Eklampsi.pdf

27
Penyusun : Arif Heru Tripana (08101003) Pembimbing 1 : dr. Erry Syahbani, Sp.OG Pembimbing 2 : dr. Arvan, Sp.OG Laporan Kasus Obstetri Eklampsia Refrat dan Laporan Kasus Obstetri KKS OBSTETRI DAN GINOKOLOGI RSUD BANGKINANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ABDURRAB PEKANBARU 2013 Kampar, 10 September 2013

description

eklampsi adalah hipertensi dalam kehamilan setelah usia kehamilan 20 minggu disertai proteinuria dan kejang.

Transcript of Eklampsi.pdf

Page 1: Eklampsi.pdf

Penyusun : Arif Heru Tripana (08101003) Pembimbing 1 : dr. Erry Syahbani, Sp.OG

Pembimbing 2 : dr. Arvan, Sp.OG

Laporan Kasus Obstetri

Eklampsia

Refrat dan Laporan Kasus Obstetri

KKS OBSTETRI DAN GINOKOLOGI RSUD BANGKINANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ABDURRAB PEKANBARU

2013

Kampar, 10 September 2013

Page 2: Eklampsi.pdf

Arif Heru. Eklampsia. [Laporan Kasus Obstetri]. 2013 | 1 KKS Obstetri dan Ginokologi RSUD Bangkinang – Kampar

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hipertensi diartikan sebagai kenaikan tekanan darah ≥ 140/90 mmHg.

Pada pasien yang tidak hamil, hipertensi esensial terjadi lebih dari 90% kasus.

Hipertensi yang khas dan hanya terjadi pada saat kehamilan disebut preeklampsia.

Preeklampsia ditandai dengan peningkatan tekanan darah dan proteinuria,

biasanya terjadi selama trimester tiga saat kehamilan sedangkan eklampsia

ditandai dengan episode kejang menyeluh yang terjadi pada pasien dengan

preeklampsia.[1]

1.2 Epidemiologi

Insiden hipertensi dalam kehamilan mencapai sekitar 10% kasus pada

wanita hamil, dan berkembang menjadi preeklampsia sekitar 2% – 8%. Eklampsia

terjadi pada sekitar 1/2000 kelahiran di negara-negara kaya. Pada negara-negara

miskin, insiden eklampsia bervariasi dari 1/100 sampai 1/1700.[2]

Kejadian eklampsia dan preeklampsia sekitar setengah dari kasus-kasus di

seluruh dunia dan telah diakui dan dijelaskan selama bertahun-tahun meskipun

kurangnya pemahaman tentang penyakit ini. Pada abad kelima, Hippocrates

mencatat bahwa sakit kepala, kejang, dan kantuk tanda-tanda penyulit terkait

dengan kehamilan. Pada tahun 1619, Varandaeus menemukan istilah eklampsia

dalam sebuah risalah tentang ginekologi.[3]

Sebagian kasus eklampsia terjadi pada trimetes ketiga kehamilan, dan

mencapai 80% kejang pada eklampsia terjadi intrapartum atau terjadi 48 jam

pertama setelah kelahiran. Pada sebagian kecil kasus pernah dilaporkan kejang

pada eklampsia terjadi sebelum 20 minggu kehamilan atau pada kasus yang

lambat terjadi 23 hari postpartum.[3,4]

Page 3: Eklampsi.pdf

Arif Heru. Eklampsia. [Laporan Kasus Obstetri]. 2013 | 2 KKS Obstetri dan Ginokologi RSUD Bangkinang – Kampar

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Eklampsia didefinisikan sebagai terjadinya onset baru dari kejang umum

atau koma pada wanita dengan preeklampsia. Eklampsia merupakan komplikasi

dari preeklampsia yang serius yang mengancam jiwa ibu atau janin yang sedang

dikandung.[4,5,6,7]

2.2 Klasifikasi Hipertensi dalam Kehamilan

Klasifikasi yang dipakai di Indonesia adalah berdasarkan Report of the

National High Blood Pressure Education Program Working Group on High

Blood Pressure in Pregnancy tahun 2001 ialah:[7]

1. Hipertensi kronik adalah hipertensi yang timbul sebelum kehamilan 20

minggu atau hipertensi yang pertama kali didiagnosis setelah umur

kehamilan 20 minggu dan hipertensi menetap sampai 12 minggu

pascapersalinan.[6,7]

2. Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan

disertai dengan proteinuria.[6,7]

3. Eklampsia adalah preeklampsia yang disertai dengan kejang-kejang

dan/atau koma.[6,7]

4. Hipertensi kronik dengan superimposed preeklampsia adalah hipertensi

kronik disertai tanda-tanda preeklampsia atau hipertensi kronik disertai

proteinuria.[7]

5. Hipertensi gestasional (transient hypertension) adalah hipertensi yang

timbul setelah kehamilan 20 minggu tanpa disertai proteinuria dan

hipertensi menghilang setelah 3 bulan pascapersalinan atau kehamilan

dengan tanda-tanda preeklampsia tetapi tanpa proteinuria. [6,7]

2.3 Etiologi

Etiologi preeklampsia dan eklampsia sampai saat ini masih belum

sepenuhnya difahami, masih banyak ditemukan kontroversi, itulah sebabnya

Page 4: Eklampsi.pdf

Arif Heru. Eklampsia. [Laporan Kasus Obstetri]. 2013 | 3 KKS Obstetri dan Ginokologi RSUD Bangkinang – Kampar

penyakit ini sering disebut “the disease of theories”. Pada saat ini hipotesis utama

yang dapat diterima untuk menerangkan terjadinya preeklampsia adalah : faktor

imunologi, genetik, penyakit pembuluh darah dan keadaan dimana jumlah

trophoblast yang berlebihan dan dapat mengakibatkan ketidakmampuan invasi

trofoblast terhadap arteri spiralis pada awal trimester satu dan trimester dua. Hal

ini akan menyebabkan arteri spiralis tidak dapat berdilatasi dengan sempurna dan

mengakibatkan turunnya aliran darah di plasenta (terlihat pada gambar 1).

