ehd
-
Upload
dewa-ab-raj -
Category
Documents
-
view
236 -
download
10
description
Transcript of ehd
BAB I
PENDAHULUAN
Cedera kepala terjadi akibat trauma pada jaringan otak yang dapat terjadi
secara langsung maupun efek sekunder dari trauma yang terjadi.1 Survey di
Indonesia menurut kesehatan rumah tangga, trauma merupakan penyebab
kematian nomor satu untuk usia 15-24 tahun, dengan perkiraan sebagian besar
kematian tersebut berhubungan dengan cedera kepala, 70% penderita yang
meninggal akibat trauma belum sempat mendapatkan perawatan rumah sakit.
Penyebab cedera kepala terbanyak ialah akibat kecelakaan lalu lintas.3
Suatu cedera kepala dapat mengakibatkan patah tulang tengkorak,
kontusio, gegar otak, perdarahan intrakranial, seperti epidural hematoma (EDH),
subdural hematoma (SDH), perdarahan subaraknoid (SAH) dan perdarahan
intraserebral (ICH). Otak juga di kelilingi oleh sesuatu yang berguna sebagai
pembungkus yang di sebut dura. Fungsinya untuk melindungi otak, menutupi
sinus-sinus vena, dan membentuk periosteum tabula interna. Ketika seseorang
mendapat benturan yang hebat di kepala kemungkinan akan terbentuk suatu
lubang, pergerakan dari otak mungkin akan menyebabkan pengikisan atau
robekan dari pembuluh darah yang mengelilingi otak dan dura, ketika pembuluh
darah mengalami robekan maka darah akan terakumulasi dalam ruang antara dura
dan tulang tengkorak, keadaan inlah yang di kenal dengan sebutan epidural
hematom.2
Salah satu jenis perdarahan intrakranial yang paling sering terjadi ialah
EDH. EDH sebagai keadaan neurologis yang bersifat emergency dan biasanya
berhubungan dengan linear fraktur yang memutuskan arteri yang lebih besar,
sehingga menimbulkan perdarahan. Perdarahan masuk kedalam ruang epidural,
bila terjadi perdarahan arteri maka hematom akan cepat terjadi. EDH terjadi pada
2% pasien dengan cedera kepala dan 5-15% pada pasien dengan cedera kepala
berat. EDH perlu selalu dipikirkan karena dapat menyebabkan komplikasi serius
terbanyak pada cedera kepala, sehingga perlu diagnosa sesgera dan intervensi
bedah. EDH dapat terjadi akut (58%), subakut (31%), atau kronik (11%).
1
Di Amerika Serikat, 2% dari kasus trauma kepala mengakibatkan EDH
dan sekitar 10% mengakibatkan koma. Secara Internasional frekuensi kejadian
hematoma epidural hamper sama dengan angka kejadian di Amerika Serikat.
Orang yang beresiko mengalami EDH adalah orang tua yang memiliki masalah
berjalan dan sering jatuh. Hematoma epidural, enam puluh persen penderitanya
adalah berusia dibawah 20 tahun, dan jarang terjadi pada umur kurang dari 2
tahun. EDH juga jarang pada orang yang berusia tua lebih dari 60 tahun karena
dura melekat erat pada kalvaria. Angka kematian meningkat pada pasien yang
berusia kurang dari 5 tahun dan lebih dari 55 tahun. Lebih banyak terjadi pada
laki-laki dibanding perempuan dengan perbandingan 4:1.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Kepala9,10,15
Otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit dan tulang yang
membungkusnya. Tanpa perlindungan ini, otak akan mudah sekali terkena cedera
dan mengalami kerusakan. Selain itu, sekali neuron rusak, tidak dapat di perbaiki
lagi.
Otak dilindungi oleh:
1. SCALP
SCALP terdiri atas 5 lapisan, 3 lapisan pertama saling melekat dan
bergerak sebagai satu unit.
SCALP terdiri dari:
a. Skin atau kulit, tebal, berambut dan mengandung banyak kelenjar sebacea.
2
b. Connective tissue atau jaringan penyambung, merupakan jaringan lemak
fibrosa yang menghubungkan kulit dengan aponeurosis dari m. Occipito
frontalis di bawahnya. Banyak mengandung pembuluh darah besar terutama
dari lima arteri utama, yaitu cabang supra trokhlear dan supra orbital dari
arteri oftalmik di sebelah depan, dan tiga cabang dari karotid eksternal-
temporal superfisial, aurikuler posterior, dan oksipital di sebelah posterior dan
lateral. Pembuluh darah ini melekat erat dengan septa fibrosa jaringan
subkutis sehingga sukar berkontraksi atau mengerut. Apabila pembuluh darah
ini robek, maka pembuluh darah ini sukar mengadakan vasokonstriksi dan
dapat menyebabkan kehilangan darah yang bermakna pada penderita laserasi
kulit kepala. Perdarahan sukar dijepit dengan forcep arteri. Perdarahan diatasi
dengan menekannya dengan jari atau dengan menjahit laserasi.
c. Aponeurosis atau galea aponeurotika, merupakan suatu jaringan fibrosa, padat,
dapat digerakkan dengan bebas, membantu menyerap kekuatan trauma
eksternal, menghubungkan otot frontalis dan otot occipitalis. Spatium
subaponeuroticum adalah ruang potensial dibawah aponeurosis epicranial.
Dibatasi di depan dan di belakang oleh origo m. occipito frontalis, dan meluas
ke lateral sampai ke tempat perlekatan aponeurosis pada fascia temporalis.
d. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar, menghubungkan
aponeurosis galea dengan periosteum cranium (pericranium). Mengandung
beberapa arteri kecil dan beberapa v.emmisaria yang menghubungkan
v.diploica tulang tengkorak dan sinus venosus intrakranial. Pembuluh-
pembuluh darah ini dapat membawa infeksi dari kulit kepala sampai jauh ke
dalam tengkorak, sehingga pembersihan dan debridement kulit kepala harus
dilakukan secara seksama bila galea terkoyak. Darah atau pus yang terkumpul
di daerah ini tidak bisa mengalir ke regiooccipital atau subtemporal karena
adanya perlekatan occipitofrontalis. Cairan bisa masuk ke orbita dan
menyebabkan hematoma yang bisa jadi terbentuk dalam beberapa waktu
setelah trauma kapitis berat atau operasi kranium.
e. Pericranium merupakan periosteum yang menutupi permukaan luar tulang
tengkorak. Sutura diantara tulang-tulang tengkorak dan periosteum pada
3
permukaan luar tulang berlanjut dengan periosteum pada permukaan dalam
tulang-tulang tengkorak.
Gambar 1.AnatomiKepala
2. Tulang tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari calvarium (kubah) dan basis cranii (bagian
terbawah). Pada kalvaria di regio temporal tipis, tetapi di daerah ini dilapisi oleh
otot temporalis. Basis cranii terbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian
dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselarasi.
