UU 32 no. 2009 Peraturan Undang Undang Tentang Lingkungan Hidup
Eksekutabilitas Ketentuan Peralihan Undang-Undang...
Transcript of Eksekutabilitas Ketentuan Peralihan Undang-Undang...
96
Bab III
Ketentuan Peralihan Dalam Undang-
Undang dan Akibat-Akibat Hukum Terhadap Yayasan
Dalam Lampiran II UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan per-UU-an, ketentuan peralihan ditulis
dalam tanda kurung “(jika diperlukan)”. Pemakaian
frase “jika diperlukan”1 menyiratkan bahwa ketentuan
peralihan bukan keharusan dalam setiap UU.
Sekalipun bukan keharusan, namun ketentuan
peralihan kerap diadakan guna mencegah terjadinya
kekosongan hukum akibat terjadinya perubahan keten-
tuan menyangkut materi yang sama dengan apa yang
diatur dalam UU yang baru dan ketentuan sebelumnya.
Secara teknis, ketentuan peralihan ditempatkan pada
bagian akhir UU, yaitu sesudah ketentuan pidana (jika
ada) dan ketentuan penutup.
Bagian berikut akan membahas ketentuan peralihan
dalam UU dan keberadaannya dalam UUY.
1 Sri Hariningsih, Ketentuan Peralihan Dalam Perundang-Undangan, Artikel, dimuat dalam Media Publikasi Peraturan
Perundang-Undangan dan Informasi Hukum, Kemenkumham RI,
Ditjend Peraturan Perundang-Undangan, 29 Desember 2009
97
A. Ketentuan Peralihan Undang-Undang
Istilah “ketentuan peralihan” sering dinyatakan
dengan istilah “aturan peralihan”2, namun makna
dari kedua istilah itu sama, yaitu ketentuan yang
berisi norma peralihan yang berfungsi mengatur
perubahan normatif terhadap hal-hal tertentu atas
kehadiran peraturan per-UU-an yang baru. Dalam
tulisan ini, istilah yang dipakai adalah ketentuan
peralihan, sama dengan yang dipakai dalam UUY.
Perkecualian dari hal itu adalah dalam hal kutipan
guna memertahankan orisinalitas kutipan.
1. Pengertian Ketentuan Peralihan
Ketentuan peralihan dalam UU dapat dikata-
kan bukan aturan pokok, melaikan aturan yang
mengatur kelancaran penerapan aturan pokok
UU. Jimly Asshiddiqie3 mendefinisikan ketentu-
an peralihan sebagai berikut:
“Ketentuan peralihan adalah ketentuan yang
berisi norma peralihan dan berfungsi meng-
2 Sekedar contoh, Dalam UUD 1945 istilah yang dipakai “Aturan
Peralihan”, Dalam UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
Terbatas, istilah yang dipakai, “Ketentuan Peralihan”. Demikian pula dalam UU No 16 Tahun 2001 jo UU No. 2008 Tentang
Yayasan dan UU No. 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi,
istilah yang dipakai adalah “Ketentuan Peralihan”.
3 Jilmy Asshiddiqie, Op. cit, hal 130
98
atasi kemungkinan terjadinya kekosongan hukum sebagai akibat peralihan norma dari ketentuan lama ke ketentuan baru.”
Menurut Bagir Manan4, pengadaan ketentuan
peralihan dalam UU didasarkan pada dua asas,
yaitu: pertama, asas umum pembentukan UU
dengan prinsip bahwa hukum baru meniadakan
hukum lama; dan kedua, asas ubi societas ibi ius
dengan prinsip bahwa di mana ada masyarakat,
di situ ada hukum.
Menurut asas umum pembentukan UU,
dengan berlakunya peraturan yang baru, maka
peraturan lama, yang mengatur pokok yang
sama, tidak berlaku lagi. Prinsip ini berlaku pada
peraturan per-UU-an sejenis atau sederajat dan
juga pada peraturan yang lebih rendah seperti
peraturan pemerintah, keputusan presiden, atau
kebijakan-kebijakan mengenai pelaksanaan per-
aturan per-UU-an.
Pada kenyataannya, prinsip tersebut tidak
dapat diterapkan secara ketat. Peraturan yang
baru sering belum dapat dilaksanakan secara
menyeluruh karena berbagai sebab. Di antaranya
peraturan pelaksanaan UU belum ada. Dalam
keadaan seperti itu, ketentuan peralihan diperlu-
kan untuk mengatur proses peralihan dari
keadaan lama ke keadaan baru yang ditetapkan
4 Bagir Manan, Op. cit, hal. 166-168
99
secara hukum. Dalam hal ini, ketentuan peralih-
an menunda penerapan peraturan yang baru
untuk sementara waktu. Hal ini sering disebut
sebagai penyimpangan sementara5 terhadap
peraturan yang baru atas tindakan hukum atau
hubungan hukum tertentu.
Menurut asas ubi sosietas ibi ius, sebelum
adanya peraturan per-UU-an (yang baru), selalu
ada ketentuan hukum yang mengatur hal yang
sama dengan yang baru. Untuk menjamin keter-
tiban dan ketentraman, keadilan dan kepastian
hukum, maka berbagai hubungan dan akibat
hukum yang sudah ada dalam penerapannya
perlu diakomodasi dalam peraturan per-UU-an
yang baru. Caranya ialah menunda berlakunya
ketentuan baru menyangkut aspek tententu
sampai batas waktu tertentu. Hal ini dimak-
sudkan untuk memberikan kesempatan bagi
adresat hukum menyesuaikan diri terhadap
ketentuan yang baru.
Menurut Bagi Manan6 ada lima fungsi keten-
tuan peralihan, yaitu: a. sebagai dasar hukum
agar peraturan lama tetap berlaku; b. Menghin-
5 Istilah penyimpangan sementara dipergunakan oleh Jimly Asshiddiqie, Op. Cit. hal. 129 dan Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-undangan 2, Kanisius, Yogyakarta, Cet. ke-1, tahun
2007, hal 130.
6 Bagir Manan, Op.cit., hal.169-172
100
dari atau meniadakan kekosongan hukum atau
kekosongan peraturan; c. sebagai instrumen yang
mengatur keadaan hukum dari peraturan lama
akibat kehadiran aturan baru; d. menjamin
kepastian dan perlindungan hukum; dan e.
menjamin ketertiban akibat perubahan peraturan
per-UU-an.
2. Materi Ketentuan peralihan
Berdasarkan pengertian di atas tampak bahwa
ketentuan peralihan diadakan guna memulus-
kan berjalannya peraturan per-UU-an baru tanpa
menimbulkan masalah hukum. Oleh karena itu,
kejelasan rumusan materi ketetuan peralihan
merupakan keharusan.
Bagir Manan7 menyatakan bahwa isi atau
materi ketentuan peralihan ada tiga, yaitu:
1. Mengatur hubungan antara aturan hukum yang baru dan yang lama. Ketentuan ini
lazimnya menyatakan aturan-aturan lama yang tetap berlaku dengan syarat atau tanpa syarat tertentu sampai tidak diperlukan lagi.
Suatu peraturan lama tidak diperlukan lagi baik karena telah tercipta aturan baru atau keadaan hukum atau hubungan hukum yang
telah ada atau yang sedang timbul tidak memerlukan lagi aturan lama.
7 Bagir Manan, Ibid., hal. 172-173.
101
2. Mengatur keadaan atau hubungan hukum yang telah timbul atau sedang timbul berdasarkan aturan lama. Ketentuan ini
menentukan aturan hukum yang berlaku terhadap keadaan atau hubungan hukum yang telah ada atau yang sedang timbul pada
saat aturan baru dilahirkan. Pernyataan penundukan ini dapat berlaku terhadap
peraturan lama atau peraturan baru.
3. Mengatur hubungan waktu bagi aturan lama,
keadaan atau hubungan hukum yang telah ada serta penyesuaiannya dengan aturan
baru. Ketentuan peralihan dapat menentukan suatu keadaan atau hubungan hukum tetap dikuasai aturan lama sampai waktu tertentu
atau sampai terjadi suatu peristiwa hukum tertentu.
Bertitik tolak hal-hal di atas tampak bahwa
ketentuan peralihan merupakan aturan yang
mengatur elastisitas hukum. Norma yang ada di
dalamnya lebih mengarah pada upaya mencegah
penerapan hukum secara kaku yang didasarkan
pada prinsip positivisme serta upaya penciptaan
kondisi agar apa yang diatur dalam per-UU-an
yang baru dapat diterima.
Di satu sisi, ketentuan peralihan memosisikan
peraturan per-UU-an sebagai keharusan, tetapi di
sisi yang lain ia menempatkan keharusan terse-
but dalam konteks adresat hukum. Keadaan ini
menunjukkan bahwa ketentuan peralihan tidak
menempatkan aspek kepastian hukum sebagai
102
satu-satunya tujuan hukum, tetapi juga aspek
kemanfaatan yang dapat membawa kebaikan bagi
manusia, adresat hukum.
Berdasarkan prinsip tersebut dapat dikatakan
bahwa ketentuan peralihan memosisikan adresat
hukum (penyelenggara yayasan) sebagai hal uta-
ma. Penyelenggara yayasan diposisikan sebagai
subyek yang memiliki kebebasan dan kemampu-
an mengatur dirinya sendiri menuju ke keadaan
yang lebih baik. Dalam persepektif ini, fungsi
ketentuan hukum dan UU bukanlah tujuan,
tetapi hanyalah alat bagi manusia untuk menca-
pai keadaan yang lebih baik tersebut.
Dengan pencandraan yang demikian menjadi
jelas bahwa ketentuan peralihan dalam UU begi-
tu penting. Kendati hanya mengatur proses pera-
lihan keberlakuan ketentuan baru dari ketentuan
lama, namun kehadirannya turut menentukan
lancar-tidaknya bekerjanya UU baru.
Pada hemat penulis, keadaan seperti itulah
yang lebih memungkinkan penyelenggara yaya-
san menerima dan menaati ketentuan UUY.
Mereka menaatinya bukan dengan paksaan,
tetapi karena yakin bahwa ketaatan tersebut
membawa kebaikan bagi kehidupan mereka dan
yayasan yang mereka selenggarakan. Dengan
sikap yang demikian besar kemungkinan bahwa
peraturan yang baru dapat berjalan secara
103
efektif.8 Itulah sebabnya mengapa ketentuan
peralihan perlu dirumuskan secara tegas, jelas,
tidak sama-samar atau ambigu. Dengan begitu
apa yang dikehendaki pembuat UU dipahami
sama oleh adresat dan para penegak hukum.
Ketegasan dan kejelasan rumusan dimaksud
dapat berupa:
a. Batasan waktu berakhirnya keberlakuan ke-
tentuan lama dan dinyatakan tidak diperlukan
lagi;
b. Pengaturan tindakan-tindakan hukum yang
harus dilakukan adresat hukum selama penu-
ndaan pemberlakuan peraturan yang baru;
c. Penegasan tentang acuan hukum atas tindak-
an hukum atau hubungan hukum selama ma-
sa penundaan pemberlakuan peraturan yang
baru; dan
d. Akibat-akibat hukum atau sanksi apabila
adresat hukum tidak menaati ketentuan pada
nomor 1, 2, dan 3 tersebut.
8 Efektif artinya, masyarakat menaati ketentuan hukum bukan
karena takut akan hukuman atau karena merasa takut rusaknya
hubungan dengan orang lain, melainkan didorong oleh penilaian bahwa aturan hukum sesuai dengan nilai-nilai intrinsik yang
dianutnya. Menurut Achmad Ali, nilai-nilai dimaksud berkaitan
dengan kepentingan adresat. Manakala peraturan dinilai
mendatangkan banyak keuntungan melebihi biaya-biaya atau
pengorbanan yang harus dikeluarkannya, maka masyarakat cenderung menaati ketentuan hukum. Achmad Ali, Op. Cit.,, hal
348.
