ehd

55
BAB I PENDAHULUAN Cedera kepala terjadi akibat trauma pada jaringan otak yang dapat terjadi secara langsung maupun efek sekunder dari trauma yang terjadi. 1 Survey di Indonesia menurut kesehatan rumah tangga, trauma merupakan penyebab kematian nomor satu untuk usia 15-24 tahun, dengan perkiraan sebagian besar kematian tersebut berhubungan dengan cedera kepala, 70% penderita yang meninggal akibat trauma belum sempat mendapatkan perawatan rumah sakit. Penyebab cedera kepala terbanyak ialah akibat kecelakaan lalu lintas. 3 Suatu cedera kepala dapat mengakibatkan patah tulang tengkorak, kontusio, gegar otak, perdarahan intrakranial, seperti epidural hematoma (EDH), subdural hematoma (SDH), perdarahan subaraknoid (SAH) dan perdarahan intraserebral (ICH). Otak juga di kelilingi oleh sesuatu yang berguna sebagai pembungkus yang di sebut dura. Fungsinya untuk melindungi otak, menutupi sinus-sinus vena, dan membentuk periosteum tabula interna. Ketika seseorang mendapat benturan yang hebat di kepala kemungkinan akan terbentuk suatu lubang, pergerakan dari otak mungkin akan menyebabkan pengikisan atau robekan dari pembuluh darah yang mengelilingi otak dan dura, ketika pembuluh darah mengalami robekan maka darah akan terakumulasi dalam 1

description

aser

Transcript of ehd

Page 1: ehd

BAB I

PENDAHULUAN

Cedera kepala terjadi akibat trauma pada jaringan otak yang dapat terjadi

secara langsung maupun efek sekunder dari trauma yang terjadi.1 Survey di

Indonesia menurut kesehatan rumah tangga, trauma merupakan penyebab

kematian nomor satu untuk usia 15-24 tahun, dengan perkiraan sebagian besar

kematian tersebut berhubungan dengan cedera kepala, 70% penderita yang

meninggal akibat trauma belum sempat mendapatkan perawatan rumah sakit.

Penyebab cedera kepala terbanyak ialah akibat kecelakaan lalu lintas.3

Suatu cedera kepala dapat mengakibatkan patah tulang tengkorak,

kontusio, gegar otak, perdarahan intrakranial, seperti epidural hematoma (EDH),

subdural hematoma (SDH), perdarahan subaraknoid (SAH) dan perdarahan

intraserebral (ICH). Otak juga di kelilingi oleh sesuatu yang berguna sebagai

pembungkus yang di sebut dura. Fungsinya untuk melindungi otak, menutupi

sinus-sinus vena, dan membentuk periosteum tabula interna. Ketika seseorang

mendapat benturan yang hebat di kepala kemungkinan akan terbentuk suatu

lubang, pergerakan dari otak mungkin akan menyebabkan pengikisan atau

robekan dari pembuluh darah yang mengelilingi otak dan dura, ketika pembuluh

darah mengalami robekan maka darah akan terakumulasi dalam ruang antara dura

dan tulang tengkorak, keadaan inlah yang di kenal dengan sebutan epidural

hematom.2

Salah satu jenis perdarahan intrakranial yang paling sering terjadi ialah

EDH. EDH sebagai keadaan neurologis yang bersifat emergency dan biasanya

berhubungan dengan linear fraktur yang memutuskan arteri yang lebih besar,

sehingga menimbulkan perdarahan. Perdarahan masuk kedalam ruang epidural,

bila terjadi perdarahan arteri maka hematom akan cepat terjadi. EDH terjadi pada

2% pasien dengan cedera kepala dan 5-15% pada pasien dengan cedera kepala

berat. EDH perlu selalu dipikirkan karena dapat menyebabkan komplikasi serius

terbanyak pada cedera kepala, sehingga perlu diagnosa sesgera dan intervensi

bedah. EDH dapat terjadi akut (58%), subakut (31%), atau kronik (11%).

1

Page 2: ehd

Di Amerika Serikat, 2% dari kasus trauma kepala mengakibatkan EDH

dan sekitar 10%  mengakibatkan koma. Secara Internasional frekuensi kejadian

hematoma epidural hamper sama dengan angka kejadian di Amerika Serikat.

Orang yang beresiko mengalami EDH adalah orang tua yang memiliki masalah

berjalan dan sering jatuh. Hematoma epidural, enam puluh persen penderitanya

adalah berusia dibawah 20 tahun, dan jarang terjadi pada umur kurang dari 2

tahun. EDH juga jarang pada orang yang berusia tua lebih dari 60 tahun karena

dura melekat erat pada kalvaria. Angka kematian meningkat pada pasien yang

berusia kurang dari 5 tahun dan lebih dari 55 tahun. Lebih banyak terjadi pada

laki-laki dibanding perempuan dengan perbandingan 4:1.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Kepala9,10,15

Otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit dan tulang yang

membungkusnya. Tanpa perlindungan ini, otak akan mudah sekali terkena cedera

dan mengalami kerusakan. Selain itu, sekali neuron rusak, tidak dapat di perbaiki

lagi.

Otak dilindungi oleh:

1. SCALP

SCALP terdiri atas 5 lapisan, 3 lapisan pertama saling melekat dan

bergerak sebagai satu unit.

SCALP terdiri dari:

a. Skin atau kulit, tebal, berambut dan mengandung banyak kelenjar sebacea.

2

Page 3: ehd

b. Connective tissue atau jaringan penyambung, merupakan jaringan lemak

fibrosa yang menghubungkan kulit dengan aponeurosis dari m. Occipito

frontalis di bawahnya. Banyak mengandung pembuluh darah besar terutama

dari lima arteri utama, yaitu cabang supra trokhlear dan supra orbital dari

arteri oftalmik di sebelah depan, dan tiga cabang dari karotid eksternal-

temporal superfisial, aurikuler posterior, dan oksipital di sebelah posterior dan

lateral. Pembuluh darah ini melekat erat dengan septa fibrosa jaringan

subkutis sehingga sukar berkontraksi atau mengerut. Apabila pembuluh darah

ini robek, maka pembuluh darah ini sukar mengadakan vasokonstriksi dan

dapat menyebabkan kehilangan darah yang bermakna pada penderita laserasi

kulit kepala. Perdarahan sukar dijepit dengan forcep arteri. Perdarahan diatasi

dengan menekannya dengan jari atau dengan menjahit laserasi.

c. Aponeurosis atau galea aponeurotika, merupakan suatu jaringan fibrosa, padat,

dapat digerakkan dengan bebas, membantu menyerap kekuatan trauma

eksternal, menghubungkan otot frontalis dan otot occipitalis. Spatium

subaponeuroticum adalah ruang potensial dibawah aponeurosis epicranial.

Dibatasi di depan dan di belakang oleh origo m. occipito frontalis, dan meluas

ke lateral sampai ke tempat perlekatan aponeurosis pada fascia temporalis.

d. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar, menghubungkan

aponeurosis galea dengan periosteum cranium (pericranium). Mengandung

beberapa arteri kecil dan beberapa v.emmisaria yang menghubungkan

v.diploica tulang tengkorak dan sinus venosus intrakranial. Pembuluh-

pembuluh darah ini dapat membawa infeksi dari kulit kepala sampai jauh ke

dalam tengkorak, sehingga pembersihan dan debridement kulit kepala harus

dilakukan secara seksama bila galea terkoyak. Darah atau pus yang terkumpul

di daerah ini tidak bisa mengalir ke regiooccipital atau subtemporal karena

adanya perlekatan occipitofrontalis. Cairan bisa masuk ke orbita dan

menyebabkan hematoma yang bisa jadi terbentuk dalam beberapa waktu

setelah trauma kapitis berat atau operasi kranium.

e. Pericranium merupakan periosteum yang menutupi permukaan luar tulang

tengkorak. Sutura diantara tulang-tulang tengkorak dan periosteum pada

3

Page 4: ehd

permukaan luar tulang berlanjut dengan periosteum pada permukaan dalam

tulang-tulang tengkorak.

