Erupsi obat.docx

11
Erupsi obat Erupsi obat dapat mirip dengan dermatosis. Morfologinya banyak sekali, dapat berupa bentuk morbilli, urtikarial, papuloskuamosa, pustular dan bulosa. Reaksi yang diinduksi obat harus dipikirkan pada pasien yang mengkonsumsi obat yang secara tiba-tiba menyebabkan erupsi kulit yang simetris. Obat-obatan yang dapat menyebabkan reaksi tersebut adalah agen anti mikroba, NSID, sitokin, agen kemoterapi, anti konvulsi, agen psikotropik. Etiologi Obat-obatan seperti Amoxicillin - 5.1% Trimethoprim sulfamethoxazole - 4.7% Ampicillin - 4.2% Semisynthetic penicillin - 2.9% Darah - 2.8% Penicillin G - 1.6% Cephalosporins - 1.3% Quinidine - 1.2% Gentamicin sulfate - 1% PRC-Packed red blood cells - 0.8% Diuretic Mercurial - 0.9% Heparin - 0.7% Obat yang umunya menyebabkan reaksi yang parah adalah sebagai berikut:

Transcript of Erupsi obat.docx

Erupsi obatErupsi obat dapat mirip dengan dermatosis. Morfologinya banyak sekali, dapat berupa bentuk morbilli, urtikarial, papuloskuamosa, pustular dan bulosa. Reaksi yang diinduksi obat harus dipikirkan pada pasien yang mengkonsumsi obat yang secara tiba-tiba menyebabkan erupsi kulit yang simetris. Obat-obatan yang dapat menyebabkan reaksi tersebut adalah agen anti mikroba, NSID, sitokin, agen kemoterapi, anti konvulsi, agen psikotropik.EtiologiObat-obatan seperti Amoxicillin - 5.1% Trimethoprim sulfamethoxazole - 4.7% Ampicillin - 4.2% Semisynthetic penicillin - 2.9% Darah - 2.8% Penicillin G - 1.6% Cephalosporins - 1.3% Quinidine - 1.2% Gentamicin sulfate - 1% PRC-Packed red blood cells - 0.8% Diuretic Mercurial - 0.9% Heparin - 0.7%Obat yang umunya menyebabkan reaksi yang parah adalah sebagai berikut: Allopurinol Anticonvulsants NSAIDs Sulfa drugs Bumetanide Captopril Furosemide Penicillamine Piroxicam Thiazide diureticsPatofisiologi Erupsi obat dapat dibagi jadi reaksi yang dimediasi imunologi dan reaksi yang tidak dimediasi imunologi Reaksi yang dimediasi imunologikCoombs dan Gell mengusulkan 4 tipe reaksi yang dimediasi system imun sebagai berikut: Tipe I-Reaksi tergantung Imunoglobulin E yang menghasilkan ertikaria, angioedema, dan anafilaksis.

Tipe II-reaksi sitotoksik yanag menyebabkan hemolisis dan purpura.

