Epistasis Dominan Duplikat Dan Epistasis Gen Duplikat Dengan Efek Kumulatif

18
Epistasis Dominan Duplikat dan Epistasis Gen Duplikat dengan Efek Kumulatif A. PENDAHULUAN Dalam beberapa kasus, persilangan dengan sifat beda lebih dari satu kadang menghasilkan keturunan dengan perbandingan yang berbeda dengan hukum Mendel. Semisal, dalam suatu persilangan monohibrida (dominan resesif), secara teori, akan didapatkan perbandingan 3:1, sedangkan pada dihibrida didapatkan perbandingan, 9:3:3:1. Namun pada kasus tertentu, hasilnya bisa lain, misal untuk monohibrida bukan 3:1 tapi 1:2:1. Dan pada dihibrida, mungkin kombinasi yang mucul adalah, 9:6:1 atau 15:1. Munculnya perbandingan yang tidak sesuai dengan hukum Mendel ini disebut "Penyimpangan Semu Hukum Mendel", kenapa "Semu", karena prinsip segregasi bebas tetap berlaku, hal ini disebabkan oleh gen-gen yang membawa sifat memiliki ciri tertentu. Penyimpangan semu hukum Mendel : terjadinya suatu kerjasama berbagai sifat yang memberikan fenotip berlainan namun masih mengikuti hukum- hukum perbandingan genotip dari Mendel. Penyimpangan semu ini terjadi karena adanya 2 pasang gen atau lebih saling mempengaruhi dalam memberikan fenotip pada suatu individu. Peristiwa pengaruh mempengaruhi antara 2 pasang gen atau lebih disebut Interaksi Gen. Dalam percobaan- 1

Transcript of Epistasis Dominan Duplikat Dan Epistasis Gen Duplikat Dengan Efek Kumulatif

Page 1: Epistasis Dominan Duplikat Dan Epistasis Gen Duplikat Dengan Efek Kumulatif

Epistasis Dominan Duplikat dan Epistasis Gen Duplikat dengan Efek

Kumulatif

A. PENDAHULUAN

Dalam beberapa kasus, persilangan dengan sifat beda lebih dari satu kadang

menghasilkan keturunan dengan perbandingan yang berbeda dengan hukum Mendel.

Semisal, dalam suatu persilangan monohibrida (dominan resesif), secara teori, akan

didapatkan perbandingan 3:1, sedangkan pada dihibrida didapatkan perbandingan,

9:3:3:1. Namun pada kasus tertentu, hasilnya bisa lain, misal untuk monohibrida

bukan 3:1 tapi 1:2:1. Dan pada dihibrida, mungkin kombinasi yang mucul adalah,

9:6:1 atau 15:1. Munculnya perbandingan yang tidak sesuai dengan hukum Mendel

ini disebut "Penyimpangan Semu Hukum Mendel", kenapa "Semu", karena prinsip

segregasi bebas tetap berlaku, hal ini disebabkan oleh gen-gen yang membawa sifat

memiliki ciri tertentu. Penyimpangan semu hukum Mendel : terjadinya suatu

kerjasama berbagai sifat yang memberikan fenotip berlainan namun masih mengikuti

hukum-hukum perbandingan genotip dari Mendel. Penyimpangan semu ini terjadi

karena adanya 2 pasang gen atau lebih saling mempengaruhi dalam memberikan

fenotip pada suatu individu. Peristiwa pengaruh mempengaruhi antara 2 pasang gen

atau lebih disebut Interaksi Gen. Dalam percobaan-percobaan genetika, para ahli

sering menemukan ratio fenotip yang ganjil, seakan-akan tidak mengikuti hukum

mendel. Misalnya pada perkawinan antara 2 individu dengan 2 sifat beda, ternyata

ratio fenotip f2 tidak selalu 9:3:3:1. Tetapi sering dijumpai perbandingan-

perbandingan 9:7, 12:3:1, 15:1, 9:3:4 dll. Bila diteliti betul-betul angka-angka

perbandingan di atas, ternyata juga merupakan penggabungan angka-angka

perbandingan mendel. 9:7 = 9:(3+3+1), 12:3:1 = (9+3):3:1, 15:1 = (9+3+3):1, 9:3:4 =

9:3:(3+1). Oleh sebab itu disebut penyimpangan semu, karena masih mengikuti

hukum mendel. Namun dalam makalah ini penulis khusus membahas mengenai

epistasis dominant duplikat (15:1) dan epistasis gen duplikat dengan efek

kumulatif (9:6:1) sesuai dengan pembagian tugas yang telah diberikan.

