Embolisasi Arteri Uterina Sebagai Terapi Pada Perdarahan Pasca Persalinan

download Embolisasi Arteri Uterina Sebagai Terapi Pada Perdarahan Pasca Persalinan

of 16

Transcript of Embolisasi Arteri Uterina Sebagai Terapi Pada Perdarahan Pasca Persalinan

EMBOLISASI ARTERI UTERINA SEBAGAI TERAPI PADA PERDARAHAN PASCA PERSALINANSuvranu Ganguli, MD, Michael S. Stecker, MD, Deveraj Pyne, MD, Richard A. Baum, MD, and Chieh-Min Fan, MD ABSTRAK Tujuan: untuk mengevaluasi efektivitas dan keamanan klinis dari Embolisasi Arteri Uterine (EAU) sebagai terapi pada perdarahan pasca persalinan (PPP) primer, PPP sekunder, dan PPP yang berkaitan dengan bedah sesar. Material dan Metode: semua wanita yang mengalami perdarahan obstetric dan mendapatkan terapi EAU selama periode 52 bulan dengan puncaknya pada bulan April 2009. Keberhasilan klinis dari prosedur ini dicapai ketika histerektomi dapat dihindari. Kebutuhan transfusi darah sebelum dan setelah EAU dikalkulasi. Hubungan statistik yang signifikan antara karakteristik subyek dan keberhasilan klinis telah dievaluasi. Dua kelompok wanita dengan pseudoaneurisma arteri uterine dan wanita yang menjalani bedah sesar juga telah diteliti secara terpisah. Hasil: Enam puluh enam wanita (usia rata-rata 33 tahun; kisaran 17-47 tahun) melakukan EAU, dengan keberhasilan klinis keseluruhan 95% (98% untuk PPP primer, 88% untuk PPP sekunder, dan 94% untuk PPP pada bedah sesar) dengan komplikasi sebanyak 4,5%. Rata-rata kebutuhan transfusi sebelum dan setelah EAU adalah 3,1 U dan 0,4 U packed red blood cells. Satu-satunya karakteristik yang signifikan untuk kasus dimana dilakukan histerektomi adalah meningkatnya kebutuhan transfusi setelah EAU (meningkat 1.0 U 0.5; P=.02). Pseudoaneurisma arteri uterina juga dihubungkan dengan PPP sekunder (P=.01) dan bedah sesar (P=.03) Kesimpulan: Karena tingkat efektivitas klinis yang tinggi dan angka komplikasi yang rendah maka ambang batas untuk dilakukannya EAU pada wanita dengan PPP adalah rendah. Pseudoaneurisma arteri uterine sebaiknya dicurigai pada wanita dengan PPP sekunder setelah melakukan bedah sesar. Meskipun kemajuan terapi medis, bedah, dan endovaskular saat ini telah dapat mengurangi angka kematian maternal hingga 99% di Amerika Serikat (1), namun perdarahan obstetri masih merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada maternal. Insiden perdarahan obstetric bervariasi tergantung dari definisi yang digunakan. Definisi perdarahan pasca persalinan (PPP) adalah kehilangan darah lebih dari 500mL, yang biasanya menjadi komplikasi1

pada 18% dari seluruh persalinan (2,3). Sedangkan perdarahan obstetric yang lebih berat adalah kehilangan darah lebih dari 1000mL yang terjadi pada 1-5% dari seluruh persalinan. Perdarahan obstetri dapat menjadi salah satu penyebab yang paling penting yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas maternal di negara maju dengan angka kematian maternal 25-30% (2,5,6). Sejak diperkenalkan sebagai terapi PPP pada 1979 (7,8), EAU menunjukkan angka keberhasilan teknis yang tinggi dan memberikan hasil klinis yang baik untuk terapi PPP primer dan sekunder (9-12). Seleksi pasien yang optimal dan posisi EAU yang tepat pada pemilihan terapi PPP tetap diuraikan. Kurangnya literatur dalam menyeleksi pasien serta teknik embolisasi, dan kurangnya uji coba terkontrol secara acak untuk membandingkan farmakologis, bedah, dan intervensi endovascular (9,13). Kesadaran dokter terhadap prosedur ini masih terbatas (14). Karena jumlah dan persentase bedah sesar yang meningkat di Amerika Serikat (15), data yang lebih banyak digunakan adalah dalam hal efektivitas EAU untuk PPP pada populasi wanita yang menjalani persalinan bedah sesar. Tujuan dari penelitian retrospektif ini adalah untuk menganalisis dan melaporkan hasil klinis termasuk efektivitas klinis dan keamanan EAU sebagai terapi pada perdarahan obstetrik di rumah sakit terutama pada wanita dengan PPP primer dan sekunder dan wanita yang menjalani operasi caesar. BAHAN DAN METODE Seleksi Pasien Penelitian ini dilakukan dengan persetujuan lembaga kami dengan pemberian inform consent, dan sesuai dengan Health Insurance Portability dan Accountability Act Regulation. Semua wanita yang menjalani EAU untuk alasan obstetri (orang-orang dengan Leiomioma-atau perdarahan uterus karena tumor telah dieksklusi) yang dilakukan di satu lembaga selama periode 52 bulan yang berpuncak pada bulan April 2009, dimasukkan dalam penelitian ini. Teknik EAU Semua subyek dirujuk ke layanan intervensi radiologi dan vaskular untuk EAU di rumah sakit. EAU untuk pengobatan PPP dilakukan hanya setelah semua manuver obstetrik untuk pengobatan PPP telah digunakan, yaitu meliputi obat uterotonika intravena, pemijatan uterus agresif, ekstraksi plasenta manual, pemeriksaan dan perbaikan laserasi genital, dan balon tamponade (yaitu, balon Bakri).