Berikutnya akan terjadi stress oksidasi, peningkatan radikal bebas, disfungsi

endotel, agregasi dan penumpukan trombosit yang dapat terjadi diberbagai

organ.[8,9]

Gambar 1. Pebandingan antara invasi sitotrofoblas pada kehamilan normal dan

pada preeklamsia. Pada kehamilan normal sitotrofoblas mampu

menginvasi arteri spiralis yang mengakibatkan arteri tersebut

mengalami dilatasi sedangkan pada preeklampsia sitotrofoblas tidak

Page 5: Eklampsi.pdf

Arif Heru. Eklampsia. [Laporan Kasus Obstetri]. 2013 | 4 KKS Obstetri dan Ginokologi RSUD Bangkinang – Kampar

mampu menginvasi arteri spiralis sehingga arteri spiralis tidak

mengalami vasodilatasi.[9,10]

2.4 Faktor Resiko Terjadinya Preeklampsia dan Eklampsia

Berdasarkan data epiemiologi ternyata preeklamsia dan eklampsia lebih

sering terjadi pada wanita-wanita berikut:[8,9,11]

Preeklampsia lebih sering terjadi pada kehamilan pertama.

Preeklampsia lebih sering terjadi pada ibu-ibu setelah berganti pasangan.

Preeklampsi lebih sering terjadi pada ibu-ibu yang menggunakan alat

kontrasepsi.

Preeklamsia menurun ada wanita-wanita yang mengalami defisiensi

kekebalan (sel T) terkait HIV.

Kehamilan ganda.

Wanita dengan diabetes melitus.

Hipertensi essensial kronik.

Mola hidatidosa.

Hidrops fetalis.

Bayi besar.

Obesitas.

Riwayat pernah menderita preeklampsia atau eklamsia.

Riwayat keluarga pernah menderita preeklampsia atau eklamsia.

Pada tingkat molekuler, mediator kekebalan tubuh erat terlibat dalam

banyak aspek kehamilan untuk implantasi dan plasentasi. Sebuah kehamilan

normal disertai oleh kehamilan tertentu, immunomodulated dan respon inflamasi

terhadap stimulus antigenik yang diberikan oleh semiallograft janin-plasenta.

Namun, imunokompeten sel T ibu tidak langsung menghubungi janin. Mereka

hubungi vili trofoblas yang berasal dari janin, yang kurangnya ekspresi major

histocompatibility complex (MHC) antigen kelas I dan kelas II, dan ekstravili

trofoblas (EVT), yang hanya mengungkapkan leukosit manusia antigen (HLA)-C

(lemah),-Ib,-G, F-, dan-E, daripada yang kuat antigen transplantasi HLA-A,-B,-

Page 6: Eklampsi.pdf

Arif Heru. Eklampsia. [Laporan Kasus Obstetri]. 2013 | 5 KKS Obstetri dan Ginokologi RSUD Bangkinang – Kampar

D,-Ia dan -II. Dari jumlah tersebut, hanya HLA-C sinyal ayah (asing)

alloantigens.[9]

Gambar 2. Skematik kerja sistem imum ibu terhadap janin.[12]

Faktor inflamasi lainnya pada preeklamsia adalah suatu respon imunologi

ibu yang abnormal, terdiri perubahan peran monosit dan sel-sel pembunuh alami

(NK) untuk merilis sitokin dan aktivasi reseptor proinflamasi angiotensin II

subtipe 1 (AT1). Neutrofil diaktifkan, monosit, dan sel NK memulai peradangan,

yang pada gilirannya menyebabkan disfungsi endotel, jika sel-sel T aktif

mendukung toleransi yang tidak memadai selama kehamilan.[9]

2.5 Patofisiologi

Patogenesis kejang eklampsia adalah kurang dipahami. Kejang telah

dikaitkan dengan trombus platelet, hipoksia karena vasokonstriksi lokal, dan

fokus dari perdarahan di korteks. ( Current Obstetric & Gynecologic Diagnosis &

Treatment, 9th edition) Dalam beberapa dekade terakhir, dan ketika temua gejala

secara klinis, patologis dan neuroimaging, disumpulkan ada dua teori scara umum

untuk menjelaskan kelainan otak yang terkait dengan eklampsia. Disfungsi sel

endotel yang didapatkan pada sindrom preeklampsia mungkin memainkan peran

penting dalam kedua teori berikut:[9]

Page 7: Eklampsi.pdf

Arif Heru. Eklampsia. [Laporan Kasus Obstetri]. 2013 | 6 KKS Obstetri dan Ginokologi RSUD Bangkinang – Kampar

1. Teori pertama menyatakan bahwa dalam merespon hipertensi berat akut

menyebabkan vasospasme serebrovaskular. Teori ini didasarkan pada

hasil angiografi yang memperlihatkan adanya penampilan difus atau

multifokal segmental yang dicurigai sebagai vasospasme dari pembuluh

darah serebral pada wanita dengan preeklamsia berat dan eklampsia.

Dalam skema ini, berkurangnya CBF (cerebrovascular blood flow)

mengakibatkan iskemia, edema sitotoksik, dan akhirnya infark jaringan

otak.[9,13]

2. Teori kedua adalah bahwa peningkatan mendadak tekanan darah sistemik

melebihi capacitas autoregulatory serebrovaskular yang normal. Kawasan

tersebut dipaksa untuk bervasodilatasi dan vasokonstriksi berkembang,

terutama di zona batas arteri. Pada tingkat kapiler, gangguan tekanan

ujung-ujung kapiler menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik,

hyperperfusion, dan ekstravasasi plasma dan sel darah merah melalui

pembukaan tight junction endotel yang mengarah ke akumulasi edema

vasogenik.[9]

2.6 Manifestasi Klinis

Eklampsia merupakan kasus akut pada penderita preeklampsia, yang

disertai dengan kejang menyeluruh dan koma. Sama halnya dengan preeklampsia,

eklampsia dapat timbul pada ante, intra, dan postpartum.[8]

Eklampsia postpartum

umumnya hanya terjadi dalam 24 jam pertama setelah persalinan.[7]

Pada penderita peeklampsia yang akan kejang, umumnya memberi gejala-

gejala atau tanda-tanda yang khas, yang dapat dianggap sebagai tanda prodorma

akan terjadinya kejang. Preeklampsia yang disertai dengan tanda-tanda prodorma

ini disebut sebagai empending eclampsia atau imminent eclampsia.[7]

Berikut

adalah rangkaian gejala pada eklampsia. Kejang eklampsia dapat dibagi menjadi 2

tahap:

Tahap 1, kejang eklampsia berlangsung 15-20 detik dan dimulai dengan

wajah berkedut. Tubuh menjadi kaku, yang menyebabkan kontraksi otot

umum.[3]

Page 8: Eklampsi.pdf

Arif Heru. Eklampsia. [Laporan Kasus Obstetri]. 2013 | 7 KKS Obstetri dan Ginokologi RSUD Bangkinang – Kampar

Tahap 2, kejang eklampsia berlangsung sekitar 60 detik. Dimulai pada

rahang, bergerak ke otot-otot wajah dan kelopak mata, dan kemudian

menyebar ke seluruh tubuh. Otot-otot mulai bergantian antara berkontraksi

dan relaksasi dalam urutan cepat.[3]

Setelah kejang berhenti penderita mengalami koma selama beberapa saat.

