ETIKA BISNIS

5
ETIKA BISNIS Oleh Drs. Markus Yumartana, Lic. Th. Mengapa perlu dibicarakan etika bisnis atau etika pasar? Pada kodratnya, bisnis adalah setiap usaha untuk mendapatkan untung atau tambahan penghasilan. Kalau setiap orang berusaha untuk mendapatkan keuntungan (profit) dari setiap usahanya, maka akan terjadi benturan dengan setiap orang di sekitarnya yang sama-sama melakukan aktivitas bisnisnya. Bila tidak ada etika, dunia bisnis itu seperti hutan rimba tempat segala binatang buas saling mencari mangsanya. Nah, karena kita adalah makhluk beradab dan makhluk yang bermoral, maka setiap usaha apa pun mestinya tidak boleh digerakkan oleh semata-mata kepentingan sendiri. Di situlah pentingnya pembicaraan kita mengenai etika bisnis. Apa itu etika bisnis? Saya mencoba merumuskannya secara sederhana demikian: Etika bisnis merupakan upaya refleksi atas segala kegiatan manusia untuk mendapatkan profit dalam perspektif martabat kemanusiaan. Perspektif martabat kemanusiaan itu menunjuk pada persoalan pantas dan tidaknya tindakan manusia sebagai manusia. Segala perbuatan manusia yang dianggap tidak pantas dilakukan oleh manusia berarti dianggap pula merendahkan martabatnya sebagai manusia. Jadi perbuatan itu menempatkan diri manusia itu bukan lagi sebagai manusia. Dalam arti ini, dorongan instinct bisa jadi lebih dominan menguasai diri manusia itu, dan bukan akal budi yang jernih. Martabat manusia justru ditunjukkan dalam penggunaan akal budi manusia yang selalu menjunjung tinggi martabatnya. Di sinilah titik kritisnya pembicaraan soal etika bisnis itu. Jadi secara lugas, etika bisnis membahas pantas atau tidaknya cara-cara kita melakukan aktivitas bisnis dalam konteks dan situasi tertentu. Nah, untuk menilai pantas dan tidaknya, kita bisa meminjam tiga pendekatan dalam etika atau moral, yakni etika deontologis, etika teleologis, dan etika situasional. Dalam pendekatan etika deontologis, apa yang dianggap pantas itu diukur dari norma yang berlaku umum. Sejauh sesuai norma yang secara umum dibolehkan, itulah yang dianggap sudah pantas. Misalnya, menjual hasil bumi itu sudah secara umum dianggap boleh, akan tetapi menjual foto-foto telanjang manusia (pornografi) itu dianggap tidak pantas. Pendekatan kedua, dalam etika teleologis, ukuran pantas tidaknya suatu tindakan dilihat dari tujuannya. Apabila tujuannya itu baik bagi manusia, maka suatu tindakan itu dianggap sudah sepantasnya. Misalnya, dalam situasi khusus, untuk mendapatkan untung orang mengatakan sesuatu yang kebohongan. Dalam pendekatan ini, memang mudah sekali orang jatuh dalam suatu bentuk sikap “menghalalkan segala cara demi kepentingan sendiri”. Oleh karena itu, agar tidak jatuh ke dalam kelemahan itu, perlu dilengkapi pendekatan ketiga yakni pendekatan etika situasional. Maksudnya, apa yang pantas itu dilihat dari dampaknya bagi lingkungan

description

Etika Bisnis - Markus Yumartana, SJ

Transcript of ETIKA BISNIS

Page 1: ETIKA BISNIS

ETIKA BISNIS

Oleh Drs. Markus Yumartana, Lic. Th.

Mengapa perlu dibicarakan etika bisnis atau etika pasar? Pada kodratnya, bisnis adalah setiap usaha untuk mendapatkan untung atau tambahan penghasilan. Kalau setiap orang berusaha untuk mendapatkan keuntungan (profit) dari setiap usahanya, maka akan terjadi benturan dengan setiap orang di sekitarnya yang sama-sama melakukan aktivitas bisnisnya. Bila tidak ada etika, dunia bisnis itu seperti hutan rimba tempat segala binatang buas saling mencari mangsanya. Nah, karena kita adalah makhluk beradab dan makhluk yang bermoral, maka setiap usaha apa pun mestinya tidak boleh digerakkan oleh semata-mata kepentingan sendiri. Di situlah pentingnya pembicaraan kita mengenai etika bisnis.

Apa itu etika bisnis?

