Ekonomi RI Dinilai Kuat EFEK FED FUND...

1

Transcript of Ekonomi RI Dinilai Kuat EFEK FED FUND...

Page 1: Ekonomi RI Dinilai Kuat EFEK FED FUND RATEbigcms.bisnis.com/file-data/1/1692/1c216118_DPLKAIAFinancial.pdf · ekonomi saat ini. ... global hanya masalah rumor saja,” ujarnya di

5E K O N O M I G L O B A LSelasa, 31 Mei 2016

INDUSTRI PENERBANGAN

AirAsia DivestasiBisnis Leasing

PEREKONOMIAN JEPANG

Kenaikan Pajak Penjualan Ditunda

EFEK FED FUND RATE

Ekonomi RI Dinilai Kuat

KUALA LUMPUR — Maskapai berbiaya hemat terbesar di Asia, AirAsia berencana melakukan divestasi usaha leasing pesawat Aviation Capital Asia Ltd.

CEO AirAsia Bhd Tony Fernandes menga-takan pihaknya telah menerima tawaran sebesar US$1 miliar untuk melepas bisnis leasing pesawat yang dimilikinya.

“AirAsia bermaksud melakukan dives-tasi Aviation Capital Asia Ltd. Namun hal ini perlu dibahas lebih lanjut dengan para pemangku kepentingan lain di per-usahaan,” ungkapnya di Kuala Lumpur, Senin (30/5).

Bisnis pembiayaan pesawat, menurut Fernandez, merupakan salah satu bisnis yang memberikan kontribusi signifikan bagi AirAsia Bhd. Dia bahkan menyebut bisnis tersebut sebagai sumber kas yang luar biasa.

Pada Oktober 2015, AirAsia dilaporkan telah melakukan serangkaian pembicaraan dengan perusahaan leasing asal China, termasuk perusahaan-perusa-haan raksasa, untuk membahas menge-nai rencana pelepasan saham milik AirAsia di perusahaan leasingnya.

Seperti diketahui, perusaha-an leasing asal China tengah agresif mengembangkan usaha mereka di bidang pembiayaan pembelian pesawat

terbang. Sejauh ini perusahaan-perusa-haan asal Negeri Tembok Raksasa itu membiayai 40% pembelian pesawat terbang secara global.

AirAsia dilaporkan sangat membuka diri bagi investor luar untuk melakukan investasi bersama di bidang leasing pesawat terbang tersebut. Saham AirAsia naik 0,4% menjadi 2,41 Ringgit Malaysia yang merupakan level penutupan ter-tinggi sejak 6 Maret 2015.

Nilai saham maskapai tersebut men-guat 4,2% pada awal perdagangan. Saham AirAsia meningkat 87% pada tahun ini, sehingga membantu pening-katan saham maskapai tersebut.

“Sangat menarik ketika kami belum juga ke pasar dan seseorang malah men-datangi kami untuk kepentingan terse-but. Penyebabnya tentu saja kami memi-liki aset yang sangat berharga yakni A320 dan sangat tinggi permintaannya,” ujar Fernandez.

“AirAsia tidak perlu menjual leasing-nya sekarang karena neraca keuangannya sangat baik dan mereka akan mendapatkan dana tunai dari para pemegang saham,” Mohshin Aziz, analis Malayan Banking Bhd. Di Kuala Lumpur. (Reuters/Bloomberg/

M.G. Noviarizal Fernandez/Lutfi Zaenudin)

TOKYO — Pemerintah Jepang beren-cana untuk menunda kenaikan pajak penjualan dari 8% menjadi 10% yang sedianya akan dilakukan pada April 2016 menjadi Oktober 2019.

Salah satu pejabat pemerintah Jepang mengatakan, penundaan kenaikan pajak itu akan diambil Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe, guna merespon kondisi ekonomi saat ini. Kebijakan itu juga bisa menjadi amunisi untuk kepentingan pemilu yang akan datang.

Sementara itu, Menteri Keuangan Taro Aso dan Sekjen Partai Demokrat Liberal Jepang Sadakazu Tanigaki juga menyebutkan, Abe berperluang meng-umukan kebijakan penundaan tersebut saat bertemuan dengan parlemen Jepang pada Selasa (31/5).

Seperti diketahui, Abe juga menjajikan untuk mengumumkan langkah-langkah terbaru guna memacu pertumbuh-an ekonomi dalam pertemuan dengan parlemen tersebut. Salah satu langkahnya adalah dengan mempromosikan reformasi struktural dan menyapkan anggaran tam-bahan guna menerbitkan stimulus lanjutan.

