Empat Kelompok Rasio Laporan Keuangan

download Empat Kelompok Rasio Laporan Keuangan

of 17

description

gdg

Transcript of Empat Kelompok Rasio Laporan Keuangan

Empat Kelompok Rasio Laporan KeuanganJenis rasio keuangansecara umumsangatlah banyak. Semunya bagus dan penting. Namun untuk akuntan dan orang accounting pada umumnya, saya rasa tak perlu menguasai semuanya. Cukup rasio-rasio yang menggunakan Laporan Keuangan sebagai basis data saja.Ada 4 kelompok utama rasio yang menggunakan laporan keuangan sebagai basis data, yaitu:1. Kelompok Rasio PROFITABILITAS (Mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan Laba)2. Kelompok Rasio LIKUIDITAS (Mengukur kemampuan perusahaan membayar utang jangka pendeknya)3. Kelompok Rasio TATAKELOLA ASET (Mengukur efektifitas tatakelola aset perusahaan)4. Kelompok Rasio STRUKTUR MODAL/LEVERAGE (Mengukur kemampuan perusahaan membayar utang jangka panjangnya.)JAK akan fokus pada empat kelompok rasio ini. Dan, karena banyaknya materi maka pembahasan terpaksa akan dipecah menjadi dua bagian.Di bagian pertama (dalam tulisan ini) JAK akan bahas dua kelompok pertama terlebih dahulu, yakni PROFITABILITAS dan LIKUIDITAS. Mengapa?Diantara rasio-rasio lainnya, yang paling penting dan krusial adalah Profitabilitas dan Likuiditas. Kita mulai dengan kelompok rasio Profitabilitas.Kelompok Rasio Profitabilitas (Profitability Ratio)Sejak jaman sekolah sudah diajari bahwa tujuan suatu perusahaan didirikan adalah laba (profit). Tak ada satu perusahaan pun yang didirikan untuk maksud selain profit. Semua aktivitas operasional yang dilakukan oleh perusahaanapapun jenis usahanya, apapun model bisnisnya, dimanapun lokasinya, apapun strukturnya, seberapa besar pun skalanyaselalu bermuara pada profit. Bisa dibilang, tak ada yang lebih penting dari profit.(Catatan: Organisasi yang orientasinya bukan profit tidak disebut perusahaan, melainkan yayasan atau istilah umumnya lembaga non-profit.)Itu sebabnya, hal pertama yang ingin diketahui oleh pihak-pihak yang berkepentingan adalah: apakah perusahaan menghasilkan profit? Berapa?ILUSTRASI: Agar menjadi praktikal, thus lebih mudah dipahami, saya gunakan PT. JAK sebagai ilustrasi.Semua pihak terkait PT JAKbaik internal maupun eksternalberkepentingan atas informasi profit yang dihasilkan oleh perusahaan: Jika saya CEO PT JAK, maka saya ingin tahu apakah perusahaan yang saya pimpin berhasil mencapai tujuannya, yaitu menghasilkan profit, atau gagal. Apakah mandat yang diberikan oleh para pemegang saham untuk mengelola perusahaan terlaksana seperti yang diharapkan sehingga bisa memberikan dividend atau tidak. Andai saya adalah salahsatu manajer di PT JAK, maka saya ingin tahu apakah upaya saya mengelola perusahaan ada hasilnya, yakni berupa profit, atau malah rugi. Apakah kepercayaan CEO PT JAK yang mengangkat saya jadi manajer selama ini ada hasilnya atau malah sia-sia. Apakah saya akan menerima bonus dan promosi atau malah digeser lalu dipecat. Jika saya salahsatu pemegang sahamnya PT. JAK, saya ingin tahu apakah uang yang saya tanamkan di PT. JAK dikelola dengan benar sehingga perusahaan menghasilkan profit dan akan berkembang atau sebaliknya. Dan yang tak kalah pentingnya, apakah saya akan menerima dividend atau malah harus nyetor tambahan modal supaya perusahaan tak bangkrut? Seandainya saya jadi krediturnya PT JAK(entah sebagai pemasok atau lembaga keuangan pemberi pinjaman), saya ingin tahu apakah perusahaan ini dalam kondisi profitable thus mampu membayar utang/pinjamannya dengan lancar atau sebaliknya. Apakah saya akan memberikan plafond kredit yang sama seperti sebelumnya atau perlu diturunkan atau malah hentikan samasekali. Ditjend Pajak,juga perlu tahu apakah PT JAK dalam kondisi untung atau merugi, sebagai dasar untuk menentukan besaran pajak yang dikenakan.PT JAK berhasil membukukan profit Rp 979,000,000 bisik Chief Accountant nya PT. JAK sambil menyodorkan satu set Laporan Keuangan per 31 Desember 2014.Pada Laporan Keuangan, informasi Laba/Rugi perusahaan disajikan pada Laporan Laba/Rugi. Di bawah ini (untuk ilustrasi) adalah Laporan Laba/Rugi PT JAK (angka dalam ribuan):