Lamanya koma setelah kejang eklampsia bervariasi. Apabila kejang yang

terjadi jarang, penderita biasanya segera pulih kesadarannya segera setelah

kejang. Namun pada kasus – kasus yang berat, keadaan koma berlangsung

lama, bahkan penderita dapat mengalami kematian tanpa sempat pulih

kesadarannya. Pada kasus yang jarang, kejang yang terjadi hanya sekali

namun dapat diikuti dengan koma yang lama bahkan kematian.[3,8]

Frekuensi pernafasan biasanya meningkat setelah kejang eklampsia dan

dapat mencapai 50 kali/menit. Hal ini dapat menyebabkan hiperkarbia

sampai asidosis laktat, tergantung derajat hipoksianya. Pada kasus yang

berat dapat ditemukan sianosis. Demam tinggi merupakan keadaan yang

jarang terjadi, apabila hal tersebut terjadi maka penyebabnya adalah

perdarahan pada susunan saraf pusat.[3,8]

2.7 Diagnosis

Diagnosis eklampsia ditegakkan adanya gejala preeklampsia yang ditandai

dengan peningkatan tekanan darah, proteinuria, dan disertai kejang atau koma

pada kehamilan > 20 minggu.[9]

1. Anamnesis

Pasien dengan eklamsi biasanya dibawa ke rumah sakit karena mengalami

kejang atau koma secara tiba-tiba. Tanyakan sudah berapa lama pasien

mengalami kejang dan ada tidaknya kehilanga kesadaran setelah kejang.

Tanyakan kepada keluarga pasien tentang tekanan darah sebelum

kehamilan, apakah pasien sudah mengalami hipertensi sebelum kehamilan

atau tidak. Tanyakan juga tentang riwayat kehamilan sebelumnya apakah

sudah pernah kejang atau tidak pada kehamilan sebelumnya.[7]

Page 9: Eklampsi.pdf

Arif Heru. Eklampsia. [Laporan Kasus Obstetri]. 2013 | 8 KKS Obstetri dan Ginokologi RSUD Bangkinang – Kampar

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik terkait dengan eklamsi adalah pengukuran tekanan

darah, karena pada pasien dengan eklampsi selalu didahului oleh gejala

preeklampsia. pemeriksaan fuduskopi untuk menyingkirka adanya edama

pupil.[9,7]

3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang cukup penting untuk menegakkan eklampsia

adalah proteinuria. Telah disebutkan diatas bahwa eklampsia selalu

didahului oleh preeklampsia, oleh karena itu penting untuk mengetahui

kadar protein dalam urin.[7]

2.8 Penatalaksanaan

Perawatan dasar eklampsia yang utama ialah terapi suportif untuk

stabilisasi fungsi vital, yang harus selalu diingat Airway, Breathing, Circulation

(ABC), mengatasi dan mencegah kejang, mengendalikan hipoksemia dan

asidemia. Mencegah trauma pada waktu kejang, mengendalikan tekanan darah,

khususnya pada waktu krisis hipertensi, melahirkan janin pada waktu yang tepat

dan dengan cara yang tepat.[7]

1. Penanganan Kejang

Magnesium sulfat (MgSO4) merupakan obat pilihan utama untuk

mencegah dan mengatasi kejang pada preeklampsia berat dan eklampsia. Cara

pemberian lihat kotak berikut: [14,15]

Kotak 01. Pemberian Magnesium sulfat pada peeklampsia berat dan

eklampsia.[14]

Dosis awal

- MgSO4 4 gr IV sebagai larutan 40% selama 5 menit.

- Segera dilanjutkan dengan pemberian 10 gr larutan MgSO4 50%,

masing-masing 5 gr di bokong kanan dan kiri secara IM, ditambah 1

ml lignokain 2% pada spuit yang sama. Pasien akan merasa agak

panas sewaktu pemberian MgSO4.

Page 10: Eklampsi.pdf

Arif Heru. Eklampsia. [Laporan Kasus Obstetri]. 2013 | 9 KKS Obstetri dan Ginokologi RSUD Bangkinang – Kampar

- Jika kejang berulang setelah 15 menit, berikan MgSO4 2 gr (larutan

40%) IV selama 5 menit.

Dosis pemeliharaan

- MgSO4 1-2 gr perjam per infus, 15 tetes/menit atau 5 gr MgSO4 IM

tiap 4 jam.

- Lanjutkan pemberian MgSO4 sampai 24 jam pascapersalinan atau

kejang berakhir.

Sebelum pemberian MgSO4, periksa:

- Frekuensi pernafasan minimal 16/menit.

- Refleks patella (+).

- Urin minimal 30 ml/jam dalam 4 jam terakhir.

Berhentikan pemberian MgSO4, jika:

- Frekuensi pernapasan < 16/menit.

- Refleks patella (-).

- Urin < 30 ml/jam dalam 4 jam terakhir.

Siapkan antidotum

- Jika terjadi henti nafas: lakukan ventilasi (masker dan balon,

ventilator) berikan kalsium glukonat 1 gr (20 ml dalam larutan 10%)

IV perlahan-lahan sampai pernafasan mulai lagi.

Jika MgSO4 tidak tersedia dapat diberikan diazepam, dengan resiko

terjadinya depresi pernafasan neonatal. Dosis tunggal diazepam jarang

menimbulkan depresi pernapasan neonatal. Pemberian terus menerus secara

intravena meningkatkan resiko depresi pernapasan pada bayi yang sudah

mengalami iskemia uteroplasental dan persalinan prematur. Pengaruh diazepam

dapat berlangsung beberapa hari. Cara pemberian diazepam diuraikan pada kotak

berikut:[14]

Page 11: Eklampsi.pdf

Arif Heru. Eklampsia. [Laporan Kasus Obstetri]. 2013 | 10 KKS Obstetri dan Ginokologi RSUD Bangkinang – Kampar

Kotak 02: Pemberian Diazepam pada preeklampsia dan eklampsia.[14]

Catatan: Diazepam hanya dipakai jika MgSO4 tidak tersedia.

