embinaan berasal dari kata dasar “bina”,
Transcript of embinaan berasal dari kata dasar “bina”,
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kajian Teori
1. Konsep Pembinaan Mental
a. Makna Pembinaan Mental
Menurut Depdiknas (2008: 193), pembinaan berasal dari kata dasar “bina”,
yang berarti membangun, mendirikan sesuatu supaya lebih baik. Pembinaan yaitu
proses, cara, perbuatan membina, pembaruan, penyempurnaan, usaha, tindakan,
dan kegiatan yang dilakukan secara efesien dan efektif untuk memperoleh hasil
yang lebih baik.
Menurut Mulyasa (2007: 173), pembinaan dilakukan untuk ke arah yang
lebih baik lagi agar terjadi suatu peningkatan dalam bekerja. Pembinaan
diharapkan dapat membantu seseorang memecahkan masalah dan kesulitan yang
mungkin akan dihadapi di dalam menggunakan cara-cara baru untuk
melaksanakan tugasnya agar berjalan dengan efektif dan efesien untuk
mendapatkan hasil yang optimal.
Membina disiplin peserta didik harus mempertimbangkan berbagai situasi,
dan memahami faktor-faktor yang mempengaruhinya.Oleh karena itu, disarankan
kepada guru untuk melakukan hal-hal sebagai berikut:
1) Memulai seluruh kegiatan dengan disiplin waktu, dan patuh/taat aturan;
2) Mempelajari pengalaman peserta didik di sekolah melalui kartu catatan
kumulatif;
3) Mempelajari nama-nama peserta didik secara langsung, misalnya melalui
daftar hadir di kelas;
4) Mempertimbangkan lingkungan pembelajaran dan lingkungan peserta didik;
5) Memberikan tugas yang jelas, dapat dipahami, sederhana dan tidak bertele-
tele;
6) Menyiapkan kegiatan sehari-hari agar apa yang dilakukan dalam pembelajaran
sesuai dengan yang direncanakan, tidak terjadi banyak penyimpangan;
7) Bergairah dan semangat dalam melakukan pembelajaran, agar dijadikan
teladan oleh peserta didik;
8) Berbuat sesuatu yang berbeda dan bervariasi, jangan monoton, sehingga
membantu disiplin dan gairah belajar peserta didik;
9) Menyesuaikan argumentasi dengan kemampuan peserta didik, jangan
memaksakan peserta didik sesuai dengan pemahaman guru, atau mengukur
peserta didik dari kemampuan gurunya;
10) Membuat peraturan yang jelas dan tegas agar bisa dilaksanakan dengan
sebaik-baiknya oleh peserta didik dan lingkungannya.
Pembinaan siswa (student development)menurut Drum Morril et. all
(1980: 23) didefinisikan sebagai berikut: Student development is a process in
which an individual undergoes anumber of changes toward more complex
behavior, that result frommastering the increasingly demanding challenges of
life. These changestoward more complex behavior often culminate in the
individualtransforming to a higher developmental position which results in
his/herviewing people, events, and things in fundamentally different ways.
Pembinaan siswa (studant development) adalah proses dimana individu/
peserta didik diberikan sejumlah perlakuan yang telah dipersiapkan secara
sistematis dan bervariasi sehingga dari perlakuan ini akan dihasilkan suatu
perubahan perilaku hidup dari individu/ peserta didik yang bersangkutan yang
diharapkan perubahan itu dapat menjawab tantangan dan kebutuhan hidup.
Perubahan yang dimaksud adalah adanya peningkatan dalam pengetahuan,
nilai-nilai kehidupan, moralitas, dan kehidupan sosial siswa dalam berinteraksi
dangan lingkungannya.
Menurut Mujib & Mudzakir (2001: 142), pembinaan mental secara
efektif dilakukan dengan memperhatikan faktor kejiwaan sasaran yang akan
dibina. Pembinaan yang dilakukan meliputi pembinaan moral, pembentukan
sikap dan mental yang pada umumnya dilakukan sejak anak masih
kecil.Pembinaan mental merupakan salah satu cara untuk membentuk akhlak
manusia agar memiliki pribadi yang bermoral, berbudi pekerti yang luhur dan
bersusila, sehingga seseorang dapat terhindar dari sifat tercela sebagai langkah
penanggulangan terhadap timbulnya kenakalan remaja.
Menurut Daradjat(1982: 38), mental diartikan sebagai kepribadian yang
merupakan kebulatan yang dinamik yang dimiliki seseorang yang tercermin dalam
sikap dan perbuatan atau terlihat dari psikomotornya. Dalam ilmu psikiatri dan
psikoterapi, kata mental sering digunakan sebagai ganti dari kata personality
(kepribadian) yang berarti bahwa mental adalah semua unsur-unsur jiwa termasuk
pikiran, emosi, sikap (attitude) dan perasaan yang dalam keseluruhan dan
kebulatannya akan menentukan corak laku, cara menghadapi suatu hal yang
menekan perasaan, mengecewakan atau menggembirakan, menyenangkan dan
sebagainya.
Kartono (1989: 230), mengungkapkan bahwa para ahli dalam bidang
perawatan jiwa dalam masalah mental telah membagi manusia kepada 2 (dua)
golongan besar, yaitu golongan yang sehat mentalnya dan golongan yang tidak
sehat mentalnya.
1) Golongan yang sehat mentalnya
Kartono (1989: 230), mengemukakan bahwa orang yang memiliki mental
yang sehat adalah yang memiliki sifat-sifat yang khas antara lain: mempunyai
kemampuan untuk bertindak secara efesien, memiliki tujuan hidup yang jelas,
memiliki konsep diri yang sehat, memiliki koordinasi antara segenap potensi
dengan usaha-usahanya, memiliki regulasi diri dan integrasi kepribadian dan
memiliki batin yang tenang. Di samping itu, beliau juga mengatakan bahwa
kesehatan mental tidak hanya terhindarnya diri dari gangguan batin saja, tetapi
juga posisi pribadinya seimbang dan baik, selaras dengan dunia luar, dengan
dirinya sendiri dan dengan lingkungannya.
Menurut Jalaluddin (2000:146) dalam bukunya “Psikologi Agama” beliau
menulis bahwa: “Kesehatan mental merupakan suatu kondisi batin yang
senantiasa berada dalam keadaan tenang, aman dan tentram, dan upaya untuk
menemukan ketenangan batin dapat dilakukan antara lain melalui penyesuaian
diri secara resignasi (penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan”.
Sedangkan menurut paham ilmu kedokteran, Hawari (2001: 112)
mengemukakan kesehatan mental merupakan suatu kondisi yang
memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal
dari seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras dengan keadaan orang
lain.
