ESTETIKA INTERIOR RUMAH COMPOUND DI KAWASAN …

36
Cerrya Wuri Waheni 21 | Jurnal Warna VOL. 1, NO. 1, Juni 2017 ESTETIKA INTERIOR RUMAH COMPOUND DI KAWASAN KOTAGEDE YOGYAKARTA Cerrya Wuri Waheni ABSTRAK Rumah yang dikenal oleh masyarakat Indonesia pada umumnya menjadi istilah “omah” pada masyarakat Jawa yang menunjukan suatu bangunan yang diberi atap dan dipakai untuk tempat tinggal atau keperluan lainnya. Unit-unit ruang pada rumah Jawa, memiliki fungsi yang berbeda yang menentukan cara berkelakuan dan berinteraksi manusia di dalamnya. Unit-unit ruang tersebut apabila disejajarkan dapat digambarkan sebagai suatu kontinum dari ruang yang paling publik (pendapa - omah ngarep) sampai ke yang paling privat (pawon dan kulah pada bagian omah mburi). Dari ruang yang paling sakral ke ruang yang paling profan. Dari ruang yang paling bersih, sampai ruang yang paling kotor. Kontinum ruang yang digambarkan ini juga menunjukkan kesinambungan dan ruang yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan sosial budaya sampai ke ruang yang berfungsi memenuhi kebutuhan emosional serta biologis. Penulis mencoba melakukan penelitian dari sudut pandang estetika interior rumah coumpound di kawasan kotagede Yogyakarta, dengan harapan bisa menambah ilmu pengetahuan bahwa interior yang terdapat pada rumah Jawa memuat unsur keindahan dan makna tersendiri sebagai pembelajaran bagi manusia yang berada di dalamnya. Estetika interior rumah coumpound ini harapannya juga bisa mengingatkan kembali kepada diri penulis sendiri sebagai perempuan Jawa dan masyarakat Jawa pada umumnya yang terkhusus perempuan di Yogyakarta, untuk mengetahui bahwa pada zaman dahulu rumah coumpound pernah bersaksi di dalam kehidupan perempuan Jawa. Semoga pengetahuan ini bisa menjadi pengetahuan dalam pembentukan sikap dan perilaku masyarakat selain masyarakat Jawa, agar dengan mudah larut dalam pola kehidupan budaya tradisional Jawa.

Transcript of ESTETIKA INTERIOR RUMAH COMPOUND DI KAWASAN …

Cerrya Wuri Waheni

21 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7

ESTETIKA INTERIOR RUMAH COMPOUND DI KAWASAN

KOTAGEDE YOGYAKARTA

Cerrya Wuri Waheni

ABSTRAK

Rumah yang dikenal oleh masyarakat Indonesia pada umumnya

menjadi istilah “omah” pada masyarakat Jawa yang menunjukan suatu

bangunan yang diberi atap dan dipakai untuk tempat tinggal atau

keperluan lainnya. Unit-unit ruang pada rumah Jawa, memiliki fungsi

yang berbeda yang menentukan cara berkelakuan dan berinteraksi

manusia di dalamnya. Unit-unit ruang tersebut apabila disejajarkan

dapat digambarkan sebagai suatu kontinum dari ruang yang paling

publik (pendapa - omah ngarep) sampai ke yang paling privat (pawon

dan kulah pada bagian omah mburi). Dari ruang yang paling sakral ke

ruang yang paling profan. Dari ruang yang paling bersih, sampai ruang

yang paling kotor. Kontinum ruang yang digambarkan ini juga

menunjukkan kesinambungan dan ruang yang berfungsi untuk

memenuhi kebutuhan sosial budaya sampai ke ruang yang berfungsi

memenuhi kebutuhan emosional serta biologis. Penulis mencoba

melakukan penelitian dari sudut pandang estetika interior rumah

coumpound di kawasan kotagede Yogyakarta, dengan harapan bisa

menambah ilmu pengetahuan bahwa interior yang terdapat pada rumah

Jawa memuat unsur keindahan dan makna tersendiri sebagai

pembelajaran bagi manusia yang berada di dalamnya. Estetika interior

rumah coumpound ini harapannya juga bisa mengingatkan kembali

kepada diri penulis sendiri sebagai perempuan Jawa dan masyarakat

Jawa pada umumnya yang terkhusus perempuan di Yogyakarta, untuk

mengetahui bahwa pada zaman dahulu rumah coumpound pernah

bersaksi di dalam kehidupan perempuan Jawa. Semoga pengetahuan ini

bisa menjadi pengetahuan dalam pembentukan sikap dan perilaku

masyarakat selain masyarakat Jawa, agar dengan mudah larut dalam

pola kehidupan budaya tradisional Jawa.

Cerrya Wuri Waheni

22 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7

Kata Kunci: Omah, penelitian, estetika, interior dan coumpound.

I. PENDAHULUAN

Kotagede merupakan kawasan yang memiliki karakteristik

sebagai kota tradisional Jawa, yang memiliki faktor historis, sosial dan

kultural. Sejarah Kotagede bermula dari dibukanya Alas Mentaok oleh

Ki Ageng Pemanahan pada tahun 1575 M. Daerah yang dihadiahkan

kepadanya oleh Sultan Hadiwijaya, raja Kerajaan Pajang atas jasanya

mengalahkan Arya Penangsang, kemudian dijadikan ibukota Kerajaan

Mataram Islam di tahun 1586 M oleh anaknya, Panembahan Senapati

(Danang Sutawijaya). Akan tetapi seiring perkembangan zaman

Kotagede menjadi kota yang mewakili berbagai strata. Berbagai macam

profesi dan tingkatan kedudukan penduduknya masih ada sampai

sekarang.

Di sisi lain situs www.yogyes.com berbicara mengenai Kota

Yogyakarta, maka tidak akan terlepas dari keberadaan Kotagede, yang

disebut-sebut sebagai cikal bakalnya Kerajaan Mataram. Kotagede asli

merupakan kawasan yang memiliki karakteristik sebagai kota

tradisional Jawa. Rentang sejarah panjangnya mengukir banyak pesona

dan meninggalkan pusaka budaya yang tak ternilai. Sebagai kerajaan

Jawa, tata kota kawasan ini mengacu prinsip ’Catur Gatra Tunggal’

yang direpresentasikan dengan adanya Keraton, Alun-alun, Masjid dan

Pasar. Keraton menjadi titik orientasi arsitektur karena dianggap pusat

keseimbangan mikrokosmos dan makrokosmos (inti filosofi

Cerrya Wuri Waheni

23 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7

kebudayaan Jawa). Karena itu setiap rumah di kawasan ini menghadap

pada titik dimana pusat pemerintahan (dulu) berada.

Kotagede merupakan kawasan yang mewakili tradisi Jawa.

