embinaan berasal dari kata dasar “bina”,

26
BAB II LANDASAN TEORI A. Kajian Teori 1. Konsep Pembinaan Mental a. Makna Pembinaan Mental Menurut Depdiknas (2008: 193), pembinaan berasal dari kata dasar “bina”, yang berarti membangun, mendirikan sesuatu supaya lebih baik. Pembinaan yaitu proses, cara, perbuatan membina, pembaruan, penyempurnaan, usaha, tindakan, dan kegiatan yang dilakukan secara efesien dan efektif untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Menurut Mulyasa (2007: 173), pembinaan dilakukan untuk ke arah yang lebih baik lagi agar terjadi suatu peningkatan dalam bekerja. Pembinaan diharapkan dapat membantu seseorang memecahkan masalah dan kesulitan yang mungkin akan dihadapi di dalam menggunakan cara-cara baru untuk melaksanakan tugasnya agar berjalan dengan efektif dan efesien untuk mendapatkan hasil yang optimal. Membina disiplin peserta didik harus mempertimbangkan berbagai situasi, dan memahami faktor-faktor yang mempengaruhinya.Oleh karena itu, disarankan kepada guru untuk melakukan hal-hal sebagai berikut: 1) Memulai seluruh kegiatan dengan disiplin waktu, dan patuh/taat aturan; 2) Mempelajari pengalaman peserta didik di sekolah melalui kartu catatan kumulatif; 3) Mempelajari nama-nama peserta didik secara langsung, misalnya melalui daftar hadir di kelas; 4) Mempertimbangkan lingkungan pembelajaran dan lingkungan peserta didik; 5) Memberikan tugas yang jelas, dapat dipahami, sederhana dan tidak bertele- tele;

Transcript of embinaan berasal dari kata dasar “bina”,

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kajian Teori

1. Konsep Pembinaan Mental

a. Makna Pembinaan Mental

Menurut Depdiknas (2008: 193), pembinaan berasal dari kata dasar “bina”,

yang berarti membangun, mendirikan sesuatu supaya lebih baik. Pembinaan yaitu

proses, cara, perbuatan membina, pembaruan, penyempurnaan, usaha, tindakan,

dan kegiatan yang dilakukan secara efesien dan efektif untuk memperoleh hasil

yang lebih baik.

Menurut Mulyasa (2007: 173), pembinaan dilakukan untuk ke arah yang

lebih baik lagi agar terjadi suatu peningkatan dalam bekerja. Pembinaan

diharapkan dapat membantu seseorang memecahkan masalah dan kesulitan yang

mungkin akan dihadapi di dalam menggunakan cara-cara baru untuk

melaksanakan tugasnya agar berjalan dengan efektif dan efesien untuk

mendapatkan hasil yang optimal.

Membina disiplin peserta didik harus mempertimbangkan berbagai situasi,

dan memahami faktor-faktor yang mempengaruhinya.Oleh karena itu, disarankan

kepada guru untuk melakukan hal-hal sebagai berikut:

1) Memulai seluruh kegiatan dengan disiplin waktu, dan patuh/taat aturan;

2) Mempelajari pengalaman peserta didik di sekolah melalui kartu catatan

kumulatif;

3) Mempelajari nama-nama peserta didik secara langsung, misalnya melalui

daftar hadir di kelas;

4) Mempertimbangkan lingkungan pembelajaran dan lingkungan peserta didik;

5) Memberikan tugas yang jelas, dapat dipahami, sederhana dan tidak bertele-

tele;

6) Menyiapkan kegiatan sehari-hari agar apa yang dilakukan dalam pembelajaran

sesuai dengan yang direncanakan, tidak terjadi banyak penyimpangan;

7) Bergairah dan semangat dalam melakukan pembelajaran, agar dijadikan

teladan oleh peserta didik;

8) Berbuat sesuatu yang berbeda dan bervariasi, jangan monoton, sehingga

membantu disiplin dan gairah belajar peserta didik;

9) Menyesuaikan argumentasi dengan kemampuan peserta didik, jangan

memaksakan peserta didik sesuai dengan pemahaman guru, atau mengukur

peserta didik dari kemampuan gurunya;

10) Membuat peraturan yang jelas dan tegas agar bisa dilaksanakan dengan

sebaik-baiknya oleh peserta didik dan lingkungannya.

Pembinaan siswa (student development)menurut Drum Morril et. all

(1980: 23) didefinisikan sebagai berikut: Student development is a process in

which an individual undergoes anumber of changes toward more complex

behavior, that result frommastering the increasingly demanding challenges of

life. These changestoward more complex behavior often culminate in the

individualtransforming to a higher developmental position which results in

his/herviewing people, events, and things in fundamentally different ways.

Pembinaan siswa (studant development) adalah proses dimana individu/

peserta didik diberikan sejumlah perlakuan yang telah dipersiapkan secara

sistematis dan bervariasi sehingga dari perlakuan ini akan dihasilkan suatu

perubahan perilaku hidup dari individu/ peserta didik yang bersangkutan yang

diharapkan perubahan itu dapat menjawab tantangan dan kebutuhan hidup.

Perubahan yang dimaksud adalah adanya peningkatan dalam pengetahuan,

nilai-nilai kehidupan, moralitas, dan kehidupan sosial siswa dalam berinteraksi

dangan lingkungannya.

Menurut Mujib & Mudzakir (2001: 142), pembinaan mental secara

efektif dilakukan dengan memperhatikan faktor kejiwaan sasaran yang akan

dibina. Pembinaan yang dilakukan meliputi pembinaan moral, pembentukan

sikap dan mental yang pada umumnya dilakukan sejak anak masih

kecil.Pembinaan mental merupakan salah satu cara untuk membentuk akhlak

manusia agar memiliki pribadi yang bermoral, berbudi pekerti yang luhur dan

bersusila, sehingga seseorang dapat terhindar dari sifat tercela sebagai langkah

penanggulangan terhadap timbulnya kenakalan remaja.

Menurut Daradjat(1982: 38), mental diartikan sebagai kepribadian yang

merupakan kebulatan yang dinamik yang dimiliki seseorang yang tercermin dalam

sikap dan perbuatan atau terlihat dari psikomotornya. Dalam ilmu psikiatri dan

psikoterapi, kata mental sering digunakan sebagai ganti dari kata personality

(kepribadian) yang berarti bahwa mental adalah semua unsur-unsur jiwa termasuk

pikiran, emosi, sikap (attitude) dan perasaan yang dalam keseluruhan dan

kebulatannya akan menentukan corak laku, cara menghadapi suatu hal yang

menekan perasaan, mengecewakan atau menggembirakan, menyenangkan dan

sebagainya.