2

Protokol dan teknik untuk EAU untuk PPP relatif standar dalam divisi kami dan masing-masing prosedur dilakukan oleh seorang ahli intervensi radiologi terlatih, yang melibatkan total sembilan orang. Semua prosedur dilakukan dengan fluoroskopi (Aksioma Artis; Siemens, Munich, Jerman, atau Advantix, General Electric, Milwaukee, Wisconsin). EAU dilakukan melalui 4- atau 5-F vaskular sheats (Avanti, Cordis, Bridgewater, New Jersey) ditempatkan melalui arteri femoralis kanan. Aortograms pelvis tidak rutin dilakukan. Arteriografi iliaka internal pada umumnya dilakukan untuk melokalisasi arteri uterina, dan juga untuk menilai tempat perdarahan lainnya, seperti dari arteri pudenda interna. Kateter 4-F Glide Cobra (Terumo, Tokyo, Jepang), kateter 5-F Cobra C2 (Cook, Bloomington, Indiana), atau kateter 5-F Roberts (Cook) digunakan secara selektif untuk memasukkan pipa ke dalam arteri iliaka anterior. Kateterisasi selektif arteri uterina dilakukan dengan kateter primer atau melalui koaksial mikrokateter (Renegade Hi Flo, Boston Scientific, Natick, Massachusetts, atau Progreat, Terumo). Pemilihan arteri uterina kontralateral (atas dan selama bifurkasi iliaka) secara rutin dilakukan terlebih dahulu. Setelah angiografi superselective mengkonfirmasi posisi kateter pada arteri uterina distal, atau kadang-kadang di bagian horisontal dari arteri, kemudian dilakukanlah embolisasi. Selama pseudoaneurisma tidak ditemukan melalui angiografi uterina selektif, embolisasi dilakukan dengan menggunakan spons gelatin yang dapat diserap (gelfoam; Pharmacia dan Upjohn, New York, New York), diberikan dalam slurry dengan larutan garam dan media kontras. Embolisasi dilakukan sampai dicapai aliran statis dalam arteri uterine (Gambar 1). Dengan akses arteri femoralis yang sama, kemudian dipilih arteri uterina ipsilateral dan embolisasi dengan cara yang sama pada semua kasus. Jika pseudoaneurisma diidentifikasi, embolisasi dilakukan dengan embolisasi logam microcoils (Tornado; Masak) melalui mikrokateter.

3

Gambar 1. Gambaran Angiografi pada subyek dengan PPP primer yang menjalani terapi EAU setelah persalinan pervagina. (a) arteriogram selektif pada uterina kiri menunjukkan hipertrofi dari arteri uterina (panah) dan cabang terminal arteri uterine (panah) yang member pasokan pada uterus. Tidak ada ekstravasasi agen kontras aktif yang teridentifikasi. (b) Angiogram postembolisasi setelah embolisasi gelfoam selektif pada arteri uterina kiri menunjukkan aliran darah (panah) yang statis dan kurangnya visualisasi dari cabang-cabang terminal. Temuan serupa ditunjukkan dalam angiogram sebelum dan sesudah embolisasi (c, d) dari arteri uterine kanan.

Titik Akhir Klinis PPP primer didefinisikan sebagai perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama setelah persalinan. PPP sekunder didefinisikan sebagai perdarahan yang terjadi lebih dari 24 jam setelah persalinan. Untuk setiap subjek penelitian, telah dikumpulkan data rekam medis elektronik dan gambaran radiologi yang diambil dari rumah sakit. Data yang dikumpulkan termasuk indikasi untuk melakukan prosedur ini, usia pasien, paritas dan riwayat obstetrik, cara persalinan (pervagina atau sesar), waktu PPP dalam kaitannya dengan waktu persalinan, kebutuhan transfusi sebelum EAU dan setelah EAU, lama tinggal di rumah sakit setelah EAU, histerektomi, dan kehamilan berikutnya. Data prosedur EAU yang dikumpulkan meliputi teknik embolisasi dan bahan emboli yang digunakan, temuan angiografi, dan komplikasi dari prosedur EAU.