Daradjat dalam Mappiare (1984: 47), mendefenisikan bahwa mental yang
sehat adalah terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi-
fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri antara individu dengan dirinya
sendiri dan lingkungannya berdasarkan keimanan dan ketakwaan serta
bertujuan untuk mencapai hidup bermakna dan bahagia di dunia dan
akhirat.Jika mental sehat dicapai, maka individu memiliki integrasi,
penyesuaian dan identifikasi positif terhadap orang lain. Individu belajar
menerima tanggung jawab, menjadi mandiri dan mencapai integrasi tingkah
laku.
Hal ini sejalan dengan hadits Rasul yang artinya di dalam tubuh yang
sehat terdapat jiwa yang sehat. Beberapa paparan dan penjelasan yang telah
dikemukakan di atas, dapat dipahami bahwa orang yang sehat mentalnya adalah
terwujudnya keharmonisan dalam fungsi jiwa serta tercapainya kemampuan
untuk menghadapi permasalahan sehari-hari, sehingga merasakan kebahagiaan
dan kepuasan dalam dirinya. Seseorang dikatakan memiliki mental yang sehat,
bila ia terhindar dari gejala penyakit jiwa dan memanfatkan potensi yang
dimilikinya untuk menyelaraskan fungsi jiwa dalam dirinya.
2) Golongan yang kurang sehat mentalnya
Menurut Daradjat (1996: 41), dalam bukunya Kesehatan Mental dalam
Keluarga mengatakan golongan yang kurang sehat mentalnya adalah orang
yang merasa terganggu ketentraman hatinya. Adanya abnormalitas mental ini
biasanya disebabkan karena ketidakmampuan individu dalam menghadapi
kenyataan hidup, sehingga muncul konflik mental pada dirinya. Gejala-gejala
umum yang kurang sehat mentalnya, yakni dapat dilihat dalam beberapa segi,
antara lain:
a) Perasaan, orang yang kurang sehat mentalnya akan selalu merasa gelisah
karena kurang mampu menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya;
b) Pikiran, orang yang kurang sehat mentalnya akan mempengaruhi pikirannya,
sehingga ia merasa kurang mampu melanjutkan sesuatu yang telah
direncanakan sebelumnya, seperti tidak dapat berkonsentrasi dalam
melakukan sesuatu pekerjan, pemalas, pelupa, apatis dan sebagainya;
c) Kelakuan, pada umumnya orang yang kurang sehat mentalnya akan tampak
pada kelakuan-kelakuannya yang tidak baik, seperti keras kepala, suka
berdusta, mencuri, menyeleweng, menyiksa orang lain, dan segala yang
bersifat negatif.
Dari beberapa penjelasan di atas, penulis memberi kesimpulan bahwa
semua penyakit jiwa dan gangguan jiwa disebabkan karena perasaan tertekan yang
tidak bisa dihindari oleh si penderita, sehingga perasaan itu terus menerus ia
simpan yang akhirnya menyebabkan si penderita pesimis dan hilang akal untuk
mengontrol dirinya.
Menurut Daradjat(1996: 56), pembinaan mental adalah semua upaya yang
dilakukan dengan sadar, berencana, teratur, terarah dan tujuannya jelas, pembinaan
mental tersebut dilakukan dengan memberikan pengarahan, bimbingan, dan
pengawasan (control). Pembinaan mental adalah usaha untuk memperbaiki dan
memperbaharui suatu tindakan atau tingkah laku seseorang melalui bimbingan
mental/ jiwanya sehingga memiliki kepribadian yang sehat, akhlak yang terpuji
dan bertanggung jawab dalam menjalani kehidupannya.
Pembinaan mental merupakan salah satu cara untuk membentuk akhlak
manusia agar memiliki pribadi yang bermoral, berbudi pekerti yang luhur dan
bersusila, sehingga seseorang dapat terhindar dari sifat tercela sebagai langkah
penanggulangan terhadap timbulnya kenakalan remaja. Pembentukan sikap,
pembinaan moral dan pribadi pada umumnya terjadi melalui pengalaman sejak
kecil. Agar anak mempunyai kepribadian yang kuat dan sikap mental yang sehat
serta akhlak yang terpuji, semuanya dapat diusahakan melalui penglihatan,
pendengaran, maupun perlakuan yang diterimanya dan akan ikut menentukan
pembinaan pribadinya.
b. Prinsip Pembinaan
Menurut Umar (2001: 91-92), untuk melaksanakan pembinaan di sekolah
terdapat beberapa prinsip yang perlu diperhatikan di antaranya ialah:
1) Bimbingan harus berpusat pada individu yang dibimbingnya;
2) Dalam pemberianbimbingan disesuaikan dengan kebutuhan individu yang
bersangkutan;
3) Bimbingan diarahkan kepada bantuan yang diberikan agar individu yang
bersangkutan mampu membantu dan mengarahkan dirinya dalam menghadapi
kesulitan-kesulitan dalam hidupnya;
4) Bimbingan diadakan terutama terletak pada proses yang berhubungan dengan
perilaku individu. Karena bimbingan bersangkut-paut terutama pada
pengembangan pribadi;
5) Bimbingan berhubungan dengan sikap dan tingkah laku individu, di mana sikap
dan tingkah laku individu itu terbentuk dari segala aspek kepribadian yang
unik;
6) Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, pelaksanaan program pembinaan
harus dilakukan oleh seorang yang memiliki keahlian dalam bidang bimbingan
dan dapat bekerja sama dengan sumber-sumber di luar sekolah, misalnya
dokter, psikiater, polisi atau lembaga yang mampu dan berwenang
melakukannya;
7) Program bimbingan harus sesuai dengan program pendidikan di sekolah yang
bersangkutan;
8) Dalam pelaksanaan program pembinaan ini harus senantiasa diadakan penilaian
secara teratur untuk mengetahui sejauhmana hasil yang telah dicapai dan
mengetahui kesesuaian antara pelaksanaan dengan rencana yang dirumuskan
terdahulu;
9) Program pembinaan harus berpusat pada siswa. Karena program pembinaan itu
dilaksanakan di sekolah, yang merupakan tempat terjadinya perubahan dalam
segala bidang, di antaranya bidang pengetahuan, tingkah laku, kepribadian, dan
sebagainya.
c. Tujuan Pembinaan Mental Generasi Muda (Remaja)
Pembinaan mental adalah semua upaya yang dilakukan dengan sadar,
berencana, teratur, terarah dan tujuannya jelas, pembinaan mental tersebut
dilakukan dengan memberikan pengarahan, bimbingan, dan pengawasan (control).