1

Page 2: Epistasis Dominan Duplikat Dan Epistasis Gen Duplikat Dengan Efek Kumulatif

B. PEMBAHASAN

2.1. Interaksi Antar Gen-Gen

Selain mengalami berbagai modifikasi nisbah fenotipe karena adanya

peristiwa aksi gen tertentu, terdapat pula penyimpangan semu terhadap hukum

Mendel yang tidak melibatkan modifikasi nisbah fenotipe, tetapi menimbulkan

fenotipe-fenotipe yang merupakan hasil kerja sama atau interaksi dua pasang gen

nonalelik. Peristiwa semacam ini dinamakan interaksi gen.

Peristiwa interaksi gen pertama kali dilaporkan oleh W. Bateson dan R.C.

Punnet setelah mereka mengamati pola pewarisan bentuk jengger ayam. Dalam hal

ini terdapat empat macam bentuk jengger ayam, yaitu mawar, kacang, walnut, dan

tunggal, seperti dapat dilihat pada Gambar dibawah ini.

Persilangan ayam berjengger mawar dengan ayam berjengger kacang

menghasilkan keturunan dengan bentuk jengger yang sama sekali berbeda dengan

bentuk jengger kedua tetuanya. Ayam hibrid (hasil persilangan) ini memiliki jengger

berbentuk walnut. Selanjutnya, apabila ayam berjengger walnut disilangkan dengan

sesamanya, maka diperoleh generasi F2 dengan nisbah fenotipe walnut : mawar :

kacang : tunggal = 9 : 3 : 3 : 1.

Dari nisbah fenotipe tersebut, terlihat adanya satu kelas fenotipe yang

sebelumnya tidak pernah dijumpai, yaitu bentuk jengger tunggal. Munculnya fenotipe

ini, dan juga fenotipe walnut, mengindikasikan adanya keterlibatan dua pasang gen

nonalelik yang berinteraksi untuk menghasilkan suatu fenotipe. Kedua pasang gen

2

Page 3: Epistasis Dominan Duplikat Dan Epistasis Gen Duplikat Dengan Efek Kumulatif

tersebut masing-masing ditunjukkan oleh fenotipe mawar dan fenotipe kacang.

Apabila gen yang bertanggung jawab atas munculnya fenotipe mawar adalah R,

sedangkan gen untuk fenotipe kacang adalah P, maka keempat macam fenotipe

tersebut masing-masing dapat dituliskan sebagai R-pp untuk mawar, rrP- untuk

kacang, R-P- untuk walnut, dan rrpp untuk tunggal.

Pada jurnal (Achmad Baihaki, 2007) penentuan nisbah pewarisan aktivitas

nitrat reduktase pada Daun dan pada akar ditentukan berdasarkan hasil penelitian.

Satu puncak maka pewarisan poligenik. Membentuk dua puncak, maka kemungkinan

nisbah yang terjadi adalah 3 : 1 (dominant sempurna), 9 : 7 (epistasis duplikat

resesif), 15 : 1 (epistasis duplikat dominant) atau 13 : 3 (epistasis dominant resesif).

Membentuk tiga puncak, maka kemungkinan nisbah yang terjadi adalah1 : 2 : 1

(dominant tidak sempurna),9 : 3 : 4 (epistasis resesif, 9 :6: 1 (efek duplikat

kumulatif), atau 12 : 3 : 1 (epistasis dominan). Membentuk lebih dari tiga puncak,

kemungkinan mengikuti nisbah 9 : 3 : 3 : 1 (dominan penuh digenik), atau 6 : 3 : 3 : 4

(dominan tidak sempurna digenik).