Saya mencoba merumuskannya secara sederhana demikian: Etika bisnis merupakan upaya refleksi atas segala kegiatan manusia untuk mendapatkan profit dalam perspektif martabat kemanusiaan. Perspektif martabat kemanusiaan itu menunjuk pada persoalan pantas dan tidaknya tindakan manusia sebagai manusia. Segala perbuatan manusia yang dianggap tidak pantas dilakukan oleh manusia berarti dianggap pula merendahkan martabatnya sebagai manusia. Jadi perbuatan itu menempatkan diri manusia itu bukan lagi sebagai manusia. Dalam arti ini, dorongan instinct bisa jadi lebih dominan menguasai diri manusia itu, dan bukan akal budi yang jernih. Martabat manusia justru ditunjukkan dalam penggunaan akal budi manusia yang selalu menjunjung tinggi martabatnya. Di sinilah titik kritisnya pembicaraan soal etika bisnis itu.

Jadi secara lugas, etika bisnis membahas pantas atau tidaknya cara-cara kita melakukan aktivitas bisnis dalam konteks dan situasi tertentu. Nah, untuk menilai pantas dan tidaknya, kita bisa meminjam tiga pendekatan dalam etika atau moral, yakni etika deontologis, etika teleologis, dan etika situasional. Dalam pendekatan etika deontologis, apa yang dianggap pantas itu diukur dari norma yang berlaku umum. Sejauh sesuai norma yang secara umum dibolehkan, itulah yang dianggap sudah pantas. Misalnya, menjual hasil bumi itu sudah secara umum dianggap boleh, akan tetapi menjual foto-foto telanjang manusia (pornografi) itu dianggap tidak pantas. Pendekatan kedua, dalam etika teleologis, ukuran pantas tidaknya suatu tindakan dilihat dari tujuannya. Apabila tujuannya itu baik bagi manusia, maka suatu tindakan itu dianggap sudah sepantasnya. Misalnya, dalam situasi khusus, untuk mendapatkan untung orang mengatakan sesuatu yang kebohongan. Dalam pendekatan ini, memang mudah sekali orang jatuh dalam suatu bentuk sikap “menghalalkan segala cara demi kepentingan sendiri”. Oleh karena itu, agar tidak jatuh ke dalam kelemahan itu, perlu dilengkapi pendekatan ketiga yakni pendekatan etika situasional. Maksudnya, apa yang pantas itu dilihat dari dampaknya bagi lingkungan sekitar atau orang lain yang terkait dengannya. Bila akibatnya itu merugikan orang lain, maka tindakan orang itu dianggap tidak pantas.

Ada tiga hal berikut terkait dengan pembicaraan etika bisnis : (a) menghindari segala tuduhan tindak kejahatan atas usahanya; (b) membangun nama baik diri dan usahanya di mata masyarakat, dan (c) bagaimana ikut ambil bagian dalam pengembangan masyarakat yang lebih beradab dengan laku usahanya.

Yang pertama merupakan upaya untuk memastikan secara deontologis/normatif bahwa usahanya tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku. Sebab, di masyarakat mana pun akan berlaku suatu norma hukum ini. Memastikan hal ini berarti juga membangun jaminan keberlangsungan

Page 2: ETIKA BISNIS

sebuah usaha kita pada fondasi kepercayaan public. Dengan keyakinan bahwa usaha kita tidak melanggar hukum, member peluang kemerdekaan dalam menjalankan usahanya. Sebaliknya, bila sedikit ternoda dalam aspek ini saja, maka pada dasarnya kemerdekaan ber-usaha itu sudah terganggu. Langkah-langkah kemudian yang tidak berkeutamaan lalu akan cenderung dilakukan terus.

Setiap kegiatan bisnis adalah kegiatan yang berciri publik. Artinya selalu melibatkan pihak lain. Oleh karena itu pokok yang kedua, perlulah menjaga dan membangun “trust” dan nama baik itu. Keberterimaan di ranah publik amat tergantung pada “image” yang telah dibangunnya.

Selain itu, kesadaran akan ciri publik itu juga membawa pada kesadaran social yang lain yakni bahwa setiap kegiatan bisnis merupakan bentuk sumbangan pengembangan kehidupan bersama dalam masyarakat. Konsekuensinya, segala bentuk eksploitasi yang berlebihan hingga merugikan atau bahkan menghambat kemajuan kehidupan social masyarakat sudah sepantasnya harus dihindari.

Kodrat Pasar itu Profit atau Produktivitas

Dalam sejarah perkembangannya, kodrat aktivitas bisnis atau pasar yang mencari profit atau produktivitas itu mengalami ungkapan dan bentuknya yang berbeda-beda. Pada masa awali peradaban manusia, aktivitas yang menopang hidup adalah berburu. Maka, profit atau produktivitas ditemukan dalam bentuk “tangkapan”-nya (capture). Seberapa banyak orang mendapatkan tangkapan dalam berburu memberikan kualifikasi produktivitas seseorang atau kelompok orang. Dalam perburuan itu, individu atau kelompok bersaing untuk mendapatkan tangkapan.