Tujuan yang akan dicapai adalah menguatkan dan mengontrol kemauan,
membina stabilitas emosional, mengembangkan penalaran, sifat-sifat, dan sikap,
serta motivasinya. Untuk mencapai tujuan tersebut tidak mudah, tidak dapat
dicapai dalam waktu yang singkat, harus dilakukan secara sistematik dalam waktu
yang cukup lama. Berikut tujuan pembinaan mental:
1) Memperkokoh kehidupan keagamaan (Keimanan)
Keimanan merupakan kekuatan yang sangat penting bagi seseorang untuk
melakukan kegiatan-kegiatan religius dan sebaiknya tiap perilaku harus
berdasarkan keimanan.Oleh sebab itu, satu hal yang terpenting dalam
membahas pembinaan mental adalah mengkaji perubahan-perubahan perilaku
religius.Dalam ajaran agama dapat kita temukan bahwa iman dapat bertambah
dan berkurang.Disaat iman bertambah, maka dapat terlihat dalam gejala
perilaku religiusnya, begitu juga sebaliknya.Apalagi kondisi mental keimanan
remaja masih dalam kondisi pembinaan, karena keimanan yang mungkin
dimiliki remaja sangatlah labil, sehingga mudah terpengaruh oleh faktor luar.
2) Memperkokoh kondisi psikis dan fisik
Kondisi psikis mempengaruhi kondisi fisik dan juga sebaliknya kondisi fisik
akan mempengaruhi kondisi psikis. Perubahan-perubahan yang ada pada remaja
dari segi psikis maupun fisik akan mempengaruhi terhadap perkembangan
mental mereka. Keseimbangan kondisi psikis dan fisik akan menyebabkan
adanya kemungkinan yang nyata dalam generasi muda yang ditandai dengan
kesanggupan menyesuaikan terhadap dunianya sendiri, lingkungan keluarga
dan sosialnya.
Perubahan perilaku generasi muda mungkin akan berubah jika
keseimbangan antara kondisi psikis dan fisik memang berfungsi secara
semestinya. Sehingga terjadi pertentangan batin dan perasaan yang akan
mempengaruhi emosi sekaligus. Begitu juga dengan kondisi fisik yang lemah
dan tidak bergairah, maka akan mempengaruhi terhadap kemungkinan adanya
perubahan perilaku pada mereka. Disinilah betapa pentingnya pembinaan
mental terhadap generasi muda disaat mengalami kegoncangan jiwa yang tidak
stabil.
3) Memperkokoh peran di masyarakat
Menurut Daradjat (1996: 56), ciri dari kehidupan masyarakat yaitu bergerak
secara dinamis menuju ke arah yang dianggap lebih mandiri dan sempurna.
Bersama dengan hal itu, terjadi perubahan-perubahan baik lambat maupun
cepat dalam semua aspek kehidupan yang ada di dalamnya.Cepatnya laju
perubahan tersebut maka semakin majunya manusia berfikir dalam berbagai
macam ilmu pengetahuan dan semakin majunya budaya manusia sebagai hasil
karya, cipta, rasa, dan karsa manusia dalam kehidupan yang dinamis tersebut.
Dengan demikian, tujuan yang dirumuskan di atas diharapkan terwujud
dengan pembinaan yang berkesinambungan dan kontinyu, sehingga pola-pola
pembinaan dapat berjalan seiring dan saling melengkapi, dan diharapkan tujuan
pembinaan mental terhadap generasi muda tersebut mampu membentuk remaja-
remaja yang responsif, bertanggung jawab, dan berpengetahuan baik secara umum
maupun bersifat agamis.
d. Prosedur Pembinaan Mental
Mengingat sangat majemuknya tujuan yang akan dicapai, maka perlu
prosedur yang baik pada pelaksanannya. Adapun prosedur yang perlu ditempuh
yaitu:
1) Memahami keadaan dan perkembangan jiwa peserta didik;
2) Ciptakan kesediaan menerima pengaruh dari pembina, karena proses
pembinaan bukan sekedar transfer pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga
meliputi pembinaan sikap dan kepribadian;
3) Menanamkan cara berfikir positif (positive thinking), karena ini akan
menciptakan hal-hal yang sangat menguntungkan perkembangan pribadi, dan
menghindarkan dampak negatif yang dapat menjerumus terjadinya konflik
internal dalam diri peserta didik;
4) Menciptakan persepsi diri yang positif-konstruktif dan lebih lanjut menciptakan
citra diri yang positif-konstruktif sehingga semua tingkah lakunya
dilatarbelakangi gambaran idel yang ingin dicapai;
5) Menciptakan interaksi edukatif, antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru,
dan siswa dengan pembina yang merupakan kesatuan yang berupaya mencapai
tujuan dan selalu dilandasi nilai-nilai pendidikan;
6) Memberikan macam-macam perlakuan untuk mencapai tujuan pembinaan
mental.
2. Konsep Karakter Siswa
a. Makna Karakter Siswa
Menurut Lickona (2013: 15), karakter adalah objektivitas yang baik atas
kualitas manusia, baik bagi manusia diketahui atau tidak.
Menurut Kartajaya dalam Gunawan (2012: 2) mendefinisikan karakter
adalah ciri khas yang dimiliki oleh suatu benda atau individu (manusia). Ciri khas
tersebut adalah asli, dan mengakar pada kepribadian benda atau individu tersebut
dan merupakan mesin pendorong bagaimana seseorang bertindak., bersikap,
berujar, serta merespon sesuatu.
Saptono (2011: 17), istilah “karakter” berarti “sifat-sifat kejiwaan, akhlak
atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain, yaitu watak”.
Karakter dimaknai sebagai cara berpikir dan berperilaku yang khas tiap individu
untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa,
dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang dapat membuat
keputusan dan siap mempertanggungjawabkan setiap akibat dari keputusannya.
Karakter dapat dianggap sebagai nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan
dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan
kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan
perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata karma, budaya, adat
istiadat dan estetika.
Karakter adalah perilaku yang tampak dalam kehidupan sehari-hari baik
dalam bersikap. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, karakter merupakan
sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan
yang lain. Dengan demikian, karakter adalah nilai yang unik baik yang terpatri
dalam diri dan terejawatkan dalam perilaku.Perilaku seorang anak sering kali tidak
jauh dari perilaku ayah dan ibunya, lingkungan sosial maupun lingkungan
alampun ikut membentuk karakter.Di sekitar lingkungan sosial yang keras para
remaja cenderung berperilaku antisosial, keras, tega, suka bermusuhan, dan
sebagainya.Sementara itu, di lingkungan yang gersang, panas, dan tandus,
penduduknya cenderung bersifat keras dan berani mati.