4

Analisis Data dan Statistik Keberhasilan teknis didefinisikan sebagai keberhasilan kateterisasi dari kedua arteri uterina dengan embolisasi stasis, embolisasi pembuluh pelvis nonuterine yang meningkatkan ekstravasasi agen kontras aktif, atau keberhasilan embolisasi pada lesi vaskular yang spesifik (yaitu, pseudoaneurisma). EAU dikatakan berhasil secara klinis apabila histerektomi setelah prosedur ini dapat dihindari. Rentang dan rata-rata kebutuhan terhadap transfusi darah sebelum dan setelah EAU telah dikalkulasi. Dengan dua-sampel t test, tes Wilcoxon-Mann-Whitney, atau tes Fisher exact pada saat yang tepat, hubungan yang signifikan antara karakteristik subjek (umur, graviditas, paritas, PPP primer vs sekunder, packed red blood cells [PRBCs] diberikan sebelum dan sesudah EAU, dan lama tinggal di rumah sakit setelah EAU) dan keberhasilan klinis dievaluasi. Statistik dibedakan antara wanita yang memerlukan histerektomi dan mereka yang tidak dievaluasi dengan metode ini. Statistik membandingkan mereka yang diidentifikasi dengan pseudoaneurisma arteri uterina dan mereka yang tidak dilakukan pemeriksaan. Analisis ini juga dilakukan dengan sampel yang terbatas pada wanita yang menjalani bedah sesar. Analisis statistik dilakukan dengan perangkat lunak statistik Stata (Stata, College Station, Texas). Nilai P lebih rendah dari .05 dianggap menunjukkan statistik yang signifikan. HASIL Karakteristik Kelompok Penelitian Di lembaga kami, sebanyak 76 wanita (usia rata-rata, 33 tahun; kisaran 17 - 47 tahun) menjalani EAU akibat mengalami perdarahan obstetrik. Tingkat keberhasilan teknis adalah 100%. Ratarata graviditas wanita-wanita ini adalah 2,6 (kisaran, 1-10) dan rata-rata paritas 1,8 (kisaran, 09). Dari 76 wanita, enam wanita menjalani EAU untuk perdarahan yang disebabkan oleh kehamilan ektopik intrauterin (16,17) dan tiga perempuan menjalani EAU untuk penempatan profilaksis oklusi balon iliaka internal untuk mengontrol perdarahan selama bedah sesar elektif yang terkait dengan plasenta akreta / perkreta (18,19). Hanya satu wanita yang menjalani histerektomi sebelum embolisasi EAU, di antaranya dilakukan untuk perdarahan vagina persisten, dan wanita ini tidak memerlukan intervensi lebih lanjut setelah EAU. 10 subyek ini dikeluarkan dari analisis. Dari sisanya 66 wanita, hanya tiga orang yang menjalani histerektomi, menunjukkan tingkat keberhasilan klinis EAU 95% (Tabel 1), dan tingkat histerektomi 5% (tiga dari 66). Tidak ada wanita dalam penelitian ini yang menjalani prosedur EAU berulang.5

Tabel 1. Efektivitas Klinis dan Tingkat Komplikasi EAU keseluruhan dan oleh Subkelompok PPP Primer dan Sekunder Komplikasi Kelompok Subjek Jumlah Efektivitas Klinis 63/66 (95) Jenis Insiden

Secara keseluruhan

66

Ekstremitas 3/66 (4.5) bawah DVT, pankreatitis, endometritis Ekstremitas 2/50 (4.0) bawah DVT, pankreatitis Endometritis 1/16 (6.3)

PPP Primer

50

49/50 (98)

PPP Sekunder

16

14/16 (88)

Catatan: Nilai dalam kurung adalah persentase. DVT = thrombosis vena. Ada tiga wanita yang menjalani histerektomi, yaitu dua wanita dengan PPP dan satu wanita dengan endometritis (2 minggu setelah EAU). Wanita yang menjalani histerektomi untuk endometritis dan salah satu dari dua wanita yang menjalani histerektomi akibat PPP persisten ditemukan mengalami plasenta akreta pada pemeriksaan patologis. Wanita ketiga yang menjalani histerektomi pada persalinan bedah sesar, dilaporkan mengalami PPP sekunder 28 hari setelah melahirkan, dan mengalami PPP persisten 3 hari setelah dilakukan EAU konvensional. Selain tiga kegagalan klinis tersebut, ada tiga komplikasi yang berhubungan dengan prosedur EAU, termasuk satu wanita yang kemudian mengalami trombosis vena dalam pada ekstremitas kiri bawah, satu wanita dengan pankreatitis post prosedural, dan satu wanita lagi yang menjalani EAU serta dilatasi dan kuretase yang mendapatkan pengobatan antibiotik intravena untuk endometritis. Masing-masing komplikasi ini dinilai sebagai komplikasi mayor berdasarkan pedoman Society of Interventional Radiology (20). Tidak ada komplikasi minor pada kasus ini. Seorang wanita lainnya mengalami kejang peripartum yang tidak terkait dengan prosedur EAU. Tidak ada mortalitas yang terkait dengan prosedur EAU dan komplikasi EAU secara keseluruhan adalah 4,5% (tiga dari 66).6

