Bab II Kerangka Teori -...

68
28 Bab II Kerangka Teori Perlu dikemukakan lebih dahulu bahwa UUY adalah bagian dari sistem hukum Nasional 1 . Dalam posisi yang demikian, UUY tidaklah berdiri sendiri. Ia senan-tiasa bertautan dengan elemen lain dalam sistem hu-kum guna mewujudkan tujuan hukum nasional. Hal ini dibuktikan dengan asas, proses pembentukan, dan lembaga pembentuknya mengacu pada ketentuan hu- kum nasional. Apa yang hendak dicapai oleh UUY me- rupakan bagian yang integral dari cita hukum nasional. Bahasan berikut menjelaskan hal-hal di atas lebih detail. Di bagian awal akan dibahas konsep yayasan dalam beberapa sudut pandang, dilanjutkan dengan bahasan posisi UUY dalam sistem hukum nasional, serta posisi tujuan UUY dalam kerangka tujuan hukum nasional. Bahasan ini diperlukan untuk membantu memahami urgensi eksekusi ketentuan peralihan UUY dalam upaya mencapai tujuan hukum nasional. 1 Dalam Alinea kedua penjelasan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dijelaskan bahwa sistem hukum nasional merupakan hukum yang berlaku di Indonesia dengan semua elemennya yang saling menunjang satu dengan yang lain dalam rangkan mengantisipasi dan mengatasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Transcript of Bab II Kerangka Teori -...

Page 1: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

28

Bab II

Kerangka Teori

Perlu dikemukakan lebih dahulu bahwa UUY adalah

bagian dari sistem hukum Nasional1. Dalam posisi yang

demikian, UUY tidaklah berdiri sendiri. Ia senan-tiasa

bertautan dengan elemen lain dalam sistem hu-kum

guna mewujudkan tujuan hukum nasional. Hal ini

dibuktikan dengan asas, proses pembentukan, dan

lembaga pembentuknya mengacu pada ketentuan hu-

kum nasional. Apa yang hendak dicapai oleh UUY me-

rupakan bagian yang integral dari cita hukum nasional.

Bahasan berikut menjelaskan hal-hal di atas lebih

detail. Di bagian awal akan dibahas konsep yayasan

dalam beberapa sudut pandang, dilanjutkan dengan

bahasan posisi UUY dalam sistem hukum nasional,

serta posisi tujuan UUY dalam kerangka tujuan hukum

nasional. Bahasan ini diperlukan untuk membantu

memahami urgensi eksekusi ketentuan peralihan UUY

dalam upaya mencapai tujuan hukum nasional.

1 Dalam Alinea kedua penjelasan UU No. 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dijelaskan bahwa

sistem hukum nasional merupakan hukum yang berlaku di

Indonesia dengan semua elemennya yang saling menunjang satu dengan yang lain dalam rangkan mengantisipasi dan mengatasi

permasalahan yang timbul dalam kehidupan bermasyarakat,

berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Page 2: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

29

A. Konsep Yayasan

Istilah yayasan dan kegiatannya sudah lama

dikenal dan dilaksanakan di berbagai tempat, terma-

suk di Indonesia. Umumnya dipahami bahwa yaya-

san adalah sebuah lembaga atau organisasi yang

didirikan untuk melaksanakan misi sosial, keagama-

an, dan kemanusiaan. Kendati demikian, bagaimana

ketiga misi itu dipahami dan dipraktekkan, cende-

rung beragam sesuai dengan penafsiran masing-

masing penyelenggara yayasan. Hal ini terjadi kare-

na sebelum adanya UUY, ketentuan tentang kebera-

daan yayasan belum diatur dalam ketentuan khu-

sus.

Untuk mendapat gambaran tentang apa dan

bagaimana yayasan dipahami, berikut ini akan dike-

mukakan konsep yayasan sebagaimana diajarkan

oleh ahli hukum, pandangan masyarakat secara

umum, dan konsep yang dianut oleh UUY.

1. Yayasan Menurut Ahli Hukum

Tidak dapat dipungkiri bahwa para ahli

hukum umumnya memahami yayasan sebagai

salah satu bentuk badan hukum (rechtspersoon)

di samping badan hukum lain yang diakui dalam

pergaulan hukum. Ia digolongan sebagai badan

hukum karena secara konseptual dan empirik

ada unsur-unsur yang dimiliki badan hukum

yang juga terdapat pada yayasan. Untuk mema-

Page 3: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

30

hami hal tersebut, berikut ini akan dikemukakan

beberapa pendapat mengenai badan hukum.

L.J. Van Apeldoorn2, merumuskan badan

hukum (purusa hukum) dalam dua pengertian,

yaitu:

1. Tiap-tiap persekutuan manusia, yang ber-tindak dalam pergaulan hukum seolah-olah

ia suatu “purusa” yang tunggal; 2. Tiap-tiap harta dengan tujuan yang tertentu, tetapi dengan tiada yang empunya, dalam pergaul-

an hukum diperlakukan seolah-olah ia suatu purusa (yayasan).”

Dari batasan di atas tampak bahwa badan

hukum bukanlah manusia dalam arti individu

atau perseorangan. Badan hukum dapat berupa

persekutuan atau perkumpulan atau organisasi

manusia, dan dapat pula berupa harta yang

terpisah dari harta siapa pun, sehingga disebut

tidak ada yang mempunyainya, namun memiliki

tujuan tertentu. Pandangan ini agakya sama

dengan pandangan J.J. Dormeier dalam Chidir

Ali3, yang menyatakan bahwa:

“Istilah badan hukum dapat diartikan dua,

yaitu: a. Persekutuan orang-orang yang di dalam pergaulan hukum bertindak selaku

2 L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit Pradnya

Paramita, Jakarta, Cet. ke-32, tahun 2008, hal 193-194

3 Chidir Ali, Badan Hukum, Penerbit Alumni Bandung, Cet. ke-4

2001,hal. 21

Page 4: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

31

seorang saja; b. Yayasan, yaitu suatu harta atau kekayaan, yang dipergunakan untuk su-atu maksud yang tertentu dan diperlakukan

sebagai oknum.”

Chidir Ali4 sendiri, berpendapat bahwa titik

tolak dalam menentukan badan hukum adalah

jawaban atas pertanyaan apa itu subyek hukum.

Dalam hal ini, adalah manusia dan segala sesu-

atu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan ma-

syarakat dan oleh hukum diakui sebagai pendu-

kung hak dan kewajiban. Menurutnya, hal ter-

akhir itulah yang disebut badan hukum. Selan-

jutnya, jawaban atas pertanyaan siapa badan

hukum itu, maka titik tolaknya adalah siapa

subyek hukum menurut hukum pisitip, yaitu

manusia dan badan hukum. Jadi, siapa badan

hukum itu, akan sangat tergantung pada hukum

positip setiap negara.

Untuk memerjelas pengertian pokok itu

Chidir5, mengutip pandangan ahli lain seperti

Meijers yang menyatakan, badan hukum meliputi

sesuatu yang menjadi pendukung hak dan

kewajiban; Logeman6, yang menyatakan, badan

hukum suatu personifikasi (personificatie), yaitu

sesuatu perwujudan (bestendingheid) atau penjel-

4 Chidir Ali, Ibid, hal. 18 dan 21

5 Chidir Ali, Ibid, hal. 18

6 Chidir Ali, Ibid, hal. 18

Page 5: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

32

maan hak-kewajiban. Hukum organisasi, tegas

Logemann, menentukan struktur intern dari per-

sonifikasi tersebut; atau E. Utrecht7 yang me-

nyatakan:

“badan hukum (rechtspersoon) yaitu badan

yang menurut hukum berkuasa (berwenang) menjadi pendukung hak. Selanjutnya dijelas-

kan bahwa badan hukum ialah setiap pendu-kung hak yang tidak berjiwa, atau lebih tepat yang bukan manusia.”

Selain pandangan di atas, masih ada pan-

dangan lain tentang pengertian badan hukum,

namun karena varian dari pandangan di atas,

maka tidak disebutkan di sini. Kesimpulan Chidir

Ali, bahwa badan hukum merupakan gejala

kemasyarakatan, gejala nyata, benar-benar ada

dalam pergaulan hukum, sekalipun tidak berwu-

jud manusia atau berbentuk benda nyata lainnya

seperti besi atau kayu bisa diterima. Yang paling

penting dalam pergaulan hukum, simpul Chidir

Ali, ialah bahwa badan hukum itu memunyai

kekayaan (vermogen) yang sama sekali terpisah

dari kekayaan anggotanya, yaitu apabila badan

hukum itu berbentuk korporasi.

Dari pengertian di atas tampak bahwa badan

hukum dapat memiliki banyak bentuk. Ia dapat

merupakan persekutuan individu yang menyatu-

7 Chidir Ali, Ibid, hal 18

Page 6: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

33

kan diri dalam satu persekutuan, dapat berben-

tuk organisasi seolah-olah satu individu atau

persoon (person), tetapi bukan atau tidak sama

dengan manusia. Hal ini dapat dilihat pada

badan hukum seperti perseroan terbatas yakni

badan hukum yang memiliki anggota dan memi-

liki hak-kewajiban sendiri yang terpisah dari hak-

kewajiban masing-masing anggota. Oleh karena

itu, ia merupakan personifikasi atau perwujudan

dari hak dan kewajiban, yang memiliki kewe-

nangan hukum untuk melakukan hubungan-

hubungan hukum.

Badan hukum juga dapat berupa harta yang

memiliki tujuan tertentu tetapi tanpa ada seorang

pun individu yang memilikinya tetapi diperlaku-

kan seolah-olah ia suatu purusa seperti halnya

manusia. Bentuk yang terakhir ini mirip dengan

pendapat R. Ali Rido8 yang menyatakan bahwa :

“Sering terjadi dalam suatu organisasi yang

bersifat hukum publik sebagai negara atau bahwa seorang manusia memisahkan suatu

harta kekayaan tertentu untuk memperjuang-kan suatu tujuan tertentu. Dalam hal ini yang pertama dinamakan Lembaga Umum

(instelling) dan yang kedua adalah yayasan. Dengan demikian, kita menemukan keok-

numan (rechtspersoonlijkheid) tidak hanya

8 R. Ali Rido, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum

Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, Pen. Alumni

Bandung, Cet. ke-3, 2012, hal. 3

Page 7: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

34

pada suatu korporasi, tetapi juga pada ins-telling dan pada yayasan.”

Dalam pergaulan hukum, status atau kedu-

dukan hukum atau kewenangan hukum badan

hukum itu, entah berupa persekutuan manusia

maupun harta kekayaan yang dipisahkan, tidak

timbul dengan sendirinya, melainkan karena

diberikan oleh hukum. Hal ini, sejalan dengan

pendapat Van Apedoorn9, bahwa kewenangan

hukum (persoonlijkheid) ialah kecakapan untuk

menjadi pendukung (subyek) hukum. Kewenang-

an ini merupakan suatu sifat yang diberikan oleh

hukum obyektif dan hanya boleh dimiliki oleh

mereka yang diberikan oleh hukum.

Pandangan Apeldoorn itu memberi petunjuk

bahwa tidak setiap persekutuan atau harta yang

dipisahkan untuk tujuan tertentu dapat disebut

badan hukum. Ia dapat disebut badan hukum

apabila diakui oleh hukum, dan agar diakui oleh

hukum, sudah barang tentu ada syarat-syarat

yang wajib dipenuhi oleh persekutuan manusia

tersebut atau harta kekayaan yang dipisahkan

itu sebagaimana dikehendaki oleh ketentuan

hukum positip.

Pertanyaan yang muncul ialah mengapa

manusia perlu mengadakan persekutuan? Atas

9 L.J. Van Apeldoorn, Op.cit, hal. 191

Page 8: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

35

pertanyaan ini, R. Ali Rido10 berpendapat bahwa

“manusia mempunyai kepentingan perseorangan

(individueel), sehingga untuk melindunginya perlu

hak. Di samping itu, dalam kenyataannya manu-

sia mempunyai kepentingan bersama. Kepenting-

an bersama atau suatu tujuan tertentu diperju-

angkan bersama dengan cara mereka berkumpul

dan menyatukan diri, lalu membentuk organisasi

serta memilih pengurus yang mewakili mereka.

Untuk mencapai maksud itu, mereka mengum-

pulkan harta kekayaan, menetapkan peraturan-

peraturan bertingkah laku bagi mereka dalam

hubungan satu dengan lainnya. Hal ini dilakukan

karena dalam setiap hal mustahil mereka laku-

kan secara bersama-sama.

Pendapat Ali Rido itu disetujui Chidir Ali11

dengan menyatakan:

“Hukum memberikan kemungkinan bahwa

suatu perkumpulan atau badan lain dianggap sebagai orang, yang merupakan pembawa hak, suatu subyek hukum dan karenanya

dapat menjalankan hak-hak seperti orang biasa, dan begitu pula dapat dipertangung-gugatkan. Sudah barang tentu badan hukum

ini bertindaknya harus dengan perantaraan orang biasa, akan tetapi orang yang bertindak

itu tidak bertindak untuk dirinya sendiri me-

10 R. Ali Rido, Op.cit, hal. 2

11 Chidir Ali, Op.cit. hal. 20

Page 9: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

36

lainkan untuk dan atas pertanggung-gugat badan hukum.”