Pada orang dewasa, tulang tengkorak merupakan ruangan keras yang tidak
memungkinkan perluasan isi intrakanial. Tulang tengkorak mempunyai 3 lapisan,
yaitu:
a. Tabula interna (lapisan tengkorak bagian dalam)
b. Diploe (rongga di antara tabula), dan
c. Tabula eksterna (lapisan tengkorak bagian luar)
4
Tabula interna mengandung alur-alur yang berisikan arteria meningea
anterior, media, dan posterior. Apabila fraktur tulang tengkorak menyebabkan
rupturnya salah satu dari arteri-arteri ini, maka darah akan tertimbun dalam ruang
epidural dan dapat berakibat fatal.
Rongga basis cranii dibagi atas 3 fossa, yaitu fossa anterior yang
merupakan tempat lobus frontalis, fossa media yang merupakan tempat lobus
temporalis, fossa posterior yang merupakan tempat bagian bawah batang otak dan
cerebellum.
3. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3
lapisan, yaitu:
a. Duramater adalah selaput keras yang terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang
melekat erat pada permukaan dalam kranium. Duramater terdiri dari dua
lapisan, yaitu:
1) Lapisan endosteal (periosteal) sebelah luar, dibentuk oleh periosteum
yang membungkus dalam calvaria.
2) Lapisan meningeal sebelah dalam adalah suatu selaput fibrosa yang kuat
yang berlanjut terus di foramen mágnum dengan dura mater spinalis yang
membungkus medulla spinalis.
b. Selaput arakhnoid adalah membran fibrosa halus, tipis, elastis, dan tembus
pandang. Di bawah lapisan ini terdapat ruang yang dikenal sebagai
subarakhnoid, yang merupakan tempat sirkulasi cairan serebrospinalis.
c. Piamater adalah membran halus yang melekat erat pada permukaan korteks
serebri, memiliki banyak pembuluh darah halus, dan merupakan satu-satunya
lapisan meningeal yang masuk ke dalam semua sulkus dan membungkus
semua girus.
Terdapat perbedaan mendasar anatomi kepala pada orang dewasa dan
anak-anak. Kepala merupakan 18% dari total luas permukaan tubuh pada bayi.
Pada anak-anak, tulang tengkorak lebih tipis, dan fontanel mayor dan minornya
masih terbuka. Kondisi ini menyebabkan efek kerusakan yang terjadi lebih kecil
sehingga kerusakan korteks dan perdarahan lebih jarang terjadi. Tulang
5
tengkoraknya juga lebih lentur, sehingga perdarahan yang terjadi bisa tanpa
adanya fraktur.11,12
B. Epidural Hematoma (EDH) 2,15,16
Epidural hematoma adalah penumpukan darah di ruang epidural (dibatasi
tabula interna dan duramater) dan cirinya berbentuk bikonveks atau menyerupai
lensa cembung akibat trauma kapitis sering terjadi di area temporal atau
temporoparietal.EDH dapat pula terjadi di daerah frontal atau oksipital dan
biasanya disebabkan oleh robeknya arterimeningea media akibat fraktur tulang
tengkorak. Gumpalan darah yang terjadi biasanya berasal dari pembuluh arteri,
namun dapat juga terjadi akibat robekan dari vena besar.4,13
Ada banyak alasan mengapa hematoma ekstradural relatif jarang pada
neonatus. Dura melekat erat pada periosteum sehingga mencegah pembentukan
koleksi cairan epidural. Alur arteri meningea media juga masih dangkal dan arteri
tidak terbungkus dalam tulang, oleh karena itu, kurang rentan terobek ketika
fraktur di kranium yang masih lunak. Fossa posterior adalah lokasi umum untuk
hematoma ekstradural pada neonatus karena adanya sinus vena dural.14
6
Dua puluh lima hingga empat puluh persen dari semua lesi massa setelah
cedera kepala di fossa posterior telah didokumentasikan sebagai EDH. Hematoma
ekstradural serebelar ini biasanya berhubungan dengan fraktur. Ketika usia muda,
anak-anak menjadi lebih rentan terhadap hematoma ekstradural klasik sekunder
dari perdarahan arteri meningea. Lokasi yang paling umum adalah daerah
temporoparietal, tapi dapat juga ditemukan di fossa posterior.14
Gambar 2. Epidural hematoma
1. Etiologi
Penyebab EDH terbanyak ialah akibat kecelakaan lalu lintas, yang
kemudian disusul dengan jatuh3 Penyebab paling umum dari EDH pada neonatus
adalah perdarahan akibat trauma lahir.14 Kebanyakan kasus EDH terjadi akibat
jatuh, meskipun sebagian kecil kasus terjadi akibat tabrakan kendaraan bermotor,
pelecehan, atau mekanisme lainnya. Sekitar satu setengah dari kasus EDHterjadi
akibat jatuh dari ketinggian < 6 kaki (1,8 meter). Mekanisme lainnya seperti
terlihat dalam kasus-kasus kekerasan terhadap, cenderung dikaitkan dengan EDH
karena tidak menyebabkan deformasi tengkorak. Sekitar 90% dari kasus EDH
tidak terkait dengan cedera parenkim, karena benturan lemah saja ketikajatuh
7
dapat menyebabkan EDH sehingga jarang melibatkan energi tinggi yang
diterapkan pada otak itu sendiri.12
2. Patofisiologi
Fraktur tulang tengkorakdapat merobek pembuluh darah terutama arteri
meningea media yang masuk ke dalam tengkorak melalui foramen spinosum dan
berjalan di antara durameter dan tulang temporal. Perdarahan yang terjadi
menimbulkan EDH. Desakan oleh hematoma akan melepaskan durameter lebih
lanjut dari tulang kepala sehingga hematoma bertambah besar.1,4
Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan pada
lobus temporalis otak ke arah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian
lobus medial (unkus dan sebagian dari girus hipokampus) mengalami herniasi di
bawah pinggiran tentorium. Keadaan ini menyebabkan timbulnya tanda-tanda
neurologik yang dapat dikenal oleh tim medis.1
Tekanan dari herniasi unkus pada sirkulasi arteri yang mengurus formasi
retikularis (ARAS) di medulla oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran. Di
tempat ini terdapat nuclei saraf kranial ketiga (okulomotorius). Tekanan pada
saraf ini mengakibatkan dilatasi pupil dan ptosis kelopak mata. Tekanan pada
lintasan kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah ini, menyebabkan
kelemahan respons motorik kontralateral, refleks hiperaktif atau sangat cepat, dan
tanda Babinski positif.1
Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan
terdorong ke arah yang berlawanan, menyebabkan tekanan intrakranial yang
besar. Timbul tanda-tanda lanjut adanya peningkatan tekanan intrakranial, antara
lain kekakuan deserebrasi, dan gangguan tanda-tanda vital dan fungsi pernafasan.1
Sumber perdarahan :13,14
a. Arterimeningea (lucid interval : 2 – 3 jam)
b. Sinus duramatis
c. Diploe (lubang yang mengisi kalvariakranii) yang berisi arteri diploica dan
vena diploica
3. Gambaran Klinis17
8
EDH tanpa cedera lain biasanya disebabkan oleh robeknya arteri meningea
media. Kelainan ini pada fase awal tidak menunjukkan gejala atau tanda. Setelah
hematoma bertambah besar akan terlihat tanda pendesakan dan peningkatan
tekanan intrakranial. Penderita akan mengalami sakit kepala, mual dan muntah
diikuti dengan penurunan kesadaran. Gejala neurologik yang terpenting yaitu
pupil anisokor, terutama pupil ipsilateral yang melebar. Pada perjalanannya
pelebaran pupil akan mencapai maksimal dan reaksi cahaya yang pada permulaan
masih positif akan menjadi negatif. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan
bradikardia. Pada tahap akhir, kesadaran menurun sampai koma yang dalam, pupil
kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak
menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian.