Dari 66 wanita yang terlibat dalam penelitian, 50 (76%) menjalani prosedur EAU untuk PPP primer dan 16 (24%) untuk PPP sekunder. Empat puluh delapan perempuan (73%) menjalani EAU setelah persalinan pervagina dan 18 (27%) setelah bedah sesar. Rata-rata kebutuhan transfusi preembolisasi adalah 3,1 U (kisaran, 0 - 12 U) dari PRBCs dan rata-rata kebutuhan transfusi postembolisasi adalah 0,4 U (kisaran, 0 - 4 U) dari PRBCs. Rata-rata lama tinggal di rumah sakit setelah EAU adalah 3,5 hari (kisaran, 1-12 hari). Tiga wanita menjalani embolisasi selektif pudenda internal untuk ekstravasasi agen kontras aktif: dua diterapi dengan gelfoam slurry dan satu menjalani embolisasi pembuluh darah, dengan resolusi ekstravasasi agen kontras aktif. Tiga wanita yang menjalani embolisasi coil untuk pseudoaneurisma arteri uterina yang diidentifikasi melalui angiografi. Ketiga perempuan ini telah mengalami persalinan melalui bedah sesar dan dilaporkan dengan PPP sekunder yang terjadi rata-rata 17 hari setelah melahirkan (kisaran, 7-35 hari). Sisanya 60 wanita menjalani standar embolisasi gelfoam dari arteri uterina bilateral. Satu-satunya perbedaan yang signifikan dalam karakteristik subyek yang berarti ketika membandingkan antara orang-orang yang menjalani histerektomi dan mereka yang tidak membutuhkan transfusi setelah terapi (perbedaan 1,0 U 0,5; P 0,02, uji t). Para wanita yang menjalani histerektomi mebutuhkan transfusi setelah EAU rata-rata 1,3 U 1,3 sedangkan yang lain membutuhkan transfusi setelah EAU rata-rata 0,3 U 0,1. Kehadiran pseudoaneurisma arteri uterina secara signifikan terkait dengan pendarahan yang tertunda, yaitu, PPP sekunder (P .01), dan seksio sesaria (P .03). Sembilan kehamilan diidentifikasi setelah setelah melakukan prosedur EAU. Dari sembilan kehamilan tersebut, ada dua abortus spontan dan tujuh kehamilan normal, enam di antaranya telah melakukan persalinan pervagina dan satu melalui operasi sesar. Oleh karena itu, tujuh dari 66 wanita dapat hamil kembali pasca-EAU (10,6%). Dari catatan, salah satu dari wanita ini mengalami retained placenta dimana pada kehamilan berikutnya dibutuhkan dilatasi dan kuretase dan wanita lain mengalami PPP primer berulang pada kehamilan selanjutnya. Wanita ini tidak dirujuk untuk EAU, namun dilakukan histerektomi.

PPP Primer

7

Ada 50 wanita (usia rata-rata, 32,7 tahun, kisaran, 17-44 tahun) yang menjalani EAU untuk PPP primer. Dua belas dari 50 perempuan (24%) telah melahirkan melalui operasi sesar. Rata-rata graviditas dari perempuan ini adalah 2,7 (kisaran, 1-10) dan rata-rata paritas adalah 1,9 (kisaran, 1-9). Rata-rata kebutuhan transfusi preembolisasi untuk kelompok wanita ini adalah 3.3 U (kisaran, 0-10 U) PRBCs dan postembolization adalah 0,4 U (kisaran, 0-4 U) PRBCs. Salah satu dari 50 wanita menjalani histerektomi untuk PPP persisten (tingkat keberhasilan klinis 98%). Rata-rata lama tinggal di rumah sakit pasca-EAU adalah 3,9 hari (kisaran, 1-12 hari). PPP sekunder Ada 16 wanita (usia rata-rata, 32,4 tahun, kisaran, 21-42 tahun) yang menjalani EAU untuk PPP sekunder. Dua wanita menjalani histerektomi, menghasilkan tingkat keberhasilan klinis 88% untuk kelompok ini. Rata-rata graviditas dari wanita-wanita ini adalah 2,1 (kisaran, 1-4) dan rata-rata paritas dari perempuan ini adalah 1,8 (kisaran, 1-4). Kebanyakan dari wanita-wanita ini menunjukkan tanda dan gejala 25 hari (kisaran, 4-72 hari) setelah melahirkan. Rata-rata transfusi preembolisasi untuk kelompok ini adalah 2,0 U (kisaran, 0-6 U) PRBCs dan kebutuhan transfusi postembolisasi adalah 0,2 U (kisaran, 0-4 U) PRBCs. Lama tinggal di rumah sakit setelah EAU untuk kelompok ini adalah 2,0 hari (kisaran, 1-5 hari). Pada 13 wanita, PPP sekunder disebabkan oleh produk konsepsi, sedangkan pada tiga wanita disebabkan oleh pseudoaneurisma arteri uterina. Masing-masing dari tiga wanita dengan pseudoaneurism arteri uterina telah melakukan persalinan melalui bedah sesar, dan masingmasing embolisasi berhasil tanpa diperlukan intervensi lebih lanjut. Enam perempuan dalam kelompok PPP sekunder (38%) telah melahirkan melalui bedah sesar. Oleh karena itu, setengah dari perempuan (tiga dari enam, 50%) yang baru menjalani operasi sesar dan dilaporkan dengan PPP sekunder ditemukan mengalami pseudoaneurisma arteri uterina. PPP pada Bedah Sesar Ada 18 wanita (usia rata-rata, 34,7 tahun, kisaran, 26-44 tahun) yang menjalani EAU untuk PPP setelah bedah sesar, enam diantaranya mengalami PPP sekunder (Tabel 2). Seperti dijelaskan sebelumnya, dari enam perempuan dengan PPP sekunder setelah operasi caesar, tiga (50%) terkait dengan pseudoaneurisma arteri uterina atau cabangnya, dan masing-masing diembolisasi dengan gulungan, dengan hasil klinis yang berhasil. Seorang wanita menjalani histerektomi, menghasilkan tingkat keberhasilan klinis untuk kelompok ini 94%. Rata-rata graviditas dari kelompok wanita ini adalah 2,2 (kisaran, 1-8) dan rata-rata paritas adalah 1,9 (kisaran, 1-5).8