Gambar 1.AnatomiKepala

2. Tulang tengkorak

Tulang tengkorak terdiri dari calvarium (kubah) dan basis cranii (bagian

terbawah). Pada kalvaria di regio temporal tipis, tetapi di daerah ini dilapisi oleh

otot temporalis. Basis cranii terbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian

dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselarasi.

Pada orang dewasa, tulang tengkorak merupakan ruangan keras yang tidak

memungkinkan perluasan isi intrakanial. Tulang tengkorak mempunyai 3 lapisan,

yaitu:

a. Tabula interna (lapisan tengkorak bagian dalam)

b. Diploe (rongga di antara tabula), dan

c. Tabula eksterna (lapisan tengkorak bagian luar)

4

Page 5: ehd

Tabula interna mengandung alur-alur yang berisikan arteria meningea

anterior, media, dan posterior. Apabila fraktur tulang tengkorak menyebabkan

rupturnya salah satu dari arteri-arteri ini, maka darah akan tertimbun dalam ruang

epidural dan dapat berakibat fatal.

Rongga basis cranii dibagi atas 3 fossa, yaitu fossa anterior yang

merupakan tempat lobus frontalis, fossa media yang merupakan tempat lobus

temporalis, fossa posterior yang merupakan tempat bagian bawah batang otak dan

cerebellum.

3. Meningen

Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3

lapisan, yaitu:

a. Duramater adalah selaput keras yang terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang

melekat erat pada permukaan dalam kranium. Duramater terdiri dari dua

lapisan, yaitu:

1) Lapisan endosteal (periosteal) sebelah luar, dibentuk oleh periosteum

yang membungkus dalam calvaria.

2) Lapisan meningeal sebelah dalam adalah suatu selaput fibrosa yang kuat

yang berlanjut terus di foramen mágnum dengan dura mater spinalis yang

membungkus medulla spinalis.

b. Selaput arakhnoid adalah membran fibrosa halus, tipis, elastis, dan tembus

pandang. Di bawah lapisan ini terdapat ruang yang dikenal sebagai

subarakhnoid, yang merupakan tempat sirkulasi cairan serebrospinalis.

c. Piamater adalah membran halus yang melekat erat pada permukaan korteks

serebri, memiliki banyak pembuluh darah halus, dan merupakan satu-satunya

lapisan meningeal yang masuk ke dalam semua sulkus dan membungkus

semua girus.

Terdapat perbedaan mendasar anatomi kepala pada orang dewasa dan

anak-anak. Kepala merupakan 18% dari total luas permukaan tubuh pada bayi.

Pada anak-anak, tulang tengkorak lebih tipis, dan fontanel mayor dan minornya

masih terbuka. Kondisi ini menyebabkan efek kerusakan yang terjadi lebih kecil

sehingga kerusakan korteks dan perdarahan lebih jarang terjadi. Tulang

5

Page 6: ehd

tengkoraknya juga lebih lentur, sehingga perdarahan yang terjadi bisa tanpa

adanya fraktur.11,12

B. Epidural Hematoma (EDH) 2,15,16

Epidural hematoma adalah penumpukan darah di ruang epidural (dibatasi

tabula interna dan duramater) dan cirinya berbentuk bikonveks atau menyerupai

lensa cembung akibat trauma kapitis sering terjadi di area temporal atau

temporoparietal.EDH dapat pula terjadi di daerah frontal atau oksipital dan

biasanya disebabkan oleh robeknya arterimeningea media akibat fraktur tulang

tengkorak. Gumpalan darah yang terjadi biasanya berasal dari pembuluh arteri,

namun dapat juga terjadi akibat robekan dari vena besar.4,13

Ada banyak alasan mengapa hematoma ekstradural relatif jarang pada

neonatus. Dura melekat erat pada periosteum sehingga mencegah pembentukan

koleksi cairan epidural. Alur arteri meningea media juga masih dangkal dan arteri

tidak terbungkus dalam tulang, oleh karena itu, kurang rentan terobek ketika

fraktur di kranium yang masih lunak. Fossa posterior adalah lokasi umum untuk

hematoma ekstradural pada neonatus karena adanya sinus vena dural.14

6

Page 7: ehd

Dua puluh lima hingga empat puluh persen dari semua lesi massa setelah

cedera kepala di fossa posterior telah didokumentasikan sebagai EDH. Hematoma

ekstradural serebelar ini biasanya berhubungan dengan fraktur. Ketika usia muda,

anak-anak menjadi lebih rentan terhadap hematoma ekstradural klasik sekunder

dari perdarahan arteri meningea. Lokasi yang paling umum adalah daerah

temporoparietal, tapi dapat juga ditemukan di fossa posterior.14

Gambar 2. Epidural hematoma

1. Etiologi

Penyebab EDH terbanyak ialah akibat kecelakaan lalu lintas, yang

kemudian disusul dengan jatuh3 Penyebab paling umum dari EDH pada neonatus

adalah perdarahan akibat trauma lahir.14 Kebanyakan kasus EDH terjadi akibat

jatuh, meskipun sebagian kecil kasus terjadi akibat tabrakan kendaraan bermotor,

pelecehan, atau mekanisme lainnya. Sekitar satu setengah dari kasus EDHterjadi

akibat jatuh dari ketinggian < 6 kaki (1,8 meter). Mekanisme lainnya seperti

terlihat dalam kasus-kasus kekerasan terhadap, cenderung dikaitkan dengan EDH

karena tidak menyebabkan deformasi tengkorak. Sekitar 90% dari kasus EDH

tidak terkait dengan cedera parenkim, karena benturan lemah saja ketikajatuh

7

Page 8: ehd

dapat menyebabkan EDH sehingga jarang melibatkan energi tinggi yang

diterapkan pada otak itu sendiri.12

2. Patofisiologi

Fraktur tulang tengkorakdapat merobek pembuluh darah terutama arteri

meningea media yang masuk ke dalam tengkorak melalui foramen spinosum dan

berjalan di antara durameter dan tulang temporal. Perdarahan yang terjadi

menimbulkan EDH. Desakan oleh hematoma akan melepaskan durameter lebih

lanjut dari tulang kepala sehingga hematoma bertambah besar.1,4

Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan pada

lobus temporalis otak ke arah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian

lobus medial (unkus dan sebagian dari girus hipokampus) mengalami herniasi di

bawah pinggiran tentorium. Keadaan ini menyebabkan timbulnya tanda-tanda

neurologik yang dapat dikenal oleh tim medis.1

Tekanan dari herniasi unkus pada sirkulasi arteri yang mengurus formasi

retikularis (ARAS) di medulla oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran. Di

tempat ini terdapat nuclei saraf kranial ketiga (okulomotorius). Tekanan pada

saraf ini mengakibatkan dilatasi pupil dan ptosis kelopak mata. Tekanan pada

lintasan kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah ini, menyebabkan

kelemahan respons motorik kontralateral, refleks hiperaktif atau sangat cepat, dan

tanda Babinski positif.1

Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan

terdorong ke arah yang berlawanan, menyebabkan tekanan intrakranial yang

besar. Timbul tanda-tanda lanjut adanya peningkatan tekanan intrakranial, antara

lain kekakuan deserebrasi, dan gangguan tanda-tanda vital dan fungsi pernafasan.1