Ciri khas EDH murni adalah terdapatnya lucid interval antara saat
terjadinya trauma dan tanda pertama yang berlangsung beberapa menit sampai
beberapa jam. Jika EDH disertai dengan cedera otak seperti kontusio serebri, lucid
interval tidak akan tampak, sedangkan gejala dan tanda lainnya menjadi kabur.
Riwayat klasik pada EDH, yaitu setelah mengalami trauma kapitis,
penderita pingsan sebentar, lalu ia sadar kembali. Dalam masa beberapa puluhan
menit sampai beberapa hari tidak ada manifestasi yang mengejutkan.
Lucid interval merupakan adanya fase sadar diantara dua fase tidak sadar
karena bertambahnya volume darah. Pingsan I pada lucid interval disebabkan
karena benturan langsung, sedangkan pingsan II karena EDH.Fenomena lucid
interval terjadi karena cedera primer yang ringan pada EDH, sedangkan pada
SDH dan ICH cedera primernya hampir selalu berat. EDH dengan trauma primer
berat tidak terjadi lucid interval, pasien langsung tidak sadarkan diri dan tidak
pernah mengalami fase sadar.
Hilang kesadaran pada saat benturan, lucid interval, dan kerusakan
neurologis akibat pendesakan dari hematoma yang membesar merupakan gejala
klasik dari EDH. Dalam salah satu penelitian dari pasien dengan EDH, hanya 20%
yang kehilangan kesadaran dan 38% alert dengan pemeriksaan neurologis normal
pada saat diagnosis.
Sebagian kecil pasien dengan EDH mungkin tidak memiliki gejala cedera
otak. Patah tulang tengkorak dapat menjadi indikator penting dari EDH, terutama
9
pada pasien dengan beberapa gejala lain, karena fraktur tulang tengkorak
ditemukan dalam 70% - 80% dari kasus EDH. Fraktur tulang tengkorak temporal
atau parietal sering terkait dengan risiko perdarahan arteri.
4. Gambaran Radiologi18,19
Dengan CT-scan dan MRI, perdarahan intrakranial akibat trauma kepala
lebih mudah dikenali.
a. Foto Polos Kepala
Pada foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosis pasti EDH. Dengan
proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral dengan sisi yang mengalami trauma pada
film untuk mencari adanya fraktur tulang yang memotong sulcus arteria
meningea media.
b. Computed Tomography (CT-Scan)
Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan
potensi cedera intracranial lainnya. Pada EDH biasanya terjadi pada satu bagian
saja (single) tetapi dapat pula terjadi pada kedua sisi (bilateral), berbentuk
bikonveks, paling sering di daerah temporo parietal. Densitas darah yang
homogen (hiperdense), berbatas tegas, midline terdorong kesisi kontralateral.
Terdapat pula garis fraktur pada area EDH, densitas yang tinggi pada stage akut
(60–90 HU), ditandai dengan adanya peregangan dari pembuluh darah.
Gambar 3.CT-Scan epidural hematoma
10
c. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang menggeser
posisi duramater, berada diantara tulang tengkorak dan duramater. MRI juga dapat
menggambarkan batas fraktur yang terjadi. MRI merupakan salah satu jenis
pemeriksaan yang dipilih untuk menegakkan diagnosis.
Gambar 4. MRI epidural hematoma.
4. Diagnosis Banding
a. Subdural Hematoma (SDH)
Subdural hematoma terjadi akibat pengumpulan darah diantara dura mater
dan arachnoid. Secara klinis SDH akut sukar dibedakan dengan EDH yang
berkembang lambat. Bisa disebabkan oleh trauma hebat pada kepala yang
menyebabkan bergesernya seluruh parenkim otak mengenai tulang sehingga
merusak arteri kortikalis. Biasanya disertai dengan perdarahan jaringan otak.
Gambaran CT-Scan subdural hematoma, tampak penumpukan cairan ekstraaksial
yang hiperdense berbentuk bulan sabit.
11
Gambar 5. SubduralHematoma Akut
b. Subaraknoid Hematoma (SAH)
Perdarahan subarakhnoid terjadi karena robeknya pembuluh-pembuluh
darah di ruang subarakhnoid.
Gambar 6.Subarakhnoid hematoma
5. Diagnosis
a. Pemeriksaan
Hal terpenting yang pertama kali dinilaiialah status fungsi vital dan status
kesadaran pasien. Ini harus dilakukan sesegera mungkin bahkan mendahului
anamnesis yang teliti.
1) Primary survey
Seperti halnya kasus kedaruratan lainnya, hal terpenting yang dinilai ialah :
a) Jalan nafas (airway)
12
b) Pernafasan (breathing)
c) Nadi dan tekanan darah (circulation)
Jalan nafas harus segera dibersihkan dari benda asing, lender atau darah,
bila perlu segera dipasang pipa naso/orofaring; diikuti dengan pemberian oksigen.
Manipulasi leher harus berhati-hati bila ada riwayat/dugaan trauma servikal
(whiplash injury). Pemantauan fungsi sirkulasi dilakukan untuk menduga adanya
syok, terutama bilaterdapatjuga trauma di tempat lain, misalnya trauma thorax,
trauma abdomen, fraktur ekstremitas. Selain itu, peningkatan tekanan darah yang
disertai dengan melambatnya frekuensi nadi dapat merupakan gejala awal
peninggian tekanan intrakranial, yang biasanya dalam fase akut disebabkan oleh
EDH.12
2) Pemeriksaan neurologis6
Dewasa ini penilaian status kesadaran secara kualitatif, terutama pada
kasus cedera kepala sudah mulai ditinggalkan karena subjektivitas pemeriksa;
istilah apatis, somnolen, sopor, koma, sebaiknya dihindari atau disertai dengan
penilaian kesadaran yang lebih objektif, terutama dalam keadaan yang
memerlukan penilaian/perbandingan secara ketat. Cara penilaian kesadaran yang
luas digunakan ialah dengan Skala Koma Glasgow. Melalui cara ini pula,
perkembangan/perubahan kesadaran dari waktu kewaktu dapat diikuti secara
akurat. Skala Koma Glasgow adalah berdasarkan penilaian/pemeriksaan atas tiga
parameter, yaitu :
a) Buka mata.
b) Respon motorik terbaik.
c) Respon verbal terbaik
13
3) Secondary survey
Pemeriksaan neurologis serial (GCS, lateralisasi, dan refleks pupil) harus
selalu dilakukan untuk deteksi dini gangguan neurologis. Tanda awal dari herniasi
lobus temporal (unkus) adalah dilatasi pupil dan hilangnya refleks pupil terhadap
cahaya. Adanya trauma langsung pada mata sering menjadi penyebab
abnormalitas respon pupil dan dapat membuat pemeriksaan pupil menjadi sulit.