Berdasarkan hasil analisis jalur yang dilakukan oleh Ahmed dkk. (1997)

diketahui bahwa komponen hasil yang paling penting pada tanaman cabai adalah

jumlah buah tiap tanaman dan ratarata berat per buah (average fruit weight), karena

jumlah buah tiap tanaman dan rata-rata berat per buah berkorelasi positif dan

berpengaruh secara langsung terhadap hasil cabai. Dengan demikian salah satu upaya

peningkatan hasil dapat ditempuh dengan meningkatkan jumlah buah per tanaman.

Karakter jumlah bunga tiap nodus hasil persilangan antara Capsicum annuum ×

Capsicum chinense diwariskan secara kualitatif, dikendalikan sedikitnya oleh dua gen

yang bekerja secara epistasis dominan resesif mengikuti pola 13 : 3 dengan terdapat

pengaruh interaksi aditif × dominan dan dominan × dominan. Karakter ini juga

dipengaruhi oleh aksi gen dominan tidak sempurna ke arah jumlah bunga tiap nodus

yang lebih sedikit (Capsicum annuum L).

(Muhammad Azrai, 2005)

3

Page 4: Epistasis Dominan Duplikat Dan Epistasis Gen Duplikat Dengan Efek Kumulatif

Selain itu, biasanya kita beranggapan bahwa suatu sifat keturunan yang

nampak pada suatu individu itu ditentukan oleh sebuah gen tunggal, misalnya bunga

merah oleh gen R, bunga putih oleh gen r, buah bulat oleh gen B, buah oval (lonjong)

oleh gen b, batang tiggi oleh gen T, batang pendek oleh gen t dll. Akan tetapi dalam

kehidupan sehari-hari seringkali kita mengetahui bahwa cara diwariskannya sifat

keturunan tidak mungkin diterangkan dengan pedoman tersebut di atas, karena sulit

sekali disesuaikan dengan hukum-hukum mendel.

Sebuah contoh klasik yang dapat dikemukakan di sini ialah hasil percobaan

Wiliam Bateson dan R.C Punnet ada permulaan abad ini. Mereka mengawinkan

berbagai macam ayam negeri dengan memperhatikan bentuk jengger di atas kepala.

Ayam Wyandotte mempunyai jenger tipe mawar (“rose“), sedang ayam Brahma

berjengger tipe ercis (“pea“). Pada waktu dikawinkan ayam berjengger mawar ercis

didapatkan ayam-ayam F1 yang kesemuanya mempunyai jengger bersifat walnut

(“walnut“= nama semacam buah). Mula-mula dikira bahwa jengger tipe walnut ini

intermedier. Tetapi yang mengherankan ialah bahwa pada waktu ayam-ayam walnut

itu dibiarkan kawin sesamanya dan dihasilkan banyak ayam-ayam F2 maka

perbandingan 9:3:3:1 nampak dalam keturunan ini. Kira-kira 9/16 bagian dari ayam-

ayam F2 ini berjengger walnut. 3/16 mawar, 3/16 ercis dan 1/16 tunggal (single).

Fenotip jengger yang baru ini disebabkan karena adanya interaksi (saling

pengaruh) antara gen-gen. adanya 16 kombinasi dalam F2 memberikan petunjuk

bahwa ada 2 pasang alel yang berbeda ikut menentukan bentuk dari jengger ayam.

Sepasang alel menentukan tipe jengger mawar dan sepasang alel lainnya untuk tipe

jengger ercis. Sebuah gen untuk mawar dan sebuh gen untuk ercis mengadakan

interaksi menghasilkan jengger walnut, seperti terlihat pada ayam-ayam F1. Jengger

mawar ditentukan oleh gen dominan R(berasal dari “rose”), jengger ercis oleh gen

dominan P (berasal dari “pea”). Karena itu ayam berjengger mawar homozigot

mempunyai genotip RRpp, sedangkan ayam berjengger ercis homozigot mempunyai

genotip rrPP. Perkawinan dua ekor ayam ini menghasilkan F1 yang berjengger walnut

(bergenotip RrPp) dan F2 memperlihatkan perbandingan fenotip 9:3:3:1.