Kartono (1989: 230), mengungkapkan bahwa para ahli dalam bidang

perawatan jiwa dalam masalah mental telah membagi manusia kepada 2 (dua)

golongan besar, yaitu golongan yang sehat mentalnya dan golongan yang tidak

sehat mentalnya.

1) Golongan yang sehat mentalnya

Kartono (1989: 230), mengemukakan bahwa orang yang memiliki mental

yang sehat adalah yang memiliki sifat-sifat yang khas antara lain: mempunyai

kemampuan untuk bertindak secara efesien, memiliki tujuan hidup yang jelas,

memiliki konsep diri yang sehat, memiliki koordinasi antara segenap potensi

dengan usaha-usahanya, memiliki regulasi diri dan integrasi kepribadian dan

memiliki batin yang tenang. Di samping itu, beliau juga mengatakan bahwa

kesehatan mental tidak hanya terhindarnya diri dari gangguan batin saja, tetapi

juga posisi pribadinya seimbang dan baik, selaras dengan dunia luar, dengan

dirinya sendiri dan dengan lingkungannya.

Menurut Jalaluddin (2000:146) dalam bukunya “Psikologi Agama” beliau

menulis bahwa: “Kesehatan mental merupakan suatu kondisi batin yang

senantiasa berada dalam keadaan tenang, aman dan tentram, dan upaya untuk

menemukan ketenangan batin dapat dilakukan antara lain melalui penyesuaian

diri secara resignasi (penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan”.

Sedangkan menurut paham ilmu kedokteran, Hawari (2001: 112)

mengemukakan kesehatan mental merupakan suatu kondisi yang

memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal

dari seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras dengan keadaan orang

lain.

Daradjat dalam Mappiare (1984: 47), mendefenisikan bahwa mental yang

sehat adalah terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi-

fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri antara individu dengan dirinya

sendiri dan lingkungannya berdasarkan keimanan dan ketakwaan serta

bertujuan untuk mencapai hidup bermakna dan bahagia di dunia dan

akhirat.Jika mental sehat dicapai, maka individu memiliki integrasi,

penyesuaian dan identifikasi positif terhadap orang lain. Individu belajar

menerima tanggung jawab, menjadi mandiri dan mencapai integrasi tingkah

laku.

Hal ini sejalan dengan hadits Rasul yang artinya di dalam tubuh yang

sehat terdapat jiwa yang sehat. Beberapa paparan dan penjelasan yang telah

dikemukakan di atas, dapat dipahami bahwa orang yang sehat mentalnya adalah

terwujudnya keharmonisan dalam fungsi jiwa serta tercapainya kemampuan

untuk menghadapi permasalahan sehari-hari, sehingga merasakan kebahagiaan

dan kepuasan dalam dirinya. Seseorang dikatakan memiliki mental yang sehat,

bila ia terhindar dari gejala penyakit jiwa dan memanfatkan potensi yang

dimilikinya untuk menyelaraskan fungsi jiwa dalam dirinya.

2) Golongan yang kurang sehat mentalnya

Menurut Daradjat (1996: 41), dalam bukunya Kesehatan Mental dalam

Keluarga mengatakan golongan yang kurang sehat mentalnya adalah orang

yang merasa terganggu ketentraman hatinya. Adanya abnormalitas mental ini

biasanya disebabkan karena ketidakmampuan individu dalam menghadapi

kenyataan hidup, sehingga muncul konflik mental pada dirinya. Gejala-gejala

umum yang kurang sehat mentalnya, yakni dapat dilihat dalam beberapa segi,

antara lain:

a) Perasaan, orang yang kurang sehat mentalnya akan selalu merasa gelisah

karena kurang mampu menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya;

b) Pikiran, orang yang kurang sehat mentalnya akan mempengaruhi pikirannya,

sehingga ia merasa kurang mampu melanjutkan sesuatu yang telah

direncanakan sebelumnya, seperti tidak dapat berkonsentrasi dalam

melakukan sesuatu pekerjan, pemalas, pelupa, apatis dan sebagainya;

c) Kelakuan, pada umumnya orang yang kurang sehat mentalnya akan tampak

pada kelakuan-kelakuannya yang tidak baik, seperti keras kepala, suka

berdusta, mencuri, menyeleweng, menyiksa orang lain, dan segala yang

bersifat negatif.

Dari beberapa penjelasan di atas, penulis memberi kesimpulan bahwa

semua penyakit jiwa dan gangguan jiwa disebabkan karena perasaan tertekan yang

tidak bisa dihindari oleh si penderita, sehingga perasaan itu terus menerus ia

simpan yang akhirnya menyebabkan si penderita pesimis dan hilang akal untuk

mengontrol dirinya.

Menurut Daradjat(1996: 56), pembinaan mental adalah semua upaya yang

dilakukan dengan sadar, berencana, teratur, terarah dan tujuannya jelas, pembinaan

mental tersebut dilakukan dengan memberikan pengarahan, bimbingan, dan

pengawasan (control). Pembinaan mental adalah usaha untuk memperbaiki dan

memperbaharui suatu tindakan atau tingkah laku seseorang melalui bimbingan

mental/ jiwanya sehingga memiliki kepribadian yang sehat, akhlak yang terpuji

dan bertanggung jawab dalam menjalani kehidupannya.

Pembinaan mental merupakan salah satu cara untuk membentuk akhlak

manusia agar memiliki pribadi yang bermoral, berbudi pekerti yang luhur dan

bersusila, sehingga seseorang dapat terhindar dari sifat tercela sebagai langkah

penanggulangan terhadap timbulnya kenakalan remaja. Pembentukan sikap,

pembinaan moral dan pribadi pada umumnya terjadi melalui pengalaman sejak

kecil. Agar anak mempunyai kepribadian yang kuat dan sikap mental yang sehat

serta akhlak yang terpuji, semuanya dapat diusahakan melalui penglihatan,

pendengaran, maupun perlakuan yang diterimanya dan akan ikut menentukan

pembinaan pribadinya.

b. Prinsip Pembinaan

Menurut Umar (2001: 91-92), untuk melaksanakan pembinaan di sekolah

terdapat beberapa prinsip yang perlu diperhatikan di antaranya ialah:

1) Bimbingan harus berpusat pada individu yang dibimbingnya;

2) Dalam pemberianbimbingan disesuaikan dengan kebutuhan individu yang

bersangkutan;

3) Bimbingan diarahkan kepada bantuan yang diberikan agar individu yang

bersangkutan mampu membantu dan mengarahkan dirinya dalam menghadapi

kesulitan-kesulitan dalam hidupnya;

4) Bimbingan diadakan terutama terletak pada proses yang berhubungan dengan

perilaku individu. Karena bimbingan bersangkut-paut terutama pada

pengembangan pribadi;

5) Bimbingan berhubungan dengan sikap dan tingkah laku individu, di mana sikap

dan tingkah laku individu itu terbentuk dari segala aspek kepribadian yang

unik;

6) Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, pelaksanaan program pembinaan

harus dilakukan oleh seorang yang memiliki keahlian dalam bidang bimbingan

dan dapat bekerja sama dengan sumber-sumber di luar sekolah, misalnya

dokter, psikiater, polisi atau lembaga yang mampu dan berwenang

melakukannya;

7) Program bimbingan harus sesuai dengan program pendidikan di sekolah yang

bersangkutan;

8) Dalam pelaksanaan program pembinaan ini harus senantiasa diadakan penilaian

secara teratur untuk mengetahui sejauhmana hasil yang telah dicapai dan

mengetahui kesesuaian antara pelaksanaan dengan rencana yang dirumuskan

terdahulu;

9) Program pembinaan harus berpusat pada siswa. Karena program pembinaan itu

dilaksanakan di sekolah, yang merupakan tempat terjadinya perubahan dalam

segala bidang, di antaranya bidang pengetahuan, tingkah laku, kepribadian, dan

sebagainya.

c. Tujuan Pembinaan Mental Generasi Muda (Remaja)

Pembinaan mental adalah semua upaya yang dilakukan dengan sadar,

berencana, teratur, terarah dan tujuannya jelas, pembinaan mental tersebut

dilakukan dengan memberikan pengarahan, bimbingan, dan pengawasan (control).

Tujuan yang akan dicapai adalah menguatkan dan mengontrol kemauan,

membina stabilitas emosional, mengembangkan penalaran, sifat-sifat, dan sikap,

serta motivasinya. Untuk mencapai tujuan tersebut tidak mudah, tidak dapat

dicapai dalam waktu yang singkat, harus dilakukan secara sistematik dalam waktu

yang cukup lama. Berikut tujuan pembinaan mental:

1) Memperkokoh kehidupan keagamaan (Keimanan)

Keimanan merupakan kekuatan yang sangat penting bagi seseorang untuk

melakukan kegiatan-kegiatan religius dan sebaiknya tiap perilaku harus

berdasarkan keimanan.Oleh sebab itu, satu hal yang terpenting dalam

membahas pembinaan mental adalah mengkaji perubahan-perubahan perilaku

religius.Dalam ajaran agama dapat kita temukan bahwa iman dapat bertambah

dan berkurang.Disaat iman bertambah, maka dapat terlihat dalam gejala

perilaku religiusnya, begitu juga sebaliknya.Apalagi kondisi mental keimanan

remaja masih dalam kondisi pembinaan, karena keimanan yang mungkin

dimiliki remaja sangatlah labil, sehingga mudah terpengaruh oleh faktor luar.

2) Memperkokoh kondisi psikis dan fisik

Kondisi psikis mempengaruhi kondisi fisik dan juga sebaliknya kondisi fisik

akan mempengaruhi kondisi psikis. Perubahan-perubahan yang ada pada remaja

dari segi psikis maupun fisik akan mempengaruhi terhadap perkembangan

mental mereka. Keseimbangan kondisi psikis dan fisik akan menyebabkan

adanya kemungkinan yang nyata dalam generasi muda yang ditandai dengan

kesanggupan menyesuaikan terhadap dunianya sendiri, lingkungan keluarga

dan sosialnya.

Perubahan perilaku generasi muda mungkin akan berubah jika

keseimbangan antara kondisi psikis dan fisik memang berfungsi secara

semestinya. Sehingga terjadi pertentangan batin dan perasaan yang akan

mempengaruhi emosi sekaligus. Begitu juga dengan kondisi fisik yang lemah

dan tidak bergairah, maka akan mempengaruhi terhadap kemungkinan adanya

perubahan perilaku pada mereka. Disinilah betapa pentingnya pembinaan

mental terhadap generasi muda disaat mengalami kegoncangan jiwa yang tidak

stabil.

3) Memperkokoh peran di masyarakat

Menurut Daradjat (1996: 56), ciri dari kehidupan masyarakat yaitu bergerak

secara dinamis menuju ke arah yang dianggap lebih mandiri dan sempurna.

Bersama dengan hal itu, terjadi perubahan-perubahan baik lambat maupun

cepat dalam semua aspek kehidupan yang ada di dalamnya.Cepatnya laju

perubahan tersebut maka semakin majunya manusia berfikir dalam berbagai

macam ilmu pengetahuan dan semakin majunya budaya manusia sebagai hasil

karya, cipta, rasa, dan karsa manusia dalam kehidupan yang dinamis tersebut.

Dengan demikian, tujuan yang dirumuskan di atas diharapkan terwujud

dengan pembinaan yang berkesinambungan dan kontinyu, sehingga pola-pola

pembinaan dapat berjalan seiring dan saling melengkapi, dan diharapkan tujuan

pembinaan mental terhadap generasi muda tersebut mampu membentuk remaja-

remaja yang responsif, bertanggung jawab, dan berpengetahuan baik secara umum

maupun bersifat agamis.

d. Prosedur Pembinaan Mental

Mengingat sangat majemuknya tujuan yang akan dicapai, maka perlu

prosedur yang baik pada pelaksanannya. Adapun prosedur yang perlu ditempuh

yaitu:

1) Memahami keadaan dan perkembangan jiwa peserta didik;

2) Ciptakan kesediaan menerima pengaruh dari pembina, karena proses

pembinaan bukan sekedar transfer pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga

meliputi pembinaan sikap dan kepribadian;

3) Menanamkan cara berfikir positif (positive thinking), karena ini akan

menciptakan hal-hal yang sangat menguntungkan perkembangan pribadi, dan

menghindarkan dampak negatif yang dapat menjerumus terjadinya konflik

internal dalam diri peserta didik;

4) Menciptakan persepsi diri yang positif-konstruktif dan lebih lanjut menciptakan

citra diri yang positif-konstruktif sehingga semua tingkah lakunya

dilatarbelakangi gambaran idel yang ingin dicapai;

5) Menciptakan interaksi edukatif, antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru,

dan siswa dengan pembina yang merupakan kesatuan yang berupaya mencapai

tujuan dan selalu dilandasi nilai-nilai pendidikan;

6) Memberikan macam-macam perlakuan untuk mencapai tujuan pembinaan

mental.

2. Konsep Karakter Siswa

a. Makna Karakter Siswa

Menurut Lickona (2013: 15), karakter adalah objektivitas yang baik atas

kualitas manusia, baik bagi manusia diketahui atau tidak.

Menurut Kartajaya dalam Gunawan (2012: 2) mendefinisikan karakter

adalah ciri khas yang dimiliki oleh suatu benda atau individu (manusia). Ciri khas

tersebut adalah asli, dan mengakar pada kepribadian benda atau individu tersebut

dan merupakan mesin pendorong bagaimana seseorang bertindak., bersikap,

berujar, serta merespon sesuatu.