Dalam fase peradaban berikutnya, mengolah tanah menjadi penting. Ketika orang tidak lagi hidup berpindah-pindah, aktivitas yang menopang kehidupan ditentukan oleh pengolahan tanah (agriculture). Seberapa luas lahan yang dimiliki dan seberapa banyak hasil pertanian yang didapatkan merupakan bentuk produktivitas dari kegiatan ekonomi fase ini. Pada fase ini muncullah kelompok-kelompok orang yang disebut sebagai tuan-tuan tanah.

Kemudian ketika masa revolusi industry, modal atau capital menjadi bentuk baru produktivitas itu. Kerja keras, kreativitas dan kerajinan dinilai dari sejauh mana mendatangkan modal/capital uang. Dalam masa ini, produktivitas orang tidak lagi dilihat pekerjaan di ladang, tetapi di pabrik-pabrik.

Nah, jaman ini apa yang disebut bentuk produktivitas terkait dengan pengetahuan (knowledge). Francis Bacon pernah mengatakan bahwa “knowledge is power”.

Teori Tiga Poros Kekuatan

Dalam Nota Pastoral KWI 2004, dipakai sebuah teori untuk memahami persoalan social terkait kerusakan keadaban public. Dalam teori tersebut disebut tiga poros kekuatan dalam masyarakat, yakni poros negara, poros masyarakat bisnis atau pasar, dan poros masyarakat warga.

Kehancuran keadaban publik terjadi karena kurangnya terjadi hubungan yang harmonis antara ketiga poros kekuatan tersebut. Tetapi yang terjadi malahan adalah suatu bentuk persekongkolan antara mereka yang berada di poros negara dan poros pasar. Negara yang mestinya menjalankan tugas untuk memberikan regulasi bagi kepentingan bersama malahan bisa dibeli oleh yang memiliki modal. Sedangkan, mereka yang berada di poros pasar karena kekuatan modal yang besar bisa memaksakan kehendaknya untuk lebih diperhatikan kepentingannya dengan dalih kepentingan ekonomi Negara. Sementara itu, poros masyarakat warga juga ikut andil dalam memperparah

Page 3: ETIKA BISNIS

kehancuran keadaban public dengan sikap yang mudah dibeli atau sikap cuek terhadap segala urusan publiknya. Semangat yang sedang terjadi dalam konteks kehancuran keadaban publik di Indonesia yang diangkat dalam Nota Pastoral KWI 2004 tersebut adalah semangat “kerakusan” dalam segala bidang. Kerakusan itu menggerus kepekaan terhadap kepentingan bersama sebagai satu keluarga masyarakat bangsa. Nah, di sini etika bisnis masih jauh dari perhatian kita.

Prinsip-Prinsip dalam Etika Bisnis

Untuk membantu kita agar memiliki pegangan dalam berbisnis, beberapa prinsip berikut perlu diperhatikan:(1) Trust. Kepercayaan merupakan landasan setiap usaha manusia. Kehilangan kepercayaan berarti juga kehilangan segala-galanya. (2) Fairness. Artinya bersikap adil, yakni pantas sesuai kesepakatan dengan partner terkait. (3) Accountable. Bertanggungjawab dalam pengelolaan modalnya, dan ini juga berarti transparansi dalam melihat keuntungan.(4) Social responsibility. Tanggungjawab social setiap usaha bisnis di sini menunjuk pada sumbangan bagi masyarakat yang nyata dapat dirasakan. Sekecil apa pun usaha bisnis mestinya ada sumbangan bagi pengembangan kehidupan masyarakat, bukan malahan menggerogoti atau bahkan merusak kehidupan masyarakat.(5) Respect of Human Person. Menghargai martabat manusia yang terlibat dalam bisnis berarti pula menghargai Tuhan yang telah menciptakannya. Ungkapan iman dalam sikap hormat terhadap pribadi manusia itu merupakan salah satu ungkapan penting manusia beriman untuk memuliakan Allah juga.

Bacaan:

Jim Grote & John McGreeney, Clever as Serpents. Business Ethics and Office Politics, Collegeville,Minnesota: The Order of St. Benedict, Inc., 1997.

A.Sonnya Keraf, Etika Bisnis. Membangun Citra Bisnis Sebagai Profesi Luhur, Yogyakarta: Kanisius, 1991.

KWI, Keadaban Publik: Menuju Habitus Baru Bangsa, Jakarta: KWI, 2004 (http://www.mirifica.net/artDetail.php?aid=1198 )Keadilan Sosial, apa sih itu?

Minggu pagi ini, entah kenapa aku seperti dihadapkan pada topik keadilan sosial. Apa sih itu?

