eklmpsia

download eklmpsia

of 40

Transcript of eklmpsia

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sepuluh persen dari semua kehamilan adalah dikomplikasikan dengan hipertensi. Eklampsia dan preeklampsia merupakan setengah dari seluruh kasus ini di seluruh dunia dan telah dikenal dan diketahui selama bertahun-tahun tanpa memahami tentang penyakit ini. Pada abad kelima, Hippocrates mengetahui bahwa nyeri kepala, kejang dan penurunan kesadaran merupakan tanda yang berhubungan dengan kehamilan. Pada tahun 1619, Varandeus memperkenalkan istilah eklampsia dalam dunia gynecology.1 Eklampsia sendiri didefinisikan sebagai keadaan klinis dengan kejang atau konvulsi yang tidak dapat dijelaskan ataupun perubahan status mental dengan adanya tanda dan gejala dari preeklampsia. Eklampsia merupakan komplikasi dari preeklampsia berat. Hal ini terjadi secara tipikal selama atau sesudah kehamilan diatas 20 minggu ataupun selama periode postpartum. 1 Manifestasi klinis dari preeklampsia adalah termasuk hipertensi dan proteinuria dengan atau tanpa kelainan sistemik bersamaan yang melibatkan ginjal, liver, atau darah. Terdapat juga manifestasi janin pada preeklampsia seperti pertumbuhan janin terhambay, pengurangan cairan amnion, dan oksigenasi janin yang terganggu. Sindroma HELLP merupakan bentuk berat dari preeklamsia dan melibatkan hemolisis, peningkatan enzim hati, serta penurunan jumlah platelet. 1 Eklampsia terjadi pada sekitar 0,05 sampai 0,12% dari seluruh kehamilan. Mortalitas maternal dari eklampsia berkisar dari 0 sampai 14%, dan perdarahan merupakan satu dari penyebab kematian tersebut. Eklampsia masih merupakan salah satu penyebab tersering dari kematian ibu diseluruh dunia, meskipun perbaikan dalam hal antenatal care telah mengurangi insidensinya di negara-negara Barat. Dari 20 kematian akibat kelainan hipertensi di Inggris selama 1991-1993, 11 kasus merupakan eklampsia. Oleh karena akibatnya yang mengancam nyawa, ketika terjadi

kejang dan gangguan kesadaran pada wanita hamil, eklampsia merupakan kecurigaan pertama. 2 Anestesiolog memegang peranan yang penting dalam penanganan dari ibu hamil dengan kejang. Kontrol cepat dari kejang sangat dibutuhkan untuk mencegah kerusakan serebral akibat hipoksia. Antikonvulsan dapat diberikan seperti diazepam, MgSO4 dan phenitoin.The Eclampsia Trial menyimpulkan bahwa MgSO4 merupakan obat pilihan untuk eklampsia; phenytoin dapat menyebabkan morbiditas maternal dan neonatal yang lebih tinggi; serta diazepam dan phenytoin lebih sering terjadi kejang berulang dibandingkan dengan MgSO4. Mempertahankan jalan nafas serta pernafasan yang adekuat selama kejang harus menjadi prioritas utama. Selain itu, respon terhadap intubasi trakeal pada kehamilan dengan hipertensi lebih tinggi, dengan peningkatan tekanan arteri sistemik dan pulmoner serta pulmonary capillary wedge pressure. 2 2.2 Manfaat dan Tujuan Laporan kasus ini diselesaikan guna melengkapi tugas dalam menjalani program pendidikan profesi dokter di Departemen Anastesi dan Terapi Intensif, selain itu untuk memberikan pengetahuan kepada penulis dan pembaca mengenai penanganan perioperatif pasien seksio cesarea dengan eklampsia.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Preeklampsia merupakan komplikasi pada lebih dari 8% kehamilan. Hal ini merupakan kondisi yang umum dapat dilihat oleh seorang anestesiolog obstetri dimana pasien yang sebelumnya sehat-sehat dapat berubah menjadi sangat kritis. Trias klasik dari preeklampsia yaitu hipertensi, proteinuria, dan edema. Kondisi tertentu dapat menjadi faktor predisposisi seorang wanita menjadi preeklampsia. Berdasarkan risk ratio yang paling tinggi, kondisi-kondisi ini termasuk angiotensin T235 homozigot, penyakit ginjal kronis, sindroma antifosfolipid, hipertensi kronis, riwayat preeklampsia, kehamilan multipel, nulliparrous, kehamilan diatas 40 tahun, diabetes, dan ras afro-amerika. Preeklampsia didefinisikan sebagai hipertensi yang terjadi setelah umur kehamilan diatas 20 minggu atau pada periode postpartum dan kembali normal dalam 3 bulan setelah persalinan atau onset kehamilan diatas 20 minggu dengan paling sedikit salah satu dari dibawah ini: 3 Proteinuria diatas 300mg/24 jam Oliguria atau rasio kreatinin serum-plasma diatas 0,09 mmol/l Nyeri kepala dengan hiperefleksia, eklampsia, klonus, atau gangguan penglihatan. Peningkatan enzim hati, plasma glutathione S-transferase-alpha 1-1, serum alanine aminotransferase atau nyeri abdomen kuadran kanan Trombositopenia, peningkatan lactate dehydrogenase (LDH), hemolisis, disseminated intravascular coagulation (DIC) Intrauterine growth retardation