Akar dari semua tindakan jahat dan buruk, tindakan kejahatan, terletak pada
hilangnya karakter. Karakter yang kuat adalah sandangan fundamental yang
memberikan kemampuan kepada populasi manusia untuk hidup bersama dalam
kedamaian serta membentuk dunia yang dipenuhi dengan kebaikan dan kebijakan
yang bebas dari kekerasan dan tindakan-tindakan tidak bermoral.
Di dalam buku Pendidikan Karakter Masnur Muslich mengutip kalimat Al-
Ghazali yang menganggap bahwa karakter lebih dekat dengan akhlak (khuluq),
yaitu spontanitas manusia dalam bersikap, atau perbuatan yang telah menyatu
dalam diri manusia sehingga ketika muncul tidak perlu dipikirkan lagi. Miskawaih
mengartikan karakter sebagai suatu keadaan jiwa.Keadaan ini menyebabkan jiwa
bertindak tanpa dipikirkan atau dipertimbangkan secara mendalam.
Dari berbagai pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa karakter siswa
adalah tindakan yang dilakukan siswa berdasarkan keadaan jiwa yang terjadi
secara spontan dan tidak perlu dipikirkan lagi atau bertindak karena telah dilatih
secara terus-menerus dan menjadi sebuah kebiasaan sehingga tindakan tersebut
terjadi secara spontan.
Mengacu pada berbagai pengertian dan definisi karakater tersebut, maka
karakter dapat dimaknai sebagai nilai dasar yang membangun pribadi seseorang
yang terbentuk baik karena pengaruh hereditas maupun pengaruh lingkungan yang
membedakannya dengan orang lain, serta diwujudkan dalam sikap dan perilakunya
dalam kehidupan sehari-hari. Pengertian dan makna karakter memiliki cakupan
yang lebih dalam. Karakter tidak sekedar sikap yang dicerminkan oleh perilaku,
tetapi juga terkait dengan motif yang melandasi sesuatu sikap.
Menurut Syarbini (2012: 13) terdapat beberapa prinsip pendidikan karakter
yang harus dipahami oleh peserta didik sebagai berikut, Pertama “karaktermu
ditentukan oleh apa yang kamu lakukan, bukan apa yang kamu katakan atau
yang kamu yakini”. Prinsip ini memberikan verifikasi konkrit tentang karakter
seseorang individu dengan memberikan prioritas pada unsur psikomotorik yang
menggerakkan seseorang untuk bertindak.
Pemahaman, pengertian, keyakinan akan nilai secara obyektif oleh seorang
individu akan membantu mengarahkan individu tersebut pada sebuah keputusan
berupa tindakan. Namun, verifikasi nyata sebuah perilaku berkarakter hanya bisa
dilihat dari fenomena luar berupa perilaku dan tindakan. Jadi, perilaku
berkarakter itu ditentukan oleh perbuatan, bukan melalui kata-kata seseorang.
Kedua, “sikap dan keputusan yang kamu ambil menentukan akan menjadi
orang macam apa dirimu”. Individu mengukuhkan karakter pribadi melalui setiap
keputusan yang diambilnya. Hanya dari keputusannya inilah seorang individu
mendefinisikan karakternya sendiri. Oleh karena itu karakter seseorang itu bersifat
dinamis, ia bukanlah pengalaman masa lalu, melainkan kesediaan setiap individu
untuk terbuka dan melatihkan kebebasannya itu dalam membentuk jenis manusia
macam apa dirinya melalui keputusan-keputusan dalam hidupnya. Untuk inilah
setiap keputusan menjadi semacam jalinan yang membingkai, membentuk jenis
manusia macam apa yang diinginkannya.
Ketiga, “karakter yang baik mengandalkan bahwa hal yang baik itu
dilakukan dengan cara-cara yang baik. Bahkan seandainya pun kamu harus
membayarnya secara mahal, sebab mengandung resiko”. Pribadi yang berproses
membentuk dirinya menjadi manusia yang baik, juga akan memilih cara-cara yang
baik bagi dirinya. Setiap manusia mesti menganggap bahwa manusia itu bernilai di
dalam dirinya sendiri, karena itu tidak pernah boleh ia diperalat dan dipergunakan
sebagai sarana bagi tujuan-tujuan tertentu.
b. Pembentukan Karakter
Menurut Prayitno (2001: 11), dalam membentuk karakter khususnya bagi
remaja yang masih dalam fase labil dan belum bisa memaknai atau melihat hidup
dalam sudut pandang berbeda masih dibutuhkan bimbingan dan penyuluhan,
meski peran orang tua sangat penting dalam hal ini, namun apabila mereka
memasuki area sekolah, dan telah luput dari pandangan orang tua, maka guru akan
mengambil peran ini sekaligus menempatkan diri sebagai orang tua kedua mereka.
Menurut Hawari (2012: 51), mengatakan bahwa proses pembentukan
karakter akan lebih mudah membekas apabila kita hadirkan kepada siswa, sosok
yang dapat menjadi sumber identifikasi dari sekaligus panutan mereka.
Ryandan Lickona (1992) dalam Lestari (2012: 94), mengungkapkan bahwa
dalam karakter manusia terdapat tiga komponen, yaitu:
1) Pengetahuan moral (moral knowing)
Dalam komponen pengetahuan moral tercakup penalaran moral dan strategi
kognitif yang digunakan untuk mengambil keputusan secara sistematis. Melalui
komponen ini individu dapat membayangkan konsekuensi yang akan terjadi
kemudian hari dari keputusan yang diambil dan siap bagaimana menghadapi
konsekuensi tersebut.
2) Perasaan moral (moral affect)
Komponen ini mencakup identitas moral, ketertarikan terhadap kebaikan,
komitmen, hati nurani, dan empati, yang semuanya merupakan sisi afektif dari
moral pada diri individu.Perasaan moral juga berfungsi sebagai jembatan antara
pengetahuan moral dan tindakan moral.
3) Tindakan moral (moral action)
Komponen ini memiliki tiga komponen, yaitu: kehendak, kompetensi, dan
kebiasaan.
