Etika Dalam Perspektif Islam
Click here to load reader
-
Upload
kartika-fachru-annisa -
Category
Documents
-
view
53 -
download
3
description
Transcript of Etika Dalam Perspektif Islam
TUGAS EKONOMI SYARIAH
Etika Bisnis dalam Perspektif Islam
Oleh :
Lintang Nahdya Putri 118694202
Dya Putri Afrilia Irianti 118694204
Afrida Tri Kustanti 118694207
Alfian Firmansyah 118694208
Kartika Fachru Annisa 118694213
Santi Lestari 118694233
S1 Akuntansi 2011 AA
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
2013
A. ETIKA PRODUKSI DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Sistem produksi dalam suatu negara Islam harus dikendalikan oleh kriteria objektif
dan subjektif; kriteria yang objektif akan tercermin dalam bentuk kesejahteraan yang
dapat diukur dari segi uang, dan kriteria subjektif dalam bentuk kesejahteraan
yang dapat diukur dari segi etika ekonomi yang didasarkan atas perintah-perintah kitab
suci Al Qur’an dan Sunnah.
Bagi Islam, memproduksi sesuatu bukanlah sekedar untuk dikonsumsi sendiri atau
dijual ke pasar. Dua motivasi itu belum cukup karena masih terbatas pada fungsi
ekonomi. Islam menekankan bahwa setiap kegiatan produksi harus pula mewujudkan
fungsi sosial (Q.S. Al Hadid (57): 7).
Tujuan dari kegiatan produksi mencapai dua hal pokok pada tingkat pribadi muslim
dan umat Islam adalah :
a. Memenuhi kebutuhan setiap individu . Di dalam ekonomi Islam kegiatan
produksi menjadi sesuatu yang unik dan istimewa sebab di dalamnya terdapat
faktor itqan (profesionalitas) yang dicintai Allah dan ihsan yang diwajibkan
Allah atas segala sesuatu. Pada tingkat pribadi muslim, tujuannya adalah
merealisasi pemenuhan kebutuhan baginya.
b. Merealisasikan kemandirian umat , hendaknya umat memiliki berbagai
kemampuan, keahlian dan prasarana yang memungkinkan terpenuhinya
kebutuhan material dan spiritual.
Dalam upaya merealisasikan pemenuhan kebutuhan umat ada beberapa hal yang perlu
dilakukan, yaitu :
a. Melakukan perencanaan. Perencanaan yang dilakukan seperti disyari’atkan oleh
Nabi Yusuf adalah selama 15 tahun. Perencanaannya mencakup produksi,
penyimpanan, pengeluaran dan distribusi.
b. Mempersiapkan sumberdaya manusia dan pembagian tugas yang baik.
c. Memperlakukan sumber daya alam dengan baik.
d. Keragaman produksi dalam rangka memenuhi kebutuhan umat.
e. Mengoptimalkan fungsi kekayaan berupa mata uang.
Al Qur’an dan hadits memberikan arahan tentang prinsip-prinsip produksi :
a. Tugas manusia di muka bumi sebagai khalifah adalah memakmurkan bumi dengan
ilmu dan amalnya
b. Islam selalu mendorong kemajuan di bidang produksi melalui penelitian,
eksperimen dan perhitungan dalam proses pengambangan produksi.
c. Teknik produksi diserahkan kepada keinginan dan kemampuan manusia.
d. Dalam berinovasi dan bereksperimen prinsipnya Islam menyukai kemudahan,
menghindari mudharat dan memaksimalkan manfaat.
Adapun kaidah-kaidah dalam berproduksi adalah:
1. Memproduksi barang dan jasa yang halal pada setiap tahapan produksi.
2. Mencegah kerusakan di muka bumi, termasuk membatasi polusi, memelihara
keserasian, dan ketersediaan sumber daya alam.