Kultur peninggalan Kerajaan Mataram Islam masih dapat ditelusuri

dengan melihat denah kota yang mempunyai ciri khas. Struktur

pemukiman rumah tinggal, bangunan-bangunan yang didirikan secara

tradisional dan jalan-jalan yang berpotongan membentuk bujur sangkar

di Kotagede sampai saat ini masih ada. Secara umum tata kota

Kotagede masih mencerminkan struktur asli pada waktu didirikan.

Meskipun banyak yang sudah berubah menjadi pemukiman yang padat,

bangunan keraton sudah menjadi makam dan di sekitarnya berdiri

rumah-rumah penduduk, dan pusat kota tidak lagi di keraton, karena

sudah berubah fungsi, kecuali pasar. Kepesatan perkembangan

lingkungan di sekitarnya tidak banyak mempengaruhi perkembangan

fisik lingkungan di dalam lingkup kawasan Kotagede.

Zaman modern dengan dinamika masyarakat yang cukup tinggi,

selain dilandasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, masih

juga terdapat tradisi yang hidup dan berkembang di kalangan

masyarakat dalam kurun waktu yang lama dan merupakan salah satu

akar budaya bangsa. Masyarakat Jawa dengan faham Jawanya

(kejawen) sering dianggap hidup dalam kepercayaan primitif, namun

sebenarnya dengan faham itulah mereka kemudian dikatakan

mempunyai sifat-sifat khusus. Hal-hal yang tampak khusus adalah cara

Cerrya Wuri Waheni

24 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7

mereka mempertahankan hidup selaras dan harmonis dengan

lingkungan di sekitarnya.

“Rumahmu, Wajahmu dan Jiwamu”, adalah ungkapan yang

menggambarkan bahwa rumah dalam kehidupan manusia Indonesia

mempunyai ‘arti dan makna yang dalam’ (Yudohusodo, 1991: 4).

Memahami dan mengartikan maksud dari bangunan bukan hanya

sekedar persepsi visual tetapi seyogyanya ditilik sebagai sistem

hubungan spasial. Untuk dapat memahami ruang sosial secara logika

maka lingkungan tersebut harus dideskripsikan secara fisik berdasarkan

kurun waktu ataupun lingkungan sekitar. Hal tersebut dilakukan untuk

memahami dan mengetahui hubungan antara pola yang digunakan

dengan aktivitas sosial yang berlangsung didalamnya.

Menurut Djoko Suryo (1985: 111), Yogyakarta adalah salah

satu bagian propinsi di Jawa yang masih kental dan mempertahankan

tradisi dan filosofi ini. Pengaruh kepercayaan dan mitos secara turun

temurun masih ditaati dalam sistem kehidupan bermasyarakat. Salah

satu contohnya adalah dari segi orientasi arah hadap rumah tinggal,

biasanya menghadap utara atau selatan. Secara kepercayaan arah hadap

utara adalah untuk menghormati Gunung Merapi yang dianggap

keramat. Sedangkan arah hadap selatan juga terdapat tempat keramat

yang dihormati yaitu adanya Laut Selatan yang menurut mitos Jawa

terdapat istana Nyai Rara Kidul yang merajai segala jin dan setan

(lelembut). Selain itu, susunan atau organisasi ruang, fungsi ruang,

bentuk arsitektur, memilih letak untuk membangun dan bahan

Cerrya Wuri Waheni

25 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7

bangunan pun mempunyai patokan yang mantap, serta diperhitungkan

dengan matang. Tatanan tersebut kemudian mempengaruhi semua

tingkah laku, penggunaan benda-benda yang dipakai, dibuat, mantra

dan sesaji, tempat-tempat alamiah, sikap serta gagasan-gagasannya

(Sumardjo, 309: 2014).

Menurut Wiryomartono (1995 :46), pemukiman di Kotagede

terdiri dari beberapa kelompok yang tidak didasarkan pada pola

geometris sistematis, tetapi merupakan compound yang terdiri dari

beberapa keluarga. Setiap satu compound dibangun dengan pembatas

dinding dari batu bata terbuka atau diplester, dan terdiri dari 6 hingga

10 rumah. Sedangkan Soeryanto dan Indanoe dalam Iswati (2001: 27)

menyebutkan ada lima tipe pemukiman di Kotagede, antara lain pola

dengan tatanan dari beberapa kelompok hunian dan di hubungkan oleh

jalan rukunan, pola kluster dari beberapa unit hunian yang terbentuk

dalam satu lingkungan yang dibatasi oleh dinding, pola dengan

beberapa hunian dengan tipe individual dan membentuk suatu pola

kolektif, pola kluster dalam satu lingkungan berpagar dinding dengan

jalan rukunan di depan pendopo, dan pola kluster berpagar dinding

dengan akses hanya dari samping.

Pola pemukiman dalam bentuk compound yang terdiri dari

beberapa rumah tinggal ini memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan

rumah tinggal di tempat lain. Pola compound merupakan pola kluster

yang unik, dalam satu lingkungan yang dibatasi pagar dinding yang

tinggi atau sering disebut dengan pagar bumi, didalamnya terdapat

Cerrya Wuri Waheni

26 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7

beberapa rumah tinggal yang dulunya merupakan rumah indung (rumah

persewaan dulunya milik abdi dalem jurukunci) dan rumah magersari.

Biasanya dalam satu coumpound merupakan masih dalam satu

kekerabatan atau satu kinship.

Iswati, dkk (1999: 28) mangatakan bahwa beberapa kampung di

kawasan kotagede terpisahkan oleh gang-gang yang dikelilingi tembok

tinggi dengan kampung sekitarnya. Ini merupakan ciri yang amat

menonjol dari tipe pemukiman yang ada di Kotagede. Diantara tembok-

tembok tinggi tersebut biasanya terdapat jalan penghubung/jalan

rukunan yang disediakan oleh pemilik rumah sehingga bagi warga

sekitar untuk menuju seberang gang tidak perlu mengitari gang tetapi

bisa melalui jalan pintas tersebut yang biasanya disebut jalan rukunan.

Jalan rukunan ini ada yang dibuka tiap jam 6.00 dan ditutup jam

18.00. Tetapi ada juga yang selalu ditutup dan hanya anggota keluarga

dalam satu kinship yang bisa melaluinya. Dibalik tembok-tembok

tinggi tersebut biasanya terdapat ruang tersembunyi berupa open space

yang orang tidak akan tahu apabila tidak memasuki atau melalui

tembok tersebut. Ini juga salah satu ciri yang banyak ditemui di

kampung-kampung Kotagede.

Sikap dan perilaku masyarakat Kotagede, khususnya dalam pola

pemukiman compound dengan mudah beradaptasi dalam pola

kehidupan budaya tradisional Jawa. Adaptasi yang mudah dibuktikan

dengan penyesuaian terhadap rumah tinggalnya yang rata-rata sudah

berumur ratusan tahun walaupun makna yang ada didalamnya telah

Cerrya Wuri Waheni

27 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7

berubah. Hubungan kekeluargaan dan social intercourse antara

penghuni rumah dengan publik masih sangat erat.