Eklampsia didefinisikan sebagai keadaan klinis dengan kejang yang tidak dapat dijelaskan atau perubahan status mental dimana terdapat gejala dan tanda dari preeklampsia. Eklampsia merupakan komplikasi dari peeklampsia berat. Penyakit ini terjadi pada kehamilan dengan usia 20 minggu atau lebih ataupun pada periode postpartum. 1 Preeklampsia dapat diklasifikasikan sebagai ringan ataupun berat berdasarkan keparahan tanda dan gejala seperti pada tabel. Merupakan anggapan yang salahbhawa terdapat perubahan perlahan dari preeklampsia ringan ke preeklampsia berat sampai ke eklampsia, karena sebanyak 25% sampai 40% pasien akan mempunyai tekanan darah yang normal pada saat kejang pertama. 3 Ringan Tekanan sistolik Tekanan diastolik Protein urin < 5g/24 jam Dipstick + atau 2+ Urine output Nyeri kepala Gangguan penglihatan Nyeri epigastrium Tidak ada Ada Ada > 500mL/24 jam Tidak ada Tidak ada 5g/ 24 jam Dipstick 3+ atau 4+ 500 mL/24 jam Ada Ada darah < 110 mmHg 110 mmHg darah < 160 mmHg Berat 160 mmHg

Nyeri abdomen atas Tidak ada kanan Edema pulmoner Sianosis Sindroma HELLP Tidak ada Tidak ada Tidak ada

Ada Ada Ada

Jumlah trombosit

>100.000/mm3

16 kali / menit, produksi urin > 100 cc dalam 4 jam sebelumnya ( 0,5 cc/ kg BB/ jam ). Untuk kasus yang jarang pasien masih mengalami kejang terus menerus meskipun telah mendapat terapi magnesium yang adekuat, maka kejang dapat diberikan sodium amobarbital, 250 mg secara intravena selama 3-5 menit. Selain itu cara yang lebih umum digunakan adalah dengan memberikan lorazepam (Ativan) 4 mg IV selama 2-5

menit (dapat diulangi dalam 5-15 menit sampai dosis maksimum 8 mg dalam 12 jam atau diazepam (valium), 5-10 mg IV secara lambat (dapat diulangi setiap 15 menit samapi mencapai 30 mg), kedua cara ini sesuai seperti pada protokol untuk status epileptikus. 1 Tekanan darah harus dikontrol dengan tujuan utama untuk mempertahankan tekanan darah sistolik diantara 140 dan 160 mmHg dan tekanan darah diastolik antara 90 dan 110 mmHg dengan memberikan obat-obatan antihipertensi sesuai yang diperlukan (seperti, hidralazine, labetolol). Hipertensi berat harus segera diatasi setelah infus magnesium diberikan. Dosis bolus intravena yang direkomendasikan adalah 5-10 mg hidralazine atau 20-40 mg labetalol setiap 15 menit jika diperlukan. Obat-obatan antihipertensi poten lain seperti sodium nitroprusside atau nitroglycerin juga dapat digunakan namun jarang dibutuhkan. Evaluasi harus dilakukan untuk tidak menurunkan tekanan darah terlalu drastis, dimana penurunan yang berlebihan dapat menyebabkan perfusi uteroplasenta yang tidak adekuat serta terjadi fetal distress. Oral nifedipine (40-120 mg/hari) dengan atau tanpa labetalol (600-2400 mg/hari) dapat juga diberikan. 1,4 Sesuai dengan perjalanan klinis penyakit, maka status neurologis pasien harus secara reguler diperiksa untuk mengawasi jika terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial ataupun perdarahan (seperti, pemeriksaan funduskopi, saraf kranialis). Evaluasi terhadap cairan yang diberikan dan urine output, laju nafas ibu, serta oksigenasi harus dilakukan. Selain itu pengawasan terhadap status fetus juga harus dilakukan. Monitoring yang lebih invasif seperti pulmonary arterial pressure jarang diindikasikan, namun dapat membantu pada pasien dengan edema pulmoner atau oliguria/anuria. 1,4 Setelah kejang terkontrol dan pasien telah mendapatkan kembali

