EFIKASI KELAMBU CELUP CYPERMETHRIN 100 EC TERHADAP...
Transcript of EFIKASI KELAMBU CELUP CYPERMETHRIN 100 EC TERHADAP...
EFIKASI KELAMBU CELUP CYPERMETHRIN 100 EC
TERHADAP NYAMUK Culex quinquefasciatus DARI
DAERAH BEKASI PADA TAHUN 2015
Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN
Oleh :
Fitriana Nurharyani Haryono
NIM: 1112103000045
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1436 H/2015 M
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas segala rahmat
dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan baik.
Shalawat serta salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad
SAW, kepada keluarganya, para sahabatnya, hingga kepada umatnya hingga akhir
zaman.
Penulisan skripsi dengan judul “Efikasi Kelambu Celup Cypermethrin 100
EC Terhadap Nyamuk Culex quinquefasciatus dari Daerah Bekasi pada Tahun
2015” ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana
pada Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Skripsi ini saya dedikasikan untuk kedua orang tua saya Bapak Haryono
dan Ibu Tugiyah serta adik saya Rizkhy Ramadhana Haryono yang telah banyak
mendukung dan mendoakan untuk keberhasilan dan kesuksesan saya.
Dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan,
bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan
ini perkenankan saya menyampaikan ucapan terima kasih terutama kepada
pembimbing penelitian dan penulisan skripsi ini yaitu Ibu Silvia Fitrina Nasution,
M. Biomed dan dr Dyah Ayu Woro, M. Biomed. Ucapan terima kasih juga saya
sampaikan kepada dr. Flori selaku ketua tim riset angkatan 2012 yang telah
memfasilitasi berlangsungnya kegiatan skripsi ini. Tak lupa juga terima kasih
kepada teman-teman angkatan 2012 yang telah membantu dan memberikan
semangat dan masukan demi terselesaikannya skripsi ini.
Semoga segala keikhlasan dan kebaikan yang saya terima selama ini
mendapat balasan dan karunia yang tiada henti dari-Nya.
Akhir kata, harapan saya skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi
pembaca dan dengan kebesaran hati saya menerima kritik dan saran.
Ciputat, Oktober 2015
vi
ABSTRAK
Fitriana Nurharyani Haryono. Program Studi Pendidikan Dokter. Efikasi Kelambu
Celup Cypermethrin 100 EC Terhadap Nyamuk Culex quinquefasciatus dari
daerah Bekasi tahun 2015.
Latar Belakang : Penggunaan insektisida secara luas dan dalam waktu yang lama
telah mengakibatkan resistensi terhadap nyamuk Culex quinquefasciatus. Nyamuk
Culex quinquefasciatus banyak dilaporkan telah resisten terhadap berbagai jenis
insektisida termasuk golongan piretroid. Cypermethrin merupakan insektisida
golongan piretroid sintetik yang belum banyak digunakan dalam penggunaan
kelambu celup. Tujuan : Untuk mengetahui efikasi kelambu celup insektisida
Cypermethrin 100 EC terhadap kematian nyamuk Culex quinquefasciatus.
Metode : Eksperimental dengan sampel nyamuk dewasa betina dari daerah
Bekasi, Jawa Barat yang dilakukan dengan cara bioassay pemaparan nyamuk
dalam kelambu celup Cypermethrin 100 EC, dengan konsentrasi (100, 200, 300,
400, dan 500) mg/m2. Untuk mengetahui efikasi dari residu Cypermethrin 100 EC
dalam kelambu celup tersebut, uji dilakukan dalam minggu 1, 4, dan 8 dan dilihat
jumlah kematian nyamuk (selama 24 jam) pada minggu tersebut. Hasil :
Kematian nyamuk meningkat seiring dengan bertambahnya konsentrasi
Cypermethrin 100 EC dan menurun sejalan dengan pertambahan waktu. Kematian
tertinggi dicapai pada konsentrasi 500 mg/m2 sebanyak 96% pada minggu I, 76%
minggu IV dan 64% pada minggu VIII. Perbedaan konsentrasi Cypermethrin 100
EC tidak berpengaruh terhadap kematian nyamuk dengan nilai p=0,374. Namun
perbedaan waktu mempengaruhi efek residu kelambu celup Cypermethrin 100
EC terhadap kematian nyamuk dengan nilai p= 0,001. Hasil analisis Probit
menunjukkan nilai LC50 pada minggu I sebesar 57,565 mg/m2, 191,361 mg/m2
pada minggu IV, dan 383,627 mg/m2 di minggu VIII. Kesimpulan : Kelambu
celup Cypermethrin 100 EC efektif membunuh nyamuk Culex quinquefasciatus
dengan LC50sebesar 383,627 mg/m2 sampai minggu VIII.