Menurut Haryadi & B. Setiawan (1995: 31) Berbagai kegiatan

manusia saling berkaitan dalam satu sistem kegiatan. Demikian juga

wadah-wadah berbagai kegiatan atau ruang-ruang (space) tersebut,

yang juga terkait dalam satu sistem, yang disebut dengan ‘sistem ruang’

atau ‘sistem spasial’ (spatial system). Keterkaitan ruang-ruang sebagai

wadah kegiatan inilah yang membentuk ‘tata ruang’ atau ‘pola ruang’

yang tertuang sebagai bagian dari arsitektur.

Sedangkan menurut Yulita (2005), sebagai obyek yang tampak

(visible) dan nyata (tangible), sistem hubungan spasialnya tentu dapat

dipahami secara logis. Masalah utama dalam mengkaji pola ruang

adalah bagaimana menemukan hubungan antara struktur sosial dan

struktur spasialnya. Syntax model adalah metode yang bisa digunakan

untuk menjelaskan permasalahan ruang tersebut.

Berdasarkan latar belakang pemikiran di atas, peneliti tertarik

untuk mengkaji lebih dalam mengenai pola spasial pada rumah tinggal.

Obyek penelitian yang dipilih adalah rumah tinggal dalam pola

pemukiman compound di kawasan Kotagede. Dengan meneliti

estetika, maka akan diketahui lebih lanjut hubungan antar pola yang

digunakan dengan aktifitas yang berlangsung di dalamnya dari sebuah

organisasi ruang rumah tinggal. Kondisi demikian melatarbelakangi

dalam penelitian ini, yaitu untuk mengetahui tentang karakteristik

Cerrya Wuri Waheni

28 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7

secara estetik pada rumah tinggal compound di kawasan Kotagede

Yogyakarta.

A. Permasalahan dan Pembahasan

Penelitian Soeryanto dan Indanoe (1987) dalam Iswati

(2001:28) menyebutkan ada lima tipe pemukiman di Kotagede, antara

lain pola dengan tatanan dari beberapa kelompok hunian dan di

hubungkan oleh jalan rukunan, pola kluster dari beberapa unit hunian

yang terbentuk dalam satu lingkungan yang dibatasi oleh dinding, pola

dengan beberapa hunian dengan tipe individual dan membentuk suatu

pola kolektif, pola kluster dalam satu lingkungan berpagar dinding

dengan jalan rukunan di depan pendapa, dan pola kluster berpagar

dinding dengan akses hanya dari samping. Menurut Wiryomartono

(1995:46), pemukiman di Kotagede terdiri dari beberapa kelompok

yang tidak didasarkan pada pola geometris sistematis, tetapi merupakan

compound yang terdiri dari beberapa keluarga. Setiap satu coumpound

dibangun dengan pembatas dinding dari batu bata terbuka atau

diplester, dan terdiri dari 6 hingga 10 rumah.

Cerrya Wuri Waheni

29 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7

Gambar 1: Lima tipe pemukiman di Kotagede

(Sumber: Indanoe dan Soeryanto, 1987)

Keterangan:

1. Pola dengan tatanan dari beberapa kelompok hunian, baik

individual maupun kolektif, setiap kelompok dihubungkan oleh

jalan kolektif (rukunan), yang berfungsi sebagai sarana interaksi

sosial, komunikasi dan sirkulasi dalam satu kelompok hunian.

2. Tipe dengan pola kluster dari beberapa unit hunian yang

terbentuk dalam satu lingkungan yang dibatasi oleh dinding,

jalan rukunan (antara pendopo dan dalem) yang

menghubungkan antar unit rumah, dengan pengakhiran regol

pada sisi barat dan timur.

Cerrya Wuri Waheni

30 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7

3. Beberapa hunian dengan unit rumah, dengan pengakhiran regol

pada sisi barat dan timur.

4. Tipe dengan pola kluster dari bangunan hunian dalan satu

lingkungan berpagar dinding, dengan pencapaian (akses) dari

arah depan dan samping, jalan rukunan terletak di depan

pendapa.

5. Tipe dengan pola kluster dari bangunan hunian dalan satu

lingkungan berpagar dinding, dengan pencapaian (akses) dari

arah samping.

B. Pemukiman Compound di Kotagede

Menurut Kamus Inggris-Indonesia (1999:29), compound berati

campuran, majemuk, halaman. Pola pemukiman dengan bentuk

compound merupakan pemukiman berkelompok dalam satu

lingkungan. Pola pemukiman dalam bentuk compound yang terdiri dari

beberapa rumah tinggal ini memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan

rumah tinggal di tempat lain. Pola compound merupakan pola kluster

yang unik, dalam satu lingkungan yang dibatasi pagar dinding yang

tinggi atau sering disebut dengan pagar bumi, didalamnya terdapat

beberapa rumah tinggal. Biasanya dalam satu coumpound merupakan

masih dalam satu kekerabatan atau satu kinship.

Pola pemukiman compound terbentuk dari kelompok rumah

dan ruang terbuka yang memanjang. Keberadaan pola pemukiman

compound di Kotagede tidak terlepas dari adanya jalan rukunan sebagai

area sirkulasi warga.

Cerrya Wuri Waheni

31 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7

Menurut Indanoe dalam Indratoro (1995:28) ada 3 pola

pemukiman compound di Kotagede antara lain :

1. Pola compound dengan dua/lebih deretan rumah ke arah timur-

barat dengan jalan setapak yang terletak diantara pendapa dan

dalem, jalan setapak ini dihubungkan oleh jalan setapak (arah

utara selatan dengan deretan rumah sekelilingnya.

2. Pola compound dengan dua atau lebih deretan rumah ke arah

timur-barat dengan jalan setapak yang terletak diantara

bangunan pandapa dan dalem (tanpa ada jalur penghubung

dengan deretan rumah sebelahnya).

3. Pola compound dengan dua/lebih deretan rumah kearah timur-

barat dengan jalan setapak di depan bangunan pendapa.

II. TINJAUAN TENTANG RUMAH TINGGAL

A. Tinjauan tentang Rumah Tinggal

Menurut Yudohusodo (1991:4), rumah dalam arti house akan

menitikberatkan pada fungsi rumah secara fisik, yaitu melindungi

terhadap pengaruh alam. Sedangkan menurut Frick (1997) rumah

dalam arti home akan menitikberatkan pada kepentingan kejiwaan,

sosial dan budaya. Rumah tinggal tradisional di Indonesia pada

umumnya merupakan ungkapan dari hakikat penghayatan dari

kehidupan.