3. Produksi dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan individu dan masyarakat
serta mencapai kemakmuran. Kebutuhan yang harus dipenuhi harus berdasarkan
prioritas yang ditetapkan agama yaitu terkait dengan kebutuhan untuk
tegaknya akidah/agama, terpeliharanya nyawa, akal dan keturunan/kehormatan
serta kemakmuran material.
4. Produksi dalam Islam tidak dapat dipisahkan dari tujuan kemandirian umat.
5. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia baik kualitas spiritual, mental dan fisik.
Etika dalam berproduksi yaitu sebagai berikut:
a. Peringatan Allah akan kekayaan alam.
b. Berproduksi dalam lingkaran yang Halal. Sendi utamanya dalam berproduksi
adalah bekerja, berusaha bahkan dalam proses yang memproduk barang dan jasa
yang toyyib, termasuk dalam menentukan target yang harus dihasilkan dalam
berproduksi.
c. Etika mengelola sumber daya alam dalam berproduksi dimaknai sebagai proses
menciptakan kekayaan dengan memanfaatkan sumber daya alam harus
bersandarkan visi penciptaan alam ini dan seiring dengan visi penciptaan manusia
yaitu sebagai rahmat bagi seluruh alam.
d. Etika dalam berproduksi memanfaatkan kekayaan alam juga sangat tergantung
dari nilai-nilai sikap manusia, nilai pengetahuan, dan keterampilan. Dan bekerja
sebagai sendi utama produksi yang harus dilandasi dengan ilmu dan syari’ah islam.
e. Khalifah di muka bumi tidak hanya berdasarkan pada aktivitas menghasilkan
daya guna suatu barang saja melainkan Bekerja dilakukan dengan motif
kemaslahatan untuk mencari keridhaan Allah Swt.
B. ETIKA KONSUMSI DALAM ISLAM
Salah satu persoalan penting dalam kajian ekonomi Islam ialah masalah konsumsi.
Konsumsi berperan sebagai pilar dalam kegiatan ekonomi seseorang (individu), perusahaan
maupun negara. konsumsi secara umum diformulasikan dengan : ”Pemakaian dan
penggunaan barang – barang dan jasa, seperti pakaian, makanan, minuman, rumah,
peralatan rumah tangga, kenderaan, alat-alat hiburan, media cetak dan elektronik, jasa
telephon, jasa konsultasi hukum, belajar/ kursus, dsb”.
Berangkat dari pengertian ini, maka dapat dipahami bahwa konsumsi sebenarnya
tidak identik dengan makan dan minum dalam istilah teknis sehari-hari; akan tetapi juga
meliputi pemanfaatan atau pendayagunaan segala sesuatu yang dibutuhkan manusia.
Namun, karena yang paling penting dan umum dikenal masyarakat luas tentang aktivitas
konsumsi adalah makan dan minum, maka tidaklah mengherankan jika konsumsi sering
diidentikkan dengan makan dan minum.
Tujuan konsumsi dalam Islam adalah untuk mewujudkan maslahah duniawi dan
ukhrawi. Maslahah duniawi ialah terpenuhinya kebutuhan dasar manusia, seperti makanan,
minuman, pakaian, perumahan, kesehatan, pendidikan (akal). Kemaslahatan akhirat ialah
terlaksanaya kewajiban agama seperti shalat dan haji. Artinya, manusia makan dan minum
agar bisa beribadah kepada Allah. Manusia berpakaian untuk menutup aurat agar bisa
shalat, haji, bergaul sosial dan terhindar dari perbuatan mesum (nasab)
Sebagaimana disebut di atas, banyak ayat dan hadits yang berbicara tentang
konsumsi, di antaranya Surat al A’raf ayat 31. Ayat ini tidak saja membicarakan konsumsi
makanan dan minuman, tetapi juga pakaian. Bahkan pada ayat selanjutnya (ayat 33)
dibicarakan tentang perhiasan.