Dan di bawah ini adalah Laporan Posisi Keuangan atau Neraca PT. JAK (angka dalam ribuan):

Oke. PT JAK menghasilkan profit sebesar Rp 979,000,000 seperti nampak pada Laporan Laba/Rugi.Pertanyaannya: Apakah profit segini ini terbilang rendah, sedang, atau tinggi? Apakah capaian profit ini sudah terbilang bagus atau belum? Apakah angka profit tersebut mencerminkan kinerja yang bagus atau tidak? Apakah wajar atau tidak? Dan seterusnya.Jawabannya: relative dan tergantung.Ya saya tahu, jawaban relative dan tergantung sangatlah klise (semua orang juga tahu mah). Namun itulah kenyataannya. Artinya, informasi Laba Rp xxxxxx atau Rugi xxxxxx tidaklah cukup.Itu sebabnya mengapa Laporan Keuangan (Neraca, Laba/Rugi dan Laporan Arus Kas) perlu dianalisa. Khusus untuk menganalisa tingkat laba atau profitabilitas (profitability) yang lumrah digunakan adalah rasio-rasio dari kelompok profitabilitas.Rasio Profitabilitas mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan laba dengan cara membandingkan antara laba (profit) dengan elemen-lemen lain laporan keuangan seperti Penjualan, HPP, Aset, Ekuitas, Modal Saham, dlsb.Ada 6 rasio profitabilitas yang paling sering digunakan, yakni: (1) Gross Margin on Sales (2) Profit Margin on Sales atau Return on SalesROS (3) Return on AssetsROA (4) Return on EquityROE (5) Earnings Per ShareEPS dan (6) Dividend Payout Ratio.Mari kita lihat satu-per-satu dengan menggunakan contoh Laporan Keuangan PT JAK di atas. Kita mulai dengan Gross Margin On Sales.1. Rasio Gross Margin On SalesSeperti namanya, Gross Margin On Saleskadang disebut Gross Profit Margin On Salesadalah angka perbandingan antara Laba Kotor (Gross Margin) dengan Penjualan Netto (Net Sales). Yang disebut Penjualan Netto adalah Penjualan setelah dikurangi diskon, potongan rabat dan retur. Sehingga formula untuk rasio ini adalah sbb:Rasio Gross Margin on Sales = Gross Margin / Penjualan NettoSedangkan Gross Margin adalah sisa dari angka penjualan netto setelah dikurangi Harga Pokok Penjualan (Cost of Goods Sold) yang bisa dipermulasikan dengan Penjualan Harga Pokok Penjualan, seperti nampak pada contoh Laporan Laba/Rugi di atas.Rasio Gross Margin on Sales = (Penjualan Netto HPP) / Penjualan NettoPada Laporan Laba/Rugi PT JAK, nampak Penjualan Netto Rp 10,907,000,000. Sedangkan Gross Margin nya Rp 4,825,000,000 sehingga:Rasio Gross Margin on Sales = 4,825,000,000/10,907,000,000 =44%Rasio Gross Margin on Sales = 44%.Apa artinya?Interpretasi: Untuk setiap Rp 1 penjualan bersih yang dihasilkan oleh PT JAK, Rp 0.56 dipergunakan untuk menutup Harga Pokok Penjualan, sehingga tersisa Rp 0.44 saja untuk menutup biaya operasional, dan PT JAK berharap untuk menghasilkan profit. Dengan kata lain, dari total penjualan netto yang dihasilkan, 56% nya habis digunakan untuk menutup HPP dan hanya 44% yang tersisa untuk menutup biaya operasional, JAK berharap ada sisa laba bersih di akhir perhitungan.Pertanyaan:Apakah Rasio Gross Margin on Sales sebesar 44% itu tergolong tinggi, ideal, atau rendah?Jawaban: Berbeda antara bidang usaha yang satu dengan lainnya. Misalnya: perusahaan jenis hospitality (hotel dan restoran) berbeda dengan manufaktur, berbeda dengan banking, berbeda dengan retailer, berbeda dengan jasa konstruksi, berbeda dengan maskapai, dlsb. Untuk itu perlu dibandingkan dengan rasio yang sama pada perusahaan sejenis, istilahnya di benchmark.Catatan: Yang menjadi penentu tinggi rendahnya angka benchmark adalah tingkat persaingan (competitiveness) dalam suatu bidang usaha. Misalnya: Benchmark ideal untuk bidang usaha retailer produk consumer goods mungkin hanya 60% karena persaingan yang ketat. Akan tetapi untuk bidang usaha retailer produk butik mungkin mencapai 200% karena persaingannya tidak ketat. Dan lain sebagainya.Rekomendasi: Sekedar ilustrasi, katakanlah PT JAK adalah manufaktur pakaian jadi dan benchmark rasio Gross Margin On Sales untuk bidang usaha ini adalah 70%. Artinya, PT JAK boros di HPP, entah karena harga jual yang terlalu rendah (karena marketingnya yang lemah atau kualitas produknya yang rendah) atau bisa jadi karena manufacturing cost PT JAK yang ketinggian akibat inefisiensi. Sudah tentu perlu investigasi