Menurut Soekanto (1983) dalam Ronald (1993:32), rumah

biasanya diasumsikan sebagai tempat yang digunakan untuk mewadahi

kegiatan sebuah atau beberapa rumah tangga. Rumah bagi tiap

Cerrya Wuri Waheni

32 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7

golongan masyarakat mengandung pengertian yang berbeda-beda. Bila

dikembalikan pada sosok manusianya maka tiap ekspresi manusia dapat

dibedakan antara lain karena tiap orang berada pada situasi sistem nilai

yang berbeda.

Altman dalam Sugini (1997:12), rumah tinggal tidak hanya

ditentukan olah faktor alam atau ketrampilan masyarakat, tetapi yang

lebih penting adalah faktor budaya. Menurut Kartolo dalam Sondakh

(2003:21), perubahan budaya berdampak pada beberapa

kecenderungan perubahan wujud dan makna arsitektur yang berlaku

dimasyarakat. Oleh karena itu rumah tinggal menjadi tipe bangunan

yang paling dekat kehidupan sehari-hari baik secara individu, keluarga

dan masyarakatnya. Dapat disimpulkan bahwa rumah tinggal sebagai

karya nyata manusia dan menjadi wadah paling kompleks kegiatannya

serta menjadi obyek perwujudan ide, nilai dan norma kehidupan

mereka.

Menurut Kenedy (1963:109), bangunan rumah menggambarkan

karakter khusus dari ativitas rumah tersebut. Rumah bagi sebuah

keluarga mempuyai empat fungsi, yaitu:

1. Untuk kehidupan, tidur, makan, sistem pengeluaran dan

sebagainya.

2. Untuk melindungi dan mendidik anak-anak

3. Bagi individu untuk berlindung dari tekanan kelompok

4. Sebagai simbol, latar belakang, ekspresi dan kegembiraan

Cerrya Wuri Waheni

33 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7

Rumah tinggal adalah ungkapan yang sangat sederhana. Rumah

tinggal dalam artian yang sederhana yaitu tempat lindung bagi manusia

dan keluarganya, sebagai tempat berkembang paling mendasar dan

membentuk karakter bagi para penghuninya. Banyak aktivitas terjadi,

sehingga rumah tinggal merupakan tempat paling kompleks sebagai

wadah kegiatan. Berikut ini adalah contoh rumah yang menjadi objek

penelitian penulis.

Kasus rumah tinggal

1. Nama Pemilik : Responden 1

2. Alamat : Alun-alun RT 37 RW IX, Purbayan

3. Tahun dibangun : 1850

4. Tahun Renovasi : 1938

5. Status Kepemilikan : warisan orang tua

6. Jumlah Anggota Keluarga : 4 orang

Rumah milik responden 1 adalah rumah yang mewakili dari

salah satu compound di Kotagede yang dijadikan sebagai cagar budaya

yaitu ‘between two gates’ . Rumah ini mempunyai nilai sejarah, dan

merupakan rumah warisan secara turun temurun. Hubungan

kekeluargaan dalam satu compound ternyata masih dalam satu kinship,

artinya ada dalam satu garis keturunan.

Secara fisik, orientasi hadap rumah responden 1 menghadap

selatan, merupakan rumah tradisional Jawa lengkap yang masih

mempunyai pendapa dan adanya ruang-ruang inti seperti dalem,

gandok dan senthong walaupun pada saat ini sudah banyak mengalami

Cerrya Wuri Waheni

34 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7

perubahan fungsi. Antara pendapa dan rumah induk terpisah oleh jalan

rukunan,

Fungsi pendapa pada rumah responden 1 tidak digunakan

sebagai ruang tamu sebagaimana mestinya rumah Jawa, tetapi pendapa

digunakan apabila ada acara-acara tertentu. Bagian dalem pada rumah

responden 1 digunakan sebagai ruang tamu terdapat aktivitas untuk

menerima tamu keluarga, sentong tengen dan sentong kiwa difungsikan

sebagai kamar tidur dengan aktivitas utama untuk tidur, berhias dan

berganti pakaian dan sentong tengah digunakan untuk tempat sholat.

Gandok lebih difungsikan sebagai ruang serbaguna, kerena terdapat

beberapa area, antara lain area untuk menonton tv berkumpul bersama

keluarga, area makan, area setrika dan ganti pakaian. Untuk dapur

terdapat di sebelah gandok timur, sedangakan kamar mandi dan tempat

cuci terdapat di gandok belakang yang berupa ruang terbuka sehingga

difungsikan juga untuk tempat jemuran.

Foto 1: Depan Rumah Tinggal, tampak area duduk biasanya untuk

santai

Cerrya Wuri Waheni

35 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7

Foto 2: Tampak Pendapa yang terpisah oleh jalan rukunan dengan

rumah induk digunakan sebagai ruang tamu pada acara-acara tertentu.

Foto 3: Teras rumah sebagai area duduk

Foto 4: Tampak ruang tamu untuk menerima temu keluarga

Cerrya Wuri Waheni

36 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7

Foto 5: Tampak senthong tengah difungsikan sebagai tempat solat

Foto 6 Tampak area baca pada dalem

Cerrya Wuri Waheni

37 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7

Denah dan Pembangunan Area

Gambar 2: Denah dan Pembagian Area Kasus 1

Keterangan :

A : Emper/Teras/Serambi 4h : Area simpan Perkakas

B : Dalem 10 : Area Setrika

Cerrya Wuri Waheni

38 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7

C : Gandok Timur 4g : Area simpan Sepatu/Sandal

E : Gandok Belakang 5 : Area Ibadah

F : Jalan Rukunan 7 : Area Makan

G1, G2 : Ruang Tidur 9c : Area Memasak

H : Halaman 6 : Area Menonton TV

1 : Area Duduk 11a : Area Mandi

2 : Area Tidur 11b : Area mencuci

3 : Area Berhias 12 : Area Jemur

4a : Area simpan Pakaian 13 : Area Kebun

4b : Area simpan Pajang 14 : Area Ganti Pakaian

4c : Area simpan Pecah Belah 15 : Area Parkir

4e : Area simpan File 9b : Area Meracik/Meramu

B. Makna Rumah Bagi Orang Jawa

Menurut Dakung (1981:52), rumah dalam bahasa Jawa berarti

“Omah” yang berarti tempat tinggal, mempunyai arti yang sangat

penting, yang berhubungan erat dengan kehidupan orang Jawa. Dalam

kehidupan orang Jawa, ada tiga ungkapan kata, yaitu : sandang, pangan

dan papan, yang artinya pakaian, makanan dan tempat tinggal.

Menurut Ronald (1998:71), rumah bagi keluarga Jawa

mempunyai nilai tersendiri, yaitu sebagai suatu bentuk pengakuan

umum bahwa keluarga tersebut telah mantap kehidupannya. Sikap

hidup orang Jawa yang tidak individualistik, kebiasaan hidup yang

mengutamakan kebersamaan dalam segala situasi, mengutamakan

kekerabatan mempengaruhi perilaku orang Jawa dalam mempersiapkan

pembangunan rumah dan lingkungannya. Akibatnya bangunan rumah

Cerrya Wuri Waheni

39 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7

Jawa selalu dipersiapkan tidak hanya terbatas pada kepentingan

keluarga inti saja, tetapi bilamana mungkin dapat menampung keluarga

majemuk, meskipun kenyataannya tidak setiap hari diperlukan.