Mungkin karena baru saja ada teman yang curhat soal pengalaman saudara-saudaranya yang menjadi pengangguran karena banyak perusahaan mulai gulung tikar, atau paling tidak dalam kondisi sekarat. Lalu, mau apa mereka? tanyaku. Ya cari pekerjaan baru. Tetapi tak mudah juga. Pekerjaan baru yang paling jos kayaknya jadi "koruptor" hehehe.... (korban rupiah ngegelontor)...alias pengemis. Pernah seorang supir taxi cerita seorang pengemis ternyata bisa menyekolahkan anaknya hingga jadi seorang sarjana dan sekarang menjadi camat. Ketika disuruh berhenti jadi pengemis karena anaknya malu, eh malah bapaknya menghardik anaknya, "Hei nak, sekarang kau mau larang kau jadi pengemis? Ingat, bahwa kau bisa menjadi camat sekarang karena bapakmu ini pengemis!".

Kalau semakin banyak orang menjadi pengemis di sepanjang jalan menuju Puncak, Bogor setiap akhir pekan, apakah ya ini yang dicita-citakan Negera Republik ini? Tentu tidak! Itu bukan cita-cita,

Page 4: ETIKA BISNIS

tapi akibat saja. Kalau ada akibat, tentu ada akarnya. Nah, akarnya itulah yang menjadi fokus bahasan "keadilan sosial". Jadi keadilan sosial itu fondasi kesejahteraan sosial atau "bonum commune". Jadi, keadilan sosial itu soal sistem dan struktur yang menjamin kesejahteraan setiap orang.

Maka, ada yang perlu dibedakan dalam langkah perjuangan: karya pelayanan sosial itu menjawab akibat dari ketidakadilan sosial, dan perjuangan keadilan sosial itu menjawab akar persoalan struktural yang berjangka panjang. Dua-duanya perlu banget loh. Kalau tidak ada panti asuhan, panti jompo, rehabilitasi korban narkoba dan sebagainya, apa jadinya sebuah masyarakat yang dipenuhi gelandangan? Tetapi, tanpa ada perjuangan untuk mengubah sistem yang tidak adil, berarti kita membiarkan terus menerus banyak orang menjadi korban.

Nah, perjuangan mengubah sistem dan struktur menuju keadilan sosial itulah perjuangan politik. Setiap orang dipanggil untuk itu, karena setiap orang dipanggil untuk menjunjung martabatnya sebagai manusia. Di dalam perjuangan keadilan sosial itu, politik praktis (kekuasaan) adalah pintu yang sangat penting. Inilah tugas kaum awam, seperti ditegaskan dalam Katekismus Gereja Katolik (Cathecism of the Catholic Church):

2442. "It is not the role of the Pastors of the Church to intervene directly in the political structuring and organization of SOCIAL life. This task is part of the vocation of the lay faithful, acting on their own initiative with their fellow citizens. SOCIAL action can assume various concrete forms. It should always have the common good in view and be in conformity with the message of the Gospel and the teaching of the Church. It is the role of the laity 'to animate temporal realities with Christian commitment, by which they show that they are witnesses and agents of peace and JUSTICE.'[SRS 47 # 6; cf. 42.]"

Kalau diterjemahkan begini:

"Adalah bukan peran Para Gembala Gereja untuk terlibat langsung dalam organisasi dan penciptaan struktur politik atas kehidupan sosial. Tugas ini adalah bagian dari panggilan kaum awam, yang bertindak atas inisiatif sendiri bersama dengan rekan sewarga mereka. Perjuangan sosial dapat mengambil berbagai bentuk konkret. Hal itu harus selalu berlandaskan pada "kebaikan umum" dan sesuai dengan pesan Injil dan ajaran Gereja. Adalah peran kaum awam untuk menjiwai kenyataan duniawi sementara ini dengan semangat dan komitmen Kristiani, yang dengannya mereka menunjukkan sebagai saksi-saksi dan pelaku perdamaian dan KEADILAN."

Terang benderang apa yang menjadi ajaran Gereja ini. Kenyataan sosial yang bopeng: kemiskinan yang terus mendera masyarakat kita -- dan ternyata masih dialami oleh banyak mahasiswa dan orangmuda kita dampaknya dalam pendidikan --, yang sangat kontras dengan kekayaan alam di nusantara ini, lalu dari keadaan ini bisa dimengerti lahir persoalan lain seperti kehancuran lingkungan karena ketidakpedulian masyarakat sendiri dan jalan pintas fundamentalisme agama yang makin marak dalam wujud sikap fanatisme yang menjalar juga merasuki orang-orang miskin.

Perjuangan menegakkan keadilan sosial adalah panggilan hakiki Gereja. Dan karena keadilan sosial itu merupakan kondisi struktural yang memberikan keadilan bagi semua warga masyarakat, maka perjuangannya merupakan perjuangan perubahan struktural yang melibatkan semua orang.

Depok, 11 September 2011