kesadarannya, kondisi medis lainnya harus diperiksa untuk mencari kemungkinan lain penyebab dari kejang. 1

Diuretik hanya diberikan jika terdapat edema pulmoner, gagal jantung kongestif serta edema anasarka. 4 Laju jantung fetus serta kontraksi uterus harus selalu di awasi. Bradikardia fetus merupakan hal yang sering ditemukan selama kejang eklampsia dan dilaporkan terjadi selama 30 detik sampai 9 menit. Interval waktu dari onset kejang sampai pada jatunya laju jantung fetus adalah sekitar 5 menit atau kurang. Takikardia transisional dapat terjadi setelah bradikardia. Setelah bradikardia inisial, selama fase pemulihan, laju jantung janin dapat menunjukkan hilangnya variabilitas jangka pendek dan panjang dan juga terdapat deselerasi akhir. Kelainan ini disebabkan mungkinkarena berkurangnya aliran darah uterus yang disebabkan oleh vasospasme kuat dan hiperaktivitas uterus selama kejang. Jika laju jantung janin tidak membaik setelah kejang, evaluasi lebih lanjut harus dilakukan. Janin dengan pertumbuhan terhambat dan prematur memerlukan waktu lebih lama untuk pulih setelah kejang. Abruptio plasenta dapat terjadi jika hiperaktivitas uterus masih ada dan bradikardia fetus menetap. 1 Terapi defenitif dari preeklampsia-eklampsia adalah melahirkan fetus dan plasenta setelah pasien telah stabil terlebih dahulu. Semua kehamilan dengan eklampsia harus diakhiri tanpa memandang umur kehamilan dan keadaan janin. Jangan melakukan usaha apapun untuk melahirkan bayi baik pervaginam maupun seksio cesarea sampai fase akut dari kejang ataupun koma telah dilewati. Cara melahirkan bayi harus berdasarkan indikasi obstetri namun tetap diingat fakta bahwa persalinan pervaginam lebih dipilih dari sudut pandang ibu. Steroid dapat diberikan untuk mengantisipasi persalinan emergensi jika kehamilan kurang dari 32 minggu. Betamethasone 12 mg intramuscular setiap 24 jam X 2 dosis atau dexamethasone 6 mg intramuskular setiap 12 jam X 4 dosis adalah direkomendasikan. Penanganan nyeri maternal pada saat persalinan adalah vital dan dapat diatasi baik dengan opioid sistemik maupun anestesia epidural. Jika tidak ada malpresentasi fetus ataupun distress fetus, oksitosin ataupun prostaglandin dapat diberikan untuk menginduksi persalinan. Seksio cesarea dapat dipilih pada pasien dengan serviks yang tidak bagus

dan umur kehamilan 30 minggu atau kurang, dimana induksi pada keadaan ini akan menghasilkan fase intrapartum yang lebih lama dan seringkali tidak berhasil untuk mencegah seksio cesarea dengan tingginya komplikasi intrapartum yang terjadi. Komplikasi intrapartum yang dapat terjadi adalah seperti pertumbuhan janin terhambat, pola denyut jantung bayi yang buruk (30%), serta abrupsio plasenta (23%). Tanpa memandang umur kehamilan, iduksi yang lama dengan perburukan klinis yang signifikan dari seksio cesarea. 1,4 kardiovaskular, hematologis, renal, hepatik, dan/atau status neurologi dari ibu adalah secara umum merupakan indikasi uuntuk dilakukan