Sumber perdarahan :13,14

a. Arterimeningea (lucid interval : 2 – 3 jam)

b. Sinus duramatis

c. Diploe (lubang yang mengisi kalvariakranii) yang berisi arteri diploica dan

vena diploica

3. Gambaran Klinis17

8

Page 9: ehd

EDH tanpa cedera lain biasanya disebabkan oleh robeknya arteri meningea

media. Kelainan ini pada fase awal tidak menunjukkan gejala atau tanda. Setelah

hematoma bertambah besar akan terlihat tanda pendesakan dan peningkatan

tekanan intrakranial. Penderita akan mengalami sakit kepala, mual dan muntah

diikuti dengan penurunan kesadaran. Gejala neurologik yang terpenting yaitu

pupil anisokor, terutama pupil ipsilateral yang melebar. Pada perjalanannya

pelebaran pupil akan mencapai maksimal dan reaksi cahaya yang pada permulaan

masih positif akan menjadi negatif. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan

bradikardia. Pada tahap akhir, kesadaran menurun sampai koma yang dalam, pupil

kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak

menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian.

Ciri khas EDH murni adalah terdapatnya lucid interval antara saat

terjadinya trauma dan tanda pertama yang berlangsung beberapa menit sampai

beberapa jam. Jika EDH disertai dengan cedera otak seperti kontusio serebri, lucid

interval tidak akan tampak, sedangkan gejala dan tanda lainnya menjadi kabur.

Riwayat klasik pada EDH, yaitu setelah mengalami trauma kapitis,

penderita pingsan sebentar, lalu ia sadar kembali. Dalam masa beberapa puluhan

menit sampai beberapa hari tidak ada manifestasi yang mengejutkan.

Lucid interval merupakan adanya fase sadar diantara dua fase tidak sadar

karena bertambahnya volume darah. Pingsan I pada lucid interval disebabkan

karena benturan langsung, sedangkan pingsan II karena EDH.Fenomena lucid

interval terjadi karena cedera primer yang ringan pada EDH, sedangkan pada

SDH dan ICH cedera primernya hampir selalu berat. EDH dengan trauma primer

berat tidak terjadi lucid interval, pasien langsung tidak sadarkan diri dan tidak

pernah mengalami fase sadar.

Hilang kesadaran pada saat benturan, lucid interval, dan kerusakan

neurologis akibat pendesakan dari hematoma yang membesar merupakan gejala

klasik dari EDH. Dalam salah satu penelitian dari pasien dengan EDH, hanya 20%

yang kehilangan kesadaran dan 38% alert dengan pemeriksaan neurologis normal

pada saat diagnosis.

Sebagian kecil pasien dengan EDH mungkin tidak memiliki gejala cedera

otak. Patah tulang tengkorak dapat menjadi indikator penting dari EDH, terutama

9

Page 10: ehd

pada pasien dengan beberapa gejala lain, karena fraktur tulang tengkorak

ditemukan dalam 70% - 80% dari kasus EDH. Fraktur tulang tengkorak temporal

atau parietal sering terkait dengan risiko perdarahan arteri.

4. Gambaran Radiologi18,19

Dengan CT-scan dan MRI, perdarahan intrakranial akibat trauma kepala

lebih mudah dikenali.

a. Foto Polos Kepala

Pada foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosis pasti EDH. Dengan

proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral dengan sisi yang mengalami trauma pada

film untuk mencari adanya fraktur tulang yang memotong sulcus arteria

meningea media.

b. Computed Tomography (CT-Scan)

Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan

potensi cedera intracranial lainnya. Pada EDH biasanya terjadi pada satu bagian

saja (single) tetapi dapat pula terjadi pada kedua sisi (bilateral), berbentuk

bikonveks, paling sering di daerah temporo parietal. Densitas darah yang

homogen (hiperdense), berbatas tegas, midline terdorong kesisi kontralateral.

Terdapat pula garis fraktur pada area EDH, densitas yang tinggi pada stage akut

(60–90 HU), ditandai dengan adanya peregangan dari pembuluh darah.

Gambar 3.CT-Scan epidural hematoma

10

Page 11: ehd

c. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang menggeser

posisi duramater, berada diantara tulang tengkorak dan duramater. MRI juga dapat

menggambarkan batas fraktur yang terjadi. MRI merupakan salah satu jenis

pemeriksaan yang dipilih untuk menegakkan diagnosis.

Gambar 4. MRI epidural hematoma.

4. Diagnosis Banding

a. Subdural Hematoma (SDH)

Subdural hematoma terjadi akibat pengumpulan darah diantara dura mater

dan arachnoid. Secara klinis SDH akut sukar dibedakan dengan EDH yang

berkembang lambat. Bisa disebabkan oleh trauma hebat pada kepala yang

menyebabkan bergesernya seluruh parenkim otak mengenai tulang sehingga

merusak arteri kortikalis. Biasanya disertai dengan perdarahan jaringan otak.

Gambaran CT-Scan subdural hematoma, tampak penumpukan cairan ekstraaksial

yang hiperdense berbentuk bulan sabit.

11

Page 12: ehd

Gambar 5. SubduralHematoma Akut

b. Subaraknoid Hematoma (SAH)

Perdarahan subarakhnoid terjadi karena robeknya pembuluh-pembuluh

darah di ruang subarakhnoid.

Gambar 6.Subarakhnoid hematoma

5. Diagnosis

a. Pemeriksaan

Hal terpenting yang pertama kali dinilaiialah status fungsi vital dan status

kesadaran pasien. Ini harus dilakukan sesegera mungkin bahkan mendahului

anamnesis yang teliti.

1) Primary survey

Seperti halnya kasus kedaruratan lainnya, hal terpenting yang dinilai ialah :

a) Jalan nafas (airway)

12

Page 13: ehd

b) Pernafasan (breathing)

c) Nadi dan tekanan darah (circulation)

Jalan nafas harus segera dibersihkan dari benda asing, lender atau darah,

bila perlu segera dipasang pipa naso/orofaring; diikuti dengan pemberian oksigen.

Manipulasi leher harus berhati-hati bila ada riwayat/dugaan trauma servikal

(whiplash injury). Pemantauan fungsi sirkulasi dilakukan untuk menduga adanya

syok, terutama bilaterdapatjuga trauma di tempat lain, misalnya trauma thorax,

trauma abdomen, fraktur ekstremitas. Selain itu, peningkatan tekanan darah yang

disertai dengan melambatnya frekuensi nadi dapat merupakan gejala awal

peninggian tekanan intrakranial, yang biasanya dalam fase akut disebabkan oleh

EDH.12

2) Pemeriksaan neurologis6

Dewasa ini penilaian status kesadaran secara kualitatif, terutama pada

kasus cedera kepala sudah mulai ditinggalkan karena subjektivitas pemeriksa;

istilah apatis, somnolen, sopor, koma, sebaiknya dihindari atau disertai dengan

penilaian kesadaran yang lebih objektif, terutama dalam keadaan yang

memerlukan penilaian/perbandingan secara ketat. Cara penilaian kesadaran yang

luas digunakan ialah dengan Skala Koma Glasgow. Melalui cara ini pula,

perkembangan/perubahan kesadaran dari waktu kewaktu dapat diikuti secara

akurat. Skala Koma Glasgow adalah berdasarkan penilaian/pemeriksaan atas tiga

parameter, yaitu :

a) Buka mata.

b) Respon motorik terbaik.

c) Respon verbal terbaik

13

Page 14: ehd

3) Secondary survey

Pemeriksaan neurologis serial (GCS, lateralisasi, dan refleks pupil) harus

selalu dilakukan untuk deteksi dini gangguan neurologis. Tanda awal dari herniasi

lobus temporal (unkus) adalah dilatasi pupil dan hilangnya refleks pupil terhadap

cahaya. Adanya trauma langsung pada mata sering menjadi penyebab

abnormalitas respon pupil dan dapat membuat pemeriksaan pupil menjadi sulit.

