggali informasi dan

data yang berkaitan dengan kapitalisasi belanja modal yang dapat

diakui sebagai aset gedung dan bangunan.

c. Observasi lapangan dimana peneliti terjun langsung ke lapangan

untuk mengetahui lebih mendalam mengenai kondisi dan situasi

subyek penelitian.

d. Wawancara untuk menggali informasi tentang kapitalisasi belanja

modal yang dapat diakui sebagai aset gedung dan bangunan yang

terjadi pada subyek penelitian berdasarkan daftar materi

pertanyaan yang telah dibuat.

e. Inventarisasi data yang diperoleh dari lapangan sesuai dengan

jenisnya berdasarkan fokus penelitian.

C. Analisis Data

Analisis data dilakukan dalam rangka untuk memaknai dan

mendapatkan pemahaman dari pernyataan-pernyataan atau gambaran

perilaku yang terdapat dalam catatan lapangan. Prosedur yang

dilakukan dalam analisa data adalah sebagai berikut:

a. Mengiventarisir data,

b. Mengorganisir data,

c. Mengolah data sesuai fokus penelitian, dan

d. Menarik kesimpulan awal dari hasil pengolahan data.

88

D. Tahap-Tahap Penelitian Secara garis besar tahap-tahap dari penelitian yang dilakukan

dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Penelitian pendahuluan untuk memahami karakteristik subyek

penelitian melalui informasi-informasi yang berkaitan dengan

subyek penelitian,

b. Menentukan desain penelitian (wawancara dan observasi),

c. Penelitian di lapangan,

d. Inventarisasi data dari lapangan,

e. Analisis data,

f. Penarikan kesimpulan awal,

g. Expose kesimpulan awal untuk memperoleh tanggapan (feed back)

dari obyek penelitian, dan

h. Membuat kesimpulan akhir.

i. Penulisan hasil penelitian.

BAB IV

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Kabupaten Sragen

1. Gambaran Umum

Kabupaten Sragen adalah sebuah kabupaten di Provinsi

Jawa Tengah dengan ibu kotanya adalah Sragen dan pusat

pemerintahan di Jalan Raya Sukowati No. 255 Telp. (0271)

89

891025, Hunting (8 saluran) Fax. 891297 Sragen 57211. Sragen

berada sekitar 30 km sebelah timur Kota Surakarta berbatasan

dengan Kabupaten Grobogan di utara, Kabupaten Ngawi (Jawa

Timur) di timur, Kabupaten Karanganyar di selatan, serta

Kabupaten Boyolali di barat. Sragen terletak di jalur utama Solo-

Surabaya dan merupakan gerbang utama sebelah timur Provinsi

Jawa Tengah yang berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa

Timur. Luas Kabupaten Sragen adalah 946,49 km² terbagi atas 20

kecamatan. Dasar hukum berdirinya Pemerintahan Kabupaten

Sragen adalah UU No. 13 Tahun 1950.

Visi Kabupaten Sragen Tahun 2006-2011 adalah “Sragen

menjadi Kabupaten Cerdas” yang dislogankan dalam istilah “Smart

Regency”. Sedangkan Misi Pemerintah Daerah Kabupaten Sragen

adalah "Mewujudkan Rakyat yang Unggul, Produktif, dan

Sejahtera".

2. Proses Penelitian

Langkah-langkah yang ditempuh oleh peneliti untuk

memperoleh informasi dan data yang dibutuhkan dalam penelitian

di Kabupaten Sragen terbagi atas tahapan-tahapan berikut:

90

1. Obsevasi dan identifikasi awal subyek penelitian melalui

informasi-informasi awal yang berkaitan dengan subyek

penelitian.

2. Mempersiapkan materi wawancara/interview sesuai dengan

fokus penelitian.

3. Peneliti melakukan komunikasi dan koordinasi dengan subyek

penelitian mengenai waktu dan lokasi wawancara/interview.

4. Peneliti bertemu langsung dengan subyek penelitian dan

melakukan wawancara/interview berdasarkan daftar pertanyaan

yang sudah dipersiapkan terlebih dahulu tetapi tidak menutup

kemungkinan pertanyaan berkembang sejauh kedalaman

materi/data/informasi yang ingin digali/didapat oleh peneliti.

Subyek dalam penelitian di Kabupaten Sragen adalah 11 orang

Bendahara Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di Dinas

Perhubungan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Dinas

Peternakan dan Perikanan, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas

Pertanian dan Ketahanan Pangan, Inspektorat, Dinas

Kesehatan, Dinas Sosial, Dinas Pendapatan Pengelolaan

Kekayaaan dan Aset Daerah, Sekretariat Daerah, dan Dinas

Pendidikan

5. Dokumentasi dan inventarisasi data dan informasi yang

diperoleh.

91

3. Belanja APBD Pemerintah Kabupaten Sragen Tahun Anggaran

2008 Dan Hubungannya Dengan Pertambahan Nilai Aset

Gedung Dan Bangunan

Berdasarkan data sekunder diketahui bahwa dari alokasi

belanja (belanja operasi, belanja modal & belanja tak terduga)

dalam APBD Pemerintah Kabupaten Sragen Tahun Anggaran

2008 sebesar Rp.799.960.083.000,- dapat terealisir sebesar Rp.

686.473.841.699,- (85,81%) dan realisasi belanja terkecil adalah

belanja tak terduga (30,22%) dan realisasi belanja tertinggi adalah

belanja operasi (90,48%).

Tabel IV.1

Realisasi Belanja dalam APBD Pemkab Sragen

Tahun Anggaran 2008

NO APBD BELANJA OPERASI BELANJA MODAL BELANJA TAK

TERDUGA Rp. % Rp. % Rp. %

1 Anggaran 644.511.195.000 100,00 153.198.888.000 100,00 2.250.000.000 100,00

2 Realisasi 583.131.186.612 90,48 102.662.655.087 67,01 680.000.000 30,22

Selisih 61.380.008.388 9,52 50.536.232.913 32,99 1.570.000.000 69,78

Sumber: Laporan Keuangan Daerah Tahun Anggaran 2008

Data sekunder (Neraca Daerah Per 31 Desember 2008)

menyatakan bahwa selama tahun 2008 terdapat pertambahan nilai

aset gedung dan bangunan sebesar Rp. 46.402.421.591,- (nilai

aset gedung dan bangunan Tahun Anggaran 2007 Rp.

221.894.613.671,- dan nilai aset gedung dan bangunan Tahun

92

Anggaran 2008 Rp. 268.297.035.262,-). Hasil interview

menyatakan bahwa pertambahan nilai aset gedung dan bangunan

tersebut diakibatkan oleh adanya pembangunan gedung dan

bangunan baru (Tabel IV.2) serta rehab gedung dan bangunan

lama.

