Etika Senior Makalah - Skenario 12
-
Upload
anonymous-pkzplh -
Category
Documents
-
view
37 -
download
14
description
Transcript of Etika Senior Makalah - Skenario 12
MAKALAH ETIKA dan HUKUM KEDOKTERAN GIGI
MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
KESEHATAN
Diajukan sebagai tugas mata kuliah ETIKA dan HUKUM KEDOKTERAN GIGI
(KGM 4709)
Disusun Oleh :
KELOMPOK 12
KELAS GANJIL
Dewi Sartika 09/288958/KG/8569
Santika Devi Arimbi 09/288892/KG/8567
Anggota:
Tresy Charlotte Simorangkir 09/288772/KG/8559
Nathania Pramudita 09/288820/KG/8561
Auliya Ludfi Fauziyah 09/288873/KG/8565
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2012
ABSTRACT
Sengketa atau konflik sengketa merupakan suatu hal yang sudah menjadi bagian dari
kehidupan manusia. Sengketa medis merupakan sengketa antara dokter dan pasien. Sengketa
yang timbul dalam kehidupan manusia ini perlu untuk diselesaikan. Salah satu bentuk upaya
penyelesaian sengketa adalah melalui mediasi yang merupakan bagian dari proses alternatif
penyelesaian sengketa. Mediasi memiliki keuntungan menghasilkan kesepakatan,
membiarkan para pihak untuk mampu secara bebas menentukan kesepakatan dan tetap
terjaganya hubungan baik antar pihak yang bersengketa.
PENDAHULUAN
Dewasa ini banyak terjadi mengenai tuduhan dokter gigi melakukan malapraktek.
Tuduhan kesalahan tindakan medis ini sering dijumpai melalui surat pembaca di sebuah surat
kabar. Alasan pasien yang dikemukakan terhadap tuduhan tersebut, antara lain hasil tindakan
medis tidak memenuhi harapan, pelayanan yang tidak memuaskan, tidak mendapatkan
informasi yang jelas tentang langkah-langkah tindakan medis yang akan dilakukan, biaya
yang terlalu mahal, dll (Hariadi, 2000). Tindakan medis adalah upaya yang dilakukan dengan
menggunakan peralatan kedokteran dan kedokteran gigi berdasarkan kaidah-kaidah
pelayanan kedokteran dan kedokteran gigi yang telah teruji (KKI, 2007). Dari segi hukum
yang berkaitan dengan tindakan medis, ada tiga hal yang harus dipenuhi dalam melaksanakan
tindakan medis hingga dianggap sah menurut hukum, yaitu ada tujuan, siapa pelakunya dan
syarat legalnya. Tujuan utamanya untuk menegakkan diagnosis dan melakukan rencana
terapi. Pelaku tindakan medis yang diperbolehkan adalah dokter gigi yang berkompeten dan
sah menurut hukum. Adapun syarat legalnya tindakan medis ini, yaitu adanya izin dari pihak
pasien, alasan dilakukannya tindakan medis dan cara baku melakukan-nya atau standar
profesi (Danny, 2009).
TINJAUAN PUSTAKA
Praktik kedokteran diselenggarakan berdasarkan kesepakatan antara dokter/dokter
gigi dengan pasien dalam upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit,
peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan. Terma ’berdasarkan
kesepakatan’ menunjukkan bahwa hubungan hukum antara dokter/dokter gigi dengan pasien
tidak ditekankan pada hasil (resultaat verbintenis) melainkan pada upaya yang harus
dilakukan. Meskipun demikian, tersirat batasan bahwa ’upaya yang harus dilakukan adalah
upaya yang sesuai dengan standar yang berlaku’. Sengketa medis merupakan perbuatan atau
tindakan medis yang dilakukan oleh para dokter yang tidak sesuai dengan profesionalisme
atau standar profesi kedokteran. Lebih dikenal atau digunakan secara luas di Indonesia
dengan sebutan Malpracticemedic (malpraktik). Malpraktek adalah suatu istilah yang
mempunyai konotasi buruk, stigmatis. Belakangan malpraktek selalu diasosiasikan
dengan profesi kedokteran, padahal secara umum praktek malpraktek adalah suatu
praktek yang buruk dari seseorang yang memegang suatu profesi. Pada dasarnya kesalahan
dokter timbul sebagai akibat terjadinya tindakan yang tidak sesuai atau tidak memenuhi
prosedur medis yang seharusnya dilakukan. Kesalahan ataupun kelalaian dapat terjadi karena
faktor kesengajaan dari seorang dokter itu sendiri. Dalam suatu kesalahan atau kelalaian
menurut C. Berkhouver dan L. D. Vorstman dalam melakukan profesi bisa terjadi karena ada
tiga faktor, yaitu kurangnya pengetahuan, kurangnya pengalaman, dan kurangnya pengertian.