lebih lanjut untuk mengetahui permasalahan yang sebenarnya, sehingga bisa mencari solusi yang paling tepat.2. Rasio Profit Margin On SalesRasio Profit Margin on Salesatau sering disebut Return on Sales (ROS)adalah angka perbandingan antara Laba Bersih (Net Profit) dengan Penjualan Netto (Net Sales). Sehingga formulanya:Rasio Profit Margin On Sales = Laba Bersih / Penjualan NettoDalam kasus PT. JAK, dengan menggunakan Laporan Laba/Rugi di atas, menjadi:Rasi Profit Margin on Sales = Rp 979,000,000 / 10,907,000,000 =9%Artinya apa?Interpretasi: Untuk setiap Rp 1 dari penjualan netto yang dihasilkan, laba bersih yang tersisa hanya Rp 0.09. Sedangkan yang Rp 0.91 habis untuk menutup HPP, biaya operasional dan pajak. Dengan kata lain, dari total penjualan netto yang dihasilkan, PT JAK hanya menyisakan 9% laba bersih. Sedangkan 91% nya habis untuk menutup HPP, Biaya Operasional dan Pajak.Berapa rasio idealnya?Sama seperti rasio sebelumnyarelatif, tergantung berapa benchmark untuk bidang usaha sejenis.Rekomendasi: Sebagai ilustrasi, katakanlah benchmark Rasio Profit Margin On Sales untuk bidang usaha sejenis adalah 20% sementara Rasio nya JAK kurang dari separuhnya (hanya 9%). Artinya ini sejalan dengan Rasio Gross Margin on Sales-nya yang juga rendah. Hanya saja ruang penelusuran menjadi lebih luas karena bisa jadi inefisiensi terkjadi juga di wilayah biaya operasional.3. Rasio Return On Assets (ROA)Return On Assets (ROA) digunakan untuk mengukur efektifitas penggunaan aset dalam menghasilkan profit. Dengan kata lain, rasio ini mencerminkan seberapa efektifmanajemenmenggunakan aset milik perusahaan guna menghasilkan aset. Pengukuran dilakukan dengan membandingkan Laba Bersih yang dihasilkan pada satu periode dengan nilai bersih total aset. Formulanya:Rasio Return On Assets = Laba Bersih / Total AsetLaba Bersih PT JAK Rp 979,000,000. Sementara total nilai aset-nya (lihat Neraca) adalah Rp 10,715,000,000. Sehingga:Rasio Return On Assets = Rp 979,000,000 / Rp 10,715,000,000 =9.1%Apa artinya?Interpretasi: Untuk setiap Rp 1 Aset yang digunakan, PT JAK hanya mampu menghasilkan Rp 0.091 Laba Bersih. Bisa juga dikatakan, PT JAK hanya mampu menghasilkan Laba Bersih 9.1% dari total Aset yang digunakan.Apakah ROA 9.1% ini tergolong layak atau tak layak?Sama seperti dua rasio sebelumnya, harus dibandingkankan dengan rasio rata-rata (benchmark) untuk bidang usaha sejenis.Rekomendasi: Jika ROA rata-rata perusahaan sejenis di atas 9.1%, itu artinya PT JAK tidak cukup efektif dalam pengelolaan aset. Ada beberapa kemungkinan penyebab, diantaranya: Kas menganggur (idle cash) yang tinggi, artinya banyak Kas PT. JAK yang tersimpan begitu, mestinya kas dikelola sedimikian rupa sehingga tidak ada kas yang menganggur, tanpa mengorbankan likuiditas. Namun sebelum sampai pada kesimpulan ini perlu uji likuiditas terlebih dahulu (nanti kita bahas di rasio likuiditas). Jika pada hasil uji likuiditas terbukti banyak kas menganggur, ke depannyamanajemenPT JAK perlu menerapkan kebijakan kas yang lebih ketat (missal: cash reserve dibatasi sampai pada angka tertentu yan dinilai ideal). Selebihnya, kas harus diinvestasikan entah ke dalam operasional perusahaan atau diinvestasikan di perusahaan lain atau membeli surat berharga. Perpuataran Piutang PT JAK rendah, artinya terlalu banyak penjualan secara kredit dan proses penagihan tergolong lambat, akibatnya Kas yang nongkrong pada pelanggan (dalam bentuk piutang) terlalu tinggi. Namun sebelum sampai pada kesimpulan itu, PT JAK perlalu melakukan uji dengan menggunakan Rasio Tata Kelola Aset (di tulisan berikutnya saya akan bahas kelompok rasio ini). Jika pada uji rasio tata kelola aset terbukti perpuataran Piutang PT JAK rendah, maka ke depannya perlu menerapkan kebijakan kredit yang lebih prudent untuk mencapai perputaran yang lebih tinggi (cepat). Terlalu banyak Aset Tetap yang menganggur atau tidak digunakan secara efektif. Dengan kata lain perusahaan tidak beroperasi dalam kapasitas yang penuh. Misalnya: menyewa gedung ukuran 3000 meter persegi padahal yang dibutuhkan dan digunakan secara efektif hanya 1000 meter persegi. Atau, PT JAK memiliki mesin yang