emboli paru

33
EMBOLI PARU Epidemiologi PE dan DVT merupakan 2 presentasi klinis dari tromboembolisme vena dan memilki faktor predisposisi yang sama. Pada kasus terbanyak PE merupakan konsekuensi dari DVT. Diantara pasien dengan DVT proksimal, sekitar 50 % memiliki asosiasi klinis dengan scan paru dengan penampakan PE. Pada 70% pasien dengan PE, DVT dapat ditemukan di ekstrimitas bawah bila menggunakan pemeriksaan dengan metode yang sensitif. Epidemiologi dari tromboembolisme vena belakangan ini telah dikaji. Meskipun DVT dan PE merupakan manifestasi dari satu penyakit tromboembolisme vena, PE memiliki penampakan yang berbeda bila dibandingkan dengan DVT. Resiko kematian yang berhubungan dengan episode inisial akut atau rekuren pada PE lebih hebat jika dibandingakan dengan pada DVT. Merujuk kepada studi kohort prospektif, fatality rate dari kasus akut PE berkisar antara 7 hingga 11 %. Selain itu, episode rekuren PE yang berasal dari PE sekitar 3 kali lipat dibandingkan dengan yang berasal dari DVT (sekitar 60% setelah PE dibandingkan dengan 20 % setelah DVT). Prevalensi dari PE diantara orang-orang yang dirawat di rumah sakit di Amerika Serikat, yang mengacu pada data antara 1979 sampai 1999, adalah 0,4 %. Meskipun hanya sekitar 40-53 dari 100.000 orang yang didiagnosa PE dalam setahun, insidens tahunan di Amerika Serikat diperkirakan mencapai 600.000 kasus. Diantara

Transcript of emboli paru

Page 1: emboli paru

EMBOLI PARU

Epidemiologi

PE dan DVT merupakan 2 presentasi klinis dari tromboembolisme vena dan memilki faktor

predisposisi yang sama. Pada kasus terbanyak PE merupakan konsekuensi dari DVT. Diantara

pasien dengan DVT proksimal, sekitar 50 % memiliki asosiasi klinis dengan scan paru dengan

penampakan PE. Pada 70% pasien dengan PE, DVT dapat ditemukan di ekstrimitas bawah bila

menggunakan pemeriksaan dengan metode yang sensitif.

Epidemiologi dari tromboembolisme vena belakangan ini telah dikaji. Meskipun DVT dan

PE merupakan manifestasi dari satu penyakit tromboembolisme vena, PE memiliki penampakan

yang berbeda bila dibandingkan dengan DVT. Resiko kematian yang berhubungan dengan

episode inisial akut atau rekuren pada PE lebih hebat jika dibandingakan dengan pada DVT.

Merujuk kepada studi kohort prospektif, fatality rate dari kasus akut PE berkisar antara 7 hingga

11 %. Selain itu, episode rekuren PE yang berasal dari PE sekitar 3 kali lipat dibandingkan

dengan yang berasal dari DVT (sekitar 60% setelah PE dibandingkan dengan 20 % setelah

DVT).

Prevalensi dari PE diantara orang-orang yang dirawat di rumah sakit di Amerika Serikat,

yang mengacu pada data antara 1979 sampai 1999, adalah 0,4 %. Meskipun hanya sekitar 40-53

dari 100.000 orang yang didiagnosa PE dalam setahun, insidens tahunan di Amerika Serikat

diperkirakan mencapai 600.000 kasus. Diantara registerasi regional, analisis pada 2356 autopsi

yang dilakukan pada tahun 1987 pada 79% penduduk dari Malmo, Swedia, dengan populasi

230.000, 595 (25%) adalah tromboembolisme vena sedangakan 431 (18,3%) diantaranya adalah

PE. Pada 308 (13,1%) otopsi, PE dipertimbangkan sebagai penyebab utama atau penyebab

pendukung dari kematian. Insidens PE, yang ditentukan dengan skintigrafi paru, pada periode

dan populasi yang sama hanya 48 (2%) kasus pada seluruh bagian Malmo. Dari otopsi,hasil

phlebography dan skintigrafi paru, penulis memperkirakan insiden dari tromboembolisme vena

di kota Malmo adalah 42,5/10.0000 penduduk/tahun. Meskipun demikian, penghitungan ulang

dari data mereka mengindikasikan bahwa insidens dari PE adalah 20,8/10.000 penduduk/tahun.

Pada studi yang lebih baru di Britany, Perancis, insidens dari tromboembolisme vena dan PE

Page 2: emboli paru

adalah 18,3 dan 6/10.000/tahun. Meskipun demikian hasil otopsi tidak ada. Karena itu, insidens

sebenarnya dari PE sulit untuk di taksir karena penampakan klinisnya yang tidak spesifik.

Etiologi dan Faktor Predisposisi

Penyebab emboli paru belum jelas, tetapi hasil penelitian dari autopsi paru pasien yang

meninggal karena penyakit ini menunjukkan jelas bahwa penyebab penyakit ini adalah trombus

pada pembuluh darah. Umumnya tromboemboli berasal dari lepasnya trombus di pembuluh

darah vena di tungkai bawah atau dari jantung kanan. Sumber emboli paru yang lain misalnya

tumor yang telah menginvasi sirkulasi vena, amnion, udara, lemak, sumsum tulang, fokus septik,

dan lain-lain. Kemudian material emboli beredar dalam peredaran darah sampai sirkulasi

pulmonal dan tersangkut pada cabang-cabang arteri pulmonal, memberikan akibat timbulnya

gejala klinis. Emboli paru karena trombus di arteri pulmonalis sangatlah jarang.

Faktor-faktor predisposisi terjadinya emboli paru menurut virchow 1856 meliputi adanya

aliran darah yang lambat, kerusakan dinding pembuluh darah vena, serta keadaan darah yang

mudah membeku. Aliran darah lambat dapat ditemukan pada beberapa keadaan seperti misalnya

pasien mengalami tirah baring yang cukup lama, kegemukan, varises serta gagal jantung

kongestif. Darah yang mengalir lambat memberi kesempatan lebih banyak untuk membeku.