Menurut Danny, bahwa ada 3 aspek hukum dalam hal malpraktik sebagai berikut:
1. Penyimpangan dari standar medis
2. Kesalahan yang dilakukan dokter, baik berupa kesengajaan maupun kelalaian
3. Akibat yang terjadi disebabkan oleh tindakan medis yang menimbulkan kerugian baik
materiil maupun non materiil atau fisik atau mental. (Danny, 1996)
Sedangkan Jusuf menyebutkan bahwa dokter dikatakan melakukan malpraktek jika:
1. Dokter kurang menguasai IPTEK kedokteran yang sudah berlaku umum di kalangan
profesi kedokteran.
2. Memberikan pelayanan kedokteran di bawah standar profesi
3. Melakukan kelalaian yang berat atau memberikan pelayanan dengan tidak hati- hati.
4. Melakukan tindakan medic yang bertentangan dengan hukum. (Hanafiah, 2009)
Terjadinya malpraktik yang dilakukan oleh dokter jika terdapat unsur sebagai berikut:
1. Adanya unsur kelalaian/kesalahan dokter dalam menjalankan profesinya.
2. Adanya wujud perbuatan tertentu (mengobati pasien)
3. Adanya akibat luka berat atau matinya orang lain, yaitu pasien
4. Adanya hubungan kausal bahwa luka berta atau kematian tersebut merupakan akibat dari
perbuatan dokter yang mengobati pasien dengan tidak sesuai standar pelayanan medik.
Dalam proses penyelesaian sengketa dapat digunakan dua jalur yaitu litigasi
(pengadilan) dan non litigasi (non pengadilan). (Afandi, 2009)
a. Jalur Litigasi
Litigasi adalah proses dimana seorang individu atau badan membawa sengketa, kasus ke
pengadilan atau pengaduan dan penyelesaian tuntutan atau penggantian atas kerusakan.
Proses pengadilan juga dikenal sebagai tuntutan hokum dan istilah biasanya mengacu
pada persidangan pengadilan sipil. Mereka digunakan terutama ketika sengketa atau
keluhan tidak bisa diselesaikan dengan cara lain.
b. Jalur Non Pengadilan (Non-Litigasi)
1) Negosiasi/Perundingan (Negotiation)
Seorang Advokat, dalam memberikan jasa hukum kepada klient di luar
persidangan, terlebih dahulu membuat surat somasi kepada pihak lawan untuk
negosiasi guna mencari penyelesaian. Negosiasi ini merupakan tahap tawar-menawar
antara pihak-pihak yang bersengketa, dimana pihak yang satu dalam hal ini advokat
berhadapan dengan pihak kedua dan berusaha untuk mencapai titik kesepakatan
tentang persoalan tertentu yang dipersengketakan. Misalnya Negosiasi tentang ingkar
janji.