Tipe III adalah reaksi kompleks imun yang menyebabkan vaskulitis, serum sickness dan urtikaria Tipe IV ada reaksi tertunda dengan hipersensitivitas yang dimediasi sel, yang menyebabkan dermatitis kontak, reaksi exanthematous, reaksi fotoalergik.Insulin dan protein dikaitkan dengan reaksi I. penisilin, sefalosporin, sulfonamide dan riramfin di ketahui menyebabkan reaksi tipe II. Quinine, salisilat, chlorphromazine dan sulfonamide menyebabkan reaksi tipe III. Medikasi topoken seperti neomycin, dan juga obat golongan sulfa (toxic epidermal necrolysis) menyebabkan reaksi tipe IV.Walaupun paling banyak erupsi obat adalah tip eke empat, hanya minoritas yang dependen IgE. Antiantibodi dapat dibuktikan pada kurang dari 5% reaksi obat kutaneus. Tipe reaksi tipe IV ini tidak tergantung dosis, biasanya mulai 7-20 hari setelah medikasi dimulai, dapat juga terkait eosinofil darah/jaringan dan bisa muncul lagi jika obat yang menjadi agen penyebab diberikan lagi pada pasien yang bersangkutan. Reaksi yang tidak dimediasi imunologikReaksi yang tidak dimediasi imunologik dapat diklasifikasikan berdasarkan cirri akumulasi, efek samping, perilisan mediator sel mast secara langsung, reaksi idiosyncratic, intoleransi fenomena Jarisch-Herxheimer, overdosis, dermatitis fototoksik. Sebagai contoh untuk akumulasi adalah argyria (perubahan warna kulit dan kuku jadi biru-keabuabuan) diobservasi karena penggunaan silver nitrate dan nasal spray. Efek samping normal terjadi, tetapi memang tetap dihindari, sebagai contoh, antimetabolit agen kemoterapi seperti cyclophosphamide dikaitkan dengan kerontokan rambut. Perilisan secara langsung mediator kimia oleh sel mast adalah fenomeda tergantung dosis yang ditidak melibatkan anti antibody. Sebagai contoh, aspirin, NSID lainnya menyebabkan perubahan produksi leukotrien yang mentrigger pelepasan histamine dan mediator sel mast yang lain. Material kontras radiografi, alcohol, sitokin, opiate, cimetidine, quinine, hidralazine, atropine, vancomycin dan tubocurarine juga dapat menyebabkan pengeluaran mediator sel mast. Reaksi idiosinkratik tidak dapat diprediksi dan tidak dapat dijelaskan secara farmakologi obat terkait. Sebagai contoh, orang yang terinfeksi mononucleosis yang muncul ruam pada kulitnya setelah diberikan ampicillin. Ketidakseimbangan flora endogen dapat terjadi ketika agen antimikroba mensupresi suatu spesies mikroba tertentu, menyebabkan organism/spesies lagi berkembang lebih dominan. Contohnya candidiasis sering muncung dengan terapi antibiotic. Intoleransi dapat terjadi pada pasien yang mengalami kelainan metabolisme. Contohnya pada pasien yang slow acetylators terhadap enzim Nacetyltransferase yang cenderung menyababkan lupu yang diinduksi obat sebagai respond ari procainamide. Fenomena Jarisch-Herxheimer adalah reaksi yang diakibatkan oleh endotoksin bakteri dan antigen mikroba yang menjadi bebas karena penghancuran mikroba itu sendiri. Karakteristiknya adlaah munculnya demam, lymfadenopati yang nyeri tekan, arthralgia, erupsi macular dan urticarial dan eksaserbasi lesi kuta yang telah ada sebelumnya. Reaksi tersebut tidak mengindikasikan untuk menghentikan terapi karena gejala dapat hilang dengan melanjutkan terapi. Reaksi inid apat di lihat pada terapi sifilis, griseofulvin atau ketokonazole untuk infeksi dematofita dan dietilcarbamazine untuk oncocerciacis Overdosis adalah respon berlebihan terhadap peningkatan jumlah medikasi yang diberikan. Sebagai contoh, peningkatan dosis antikoagulan menyebabkan purpura. Dermatitis fototoksik adalah respon sunburn berlebihan yang menyebabkan formasi produk toksik seperti radikal bebasa dan spesies oksigen reaktif.

Diagnosis AnamnesisAnamnesis seperti biasa tetap dilakukan, tapi lebih difokuskan terhadap riwayat reaksi tertentu karena makanan atau obat tertentu. Perhatikan adanya penyakit metabolic, imunokompromice, karena hal tersebut meningkatkan terjadinya erupsi obat. Hal yang perlu detail digali adalah sebagai berikut: Obat-obatan yang dapat dibeli tanpa resep dokter harus ditanyakan pada pasien termasuk agen topical, vitamin,dll Interval antara paparan obat dengan onset terjadinya erupsi Rute pemberian obat, dosis durasi dan frekuensi pemberian obat Penggunaan secara parenteral (karena menyebabkan reaksi anafilaksis) Penggunaan obat seca topical (lebih menyebabkan reaksi hipersensitifitas tertunda) Penggunaan terapi obat yang banyak dan penggunaan yang lama, yang menyebabkan sensitisasi alergik Adanya pengurangan gejala setelah obat dihentikan atau ada reaksi setelah diberikan kembali. Pemeriksaan fisikPada setiap erupsi obat, sangat penting untuk mengevaluasi cirri klinis yang mengindikasikan reaksi obat yang parah, yang potensial untuk menyebabkan kematian seperti TEN dan sindrom hipersensitivitas. Cirri tersebut adalah sebagai berikut: Erosi membrane mukosa Terbentuk bullae Tanda Nikolsky positif Eritema Angioedema dan pembengkakan lidah Purpura yang dapat dipalpasi Nekrosis kulit