Sementara Koehler dan Royer (2001) dalamLestari (2012: 95), merinci ciri-
ciri karakter sebagai berikut:
1) Memiliki kepedulian terhadap orang lain dan terbuka terhadap pengalaman dari
luar;
2) Secara konsisten mampu mengelola emosi;
3) Memiliki kesadaran terhadap tanggung jawab sosial dan menerimanya tanpa
pamrih;
4) Melakukan tindakan yang benar meskipun tidak ada orang lain yang melihat;
5) Memiliki kekuatan dari dalam untuk mengupayakan keharmonisan dengan
lingkungan sekitar; dan
6) Mengembangkan standar pribadi yang tetap dan berperilaku yang konsisten
dengan standar tersebut.
RatnadalamNoor (2012: 110), menyebut tiga unsur yang harus dilakukan
dalam model pendidikan karakter.
1) Knowing the good, untuk membentuk karakter, anak tidak hanya sekedar tahu
mengenai hal-hal yang baik, namun mereka harus dapat memahami kenapa
perlu melakukan hal itu. Selama mereka tahu mana yang baik dan buruk,
namun mereka tidak tahu alasannya;
2) Feeling the good, konsep ini mencoba membangkitkan rasa cinta anak untuk
melakukan perbuatan baik. Anak dilatih untuk merasakan efek dari perbuatan
baik yang dilakukan. Jika Feeling the good sudah tertanam, itu akan menjadi
“mesin” atau kekuatan luar biasa dari dalam diri seseorang untuk melakukan
kebaikan atau mengindarkan perbuatan negatif;
3) Acting the good. Pada tahap ini, anak dilatih untuk berbuat mulia. Tanpa
melakukan apa yang sudah diketahui atau dirasakan oleh seseorang, tidak
akanada artinya. Selama ini hanya himbauan saja, padahal berbuat sesuatu yang
baik itu harus dilatih, dan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Ketiga faktor tersebut harus dilatih secara terus-menerus hingga menjadi
kebiasaan.Remaja yang berkarakter atau mempunyai kecerdasan emosi tinggi akan
terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti
kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas, dan sebagainya.
Menurut Holmgren (2004) dalam Lestari (2012:95), individu yang memiliki
karakter yang kuat mampu bersikap rasional dan tidak mudah terombang-ambing
oleh keyakinan yang salah tentang nilai sesuatu yang ada di luar dirinya.Karakter
yang kuat sesungguhnya tidak hanya menyangkut kepedulian eksternal, tetapi
kepedulian yang secara terus-menerus diasah dan regulasi oleh kebijakan. Dalam
kebijakan yang matang terkandung dua komponen, yakni kemampuan mengenali
kesalahan atau kekurangan mendalam dan perspektif moral sekarang dan adanya
pemahaman moral yang baru, atau pengenalan apa yang sebenarnya penting,
bernilai, atau berharga dalam kehidupan.
c. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Karakter
Menurut Gunawan (2012: 19), terdapat banyak faktor yang mempengaruhi
karakter, dari sekian banyak faktor tersebut, para ahli menggolongkannya ke
dalam dua bagian, yaitu faktor intern dan faktor ekstern.
1) Faktor Intern
Terdapat banyak hal yang mempengaruhi faktor internal ini, diantaranya
adalah:
a) Insting atau Naluri
Menurut Amin (1995:7) dalam Gunawan (2012: 19), insting adalah suatu
sifat yang dapat menumbuhkan perbuatan yang menyampaikan pada tujuan
dengan berpikir lebih dahulu ke arah tujuan itu dan tidak didahului latihan
perbuatan itu.Setiap perbuatan manusia lahir dari suatu kehendak yang
digerakan oleh naluri (insting).
Menurut Ya’kub (1993:58) dalam Gunawan (2012: 19), naluri merupakan
tabiat yang dibawa sejak lahir yang merupakan suatu pembawaan yang
asli.Para ahli psikologi membagi insting manusia sebagai pendorong tingkah
laku ke dalam beberapa bagian diantaranya naluri makan, naluri berjodoh,
naluri keibu-bapak-an, naluri berjuang dan naluri ber-Tuhan.
b) Adat atau Kebiasaan
Salah satu faktor penting dalam tingkah laku manusia adalah kebiasaan,
karena sikap dan perilaku yang menjadi akhlak (karakter) sangat erat sekali
dengan kebiasaan, yang dimaksud dengan kebiasaan adalah perbuatan yang
selalu diulang-ulang sehingga mudah untuk dikerjakan.Faktor kebiasaan ini
memegang peranan yang sangat penting dalam membentuk dan membina
akhlak (karakter).Sehubungan kebiasaan merupakan perbuatan yang diulang-
ulang sehingga mudah dikerjakan maka hendaknya manusia memaksakan
diri untuk mengulang-ulang perbuatan yang baik sehingga menjadi
kebiasaan dan terbentuklah akhlak (karakter) yang baik padanya.
c) Kehendak/ Kemauan
Kemauan adalah kemauan untuk melangsungkan segala ide dan segala
yang dimaksud, walau disertai dengan berbagai rintangan dan kesukaran-
kesukaran, namun sekali-kali tidak mau tunduk kepada rintangan-rintangan
tersebut.Salah satu kekuatan yang berlindung dibalik tingkah laku adalah
kehendak atau kemauan keras (azam). Itulah yang menggerakan dan
merupakan kekuatan yang mendorong manusia dengan sungguh-sungguh
untuk berperilaku (berakhlak), sebab dari kehendak itulah menjelma suatu
niat yang baik dan buruk dan tanpa kemauan pula semua ide, keyakinan
kepercayaan pengetahuan menjadi pasif tak akan ada artinya atau
pengaruhnya bagi kehidupan.
d) Suara Batin atau Suara Hati
Di dalam diri manusia terdapat suatu kekuatan yang sewaktu-waktu
memberikan peringatan (isyarat) jika tingkah laku manusia berada di
ambang bahaya dan keburuan, kekuatan tersebut adalah suara batin atau
suara hati (dlamir), suara batin berfungsi memperingatkan bahayanya
perbuatan buruk dan berusaha untuk mencegahnya, di samping dorongan
untuk melakukan perbuatan baik. Suara hati dapat terus didik dan dituntun
akan menaiki jenjang kekuatan rohani.
e) Keturunan
Keturunan merupakan suatu faktor yang dapat mempengaruhi perbuatan
manusia.Dalam kehidupan kita dapat melihat anak-anak yang berperilaku
menyerupai orang tuanya bahkan nenek moyangnya, sekalipun sudah jauh.
Sifat yang diturunkan itu pada garis besarnya ada dua macam, yaitu:
(1)Sifat jasmani, yakni kekuatan dan kelemahan otot-otot dan urat saraf
orang tua yang dapat diwariskan kepada anaknya;
(2)Sifat ruhani, yakni lemah dan kuatnya suatu naluri dapat diturunkan pula
oleh orang tua yang kelak mempengaruhi perilaku anak cucunya.