104
Menurut Jimly Asshiddiqie9 hal-hal tersebut
perlu dinyatakan secara tegas karena ketentuan
peralihan dapat terkait dengan subyek hukum
(menyangkut hak dan kewajiban atau tugas dan
keweanangan), norma hukum (yang mengalihkan
berlakunya suatu peraturan dari mengikat
menjadi tidak mengikat atau sebaliknya), dan
obyek hubungan hukum tertentu atau tindakan
hukum tertentu yang diatur.
B. Ketentuan Peralihan Undang-Undang
Yayasan
Dalam UUY, ketentuan peralihan tertera pada
Pasal 71. Ketentuan ayat (2) pada UU No. 16 Tahun
2001 diubah menjadi ayat (3) pada UU No 28 Tahun
2004, sedangkan ayat (2) pada UU No. 28 Tahun
2004 merupakan ayat tambahan sebagai penyem-
purnaan Pasal 71, UU No. 16 Tahun 2001. Rumus-
an selengkapnya demikian:
(1) Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, Yayasan yang telah: a. didaftarkan di Pengadilan
Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia; atau b. didaftarkan di Pengadilan Negeri dan mempunyai izin melaku-
kan kegiatan dari instansi terkait; tetap diakui sebagai badan hukum dengan ketentuan dalam
jangka waktu paling lambat 5 (lima) tahun sejak mulai berlakunya Undang-undang ini, Yayasan
9 Jilmy Asshiddiqie, Loc.cit, hal 130
105
tersebut wajib menyesuaikan Anggaran Dasarnya dengan ketentuan Undang-undang ini.
Pada UU No. 28 Tahun 2004, ketentuan pasal 71
ayat (1) huruf b diubah menjadi: “...paling lambat 3
(tiga) tahun tehitung sejak tangal undang-undang ini
mulai berlaku, ...”.
Dalam penjelasannya, masa 3 (tiga) tahun itu
diberikan kepada yayasan untuk menentukan pilih-
an apakah meneruskan atau tidak keberadaan yaya-
san. Jika diteruskan, maka dalam kurun waktu ter-
sebut yayasan wajib menyesuaikan Anggaran Dasar-
nya (AD) dengan UUY.
(2) Yayasan yang telah didirikan dan tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat memperoleh status badan hukum dengan cara menyesuaikan Anggaran
Dasarnya dengan ketentuan Undang-undang ini, dan mengajukan permohonan kepada Menteri
dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal Undang-undang ini mulai berlaku.
(3) Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib diberitahukan kepada Menteri paling lam-
bat 1 (satu) tahun setelah pelaksanaan penyesu-aian.
(4) Yayasan yang tidak menyesuaikan Anggaran Dasarnya dalam jangka waktu sebagaimana di-
maksud pada ayat (1) dan Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak dapat mengguna-
kan kata "Yayasan" di depan namanya dan dapat dibubarkan berdasarkan putusan Pengadilan
106
atas permohonan Kejaksaan atau pihak yang berkepentingan.
Pada penjelasan ayat (4) disebutkan bahwa, pi-
hak yang berkepentingan, adalah pihak yang memu-
nyai kepentingan langsung dengan Yayasan.
Pada hemat penulis, ayat (4) tersebut bukan
ketentuan peralihan, sebab ketentuan yang ada di
dalamnya bukan mengatur proses peralihan, mela-
inkan mengatur sanksi bagi yayasan yang tidak me-
lakukan penyesuaian AD dan/atau tidak memberi-
tahukan kepada menteri penyesuaian AD dalam
kurun waktu yangtelah ditetapkan.
Jimly Asshiddiqie10 memang setuju kalau akibat
hukum semacam itu ditempatkan pada ketentuan
peralihan, namun pandangan ini sulit diterima kare-
na penataan materi UU selalu diklasifikasi berdasar-
kan pokok yang diatur. Materi sanksi, termasuk
ketentuan pidana (bila diperlukan), diatur pada
bagian khusus, baik dalam bab maupun pasal.
Berdasarkan pemahaman itu, ayat (4) semestinya
tidak ditempatkan dalam ketentuan peralihan,
melainkan dalam bab atau pasal khusus yang
mengatur sanksi. Oleh karena itu, ayat (4) akan
dibahas di bagian khusus terpisah dari bahasan tiga
ayat sebelumnya.
10 Jilmy Asshiddiqie, Ibid., hal 131
107
Dalam pasal 71 di atas ada empat hal pokok yang
diatur, yaitu: 1. penundaan berlakunya UUY; 2.
dasar hukum penundaan berlakunya UUY; 3.
Kewajiban menyesuaikan AD; dan 4. akibat hukum
ketentuan peralihan terhadap yayasan yang tidak
melakukan penyesuaian AD dengan ketentuan UU
setelah masa penundaan sementara berakhir. Pokok
1, 2, dan 3 secara berturut-turut dibahas pada sub
bab ini, sementara pokok 4 dibahas pada sub bab
berikutnya.
1. Penundaan Undang-Undang Yayasan
Berdasarkan ketentuan Pasal 71 ayat (1) dan
ayat (2), yayasan yang telah berdiri sebelum UUY
pada prinsipnya dapat diakui sebagai badan
hukum menurut versi UUY. Yayasan dimaksud
ialah yayasan menurut versi ayat (1), yang didi-
rikan menurut kebiasaan, doktrin, atau yurispru-
densi Mahkamah Agung dan versi ayat (2), yaitu
yayasan yang didirikan dengan Akta Notaris atau
tanpa Akta Notaris.
Dalam rumusan ayat (1) ada dua kategori
yayasan, yaitu: a. telah didaftarkan di Pengadilan
Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita
Negara; dan b. telah didaftarkan di pengadilan
negeri dan memiliki ijin melakukan kegiatan dari
instansi terkait. Yayasan di luar kategori itu
merupakan bagian dari kategori ayat (2). Agar
108
tetap menjadi badan hukum berdasarkan UUY,
yayasan tersebut wajib melakukan penyesuaian
AD dengan UUY.
Penyesuaian AD dimaksud meliputi banyak
hal seperti perubahan fungsi dan kewenangan
organ yayasan, struktur organisasi, persyaratan
pendirian yayasan, pengelolaan kekayaan dan
sumber kekayaan yayasan. Penyesuaian AD ini
dinilai butuh waktu yang relatif lama. Dalam
proses penyesuaian itulah diperlukan ketentuan
peralihan. Ia menjadi dasar hukum penundaan
berlakunya UUY untuk sementara waktu seraya
memberi kesempatan kepada yayasan memelajari
dan memahami UUY dan akhirnya melakukan
penyesuaian AD.
Selama masa penundaan, keberadaan yayasan
dan kegiatannya tetap diakui dengan pengaturan
berdasarkan AD yayasan yang ada. Itu artinya,
meskipun UUY sudah dinyatakan berlaku sejak
tanggal 6 Agustus 2002, ketentuan pokok yang
ada di dalamnya belum diberlakukan bagi yaya-
san dalam kategori ayat (1) dimaksud.
Ditinjau dari asas pembentukan UU ketentuan
tersebut semestinya tidak diperlukan, sebab pada
saat peraturan yang baru ditetapkan dan/atau
dinyatakan berlaku, maka ketentuan lama (AD
lama yayasan) dengan sendirinya tidak berlaku.
Prinsip ini ternyata tidak diterapkan secara kaku
109
dalam UUY. Pembuat UU menilai bahwa yayasan
di Indonesia belum siap. Untuk itu, yayasan yang
telah berdiri sebelum UUY perlu diberi kesem-
patan menyesuaikan diri dengan menunda berla-
kunya UUY.
Bagi Jimly Asshiddiqie11 penundaan semacam
itu disebut penyimpangan sementara atas UU.
Disebut demikian karena apa yang ditetapkan
dalam ketentuan peralihan, sifatnya temporer.
Manakala waktu yang ditetapkan telah berakhir,
maka ketentuan yang berlaku adalah ketentuan
baru, dalam hal ini UUY. Dalam kurun waktu
tersebut ketentuan hukum yang berlaku bagi
yayasan adalah AD12 lama. Hal ini berlaku
sampai tanggal 6 Agustus 2007 atau lima tahun
setelah UU No. 16 Tahun 2001 dinyatakan mulai
berlaku pada tanggal 6 Agustus 2002.
Pembuat UU tampaknya yakin bahwa dalam
kurun waktu tersebut, yayasan melakukan
penyesuaian AD dengan ketentuan UU No. 16
Tahun 2001. Kenyataannya tidak demikian.
Sebelum berakhirnya batas waktu penundaan
11 Jilmy Asshiddiqie, Ibid, hal 129. Lihat juga Maria Farida Indrati
S., Ilmu Perundang-undangan (2), Proses dan Teknik Pemben-tukannya, Penerbit Kanisius, Cet-1, Tahun 2007, hal. 130.
12 Pasal 72A menyatakan, pada saat UU ini mulai berlaku,
ketentuan Angagran Dasar Yayasan sebagaimana dimaksudkan
pada ayat (1) dan ayat (2) yang belum disesuaikan dengan UU ini,
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU ini.
110
berdasarkan ketentuan Pasal 71 ayat (2), respon
yayasan tidak sama. Sebagian besar yayasan ti-
dak melakukan penyesuaian AD dengan UUY.
Keadaan di atas mendorong DPR untuk
mengubah UU No. 16 Tahun 2001 dengan UU No.
28 Tahun 2004. Berdasarkan UU terakhir, masa
penundaan diperpanjang sampai 6 Oktober 2008
atau 3 (tiga) tahun setelah UU No 28 Tahun 2004
dinyatakan berlaku tanggal 6 Oktober 2005. Total
waktu penundaan 6 (enam) tahun 2 (dua) bulan.
Terhadap yayasan versi ayat (2) batasan
penyesuaian AD lebih singkat, yaitu paling lam-
bat tanggal 6 Agustus 2003 atau 1 (satu) tahun
sejak UU No. 16 Tahun 2001 dinyatakan mulai
berlaku tanggal 6 Agustus 2002. Dengan terbit-
nya UU No. 28 Tahun 2004, waktu tersebut
diperpanjang menjadi paling lambat tanggal 6
Oktober 2006 atau 1 (satu) tahun sejak UU No.
28 Tahun 2004 dinyatakan mulai berlaku. Total
waktu penundaan 2 (dua) tahun 2 (dua) bulan.
2. Dasar hukum penundaan pemberlakuan
Undang-Undang Yayasan
Telah disebutkan di depan bahwa berlakunya
UUY ditunda untuk sementara waktu. Agar
penundaan tersebut sah, maka UUY memberi
dasar hukum, yaitu a. ketentuan Pasal 73; b.
111
ketentuan Pasal 71 ayat (1), huruf b; dan c.
ketentuan Pasal 72 A.
a. Ketentuan Pasal 73 UUY. Pasal ini menegas-
kan: “Undang-undang ini mulai berlaku 1
(satu) tahun terhitung sejak tanggal diundang-
kan.” UU No 16 tahun 2001 disahkan pada
tanggal 6 Agustus 2001 dan dinyatakan
berlaku terhitung sejak tanggal 6 Agustus
2002. Ini artinya sekalipun UU sudah
diundangkan, yayasan boleh menyimpanginya
dengan tetap menggunakan AD lama sebagai
dasar hukum kegiatan yayasan.
b. Ketentuan Pasal 71 ayat (1), huruf b UU No.
16 Tahun 2001. Ketentuan dalam Pasal ini
menegaskan:
“...tetap diakui sebagai badan hukum dengan ketentuan dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) tahun terhitung
sejak tanggal Undang-undang ini mulai berlaku, Yayasan tersebut wajib menyesu-aikan Anggaran Dasarnya dengan keten-
tuan Undang-undang ini.”
Istilah 5 (lima) tahun dalam ketentuan di
atas mengandung pengertian lima tahun sejak
UU No. 16 Tahun 2001 dinyatakan berlaku
pada tanggal 6 Agustus 2002 sampai paling
lambat tanggal 6 Agustus 2007. Pada UU No
28 Tahun 2004, waktu tersebut diubah men-
112
jadi paling lambat 3 (tiga) tahun sejak UU No.