Tabel IV.2

Penambahan Aset Tetap Gedung dan Bangunan

Pemkab Sragen Tahun Anggaran 2008

NO URAIAN NILAI (Rp.)

1 Gedung Kantor Dinkes 1.869.382.500 2 Rumah Dinas Kepala Puskesmas 326.498.100 3 Bangunan Sekolah Pendidikan 4.637.327.000 Jumlah 6.833.207.600

Sumber: Catatan Laporan Keuangan Daerah Tahun Anggaran

2008

Tabel IV.3

Analisis Penyerapan Belanja Ke Dalam Nilai Aset Tetap Gedung

Bangunan Pemkab Sragen Tahun Anggaran 2008

NO URAIAN NOMINAL

(Rp.) 1 Pertambahan nilai aset gedung dan bangunan 46.402.421.591 2 Penambahan aset gedung dan bangunan baru 6.833.207.600 3 Pertambahan nilai aset gedung dan bangunan

tidak dikarenakan oleh penambahan aset gedung dan bangunan baru

39.569.213.991

4 Belanja APBD TA 2008 686.473.841.699 5 Prosentase (%) pertambahan nilai aset tidak

dikarenakan oleh penambahan aset gedung dan 5,76

93

bangunan baru terhadap Belanja APBD Sumber: Catatan Laporan Keuangan Daerah Tahun Anggaran

2008

Data sekunder menyatakan bahwa terdapat penyerapan

belanja ke dalam nilai aset gedung dan bangunan atau dengan

kata lain nilai belanja yang diakui/menambah nilai aset gedung dan

bangunan, dan untuk Kabupaten Sragen nilai belanja yang

terserap/menambah nilai aset gedung dan bangunan untuk Tahun

Anggaran 2008 adalah dari alokasi belanja sebesar Rp.

686.473.841.699 terserap dan menambah nilai aset gedung dan

bangunan tidak karena penambahan aset gedung dan bangunan

baru sebesar Rp. 39.569.213.991,- atau 5,76% (Tabel IV.3).

4. Prosedur Kapitalisasi Belanja Yang Dapat Diakui Sebagai Aset

Gedung dan Bangunan

Peraturan perundang-perundangan baik ditingkat pusat

(Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor

01/KM.12/2001 tentang Pedoman Kapitalisasi Barang

Milik/Kekayaan Negara dalam Sistem Akuntansi Pemerintah)

maupun di tingkat daerah (Peraturan Bupati Sragen Nomor 14

Tahun 2006, tanggal 21-6-2006 tentang Kebijakan Akuntansi

Keuangan Pemerintahan Kabupaten Sragen) tidak mengatur

secara spesifik tentang prosedur yang dilakukan dalam

94

pengkapitalisasian belanja yang dapat diakui sebagai aset gedung

dan bangunan.

Hasil interview terhadap 11 orang Bendahara SKPD pada

saat penelitian lapangan bulan Aprir 2009 sampai dengan Mei

2009 di Dinas Perhubungan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan,

Dinas Peternakan dan Perikanan, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas

Pertanian dan Ketahanan Pangan, Inspektorat, Dinas Kesehatan,

Dinas Sosial, Dinas Pendapatan Pengelolaan Kekayaaan dan Aset

Daerah, Sekretariat Daerah, dan Dinas Pendidikan diperoleh

gambaran bahwa tidak semua bendahara memahami konsep

kapitalisasi sehingga bendahara mempunyai kecenderungan untuk

tidak melakukan kapitalisasi terhadap belanja yang dapat diakui

sebagai nilai aset khususnya aset gedung dan bangunan. Dari

interview terhadap 5 orang Bendahara SKPD (Dinas Perhubungan,

Dinas Hutbun, Dinas Peternakan dan Perikanan, Dinas Pekerjaan

Umum, Dinas Pertanian) yang mempunyai pemahaman tentang

kapitalisasi dapat dirumuskan prosedur kapitalisasi belanja yang

dapat diakui sebagai aset gedung dan bangunan sebagai berikut:

1) Identifikasi dana yang dipergunakan untuk belanja berpedoman

pada sumber belanja tersebut berasal (alokasi dalam mata

anggaran belanja) dengan berpedoman pada Daftar

Penggunaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (DPA-

SKPD).

95

2) Identifikasi biaya/belanja yang dikapitalisir ke dalam masing-

masing aset sesuai kriteria yang telah ditetapkan dalam

Kebijakan Akuntansi Keuangan Pemerintahan.

3) Pengakuan belanja yang dapat diakui sebagai aset gedung dan

bangunan.

4) Pengukuran belanja yang dapat diakui sebagai aset gedung

dan bangunan dengan menggunakan mata uang rupiah

berdasarkan nilai nominal kas yang dikeluarkan.

5) Pelaporan nilai aset aset gedung dan bangunan dalam Neraca

Daerah dan Catatan Atas Laporan Keuangan.

5. Akuntansi Belanja Daerah

Akuntansi belanja yang diterapkan oleh Bendahara Satuan

Kerja berdasarkan interview adalah sebagai berikut, transaksi

belanja yang terjadi pada Satuan Kerja dicatat oleh Petugas

Penatausahaan Keuangan Satuan Kerja (PPK Satker)/Petugas

Penatausahaan Keuangan Daerah (PPKD) secara harian pada

saat kas dibayarkan oleh bendahara pengeluaran atau pada saat

menerima tembusan bukti transfer dari pihak ketiga. Akuntansi

belanja dilaksanakan berdasarkan asas bruto. Untuk transaksi

belanja modal, pencatatan dilakukan secara corollary, yaitu dicatat

dengan 2 (dua) jurnal, satu untuk mencatat belanja dan yang lain

96

untuk mencatat aset yang diperoleh dari transaksi belanja modal

tersebut.

Jurnal untuk mencatat transaksi belanja modal, misalnya

pengadaan gedung dan bangunan baru dilakukan sebagai berikut:

1) Mencatat belanja modal dalam neraca dan laporan realisasi

anggaran:

Belanja Modal .................................................................... xx

Kas

............................................................................................ xx

2) Mencatat akun aset tetap gedung dan bangunan dan akun

ekuitasnya dalam jurnal korolari:

Gedung dan Bangunan ...................................................... xx

Diinvestasikan dalam Aset Tetap

............................................. xx

Dengan penjurnalan di atas, pengeluaran kas akan dicatat dalam

neraca dan laporan realisasi anggaran sekaligus aset gedung dan

bangunan tercatat dalam akun aset tetap dan akun diinvestasikan

dalam aset tetap dalam jumlah nominl yang sama.