Pemberian intravena.

Dosis awal

- Diazepam 10 mg IV pelan-pelan selama 2 menit.

- Jika kejang berulang, ulangi dosis awal.

Dosis pemelihraan

- Diazepam 40 mg dalam 500 ml larutan Ringer Laktet per infus.

- Depresi pernafasan ibu mungkin akan terjadi jika dosis > 30 mg/jam.

- Jangan berikan > 100 mg/24 jam

Pemberian melalui rektum

- Jika pemberian IV tidak mungkin, diazepam dapat diberikan per

rektal, dengan dosis awal 20 mg dalam spuit 10 ml tanpa jarum.

- Jika konvulsi tidak teratasi dalam 10 menit, beri tambahan 10 mg/jam

atau lebih, bergantung pada berat badan pasien dan respon klinik.

2. Penanganan Hipertensi

Jika tekanan diastolik 110 mmHg atau lebih, berikan obat antihipertensi.

Tujuannya adalah untuk mempertahankan tekanan diastolik di antara 90 – 100

mmHg dan mencegah perdarahan serebral. Obat pilihan adalah hidralazin.[14]

Berikan hidralazin 5 mg IV pelan-pelan setiap 5 menit sampai tekanan darah

turun. Ulang setiap jam jika perlu atau berikan hidralazin 12,5 mg IV setiap

2 jam. [14]

Jika hidralazin tidak tersedia, berikan: [14]

- Labetolol 10 mg IV:

Jika respons tidak baik (tekanan diastolik tetap > 110 mmHg),

berikan labetolol 20 mg IV. [14]

Naikkan dosis sampai 40 mg dan 80 mg jika respons tidak baik

sesudah 10 menit. [14]

- Atau berikan nifedipin 5 mg sublingual. Jika tidak baik setelah 10

menit, beri tambahan 5 mg sublingual. [14]

- Metildopa 3 x 250 – 500 mg/hari. [14]

Page 12: Eklampsi.pdf

Arif Heru. Eklampsia. [Laporan Kasus Obstetri]. 2013 | 11 KKS Obstetri dan Ginokologi RSUD Bangkinang – Kampar

3. Penanganan Persalinan

Persalinan harus diusahakan segera setelah keadaan pasien stabil.

Penundaan persalinan meningkatkan resiko untuk ibu dan janin.[14]

Periksa serviks. [14]

Jika serviks matang, lakukan pemecahan ketuban, lalu induksi persalinan

dengan oksitosin atau prostaglandin. [14]

Jika persalinan pervaginam tidak dapat diharapkan dalam 12 jam (pada

eklampsia) atau dalam 24 jam (pada preeklampsia), lakukan seksio sesarea.

Jika denyut jantung janin < 100/menit atau > 180/menit lakukan seksio

sesarea. [14]

Jika serviks belum matang, janin hidup, lakukan seksio sesarea. [14]

Jika anestesia untuk seksio sesarea tidak tersedia, atau jika janin mati atau

terlalu kecil: [14]

- Usahakan lahir pervaginam.

- Matangkan serviks dengan misoprostol, prostaglandin, atau kateter

Foley.

Catatan: jika seksio sesarea akan dilakukan, perhatikan bahwa: [14]

Tidak terdapat koagulopati.

Anestesia yang aman/terpilih adalah anestesia umum, sedangkan anestesia

spinal berhubungan dengan resiko hipotensi. Resiko ini dapat dikurangi

dengan memberikan 500 – 1000 ml cairan IV sebelum anestesia.

Jika anestesia umum tidak tersedia, janin mati, atau kemungkinan hidup

kecil, lakukan persalinan pervaginam.

4. Perawatan Pascapersalinan

Anti konvulsan diteruskan sampai 24 jam setelah persalinan atau kejang

terakhir. [14]

Teruskan terapi antihipertensi jika tekanan diastolik masih 10 mmHg atau

lebih. [14]

Pantau urin.

Page 13: Eklampsi.pdf

Arif Heru. Eklampsia. [Laporan Kasus Obstetri]. 2013 | 12 KKS Obstetri dan Ginokologi RSUD Bangkinang – Kampar

2.9 Komplikasi

1. Edema pulmo. Edema pulmo dapat terjadi setelah kejang eklampsia. Hal

ini dapat terjadi karena pneumonia aspirasi dari isi lambung yang masuk

ke dalam saluran nafas yang disebabkan penderita muntah saat kejang.

Selain itu dapat pula karena penderita mengalami dekompensasio kordis,

sebagai akibat hipertensi berat dan pemberian cairan yang berlebihan.[8]

2. Perdarahan otak. Pada beberapa kasus eklampsia, kematian mendadak

dapat terjadi bersamaan atau beberapa saat setelah kejang sebagai akibat

perdarahan otak yang masiv. Apabila perdarahan otak tersebut tidak fatal

maka penderita dapat mengalami hemiplegia. Perdarahan otak lebih sering

didapatkan pada wanita usia lebih tua dengan riwayat hipertensi kronis.

Pada kasus yang jarang perdarahan otak dapat disebabkan pecahnya

aneurisma Berry atau arterio venous malformation. Pada kira- kira 5 %

kasus kejang eklampsia terjadi penurunan kesadaran yang berat bahkan

koma yang menetap setelah kejang. Hal ini sebagai akibat edema serebri

yang luas. Sedangkan kematian pada kasus eklampsia dapat pula terjadi

akibat herniasi uncus trans tentorial. [8]

3. Kebutaan. Pada kira – kira10 % kasus, kejang eklampsia dapat diikuti

dengan kebutaan dengan variasi tingkatannya. Kebutaan jarang terjadi

pada pre eklampsia. Penyebab kebutaan ini adalah terlepasnya perlekatan

retina atau terjadinya iskemia atau edema pada lobus oksipitalis. Prognosis

penderita untuk dapat melihat kembali adalah baik dan biasanya

pengelihatan akan pulih dalam waktu 1 minggu. [8]