2.3.2 Persiapan Pra-anesthesia Perhatian khusus harus diberikan pada penilaian jalan nafas (airway). Edema wajah ataupun stridor dapat merupakan indikasi adanya edema pada jalan nafas sehingga akan membuat intubasi menjadi sulit. 6 Pasien-pasien dengan preeklampsia biasanya adalah hipovolemik dan lebih cenderung untuk terjadinya hipotensi dengan pemberian anesthesia neuraksial. Pasien-pasien ini juga beresiko untuk terjadi edema pulmoner; oleh karena itu, hidrasi yang adekuat harus diberikan. Cairan preload berupa kristaloid sebanyak 500 sampai 1000 mL adalah biasanya cukup pada neuroaksial. Monitoring sentral yang invasif seperti pemasangan CVC dapat diindikasikan pada pasien yang mengalami edema pulmoner ataupun oliguria yang tidak responsif dengan pemberian cairan. Monitoring tekanan darah intra-arteri diindikasikan pada hipertensi yang refraktorik, terutama jika infus antihipertensi diperlukan. 6 Meskipun preeklampsia dihubungkan dengan retensi air dan sodium yang berlebihan, hipovolemia dapat terjadi karena perpindahan cairan dan protein ke dalam kompartemen ekstravaskular. Hubungan terbalik antara volume intravaskular dan keparahan hipertensi telah ditunjukkan, dan pasien dengan tekanan diastolik sangat

tinggi diharapkan mempunyai CVP yang negatif. Pengembalian volume intravaskular yang hati-hati dapat menghasilkan perbaikan perfusi jaringan maternal, dimana dengan pemberian cairan maka terdapat kenaikan pulmonary capillary wedge pressure dan cardiac index dam penurunan resistensi vaskular perifer dan laju jantung maternal. Pada keadaan hipertensi, central venous pressure bukan pilihan cara untuk pengukuran preload. 5 Pemeriksaan laboratorium wajib dilakukan termasuk pemeriksaan darah lengkap. Peningkatan hematokrit mengindikasikan adanya hipovolemia. Trombositopenia terjadi pada sekitar 15% pasien preeklampsia. Jumlah trombosit kurang dari 70.000/mm3 meningkatkan resiko terjadinya hematoma epidural. Pemeriksaan fungsi trombosit berguna untuk mengevaluasi kelayakan pasien untuk dilakukan anestesia regional, yaitu jika jumlah trombosit 70.000 sampai 100.000/mm3. 6 Pemeriksaan faal hati, ureum kreatinin adalah esensial untuk menentukan tingkat keparahan dari preeklampsia atau mendeteksi adanya sindroma HELLP. Pemeriksaan AGDA dan foto thoraks dilakukan jika terdapat tanda dan gejala edema pulmoner. 6

2.3.3 Anesthesia Untuk Persalinan Per Vaginam Persalinan per vaginam pada kehamilan dengan hipertensi dan tidak adanya fetal distress merupakan rencana anesthesia yang dapat diterima. Seksio cesarea adalah dibutuhkan jika terdapat fetal distress, dimana merefleksikan suatu perburukan yang progresif dari sirkulasi uteroplasental. Tanpa memandang teknik anesthesia yang dipilih, penting untuk melanjutkan monitoring HR fetus sampai operasi dimulai, terutama jika terdapat fetal distress. 6 Analgesia epidural merupakan teknik yang dipilih sebagai analgesia persalinan, jika tidak dikontraindikasikan. Anestesia epidural dapat mengurangi level

katekolamin maternal dan dapat memfasilitasi kontrol tekanan darah pada saat persalinan. Preeklampsia mengganggu perfusi uteroplasenta dikarenakan komponen vasospastik dari penyakit tersebut. Anestesia epidural dapat memperbaiki aliran darah intervillous pada peeklampsia, sehingga memperbaiki sirkulasi uteroplasenta dan sebagai hasil fetus pun semakin baik. 6 Oleh karena pasien ini beresiko untuk dilakukannya seksio cesarea maka pemasangan epidural lebih awal dapat memfasilitasi penggunaan anesthesia epidural pada seksio cesarea, sehingga mencegah resiko dilakukannya general anesthesia. Anestesia epidural dilakukan infus berkelanjutan dari larutan anestesi lokal yang mengandung ropivacaine atau bupivacaine dikombinasikan dengan opioid, dengan tetap mempertahankan posisi uterus di sebelah kiri serta monitoring denyut jantung janin. Oleh karena hipersensitifitas pembuluh darah maternal terhadap katekolamin, maka larutan anetesi yang dipilih adalah tanpa mengandung epinefrin. 6