beroperasi di bawah kapasitas yang seharusnya atau malah menganggur samasekali. Atau PT JAK memiliki kendaraan operasional yang terlalu banyak atau harganya yang terlalu tinggi. Hal ini perlu diinvestigasi lebih lanjut.4. Rasio Return On Equity (ROE) atau Return On Investment (ROI)Rasio Return On Equity (ROE) digunakan untuk mengukur kemampuan efektifitas perusahaan dalam memberikan penghasilan bagi setiap investasi dalam bentuk ekuitas yang ditanamkan oleh pemegang saham. Itu sebabnya rasio ini sering disebut Return on Investment (ROI). Pengukuran dilakukan dengan cara membandingkan antara Laba Bersih yang dihasilkan pada suatu periode dengan saldo rata-rata Ekuitas Pemilik pada Neraca. Formulanya:Return on Equity (ROE) = Laba Bersih / Rata-Rata EkuitasLaba Bersih pada Laporan Laba/Rugi PT JAKmenunjukkan angka Rp 979,000,000. Sementara total Ekuitas pada Neraca menunjukkan angka Rp 2,071,000,000. Sehingga:ROE atau ROI = Rp 979,000,000 / 2,071,000,000 =47.3%Apa artinya?Interpretasi: Untuk setiap Rp 1 yang diinvestasikan pada PT JAK, pemegang saham memperoleh tambahan nilai ekuitas Rp 0.473. Bisa juga dikatakan, dari total investasi pada PT JAK, pemegang saham memperoleh kenaikan nilai ekuitas hampir separuhnya yakni 47.3%.Apakah ROE atau ROI 47.3% tergolong tinggi, sedang atau rendah?Ini tergolong tinggi, setidaknya jika dibandingkan dengan suku bunga deposito. Namun, yang kerap jadi persoalan angka ROE atau ROI yang tinggi kerap tak diimbangi dengan pembayaran dividend yang sesuai, karena hambatan likuiditas misalnya. Sehingga ROE/ROI bukanlah rasio satu-satunya yang mereka lihat. Mereka lebih suka melihat fakta dividend yang akan dibagikan.5. Rasio Earnings Per Share (EPS)Rasio Earning Per Share (EPS) mengukur kemampuan setiap lembar saham perusahaan dalam menghasilkan pendapatan bagi para pemegangnya.Catatan: Pada Laporan Keuangan perushaan berstatus Go Public yang disusun menggunakan acuan GAAP, EPS wajib disajikan pada Laporan Laba/Rugi. Hal ini kemudian membuat nilai EPS menjadi pusat perhatian semua pihak (internam maupun eksternal), sehingga angka EPSsecara psikologislebih berpengaruh terhadap nilai saham di bursa dibandingkan Laba Bersih atau ROE/ROI.Perhitungan EPS tidak sederhana. Namun untuk penyederhanaan, bisa diformulasikan sbb:EPS (Sederhana) = (Laba Bersih Dividend Preferen) / Rata-Rata Tertimbang Saham BeredarKeterangan: Dividend Preferen adalah dividend yang dibagikan bagi Saham Preferen (prefererred stock). Sementara, saham preferen adalah jenis saham dimana pemegangnya memiliki hak lebih dibandingkan saham biasa, sehingga sering disebut saham istimewa. Kelebihan yang paling menonjol adalah berupa jadwal penerimaan dividend paling pertama. Para pemegang saham biasa baru boleh menerima dividend setelah semua pemegang saham preferen menerima secara penuh. Hal ini membuat pemegang saham pereferen bisa menerima nilai dividend yang minimal tetap (fixed) atau naik setiap periodenya. Bagian dividend untuk saham preferen inilah yang disebut dividend preference. Rata-Rata Tertimbang Saham Bereda adalah jumlah Saham Biasa (Common Stock) beredar yang dirata-ratakan selama kurun waktu beredarnya saham.Pertanyaan: Bagaimana jika perusahaan tidak memiliki saham preferen? EPS otomatis sama dengan Laba Bersih dibagi Rata-Rata Tertimbang Saham BeredarMisalnya: Jika perusahaan melaporkan Laba Bersih Rp 1,000,000,000, tidak memiliki saham preferen, dan saham (biasa) beredarnya 1,000,000,000 lembar, maka EPS nya otomatis Rp 1.Bagaimana jika dalam contoh di atas ada 750,000,000 lembar saham biasa baru diterbitkan di akhir tahun buku (31 Desember)?Yang dihitung sebagai rata-rata tertimbang saham beredar hanya 250,000,000 lembar saham saja. Sebab yang 750,000,000 dianggap belum beredar. Sehingga EPS-nya menjadi Rp 1,000,000,000/250,000,000 lembar=Rp 4.00. Logikanya, uang hasil penjualan 750,000,000 saham belum sempat digunakan untuk menghasilkan profit, sehingga tidak berhak atas dividend.Dalam kasus PT JAK, katakanlah harga saham per lembar nya Rp 0.25 (ini biasa disebut par value). Modal saham disetor Rp 105,000,000 pada Neraca diterjemahkan menjadi total lembar saham beredar