Limfadenopati Demam tinggi, dyspneu atau hipotensi Acneiform: dikarakteristikkan dengan adanya papule dan pustule inflamasi yang memiliki pola folikular. Lesinya terlokalisir secara primer pada badan atas Eritema akral (erythrodysesthesia) Acute generalized exanthematous pustulosis (AGEP) Eritroderma

Eritema nodusum

Fixed drug eruption

Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan in vivo: uji temple, iji tusuk, uji provokasi Pemeriksaan in vitro: Yang diperantai antibody: hemaglutinasai pasif, radio immunoassay, degranulasi basofil, tes fiksasi komplemen Yang diperantarai sel: tes transformasi limfosit dan leukocyte migration inhibition test

Penatalaksanaan dan PencegahanPengobatan erupsi obat belum memuaskan, antara lain karena kesukaran dalam memastikan penyebabnya, apakah karena obat atau metabolitnya. Pengobatan dibagai menjadi pengobatan kausal dan simptomatik. Pengobatan kausal. Dilaksanakan dengan menghindari obat yang menjadi tersanga (apabila obat yang disangka tersebut dapat dipastikan). Dianjurkan pula untuk menghinda ri obat yang memiliki struktur kimia yang mirip denga obat yang disangka menjadi penyebab erupsi (obat-obatan satu golongan) Pengobatan simptomatik. Pengobatan dilaksanakan sesuai tipe reaksi yang mendasarinya. Reaksi anafilaktif (tipe 1), bila terjadi syok, diberikan epinefrin 1:1000 sebanyak 0,3-0,5 ml secara subkutan atau intravena. Antihistamin dan kortikosteroid dapat diberikan tetapi bukan merupakan pengobatan lini pertama. Umumnya reaksi dapat diatasi dalam waktu 15-20 menit, meskipun penderita harus diamati selama 24 jam berikutnya untuk mencegah komplikasi Pada reaksi tipe lain, penghentian penggunaan obat yang menjadi disangka menjadi penyebab umumnya cukup memberikan hasil yang baik. Sesuai dengan berat-ringannya reaksi, penggunaan kortikosteroid (prednisone 40-100mg/hari) dan antihistamin dapat dipertimbangkan.Apabila obat tersangka penyebab erupsi obat telah dapat dipastikan, maka sebaiknya kepada penderita diberi catatan berupa kartu kecil yang memuat jenis obat tersebut beserta golongannya. Kartu tersebut dapt ditunjukkan bilamana diperlukan (misalnya penderita berobat), sehingga dapat dicegak pajanan ulang yang memungkinkan terulangnya erupsi obat.Prognosis dan KomplikasiPenyembuhan sempurna tanpa adanya komplikasi sangat diharapkan dari kasus erupsi obat ini. Walaupun setelah agen yang bertanggung jawab dihentikan penggunaannya, erupsi obat dapat membai secara lambat ataupun dapat menjadi lebih buruk pada beberapa hari berikutnya. Beberapa hal yang harus digaris bawahi: Pasien dengan erupsi exanthematous harus dikonsultasikan, mengharapkan deskuamasi ringan sebagaimana agar rash dapat hilang Pasien dengan sindrom hipersensitivitas beresiko menjadi hipotiroid, biasanya dalam 4-12 minggu setelah reaksi Pada pasien dengan TEN, pembentukan jaringan parut, kebutaan dan kematian dapat saja terjadi.