Kerusakan dinding pembuluh darah vena terjadi misalnya akibat operasi, trauma pembuluh darah

serta luka bakar. Adanya kerusakan endotel pembuluh vena menyebabkan dikeluarkannya bahan

yang dapat mengaktifkan faktor pembekuan darah dan kemudian dimulailah proses pembekuan

darah. Keadaan darah mudah membeku juga merupakan faktor predisposisi terjadinya trombus,

misalnya keganasan, polisitemia vera, anemia hemolitik, anemia sel sabit, trauma dada, kelainan

jantung bawaan, plenektomi dengan trombositosis, hemosistinuria, penggunaan obat kontrasepsi

oral serta trombositopati. Selain hal-hal diatas, trombosis vena juga lebih mudah terjadi pada

keadaan peningkatan faktor V, VII, fibrinogen abnormal, defisiensi antitrombin II, menurunnya

kadar aktivator plasminogen pada endotel vena atau menurunnya pengeluaran aktivator

plasminogen akibat berbagai rangsangan, defisiensi protein C, defisiensi protein S.

Page 3: emboli paru

Faktor Risiko

Faktor Risiko yang didapat

Faktor-faktor risiko diatas dapat meningkatkan risiko terjadinya trombosis vena dalam akut dan

emboli paru. Pada operasi-operasi pada patah bagian panggul serta operasi tumor, faktor

risikonya sangatlah tinggi, sama halnya dengan trauma dan luka pada batang otak. Penggunaan

obat dapat pula menyebabkan tromboembolisme. Penurunan mobilitas juga dapat meningkatkan

Page 4: emboli paru

risiko tersebut, walaupun tingkatan dan lamanya pengurangan mobilitas tersebut tidak dapat

dijelaskan dengan jelas. Faktor risiko terjadinya suatu tromboembolisme meningkat setelah usia

40 tahun. Pada pasien dengan kondisi kanker, efek prokoagulan dapat pula meningkatkan risiko

kejadian tromboembolisme, dimana bisa terjadi obstruksi pada vena oleh tumor, penurunan

mobilitas, serta kemoterapi. Antibodi anti fosfolipid berhubungan pula dengan trombosis dan

kejadiannya yang berulang.

Penyakit Genetik dan Faktor Risiko terjadinya tromboembolisme

Defisiensi protein C, protein S serta antitrombin dapat meningkatkan risiko trombosis dan

kejadian tromboembolisme. Faktor V leiden yang menyebabkan aktivasi dari protein C yang

resisten, merupakan faktor risiko genetik yang paling sering pada trombofilian. Trias Virchow

yang merupakan faktor risiko terjadinya suatu trombolisme ( statis, luka pada vena dan

hiperkoagubilitas) masih berhubungan, menggambarkan pengaruh dari genetik dan faktor-faktor

risiko yang berhubungan dengan lingkungan

Patogenesis

Trombus berasal dari pembuluh darah arteri dan vena. Trombus arteri terjadi karena

rusaknya dinding pembuluh darah arteri (lapisan intima). Trombus vena terjadi terutama karena

aliran darah vena yang lambat, selain dapat pula karena pembekuan darah dalam vena bila ada

kerusakan endotel vena. Trombus vena berasal dari pecahan trombus besar yang kemudian

terbawa aliran vena. Biasanya trombus vena berisi partikel-partikel fibrin, eritrosit serta

trombosit. Ukurannya bervariasi, bisa dari beberapa milimeter sampai sebesar lumen venanya

sendiri. Biasanya trombus makin bertambah besar oleh tumpukan trombus lain yang kecil-kecil.

Adanya perlambatan aliran darah vena akan makin mempercepat terbentuknya trombus yang

lebih besar. Adanya kerusakan dinding pembuluh vena jarang menimbulkan trombus vena.

Kondisi darah yang mudah membeku juga amat berpengaruh pada pembentukkan

trombus. Faktor-faktor penting yang berperan adalah diaktifkannya faktor-faktor pembekuan

darah oleh kolagen, endotoksin dan prokoagulan dari jaringan maligna, selanjutnya

tromboplastin dilepaskan kedalam peredaran darah dan pembekuan darah intravaskular mudah

terjadi. Keadaan ini sering ditemukan pada persalinan, operasi dan trauma pada organ-organ

tubuh. Secara umum dapat dikatakan bahwa tromboemboli paru merupakan komplikasi

Page 5: emboli paru

trombosis vena dalam pada tungkai bawah atau di tempat lain (jantung kanan, vena besar di

pelvis dan lain-lain). Trombus yang lepas ikut aliran darah vena ke jantung kanan dan sesudah

mencapai sirkulasi pulmonal tersangkut pada beberapa cabang arteri pulmonalis, dapat

menimbulkan obstruksi total atau sebagian dan memberikan akibat lebih lanjut. Trombus pada

vena dalam tidak seluruhnya akan lepas dan menjadi tromboemboli, tetapi kira 80% nya akan

mengalami pencairan spontan. Trombus primer pada aliran arteri pulmonalis atau cabang-

cabangnya jarang terjadi.

Dari penelitian klinis dan eksperimental pada binatang diketahui bahwa infark paru

jarang terjadi pada pasien yang mengalami tromboemboli paru. Diketahui bahwa hanya 10%

kasus emboli paru pada manusia diikuti terjadinya infark paru.. Mengapa pada paru jarang terjadi

infark paru sesudah ada emboli paru, karena jaringan paru memperoleh oksigen lewat tiga cara,

yaitu : dari sirkulasi arteri pulmonalis, dari sirkulasi arteri bronkialis dan dari saluran udara

pernapasan. Infark paru akan lebih mudah terjadi apabila terdapat gangguan pada arteri

bronkialis disertai gangguan pada saluran udara pernapasan.

Mekanisme terjadinya infark paru sampai sekarang masih belum diketahui dengan jelas.

Infark paru sering pada gagal jantung dengan jelas. Infark paru sering terjadi pada gagal jantung,

penyakit paru obstruksi kronik dan renjatan yang berlangsung lama. Gagal jantung dan renjatan

yang berlangsung lama akan diikuti dengan menurunnya aliran darah ke dalam arteri bronkialis

yang kemudian memudahkan terjadinya suatu infark paru. Pada pasien penyakit paru obstruktif

kronik terjadi perubahan atau hilangnya struktur normal arteri bronkialis, yang selanjtnya juga

memudahnya terjadinya infark paru. Infark paru juga dapat terjadi pada pasien vaskulitis dan

emboli septik. Vaskulitis yang terjadi pada arteri bronkialis menimbulkan peradangan dan

trombosis dan kemudian terjadi suatu infarkparu karena proses radang yang ditimbulkan oleh

mikroorganisme yang dapat menimbulkan nekrosis inflamasi.