4) Prosedur diagnostik

Pemeriksaan CT scan harus segera dilakukan secepat mungkin, segera

setelah hemodinamika normal. Pemeriksaan CT scan ulang harus dikerjakan jika

terjadi perubahan status klinik penderita dan secara rutin 12-24 jam setelah trauma

bila dijumpai gambaran kontusio atau hematoma pada CT scan awal.Angiografi

pada penderita dengan kelainan neurologis dapat dilakukan bila tidak terdapat CT

scan.

EDH dapat segera didiagnosis dengan CT scan kepala noncontrast.

Gambaran klasik EDH pada CT scan ialah lesi bikonveks hiperdense yang terletak

di bawah tengkorak. EDH biasanya dibatasi oleh sutura tapi bisa menyeberangi

garis ini jika diastasis sutura telah terjadi. EDH paling sering terjadi di daerah

14

Page 15: ehd

parietal, temporal, atau temporoparietal (sekitar 78%) dan jarang di daerah frontal

(16%) atau oksipital (6%). Gambaran klasik hiperdense pada CT scan

menunjukkan darah beku. Kadang-kadang, lesiswirl isodense di temukan

berdekatan atau bercampur dengan gambaran hiperdense, yang menandakan

perdarahan akut masih berlangsung dan belum menggumpal.

Pada CT-Scan, pergeseran garis tengah dan ventrikel kecil menunjukkan

efek massa dari EDH tersebut. Tanda-tanda herniasi dapat dilihat. Hematoma

intradural atau cedera parenkim lain yang berkaitan dapat ditemukan.

Dalam tahun-tahun terakhir, beberapa peneliti dan dokter telah mulai

menggunakan MRI untuk mendiagnosis EDH. MRI memerlukan durasi

pencitraan yang lebih lama dan lebih mungkin untuk memerlukan sedasi, sehingga

CT-Scan tetap merupakan modalitas yang disukai. Namun, MRI terkadang

berguna untuk daerah otak yang tidak terlalu baik jika dicitrakan dengan CT-Scan,

seperti daerah yang terletak di bawah sampai puncak tengkorak. Beberapa

penelitian menunjukkan bahwa peningkatan gadolinium dari EDH menunjukkan

perdarahan yang sedang berlangsung dan kemungkinan peningkatan perluasan

lesi.

5) Penatalaksanaan5,7,8

a) Memperbaiki/mempertahankan fungsi vital

Usahakan agar jalan nafas selalu bebas, bersihkan lendir dan darah yang

dapat menghalangi aliran udara pernafasan. Bila perlu dipasang pipa

naso/orofaringeal dan pemberian oksigen. Infus dipasang terutama untuk

membuka jalur intravena, gunakan cairan NaCl 0,9% atau Dextrose in saline.

b) Mengurangi edema otak

Beberapa cara dapat dicoba untuk mengurangi edema otak:

- Cairan intravena

Cairan intravena diberikan secukupnya untuk resusitasi agar

penderita tetap dalam keadaan normovolemia. Keadaan hipovolemia pada

pasien sangatlah berbahaya. Namun harus diperhatikan untuk tidak

memberikan cairan yang berlebihan. Jangan berikan cairan hipotonik.

Penggunaan cairan yang mengandung glukosa dapat menyebabkan

15

Page 16: ehd

hiperglikemia yang berakibat buruk pada otak yang cedera, olehkarena itu

cairan yang dianjurkan untuk resusitasi ialah larutan garam fisiologis atau

ringer laktat. Kadar natrium serum juga harus dipertahankan untuk

mencegah terjadinya edema otak. Strategi terbaik adalah mempertahankan

volume intravaskular normal dan hindari hipoosmolalitas, dengan cairan

isotonik. Saline hipertonik bisa digunakan untuk mengatasi hiponatremia

yang bisa menyebabkan edema otak.

- Hiperventilasi

Bertujuan untuk menurunkan PCO2darah sehingga mencegah

vasodilatasi pembuluh darah. Selain itu, suplai oksigen yang terjaga dapat

membantu menekan metabolisme anaerob, sehingga dapat mengurangi

kemungkinan asidosis. Bila dapat diperiksa, PO2dipertahankan >100

mmHg dan PCO2di antara 25-30 mmHg.

- Cairan hiperosmoler

Umumnya digunakan cairan manitol 10-15% per infus untuk

"menarik" air dari ruang intersel ke dalam ruang intravaskular yang

kemudian dikeluarkan melalui diuresis. Untuk memperoleh efek yang

diinginkan, manitol harus diberikan dalam dosis yang cukup dalam waktu

singkat, umumnya diberikan 0,51 gram/kgBB dalam 10-30 menit. Cara ini

berguna pada kasus-kasus yang menunggu tindakan bedah. Pada kasus

biasa, harus dipikirkan kemungkinan efek rebound; mungkin dapat dicoba

diberikan kembali (diulang) setelah beberapa jam atau keesokan harinya.

- Kortikosteroid

Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan manfaatnya sejak

beberapa waktu yang lalu. Pendapat akhir-akhir ini cenderung menyatakan

bahwa kortikosteroid tidak/kurang bermanfaat pada kasus cedera kepala.

Penggunaannya berdasarkan pada asumsi bahwa obat ini menstabilkan

sawar darah otak. Dosis parenteral yang pernah dicoba juga bervariasi.

Deksametason pernah dicoba dengan dosis sampai 100 mg bolus yang

diikuti dengan 4 dd 4 mg. Selain itu,metilprednisolon pernah digunakan

dengan dosis 6 dd 15 mg dan triamsinolon dengan dosis 6 dd 10 mg.

16

Page 17: ehd

- Barbiturat

Digunakan untuk membius pasien sehingga metabolisme otak

dapat ditekan serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga akan

menurun; karena kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih terlindung dari

kemungkinan kerusakan akibat hipoksia, walaupun suplai oksigen

berkurang. Cara ini hanya dapat digunakan dengan pengawasan yang

ketat.

- Cara lain

Pada 24-48 jam pertama, pemberian cairan dibatasi sampai 1500-

2000 mL/24 jam agar tidak memperberat edema jaringan. Ada laporan

yang menyatakan bahwa posisi tidur dengan kepalayang diangkat 30° akan

menurunkan tekanan intrakranial.

Posisi tidur yang dianjurkan, terutama pada pasien yang berbaring lama,

ialah:

- Kepala dan leher diangkat 30°.

- Sendi lutut diganjal, membentuk sudut 150°.

- Telapak kaki diganjal, membentuk sudut 90° dengan tungkai bawah.

Dewasa ini banyak obat yang dikatakan dapat membantu mengatasi

kesulitan/gangguan metabolisme otak, termasuk pada keadaan koma.