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, da-

pat dikatakan bahwa badan hukum memiliki ciri-

ciri: ia merupakan perkumpulan orang atau or-

ganisasi, memiliki harta kekayaan yang terpisah

dari kekayaan anggota-anggotanya atau harta

kekayaan yang dipisahkan itu sendiri, memiliki

tujuan tertentu, dapat melakukan perbuatan-

perbuatan hukum dalam hubungan-hubungan

hukum, memiliki pengurus, memunyai hak dan

kewajiban, dapat digugat dan menggugat di de-

pan pengadilan, dan merupakan gejala nyata da-

lam pergaulan hukum.

Sekalipun badan hukum berupa persekutuan

dan harta (yayasan) terkesan sama, namun di

antara dua golongan badan hukum itu terdapat

perbedaan. Menurut Rido Ali:

“Pada yayasan dan Lembaga Umum (ins-

telling) dipisahkan suatu kekayaan tertentu, diadakan suatu organisasi dengan tujuan

tertentu yang memunyai kekayaan tersendiri yang terpisah, yaitu harta yang diberi tujuan yang dipisahkan oleh seorang manusia dalam

hal yayasan dan oleh negara dalam hal Lem-baga Umum. Agar organisasi itu dapat men-

capai tujuannya, diadakan untuk itu suatu pengurus...”

Dikaitkan dengan teori-teori yang mencari

dasar hukum dari badan hukum, tampak bahwa

Page 10: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

37

para ahli tidak memiliki kesepakatan pandangan

terhadap perwujudan berbagai bentuk badan

hukum. Chidir Ali12 menggolongkan teori-teori

yang ada dalam dua golongan besar, yaitu

golongan yang meniadakan persoalan badan

hukum, dan lainnya adalah golongan yang

memertahankan persoalan badan hukum.

Yang termasuk golongan pertama antara lain

adalah teori organ yang dipelopori oleh Otto Von

Gierke dan teori kekayaan bersama oleh Rudolf

Von Jhering, sedangkan teori lainnya antara lain

teori fiksi oleh Friedrich Carl Von Savigny, teori

kekayaan bertujuan oleh A. Brinz, dan teori

kenyataan yuridis oleh E.M. Meijers dan dianut

oleh Paul Scholten.

Penganut teori fiksi13 misalnya menyatakan

bahwa hanyalah manusia yang memunyai

kehendak, sedangkan badan hukum tidak. Lagi

pula badan hukum itu hanyalah suatu abstraksi,

fiksi, hanya merupakan buatan pemerintah atau

negara, bukan sesuatu yang konret. Oleh karena

itu, badan hukum tidak mungkin menjadi subyek

dari hubungan hukum.

12

Chidir Ali, Ibid. hal. 30

13 Chidir Ali, Ibid., hal. 31-32; R. Ali Rido, Op.cit, hal. 7-8.

Page 11: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

38

Yang searah dengan itu adalah teori kekaya-

an bertujuan.14 oleh A. Brinz. Menurut teori ini

yang dapat menjadi subyek hukum hanya

manusia. Badan hukum bukan subyek hukum.

Hak-hak yang diberikan kepada suatu badan

hukum pada hakekatnya adalah hak-hak yang

tidak memiliki subyek hukum. Kekayaan badan

hukum menurut teori ini bukanlah hak-hak

sebagaimana lazimnya, yaitu adanya manusia

sebagai pendukung hak, melainkan kekayaan

tersebut telepas dari manusia pemegangnya dan

diurus untuk tujuan tertentu.

Pandangan yang sebaliknya mengakui badan

hukum sebagai subyek hukum. Prinsip pandang-

an ini ialah bahwa manusia bukanlah satu-

satunya subyek hukum, pendukung hak-hak dan

kewajiban-kewajiban. Selain manusia, ada sub-

yek hukum lain, yang juga merupakan pendu-

kung hak-hak dan kewajiban-kewajiban, yaitu

apa yang disebut badan hukum.

Gierke misalnya menjelaskan, badan hukum

itu bukanlah sesuatu yang abstrak, tetapi sebu-

ah realita yang memiliki sifat yang sama dengan

alam manusia dalam pergaulan hukum. Melalui

alat-alat atau organnya seperti pengurus atau

anggotanya, badan hukum memiliki kehendak

14 . R. Ali Ridho, Ibid., hal. 8.

Page 12: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

39

atau kemauan yang dibentuk oleh dan melalui

alat-alat atau organ tersebut.

Badan hukum menurut teori ini bukanlah

suatu kekayaan atau hak yang tidak bersubyek,

tetapi nyata ada. Lagi pula, persoalan badan

hukum bukanlah soal nyata tidak nyata seperti

manusia dalam kualitasnya sebagai subyek

hukum. Kualitas subyek hukum pada manusia

dan badan hukum sama-sama tidak dapat

ditangkap dengan panca indera, dan bertindak-

nya bukan pula dalam kesatuan wujud orang

atau badan hukum, tetapi melalui organ dari

orang atau badan hukum tersebut.

Mirip dengan teori organ, teori kekayaan

bersama yang menyatakan bahwa badan hukum

adalah kumpulan manusia. Kepetingan badan

hukum adalah kepentingan seluruh anggotanya.

Badan hukum menurut teori ini, bukanlah

abstraksi dan bukan organisme. Hak dan kewa-

jiban badan hukum menurut teori ini adalah hak

dan kewajiban anggotanya bersama-sama, tang-

gung jawab bersama. Mereka berhimpun dalam

satu kesatuan dan membentuk suatu pribadi

yang disebut badan hukum. Jadi, badan hukum

dipandang sebagai konstruksi yuridis.

Selain teori-teori di atas, masih banyak teori

lain seperti teori Leer Van Het Ambtelijk Vermogen

(Teori tentang harta kekayaan yang dimiliki

Page 13: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

40

Seseorang dalam Jabatan), teori Leon Duguit,

dan tentu masih banyak yang lain. Teori-teori

tersebut tampaknya tak perlu dibahas, sebab

selain merupakan varian dari teori yang sudah

dikemukakan, tidak seluruhnya cocok diterapkan

pada badan hukum, termasuk yayasan. Contoh-

nya adalah teori kekayaan bersama. Bila dicer-

mati, tampak bahwa teori tersebut hanya cocok

untuk badan hukum yang memunyai anggota,

tetapi tidak cocok bagi yayasan. Teori yang cocok

bagi yayasan adalah teori kekayaan bertujuan

karena tidak memunyai anggota dan teori harta

kekayaan seseorang dalam jabatan (Leer van het

ambtelijk vermogen).15

Pertanyaannya ialah apa yang dimaksud

dengan yayasan dan mengapa ia disebut badan

hukum? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu

dikemukakan pandangan beberapa ahli hukum.

Para sarjana hukum Belanda16 misalnya berpen-

dapat, bahwa:

15 Menurut teori ini, harta kekayaan yang dimiliki seseorang dalam

jabatannya adalah suatu hak yang melekat pada suatu kualitas.

Bagi teori ini, tidak mungkin memunyai hak jika tidak dapat melakukan hal itu. Tanpa daya kehendak (wilsvermogen) tidak ada

kedudukan sebagai subyek hukum. Ini konsekuensi luas dari teori

yang menitik beratkan pada daya kehendak. Untuk badan hukum

yang berkehendak adalah pengurus. Dalam kualitas sebagai pengurus mereka adalah berhak, maka dari itu disebut ambtelijk

vermogen. Chidir Ali, Op.cit., hal. 33.

16 Chidir Ali, Ibid. hal 86

Page 14: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

41

Stichting (yayasan) adalah suatu badan hukum yang berbeda dengan badan hukum perkumpulan atau perseroan terbatas, tidak

memunyai anggota atau persero, oleh karena apa yang Stichting dianggap badan hukum adalah sejumlah kekayaan berupa uang dan

lain-lain benda kekayaan.

Dari pandangan di atas diketahui bahwa

yang disebut yayasan adalah harta kekayaan,

baik berupa uang maupun bentuk lain. Ia mirip

dengan perkumpulan, tetapi tidak sama dengan

perkumpulan atau perseroan sebagaimana diatur

dalam hukum positip, karena harta kekayaan

tersebut tidak memunyai anggota.

Memerjelas pandangan di atas, perlu ditinjau

pandangan Paul Scholten17 yang menyatakan:

Yayasan adalah suatu badan hukum yang

dilahirkan oleh suatu pernyataan sepihak. Pernyataan tersebut harus berisikan pemi-sahan suatu kekayaan untuk suatu tujuan

tertentu, dengan menunjukkan cara kekaya-an itu diurus dan digunakan.

Dengan rumusan itu, tampak bahwa keka-

yaan yang disebut badan itu lahir dari pernya-

taan sepihak. Tentu saja pernyataan dimaksud

adalah tertulis dan istilah pihak menunjuk pada

pendiri. Isi pernyataan, tidak lain adalah pernya-

taan tentang pemisahan kekayaan dari kekayaan

17 Chidir Ali, Ibid, hal. 86.

Page 15: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

42

pendiri. Secara tegas pula disebutkan pemisahan

kekayaan tersebut dan pengurusannya adalah

semata-mata untuk mencapai tujuannya.

N.H. Bregstein18 menambahkan bahwa:

Yayasan adalah suatu badan hukum yang didirikan dengan suatu perbuatan hukum,

yang tidak bertujuan untuk membagikan kekayaan dan/atau penghasilan kepada pen-

diri atau pengurusnya di dalam yayasan itu atau kepada orang-orang lain, kecuali untuk tujuan idiil.

Pandangan Bregstein rupanya memerjelas

tujuan kekayaan yang dipisahkan tersebut beser-

ta penghasilan yang diperoleh darinya bukanlah

untuk kepentingan pendiri. Oleh sebab itu tidak

patut dibagikan kepada pendiri, pengurus, atau

siapa pun jika bukan bertujuan idiil.

W.L.G Lemaire19 kemudian menambahkan:

Yayasan diciptakan dengan suatu perbu-

atan hukum, yakni pemisahan suatu harta kekayaan untuk tujuan yang tidak diharap-kan keuntungan (altrustische doel) serta

penyusunan suatu organisasi (berikut peng-urus), dengan mana sungguh-sungguh dapat

terwujud tujuannya dengan alat-alat itu.

Dari Lemaire diketahui pemisahan kekayaan

tersebut bukan bertujuan mencari keuntungan.

18

Chidir Ali, Ibid, hal. 86.

19 Chidir Ali, Ibid, hal. 86.

Page 16: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

43

Oleh karena itu diperlukan suatu organisasi dan

pengurus sebagai alat organisasi, alat yayasan,

untuk mencapai tujuannya.

Lebih lanjut Meijers20 menyatakan bahwa

pada yayasan pokoknya terdapat :

Penetapan tujuan dan organisasi oleh para pendirinya; tidak ada organisasi anggotanya; tidak ada hak bagi pengurusnya untuk meng-

adakan perubahan yang berakibat jauh da-lam tujuan dan organisasi; perwujudan dari suatu tujuan, terutama dengan modal yang

diperuntukkan untuk itu.

Pendapat Meijers ini menekankan pentingnya

tujuan yayasan di mana pengurus hanya boleh

bertindak untuk mengupayakan pencapaian

tujuan itu. Pengurus tidak boleh melakukan

perubahan yang sifatnya mengubah atau menga-

kibatkan perubahan pada tujuan yayasan, teru-

tama mengenai modal atau kekayaan yang diper-

untukkan untuk tujuan tersebut.

Menegaskan apa yang dikemukakan Mijers di

atas, A. Pitlo21 memberi uraian sebagai berikut:

Sebagaimana hanya untuk tiap-tiap perbuat-

an hukum, maka untuk pendirian yayasan harus ada sebagai dasar suatu kemauan yang sah. Pertama-tama harus ada maksud

untuk mendirikan suatu yayasan, selanjut-

20

Chidir Ali, Ibid, hal. 86

21 Chidir Ali, Ibid, hal. 87

Page 17: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

44

nya perbuatan hukum itu harus memenuhi tiga syarat materiil, yakni adanya pemisahan kekayaan, tujuan, dan organisasi, dan satu

syarat formal, yakni surat. Yayasan adalah suatu badan hukum tanpa diperlukan campur tangan penguasa (pemerintah).

Dari uraian itu, tampak bahwa aspek yang

ditekankan A. Pitlo adalah kemauan yang sah.

Kemauan sah ini tampaknya menunjuk pada

suatu keinginan untuk melakukan sesuatu yang

bermanfaat dalam kehidupan masyarakat. Hal ini

harus sesuai dengan nilai-nilai yang diterima

masyarakat dan dan diakui oleh hukum positip.