Pengakuan terhadap aset disesuaikan dengan kebijakan

akuntansi pemerintah daerah tentang kapitalisasi aset yang

menyatakan bahwa pengakuan terhadap jumlah kas/setara kas

dan nilai wajar imbalan lainnya yang dibayarkan sebagai

penambah nilai aset tetap. Pedoman yang digunakan oleh

97

bendahara SKPD dalam akuntansi belanja adalah Surat Edaran

(SE) Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 900/743/BAKD

tentang Akuntansi Di Satuan Kerja.

6. Kapitalisasi Belanja Daerah

Terdapat polemik dalam pengalokasian belanja daerah

sebagai akibat dari adanya 2 (dua) peraturan yang saling

bertentangan. Permendagri Nomor 13/2006 mengklasifikasikan

belanja dalam 3 (tiga) jenis yaitu 1) Belanja Administrasi Umum,

yaitu belanja tidak langsung yang dialokasikan pada kegiatan yang

tidak menambah aset), 2) Belanja Operasi dan Pemeliharaan yaitu

belanja langsung yang digunakan untuk membiayai kegiatan non

investasi (tidak menambah aset), dan 3) Belanja

Modal/Pembangunan yaitu belanja langsung yang digunakan untuk

membiayai kegiatan investasi (menambah aset), sementara

menurut Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor

91/PMK.05/2007 tentang Bagan Akun Standar yang merupakan

penyempurnaan dari Peraturan Menkeu Nomor 13/PMK.06/2005

tidak mengakomodir adanya belanja umum. Lampiran PMK Nomor

91/PMK.05/2007 BAB III Bagian Ketiga mengklasifikasikan belanja

dalam 8 katagori yaitu 1) Belanja Pegawai, 2) Belanja Barang, 3)

Belanja Modal, 4) Pembayaran Bunga Utang, 5) Subsidi, 6) Hibah,

7) Bantuan Sosial, dan 8) Belanja Lain-lain.

98

Hasil interview dengan bendahara SKPD pada Inspektorat,

Dinas Perhubungan, Dinas Hutbun, Dinas Peternakan dan

Perikanan, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pertanian diperoleh

kondisi bahwa memang terdapat perbedaan aplikasi di lapangan

terkait dengan pemahaman bendahara SKPD terhadap

pengalokasian belanja, sebagai contoh misalnya di Inspektorat

Kabupaten Sragen terdapat alokasi belanja untuk rehab gedung

dan bangunan tahun 2008 senilai Rp. 139.000.000,- dari Anggaran

ADB (Asian Development Bank). Sesuai dengan DPA-SKPD yang

ada, biaya umum (biaya persiapan, biaya pengawasan, biaya ATK)

masuk/dikapitalisasi menambah nilai aset karena dalam DPA-

SKPD rehab yang bersangkutan, hal ini dapat terjadi apabila biaya

umum menjadi sub rekening dari belanja modal aset gedung dan

bangunan sehingga dapat langsung diakui sebagai penambah nilai

aset. Realisasi di lapangan hal tersebut ternyata tidak terjadi, ketika

Inspektorat Kabupaten Sragen merehab gedung senilai Rp.

147.000.000,- dari anggaran APBD II, dalam kegiatan rehab

tersebut biaya umum tidak dikapitalisasi menambah nilai aset

karena dalam DPA-SKPD yang ada, biaya umum tidak menjadi sub

rekening dari belanja modal tetapi menjadi rekening yang berbeda

yaitu rekening belanja barang dan jasa sehingga tidak dapat

secara langsung diakui sebagai penambah nilai aset. Penyebab

tidak masuknya rekening biaya umum menjadi sub rekening

99

belanja modal karena daerah mengacu pada Permendagri No. 13

Tahun 2006 dan tidak berpedoman pada Peraturan Menteri

Keuangan Nomor 91/PMK.05/2007.

Bendahara Umum Daerah Pemerintah Kabupaten Sragen

membenarkan atas kondisi yang terjadi bahwa dalam pengelolaan

belanja daerah telah terjadi kesimpangsiuran sebagai akibat dari

adanya dua peraturan perundang-undangan yang saling

bertentangan. Pemahaman yang timbul dalam pengelolaan belanja

adalah bahwa untuk belanja yang bersumber dari APBN (pusat)

maka pedoman yang digunakan adalah Peraturan Menteri

Keuangan (PMK) Nomor 91/PMK.05/2007 sedangkan untuk

belanja yang bersumber dari APBD berpedoman pada

Permendagri No. 13 Tahun 2006. Data sekunder juga menyatakan

terdapat perbedaan ketentuan yang mengatur tentang kapitalisasi

(Tabel 5).

Hasil interview pada Dinas Perhubungan, Dinas Hutbun,

Dinas Peternakan dan Perikanan, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas

Pertanian diperoleh deskripsi bahwa kapitalisasi nilai aset

sebenarnya telah dilakukan di beberapa SKPD di Pemerintah

Kabupaten Sragen (Dinas Perhubungan, Dinas Hutbun, Dinas

Peternakan dan Perikanan, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas

Pertanian). Ketika ada koordinasi antara bendahara SKPD yang

melakukan kegiatan belanja aset dengan Bendahara Daerah,

100

permasalahan kapitalisasi aset dapat dilaksanakan, tapi apabila

SKPD yang melakukan belanja aset tidak berkoordinsi dengan

Bendahara Umum Daerah maka akan terjadi selisih nilai aset

antara SKPD dengan Neraca Daerah (nilai aset di Neraca Daerah

dinilai lebih rendah).

Tabel IV.4

Tabulasi Kebijakan Akuntansi Keuangan Pemkab Sragen dengan PMK No. 91/PMK.05/2007

No. Ketentuan Perbub Sragen No. 14 Tahun 2006

PMK No. 91/PMK.05/2007

1 Batas minimal belanja yang dapat dikapitalisasi

Batas minimal biaya kapitalisasi sebesar Rp.75.000,-

c. pengeluaran untuk per satuan peralatan dan mesin, dan alat olah raga yang sama dengan atau lebih dari Rp. 300.000,- (tiga ratus ribu rupiah); dan

d. pengeluaran untuk gedung dan bangunan yang sama dengan atau lebih dari Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).

2 Pengecualian

kapitalisasi aset tetap gedung & bangunan

Tidak diatur Pengeluaran untuk tanah, jalan/irigasi/jaringan, dan aset tetap lainnya berupa koleksi perpustakaan dan barang bercorak kesenian.

3 Kriteria kapitalisasi belanja

Pengeluaran biaya tersebut dapat memenuhi: - Memperpanjang

masa manfaat atau - Memberi manfaat

ekonomik di masa yad dalam bentuk

Tidak diatur

101

peningkatan kapasitas, mutu produksi, atau peningkatan standar kinerja.