2.3.4 Anesthesia Untuk Seksio Cesarea Epidural Anesthesia Anesthesia epidural pada pasien dengan preeklampsia-eklampsia memberikan keuntungan dimana blokade simpatis yang gradual; hal ini memberikan stabilitas kardiovaskular dan mencegah terjadinya depresi neonatus. Pengurangan vasospasm dan hipertensi yang didapat menghasilkan aliran darah uteroplasenta yang baik. Teknik regional ini juga mengurangi resiko terjadinya komplikasi jalan nafas dan mencegah perubahan hemodinamik yang berhubungan dengan intubasi. Teknik epidural ini juga memberikan fleksibilitas sebagai contoh untuk seksio cesarea yang lama. Pada wanita yang memakai tenik ini dengan kateter epidural yang terpasang untuk persalinan pervaginam, pada saat emergensi untuk dilakukan seksio cesarea, anesthesia dapat diberikan melalui kateter ini.

Obat-obatan anesthetik yang digunakan harus memberikan blok sensorik onset cepat dengan durasi aksi yang tepat. Agen yang biasa digunakan termasuk 2chloroprocaine, lidocaine, bupivacaine. Jika dibandingkan dengan anesthesia spinal, dosis anesthetik lokal yang diberikan sangat besar untuk mendapatkan level adekuat seksio cesarea. Kateter epidural berisiko untuk migras, dan biarpun aspirasi yang negatif, tidak secara pasti menghilangkan resiko penempatan intravaskular ataupun intrathecal. Oleh karena volume yang besar dapat berpotensi terjadi toksisitas anesthetik lokal. Pertama, kateter harus diaspirasi sebelum digunakan dan test dose yang sesuai harus dilakukan. Kedua, zat anesthetik harus diberikan dalam dosis terfraksinasi. Terakhir, obat-obatan yang lebih aman (mis, chloroprocaine dan lidocaine) atau anesthetic lokal amide baru (mis, ropivacaine dan levobupicaine) lebih dipilih.

Anestesia Spinal Anestesia spinal secara tradisional cenderung untuk dihindari pada pasien dengan preeklampsia dikarenakan resiko untuk terjadinya hipotensi berat. Namun, pada pasien dengan preeklampsia berat, besarnya penurunan tekanan darah maternal adalah sama setelah pemberian baik anestesia spinal maupun epidural pada seksio cesarea. Sama seperti pemberian anestesia epidural, pemberian hidrasi intravena yang dilakukan sebelum anestesia spinal adalah hal yang penting. Tekanan darah sistolik berkurang lebih dari 30% dari sebelum dilakukan blok, penatalaksanaan yang diberikan terdiri dari penggeseran uterus ke kiri dan penambahan infus cairan yang dikombinasikan dengan dosis kecil baik ephedrine (5 mg IV) ataupun phenylephrine (100 g IV). Level sensorik T4 merupakan batas yang digunakan untuk seksio cesarea, tetap diingat bahwa kebutuhan anestesia pada pasien dengan kehamilan adalah berkurang. Pada sebagian besar instansim bupivacaine (12-15 mg) adalah adekuat untuk mencapai level sensorik T4 dan 120 menit durasi anestesia. Obat

obatan opioid seperti, meperidine (10 mg) atau morphine (0,1-0,2 mg) harus ditambahkan sebagai analgesia postoperative. 6

General Anesthesia Meskipun penggunaan general anesthesia untuk seksio cesarea secara dramatis telah menurun dalam dekade terakhir ini, hal ini tetap diperlukan untuk penanganan beberapa situasi, seperti perdarahan maternal, koagulopati nyata, kelainan fetal yang mengancam nyawa, atau kasus-kasus pasien menolak untuk dilakukan anesthesia regional. General anesthesia diindikasikan pada pasien preeklampsia yang menjalani seksio cesarea yang menolak untuk dilakukan anestesia regional atau yang mempunyai penyakit koagulopati. Berdasarkan pengalaman, pasien yang membutuhkan seksio cesarea untuk fetal distress telah ditangani paling banyak dengan anestesia umum, dengan alasan waktu yang dibutuhkan untuk melakukan anestesia regional sangat merugikan fetus. Namun, anestesia spinal yang dapat dilakukan dengan cepat dapat mencegah efek depresi pernafasan dari obat pada fetus dan menghindarkan resiko intubasi trakea yang gagal atau sulit. Anestesia umum dapat dipilih jika perdarahan atau sepsis merupakan alasan untuk dilakukan seksio cesarea emergensi. Dengan adanya fetal distress, denyut jantung janin harus diawasi secara terus-menerus ketika akan mempersiapkan induksi anestesia. 6 Resiko anestesia umum pada pasien dengan preeklampsia yaitu sulitnya untuk dilakukan intubasi dikarenakan adanya edema laring, kemungkinan terjadi aspirasi isi lambung, peningkatan sensitivitas terhadap obat muscle relaxant nondepolarizing, peningkatan respon terhadap laringoskop dan intubasi trakea, dan aliran darah plasenta yang terganggu. Mortalitas anestesia umum pada pasien ini hampir selalu dikarenakan karena sulitnya managemen jalan nafas ataupun gagalnya intubasi trakea. 6

