Etika Di Kendaraan Umum

5
ETIKA DI KENDARAAN UMUM Waktu kerja di kota, kalo pulang kerja, saya selalu always naik busway dari Kota ke Blok M. Karena naik di halte pertama, bisa dipastikan dapat tempat duduk. Saya mendapat kursi bukan dengan cara yang mudah tetapi dengan rebutan seperti rebutan sembako. Benar-benar tidak tertib, tidak antri. Ah, entahlah saya tidak mempunyai power untuk mengatur orang untuk antri dan tertib, saya hanya ikut dalam sistem tersebut (philosofi ngawur) Kursi yang di incar adalah pojok paling belakang. Kursinya agak tinggi, kurang nyaman memang, tetapi paling aman dari lalu lalang orang yang keluar masuk busway. Setelah duduk di kursi tersebut, dalam hitungan menit jiwa saya sudah migrasi ke dunia bawah sadar (lebay). Pada suatu hari, seperti biasanya, saya berhasil duduk di pojok belakang. Semua kursi telah terisi penuh. Kondisi aman-aman saja, jelas sekali semua orang, sepertinya sudah siap untuk tidur. Ketika di halte berikutnya, halte Glodok, naiklah seorang ibu paruh baya menggendong anaknya yang masih bayi dengan membawa banyak barang belanjaan. Melihat ibu dan bayinya, beberapa orang langsung tertidur atau pura-pura tidur, beberapa terlihat bersimpati namun dengan gerakan cepat kembali membaca koran seolah-olah tidak mengetahui Keberadaan ibu dan anaknya ini. Saya juga seperti orang lainnya dibusway melihat sejenak, rasa iba kemudian berharap terlihat tidak tahu dan tidur. Sebelum tidur, saya berharap orang di depan si ibu memberikan tempat duduknya. Ternyata tidak, ia malah tertidur, mmm…, mungkin ia kecapaian bekerja sehari penuh jadi sudah selayaknya ia menikmati hidup dengan tidur di busway yang nyaman dan damai.

description

khlkh

Transcript of Etika Di Kendaraan Umum

Page 1: Etika Di Kendaraan Umum

ETIKA DI KENDARAAN UMUM

Waktu kerja di kota, kalo pulang kerja, saya selalu always naik busway dari Kota ke Blok M. Karena naik di halte pertama, bisa dipastikan dapat tempat duduk. Saya mendapat kursi bukan dengan cara yang mudah tetapi dengan rebutan seperti rebutan sembako. Benar-benar tidak tertib, tidak antri. Ah, entahlah saya tidak mempunyai power untuk mengatur orang untuk antri dan tertib, saya hanya ikut dalam sistem tersebut (philosofi ngawur) Kursi yang di incar adalah pojok paling belakang. Kursinya agak tinggi, kurang nyaman memang, tetapi paling aman dari lalu lalang orang yang keluar masuk busway. Setelah duduk di kursi tersebut, dalam hitungan menit jiwa saya sudah migrasi ke dunia bawah sadar (lebay).

Pada suatu hari, seperti biasanya, saya berhasil duduk di pojok belakang. Semua kursi telah terisi penuh. Kondisi aman-aman saja, jelas sekali semua orang, sepertinya sudah siap untuk tidur. Ketika di halte berikutnya, halte Glodok, naiklah seorang ibu paruh baya menggendong anaknya yang masih bayi dengan membawa banyak barang belanjaan.

Melihat ibu dan bayinya, beberapa orang langsung tertidur atau pura-pura tidur, beberapa terlihat bersimpati namun dengan gerakan cepat kembali membaca koran seolah-olah tidak mengetahui Keberadaan ibu dan anaknya ini.

Saya juga seperti orang lainnya dibusway melihat sejenak, rasa iba kemudian berharap terlihat tidak tahu dan tidur. Sebelum tidur, saya berharap orang di depan si ibu memberikan tempat duduknya. Ternyata tidak, ia malah tertidur, mmm…, mungkin ia kecapaian bekerja sehari penuh jadi sudah selayaknya ia menikmati hidup dengan tidur di busway yang nyaman dan damai.

Ok lah kalo begitu, mungkin pemuda disampingnya mau mempersilahkan duduk kepada ibu dan bayinya. Oow…pemuda ini malah membaca bukunya menjadi lebih khusyu. Positive thingking saja, mungkin besok, akan ujian. Siapa yang bertanggung jawab jika ia tidak lulus. Pemuda ini tentu saja harus menentukan nasib sendiri dan membaca buku tersebut merupakan bukti bahwa ia bertanggung jawab atas masa depannya.

Saya masih belum tertidur, meski dalam kondisi antara tidur dan sadar sambil terus mengamati, mudah2an ada orang yang mempersilahkan untuk memberi tempat duduk bagi ibu dan bayinya yang memang jelas terlihat kelelahan. Orang didepan ibu ini malah tertidur, disampingnya malah larut membaca buku, disampingnya juga tertidur, sampingnya lagi malah memejamkan mata.

Akhirnya…dor…disampingnya-sampingnya orang-orang tersebut adalah saya, fikiran orang pun mungkin sama dengan saya, berharap ada orang yang rela berdiri dan mempersilahkan ibu ini

Page 2: Etika Di Kendaraan Umum

untuk duduk, padahal ia sendiri tidak mau. Egois, mau enak sendiri. Manusiawi sih tapi ter.. la…lu…

Sekonyong-konyong (bahasa aneh) saya berdiri beberapa langkah ke depan-karena saya duduk paling belakang, menghampiri ibu ini dan mempersilahkan ibu ini untuk duduk ke kursi yang tadi saya duduki. Ibu ini terlihat sumringah dan dengan tergopoh-gopoh mengucapkan terima kasih lalu beranjak ke kursi sambil membawa bayi dengan muka senang, riang, masa depan kan datang (lagu Sherina).