28 Tahun 2004 dinyatakan berlaku pada
tanggal 6 Oktober 2005 sampai paling lambat
tanggal 6 Oktober 2008. Ini artinya bahwa
sampai tanggal 6 Oktober 2008 status hukum
yayasan masih diakui berdasarkan AD lama.
c. Ketentuan Pasal 72A UU No 28 Tahun 2004.
Ketentuan dalam pasal ini berbunyi :
“Pada saat Undang-undang ini mulai ber-laku, ketentuan Anggaran Dasar Yayasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) dan ayat (2) yang belum disesu-
aikan dengan ketentuan Undang-undang ini, tetap berlaku sepanjang tidak berten-tangan dengan Undang-undang ini.”
Dasar hukum di atas merupakan pene-
gasan dasar hukum bagi yayasan selama
masa penundaan berlakunya UUY. Pernyataan
“ketentuan Anggaran Dasar yayasan..., tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
undang-undang ini”, merupakan legalisasi
masih berlakunya AD lama. Dengan ketentu-
an-ketentuan tersebut, tampak bahwa kebera-
daan yayasan yang belum menyesuaikan AD
dan seluruh kegiatannya memiliki dasar hu-
kum yang jelas.
Yang menjadi masalah ialah ketentuan
tersebut dapat melemahkan daya paksa UUY
113
sebagai hukum positif. Ia dapat menimbulkan
anggapan bahwa penyesuaian AD tidak harus
dilakukan dalam waktu terbatas. Sekalipun
batas akhir masa penyesuaian AD terlewati
dan yayasan belum melakukan penyesuaian
AD lama yayasan tetap diakui sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan UUY.
Dasar hukum seperti itu tampak ambigu.
Di satu sisi merupakan hukum positip, tetapi
di sisi ia terus memberi kelonggaran yang
seolah-olah tanpa batas. Ada kemungkinan
bahwa rumusan tersebut sengaja dipakai
untuk mencegah kekosongan hukum bagi
yayasan yang belum melakukan penyesuaian
AD. Sekalipun bermanfaat, namun ketentuan
seperti itu tampaknya secara implisit meng-
akui tidak adanya urgensi eksekusi ketentuan
peralihan bagi yayasan yang tidak melakukan
penyesuaian AD.
3. Kewajiban Menyesuaikan Anggaran Dasar
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya
bahwa yayasan yang memilih memertahankan
bentuk yayasan memiliki kewajiban untuk
menyesuaikan AD dengan UUY. Lamanya waktu
yang diberikan UU untuk menyelesaikan kewa-
jiban itu 6 (enam) tahun 2 (dua) bulan sebagai-
mana diatur pada Pasal 71 ayat 1 huruf b.
114
Boedi Wahyono dan Suyud Margono13, menya-
takan ada empat substansi materi AD yang harus
disesuaikan dengan ketentuan UUY, yaitu:
a. organ yayasan dan segala kewenangan dan
larangnya;
b. pemisahan harta kekayaan yayasan dari
kekayaan pribadi pendiri;
c. standar isi AD; dan
d. prosedur formal pendirian yayasan.
Menurut penulis, bagian d tidak masuk dalam
materi penyesuaian AD. Ketentuan ini berlaku
pada yayasan baru untuk mendapatkan status
badan hukum. Oleh karena itu, bagian tersebut
tidak dibahas. Yang dibahas berikut ini, yaitu: a.
Strandar isi anggaran dasar; b. Kekayaan yaya-
san; dan c. Organ yayasan dan kewenangannya.
a. Standar isi Anggaran Dasar
Sebagaimana telah disebutkan pada bab I,
halaman 8-9, ada sekurang-kurangnya 11 un-
sur yang harus dimuat dalam AD untuk men-
dapatkan status badan hukum, yaitu:
a. nama dan tempat kedudukan;
13 Boedi Wahyono dan Suyud Margono, Hukum Yayasan Antara
Fungsi Karitatif Atau komersial, Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta,
2001, hal. 20.
115
b. maksud dan tujuan serta kegiatan untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut;
c. jangka waktu pendirian; d. jumlah kekayaan awal yang dipisahkan
dari kekayaan pribadi pendiri dalam
bentuk uang atau benda; e. cara memperoleh dan penggunaan keka-
yaan; f. tata cara pengangkatan, pemberhentian,
dan penggantian anggota Pembina,
Pengurus, dan Pengawas; g. hak dan kewajiban anggota Pembina,
Pengurus, dan Pengawas; h. tata cara penyelenggaraan rapat organ
Yayasan;
i. ketentuan mengenai perubahan Anggar-an Dasar;
j. penggabungan dan pembubaran Yayas-
an; dan k. penggunaan kekayaan sisa likuidasi a-
tau penyaluran kekayaan Yayasan sete-
lah pembubaran.
Selain itu, ayat (3) menambahkan bahwa
keterangan lain yang perlu dimuat dalam AD
adalah identitas organ yayasan. Paling sedikit,
meliputi nama, alamat, tempat dan tanggal
lahir, serta kewarganegaraannya. Prinsipnya
makin lengkap makin baik.
Apa yang diatur pada Pasal 14 ayat (2) dan
ayat (3) di atas bukan hal baru bagi yayasan.
Umumnya yayasan sudah mengatur hal
116
serupa dalam AD sebelumnya. Yang perlu
adalah penyesuaian pengaturan unsur-unsur
tersebut dengan ketentuan UUY. Hal yang
paling pokok di antaranya ialah tentang
kekayaan yayasan, organ yayasan dan kewe-
nangannya sebagaimana dibahas pada bagian
b dan c di bawah.
Untuk memudahkan proses penyesuaian
AD, pemerintah telah menetapkan format AD14
baku, dan telah disebarluaskan kepada para
notaris segera setelah UUY terbit. Prosedur
untuk memeroleh pengesahan menteri atas
akta penyesuaian AD juga diatur secara rinci
dalam pasal 37 dan Pasal 38 PP 63. Di sini
ditekankan bahwa perubahan AD dilakukan
oleh organ yayasan sesuai dengan AD yang
bersangkutan, diberitahukan kepada menteri
oleh pengurus yayasan atau kuasanya melalui
notaris pembuat akta perubahan AD.
Bukti-bukti administrasi apa saja yang
diperlukan ketika memberitahukan kepada
menteri, juga diatur secara sangat rinci seper-
ti: salinan akta perubahan AD yayasan,
Tambahan Berita Negara Republik Indonesia
yang memuat akta pendirian yayasan atau
14 Gatot Supramono, Hukum Yayasan di Indonesia, Rineka Cipta,
2008, hal 20.
117
bukti pendaftaran akta pendirian di pengadil-
an negeri dan izin melakukan kegiatan dari
instansi terkait, foto copy Nomor Pokok Wajib
Pajak yayasan yang dilegalisir notaris, dan
lain-lain.
Dengan persyaratan dan prosedur di atas
dapat dikatakan bahwa apabila yayasan serius
memertahankan bentuk yayasan maka proses
penyesuaian AD terhadap UUY, diyakini dapat
diselesaikan dalam kurun waktu yang telah
ditetapkan, yakni paling lambat tanggal 6
Oktober 2008. Kenyataannya tidak demikian.
Keengganan yayasan untuk melakukan penye-
suaian AD dalam kurun waktu yang ditetap-
kan tampaknya disebabkan tidak sinkronnya
tuntutan UUY dan kebutuhan nyata para
penyelenggara yayasan.
b. Kekayaan Yayasan
Salah satu unsur pokok yang harus ada
pada yayasan untuk mendapatkan status
badan hukum adalah adanya kekayaan yang
dipisahkan dari kekayaan pendiri. Kekayaan
itu dimaksudkan melulu untuk mencapai tu-
juan yayasan, yaitu tujuan sosial, keagamaan,
dan kemanusiaan. Hal ini telah ditegaskan
pada Pasal 1 ayat (1):
118
“Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diper-untukkan untuk mencapai tujuan di bi-
dang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan yang tidak memunyai anggota.”
Menurut teori kekayaan bertujuan dari A.
Brinz15, kekayaan semacam itu bukan milik
siapa-siapa. Kalaupun ada pemilik, maka pe-
miliknya bukanlah pendiri atau pengurus ya-
yasan, melainkan tujuan yayasan itu sendiri.
Menurut teori ini yang menjadi subyek hukum
adalah manusia, namun dalam kenyataannya
ada hak-hak atas kekayaan tertentu yang
bukan dimiliki oleh siapa pun. Kekayaan
semacam itu terikat oleh suatu tujuan, yaitu
tujuan yang hendak diwujudkan oleh yayasan.
Bagi Brinz kekayaan bertujuan inilah yang
disebut badan hukum, dalam hal ini yayasan.
Bagi pendiri dan pengurus yayasan, konsep
Brinz yang juga dianut UUY tersebut sulit
diterima. Hal ini dapat ditemukan di kalangan
yayasan yang didirikan oleh orang perorang.
Bagi mereka, badan hukum yayasan adalah
organisasi yang terdiri atas pendiri dan para
pengurus, bukan kekayaan seperti konsep
15 Rido Ali R., Badan Hukum dan Keududukan Badan Hukum, Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, Alumni,
Bandung, Cet. Ke-3 tahun 2012, hal. 8. Lihat juga Chatamarrasjid Ais, Op.cit, hal. 2.
119
Brinz. Kekayaan yang dipakai untuk mendiri-
kan yayasan dianggap tetap merupakan milik
pendiri yang kerap merangkap menjadi pengu-
rus yayasan.
Terlepas dari pandangan di atas, keten-
tuan Pasal 1 ayat (1) tampaknya mengandung
setidaknya dua pesan, yaitu:
1) Yayasan hanya boleh didirikan apabila ada
kekayaan yang dipisahkan dari kekayaan
pendiri dan/atau dari sumbangan donatur;
2) Status kekayaan yang dipisahkan bukan
lagi milik pendiri dan/atau milik donatur,
melainkan milik yayasan.
Pesan tersebut memberi penegasan bahwa
pendirian yayasan tidak boleh dilakukan oleh
siapa saja, melainkan hanya boleh dilakukan
oleh orang yang memiliki kekayaan yang
secara khusus dipisahkan untuk mewujudkan
tujuan yayasan. Ini artinya, sejak yayasan
didirikan sejak saat itu pendiri dan/atau
donatur kehilangan hak atas kekayaan
tersebut. Inilah antara lain yang membedakan
yayasan dari badan hukum lain seperti per-
seroan terbatas. Dalam perseroan terbatas,
harta yang disetor untuk mendirikan persero-
an, tetap merupakan hak milik pendiri.
120
Dalam pandangan Chatamarrasjid Ais16
ketentuan Pasal 1 ayat (1) itu merupakan
penegasan bahwa penentuan status badan
hukum yayasan tidak lagi menganut sistem
terbuka berdasarkan kebiasaan, doktrin, atau
yurisprudensi, melainkan menganut sistem
tertutup berdasarkan UU. Artinya, status
badan hukum yayasan hanya dapat diperoleh
apabila memenuhi ketentuan UU. Salah
satunya tentang kekayaan yang dipisahkan
itu, yang disahkan oleh Kementerian Hukum
dan Hak Asasi Manusia.
Penegasan yang demikian, tampaknya
mengandung setidaknya tiga maksud, yaitu: 1)
sebagai strategi hukum untuk menciptakan
kepastian hukum tentang keberadaan yayasan
sekaligus mengembalikan fungsi yayasan; 2)
mencegah pendirian usaha bisnis berkedok
yayasan sebagaimana sering terjadi pada
masa sebelumnya; 3) memerjelas perbedaan
antara yayasan dan badan hukum lain secara
hukum.
Bagi yayasan yang telah berdiri sebelum
UUY, utamanya bagi yayasan yang didirikan
oleh orang perorangan, ketentuan tersebut
tampak tidak memotivasi mereka untuk mela-
16 Chatamarrasjid Ais, Op.cit, hal. 2.
121
kukan penyesuaian AD. Para pendiri yang
menggunakan harta kekayaan pribadi untuk
mendirikan dan melaksanakan kegiatan yaya-
san keberatan bila kekayaannya hilang hanya
karena kehadiran sebuah UU.