Kebutuhan transfusi sebelum EAU pada kelompok perempuan adalah 4,0 U (kisaran, 0-10 U) PRBCs dan setelah EAU adalah 0,8 U (kisaran 0-4 U) PRBCs. Lama tinggal di rumah sakit setelah EAU adalah 5,1 hari (kisaran, 1-12 hari). Tabel 2. Efektivitas Klinis dan Tingkat Komplikasi EAU untuk Kelompok Perawatan setelah Bedah Sesar Komplikasi Kelompok Subyek Jumlah Efektivitas Klinis 17/18 (94) Jenis Insiden

Secara keseluruhan

18

Ekstremitas 2/18 (11.1) bawah DVT, pankreatitis, endometritis Ekstremitas 2/12 (16.7) bawah DVT, pankreatitis Endometritis 0/6

PPP Primer

12

12/12 (100)

PPP Sekunder

6

5/6 (83)

Catatan: Nilai dalam kurung adalah persentase. DVT = thrombosis vena DISKUSI Perdarahan obstetrik terus menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada ibu. PPP disebabkan oleh satu dari empat proses dasar yang disebut sebagai empat T, yaitu tonus (kegagalan rahim untuk berkontraksi setelah melahirkan plasenta), tissue (mempertahankan jaringan plasenta atau bekuan darah), trauma (laserasi traktus genitalia atau hematoma), atau trombin (koagulopati) (2). Seorang dokter kandungan mampu mencegah PPP melalui manajemen aktif kala tiga persalinan dengan penggunaan terapi uterotonika (oksitosin, methylergonovine, trometamin carboprost, misoprostol), penegangan tali pusar terkendali dan pemijatan uterus. Ketika PPP terjadi meskipun telah menggunakan teknik ini, intervensi yang cepat sangatlah penting. Manajemen PPP memerlukan keterlibatan multispesialis yang terkoordinasi, resusitasi cairan dan darah yang cepat, dan aplikasi uterus-sparing technique seperti tamponade balon (balon Bakri), jahitan kompresi, dan ligasi arteri. Namun, uterus-sparing technique memiliki efektivitas yang terbatas, seperti yang dijelaskan dalam sebuah metaanalisis terbaru9

pilihan manajemen konservatif untuk PPP (21). Selain itu, jahitan kompresi dan ligasi arteri uterus sering membutuhkan laparotomi, dengan risiko yang terkait dan peningkatan lama tinggal di rumah sakit. Ketika metode ini tidak berhasil mengendalikan PPP, histerektomi tetap menjadi solusi bedah definitif untuk PPP. Sejak dikenalkan pada tahun 1979 (7,8), embolisasi arteri pelvis endovascular dinilai sangat efektif. Teknik ini digunakan untuk mengendalikan perdarahan akut dalam berbagai penyakit obstetrik dan ginekologi, termasuk penggunaan uterus-sparing technique untuk pengobatan PPP. Penelitian ini merupakan salah satu seri kasus terbesar EAU pada PPP yang dijelaskan dalam literatur, Touboul et al (10) yang melaporkan kelompok yang lebih besar dari ibu yang menjalani EAU untuk PPP (N=102). Kirby dkk (9) baru-baru ini melaporkan hasil penelitian mereka terhadap EAU pada PPP primer di tiga lembaga, dan ulasan literatur yang terdiri dari 15 seri kasus lain yang menggambarkan sekitar 430 wanita. Studi ini menggambarkan tingginya tingkat keberhasilan klinis dan komplikasi yang relatif rendah, dimana tingkat keberhasilan klinis 95% dan tingkat komplikasi sebesar 4,5%. Efektivitas EAU untuk PPP ini dibuktikan dengan tingkat keberhasilan teknis yang tinggi (100%) dan pengurangan kebutuhan terhadap transfusi darah setelah EAU (3,1 U PRBCs sebelum EAU dan 0,4 U setelah EAU). Manfaat lebih lanjut dari UAE untuk PPP termasuk penghindaran risiko bedah terkait dengan histerektomi, potensi kesuburan, dan rawat inap umumnya lebih pendek. Sebagai perbandingan, dalam sebuah studi multicenter bedah sesar histerektomi (22), lama tinggal di rumah sakit adalah 5 hari, jumlah rata-rata unit PRBCs yang diberikan adalah 4,6 U intraoperasi dan 3,7 U pasca operasi, serta tingkat morbiditas 34,9% dan mortalitas 1,6%. Meskipun semakin banyak data yang membuktikan efektivitasnya, prosedur ini tetap kurang dimanfaatkan. Sebuah survei tahun 2002 (14) menunjukkan bahwa 86% dari unit bersalin di Inggris belum pernah melakukan EAU untuk PPP berat. Dua belas persen menunjukkan 1-4 kasus dalam 5 tahun, dan hanya 2% telah dilakukan lebih dari lima kasus. Dari survey yang dilakukan, histerektomi adalah intervensi yang paling umum untuk PPP, dengan 89% dari unit bersalin setidaknya satu histerektomi untuk perdarahan mayor dalam 5 tahun. Alasan rendahnya pemanfaatan EAU untuk PPP dikutip dalam penelitian ini (14), yaitu jumlah unit angiografi modern yang terbatas, kurangnya tim yang terampil dan risiko saat mentransfer pasien dalam kondisi tidak stabil ke tempat angiografi. Beberapa pusat telah mulai mengembangkan algoritma multidisiplin dan tim dengan respon cepat untuk mengoptimalkan outcome PPP, sehingga morbiditas dan mortalitas terkait yang10