Di sisi lain, Amiseno (1986:36) menyatakan bahwa rumah

(tradisional) bagi masyarakat Jawa mengandung pengertian yang lebih

jauh, mencakup cerminan perilaku, gaya hidup dan sikap

masyarakatnya.

Sebuah keluarga dapat dikatakan mapan atau tentram apabila

sudah mempunyai rumah sendiri, tanpa harus ngindung/menyewa dari

orang lain. Makna terpenting dalam sebuah rumah tinggal adalah

tempat mendidik, berkembang, dan tumbuhnya sikap/perilaku. Hidup

dengan bertoleransi, bergaul dengan yang lain merupakan ciri hidup

masyarakat Jawa.

C. Tinjauan tentang Rumah Jawa

Istilah “omah” menurut baoesastra Jawa menunjukan suatu

bangunan yang diberi atap dan dipakai untuk tempat tinggal atau

keperluan lainnya. Unit-unit ruang pada rumah Jawa, memiliki fungsi

yang berbeda yang menentukan cara berkelakuan dan berinteraksi

manusia di dalamnya. Unit-unit ruang tersebut apabila disejajarkan

dapat digambarkan sebagai suatu kontinum dari ruang yang paling

publik (pendapa - omah ngarep) sampai ke yang paling privat (pawon

dan kulah pada bagian omah mburi). Dari ruang yang paling sakral ke

ruang yang paling profan. Dari ruang yang paling bersih, sampai ruang

yang paling kotor. Kontinum ruang yang digambarkan ini juga

Cerrya Wuri Waheni

40 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7

menunjukkan kesinambungan dan ruang yang berfungsi untuk

memenuhi kebutuhan sosial budaya sampai ke ruang yang berfungsi

memenuhi kebutuhan emosional serta biologis.

Menurut Dakung (1987) dalam Iswati (2001:31), rumah Jawa

yang ideal terdiri dari paling tidak dua atau tiga unit bangunan yakni

pendapa (ruang pertemuan), pringgitan (ruang untuk pertunjukan) dan

dalem (ruang inti keluarga). Dalem dibedakan menjadi bagian luar yang

disebut emperan serta bagian dalam yang tertutup dinding, bagian

dalam terdiri atas dua bagian (depan dan belakang) ataupun tiga bagian

(depan, tengah dan belakang). Rumah dengan atap kampung atau

limasan, mempunyai dua bagian ruang, sementara rumah dengan

bentuk atap joglo mempunyai tiga bagian ruang. Bagian belakang

terdiri atas sentong kiwo, sentong tengen dan sentong tengah.

Cerrya Wuri Waheni

41 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7

Gambar 3: Unit dasar rumah tradisional Jawa. (Sumber: Tjahjono,

1989

Subroto (1995:42) menyebutkan bahwa di dalam pandangan

orang Jawa terdapat hubungan antara hirarki rasa personal dan konsep

perencanaan rumah tradisionalnya. Rumah Jawa dapat dibagi menjadi

tiga bagian. Pertama, adalah omah ngarep (rumah depan), yaitu tempat

untuk menerima tamu, dan ditandai dengan adanya pendopo. Bagian ini

merupakan bentuk dari sikap “ngarep-arep” (menanti dengan harap),

oleh karenanya pendopo diekspos dan diletakkan di bagian depan

rumah. Hal ini juga menunjukkan sikap ”ngajeni” (menghormati) oleh

pemilik rumah pada tamunya.

Cerrya Wuri Waheni

42 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7

Bagian kedua adalah omah njero (rumah dalam) yang terletak

di bagian tengah rumah, terdiri dari dalem / omah dan gandok. Omah

dibagi menjadi dua, yakni bagian dalam dan luar. Bagian dalam ini

bersuasana mistis, tertutup, dan gelap. Di sinilah aktivitas ritual pribadi

dilaksanakan. Suasana misterius ini menimbulkan rasa ajrih (takut).

Sementara emperan sebagai bagian luar omah berposisi sebagai ruang

transisi, antara pendopo sebagai ruang luar dan omah sebagai ruang

dalam, dan bisa dikatakan sebagai ruang semi privat, yang juga

mencerminkan rasa sungkan. Mengapit omah atau dalem, terdapat

gandok yang biasanya digunakan sebagai ruang makan, tidur, dan

berkumpul keluarga. Gandok ini menunjukkan sikap lingsem (malu).

Pringgitan berfungsi untuk istirahat dan pada saat-saat tertentu untuk

tempat mengadakan pertunjukkan wayang. Ruang dalem untuk istirahat

/ tidur anak-anak, sentong kanan dan sentong kiri berfungsi untuk ruang

tidur orang tua / menyimpan barang berharga, sentong tengah adalah

tempat sakral, sebagai tempat menyimpan benda pusaka.

Bagian ketiga adalah omah mburi (rumah belakang), yang

terdiri dari dapur, sumur dan kamar mandi. Bagian ini mewakili rasa

isin (sangat malu sekaligus rendah diri). Karenanya bagian ini harus

disembunyikan dan diposisikan jauh dari ruang publik.

Cerrya Wuri Waheni

43 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7

Gambar 4: Bagan Antar Hirarki Rasa Personal dengan Konsep Rumah

Jawa (Sumber: Subroto, 1995)

Di dalam perwujudannya dalam rumah tinggal, omah mburi

(datem, senthong, gandhok, pawon dan kulah) merupakan domain

wanita, sedang pendapa adalah domain laki-laki. Sementara pringgitan

merupakan batas/ruang transisi antara kedua domain di atas. Jadi

meskipun sering disebutkan bahwa semakin ke belakang, bagian rumah

Jawa akan semakin privat, tetapi peran gender dalam konteks budaya

Jawa dalam hal ini masih sangat berperan.

Pada kehidupan sehari-hari, tamu perempuan akan lebih

leluasa masuk ke dalem bahkan sampai ke dapur orang lain, sedangkan

tamu laki-laki tidak boleh begitu saja memasuki ruang-ruang belakang.

Kalau sedang ada hajat tetangga perempuan akan berkumpul untuk

memasak bersama di dapur, sedang para lelaki akan membantu bekerja

di bagian luar atau depan rumah. Bahkan di dalam keseharian pun, ada

anggapan bahwa laki-laki tidak pantas berada atau beraktivitas di dapur

Cerrya Wuri Waheni

44 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7

meskipun itu dapur rumahnya sendiri, karena dapur adalah wilayah

perempuan.