Sebelum dilakukan induksi anestesia, sangat penting untuk mengembalikan volume cairan intravaskular dan kontrol tekanan darah. Induksi anestesia biasanya digunakan thiopental ditambah dengan succinylcholine untuk memfasilitasi intubasi trakea. Penggunaan dosis defasciculating obat nondepolarizing muscle relaxant sebelum pemberian succinylcholine tidak diperlukan, dimana terapi magnesium (yang merupakan sering digunakan sebagai terapi pada pasien ini) akan memperkuat efek fasciculation yang dihasilkan succinylcholine. 6 Edema yang berlebihan pada saluran nafas bagian atas dapat mengganggu visualisasi dari pembukaan glotis, dan pembengkakan dari laring dapat membuat kita untuk memakai pipa ETT yang lebih kecil. Edema laring biasanya terjadi sebagai bagian dari edema seluruh tubuh dan wajah yang terjadi pada pereeklampsia; namun dapat juga terjadi dengan hanya sedikit tanda dan gejala. Penting untuk mencegah usaha yang berulang untuk pemasangan laringoskop, karena hal ini akan memperburuk edema yang sudah ada. Pada pasien dengan preeklampsia dengan gangguann koagulasi, jika ada trauma akibat laringoskop dapat berakibat pada perdarahan. 6 Respon tekanan darah sistemik terhadap laringoskop direk dan pemasangan ETT adalah meningkat pada pasien dengan preeklampsia, oleh karena itu mempertinggi resiko terjadinya perdarahan serebral. Selain itu, pentingnya menurunkan respon pressor ini adalah dapat terjadi juga peningkatan konsumpsi oksigen miokardial, aritmia, dan edema pulmoner, begitu juga penurunan signifikan cari aliran darah ke uterus yang dapat membahayakan janin. Idealnya, short-duration laringoscopy adalah metode yang paling bagus untuk meminimalisasikan respon tekanan darah dan denyut jantung akibat pemasangan ETT. Hydralazine (5-10 mg IV diberikan 10-15 menit sebelum induksi anestesia), labetolol (10-10 mg IV 5-10 menit sebelum dilakukan induksi anestesia), ataupun nitroglycerin (1-2 g/kg IV sesaat sebelum dilakukan pemasangan laringoskop) dapat diberikan untuk mengontrol respon tekanan darah sistemik ini. 6

Anestesia volatile dosis rendah (0,5-1,0 MAC) dengan atau tanpa 50% NO dapat digunakan sebagai dosis maintenance. Pada pasien-pasien ini, penentu utama terjadinya depresi pernafasan janin adalah lamanya interval antara insisi uterus dan persalinan, dengan durasi anestesia menjadi penting jika hanya dengan pemberian yang lama (>20 menit) sebelum persalinan. Setelah persalinan, anestesia ditambahkan dengan opioid. Potensiasi obat muscle relaxant dengan magnesium dapat terjadi, dan oleh karena itu peripheral nerve stimulator adalah penting untuk pengawasan fungsi neuromuskular. 6