sebanyak 105,000,000/0.25 = 420,000,000 lembar saham beredar. Jika keseluruhan saham ini diasumsikan beredar sejak awal tahun tanpa mengalami perubahan, maka:EPS (sederhana) = Rp 979,000,000 / 420,000,000 =Rp 2.336. Rasio Pembayaran Dividend (Dividend Payout Ratio)Rasio Pembayaran Dividend adalah rasio perbandingan antara pembayaran dividend saham biasa dalam bentuk kas dengan Laba Bersih setelah dikurangi dividend preferen. Sehingga formulanya menjadi:Rasio Pembayaran Dividend = Dividend Kas Saham Biasa / (Laba Bersih Dividend Preferen)Jika pada kasus PT JAK dividend kas yang dibayarkan untuk saham biasa sebesar Rp 450,000,000 sementara tidak ada dividend preferen, maka:Rasio Pembayaran Dividend = Rp 450,000,000 / Rp 979,000 =46%Apa artinya?Interpretasi: Untuk setiap Rp 1 laba bersih yang dihasilkan oleh PT JAK, yang dibagikan dalam bentuk dividend kas kepada pemegang saham biasa hanya Rp 0.46. Atau bisa dibaca, dari total laba bersih yang dihasilkan oleh PT JAK, yang dibagikan dalam bentuk dividend kas kepada pemegang saham biasa hanya 46% nya.Apakah Rasio Pembayaran Dividend 46% tergolong tinggi, rendah, atau sedang?Agak sulit diekspresikan. Sebab pada kenyataannya, pembagian dividend kas kepada pemegang saham biasa sering kali bersifat fluktuatif, bahkan ada kalanya pemegang saham tak menerima dividend samasekali. Hal ini bisa terjadi ketika laba bersih perusahaan tergolong rendah, sehingga laba habis dibagikan untuk pemegang saham preferen. Yang terpenting di sini adalah tingkat kepuasan pemegang saham. Tingkat kepuasan ini tak bisa diukur dari satu snapshot, mesti diukur dengan trending analysis dalam jangka waktu yang agak lama.Catatan: Sesungguhnya masih ada satu rasio lagi yang lumrah digunakan untuk menganalisa laporan keuangan, terutama terkait dengan kepentingan investor, yakni Price-Earning Ratio (P/E Ratio). Karena agak rumit dan butuh penjelasan yang panjang lebar, maka terpaksa pembahasan rasio ini saya tunda dahulu. Percuma jika tidak bisa dipahami dengan baik. Mudah-mudahan bisa saya bahas, secara mengkhusus, di lain kesempatan.Secara keseluruhan, rasio profitabilitas mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan profit. Bisa juga dipandang sabagai pengukuran terhadap efektifitas operasional perusahaan. Namun, seperti telah saya singgung dalam penjelasan di atas, perlu disadari bahwa pengukuran profitabilitas perusahaan kerap memerlukan tindaklanjut untuk menemukan sumber masalah yang mungkin terjadi. Sehingga, bisa dikatakan profitability ratio tidak cukup. Perlu analisa-analisa lanjutan.Yang paling urgent setelah pegukuran profitabilitas adalah pengukuran likuiditas. Bahkan ada juga yang berpendapat sebaliknya, justru pengukuran likuiditas lah yang lebih penting. Argumentnya, setidaknya dari pihak eksternal, tingkat profitabilitas yang tinggi tak ada gunanya jika perusahaan mengalami kesulitan likuiditas. Saat kesulitan likuiditas, jangankan membayar dividend, mampu membiayai operasionalnya sendiritanpa berutangsaja sudah bagus.Selanjutnya kita bahas tingkat likuiditas PT JAK dengan menggunakan kelompok rasio likuiditas. Yuk pindah ke paragraf selanjutnyaKelompok Rasio Likuiditas (Liquidity Ratio)Seperti namanya, Rasio Likuiditas (Liquidity Ratio) digunakan untuk mengukur tingkat likuiditas perusahaan.Sebelum masuk lebih dalam, apa itu tingkat likuiditas?Sederhananya, tingkat likuiditas = kemampuan membayar.Ketika seseorang bertanya apakah perusahaan dalam kondis likuid? Itu artinya ia bertanya apakah perusahaan memiliki kemampuan untuk membayar. Namun dalam bahasa formal, yang dimaksud tingkat likuiditas adalah kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya.Dengan demikian maka rasio likuiditas bisa didefinisikan sebagai: rasio untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya; atau rasio untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam membayar utang jangka pendek.Mengetahui tingkat likuiditas (=kemampuan bayar) sangat penting, baik bagi pihak eksternal maupun eksternal.Misalnya:Andi berniat membeli mobil baru dengan menggunakan fasilitas kredit dari perusahaa pembiayaan (finance). Di sisi lainnya dia juga punya