4

Page 5: Epistasis Dominan Duplikat Dan Epistasis Gen Duplikat Dengan Efek Kumulatif

Gen R dan gen P adalah bukan alel, tetapi masing-masing domina terhadap

alelnya (R dominan terhadap r, P dominan terhadap p). sebuah atau sepasang gen

yang menutupi (mengalahkan) ekspresi gen lain yang buka alelnya dinamakan gen

yang epistasis. Gen yang dikalahkan ini tadi dinamakan gen yang hipostasis.

Peristiwanya disebut epistasi dan hipostasi.

2.2. Penyimpangan Semu Hukum Mendel

Nisbah genotip maupun fenotip yang dihasilkan oleh Mendel akan terpenuhi

jika setiap sifat hanya ditentukan oleh alel dalam satu lokus. Alel dalam setiap lokus

bersegregasi bebas dengan lokus lain, dan gen-gen terdapat pada inti. Pada kasus-

kasus tertentu, perbandingan fenotip 9 : 3 : 3 : 1 tidak dipenuhi, tetapi menghasilkan

perbandingan fenotip yang berbeda, misalnya 9 : 3 : 4, 15 : 1, atau 12 : 3 : 1.

Munculnya perbandingan yang tidak sesuai ini disebut penyimpangan semu hukum

Mendel. Penyimpangan semu ini terjadi karena adanya 2 pasang gen atau lebih saling

mempengaruhi dalam memberikan fenotip pada suatu individu. Peristiwa pengaruh

mempengaruhi antara 2 pasang gen atau lebih disebut Interaksi Gen. Interaksi gen ada

Beberapa macam, antara lain :

1. Komplementer (Epistasis resesif duplikat)

Adalah peristiwa dimana 2 gen dominan saling mempengaruhi atau

melengkapi dalam mengekspresikan suatu sifat. Ratio fenotipe 9:7.

2. Kriptomeri (Epistasis resesif)

Adalah peristiwa dimana suatu faktor dominan baru nampak pengaruhnya bila

bertemu dg faktor dominan lain yang bukan alelanya. Faktor dominan ini seolah-olah

sembunyi (kriptos). Ratio fenotipe 9:3:4.

3. Epistasis – Hipostasis (Epistasis Dominan)

5

Page 6: Epistasis Dominan Duplikat Dan Epistasis Gen Duplikat Dengan Efek Kumulatif

Adalah peristiwa dimana 2 faktor yang bukan pasangan alelanya dapat

mempengaruhi bagian yang sama dari suatu organisme. Ratio fenotipe 12:3:1.

4. Epistasis dominant Resesif

Bila gen dominan (A) epistatik terhadap gen lain yang bukan sealela (B dan

b), sedangkan sepasang gen resesif (bb) epistatik terhadap gen lain yang bukan

sealela (A dan a). Ratio fenotipe 13:3.

5. Epistasis dominant duplikat (Polimeri)

Adalah peristiwa dimana beberapa sifat beda yang berdiri sendiri-sendiri

mempengaruhi bagian yang sama dari suatu individu. Bila gen A epistatik terhadap B

dan b, sedangkan B epistatik terhadap A dan a. Ratio fenotipe 15:1.

6. Gen Duplikat dengan efek kumulatif

Terjadi bila keberaadaan gen-gen resesif aa dan bb memberi efek yang sama.

Ratio fenotipe menjadi 9:6:1.

Dalam makalah ini pemakalah khusus membahas tentang epistasis dominant

duplikat (polimeri) dang gen duplikat dengan efek kumulatif, sesuai dengan

pembagian kelompok yang telah dilakukan.

2.3. Epistasis dominan Duplikat

Apabila gen dominan dari pasangan gen I epistatis terhadap pasangan gen II

yang bukan alelnya, sementara gen dominan dari pasangan gen II ini juga epistatis

terhadap pasangan gen I, maka epistasis yang terjadi dinamakan epistasis dominan

duplikat. Jika alel dominan dari kedua lokus gen menghasilkan fenotipe yang sama

tanpa efek kumulatif, 9: 3: 3: 1 rasio dimodifikasi menjadi rasio 15:1.