Prinsip-prinsip Konsumsi
Menurut Abdul Mannan bahwa perintah Islam mengenai konsumsi dikendalikan oleh lima
prinsip, yaitu:
a. Prinsip Keadilan
b. Prinsip Kebersihan
c. Prinsip Kesederhanaan
d. Prinsip Kemurahan Hati
e. Prinsip Moralitas.
Etika Konsumsi
Etika konsumsi menurut Naqvi adalah sebagai berikut:
a. Tauhid (Unity/ Kesatuan)
Karakteristik utama dan pokok dalam Islam adalah “tauhid” yang menurut
Qardhawi dibagi menjadi dua kriteria, yaitu rubaniyyah gayah (tujuan) dan
wijhah (sudut pandang). Kriteria pertama menunjukkan maksud bahwa tujuan
akhir dan sasaran Islam adalah menjaga hubungan baik dan mencapai ridha-Nya.
Sehingga pengabdian kepada Allah merupakan tujuan akhir, sasaran, puncak
cita-cita, usaha dan kerja keras manusia dalam kehidupan yang fana ini. Kriteria
kedua adalah rabbani yang masdar (sumber hukum) dan manhaj (sistem).
Kriteria ini merupakan suatu sistem yang ditetapkan untuk mencapai sasaran
dan tujuan puncak (kriteria pertama) yang bersumber al-Qur’an dan Hadits
Rasul.
b. Adil (Equilibrium/ Keadilan)
Khursid Ahmad mengatakan, kata ‘adl dapat diartikan seimbang (balance) dan
setimbang (equlibrium). Atas sebab dasar itu ia menyebutkan konsep al-‘adl
dalam prespektif Islam adalah keadilan Ilahi. Salah satu manifestasi keadilan
menurut al-Qur’an adalah kesejahteraan. Keadilan akan mengantarkan manusia
kepada ketaqwaan, dan ketaqwaan akan menghasilkan kesejahteraan bagi
manusia itu sendiri.
c. Free Will (Kehendak Bebas)
Manusia merupakan makhluk yang berkehendak bebas namun kebebasan ini
tidaklah berarti bahwa manusia terlepas dari qadha dan qadar yang merupakan
hukum sebab-akibat yang didasarkan pada pengetahuan dan kehendak Tuhan.
d. Amanah (Responsibility/ Pertanggungjawaban)
Etika dari kehendak bebas adalah pertanggungjawaban. Dengan kata lain,
setelah manusia melakukan perbuatan maka ia harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dengan demikian prinsip tanggung
jawab merupakan suatu hubungan logis dengan adanya prinsip kehendak bebas.
e. Halal
Kehalalan adalah salah satu kendala untuk memperoleh maksimalisasi kegunaan
konsumsi salam kerangka Ekonomi Islam. Kehalalan suatu barang konsumsi
merupakan antisipasi dari adanya keburukan yang ditimbulkan oleh barang
tersebut.
f. Sederhana
Sederhana dalam konsumsi mempunyai arti jalan tengah dalam berkomunikasi.
Diantara dua cara hidup yang ekstrim antara paham materilialistis dan zuhud.
Ajaran al-Qur’an menegaskan bahwa dalam berkonsumsi manusia dianjurkan
untuk tidak boros dan tidak kikir.
C. ETIKA DISTRIBUSI DALAM PERSPEKTIF ISLAM
System ekonomi yang berbasis Islam menghandaki bahwa dalam hal pendistribusian
harus berdasarkan dua sendi, yaitu sendi kebebasan dan keadilan kepemilikan. Kebebasan
disini adalah kebebasan dalam bertindak yang di bingkai oleh nilai-nilai agama dan keadilan
tidak seperti pemahaman kaum kapitalis yang menyatakannya sebagai tindakan
membebaskan manusia untuk berbuat dan bertindak tanpa campur tangan pihak mana pun,
tetapi sebagai keseimbangan antara individu dengan unsur materi dan spiritual yang
dimilikinya, keseimbangan antara individu dan masyarakat serta antara suatu masyarakat
dengan masyarakat lainnya.