2) Mediasi/Penengahan (Mediator)
Definisi yang diberikan oleh the National Alternative Dispute Resolution
Advisory Council yang mendefinisikan mediasi sebagai berikut: Mediation is a
process in which the parties to a dispute, with the assistance of a dispute resolution
practitioner (the mediator), identify the disputed issues, develop options, consider
alternatives and endeavour to reach an agreement. The mediator has no advisory or
determinative role in regard to the content of the dispute or the outcome of its
resolution, but may advise on or determine the process of mediation whereby
resolution is attempted. (David Spencer, Michael Brogan, 2006:9) (Mediasi
merupakan sebuah proses dimana pihak-pihak yang bertikai, dengan bantuan dari
seorang praktisi resolusi pertikaian (mediator) mengidentifikasi isu-isu yang
dipersengketakan, mengembangkan opsi-opsi, mempertimbangkan alternatif-alternatif
dan upaya untuk mencapai sebuah kesepakatan. Dalam hal ini sang mediator tidak
memiliki peran menentukan dalam kaitannya dengan isi/materi persengketaan atau
hasil dari resolusi persengketaan tersebut, tetapi ia (mediator) dapat memberi saran
atau menentukan sebuah proses mediasi untuk mengupayakan sebuah
resolusi/penyelesaian).
Tugas-tugas mediator menurut pasal 15 Peraturan Mahkamah Agung
Republik Indonesia No.01 Tahun 2008 adalah sebagai berikut :
− Mediator wajib mempersiapkan usulan jadwal pertemuan mediasi kepada para
pihak untuk dibahas dan disepakati.
− Mediator wajib mendorong para pihak untuk secara langsung berperan dalam
proses mediasi.
− Apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus.
− Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali
kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi
para pihak.
Dalam proses mediasi yang digunakan adalah nilai-nilai yang hidup pada para
pihak itu sendiri yang terdiri dari Hukum, Agama, Moral, etika dan rasa adil terhadap
fakta-fakta yang diperoleh untuk mencapai kesepakatan. kedudukan mediator dalam
mediasi hanya sebagai pembantu para pihak untuk mencapai konsensus, karena pada
prinsipnya para pihak itu sendirilah yang menentukan putusan, bukan mediator. Jika
mediasi berhasil menyelesaikan sengketa diluar pengadilan dengan kesepakatan
perdamaian, maka dapat mengajukan perdamaian tersebut ke pengadilan yang berwenang,
dalam hal ini pengadilan negeri, untuk memperoleh akta perdamaian dengan cara
mengajukan gugatan tersebut harus melampirkan kesepakatan perdamaian dan dokumen
yang membuktikan adanya hubungan hukum antara pihak dengan objek sengketa.
Berdasarkan ketentuan diatas, maka menurut Pasal 23 ayat 3 Peraturan
Mahkamah Agung republik Indonesia (2008) menyebutkan bahwa Hakim dihadapan
para pihak hanya akan menguatkan kesepakatan perdamaian dalam bentuk akta
perdamaian. Apabila kesepakatan perdamaian tersebut memenuhui syarat sebagai berikut:
sesuai kehendak para pihak, tidak bertentangan dengan hukum, tidak merugikan pihak
ketiga, dapat dieksekusi, dan dengan Etikad baik.
Apabila Advokat selaku Mediator tidak berhasil mendamaikan para pihak yang
bersengketa selama waktu empat puluh hari kerja sebagaimana dimaksud Pasal 13 ayat 3
Peraturan Mahkamah Agung No.01 Tahun 2008 tentang prosedur Mediasi di Pengadilan,
maka mediator itu wajib menyatakan secara tertulis bahwa proses mediasi telah gagal dan
memberitahukan kegagalan kepada Hakim. Selanjutnya Advokat menyerahkan kepada
pengadilan negeri untuk selanjutnya diperiksa oleh hakim perkara tersebut sesuai dengan
ketentuan hukum acara yang berlaku.
3) Arbitrase (Arbitration)
Arbitrase merupakan sistem ADR (Alternative Dispute Resolution) yang paling
formal sifatnya. Lembaga arbitrase tidak lain merupakan suatu jalur musyawarah yang
melibatkan pihak ketiga sebagai wasitnya. jadi, didalam proses arbitrase para pihak
yang bersengketa menyerahkan penyelesaian sengketanya kepada pihak ketiga yang
bukan hakim, melalui advokat dengan sistem penyelesaian sengketa arbitrase
walaupun dalam pelaksanaan putusannya harus dengan bantuan hakim. Perlu diketahui
bahwa sengketa yang dapat diselesaikan melalui jalur arbitrase yaitu sengketa dalam
dunia bisnis saja. seperti masalah perdagangan, perindustrian dan keuangan. sengketa
perdata lainnya seperti masalah warisan, pengangkatan anak, perumahan, perburuhan
dan lain-lainnya, tidak dapat diselesaikan oleh lembaga arbitrase.