Teknik General Anesthesia Menurut Gambling, pertama-tama dapat diberi 30 mL 0,3 M sodium sitrat per oral dan metoclopramide 10 mg intravena sesaat sebelum induksi anestheisa. Setelah denitrogenasi, induksi anesthesia dapat dilakukan dengan cara rapid-sequence, dengan dilakukan penekanan pada krikoid, sampai ETT terpasang dan cuff diinflasi. Sebelumnya sodium thiopental 4-5 mg/kg (dosis yang lebih tinggi dari biasanya) untuk induksi anesthesia; namun sekarang, propofol 2 mg/kg telah menggantikan thiopental, dan lebih sering digunakan. Succinylcholine 1,5 mg/kg dapat diberikan untuk mendapatkan intubasi yang efektif. ETT no 6 atau 6.5 dapat digunakan pada kasus edema jalan nafas yang tidak terdeteksi. Rocuronium, vecuronium, ataupun atracurium dapat juga digunakan sebagai relaksan otot. Untuk mendapatkan kedalaman anesthesia yang adekuat, dapat diberikan isoflurane 0,7% sampai 1% atau sevoflurane 1% sampai 2% dalam 50% NO dan 50% O2 sebelum persalinan, untuk mengontrol hipertensi dan mencegah pasien terbangun. 7 Setelah melahirkan bayi, dapat diberikan fentanyl 3-5 g/kg secara intravena, dan konsentrasi dari NO dapat dinaikkan menjadi 66%. Hipertnsi jarang memerlukan pengobatan setelah persalinan. Faktanya, sesaat setelah persalinan, hipotensi lebih sering terjadi dibandingkan hipertensi, dengan teknik anesthesia apapun. Magnesium sulfat dapat diberikan sepanjang anesthesia kecuali sampai terjadi hipotensi. Sebelm

bangun dapat diberikan ondansentron 4 mg dan dexamethasone 4 mg secara intravena untuk profilaksis mual dan muntah. Morphine 5 sampai 10 mg secara intravena dapat diberikan sebagai analgesia postoperatif awal. 7

Penanganan Post-Operative Terapi definitif dari preeklampsia-eklampsia adalah dengan melahirkan janin dan fetus. Sebelum persalinan, dan selama masa post-partum sesaat sesudahnya, penanganan adalah suportif dan berfokus pada kontrol tekanan darah, pencegahan kejang, maintenance perfusi plasenta dan pencegahan komplikasi. Jika komplikasi dapat dicegah, penyakit ini normalnya akan sembuh sempurna setelah melahirkan. Transfer ibu ke tertiary center sebelum persalinan harus dipikirkan kiak unti neonatal level III tidak ada. Wanita hamil dan postpartum mempunyai penanganan yang khusus dimana tidak semua staff bangsal berpengalaman dengan hal itu. Rujukan ke ICU sebelum persalinan dapat dilakukan pada kasus-kasus yang berat, atau ketika bangsal obstetri mempunyai kurang alat dan pengalaman untuk monitoring intensif. Karena prematuritas merupakan penyebab utama dari morbiditas neonatal, penanganan neonatus juga merupakan hal yang penting. Setelah persalinan, kasuskasus berat harus ditangani di ICU selama 24-72 jam. 7 Pasien biasanya dirujuk ke ICU untuk penanganan postpartum, terutama setelah persalinan dengan seksio cesarea. Resiko edema pulmoner adalah paling besar setelah persalinan dan kebanyakan kematian maternal terjadi pada saat itu. Setelah persalinan, sering terjadi perbaikan awal dengan adanya kambuh dalam 24 jam pertama. Terapi magnesium harus diteruskan untuk diteruskan untuk 24 sampai 48 jam. Obat-obatan antihipertensi dapat dikurangi sesuai dengan tekanan darah. Beberapa pasien dapat memerlukan perubahab ke medikasi oral yang perlu dilanjutkan sampai beberapa minggu. Dukungan psikologis adalah penting, terutama jika terdapat outcome neonatus yang buruk. Pemulihan penuh dari disfungsi organ

yang terjadi pada preeklampsia-eklampsia biasanya akan normal kembali dalam 6 minggu. 7 Prinsip perawatan post-op atau post-partum pada pasien dengan preeklampsiaeklampsia adalah: 7 1. Analgesia: Wanita yang menjalani seksio cesarea dapat diberikan opioid epidural atau intratechal kecuali terdapat kontraindikasi. Pasien dapat diberikan morfin 2,5 sampai 3,0 mg secara epidural atau 0,1 sampai 0,15 secara intratechal, tanpa memandang terapi yang lain, oleh karena obsrvasi yang ketat masih harus tetap dilakukan paling sedikit untuk 24 jam. Pemberian NSAIDs bersamaan dapat memperbaiki dan memperpanjang analgesia intraspinal opioid setelah seksio cesarea.2. Balans cairan: Tabel balans cairan pasien harus dibuat secara ketat dan

dipertahankan paling sedikit 24 jam atau sampai diuresis normal. Pemasukan total tidak boleh melebihi 75 ml/hari sampai kelebihan cairan ekstraseluler dapat dimobilisasi.3. MgSO4: MgSO4 dapat diberikan paling sedikit untuk 24 jam postpartum atau