Jika itu terpenuhi, maka syarat materil dan

formal perlu dipenuhi guna memenuhi prosedur

hukum. Dengan terpenuhinya semua aspek itu

maka pemerintah tidak perlu turut campur

dalam kelembagaan dan kegiatan yayasan.

Secara lebih lengkap, Van Apeldoorn menje-

laskan demikian:

Yayasan (stichting) adalah harta yang memu-

nyai tujuan yang tertenyu, tetapi dengan tia-da yang empunya. Juga suatu kenyataan, bahwa dalam pergaulan hukum ia diperla-

kukan seolah-olah suatu purusa. Contohnya, orang menghibahkan, menjual, mewariskan

barang-barang pada suatu rumah yatim piatu, rumah sakit, gereja. Konstruksi yuridis dari peristiwa itu adalah harta dengan tujuan

tertentu, tetapi tidak dapat ditunjuk suatu subyek, sehingga dalam pergaulan hukum

Page 18: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

45

diperlakukan seolah-olah ia adalah subyek hukum.

Berdaarkan beberapa pendapat di atas, dapat

disimpulkan bahwa yayasan memiliki beberapa

unsur, yaitu:

a. Terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dari

kekayaan pendiri;

b. Memiliki tujuan tertentu yang sesuai dengan

nilai-nilai masyarakat dan sah secara hukum;

c. Tidak mencari keuntungan;

d. Memiliki organisasi;

e. Kegiatan yang dilakukan melulu untuk mewu-

judkan tujuan yayasan;

f. Memiliki alat perlengkapan organisasi, yaitu

pengurus;

g. Didirikan secara sepihak tanpa ada campur

tangan penguasa atau pemerintah;

h. Didirikan dengan memenuhi syarat materiil

dan syarat formal, surat pernyataan;

i. Kedudukannya dalam hukum dipersamakan

dengan manusia sebagai subyek hukum.

Berdasarkan jalan pikiran di atas, dapat

disimpulakan bahwa konsep yayasan memiliki

kesamaan dengan konsep badan hukum yang

lain tetapi dengan bentuk, tujuan, dan cara peng-

organisasiannya berbeda. Utamanya mengenai

tujuan pendirian, kedudukan kekayaan, dan ke-

dudukan pendirinya. Bagi yayasan, aspek tujuan

Page 19: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

46

adalah yang pokok. Aspek inilah yang menjadi

faktor pengikat dan pemilik hak atas kekayaan

badan hukum, sementara pendiri dan pengurus

hanyalah alat organsiasi yang bertindak untuk

dan atas nama yayasan guna mewujudkan

tujuan yayasan.

Dari uraian itu pula diketahui bahwa yayasan

dalam pandangan para ahli hukum sudah

merupakan badan hukum. Status ini melekat

pada diri yayasan atau harta yang dipisahkan itu

untuk mencapai tujuan peruntukannya. Dengan

kata lain, status badan hukum yayasan diperoleh

tidak didasarkan pada prosedur khusus, tetapi

pada terpenuhinya unsur kekayaan yang dipi-

sahkan untuk tujuan tertentu yang secara

organisastoris diurus oleh pengurus untuk

mencapai tujuan tertentu tersebut.

2. Yayasan Menurut Pemahaman Masyarakat.

Sebelum adanya UUY, pemahaman masyara-

kat Indonesia tentang yayasan dapat dikatakan

sangat beragam. Sekalipun istilah dan kegiatan

yayasan sudah dikenal dan dipraktekkan namun

karena belum adanya ketentuan yang mengatur

keberadaan yayasan dalam suatu aturan khusus,

maka dalam mendirikan yayasan masyarakat

cenderung melakukan penafsiran berdasakan

pemahaman masing-masing.

Page 20: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

47

Secara konsptual memang dipahami bahwa

yayasan adalah lembaga yang bermisi sosial,

keagamaan, dan kemanusiaan, namun dengan

tidak adanya ketentuan khusus tersebut, tidak

jarang orang mendirikan yayasan untuk tujuan

bisnis. Banyak yayasan didirikan dengan moti-

vasi mencari keuntungan dengan atau tanpa

ditonjolkan seperti misi sosial, keagamaan, atau

kemanusiaan.

Pada bab sebelumnya, hal tersebut sudah

diuraikan. Sekedar contoh, dapat disebutkan

yayasan penyelenggara pendidikan dan rumah

sakit. Banyak yang mendirikan yayasan dan

menyelenggarakan pendidikan atau rumah sakit

dari kekayaan satu atau beberapa orang pendiri,

dan mengelolanya seperti halnya perusahaan

pada umumnya. Pendiriannya memang selalu

bermotif sosial dan kemanusiaan. Akan tetapi,

status yayasan umumnya dianggap sebagai hak

milik pendiri sehingga kekayaan awal dan

penghasilan atau keuntungan (kalau ada) yang

didapatkan dari usaha yayasan dikolola oleh

pendiri sebagaimana lazimnya harta kekayaan

pribadi.

Salah satu contoh adalah Yayasan Perguruan

Pembangunan Daerah Nias di Gunungsitoli (se-

cara resmi disingkat YAYASAN PEMBDA NIAS),

Propinsi Sumatera Utara. Motivasi pendirian

Page 21: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

48

yayasan ini memang bukan bisnis. Benar-benar

dimaksudkan untuk memajukan pendidikan di

Nias. Sejak didirikan pada tahun 1970, yayasan

ini telah memberikan kontribusi besar bagi

pengembangan pendidikan di Nias, khususnya di

tingkat SMP, SMA dan Sekolah Kejuruan.22 Pada

tahun pelajaran 2014/2015, jumlah siswa di

seluruh sekolah di yang dikelola yayasan lebih

2.000 orang.

Yayasan ini menyelenggarakan 5 (lima)

sekolah, yaitu 2 (dua) unit SMP, 2 (dua) unit

SMA, dan 1 (satu) unit SMK. Hal ini diawali

dengan pendirian STM Pembda (sekarang SMK

pembda) pada tahun 1970, kemudian SMP

Pembda-1 tahun 1978, SMA Pembda-1 tahun

1979, SMP Pembda-2 dan SMA Pembda-2 tahun

1982 oleh 8 (delapan) orang pendiri. Biaya awal

bersumber dari harta kekayaan pribadi para

pendiri, mulai dari pengadaan tanah, mendirikan

bangunan secara berangsur-angsur, sampai pada

penyediaan peralatan pengajaran.

Sejak awal yayasan tersebut dikelola lang-

sung oleh pendiri, yaitu dengan menugaskan

salah seorang pendiri menjadi Ketua Yayasan

yang sehari-hari mengurus yayasan. Untuk mem-

22 Wawancara via telpon dengan KS. Halawa, salah seorang

Pengurus Harian Yayasan PEMBDA Gunungsitoli, tanggal 12

September 2014.

Page 22: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

49

bantu Ketua Yayasan diangkat bendahara yaya-

san dan beberapa staf sekretariat untuk mena-

ngani administrasi yayasan. Penghasilan dari

berbagai kewajiban resmi siswa di lima sekolah

tersebut terutama dipakai untuk mengembang-

kan kegiatan pendidikan, namun bila ada keun-

tungan maka keuntungan tersebut dibagi kepada

para pendiri berdasarkan ketentuan yang mereka

tetapkan sendiri.

Setelah Ketua Yayasan meninggal dunia,

posisi ketua pengurus yayasan diwariskan kepa-

da salah seorang anak beliau dan masih tetap

dikelola seperti sebelumnya, walaupun organisasi

organ yayasan sudah diatur dalam angaran dasar

yayasan setelah dilakukan penyesuaian dengan

ketentuan UUY pada tahun 2009. Bagi mereka,

Yayasan PEMBDA Nais adalah milik keluarga dari

8 (delapan) pendiri tersebut.

Sekalipun demikian, di kalangan masyarakat

ada juga yang mendirikan yayasan melulu untuk

kepentingan sosial. Contohnya adalah yayasan

yang memelihara anak-anak miskin, anak-anak

terlantar, anak-anak cacat, yatim-piatu, atau

kaum jompo, dan sebagainya. Contoh lain adalah

pendirian Lembaga Wakaf. Di antaranya, ada

yang melulu untuk kepentingan sosial seperti

penghibahan harta dan tanah untuk mendirikan

mesjid dan berbagai perlengkapan ibadah. Dalam

Page 23: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

50

Islam wakaf ini disebut wakaf khairi. Selain

wakaf khairi, ada juga wakaf dzuuri, yaitu wakaf

dengan memeruntukkan sebagai dari kekayaan,

dan kekayaan tersebut lebih bersifat warisan

untuk kepentingan anak-cucu si pemberi wakaf

atau wakif.

Sebelum adanya UUY, yayasan-yayasan yang

ada di Indonesia, termasuk yayasan tersebut di

atas, umumnya didirikan dengan akta notaris

dengan atau tanpa didaftarkan di Pengadilan

Negeri setempat.

3. Yayasan menurut UUY

Berbeda dengan buku teks, konsep yayasan

dalam UU tidak dijelaskan. Yang ada hanyalah

pengertian umum sebagaimana dinyatakan pada

Pasal 1 ayat (1) UUY sebagai berikut:

“yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperun-

tukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusia-

an”.

Rumusan di atas ada kemiripannya dengan

teori A. Brinz sebagaimana telah disebutkan di

depan. Hanya saja Brinz tidak mengakui yayasan

sebagai subyek hukum, sebab yang menjadi sub-

yek hukum menurut beliau hanya manusia saja.

Kesamaan antara Brinz dan rumusan di atas

adalah bahwa kekayaan yang dipisahkan itu

Page 24: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

51

tidak terikat kepada siapa pun selain kepada

tujuannya. Bagi UUY, unsur ini menjadi unsur

pokok yang ditetapkan sebagai faktor pembentuk

badan hukum.

Dengan penegasan itu tampak bahwa sebuah

yayasan disebut badan hukum apabila ia memi-

liki kekayaan yang dipisahkan terlepas dari keka-

yaan pendiri, dan pendiriannya melulu dimak-

sudkan untuk kepentingan sosial, keagamaan,

dan kemanusiaan. Ketiga tujuan ini memang

tidak harus dicakup secara lengkap oleh tiap

yayasan. Yayasan boleh hanya fokus pada satu

atau dua bidang, tetapi bisa juga ketiga-tiganya.

Yang terpenting pada rumusan pasal tersebut

ialah bahwa kekayaan yayasan adalah kekayaan

yang dipisahkan dari kekayaan pendiri dan

semata-mata dimaksudkan untuk tujuan sosial,

keagamaan, dan kemanusiaan. Apabila hal-hal

tersebut terpenuhi, maka yayasan dimaksud

diakui sebagai badan hukum. Sebaliknya, badan

hukum yang demikian merupakan yayasan.

Berdasarkan rumusan Pasal 1 ayat (1)

tersebut, tampak bahwa UUY mengonstruksi

konsep yayasan dalam satu bentuk yang sama

dan tunggal. Hal ini dapat diketahui dalam

jabaran pengaturan yayasan pada pasal-pasal

selanjutnya. Contohnya adalah rumusan Pasal 2

tentang organ yayasan yang diimplementasikan

Page 25: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

52

secara rinci pada beberapa pasal tentang

pembina, pengurus, dan pengawas pada Pasal 28

– Pasal 47. Demikian pula ketentuan Pasal 5

tentang kekayaan yayasan dan ketentuan pada

Pasal 3, Pasal 7, dan Pasal 8 tentang usaha atau

badan usaha yang dapat diselenggarakan oleh

yayasan. (lihat bahasa detail pada bab III, B.3.b.

dan c. pada halaman 117-135).

Dalam pasal-pasal tersebut yayasan dikons-

truksi sebagai sebuah lembaga yang bentuknya

pasti sama dari aspek organ dan kewenangannya,

struktur organisasi, status kekayaan yayasan,

dan larangan-larangan kepada pengurus. Perbe-

daan-perbedaan yang nyata ada dalam yayasan

dianggap tidak penting sehingga tidak perlu di-

atur. Akibatnya, materi pengaturan UUY tampak

banyak yang janggal dan terkesan bukan meng-

atur yayasan yang nyata ada, melainkan yayasan

yang dibayangkan ada.

Untuk menjelaskan hal tersebut dapat ditinjau

ketentuan Pasal 9 ayat (1) UU No. 16 Tahun 2001

yang mengatur siapa saja yang dapat mendirikan

yayasan. Rumusannya demikian: “Yayasan didiri-

kan oleh satu orang atau lebih dengan memisah-

kan sebagian harta kekayaan pendirinya sebagai

kekayaan awal.” Istilah “orang”23 dalam ayat

23 Penjelasan Pasal 9 ayat (1), UU No. 16 tahun 2001

Page 26: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

53

tersebut diartikan sebagai orang perseorangan

atau badan hukum24.

Persoalannya ialah penyamaan posisi orang

perseorangan dan orang dalam arti beberapa o-

rang tampaknya kurang tepat. Dalam prakteknya

penyamaan tersebut dapat menimbulkan masa-

lah hukum yang mengakibatkan ketidak-adilan

yang justru bertentangan dengan tujuan hukum.