Keadaan di atas, makin diperkuat oleh
ketentuan Pasal 5 UUY. Pasal ini menguatkan
ketentuan Pasal 1 ayat (1) dengan larangan
pengalihan atau pembagian kekayaan yayasan
berupa uang, barang, atau kekayaan lain, baik
langsung maupun tidak langsung kepada
pendiri, pengurus dan pengawas. Dengan
adanya ketentuan ini, penyelenggara yayasan
tampaknya makin tidak termotivasi untuk
melakukan penyesuaian AD dengan ketentuan
UUY.
Di sisi lain, ketentuan Pasal 5 tidak hanya
berlaku pada kekayaan awal yayasan yang
dipisahkan dari kekayaan pendiri, tetapi juga
pada kekayaan dari sumber lain sebagaimana
telah diatur pada Pasal 26 dan Pasal 27 ayat
(1) UU No. 16 Tahun 2001 seperti sumbangan
atau bantuan yang tak mengikat, wakaf,
hibah, hibah wasiat, dan bantuan pemerintah.
Demikian pula laba dari hasil usaha yayasan
sebagaimana diatur pada Pasal 3, Pasal 7 dan
Pasal 8 UU No 16 Tahun 2001 jo UU No. 28
Tahun 2004.
122
Dalam Pasal 3, Pasal 7, dan Pasal 8 dije-
laskan bahwa kekayaan yayasan dapat dipero-
leh dari kegiatan usaha untuk menunjang
pencapaian maksud dan tujuan yayasan, baik
dengan mendirikan badan usaha maupun ikut
serta dalam suatu badan usaha. Oleh karena
itu, hasil dari kegiatan usaha tidak boleh
dibagikan kepada pendiri, pengurus, dan
pengawas.
Para pendiri yayasan beranggapan bahwa
ketentuan tersebut a-historis17. Ia tidak peduli
kenyataan dan sejarah pendirian yayasan di
Indonesia dan mengadopsi secara langsung
pandangan masyarakat di negara maju, yang
berpandangan bahwa yayasan adalah badan
hukum yang melulu bersifat filantropis.
Dalam pandangan masyarakat Indonesia,
yayasan memang diakui bertujuan sosial,
keagamaan, dan kemanusiaan. Bersamaan
dengan itu, yayasan juga dipahami sebagai
wadah untuk membuka lapangan kerja yang
mendatangkan penghasilan bagi pendiri dan/
atau pengurus dan anggota keluarga mereka,
bahkan orang lain.
17 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dijelaskan bahwa
ahistoris adalah sikap memahami kultur lama tanpa memedulikan aspirasi sejarah yang melahirkannya. http://kbbi.web.id/ahistoris.
123
Menurut Anwar Borahima18, yayasan
seperti itu banyak ditemukan di lingkungan
pondok-pondok pesantren. Selain untuk
tujuan sosial, mereka mendirikan yayasan
untuk melestarikan warisan secara turun
temurun. Itulah sebabnya mereka bukan
cuma memberikan hartanyanya berupa tanah,
bangunan dan fasilitas lain untuk yayasan.
Mereka kerap merangkap menjadi pengurus
yang berkeja penuh waktu. Yayasan semacam
inilah antara lain yang keberatan terhadap
ketentuan Pasal 5.
Di sisi lain, ketentuan Pasal 5 ternyata
memiliki peran signifikan dalam memulihkan
fungsi yayasan. Irma Devita Purnamasari19
menyatakan bahwa ketentuan dalam Pasal 5
berhasil meredam niat para pengusaha untuk
mendirikan badan usaha komersial berkedok
yayasan. Mereka yang sebelumnya mendirikan
rumah sakit dan lembaga pendidikan komer-
sial dalam bentuk yayasan beralih ke bentuk
perseroan terbatas.
18 Anwar Borahima, Op.Cit., hal. 19.
19 Irma Devita Purnamasari, Mengapa Saat Ini Para Pengusaha Tidak Memilih Yayasan Sebagai Bentuk Usahanya?, http://
irmadevita.com/2007/mengapa-para-pengusaha-sekarang-tidak-
memilih-yayasan-sebagai-bentuk-usahanya/
124
Mungkin dengan timbulnya efek positip
tersebut, pembuat UUY berusaha menjawab
keberatan yayasan dengan merevisi materi
larangan pada Pasal 5 dalam UU No 16 Tahun
2001. Objek larangan dan pengecualian atas
larangan ditata kembali. Kalau semula peng-
urus dilarang menerima gaji, namun setelah
Pasal 5 direvisi, larangan tersebut diubah
menjadi pengurus dapat menerima gaji, upah
maupun honorarium atau bentuk lain20 yang
dapat dinilai dengan uang. Syaratnya ialah
pengurus yayasan bukan pendiri yayasan dan
tidak berafiliasi dengan pendiri, pembina, dan
pengawas, serta melaksanakan kepengurusan
yayasan secara langsung dan penuh. Keten-
tuan ini harus diatur secara eksplisit dalam
AD.
Bagi yayasan yang didirikan oleh badan
hukum seperti yayasan dalam instansi peme-
rintah, BUMN/D, TNI, Polri, BI, revisi di atas
tampaknya bisa diterima. Kekayaan yayasan
pada yayasan semacam itu tidak berasal dari
kekayaan pribadi para pendiri, melainkan dari
lembaga tempat kerja mereka. Para pengurus
20 Istilah bentuk lain berarti pendapatan yayasan berupa deviden,
bunga tabungan bank, sewa gedung atau perolehan dari badan
usaha yang didirikan oleh yayasan atau hasil penyertaan yayasan pada suatu badan usaha, Chatamarrasjid, Op.cit., hal 6
125
juga bekerja penuh waktu dan diberi gaji dari
keuangan yayasan.
Hal yang berbeda terjadi pada yayasan
yang didirikan dengan memisahkan kekayaan
pribadi. Para pendiri yayasan ini tampak tidak
mudah menerima pengalihan kekayaan priba-
di menjadi milik yayasan hanya karena ada-
nya UUY. Upaya mereka membantu pemerin-
tah mencerdaskan dan memberikan layanan
kesehatan kepada masyarakat dinilai tidak se-
layaknya diimbali hilangnya hak mereka atas
kekayaannya oleh kehadiran aturan hukum.
Yang menjadi persoalan ialah argumen
tersebut bertentangan dengan prinsip hukum
positip. Apa yang diatur dalam UU merupakan
aturan yang mengikat dan harus ditaati.
Kekayaan yayasan serta hasil usahanya tidak
boleh dikaitkan dengan opini atau pandangan
masyarakat. Niat mendirikan yayasan tidak
boleh bertentangan dengan UU. Asumsi UU
ialah pendiri yayasan hanyalah orang kaya
yang merasa terpanggil membantu sesama,
tanpa pamrih atau imbalan. Oleh sebab itu,
seluruh yayasan dan para pendiri wajib
menaati ketentuan UUY, termasuk apa yang
diatur dalam ketentuan Pasal 5.
Atas dasar prinsip itu, semua pelanggaran
diancam sanksi, termasuk sanksi pidana. Pe-
126
langgaran atas ketentuan Pasal 521 misalnya
dapat dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun. Organ yayasan yang
melakukan pelanggaran dikenakan pidana
tambahan berupa kewajiban mengembalikan
uang, barang, atau kekayaan yayasan yang
dialihkan atau dibagikan.
Pada hemat penulis, benturan prinsip
hukum positip dan pandangan masyarakat
atas ketentuan Pasal 1 dan Pasal 5 tidak boleh
dibiarkan atau diatasi hanya dengan mengan-
dalkan prinsip hukum positip secara kaku.
Solusi yang tampaknya tepat dan sesuai de-
ngan tujuan hukum nasional adalah pende-
katan prioritas kasuistik sebagaimana diajar-
kan Rabruch. Dalam hal ini, penerapan keten-
tuan-ketentuan UUY, termasuk Pasal 1, Pasal
5, dan ketentuan peralihan perlu dilakukan
secara kasuistik.
Berdasarkan pendekatan tersebut ada se-
tidaknya dua kemungkinan yang dapat ditem-
puh. Pertama, ketentuan peralihan cukup
diterapkan pada yayasan yang didirikan oleh
badan hukum dan yayasan yang didirikan se-
jak UUY dinyatakan berlaku. Kedua, keten-
tuan bagi yayasan yang didirikan oleh pero-
21 Ancaman pidana diatur pada Pasal 70 UU No 16 Tahun 2001
127
rangan dan telah berdiri sebelumnya, diatur
secara khusus dengan mengakomodasi kepen-
tingan pendiri yang menggunakan kekayaan
pribadi untuk mendirikan dan menyelengga-
rakan kegiatan yayasan.
Dalam Aturan tersebut, pengklasifikasian
yayasan seperti disebutkan pada bab II harus
dilakukan. Dengan demikian, ada setidaknya
dua aturan khusus. Pertama, aturan yang
mengatur yayasan murni, yaitu yayasan yang
kegiatannya melulu mengumpulkan dan
menyalurkan sumbangan para dermawan
kepada pihak yang memerlukan. Kedua,
aturan yang mengatur yayasan yang selain
melaksanakan hal di atas, juga melaksanakan
sendiri kegiatan yayasan seperti yayasan
pendidikan dan rumah sakit.
Pada hemat penulis, solusi seperti itulah
yang mampu memenuhi tujuan hukum dalam
UUY yang dapat mewujudkan rasa keadilan,
kemanfaatan, dan kepastian hukum yang
dapat membawa kebahagiaan bagi masyarakat
karena sesuai dengan budaya Indonesia. Atas
dasar pandangan ini, dapat dikatakan bahwa
eksekusi ketentuan peralihan pada UU No 16
Tahun 2001 jo UU No. 28 Tahun 2004 bagi
yayasan tersebut tidak memiliki urgensi.
128
c. Organ Yayasan dan kewenangannya
Unsur pokok lain yang harus ada agar
diakui sebagai badan hukum oleh UUY adalah
adanya organ yayasan. Hal ini dinyatakan
secara tegas pada Pasal 2 UU No. 16 Tahun
2001, bahwa “Yayasan mempunyai organ yang
terdiri atas Pembina, Pengurus, dan Penga-
was.”
Organ yayasan merupakan personifikasi
yayasan dalam melaksanakan perbuatan-
perbuatan hukum. Yayasan sebagai badan
hukum adalah subyek hukum, tetapi tidak
sama dengan manusia. Yayasan tidak memi-
liki kemampuan untuk mendapatkan semua
hak, melakukan semua kewajiban, serta
perbuatan hukum seperti halnya manusia22.
Dalam kondisi ini organ yayasan berfungsi
menjadi perantara atau pelaku semua perbu-
atan hukum untuk dan atas nama yayasan
guna mewujudkan maksud dan tujuan
yayasan.
Dalam melaksanakan hal tersebut, fungsi,
wewenang, dan tugas masing-masing organ
diatur secara terpisah dan tegas23. Hal ini
22 R. Ali Rido, Op.ci, hal. 10-33
23 Lihat penjelasan umum, alinea keenam UU No. 16 Tahun 2001.
129
dimaksudkan untuk mencegah terjadinya
konflik internal yang dapat merugikan, baik
yayasan maupun pihak lain. Oleh karena itu
hubungan masing-masing organ diatur secara
jelas sehingga setiap organ dapat memainkan
peran maksimal pada “wilayahnya” masing-
masing sebagai satu kesatuan yang utuh dan
saling mendukung untuk mencapai maksud
dan tujuan yayasan.
Sebelum UUY, organ yayasan adalah
pendiri, pengurus dan kadang ada dewan
penyantun. Fungsi, wewenang, serta tugas
pendiri dan pengurus cenderung tumpang
tindih. Jabatan ketua, sekretaris, dan bendara
pada badan pendiri dan badan pengurus dan/
atau dewan penyantun dirangkap oleh orang-
orang yang sama. Contohnya: Yayasan Dana
Sejahtera Mandiri, Yayasan Keanekaan Ragam
Hayati, dan Yayasan Beasiswa Supersemar24.