2) Faktor Ekstern
Selain faktor Intern (yang bersifat dari dalam) yang dapat mempengaruhi
karakter, akhlak, moral, budi pekerti, dan etika manusia, juga terdapat faktor
ekstern (yang bersifat dari luar) diantaranya adalah sebagai berikut:
a) Pendidikan
Tafsir (2004:6) yang dikutip Gunawan (2012:21), menyatakan bahwa
pendidikan adalah meningkatkan diri dari segala aspeknya.Pendidikan
mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam pembentukan karakter,
akhlak, dan etika seseorang sehingga baik buruknya akhlak seseorang sangat
tergantung pada pendidikan.Pendidikan ikut serta mematangkan kepribadian
manusia sehingga tingkah-lakunya sesuai dengan pendidikan yang telah
diterima oleh seseorang baik pendidikan formal,informal maupun non-
formal.
Betapa pentingnya faktor pendidikan itu, karena naluri yang terdapat pada
seseorang dapat dibangun dengan baik dan terarah.Oleh karena itu,
pendidikan agama perlu dimanifestasikan melalui berbagai media
pendidikan formal di sekolah, pendidikan informal di lingkungan keluarga,
dan pendidikan non formal yang ada pada masyarakat.
b) Lingkungan
Lingkungan (milie) adalah suatu yang melengkapi suatu tubuh hidup,
seperti tumbuh-tumbuhan, keadaan tanah, dan pergaulan manusia hidup
selalu berhubungan dengan manusia lainnya atau juga dengan alam
sekitar.Itulah sebabnya manusia harus bergaul dan dalam pergaulan itu
saling mempengaruhi pikiran, sifat dan tingkah laku.Adapun lingkungan
dibagi ke dalam dua bagian:
(1) Alam yang melingkungi manusia merupakan faktor yang mempengaruhi
dan menentukan tingkah laku manusia. Lingkungan alam ini dapat
mematahkan atau mematangkan pertumbuhan bakat yang dibawa
seseorang;
(2) Lingkungan pergaulan yang bersifat kerohanian.
Seorang yang hidup dalam lingkungan yang baik secara langsung atau
tidak secara langsung dapat membentuk kepribadiannya menjadi baik,
begitu pula sebaliknya seseorang yang hidup dalam lingkungan kurang
mendukung dalam pembentukan akhlaknya maka setidaknya dia akan
terpengaruh lingkungan tersebut.
c) Sosialisasi atau Pergaulan
Menurut Djaali (2013: 59-60), media cetak dan elektronik serta film
dewasa ini memperoleh perhatian yang besar dari kalangan remaja.Semua
ini bisa membawa pengaruh yang penting dalam perkembangan sikap dan
cita-cita sosialnya. Sebab, selama ia melihat, mendengar dan membaca maka
ia akan menemukan nilai-nilai kehidupan yang lain, dan ini akan ikut
mendorong dan mempengaruhi minat dan sikapnya.
d. Tahapan Pembentukan Karakter Siswa
Menurut Bukhori (2007) dalam Gunawan (2012:40), pengembangan
karakter seharusnya membawa anak ke pengenalan nilai secara kognitif,
penghayatan nilai secara afektif, akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata.
Menurut Rohinah (2011: 109), untuk membentuk karakter, anak tidak
hanya sekedar tahu mengenai hal-hal yang baik, namun mereka harus dapat
memahami kenapa perlu melakukan hal itu.
Menurut Gunawan (2012: 38), pengembangan atau pembentukan karakter
diyakini perlu dan penting untuk dilakukan oleh sekolah dan stakeholders-nya
untuk menjadi pijakan dalam penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah.
Tujuan pendidikan karakter pada dasarnya adalah mendorong lahirnya anak-anak
yang baik (insan kamil). Tumbuh dan berkembangnya karakter yang baik akan
mendorong peserta didik tumbuh dengan kapasitas dan komitmennya untuk
melakukan berbagai hal yang terbaik dan melakukan segalanya dengan benar dan
memiliki tujuan hidup. Masyarakat juga berperan membentuk karakter anak
melalui orang tua dan lingkungannya.
Karakter dikembangkan melalui tahap pengetahuan (knowing),
pelaksanaan (acting), dan kesabaran (habit). Karakter tidak terbatas pada
pengetahuan saja. Seseorang yang memiliki pengetahuan kebaikan belum tentu
mampu bertindak sesuai dengan pengetahuannya, jika tidak terlatih (menjadi
kebiasaan) untuk melakukan kebaikan tersebut. Karakter juga menjangkau wilayah
emosi dan kebiasaan diri. Dengan demikian, diperlukan tiga komponen karakter
yang baik (components of good character) yaitu moral knowing (pengetahuan
tentang moral), moral feeling atau perasaan (pengetahuan emosi) tentang moral,
dan moral action atau perbuatan bermoral.Hal ini diperlukan dalam sistem
pendidikan tersebut sekaligus dapat memahami, merasakan, mengahayati, dan
mengamalkan (mengerjakan) nilai-nilai kebajikan (moral).
Dimensi-dimensi yang termasuk dalam moral knowing yang akan mengisi
ranah kognitif adalah kesadaran moral (moral awareness), pengetahuan tentang
nilai-nilai moral (knowing moral values), penentuan sudut pandang (perspective
taking), logika moral (moral reasoning), keberanian mengambil sikap (decision
making), dan pengenalan diri (self knowledge). Moral feeling merupakan
penguatan aspek emosi peserta didik untuk menjadi manusia berkarakter.
Penguatan ini berkaitan dengan bentuk-bentuk sikap yang harus dirasakan peserta
didik, yaitu kesadaran akan jati diri (conscience), percaya diri (self esteem),
kepekaan terhadap derita orang lain (empathy), cinta kebenaran (loving the good),
pengendalian diri (self control), kerendahan hati (humility). Moral action
merupakan perbuatan atau tindakan moral yang merupakan hasil (autcome) dari
kedua komponen karakter lainnya.
Pengembangan karakter dalam suatu sistem pendidikan adalah
keterkaitan antara komponen-komponen karakter yang mengandung nilai-nilai
perilaku, yang dapat dilakukan atau bertindak secara bertahap dan saling
berhubungan antara pengetahuan nilai-nilai perilaku dengan sikap atau emosi yang
kuat untuk melaksanakannya, baik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama,
lingkungan, bangsa, dan Negara serta dunia Internasional.