Pandangan ini didasarkan pada tiga argumen

berikut:

a. Perbedaan Secara Konseptual. Secara konsep-

tual orang perseorangan berbeda dengan o-

rang dalam arti beberapa orang. Perbedaan

juga dapat tampak atau ditampakkan dalam

hal inisiatif pendirian yayasan. Yayasan de-

ngan inisiatif pendiri berbeda dari inisiatif

pewaris seperti wakaf, dan inisiatif orang-

orang dalam korporasi. Demikian pula moti-

vasi dan tujuan mendirikan yayasan, kekaya-

24 Dalam pandangan hukum positip, penyamaan orang perse-orangan dan badan hukum sebagai pihak yang berhak mendirikan

yayasan memang sah karena telah menjadi doktrin yang diakui

oleh hukum positip. Akan tetapi dalam kenyataannya pemosisian

orang perseorangan dengan latar belakang diri sendiri secara

pribadi dan orang perseorangan dengan latar belakang sebagai

perwakilan badan hukum, baik badan hukum publik maupun korporasi memiliki perbedaan yang cukup dignifikan. Penghayatan

atau sense of belonging orang-orang seperti ini terhadap yayasan

bisa sangat berbeda yang berakibat pada cara padanganya

terhadap status yayasan serta segala kegiatannya.

Page 27: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

54

an awal dan sumber dana, penggunaan keka-

yaan setelah yayasan berdiri, dan sebagainya.

b. Perbedaan Wujud. Wujud nyata dari yayasan

juga berbeda-beda sesuai dengan latar bela-

kang pendirian ataupun sasaran kegiatannya.

Yayasan yang bertujuan sosial dengan kegiat-

an memelihara anak-anak cacat, anak-anak

terlantar, kaum jompo, mengurus kematian,

berbeda dengan yayasan yang menyeleng-

garakan pendidikan atau rumah sakit, dan

berbeda pula dengan yayasan yang didirikan

untuk meningkatkan kesejahteraan karyawan

dalam sebuah instansi.

c. Perbedaan Sumber Kekayaan. Yayasan yang

didirikan dengan kekayaan awal bersumber

dari pemisahan kekayaan pribadi berbeda de-

ngan yayasan yang kekayaan awalnya ber-

sumber dari wakaf. Demikian pula dengan ya-

yasan yang kekayaan awalnya bersumber dari

keuangan negara seperti pada Yayasan Kese-

jahteraan Karyawan Bank Indonesia, yayasan-

yayasan dalam lingkungan Tentara Nasional

Indonesia atau di berbagai BUMN atau BUMD.

Kekayaan awal dari perseorangan atau wa-

kaf adalah kekayaan pribadi yang tak ada

hubungannya dengan publik. Kekayaan awal

yang bersumber dari keuangan negara, ins-

Page 28: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

55

tansi pemerintah, berkaitan dengan publik.

Sudah tentu penggunaan kekayaan yayasan

yang sumbernya dari instansi pemerintah,

tidak tepat kalau hanya dimanfaatkan untuk

menyejahterakan karyawan atau mantan kar-

yawan pada instansi bersangkutan. Uang

negara adalah milik umum. Jika milik umum

dipakai untuk kepentingan sebagian orang,

maka tindakan itu dapat digolongkan sebagai

penyelewengan atas keuangan negara25. Uang

negara yang ada dalam BUMN/BUMD kemu-

dian dipisahkan sebagai modal awal yayasan

tetap merupakan kekayaan negara26.

Perbedaan yang dikemukakan di atas memang

tidak selalu menimbukan masalah apabila diatur

25 Lihat UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Pasal 1 ayat (1), yang menyatakan bahwa keuangan negara adalah semua

hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta

segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang

dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak

dan kewajiban tersebut; jo ayat (10) Pengeluaran negara adalah uang yang keluar dari kas negara; dan jo ayat (17), yang

menyatakan bahwa Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang

perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima

kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun

tahun-tahun anggaran berikutnya.

26 Pasal 2 huruf g UU No. 17 Tahun 2003 menyatakan bahwa “kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh

pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta

hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan

yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah.

Page 29: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

56

berdasarkan kenyataan. Van Apeldoorn27 menya-

takan bahwa:

Hukum objektif mengatur pelbagai hubungan. Peraturan itu adalah baik jika ia cocok dengan

sifat hubungan-hubungan yang diaturnya, sebab peraturan itu harus sesuai dengan apa yang diautur.

Oleh karena itu, isi peraturan-peraturan hu-kum itu bergantung pada hakekat hubungan yang diaturnya. Pengaturan hubungan adalah

pengaturan kepentingan-kepentingan dari yang bersangkutan, karena hubungan hukum

adalah kepentingan-kepentingan yang menda-pat perlindungan. Jadi, isi pengaturan hu-kum bergantung kepada hakekat kepentingan-

kepentingan yang diatur oleh hukum.

Apa yang ditekankan Apeldoorn di atas, tam-

paknya terlewat dari perhatian pembentuk UUY.

Keadaan inilah yang berpotensi menimbukkan

masalah hukum, sebab mengatur hal-hal yang

berbeda secara sama atau menerapkan keten-

tuan hukum yang sama pada hal-hal yang ber-

beda tentu saja tidak adil, bertentangan dengan

27 Konteks uraian Apeldoorn adalah konteks pembagian hukum

dalam golongan besar yaitu menyangkut pembagian isi hukum

publik danhukum privat. Dalam hal ini Apeldoorn menyebutkan

bahwa kepentingan-kepentingan yang diatur oleh hukum terdiri

atas dua, yaitu kepentingan-kepentingan umum atau kepentingan-

kepentingan publik dan kepentingan-kepentingan khusus atau kepentingan-kepentingan perdata. Dalam kedua isi hukum ini

Apeldoorn menekankan tetap terpenuhinya perlindungan atas

kepentingan umum dan kepentingan tiap-tiap pribadi. Van

Apeldoorn, Op.ci., hal 171-182

Page 30: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

57

tujuan hukum (lihat uraian pada Bab II.C.2.

halaman 81-90)

Disadari atau tidak, keadaan tersebut meme-

ngaruhi rumusan ketentuan UUY, dan barang

tentu pada penerapannya di seluruh yayasan.

Apabila hal itu dipaksakan semata-mata karena

sudah menjadi hukum positip, maka upaya

mengembalikan fungsi yayasan sebagaimana

dikehendaki oleh UUY dapat menyimpang, bah-

kan bisa menimbulkan persoalan keadilan dan

kemanfaatan bagi adresat hukum.

Akan terasa tidak adil apabila hak atas keka-

yaan pribadi pendiri yayasan serta merta hilang

hanya dengan hadirnya UUY. Jika yang ber-

sangkutan serta merta menghentikan kegiatan

yayasan karena tidak menerima pengaturan UUY

tentu saja menimbulkan persoalan hukum juga.

Bila kegiatan dimaksud adalah kegiatan pendi-

dikan formal atau rumah sakit yang justru sa-

ngat dibutuhkan oleh masyarakat sudah pasti

persoalannya lebih rumit.

Untuk mengatasi masalah itu, penulis berpen-

dapat bahwa upaya mengembalikan fungsi yaya-

san secara adil sesuai dengan tujuan hukum,

pengaturan yayasan semestinya dilakukan de-

ngan melakukan pemilahan yayasan dan menga-

turnya sesuai dengan klasifikasi atau jenis atau

keadaan yayasan.

Page 31: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

58

B. Keragaman Yayasan dan Pengaturannya

Dengan beragamnya pemahaman yayasan, ter-

utama dalam prakteknya Indonesia, menunjukkan

bahwa pengaturan yang dilakukan dalam UUY tidak

sepenuhnya mengacu pada kondisi nyata. Untuk

itu, jalan pikiran yang dikemukakan oleh Budiono

Kusumohamidjojo sebagaimana terpapar di halaman

65-66 patut diperhitungkan oleh pembuat UU.

Menurut penulis, solusi yang tepat ditempuh ialah

memilah-milah yayasan berdasarkan keadaan nya-

tanya dan membuat peraturan yang sesuai dengan

keadaan tersebut.

1. Pemilahan Yayasan

Yayasan yang ada perlu dipilah berdasarkan

latar belakang dan motivasi pendirian, bentuk-

bentuk kegiatan, sasaran kegiatan yayasan, dan

sumber kekayaan awal yang dipisahkan. Dalam

kaitan ini, gagasan Suharto28 tampaknya dapat

dipertimbangkan. Menurut Suharto, berdasarkan

sumber dananya ada dua golongan yayasan,

yaitu yayasan murni dan yayasan pura-pura atau

kamuflase.

Yayasan murni adalah yayasan yang modal

awalnya bersumber dari orang perseorangan dan

28 Suharto, Membedah Konflik Yayasan, Menuju Konstruksi Hukum Bermartabat, Cakrawala Media, Cet. I, Juni 2009, hal. 125

Page 32: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

59

sumbangan. Yayasan ini benar-benar bersifat ka-

ritatif. Ia didirikan untuk memelihara anak-anak

terlantar, yatim piatu, kaum miskin, mengurus

kematian, atau mengurus kepentingan umum

seperti lingkungan hidup, pengembangan ilmu

pengetahuan, museum, keagamaan, pendidikan,

dan rumah sakit.

Motivasi pendirian yayasan semacam itu mirip

dengan apa yang dilakukan Plato sebagaimana

dijelaskan Anwar Borahima29 bahwa menjelang

kematiannya pada tahun 347 SM, Plato menyum-

bangkan hasil pertanian tanah miliknya untuk

selama-lamanya bagi academia yang didirikan-

nya. Dalam agama Islam, tulis Anwar, motivasi

semacam itu dikenal dengan upaya untuk

mewujudkan amal saleh atau wakaf khaidir.

Wakaf ini diberikan oleh seseorang semata-mata

untuk membantu memenuhi kepentingan umum

seperti membangun masjid, pesantren, kuburan,

sekolah. Dengan motivasi beramal, mereka

menyumbangkan sebagian harta miliknya untuk

kepentingan orang lain secara sukarela (tabarru).

Menurut Rudhi Prasetya30, yayasan murni

masih dapat dibedakan berdasarkan kegiatannya.

29 Anwar Borahima, Op.cit, hal.11-19.

30 Rudhi Prasetya, Yayasan dalam Teori dan Praktik, Sinar Grafika,

Cet. I, April 2012, hal. 62

Page 33: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

60

Ada yayasan yang semata-mata mengumpulkan

dana dari para dermawan kemudian menyalur-

kannya kepada yang memerlukan seperti beasis-

wa bagi kaum miskin, biaya hidup anak-anak

panti asuhan, dan orang terlantar lainnya. Tipe

lainnya, adalah yayasan yang tidak hanya

sebagai penyalur dana, tetapi sebagai penye-

lenggara langsung kegiatan seperti pendidikan,

poliklinik, rumah sakit.

Dalam agama Islam, yayasan tipe terakhir itu,

banyak yang didirikan dengan kekayaan awal

dari wakaf ahli. Selain dimaksudkan untuk mem-

bantu memenuhi kepentingan umum, pendirian

yayasan dimaksudkan untuk menciptakan la-

pangan kerja dan pemenuhan kebuhutuhan

ekonomi keluarga yang berwakaf. Yayasan tipe ini

dipahami sebagai yayasan milik pribadi, milik

keluarga, dan keturunan pewakaf.

Berbeda dengan yayasan murni, yayasan

pura-pura atau kamuflase adalah yayasan yang

didirikan untuk kesejahteraan anggota atau man-

tan anggota pendiri. Contohnya adalah yayasan

yang didirikan instansi Pemerintah, TNI, Bank

Indonesia, Pertamina, Badan Usaha Milik Negara,

Badan Usaha Milik Daerah, yang modal awalnya

bersumber dari uang negara. Motivasi dan tujuan

pendirian dimaksudkan untuk kepentingan

Page 34: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

61

karyawan atau mantan karyawan pada instansi

yang bersangkutan.

Yayasan yang mirip dengan itu ialah yayasan-

yayasan yang didirikan oleh perusahaan swasta.

Kekayaan awal pada yayasan ini dipisahkan dari

kekayaan perusahaan dan dimaksudkan untuk

kesejahteraan karyawan atau mantan karyawan

perusahaan. Bedanya, yayasan ini selain untuk

kepentingan karyawan atau mantan karyawan,

ada di antaranya yang tergolong yayasan murni.