Kebijakan Akuntansi Keuangan Pemerintahan Kabupaten

Sragen yang mengatur tentang kapitalisasi diatur dalam Lampiran I

Kebijakan Akuntansi Keuangan Pemerintahan Kabupaten Sragen

(Peraturan Bupati Sragen Nomor 14 Tahun 2006) sebagai berikut:

Biaya Kapitalisasi: Biaya yang dikapitalisir setelah tahun perolehan ke dalam masing-masing aset, harus memenuhi: (a) Batas minimal biaya kapitalisasi sebesar Rp. 75.000 dan atas (b) Pengeluaran biaya tersebut dapat memenuhi:

- Memperpanjang masa manfaat atau - Memberi manfaat ekonomik di masa yad dalam bentuk

peningkatan kapasitas, mutu produksi, atau peningkatan standar kinerja.

7. Hasil Audit BPK & Hasil Reviu Inspektorat Terhadap Penyajian

Aset Tetap dalam Laporan Keuangan Daerah

Reviu terhadap Laporan Keuangan Daerah (LKD) dilakukan

dengan tujuan untuk menilai apakah Sistem Pengendalian Intern

(SPI) yang diimplementasikan telah berjalan dengan baik dan

memadai serta menilai apakah pos-pos dalam LKD telah disajikan

sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP)/PP No. 24

Tahun 2005. Reviu LKD wajib dilaksanakan sebelum LKD diaudit

oleh BPK RI. Reviu dilaksanakan dengan berpedoman pada

Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 4 Tahun

102

2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Reviu atas Laporan

Keuangan Pemerintah Daerah.

BPK RI melaksanakan pemeriksaan terhadap LKD

berdasarkan UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan

Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara, UU No. 15

Tahun 2006 tentang BPK dan Standar Pemeriksaan Keuangan

Negara (SPKN) yang ditetapkan oleh BPK dengan tujuan untuk

memperoleh keyakinan memadai bahwa laporan keuangan bebas

dari salah saji material. Pemeriksaan BPK meliputi penilaian atas

implementasi SAP, estimasi signifikan yang dibuat oleh Pemerintah

Daerah dan penilaian terhadap LKD secara menyeluruh.

Hasil reviu Laporan Keuangan Daerah Pemerintah Kabupaten

Sragen Tahun Anggaran 2008 oleh Inspektorat Kabupaten Sragen

secara spesifik tidak menguraikan tentang temuan terkait dengan

kapitalisasi aset tetapi temuan yang ada mengungkap terkait

pengelolaan aset, yaitu:

Terdapat perbedaan Nilai Aset Tetap per 31 Desember 2008 antara Hasil Review dengan Neraca Pemda senilai Rp2.625.968.639,00 Berdasarkan sampling terhadap beberapa SKPD di lingkungan Pemda Sragen dijumpai adanya Nilai Aset tetap yang dikuasai/dimiliki oleh masing-masing SKPD sebagaimana yang tercatat dalam Neraca SKPD per 31 Desember 2008 senilai Rp.1.333.946.585.356,00 sedangkan menurut Hasil Review senilai Rp.1.333.809.580.315,00 sehingga terdapat selisih senilai Rp.2.625.968.639,00

103

Hasil Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap

Laporan Keuangan Daerah Pemerintah Kabupaten Sragen Tahun

Anggaran 2007 juga secara spesifik tidak mengungkap temuan

tentang kapitalisasi aset, tetapi mengungkap penyajian rekening

aset, yaitu sebagai berikut:

Penyajian aset tetap dalam neraca belum tepat, karena di dalamnya terdapat aset yang belum jelas statusnya. Antara lain aset tanah yang disajikan tanpa membedakan status kepemilikan tanah seperti tertuang pada Catatan atas Laporan Keuangan D.3.a.b.2 dan D.3.d.3.

B. Kabupaten Karanganyar

1. Gambaran Umum

Kabupaten Karanganyar adalah sebuah kabupaten di Provinsi

Jawa Tengah dengan ibukotanya adalah Karanganyar, sekitar 14

km sebelah timur Kota Surakarta. Kabupaten ini berbatasan

dengan Kabupaten Sragen di utara, Kabupaten Ngawi dan

Kabupaten Magetan (Jawa Timur) di timur, Kabupaten Wonogiri di

selatan, serta Kabupaten Boyolali, Kota Surakarta, dan Kabupaten

Sukoharjo di barat. Luas wilayah Kabupaten Karanganyar adalah

773,78 km2 terbagi atas 17 kecamatan.

Visi Kabupaten Karanganyar adalah Karanganyar sebagai

daerah yang maju, adil, makmur, berketahanan dan mandiri, dalam

suasana tentram, dengan industri, pertanian dan pariwisata yang

104

handal, didukung oleh masyarakat yang sehat jasmani dan rohani,

berbudi luhur, demokratis, bersatu padu serta berkepribadian

bangsa. Misi Kabupaten Karanganyar adalah:

a. Menjadikan Kabupaten Karanganyar sebagai daerah industri,

baik industri menengah maupun industri kecil yang maju.

b. Menjadikan Kabupaten Karanganyar sebagai daerah pertanian

yang berwawasan agrobisnis dan agroindustri dengan

mengembangkan produk unggulan yang kompetitif.

c. Menjadikan Kabupaten Karanganyar sebagai daerah tujuan

wisata utama di Jawa Tengah yang menarik wisatawan manca

negara dan wisatawan nusantara/domestik.

d Menjadikan Kabupaten Karangayar sebagai pusat Pendidikan

dan Pengembangan SDM yang menguasai Iptek, berjiwa Imtaq,

berkepribadian bangsa dan berwawasan kedepan.

e. Menjadikan masyarakat Kabupaten Karanganyar sejahtera lahir

dan batin.

f. Mengembangkan sistem informasi yang selalu disesuaikan

dengan perkembangan sarana telekomunikasi dan komunikasi

sebagai media promosi yang efektif bagi potensi dan

perkembangan daerah Kabupaten Karanganyar.

g. Meningkatkan upaya pemberantasan korupsi, kolusi dan

nepotisme (KKN).

2. Proses Penelitian

105

Pada prinsipnya langkah-langkah yang ditempuh oleh peneliti

untuk memperoleh informasi dan data di Kabupaten Karanganyar

sama dengan yang dilakukan di Kabupaten Sragen, yang

membedakan adalah respon dan kerja sama yang diberikan oleh

SKPD-SKPD di Kabupaten Karanganyar. Peneliti telah berusaha

melakukan komunikasi dan koordinasi dengan SKPD-SKPD di

Kabupaten Karanganyar untuk melakukan wawancara, dan respon

yang diperoleh oleh peneliti hanya dari Inspektorat Kabupaten

Karanganyar melalui Tim Review Laporan Keuangan Daerah dan

Dinas Pendapatan Pengelolaan Kekayaaan dan Aset Daerah.

Kondisi ini tentunya menjadi keterbatasan dalam penelitian yang

dilakukan.