sampai diuresis maternal tercapai. Durasi terapi bervariasi dari satu literatur ke yang lain dan tampaknya bersifat empiris namun secara tipikal berhubungan dengan tingkat penyembuhan dari hipertensi, oliguria, dan/atau koagulopati, begitu juga dengan keadaan umum pasien. Kejang pada postpartum akhir dapat juga terjadi. 4. Kontrol hemodinamik: hal ini perlu untuk memberikan terapi antihipertensi untuk mencegah hipertensi rebound ketika pasien mengalami nyeri pascaoperasi. Pada beberapa kasus, preeklampsia berat-eklampsia, dengan atau tanpa sindroma HELLP, menetap lebih dari 24 sampai 48 jam postpartum. Pasien dengan hipertensi persisten, oliguria, dan trombositopenia mempunyai morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi, terutama jika kelainan ini tidak dapat diatasi juga dalam 72 sampai 96 jam postpartum.7

BAB 3 LAPORAN KASUS

Seorang wanita 32 tahun dengan berat badan 60 kg, G4P3A0, datang ke IGD RSHAM, rujukan dari rumah sakit luar dengan keluhan utama kejang. Hal ini dialami os sejak beberapa jam sebelum masuk RSUP HAM. Pasien telah mengalami empat kali kejang sebelum masuk RSHAM. Kejang pertama kali terjadi tanggal 20 maret 2011 pukul 07.00 wib di rumah. Pasien kemudian dibawa ke RSU Kisaran dan disana kejang terjadi sebanyak dua kali dan di IGD RSHAM tanggal 21 Maret 2011 pukul 19.00 wib pasien mengalami kejang lagi sebanyak 1 kali. Riwayat penurunan kesadaran (+). Riwayat gangguan penglihatan/mata kabur (+) dalam beberapa hari yang lalu, tidak disertai dengan demam dan riwayat benturan kepala. Riwayat perut mulas mau melahirkan (-). Riwayat keluar lendir bercampur darah pada kemaluan (-). Riwayat keluar air banyak (-). BAK dan BAB dalam batas normal. Riwayat penyakit terdahulu tidak dijumpai Riwayat pemakaian obat dijumpai yaitu nifedipine 10 mg, infus MgSO4 40% 14 gtt/i HPHT 25 Juli 2010. TTP 1 Januari 2011 dan ANC sebanyak 6 kali pada bidan. Riwayat kehamilan: 1. Perempuan, aterm 3400gr lahir di rumah dibantu bidan sekarang berusia 11 tahun dan sehat. 2. Perempuan, aterm 3000gr lahir di rumah dibantu bidan sekarang berusia 9 tahun dan sehat. 3. Laki-laki, aterm 3000gr lahir di rumah dibantu bidan sekarang berusia 7 tahun dan sehat. 4. Hamil sekarang.

TIME SQUENSE 21/03/2011 Masuk RSUP HAM, IGD, pukul 14.12 Wib

21/03/2011, pukul 16.00 Wib Pasien konsul anestesi untuk dilakukan operasi

21/03/2011, pukul 19.00 WIB Dilakukan operasi seksio cesarea emergency

Primary Survey Airway Breathing : Clear : Spontan Frekuensi nafas : 32 x/i Suara Pernafasan : vesikuler Suara Tambahan : Circulation : Akral : hangat/ merah/ kering Tekanan Darah : 180/100 mmHg

Nadi : 110 x/i ,tekanan/volume: cukup Disability Environment : Alert : Edema pretibial (+)

Secondary Survey B1 : Airway clear, RR: 32 x/men, SP: vesikuler ka=ki, ST: -/-. Riw. asma(-), batuk(-), alergi(-), sesak(-) MLP I, JMH>6cm, GL: bebas. B2 : Akral H/M/K, TD: 180/100 mmHg (setelah diberi Nifedipin 10 mg, pkl.15.00), HR: 110 x/men, t/v cukup, reg. Temp. 38,9C B3 : Sens: CM, pupil isokor, 3 mm/3mm, RC +/+, Riw. sakit kepala(+). Kejang (+), frek.4x , durasi kejang 6cm, GL: bebas. B2 : Akral H/M/K, TD: 160/100 mmHg, HR: 130 x/men, t/v cukup, reg. Temp. 38,7C B3 : Sens: CM, pupil isokor, 3 mm/3mm, RC +/+, Riw. sakit kepala(+). Kejang (+), frek.4x , durasi kejang