Hal ini didirikan untuk membantu kepentingan

umum, masyarakat miskin, mengembangkan

ilmu, dan melestarikan lingkungan.31

31 Contohnya adalah PT Astra Internasional yang mendirikan

beberapa yayasan sosial. Di antaranya ialah (1) Yayasan Agro

Lestari, yang bergerak di bidang pendidikan di 3 wilayah

operasionalnya yaitu Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi yang

sampai tahun 2012 telah membina 24 sekolah yang terdiri dari 19

Sekolah Dasar (SD), 5 Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan didukung oleh 403 guru; (2) Yayasan Dharma Bhakti Astra, yang

mendampingi sekitar 7.482 UMKM, 432 training mekanik, 11

pendirian LPB, 10 pendirian LPM, 61 UKM Mandiri, dan 244 UKM

subkon Astra di bidang pembinaan manajemen, teknologi, akses

pasar, fasilitas pembiayaan, dan teknologi informasi; Contoh lain adalah PT Unilever yang mendirikan beberapa yayasan sosial

dengan kegiatan promosi kesehatan dan kesejahteraan masyarakat

di sekolah-sekolah dan posyandu, pemberian beasiswa,

pelaksanaan penyuluhan untuk meningkatkan kesadaran

masyarakat tetang bahaya HIV/AID di sekolah-sekolah di beberapa

kota di Jawa Timur dan Bali, Jakarta, dan Medan yang menjangkau ratusan sekolah dan ratusan ribu siswa, program

pemberdayaan masyarakat dalam mengelola sampah menjadi

kompos atau mengolah barang bekas menjadi sumber

pencaharian, dan sebagainya.

Page 35: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

62

2. Materi Pengaturan Undang-Undang Yayasan

Dengan dipilahnya yayasan, maka materi

pengaturan yayasan perlu disesuaikan dengan

keadaan nyata yayasan. Paling sedikit, materi

pengaturan yayasan murni dijabarkan secara

berbeda dengan yayasan kamuflase. Hal ini harus

eksplisit dirumuskan dalam syarat dan prosedur

penyesuaian AD bagi yayasan yang sudah berdiri

sebelum UUY. Bagi yayasan yang serupa, tetapi

berdiri setelah UUY, pengaturannya perlu dibeda-

kan juga. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah

terjadinya ketidak-adilan dalam UUY.

Berdasarkan jalan pikiran tersebut tampak

bahwa konsep yayasan pada Pasal 1, ayat (1)

perlu dijabarkan pengaturannya pada pasal-pasal

berikutnya guna mewadahi keadaan nyata yaya-

san. Pengaturan organ pada yayasan yang didiri-

kan oleh perseorangan dengan sumber kekayaan

pribadi pendiri dan wakaf umpamanya perlu dia-

tur secara berbeda dari yayasan yang didirikan

oleh badan hukum.

Sekedar contoh, pembina pada yayasan yang

didirikan oleh perseorangan haruslah dari pendiri

atau anggota keluarga dan keturunannya, seperti

hanya pada yayasan wakaf. Posisi pengurus dan

pengawas diangkat berdasarkan prosesionalisme

yang ditetapkan dalam AD. Sedangkan untuk

Page 36: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

63

yayasan yang oleh badan hukum, organ yayasan

sepatutnya diangkat dari perseorangan menurut

kriteria badan hukum pendiri yayasan, yang juga

diatur dalam AD yayasan.

Pengaturan yang demikian, terkait dengan

status kekayaan yayasan. Pengaturan yang tam-

paknya patut ialah status kekayaan pendiri tetap

diakui dan dapat diambil kembali manakala

yayasan bubar atau dibubarkan. Tentang baga-

imana pengaturan hak pendiri atas perkembang-

an kekayaan tersebut dalam yayasan perlu diatur

secara proporsional agar kegiatan yayasan dapat

terus berlangsung dan berkembang.

Pengaturan Pasal 9 ayat (1) jo Pasal 5 tentang

kekayaan yayasan tampaknya lebih cocok pada

yayasan di Negara Barat yang mengonsepkan

yayasan melulu bersifat karitatif atau filantropis.

Hal yang demikian tidak mewadahi keadaan

nyata masyarakat. Yang tampak, malahan seba-

liknya, yaitu mengingkari prinsip bahwa hukum

adalah bagian dari budaya atau paling sedikit

apa yang sudah menjadi praktek hidup masyara-

kat Indonesia.

Dengan prinsip tersebut, masyarakat Barat

tidak dapat disamakan dengan masyarakat

Indonesia. Masyarakat Indonesia hidup dengan

budayanya sendiri, berbeda dengan masyarakat

lainnya. Penyangkalan atas prinsip itu sama hal-

Page 37: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

64

nya dengan penyangkalan atas prinsip hukum

yang semestinya lahir dari dan berdasarkan ke-

butuhan masyarakat. Di sisi lain, penyangkalan

tersebut memosisikan UUY lepas dari akarnya,

budaya masyarakat Indonesia.

Menurut Budiono Kusumohamidjojo32 hal

tersebut tidak tepat, sebab aspek-aspek kebuda-

yaan itu jalin-menjalin dan saling memengaruhi

satu dengan lainnya. Jika memusatkan perhatian

pada hukum sebagai salah satu aspek kebuda-

yaan, maka realisasinya berbeda dari satu

masyarakat dengan masyarakat lainnya. Perbeda-

an itu melahirkan perbedaan dalam realisasi

hukum karena apa pun yang ada tidak terjadi

dengan cara dan hasil yang sama. Apa yang

dilarang pada suatu masyarakat, bisa tidak

dilarang pada masyarakat lain, tulis Budiono.

Secara lebih tegas, Theo Huijbers33 menulis:

“Dalam menyelengarakan politik hukum,

pemerintah negara tidak bertolak dari norma-norma keadilan yang abstrak, melainkan dari kepentingan-kepentingan yang ada sangkut

pautnya dengan situasi konkret masyarakat yang bersangkutan. Situasi dan kondisi

masyarakat dunia sangat berbeda, baik secara

32 Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum, Problematik Ketertiban Yang Adil, Mandar Maju Bandung, Cet ke-1 September

2011, hal. 189

33 Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Kanisius Yogakarta, Cet ke-15,

tahun 2012, hal. 116

Page 38: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

65

budaya maupun secara ekonomi. Oleh sebab itu, tiap-tiap negara harus menentukan tuju-annya sendiri, sesuai dengan situasi budaya

dan ekonomi bangsa.”

Mengacu jalan pikiran di atas, maka keten-

tuan UUY mengubah status kekayasaan yayasan

yang bersumber dari kekayaan pribadi dan badan

hukum secara sama tidak relevan karena tidak

sesuai dengan budaya masyarakat Indonesia.

Tentang persyaratan dan prosedur penyesu-

aian anggaran dasar perlu dibedakan antara

yayasan murni dengan yayasan pura-pura atau

yayasan kamuflase. Bagi yayasan murni penga-

turan UUY semestinya dibatasi sebagai alat

kendali pertumbuhan yayasan, mengatur batas-

batas kegiatan yang relevan dan pemanfaatan

kekayaan yayasan secara proposional antara

kepentingan pengembangan yayasan dan hak

pendiri. Itu artinya materi pengaturan kekayaan

yayasan merupakan harmonisasi antara kepen-

tingan pendiri yayasan dan kepentingan umum.

Menurut penulis, pengaturan semacam itu

mampu mewadahi partisipasi masyarakat untuk

merealisasikan tanggung jawab pemerintah ter-

hadap rakyat seperti diamanatkan dalam Pasal

34 ayat (1), (2), dan ayat (3) UUD 1945.34 Tentu

34 Ayat (1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara

oleh negara; ayat (2) Negara mengembangkan sistem jaminan

Page 39: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

66

saja tidak semua yayasan yang didirikan oleh

perseorangan disamaratakan. Oleh karena itu,

materi pengaturan tersebut harus mampu men-

cegah tindakan kejahatan seperti pengalihan

dana hasil pencucian uang ke dalam yayasan.

Persyaratan dan prosedur penyesuaian AD

bagi yayasan pura-pura atau kamuflase, bukan

saja perlu dilaksanakan berdasarkan ketentuan

UUY, keberadaan yayasan seperti ini malahan

harus dievaluasi. Jika masih memilih bentuk

yayasan, maka sasaran kegiatan tidak boleh

dibatasi hanya untuk kepentingan karyawan atau

mantan karyawan saja, tetapi dibuka untuk ke-

pentingan umum. Upaya meningkatkan kesejah-

teraan karyawan atau mantan karyawan tentu

saja dibolehkan, tetapi tidak dengan cara me-

manfaatkan kekayaan negara, melainkan dengan

cara lain yang sah secara hukum. Pengaturan

seperti inilah yang dinilai sesuai dengan cita

hukum nasional.

Tanpa memertimbangkan aspek-aspek terse-

but di atas, disadari atau tidak, upaya menegak-

kan hukum melalui UUY sulit (untuk tidak me-

ngatakan mustahil) dilaksanakan secara konse-

sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang

lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan;

ayat (3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas

pelayanan kesehatan dan dasilitas pelayanan umum yang layak.

Page 40: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

67

kuen berdasarkan cita hukum, baik bagi yayasan

yang telah berdiri sebelum UUY maupun sesu-

dahnya. Pemaksaan penerapan aturan UUY, khu-

susnya ketentuan peralihan secara sama bagi

yayasan, bukan saja tidak menjawab kebutuhan

hukum masyarakat, tetapi eksekusi sanksi bagi

pelanggar ketentuan tersebut menjadi tidak ur-

gen. Upaya UUY mewujudkan keadilan, kemanfa-

atan dan kepastian hukum tidak akan tercapai.

Yang mungkin dapat dicapai terbatas pada pen-

ciptaan kepastian hukum dan ketertiban admi-

nistrasi.

C. Undang-Undang Yayasan Dalam Sistem

Hukum Nasional

Lawrence M. Friedman35 dalam bukunya berjudul

Sistem Hukum, Perspektif Ilmu Sosial terjemahan

dari buku Legal System a Social Science Perspective,

menyatakan bahwa hukum adalah sebuah sistem.

Sebagai sistem, hukum terdiri atas banyak kom-

ponen pembentuknya yang saling berinteraksi dan

secara keseluruhan bermuara pada upaya untuk

mencapai tujuan hukum. Secara garis besar, kom-

ponen sistem hukum terdiri atas komponen struk-

tur hukum, substansi hukum, dan kultur hukum36.

35 M.Friedman, Lawrence, Sistem Hukum, Perspektif Ilmu Sosial,

Nusa Media, Cet. IV, Agustus 2011, hal. 6-18

36 Lihat juga Achmad Ali, Op.cit, hal.204.

Page 41: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

68

Struktur hukum meliputi keseluruhan institusi

hukum yang ada dalam masyarakat. Dalam cara

pandang tertentu sering didefinisikan berdasarkan

profesi para aparat hukum mulai dari para pembuat

hukum seperti legislatif dan anggotanya sampai

pada pelaksana operasional hukum. Dalam cara

pandang lain, didefinisikan sebagai keseluruhan

institusi hukum yang ada, termasuk apa yang

dipraktekkan oleh masyarakat sederhana dalam

menata kehidupan bersama dan menyelesaikan

sengketa. Substansi hukum meliputi berbagai per-

aturan, baik dalam bentuk peraturan per-UU-an,

maupun norma lain yang mengatur pola perilaku

dalam kehidupan bersama. Sedangkan kultur hu-

kum adalah elemen sikap dan nilai sosial yang ada

dalam masyarakat yang tampil dalam bentuk tun-

tutan-tuntuan, opini-opini, pilihan-pilihan mengenai

apa yang dianggap benar dan berguna dalam kehi-

dupan bersama.

Apa dan bagaimana bentuk sistem hukum serta

bagaimana ia bekerja dalam masyarakat sangat

ditentukan oleh interaksi ketiga komponen tersebut.

Ada hubungan timbal balik antara kultur hukum

dengan struktur dan substansi yang kesemuanya

dimaksudkan untuk mewujudkan tujuan hukum.

Bagi Friedman, inti sebuah sistem hukum ter-

letak pada caranya mengubah input menjadi output.

Awalnya mulai dari adanya tuntutan masyarakat

Page 42: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

69

atas sebuah kondisi yang diharapkan, yaitu yang

memberi mereka peluang, bukan saja untuk meme-

nuhi kebutuhan hidup, tetapi agar dalam memenuhi

kebutuhan hidup tersebut akan tercipta suasana

kehidupan bersama yang tertib dan teratur (inputs).

Tuntutan ini kemudian diproses oleh lembaga pem-

buat hukum (misalnya legislatif) sampai terbentuk-

nya norma hukum menjadi peraturan-peraturan,

baik tertulis maupun tak tertulis (output). Peraturan

dimaksud mengikat semua orang, tak terkecuali

pembuat peraturan, dalam kehidupan bersama.

Sejak diterapkan, peraturan tersebut dapat memun-

culkan siklus di atas sampai menghasilkan aturan

baru seiring dengan perkembangan masyarakat.

Munculnya respon, opini, atau tuntutan atas

peraturan hukum yang baru dapat disebabkan oleh

banyak hal. Bisa terkait dengan institusi hukum,

substansi, maupun kultur hukum. Para penegak

hukum yang tidak bekerja sesuai dengan ketentuan

hukum; atau substansi hukum yang tidak sesuai

dengan amanat konstitusi dan/atau nilai-nilai

dalam masyarakat yang tidak terwadahi dalam

ketentuan hukum; atau kultur hukum penegak

hukum yang tidak serasi dengan kultur masyarakat

dapat menimbulkan tuntutan baru atas hukum37.