Alhamdulillah, saya bisa mengalahkan napsu egois saya, berhasil mengusir rasa ngantuk demi orang yang lebih memerlukan daripada saya yang masih muda, baik hati dan tidak sombong (narsis, mau muntah). Akhirnya kursi yang telah diperoleh dengan susah payah tersebut diberikan ke ibu ini. Saya berdiri dengan mata terkantuk dan dengan berharap ada orang yang turun dihalte berikutnya sehingga saya bisa kembali tidur. Boro2 ada yang turun, busway malah semakin sesak.

Ya..sudahlah, mungkin saya harus berdiri dengan diliputi rasa kesal, kenapa orang2 ini tidak mau mengalah untuk berbagi kursi, bukankah mereka lebih dekat dengan ibu ini sehingga memaksa saya dengan letak paling jauh untuk berbagi (oh…Tuhan, ternyata ikhlas itu tidak mudah). Negative thinking dan tanduk muncul di kepala (kembali lebay) dengan mencap orang2 ini merupakan orang yang tidak mempunyai etika ketika duduk di kendaraan umum (sotoy).

Akhirnya…., sampailah busway di blok M. Perjalanan dilanjutkan dengan naik bus metromini no 72 jurusan Lebak Bulus. Huah…., saya harus tidur nih.

Ketika naik bus 72, saya cari posisi aman, dekat jendela. Ok, posisi badan sudah PW, fikiran sudah mulai diblankkan, mata siap2 ditutup. HP pun dimatikan supaya tidak mengganggu kekhusyuan tidur.

Ketika bus berjalan keluar terminal, beberapa saat kemudian bus berhenti. Beberapa ibu2 dan nenek naik padahal kursi telah terisi penuh. Fikir saya, Pasti ada orang yang berbaik hati memberikan kursi untuk nenek ini, lho saya kan tadi sudah berdiri dari Kota ke Blok M.

Ya udah saya tidur aja ah…, mata dipejamkan tapi fikiran masih ada di alam sadar. Sekitar satu menit kemudian, saya tengok, mengintip lewat kelopak mata kepada nenek ini. Hah…belum duduk juga. Beberapa ibu-ibu menatap ke penumpang yang masih muda-termasuk saya-dengan rasa kekesalan dan mungkin kebencian, mengapa anak muda ini tidak mempunyai fikiran dan perasaan?, apakah anak muda ini tidak belajar etika?. Mungkin demikian pertanyaan ibu2 ini.

Page 3: Etika Di Kendaraan Umum

Malaikat disebelah kanan saya meminta saya agar berdiri dan memberi duduk nenek ini dan mengatakan apapun alasannya sangat tidak layak seorang nenek yang tua renta berdiri sementara sang pemuda sehat duduk manis disampingnya. Setan yang ada di sebelah kiri saya meniup mata saya dan memberikan angin sepoy2 yang membuat rasa kantuk tak tertahankan dan membisikan bahwa anda layak untuk tertidur setelah seharian bekerja dan merelakan kursi kesayangan untuk orang lain yang telah didapat dengan susah payah dari Kota ke Blok M. Padahal berdiri dari Kota ke Blok M pada jam sore merupakan sesuatu yang melelahkan (jelas fiksi).

Tertidurlah saya (malaikat mungkin bersedih dan setan mungkin ketawa) sampai Lebak Bulus. Ketika turun dari bus, saya merasa banyak mata menghakimi saya dan memvonis saya sebagai orang yang bersalah.

Dunia berputar begitu cepat. Sewaktu di busway, saya menjadi pahlawan (geer) karena telah memberi duduk kepada ibu yang membawa bayi dan dengan sotoynya menjadi hakim kepada orang yang yang tidak mau berbagi untuk memberi duduk dan memberi label mereka dengan sebutan egois.

Setelah berganti bis, giliran saya yang divonis sebagai orang yang teganya4x tertidur padahal ada nenek yang lebih memerlukan.

Saya tidak tahu, apakah ada moral story atau tidak dalam kisah ini. Namun saya merasa-setelah kejadian tersebut- bahwa kita (elu kali gw enggak) tidak boleh terburu-buru memvonis orang. Lagian urusan vonis kan urusan pengadilan (kenapa jadi ngomongin vonis dan pengadilan).

Begitu mau masuk terminal Lebak Bulus, jalanan macet sangat. Biang keladinya adalah angkot yang mangkal di pintu masuk dan pintu keluar terminal ditambah dengan trotoar yang beralih fungsi menjadi kawasan pedagang kaki lima.

Lagi2 saya ingin memvonis para sopir angkot dan pedagang kaki lima. Ah tidakkk…., saya hanya ingin memahami karena belum bisa menjadi bagian dari solusi (sok bijak, muntah lagi).

Ketika membawa kendaraan pribadi, kita sering mengutuk para sopir angkot dan bus umum yang berhenti sembarangan dan penumpangnya yang menyetop kendaraan umum saenake dewe.

Ketika menjadi penumpang umum, kita sering mengutuk para pemilik kendaraa pribadi yang tidak tahu diri dan tidak tahu kondisi jalan yang terbatas. Dengan pongahnya para pemilik kendaraan pribadi yang membawa penumpang satu atau dua orang ini yang karena telah merasa membayar pajak kendaraan membatasi ruang jalan bus dengan penumpang yang berjumlah

Page 4: Etika Di Kendaraan Umum

puluhan orang. Puluhan orang dalam satu bus terhambat karena satu orang dalam kendaraan pribadi. Seluruh pengguna jalan mengutuk pemerintah yang tidak mampu membuat jalan (ngelantur lagi, kenapa membahas mass transportation).