Profesi kedokteran merupakan profesi tertua di dunia. Profesi kedokteran juga
merupakan profesi pertama yang bersumpah untuk mengabdikan dirinya bagi kemanusiaan.
Hubungan dokter pasien pada dasarnya dilandasi kepercayaan. Hubungan hukum antara
dokter gigi dan pasiennya yang terjadi dalam pelayanan bidang kedokteran gigi, disebabkan
adanya persetujuan atau kesepakatan. Dalam persetujuan atau kesepakatan ini terjadi
“perjanjian” karena antara kedua belah pihak saling berjanji melakukan sesuatu, yaitu
pengobatan atau perawatan gigi dan mulut. Akibat dari perjanjian ini timbul “perikatan”
antara dokter gigi dan pasien (Guwandi, 2007; Anna, 2000; IDI, 1994; Guwandi, 2009).
Hubungan dokter dan pasien mempunyai peranan penting, karena saling berjanji untuk
mengikatkan diri dalam melaksanakan pengobatan bagi pasien sehingga terbentuklah suatu
perikatan. Dalam hal ini dokter gigi dan pasien sudah dianggap sepakat melakukan perikatan,
apabila dokter gigi telah mulai melakukan anamnesis dan menentukan rencana perawatan
terhadap pasienya (Guwadi, 2007 dan Amri amir, 1997).
Dokter gigi dan pasiennya yang melakukan perikatan tindakan medis dikenal dengan
“perjanjian terapetik” Sifat perjanjian terapetik adalah suatu perjanjian berusaha melakukan
perbuatan sebaik mungkin dan tidak menjamin hasilnya (Guwandi, 2007; Anna, 2000; IDI,
1994; Guwandi, 2009). Meskipun demikian menurut Leenen suatu tindakan medis harus
memenuhi syarat: 1) harus ada indikasi medis, 2) dilakukan berdasarkan standar profesi, 3)
dilakukan dengan teliti dan hati-hati, 4) harus ada informed consent. Sebaliknya bilamana
perikatan ini akan dibatalkan, tidak bisa begitu saja dilakukan oleh satu pihak. Untuk itu
harus ada persetujuan atau kesepakatan kedua belah pihak, yang telah diatur dalam pasal
1338 KUHPerdata (Anna, 2000 dan Amri amir, 1997).
Penyelesaian masalah tuntutan perkara hukum dapat ditempuh melalui 3 cara, yaitu
secara kekeluargaan, jalur hukum, dan MKDKI (Nusye, 2009 dan Anna, 2000).
1). Penyelesaian secara kekeluargaan
Salah satu cara penyelesaian sengketa medis melalui Alternative Dispute Resolution (ADR)
atau penyelesaian melalui mediasi. Penyelesaian ini dapat dilaksanakan oleh pihak ke tiga
baik diluar sistem peradilan maupun di dalam sistem peradilan. Berdasarkan PERMA No. 1
tahun 2008, Mahkamah Agung mendorong mediasi di Pengadilan menjadi kewajiban bagi
para pihak sebelum pemeriksaan sengketa medis dimulai, hal ini untuk mengurangi
penumpukan perkara di pengadilan. Mediasi dapat menyelesaikan masalah dengan cepat,
efektif dan efesien (Anna, 2000 dan Safitri, 2009). Penyelesaian secara mediasi ini dapat
dilakukan oleh BPPA, sebagai usaha melakukan pembelaan terhadap anggota PDGI.