Pada infark paru,hemostisis timbul setelah 12 jam terjadinya emboli paru dan sesudah 24

jam daerah infark menjadi terbatas dikelilingi oleh daerah paru yang sehat karena adanya

konsolidasi perdarahan dan atelektasis. Selanjutnya sel-sel septum intraalveoli mengalami

nekrosis dengan oembengkakan dan menghilangnya struktur histologis. Dua minggu sesudahnya

mulai terjadinya perubahan dengan adanya penetrasi kapiler-kapiler baru dari daerah paru yang

sehat ke arah paru yang terkena infark. Perdarahan secara pelan-pelan mulai terserap dan

jaringan yang nekrosis diganti dengan jaringan ikat yang selanjutnya menjadi jaringan parut.

Page 6: emboli paru

Waktu yang dibutuhkan untuk terjadinya jaringan parut bergantung pada luasnya infark. Makin

luas infark. Makin luas infark makin lama terjadinya jaringan parut.

Patofisiologi

Satu dari komponen trias virchow ( stasis, hiperkoagulabilitas dan cedera intimal ),

menggambarkan hampir semua pasien dengan emboli paru. Risiko penyakit meningkat sejalan

dengan bertambahnya usia. Faktor idiopatik ikut terlibat dalam salah satu faktor yang

menyebabkan keadaan protrombotik. Trombosis vena dalam paling sering berasal dari vena yang

berasal dari tungkai bawah dan biasanya menyebar ke bagian proksimal sebelum akhirnya

mengalami embolisasi. Ada beberapa emboli yang berasal langsung dari trombus vena yang

terdapat di tungkai bawah, sekitar 95% trombus mengalami embolisasi ke paru-paru dan

melepaskan diri dari vena dalam bagian proksimal bagian bawah kaki ( termasuk bagian atas

vena poplitea). Trombosis yang berkembang di vena subklavia aksilaris disebabkan oleh

munculnya kateter pada vena sentral, biasanya terdapat pada pasien dengan penyakit yang ganas

dan trombosis pada ekstremitas atas yang diinfuksi oleh aktivitas. Kejadian hipoksemia

menstimulasi saraf-saraf simpatik yang mengakibatkan vasokonstriksi di pembuluh-pembuluh

darah sistemik, meningkatkan vena balik dan strok volume. Pada emboli yang masih masif,

kardiak output biasanya berkurang akan tetapi terus-menerus meningkat tekanan pada atrium

kanannya. Peningkatan resistensi pembuluh darah pulmonal menghalangi aliran darah ventrikel

kanan sehingga mengurangi beban dari ventrikel kiri. Sekitar 25% hingga 30% oklusi dari

vaskular oleh emboli berhubungan dengan peningkatan tekanan di arteri pulmonalis. Dengan

keadaan lebih lanjut seperti obstruksi pembuluh darah, hipoksemia yang memburuk, stimulasi

vasokonstriksi dan peningkatan tekanan arteri pulmonalis. Lebih dari 50% obstruksi yang

terdapat pada arteri pulmonalis biasanya muncul sebelum terdapat peningkatan yang besar dari

tekanan arteri pulmonalis. Ketika obstruksi yang terdapat pada sirkulasi arteri pulmonalis makin

membesar, ventrikel kanan harus menghasilkan tekanan sistolik lebih dari 50mmHg dan rata-rata

tekanan arteri pulmonalis lebih dari 40 mmHg untuk mempertahankan perfusi pulmonal. Pasien

dengan penyakit kardiopulmonal sering terjadi kerusakan substansial pada kardiak outputnya

dibandingkan dengan orang dengan kondisi tubuh yang normal.

Page 7: emboli paru

Anamnesa

Pulmonary embolism (PE) adalah kondisi umum yang datang ke gawat darurat. Sebuah studi

mengevaluasi pasien dengan pulmonary embolism potensi menunjukkan 7,2% menjadi positif

untuk thromboembolism.

Gejala yang harus mengarah penyedia untuk mempertimbangkan emboli paru pada diferensial

meliputi nyeri dada, nyeri dada dinding, nyeri punggung, nyeri bahu, nyeri perut bagian atas,

sinkop, hemoptysis, sesak napas, pernapasan menyakitkan, onset baru mengi, atau yang baru

jantung aritmia.

Selama bertahun-tahun, algoritma beberapa penilaian telah dikembangkan untuk membantu

dokter menilai kemungkinan pretest dari emboli paru dan langsung hasil pemeriksaan tersebut.

Yang paling sering direferensikan 4 model probabilitas pretest, Wells, 14 Jenewa direvisi, 15

Charlotte Kriteria, 16 dan PERC rule17 semua menggunakan variabel historis atau fisik tertentu

untuk memprediksi apakah atau tidak pasien mungkin memiliki pulmonary embolism. Dokter

telah menggunakan model ini bersama dengan gestalt mereka dan faktor risiko lain untuk

membimbing keputusan-keputusan untuk evaluasi.

Page 8: emboli paru

Sebuah percobaan multicenter berusaha untuk memvalidasi variabel prediktor "eksplisit" yang

digunakan dalam model dan juga untuk menentukan lain "implisit" variabel yang biasanya

membentuk gestalt yang dokter gunakan bersama dengan model variables.

Pemeriksaan fisik

Variabel pemeriksaan fisik dari model yang memiliki nilai prediktif yang signifikan secara statistik untuk emboli paru adalah sebagai berikut:

    * Sepihak kaki bengkak     * Hipoksemia (saturasi <95%)     * Pulse> 94 denyut per menit

Pemeriksaan dada merupakan bagian penting dari pemeriksaan fisik pasien menyajikan dengan dada atau keluhan paru, namun, tidak ada temuan khusus atau penting lainnya dari takikardia untuk menunjuk ke pulmonary embolism.

Massive pulmonary embolism (PE) menyebabkan hipotensi karena pulmonale cor akut, tetapi temuan pemeriksaan fisik pada awal PE submasif mungkin normal.

Setelah 24-72 jam, hilangnya surfaktan paru sering menyebabkan atelektasis dan infiltrat alveolar yang dibedakan dari pneumonia pada pemeriksaan klinis dan radiografi.

Mengi dapat ditemukan, namun, ini biasanya temuan kemudian. Hal ini juga bisa menyarankan diagnosis alternatif.