Saptono (2011: 17), istilah “karakter” berarti “sifat-sifat kejiwaan, akhlak

atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain, yaitu watak”.

Karakter dimaknai sebagai cara berpikir dan berperilaku yang khas tiap individu

untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa,

dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang dapat membuat

keputusan dan siap mempertanggungjawabkan setiap akibat dari keputusannya.

Karakter dapat dianggap sebagai nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan

dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan

kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan

perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata karma, budaya, adat

istiadat dan estetika.

Karakter adalah perilaku yang tampak dalam kehidupan sehari-hari baik

dalam bersikap. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, karakter merupakan

sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan

yang lain. Dengan demikian, karakter adalah nilai yang unik baik yang terpatri

dalam diri dan terejawatkan dalam perilaku.Perilaku seorang anak sering kali tidak

jauh dari perilaku ayah dan ibunya, lingkungan sosial maupun lingkungan

alampun ikut membentuk karakter.Di sekitar lingkungan sosial yang keras para

remaja cenderung berperilaku antisosial, keras, tega, suka bermusuhan, dan

sebagainya.Sementara itu, di lingkungan yang gersang, panas, dan tandus,

penduduknya cenderung bersifat keras dan berani mati.

Akar dari semua tindakan jahat dan buruk, tindakan kejahatan, terletak pada

hilangnya karakter. Karakter yang kuat adalah sandangan fundamental yang

memberikan kemampuan kepada populasi manusia untuk hidup bersama dalam

kedamaian serta membentuk dunia yang dipenuhi dengan kebaikan dan kebijakan

yang bebas dari kekerasan dan tindakan-tindakan tidak bermoral.

Di dalam buku Pendidikan Karakter Masnur Muslich mengutip kalimat Al-

Ghazali yang menganggap bahwa karakter lebih dekat dengan akhlak (khuluq),

yaitu spontanitas manusia dalam bersikap, atau perbuatan yang telah menyatu

dalam diri manusia sehingga ketika muncul tidak perlu dipikirkan lagi. Miskawaih

mengartikan karakter sebagai suatu keadaan jiwa.Keadaan ini menyebabkan jiwa

bertindak tanpa dipikirkan atau dipertimbangkan secara mendalam.

Dari berbagai pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa karakter siswa

adalah tindakan yang dilakukan siswa berdasarkan keadaan jiwa yang terjadi

secara spontan dan tidak perlu dipikirkan lagi atau bertindak karena telah dilatih

secara terus-menerus dan menjadi sebuah kebiasaan sehingga tindakan tersebut

terjadi secara spontan.

Mengacu pada berbagai pengertian dan definisi karakater tersebut, maka

karakter dapat dimaknai sebagai nilai dasar yang membangun pribadi seseorang

yang terbentuk baik karena pengaruh hereditas maupun pengaruh lingkungan yang

membedakannya dengan orang lain, serta diwujudkan dalam sikap dan perilakunya

dalam kehidupan sehari-hari. Pengertian dan makna karakter memiliki cakupan

yang lebih dalam. Karakter tidak sekedar sikap yang dicerminkan oleh perilaku,

tetapi juga terkait dengan motif yang melandasi sesuatu sikap.

Menurut Syarbini (2012: 13) terdapat beberapa prinsip pendidikan karakter

yang harus dipahami oleh peserta didik sebagai berikut, Pertama “karaktermu

ditentukan oleh apa yang kamu lakukan, bukan apa yang kamu katakan atau

yang kamu yakini”. Prinsip ini memberikan verifikasi konkrit tentang karakter

seseorang individu dengan memberikan prioritas pada unsur psikomotorik yang

menggerakkan seseorang untuk bertindak.

Pemahaman, pengertian, keyakinan akan nilai secara obyektif oleh seorang

individu akan membantu mengarahkan individu tersebut pada sebuah keputusan

berupa tindakan. Namun, verifikasi nyata sebuah perilaku berkarakter hanya bisa

dilihat dari fenomena luar berupa perilaku dan tindakan. Jadi, perilaku

berkarakter itu ditentukan oleh perbuatan, bukan melalui kata-kata seseorang.

Kedua, “sikap dan keputusan yang kamu ambil menentukan akan menjadi

orang macam apa dirimu”. Individu mengukuhkan karakter pribadi melalui setiap

keputusan yang diambilnya. Hanya dari keputusannya inilah seorang individu

mendefinisikan karakternya sendiri. Oleh karena itu karakter seseorang itu bersifat

dinamis, ia bukanlah pengalaman masa lalu, melainkan kesediaan setiap individu

untuk terbuka dan melatihkan kebebasannya itu dalam membentuk jenis manusia

macam apa dirinya melalui keputusan-keputusan dalam hidupnya. Untuk inilah

setiap keputusan menjadi semacam jalinan yang membingkai, membentuk jenis

manusia macam apa yang diinginkannya.

Ketiga, “karakter yang baik mengandalkan bahwa hal yang baik itu

dilakukan dengan cara-cara yang baik. Bahkan seandainya pun kamu harus

membayarnya secara mahal, sebab mengandung resiko”. Pribadi yang berproses

membentuk dirinya menjadi manusia yang baik, juga akan memilih cara-cara yang

baik bagi dirinya. Setiap manusia mesti menganggap bahwa manusia itu bernilai di

dalam dirinya sendiri, karena itu tidak pernah boleh ia diperalat dan dipergunakan

sebagai sarana bagi tujuan-tujuan tertentu.

b. Pembentukan Karakter

Menurut Prayitno (2001: 11), dalam membentuk karakter khususnya bagi

remaja yang masih dalam fase labil dan belum bisa memaknai atau melihat hidup

dalam sudut pandang berbeda masih dibutuhkan bimbingan dan penyuluhan,

meski peran orang tua sangat penting dalam hal ini, namun apabila mereka

memasuki area sekolah, dan telah luput dari pandangan orang tua, maka guru akan

mengambil peran ini sekaligus menempatkan diri sebagai orang tua kedua mereka.

Menurut Hawari (2012: 51), mengatakan bahwa proses pembentukan

karakter akan lebih mudah membekas apabila kita hadirkan kepada siswa, sosok

yang dapat menjadi sumber identifikasi dari sekaligus panutan mereka.

Ryandan Lickona (1992) dalam Lestari (2012: 94), mengungkapkan bahwa

dalam karakter manusia terdapat tiga komponen, yaitu:

1) Pengetahuan moral (moral knowing)

Dalam komponen pengetahuan moral tercakup penalaran moral dan strategi

kognitif yang digunakan untuk mengambil keputusan secara sistematis. Melalui

komponen ini individu dapat membayangkan konsekuensi yang akan terjadi

kemudian hari dari keputusan yang diambil dan siap bagaimana menghadapi

konsekuensi tersebut.