37 Contoh mutakhir adalah respon masyarakat atas tertangkapnya

Akil Mochtar atas tuduhan korupsi pada Pilkada Kabupaten

Gunung Mas, Kalimantan Tengah, dan dugaan suap sengketa

Page 43: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

70

Apa yang dikemukakan Friedman tampaknya

mirip dengan proses lahirnya UUY. Belum adanya

peraturan yang jelas mengenai keberadaan yayasan

sebelumnya mengakibatkan pertumbuhan yayasan

tak terkendali. Yayasan yang seharusnya hanya

bergerak dalam bidang kegiatan sosial, keagamaan

dan kemanusiaan justru disalahgunakan oleh orang

atau kelompok tertentu untuk tujuan bisnis atau

untuk kepentingan pribadi pendiri dan pengurus.

Keadaan itulah yang mendorong Pemerintah dan

DPR membuat UUY untuk mengatur dan mengen-

dalikan yayasan dengan membuat UUY.

Dibandingkan dengan apa yang digambarkan

Friedman, tuntutan pengaturan yayasan tidak mun-

cul dari anggota masyarakat, melainkan dari peme-

rintah dan legislator (DPR). Chatamarrasjid38 menu-

lis bahwa selama pembahasan rancangan UUY di

DPR, sebagian anggota masyarakat penyelengara ya-

yasan dan organisasi non pemerintah keberatan atas

materi-materi rancangan UUY. Mereka beranggapan

Pilkada Lebak, Banten serta tuduhan Pencucian Uang memicu

terbitnya Perpu No. 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas

UU No. 24 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Konstitusi yang

disahkan dengan UU No 4 Tahun 2004 tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2003 tersebut. Terbitnya UU No. 28 Tahun 2004

Tentang Perubahan UU No. 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan

merupakan contoh belum sesuainya UU No. 16 Tahun 2001

dengan kebutuhan masyarakat dalam mengelola Yayasan.

38 Chatamarrasjid, Op.cit, hal 68.

Page 44: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

71

materi rancangan UUY membuka peluang campur

tangan pemerintah terhadap kehidupan sipil.

Keadaan tersebut menunjukkan bahwa tujuan

pemerintah dan DPR mengatur yayasan belum

selaras dengan harapan masyarakat. Tampaknya

ada perbedaan kebutuhan hukum masyarakat di

satu pihak dan kebutuhan hukum pemerintah serta

DPR pada pihak lain. Pemerintah dan DPR, tampak

lebih menitikberatkan aspek penertiban yayasan

sementara masyarakat lebih menitikberatkan aspek

haknya dalam menyelenggarakan kegiatan yayasan.

Munculnya UU No 28 Tahun 2004 tentang

Perubahan UU No 16 Tahun 2001 tentang Yayasan

sempat memberikan harapan kepada masyarakat.

Rumusan konsideran menimbang a dan b UU No 28

Tahun 2004 seakan-akan memberikan jawaban

terhadap kebutuhan hukum masyarakat seperti

dikemukakan Friedman. Rumusan konsideran a dan

b demikian:

a. bahwa Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan mulai berlaku pada tanggal 6

agustus 2002, namun Undang-undang terse-but dalam perkembangannya belum menam-pung seluruh kebutuhan dan perkembangan

hukum dalam masyarakat, serta terdapat beberapa substansi yang dapat menimbulkan

berbagai penafsiran, maka perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-undang tersebut;

Page 45: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

72

b. bahwa perubahan tersebut dimaksudkan un-tuk lebih menjamin kepastian dan ketertiban hukum, serta memberikan pemahaman yang

benar kepada masyarakat mengenai Yayasan;

Kenyataannya, janji konsideran tersebut tidak

sepenuhnya diaplikasikan dalam materi pengaturan

yayasan. Dari 18 pasal yang diubah, 2 (dua) pasal

yang dihapus, dan 3 (tiga) pasal tambahan tidak ada

pasal yang mengatur pemilahan yayasan dan

mengaturnya berdasarkan klasifikasi itu. Keadaan

ini menunjukkan bahwa UU No 16 Tahun 2001 yang

telah diubah dalam UU No 28 Tahun 2004 belum

merupakan jawaban atas kebutuhan hukum adresat

UUY.

Konsekuensinya ialah menerapkan UUY, dan

secara khusus eksekusi sanksi ketentuan peralihan

bagi yayasan yang telah berdiri sebelum adanya UUY

kehilangan urgensi. Ia tidak mampu menjadi alat

untuk menegakkan hukum yang memberi manfaat

secara adil bagi yayasan.

1. Posisi Undang-Undang Yayasan Dalam hirarki

Peraturan Perundang-undangan

Di setiap negara peraturan hukum atau per-

UU-an memiliki banyak bentuk dan tingkat

cakupannya. Paling tinggi di antaranya ialah

konsititusi negara. Di Indonesia, konstitusi

dimaksud ialah Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia 1945 (UUD 1945). UUD 1945

Page 46: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

73

inilah hukum dasar39 dan menjadi acuan seluruh

peraturan per-UU-an yang ada, maupun yang

akan dibentuk kemudian, baik tertulis maupun

tak tertulis seperti hukum adat40. Salah satu di

antaranya yang tertulis ialah UUY (lihat bagan-1

pada halaman 74).

Peraturan per-UU-an tersebut berada dalam

suatu sistem yang berlapis-lapis dan berjenjang

sekaligus berkelompk-kelompok, mulai dari per-

aturan tertinggi, UUD 1945, sampai pada

peraturan terendah, peraturan daerah41. Semua

peraturan tersebut mengacu pada nilai-nilai yang

sama, nilai-nilai ideal bangsa dan negara

Indonesia yaitu Pancasila. Nilai-nilai itulah yang

merupakan cita hukum, yang menjadi sumber

segala sumber hukum42.

39 Lihat Pasal 3 UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,

40 Bunyi Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa “Negara

mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat

hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih

hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip

Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang” merupakan penegasan hukum atas posisi UUD terhadap

peraturan-peraturan yang ada.

41 Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan.

42 Pasal 2 UU No. 12 Tahun 2011, Ibid.

Page 47: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

74

Bagan-1

Hirarki Peraturan Perundang-Undangan43

Sebagai peraturan tertulis dalam konsep

hirarkis, UUY berada di bawah UUD 1945 dengan

cakupan terbatas pada bidang pengaturan ya-

yasan. Di antaranya ialah mengatur dan mener-

tibkan pendirian, pengorganisasian, dan pelaksa-

naan kegiatan yayasan, tak terkecuali pengatur-

43 Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011, Ibid.

UUD 1945

Kepetapan MPR

UU/PERPU

Peraturan Pemerintah

Peraturan Presiden

Perda Propinsi

Perda Kab/Kot

UU Yayasan

PP No 63 dan PP No 2

Page 48: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

75

an penyesuaian anggaran dasar yayasan dengan

UUY agar diakui sebagai badan hukum.

Peraturan yang mengatur yayasan terdiri atas

dua jenis peraturan dengan jengjang yang ber-

beda, yaitu : pertama UUY, yaitu yang mengatur

hal-hal yang harus ada atau diadakan, yang

harus dilakukan, dapat dilakukan atau dianjur-

kan, serta hal-hal yang tidak boleh dilakukan

atau dilarang dilakukan oleh yayasan; Kedua, PP

yaitu mengatur pelaksanaan segala hal yang

diatur dalam UUY tersebut.

Secara hirarkis, UUY merupakan norma hu-

kum di bawah konstitusi dan dibentuk oleh lem-

baga legislatif (DPR), sedangkan PP merupakan

norma hukum di bawah UU dan dibentuk oleh

Presiden berdasarkan prinsip pendelegasian

kewenangan regulasi atau mengatur (legislative

delegation of rule-making power).

Dalam posisi yang demikian, norma hukum

dan materi ketentuan UUY haruslah bersumber

dan tidak boleh bertentangan dengan konstitusi.

UUY merupakan jabaran norma dan aturan

pokok serta rincian lebih lanjut mengenai norma

hukum yang ada dalam UUD 194544. Selanjut-

nya, Norma hukum dan materi ketentuan PP juga

44 Ni’matul Huda &R. Nazriyah, Teori & Pengujian Peraturan Peundang-Undangan, Nusa Media, Cet. 1, Desmber 2011, hal. 96

Page 49: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

76

harus bersumber dan tidak boleh bertentangan

dengan peraturan UUY serta konstitusi. Apa yang

diatur PP, menurut Ni’matul Huda &R. Nazriyah45

hanyalah berisi ketentuan lebih lanjut (rincian)

dari ketentuan yang terdapat dalam UUY. Prinsip

ini ditegaskan pula dalam Pasal 12 UU No. 12

Tahun 2011, bahwa “Materi muatan Peraturan

Pemerintah berisi materi untuk menjalankan

Undang-Undang sebagaimana mestinya.”

Dalam posisi yang demikian, Ni’matul Huda &

R. Nazriyah46 menambahkan bahwa PP tidak

dapat mengubah, menambah, mengurangi, atau

menyisipi suatu ketentuan atau memodifikasi

materi dan pengertian yang telah ada dalam UU

yang induknya, dalam hal ini.

Dalam kaitan itu, Bagir Manan47 menyatakan,

apabila peraturan yang lebih rendah bertentang-

an dengan peraturan yang lebih tinggi, maka

peraturan yang lebih rendah itu dapat dituntut

45 Ni’matul Huda &R. Nazriyah, ibid, hal. 103

46 Ni’matul Huda & R. Nazriyah, ibid, hal 106.

47 Bagir Manan, Teori dan Politik Konstiusi, FH UII Press, Cet. II,

Juni 2004. Bandingkan juga Maria Farida Indrati S. Ilmu Perundang-undangan 1, Kanisius Yogyakarta, Cet. ke-1, tahun

2007. hal 243-244. Lihat juga Pasal 12 UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang

menyatakan bahwa materi muata Peraturan Pemerintah berisi

materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana

mestinya.

Page 50: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

77

untuk dibatalkan bahkan batal demi hukum (van

rechtswege nietig). Hal serupa berlaku bagi UUY.

Apabila materi PP menyimpang atau bertentang-

an dengan materi UUY, maka materi PP tersebut

tidak memiliki kekuatan hukum untuk melaksa-

nakan aturan UUY bahkan harus dibatalkan

demi hukum. Pandangan ini didasarkan pada

asas lex superior derogat legi inferior.

Berdasarkan struktur dan materi muatan

tampak bahwa keberadaan UUY dalam sistem

dan hirarki hukum (nasional) Indonesia meru-

pakan aktualisasi dari konstitusi Negara (UUD

1945). Nilai-nilai yang ada di dalamnya meru-

pakan implementasi nilai-nilai konstitusi yang

bersumber dari Pancasila sebagai sumber segala

sumber hukum nasional.

Pandangan tersebut bertitik tolak dari paling

sedikit empat argumentasi. Pertama, UUY diben-

tuk berdasarkan perintah konsititusi. Pasal 1

ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa “Negara

Indonesia adalah negara hukum.” Perintah UUD

1945 ini mengandung banyak makna. Satu di

antaranya ialah bahwa setiap kegiatan yang

dilaksanakan dalam kehidupan bersama, terma-

suk oleh orang perseorangan, harus didasarkan

pada ketentuan hukum. Sebagai perintah konsti-

tusi, maka materi pengaturan UUY haruslah

merupakan rincian lebih lanjut dari konstitusi

Page 51: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

78

Negara. Keharusan tersebut diatur dalam Pasal

10 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa,

“Materi yang Harus diatur dengan Undang-Undang berisi: a. pengaturan lebih lanjut

mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”

Kedua, dibentuknya UUY bukan sekedar

memenuhi perintah konstitusi untuk menata

keberadaan yayasan. Yang pokok ialah bahwa

pengaturan tersebut merupakan upaya untuk

menegakkan supremasi hukum yang didasarkan

pada nilai-nilai Pancasila dalam penyelenggaraan

kegiatan yayasan.

Ketiga, dari perspektif kultur hukum, tuntut-

an dibentuknya UUY berawal dari kondisi ketia-

daan aturan hukum yang jelas mengenai yaya-

san. Dalam banyak pasal di berbagai peraturan

per-UU-an istilah yayasan sebagai badan hukum

memang banyak disebut-sebut. Namun, dalam

ketentuan tersebut tidak ada kejelasan mengenai

konsep yayasan, apa status hukumnya, serta

cara-cara pendiriannya48.