Tumpang tindih atau rangkap jabatan itulah
antara lain yang menyebabkan yayasan pada
masa lalu menyimpang dari hakekat yayasan.
Fungsi, wewenang, dan tugas organ pem-
bina dalam UUY diatur dalam 3 (tiga) pasal,
yaitu Pasal 28, Pasal 29, dan Pasal 30. Bagi
24 Chatamarrasjid Ais, Op.cit, hal. 323-359
130
yayasan baru, organ pembina ini bisa sekali-
gus pendiri, tetapi tidak harus demikian.
Kewenangan pokok organ ini lebih bersifat
kebijakan. Di antaranya, kewenangan tentang
perubahan AD, menetapkan kebijakan umum
yayasan, mengangkat dan memberhentikan
pengurus dan pengawas, mengesahkan prog-
ram kerja dan rancangan anggaran yayasan,
serta putusan penggabungan atau pembubar-
an yayasan.
Organ pengurus merupakan pengelola
kekayaan dan pelaksana kegiatan yayasan
secara penuh, bahkan bertanggung jawab
mewakilli yayasan dalam dan di luar penga-
dilan. Perkecualian atas hal ini antara lain
terkait dengan kasus yang melibatkan pribadi
pengurus dan yayasan, mengikat yayasan
sebagai penjamin uang, mengalihkan kekaya-
an yayasan tanpa persetujuan pembina, dan
membebani yayasan untuk kepentingan pihak
lain.
Sebagai pelaksana, apa yang dikerjakan
pengurus harus didasarkan pada keputusan
pembina dan diatur dalam AD. Oleh karena
itu, seluruh kegiatan pengurus dibertanggung-
jawabkan kepada pembina dengan tata cara
tertentu, yang juga diatur dalam AD. Secara
rinci fungsi, wewenang, tugas dan proses per-
131
tanggungjawaban pengurus diatur dalam 9
(sembilan) pasal, yaitu Pasal 31, Pasal 32,
Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal
37 Pasal 38, dan Pasal 39.
Untuk memastikan pelaksanaan kegiatan
yayasan, pengawas melakukan pengawasan,
dan kalau perlu memberikan nasehat, kepada
pengurus. Manakala pengurus melakukan
kesalahan berdasarkan AD, pengawas berwe-
nang menegur,bahkan dapat memberhentikan
sementara pengurus. Sama seperti pengurus,
organ pengawas wajib menyampaikan pertang-
gungjawaban pengawasan yayasan kepada
pembina dengan tata cara yang diatur dalam
AD. Fungsi, wewenang, dan tugas Pengawas
diatur dalam 8 (delapan) pasal, yaitu Pasal 40,
Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal
45, Pasal 46, dan Pasal 47.
Secara umum dapat dikatakan bahwa
pokok-pokok yang diatur terhadap organ yaya-
san paling sedikit ada lima hal, yaitu:
1. Persyaratan menjadi pembina, pengurus,
dan pengawas;
2. Kewenangan masing-masing organ yang
tidak dapat diserahkan kepada atau
diambil alih oleh organ lain;
132
3. Proses pengangkatan atau pemberhentian
atau penggatian anggota organ;
4. Ketentuan tentang rapat dan pengambilan
keputusan di setiap organ berdasarkan
kewenangannya masing-masing;
5. Susunan organisasi organ yayasan.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas,
tampak bahwa organ yayasan tidak identik
dengan anggota sebagaimana dipahami dalam
yayasan sebelum UUY. Pada tiga yayasan yang
disebutkan depan, yayasan memiliki anggota.
Personalnya, termasuk di antaranya pendiri
yang kerap merangkap sebagai pengurus,
dewan penyantun, bahkan sekaligus pemilik.
Rumusan Pasal 1 ayat (1) menegaskan,
bahwa yayasan tidak memiliki anggota. Kalau
pun ada, menurut Rochmat Sumitro25 anggo-
ta tersebut lazimnya dipahami sebagai orang-
orang yang mendapat manfaat dari yayasan,
seperti penerima beasiswa dari siswa miskin
atau biaya hidup bagi anak-anak terlantar,
anak yatim piatu, atau kaum jompo.
Menurut UUY, organ yayasan bukanlah
pemilik. Kalaupun mereka disebut pemilik,
maka status mereka hanyalah pemilik formal
25 Rochmat Soemitro, Hukum Perseroan Terbatas, Yayasan dan Wakaf, PT Eresdo Bandung, Cetatakan Pertama, 1993, hal 162.
133
yang dipercayakan mengelola kekayaan yaya-
san (trustee) sehingga hanya boleh mengguna-
kan kekayaan yayasan untuk mewujudkan
tujuan yayasan.
Dalam status yang demikian, Anwar
Borahima26 menyatakan organ yayasan dise-
but sebagai pemilik fidusia (fidusiair eigenaar),
pemilik yang terikat (gebonden eigenaar),
pemilik dalam suatu kedudukan tertentu
(eigenaar in kwaliteit). Ini artinya, bila mereka
berhenti atau diberhentikan dari status pem-
bina, pengurus, dan pengawas, maka status
kepemilikannya atas yayasan berakhir.
Mereka tidak lagi memiliki hak dan kewajiban
hukum apa pun dalam yayasan.
Bagi yayasan yang didirikan oleh badan
hukum, seperti yayasan dalam instansi peme-
rintah, BUMN/D, TNI, Polri, BI atau perusa-
haan, ketentuan di atas tampaknya tidak
menjadi persoalan. Status organ sebagai pemi-
lik fidusia atas kekayaan yayasan dapat
diterima karena kekayaan tersebut tidak
terkait langsung dengan kekayaan pribadi
pembina, pengurus dan pengawas. Pergantian
organ pun dianggap wajar. Menurut penulis,
keadaan ini merupakan salah satu jawaban
26 Anwar Borahima, Op.cit., hal. 12
134
mengapa yayasan bentukan badan hukum
umumnya melakukan penyesuaian AD dalam
kurun waktu yang diatur dalam ketentuan
peralihan.
Berbeda dengan itu, yayasan yang didiri-
kan oleh orang perorangan tampak belum
menerima pengaturan organ versi UUY. Bagi
mereka ketentuan tersebut merupakan pengu-
kuhan ketentuan Pasal 5 jo Pasal 3, Pasal 7
dan Pasal 8 yang menghilangkan hak mereka
atas kekayaannya dalam yayasan. Bagi mere-
ka, status organ bukanlah pemilik fidusia,
tetapi pemilik murni sebagaimana halnya
terhadap kekayaan mereka yang lain.
Konsisten dengan apa yang dikemukakan
di depan, benturan ketentuan hukum terha-
dap kepentingan masyarakat tidak boleh di-
biarkan, tetapi tidak tepat pula diatasi dengan
mengandalkan prinsip hukum positip secara
kaku. Solusi yang tampaknya tepat dan sesuai
dengan tujuan hukum nasional adalah pende-
katan prioritas kasuistik model Rabruch itu.
Pada hemat penulis, penerapan UUY yang
tanpa memertimbangkan solusi yang ditawar-
kan Radbruch, penegakkan hukum yayasan
ke depan akan terseok-seok. Pemaksaan
eksekusi ketentuan peralihan bagi yayasan
135
yang tidak melakukan penyesuaian AD
cenderung meredusir tujuan hukum menjadi
sekedar kepastian dan mengabaikan tujuan
hukum yang sesungguhnya sebagaimana
disebutkan di depan.
C. Akibat-Akibat Hukum Ketentuan Peralihan
Sampai berakhirnya jangka waktu penyesuaian
AD pada tanggal 6 Oktober 2008, bahkan sampai
tesis ini ditulis, respon yayasan terhadap ketentuan
peralihan ternyata tidak seperti yang diharapkan o-
leh UUY. Sebagian yayasan melakukan penyesuaian
AD tepat waktu, sebagian melakukan penyesuaian
AD setelah berakhirnya batasan waktu, dan sebagi-
an lainnya tidak melakukan penyesuaian AD27 atau
mengubah bentuknya menjadi perkumpulan.
Mengacu pada ketentuan peralihan, dua katego-
ri yayasan yang disebut terakhir seharusnya menda-
patkan akibat hukum dan sanksi. Akibat hukum
27 Penelitian Bisdan Sigalingging, menyatakan bahwa sampai April
2012 jumlah yayasan yang tercatat telah mendapat pengesahan AD di Direktorat Perdata Direktorat Jenderal Administrasi Hukum
Kementerian Hukum dan HAM RI ada 39.580 yayasan. Dari
jumlah itu, ada 5.183 yayasan yang melakukan penyesuaian AD
tepat waktu, dan 34.397 lainnya mendapat pengesahan AD dengan
proses seperti yayasan baru, walaupun sebagian besar di
antaranya merupakan yayasan lama yang telah berdiri sebelum UUY. Karena diproses seperti yayasan baru, maka nama yayasan
tersebut ganda. Yayasan baru yang disahkan menggunakan nama
yayasan lama yang belum dibubarkan. http://bisdan-sigaling-
ging.blogspot.com/
136
dan sanksi tersebut tentu tidak berjalan otomatis
tanpa didukung oleh unsur lain dalam sistem
hukum, utamanya pemerintah dan penegak hukum.
Jika yayasan dimaksud mau “diselamatkan” karena
pertimbangan kontribusinya yang besar bagi kehi-
dupan masyarakat, maka perlu ada tindak lanjut
ketentuan peralihan yang dinilai tepat.
Ketiga hal di atas (akibat hukum, sanksi, dan
tindak lanjut) akan dibahas berturut-turut pada
bagian di bawah.
1. Akibat Hukum
Menurut ketentuan peralihan, yayasan yang
tidak melakukan penyesuaian AD tepat waktu
dan/atau melakukan penyesuaian tetapi tidak
memberitahukannya kepada menteri sebagaima-
na diatur dalam ketentuan Pasal 71 ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) dengan sendirinya akan menang-
gung setidaknya dua akibat hukum, yaitu:
a. Tidak menjadi subjek dari hak dan kewajib-
an28. Tidak berhak menggunakan kata “yaya-
san” di depan namanya dan yayasan yang
bersangkutan tidak diakui sebagai badan
hukum. Oleh karena itu, keberadaan yayasan
dan segala kegiatannya tidak diakui oleh
hukum. Sekalipun secara fisik ia ada, namun
28 Chidir Ali, Op. Cit., hal.166
137
secara hukum dianggap tidak ada. Apabila
yayasan melakukan kegiatan dalam bentuk
yayasan, maka kegiatan tersebut tidak memili-
ki legitimasi hukum atau ilegal.
Yayasan semacam itu tidak berwenang
melakukan tindakan-tindakan hukum dan
hubungan-hubungan hukum seperti perikat-
an atau perjanjian tertulis dan tak tertulis,
serta tidak memunyai hak atas kebendaan29.
Menurut Chidir Ali30, yayasan semacam itu
tidak memiliki hak atas tanah sebagaimana
diatur dalam Pasal 16 UUPA No. 5 Tahun
1960. Ia tidak memunyai hak memiliki, hak
guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai,
hak sewa, atau hak membuka tanah.
b. Tidak memunyai hak tempat kedudukan atau
domisili sebagaimana diatur dalam Pasal 4
UUY. Menurut Chidir Ali, tempat kedudukan
bagi yayasan identik dengan tempat kedu-
dukan atau domisili orang, terutama untuk
menentukan ke pengadilan mana badan hu-
kum itu harus digugat dan menggugat. Jika
yayasan dirugikan oleh pihak lain, yayasan ti-
dak dapat menggungat karena ia tidak memi-
29 Lihat Pasal 1654, 1655, 1656 KUH Perdata.
30 Chidir Ali, Op.cit,, hal. 171-172
138
liki posisi hukum dan tidak memiliki tempat
kedudukan hukum.