sering disebabkan oleh keterlambatan dalam diagnosis dan pengobatan yang dapat dihindari (24-26). American College of Obstetricians dan Gynecologists juga menyarankan bahwa penggunaan protokol dan latihan dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas pada PPP (27). Protokol ini meliputi tim obstetric itu sendiri, dan bergantung pada keberhasilan kolaborasi dari berbagai disiplin ilmu, termasuk intervensi radiologi. Di lembaga kami, kami memiliki hubungan yang kuat dan responsif dengan rekan obstetrik dan ginekologi yang mendorong konsultasi dini dengan intervensi radiologi, dan manajemen endovascular yang tepat untuk wanita dengan PPP. Tingkat komplikasi adalah sebesar 4,5%, dimana hal ini tidak boleh diabaikan. Perlu diingat bahwa wanita sering mengalami kehilangan volume darah dalam jumlah banyak yang terkait dengan koagulopati dan kebutuhan transfusi. Wanita juga sering menjalani prosedur dilatasi dan kuretase setelah melahirkan dan sebelum EAU. Oleh karena itu, selain disebabkan langsung oleh prosedur EAU, beberapa komplikasi dapat diakibatkan oleh stres metabolik dari PPP dan penyebab yang tidak berkaitan dengan prosedur EAU. Hal ini membuat tingkat komplikasi aktual dari prosedur ini menjadi lebih rendah. Saat ini, satu-satunya komplikasi yang dapat diidentifikasi berhubungan langsung dengan prosedur ini yaitu pasien yang menjalani histerektomi untuk endometritis 2 minggu setelah EAU, yang akan menghasilkan tingkat komplikasi EAU pada PPP sebesar 1,5% (yaitu, satu dari 66). Mengingat efektivitas prosedur dengan kejadian komplikasi setelah EAU yang relatif rendah, kami mengusulkan ambang batas yang rendah untuk embolisasi uterus dengan tanda-tanda PPP. Dua dari tiga wanita yang menjalani histerektomi setelah EAU ditemukan mengalami plasenta akreta pada pemeriksaan patologis. Hal ini menunjukkan bahwa EAU sangat baik untuk PPP sekunder untuk atonia uteri, tapi mungkin kurang efektif untuk kasus yang mempertahankan produk konsepsi. Data dalam literatur yang membahas tentang EAU pada PPP setelah bedah sesar sangat terbatas. Namun, kami mengidentifikasi tingkat efektivitas klinis dan teknis yang sama tinggi untuk EAU. Karakteristik paling menarik dari analisis ini bahwa enam wanita dengan PPP sekunder setelah operasi sesar, 50% (N=3) disebabkan oleh pseudoaneurisma dari arteri uterus atau cabangnya. Pseudoaneurisma iatrogenik setelah bedah sesar kini semakin dikenal sebagai penyebab PPP sekunder (28,29). Seorang wanita dengan PPP sekunder setelah operasi sesar telah menjalani EAU konvensional di rumah sakit lain (dan karena itu tidak termasuk dalam data kami)11

24 hari sebelum datang ke rumah sakit kami dengan PPP sekunder (Gambar 2). Pseudoaneurism arteri uterina diidentifikasi pada arteriogram ulang yang dilakukan di rumah sakit kami, dimana embolisasi telah berhasil dilakukan. Hal ini memperkuat gagasan bahwa embolisasi gelfoam nonselektif dari arteri uterus bukanlah pengobatan yang sepenuhnya efektif untuk suatu pseudoaneurisma. Selain dari dua perempuan yang mengalami plasenta akreta, kemungkinan wanita ketiga yang mengalami kegagalan EAU memiliki pseudoaneurisma yang terkait operasi sesar sebagai penyebab untuk PPP. Namun, kami tidak memiliki pencitraan atau bukti patologis pada kasus ini.

Gambar 2. Pseudoaneurisma arteri uterina menyebabkan PPP sekunder pada pasien usia 32 tahun yang menjalani persalinan bedah sesar dengan PPP primer diberikan terapi awal dengan transfusi darah dan tamponade balon Bakri. Empat belas hari setelah melahirkan, pasien mengalami PPP sekunder dan membutuhkan 2 U transfusi darah dan pengobatan dengan bilateral EAU dengan gelfoam di lembaga lain. PPP sekunder berulang terjadi 38 hari setelah melahirkan. (a) aortografi pelvis nonselektif menunjukkan suatu pseudoaneurisma yang timbul dari arteri uterina kanan (panah). (b) Angiogram selektif pada arteri uterina kanan melalui kateter 5-F di bagian anterior dari arteri iliaka interna (panah) dengan mikrokateter koaksial menunjukkan pseudoaneurisma (panah). (c) Angiografi arteri uterine kanan setelah embolisasi pseudoaneurisma menunjukkan resolusi pseudoaneurism (panah).