48 Sebagai contoh dapat dibaca pada Pasal 365, Pasal 899, 900,

1680 KUHPerdata. Permen No. 01/Per/Menpen/1969 tentang

Pelaksanaan Ketentuan-ketentuan mengenai Perusahaan Pers juga

menyebutkan Yayasan sebagai badan hukum, dan masih banyak lagi. Anwar Borahima, Op.cit, hal 1-2

Page 52: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

79

Di sisi lain, menurut Anwar Borahima49 yang

juga diakui oleh penulis lain tentang yayasan,

peran Yayasan dalam berbagai sektor kehidupan

seperti pendidikan, kegiatan sosial dan keagama-

an, cukup menonjol. Akibatnya, masyarakat

mendirikan dan menyelenggarakan kegiatan ya-

yasan mau tidak mau didasarkan pada kebiasaan

yang dilihat atau didengar atau pada yurispru-

densi Mahkamah Agung RI tentang Yayasan.

Ditinjau dari konsep sistem hukum Friedman,

kondisi tersebut dapat disebut sebagai kultur

hukum masyarakat yang mendorong terciptanya

hukum, dalam hal ini UU No. 16 Tahun 2001.

Setelah diberlakukan beberapa tahun, masyara-

kat ternyata tidak memberi respon sesuai dengan

tujuan pembentukannya. Banyaknya yayasan

yang tidak melakukan penyesuaian AD pada

ketentuan UU No 16 Tahun 2001 memberi sinyal

bahwa UU tersebut belum memenuhi kebutuhan

hukum masyarakat. Keadaan ini kembali mendo-

rong dibentuknya UU No. 28 Tahun 2004.

Kondisi seperti itu merupakan bagian dari

kultur hukum juga. Dalam kerangka berpikir

Friedman, keadaan tersebut merupakan masuk-

an (inputs) untuk menyempurnakan hukum

yayasan (UUY). Apa yang diproses oleh DPR dan

49 Anwar Borahima, Ibid., hal.11-19

Page 53: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

80

pemerintah untuk menerbitkan UU No 28 Tahun

2004 semestinya bertitik tolak dari kondisi yang

ada. Dengan demikian, UU No 28 Tahun 2004

dapat menjadi out put atau produk sistem hukum

nasional yang lebih sempurna di bidang Yayasan.

Keempat, lahirnya reformasi yang ditandai

dengan runtuhnya rezim Suharto pada bulan Mei

1998 dengan semboyan “berantas KKN” (Korupsi-

Kolusi-Nepotisme) turut mendorong lahirnya

refomasi dalam bidang hukum di berbagai aspek,

termasuk yayasan. Adanya tindakan-tindakan

penyalahgunaan bentuk-bentuk yayasan untuk

tujuan-tujuan komersial pada masa pemerin-

tahan Presiden Suharto merupakan faktor pemi-

cu penetapan pengaturan yayasan melalui UUY.

Berdasarkan jalan pikiran di atas, tampak

bahwa posisi UUY dalam sistem hukum nasional

cukup penting. Pembentukannya didasarkan

pada pandangan filosofi, politis, sosial, dan

yuridis yang kuat. Cakupan materinya memang

terbatas, yaitu mencakup keberadaan yayasan,

tetapi nilai yang terkandung di dalamnya turut

menentukan bagaimana memanifestasikan nilai-

nilai dalam norma dasar hukum atau Norma

Fundamental Negara melalui UUY.

Page 54: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

81

2. Tujuan Undang-Undang Yayasan

Tujuan hukum dalam suatu negara didasar-

kan pada nilai (-nilai) filosofi tertentu yang dianut

karena dianggap baik dan dicita-citakan terwujud

melalui berbagai kegiatan penyelenggaraan nega-

ra, salah satu di antaranya tercermin dalam

ketentuan hukum. Nilai filosofi tersebut dikonk-

retkan melalui keseluruhan sistem hukum,

tertulis dan tak tertulis. Dengan demikian, tiap

sistem hukum memiliki tujuan hukumnya sendiri

yang berbeda dari sistem hukum yang lain.

Penganut aliran yuridis dogmatis atau legal

positivism misalnya memosisikan nilai kepastian

hukum sebagai nilai ideal, yang hendak diwujud-

kan dalam segala peraturan hukum. Hukumnya

sendiri didominasi oleh hukum per-UU-an. Yang

terpenting bagi penganut aliran ini adalah adanya

jaminan kepastian hukum dalam masyarakat,

tidak peduli apakah itu adil atau tidak, berman-

faat atau tidak.

Bagi penganut aliran utilitarianisme50, lain

lagi. Tujuan hukum bagi aliran ini adalah terwu-

judnya kemanfaatan dan kebahagiaan sebesar-

besarnya bagi sebanyak mungkin warga masya-

rakat.

50 Achmad Ali, Op. cit, hal. 272.

Page 55: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

82

Hal yang lain lagi, dapat dilihat pada sistem

hukum Timur, salah satunya Jepang51. Bagi

bangsa Jepang, tujuan hukum bukanlah keadil-

an, kemanfaatan, atau kepastian, melainkan

hanyalah “chian hanji” (justice of the peace) atau

keadilan dari perdamaian. Dengan terciptanya

perdamaian, maka dengan sendirinya keadilan

terwujud.

Sistem hukum di Indonesia adalah kombinasi

atau campuran dari banyak sistem (mixed

system)52. Tujuan hukumnya adalah kombinasi

dari banyak nilai yang juga terdapat dalam

banyak sistem hukum. Hal ini diketahui melalui

prinsip-prinsip dan asas-asas hukum di Indone-

sia yang tidak hanya berasaskan keadilan dan

kepastian hukum atau kemanfaatan semata-mata

seperti pernah dianut dalam sistem hukum Barat

klasik dengan teori etis, teori utilitaris, dan teori

legalistiknya53.

51 Achmad Ali, Ibid., hal. 214

52 Achmad Ali menggolongkan sistem hukum atas lima sistem, yaitu: 1. Civil law, yang berlaku di Benua Eropa dan negara-negara

mantan jajahannya; 2. Common Law yang berlaku di Inggris ,

Amerika Serikat, dan negara-negara berbahasa Inggris (Commowealht); 3. Costomory Law yang berlaku di beberapa

negara Afrika, Cina, dan India; 4. Muslim Law yang berlaku di negara-negara Muslim, terutama di Timur Tengah; dan 5. Mixed System, salah satunya di Indonesia yang didalamnya berlaku

sistem hukum perundang-undangan, hukum adat, dan hukum Islam. Achmad Ali, Ibid hal. 203

53 Achmad Ali Ibid, hal. 213

Page 56: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

83

Kombinasi tujuan hukum seperti itu sesuai

dengan ajaran Gustav Radbruch54, yang oleh

para ahli hukum modern diakui dan diterima.

Ajaran ini dilatari oleh kekuatiran Radbruch atas

ajaran hukum murni Hans Kelsen dengan

Grundnorm-nya dan rasa traumanya atas keke-

jian Nazi yang memobilisasi tata hukum positif

untuk melegalkan genosida ras Yahudi55. Untuk

mencegah berlanjutnya keadaan itu, Radbruch

menggagas kembali nilai keadilan sebagai mah-

kota tata hukum. Esensi hukum menurutnya

haruslah terarah pada rechtsidee yaitu keadilan.

Dengan mengikuti ajaran Aristotles, Radbruch

menggambarkan keadilan yang hendak diwujud-

kan itu dengan pernyataan ‘yang sama diperlaku-

kan sama, dan yang tidak sama diperlakukan

tidak sama’.

Dalam pandangan Radbruch56 ada tiga unsur

hukum yang dimaknai sebagai tujuan hukum,

yaitu keadilan, finalitas (kemanfaatan), dan ke-

pastian (legalitas). Dikataknnya, bahwa:

54 Achmad Ali Ibid, hal 288-298

55 Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y Hage, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta

Publishing, Yogyakarta, Cet. III., April 2010, hal. 128-129

56 Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, Ibid.,

hal. 130

Page 57: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

84

“Aspek keadilan menunjuk kesamaan hak di depan hukum. Aspek finalitas menunjuk pada tujuan keadilan, yaitu mamajukan

kebaikan dalam hidup manusia. Aspek ini menentukan isi hukum. Sedangkan aspek kepastian menunjuk pada adanya jaminan

bahwa hukum (yang berisi keadilan dan norma-norma yang menunjukan kebaikan)

benar-benar berfungsi sebagai peraturan yang ditaati. Dapat dikatakan, dua aspek yang di-sebut pertama merupakan kerangka ideal dari

hukum. Sedangkan aspek ketiga (kepastian) merupakan kerangka operasional hukum”

Pada awalnya, Radbruch meyakini bahwa

ketiga unsur tersebut merupakan tujuan hukum

yang dapat diwujudkan secara bersama-sama da-

lam berbagai masalah hukum. Namun, pandang-

an ini dikoreksinya sendiri. Berdasarkan kenya-

taan yang sering dialami, ia sadar bahwa hal

tersebut mustahil diwujudkan secara seimbang.

Dalam sistem hukum apa pun ketiga unsur nilai

tersebut cenderung berbenturan. Benturan yang

muncul kerap terjadi antara keadilan dan

finalitas (kemanfaatan) atau antara finalitas dan

legalitas. Hal ini sering tampak ketika seorang

hakim memutuskan hukuman bagi seorang

terdakwa. Menurut keadilan formal yang difahami

dan diyakini hakim, putusan yang diambil adalah

adil, namun putusan itu justru tidak memberi

bermanfaat bagi masyarakat umum. Sebaliknya,

ketika putusan dinilai bermanfaat kepada

Page 58: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

85

masyarakat, kenyataannya justru menggerogoti

keadilan bagi individu.

Untuk mengatasi benturan, Radbruch mem-

berikan solusi berupa penerapan hukum dalam

dua model, yaitu penerapan hukum dengan

model prioritas baku atau prioritas kasuistik.

Prioritas baku, yaitu ditentukannya pilihan

prioritas manakala terjadi benturan antara

keadilan dan finalitas atau kepastian dalam

mengadili masalah hukum. Dalam prioritas baku

ini aspek keadilan merupakan prioritas utama,

sedangkan aspek finalitas dan legalitas merupa-

kan prioritas berikutnya.

Seiring dengan makin kompleksnya perkem-

bangan masyarakat, pendekatan prioritas baku

ternyata kerap tidak memenuhi kebutuhan

hukum masyarakat. Oleh karena itu, Radbruch

menawarkan model kedua, yaitu Prioritas

kasuistik. Penyelesaian masalah hukum dalam

model ini dilakukan dengan pendekatan kasus

per kasus. Untuk kasus-kasus tertentu mungkin

aspek kemanfaatan dijadikan prioritas utama

sementara aspek keadilan dan kepastian hukum

menjadi prioritas berikutnya. Untuk kasus lain

mungkin lebih memerlukan aspek keadilan ke-

timbang kemanfaatan dan kepastian hukum, ma-

ka prioritasnya diletakkan pada aspek keadilan

Page 59: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

86

disusul kemanfaatan, baru kepastian, demikian

seterusnya.

Jalan pikiran terakhir, nampaknya lebih dapat

diterima. Sebab dalam kenyataannya sistem hu-

kum memang beragam. Hukum pun memiliki ba-

nyak bidang, dan setiap bidang memiliki tujuan

masing-masing secara spesifik. Hukum pidana

dan hukum privat memiliki tujuannya masing-

masing. Demikian pula hukum formal dan hu-

kum materil memiliki tujuan yang spresifik.

Tampaknya spesifikasi seperti itulah yang

dimaksudkan oleh Friedman dengan istilah

alokasi nilai-nilai dalam hukum. Sesuai dengan

kasus yang dihadapi perlu dialokasikan nilai apa

yang tepat dan mendatangkan kebaikan bagi

masyarakat. Peter Mahmud menyebutnya “damai

sejahtera”.57 Kedamaian atau damai sejahtera itu

57 Dalam hal ini hukum ditempatkan sebagai bagian yang

terintegrasi dengan kenyataan hidup bersama manusia dalam

masyarakat. Dalam keadaan nyata, manusia selalu memiliki

perbedaan dalam banyak hal, tak terkecuali kebutuhan dan cita-cita hidupnya. Perbedaan-perbedaan itu dikelola secara harmonis

seperti dalam sebuah paduan suara. Dengan begitu setiap orang

dalam kehidupan bersama berkesempatan mengekspresikan diri

dan memenuhi kebutuhannya secara optimal dalam suasana

harmonis dengan sesamanya. Hal-hal inilah yang diatur dan

dilindungi oleh hukum, bukan untuk mewujudkan ketertiban tetapi keadaan damai sejahtera. Sebab ketertiban bolehjadi ada

penindasan, kesenjangan, dan pengekangan perbedaan pendapat,

sedangkan dalam keadaan damai sejahtera hal itu dikelola untuk mencapai kualitas kehidupan. Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Cet ke-4 Agustus 2012, hal. 128-136

Page 60: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

87

nampaknya melebihi nilai keadilan, kemanfaatan,

atau kepastian hukum semata. Dalam damai

sejahtera itu terkandung keadilan, kemanfaatan,

dan kepastian hukum. Peter Mahmud menyata-

kan bahwa dalam masyarakat yang damai sejah-

tera, memang terdapat kelimpahan, tetapi yang

kuat tidak menindas yang lemah sehingga setiap

orang mendapatkan haknya melalui perlindungan

hukum.