2) Perasaan moral (moral affect)

Komponen ini mencakup identitas moral, ketertarikan terhadap kebaikan,

komitmen, hati nurani, dan empati, yang semuanya merupakan sisi afektif dari

moral pada diri individu.Perasaan moral juga berfungsi sebagai jembatan antara

pengetahuan moral dan tindakan moral.

3) Tindakan moral (moral action)

Komponen ini memiliki tiga komponen, yaitu: kehendak, kompetensi, dan

kebiasaan.

Sementara Koehler dan Royer (2001) dalamLestari (2012: 95), merinci ciri-

ciri karakter sebagai berikut:

1) Memiliki kepedulian terhadap orang lain dan terbuka terhadap pengalaman dari

luar;

2) Secara konsisten mampu mengelola emosi;

3) Memiliki kesadaran terhadap tanggung jawab sosial dan menerimanya tanpa

pamrih;

4) Melakukan tindakan yang benar meskipun tidak ada orang lain yang melihat;

5) Memiliki kekuatan dari dalam untuk mengupayakan keharmonisan dengan

lingkungan sekitar; dan

6) Mengembangkan standar pribadi yang tetap dan berperilaku yang konsisten

dengan standar tersebut.

RatnadalamNoor (2012: 110), menyebut tiga unsur yang harus dilakukan

dalam model pendidikan karakter.

1) Knowing the good, untuk membentuk karakter, anak tidak hanya sekedar tahu

mengenai hal-hal yang baik, namun mereka harus dapat memahami kenapa

perlu melakukan hal itu. Selama mereka tahu mana yang baik dan buruk,

namun mereka tidak tahu alasannya;

2) Feeling the good, konsep ini mencoba membangkitkan rasa cinta anak untuk

melakukan perbuatan baik. Anak dilatih untuk merasakan efek dari perbuatan

baik yang dilakukan. Jika Feeling the good sudah tertanam, itu akan menjadi

“mesin” atau kekuatan luar biasa dari dalam diri seseorang untuk melakukan

kebaikan atau mengindarkan perbuatan negatif;

3) Acting the good. Pada tahap ini, anak dilatih untuk berbuat mulia. Tanpa

melakukan apa yang sudah diketahui atau dirasakan oleh seseorang, tidak

akanada artinya. Selama ini hanya himbauan saja, padahal berbuat sesuatu yang

baik itu harus dilatih, dan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.

Ketiga faktor tersebut harus dilatih secara terus-menerus hingga menjadi

kebiasaan.Remaja yang berkarakter atau mempunyai kecerdasan emosi tinggi akan

terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti

kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas, dan sebagainya.

Menurut Holmgren (2004) dalam Lestari (2012:95), individu yang memiliki

karakter yang kuat mampu bersikap rasional dan tidak mudah terombang-ambing

oleh keyakinan yang salah tentang nilai sesuatu yang ada di luar dirinya.Karakter

yang kuat sesungguhnya tidak hanya menyangkut kepedulian eksternal, tetapi

kepedulian yang secara terus-menerus diasah dan regulasi oleh kebijakan. Dalam

kebijakan yang matang terkandung dua komponen, yakni kemampuan mengenali

kesalahan atau kekurangan mendalam dan perspektif moral sekarang dan adanya

pemahaman moral yang baru, atau pengenalan apa yang sebenarnya penting,

bernilai, atau berharga dalam kehidupan.

c. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Karakter

Menurut Gunawan (2012: 19), terdapat banyak faktor yang mempengaruhi

karakter, dari sekian banyak faktor tersebut, para ahli menggolongkannya ke

dalam dua bagian, yaitu faktor intern dan faktor ekstern.

1) Faktor Intern

Terdapat banyak hal yang mempengaruhi faktor internal ini, diantaranya

adalah:

a) Insting atau Naluri

Menurut Amin (1995:7) dalam Gunawan (2012: 19), insting adalah suatu

sifat yang dapat menumbuhkan perbuatan yang menyampaikan pada tujuan

dengan berpikir lebih dahulu ke arah tujuan itu dan tidak didahului latihan

perbuatan itu.Setiap perbuatan manusia lahir dari suatu kehendak yang

digerakan oleh naluri (insting).

Menurut Ya’kub (1993:58) dalam Gunawan (2012: 19), naluri merupakan

tabiat yang dibawa sejak lahir yang merupakan suatu pembawaan yang

asli.Para ahli psikologi membagi insting manusia sebagai pendorong tingkah

laku ke dalam beberapa bagian diantaranya naluri makan, naluri berjodoh,

naluri keibu-bapak-an, naluri berjuang dan naluri ber-Tuhan.

b) Adat atau Kebiasaan

Salah satu faktor penting dalam tingkah laku manusia adalah kebiasaan,

karena sikap dan perilaku yang menjadi akhlak (karakter) sangat erat sekali

dengan kebiasaan, yang dimaksud dengan kebiasaan adalah perbuatan yang

selalu diulang-ulang sehingga mudah untuk dikerjakan.Faktor kebiasaan ini

memegang peranan yang sangat penting dalam membentuk dan membina

akhlak (karakter).Sehubungan kebiasaan merupakan perbuatan yang diulang-

ulang sehingga mudah dikerjakan maka hendaknya manusia memaksakan

diri untuk mengulang-ulang perbuatan yang baik sehingga menjadi

kebiasaan dan terbentuklah akhlak (karakter) yang baik padanya.

c) Kehendak/ Kemauan

Kemauan adalah kemauan untuk melangsungkan segala ide dan segala

yang dimaksud, walau disertai dengan berbagai rintangan dan kesukaran-

kesukaran, namun sekali-kali tidak mau tunduk kepada rintangan-rintangan

tersebut.Salah satu kekuatan yang berlindung dibalik tingkah laku adalah

kehendak atau kemauan keras (azam). Itulah yang menggerakan dan

merupakan kekuatan yang mendorong manusia dengan sungguh-sungguh

untuk berperilaku (berakhlak), sebab dari kehendak itulah menjelma suatu

niat yang baik dan buruk dan tanpa kemauan pula semua ide, keyakinan

kepercayaan pengetahuan menjadi pasif tak akan ada artinya atau

pengaruhnya bagi kehidupan.

d) Suara Batin atau Suara Hati

Di dalam diri manusia terdapat suatu kekuatan yang sewaktu-waktu

memberikan peringatan (isyarat) jika tingkah laku manusia berada di

ambang bahaya dan keburuan, kekuatan tersebut adalah suara batin atau

suara hati (dlamir), suara batin berfungsi memperingatkan bahayanya

perbuatan buruk dan berusaha untuk mencegahnya, di samping dorongan

untuk melakukan perbuatan baik. Suara hati dapat terus didik dan dituntun

akan menaiki jenjang kekuatan rohani.

e) Keturunan

Keturunan merupakan suatu faktor yang dapat mempengaruhi perbuatan

manusia.Dalam kehidupan kita dapat melihat anak-anak yang berperilaku

menyerupai orang tuanya bahkan nenek moyangnya, sekalipun sudah jauh.