4) Prosedur diagnostik
Pemeriksaan CT scan harus segera dilakukan secepat mungkin, segera
setelah hemodinamika normal. Pemeriksaan CT scan ulang harus dikerjakan jika
terjadi perubahan status klinik penderita dan secara rutin 12-24 jam setelah trauma
bila dijumpai gambaran kontusio atau hematoma pada CT scan awal.Angiografi
pada penderita dengan kelainan neurologis dapat dilakukan bila tidak terdapat CT
scan.
EDH dapat segera didiagnosis dengan CT scan kepala noncontrast.
Gambaran klasik EDH pada CT scan ialah lesi bikonveks hiperdense yang terletak
di bawah tengkorak. EDH biasanya dibatasi oleh sutura tapi bisa menyeberangi
garis ini jika diastasis sutura telah terjadi. EDH paling sering terjadi di daerah
14
parietal, temporal, atau temporoparietal (sekitar 78%) dan jarang di daerah frontal
(16%) atau oksipital (6%). Gambaran klasik hiperdense pada CT scan
menunjukkan darah beku. Kadang-kadang, lesiswirl isodense di temukan
berdekatan atau bercampur dengan gambaran hiperdense, yang menandakan
perdarahan akut masih berlangsung dan belum menggumpal.
Pada CT-Scan, pergeseran garis tengah dan ventrikel kecil menunjukkan
efek massa dari EDH tersebut. Tanda-tanda herniasi dapat dilihat. Hematoma
intradural atau cedera parenkim lain yang berkaitan dapat ditemukan.
Dalam tahun-tahun terakhir, beberapa peneliti dan dokter telah mulai
menggunakan MRI untuk mendiagnosis EDH. MRI memerlukan durasi
pencitraan yang lebih lama dan lebih mungkin untuk memerlukan sedasi, sehingga
CT-Scan tetap merupakan modalitas yang disukai. Namun, MRI terkadang
berguna untuk daerah otak yang tidak terlalu baik jika dicitrakan dengan CT-Scan,
seperti daerah yang terletak di bawah sampai puncak tengkorak. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa peningkatan gadolinium dari EDH menunjukkan
perdarahan yang sedang berlangsung dan kemungkinan peningkatan perluasan
lesi.
5) Penatalaksanaan5,7,8
a) Memperbaiki/mempertahankan fungsi vital
Usahakan agar jalan nafas selalu bebas, bersihkan lendir dan darah yang
dapat menghalangi aliran udara pernafasan. Bila perlu dipasang pipa
naso/orofaringeal dan pemberian oksigen. Infus dipasang terutama untuk
membuka jalur intravena, gunakan cairan NaCl 0,9% atau Dextrose in saline.
b) Mengurangi edema otak
Beberapa cara dapat dicoba untuk mengurangi edema otak:
- Cairan intravena
Cairan intravena diberikan secukupnya untuk resusitasi agar
penderita tetap dalam keadaan normovolemia. Keadaan hipovolemia pada
pasien sangatlah berbahaya. Namun harus diperhatikan untuk tidak
memberikan cairan yang berlebihan. Jangan berikan cairan hipotonik.
Penggunaan cairan yang mengandung glukosa dapat menyebabkan
15
hiperglikemia yang berakibat buruk pada otak yang cedera, olehkarena itu
cairan yang dianjurkan untuk resusitasi ialah larutan garam fisiologis atau
ringer laktat. Kadar natrium serum juga harus dipertahankan untuk
mencegah terjadinya edema otak. Strategi terbaik adalah mempertahankan
volume intravaskular normal dan hindari hipoosmolalitas, dengan cairan
isotonik. Saline hipertonik bisa digunakan untuk mengatasi hiponatremia
yang bisa menyebabkan edema otak.
- Hiperventilasi
Bertujuan untuk menurunkan PCO2darah sehingga mencegah
vasodilatasi pembuluh darah. Selain itu, suplai oksigen yang terjaga dapat
membantu menekan metabolisme anaerob, sehingga dapat mengurangi
kemungkinan asidosis. Bila dapat diperiksa, PO2dipertahankan >100
mmHg dan PCO2di antara 25-30 mmHg.
- Cairan hiperosmoler
Umumnya digunakan cairan manitol 10-15% per infus untuk
"menarik" air dari ruang intersel ke dalam ruang intravaskular yang
kemudian dikeluarkan melalui diuresis. Untuk memperoleh efek yang
diinginkan, manitol harus diberikan dalam dosis yang cukup dalam waktu
singkat, umumnya diberikan 0,51 gram/kgBB dalam 10-30 menit. Cara ini
berguna pada kasus-kasus yang menunggu tindakan bedah. Pada kasus
biasa, harus dipikirkan kemungkinan efek rebound; mungkin dapat dicoba
diberikan kembali (diulang) setelah beberapa jam atau keesokan harinya.
- Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan manfaatnya sejak
beberapa waktu yang lalu. Pendapat akhir-akhir ini cenderung menyatakan
bahwa kortikosteroid tidak/kurang bermanfaat pada kasus cedera kepala.
Penggunaannya berdasarkan pada asumsi bahwa obat ini menstabilkan
sawar darah otak. Dosis parenteral yang pernah dicoba juga bervariasi.
Deksametason pernah dicoba dengan dosis sampai 100 mg bolus yang
diikuti dengan 4 dd 4 mg. Selain itu,metilprednisolon pernah digunakan
dengan dosis 6 dd 15 mg dan triamsinolon dengan dosis 6 dd 10 mg.
16
- Barbiturat
Digunakan untuk membius pasien sehingga metabolisme otak
dapat ditekan serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga akan
menurun; karena kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih terlindung dari
kemungkinan kerusakan akibat hipoksia, walaupun suplai oksigen
berkurang. Cara ini hanya dapat digunakan dengan pengawasan yang
ketat.
- Cara lain
Pada 24-48 jam pertama, pemberian cairan dibatasi sampai 1500-
2000 mL/24 jam agar tidak memperberat edema jaringan. Ada laporan
yang menyatakan bahwa posisi tidur dengan kepalayang diangkat 30° akan
menurunkan tekanan intrakranial.
Posisi tidur yang dianjurkan, terutama pada pasien yang berbaring lama,
ialah:
- Kepala dan leher diangkat 30°.
- Sendi lutut diganjal, membentuk sudut 150°.
- Telapak kaki diganjal, membentuk sudut 90° dengan tungkai bawah.
Dewasa ini banyak obat yang dikatakan dapat membantu mengatasi
kesulitan/gangguan metabolisme otak, termasuk pada keadaan koma.
- Piritinol
Piritinol merupakan senyawa mirip piridoksin (vitamin B6) yang
dikatakan mengaktivasi metabolisme otak dan memperbaiki struktur serta
fungsi membran sel. Pada fase akut diberikan dalam dosis 800-4000
mg/hari lewat infus. Tidak dianjurkan pemberian intravena karena sifatnya
asam sehingga mengiritasi vena.
- Piracetam
Piracetam merupakan senyawa mirip GABA - suatu
neurotransmitter penting di otak. Diberikan dalam dosis 4-12 gram/hari
intravena.