Kata kunci : Efikasi, Cypermethrin,Culex quinquefasciatus, Kelambu celup,
Bioassay
vii
ABSTRACT
Fitriana Nurharyani Haryono. Program Studi Pendidikan Dokter. Efficacy of
Cypermetrin 100 EC impregnated bednets against Culex quinquefasciatus
collected from Bekasi.
Background : A widely use and long term application of insecticide had roled
resistance on mosquitoes. The resistance on Culex quinquefasciatus have been
several reported to various insecticides including to pyrethroid. Nevertheles,
Cypermethrin as a generation of pyrethroid has been uncommon utilized as an
impregnated bednets. Purpose: The study was conducted to evaluate the efficacy
of Cypermethrin 100 EC impregnated bednets (IBN) against
Cx.quinquefasciatus.. Methods : Experimental study was designed to conduct
Bioassay to adult female of the mosquitoes collected from Bekasi, West Java,
which exposured to the IBN of Cypermethrin 100 EC by four concentrations of
active ingredient 100, 200, 300, 400, and 500 mg/m2.To evaluate the residual
effect of IBN’s, several bioassays were conducted in 1st, 4th, and 8th week and 24
hour of mortality was calculated for each week. Finding Result : An increased
mortality was significantly occured due to increased concentration, but contrary
decreased mortality due to increased time of IBN’s. The highest mortality was
occured by concentration of 500 mg/m2 which showed 96% mortality in first week,
76% in fourth week, and 64% in eighth week. Different concentration of
Cypermethrin 100EC was not significantly different to cause mortality of
mosquitoes, with p value = 0.374. However, the lenghtened of time was
significantly decrease residual effect on the IBNs against mortality of the
mosquitoes, with p value = 0,001. The Probit has calculated an LC50 at week I as
57,565mg/m2, 191,361 mg/m2 in week IV, and 383,627 mg/m2 in week VIII..
Conclution :The study has determined that IBNs Cypermethrin 100 EC was
effective to cause mortality of Cx. quinquefasciatus with LC50 on 383,627 mg/m2
until week VIII.