4. Gangguan psikis. Pada kasus yang jarang kejang eklampsia dapat diikuti

dengan psikosis, penderita berubah menjadi agresif. Hal ini biasanya

berlangsung beberapa hari sampai sampai 2 minggu namun prognosis

penderita untuk kembali normal baik asalkan tidak terdapat kelainan

psikosis sebelumnya. Pemberian obat – obat antipsikosis dengan dosis

yang tepat dan diturunkan secara bertahap terbukti efektif dalam mengatasi

masalah ini. [8]

Page 14: Eklampsi.pdf

Arif Heru. Eklampsia. [Laporan Kasus Obstetri]. 2013 | 13 KKS Obstetri dan Ginokologi RSUD Bangkinang – Kampar

2.10 Prognosis

Bila penderita tidak terlambat dalam pemberian pengobatan, maka gejala

perbaikan akan tampak jelas setelah kehamilannya diakhiri. Segera setelah

persalinan berakhir perubahan patofisiologi akan segera pula mengalami

perbaikan. Diuresis terjadi 12 jam kemudian setelah persalinan. Keadaan ini

merupakan tanda prognosis yang baik, karena hal ini merupakan gejala pertama

penyembuhan. Tekanan darah kembali normal dalam beberapa jam kemudian.[7]

Eklamsia tidak mempengaruhi kehamilan berikutnya, kecuali pada janin

dari ibu yang sudah mempunyai hipertensi kronik. Prognosis janin pada penderita

eklampsia juga tergolong buruk. Seringkali janin mati intrauterin atau mati pada

fase neonatal karena memang kondisi bayi sudah sangat inferior.[7]

Page 15: Eklampsi.pdf

Arif Heru. Eklampsia. [Laporan Kasus Obstetri]. 2013 | 14 KKS Obstetri dan Ginokologi RSUD Bangkinang – Kampar

BAB III

KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : Ny. R

Umur : 36 tahun

No MR : 09.10.36

Pendidikan : SD

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Agama : Non Muslim

Suku/Bangsa : Indonesia

Alamat : Sei. Jernih,Tapung

Masuk RSUPM : 19 Agustus 2013

Jam : 16.12 WIB

3.2 Anamnesis (Allo)

KU : Sakit kepala disertai kejang .

RPS :

- Seorang pasien wanita usia 36 tahun dengan G3P2A0H2 masuk

Rumah Sakit dengan keluhan sakit kepala sejak tadi malam.

- Keluarga pasien juga mengatakan pasein juga mengalami kejang

sebelum dibawa ke Bidan setempat, kemudian paginya pasien

dibawa ke Bidan dan pasien mengalami kejang kembali sebanyak

3x pasien dirujuk ke RSUD Bangkinang.

- Setibanya di IGD RSUD bangkinang pasien mengalami kejang

kembali sebanyak 1x. Kejang selama ± 15 detik disertai penurunan

kesadaran setelah kejang.

- BAK (+) Normal, BAB (+) normal.

RPD :

- Riwayat tekanan darah tinggi pada kehamilan sebelumnya

disangkal pasien.

- Riwayat penyakit epilepsi disangkal pasien.

Page 16: Eklampsi.pdf

Arif Heru. Eklampsia. [Laporan Kasus Obstetri]. 2013 | 15 KKS Obstetri dan Ginokologi RSUD Bangkinang – Kampar

- Asma (-), Diabetes Mellitus (-)

Riwayat Pengobatan: (-)

Riwayat pernikahan: Pernikahan yang ke 2. (Pada pernikahan yang

pertama pasien tidak pernah mengeluhkan keluhan yang sama seperti apa

yang dirasakan saat ini.

Status Kehamilan : G3P2A0H2 Gravid aterm?

Riwayat Menstruasi

- HPHT : -

- TTP : -

- Lama siklus : -

- Siklus : -

Pemeriksaan ANC : Periksa kehamilan pada bidan

- Trimester I : -

- Trimester II : -

- Trimester III : -

Riwayat Persalinan :

- Anak pertama dan kedua lahir normal pervaginam.

- Anak ketiga hamil ini.

3.3 Pemeriksaan Fisik

A. Vital Sign

Keadaan Umum: tampak sakit sedang - berat.

Sensorium: Compos Mentis non kooperatif

TD: 160/130 mmHg

Pulse: 86 x/menit

RR: 24 x/menit

Suhu: 36,8oC

Page 17: Eklampsi.pdf

Arif Heru. Eklampsia. [Laporan Kasus Obstetri]. 2013 | 16 KKS Obstetri dan Ginokologi RSUD Bangkinang – Kampar

B. Status Generalisata

Kepala

- Mata: Konjungtiva anemis (-/-), injeksi silier (-/-) sklera ikterik (-/-),

hematoma periorbita (-/-).

- Hidung: Dalam batas normal, darah (-)

- Telinga: Dalam batas normal, darah (-)

- Mulut: Mukosa hiperemis (-), lidah kotor (-), darah (-)

- Leher: Perbesaran KGB (-), Peninggian JPV (-).

Thorax

a. Paru-paru

- Inspeksi: Dinding dada simetris, pergerakan simetris, retraksi dinding

dada (-), tanda-tanda trauma tumpu (-).

- Palpasi: Vocal fremitus simetris kanan-kiri

- Perkusi: Sonor dikedua lapang paru.

- Auskultasi: vesikular dikedua lapang paru.

b. Jantung

- Inspeksi: Ictus cordis tidak terlihat.

- Palpasi: Ictus cordis tidak teraba.

- Perkusi: Batas atas ISC III linea midclavicularis sinistra, batas bawah

ISC V linea midclavicularis sinistra, batas kanan ISC IV parasternalis

dextra, batas kiri ISC IV midclavicularis sinistra.

- Auskultasi: BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-).

Abdomen

- Ispeksi: Bentuk perut datar, tidak tegang, tanda-tanda peradangan (-),

tanda-tanda trauma tumpul (-).

- Auskultasi: Peristaltik usus (+).

- Palpasi: Nyeri tekan epigastrium (-), nyeri tekan abdomen (-).

- Perkusi: Timpani diseluruh kuadran abdomen kecuali kuadran kanan

atas dan kanan bawah.

Ekstremitas

- Superior: Capillary reffil time < 2 dtk, turgor kulit < 2 dtk.

- Inferior: Capillary reffil time < 2 dtk, edema (-), turgor kulit < 2 dtk.