Kebiasaan berbuat baik tidak selalu menjamin bahwa manusia yang telah
terbiasa tersebut secara sadar menghargai pentingnya nilai karakter. Karena
mungkin saja perbuatannya tersebut dilandasi oleh rasa takut untuk berbuat salah,
bukan karena tingginya penghargaan akan nilai itu. Misalnya ketika seseorang
berbuat jujur hal itu dilakukan kerena dinilai oleh orang lain, bukan karena
keinginannya yang tulus untuk menghargai nilai kejujuran itu sendiri.
Dengan demikian jelas bahwa karakter dikembangkan melalui tiga
langkah, yaitu mengembangkan moral knowing, kemudian moral feeling, dan
moral action. Dengan kata lain, semakin lengkap komponen moral yang dimiliki
manusia, maka akan semakin membentuk karakter yang baik atau unggul/tangguh.
B. Kajian Penelitian yang Relevan
Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini akan dicantumkan
beberapa hasil penelitian terdahulu oleh beberapa peneliti yang pernah penulis baca,
diantaranya:
(1) Hasil peneliti Rojikun (2011) tentang “Konsep Bimbingan Mental
Spiritual dalam Menangani Kenakalan Siswa”. Hasil dari penelitian ini menunjukkan
bahwapelaksanaan bimbingan mental spiritual di sekolah dilaksanakan dengan
prinsip bahwa siswa adalah manusia yang menjadi khalifah dan sekaligus hamba
Allah.
Kedudukan sebagai khalifah mengandalkan adanya tanggung jawab atas diri
sendiri, orang lain, dan lingkungan sekitarnya. Sementara kedudukan manusia
sebagai hamba Allah memberi tanggung jawab kepada manusia untuk selalu
mendekatkan diri kepada Allah dengan mengikuti ajaran-ajaran Islam yang terdapat
dalam Al-Qur’an dan hadits. Dengan prinsip ini, pelaksanaan bimbingan mental
spiritual dapat berkembang dengan baik, mengingat sekolah merupakan lahan yang
berpotensial bagi pelaksanaan bimbingan mental spiritual.
Dari penelitian tersebut dapat kita ketahui bahwasanya manusia sebagai
hamba Allah mendapat tugas sebagai khalifah di muka bumi untuk menjalankan
perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Oleh karena itu, sekolah merupakan
tempat yang memungkinkan dalam pelaksanaan pembinaan mental spiritual di
kalangan peserta didik.
Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian ini ialah Rojikun terfokus
pada kenakalan remaja sedangkan penulis terfokus pada pembentukan karakter siswa
agar dapat memiliki kemampuan, kecerdasan, dan keterampilan serta menjadi pribadi
yang berkarakter baik.
(2) Mulia Rahmawati (2009) tentang “Upaya Peningkatan Kinerja Pegawai
Melalui Pelaksanaan Bina Mental dan Spiritual di Kantor Pemerintah Daerah
Kabupaten Tangerang”. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwaBINTAL dapat
memberikan manfaat yang dirasakan oleh para pegawai ialah dalam hal bekerja di
antaranya dapat meningkatkan disiplin kerja yang berdampak pada peningkatkan
kinerja pegawai, bekerja menjadi lebih semangat dan hasil pekerjaan menjadi lebih
maksimal, begitu juga dalam hal ibadah menjadi semakin rajin dan istiqomah.
Selain itu, terdapat manfaat lain yang didapat dengan mengikuti kegiatan-
kegiatan keagamaan di Kantor Pemerintah Daerah yakni dapat menumbuhkan
semangat untuk terus mendekatkan diri kepada Allah SWT., mentaati segala perintah-
Nya serta menjauhi segala larangan-Nya.
Dari penelitian tersebut dapat kita ketahui bahwasanya banyak sekali
manfaat yang kita dapat ketika mengikuti program yang dilaksanakan oleh Kantor
Pemerintah Daerah Kabupaten Tangerang terutama di kalangan para pegawai yang
bukan saja mementingkan pekerjaanya tetapi harus juga kita mendekatkan diri kepada
Allah dan selalu mengingat Allah SWT.
Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Mulia Rahmawati dengan
penelitian yang penulis laksanakan ialah terletak pada objeknya.Penulis menganalisis
tentang karakter siswa melalui kegiatan pembinaan mental.Siswa dibina pada nilai-
nilai yang positif yang didapat dalam kegiatan pembinaan mental seperti religius, rasa
percaya diri, mandiri, bertanggung jawab, disiplin dan dapat bersosialisasi dengan
baik di keluarga, lingkungan sekolah dan masyarakat.Sedangkan penelitian Mulia
Rahmawati objek yang ditelitinya ialah kinerja para pegawai.
(3) Riana Amelia(2011) tentang “Metode Bimbingan Mental Spiritual
Terhadap Penyandang Masalah Tuna Susila di Panti Sosial Karya Wanita (PSKW)
Mulya Jaya Jakarta”. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa tujuan dari
kegiatan pelaksanaan bimbingan mental spiritual di PSKW ini agar dapat
memberikan pengertian kepada klien, yaitu dengan pemahaman, menumbuhkan
kesadaran, serta mempunyai sikap/ pendirian yang kuat.
Terdapat faktor pendukung dan penghambat pelakasanaan bimbingan mental
spiritual, yaitu faktor pendukung berupa sarana dan prasarana yang memadai, adanya
modul atau materi dari panduan yang penyuluh sediakan, adanya SDM yang
profesional, dan adanya siswi atau PSKW yang rutin mengikuti kegiatan ini. Faktor
penghambatnya berupa perilaku klien yang labil, kehidupan bebas yang mereka
jalani, latar belakang yang berbeda, dan lupa menjalankan materi yang disampaikan
untuk dipraktekkan sehari-hari.
Dari penelitian tersebut dapat kita ketahui bahwasanyapenyandang masalah
tuna susila di Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) sangat membutuhkan bimbingan
mental spiritual karena agar mereka dapat mempunyai sikap/ pendirian yang kuat
dalam menjalani kehidupan.
Perbedaan penelitian tersebut dengan peneliti yang lakukan ialah dalam
skripsi ini menunjukkan bahwa pembiasaan, keteladanan, ceramah dan masukan-
masukan merupakan cara yang digunakan dalam pembentukan karakter siswa melalui
kegiatan pembinaan mental di SMP Negeri 16 Kota Cirebon. Pembiasaan dengan
menyuruh seluruh siswa untuk mempunyai sikap sosial, datang tepat waktu, saling
bertegur sapa, melaksanakan sholat berjama’ah dan lain-lain.Keteladanan yaitu
memberikan contoh perbuatan langsung seluruh siswa. Ceramah dengan memberikan
penjelasan akan pentingnya nilai-nilai yang terkandung di dalam pancasila dan
memberikan masukan atau nasehat-nasehat menuju ke arah yang lebih baik.