Keyword : Efficacy, Cypermethrin, Culex quinquefasciatus, Insecticide Treating
Nets, Bioassay
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ........................................... ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN .................................................. iv
KATA PENGANTAR ....................................................................................... v
ABSTRAK ......................................................................................................... vi
DAFTAR ISI ...................................................................................................... viii
DAFAR GAMBAR ............................................................................................ x
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xi
DAFTAR GRAFIK ............................................................................................ xii
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1
1.2 Rumusan masalah ......................................................................................... 3
1.3 Hipotesis ....................................................................................................... 3
1.4 Tujuan Penelitian ......................................................................................... 3
1.5 Manfaat Penelitian ....................................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori ............................................................................................. 5
2.1.1 Klasifikasi Nyamuk Culex quinquefasciatus ..................................... 5
2.1.2 Siklus Hidup dan Morfologi Nyamuk Qulex quinquefasciatus ......... 5
2.1.3 Jenis, Kandungan dan Cara KerjaInsektisida yang digunakan
sebagai Pemberantasan Vektor Nyamuk di Indonesia ...................... 9
2.1.4 Aplikasi penggunaan Cypermetrin pada kelambu celup dalam
pengendalian vektor nyamuk di Indonesia ........................................ 14
2.1 .5 Cypermethrin .................................................................................... 15
2.1.6 Efek kelumpuhan (Knock down effect) pada serangga ..................... 16
2.1.7 Mekanisme Resistensi Insektisida piretroid sintetik pada nyamuk
Culex quinquefasciatus ...................................................................... 17
2.1.8 Uji resistensi Insektisida pada nyamuk .............................................. 18
2.2 Kerangka Teori ............................................................................................. 21
2.3 Kerangka Konsep ......................................................................................... 22
2.4 Definisi Operasional ..................................................................................... 23
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian .......................................................................................... 24
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ....................................................................... 24
3.3 Kriteria Sampel ............................................................................................ 24
3.3.1 Kriteria Inklusi ................................................................................... 24
3.3.2 Kriteria Eksklusi ................................................................................ 25
3.4 Besar Sampel ................................................................................................ 25
3.5 Identifikasi variabel ...................................................................................... 26
3.5.1 Variabel Bebas ................................................................................... 26
3.5.2 Variabel Terikat ................................................................................. 26
3.6 Alat dan Bahan ............................................................................................. 26
3.6.1 Alat ............................................................................................................ 26
ix
3.6.2 Bahan ......................................................................................................... 26
3.7 Cara Kerja Penelitian ................................................................................... 27
3.7.1. Persiapan dan pengumpulan sampel ................................................. 27
3.7.2. Pembuatan kelambu celup Cypermethrin dengan berbagai
konsentrasi ....................................................................................... 27
3.7.3. Uji pendahuluan ................................................................................ 30
3.8 Alur Penelitian ............................................................................................. 32
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Sampel .................................................................................... 33
4.2 Hasil Uji Esterase ......................................................................................... 33
4.3 Hasil Uji Kelambu Celup Cypermethrin 100 EC ......................................... 34
4.5 Hasil Analisa Statistik .................................................................................. 40
4.5.1 Uji Normalitas Data ........................................................................... 40
4.5.2 Uji Varian Data .................................................................................. 41
4.5.3 Uji ANOVA one way ......................................................................... 41
4.5.5 Uji Regresi Linier .............................................................................. 41