Sifat yang diturunkan itu pada garis besarnya ada dua macam, yaitu:

(1)Sifat jasmani, yakni kekuatan dan kelemahan otot-otot dan urat saraf

orang tua yang dapat diwariskan kepada anaknya;

(2)Sifat ruhani, yakni lemah dan kuatnya suatu naluri dapat diturunkan pula

oleh orang tua yang kelak mempengaruhi perilaku anak cucunya.

2) Faktor Ekstern

Selain faktor Intern (yang bersifat dari dalam) yang dapat mempengaruhi

karakter, akhlak, moral, budi pekerti, dan etika manusia, juga terdapat faktor

ekstern (yang bersifat dari luar) diantaranya adalah sebagai berikut:

a) Pendidikan

Tafsir (2004:6) yang dikutip Gunawan (2012:21), menyatakan bahwa

pendidikan adalah meningkatkan diri dari segala aspeknya.Pendidikan

mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam pembentukan karakter,

akhlak, dan etika seseorang sehingga baik buruknya akhlak seseorang sangat

tergantung pada pendidikan.Pendidikan ikut serta mematangkan kepribadian

manusia sehingga tingkah-lakunya sesuai dengan pendidikan yang telah

diterima oleh seseorang baik pendidikan formal,informal maupun non-

formal.

Betapa pentingnya faktor pendidikan itu, karena naluri yang terdapat pada

seseorang dapat dibangun dengan baik dan terarah.Oleh karena itu,

pendidikan agama perlu dimanifestasikan melalui berbagai media

pendidikan formal di sekolah, pendidikan informal di lingkungan keluarga,

dan pendidikan non formal yang ada pada masyarakat.

b) Lingkungan

Lingkungan (milie) adalah suatu yang melengkapi suatu tubuh hidup,

seperti tumbuh-tumbuhan, keadaan tanah, dan pergaulan manusia hidup

selalu berhubungan dengan manusia lainnya atau juga dengan alam

sekitar.Itulah sebabnya manusia harus bergaul dan dalam pergaulan itu

saling mempengaruhi pikiran, sifat dan tingkah laku.Adapun lingkungan

dibagi ke dalam dua bagian:

(1) Alam yang melingkungi manusia merupakan faktor yang mempengaruhi

dan menentukan tingkah laku manusia. Lingkungan alam ini dapat

mematahkan atau mematangkan pertumbuhan bakat yang dibawa

seseorang;

(2) Lingkungan pergaulan yang bersifat kerohanian.

Seorang yang hidup dalam lingkungan yang baik secara langsung atau

tidak secara langsung dapat membentuk kepribadiannya menjadi baik,

begitu pula sebaliknya seseorang yang hidup dalam lingkungan kurang

mendukung dalam pembentukan akhlaknya maka setidaknya dia akan

terpengaruh lingkungan tersebut.

c) Sosialisasi atau Pergaulan

Menurut Djaali (2013: 59-60), media cetak dan elektronik serta film

dewasa ini memperoleh perhatian yang besar dari kalangan remaja.Semua

ini bisa membawa pengaruh yang penting dalam perkembangan sikap dan

cita-cita sosialnya. Sebab, selama ia melihat, mendengar dan membaca maka

ia akan menemukan nilai-nilai kehidupan yang lain, dan ini akan ikut

mendorong dan mempengaruhi minat dan sikapnya.

d. Tahapan Pembentukan Karakter Siswa

Menurut Bukhori (2007) dalam Gunawan (2012:40), pengembangan

karakter seharusnya membawa anak ke pengenalan nilai secara kognitif,

penghayatan nilai secara afektif, akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata.

Menurut Rohinah (2011: 109), untuk membentuk karakter, anak tidak

hanya sekedar tahu mengenai hal-hal yang baik, namun mereka harus dapat

memahami kenapa perlu melakukan hal itu.

Menurut Gunawan (2012: 38), pengembangan atau pembentukan karakter

diyakini perlu dan penting untuk dilakukan oleh sekolah dan stakeholders-nya

untuk menjadi pijakan dalam penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah.

Tujuan pendidikan karakter pada dasarnya adalah mendorong lahirnya anak-anak

yang baik (insan kamil). Tumbuh dan berkembangnya karakter yang baik akan

mendorong peserta didik tumbuh dengan kapasitas dan komitmennya untuk

melakukan berbagai hal yang terbaik dan melakukan segalanya dengan benar dan

memiliki tujuan hidup. Masyarakat juga berperan membentuk karakter anak

melalui orang tua dan lingkungannya.

Karakter dikembangkan melalui tahap pengetahuan (knowing),

pelaksanaan (acting), dan kesabaran (habit). Karakter tidak terbatas pada

pengetahuan saja. Seseorang yang memiliki pengetahuan kebaikan belum tentu

mampu bertindak sesuai dengan pengetahuannya, jika tidak terlatih (menjadi

kebiasaan) untuk melakukan kebaikan tersebut. Karakter juga menjangkau wilayah

emosi dan kebiasaan diri. Dengan demikian, diperlukan tiga komponen karakter

yang baik (components of good character) yaitu moral knowing (pengetahuan

tentang moral), moral feeling atau perasaan (pengetahuan emosi) tentang moral,

dan moral action atau perbuatan bermoral.Hal ini diperlukan dalam sistem

pendidikan tersebut sekaligus dapat memahami, merasakan, mengahayati, dan

mengamalkan (mengerjakan) nilai-nilai kebajikan (moral).

Dimensi-dimensi yang termasuk dalam moral knowing yang akan mengisi

ranah kognitif adalah kesadaran moral (moral awareness), pengetahuan tentang

nilai-nilai moral (knowing moral values), penentuan sudut pandang (perspective

taking), logika moral (moral reasoning), keberanian mengambil sikap (decision

making), dan pengenalan diri (self knowledge). Moral feeling merupakan

penguatan aspek emosi peserta didik untuk menjadi manusia berkarakter.

Penguatan ini berkaitan dengan bentuk-bentuk sikap yang harus dirasakan peserta

didik, yaitu kesadaran akan jati diri (conscience), percaya diri (self esteem),

kepekaan terhadap derita orang lain (empathy), cinta kebenaran (loving the good),

pengendalian diri (self control), kerendahan hati (humility). Moral action

merupakan perbuatan atau tindakan moral yang merupakan hasil (autcome) dari

kedua komponen karakter lainnya.