Manifestasi Klinik

Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik baik trombosis vena dalam maupun emboli paru

biasanya tidak spesifik. Pasien dengan trombosis pada vena ekstremitas bawah biasanya tidak

disertai dengan eritema, demam, nyeri, dan bengkak. Ketika tanda-tanda tersebut muncul,

biasanya tanda tersebut tidaklah spesifik akan tetapi bila dievaluasi kembali bisa dinilai. Nyeri

dengan dorsi eksi pada bagian kaki (tanda homans) akan muncul pada trombosis vena dalam,

akan tetapi kadang tanda ini juga kurang sensitif. Gejala yang paling sering terjadi emboli paru

yaitu sesak napas, lalu nyeri dada pleuritik dan muntah darah yang terjadi pada infark pulmonal

yang disebabkan oleh emboli yang lebih kecil di bagian perifer. Palpitasi, batuk, kecemasan

Page 9: emboli paru

biasanya merupakan gejala-gejala yang tidak spesifik pada emboli pulmonal akut. Sinkop

biasanya muncul pada emboli pulmonal yang masih masiv. Takipneu dan takikardi merupakan

tanda dari emboli paru yang paling umum, akan tetapi memang masih tidak spesifik. Gejala-

gejala lain yang muncul juga meliputi demam, wheezing, nyeri pada pleura, serta pengangkatan

ventrikel kanan. Sesak napas, takipneu serta hipoksemia pada pasien biasanya diikuti pada

pasien-pasien dengan penyakit kardiopulmonal.

1. Gambaran klinis emboli paru masif

Emboli paru masif memberikan gejala karena tersumbatnya ateri pulmonalis atau cabang

pertama. Pasien akan mengalami pingsan mendadak, renjatan, pucat dan berkeringat,

nyeri dada sentral atau sesak napas. Napas sangatlah cepat. Kesadaran mungkin hilang

untuk sementara. Denyut nadi kecil dan cepat. Tekanan darah turun. Bagian perifer

menjadi pucat dan dingin. Ditemukan tanda sianosis tipe sentral, yang mungkin tidak

responsif terhadap pemberian oksigen. Apabila pasien menjadi sadar, dia akan merasakan

nyeri dada yang sangat hebat.

Pemeriksaan terhadap jantung, selain adanya hipotensi akan ditemukan tanda-tanda

beban jantung kanan berlebihan, misalnya dapat ditemukannya vena jugularis terisi

penuh, hepatojugularis refluks positif, adanya tanda-tanda hipertrofi ventrikel kanan,

bunyi jantung P2 mengeras dan bising sistolik akibat insufisiensi katup trikuspid.

2. Gambaran klinis emboli paru ukuran sedang

Biasanya emboli paru akan menyumbat cabang arteri pulmonalis segmental dan

subsegmental. Pasien biasanya mengeluh adanya nyeri pleura, sesak napas, demam,

hemoptisis. Tidak ditemukannya sinkop atau hipotensi, kecuali apabila telah ada kelainan

jantung dan paru sebelumnya. Pada pemeriksaan jantung tidak ditemukan tanda-tanda

kelainan yang nyata, kecuali pada pasien yang menderita emboli berulang, dapat timbul

korpulmonal dengan hipertensi pulmonal berat dan berlanjut dengan timbulnya gagal

jantung.

Pada pemeriksaan paru ditemukan : tanda-tanda pleuritis, area konsolidasi paru, tanda-

tanda fisis adanya suatu efusi pleura. Bila terdapat nyeri tekan diatas daerah efusi pleura

mungkin terdapat empiema. Apabila terdapat infark paru, dapat ditemukan adanya

demam, leukositosis dan ikterus ringan. Emboli paru ukuran sedang dapat terjadi m

Page 10: emboli paru

berulang dalam beberapa bulan atau tahun berikutnya, terutama pada pasien usia lanjut

yang tirah baring lama.

3. Gambaran klinis emboli paru ukuran kecil

Tromboemboli paru ukuran kecil sering luput dari perhatian karena sumbatan mengenai

cabang-cabang arteri pulmonalis yang kecil. Baru sesudah sebagian besar sirkulasi

pulmonal tersumbat, muncullah gejala-gejala. Gejalanya yaitu sesak napas waktu bekerja

mirip dengan keluhan pasien gagal jantung kiri. Apabial emboli paru datang berulang

dan berlangsung sampai berbulan-bulan maka akan mengakibatkan hipertensi pulmonal.

Hipertensi pulmonal ini akan mengakibatkan hipertrofi ventrikel kanan. Adanya keluhan

mudah lelah, pingsan waktu bekerja dan angina pectoris menunjukkan bahwa curah

jantung sudah terbatas

4. Gambaran Klinis Infark Paru

Gambaran klinis infark paru menyerupai emboli paru. Mungkin ditemukan sesak napas

mendadak, takipneu, batuj-batuk, hemoptisis, nyeri pleuritik. Nyeri pleuritik tersebut

menyebabkan pergerakan dada daerah yang terkena menjadi lebih berkurang. Gejala

umum lainnya misalnya terdapat demam dan takikardi. Apabila sumbatan emboli paru

mengenai arteri atau cabang yag besar, maka tanda-tanda gangguan hemodinamik akan

lebih menonjol, misalnya tekan vena jugularis meninggi, renjatan, hipotensi, sianosis

sentral dan tanda-tanda kegagalan jantung kanan lainnya.

Apabila sumbatan emboli paru mengenai arteri/cabang (kecil), yang mencolok tanda

klinisnya ialah gangguan respirasi. Hilangnya surfaktan dari sebagaian besar alveoli paru

karena iskemia paru akan menyebabkan terjadinya atelektasis paru yang progresif.

Tanda-tanda fisis paru sebenarnya terbagi menjadi tiga bagian : pleuritis, elevasi

diafragma daerah yang terkena serta tanda-tanda konsolidasi daerah paru yang terkena.

Pemeriksaan Penunjang

Kelainan laboratorium ( darah tepi, kimia darah, analisis gas darah, elektrokardiografi,

dan radiologi) yang ditemukan pada pasien emboli paru merupakan kelainan yang tidak spesifik,

serta tidak dapat menegakkan diagnosis. Pemeriksaan laboratorium tersebut penting dilakukan

dengan tujuan atau dapat dimanfaatkan untuk menyingkirkan penyakit lainnya.

1. Pemeriksaan darah tepi

Page 11: emboli paru

Kadang-kadang ditemukan leukositosis dan laju endap darah yang sedikit meninggi.

2. Pemeriksaan D-dimer

D-dimer plasma, produk hasil degradasi dari fibrin yang berikatan silang (cross-linked

fibrin), telah diteliti secara bertahun-tahun. Kadar D-dimer yang meningkat di plasma

yang terdapat pemebkuan akut didalamnya karena aktivasi terus menerus dari pembekuan

dan fibrinolisis. Karena itu nilai normal D-dimer pada fase akut dari PE dan DVT

tidaklah mungkin, dengan kata lain nilai duga negatif D dimer tinggi. Sebaliknya,

meskipun D-dimer sangat spesifik untuk fibrin, spesifitas untuk fibrin karena

tromboempolisme vena rendah karena fibrin di produksi oleh banyak faktor seperti

penuaan, kanker, atau peradangan, infeksi, nekrosis, diseksi aorta karena itu nilai duga

positif untuk D-dimer rendah. Karena itu, D-dimer tidak berguna ntuk menegakkan

diagnosis PE.