Hal yang menarik bagi dokter dan wanita mengenai EAU adalah efeknya pada kesuburan berikutnya, dan data dalam literatur tentang topik ini terbatas (30,31). Kondisi transien subiskemik yang diinduksi oleh EAU pada rahim menimbulkan pertanyaan penting efek jangka panjang pada kesuburan berikutnya. Sebuah literatur baru-baru ini yang membahas tentang kesuburan setelah EAU pada PPP dilakukan oleh Delotte et al (32) yang meliputi 13 artikel yang menggambarkan follow up terhadap kesuburan wanita setelah menjalani EAU dimana terdapat total 168 wanita. Dalam populasi ini, 45 kehamilan diikuti dimana terjadi 32 kelahiran hidup. Terdapat delapan keguguran dalam kelompok ini (18%), yang tidak terlalu berbeda dari tingkat keguguran umumnya yang terjadi pada trimester pertama kehamilan yaitu12

10-15%. Mereka menyimpulkan bahwa EAU merupakan alternatif yang aman dan konservatif sebagai terapi pembedahan untuk PPP pada wanita yang ingin mempertahankan kesuburan di masa depan. Dalam seri ini, sembilan kehamilan pada sembilan perempuan diidentifikasi setelah menjalani EAU. Dari sembilan kehamilan tersebut, ada dua aborsi spontan, dengan tingkat keguguran 22%. Temuan kami tampaknya hampir sama dengan yang ditemukan dalam seri lainnya, namun jumlahnya relatif rendah. Data yang ada tidak cukup untuk membuat rekomendasi definitif ini, namun data menunjukkan bahwa endometrium tidak terganggu akibat prosedur EAU. Sebuah diskusi dengan wanita yang menjalani EAU yang menginginkan kesuburan di masa depan sangat diperlukan. Namun, faktanya adalah bahwa EAU dapat mempertahankan rahim dan histerektomi dapat dihindari. Seperti seri lain yang telah diterbitkan, nilai temuan kami dibatasi oleh sedikitnya jumlah wanita yang dilibatkan. Semua wanita yang terlibat dalam kelompok studi awal dirujuk dari rekan obstetric kami. Kami tidak mengetahui jumlah perempuan yang menjalani histerektomi tanpa rujukan EAU selama periode ini. Dan juga volume kehilangan darah yang merupakan rujukan untuk dilakukan intervensi radiologi tidak secara khusus dinilai dan kami tidak dapat memastikan bahwa semua perempuan postpartum dengan kehilangan darah 500 mL atau lebih dirujuk untuk EAU. Namun, penghitungan jumlah kehilangan darah selama PPP adalah sulit dan studi telah mengungkapkan bahwa persalinan tanpa komplikasi sering mengakibatkan kehilangan darah lebih dari 500 ml (13). Selain itu, beberapa definisi PPP yang lebih luas yaitu meliputi pendarahan yang menyebabkan munculnya tanda-tanda dan gejala ketidakstabilan hemodinamik, pendarahan yang dapat mengakibatkan gangguan hemodinamik jika tidak diobati, atau perdarahan yang sesuai dengan definisi klinis yaitu "kebutuhan untuk transfusi darah"(33-35). Setiap wanita yang terlibat pada penelitian ini menerima transfusi darah sebelum atau selama EAU, telah memenuhi definisi PPP yang lebih luas. Sebagai kesimpulan, EAU memiliki efektivitas klinis yang tinggi pada PPP primer (98%), PPP sekunder (88%), dan PPP pada bedah sesar (94%). Prosedur ini memiliki tingkat komplikasi keseluruhan sebesar 4,5%, meskipun beberapa komplikasi dapat disebabkan akibat perdarahan yang terjadi dan prosedur kontemporer lainnya. Kebutuhan terhadap transfusi darah setelah EAU adalah rendah, dan risiko bedah serta hilangnya kesuburan absolut terkait dengan histerektomi dapat dihindari. Intervensi radiologi dan EAU harus melibatkan algoritme multidisiplin dan respon yang cepat dari tim perencana untuk mengoptimalkan kesembuhan13

pada wanita dengan PPP, dan mengingat angka komplikasi yang relatif rendah, kami mengusulkan bahwa embolisasi uterus harus dimasukkan dalam algoritma manajemen PPP.

REFERENCES: 1. Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Healthier mothers and babies. MMWR Morb Mortal Wkly Rep 1999; 48:849858. 2. Devine PC. Obstetric hemorrhage. Semin Perinatol 2009; 33:7681. 3. Elbourne DR, Prendiville WJ, Carroli G, Wood J, McDonald S. Prophylactic use of oxytocin in the third stage of labour. Cochrane Database Syst Rev 2001:CD001808. 4. Magann EF, Evans S, Chauhan SP, Lanneau G, Fisk AD, Morrison JC. The length of the third stage of labor and the risk of postpartum hemorrhage. Obstet Gynecol 2005; 105:290293. 5. Baskett TF, OConnell CM. Severe obstetric maternal morbidity: a 15-year populationbased study. J Obstet Gynaecol 2005; 25:79. 6. Zhang WH, Alexander S, Bouvier-Colle MH, Macfarlane A. Incidence of severe preeclampsia, postpartum haemorrhage and sepsis as a surrogate marker for severe maternal morbidity in a European populationbased study: the MOMS-B survey. Br J Obstet Gynaecol 2005; 112: 8996. 7. Brown BJ, Heaston DK, Poulson AM, Gabert HA, Mineau DE, Miller FJ Jr. Uncontrollable postpartum bleeding: a new approach to hemostasis through angiographic arterial embolization. Obstet Gynecol 1979; 54: 361365. 8. Heaston DK, Mineau DE, Brown BJ, Miller FJ Jr. Transcatheter arterial embolization for control of persistent massive puerperal hemorrhage after bilateral surgical hypogastric artery ligation. AJR Am J Roentgenol 1979; 133:152154. 9. Kirby JM, Kachura JR, Rajan DK, et al. Arterial embolization for primary postpartum hemorrhage. J Vasc Interv Radiol 2009; 20:10361045. 10. Touboul C, Badiou W, Saada J, et al. Efficacy of selective arterial embolisation for the treatment of life-threatening post-partum haemorrhage in a large population. PLoS One 2008; 3:e3819. 11. Pelage JP, Le Dref O, Mateo J, et al. Life-threatening primary postpartum hemorrhage: treatment with emergency selective arterial embolization. Radiology 1998; 208:359 362. 12. Pelage JP, Soyer P, Repiquet D, et al. Secondary postpartum hemorrhage: treatment with selective arterial embolization. Radiology 1999; 212:385389. 13. Mousa HA, Alfirevic Z. Treatment for primary postpartum haemorrhage. Cochrane Database Syst Rev 2003:CD003249. 14. Mousa HA, Alfirevic Z. Major postpartum hemorrhage: survey of maternity units in the United Kingdom. Acta Obstet Gynecol Scand 2002; 81:727730. 15. Martin JA, Hamilton BE, Sutton PD, et al. Births: final data for 2005. Natl Vital Stat Rep 2007; 56:1103. 16. Nakao Y, Yokoyama M, Iwasaka T. Uterine artery embolization followed by dilation and curettage for cervical pregnancy. Obstet Gynecol 2008; 111:505507. 17. Trambert JJ, Einstein MH, Banks E, Frost A, Goldberg GL. Uterine artery embolization in the management of vaginal bleeding from cervical pregnancy: a case series. J Reprod Med 2005; 50:844850.14