Page 18: Eklampsi.pdf

Arif Heru. Eklampsia. [Laporan Kasus Obstetri]. 2013 | 17 KKS Obstetri dan Ginokologi RSUD Bangkinang – Kampar

C. Status Obstetri

1. Palpasi

Leopold I : TFU 2 jari dibawah PX, teraba bagian lunak dari janin dan

tidak melenting.

Leopold II : Kanan; teraba bagian keras dari janin, Kiri; teraba bagian

kecil-kecil dari janin.

Leopold III : Teraba bagian keras dari janin melenting.

Leopold IV : Sudah masuk PAP

DJJ : 132 x/menit (reguler)

TBJ : 36 - 11x155 : 3875 gr

2. Pemeriksaan Dalam

Tidak dilakukan pemeriksaan dalam.

D. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium (Tanggal 19/08/2013)

- Darah rutin:

- Hb : 11.8 gr/dl (12-16)

- Leukosit : 19.900 /mm3

(5-12)

- Hematokrit : 34.5 % (37-47)

- Trombosit : 183.000/mm3 (150-450)

- KGDR : 105 mg/dl (≤150)

- Gijal – Hipertensi

- Kreatinin : 1.2 mg/dl (0.5-1.4)

- Urin rutin

- Warna : kuning pekat

- Berat jenis : 1.015

- pH : 6

- Lekosit : negarif

- Nitrit : negatif

- Protein : 4+

- Glukosa : negatif

Page 19: Eklampsi.pdf

Arif Heru. Eklampsia. [Laporan Kasus Obstetri]. 2013 | 18 KKS Obstetri dan Ginokologi RSUD Bangkinang – Kampar

- Bilirubin : negatif

- Urobilinogen : negatif

- Darah : 5+

- Keton : 3+

- Sedimen

Eritrosit : penuh

Lekosit : 0-2

Epitel : 0-1

- Masa pembekuan (CT) : 10.30 menit (<15 menit)

- Masa pembekuan (BT) : 4 menit (<5 menit)

- Protein total : 5.2 gr/dl (6-8)

- Albumin : 2.2 gr/dl (3.5-5.1)

- Golongan darah : O Rh+

E. Diagnosis Sementara

G3P2A0H2 + Eklampsi + Aterm? + KDR? Minggu + Letak Kepala +

Anak Hidup Tunggal.

F. Penatalaksanaan Seksio Sesarea (Cito) Rawat ICU post SC

- IVFD RL 20 gtt/I

- D/C Terpasang

- Cefotaxime 1 gr amp/12 jam IV

- Metronidazole flc/12 jam IV

- Ketorolac 1 amp/12 jam IV

- As. Traneksamat 1 amp/12 jam IV

- MgSO4 40% drip 15 tts/mnt

- Metildofa 250 mg tablet 3x1

H. Rencana

- SC Cito tanggal 19 Juni 2013 Pukul 11.30 WIB oleh dr. Erry Syahbani

Sp.OG G3P2A0H2 + Eklampsia + Aterm

- Konsul bagian Anestesi

- Konsul bagian Anak

Page 20: Eklampsi.pdf

Arif Heru. Eklampsia. [Laporan Kasus Obstetri]. 2013 | 19 KKS Obstetri dan Ginokologi RSUD Bangkinang – Kampar

I. Prognosis: Dubia at Bonam

3.4. Laporan Sectio Caesaria (Tanggal 19-08-2013 pukul 13.15 WIB)

- Lama operasi : 1 jam

- Jenis anestesi : General Anastesi

- Jenis insisi kulit : Transversal Line (SBR)

- Cara melahirkan plasenta : Traksi tali pusat

- Keadaan ibu post SC : Kejang 1X

- Keadaan janin : perempuan, BB : 3000 gram, PB : 52 cm,

LD : 36 cm, LK :33, A/S : 8/9, anus (+)

Pasien dibaringkan di meja operasi dengan infus dan kateter terpasang

baik. Dilakukan anastesi umum dan tindakan aseptik dan antiseptik diseluruh

abdomen dengan larutan betadine dan alkohol 70% dan ditutup dengan doek steril

kecuali lapangan operasi. Dilakukan insisi Transversal line (SBR) mulai kutis, sub

kutis, dan fascia digunting dari kiri ke kanan, dengan menyisipkan pinset

anatomis dibawahnya. Otot dikuakkan dan peritoneum paritalis dijinjing ke atas

dengan klem di gunting ke atas dan ke bawah tampak uterus gravidarum sesuai

usia kehamilan. Plika vesikouterina digunting ke kiri dan ke kanan kemudian di

bebaskan ke arah blast. Uterus di insisi secara konkaf sampai subendometrium

dan ditembus secara tumpul. , dilakukan traksi pada kepala, lahir bayi perempuan

dengan BB: 3000 gr, PB: 52 cm, APGAR score 8/9, anus (+). Dengan traksi tali

pusat, plasenta dilahirkan. Kavum uteri dibersihkan dari sisa selaput ketuban

dengan kasa steril terbuka, sampai tidak ada selaput ketuban atau bagian yang

tertinggal. Kemudian uterus dijahit dengan chromic catgut no.2 secara continues

interlocking dan overhecting kemudian dilakukan repitonealisasi. Evaluasi

perdarahan pada uterus, kesan: tidak ada perdarahan. Cavum abdomen

dibersihkan dari sisa darah dan air ketuban. Kemudian dijahit lapis demi lapis

mulai dari peritoneum, fascia, otot, hingga subkutis dan dilanjutkan penjahitan

subkutikuler pada kutis. Luka operasi ditutup dengan kassa betadine, dan tutup

dengan hypafix. Dilakukan vulva toilet. Keadaan umum ibu post SC tidak stabil.