“Ada risiko ekonomi global akan jatuh dalam krisis jka respon kebijakan yang tepat tidak dilakukan pada waktu yang tepat juga. Kita harus menyalakan kembali mesin ekonomi Abenomics secara lebih kuat,”kata Abe dalam pertemuan G7 pekan lalu.

Dalam pertemuan itu, Abe juga menjanjikan akan memobilisasi semua instrumen yang ada untuk mendorong perekonomian nasional, termasuk mendunda kenaikan pajak penjualan. Kebijakan kenaikan pajak penjualan merupakan salah satu langkah pemerin-tah untuk menahan tingkat utang nasio-nal agar tak terlalu tinggi.

Namun, kebijakan kenaikan pajak penjualan ini juga berpotensi membawa

dampak negatif. Pasalnya berkaca pada pengalaman sebelumnya, Jepang telah jatuh ke dalam resesi setelah Abe menaikkan pajak penjualan dari 5% pada April 2014.

“Menunda kenaikan pajak adalah kebijakan tepat guna menguangi efek negatif dari ekonomi Jepang saat ini,” kata Norio Miyagawa, ekonom senior Mizuho Securities.

Ekonomi Jepang saat ini memang masih belum keluar dari ancaman resesi. Tanda-tanda tersebut salah satunya tampak dari data terbaru dari Kementerian Keuangan Jepang. Otoritas tersebut mengatakan, nilai ekspor Jepang kembali jatuh untuk tujuh bulan berturut-turut pada April 2016, akibat masih menguatnya nilai tukar yen terhadap dolar AS.

Ekspor ke luar negeri pada bulan lalu dilaporkan melorot hingga 10,1% dibandingkan dengan realisasi pada periode yang sama pada tahun lalu. Sementara itu, impor pada bulan yang sama, anjlok 23,3% dibandingkan dengan April 2015.

Catatan tersebut membuat surplus per-dagangan Negeri Sakura kembali naik menjadi 823,5 miliar yen, atau tertinggi sejak Maret 2010. Sejumlah ekonom menyebutkan, data perdagangan yang negatif tersebut paling besar disumbang oleh masih kuatnya nilai tukar yen ter-hadap dolar AS.

Meskipun mengalami penurunan dari level tertingginya selama 18 bulan terakhir hingga awal Mei, mata uang Jepang ini tercatat masih perkasa. Yen tercatat masih menguat 9% terhadap dolar AS selama 2016.

Situasi ini membuat barang-barang hasil produksi Jepang makin kesulitan menembus pasar internasional, terutama di negara berkembang. Akibatnya, pen-dapatan perusahaan eksportir menjadi terus tereduksi. (Reuters/Yustinus Andri)

Veronika Yasinta & Eka Chandra Septarini [email protected]

Gubernur Bank Indonesia Agus DW Martowardojo mengata-kan perkembangan inflasi relatif terjaga dalam level rendah yang sesuai target tahunan BI di koridor 4% +/- 1%. Sepanjang Januari-April 2016, inflasi cenderung rendah bahkan April 2016 meng-alami deflasi 0,45%.

Selanjutnya, defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) juga menun-jukkan tren yang positif. Defisit transaksi berjalan pada kuartal I/2016 tercatat US$4,668 miliar atau 2,14% terhadap PDB atau menurun dari kuartal sebelum-nya yang berada di level US$5,1 miliar atau 2,37% terhadap PDB. Penurunan itu disebabkan mening-katnya surplus neraca perdagang-an karena impor yang menurun.

“Pemerintah juga yang sangat berkomitmen untuk melakukan reformasi struktural yang membuat iklim investasi pada semester kedua akan lebih baik,” katanya seusai Peluncuran Buku Kajian Stabilitas Keuangan, di Jakarta,

Senin (30/5).BI menyatakan bakal terus meng-

awasi kemungkinan keluarnya dana asing. Transaksi berjalan yang de fisit dibiayai oleh dana dari luar negeri sehingga ketika bank sentral Amerika Serikat menaikkan suku bunga acuannya akan berdampak ke sistem keu-angan di dalam negeri.

Gubernur BI itu memperkirakan fluktuasi kurs rupiah pada kuartal II/2016 yang melemah kembali menguat pada kuartal III/2016 setelah efek pembayaran kewajib-an luar negeri dan dividen oleh korporasi sudah mereda. “Kami harapkan ini bisa kita hadapi dan memasuki kuartal ketiga ini sudah jauh lebih tenang,” ujarnya.