3. Belanja APBD Pemerintah Kabupaten Karanganyar Tahun

Anggaran 2008 Dan Hubungannya Dengan Pertambahan Nilai

Aset Gedung Dan Bangunan

Data sekunder menyatakan, dari alokasi belanja Tahun

Anggaran 2008 (belanja operasi, belanja modal dan belanja tak

terduga) sebesar Rp.812.046.787.616,- dapat terealisir sebesar

Rp. 72.8920.262.975,- (89,76%) sehingga terdapat selisih sebesar

Rp. 83.126.524.641,- (10,23%). Realisasi belanja terbesar ada

pada belanja modal (93,15%) dan terkecil ada pada belanja tak

terduga (Tabel IV.5).

106

Tabel IV.5

Realisasi Belanja dalam APBD Pemkab Karanganyar

Tahun Anggaran 2008

NO APBD BELANJA OPERASI BELANJA MODAL BELANJA TAK

TERDUGA Rp. % Rp. % Rp. %

1 Anggaran 646.131.989.809,51 100,00 160.914.797.807 100,00 5.000.000.000 100,00

2 Realisasi 579.033.727.070 89,61 149.886.535.905 93,15 - 0,00

Selisih 67.098.262.739,51 10,39 11.028.261.902 6,85 5.000.000.000 100,00

Sumber: Laporan Keuangan Daerah Tahun Anggaran 2008

Pertambahan nilai aset gedung dan bangunan selama Tahun

Anggaran 2008 adalah sebesar Rp. 33.820.225.705,- (nilai aset

gedung dan bangunan Tahun Anggaran 2007 sebesar Rp.

339.297.327.963,- dan nilai aset gedung dan bangunan Tahun

Anggaran 2008 sebesar Rp.379.099.553.668,-) yang berasal dari

pembangunan gedung dan bangunan baru (Tabel IV.6) dan rehab

gedung dan bangunan lama.

Tabel IV.6

Penambahan Aset Tetap Gedung dan Bangunan

Pemerintah Kabupaten Karanganyar TA. 2008

NO URAIAN NILAI (Rp.)

1 Bangunan Gedung 116.328.000

Sumber: Catatan Atas Laporan Keuangan Daerah Tahun Anggaran 2008

Tabel IV.7

107

Analisis Penyerapan Belanja Ke Dalam Nilai Aset Tetap Gedung

Bangunan Pemkab Karanganyar Tahun Anggaran 2008

NO URAIAN NOMINAL

(Rp.) 1 Pertambahan nilai aset gedung dan bangunan 39.820.225.705 2 Penambahan aset gedung dan bangunan baru 116.328.000 3 Pertambahan nilai aset gedung dan bangunan

tidak dikarenakan oleh penambahan aset gedung dan bangunan baru

39.703.897.705

4 Belanja APBD TA 2008 728.920.262.975 5 Prosentase (%) pertambahan nilai aset tidak

dikarenakan oleh penambahan aset gedung dan bangunan baru terhadap Belanja APBD

5,44

Sumber: Catatan Laporan Keuangan Daerah Tahun Anggaran

2008

Nilai belanja yang terserap dan menambah nilai aset gedung

dan bangunan dimana pertambahan nilai gedung dan bangunan

tersebut bukan sebagai akibat dari penambahan aset gedung dan

bangunan baru sebesar Rp. 728.920.262.875,- (Tabel IV.7).

4. Implementasi Kapitalisasi Belanja Yang Dapat Diakui Sebagai

Aset Gedung & Bangunan

Hasil observasi mengungkap bahwa Bendaharan Umum

Daerah Pemerintah Kabupaten Karanganyar maupun Bendahara

SKPD tidak melakukan kapitalisasi belanja karena tidak

mempunyai kebijakan akuntansi yang mengatur tentang

108

kapitalisasi belanja aset utamanya aset gedung dan bangunan.

Meskipun dalam SAP jelas-jelas mengatur tentang kapitalisasi aset

tetap. Hasil interview menyatakan bahwa permasalahan mendasar

yang terjadi di Pemerintah Kabupaten Karanganyar adalah

kurangnya Pegawai/Bendahara yang mempunyai background

akuntansi dan kurangnya sosialisasi aturan dalam hal ini Standar

Akuntansi Pemerintah sebagai dasar dalam pembuatan Laporan

Keuangan SKPD maupun Laporan Keuangan Daerah

Pemerintahan Daerah.

5. Hasil Audit BPK & Hasil Reviu Inspektorat Terhadap Penyajian

Aset Tetap dalam Laporan Keuangan Daerah

Hasil reviu Laporan Keuangan Daerah Pemerintah Kabupaten

Karanganyar Tahun Anggaran 2008 oleh Inspektorat Kabupaten

Karanganyar lebih mengungkap temuan yang berkaitan dengan

pengelolaan aset, yaitu sebagai berikut: terdapat selisih

penambahan aset tahun 2008 dengan realisasi belanja modal

dikarenakan adanya kesalahan penempatan rekening.

Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap

Laporan Keuangan Daerah Pemerintah Kabupaten Karanganyar

Tahun Anggaran 2007 terkait dengan penyajian rekening aset

adalah sebagai berikut:

Nilai aset tetap pada Neraca 31 Desember 2006 belum dapat diyakini kewajarannya. Nilai aset tetap pada neraca Tahun 2006 belum dapat dipertanggungjawabkan dan tidak dapat diyakini kewajarannya seperti tertuang dalam Catatan atas

109

Laporan Keuangan khususnya penjelasan atas Neraca nomor 4.f.

C. Kabupaten Sukoharjo

1. Gambaran Umum

Kabupaten Sukoharjo adalah sebuah kabupaten di Provinsi

Jawa Tengah. Ibu kotanya adalah Sukoharjo, sekitar 10 km

sebelah selatan Kota Surakarta. Kabupaten ini berbatasan dengan

Kota Surakarta di utara, Kabupaten Karanganyar di timur,

Kabupaten Wonogiri dan Daerah Istimewa Yogyakarta di selatan,

serta Kabupaten Klaten di barat. Hari jadi Kabupaten Sukoharjo

jatuh pada tanggal 7 Mei 1874. Kabupaten Sukoharjo terbagi atas

12 kecamatan.

Visi Kabupaten Sukoharjo adalah mewujudkan Sukoharjo

yang makmur, sejahtera dan mandiri serta bertaqwa. Misi

Kabupaten Sukoharjo adalah:

a. Mengamalkan Pancasila secara konsisten dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

b. Meningkatkan pertumbuhan perekonomian masyarakat yang

bertumpu pada Peningkatan Ketahanan Pangan dan UKM.

c. Meningkatkan Sarana dan Prasarana Perekonomian.

d. Mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas dan

aparatur pemerintah daerah yang profesional dan bebas KKN.

e. Mewujudkan supremasi hukum, penegakan hukum di daerah.