2). Penyelesaian di tangan penyidik
Masyarakat perlu diberi informasi tentang duduk persoalannya tentang pengaduan sengketa
di bidang medis (Guwadi, 2009). Perkara yang ditangani oleh penyidik berkaitan dengan
kelalaian berat dan bersifat kriminal atau ada kesengajaan yang dilakukan oleh dokter gigi
dalam pelayanan kesehatan. Untuk membuktikan adanya kelalaian ada 4 alat bukti yang
harus diperhatikan (Anna, 2000): a) Apakah tindakan medis tersebut sudah sesuai dengan
standar profesi, b) Bagaimana data medis yang tertuang dalam rekam medik pasien tersebut,
c) Apabila telah dibuat visum et repertum, d) Bagaimana pendapat ahli yang mempunyai
keahlian dalam bidang tersebut dengan masalah yang terjadi Pihak penyidik akan
mengeluarkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) dan masalah dianggap selesai
apabila masalah tersebut telah ditangani oleh penyidik dan ternyata tidak ada bukti kuat
adanya kelalaian.
3). Penyelesaian melalui peradilan
Penasehat hukum yang paham dengan hukum kesehatan diperlukan bilamana masalah
sengketa medis menjadi perkara hukum sampai di sidang pengadilan. Disamping itu
diperlukan juga saksi ahli dan saksi a de charge (yang meringankan) agar tercapai keputusan
yang seadil-adilnya (Anna, 2000).
4). Penyelesaian melalui MKDKI
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), majelis ini merupakan
lembaga otonom KKI yang keberadaannya berdasarkan pasal 1 (14) UU No. 29 tahun 2004
Tentang Praktik Praktek Kedokteran. Tugas MKDKI adalah menegakkan aturan-aturan dan
ketentuan penerapan keilmuan kedokteran dalam pelaksanaan pelayanan medis yang
seharusnya diikuti oleh dokter dan dokter gigi Oleh karena itu MKDKI merupakan badan
yang ditunjuk oleh KKI untuk menangani kasus-kasus dugaan pelanggaran disiplin
kedokteran atau kedokteran gigi dan menetapkan sangsi (KKI, 2007; Guwandi, 2009; Amri
amir, 1997; Nusye, 2009). Dengan demikian MKDKI merupakan lembaga peradilan profesi
yang independent bagi tenaga kesehatan yang berdiri berdasarkan undang-undang, yang
bertugas menerima pengaduan, memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara yng
berkaitan dengan perkara medis (Nusye, 2009). Pelanggaran disiplin adalah pelanggaran
terhadap aturan-aturan atau ketentuan penerapan keilmuan, yang pada hakekatnya dapat
dikelompokkan dalam 3 hal, yaitu: 1) Melaksanakan praktik kedokteran yang tidak
kompeten, 2) Tugas dan tanggung jawab professional pada pasien tidak dilaksanakan dengan
baik, 3) Berperilaku tercela yang merusak martabat dan kehormatan profesi kedokteran.
MKDKI dalam menangani perkara dugaan pelanggaran disiplin kedokteran dan kedokteran
gigi berdasarkan Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia No.17/KKI/KEP/VIII/2006
Tentang Penegakan Disiplin Profesi Kedokteran. Ketentuan pelanggaran disiplin, dapat
dilihat dalam buku tentang penyelenggaraan praktik kedokteran yang baik di Indonesia yang
diterbitkan berdasarkan Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia No.18/KKI/KEP/IX/2006.2
KASUS
Pasien C, pada akhir April - Desember 2011 berobat ke praktik drg J di Medan karena
disarankan salah seorang kerabat tatkala drg pribadinya bernama E yang sedang berada di
luar negeri. "Gigi kiri atas saya sakit karena tergigit batu. Namun setelah 2 hari berobat ke
drg Jeremia, gigi saya tetap sakit. Bahkan analisa medis drg J, saya bisa terkena kanker
sehingga gigi saya semua harus diperiksa," katanya, seraya menambahkan kalau 19 giginya
telah di jaket atas inisiatif drg Jeremia. Selama perawatan gigi pasien, dilakukan pembuatan 7
crown gigi palsu, pencabutan, pembersihan karang gigi dan perawatan syaraf gigi sampai
November 2011. Awal Desember 2011 pasien tidak pernah datang lagi sementara komunikasi
terputus. Pada awal tahun 2012, setelah perawatan yang memakan biaya sekitar 10 juta,
pasien C merasakan sakit gigi kembali. Selama perawatan drg J tidak pernah menjelaskan
adanya komplikasi paska perawatan gigi yang menggunakan jaket, sehingga pasien C
menganggap bahwa perawatan itu adalah perawatan yang paling baik. Namun,pasien justru
mengalami sakit yang lebih parah dari yang terdahulu (sebelum dilakukan perawatan).