Pengembangan karakter dalam suatu sistem pendidikan adalah

keterkaitan antara komponen-komponen karakter yang mengandung nilai-nilai

perilaku, yang dapat dilakukan atau bertindak secara bertahap dan saling

berhubungan antara pengetahuan nilai-nilai perilaku dengan sikap atau emosi yang

kuat untuk melaksanakannya, baik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama,

lingkungan, bangsa, dan Negara serta dunia Internasional.

Kebiasaan berbuat baik tidak selalu menjamin bahwa manusia yang telah

terbiasa tersebut secara sadar menghargai pentingnya nilai karakter. Karena

mungkin saja perbuatannya tersebut dilandasi oleh rasa takut untuk berbuat salah,

bukan karena tingginya penghargaan akan nilai itu. Misalnya ketika seseorang

berbuat jujur hal itu dilakukan kerena dinilai oleh orang lain, bukan karena

keinginannya yang tulus untuk menghargai nilai kejujuran itu sendiri.

Dengan demikian jelas bahwa karakter dikembangkan melalui tiga

langkah, yaitu mengembangkan moral knowing, kemudian moral feeling, dan

moral action. Dengan kata lain, semakin lengkap komponen moral yang dimiliki

manusia, maka akan semakin membentuk karakter yang baik atau unggul/tangguh.

B. Kajian Penelitian yang Relevan

Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini akan dicantumkan

beberapa hasil penelitian terdahulu oleh beberapa peneliti yang pernah penulis baca,

diantaranya:

(1) Hasil peneliti Rojikun (2011) tentang “Konsep Bimbingan Mental

Spiritual dalam Menangani Kenakalan Siswa”. Hasil dari penelitian ini menunjukkan

bahwapelaksanaan bimbingan mental spiritual di sekolah dilaksanakan dengan

prinsip bahwa siswa adalah manusia yang menjadi khalifah dan sekaligus hamba

Allah.

Kedudukan sebagai khalifah mengandalkan adanya tanggung jawab atas diri

sendiri, orang lain, dan lingkungan sekitarnya. Sementara kedudukan manusia

sebagai hamba Allah memberi tanggung jawab kepada manusia untuk selalu

mendekatkan diri kepada Allah dengan mengikuti ajaran-ajaran Islam yang terdapat

dalam Al-Qur’an dan hadits. Dengan prinsip ini, pelaksanaan bimbingan mental

spiritual dapat berkembang dengan baik, mengingat sekolah merupakan lahan yang

berpotensial bagi pelaksanaan bimbingan mental spiritual.

Dari penelitian tersebut dapat kita ketahui bahwasanya manusia sebagai

hamba Allah mendapat tugas sebagai khalifah di muka bumi untuk menjalankan

perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Oleh karena itu, sekolah merupakan

tempat yang memungkinkan dalam pelaksanaan pembinaan mental spiritual di

kalangan peserta didik.

Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian ini ialah Rojikun terfokus

pada kenakalan remaja sedangkan penulis terfokus pada pembentukan karakter siswa

agar dapat memiliki kemampuan, kecerdasan, dan keterampilan serta menjadi pribadi

yang berkarakter baik.

(2) Mulia Rahmawati (2009) tentang “Upaya Peningkatan Kinerja Pegawai

Melalui Pelaksanaan Bina Mental dan Spiritual di Kantor Pemerintah Daerah

Kabupaten Tangerang”. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwaBINTAL dapat

memberikan manfaat yang dirasakan oleh para pegawai ialah dalam hal bekerja di

antaranya dapat meningkatkan disiplin kerja yang berdampak pada peningkatkan

kinerja pegawai, bekerja menjadi lebih semangat dan hasil pekerjaan menjadi lebih

maksimal, begitu juga dalam hal ibadah menjadi semakin rajin dan istiqomah.

Selain itu, terdapat manfaat lain yang didapat dengan mengikuti kegiatan-

kegiatan keagamaan di Kantor Pemerintah Daerah yakni dapat menumbuhkan

semangat untuk terus mendekatkan diri kepada Allah SWT., mentaati segala perintah-

Nya serta menjauhi segala larangan-Nya.

Dari penelitian tersebut dapat kita ketahui bahwasanya banyak sekali

manfaat yang kita dapat ketika mengikuti program yang dilaksanakan oleh Kantor

Pemerintah Daerah Kabupaten Tangerang terutama di kalangan para pegawai yang

bukan saja mementingkan pekerjaanya tetapi harus juga kita mendekatkan diri kepada

Allah dan selalu mengingat Allah SWT.

Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Mulia Rahmawati dengan

penelitian yang penulis laksanakan ialah terletak pada objeknya.Penulis menganalisis

tentang karakter siswa melalui kegiatan pembinaan mental.Siswa dibina pada nilai-

nilai yang positif yang didapat dalam kegiatan pembinaan mental seperti religius, rasa

percaya diri, mandiri, bertanggung jawab, disiplin dan dapat bersosialisasi dengan

baik di keluarga, lingkungan sekolah dan masyarakat.Sedangkan penelitian Mulia

Rahmawati objek yang ditelitinya ialah kinerja para pegawai.

(3) Riana Amelia(2011) tentang “Metode Bimbingan Mental Spiritual

Terhadap Penyandang Masalah Tuna Susila di Panti Sosial Karya Wanita (PSKW)

Mulya Jaya Jakarta”. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa tujuan dari

kegiatan pelaksanaan bimbingan mental spiritual di PSKW ini agar dapat

memberikan pengertian kepada klien, yaitu dengan pemahaman, menumbuhkan

kesadaran, serta mempunyai sikap/ pendirian yang kuat.

Terdapat faktor pendukung dan penghambat pelakasanaan bimbingan mental

spiritual, yaitu faktor pendukung berupa sarana dan prasarana yang memadai, adanya

modul atau materi dari panduan yang penyuluh sediakan, adanya SDM yang

profesional, dan adanya siswi atau PSKW yang rutin mengikuti kegiatan ini. Faktor

penghambatnya berupa perilaku klien yang labil, kehidupan bebas yang mereka

jalani, latar belakang yang berbeda, dan lupa menjalankan materi yang disampaikan

untuk dipraktekkan sehari-hari.

Dari penelitian tersebut dapat kita ketahui bahwasanyapenyandang masalah

tuna susila di Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) sangat membutuhkan bimbingan

mental spiritual karena agar mereka dapat mempunyai sikap/ pendirian yang kuat

dalam menjalani kehidupan.

Perbedaan penelitian tersebut dengan peneliti yang lakukan ialah dalam

skripsi ini menunjukkan bahwa pembiasaan, keteladanan, ceramah dan masukan-

masukan merupakan cara yang digunakan dalam pembentukan karakter siswa melalui

kegiatan pembinaan mental di SMP Negeri 16 Kota Cirebon. Pembiasaan dengan

menyuruh seluruh siswa untuk mempunyai sikap sosial, datang tepat waktu, saling

bertegur sapa, melaksanakan sholat berjama’ah dan lain-lain.Keteladanan yaitu

memberikan contoh perbuatan langsung seluruh siswa. Ceramah dengan memberikan

penjelasan akan pentingnya nilai-nilai yang terkandung di dalam pancasila dan

memberikan masukan atau nasehat-nasehat menuju ke arah yang lebih baik.