Menurut Iswati, dkk (1999:28), rumah Jawa umumnya

membagi rumahnya dalam tiga bagian yaitu profan, semi-profan dan

sakral. Biasanya profan ditunjukkan oleh adanya pendapa, dimana

setiap orang bisa memasukinya dan sifatnya publik, sedangkan

rumah/dalem merupakan bagian dari intinya terdiri dari senthong

tengah, senthong kiwa dan senthong tengen dan sifatnya privat/sakral.

Sedangkan gandhok kiwa dan gandhok tengen, gadri/pawon merupakan

ruang semi profan.

Tjahyono dalam Setyaningsih (2000:42), rumah bagi orang

Jawa merupakan manifestasi alam semesta dari jagad

cilik/mikrokosmos dalam keseluruhan jagad gede/makrokosmos. Salah

satu konsep rumah Jawa adalah konsep Mancapat (pat jupat lima

pancer) yaitu empat arah mata angin dan satu pada titik sentral sebagai

lambang dari pengejawantahan budaya Jawa yang berkaitan dengan tata

ruang makrokosmos dan mikrokosmos. Hal ini sesuai dengan penataan

bangunan keraton dengan sumbu orientasi utara-selatan dan timur-

barat.

Tjahjono (1989:71) mengemukakan konsep tentang rumah

tinggal Jawa adalah center and duality. Aktivitas yang berlangsung di

dalam rumah terbagi menjadi aktivitas rutin (kegiatan sehari-hari) dan

non-rutin (kegiatan ritual). Pembedaan gender di dalam ruang-ruang

tidak berlaku tegas dalam aktivitas rutin yang melibatkan seluruh

penghuni kecuali dapur (area wanita), sentong dan ruang tengah (area

Cerrya Wuri Waheni

45 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7

pria dan wanita), pojok selatan-barat (area wanita), pojok selatan-timur

(area pria). Biasanya dalam beraktivitas rutin penghuni menghindari

sentong tengah karena dipercaya pusat spiritual dari rumah dan kegiatan

ritual, ruang yang menghubungkan tanah dengan udara melalui api.

Tjahjono dalam Setyaningsih (2000:43), rumah bagi orang

Jawa merupakan manifestasi alam semesta dari jagad cilik /

mikrokosmos dalam keseluruhan jagad gede / makrokosmos. Salah satu

konsep rumah Jawa adalah konsep Mancapat (pat jupat lima pancer)

yaitu empat arah mata angin dan satu pada titik sentral sebagai lambang

dari pengejawantahan budaya Jawa yang berkaitan dengan tata ruang

makrokosmos dan mikrokosmos. Hal ini sesuai dengan penataan

bangunan keraton dengan sumbu orientasi utara-selatan dan timur-

barat.

D. Ciri Rumah Tinggal Kotagede

Membahas ‘Kotagede’ tidak akan lepas dari aspek ‘tradisional

Jawa’ yang melingkupi kawasan tersebut. Rumah tinggal di Kotagede

sebagian besar masih mempunyai akar rumah tinggal Jawa, terdiri dari

tiga bangunan/ruang utama yaitu pendapa, dalem terdiri dari ruang-

ruang pringgitan, dalem, sentong kanan, tengah dan kiri. Gandok terdiri

dari gandok timur dan barat. Mengenai bentuk, bahan, skala dan hiasan

(ornamen) tergantung status sosial/ekonomi penghuni rumah.

Rumah tinggal di Kotagede terutama di dalam kampung, karena

terbatasnya tanah kepadatan menjadi tinggi, jarak antar rumah menjadi

sempit sehingga ujud rumah tidak sepenuhnya sama dengan rumah

tradisional Jawa, terdiri dari bangunan dalem, pendapa, gandok

Cerrya Wuri Waheni

46 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7

belakang. Bagi yang mempunyai tanah agak luas ditambah dengan

gandok timur/barat.

Menurut Zubair (1979) dalam Iswati (1999:12) bahwa pada

masa sebelum tahun 1910, masyarakat Kotagede merupakan

masyarakat Kejawen, yaitu masyarakat yang berorientasi pada

kekuasaan Raja Mataram (Yogyakarta dan Surakarta) sebagai titik

pusatnya. Nilai-nilai budaya yang berpengaruh adalah Kejawen. Pada

periode inilah rumah-rumah atau bangunan-bangunan yang khas

Kotagede dibangun, rumah-rumah inilah yang lazim disebut rumah

tradisional Jawa.

Amiseno (1986) dalam Iswati (1999:12), mengatakan bahwa

pada rumah tinggal di Kotagede, disamping posisi pendopo yang

terpisah dengan bangunan induknya, terdapat fenomena lain, yaitu

seringnya dijumpai jalan rukunan diantara pendopo dan bangunan

induknya, atau jalan rukunan yang terletak di depan pendopo.

Menurut hasil penelitian Ikaputra (1993) dalam Iswati

(2001:37) diperoleh temuan bahwa rumah tinggal yang terdapat di

Kotagede selalu memiliki bagian inti (yaitu bagian yang selalu ada,

ditemukan pada 80% lebih dari sampel) yang terdiri dari ruang tamu,

ruang tidur dan dapur. Menurut hasil penelitian Islam (2000) dalam

Iswati (2001:37) diperoleh temuan bahwa pada rumah tinggal di lahan

terbatas selalu diprioritaskan adanya KM/WC dan ruang tidur,

kemudian prioritas kedua adalah ruang tamu.

Menurut Wikantyoso (1992) dalam Iswati (2001:37) struktur

ruang rumah Jawa di Kotagede terdiri dari ruang inti (core): dalem,

Cerrya Wuri Waheni

47 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7

sentong (kiwa, tengah dan tengen), pringgitan dan pendopo, ruang

pelengkap (peripheral): gandok (kiwa, tengen), omah mburi, pekiwan,

rukunan.

Menurut Iswati (2001:29-31), rumah tinggal Kotagede adalah

rumah yang memiliki elemen-elemen denah seperti pada rumah

tradisional Jawa dengan fungsi untuk rumah tinggal yang spesifik.

Gambar. 4; Rumah tipe lengkap Kotagede (Sumber: Iswati, 2001)

Cerrya Wuri Waheni

48 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7

Pada umumnya terdapat pemisahan yang tegas antara bagian

luar dan bagian dalam rumah. Adanya tiga bagian utama dari rumah,

yaitu bagian luar : pendapa, bagian antara: pringgitan / emper, dan

bagian dalam: dalem (yang terdiri dari dalem ageng dan sentong).

Dalam rumah Jawa tipe lengkap terdapat adanya sumbu simetri

(imaginer) yang membagi dua, rumah secara memanjang dari utara ke

selatan yaitu bagian timur dan barat. Selain itu pagar halaman dengan

dinding yang tinggi, menggunakan regol yang letaknya tidak dalam satu

garis dengan pintu dalem.