Ketiadaan status hukum yayasan membawa
konsekuensi hukum bagi pengurus. Dengan
tidak diakuinya keberadaan yayasan maka
kedudukan pengurus dalam yayasan tidak
diakui. Oleh karena itu, pengurus yayasan tidak
berwenang bertindak demi, untuk, dan atas
nama yayasan. Pengurus tidak berhak mengikat-
kan yayasan kepada pihak ketiga atau sebalik-
nya, juga tidak berhak mewakili yayasan di
depan Pengadilan baik sebagai penggugat mau-
pun sebagai tergugat31. Dengan demikian segala
akibat hukum dari tindakan pengurus bukan lagi
tanggung jawab yayasan, melainkan tanggung
jawab masing-masing pengurus secara tanggung
renteng32.
Banyak akibat lanjutan yang timbul bila
yayasan semacam ini dibiarkan, baik dalam
keadaan normal maupun dalam keadaan
bermasalah. Dalam keadaan normal pada ya-
yasan pendidikan umpamanya, secara hukum
mengakibatkan penyelenggaraan dan hasil
pendidikan yang diselengarakannya tidak sah
31 Liha Pasal 35 ayat (1) UU No. 16 Tahun 2001
32 Ketentuan ini antara lain diatur dalam Pasal 36 ayat (3), PP No.
63 Tahun 2008.
139
atau ilegal33. Karena tidak sah, maka ijazah dan
gelar akamik yang diterbitkan bagi lulusan tidak
memiliki efek sipil34.
Dalam keadaan bermasalah misalnya terkait
dengan penyelesaian sengketa apabila ada ang-
gota masyarakat yang merasa dirugikan oleh
yayasan. Ketiadaan posisi hukum dan tempat
kedudukan hukum yayasan, menyulitkan anggo-
ta masyarakat mengajukan gugatan kepada
pengadilan. Prosedur yang diatur dalam Pasal
118 HIR yang mensyaratkan tempat domisili si
tergugat tidak terpenuhi. Pasal 53, Pasal 54,
Pasal 55, dan Pasal 56 UUY memang menyebut-
kan prosedur pengajuan permohonan pemerik-
saan terhadap yayasan, namun aturan itu berla-
ku bagi yayasan yang sah, yayasan berbadan
hukum menurut UUY.
Dalam keadaan seperti itu, pintu masuk tun-
tutan mau tidak mau diarahkan kepada pengu-
33 Ketiga hal itu telah diatur dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang
Sisdiknas, PP No 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Pendidikan, UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, dan Keputusan
Menteri Pendidikan Nasional Indonesia No 178/U/2001 tentang
Gelar dan Lulusan Perguruan Tinggi
34 Tidak memiliki efek sipil mengandung pengerian bahwa Ijazah
dan gelar yang diperoleh tidak diakui oleh Pemerintah RI, dalam
hal ini Kementerian Pendidikan dan Badan Kepegawaian Negara. Oleh karena itu, para lulusan yang melamar pekerjaan pada
instansi Pemerintah RI tidak diterima. Lihat isi Surat Edaran
Dirjen No 2428/D/T/2008 dan surat Badan Kepegawaian Negara
No K 26-30/V 97-8/57 tahun 2004.
140
rus yayasan secara pribadi. Jika hal ini yang
ditempuh, maka kasusnya menjadi lebih
kompleks karena kasus yang semula bersifat
perdata berubah menjadi kasus tindak pidana
penipuan oleh pengurus yayasan atau pimpinan
perguruan tinggi atau kepala sekolah.
Kasus semacam itu biasanya dihindari oleh
anggota masyarakat, sebab ada gejala bahwa
gugatan yang dilakukan anggota masyarakat
tidak memulihkan kerugian yang dialami. Biaya
dan tenaga yang dikeluarkan untuk mengajukan
gugatan sering lebih besar dari kebenaran proses
peradilan dan putusan pengadilan.
Berdasarkan dua contoh di atas, tampak
bahwa eksekusi sanksi ketentuan peralihan UUY
seharusnya dilaksanakan bagi yayasan yang
tidak melakukan penyesuaian AD tepat waktu.
Namun, karena hal itu tidak dilaksanakan
sebagaimana ditetapkan UUY, maka ketentuan
peralihan tidak memiliki urgensi apa pun dalam
upaya mewujudkan tujuan hukum.
2. Sanksi Terhadap Pelanggaran Ketentuan
peralihan
Pada Pasal 71 ayat (3) dan ayat (4) UUY, ya-
yasan yang tidak melakukan penyesuaian AD
dan/atau tidak memberitahukan penyesuaian AD
141
kepada menteri dikenakan sanksi. Hal itu diatur
dalam dua level, yaitu level UU dan level PP.
Pada level UU, sanksi diatur pada Pasal 71
ayat (4) UUY yaitu sanksi bagi yang tidak mela-
kukan penyesuaian AD sampai batas akhir yang
ditetapkan, tanggal 6 Oktober 2008. Pada level PP
sanksi diatur pada Pasal 39 PP No. 63 jo PP No.
2, yaitu sanksi bagi yang sudah melakukan
penyesuaian AD, tetapi tidak memberitahukan
kepada menteri paling lambat 1 (satu) tahun
setelah penyesuaian.
Sanksi yang diatur UU ada dua, yaitu
“dilarang menggunakan kata ‘Yayasan’ di depan
namanya” dan “dapat dibubarkan berda-sarkan
putusan Pengadilan atas permohonan Kejaksaan
atau pihak lain yang berkepentingan.”
Sepintas, sanksi tersebut tampak logis dan
mudah dieksekusi. Akan tetapi, jika aspek gra-
matikal dan logika hukumnya dicermati, keada-
annya tampak rumit. Penggunaan kata sambung
“dan” di antara antara frase “di depan namanya”
dan frase “dapat dibubarkan” menunjukkan dua
tindakaan hukum yang bersifat simultan dan
kumulatif35, bukan pilihan salah satu dari dua.
35 Lampiran II UU No. 12 Tahun 2001 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, Teknik Penyusunan Perundang-Undangan, angka 262
142
Karena bersifat kumulatif, maka eksekusinya
harus dilaksanakan bersama dan sekaligus.
Sanksi “tidak dapat menggunakan kata yaya-
san di depan namanya”, memang logis dan dapat
dieksekusi. Di sisi lain, adanya kata “dapat”36
pada sanksi “dapat dibubarkan” mengandung
makna fakultatif, bukan keharusan, tidak harus,
atau tidak wajib. Sanksi semacam ini menun-
jukkan ketidak-tegasan hukum atas pelanggaran
yang dilakukan yayasan. Hal ini pasti memenga-
ruhi sikap penegak hukum dan adresat hukum
atas ketentuan hukum.
Sekalipun yayasan tidak menyesuaikan AD-
nya dengan UUY tidak berarti ia dibubarkan. Ada
kemungkinan dibubarkan atau sebaliknya. Hal
ini, sangat tergantung pada banyak faktor terkait
dengan kejaksaan seperti penafsiran patut-
tidaknya, atau ada-tidaknya waktu kejaksaan,
ada-tidaknya kuasa khusus untuk memohonkan
pembubarannya kepada pengadilan negeri, atau
ada tidaknya pengaduan dari pihak yang berke-
pentingan.
Apabila kedua sanksi tersebut dieksekusi, ka-
takan misalnya dibubarkan berdasarkan putusan
pengadilan, maka sanksi “tidak dapat mengguna-
kan kata ‘yayasan’ di depan namanya” menjadi
36 Lampiran II UU No. 12 Tahun 2011, Ibid, angka 267
143
tidak memiliki makna hukum. Yayasan yang
sudah dibubarkan sama dengan tidak ada.
Karena tidak ada, maka kata “yayasan” di depan
namanya jelas tidak diperlukan.
Sebaliknya, jika sanksi ‘tidak menggunakan
kata “yayasan” di depan namanya’ dieksekusi,
maka yang menjadi persoalan ialah bagaimana
prosedur formalnya. UUY dan PP 63 maupun PP
No. 2 tidak mengatur tatacara eksekusi sebagai
acuan kerja penegak hukum. Mengharapkan ya-
yasan agar mengeksekusinya sendiri, tampaknya
mustahil terjadi.
Persoalan ialah mengapa penggunaan kata
“yayasan” begitu penting sehingga dijadikan
ancaman bagi yayasan yang tidak melakukan
penyesuaian AD? Menurut penulis, ada beberapa
kemungkinan jawaban. Yang utama adalah
identitas kelembagaan. Tanpa pencatuman kata
“yayasan” di depan nama sebuah lembaga, maka
identitasnya sebagai badan hukum menjadi
kabur, bahkan hilang. Keadaan ini dapat
menimbulkan konsekuensi lain bagi lembaga. Ia
kehilangan status hukum sebagai badan hukum
serta tidak berwenang melaksanakan kegiatan
yang menurut ketentuan hukum hanya boleh
dilaksanakan oleh badan hukum yayasan atau
badan hukum lain seperti PT.
144
Selain itu, yayasan yang semula memakai kata
“yayasan” di depan namanya kemudian hilang
karena dilarang oleh UUY dapat menghilangkan
kepercayaan masyarakat terhadap lembaga. Ma-
syarakat yang semula percaya pada yayasan dan
kegiatannya sebagai lembaga yang bergerak di
bidang sosial, keagamaan, atau kemanusiaan da-
pat berubah dan mencurigainya dengan berbagai
pandangan negatif. Keadaan ini cenderung meng-
ganggu kelancaran kegiatan dan ketercapaian tu-
juan yayasan.
Ancaman sanksi yang diatur dalam Pasal 39
PP 63 Tahun 2008 jo PP No. 2 Tahun 2013,
adalah keharusan melikuidasi kekayaan yayasan
bila setelah penyesuaian AD tidak disertai pem-
beritahuan kepada menteri paling lambat 1 (satu)
setelah penyesuaian serta tidak melakukan kegi-
atannya sesuai AD selama 3 (tiga) tahun bertu-
rut-turut. Ketentuan tersebut, berbunyi:
“Yayasan yang belum memberitahukan kepa-da Menteri sesuai dengan ketentuan sebagai-
mana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) Undang-Undang tidak dapat menggunakan kata “Yayasan” di depan namanya seba-
gaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (4) Undang-Undang dan tidak lagi melakukan
kegiatannya sesuai dengan AD selama 3 (tiga) tahun berturut-turut, harus melikuidasi kekayaannya serta menyerahkan sisa hasil
likuidasi sesuai dengan ketentuan sebagai-
145
mana dimaksud dalam Pasal 68 Undang-Undang.”
Sama seperti sanksi pada Pasal 71 UUY, peng-
gunaan kata sambung “dan” antara dua syarat
untuk melikuidasi kekayaan yayasan, menunjuk-
kan bahwa syarat pelanggaran agar bisa dilikui-
dasi bersifat kumulatif. Jika salah satu tidak
terpenuhi, maka eksekusi likuidasi tidak meme-
nuhi ketentuan hukum. Dengan syarat yang
demikian, ada empat kemungkinan yang dapat
terjadi seperti bagan di bawah:
Bagan-2: Prasyarat Pelanggaran untuk
Melikuidasi Kekayaan Yayasan
Tidak Memberitahukan
(1)
Tidak Melakukan Kegiatan 3 Tahun
Berturut-turut (2)
A A
B A
A B
B B
A = tidak memberitahukan/tidak melakukan kegiatan.
B = memberitahuan/melakukan kegiatan.
Dari empat kemungkinan itu, tampak bahwa
yang dapat dilikuidasi adalah yayasan yang mela-
kukan pelanggaran pada 1A dan 2A sekaligus
atau secara akumulatif: ‘tidak memberitahukan
penyesuaian AD kepada menteri paling lambat 1
(satu) tahun setelah penyesuaian dan tidak mela-
146
kukan kegiatan sesuai AD selama tiga tahun
berturut-turut’. Jika yayasan hanya melanggar
salah satu dan memenuhi yang lain, misalnya 1B
dan 2A atau 1A dan 2B, maka pelanggaran
tersebut tidak memenuhi syarat eksekusi dili-
kuidasi.