Keberadilan dalam pendistribusian ini tercermin dari larangan dalam al-qur’an agar
supaya harta kekayaan tidak diperbolehkan menjadi barang dagangan yang hanya beredar
diantara orang-orang kaya saja, akan tetapi diharapkan dapat memberi kontribusi kepada
kesejahteraan masyarakat sebagai suatu keseluruhan (59:7).
Dalam system ekonomi kapitalis bahwa kemiskinan dapat diselesaikan dengan cara
menaikkan tingkat produksi dan meningkatkan pendapatan nasional (national income)
adalah teori yang tidak dapat dibenarkan dan bahkan kemiskinan menjadi salah satu produk
dari sistem ekonomi kapitalistik yang melahirkan pola distribusi kekayaan secara tidak adil
Fakta empirik menunjukkan, bahwa bukan karena tidak ada makanan yang membuat rakyat
menderita kelaparan melainkan buruknya distribusi makanan (Ismail Yusanto). Mustafa E
Nasution pun menjelaskan bahwa berbagai krisis yang melanda perekonomian dunia yang
menyangkut sistem ekonomi kapitalis dewasa ini telah memperburuk tingkat kemiskinan
serta pola pembagian pendapatan di dalam perekonomian negara-negara yang ada, lebih-
lebih lagi keadaan perekonomian di negara-negara Islam
Urgensi dan Tujuan Distribusi
Islam sangat mendukung pertukaran barang dan menganggapnya produktif dan mendukung
para pedangang yangg berjaln di muka bumi mencari sebagian dari karunia Allah, dan
membolehkan orang memiliki modal untuk berdagang, tapi ia tetap berusaha agar
pertukaran barang itu berjalan atas prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. Tetap mengumpulkan antara kepentingan individu dan kepentingan
masyarakat.
b. Antara dua penyelenggara muamalat tetap ada keadilan dan harus tetap ada
kebebasan ijab kabul dalam akad-akad.
c. Tetap berpengaruhnya rasa cinta dan lemah lembut.
d. Jelas dan jauh dari perselisihan.
Tujuan Distribusi dalam Ekonomi Islam
a. Tujuan Dakwah, yakni dakwah kepada Islam dan menyatukan hati kepadanya.
b. Tujuan Pendidikan, tujuan pendidikan dalam distribusi adalah seperti dalam surah
at-Taubah ayat 103 yang bermaksud menjadikan insan yang berakhlak karimah.
c. Tujuan sosial, yakni memenuhi kebutuhan masyarakat serta keadilan dalam
distribusi sehingga tidak terjadi kerusuhan dan perkelahian.
d. Tujuan Ekonomi, yakni pengembangan harta dan pembersihannya,
memberdayakan SDM, kesejahteraan ekonomi dan penggunaan terbaik dalam
menempatkan sesuatu.
Etika Distribusi
a. Selalu menghiasi amal dengan niat ibadah dan ikhlas.
b. Transfaran, dan barangnya halal serta tidak membahayakan.
c. Adil, dan tidak mengerjakan hal-hal yang dilarang di dalam Islam.
d. Tolong menolong, toleransi dan sedekah.
e. Tidak melakukan pameran barang yang menimbulkan persepsi.
f. Tidak pernah lalai ibadah karena kegiatan distribusi
g. Larangan Ikhtikar, ikhtikar dilarang karena akan menyebabkan kenaikan harga.
h. Mencari keuntungan yang wajar. Maksudnya kita dilarang mencari keuntungan
yang semaksimal mugkin yang biasanya hanya mementingkan pribadi sendiri tanpa
memikirkan orang lain.
i. Distribusi kekayaan yang meluas, Islam mencegah penumpukan kekayaan pada
kelompok kecil dan menganjurkan distribusi kekayaan kepada seluruh lapisan
masyarakat.