C. Kerangka Pikir

Menurut Depdiknas (2008: 193), pembinaan berasal dari kata “bina”, yang

berarti membangun, mendirikan sesuatu supaya lebih baik. Pembinaan yaitu proses,

cara, perbuatan membina, pembaruan, penyempurnaan, usaha, tindakan, dan kegiatan

yang dilakukan secara efesien dan efektif untuk memperoleh hasil yang lebih baik.

Pembinaan diarahkan ke arah yang lebih baik lagi agar terjadi suatu peningkatan

dalam bekerja.

Menurut Mulyasa (2007: 173), pembinaan diharapkan dapat membantu

seseorang memecahkan masalah dan kesulitan yang mungkin akan dihadapi di dalam

menggunakan cara-cara baru untuk melaksanakan tugasnya agar berjalan dengan

efektif untuk mendapatkan hasil yang optimal.

Menurut Darajat(1982: 38), mental diartikan sebagai kepribadian yang

merupakan kebulatan yang dinamik yang dimiliki seseorang yang tercermin dalam

sikap dan perbuatan atau terlihat dari psikomotornya. Dalam ilmu psikoterapi, kata

mental sering digunakan sebagai ganti dari personality (kepribadian) yang berarti

bahwa mental adalah semua unsur-unsur jiwa termasuk pikiran, emosi, sikap

(attitude) dan perasaan yang dalam keseluruhan akan menentukan corak laku, cara

menghadapi suatu hal yang menekan perasaan, mengecewakan, menggembirakan,

menyenangkan, dan sebagainya.

Menurut Asmaran (1994: 44), pembinaan mental merupakan tumpuan perhatian

pertama dalam misi Islam. Untuk menciptakan manusia yang berakhlak mulia, Islam

telah mengajarkan bahwa pembinaan mental harus lebih diutamakan daripada

pembinaan fisik atau pembinaan pada aspek-aspek lain, karena dari jiwa yang baik

inilah akan lahir perbuatan-perbuatan yang baik yang pada gilirannya akan

menghasilkan kebaikan dan kebahagiaan pada seluruh kehidupan manusia lahir dan

batin.

Berdasarkan pendapat di atas, penulis berpendapat bahwa pembinaan yang

dimaksud adalah pembinaan kepribadian secara keseluruhan.Pembinaan mental

secara efektif dilakukan dengan memperhatikan faktor kejiwaan sasaran yang akan

dibina. Pembinaan mental yang dilakukan meliputi bimbingan moral, pembentukan

sikap dan mental yang pada umumnya dilakukan sejak anak masih kecil.

Pembinaan mental merupakan salah satu cara untuk membentuk akhlak

manusia agar memiliki pribadi yang bermoral, berbudi pekerti yang luhur dan

bersusila, sehingga siswa dapat terhindar dari sifat tercela sebagai langkah

penanggulangan terhadap timbulnya kenakalan remaja.

Wyne (1991) dalam Noor (2011:34), kata "karakter" berasal dari bahasa Yunani

yang berarti “to mark” (menandai) dan memfokuskan pada bagaimana

mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku.

Menurut Adisusilo (2012: 76-78), karakter merupakan sebuahstempel atau cap,

sifat-sifat yang melekat pada seseorang.Karakter atau watak seseorang dapat

dibentuk, dapat dikembangkan dengan pendidikan nilai. Pendidikan nilai akan

membawa pengetahuan nilai, pengetahuan nilai akan membawa proses internalisasi

nilai, dan proses internalisasi nilai akan mendorong seseorang untuk mewujudkan

dalam tingkah laku, dan akhirnya pengulangan tingkah laku yang sama akan

menghasilkan karakter atau watak seseorang

Ahli pendidikan nilai Zuchdi dalam Adisusilo (2012: 77), memaknai karakter

sebagai seperangkat sifat-sifat yang selalu dikagumi sebagai tanda-tanda kebaikan,

kebijakan, dan kematangan moral seseorang. Jika direnungkan, karakter tidak hanya

dihayati atau dipahami saja, tetapi harus diaplikasikan atau didirikan melalui proses

pendidikan.

Pembentukan karakter dilakukan oleh guru dan seluruh pihak yang terlibat di

dalam sekolah yang dianggap dewasa oleh siswa dalam masa pertumbuhannya secara

langsung dan terus menerus melalui bimbingan mental agar siswa terbiasa dengan

karakter yang baik dan menjadi sosok yang manusiawi dan bertanggung jawab.

Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional, Bab II Pasal 3 disebutkan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi

mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang

bermartabat dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya

potensi peserta didikagar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan

Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi

warga negara yang demokratis. Dalam pendidikan terkandung pembinaan

kepribadian, pengembangan kemampuan–kemampuan atau potensi-potensi yang

perlu dikembangkan, misalnya dari tidak tahu menjadi tahu dan tidak tahu tentang

dirinya menjadi tahu tentang dirinya serta tujuan kearah mana peserta didik akan

diharapkan dapat mengaktualisasikan diri. Untuk mewujudkan hal tersebut, proses

pendidikan di sekolah difokuskan dalam bentuk pembinaan dalam aspek akademik,

non akademik, dan sikap/mental spiritual.

Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal I

UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional

adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan,

kepribadian dan akhlak mulia.Pesan dari UU Sisdiknas tahun 2003 bertujuan agar

pendidikan tidak hanya membentuk insan manusia yang pintar namun juga

berkepribadian, sehingga nantinya akan lahir generasi muda yang tumbuh dan

berkembang dengan kepribadian yang bernafaskan nilai-nilai luhur agama dan

pancasila.

Berdasarkan uraian di atas, secara sistematis penulis gambarkan sebagai berikut

menurut Sisdiknas 2003 Bab II Pasal 3:

PembinaanMental

Karakter siswa yangdiharapkan:1. Religius2. Jujur3. Disiplin4. Kerja keras5. Kreatif6. Mandiri7. Rasa ingin tahu8. Gemar membaca9. Tanggung jawab10. Menghargai

prestasi11. Demokratis12. Komunikatif13. Peduli lingkungan14. Cinta tanah air

TujuanSekolah

Visi: Menghasilkan lulusan yangungguldalammutu,berpijak pada imandan takwa.

Misi: Disiplin dalam kerjamewujudkan manajemenkekeluargaan, kerjasama,pelayanan prima denganmeningkatkan silaturahmi.

Tujuan Sekolah: Memberikanpelayanan prima kepadamasyarakat Kota Cirebondan sekitarnya.

Guru danMendatang-kan dariLuar