Rumusan batasan waktu paling lambat satu
tahun sebenarnya sudah jelas dan tegas. Batasan
ini bisa berarti berada dalam rentang waktu
penyesuaian AD dan dapat pula di luar itu. Jika
penyesuaian dilaksanakan tanggal 7 Juni 2006
misalnya, maka pemberitahuan kepada menteri
paling lambat tanggal 7 Juni 2007. Ini masih
dalam rentang waktu penyesuaian AD. Jika
penyesuaian AD dilakukan pada tanggal 6
Oktober 2008, maka waktu satu tahun itu berarti
paling lambat 6 Oktober 2009 atau di luar
rentang waktu penyesuaian AD. Dengan ketentu-
an ini, tampak bahwa pemberitahuan penyesuai-
an AD yang melewati batas waktu 7 Juni 2007
dan 6 Oktober 2009 merupakan pelanggaran.
Persoalannya adalah batasan waktu tiga
tahun berturut-turut yang diatur dalam PP tidak
jelas terhitung sejak kapan. UUY juga tidak
menyebutkan apakah terhitung sejak UU atau PP
dinyatakan berlaku atau saat memberitahukan
penyesuaian AD kepada menteri.
147
Persoalan berikutnya ialah pemberian sanksi
yang sama bagi yayasan yang tidak melakukan
penyesuaian sama sekali dan yayasan sebagai-
mana disebutkan pada 1A dan 2A. Penyamaan
sanksi bagi dua yayasan yang kondisinya berbe-
da mengusik rasa keadilan hukum.
Hal yang lebih sulit dimengerti secara logika
adalah sanksi “...harus melikuidasi kekayaannya
serta menyerahkan sisa hasil likuidasi sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 68 Undang-Undang.” Sanksi ini sama
dengan mengadili diri sendiri, menghukum diri
sendiri, berdasarkan kesadaran dan kemauan
sendiri. Apakah hal itu mungkin? Jika mungkin,
lalu kapan hal itu harus dilakukan, bagaimana
tatacara penyerahan sisa hasil likudasi kekayaan
yayasan kepada yayasan yang memunyai maksud
dan tujuan yang sama? Hal ini tidak diatur
dalam Pasal 68 UUY atau Pasal 39 PP.
Dikaitkan dengan ketentuan Pasal 62 tentang
pembubaran yayasan, sanksi “dapat dibubarkan”
sebagaimana ditegaskan pada Pasal 71 ayat (4)
tampak tidak memiliki kekuatan hukum. Menu-
rut ketentuan Pasal 62, yayasan bubar karena
dua alasan pokok, yaitu karena kehendak sendiri
dan karena paksaan. Bubar karena kehendak
sindiri dapat disebabkan oleh dua hal yaitu:
148
a. Jangka waktu yang ditetapkan dalam AD te-
lah berakhir;
b. Tujuan yang ditetapkan dalam AD telah ter-
capai.
Bubar karena paksaan didasarkan pada pu-
tusan pengalisan yang telah memeroleh kekatan
hukum yang tetap. Putusan pengadilan ini harus
didasarkan pada tiga alasan sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 62 huruf c, yaitu:
1) yayasan melanggar ketertiban umum dan kesusilaan; 2) tidak mampu membayar utang-
nya setelah dinyatakan pailit; atau 3) harta kekayaan yayasan tidak cukup untuk melu-nasi utangnya setelah pernyataan pailit dica-
but.
Dari ketentuan di atas tampak bahwa pelang-
garan atas Pasal 71 ayat (1) dan ayat (2) tidak
merupakan dasar hukum pembubaran yayasan,
baik dengan kehendak sendiri oleh penyelenggara
yayasan maupun karena paksaan oleh pengadil-
an. Keadaan ini menunjukkan bahwa ketentuan
Pasal 71 ayat (4) bertentangan dengan ketentuan
Pasal 62 tersebut. Jika Pasal 71 ayat (4) itu
dipakai sebagai dasar hukum eksekusi sanksi
bagi yang tidak melakukan penyesuaian AD dan/
atau tidak memberitahukan penyesuaian kepada
menteri, maka proses eksekusinya tidak saja
menyulitkan kejaksaan dan pengadilan, tetapi
149
tindakan eksekusi dengan alasan dasar hukum
Pasal 71 ayat (4) sekaligus merupakan pelang-
garan atas ketentuan dalam Pasal 62 UU yang
sama, yaitu UUY.
Berdasarkan jalan pikiran tersebut, tampak
bahwa pengaturan sanksi dan posisi kejaksaan
dalam ketentuan peralihan mirip patung polisi di
persimpangan jalan. Ia hadir mengingatkan, teta-
pi ketika pengendara menerobos rambu jalan,
patung polisi tidak dapat berbuat apa-apa. San-
ksi yang demikian tidak memiliki kekuatan, baik
pada tataran ide hukum maupun tataran empiris
guna memerlancar bekerjanya ketentuan hukum.
Penelitian Bisdan37 menyatakan beberapa
alasan mengapa Kemenkumham tidak mengam-
bil tindakan tegas kepada yayasan tersebut. Yang
utama adalah pertimbangan nilai kemafaatan
atas tindakan hukum. Disadari sepenuhnya bah-
wa kontribusi yayasan dalam membantu melak-
sanakan program Pemerintah Indonesia memba-
ngun bangsa relatif besar. Upaya yayasan sudah
berlangsung jauh-jauh hari sebelum UUY bahkan
sebelum Indonesia merdeka. Jika yayasan seperti
itu dibubarkan, maka yang muncul bukanlah
ketertiban dan keteraturan, melainkan kericuhan
37
http://bisdan-sigaling-ging.blogspot.com/
150
dan kekacauan; bukan keadilan melainkan
kepincangan; bukan kebahagiaan tetapi kesusah-
an bagi, bukan hanya yayasan, tetapi juga
masyarakat secara umum.
Jika yayasan penyelenggara pendidikan dibu-
barkan misalnya, maka penyelenggaraan pendi-
dikan pada yayasan itu akan terbengkalai. Ini
menimbulkan banyak masalah. Misalnya pendi-
dikan siswa terbengkalai atau hilangnya pekerja-
an guru dan pegawai, yang berakibat pada ter-
ganggunya ekonomi keluarga. Jika hal ini terjadi,
dapat dipastikan bahwa berbagai masalah besar
lainnya dalam kehidupan berbangsa dan berne-
gara segera menyusul, seperti masalah politik,
sosial, ekonomi, dan hak asasi manusia.
Tampaknya jalan pikiran tersebut sama de-
ngan kebanyakan penyelenggara yayasan. Mere-
ka menilai bahwa kehadiran yayasan dalam
masyarakat jauh lebih penting daripada kehadir-
an UUY. Apa yang diatur dalam UUY dan keha-
rusan penyesuaian AD dengan UUY tidak mem-
beri manfaat signifikan bagi kemajuan yayasan.
Sebaliknya, UUY malahan dianggap tidak adil
karena kekayaan pendiri yang digunakan untuk
memerlancar kegiatan yayasan seolah-olah
dirampas dari mereka untuk dijadikan milik
yayasan.
151
Dalam perbincangan penulis dengan Tri Budi-
ono38, salah seorang pengurus yayasan Salib
Putih, Salatiga dan Kustadi39, salah seorang
pengurus Yayasan Sion Salatiga, terung-kap
bahwa yayasan melakukan penyesuaian AD ter-
hadap ketentuan UUY lebih didorong oleh kepen-
tingan praktis. Dalam hal ini sekedar memenuhi
syarat yang ditetapkan Dinas Sosial atau dinas
lain untuk mendapatkan bantuan40 atau hal-hal
tertentu yang diperlukan lembaga41. Dengan kata
lain motivasi penyesuaian AD dilakukan bukan
karena diyakini bahwa hal itu dapat me-macu
perkembangan yayasan. Yayasan terpaksa
38 Wawancara tanggal 16 Juni 2014 di ruang Seminar Fakultas
Hukum UKSW, Salatiga.
39 Wawancara tanggal 16 Juni 2014 di ruang Seminar Fakultas
Hukum UKSW, Salatiga.
40 Contohnya adalah Yayasan Salib Putih yang melakukan penyesuaian AD dalam tahun 2008/2009. Hal ini dilakukan
karena disyaratakan oleh pemerintah bahwa untuk mendapatkan
bantuan seperti kompensasi BBM, dana operasional Panti Asuhan,
sumbangan pendidikan dan bantuan biaya makan anak-anak
panti, pakaian, dan bayaran biaya sekolah, yayasan harus memiliki bukti pengesahan penyesuaian AD dari Kemenkumham.
Contoh lainnya adalah Yayasan Sion. Yayasan yang mengelola
sekolah (SD, SMP, dan SMK), panti asuhan (Salatiga dan Getasan),
dan panti jompo (di Jalan Ahmad Yani Salatiga) ini melakukan
penyesuaian AD pada tahun yang sama dengan Yayasan Salib
Putih.
41 Banyak ketentuan di Dikti secara eksplisit menyebutkan syarat
mendirikan perguruan tinggi atau program studi baru bahwa
yayasan penyelenggara harus berbadan hukum sesuai dengan UU
No 16 Tahun 2001 jo UU No 28 Tahun 2004 tentang Yayasan.
152
melakukan penyesuaian AD sekedar memenuhi
persyaratan administrasi untuk mendapatkan
bantuan dana atau ijin mendirikan perguruan
tinggi atau program studi baru.
Dari sisi pengadilan, penegakan hukum yaya-
san juga tidak mudah. Selain adanya pertentang-
an Pasal 71 ayat (4) terhadap Pasal 62, huruf c
tersebut di depan, ada persoalan teknis hukum
yang menghambat tindakan Pengadilan. Posisi
Pengadilan dalam ketentuan Pasal 71 ayat (4)
bersifat pasif. Pengadilan hanya boleh mene-
tapkan putusan apabila ada pengaduan dari pi-
hak Kejaksaan atau pihak lain yang berkepen-
tingan.
Hal serupa dialami oleh pihak kejaksaan.
Selain adanya pembatasan kewenangan yang
diatur secara ketat dalam ketentuan hukum,
hambatan teknis kejaksaan adalah keterbatasan
waktu dan tenaga kejaksaan untuk mengiden-
tifikasi yayasan yang melanggar ketentuan
peralihan UUY. Kasus-kasus yang ada di Kejak-
saan sendiri sering tertunda pelimpahannya ke
Pengadilan karena keterbatasan tersebut.
Pelanggaran atas ketentuan peralihan itu
sendiri termasuk perkara perdata yang penanga-
nannya memerlukan proses panjang dibanding-
kan dengan penanganan kasus pidana. Dalam
kasus perdata, posisi kejaksaan bersifat pasif
153
seperti halnya pengadilan. Pasal 30 ayat (2) UU
No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia menegaskan:
Di bidang perdata dan tata usaha negara,
kejaksaan dengan kuasa khusus dapat ber-tindak baik di dalam maupun di luar pengadil-
an untuk dan atas nama negara atau peme-rintah.
Dari ketentuan tersebut diketahui bahwa
kejaksaan hanya dapat bertindak apabila peme-
rintah42 memberinya kuasa khusus untuk me-
nangani pelanggaran yayasan. Adanya surat kua-
sa khusus pun, tidak berarti pihak kejaksaan
dapat langsung bertindak. Surat kuasa perlu
disertai ketentuan hukum yang mengatur tata
cara pelaksanaan dan instrumen pengidentifika-
sian berbagai hal tentang pelanggaran yayasan.
Hal ini diperlukan untuk menentukan permohon-
an putusan pengadilan macam apa yang tepat
dimohonkan. Ketentuan dan instrumen tersebut
tidak diatur dalam UUY.
Jika mengharapkan adanya permohon dari
pihak yang berkepentingan, persoalan yang
mengganjal tetap saja berkutat pada persoalan
hukum. Ketentuan tentang tatacara, prosedur,
dan kriteria masalah yang dapat diajukan oleh
42 Dalam hal ini, Gubernur atau Bupati/Walikota tempat
kedudukan yayasan.
154
pihak yang berkepentingan kepada Pengadilan
sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya
gugatan yang tak berdasar. Hal ini juga tidak
diatur dalam UUY dan PP.