- Piritinol

Piritinol merupakan senyawa mirip piridoksin (vitamin B6) yang

dikatakan mengaktivasi metabolisme otak dan memperbaiki struktur serta

fungsi membran sel. Pada fase akut diberikan dalam dosis 800-4000

mg/hari lewat infus. Tidak dianjurkan pemberian intravena karena sifatnya

asam sehingga mengiritasi vena.

- Piracetam

Piracetam merupakan senyawa mirip GABA - suatu

neurotransmitter penting di otak. Diberikan dalam dosis 4-12 gram/hari

intravena.

17

Page 18: ehd

- Citicholine

Disebut sebagai koenzim pembentukan lecithin di otak. Lecithin

sendiri diperlukan untuk sintesis membran sel dan neurotransmitter di

dalam otak. Diberikan dalam dosis 100-500 mg/hari intravena.

c) Terapi operatif

Operasi dilakukan bila terdapat:

- Volume hematoma>30 ml (kepustakaan lain > 44 ml)

- Keadaan pasien memburuk dimana terjadi depresi tingkat kesadaran,

ditemukan gangguan neurologis fokal, abnormalitas pupil, dan ada tanda-

tanda peningkatan tekanan intrakranial.

- Pendorongan garis tengah >3 mm

Penanganan darurat ialah dekompresi dengan trepanasi sederhana (boor

hole). Dilakukan craniotomy untuk mengevakuasi hematoma.Indikasi operasi di

bidang bedah saraf adalah untuk life saving dan untuk fungsional saving. Jika

untuk keduanya tujuan tersebut maka operasinya menjadi operasi emergency.

Biasanya keadaan emergency ini disebabkan oleh lesi desak ruang.

Indikasi untuk life saving adalah jika lesi desak ruang bervolume :

- >25 cc desak ruang supratentorial

- >10 cc desak ruang infratentorial

- >5 cc desak ruang thalamus

Sedangkan indikasi evakuasi life saving ialah efek masa yang signifikan :

- Penurunan klinis

- Efek massa dengan volume >20 cc,midline shif t>5 mm, dan penurunan

klinis yang progresif.

- Tebal EDH >1 cm dengan midline shift >5 mm dan penurunan klinis yang

progresif.

Manajemen konservatif biasanya dianggap dapat diterima hanya untuk

pasien dengan EDH kecil (umumnya volume perdarahan < 30 ml dan

ketebalannya < 2 cm), tidak ada defisit neurologis fokal, dan tingkat kesadaran

normal. Pasien dengan EDH pada fossa posterior jarang dilakukan manajemen

konservatif karena risiko tinggi kerusakan mendadak akibat kompresi medula dan

hidrosefalus.

18

Page 19: ehd

Dalam satu penelitian, 32% dari pasien yang awalnya dikelola secara

konservatif pada akhirnya memerlukan drainase bedah dari EDH tersebut. Pasien

yang awalnya sudah memiliki CT-Scan kepala ditangani lebih awal, terutama

yang sudah dalam waktu 2 jam setelah trauma - memiliki resiko tinggi

penambahan ukuran EDH. Dokter harus waspada terutama dengan kasus EDH

daerah temporal karena risiko perdarahan arteri dan herniasi uncal lebih sering

terjadi pada lesi ini.

6. Prognosis

Prognosis tergantung pada:

- Lokasinya (infratentorial lebih jelek)

- Besarnya

- Kesadaran saat masuk kamar operasi.

Jika ditangani dengan cepat, prognosis EDH biasanya baik, karena

kerusakan otak secara menyeluruh dapat dibatasi. Angka kematian berkisar antara

7-15% dan kecacatan pada 5-10% kasus. Prognosis sangat buruk pada pasien yang

mengalami koma sebelum operasi.

Angka kematian EDH berkisar dari 0-10%. Sekitar 85% memiliki hasil

neurologis yang baik. Prediktor terpenting ialah hasil status neurologis pasien

sebelum intervensi operasi. Pasien dengan koma dan kelainan pupil jauh lebih

mungkin untuk mengalami cedera otak sekunder. Namun, di antara pasien yang

datang dalam keadaan koma atau dengan pupil non reaktif, mayoritas akan

memiliki hasil neurologis sedang atau baik. Pasien dengan gejala EDH yang

minimal dan tidak memerlukan operasi biasanya memberikan hasil neurologis

yang normal.

19

Page 20: ehd

BAB III

LAPORAN KASUS

A. Identitas Penderita

Nama : DR

Jenis Kelamin : Laki-laki

Umur : 12 tahun

Tempat dan tanggal lahir : Amurang, 10 Desember 2003

Alamat : Ranomea Lingkungan VIII

Pekerjaan : Pelajar

Agama : Kristen Protestan

MRS : 9 Januari 2016

Keluhan Utama

Penurunan kesadaran akibat terjatuh dari pohon

B. Secondary survey

Penurunan kesadaran akibat terjatuh dari pohon dialami penderita sejak

4 jam sebelum masuk rumah sakit. Awalnya penderita sedang mengambil layang

– layang yang tersangkut di pohon, kemudian tanpa sadar menginjak ranting yang

agak rapuh dan akhirnya patah sehingga mengakibatkan penderita jatuh dari

pohon dengan ketinggian + 5 meter, dengan posisi kepala di bagian belakang

sehingga terbentur duluan ke tanah. Riwayat pingsan (+) + 10 menit, riwayat

muntah (-), riwayat keluar cairan atau darah dari hidung dan telinga (-). Penderita

segera dibawa ke RS. Kadooran, Amurang kemudian dirujuk ke RSUP Prof Dr. R.

D. Kandou dengan infus terpasang.

Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan Umum : Sakit Sedang

2. Kesadaran : GCS E3V4M5

3. Vital Sign

Tekanan Darah : 100/60 mmHg

Nadi : 100 kali/menit

Respirasi : 24 kali/menit

20

Page 21: ehd

Suhu : 36,4 oC

a. Kepala

Conjungtiva : anemis (-/-)

Pupil : Bulat, isokor, uk. O 3 mm kanan, O 3 mm kiri ,

RC +/+

Regio occipital dextra : hematoma uk. 5 x 5 cm

Regio zygoma : edema (-), diplopia (-), floating (-), parastesis (-).

Region intraoral : floating maxilla (-), maloklusi (-), abnormal

movement (-)

b. Leher : jejas (-), nyeri tekan (-).

c. Thoraks

1) Inspeksi : gerakan pernapasan simetris kiri = kanan

2) Palpasi : stem Fremitus kiri = kanan, kompresi test (-)

3) Perkusi : sonor kiri = kanan

4) Auskultasi : suara pernapasan vesikuler kiri = kanan, suara napas

tambahan: ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

d. Abdomen

1) Inspeksi : datar

2) Auskultasi : bising usus (+) normal

3) Palpasi : lemas, hepar/lien tidak teraba

4) Perkusi : timpani

e. Ekstremitas

Motorik :

Kekuatan OtotKana

nKiri

Ekstermitas atas 5 5

Ekstermitas

bawah5 5

Sensorik : Dalam batas normal

C. Diagnosis Kerja

21

Page 22: ehd

Comotio cerebri + vulnus laseratum regio temporoparieto occipital dextra

D. Sikap

- Elevasi head of bed 300

- O2 4 – 6 liter per menit

- IVFD Asering 5% 20 gtt/m

- Ceftriaxone inj 2x1gr (IV) ST

- Ranitidine inj 2x1 (IV)

- Antrain 3x1 amp (IV)

- Brain Act 2x250 mg (IV)

E. Planning

- Pemeriksaan Laboratorium (DL, Na, K, Cl, Ur, Cr, GDS)

- Pemeriksaan Radiologis :

CT-Scan Kepala.