17
- Citicholine
Disebut sebagai koenzim pembentukan lecithin di otak. Lecithin
sendiri diperlukan untuk sintesis membran sel dan neurotransmitter di
dalam otak. Diberikan dalam dosis 100-500 mg/hari intravena.
c) Terapi operatif
Operasi dilakukan bila terdapat:
- Volume hematoma>30 ml (kepustakaan lain > 44 ml)
- Keadaan pasien memburuk dimana terjadi depresi tingkat kesadaran,
ditemukan gangguan neurologis fokal, abnormalitas pupil, dan ada tanda-
tanda peningkatan tekanan intrakranial.
- Pendorongan garis tengah >3 mm
Penanganan darurat ialah dekompresi dengan trepanasi sederhana (boor
hole). Dilakukan craniotomy untuk mengevakuasi hematoma.Indikasi operasi di
bidang bedah saraf adalah untuk life saving dan untuk fungsional saving. Jika
untuk keduanya tujuan tersebut maka operasinya menjadi operasi emergency.
Biasanya keadaan emergency ini disebabkan oleh lesi desak ruang.
Indikasi untuk life saving adalah jika lesi desak ruang bervolume :
- >25 cc desak ruang supratentorial
- >10 cc desak ruang infratentorial
- >5 cc desak ruang thalamus
Sedangkan indikasi evakuasi life saving ialah efek masa yang signifikan :
- Penurunan klinis
- Efek massa dengan volume >20 cc,midline shif t>5 mm, dan penurunan
klinis yang progresif.
- Tebal EDH >1 cm dengan midline shift >5 mm dan penurunan klinis yang
progresif.
Manajemen konservatif biasanya dianggap dapat diterima hanya untuk
pasien dengan EDH kecil (umumnya volume perdarahan < 30 ml dan
ketebalannya < 2 cm), tidak ada defisit neurologis fokal, dan tingkat kesadaran
normal. Pasien dengan EDH pada fossa posterior jarang dilakukan manajemen
konservatif karena risiko tinggi kerusakan mendadak akibat kompresi medula dan
hidrosefalus.
18
Dalam satu penelitian, 32% dari pasien yang awalnya dikelola secara
konservatif pada akhirnya memerlukan drainase bedah dari EDH tersebut. Pasien
yang awalnya sudah memiliki CT-Scan kepala ditangani lebih awal, terutama
yang sudah dalam waktu 2 jam setelah trauma - memiliki resiko tinggi
penambahan ukuran EDH. Dokter harus waspada terutama dengan kasus EDH
daerah temporal karena risiko perdarahan arteri dan herniasi uncal lebih sering
terjadi pada lesi ini.
6. Prognosis
Prognosis tergantung pada:
- Lokasinya (infratentorial lebih jelek)
- Besarnya
- Kesadaran saat masuk kamar operasi.
Jika ditangani dengan cepat, prognosis EDH biasanya baik, karena
kerusakan otak secara menyeluruh dapat dibatasi. Angka kematian berkisar antara
7-15% dan kecacatan pada 5-10% kasus. Prognosis sangat buruk pada pasien yang
mengalami koma sebelum operasi.
Angka kematian EDH berkisar dari 0-10%. Sekitar 85% memiliki hasil
neurologis yang baik. Prediktor terpenting ialah hasil status neurologis pasien
sebelum intervensi operasi. Pasien dengan koma dan kelainan pupil jauh lebih
mungkin untuk mengalami cedera otak sekunder. Namun, di antara pasien yang
datang dalam keadaan koma atau dengan pupil non reaktif, mayoritas akan
memiliki hasil neurologis sedang atau baik. Pasien dengan gejala EDH yang
minimal dan tidak memerlukan operasi biasanya memberikan hasil neurologis
yang normal.
19
BAB III
LAPORAN KASUS
A. Identitas Penderita
Nama : DR
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 12 tahun
Tempat dan tanggal lahir : Amurang, 10 Desember 2003
Alamat : Ranomea Lingkungan VIII
Pekerjaan : Pelajar
Agama : Kristen Protestan
MRS : 9 Januari 2016
Keluhan Utama
Penurunan kesadaran akibat terjatuh dari pohon
B. Secondary survey
Penurunan kesadaran akibat terjatuh dari pohon dialami penderita sejak
4 jam sebelum masuk rumah sakit. Awalnya penderita sedang mengambil layang
– layang yang tersangkut di pohon, kemudian tanpa sadar menginjak ranting yang
agak rapuh dan akhirnya patah sehingga mengakibatkan penderita jatuh dari
pohon dengan ketinggian + 5 meter, dengan posisi kepala di bagian belakang
sehingga terbentur duluan ke tanah. Riwayat pingsan (+) + 10 menit, riwayat
muntah (-), riwayat keluar cairan atau darah dari hidung dan telinga (-). Penderita
segera dibawa ke RS. Kadooran, Amurang kemudian dirujuk ke RSUP Prof Dr. R.
D. Kandou dengan infus terpasang.
Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum : Sakit Sedang
2. Kesadaran : GCS E3V4M5
3. Vital Sign
Tekanan Darah : 100/60 mmHg
Nadi : 100 kali/menit
Respirasi : 24 kali/menit
20
Suhu : 36,4 oC
a. Kepala
Conjungtiva : anemis (-/-)
Pupil : Bulat, isokor, uk. O 3 mm kanan, O 3 mm kiri ,
RC +/+
Regio occipital dextra : hematoma uk. 5 x 5 cm
Regio zygoma : edema (-), diplopia (-), floating (-), parastesis (-).
Region intraoral : floating maxilla (-), maloklusi (-), abnormal
movement (-)
b. Leher : jejas (-), nyeri tekan (-).
c. Thoraks
1) Inspeksi : gerakan pernapasan simetris kiri = kanan
2) Palpasi : stem Fremitus kiri = kanan, kompresi test (-)
3) Perkusi : sonor kiri = kanan
4) Auskultasi : suara pernapasan vesikuler kiri = kanan, suara napas
tambahan: ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
d. Abdomen
1) Inspeksi : datar
2) Auskultasi : bising usus (+) normal
3) Palpasi : lemas, hepar/lien tidak teraba
4) Perkusi : timpani
e. Ekstremitas
Motorik :
Kekuatan OtotKana
nKiri
Ekstermitas atas 5 5
Ekstermitas
bawah5 5
Sensorik : Dalam batas normal
C. Diagnosis Kerja
21
Comotio cerebri + vulnus laseratum regio temporoparieto occipital dextra
D. Sikap
- Elevasi head of bed 300
- O2 4 – 6 liter per menit
- IVFD Asering 5% 20 gtt/m
- Ceftriaxone inj 2x1gr (IV) ST
- Ranitidine inj 2x1 (IV)
- Antrain 3x1 amp (IV)
- Brain Act 2x250 mg (IV)
E. Planning
- Pemeriksaan Laboratorium (DL, Na, K, Cl, Ur, Cr, GDS)
- Pemeriksaan Radiologis :
CT-Scan Kepala.