Pasien merasa tidak puas dengan perawatan yang dilakukan drg J, dan melanjutkan sengketa
tersebut ke meja hijau. Merasa tidak mendapat penjelasan yang baik, pasien menuntut drg J
ke Pengadilan Negeri Medan atas dugaan malpraktik. Pihak pengadilan menawarkan
dilakukan mediasi terlebih dahulu sebelum kasus tersebut dilanjutkan. Akhirnya, kasus terjadi
diantara drg J dan pasien C dapat diselesaikan melalui mediasi di pengadilan.
PEMBAHASAN
Menurut kami dokter J sama sekali tidak menerapkan prinsip etika dalam
menjalankan praktek dokternya. Pasalnya dokter tidak memenuhi kewajibannya sebagai
seorang dokter untuk memberikan perlindungan kepada pasiennya, dengan tidak memberikan
informasi yang dibutuhkan pasien secara lengkap yang dapat menimbulkan kerugian pada
diri pasien. Dengan tidak memenuhi kewajibannya maka dokter bisa dikatakan juga tidak
memberikan hak yang seharusnya didapatkan oleh pasien. Pada dasarnya yang mendasari
timbulnya permasalahan di antara kedua belah pihak adalah kurangnya komunikasi antara
dokter gigi dan pasien. Bila dokter lalai dalam memberikan informasi (informed consent)
kepada pasien secara jelas, pasien berhak melakukan tuntutan kepada dokter karena pada
prinsipnya informed consent atau lembar persetujuan untuk tindakan medis adalah kewajiban
yang harus diberikan oleh dokter kepada pasien yang akan dirawatnya, dan hal tersebut juga
merupakan hak pasien di mana pasien berhak mendapatkan informed consent dari dokter.
Informed consent bukan hanya berisi mengenai perawatan yang akan dilakukan dokter
kepada pasiennya, informed consent juga berisi resiko atau komplikasi atas perawatan yang
akan dilakukan oleh dokter kepada pasiennya sehingga pasien mendapatkan info sejelas-
jelasnya dari dokter mengenai perawatan yang akan dilakukan. Setelah pasien mengerti
dengan jelas mengenai informed consent pasien berhak untuk menyetujui atau menolak
informed consent. Bila pasien menyetujuinya pasien akan diminta untuk menandatangani
informed consent tersebut dan tidak menyetujuinya secara lisan melainkan tertulis, sebagai
bukti yang dimiliki oleh dokter bahwa pasien sudah benar-benar mempertimbangkan segala
hal mengenai perawatan yang akan didapatkan oleh pasien.
Jika terjadi sengketa antara pihak pemberi dan penerima jasa pelayanan
kesehatan, terdapat dua cara yaitu melalui jalur non peradilan (non litigasi) yang biasanya
berupa mediasi, atau melalui jalur peradilan (litigasi). Salah satu bentuk upaya penyelesaian
sengketa adalah melalui mediasi yang merupakan proses alternative penyelesaian sengketa.
Mediasi memiliki keuntungan menghasilkan kesepakatan win-win solution, membiarkan para
pihak untuk mampu secara bebas menentukan kesepakatan dan tetap terjaganya hubungan
baik antar pihak yang bersengketa perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak
dengan dibantu oleh mediator. mediasi itu sendiri dapat dilakukan melalui jalur peradilan
maupun non peradilan dengan menggunakan mediator. Secara garis besar, tahapan mediasi
sebagai berikut (Boulle, 1996) :
1. Menjalin hubungan dengan para pihak yang bersengketa
2. Memilih strategi untuk membimbing proses mediasi
3. Mengumpulkan dan menganalisis informasi latar belakang sengketa
4. Menyusun rencana mediasi
5. Membangun kepercayaan dan kerja sama di antara para pihak
6. Memulai proses mediasi
7. Merumuskan masalah dan menyusun agenda
8. Mengungkapkan kepentingan tersembunyi
9. Mengembangkan pilihan penyelesaian sengketa
10. Menganalisis pilihan penyelesaian sengketa
11. Proses tawar-menawar akhir
12. Mencapai kesepakatan
Bila proses mediasi gagal, maka penyelesaian sengketa akan dilanjutkan melalui
proses persidangan di pengadilan (litigasi). Penyelesaian masalah tuntutan perkara hukum
dapat ditempuh melalui 3 cara, yaitu secara kekeluargaan, jalur hukum, dan MKDKI.