Foto cervical 3D

F. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan Hasil Nilai normal

Leukosit 20500/uL 4000-10000/Ul

Eritrosit 3,58x106/uL (4,00-6,00)x106/ uL

Hemoglobin 11.1 g/dL 12,0-16,0 g/dL

Hematokrit 33.9% 37,0-48,0%

Trombosit 410.000/uL 150000-450000/uL

MCH 31.0 pg 27-35 pg

MCHC 32.7 g/dL 30-40 g/dL

MCV 94.7 fL 80-100Fl

Na 138 135 – 153 mEq/L

K 4.00 3.50 – 5.30 mEq/L

Cl 108.0 98.0 – 109.0 mEq/L

22

Page 23: ehd

GDS 110 70-125

G. Pemeriksaan Radiologis.

CT-Scan kepala

23

Page 24: ehd

Pada CT-Scan kepala potongan axial pasien DR, 12 tahun. Tampak gambaran

hiperdens berbentuk biconvex pada region temporoparietal occipital dextra,

volume cc, midline shift (-).

Kesan: EDH region temporoparieto occipital dextra, volume 15 cc

24

Page 25: ehd

Foto cervical

Kesan: tidak ada kelainan

H. Diagnosis

EDH regio temporoparietal occipital dekstra

I. Penanganan

- O2 4 L/menit

- Elevasi head of bed 300.

- IVFD Asering 20 gtt/m

- Injeksi Ceftriaxone 2x1 gr vial

- Injeksi Ranitidin 2x1/2 amp

- Injeksi Antrain 3x1 amp

- Injeksi Brain act 2x250 mg

- Observasi tanda-tanda peningkatan tekanan intra cranial

- Pro trepanasi cito

25

Page 26: ehd

LAPORAN OPERASI

Tanggal operasi : 9 Januari 2016

Jam mulai : 21.00 wita

Jam selesai : 22.45 wita

Lama operasi : 1 jam 45 menit

Jenis anestesi : General Anesetesi (GA)

Tindakan pembedahan: kraniektomi dekompresi

Diagnosis pra bedah : EDH Temporoparieto occipital dextra

Diagnosis post bedah : Post kraniektomi e.c EDH Temporoparieto occipital

dextra

Laporan operasi :

- Penderita terlentang di meja operasi dengan GA, kepala miring kiri

- A dan antisepsis lapangan operasi

- Insisi linier di temporo occipital dextra sepanjang + 10 cm sampai

periosteum, periosteum disisihkan dengan raspatorineum

- Dilakukan burn hole 1 tubag, tampak hematoma dipoleskan dengan levson

dan kerable turgor sampai diameter + 5 cm, tampak hematom berdenyut

- Evaluasi keratan + 30 a. Kontrol perdarahan dengan lyostip, bonewax, dan

berryplast

- Pasang drain valwe di subgaleal

- Luka operasi ditutup lapis demi lapis

- Operasi selesai

Jumlah perdarahan : + 40 ml

Instruksi post op :

- IVFD Asering 20 gtt/m

- Inj Ceftriaxone 2x1gr IV

- Inj Antrain 3x1/2 amp IV

- Inj Ranitidin 2x1 amp IV

- Cek DL pos op

- Puasa

26

Page 27: ehd

J. Follow Up

10 Januari 201 6

S : Nyeri kepala di luka operasi

O : Vital sign

TD : 110/60 mmHg HR : 73 kali/menit

RR : 20 kali/menit SB : 37,1o C

GCS : E4M6V5

Tanda rangsang meningeal : kaku kuduk (-)

Nervus kranialis : paresis (-)

Status motorik : hemiparesis (-)

- kekuatan otot :

Kekuatan OtotKana

nKiri

Ekstermitas atas 5 5

Ekstermitas

bawah5 5

- tonus otot : normal

- refleks fisiologis : ++ (normal)

- refleks patologis : -

Status sensorik : normal

Status otonom : normal

Kepala :

- Conjungtiva : anemis (-/-)

- Pupil : bulat, isokor, uk. O 3 mm kanan, O 3 mm

kiri , RC -/+

- Regio temporoparietal : luka terjahit (+) terawat

- Regio occipital dextra : luka terjahit uk. 1 cm

- Drain : 35 cc serohemoragik

A : Post kraniektomi dekompresi + evaluasi hematoma e.c EDH temporo

occipital dextra

P: O2 4 L/menit

27

Page 28: ehd

- IVFD Asering 20 gtt/m

- Injeksi Ceftriaxone 2x1 gr vial

- Injeksi Ranitidin 2x1/2 amp

- Injeksi Antrain 3x1 amp

- Observasi tanda-tanda peningkatan tekanan intra cranial

- Rawat luka

- Diet clean water 20 cc/jam

11 Januari 201 6

S : Nyeri kepala di luka operasi

O : Vital sign

TD : 100/60 mmHg HR : 76 kali/menit

RR : 20 kali/menit SB : 36,8o C

GCS : E4M6V5

Tanda rangsang meningeal : kaku kuduk (-)

Nervus kranialis : paresis (-)

Status motorik : hemiparesis (-)

- kekuatan otot :

Kekuatan OtotKana

nKiri

Ekstermitas atas 5 5

Ekstermitas

bawah5 5

- tonus otot : normal

- refleks fisiologis : ++ (normal)

- refleks patologis : -

Status sensorik : normal

Status otonom : normal

Kepala :

28

Page 29: ehd

- Conjungtiva : anemis (-/-)

- Pupil : bulat, isokor, uk. O 3 mm kanan, O 3 mm

kiri , RC -/+

- Regio temporoparietal : luka terjahit (+) terawat

- Regio occipital dextra : luka terjahit uk. 1 cm

- Drain : 27 cc serohemoragik

A : Post kraniektomi dekompresi + evaluasi hematoma e.c EDH temporo

occipital dextra

P: O2 4 L/menit

- IVFD Asering 20 gtt/m

- Injeksi Ceftriaxone 2x1 gr vial

- Injeksi Ranitidin 2x1/2 amp

- Injeksi Antrain 3x1 amp

- Observasi tanda-tanda peningkatan tekanan intra cranial

- Rawat luka

- Diet clean water 20 cc/jam

- Diet bubur saring

12 Januari 201 6

S : Nyeri kepala di luka operasi

O : Vital sign

TD : 100/60 mmHg HR : 75 kali/menit

RR : 20 kali/menit SB : 36,3o C

GCS : E4M6V5

Kepala :

- Conjungtiva : anemis (-/-)

- Pupil : bulat, isokor, uk. O 3 mm kanan, O 3 mm

kiri , RC -/+

- Regio temporoparietal : luka terjahit (+) terawat

- Regio occipital dextra : luka terjahit uk. 1 cm

- Drain : 27 cc serohemoragik

29

Page 30: ehd

A : Post kraniektomi dekompresi + evaluasi hematoma e.c EDH temporo

occipital dextra

P: O2 4 L/menit

- IVFD Asering 20 gtt/m

- Injeksi Ceftriaxone 2x1 gr vial

- Injeksi Ranitidin 2x1/2 amp

- Injeksi Antrain 3x1 amp

- Observasi tanda-tanda peningkatan tekanan intra cranial

- Rawat luka

- Diet clean water 20 cc/jam

- Diet bubur saring

13 Januari 201 6

S : Nyeri kepala di luka operasi

O : Vital sign

TD : 100/60 mmHg HR : 80 kali/menit

RR : 20 kali/menit SB : 36,5o C

GCS : E4M6V5

Kepala :