Berdasarkan kenyataan-kenyataan di atas
dapat dikatakan bahwa sanksi bagi yayasan yang
tidak melakukan penyesuaian AD tidak dapat
dieksekusi. Kalau pun dileksekusi secara paksa,
maka eksekusi itu, selain melanggar ketentuan
lain dalam UUY, eksekusi itu sendiri tidak
memiliki urgensi dalam upaya pencapaian tujuan
hukum yang adil.
Berdasarkan jalan pikiran di atas, penulis
berpendapat bahwa ketentuan peralihan UUY
tidak patut diterapkan secara sama pada seluruh
yayasan. Selama masa penyesuaian AD, paling
lambat tanggal 6 Oktober 2008, ketentuan
tersebut tampak Lebih cocok dikenakan kepada:
(1) perusahaan berkedok yayasan dan yayasan
dalam lingkungan lembaga-lembaga negara atau
perusahaan; (2) yayasan baru, yaitu yang didi-
rikan setelah diberlakukannya UUY; (3) yayasan
yang didirikan oleh lembaga atau perorangan
bernuansa bisnis seperti penyelenggara pendidik-
an dan rumah sakit.
Pengaturan yayasan yang didirikan oleh
perseorangan yang bertujuan sosial dan tujuan
155
lain seperti disebutkan sebelumnya perlu diatur
tersendiri, baik dengan merevisi beberapa pasal
yang disebutkan sebelumnya, maupun dengan
menerbitkan ketentuan baru, yang isinya antara
lain:
a. Jika yayasan tersebut tetap memertahankan
bentuk yayasan, maka penghasilan yayasan,
terutama sisa hasil setelah mencukupkan
kebutuhan rutin yayasan, dipersentasekan
jumlah yang harus dimanfaatkan untuk
pengembangan kegiatan yayasan dan yang
dapat dipakai untuk kepentingan ekonomi
mereka. Posisi kekayaan yayasan dalam hal
ini tetap merupakan milik pendiri atau
keluarganya di bawah kontrol hukum. Untuk
menyusun ketentuan ini pembuat UU perlu
melibatkan yayasan. Alternatif ini mewadahi
jasa historis dari yayasan.
b. Jika yayasan tersebut merasa keberatan,
maka dalam kurun waktu yang diatur dalam
ketentuan baru wajib mengalihkan bentuk
usahanya ke bentuk yang dapat menampung
aspirasi pendiri atau anak cucunya, misalnya
ke bentuk perkumpulan seperti ditempuh oleh
beberapa yayasan atau menjadi PT seperti
ditempuh oleh banyak pengusaha. Untuk
mengatasi timbulnya masalah baru, maka
pemerintah perlu mengambil alih kegiatan
156
yayasan tersebut dengan menyiapkan lembaga
serupa yang memberikan pelayanan yang
sama terhadap anggota masyarakat.
c. Ketentuan sanksi bagi pelanggar, termasuk
penegak hukum dan pejabat pada instansi
pemerintah yang terkait dengan yayasan perlu
dirumuskan secara jelas dan terukur.
3. Tindak Lanjut Ketentuan peralihan
Solusi yang ditawarkan ketentuan peralihan
bagi yayasan yang tidak memenuhi ketentuan
pasal 71 ayat (1) dan (2) UU UUY diatur dalam
Pasal 36 dan Pasal 37 PP No. 63 Tahun 2008 jo
PP No. 2 Tahun 2013.
Untuk yayasan yang tidak memenuhi
ketentuan versi ayat (1), masih diberi kesempatan
menjadi badan hukum dengan syarat bahwa
yayasan tersebut tetap melakukan kegiatan
setidaknya 5 (lima) tahun berturut-turut sebelum
penyesuaian dan belum pernah dibubarkan. Jika
dua hal ini terpenuhi, maka yayasan dapat
melakukan penyesuaian dengan cara mengubah
seluruh AD.
Dalam AD yang baru itu seluruh kekayaan
yayasan yang dimiliki pada saat penyesuaian
harus dicantumkan. Hal ini harus dibuktikan
dengan:
157
a. Laporan keuangan yang dibuat dan ditanda-
tangani oleh pengurus atau laporan keuangan
yang telah diaudit oleh akuntan publik bagi
yayasan yang laporan tahunannya wajib
diaudit sesuai dengan ketentuan UU.
b. Data tentang nama anggota pembina,
pengurus, dan pengawas yang diangkat saat
penyesuaian.
Perubahan AD tersebut wajib disampaikan
kepada menteri oleh pengurus yayasan atau
kuasanya melalui notaris yang membuat akta
perubahan AD yayasan. Untuk maksud ini, ada
sembilan lampiran yang perlu disertakan, seperti
diatur dalam Pasal 37 PP 63 jo Pasal 37A PP No.
2, yaitu:
a. Salinan akta perubahan seluruh anggaran dasar yang dilakukan dalam rangka penye-suaian dengan ketentuan Undang-undang;
b. Tambahan Berita Negara Republik Indone-sia yang memuat akta pendirian Yayasan atau bukti pendaftaran akta pendirian di
pengadilan negeri dan izin melakukan kegiatan dari instansi terkait;
c. Laporan kegiatan Yayasan selama 5 (lima) tahun berturut-turut sebelum penyesuaian Anggaran Dasar yang ditandatangani oleh
Pengurus dan diketahui oleh instansi terkait;
d. Surat pernyataan Pengurus Yayasan bahwa Yayasan tidak pernah dibubarkan secara
158
sukarela atau berdasarkan putusan peng-adilan;
e. Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak Yayasan
yang telah dilegalisir oleh notaris;
f. Surat pernyataan tempat kedudukan disertai alamat lengkap Yayasan yang
ditandatangani oleh Pengurus Yayasan dan diketahui oleh lurah atau kepala desa
setempat;
g. Neraca Yayasan yang ditandatangani oleh semua anggota organ Yayasan atau laporan
akuntan publik mengenai kekayaan Yayasan pada saat penyesuaian;
h. Pengumuman surat kabar mengenai ikhtisar laporan tahunan bagi Yayasan yang sebagian kekayaannya berasal dari
bantuan negara, bantuan luar negeri, dan/atau sumbangan masyarakat sebagai-mana dimaksud dalam Pasal 72 Undang-
Undang; dan
i. Bukti penyetoran biaya pemberitahuan
perubahan Anggaran Dasar Yayasan dan pengumumannya.
Anggaran dasar yang baru itu mulai berlaku
sejak tanggal diterbitkannya surat penerimaan
pemberitahuan perubahan AD oleh menteri.
Pada hemat penulis, solusi yang ditawarkan
dalam PP jauh lebih logis dan lebih berpeluang
untuk dapat dilaksanakan daripada pengaturan
pada Pasal 71 UUY. Pembatasan waktu paling
tidak melakukan kegiatan selama 5 (lima) tahun
berturut-turut sebelum dilakukan penyesuaian
159
dan belum pernah dibubarkan memberi peluang
tidak terjadinya kekosongan hukum atau tidak
hilangnya status hukum yayasan. Ini artinya,
kapan saja yayasan melakukan penyesuaian,
secara hukum dimungkinkan sepanjang ia
memenuhi kedua ketentuan tersebut. Hanya saja
agar ketentuan yang baru ini tidak bertentangan
dengan ketentuan UUY, maka posisinya lebih
tepat dimasukkan dalam ketentuan peralihan
dalam UUY. Pengaturan dalam PP lebih tepat
dibatasi pada prosedur dan persyaratan penyesu-
aian AD saja sampai pada pemberitahuannya
kepada menteri.
Selain itu, perlu ditambah ketentuan pendu-
kung yang memungkinkan semua kategori yaya-
san terwadahi dan termotivasi melakukan penye-
suaian AD dengan ketentuan UUY. Ketentuan itu,
dapat berisikan pemberian bantuan finansial
atau fasilitas bagi yayasan yang melakukan
penyesuaian AD dalam kurun waktu yang
ditentukan dan dapat pula berupa sanksi
pembubaran paksa yayasan oleh pemerintah
dengan prosedur yang jelas.
Hal serupa berlaku juga bagi yayasan yang
tidak memenuhi ketentuan versi ayat (2). Yaya-
san seperti ini tetap berkesempatan mendapat-
kan status badan hukum dengan cara yang
160
berbeda sebagaimana diatur dalam Pasal 36 PP
No. 63, yaitu:
(1) Yayasan yang telah didirikan sebelum berlakunya Undang-Undang dan tidak
diakui sebagai badan hukum dan tidak melaksanakan ketentuan Pasal 71 ayat (2) Undang-Undang, harus mengajukan per-
mohonan pengesahan akta pendirian untuk memeroleh status badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.
(2) Akta pendirian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dalam premise aktanya disebutkan asal-usul pendirian yayasan termasuk kekayaaan yayasan yang
bersangkutan.
(3) Perbuatan hukum yang dilakukan yayasan
sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) yang belum memeroleh status badan
hukum menjadi tanggung jawab pribadi anggota organ yayasan secara tanggung renteng.
Berdasarkan ketentuan di atas, tampak
bahwa syarat memeroleh status badan hukum
bagi yayasan yang tidak memenuhi ketentuan
Pasal 71 ayat (2) sama dengan yayasan baru atau
yayasan yang didirikan setelah berlakunya UUY.
Hal ini ditegaskan dengan pernyataan “harus
mengajukan permohonan pengesahan akta pen-
dirian yayasan kepada menteri oleh pendiri atau
kuasanya melalui notaris pembuat akta pendirian
yayasan”. Bedannya ialah hubungan hukum dan
161
tindakan hukum yang pernah terjadi sebelum
penyesuaian AD merupakan tanggung jawab
pribadi anggota organ yayasan secara tanggung
renteng. Ketentuan ini tidak ada pada yayasan
yang baru didirikan.
Menurut Pasal 15 ayat (2) permohonan
tersebut dilampiri 6 (enam) dokumen, yaitu:
a. Salinan akta pendirian yayasan;
b. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak Yayasan yang telah dilegalisir oleh notaris;
c. surat pernyataan tempat kedudukan disertai alamat lengkap Yayasan yang ditandatangani oleh Pengurus Yayasan dan
diketahui oleh lurah atau kepala desa setempat;
d. bukti penyetoran atau keterangan bank
atas Nama Yayasan atau pernyataan tertulis dari pendiri yang memuat keterang-
an nilai kekayaan yang dipisahkan sebagai kekayaan awal untuk mendirikan Yayasan;
e. surat pernyataan pendiri mengenai keab-
sahan kekayaan awal tersebut;
f. bukti penyetoran biaya pengesahan dan
pengumuman Yayasan.
Pada ayat (3) disebutkan, bahwa pengajuan
permohonan tersebut kepada menteri harus
dilakukan paling lambat 10 (sepuluh) hari terhi-
tung sejak tanggal akta pendirian yayasan
ditandatangani.
162
Pada hemat penulis, ketentuan di atas masih
mengambang. Sebagai ketentuan peralihan perlu
ditegaskan batasan waktu, persyaratan kegiatan
dalam kurun waktu tertentu, atau belum pernah
dibubarkan seperti penegasan pada Pasal 37 PP.
Selain itu, ketentuan tentang kapan yayasan
memeroleh status badan hukum dan apa sanksi
bagi yang tidak memenuhi ketentuan perlu diatur
seperti halnya pada yayasan yang disebutkan
sebelumnya. Pengaturan ini diperlukan karena
pada Pasal 15 hal tersebut belum diatur.
Sama seperti pada yayasan sebelumnya,
ketentuan yang memungkinkan semua kategori
yayasan terwadahi dan termotivasi melakukan
penyesuaian AD dengan ketentuan UUY perlu
diatur ulang. Di antaranya (sebagaimana telah
disebutkan sebelumnya), dapat berisikan pem-
berian bantuan finansial atau fasilitas bagi yaya-
san yang melakukan penyesuaian AD dalam
kurun waktu yang ditentukan dan dapat pula
berupa sanksi pembubaran paksa yayasan oleh
pemerintah dengan prosedur yang jelas. Agar
ketentuan ini tidak bertentangan dengan UUY,
maka pengaturannya lebih tepat dimasukkan
dalam ketentuan peralihan UUY.