j. Kesamaan Sosial, maksudnya dalam pendistribusian tidak ada diskriminasi atau
berkasta-kasta, semuanya sama dalam mendapatkan ekonomi
D. IMPLEMENTASI ETIKA ISLAM DALAM DUNIA BISNIS
Dalam kaitannya dengan paradigma Islam tetntang etika bisnis, maka landasan
filosofis yang harus dibangun dalam pribadi Muslim adalah adanya konsepsi hubungan
manusia dengan manusia dan lingkungannya, serta hubungan manusia dengan
Tuhannya, yang dalam bahasa agama dikenal dengan istilah (hablum minallah wa
hablumminannas). Dengan berpegang pada landasan ini maka setiap muslim yang
berbisnis atau beraktifitas apapun akan merasa ada kehadiran "pihak ketiga" (Tuhan) di
setiap aspek hidupnya. Keyakinan ini harus menjadi bagian integral dari setiap muslim
dalam berbisnis. Hal ini karena Bisnis dalam Islam tisak semata mata orientasi dunia
tetapi harus punya visi akhirat yang jelas. Dengan kerangka pemikiran seperti itulah
maka persoalan etika dalam bisnis menjadi sorotan penting dalam ekonomi Islam.
Dalam ekonomi Islam, bisnis dan etika tidak harus dipandang sebagai dua hal yang
bertentangan, sebab, bisnis yang merupakan symbol dari urusan duniawi juga dianggap
sebagai bagian integral dari hal-hal yang bersifat investasi akherat. Artinya, jika
oreientasi bisnis dan upaya investasi akhirat (diniatkan sebagai ibadah dan merupakan
totalitas kepatuhan kepada Tuhan), maka bisnis dengan sendirinya harus sejalan
dengan kaidah-kaidah moral yang berlandaskan keimanan kepada akhirat. Bahkan
dalam Islam, pengertian bisnis itu sendiri tidak dibatasi urusan dunia, tetapi mencakup
pula seluruh kegiatan kita didunia yang "dibisniskan" (diniatkan sebagai ibadah) untuk
meraih keuntungan atau pahala akhirat. Pernyataan ini secara tegas di sebut dalam
salah satu ayat Al-Qur'an.
“Wahai Orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan pada suatu
perniagaan (bisnis) yang dapat menyelamatkan kamu dari adzab pedih ? yaitu beriman
kepada allah & Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan jiwa dan hartamu, itulah
yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”
Ketentuan Umum Etika Bisnis Dalam Ekonomi Islam
1. Kesatuan (Tauhid/Unity)
Dalam hal ini adalah kesatuan sebagaimana terefleksikan dalam konsep tauhid yang
memadukan keseluruhan aspek-aspek kehidupan muslim baik dalam bidang ekonomi,
politik, sosial menjadi keseluruhan yang homogen, serta mementingkan konsep konsistensi
dan keteraturan yang menyeluruh. Dari konsep ini maka islam menawarkan keterpaduan
agama, ekonomi, dan sosial demi membentuk kesatuan. Atas dasar pandangan ini pula
maka etika dan bisnis menjadi terpadu, vertikal maupun horisontal, membentuk suatu
persamaan yang sangat penting dalam sistem Islam.
2. Keseimbangan (Equilibrium/Adil)
Islam sangat mengajurkan untuk berbuat adil dalam berbisnis, dan melarang berbuat curang
atau berlaku dzalim. Rasulullah diutus Allah untuk membangun keadilan. Kecelakaan besar
bagi orang yang berbuat curang, yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari
orang lain meminta untuk dipenuhi, sementara kalau menakar atau menimbang untuk
orang selalu dikurangi. Kecurangan dalam berbisnis pertanda kehancuran bisnis tersebut,
karena kunci keberhasilan bisnis adalah kepercayaan. Al-Qur’an memerintahkan kepada
kaum muslimin untuk menimbang dan mengukur dengan cara yang benar dan jangan
sampai melakukan kecurangan dalam bentuk pengurangan takaran dan timbangan.