cicilan rumah yang belum lunas dan kebutuhan rutin lainnya seperti makan, minum, listrik, telepon, dlsb. Sebelum memutuskan untuk menyetujui atau tidak, perusahaan finance perlu menilai kemampuan bayar (baca: tingkat likuiditas) Andi terlebih dahulu. Mialnya perusahaan finance memperoleh data tentang Andi sbb:Sisa saldo tabungan Andi setelah bayar uang muka = Rp xxxx (=aset lancar=likuid)Andi punya piutang kepada A, B, C = Rp xxxx (=aset lancar=likuid)Deposito jatuh tempo dlm 1 tahun = Rp xxxx (=aset lancar=likuid)Tanah warisan 1 hektar di Bogor = Rp xxx (aset tak lancar=non-likuid)Satu unit ruko di Tangerang = Rp xxx (aset tak lancer=non-liquid)Andi dikatakan memiliki tingkat likuiditas yang cukup bila total nilai aset lancar yang tergolong likuid bisa menutup semua kebutuhan Andi terhadap uang tunai (untuk bayar cicilan rumah, cicilan mobil dan pengeluaran-pengeluaran lainnya) dalam jangka pendek. Mengetahui tingkat likuiditas juga perlu bagi Andi sendiri, sehingga bisa lebih realistis dalam membuat suatu rencana.Itu contoh kasus sederhana yang terjadi pada individual.Bagaimana dengan kasus perusahaan?Sama saja. Baik pihak eksternal maupun internal sama-sama perlu mengukur tingkat likuiditas perusahaan: Bagi kreditur(eksternal), mengentahui tingkat likuiditas calon debitur penting untuk memutuskan apakah akan memberikan fasilitas kredit atau tidak (mereka ingin pembayaran yang lancar dan tepat waktu.) Bagi investor(eksternal), baik perorangan atau badan usaha, mengetahui tingkat likuiditas calon perusahaan investee penting untuk memutuskan apakah akan berinvestasi di sana atau tidak (mereka mengharapkan pembayaran dividen yang lancar.) Bagi manjemen perusahaan(internal), mengetahui kemampuan bayar diri mereka sendiri juga sangat penting untuk menentukan strategi binis yang akan diterapkan (mereka menginginkan rencana yang tidak saja bagus tapi juga realistis.)Nah, untuk mengetahui tingkat likuiditas perusahaan, apa yang diukur? Bagaimana melakukan pengukuran? Rasio apa yang digunakan? Bagaimana caranya menghitung dan bagaimana caranya menginterpretasikan hasil hitung rasio likuiditas?Neraca di atas menunjukkan PT. JAK memiliki saldo Kas sebesar Rp 411,000,000.Pertanyaannya:Dengan saldo kas sebesar itu, apakah PT. JAK bisa dikatakan likuid atau tidak?Ada 2 rasio yang lumrah digunakan untuk mengukur likuiditas perusahaan, yaitu Current Ratio dan Quick Ratio. Kita lihat satu-per-satu.1. Current RatioSeperti namanya, mengukur tingkat likuiditas dengan current ratio artinya anda membandingkan antara current asset (=aset lancar) dengan current liabilities (=liabilitas lancar). Sehingga formulanya:Current Ratio = Aset Lancar / Utang LancarPada Neraca PT. JAK di atas, total nilai Aset Lancarnya adalah Rp 2,428,000,000. Sedangkan total nilai Utang Lancarnya Rp 4,020,000,000. Sehingga:Current Ratio PT. JAK = 2,428,000,000/Rp 4,020,000,000 =0.60Catatan: Contoh Neraca di atas sangat sederhana, item aset lancar dan utang lancar yang tercantum sangat sedikit. Pada kenyataannya bisa sangat banyak. Namun intinya, aset yang diperkirakan bisa dikonversikan menjadi kas dalam jangka pendek sudah masuk ke dalam kelompok aset lancar. Di sisi lainnya, kewajiban apapun yang akan jatuh tempo dan harus dibayar dalam jangka pendek tergolong utang lancar. Dan, jangka pendek di sini maksudnya maksimal 1 tahun buku.Jadi, current ratio PT JAK = 0.60 (bisa juga dibaca 60 persen). Apa artinya?Interpretasi: Ini skor rasio yang tak sehat. Jikapun semua aset lancar bisa dicairkan menjadi kas (dijual misalnya), PT JAK saat ini hanya punya Rp 0.60 untuk membayar setiap Rp 1 utang lancarnya yang akan jatuh tempo dalam waktu kurang dari 1 tahun buku. Atau, bisa dikatakan, hasi penjualan seluruh aset lancar PT JAK hanya mampu menutup 60 persen dari total utang lancarnya yang akan jatuh tempo dalam jangka pendek.Berapa current ratio yang ideal?Tidak ada satu angka pasti untuk ini. Sangat tergantung pada kepentingan. Umumnya, current ratio yang idealsetidaknya menurut bank dan lembaga keuangan yang biasa menydiakan fasilitas kreditada pada kisaran antara 2.00 hingga 3.00 (=200 hingga 300%). Rasio minimal yang