6

Page 7: Epistasis Dominan Duplikat Dan Epistasis Gen Duplikat Dengan Efek Kumulatif

(Correns, C. 2005.)

Contoh peristiwa epistasis dominan ganda dapat dilihat pada pewarisan

bentuk buah Capsella. Ada dua macam bentuk buah Capsella, yaitu segitiga dan oval.

Bentuk segitiga disebabkan oleh gen dominan C dan D, sedang bentuk oval

disebabkan oleh gen resesif c dan d. Dalam hal ini C dominan terhadap D dan d,

sedangkan D dominan terhadap C dan c.

P : CCDD x ccdd

(segitiga oval)

F1 : CcDd

(Segitiga)

F2 : 9 C-D- (segitiga)

3 C-dd segitiga segitiga : oval = 15 : 1

3 ccD- (segitiga)

1 ccdd (oval)

Contoh 2:

Pada unggas keturunan yang tertentu mempunyai bulu pada kakinya,

sedangkan yang biasa tak mempunyai. Bila kedua tipe ini disilangkan akan

menghasilkan F1 dengan kaki yang berbulu semua, sedangkan F2 memberikan rasio

fenotipik ; kaki berbulu : kaki tak berbulu = 15 : 1.

F--- = berbulu, epistatik terhadap S dan s

--S- = berbulu, epistatik terhadap F dan f

7

Page 8: Epistasis Dominan Duplikat Dan Epistasis Gen Duplikat Dengan Efek Kumulatif

ffss = tak berbulu

P berbulu x tak berbulu

FFSS ffss

F1 berbulu x berbulu

FfSs FfSs

F2 1 FFSS 1 FFss 1 ffSS 1 ffss

2 FfSS 2 Ffss 2 ffSs

2 FFSs

4 FfSs

9 berbulu 3 berbulu 3 berbulu 1 tak berbulu

Rasio fenotipik; berbulu : tak berbulu = 15 :1

2.4. Epistasis gen duplikat dengan efek kumulatif

Keadaan ini terjadi bila keberadaan gen-gen resesif aa dan bb memberi efek

yang sama. Rasio fenotipik menjadi; 9 : 6 : 1. Pada Cucurbita pepo dikenal tiga

macam bentuk buah, yaitu cakram, bulat, dan lonjong. Gen yang mengatur

pemunculan fenotipe tersebut ada dua pasang, masing-masing B dan b serta L dan l.

Apabila pada suatu individu terdapat sebuah atau dua buah gen dominan dari salah

satu pasangan gen tersebut, maka fenotipe yang muncul adalah bentuk buah bulat (B-

ll atau bbL-). Sementara itu, apabila sebuah atau dua buah gen dominan dari kedua

pasangan gen tersebut berada pada suatu individu, maka fenotipe yang dihasilkan

adalah bentuk buah cakram (B-L-). Adapun fenotipe tanpa gen dominan (bbll) akan

8

Page 9: Epistasis Dominan Duplikat Dan Epistasis Gen Duplikat Dengan Efek Kumulatif

berupa buah berbentuk lonjong. Pewarisan sifat semacam ini dinamakan epistasis gen

duplikat dengan efek kumulatif.

B-L- = Cakram

B-ll

bbL- Bulat

bbll = Lonjong

P : BBLL x bbll

(Cakram) (Lonjong)

F1 BbLl

(Cakram)

BbLl x BbLl

(Cakram) (Cakram)

F2 : 9 B-L- ( cakram)

3 B-ll (bulat)

3 bbL- (bulat)

1 bbll (lonjong)

Ratio fenotipe cakram : bulat : lonjong = 9 : 6 : 1

9

Page 10: Epistasis Dominan Duplikat Dan Epistasis Gen Duplikat Dengan Efek Kumulatif