C. Kerangka Pikir
Menurut Depdiknas (2008: 193), pembinaan berasal dari kata “bina”, yang
berarti membangun, mendirikan sesuatu supaya lebih baik. Pembinaan yaitu proses,
cara, perbuatan membina, pembaruan, penyempurnaan, usaha, tindakan, dan kegiatan
yang dilakukan secara efesien dan efektif untuk memperoleh hasil yang lebih baik.
Pembinaan diarahkan ke arah yang lebih baik lagi agar terjadi suatu peningkatan
dalam bekerja.
Menurut Mulyasa (2007: 173), pembinaan diharapkan dapat membantu
seseorang memecahkan masalah dan kesulitan yang mungkin akan dihadapi di dalam
menggunakan cara-cara baru untuk melaksanakan tugasnya agar berjalan dengan
efektif untuk mendapatkan hasil yang optimal.
Menurut Darajat(1982: 38), mental diartikan sebagai kepribadian yang
merupakan kebulatan yang dinamik yang dimiliki seseorang yang tercermin dalam
sikap dan perbuatan atau terlihat dari psikomotornya. Dalam ilmu psikoterapi, kata
mental sering digunakan sebagai ganti dari personality (kepribadian) yang berarti
bahwa mental adalah semua unsur-unsur jiwa termasuk pikiran, emosi, sikap
(attitude) dan perasaan yang dalam keseluruhan akan menentukan corak laku, cara
menghadapi suatu hal yang menekan perasaan, mengecewakan, menggembirakan,
menyenangkan, dan sebagainya.
Menurut Asmaran (1994: 44), pembinaan mental merupakan tumpuan perhatian
pertama dalam misi Islam. Untuk menciptakan manusia yang berakhlak mulia, Islam
telah mengajarkan bahwa pembinaan mental harus lebih diutamakan daripada
pembinaan fisik atau pembinaan pada aspek-aspek lain, karena dari jiwa yang baik
inilah akan lahir perbuatan-perbuatan yang baik yang pada gilirannya akan
menghasilkan kebaikan dan kebahagiaan pada seluruh kehidupan manusia lahir dan
batin.
Berdasarkan pendapat di atas, penulis berpendapat bahwa pembinaan yang
dimaksud adalah pembinaan kepribadian secara keseluruhan.Pembinaan mental
secara efektif dilakukan dengan memperhatikan faktor kejiwaan sasaran yang akan
dibina. Pembinaan mental yang dilakukan meliputi bimbingan moral, pembentukan
sikap dan mental yang pada umumnya dilakukan sejak anak masih kecil.
Pembinaan mental merupakan salah satu cara untuk membentuk akhlak
manusia agar memiliki pribadi yang bermoral, berbudi pekerti yang luhur dan
bersusila, sehingga siswa dapat terhindar dari sifat tercela sebagai langkah
penanggulangan terhadap timbulnya kenakalan remaja.
Wyne (1991) dalam Noor (2011:34), kata "karakter" berasal dari bahasa Yunani
yang berarti “to mark” (menandai) dan memfokuskan pada bagaimana
mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku.
Menurut Adisusilo (2012: 76-78), karakter merupakan sebuahstempel atau cap,
sifat-sifat yang melekat pada seseorang.Karakter atau watak seseorang dapat
dibentuk, dapat dikembangkan dengan pendidikan nilai. Pendidikan nilai akan
membawa pengetahuan nilai, pengetahuan nilai akan membawa proses internalisasi
nilai, dan proses internalisasi nilai akan mendorong seseorang untuk mewujudkan
dalam tingkah laku, dan akhirnya pengulangan tingkah laku yang sama akan
menghasilkan karakter atau watak seseorang
Ahli pendidikan nilai Zuchdi dalam Adisusilo (2012: 77), memaknai karakter
sebagai seperangkat sifat-sifat yang selalu dikagumi sebagai tanda-tanda kebaikan,
kebijakan, dan kematangan moral seseorang. Jika direnungkan, karakter tidak hanya
dihayati atau dipahami saja, tetapi harus diaplikasikan atau didirikan melalui proses
pendidikan.
Pembentukan karakter dilakukan oleh guru dan seluruh pihak yang terlibat di
dalam sekolah yang dianggap dewasa oleh siswa dalam masa pertumbuhannya secara
langsung dan terus menerus melalui bimbingan mental agar siswa terbiasa dengan
karakter yang baik dan menjadi sosok yang manusiawi dan bertanggung jawab.
Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, Bab II Pasal 3 disebutkan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didikagar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis. Dalam pendidikan terkandung pembinaan
kepribadian, pengembangan kemampuan–kemampuan atau potensi-potensi yang
perlu dikembangkan, misalnya dari tidak tahu menjadi tahu dan tidak tahu tentang
dirinya menjadi tahu tentang dirinya serta tujuan kearah mana peserta didik akan
diharapkan dapat mengaktualisasikan diri. Untuk mewujudkan hal tersebut, proses
pendidikan di sekolah difokuskan dalam bentuk pembinaan dalam aspek akademik,
non akademik, dan sikap/mental spiritual.
Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal I
UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional
adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan,
kepribadian dan akhlak mulia.Pesan dari UU Sisdiknas tahun 2003 bertujuan agar
pendidikan tidak hanya membentuk insan manusia yang pintar namun juga
berkepribadian, sehingga nantinya akan lahir generasi muda yang tumbuh dan
berkembang dengan kepribadian yang bernafaskan nilai-nilai luhur agama dan
pancasila.
Berdasarkan uraian di atas, secara sistematis penulis gambarkan sebagai berikut
menurut Sisdiknas 2003 Bab II Pasal 3:
PembinaanMental
Karakter siswa yangdiharapkan:1. Religius2. Jujur3. Disiplin4. Kerja keras5. Kreatif6. Mandiri7. Rasa ingin tahu8. Gemar membaca9. Tanggung jawab10. Menghargai
prestasi11. Demokratis12. Komunikatif13. Peduli lingkungan14. Cinta tanah air
TujuanSekolah
Visi: Menghasilkan lulusan yangungguldalammutu,berpijak pada imandan takwa.
Misi: Disiplin dalam kerjamewujudkan manajemenkekeluargaan, kerjasama,pelayanan prima denganmeningkatkan silaturahmi.
Tujuan Sekolah: Memberikanpelayanan prima kepadamasyarakat Kota Cirebondan sekitarnya.
Guru danMendatang-kan dariLuar