110

f. Menciptakan kondisi daerah yang aman, damai, tertib dan

tentram.

2. Proses Penelitian

Kondisi yang sama diperoleh oleh peneliti dalam melakukan

penelitian di Kabupaten Sukoharjo, yaitu kurangnya kerja sama

yang diberikan oleh SKPD-SKPD di Kabupaten Sukoharjo,

sehingga penelitian hanya dapat dilakukan di Inspektorat

Kabupaten Sukoharjo dan Dinas Pendapatan Pengelolaan

Kekayaaan dan Aset Daerah, hal ini menjadi keterbatasan dalam

penelitian yang dilakukan.

3. Belanja APBD Pemerintah Kabupaten Sukoharjo Tahun

Anggaran 2008 Dan Hubungannya Dengan Pertambahan Nilai

Aset Gedung Dan Bangunan

Data sekunder pada Pemerintah Kabupaten Sukoharjo

diketahui alokasi belanja Pemerintah Kabupaten Sukoharjo Tahun

Anggaran 2008 sebesar Rp. 750.283.259.850,- dengan realisasi

sebesar Rp.716.111.639.682,- (95,45%) dan terdapat selisih

sebesar Rp.34.171.620.168,- (4,55%). Realisasi belanja terbesar

ada pada belanja modal dan terkecil ada pada belanja tak terduga

(Tabel IV.8).

Pertambahan nilai aset gedung dan bangunan selama Tahun

Anggaran 2008 berdasarkan data sekunder adalah sebesar

Rp.43.781.807.954,- (nilai aset gedung dan bangunan Tahun

111

Anggaran 2007 sebesar Rp. 185.662.036.688,- dan nilai aset

gedung dan bangunan Tahun Anggaran 2008 sebesar Rp.

229.443.844.642,-) yang berasal dari pembangunan gedung dan

bangunan baru (Tabel IV.9) dan rehab gedung dan bangunan

lama.

Tabel IV.8

Realisasi Belanja dalam APBD Pemkab Sukoharjo

Tahun Anggaran 2008

NO APBD BELANJA OPERASI BELANJA MODAL BELANJA TAK

TERDUGA Rp. % Rp. % Rp. %

1 Anggaran 632.197.159.250 100,00 116.655.709.600 100,00 1.430.391.000 100,00

2 Realisasi 603.376.445.820 95,44 112.595.424.862 96,52 139.769.000 9,77

Selisih 28.820.713.430 4,56 4.060.284.738 3,48 1.290.622.000 90,23

Sumber: Laporan Keuangan Daerah Tahun Anggaran 2008

Tabel IV.9

Penambahan Aset Tetap Gedung dan Bangunan

Pemkab Sukoharjo Tahun Anggaran 2008

NO URAIAN NILAI (Rp.)

1 Bangunan Gedung Bangsal Flamboyan RSUD 1.210.500.000 2 Bangunan Gedung BLK 263.300.000 Jumlah 1.473.800.000

Sumber: Catatan Atas Laporan Keuangan Daerah Tahun Anggaran 2008

Nilai belanja yang terserap dan menambah nilai aset gedung

dan bangunan dimana pertambahan nilai gedung dan bangunan

112

tersebut bukan sebagai akibat dari penambahan aset gedung dan

bangunan baru berdasarkan analisis data sekunder sebesar Rp.

42.308.007.954,- (Tabel IV.10).

Tabel IV.10

Analisis Penyerapan Belanja Ke Dalam Nilai Aset Tetap Gedung

dan Bangunan Pemkab Sukoharjo Tahun Anggaran 2008

NO URAIAN NOMINAL

(Rp.) 1 Pertambahan nilai aset gedung dan bangunan 43.781.807.954 2 Penambahan aset gedung dan bangunan baru 1.473.800.000 3 Pertambahan nilai aset gedung dan bangunan

tidak dikarenakan oleh penambahan aset gedung dan bangunan baru

42.308.007.954

4 Belanja APBD TA 2008 716.111.639.682 5 Prosentase (%) pertambahan nilai aset tidak

dikarenakan oleh penambahan aset gedung dan bangunan baru terhadap Belanja APBD

5,91

4. Implementasi Kapitalisasi Belanja Yang Dapat Diakui Sebagai

Aset Gedung & Bangunan

Implementasi kapitalisasi belanja yang dapat diakui sebagai

aset gedung & bangunan pada Kabupaten Sukoharjo tidak

dilakukan oleh Bendahara Umum Daerah maupun Bendahara

SKPD, tidak adanya kebijakan akuntansi yang mengatur tentang

kapitalisasi belanja aset utamanya aset gedung dan bangunan

membuat kondisi tersebut terjadi, selain hal tersebut keterbatasan

kemampuan bendahara terkait dengan latar belakang pendidikan

113

terutama yang berbasis akuntansi dan kurangnya sosialisasi

Standar Akuntansi Pemerintahan.

5. Hasil Audit BPK & Hasil Reviu Inspektorat Terhadap Penyajian

Aset Tetap dalam Laporan Keuangan Daerah

Hasil reviu Laporan Keuangan Daerah Pemerintah Kabupaten

Sukoharjo Tahun Anggaran 2008 oleh Inspektorat Kabupaten

Sukoharjo terkait dengan pengelolaan aset adalah sebagai berikut:

Pengadaan konstruksi bangunan gedung Kantor Kecamatan Tawangsari telah dilaksanakan pembayaran kepada tiga rekanan yaitu perencana, pelaksana dan pengawas keseluruhan sebesar Rp.408.454.784,- Pada saat tahun anggaran 2008 berakhir per 1 Desember 2008, bangunan gedung kantor tersebut fisik bangunannya baru mencapai 50 %, namun demikian tahun dalam Neraca per 31 desember 2008 telah dicatat dalam Pos Gedung & Bangunan sebesar Rp.408.454.784,- Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap

Laporan Keuangan Daerah Pemerintah Kabupaten Karanganyar

Tahun Anggaran 2007 terkait dengan penyajian rekening aset

adalah sebagai berikut:

Aset tetap di Neraca per 31 Desember 2007 disajikan sebesar Rp.755.926.424.190,00, saldo tersebut berasal dari saldo aset tetap pada neraca awal tahun 2003 ditambah mutasi Tahun Anggaran 2004 sampai dengan 2007. Nilai aset tetap dalam neraca tersebut tidak dapat diyakini kewajarannya karena BPK tidak memperoleh informasi yang memadai mengenai metode inventarisasi dan cara penilaian aset tetap. Selain itu tidak diperoleh bukti-bukti pendukung dan rincian yang memadai atas aset tetap.