Keyakinan yang sama dilontar-kan Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro. Pelemahan rupiah dalam dua pekan tera-khir, ujarnya, hanya berlangsung sementara dan tidak berkaitan dengan fundamental ekonomi

dalam negeri. “Ini kan gejolak global hanya masalah rumor saja,” ujarnya di Kompleks Istana Kepresidenan, Senin (30/5).

Dia menambahkan, depresiasi nilai tukar yang dialami oleh Indonesia masih tidak separah negara-negara di kawasan. Menkeu mengaku pemerintah tidak mempersiapkan langkah-langkah secara khusus untuk mengantisi-pasi pelemahan ini. “Yang penting jaga fundamental saja.”

Ekonom Universitas Paramadina Firmanzah mengatakan BI harus menjaga stabilitas sistem keuangan sehingga dana asing tidak keluar. Dana asing yang keluar secara cepat dan banyak akan memberi-kan tekanan yang signifikan pada pelemahan nilai tukar rupiah ter-hadap dolar AS.

BI juga harus memperhitungkan potensi dana asing yang bakal cabut dari dalam negeri jika FFR naik agar bisa mengambil langkah kebijakan yang akan mendorong rupiah tidak goyang diterpa reversal dana asing.

Sementara itu, pasar global juga dinilai cukup siap mengha-dapi kemungkinan kenaikan suku bunga acuan Amerika Serikat pada pertengahan tahun ini. “Saya rasa pasar siap untuk menghadapi kemungkinan kenaikan tarif secara global, dan itu hal ini tidak terlalu mengejutkan mengingat penaik-an yang kami lakukan Desember tahun lalu,” ujar Presiden Federal Reserve St James Bullard sela-sela kunjungan ke Seoul, Senin (30/5).

Bullard optimistis bahwa ren-cana penaikan pada Juli ini akan berjalan dengan baik dan lancar. Dia menambahkan bahwa PDB

AS nampaknya akan mengalami rebound pada kuartal kedua tahun ini dan akan menjadi landasan argumentasinya untuk menaikan suku bunga acuan dalam pertemu-an The Fed.

Pendapat Bullard diperkuat oleh revisi data ekonomi AS pada akhir pekan lalu yang menunjukkan pertumbuhan kuartal pertama di AS tidak selemah seperti yang diperkirakan sebelumnya.

STABILITAS KEUANGANMengenai stabilitas sistem keu-

angan (SSK) di Indonesia, Deputi Gubernur BI Erwin Rijanto menga-takan hingga kuartal I/2016 stabili-tas membaik karena meningkatnya permodalan dan likuiditas per-bankan sejalan dengan perlambat-an kredit perbankan. Perlambatan kredit itu juga diikuti dengan terus meningkatnya risiko kredit.

Rasio kecukupan modal di per-bankan meningkat per Maret 2016 sebesar 21,8%, sedangkan kuartal sebelumnya pada posisi 21,2%. “Kami sadar terdapatnya downside risk karena pertumbuh-an global belum solid, terbatasnya ruang fiskal, dan menurunnya intermediasi keuangan dan pasar yang lebih dalam,” katanya.

Dalam catatan Bank Indonesia, stabilitas sistem keuangan hingga triwulan I/2016 membaik yang disebabkan oleh meningkatnya permodalan serta likuiditas per-bankan sejalan dengan perlambat-an kredit yang dialami perbank-an. Tercatat, nilai capital adequacy ratio perbankan meningkat dari 21,2% pada Desember 2015 men-jadi 21,8% pada Maret 2016. (M.G.

Noviarizal Fernandez/Arys Aditya)

JAKARTA — Perekonomian Indonesia diyakini cukup kuat menahan gelombang yang digerakkan kenaikan Fed Fund Rate yang diprediksi diambil

pada Juni atau Juli tahun ini. Pergerakan sejumlah indikator ekonomi makro yang relatif terkendali

mendorong keyakinan tersebut.

Rupiah diprediksi kembali menguat sete-lah efek pembayaran dan dividen mereda.

Ketua DPD Irman Gusman (tengah) didampingi Wakil Ketua DPD GKR Hemas (kanan) menerima kunjungan Deputi Perdana Menteri Belarusia Vladimir Semashko (kiri) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin

(30/5). Kunjungannya tersebut untuk membahas peningkatan kerja sama dalam bidang pembangunan ekonomi.

Antara/Sigid Kurniawan

TINGKATKAN KERJA SAMA

djoko
Typewriter
Bisnis Indonesia, 31 Mei 2016