Foto cervical 3D
F. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Nilai normal
Leukosit 20500/uL 4000-10000/Ul
Eritrosit 3,58x106/uL (4,00-6,00)x106/ uL
Hemoglobin 11.1 g/dL 12,0-16,0 g/dL
Hematokrit 33.9% 37,0-48,0%
Trombosit 410.000/uL 150000-450000/uL
MCH 31.0 pg 27-35 pg
MCHC 32.7 g/dL 30-40 g/dL
MCV 94.7 fL 80-100Fl
Na 138 135 – 153 mEq/L
K 4.00 3.50 – 5.30 mEq/L
Cl 108.0 98.0 – 109.0 mEq/L
22
GDS 110 70-125
G. Pemeriksaan Radiologis.
CT-Scan kepala
23
Pada CT-Scan kepala potongan axial pasien DR, 12 tahun. Tampak gambaran
hiperdens berbentuk biconvex pada region temporoparietal occipital dextra,
volume cc, midline shift (-).
Kesan: EDH region temporoparieto occipital dextra, volume 15 cc
24
Foto cervical
Kesan: tidak ada kelainan
H. Diagnosis
EDH regio temporoparietal occipital dekstra
I. Penanganan
- O2 4 L/menit
- Elevasi head of bed 300.
- IVFD Asering 20 gtt/m
- Injeksi Ceftriaxone 2x1 gr vial
- Injeksi Ranitidin 2x1/2 amp
- Injeksi Antrain 3x1 amp
- Injeksi Brain act 2x250 mg
- Observasi tanda-tanda peningkatan tekanan intra cranial
- Pro trepanasi cito
25
LAPORAN OPERASI
Tanggal operasi : 9 Januari 2016
Jam mulai : 21.00 wita
Jam selesai : 22.45 wita
Lama operasi : 1 jam 45 menit
Jenis anestesi : General Anesetesi (GA)
Tindakan pembedahan: kraniektomi dekompresi
Diagnosis pra bedah : EDH Temporoparieto occipital dextra
Diagnosis post bedah : Post kraniektomi e.c EDH Temporoparieto occipital
dextra
Laporan operasi :
- Penderita terlentang di meja operasi dengan GA, kepala miring kiri
- A dan antisepsis lapangan operasi
- Insisi linier di temporo occipital dextra sepanjang + 10 cm sampai
periosteum, periosteum disisihkan dengan raspatorineum
- Dilakukan burn hole 1 tubag, tampak hematoma dipoleskan dengan levson
dan kerable turgor sampai diameter + 5 cm, tampak hematom berdenyut
- Evaluasi keratan + 30 a. Kontrol perdarahan dengan lyostip, bonewax, dan
berryplast
- Pasang drain valwe di subgaleal
- Luka operasi ditutup lapis demi lapis
- Operasi selesai
Jumlah perdarahan : + 40 ml
Instruksi post op :
- IVFD Asering 20 gtt/m
- Inj Ceftriaxone 2x1gr IV
- Inj Antrain 3x1/2 amp IV
- Inj Ranitidin 2x1 amp IV
- Cek DL pos op
- Puasa
26
J. Follow Up
10 Januari 201 6
S : Nyeri kepala di luka operasi
O : Vital sign
TD : 110/60 mmHg HR : 73 kali/menit
RR : 20 kali/menit SB : 37,1o C
GCS : E4M6V5
Tanda rangsang meningeal : kaku kuduk (-)
Nervus kranialis : paresis (-)
Status motorik : hemiparesis (-)
- kekuatan otot :
Kekuatan OtotKana
nKiri
Ekstermitas atas 5 5
Ekstermitas
bawah5 5
- tonus otot : normal
- refleks fisiologis : ++ (normal)
- refleks patologis : -
Status sensorik : normal
Status otonom : normal
Kepala :
- Conjungtiva : anemis (-/-)
- Pupil : bulat, isokor, uk. O 3 mm kanan, O 3 mm
kiri , RC -/+
- Regio temporoparietal : luka terjahit (+) terawat
- Regio occipital dextra : luka terjahit uk. 1 cm
- Drain : 35 cc serohemoragik
A : Post kraniektomi dekompresi + evaluasi hematoma e.c EDH temporo
occipital dextra
P: O2 4 L/menit
27
- IVFD Asering 20 gtt/m
- Injeksi Ceftriaxone 2x1 gr vial
- Injeksi Ranitidin 2x1/2 amp
- Injeksi Antrain 3x1 amp
- Observasi tanda-tanda peningkatan tekanan intra cranial
- Rawat luka
- Diet clean water 20 cc/jam
11 Januari 201 6
S : Nyeri kepala di luka operasi
O : Vital sign
TD : 100/60 mmHg HR : 76 kali/menit
RR : 20 kali/menit SB : 36,8o C
GCS : E4M6V5
Tanda rangsang meningeal : kaku kuduk (-)
Nervus kranialis : paresis (-)
Status motorik : hemiparesis (-)
- kekuatan otot :
Kekuatan OtotKana
nKiri
Ekstermitas atas 5 5
Ekstermitas
bawah5 5
- tonus otot : normal
- refleks fisiologis : ++ (normal)
- refleks patologis : -
Status sensorik : normal
Status otonom : normal
Kepala :
28
- Conjungtiva : anemis (-/-)
- Pupil : bulat, isokor, uk. O 3 mm kanan, O 3 mm
kiri , RC -/+
- Regio temporoparietal : luka terjahit (+) terawat
- Regio occipital dextra : luka terjahit uk. 1 cm
- Drain : 27 cc serohemoragik
A : Post kraniektomi dekompresi + evaluasi hematoma e.c EDH temporo
occipital dextra
P: O2 4 L/menit
- IVFD Asering 20 gtt/m
- Injeksi Ceftriaxone 2x1 gr vial
- Injeksi Ranitidin 2x1/2 amp
- Injeksi Antrain 3x1 amp
- Observasi tanda-tanda peningkatan tekanan intra cranial
- Rawat luka
- Diet clean water 20 cc/jam
- Diet bubur saring
12 Januari 201 6
S : Nyeri kepala di luka operasi
O : Vital sign
TD : 100/60 mmHg HR : 75 kali/menit
RR : 20 kali/menit SB : 36,3o C
GCS : E4M6V5
Kepala :
- Conjungtiva : anemis (-/-)
- Pupil : bulat, isokor, uk. O 3 mm kanan, O 3 mm
kiri , RC -/+
- Regio temporoparietal : luka terjahit (+) terawat
- Regio occipital dextra : luka terjahit uk. 1 cm
- Drain : 27 cc serohemoragik
29
A : Post kraniektomi dekompresi + evaluasi hematoma e.c EDH temporo
occipital dextra
P: O2 4 L/menit
- IVFD Asering 20 gtt/m
- Injeksi Ceftriaxone 2x1 gr vial
- Injeksi Ranitidin 2x1/2 amp
- Injeksi Antrain 3x1 amp
- Observasi tanda-tanda peningkatan tekanan intra cranial
- Rawat luka
- Diet clean water 20 cc/jam
- Diet bubur saring
13 Januari 201 6
S : Nyeri kepala di luka operasi
O : Vital sign
TD : 100/60 mmHg HR : 80 kali/menit
RR : 20 kali/menit SB : 36,5o C
GCS : E4M6V5
Kepala :
- Conjungtiva : anemis (-/-)
- Pupil : bulat, isokor, uk. O 3 mm kanan, O 3 mm
kiri , RC -/+
- Regio temporoparietal : luka terjahit (+) terawat