تأويال وأحسن خير ذالك المستقيم بالقسطاس وزنوا كلتم اذا الكيل واوفوا
“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang
benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.(Q.S. al-Isra’: 35)
Dalam beraktivitas di dunia kerja dan bisnis, Islam mengharuskan untuk berbuat adil,tak
terkecuali pada pihak yang tidak disukai. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al-
Maidah : 8 yang artinya : “Hai orang-orang beriman,hendaklah kamu jadi orang-orang yang
selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah SWT,menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah
sekali-sekali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak
adil.Berlaku adillah karena adil lebih dekat dengan takwa”.
3. Kehendak Bebas (Free Will)
Kebebasan merupakan bagian penting dalam nilai etika bisnis islam, tetapi kebebasan itu
tidak merugikan kepentingan kolektif. Kepentingan individu dibuka lebar. Tidak adanya
batasan pendapatan bagi seseorang mendorong manusia untuk aktif berkarya dan bekerja
dengan segala potensi yang dimilikinya. Kecenderungan manusia untuk terus menerus
memenuhi kebutuhan pribadinya yang tak terbatas dikendalikan dengan adanya kewajiban
setiap individu terhadap masyarakatnya melalui zakat, infak dan sedekah.
4. Tanggungjawab (Responsibility)
Kebebasan tanpa batas adalah suatu hal yang mustahil dilakukan oleh manusia karena tidak
menuntut adanya pertanggungjawaban dan akuntabilitas. untuk memenuhi tuntunan
keadilan dan kesatuan, manusia perlu mempertaggungjawabkan tindakanya secara logis
prinsip ini berhubungan erat dengan kehendak bebas. Ia menetapkan batasan mengenai
apa yang bebas dilakukan oleh manusia dengan bertanggungjawab atas semua yang
dilakukannya.
5. Kebenaran: kebajikan dan kejujuran
Kebenaran dalam konteks ini selain mengandung makna kebenaran lawan dari kesalahan,
mengandung pula dua unsur yaitu kebajikan dan kejujuran. Dalam konteks bisnis kebenaran
dimaksudkan sebagia niat, sikap dan perilaku benar yang meliputi proses akad (transaksi)
proses mencari atau memperoleh komoditas pengembangan maupun dalam proses upaya
meraih atau menetapkan keuntungan. Dengan prinsip kebenaran ini maka etika bisnis Islam
sangat menjaga dan berlaku preventif terhadap kemungkinan adanya kerugian salah satu
pihak yang melakukan transaksi, kerjasama atau perjanjian dalam bisnis.
Tingkatan Aplikasi Etika Bisnis Dalam Ekonomi Islam
Adapun penerapan etika bisnis dapat dilakukan pada tiga tingkatan, yaitu; individual,
organisasi, dan sistem. Pertama, pada tingkat individual, etika bisnis mempengaruhi
pengambilan keputusan seseorang atas tanggungjawab pribadinya dan kesadaran sendiri,
baik sebagai penguasa maupun manajer. Kedua, pada tingkat organisasi, seseorang sudah
terikat kepada kebijakan perusahaan dan persepsi perusahaan tentang tanggungjawab
sosialnya. Ketiga, pada tingkat sistem, seseorang menjalankan kewajiban atau tindakan
berdasarkan sistem etika tertentu.
Realitasnya, para pelaku bisnis sering tidak mengindahkan etika. Nilai moral yang
selaras dengan etika bisnis, misalnya toleransi, kesetiaan, kepercayaan, persamaan, emosi
atau religiusitas hanya dipegang oleh pelaku bisnis yang kurang berhasil dalam berbisnis.
Sementara para pelaku bisnis yang sukses memegang prinsip-prinsip bisnis yang tidak
bermoral, misalnya maksimalisasi laba, agresivitas, individualitas, semangat persaingan, dan
manajemen konflik.