- Conjungtiva : anemis (-/-)

- Pupil : bulat, isokor, uk. O 3 mm kanan, O 3 mm

kiri , RC -/+

- Regio temporoparietal : luka terjahit (+) terawat

- Regio occipital dextra : luka terjahit uk. 1 cm

- Drain : 12 cc serohemoragik

A : Post kraniektomi dekompresi + evaluasi hematoma e.c EDH temporo

occipital dextra

P: - O2 4 L/menit

- IVFD Asering 20 gtt/m

- Injeksi Ceftriaxone 2x1 gr vial

- Injeksi Ranitidin 2x1/2 amp

- Injeksi Antrain 3x1 amp

30

Page 31: ehd

- Observasi tanda-tanda peningkatan tekanan intra cranial

- Rawat luka

- Diet clean water 20 cc/jam

- Diet bubur saring

14 Januari 201 6

S : Nyeri kepala di luka operasi

O : Vital sign

TD : 100/70 mmHg HR : 82 kali/menit

RR : 20 kali/menit SB : 36,5o C

GCS : E4M6V5

Kepala :

- Conjungtiva : anemis (-/-)

- Pupil : bulat, isokor, uk. O 3 mm kanan, O 3 mm

kiri , RC -/+

- Regio temporoparietal : luka terjahit (+) terawat

- Regio occipital dextra : luka terjahit uk. 1 cm

- Drain : 7 cc serohemoragik

A : Post kraniektomi dekompresi + evaluasi hematoma e.c EDH temporo

occipital dextra

P: O2 4 L/menit

- IVFD Asering 20 gtt/m

- Injeksi Ceftriaxone 2x1 gr vial

- Injeksi Ranitidin 2x1/2 amp

- Injeksi Antrain 3x1 amp

- Observasi tanda-tanda peningkatan tekanan intra cranial

- Rawat luka

- Diet clean water 20 cc/jam

- Diet bubur saring

15 Januari 201 6

S : Nyeri kepala di luka operasi

31

Page 32: ehd

O : Vital sign

TD : 100/70 mmHg HR : 86 kali/menit

RR : 20 kali/menit SB : 36,6o C

GCS : E4M6V5

Kepala :

- Conjungtiva : anemis (-/-)

- Pupil : bulat, isokor, uk. O 3 mm kanan, O 3 mm

kiri , RC -/+

- Regio temporoparietal : luka terjahit (+) terawat

- Regio occipital dextra : luka terjahit uk. 1 cm

- Drain : 9 cc serohemoragik

A : Post kraniektomi dekompresi + evaluasi hematoma e.c EDH temporo

occipital dextra

P: O2 4 L/menit

- IVFD Asering 20 gtt/m

- Injeksi Ceftriaxone 2x1 gr vial

- Injeksi Ranitidin 2x1/2 amp

- Injeksi Antrain 3x1 amp

- Observasi tanda-tanda peningkatan tekanan intra cranial

- Rawat luka

- Diet clean water 20 cc/jam

- Diet bubur saring

16 Januari 201 6

S : Nyeri kepala di luka operasi

O : Vital sign

TD : 100/60 mmHg HR : 75 kali/menit

RR : 20 kali/menit SB : 36,3o C

GCS : E4M6V5

Kepala :

- Conjungtiva : anemis (-/-)

32

Page 33: ehd

- Pupil : bulat, isokor, uk. O 3 mm kanan, O 3 mm

kiri , RC -/+

- Regio temporoparietal : luka terjahit (+) terawat

- Regio occipital dextra : luka terjahit uk. 1 cm

- Drain : 7 cc serohemoragik

A : Post kraniektomi dekompresi + evaluasi hematoma e.c EDH temporo

occipital dextra

P: O2 4 L/menit

- IVFD Asering 20 gtt/m

- Injeksi Ceftriaxone 2x1 gr vial

- Injeksi Ranitidin 2x1/2 amp

- Injeksi Antrain 3x1 amp

- Observasi tanda-tanda peningkatan tekanan intra cranial

- Rawat luka

- Diet clean water 20 cc/jam

- Diet bubur saring

17 Januari 201 6

S : Nyeri kepala di luka operasi

O : Vital sign

TD : 110/70 mmHg HR : 72 kali/menit

RR : 20 kali/menit SB : 36,4o C

GCS : E4M6V5

Kepala :

- Conjungtiva : anemis (-/-)

- Pupil : bulat, isokor, uk. O 3 mm kanan, O 3 mm

kiri , RC -/+

- Regio temporoparietal : luka terjahit (+) terawat

- Regio occipital dextra : luka terjahit uk. 1 cm

- Drain : 27 cc serohemoragik

33

Page 34: ehd

A : Post kraniektomi dekompresi + evaluasi hematoma e.c EDH temporo

occipital dextra

P: O2 4 L/menit

- IVFD Asering 20 gtt/m

- Injeksi Ceftriaxone 2x1 gr vial

- Injeksi Ranitidin 2x1/2 amp

- Injeksi Antrain 3x1 amp

- Observasi tanda-tanda peningkatan tekanan intra cranial

- Rawat luka

- Diet clean water 20 cc/jam

- Diet bubur saring

18 Januari 201 6

S : Nyeri kepala di luka operasi

O : Vital sign

TD : 110/60 mmHg HR : 70 kali/menit

RR : 20 kali/menit SB : 36,3o C

GCS : E4M6V5

Kepala :

- Conjungtiva : anemis (-/-)

- Pupil : bulat, isokor, uk. O 3 mm kanan, O 3 mm

kiri , RC -/+

- Regio temporoparietal : luka terjahit (+) terawat

- Regio occipital dextra : luka terjahit uk. 1 cm

- Drain : -

A : Post kraniektomi dekompresi + evaluasi hematoma e.c EDH temporo

occipital dextra

P: O2 4 L/menit

- IVFD Asering 20 gtt/m

- Injeksi Ceftriaxone 2x1 gr vial

- Injeksi Ranitidin 2x1/2 amp

- Injeksi Antrain 3x1 amp

34

Page 35: ehd

- Observasi tanda-tanda peningkatan tekanan intra cranial

- Rawat luka

- Diet clean water 20 cc/jam

- Diet bubur saring

19 Januari 201 6

S : -

O : Vital sign

TD : 110/60 mmHg HR : 88 kali/menit

RR : 20 kali/menit SB : 36,0o C

GCS : E4M6V5

Kepala :

- Conjungtiva : anemis (-/-)

- Pupil : bulat, isokor, uk. O 3 mm kanan = kiri

- Regio temporoparietal : luka terjahit (+) terawat

- Regio occipital dextra : luka terjahit uk. 1 cm

- Drain : -

A : Post kraniektomi dekompresi + evaluasi hematoma e.c EDH temporo

occipital dextra

P: Aff infus

- Aff drain

- Elevasi kepala 30’

- Rawat luka

- Mobilisasi bertahap

- Rawat jalan

35

Page 36: ehd

BAB IV

PEMBAHASAN

Diagnosis EDH ditegakkan berdasarkan anemnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang. Anamnesis yang didapatkan ialah penderita mengalami

penurunan kesadaran akibat terjatuh dari pohon dialami penderita sejak 4 jam

sebelum masuk rumah sakit. Awalnya penderita sedang mengambil layang –

layang yang tersangkut di pohon, kemudian tanpa sadar menginjak ranting yang

agak rapuh dan akhirnya patah sehingga mengakibatkan penderita jatuh dari

pohon dengan ketinggian + 5 meter, dengan posisi kepala di bagian belakang

sehingga terbentur duluan ke tanah. Riwayat pingsan (+) + 10 menit, riwayat

muntah (-), riwayat keluar cairan atau darah dari hidung dan telinga (-). Penderita

segera dibawa ke RS. Kadooran, Amurang kemudian dirujuk ke RSUP Prof Dr. R.