Page 21: Eklampsi.pdf

Arif Heru. Eklampsia. [Laporan Kasus Obstetri]. 2013 | 20 KKS Obstetri dan Ginokologi RSUD Bangkinang – Kampar

3.5. Follow Up (Post Sectio Caesaria)

Tanggal/hari Penjelasan

19/08/2013

Pasien dirawat

di ICU

S: - Nyeri pd luka post SC

- Kejang (-)

- Pangan kabur (+)

O: - Kesadaran: CM non-kooperatif

- Vital sign:

TD: 160/110 mmHg - Lochia (+) banyak

Pulse: 78 x/mnt - TFU Setinggi pusat

RR: 20 x/mnt - CA (+/+)

T: 37,4oC

Darah rutin post SC

- Hb : 8.0 gr/dl (12-16)

- Leukosit : 18.200 /mm3

(5-12)

- Ht : 24.0 % (37-47)

- Trombosit : 270.000/mm3 (150-450)

- KGDR : 95 mg/dl (≤150)

A: P3 A0 H3 Post SC a/i Eklampsia

P: - Bed rest

- Diet MBRG

- IVFD RL 28 gtt/mnt

- DC terpasang

- Cefotaxime 1 gr/12 jam IV

- Metronidazole 1 flc/12 jam IV

- As. Traneksamat 1 amp/12 jam IV

- Ketololac 1 amp/12 jam IV

- Nifedipin 5 mg tablet 2x1

- Metildofa 250 mg tablet 3x1

20/08/2013

Pasien dirawat

di ICU

S: - Nyeri pd luka post SC

- Kejang (-)

- Pandangan kabur (+)

O: - Kesadaran: CM non-kooperatif

- Vital sign:

TD: 160/110 mmHg - Lochia (+) banyak

Pulse: 78 x/mnt - TFU Setinggi pusat

RR: 20 x/mnt - CA (+/+)

T: 37,4oC

A: P3 A0 H3 Post SC a/i Eklampsia

P: - Bed rest

Page 22: Eklampsi.pdf

Arif Heru. Eklampsia. [Laporan Kasus Obstetri]. 2013 | 21 KKS Obstetri dan Ginokologi RSUD Bangkinang – Kampar

- Diet MBRG

- IVFD RL 28 gtt/mnt

- DC terpasang

- Cefotaxime 1 gr/12 jam IV

- Metronidazole 1 flc/12 jam IV

- As. Traneksamat 1 amp/12 jam IV

- Ketololac 1 amp/12 jam IV

- Nifedipin 5 mg tablet 2x1

- Metildofa 250 mg tablet 3x1

21/85/2013

Pasien dirawat

di ICU

S: - Nyeri pd luka post SC

- Kejang (-)

- Pangan kabur (+)

O: - Kesadaran: CM non-kooperatif

- Vital sign:

TD: 160/100 mmHg - Lochia (+) banyak

Pulse: 78 x/mnt - TFU Setinggi pusat

RR: 20 x/mnt - CA (+/+)

T: 37,4oC

A: P3 A0 H3 Post SC a/i Eklampsia

P: - Bed rest

- Diet MBRG

- Cefotaxime 500 mg tablet 3x1

- Metronidazole tablet 3x1

- As. Traneksamat tablet 3x1

- Ketololac tablet 3x1

- Nifedipin 5 mg tablet 2x1

- Metildofa 250 mg tablet 3x1

22/08/2013

Pasien dirawat

di Ruang Rawat

KB

S: - Nyeri pd luka post SC

- Kejang (-)

- Pangan kabur (+)

O: - Kesadaran: CM non-kooperatif

- Vital sign:

TD: 160/110 mmHg - Lochia (+) banyak

Pulse: 78 x/mnt - TFU Setinggi pusat

RR: 20 x/mnt - CA (+/+)

T: 37,4oC

A: P3 A0 H3 Post SC a/i Eklampsia

P: - Bed rest

- Diet MBRG

Page 23: Eklampsi.pdf

Arif Heru. Eklampsia. [Laporan Kasus Obstetri]. 2013 | 22 KKS Obstetri dan Ginokologi RSUD Bangkinang – Kampar

- Cefotaxime 500 mg tablet 3x1

- Metronidazole tablet 3x1

- As. Traneksamat tablet 3x1

- Ketololac tablet 3x1

- Nifedipin 5 mg tablet 2x1

- Metildofa 250 mg tablet 3x1

23/08/2013

Pasien dirawat

di Ruang Rawat

KB

S: - Nyeri pd luka post SC

- Kejang (-)

- Pangan kabur (+)

O: - Kesadaran: CM non-kooperatif

- Vital sign:

TD: 150/100 mmHg - Lochia (+) banyak

Pulse: 78 x/mnt - TFU Setinggi pusat

RR: 20 x/mnt - CA (+/+)

T: 37,4oC

A: P3 A0 H3 Post SC a/i Eklampsia

P: - Bed rest

- Diet MBRG

- Cefotaxime 500 mg tablet 3x1

- Metronidazole tablet 3x1

- As. Traneksamat tablet 3x1

- Ketololac tablet 3x1

- Nifedipin 5 mg tablet 2x1

- Metildofa 250 mg tablet 3x1

24/08/2013

Pasien dirawat

di Ruang Rawat

KB

Pasien Pulang

Atas Permintaan

Sendiri (PAPS)

S: - Nyeri pd luka post SC

- Kejang (-)

- Pangan kabur (+)

O: - Kesadaran: CM kooperatif

- Vital sign:

TD: 160/100 mmHg - Lochia (+) banyak

Pulse: 78 x/mnt - TFU Setinggi pusat

RR: 20 x/mnt - CA (+/+)

T: 37,4oC

A: P3 A0 H3 Post SC a/i Eklampsia

P: - Bed rest

- Diet MBRG

- Cefotaxime 500 mg tablet 3x1

- Metronidazole tablet 3x1

- As. Traneksamat tablet 3x1

Page 24: Eklampsi.pdf

Arif Heru. Eklampsia. [Laporan Kasus Obstetri]. 2013 | 23 KKS Obstetri dan Ginokologi RSUD Bangkinang – Kampar

- Ketololac tablet 3x1

- Nifedipin 5 mg tablet 2x1

- Metildofa 250 mg tablet 3x1

Page 25: Eklampsi.pdf

Arif Heru. Eklampsia. [Laporan Kasus Obstetri]. 2013 | 24 KKS Obstetri dan Ginokologi RSUD Bangkinang – Kampar

BAB IV

PENUTUP

4.1 Diskusi

Seorang pasien wanita usia 36 tahun dengan G3P2A0H2 masuk Rumah

Sakit dengan keluhan sakit kepala sejak tadi malam. Keluarga pasien juga

mengatakan pasein juga mengalami kejang sebelum dibawa ke Bidan setempat,

kemudian paginya pasien dibawa ke Bidan dan pasien mengalami kejang kembali

sebanyak 3x pasien dirujuk ke RSUD Bangkinang. Setibanya di IGD RSUD

bangkinang pasien mengalami kejang kembali sebanyak 1x. Kejang selama ± 15

detik disertai penurunan kesadaran setelah kejang. Dan pasien juga mengalami

peningkatan tekanan darah (160/130 mmHg). Dari kasus diatas merupakan suatu

tanda bahaya pada wanita hamil. Karena ketika seseorang telah mengalami kejang

berarti ada gangguan neurotransmiter pada otak. Dan kejang yang disertai dengan

adanya peningkatan tekanan darah pada wanita hamil disebut eklampsia.[6,7]