bisa diterima ada pada kisaran antara 1 hingga 1.5 (=antara 100 hingga 150%.)Bagi manajemen perusahaan, ideal tak idealanya rasio likuiditas tergantung target yang hanya mereka sendirilah yang paling tahu. Jika targetnya memang hanya 0.60 (karena tahun sebelumnya hanya 0.40 misalnya) berarti tujuan tercapai.Yang pasti jangan berpikir makin likuid perusahaan makin bagus. Sebab sangat mungkin lukuiditas yang tinggi justru mencerminkan pengelolaan kas yang buruk (perusahaan hanya cari aman sementara membiarkan peluang bisnis bagus lewat begitu saja).Rekomendasi: PT JAK dalam kondisi kekurangan likuiditas. Yang bisa dilakukan oleh PT JAK adalah sbb: Berupaya untuk menghindari berbelanja tunai; pilah-pilah vendor mana yang menyediakan kredit (tanpa menaikkan harga) dan mana yang tidak. Menegosiasikan utang yang segera akan jatuh tempo, minta penundaan pembayaran khususnya kepada pemasok kebutuhan yang sifatnya tak rutin. Jika tahun lalu sudah, tahun ini mungkin tidak bayar dividend. Kalau terpaksa, bisa bayar dividend dengan saham. Jangan ada alokasi budget untuk Aset Tetap. Jika terlanjur ada, buat revisi budget. Bagaimanapun juga, coba lihat satu kwartal ke depan; apakah rasio ini bisa diperbaiki atau tidak. Jika iya, penggunaan kas bisa dinormalkan. Jika tidak, maka harus diperketat.Bagaimana dengan pihak eksternal, khususnya kreditur?Mereka tak terlalu bergantung pada current ratio. Menurut mereka, ukuran current ratio belum mewakili likuiditas sebenarnya, sehingga masih mengandung risiko yang tinggi.Mengapa?Ada 2 alasan: Uang Muka atau Prepaid atau Deposit, yang masuk kelompok aset lancar, BUKAN aset yang bisa diuangkan. Jarang ada deposit atau uang muka biaya yang dibatalkan dan kembali menjadi kas. Yang lebih sering terjadi, item ini biasanya berubah menjadi biaya atau aset non-kas. Sehingga mengikutsertakan ini dalam pengukuran likuiditas adalah tidak tepat. Persediaan, yang masuk kelompok aset lancar, juga tidak sepenuhnya lancar atau current. Sebagiannya mungkin persediaan lama yang tak laku dijual namun tetap disimpan dengan maksud agar nilai aset lancar nampak tinggi. Terlebih-lebih pada perusahaan yang memproduksi barang bukan pesanan, persediaan seringkali ngendon di gudang bertahun-tahun tanpa tahu kapan akan laku dijual. Jikapun nantinya laku, mungkin dijual secara kredit sehingga butuh waktu untuk melakukan penagihan, itupun mungkin dengan nilai yang sudah turun drastis.Itu sebabnya pihak eksternal jarang mau menggunakan current ratio. Mereka lebih memilih Quick Ratio (baca quick ratio di bawah). Namun bukan berarti quick ratio tak dipakai samasekali. Hanya saja, mereka biasanya mematok ratio yang tinggi. Seperti sudah saya sampaikan diatas, mereka mematok current ratio antara 2.00 hingga 3.00.2. Quick (Acid Test) RatioQuick ratiokadang disebut Acid Test Ratioadalah rasio kedua yang bisa digunakan untuk mengukur tingkat likuiditas perusahaan. Pihak eksternal lebih memilih menggunakan rasio ini sebab lebih konservatif (baca: lebih ketat)thus lebih aman bagi merekadibandingkan current ratio.Pada quick ratio, uang muka dan persediaan tidak diikutsertakan, sehingga formulanya menjadi sbb:Quick (Acid Test) Ratio = (Aset Lancar Uang Muka Persediaan) / Utang LancarPada Neraca PT. JAK di atas, Total Aset Lancar=2,428,000,000. Uang Muka Biaya=248,000,000 dan Persediaan = 824,000,000. Sedangkan Total Utang Lancar = 4,020,000,000. Sehingga:Quick (Acid Test) Ratio = (2,428,000,000 248,000,000 824,000,000) / 4,020,000,000Quick (Acid Test) Ratio =0.34(bisa juga dibaca 34 persen)Apa artinya?Interpretasi:Quick ratio 0.34 artinya: untuk setiap Rp 1 utang lancar yang dimiliki, PT JAK hanya mampu bayar Rp 0.34 atau 34 sen. Dengan kata lain, jika semua aset lancarselain uang muka biaya dan persediaandicairkan atau diuangkanmaka hanya akan menutup 34 persen dari total utang lancar PT JAK yang akan jatuh tempo dalam satu tahun buku. Quick ratio 0.34 sementara current ratio 0.60 artinya, aset lancar separuhnya berupa Uang muka biaya dan Persediaan. Sekalilagi, ini tergolong rasio berskor rendah.Berapa quick ratio yang ideal?Sama seperti current ratio, tidak ada angka tunggal yang