D. Pembandingan Kondisi Obyek Penelitian

114

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dibuat pembandingan

kondisi yang terjadi pada 3 (tiga) pemerintah daerah objek penelitian

(Tabel IV.11), yaitu bahwa 1) semua pemerintah daerah obyek

penelitian dalam alokasi anggarannya telah terdapat penyerapan

belanja yang mengakibatkan pertambahan nilai gedung dan bangunan

tetapi pertambahan tersebut tidak disebabkan oleh penambahan aset

gedung dan bangunan baru, 2) pemerintah daerah objek penelitian

belum sepenuhnya menerapan prosedur kapitalisasi belanja yang

dapat diakui sebagai aset gedung dan bangunan (Kabupaten Sragen),

bahkan belum menerapkan (Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten

Sukoharjo), 3) kondisi pada no. 2 berdampak pada beberapa

bendahara SKPD pemerintah daerah obyek penelitian (Kabupaten

Sragen) melakukan pencatatan kapitalisasi belanja yang dapat diakui

sebagai aset gedung dan bangunan, dan juga terdapat pemerintah

daerah obyek penelitian (Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten

Karanganyar) yang tidak melakukan pencatatan kapitalisasi belanja, 4)

kebijakan akuntansi pemerintah daerah yang merupakan pedoman

dalam penyusunan Lembaga Keuangan Daerah (LKD) belum semua

pemerintah daerah objek penelitian memiliki/membuatnya, 5) tidak

terdapat temuan dari auditor eksternal (BPK RI) terkait dengan

kapitalisasi, tetapi 6) di semua pemerintah daerah objek penelitian

terdapat temuan auditor eksternal (BPK RI) terkait pengelolaan aset.

115

Secara umum dapat diketahui bahwa belum semua pemerintah

daerah obyek penelitian (bendahara SKPD) belum mempunyai

pemahaman tentang kapitalisasi aset sehingga menimbulkan

kecenderungan bendahara SKPD tidak menerapkan prosedur dan

pelaporan kapitalisasi aset.

cxvi

Tabel IV.11

Pembandingan Kondisi Obyek Penelitian

NO URAIAN KAB. SRAGEN KAB. KARANGANYAR 1

2

3

4

5

6

Penyerapan belanja terhadap pertambahan nilai gedung dan bangunan yang tidak disebabkan oleh penambahan aset gedung dan bangunan baru Penerapan prosedur kapitalisasi belanja yang dapat diakui sebagai aset gedung dan bangunan Pencatatan kapitalisasi belanja yang dapat diakui sebagai aset gedung dan bangunan Kebijakan akuntansi kapitalisasi Temuan audit tentang kapitalisasi Temuan audit tentang aset

Rp. 686.473.841.699,-

(5,76 %)

Telah dilaksanakan oleh beberapa

SKPD

Telah dilaksanakan oleh sebagian SKPD

Ada

Tidak ada

Ada

Rp. 39.703.897.705,- (5,44 %)

Belum diterapkan/dilaksanakan

Belum diterapkan/dilaksanakan

Belum ada

Tidak ada

Ada

BAB V

KESIMPULAN, KETERBATASAN, SARAN DAN IMPLIKASI

A. Kesimpulan

cxvii

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan pada bab-bab

terdahulu, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Prosedur yang diterapkan oleh bendahara yang melaksanakan

kapitalisasi belanja yang dapat diakui sebagai aset gedung dan

bangunan adalah sebagai berikut:

a. Identifikasi dana yang dipergunakan untuk belanja

berpedoman pada sumber belanja tersebut berasal (alokasi

dalam mata anggaran belanja) dengan berpedoman pada

Daftar Penggunaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat

Daerah (DPA-SKPD).

b. Identifikasi biaya/belanja yang dikapitalisir ke dalam masing-

masing aset sesuai kriteria yang telah ditetapkan dalam

Kebijakan Akuntansi Keuangan Pemerintahan.

c. Pengakuan belanja yang dapat diakui sebagai aset gedung

dan bangunan.

d. Pengukuran belanja yang dapat diakui sebagai aset gedung

dan bangunan dengan menggunakan mata uang rupiah

berdasarkan nilai nominal kas yang dikeluarkan.

e. Pelaporan nilai aset aset gedung dan bangunan dalam

Neraca Daerah dan Catatan Atas Laporan Keuangan.

2. a. Pada Pemerintah Kabupaten Sragen, dari hasil penelitian

terdapat 5 SKPD yang telah menerapkan kapitalisasi belanja

cxviii

modal khususnya belanja gedung dan bamgunan dan

pelaksanaannya telah berpedoman/sesuai dengan standar yang

ada (Standar Akuntansi Pemerintahan dan Kebijakan Akuntansi

Pemerintahan Daerah Kabupaten Sragen)

b. Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Karanganyar belum

menerapkan kapitalisasi belanja modal khususnya belanja

gedung dan bangunan sehingga tidak dapat dibandingkan

dengan aturan atau standar yang seharusnya.

Peraturan perundang-undangan yang mengatur kapitalisasi (KMK

No. 01/KM.12/2001 tentang Pedoman Kapitalisasi Barang

Milik/Kekayaan Negara dalam Sistem Akuntansi Pemerintah)

hanya mengatur tentang konsep, pemberlakuan dan batasan nilai

minimum kapitalisasi belanja dan belum mengatur tentang

prosedur kapitalisasi. Pemerintahan Daerah (Bendahara Umum

Daerah maupun Bendahara SKPD) mempunyai kecenderungan

tidak menerapkan kapitalisasi khususnya kapitalisasi belanja yang

dapat diakui sebagai aset gedung dan bangunan sehingga hasil

penelitian tentang penerapan kapitalisasi belanja yang dapat diakui

sebagai aset gedung dan bangunan tidak dapat sepenuhnya

diperbandingkan dengan standar/peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

B. Keterbatasan Penelitian

cxix

Penelitian yang dilakukan di lapangan terhadap

Pejabat/Petugas Bendahara dan Satuan Kerja Perangkat Daerah

(SKPD) untuk memperoleh informasi dan data yang dibutuhkan dalam

penelitian menemui beberapa hambatan yang diakibatkan oleh:

1. Keterbatasan kemampuan intelektual (jenjang dan backgroud

pendidikan) Bendahara SKPD dan kurangnya pemahaman tentang

Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) khususnya yang berkaitan

dengan kapitalisasi belanja sehingga kesulitan dalam memperoleh

informasi yang berhubungan dengan fokus penelitian.

2. Adanya pembatasan oleh obyek penelitian (SKPD) dalam

mengiventarisir data maupun pernyataan terkait fokus penelitian.