Keluhan tersebut baru pertama kali dialami pasien, pada kehamilan

sebelumnya pasien tidak pernah menderita keluhan yang sama dengan yang

dialaminya saat ini. Dari riwayat pernikahan, pada kehamilan kali ini merupakan

kehamilan yang ketiga dari suami yang kedua. Riwayat ganti pasangan merupakan

faktor resiko untuk munculnya eklamsia. Karena ini berhubungan dengan sistem

imunologi ibu terhadap janin, seperti yang telah dijelaskan pada refrat diatas.[9]

Pada pasien tersebut diberikan MgSO4 pada saat di IGD dan rencana SC

sito. Hal ini sesuai dengan tatalaksana pasien dengan eklamsia, karena

penaktalaksanaan pasien eklamsi adalah penanganan kejang dan melahirkan janin

pada waktu yang tepat dan dengan cara yang tepat.[7,14,15]

4.2 Simpulan

Eklampsia adalah terjadinya onset baru dari kejang umum atau koma pada

wanita dengan preeklampsia. Eklampsia merupakan komplikasi dari preeklampsia

yang serius yang mengancam jiwa ibu atau janin yang sedang dikandung.

Penangan eklamsia adalah mencegah kejang berulang dan terminasi kehamilan.

Page 26: Eklampsi.pdf

Arif Heru. Eklampsia. [Laporan Kasus Obstetri]. 2013 | 25 KKS Obstetri dan Ginokologi RSUD Bangkinang – Kampar

DAFTAR PUSTAKA

1. DeCherney AH, Nathan L, Goodwin TM, Laufer N. Current Diagnosis &

Treatment Obstetrics & Gynecology, Tenth Edition. 2007. United States:

McGraw-Hill Companies.

2. Duley L. Pre-eclampsia, Eclampsia, and Hypertension. Clinicalevidence

Journal. [database on the NCBI] 2011. [cited on August 23, 2013];

02:1402. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/

PMC3275298/pdf/2011-1402.pdf.

3. Ross MG, Ramus RM. Eclampsia. Medscape Article. [database on the

medscape] 2013. [cite on August 23, 2013]. Available from:

http://emedicine.medscape.com/article/253960-overview#showall.

4. Vaisbuch E, Whitty JE, Hassan SS, Romero R, Kusanovic JP, et al.

Circulating Angiogenic and Anti-angiogenic Factor in Pregnant Women

with Eclampsia. Am J Obstet Gynecol 2011. [database on the NCBI] 2011.

[cited on August 29, 2013]. 204(2): 152. Available from:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/ PMC3057127/pdf/nihms-

253539.pdf.

5. Salha O, Walker JJ. Modern Management of Eclampsia. Postgrad Med J.

[data base on the NCBI]. 1999. [cited on August 29, 2013]. 75:78–82.

Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1741124/

pdf/v075p00078.pdf.

6. Gibbs RS, Karlan BY, Haney AF, Nygaard I. Danforth's Obstetrics and

Gynecology, 10th Edition. 2008. Lippincott Williams & Wilkins.

7. Saifuddin AB, Rachimhadhi T, Wiknjosastro GH. Ilmu Kebidanan

Sarwono Prawirohardjo. Edisis Keempat. 2009. Jakarta: PT Bina Pustaka.

Hal; 550 – 553.

8. Prasetiyo I. Eklampsia. SMF Obstetri & Ginekologi RSUD. RAA

Soewondo Pati. [Artikel] 2012. [diunduh pada tgl 25 Agustus 2013].

Available from: http://www.scribd.com/document_downloads/direct/

73697796?extension=pdf&ft=1377276611&lt=1377280221&user_id=891

34340&uahk=6aYoOtTv7kmFmVZzrOLV2Wkecng.

9. Lindheimer MD, Roberts JM, Cunningham FG, Chesley LC. Chesley’s

Hypertensive Disorders in Pregnancy Third Edition. 2009. USA: Elsevier.

Page 59, 91.

Page 27: Eklampsi.pdf

Arif Heru. Eklampsia. [Laporan Kasus Obstetri]. 2013 | 26 KKS Obstetri dan Ginokologi RSUD Bangkinang – Kampar

10. Lazdam M, Davis EF, Lewandowski AJ, Worton SA, Kenworthy Y, et al.

Prevention of Vascular Dyfunction after Preeclampsia: A Potential Long-

Term Outcome Measure and an Emerging Goal for Treatment. Review

Article. Journal of Pregnancy 2012. [data base on the NCBI]. [cited on

September 04, 2013]. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/

pmc/articles/ PMC3235810/pdf/JP2012-704146.pdf.

11. Reyes LM, Garcia RG, Ruiz SL, Camacho PA, Ospina MB, et al. Risk

Factors for Preeclampsia in Women from Colombia: A Case Control

Study. Plosone Journal. [data base on the NCBI] 2012. [cited on

September 04, 2013]. 7(7): Available from:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3402451/pdf/pone.004162

2.pdf.

12. semiallograft. [google image] 2013. [cited on September 05, 2013].

Available from: https://www.google.com/search?q=semiallograft.

13. Euser AG, Cipolla MG. Magnesium Sulfate Treatment for the Prevention

of Eclampsia: A Brief Review. Stroke Journal. [database on the NCBI]

2009. [cited on August 29, 2013]. 40(4): 1169–1175. Available from:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/ PMC2663594/pdf/nihms-

72644.pdf.

14. Saifuddin AB, Wiknjosastro GH, Affandi B, Waspodo D. Buku Panduan

Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Edisi Pertama. 2010.

Jakarta: PT Bina Pustaka. Hal; M 38 – 41.

15. Chaturvedi S, Randive B, Mistry N. Availability of Treatment for

Eclampsia in Public Health Institutions in Maharashtra, India. J Health

Popul Nutr 2013. [database on the NCBI] 2013. [cited on September 07,

2013]. (1):86-95. Available from:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3702363/pdf/jhpn0031-

0086.pdf.