D. Kandou dengan infus terpasang. Hilang kesadaran pada saat benturan, lucid

interval, dan kerusakan neurologis akibat pendesakan dari hematoma yang

membesar merupakan gejala klasik dari EDH.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan GCS E3V4M5 (12), pupil bulat, isokor,

diameter 3 mm, refleks cahaya reaktif. Pemeriksaan neurologis serial (GCS,

lateralisasi, dan refleks pupil) harus selalu dilakukan untuk deteksi dini gangguan

neurologis pada perdarahan intrakranial, seperti EDH.4,5Adanya trauma langsung

pada mata sering menjadi penyebab abnormalitas respon pupil dan dapat membuat

pemeriksaan pupil menjadi sulit.

Pemeriksaan CT-Scan pada kasus didapatkan EDH regio temporoparietal

occipital dekstra dengan volume perdarahan ± 15 cc. EDH dapat segera

didiagnosis dengan CT scan kepala noncontrast. Gambaran klasik EDH pada CT

scan ialah lesi bikonveks hiperdense yang terletak di bawah tengkorak. EDH

36

Page 37: ehd

biasanya dibatasi oleh sutura tapi bisa menyeberangi garis ini jika diastasis sutura

telah terjadi. EDH paling sering terjadi di daerah parietal, temporal, atau

temporoparietal (sekitar 78%) dan jarang di daerah frontal (16%) atau oksipital

(6%). Gambaran klasik hiperdense pada CT scan menunjukkan darah beku.

Kadang-kadang, lesi swirl isodense di temukan berdekatan atau bercampur

dengan gambaran hiperdense, yang menandakan perdarahan akut masih

berlangsung dan belum menggumpal.

Pada kasus ini, penderita dirawat secara konservatif dengan observasi ketat

GCS, pupil, dan vital sign. Dalam satu penelitian, 32% dari pasien yang awalnya

dikelola secara konservatif pada akhirnya memerlukan drainase bedah dari EDH

tersebut. Pasien yang awalnya sudah memiliki CT-Scan kepala ditangani lebih

awal, terutama yang sudah dalam waktu 2 jam setelah trauma, memiliki resiko

tinggi penambahan ukuran EDH. Namun, manajemen konservatif biasanya

dianggap dapat diterima hanya untuk pasien dengan EDH kecil (umumnya

volume perdarahan <30 ml dan ketebalannya <2 cm), tidak ada defisit neurologis

fokal, dan tingkat kesadaran normal. Manajemen operatif biasanya dianggap

penting untuk pasien dengan EDH dengan volume perdarahan >30 ml dan

ketebalannya >2 cm, disertai ada defisit neurologis fokal, dan penurunan tingkat

kesadaran normal.5 Pada kasus selama observasi ketat dalam 7 hari, penderita

tidak mengalami penurunan kesadaran lebih lanjut atau GCS membaik, tidak

timbul tanda-tanda peningkatan intrakranial, seperti muntah proyektil, nyeri

kepala, dan gejala lateralisasi seperti pupil anisokor, dan hemiparesis.5

37

Page 38: ehd

BAB V

PENUTUP

Epidural hematoma yaitu penumpukan darah di ruang epidural (dibatasi

tabula interna dan duramater) akibat trauma kapitis, sering terjadi di area temporal

atautemporoparietal, tetapi dapat pula terjadi di daerah frontal atau oksipitaldan

biasanya disebabkan oleh robeknya arteri meningea media.

Gejala yang paling umum dari EDH adalah sakit kepala, muntah, dan lesu.

Gambaran klasik EDH pada CT scan ialah lesi bikonveks hiperdense yang terletak

di bawah tengkorak. Manajemen konservatif biasanya dianggap dapat diterima

hanya untuk pasien dengan EDH kecil (umumnya volume perdarahan <30 ml dan

ketebalannya <2 cm), tidak ada defisit neurologis fokal, dan tingkat kesadaran

normal.

38

Page 39: ehd

DAFTAR PUSTAKA

1. Anderson S. McCarty L., Cedera Susunan Saraf Pusat, Patofisiologi, edisi 4,

Anugrah P. EGC, Jakarta,1995, 1014-1016

2. Hafid A, Epidural Hematoma, Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi kedua, Jong W.D.

EGC, Jakarta, 2004, 818-819

3. Markam S, Trauma Kapitis, Kapita Selekta Neurologi, Edisi kedua, Harsono,

Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, 314

4. Mardjono M. Sidharta P., Mekanisme Trauma Susunan Saraf, Neurologi

Kilinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta, 2003, 254-259

5. Soertidewi L. Penatalaksanaan Kedaruratan Cedera Kranio Serebral, Updates

In Neuroemergencies, Tjokronegoro A., Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2002,

80

6. Edisson, Sahat. Diktat bedah: Neurotrauma. Bagian ilmu Bedah. FK UNSRIT.

2008.

7. Riyanto, Budi. Penatalaksanaan fase akut cedera kepala. Cermin Dunia

Kedokteran, 1997.h. 77.

8. Soertidewi L. Penatalaksanaan kedaruratan cedera kranio serebral. Dalam:

Tjokronegoro A, editor. Updates in neuroemergencies. Jakarta: Balai Penerbit

FKUI, 2002.h. 80.

9. Snell, S Richard. Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran bagian 3.

Tambayong J, alih bahasa.EGC: Jakarta, 1997.

10. Ellis, Harold. Applied anatomy for students and junior doctors(Eleventh

edition). Blackwell Publishing, 2006.

11. Fleisher GR, Ludwig S. Textbook of pediatric emergency medicine (Sixth

Edition). Philadelphia: Wolters Kluwer/Lippincott Williams & Wilkins

Health, 2010.p. 1422-445

39

Page 40: ehd

12. Albright AL, Pollack IF, Adelson PD. Hematomas. In: Doppenberg EMR,

Ward JD, editors. Principles and practice of pediatric neurosurgery (Second

Edition). Thieme Medical Publishers, Inc: New York, 2008.

13. Sylvia, A Price,Lorraine WM. Patofisiologi konsep klinis danproses penyakit.

EGC: Jakarta, 2006. p. 1167-174.

14. Anderson S, McCarty L. Cedera susunan sarafpusat. Dalam: Anugrah P,

editor. Patofisiologi (edisi keempat). Jakarta: EGC, 1995. h. 1014-16.

15. De Jong, Wim. Buku ajarilmu bedah.Jakarta:EGC, 2006.

16. Sidharta, Priguna. Neurologi klinis dalam praktek Umum. Jakarta: Dian

Rakyat, 2004.

17. Markam S. Trauma kapitis. Dalam:Harsono, editor.Kapita selekta neurologi

(Edisi kedua). Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2005. h. 314.

18. Dahnert W. Brain disorders,radiology review manual(second edition).

Williams & Wilkins, Arizona, 1993. h. 117 – 78.

19. Sutton D. Textbook of radiology and imaging(fifth edition). London:

Churchill Living Stone,1993. p.1423

40