Berdasarkan PERMA No. 1 tahun 2008, Mahkamah Agung mendorong mediasi di
Pengadilan menjadi kewajiban bagi para pihak sebelum pemeriksaan sengketa medis dimulai,
hal ini untuk mengurangi penumpukan perkara di pengadilan. Mediasi dapat menyelesaikan
masalah dengan cepat, efektif dan efesien. Penyelesaian secara mediasi ini dapat dilakukan
oleh BPPA, sebagai usaha melakukan pembelaan terhadap anggota PDGI
KESIMPULAN
Mediasi merupakan upaya utama dalam penyelesaian kasus
sengketa medis. Dengan proses mediasi diharapkan hubungan dokter
pasien tetap terjaga dan mencapai kesepakatan perdamaian.
DAFTAR PUSTAKA
Afandi, D. 2009. Mediasi: Alternatif Penyeleesaian Sengketa Medis. Maj Kedokt Indonesia, Volum: 59.
Amri Amir. 1997. Bunga Rampai Hukum Kesehatan. Widya Medika. Jakarta. p. 13-15.
Anna HA. Masalah Etik dan Hukum Kedokteran di Rumah Sakit. Sarasehan Penanganan Terpadu Masalah Etik dan Hukum Kedokteran. 50 tahun IDI. Surabaya. 23 September 2000.
Boulle L. 1996. Mediation: Principles Process Practice. Australia: Butterworth.
Danny, W. 1996. Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran.Jakarta: Binarupa aksara
Danny, W. Etika, Hukum Kesehatan dan Profesi. Kajian Etis dan Hukum atas Tindakan Medis. Buku Abstrak Konggres Nasional I Hukum Kesehatan. Jakarta. 26-29 Mei 2009. p.16.
David Spencer dan Michael Brogan. 2006. Mediation Law and Practice. Cambridge: Cambridge University Press
Guwandi J. 2009.Pengantar Ilmu Hukum Medik dan Bioetika. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. p. 47-52.
Guwandi J. 2009. Informed Concent & Informed Refusal. 4th edition. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. p 1 – 30.
Hanafiah, M. Yusuf. 1999. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta: Buku Kedokteran EGC
Hanafiah, M. Yusuf. 2009. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan.Edisi 4. Jakarta: EGC
Hariadi H.R. Sorotan Masyarakat Terhadap Profesi Kedokteran. Saresehan Penanganan Terpadu Masalah Etik dan Hukum Kedokteran. 50 tahun IDI. Surabaya. 23 September 2000.
IDI. 1994. Panduan Aspek Hukum Praktek Swasta Dokter. PB IDI. Jakarta. p.15 – 45.KKI. 2007. Penyelenggaraan Praktik Kedokteran Yang Baik di Indonesia. KKI. Jakarta.
p.33-34.
Nusye K Jayanti. 2009. Penyelesaian Hukum dalam Malpraktik. Pustaka Yustisia. Yogyakarta. p 118 – 129.
Pasal 13 ayat 3 dan ayat 4 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.01 Tahun 2008
PB PDGI. 2008. Anggaran Dasar Rumah Tangga. Konggres PDGI XXIII. Surabaya.
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.01 Tahun 2008 tentang prosedur Mediasi di Pengadilan, Jakarta : Mahkamah Agung RI, 2008.
Richard, BS. 2003. Aspek Hukum dalam Bisnis. Jakarta: Bina Cipta. hlm 42
Safitri HS, Penyelesaian Sengketa Medik Melalui Mediasi. Buku Abstrak Konggres Nasional I Hukum Kesehatan. Jakarta. 26 -29 Mei 2009. hal 66.