- Regio occipital dextra : luka terjahit uk. 1 cm
- Drain : 12 cc serohemoragik
A : Post kraniektomi dekompresi + evaluasi hematoma e.c EDH temporo
occipital dextra
P: - O2 4 L/menit
- IVFD Asering 20 gtt/m
- Injeksi Ceftriaxone 2x1 gr vial
- Injeksi Ranitidin 2x1/2 amp
- Injeksi Antrain 3x1 amp
30
- Observasi tanda-tanda peningkatan tekanan intra cranial
- Rawat luka
- Diet clean water 20 cc/jam
- Diet bubur saring
14 Januari 201 6
S : Nyeri kepala di luka operasi
O : Vital sign
TD : 100/70 mmHg HR : 82 kali/menit
RR : 20 kali/menit SB : 36,5o C
GCS : E4M6V5
Kepala :
- Conjungtiva : anemis (-/-)
- Pupil : bulat, isokor, uk. O 3 mm kanan, O 3 mm
kiri , RC -/+
- Regio temporoparietal : luka terjahit (+) terawat
- Regio occipital dextra : luka terjahit uk. 1 cm
- Drain : 7 cc serohemoragik
A : Post kraniektomi dekompresi + evaluasi hematoma e.c EDH temporo
occipital dextra
P: O2 4 L/menit
- IVFD Asering 20 gtt/m
- Injeksi Ceftriaxone 2x1 gr vial
- Injeksi Ranitidin 2x1/2 amp
- Injeksi Antrain 3x1 amp
- Observasi tanda-tanda peningkatan tekanan intra cranial
- Rawat luka
- Diet clean water 20 cc/jam
- Diet bubur saring
15 Januari 201 6
S : Nyeri kepala di luka operasi
31
O : Vital sign
TD : 100/70 mmHg HR : 86 kali/menit
RR : 20 kali/menit SB : 36,6o C
GCS : E4M6V5
Kepala :
- Conjungtiva : anemis (-/-)
- Pupil : bulat, isokor, uk. O 3 mm kanan, O 3 mm
kiri , RC -/+
- Regio temporoparietal : luka terjahit (+) terawat
- Regio occipital dextra : luka terjahit uk. 1 cm
- Drain : 9 cc serohemoragik
A : Post kraniektomi dekompresi + evaluasi hematoma e.c EDH temporo
occipital dextra
P: O2 4 L/menit
- IVFD Asering 20 gtt/m
- Injeksi Ceftriaxone 2x1 gr vial
- Injeksi Ranitidin 2x1/2 amp
- Injeksi Antrain 3x1 amp
- Observasi tanda-tanda peningkatan tekanan intra cranial
- Rawat luka
- Diet clean water 20 cc/jam
- Diet bubur saring
16 Januari 201 6
S : Nyeri kepala di luka operasi
O : Vital sign
TD : 100/60 mmHg HR : 75 kali/menit
RR : 20 kali/menit SB : 36,3o C
GCS : E4M6V5
Kepala :
- Conjungtiva : anemis (-/-)
32
- Pupil : bulat, isokor, uk. O 3 mm kanan, O 3 mm
kiri , RC -/+
- Regio temporoparietal : luka terjahit (+) terawat
- Regio occipital dextra : luka terjahit uk. 1 cm
- Drain : 7 cc serohemoragik
A : Post kraniektomi dekompresi + evaluasi hematoma e.c EDH temporo
occipital dextra
P: O2 4 L/menit
- IVFD Asering 20 gtt/m
- Injeksi Ceftriaxone 2x1 gr vial
- Injeksi Ranitidin 2x1/2 amp
- Injeksi Antrain 3x1 amp
- Observasi tanda-tanda peningkatan tekanan intra cranial
- Rawat luka
- Diet clean water 20 cc/jam
- Diet bubur saring
17 Januari 201 6
S : Nyeri kepala di luka operasi
O : Vital sign
TD : 110/70 mmHg HR : 72 kali/menit
RR : 20 kali/menit SB : 36,4o C
GCS : E4M6V5
Kepala :
- Conjungtiva : anemis (-/-)
- Pupil : bulat, isokor, uk. O 3 mm kanan, O 3 mm
kiri , RC -/+
- Regio temporoparietal : luka terjahit (+) terawat
- Regio occipital dextra : luka terjahit uk. 1 cm
- Drain : 27 cc serohemoragik
33
A : Post kraniektomi dekompresi + evaluasi hematoma e.c EDH temporo
occipital dextra
P: O2 4 L/menit
- IVFD Asering 20 gtt/m
- Injeksi Ceftriaxone 2x1 gr vial
- Injeksi Ranitidin 2x1/2 amp
- Injeksi Antrain 3x1 amp
- Observasi tanda-tanda peningkatan tekanan intra cranial
- Rawat luka
- Diet clean water 20 cc/jam
- Diet bubur saring
18 Januari 201 6
S : Nyeri kepala di luka operasi
O : Vital sign
TD : 110/60 mmHg HR : 70 kali/menit
RR : 20 kali/menit SB : 36,3o C
GCS : E4M6V5
Kepala :
- Conjungtiva : anemis (-/-)
- Pupil : bulat, isokor, uk. O 3 mm kanan, O 3 mm
kiri , RC -/+
- Regio temporoparietal : luka terjahit (+) terawat
- Regio occipital dextra : luka terjahit uk. 1 cm
- Drain : -
A : Post kraniektomi dekompresi + evaluasi hematoma e.c EDH temporo
occipital dextra
P: O2 4 L/menit
- IVFD Asering 20 gtt/m
- Injeksi Ceftriaxone 2x1 gr vial
- Injeksi Ranitidin 2x1/2 amp
- Injeksi Antrain 3x1 amp
34
- Observasi tanda-tanda peningkatan tekanan intra cranial
- Rawat luka
- Diet clean water 20 cc/jam
- Diet bubur saring
19 Januari 201 6
S : -
O : Vital sign
TD : 110/60 mmHg HR : 88 kali/menit
RR : 20 kali/menit SB : 36,0o C
GCS : E4M6V5
Kepala :
- Conjungtiva : anemis (-/-)
- Pupil : bulat, isokor, uk. O 3 mm kanan = kiri
- Regio temporoparietal : luka terjahit (+) terawat
- Regio occipital dextra : luka terjahit uk. 1 cm
- Drain : -
A : Post kraniektomi dekompresi + evaluasi hematoma e.c EDH temporo
occipital dextra
P: Aff infus
- Aff drain
- Elevasi kepala 30’
- Rawat luka
- Mobilisasi bertahap
- Rawat jalan
35
BAB IV
PEMBAHASAN
Diagnosis EDH ditegakkan berdasarkan anemnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Anamnesis yang didapatkan ialah penderita mengalami
penurunan kesadaran akibat terjatuh dari pohon dialami penderita sejak 4 jam
sebelum masuk rumah sakit. Awalnya penderita sedang mengambil layang –
layang yang tersangkut di pohon, kemudian tanpa sadar menginjak ranting yang
agak rapuh dan akhirnya patah sehingga mengakibatkan penderita jatuh dari
pohon dengan ketinggian + 5 meter, dengan posisi kepala di bagian belakang
sehingga terbentur duluan ke tanah. Riwayat pingsan (+) + 10 menit, riwayat
muntah (-), riwayat keluar cairan atau darah dari hidung dan telinga (-). Penderita
segera dibawa ke RS. Kadooran, Amurang kemudian dirujuk ke RSUP Prof Dr. R.