Ada berbagai macam tes D-dimer, beberapa di antaranya tidak cocok sebagai tes

diagnostik untuk emboli paru. D-dimer tes yang telah disahkan sebagai tes untuk emboli

paru bervariasi dalam sensitivitas dan spesifisitas, sebagian karena perbedaan dalam

akurasi mereka dan sebagian lagi karena nilai cutoff yang mereka gunakan untuk

mendefinisikan normalitas (yaitu, trade-off antara sensitivitas dan spesifisitas) . Dalam

prakteknya, sebagian besar tergantung pada sensitivitas dan terkait rasio kemungkinan

negatif.

3. Kimia darah

Pada emboli paru masih dapat ditemukan peningkatan kadar enzim SGOT, LDH dan

CPK yang arti klinisnya masih belum jelas. Terdapat peningkatan kadar FDP yang

mencapai puncaknya pada hari ketiga serangan. Parameter laboratorium ini lebih

mempunyai arti klinis mengingat angka negatif atau positif palsunya relatif kecil.

4. Analisis gas darah

Biasanya didapatkan PaO2 rendah, tetapi tidak jarang ditemukan pasien dengan serangan

emboli paru mempunyai PaO2 lebih dari 80mmHg. Menurunnya PaO2 disebabkan

gagalnya fungsi perfusi dan ventilasi paru. PaCO2 umumnya dibawah 40mmHg dan

penurunan PaCO2 ini terjadi karena reaksi kompensasi hiperventilasi sekunder.

5. Elektrokardiografi

Page 12: emboli paru

Kelainan yang ditemukan pada EKG juga tidaklah spesifik untuk emboli paru, tetapi

tidak dapat dipakai sebagai petanda pertama dugaan adanya emboli paru, terlebih kalau

digabungkan dengan keluhan dan gambaran klinis lainnya. Pada emboli paru masif kira-

kira 77% kasus akan menunjukkan gambaran EKG seperti pada pasien korpulmonal akut

sebagai berikut :

Adanya strain ventrikel kanan

Perputaran searah jarum jam dan ditemukannya gambaran rS atau RS pada V1 sampai

V5/V6 dan juga qR pada V1 dan V2

Terdapat tanda klasik korpulmonal akut S1Q3 atau S1 Q3 T3 juga QR pada aVF dan III

serta elevasi segmen ST menyerupai infark miokard akut

Terdapat RBBB komplet atau inkomplet

Gelombang P pulmonal pada II, III, dan aVF

Lain-lain : aritmia, takikardi dan gelepar atrial

6. Kelainan radiologis

Pada pemeriksaan foto rongent dada pasien emboli, biasanya ditemukan kelainan, yang

sering berhubungan adanya kelainan penyakit kronik paru atau jantung. Memang tidak ada

gambaran patognomonik untuk emboli paru pada hasil foto dada. Pada pasien emboli paru tanda

radiologik yang sering didapatkan adalah pembesaran arteri pulmonalis desendens, peninggian

diafragma bilateral, pembesaran jantung kanan, densitas paru daerah terkena dan tanda western

mark. Pembesaran arteri pulmonalis desendens disebabkan karena peningkatan terkanan arteri

tersebut dan menyebabkan dilatasi pembuluh darah diatas obstruksi. Pembesaran jantung kanan

bervariasi besarnya, sering-sering sulit dideteksi. Tanda western mark yaitu suatu hiperlusens

paru dan ini dianggap paling khas pada emboli paru.

Computed tomography (CT) tradisional tidak cocok untuk mengevaluasi emboli paru

diduga, karena tidak layak untuk kepekatan arteri paru dengan kontras radiografi untuk waktu

yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pencitraan (sekitar 3 menit) dan, bahkan jika ini bisa

dicapai, gerak artefak akan mengganggu kualitas gambar. Masalah ini diatasi dengan CT heliks

(juga dikenal sebagai spiral atau CT volume kontinu) sebagai akuisisi gambar dapat diselesaikan

dalam menahan nafas tunggal (misalnya, sekitar 20 detik), CT heliks Meskipun banyak

digunakan dalam praktek klinis, baru-baru ini, tinjauan studi yang dievaluasi keakuratan CT

heliks untuk diagnosis emboli paru menyimpulkan bahwa teknik ini telah dievaluasi secara

Page 13: emboli paru

memadai untuk tujuan ini., Karena pengkajian, 2 studi telah membantu untuk menjelaskan

akurasi, kekuatan dan keterbatasan CT heliks untuk diagnosis emboli. Pertama, di antara 299

pasien yang tidak memiliki pulmonary embolism dikeluarkan oleh hasil D-dimer negatif yang

sangat sensitif (emboli paru prevalensi dari 39%), CT heliks memiliki sensitivitas 70%,

spesifisitas tunggal sebesar 91%, rasio kemungkinan positif 8,0, rasio kemungkinan negatif dari

0,3, nilai prediktif keseluruhan positif 84% dan nilai prediksi negatif sebesar 82%. Nilai prediktif

positif CT bervariasi menurut tingkat anatomi: 100% di arteri paru utama, 85% di lobar dan

hanya 62% di segmen (hasil 16% CT abnormal) arteri paru arteri paru Subsegmental tidak

sistematis dievaluasi dalam penelitian ini. Dalam studi kedua, yang prospektif dibandingkan CT

heliks ke paru diagnostik pemindaian (scan normal atau tinggi probabilitas) atau paru-paru

angiografi pada 230 pasien, CT heliks memiliki sensitifitas 86% untuk emboli paru segmental

atau lebih besar dan 21% untuk emboli paru subsegmental ( 21% dari total emboli paru),

sensitivitas Secara keseluruhan untuk emboli paru adalah 69% dan spesifisitas 86%.

Hasil gabungan dari sejumlah studi menunjukkan bahwa sensitivitas CT heliks untuk emboli

paru terisolasi subsegmental adalah sekitar 30%, dan emboli tersebut mencapai sekitar 20% dari .

gejala emboli paru Karena pasien dengan terisolasi subsegmental paru emboli juga cenderung

memiliki risiko yang besar kekambuhan, emboli ini tidak dapat dianggap sebagai secara klinis

tidak penting.