18. Weeks SM, Stroud TH, Sandhu J, Mauro MA, Jaques PF. Temporary balloon occlusion of the internal iliac arteries for control of hemorrhage during cesarean hysterectomy in a patient with placenta previa and placenta increta. J Vasc Interv Radiol 2000; 11:622 624. 19. Tan CH, Tay KH, Sheah K, et al. Perioperative endovascular internal iliac artery occlusion balloon placement in management of placenta accreta. AJR Am J Roentgenol 2007; 189:11581163. 20. Goodwin SC, Bonilla SC, Sacks D, et al. Reporting standards for uterine artery embolization for the treatment of uterine leiomyomata. J Vasc Interv Radiol 2003; 14:S467S476. 21. Doumouchtsis SK, Papageorghiou AT, Arulkumaran S. Systematic review of conservative management of postpartum hemorrhage: what to do when medical treatment fails. Obstet Gynecol Surv 2007; 62:540547. 22. Shellhaas CS, Gilbert S, Landon MB, et al. The frequency and complication rates of hysterectomy accompanying cesarean delivery. Obstet Gynecol 2009; 114:224229. 23. Ledee N, Ville Y, Musset D, Mercier F, Frydman R, Fernandez H. Management in intractable obstetric haemorrhage: an audit study on 61 cases. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol 2001; 94:189196. 24. Berg CJ, Harper MA, Atkinson SM, et al. Preventability of pregnancyrelated deaths: results of a state-wide review. Obstet Gynecol 2005; 106:12281234. 25. Fuchs KM, Miller RS, Berkowitz RL. Optimizing outcomes through protocols, multidisciplinary drills, and simulation. Semin Perinatol 2009; 33:104108. 26. Skupski DW, Lowenwirt IP, Weinbaum FI, Brodsky D, Danek M, Eglinton GS. Improving hospital systems for the care of women with major obstetric hemorrhage. Obstet Gynecol 2006; 107:977983. 27. American College of Obstetricians and Gynecologists. ACOG Practice Bulletin: Clinical Management Guidelines for Obstetrician-Gynecologists Number 76, October 2006: postpartum hemorrhage. Obstet Gynecol 2006; 108:10391047. 28. Samad S, Jonetzko P, Hawkins AP, Booth J, Thorpe-Beeston G, Marwood R. An unusual cause of delayed postpartum haemorrhage following caesarean section. Emerg Med J 2009; 26:621622. 29. Henrich W, Fuchs I, Luttkus A, Hauptmann S, Dudenhausen JW. Pseudoaneurysm of the uterine artery after cesarean delivery: sonographic diagnosis and treatment. J Ultrasound Med 2002; 21:14311434. 30. Chauleur C, Fanget C, Tourne G, Levy R, Larchez C, Seffert P. Serious primary postpartum hemorrhage, arterial embolization and future fertility: a retrospective study of 46 cases. Hum Reprod 2008; 23:15531559. 31. Fiori O, Deux JF, Kambale JC, Uzan S, Bougdhene F, Berkane N. Impact of pelvic arterial embolization for intractable postpartum hemorrhage on fertility. Am J Obstet Gynecol 2009; 200:384.e1e384.e4. 32. Delotte J, Novellas S, Koh C, Bongain A, Chevallier P. Obstetrical prognosis and pregnancy outcome following pelvic arterial embolisation for post-partum hemorrhage. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol 2009; 145:129132. 33. Jansen AJ, van Rhenen DJ, Steegers EA, Duvekot JJ. Postpartum hemorrhage and transfusion of blood and blood components. Obstet Gynecol Surv 2005; 60:663671. 34. Combs CA, Murphy EL, Laros RK Jr. Factors associated with hemorrhage in cesarean deliveries. Obstet Gynecol 1991; 77:7782.

15

35. Gilstrap LC III, Ramin SM. Postpartum hemorrhage. Clin Obstet Gynecol 1994; 37:824830

16