C. PENUTUP

Interaksi Gen merupakan Peristiwa pengaruh mempengaruhi antara 2 pasang

gen atau lebih. Dalam interaksi antar gen ini ditemukan banyaknya penyimpangan-

penyimpangan, namun masih berhubungan dengan prunsip hukum Mendel, sehingga

disebut penyimpangan semu hokum Mendel. Adapun yang termasuk penyimpangan

semu hukum Mendel antara lain: Komplementer (Epistasis resesif duplikat) RF; 9:7,

Kriptomeri (Epistasis resesif) RF; 9:3:4, Epistasis – Hipostasis (Epistasis Dominan)

RF; 12:3:1, Epistasis dominant Resesif RF; 13:3, Epistasis dominant duplikat

(Polimeri) RF; 15:1, Gen Duplikat dengan efek kumulatif RF; 9:6:1.

10

Page 11: Epistasis Dominan Duplikat Dan Epistasis Gen Duplikat Dengan Efek Kumulatif

Pertanyaan:

1. Apa maksud dari keberaadaan gen-gen resesif aa dan bb pada Gen Duplikat dengan

efek kumulatif memberi efek yang sama.? (Sanggam).

Jawab : Jika timbul gen-gen resesif aa atau bb tapi tidak bersamaan pada Gen

Duplikat dengan efek kumulatif, maka akan menimbulkan keturunan dengan efek

fenotipe yang sama pada organisme yang mengalaminya.

Contoh : Pada Cucurbita pepo dikenal tiga macam bentuk buah, yaitu cakram, bulat,

dan lonjong. Gen yang mengatur pemunculan fenotipe tersebut ada dua pasang,

masing-masing B dan b serta L dan l.

B-L- = Cakram

B-ll

bbL- Bulat

bbll = Lonjong

P : BBLL x bbll

(Cakram) (Lonjong)

F1 BbLl

(Cakram)

BbLl x BbLl

(Cakram) (Cakram)

F2 : 9 B-L- ( cakram)

3 B-ll (bulat)

3 bbL- (bulat)

1 bbll (lonjong)

Ratio fenotipe cakram : bulat : lonjong = 9 : 6 : 1

Pada contoh tersebut, gen-gen resesif bb atau ll masing-masing akan

menimbulkan fenotipe bulat.

11

Page 12: Epistasis Dominan Duplikat Dan Epistasis Gen Duplikat Dengan Efek Kumulatif

12

Page 13: Epistasis Dominan Duplikat Dan Epistasis Gen Duplikat Dengan Efek Kumulatif

DAFTAR PUSTAKA

http://samudra-fox.blogspot.com/2009/07/penyimpangan-semu-dalam-hukum-mendel.html.

http://pskbio.blogspot.com/2009/02/penyimpangan-semu-hukum-mendel.html.Achmad, B.2007. Pola pewarisan aktivitas nitrat reduktase pada Daun dan pada akar,

serta kadar n total tanaman Sebagai karakter penciri toleransi kedelai Terhadap genangan.Zuriat, Vol. 18, No. 1, Januari-Juli 2007

Borém, A. 2003. From Mendel to Genomics, plant breeding milestones: a review.Jurnal ACrop Breeding and Applied Biotechnology, Vol. 2, No. 4, 649-658.(terjemahan)

Correns, C. 2005. Mendel’s law concerning the behavior of progeny of varietal hybrids. Genetics 35, Vol. 5, No. 2, 33-41. (terjemahan).

Muhammad, A.2005.(Pewarisan karakter jumlah bunga tiap nodus hasil Persilangan capsicum annuum l. Dengan capsicum chinense. 2005. Zuriat, Vol. 16, No. 2. 120 s/d 126)

Pai, A.. 1999. Dasar-Dasar Genetika. Jakarta; Erlangga.Suryo. 1986. Genetika Manusia. Yogjakarta; UGM pressSopandie, D. 2008. Pola Pewarisan Adaptasi Kedelai (Glycine max L. Merrill)

terhadap Cekaman Naungan Berdasarkan Karakter Morfo-Fisiologi Daun. Bul.agron vol. 36, No. 1, 1-7

Tim Dosen. 2010. Genetika Dasar. Medan; FMIPA Unimed

13