Secara keseluruhan, temuan ini menunjukkan hasil sebagai berikut dengan CT heliks. cacat

mengisi Pertama, intraluminal di lobar atau arteri paru utama memiliki nilai prediktif positif

untuk pulmonary embolism minimal 85% dan dapat diinterpretasikan dalam cara yang sama

sebagai probabilitas tinggi ventilasi-perfusi scan. Kedua, cacat intraluminal yang terbatas pada

segmental, dan terutama subsegmental, arteri paru-paru yang nondiagnostic dan membutuhkan

pengujian lebih lanjut. Ketiga, CT heliks normal secara substansial mengurangi kemungkinan

emboli paru. Sebuah frekuensi emboli paru sekitar 5%, selama masa tindak lanjut atau angiografi

paru, pada pasien dengan scan paru-paru nondiagnostic, normal helical CT scan dan

ultrasonografi vena normal menekankan bahwa CT scan normal saja tidak mengecualikan

emboli paru.

Page 14: emboli paru

Magnetic Resonance Imaging (MRI) telah dievaluasi kurang baik bila dibandingkan dengan CT

heliks untuk diagnosis emboli paru, namun tampaknya memiliki akurasi yang sama. Baik heliks

CT dan MRI memiliki keuntungan bahwa mereka dapat mengungkapkan diagnosis paru

alternatif. dan kedua pemeriksaan dapat diperpanjang untuk mencari bersamaan DVT. MRI juga

menghindari paparan radiasi dan kontras radiografi. Hal ini diantisipasi bahwa diagnosis emboli

paru oleh CT dan MRI akan terus meningkatkan, dan scanner modern sudah mungkin lebih

akurat daripada yang digunakan dalam penelitian yang diterbitkan menggunakan teknologi yang

lebih tua. Yang lainnya adalah angiographi paru, perkusi ventilasi scan paru, ataupun dengan usg

pembulluh darah paru.

Kegawatan dari emboli paru

Kegawatan dari emboli paru sebaiknya dipahami sebagai perkiraan dari resiko mortalitas dini

daripada sebagai kelainan anataomis maupun bentuk dan distribusi dari emboli intrapulmonar.

Karena itu, pedoman terbaru menyarankan untuk mengganti sebutan ‘masif’, ‘submasif’ dan

‘non-masif’ menjadi tingkat perkiraan resiko kematian dini yang berkaitan dengan PE.

PE dapat dugolongkan menjadi beberapa tingkatan dari resiko kematian dini berdasarkan

keberadaan dari petanda-petanda resiko. Untuk kepentingan praktis, petanda-petanda yang

berguna untuk penggolongan pada PE diklasifikasikan menjadi tiga kelompok.

Page 15: emboli paru

Penilaian klinis langsung di tempat tidur untuk ada atau tidaknya petanda-petanda klinis dapat

langsung membagi ke dalam golongan resiko tinggi dan tidak resiko tinggi. Klasifikasi ini

sebaiknya juga diterapkan pada pasien yang dicurigai menderita PE, karena akan membantu

dalam pemilihan strategi diagnostik dan penatalaksanaan inisial.

Page 16: emboli paru

PE dengan resiko tinggi merupakan keadaan mengancam jiwa dalam kegawatdaruratan yang

memerlukan diagnostik yang spesifik dan strategi terapi (mortalitas dalam waktu singkat >15%).

PE tidak beresiko tinggi lebih lanjut dapat di golongkan berdasarkan ada atau tidaknya

keberadaan dari petanda disfungsi ventrikel kanan dan/atau luka miokardial (myocardial injury)

kedalam golongan resiko menengah dan resiko rendah. PE resiko menengah di diagnosis bila

terdapat paling tidak satu petanda disfungsi ventrikel kanan atau petanda luka miokardial yang

positif. Resiko rendah

Penatalaksanaan

1. Anti Koagulan

Istirahat tidaklah disarankan untuk trombosis vena dalam biarpun terdapat suatu nyeri

atau bengkak, karena pada kejadian emboli paru, tindakan ini tidaklah efisien. Ketika

suatu emboli paru terdiagnosis, pasien biasanya istirahat selama 24 hingga 48 jam,

diikuti dengan pemberian heparin sebagai terapi. Terapi tersebut dapat digunakan

Page 17: emboli paru

untuk mengubah kualitas hidup dan mengurangi biaya perawatan, walaupn memang

tidak efisien sekali. Pasien dengan tindakan tersebut, biasanya akan lebih kuat.

Ketika emboli paru akut muncul, anti koagulan parenteral dengan molekul heparin

yang rendah, pentasakarida fondaparinux dan heparin yang utuh seharusnya tidak

dijadikan suatu kontraindikasi. Walaupun mereka bukanlah suatu anti trombolitik,

obat-obat tersebut dapat diterima oleh sistem fibrinolisis yang dapat menurunkan

tromboembolisme. Antikoagulan dapat mengubah lama hidup pasien dengan gejala-

gejala emboli paru, akan tetapi risiko untuk terjadinya suatu perulangan sebesar 5

hingga 10% pada tahun pertama setelah didiagnosis. Apabila kecurigaan terhadap

emboli paru tinggi, antikoagulan parenteral seharusnya dipertimbangkan sebelum

dilakukan pencitraan, sejauh risiko perdarahan tidak terjadi. Warfarin dapat

digunakan sebagai terapi awal. Heparin subkutaneus dengan berat molekul yang

rendah, fondaparinux atau heparin intravena yang utuh seharusnya disebarkan selama

kurang lebih 5 hari, dan diberikan sampai rasio yang normal tercapai (2 hingga 3).

Standar administrasi heparin, aktivasi dari waktu tromboplastin seharusnya dapat

dihitung dalam rentang waktu 6 jam sampai tercapai rentang terapi ( 1,5 hingga 2,5).

Emboli paru akut memerlukan terapi jangka pendek awal dengan antikoagulan onset

cepat, diikuti dengan terapi dengan antagonis vitamin K selama setidaknya 3 bulan,

mayoritas pasien dengan emboli paru akut adalah kandidat untuk pengobatan

antikoagulan awal dengan heparin bermolekul rendah atau fondaparinux atau heparin

tak terpecah intravena, Enoxaparin (dosis 1 mg per kilogram berat badan yang

diberikan dua kali sehari) dan tinzaparin (175 U per kilogram diberikan sekali sehari)

umum digunakan untuk pengobatan emboli paru. Fondaparinux diberikan sekali

sehari dengan dosis 5 mg untuk pasien dengan berat kurang dari 50 kg (110 lb), 7,5

mg untuk pasien dengan berat 50 sampai 100 kg (220 lb), dan 10 mg untuk pasien

dengan berat lebih dari 100 kg. Intravena heparin tak terpecah diberikan sebagai dosis

awal bolus (80 IU per kilogram atau 5000 IU), diikuti dengan infus kontinu (biasanya

dimulai dengan 18 IU per kilogram per jam) dengan penyesuaian untuk mencapai

target waktu tromboplastin diaktifkan yang 1,5 hingga 2,5 kali nilai normal, menurut

divalidasi nomograms.