D. Kandou dengan infus terpasang. Hilang kesadaran pada saat benturan, lucid
interval, dan kerusakan neurologis akibat pendesakan dari hematoma yang
membesar merupakan gejala klasik dari EDH.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan GCS E3V4M5 (12), pupil bulat, isokor,
diameter 3 mm, refleks cahaya reaktif. Pemeriksaan neurologis serial (GCS,
lateralisasi, dan refleks pupil) harus selalu dilakukan untuk deteksi dini gangguan
neurologis pada perdarahan intrakranial, seperti EDH.4,5Adanya trauma langsung
pada mata sering menjadi penyebab abnormalitas respon pupil dan dapat membuat
pemeriksaan pupil menjadi sulit.
Pemeriksaan CT-Scan pada kasus didapatkan EDH regio temporoparietal
occipital dekstra dengan volume perdarahan ± 15 cc. EDH dapat segera
didiagnosis dengan CT scan kepala noncontrast. Gambaran klasik EDH pada CT
scan ialah lesi bikonveks hiperdense yang terletak di bawah tengkorak. EDH
36
biasanya dibatasi oleh sutura tapi bisa menyeberangi garis ini jika diastasis sutura
telah terjadi. EDH paling sering terjadi di daerah parietal, temporal, atau
temporoparietal (sekitar 78%) dan jarang di daerah frontal (16%) atau oksipital
(6%). Gambaran klasik hiperdense pada CT scan menunjukkan darah beku.
Kadang-kadang, lesi swirl isodense di temukan berdekatan atau bercampur
dengan gambaran hiperdense, yang menandakan perdarahan akut masih
berlangsung dan belum menggumpal.
Pada kasus ini, penderita dirawat secara konservatif dengan observasi ketat
GCS, pupil, dan vital sign. Dalam satu penelitian, 32% dari pasien yang awalnya
dikelola secara konservatif pada akhirnya memerlukan drainase bedah dari EDH
tersebut. Pasien yang awalnya sudah memiliki CT-Scan kepala ditangani lebih
awal, terutama yang sudah dalam waktu 2 jam setelah trauma, memiliki resiko
tinggi penambahan ukuran EDH. Namun, manajemen konservatif biasanya
dianggap dapat diterima hanya untuk pasien dengan EDH kecil (umumnya
volume perdarahan <30 ml dan ketebalannya <2 cm), tidak ada defisit neurologis
fokal, dan tingkat kesadaran normal. Manajemen operatif biasanya dianggap
penting untuk pasien dengan EDH dengan volume perdarahan >30 ml dan
ketebalannya >2 cm, disertai ada defisit neurologis fokal, dan penurunan tingkat
kesadaran normal.5 Pada kasus selama observasi ketat dalam 7 hari, penderita
tidak mengalami penurunan kesadaran lebih lanjut atau GCS membaik, tidak
timbul tanda-tanda peningkatan intrakranial, seperti muntah proyektil, nyeri
kepala, dan gejala lateralisasi seperti pupil anisokor, dan hemiparesis.5
37
BAB V
PENUTUP
Epidural hematoma yaitu penumpukan darah di ruang epidural (dibatasi
tabula interna dan duramater) akibat trauma kapitis, sering terjadi di area temporal
atautemporoparietal, tetapi dapat pula terjadi di daerah frontal atau oksipitaldan
biasanya disebabkan oleh robeknya arteri meningea media.
Gejala yang paling umum dari EDH adalah sakit kepala, muntah, dan lesu.
Gambaran klasik EDH pada CT scan ialah lesi bikonveks hiperdense yang terletak
di bawah tengkorak. Manajemen konservatif biasanya dianggap dapat diterima
hanya untuk pasien dengan EDH kecil (umumnya volume perdarahan <30 ml dan
ketebalannya <2 cm), tidak ada defisit neurologis fokal, dan tingkat kesadaran
normal.
38
DAFTAR PUSTAKA
1. Anderson S. McCarty L., Cedera Susunan Saraf Pusat, Patofisiologi, edisi 4,
Anugrah P. EGC, Jakarta,1995, 1014-1016
2. Hafid A, Epidural Hematoma, Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi kedua, Jong W.D.
EGC, Jakarta, 2004, 818-819
3. Markam S, Trauma Kapitis, Kapita Selekta Neurologi, Edisi kedua, Harsono,
Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, 314
4. Mardjono M. Sidharta P., Mekanisme Trauma Susunan Saraf, Neurologi
Kilinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta, 2003, 254-259
5. Soertidewi L. Penatalaksanaan Kedaruratan Cedera Kranio Serebral, Updates
In Neuroemergencies, Tjokronegoro A., Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2002,
80
6. Edisson, Sahat. Diktat bedah: Neurotrauma. Bagian ilmu Bedah. FK UNSRIT.
2008.
7. Riyanto, Budi. Penatalaksanaan fase akut cedera kepala. Cermin Dunia
Kedokteran, 1997.h. 77.
8. Soertidewi L. Penatalaksanaan kedaruratan cedera kranio serebral. Dalam:
Tjokronegoro A, editor. Updates in neuroemergencies. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI, 2002.h. 80.
9. Snell, S Richard. Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran bagian 3.
Tambayong J, alih bahasa.EGC: Jakarta, 1997.
10. Ellis, Harold. Applied anatomy for students and junior doctors(Eleventh
edition). Blackwell Publishing, 2006.
11. Fleisher GR, Ludwig S. Textbook of pediatric emergency medicine (Sixth
Edition). Philadelphia: Wolters Kluwer/Lippincott Williams & Wilkins
Health, 2010.p. 1422-445
39
12. Albright AL, Pollack IF, Adelson PD. Hematomas. In: Doppenberg EMR,
Ward JD, editors. Principles and practice of pediatric neurosurgery (Second
Edition). Thieme Medical Publishers, Inc: New York, 2008.
13. Sylvia, A Price,Lorraine WM. Patofisiologi konsep klinis danproses penyakit.
EGC: Jakarta, 2006. p. 1167-174.
14. Anderson S, McCarty L. Cedera susunan sarafpusat. Dalam: Anugrah P,
editor. Patofisiologi (edisi keempat). Jakarta: EGC, 1995. h. 1014-16.
15. De Jong, Wim. Buku ajarilmu bedah.Jakarta:EGC, 2006.
16. Sidharta, Priguna. Neurologi klinis dalam praktek Umum. Jakarta: Dian
Rakyat, 2004.
17. Markam S. Trauma kapitis. Dalam:Harsono, editor.Kapita selekta neurologi
(Edisi kedua). Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2005. h. 314.
18. Dahnert W. Brain disorders,radiology review manual(second edition).
Williams & Wilkins, Arizona, 1993. h. 117 – 78.
19. Sutton D. Textbook of radiology and imaging(fifth edition). London:
Churchill Living Stone,1993. p.1423
40