III. Kesimpulan.

Setelah melakukan olah data dan menganalisis, maka

didapatkan hasil penelitian tentang karakteristik pola spasial pada

rumah tinggal compound di kawasan Kotagede melalui metode spatial

syntax, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Aktivitas

Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa aktivitas pada

rumah tinggal compound di kawasan Kotagede Yogyakarta pada

umumnya memiliki kecenderungan:

a. Level teratas dan level non distribusi terakhir terdapat aktivitas

tidur, berhias, berganti/menyimpan pakaian, beribadah (sholat).

b. Level 3 terdapat dalem, dengan aktivitas di dalamnya cenderung

tidur, menyimpan, kerja.

c. Level 2 terdapat emper, dengan aktivitas di dalamnya

cenderung menerima tamu, duduk santai dan kerja. Selain itu

Cerrya Wuri Waheni

49 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7

cenderung terdapat gandok, dengan aktivitas di dalamnya

menonton tv, makan, menyimpan, menyetrika.

d. Level non distribusi terakhir terdapat juga pada kamar mandi,

biasanya terletak pada level 2.

e. Level terendah/ level 1 terdapat jalan rukunan, dimana aktivitas

di dalamnya adalah mengobrol, bermain anak, menjemur.

Selain itu terdapat gandok belakang, aktivitas di dalamnya

cenderung pada memasak, mencuci, makan, menyimpan

makanan, barang pecah belah dan perkakas rumah tangga.

f. Aktifitas harian (basic need) antara lain : makan, memasak,

mencuci, membersihkan, menyimpan dan menonton tv, rata-

rata terjadi pada waktu, situasi dan kondisi yang hampir

bersamaan dalam kesehariannya.

g. Aktivitas/ ritual harian yaitu sholat.

h. Aktivitas yang memerlukan privasi yang tinggi yaitu tidur dan

mandi.

i. Aktivitas yang berhubungan social intercourse yaitu pada saat

menerima tamu atau hubungan dengan tetangga, terjadi pada

area menerima tamu, jalan rukunan, dan emper.

j. Aktivitas yang membedakan gender/ position of women dalam

kesehariannya sudah tidak berlaku. Kecuali pada saat Ritual

Ceremonial (pernikahan, melahirkan, kematian), aktivitas laki-

laki berada di area depan (pendapa, pringgitan/emper) dan

perempuan cenderung di belakang (dapur).

Cerrya Wuri Waheni

50 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7

k. Ritual Ceremonial (pernikahan dan kematian), dalam rumah

tinggal compound, aktivitas memasak dan menerima tamu

masih melibatkan rumah tinggal disekitarnya.

2. Hirarki

Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa

hirarki/kedalaman ruang pada rumah tinggal compound di kawasan

Kotagede Yogyakarta yang dianalisis menurut pola hubungan non

distribusi dan simetris/asimetris pada umumnya memiliki

kecenderungan:

Area tidur, berhias dan menyimpan pakaian terletak pada level

teratas dan salalu terletak pada garis non distribusi terakhir. Area

ibadah/tempat sholat terletak pada level 4, kamar mandi dan area cuci

terletak pada level 4 merupakan non distribusi terakhir. Emper yang

pada umumnya digunakan untuk menerima tamu terletak pada level 2.

Dalem yang pada umumya digunakan untuk bekerja, menyimpan dan

terkadang juga sebagai ruang tidur terletak pada level 3. Area random

pada level 2,3,4 non distribusikan area tidur, area berhias, area

menyimpan pakaian, area ibadah/tempat sholat, kamar mandi dan area

cuci dengan jalan rukunan dan luar compound.

Ditinjau dari garis hirarki dan pola hubungan non distribusi,

area tidur, berhias, berganti/menyimpan pakaian , area ibadah/Sholat,

kamar mandi, area cuci merupakan non distribusi terakhir menempati

hirarki/kedalaman ruang terdalam, sehingga aktivitas di dalamnya

sangat membutuhkan tingkat privasi yang tinggi. Rata-rata rumah

Cerrya Wuri Waheni

51 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7

tinggal compound di kawasan Kotagede memiliki pola hubungan non

distribusi dengan 4 garis hirarki, kecuali apabila memiliki ruang

tambahan dengan adanya lantai 2.

3. Pola Hubungan Ruang

Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa pola hubungan

ruang pada rumah tinggal compound di kawasan Kotagede Yogyakarta

melalui analisis pola hubungan distribusi/ring/cincin memiliki

kecenderungan:

Jalan rukunan, digunakan untuk kepentingan bersama pada

compound yang bersangkutan, selain itu untuk kepentingan pribadi

antar lain untuk menjemur pakaian, mengobrol dan bermain anak.

Emper dengan aktivitas didalamnya secara umum adalah bersantai,

menerima tamu dan untuk beberapa kasus untuk kerja menjahit.

Ditinjau dari pola hubungan ruang/distribusi secara umum maka Emper

menduduki pola hubungan ruang yang paling tinggi karena untuk

mencapai Emper baik dari depan maupun belakang harus melalui dua

tahap (dua area sirkulasi). Sedangkan Dalem dengan aktivitas

didalamnya secara umum adalah tidur, menyimpan, kerja dan untuk

beberapa kasus untuk area sholat/ibadah memiliki hubungan ruang

dengan Emper dengan hirarki lebih tinggi.

Emper dan Dalem merupakan interaksi internal penghuni

rumah, sedangkan jalan rukunan dan luar compound merupakan

interaksi eksternal (keterbukaan/kebutuhan sosial) antara panghuni

dengan tetangga/publik, sedangkan Longkangan merupakan area

Cerrya Wuri Waheni

52 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7

sirkulasi penghubung antara internal dan eksternal. Hal tersebut

membuktikan bahwa rumah dalam compound di Kawasan Kotagede

Yogyakarta, kerukunan/interaksi antar warga masih sangat kuat.

Dari semua kasus yang diteliti, selain terbentuk karakteristik

tersebut, terbentuk pula keragaman. Faktor-faktor yang melatar

belakangi munculnya karakteristik pada rumah tinggal compound di

kawasan Kotagede Yogyakarta adalah kesamaan kondisi sosial budaya

yang membentuk kesamaan kognisi mengenai rumah tinggal dan histori

zaman dahulu sebagai rumah warisan turun temurun. Sementara faktor-

faktor yang melatar belakangi munculnya keseragaman adalah kondisi

sosial ekonomi dan budaya yang berkaitan dengan tuntutan kebutuhan

dan kemampuan ekonomi, perilaku budaya dan tingkat religi.

Tuntutan gaya hidup/kebutuhan keluarga, tuntutan ekonomi,

tuntutan akibat kebutuhan kerja, tuntutan akibat perluasan bangunan,

tuntutan akibat kebutuhan akan privasi yang lebih tinggi, tuntutan akan

luas ruang dan tuntutan kenyamanan fisik mengakibatkan perubahan

aktivitas di dalamnya tidak lagi sesuai dengan konsep rumah tinggal

Jawa. Tetapi masih ada ruang-ruang yang tetap dipertahankan dengan

aktivitas di dalamnya, antara lain emper, dalem dan gandok, penghuni

rumah hanya beradaptasi dan menyesuaikan.