Page 18: emboli paru

Heparin bermolekul berat rendah dan fondaparinux lebih disukai daripada heparin tak

terpecah untuk kemudahan penggunaan. Sebuah meta-analisa dari 12 studi

menunjukkan bahwa pengobatan dengan heparin dengan berberat molekul rendah

disesuaikan dengan berat badan memiliki profil efikasi dan keamanan yang sama

dengan yang heparin intravena tak terpecahkan fondaparinux. Sejak heparin dengan

berat molekul rendah dan fondaparinux diekskresikan oleh ginjal, heparin tak

terpecah harus dipertimbangkan pada pasien dengan bersihan kreatinin kurang dari 30

ml per menit. Kejadian komplikasi perdarahan besar dengan strategi-strategi

pengobatan adalah sekitar 3% selama tinggal di rumah sakit. Peninjauan sistematis

baru-baru ini 11 studi tidak acak menunjukkan bahwa mungkin untuk mengobati

pasien rendah risiko secara efektif dan aman di rumah jika rawat jalan yang tepat.

Namun, pendekatan ini kontroversial dan harus disediakan untuk pasien tertentu.

Dalam sebuah penelitian terbuka yang melibatkan pasien dengan hemodinamik stabil,

trombolisis intravena mengurangi laju kerusakan klinis (terutama, kebutuhan untuk

trombolisis sekunder) tetapi tidak tingkat kematian, dibandingkan dengan

penggunaan heparin tak terpecah intravena pengobatan trombolitik dikaitkan dengan

resolusi lebih cepat dari disfungsi ventrikel kanan. Namun, tingkat disfungsi ventrikel

kanan adalah serupa pada kedua kelompok perlakuan. Tidak ada keuntungan jelas

trombolisis kateter-diarahkan, dibandingkan dengan trombolisis intravena yang telah

terbukti.

Vitamin K antagonis harus dimulai sesegera mungkin, lebih disukai pada hari

perawatan pertama, dan heparin harus dihentikan jika rasio normalisasi internasional

(INR) telah 2.0 atau lebih tinggi selama paling sedikit 24 hours.s berisiko tinggi untuk

kambuh, lebih Terapi diperpanjang diperlukan . Pada pasien dengan probabilitas

tinggi klinis emboli paru, pengobatan antikoagulan harus dimulai saat konfirmasi

diagnostik ditunggu.

Page 19: emboli paru

Diagnosis banding

Apabila ada kecurigaan adanya emboli paru atau infark paru pada seorang pasien,

sedangkan pemeriksaan definitif untuk memastikandiagosisnya belum dilakukan, perlu

diingat diagnosis banding terhadap kelainan yang dihadapi. Pemeriksaan definitif yang

dimaksud disini ialah pemeriksaan sidikan perfusi

Diagnosis emboli paru masif disertai adanya nyeri dada mendadak dan hipotensi adalah

infark miokard akut, aneurisma aorta disekan, gagal jantung kiri berat dan ruptrur

esofagus.

Diagnosis banding emboli paru ukuran sedang tanpa adanya infark paru adalah sindrom

hiperventilasi, asma bronkial dsb

Diagnosis banding emboli paru akut dengan infark paru adalah pneumonia, sumbatan

bronkus dengan lendir pekat, karsinoma paru dengan peneumonia pascaobstruksi dan

tuberkulosis paru.

Pencegahan

Pencegahan terhadap timbulnya trombosis vena dalam dan tromboemboli paru dilakukan dengan

tindakan-tindakan fisis, suntikan heparin dosis kecil dan obat antiplatelet pada pasien-pasien

risiko tinggi. Tindakan-tindakan fisis misalnya pemasangan stocking elastik dan kompresi udara

intermitten pada tungkai bawah. Pemakaian stocking elastik mungkin efektif untuk mencegah

timbulnya trombosis vena dalam. Pemasangan alat kompresi udara intermitten pascaoperasi pada

tungkai bawah dianjurkan pada pasien sesudah taraf pembedahan saraf prostat atau lutut.

Tindakan-tindakan lain untuk mencegah trombosis vena dalam misalnya mobilisasi dini sesudah

pembedahan, kaki letaknya ditinggikan pada pasien tirah baring dan latihan aktif dan pasif

menggerakkan kaki pada pasien tirah baring. Suntikan heparin dosis rendah, 5000 unit subkutan

diberikan tiap 8-12 jam, dimulai 2 jam sebelum operasi. Monitoring sama seperti pengobatan

heparin. Pencegahan dengan obat antitrombosit dalam mencegah trombosis vena dalam belum

ada bukti keberhasilannya.

Page 20: emboli paru

Prognosis

Prognosis emboli paru jika terapi yang tepat dapat segera diberikan adalah baik. Emboli paru

juga dapat menyebabkan kematian mendadak. Prognosis emboli paru tergantung pada penyakit

yang mendasarinya, juga tergantung pada ketepatan diagnosis dan pengobatan yang diberikan.

Umumnya prognosis emboli paru kurang baik. Pada emboli paru masif prognosisnya lebih buruk

lagi, karena 70% dapat mengalami kematian dalam waktu 2 jam sesudah serangan akut.

Prognosis juga buruk pada pasien emboli paru kronik dan yang sering mengalami ulangan

serangan. Resolusi emboli paru dapat terjadi dengan terapi trombolitik yang progresif. Umumnya

resolusi dapat dicapai dalam waktu 30 jam. Resolusi komplet terjadi dalam waktu 7-19 hari,

variasinya tergantung pada kapan mulai terapi, adekuat tidaknya terapi dan besar kecilnya

emboli yang terjadi.