Berdasarkan pemahaman tersebut tampak

bahwa penggunaan ajaran Radbruch dalam

mengalisis tujuan hukum di Indonesia, khusus-

nya dalam penerapan UUY, dan lebih khusus lagi

tentang eksekusi ketentuan peralihan UUY ter-

hadap yayasan tampaknya sesuai dengan cita-

cita hukum nasional dalam arti bahwa urutan

prioritas dimaksud tidak bersifat kaku seperti

teknik atau ilmu pasti. Dengan kata lain, pene-

rapan urutan prioritas yang digagas Radbruch

harus selalu ditempatkan dalam bentuk harmoni-

sasi antara ketiganya. Bahwa prioritas pertama

diletakkan pada aspek keadilan tidak berarti

aspek kemanfaatan dan kepastian ditinggalkan

sama sekali.

Aspek kemanfaatan dan kepastian hukum

tetap harus diupayakan secara harmonis dengan

keadilan guna mewujudkan keadaan damai

sejahtera sebagaimana dikemukakan Peter

Page 61: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

88

Mahmud. Sikap ini bertitik tolak pada pendirian

bahwa tujuan hukum pada akhirnya bukanlah

pencapaian keadilan semata-mata, tetapi pengu-

payaan perwujudan kedamaian, kebahagiaan,

dan kesejahteraan dalam kehidupan bersama.

Hal inilah yang menurut penulis sesuai dengan

norma dasar atau norma fundamental negara

yang dicita-citakankan oleh masyarakat Indone-

sia sebagaimana tercermin dalam Pancasila.

Pandangan tersebut tampaknya sejalan

dengan gagasan Notohamidjojo58 tentang mema-

nusiakan manusia dalam penyelenggaraan nega-

ra. Menurutnya, dalam menyelenggarakan negara

berdasarkan Pancasila, negara memiliki tang-

gungjawab untuk memosisikan manusia sebagai

objek, subyek, dan relasi. Sebagai objek, manusia

merupakan sebuah sosok yang secara fisik dapat

dilihat, dapat dicandra, dan dapat didetermina-

sikan dan diatur. Sebagai subyek, manusia itu

adalah “aku” yang hidup di dunia nyata. Oleh

sebab itu ia tidak hanya ditentukan, melainkan

juga menentukan, memilih dan menentukan

pilihan secara bebas karena ia bukan mesin

tetapi pribadi yang tidak dapat dideterminasikan.

Menurut Notohamidjojo, keadaan tersebut be-

lum cukup. Manusia Indonesia juga merupakan

58 Tri Budiono (editor), O. Notohamidjojo, Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum, Griya Media, Cet. I, November 2011, hal 55-62.

Page 62: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

89

sesuatu yang berada dalam relasi dengan kenya-

taan, yaitu berada dalam relasi dengan sesama

manusia dan alam. Dengan demikian, manusia

Indonesia itu bukanlah manusia dalam kebebas-

an saja, melainkan kebebasan dan keterikatan

atau kebebasan dalam tanggung jawab. Inilah

alasan mengapa negara membuat hukum, UU,

mengadili pelanggaran, mengawasi ketaatan indi-

vidu terhadap hukum, dan mengambil tindakan

untuk melayani kesejahteraan umum atau inisi-

atif sendiri yang bebas.

Dalam kaitannya dengan UUY, tujuan hukum

di atas merupakan acuan yang menjiwai penga-

turan yayasan. Materi pengaturan dan pelaksa-

naannya diwarnai oleh cita hukum nasional

dengan pendekatan ajaran Radbruch. dpa yang

hendak diwujudkan, merupakan bagian yang tak

terpisahkan dari tujuan hukum nasional, yaitu

yang mendatangkan damai sejahtera sehingga

manusia dalam yayasan merasa diri benar-benar

dimanusiakan. Anggapan ini bertitik tolak dari

prinsip bahwa ketentuan-ketentuan yang ada

dalam UUY memenuhi paling sedikit tiga syarat

berikut:

a. Yayasan yang ada di Indonesia dipahami

sebagai lembaga yang tumbuh berdasarkan

kondisi nyata masyarakat Indonesia.

Page 63: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

90

b. Ketentuan-ketentuan yang ada dalam UUY

mampu menjawab kebutuhan yayasan

berdasarkan kondisi nyata masayrakat.

c. Bekerjanya hukum melalui UUY tidak semata-

mata didasarkan pada sifat UUY sebagai

hukum positif yang harus diterapkan, tetapi

karena UUY menjamin terciptanya keadaan

damai sejahtera bagi yayasan.

Apabila tiga syarat di atas terpenuhi dapat

dipastikan bahwa ketaatan yayasan terahadap

UUY tidak lagi didasarkan pada rasa takut pada

sanksi, melainkan didasarkan pada kesadaran

adanya nilai keadilan, kemanfaatan dan kepas-

tian hukum yang mendatangkan keadaan damai

sejahtera itu dalam melaksanakan dan mengem-

bangkan kegiatan yayasan. Apa dan bagaimana

keadaan yang sesungguhnya dapat dicermati

melalui uraian berikut.

3. Konsistensi Tujuan Hukum Dalam UU Yayasan

Salah satu prinsip dalam pembentukan UU

adalah asas kejelasan tujuan59, yaitu setiap pem-

bentukan peraturan per-UU-an harus memunyai

tujuan yang jelas yang hendak dicapai. Hal ini

dimaksudkan agar rumusan-rumusan norma

59 Pasal 5 huruf a UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan

Peraturan Perundang_undangan.

Page 64: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

91

hukum dalam peraturan per-UU-an dapat dipa-

hami dan dilaksanakan persis seperti yang di-

maksudkan oleh pembuat UU.

Tujuan tersebut biasanya tercermin pada

konsideran60 sebagai jawaban atas pertanyaan

mengapa sebuah UU perlu dibuat. Secara tersi-

rat, ia merefleksikan lima landasan ideal pembu-

atan sebuah UU, yaitu landasan filosofi, sosiolo-

gis, politis, yuridis, dan landasan adminis-trastif.

Dalam sebuah UU yang baik, empat yang disebut

pertama (landasan filosofi, sosiologis, politis, dan

yuridis) merupakan landasan mutlak ada dan

dikemukakan secara eksplisit. Landasan yang

disebut terakhir (landasan administrasi) bersifat

fakultatif. Keempat landasan itulah yang kemu-

dian dijabarkan secara operasional menjadi per-

aturan dalam pasal-pasal UU.

Jimly Asshiddiqie61 menyatakan bahwa lan-

dasan filosofis merupakan landasan norma hu-

kum yang merupakan cita-cita luhur yang

diidealkan dalam kehidupan bermasyarakat dan

bernegara. Beliau menyebutnya sebagai cermin

cita-cita kolektif masyarakat tentang nilai-nilai

luhur dan filosofis yang hendak diwujudkan da-

60 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Rajawali Pers, Cet

ke-2 September 2011, hal 117

61 Jimly Asshiddiqie, Ibid., hal 117-118

Page 65: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

92

lam kehidupan sehari-hari melalui pelaksanaan

UU.

Landasan sosiologis merupakan cerminan ten-

tang tuntutan kebutuhan nyata dalam masyara-

kat akan norma hukum yang sesuai dengan

kebutuhan nyata tersebut. Landasan politis

mencerminkan rujukan konstitusi sebagai sum-

ber kebijakan pokok atau sumber politik hukum

yang melandasi pembentukan UU. Di sini UU

dipandang sebagai media untuk menyalurkan

kebijakan operasional yang bersumber dari ide-

ide, cita-cita, dan kebijakan politik yang terkan-

dung dalam konstitusi. Sedangkan landasan

yuridis adalah konstitusi, UUD 1945, hukum

dasar, yang dijadikan rujukan UU yang dibentuk

tersebut.

Menurut teori pembentukan undang-undang,

landasan filosofi, sosiologis, dan politis perlu

dinyatakan secara eksplisit dalam konsideran

menimbang. Fungsinya ialah sebagai jawaban

dasar atas pertanyaan mengapa sebuah UU perlu

dibentuk sekaligus menjadi patokan dasar dalam

perumusan ketentuan atau peraturan yang ada

pada pasal demi pasal. Dalam kenyataannya,

UUY tidak begitu. Dasar pertimbangan UUY

melulu aspek politis, sosial, dan yuridis sebaga-

imana terpapar di bawah.

Page 66: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

93

“a. bahwa pendirian yayasan di Indonesia selama ini dilakukan berdasarkan kebiasaan dalam masyarakat, karena belum ada peratur-

an perundang-undangan yang mengatur ten-tang yayasan; b. Bahwa yayasan di Indonesia telah berkembang dengan berbagai kegiatan,

maksud, dan tujuan; c. Bahwa berdasarkan perimbangan sebagaimana dimaksud dalam

huruf a dan b, serta untuk menjamin kepas-tian dan ketertiban hukum agar yayasan berfungsi sesuai dengan maksud dan tujuan-

nya berdasarkan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas kepada masyarakat, perlu mem-

bentuk undang-undang tentang yayasan.”

Bila dicermati, konsideran di atas cenderung

hanya memberi jawaban politis, sosial, dan yuri-

dis atas pertanyaan mengapa UUY perlu diben-

tuk. Hal ini dapat dijelaskan pada telaah rumus-

an-rumusan konsideran UU No. 16 Tahun 2001

berikut.

Pertama, pembentukan yayasan menurut

konsideran a didasarkan pada dua pertimbangan

(1) yayasan-yayasan yang didirikan sebelumnya

hanya didasarkan pada kebiasaan; (2) belum ada

peraturan per-UU-an. Kedua alasan ini mengarah

pada pengambilan kebijakan. Dalam ilmu per-

UU-an alasan semacam itu disebut alasan politis.

Kedua, alasan pada konsideran b ialah bah-

wa yayasan di Indonesia telah berkembang pesat

dengan berbagai kegiatan, maksud, dan tujuan.

Page 67: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

94

Asumsi di belakang alasan ini adalah kegiatan

yang dilakukan yayasan yang didasarkan pada

kebiasaan itu banyak yang menyimpang. Untuk

mencegah hal itu di masa yang akan datang

maka perlu dibuat UUY. Alasan dibuatnya UUY

untuk mengendalikan pertumbuhan yayasan

merupakan alasan politis.

Ketiga, alasan pada konsideran c, ialah selain

a dan b, juga menjamin kepastian dan ketertiban

hukum agar yayasan berfungsi sesuai dengan

maksud dan tujuannya berdasarkan prinsip ke-

terbukaan dan akuntabilitas, maka alasan pem-

bentukan UUY dianggap cukup. Untuk melengka-

pi konsideran a dan b, alasan bagian c merupa-

kan penegasan alasan yuridis.

Dengan tidak dicantumkannya landasan filo-

sofi, secara teoritis menunjukkan ketiadaan kon-

sistensi pembuat UUY dalam menegakkan supre-

masi hukum yang didasarkan pada norma

fundamental negara, Pancasila. Hal ini tercermin

pada pasal-pasal dalam UUY, antara lain dapat

diketahui dengan tidak adanya penggolong-go-

longan yayasan berdasarkan latar belakang dan

motivasi pendirian, bentuk, dan sasaran kegiat-

an.

Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa UUY

belum mampu memosisikan diri sebagai salah

Page 68: Bab II Kerangka Teori - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8389/3/T2_322011001_BAB II.pdf · Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29 A.

95

satu wadah untuk mewujudkan tujuan hukum

berdasarkan amanat konstitusi dan filosofi bang-

sa. Apa yang ditonjolkan dalam UUY terbatas

pada aspek ketertiban dan kepastian hukum.

Konsekuensinya ialah yayasan yang tidak meme-

nuhi ketentuan-ketentuan UUY, termasuk keten-

tuan peralihan pada Pasal 71, dapat saja dibe-

rikan sanksi berdasarkan ketentuan Pasal 71

ayat (4), tetapi sanksi tersebut cenderung hanya

menghasilkan nilai ketertiban dan kepastian

hukum. Nilai keadilan dan kemanfaatan atau

keadaan damai sejahtera sebagai tujuan hukum

yang sesungguhnya malahan terabaikan. Pembe-

rian sanksi seperti itu mengarah pada penger-

dilan makna penegakan hukum menjadi sekedar

penegakan undang-undang. Hal ini, tentu tidak

dapat dibenarkan dalam hukum Indonesia,

karena tindakan itu memosisikan masyarakat

sebagai sekedar objek hukum.

Hal tersebut akan memengaruhi keseluruhan

ketentuan dalam UUY. Jika dikaitkan dengan

eksekusi ketentuan peralihan bagi yayasan yang

telah berdiri sebelum UUY, maka eksekusi

tersebut tidak memiliki urgensi sebagai upaya

mencapai tujuan hukum dalam UUY. Eksekusi

secara paksa tanpa melihat yayasan kasus

perkasus, akan mencederai cita hukum nasional.