3. Implementasi kapitalisasi belanja yang dapat diakui sebagai aset

gedung dan bangunan di Pemerintah Daerah masih menemui

kendala sebagai akibat dari 1) adanya peraturan perundang-

undangan yang saling bertentangan yaitu Peraturan Menteri Dalam

Negeri (Permendagri) Nomor 13/2006 dengan Peraturan Menteri

Keuangan (PMK) Nomor 91/PMK.05/2007 terkait dengan

pengklasifikasian belanja sehingga menimbulkan salah presepsi

ditingkat pelaksana di lapangan yang berdampak pada

ketidaktepatan alokasi belanja yang dapat dikapitalisasi ke dalam

nilai aset tetap khususnya aset gedung dan bangunan, dan 2)

belum semua Pemerintah Daerah membuat/mempunyai Kebijakan

cxx

Akuntansi Pemerintah Daerah yang dapat menjadi pedoman dalam

pembuatan Laporan Keuangan Daerah (LKD).

C. Saran-Saran

Saran untuk penelitian yang akan datang:

1. Penelitian yang akan datang disarankan dilakukan pada

Pemerintah Daerah di wilayah lain, misalnya di Pemerintah

Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi Jawa Barat, Provinsi Lampung,

Provinsi Kalimantan Barat dan lain-lain.

2. Bagi peneliti yang akan datang hendaknya dapat meneliti untuk

aset tetap yang lain misalnya tanah, peralatan dan mesin, jalan,

irigasi & jaringan, aset tetap lainnya dan konstruksi dalam

pengerjaan.

D. Implikasi Manajerial

Untuk meningkatkan kewajaran pengelolaan dan pelaporan aset

gedung dan bangunan maka yang perlu dilakukan oleh Pemda

Kabupaten Sragen, Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten

Karanganyar adalah sebagai berikut:

1. Perlu adanya standar baku yang diakomodir dalam bentuk

peraturan perundang-undangan yang berpedoman pada Standar

Akuntansi Pemerintahan (SAP) untuk mengatur tentang prosedur

dan implementasi kapitalisasi belanja yang dapat diakui sebagai

aset khususnya aset gedung dan bangunan sehingga nilai aset

cxxi

khususnya aset gedung dan bangunan yang disajikan dapat

merefleksikan nilai yang sesungguhnya.

2. Pemerintah Daerah agar membuat dan menyempurnakan

Kebijakan Akuntansi Pemerintah Daerah dengan berpedoman

pada Standar Akuntansi Pemerintahan (PP 24/2005) sehingga

dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam penyusunan LKD

khususnya dalam penyajian nilai aset yang selama ini masih

menjadi permasalahan yang belum terselesaikan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, S dan A, Halim. 2006. Studi Atas Belanja Modal Pada Anggaran

Pemerintah Daerah Dalam Hubungannya Dengan Belanja Pemeliharaan Dan Sumber Pendapatan. Jurnal Akuntansi Pemerintahan. KSAP. Jakarta.

Bastian, I. 2006. Audit Sektor Publik. Salemba 4. Jakarta. -----------. 2001. Sistem Akuntansi Sektor Publik. Salemba 4. Jakarta. Buletin Teknis Standar Akuntansi Pemerintahan Nomor 4 Tahun 2006

tentang Penyajian dan Pengungkapan Belanja Pemerintah. Bogdan, R. and Taylor, JS. 1992. Introduction to Qualitative Research

Method. Alih bahasa Arief Furchan. Edisi I. Usaha Nasional. Surabaya.

Dewi, A. 2006. Kajian Penerapan Akuntansi Biaya Pada Anggaran Belanja Daerah Kota Singkawang. Skripsi. Universitas

Islam Indonesia. Yogyakarta.

Duffi, WJ. 2002. Capitalized Assets, Accounting Practices, and AORN- Treasurer's Report. Article. Available at: http://www.findaticle.com. Date download 27/8/2009.

Edu Bernard Enya, Ontonkue Agba DO, dan Duke Orok Ekpo Orok. 2009. Capitalization of Interest Cost. Article. Social Science Research Network.

Hernawo, T. 2007. Teknologi Pendidikan. Universitas Negeri Jakarta. Jakarta.

cxxii

Hung. Jung-Hua. Liu and Yong-Chin. 2005. An Empirical Comparison of the Capitalized Cost and Equivalent Annual Cost Methods for Evaluating Mutually Exclusive Projects. Article. Social Science Research Network.

Husaini dan Purnomo. 1995. Metodologi Penelitian Sosial. Bumi Aksara.

Bandung. Ikatan Akuntansi Indonesia. 2002. Standar Akuntansi Keuangan. Salemba

4. Jakarta. Keputusan Menteri Keuangan RI No. 01/KM.12/2001 tentang Pedoman

Kapitalisasi Barang Milik/Kekayaan Negara. Kompas. Edisi 8/6/2004. BPK: Ada Aset Negara yang Dinilai Rp. 1,-. Moduls Accounting. 2005. Accounting CFB Capitalized Assets. Wichita

Falls Public Schools Administrative Regulation USA. Available at: www. Wichitafallspublicschools.com. Date download 27/8/2009.

Pelita. Edisi 4/5/2007. BPK Temukan Rp. l7 Triliun di Daerah Rawan Korupsi. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman

Pengelolaan Keuangan Daerah. Peraturan Bupati Sragen Nomor 14 Tahun 2006 tentang Kebijakan

Akuntansi Keuangan Pemerintahan Kabupaten Sragen. Peraturan Pemerintah RI No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.

Saiful. 2007. Pengertian Dan Perlakuan Akuntansi Belanja Barang & Belanja Modal Dalam Kaidah Akuntansi Pemerintahan. STIE-YKPN. Yogyakarta.

Sekaran, U. 2003. Research Methods for Business: A Skill Building Approach 4th.ed, Terjemahan. Salemba Empat. Jakarta.

Sekretariat Negara Republik Indonesia. Sragen Terima Penghargaan Kabupaten Terbaik. Available at: http://www.jawatengah.go.id. Date download 7/2/2009.

Subronto. 2009. Evaluasi Penyajian Aset Tanah Dalam Neraca Daerah Studi Di Kabupaten Sragen. Tesis. Tidak dipublikasikan. Magister Akuntansi UNS. Surakarta.

Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri No. 900/743/BAKD tentang Akuntansi Di Satuan Kerja.

cxxiii

Sutopo, HB. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif: Dasar Teori & Penerapannya dalam Penelitian. Edisi 2. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Team PDE Sragen. 2007. Penghargaan yang Diperoleh Pemerintah Kabupaten Sragen. Available at: http://www.sragen.go.id. Date download 7/2/2009.

Undang-undang RI No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

--------------------- No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

--------------------- No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintah Daerah.

Wirjolukito, A. 2000. Evaluasi Perlakuan Akuntansi Kapitalisasi Atas Biaya

Bunga Pinjaman (PSAK no. 26) Ditinjau Melalui Pendekatan Sejarah Dan Konseptual Serta Dampaknya Terhadap Sektor Properti Di Indonesia. Tesis. Universitas Indonesia. Jakarta.