Penatalaksanaan

Penyakit emboli paru terutama emboli paru masif dan infark paru merupakan keadaan

gawat darurat, sehingga memerlukan tindakan yang cepat, tepat dan seksama. Pengobatan emboli

paru maupun infark paru boleh dikatakan mempunyai prinsip-prinsip terapi yang sama, sehingga

uraian ini keduanya sudah dicangkup. Karena keadaan gawat darurat tersebut dan karena pasien

memerlukan tindakan yang cepat, tepat dan seksama tadi, maka sejak awal menghadapi pasien

dengan kecurigaan terhadap adanya emboli paru atau infark paru, tindakan yang bersifat

preventif ataupun terupetik sudah dilaksanakn sejak penegakan diagnosis dilakukan. Untuk

keperluan ini biasanya dokter yang menangani pasien menggunakan bagan atau algoritma

diagnosis atau pemantauan.

Pengobatan yang diberikan kepada pasien emboli paru atau infark paru, terdiri atas :

tindakan untuk memperbaiki keadaan umum pasien, pengobatan atas dasar indikasi khusus,

pengobatan utama terhadap emboli paru atau infark paru serta pengobatan lainnya.

Pengobatan anti koagulan

Heparin sekarang ini merupakan pengobatan standar awal pada pasien dengan

tromboemboli vena, mengingat kebaikannya : karena dapat mencapai tujuan pertama yaitu

tindakan untuk memperbaiki keadaan umum pasien. Mempermudah tujuan kedua yaitu

pengobatan atas dasar indikasi khusus dengan membuat pelarutan trombus oleh sifat

Page 21: emboli paru

fibrinolitik tetapi tidak dihambat oleh pertumbuhan trombus, heparin membantu mencegah

emboli ulang dan heparin dapat juga menhambat penglepasan tromboksan dan serotonin pada

tempat emboli lagi pula efek heparin reversibel. Pemberian heparin dapat dengan berbagai

macam cara menurut keadaan pasien yaitu drip heparin dengan infus intravena, suntikan

intravena intermitten dan suntikan subkutan.

Pemberian drip heparin lewat infus kontinu intravena lebih disukai dibandingkan

pemberian intravena intermitten karena efek samping perdarahan kurang sering. Dosis heparin

bolus 3000-5000 unit intravena diikuti sebanyak 30.000-35.000 unit per hari dalam infus

glukosa 5% atau NaCl 0,9% atau disesuaikan sampai dicapai hasil pengobatan heparin, dengan

target pemeriksaan PTT mencapai 1,5-2 kali nilai normal. Lama pengobatan diberikan 7-10

hari, selanjutnya obat anti koagulan oral. Pada emboli paru yang tidak masif, heparin diberikan

5000 unit tiap 4 jam, sesudah 48 jam diberikan pula obat antikoagulan oral. Sedangkan pada

emboli paru masif, dosis he[arin ditingkatkan menjadi 10.000 unit tiap 4jam.

Pemberian heparin subkutan lebih menguntungkan karena pemberiannya lebih mudah,

mobilisasi lebih cepat dan bisa untuk pasien rawat jalan. Dosis mulai dengan suntikan bolus

intravena 3000-5000 unti bersama suntikan subkutan pertama, kemudian suntikan subkutan

diberikan 5000 unit/4 jam atau 10000 unit /8 jam atau 15.000-20.000 unit tiap 12 jam sampai

PTT 1,5-2,5 kali nilai normal. Heparin tidak boleh diberikan intramuskular karena dapat

menimbulkan hematom pada tempat suntikan. Keberhasilan pengobatan heparin ini dapat

mencapai 92% dan heparin dapat diberikan kepada perempuan hamil karena heparin tidak

dapat melewati plasenta.

Pengobatan trombolitik

Cara ini merupakan pengobatan definitif, karena bertujuan menghilangkan sumbatan

mekanik karena tromboemboli. Cara kerja obat ini adalah mengadakan trombolisis. Obat yang

tersedia ada dua sediaan yaitu streptokinase dan urokinase. Streptokinase merupakan protein non

enzim, disekresikan oleh kuman streptokinase beta hemolitik grup C. Sedangkan urokinase

merupakan protein enzim, dihasilkan oleh parenkim ginjal manusia. Urokinase sekarang dapat

diproduksi lewat kultur jaringan ginjal.

Streptokinase dan urokinase sebagai obat trombolitik, ketjanya akan memperkuat aktifitas

fobrinolisis endogen dengan lebih mengaktifkan plasmin. Palasmin dapat langsung melisiskan

Page 22: emboli paru

dan mempunyai efek sekunder sebagai anti koagulan. Terapi trombolitik selain mempercepat

resolusi emboli paru, juga dapat menurunkan tekanan di arteri pulmonalis dan jantung kanan,

serta memperbaiki fungsi ventrikel kiri dan kanan pada kasus-kasus yang jelas menderita emboli

paru.

Terapi trombolitik sering diindikasikan untuk pasien emboli paru masif akut, trombosis

vena dalam, emboli paru dengan gangguan hemodinamik dan terdapat penyakit jantunga tau paru

akan tetapi belum mengalami perbaikan dengan terapi heparin. Terapi trombolitik boleh

diberikan bila gejala-gejala yang timbul kurang dari 7 hari. Selama pengobatan trombolitik tidak

boleh melakukan suntikan intra arteri, intra vena atau intramuskularis pada pasien. Demikian

juga selama pengobatan trombolitik jangan meberikan obat koagulan, anti platelet bersamaan.

Dosis awal streptokinase 250.000 unit dalam larutan garam fisiologis atau glukosa 5% diberikan

intravena selama 30 menit. Dosis pemeliharaan streptokonase : 100.000 unit perjam diberikan

selama 24-72jam. Dosis awal urokinase 4.400 unit/kg/BB/jam selama 12-24 jam.

Pengobatan Lainnya

Yang terpenting adalah pengobatan pembedahan. Pengobatan pembedahan pada emboli

paru diperuntukkan bagi pasien yang tidak adekuat atau tidak dapat diberikan heparin. Dengan

tindakan pembedahan ini dapat dilakukan : venous interruption dan embolektomi paru. Tujuan

venous interruption adalah mencegah terjadinya emboli ulang dari trombus vena dalam tungkai

bawah. Sekarang yang banyak dikerjakan adalah pemasangan filter di vena kava inferior secara

intravena, yang tidak menyumbat aliran vena, dapat mencegah emboli yang lebih besar dari 2mm

dan jarang mengalami trombosis di filter tersebut.

Tindakan embolektomi ini dulu banyak dikerjakan jika terdapat kontraindikasi terhadap

pemakaian anti koagulan atau pada pasien pada emboli paru kronik. Karena risiko kematian

cukup besar, maka tindakan embolektomi sekarang ditinggalkan, lebih-lebih karena telah adanya

kemajuan terapi trombolitik.