Cerrya Wuri Waheni

53 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7

DAFTAR PUSTAKA

Alvares, E., 1996, Karakter Arsitektur kota Padang, Jurusan Tenik

Arsitektur UGM, Yogyakarta.

Amiseno, Wondo, 1986, Kotagede Between Two Gates, Department

of Architecture, Engineering Faculty Gadjah Mada University,

Yogyakarta.

Ardiyanto, A., 1996, Pola Spasial Permukiman Mlaten Semarang,

Tesis, Program Pascasarjana, Jurusan Teknik Arsitektur UGM,

Yogyakarta.

Budiharjo, Eko, 1996, Menuju Arsitektur Indonesia, Alumni, Bandung.

Collier, William L., 1981, Agricultural Evolution in Java, dalam Gary

E. Hansen, ed. Agricultural and Rural Development in

Indonesian, Boulder,Westview Press, Colorado.

Frick, H., 1997, Pola Struktur Dan Teknik Bangunan Di Indonesia;

Suatu pendekatan arsitektur Indonesia melalui patern language

secara konstruktif dengan contoh arsitektur Jawa Tengah,

Kanisius, Yogyakarta.

Habraken, NJ, 1978, General Principeles of About The Way

Environment Exist, Departement of Architecture, MT,

Massacuhussets

Hariyadi, Setiawan, B., 1995, Arsitektur Lingungan Dan Perilaku;

Suatu pengantar ke teori, metodologi dan aplikasi, Proyek

Pengembangan Pusat Studi Lingkungan; Dirjen Dikti

Depdikbud, Jakarta.

Hillier, Bill, and Hanson, Julienne, 1984, The Social Logic of Space,

Cambridge University Press, Cambridge.

Indartoro, L, 1992, Rumah Tinggal di Kotagede, Tinjauan Tipologi dan

Morphologi, Tesis Pascasarjana, Program Studi Teknik

Arsitektur UGM, Yogyakarta.

Cerrya Wuri Waheni

54 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7

Iswati, Triyuni, 2001, Perubahan Denah Rumah Tinggal di Kampung

Dalem Kotagede, Tesis, Pascasarjana, Jurusan Teknik

Arsitektur UGM, Yogyakarta.

Kennedy, Robert Woods. 1963, The House And The Art Of Its Design

: Reinhold Publishing Crporation, New York.

Listiati, Etty E, 1999, Rumah Tinggal Kampug Kauman Semarang,

Tesus S2, Program Pascasarjana, Jurusan Arsitektur UGM,

Yogyakarta.

Mulyani, Tri H., 1996, Karakter Visual Koridor Jl. Pemuda Semarang,

Tesis Program Pascasarjana, Program Studi Arsitektur, jurusan

Ilmu-Ilmu Teknik, UGM, Yogyakarta.

Mulyati, A., 1985, Pola Spasial Permukiman di Kampung Kauman

Yogyakarta, Tesis Program Pascasarjana, Program Studi

Arsitektur, jurusan Ilmu-Ilmu Teknik, UGM, Yogyakarta.

Musdari, 2004. Pola Spasial Permukiman Cina di Makasar. Tesis

Program Studi Jurusan Ilmu-Ilmu Teknik Universitas Gadjah

Mada.

Normies, A., 1992, Kamus Bahasa Indonesia, Karya Ilmu, Surabaya.

Pei, M., 1971, Encyclopedia Americana, Grolier Incorporated, New

York.

Poerwadarminta, 1972, Kamus Lengkap, Hasta, Jakarta.

Prasetyaningsih, Yulyta P. dan Nuryanto, 2005. Spatial Changes

Pattern on Chinese Houses in Lasem, Rembang. Proceedings

International Seminar on Culture Living, Department of

Architecture and Planning Gadjah Mada University.

Rapoport, A., and Altman, Irwin, 1980, Human Behavior and

Environment, Plenum Press, New York.

Cerrya Wuri Waheni

55 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7

Ronald, A., 1990, Ciri-ciri Karya Budaya di Balik Tabir Keagungan

Rumah Jawa, Uneversitas Atmajaya, Yogyakarta.

Santosa, B.Revianto dan Maharika, Ilya Fajar, 1999. Considering

Topological Entity and Level of Arrangement at The Basis of

Spatial Syntax in Vernacular Architecture in Java and Bali.

Proceedings Seminar on Vernacular Settlement : The role of

local knowledge in built environment, The Faculty of

Engineering University of Indonesia.

Setyaningsih, W, 2000, Sistem Spasial Rumah Ketib Di Kauman

Surakarta, Tesis S2 Jurusan Tenik Arsitektur UGM,

Yogyakarta.

Shirvani, H., 1985, The Urban Design Process, Van Nostrand Reinhold

Company, New York.

Sugini, 1997, Tipomorfologi Perubahan Rumah Pada Perumahan

Minomartani Yogyakarta; Tesis S2, Jurusan Teknik Arsitektur

UGM, Yogyakarta.

Sumardjo, Yakob, 2014. Estetika Paradoks, Penerbit Kelir,

Yogyakarta.

Sungguh, A., 1984, Kamus Istilah Teknik, Kurnia Esa, Jakarta.

Suryo, Djoko, dkk., 1985, Gaya Hidup Masyarakat Jawa Di Pedesaan

: Pola Kehidupan Sosial Ekonomi dan Budaya, Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan,

Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara.

Titik, Y., 1995, Sistem Visual Kawasan Pusat Kota Lama, Tesis

Program Pascasarjana, Program Studi Arsitektur, jurusan Ilmu-

Ilmu Teknik, UGM, Yogyakarta.

Tjahjono, Gunawan, 1989. Cosmos, Center, and Duality in Javanese

Architectural Traditions : The Symbolic Dimensions of House

Shapes in Kotagede and Surroundings.Dissertation Doctor of

Cerrya Wuri Waheni

56 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7

Philosophy in Architecture of the University of California at

Berkeley.

Widayati, Naniek, 1989, Karakteristik Perkampungan Laweyan di

Surakarta, Pusat Penelitian Teknologi dan Pemukiman, Univ.

Tarumanegara, Jakarta.

Wiryomartono, A. Bagoes P., 1995, Seni Bangunan dan Seni Binakota

di Indonesia, Kajian mengenai Konsep, Struktur, dan Elemen

Fisik Kota sejak Peradaban Hindu-Budha, Islam hingga

Sekarang, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Yudohusodo, Siswono, 1991 Rumah Untuk Seluruh Rakyat,

Kementrian Perumahan Rakyat Republik Indonesia, Jakarta.

www.yogyes.com.