ideal. Jika menggunakan kaca mata eksternal, khususnya kreditur, quick ratio ideal ada pada kisaran 1.5 hingga 2.00, sehingga perusahaan masih memiliki ekstra kas selain utang lancar yang telah ada. Minimal yang bisa diterima ada pada kisaran 1.00 hingga 1.50.Rekomendasi untuk PT JAK: Disamping mengambil langkah-langkah yang telah direkomendasikan pada current ratio, pihak manajemen juga perlu melakukan hal-hal berikut ini: Segera mengambil tindakan yang tepat untuk menjual persediaanyang saat ini telah menumpuk. Harus habis terjual dalam waktu satu turnover (biasnya 3 bulan). Jika tidak, perusahaan akan SEGERA mengalami kesulitan likuiditas. Jika ini terjadi, mungkin vendor mulai menghentikan pasokan dan akan kesulitan untuk belanja secara kredit. Ke depan, PT JAK perlu melakukan analisa peringkat product; memililah-milah mana product yang cepat laku dan mana yang tidak. Selanjutnya perusahaan perlu mengurangi persediaan product yang tergolong lambat lakunya. Jika PT JAK adalah manufaktur yang memproduksi barang pesanan, perlu mengatur jadwal pasokan yang lebih ketat, yakni dengan cara mempersempit jarak antara waktu barang jadi dengan waktu pengiriman barang ke pelanggan, sehingga penumpukan persediaan barang jadi bisa diminimalkan. Hal ini hanya bisa dilakukan jika perusahaan mampu mengukur waktu berproduksi (lead-time) dengan lebih akurat. Dan lead time bisa diestimasi secara akurat hanya jika perusahaan mampu mengukur kapasitas (mesin dan orang) dengan lebih akurat pula. Pada wilayah bahan baku, PT. JAK juga perlu membuat strategi pasokan yang lebih ketat, baik dari kuantitas maupun waktu penyerahan. Dalam hal kuantitas, perusahaan sebaiknya menurunkan angka cadangan (reserve) untuk bahan baku dan penolong. Dalam hal waktu penyerahan, perusahaan sebaiknya mempersempit jarak waktu antara jadwal bahan baku diterima dengan jadwal bahan baku masuk produksi. Hal ini hanya bisa dilakukan bila perusahaan memiliki production planning dan vendor relation yang bagus. Melihat angka uang muka biaya yang cukup besar, artinya manajemen kerap membayar uang muka (deposit) kepada vendor. Hal ini terjadi karena manajemen tidak memiliki jumlah vendor yang cukup atau tidak memiliki hubungan yang baik. Ke depannya perlu ditingkatkan. Uang muka biaya yang tinggi juga bisa terjadi karena membeli susuatu terlalu dini (belum dibutuhkan) atau melebihi yang dibutuhkan. Untuk memenuhi matching principle, perusahaan mengakui porsi yang belum digunakan (baca: belum memberi manfaat) sebagai uang muka biaya. Ke depan, perlu menerapkan prosedur kebijakan yang lebih ketat.Secara keseluruhan, Rasio Likuiditas (Liquid Ratio) mencerminkan tingkat likuiditas, yakni kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Mengetahui rasio likuiditas sangatlah penting. Sebab bisa memperkirakan apakah perusahaan akan lancar beroperasi dalam jangka pendek atau tidak.Sampai di sini, pembahasan rasio profitabilitas dan likuiditas saya anggap sudah cukup. Nemuan perlu disadari bahwa, pengukuran tingkat likuiditas dan profitabilitas belum mencerminkan kondisi perusahaan secara keseluruhan.Hasil pengukuran Return On Assets (ROA) pada kelompok profitabilitas PT JAK misalnya, belum mampu menjelaskan mengapa ROA-nya rendah? Mengapa kapasitas aset PT JAK tidak digunakan secara optimal? Mengapa aset tidak terkelola dengan efektif? Pada kelompok aset mana ketidakefektifan terjadi; apakah pada Kas? Piutang? Persediaan? Atau Aset Tetap? Dan seterusnya.Pengukuran dengan rasio profitabilitas dan likuiditas masih menyisakan berbagai pertanyaan. Dan repotnya, justru pertanyaan-pertanyaan inilah yang menjadi kunci apakah manajemen perushaan mampu menemukan sumbermasalah lalu mengatasinya.Pertanyaan-pertanyaan itu akan terjawab dengan cara melakukan analisa dengan menggunakan rasio-rasio yang ada pada kelompok Tata Kelola Asset (Asset Management) yangjika tidak ada halanganrencananya akan saya bahas di tulisan berikutnya. Untuk sementara, silahkan coba aplikasikan rasio-rasio ini terlebih dahulu. Setelah dapat hasil, lalu pikirkan: dimana letak masalahnya? Apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah itu? Selamat mencoba.