4.5.6 Analisis Probit .................................................................................... 41
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan .................................................................................................. 44
5.2 Saran ............................................................................................................. 44
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 46
LAMPIRAN 1 .................................................................................................... 50
LAMPIRAN 2 .................................................................................................... 61
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ........................................................................... 67
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Peta resistensi insektisida Cypermethrin oleh nyamuk Aedes aegypti
di Jawa tengah ................................................................................... 2
Gambar 2. Siklus Hidup Nyamuk ......................................................................... 5
Gambar 3. Telur nyamuk Culex quinquefasciatus ................................................ 6
Gambar 4. Larva instar 4 nyamuk Culex quinquefasciatus .................................. 7
Gambar 5. Pupa nyamuk Culex quinquefasciatus................................................. 8
Gambar 6. Nyamuk betina dewasa Culex quinquefasciatus ................................. 9
Gambar 7. Nyamuk jantan dewasa Culex quinquefasciatus ................................. 9
Gambar 8. Struktur kimia Cypermethrin .............................................................. 16
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Konsentrasi pemakaian insektisida piretroid sintetik di Indonesia ....... 15
Tabel 2.2 Konsentrasi pemakaian insektisida golongan piretroid sintetik siap pakai
di Indonesia........................................................................................... 15
Tabel 4.1 Nilai Absorbance Value (AV) larva uji pada ELISA ........................... 34
Tabel 4.2 Hasil kelumpuhan/knockdown nyamuk pada uji pendahuluan ............. 35
Tabel 4.3 Hasil kematian nyamuk dalam 24 jam pada uji pendahuluan ............... 36
Tabel 4.4 Tabel kelumpuhan/knockdown nyamuk pada 30 menit pasca perlakuan
di tiap minggu perlakuan ...................................................................... 38
Tabel 4.57Hasil Kematian nyamuk tiap minggu perlakuan .................................. 39
Tabel 4.6 Lethal Concentration (LC50 & LC90) tiap minggu perlakuan ............. 42
xii
DAFTAR GRAFIK
Grafik 4.1 Kelumpuhan/knockdown nyamuk pada uji pendahuluan ................................. 35
Grafik 4.2 Hasil kematian nyamuk setelah 24 jam pasca paparan ................................... 36
Grafik 4.3 Presentase Knockdown 30 menit pada tiap minggu perlakuan........................ 38
Grafik 4.4 Presentase kematian nyamuk pada tiap minggu perlakuan.............................. 40
Grafik 4.5 Lethal Concentration (LC50 & LC90) tiap minggu perlakuan ........................ 42
xiii
DAFTAR SINGKATAN
AChE : Asetilkolinesterase
DEF : S,S,S,-tributylphosphorotrithioate
DEM : Diethyl maleate
EC : Emulsifiable Concentrate
GSTs : Glutathione transferase
ITNs : Insecticide Treated Net
LC : Lethal Consentration
LLINs : Long Lasting Insecticidal Net
OP : Organophosphate
PBO : Piperonyl butoxide
SP : Synthetic Piretroid
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Nyamuk merupakan salah satu vektor penularan penyakit, diantaranya
penyakit Filariasis. Untuk memutus penularan penyakit ini, banyak cara yang
dilakukan oleh masyarakat, salah satunya dengan penggunaan insektisida.1
Penggunaan insektisida yang lama telah mengakibatkan resistensi bagi kematian
nyamuk. Hal ini dikarenakan resistensi dapat terjadi jika penggunaan insektisida
secara terus – menerus selama 2-20 tahun. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
Zulhasril pada tahun 2010 di Tanjung Priok dan Mampang Prapatan didapatkan
hasil bahwa penggunaan insektisida golongan organofosfat telah mengakibatkan
resistensi bagi nyamuk Aedes aegypti.2
Resistensi terhadap insektisida golongan organofosfat menyebabkan
penggunaan insektisida pun beralih ke golongan piretroid. Piretroid digunakan
sebagai pengganti karena efeknya yang secara langsung bekerja pada sistem saraf
serangga sehingga efektifitasnya pun lebih tinggi. Selain itu, insektisida golongan
piretroid sintetik juga lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan insektisida
golongan organofosfat.3
Menurut Widiarti, nyamuk Aedes aegypti dilaporkan mengalami resistensi
terhadap insektisida Cypermethrin 0,05% di beberapa wilayah di Jawa Tengah
yaitu di Jepara, Blora, Kota Semarang, Kota Salatiga, Kota Surakarta, Kota Tegal,
Kota Magelang, dan Kota Purwokerto.4 Hasil ini juga didapatkan oleh penelitian
yang dilakukan oleh Sayono et al di daerah Semarang.5 Resistensi terhadap
Cypermethrin yang terjadi pada Aedes aegypti ini juga berpengaruh terhadap
status resistensi nyamuk Culex quinquefasciatus karena jumlahnya yang banyak
dan terdapat pada lingkungan yang sama.6
2
Gambar 1. Peta resistensi insektisida Cypermethrin oleh nyamuk Aedes
aegypti di Jawa Tengah7
Berdasarkan penelitian Hosain dkk nyamuk Culex quinquefasciatus
lebih resisten dibandingkan nyamuk Anopheles gambiae terhadap insektisida
permetrin. Berdasarkan eksperimen yang dilakukan oleh Lagunes (1980), nyamuk
Culex quinquefasciatus memiliki gen yang resisten terhadap tiga jenis insektisida
yaitu Temefos, Propuksur dan Permetrin. Hal ini terjadi karena adanya
penguunaan insektisida secara bergantian sehingga menyebabkan resistensi silang
antar insektisida.8 Menurut Intan Ahmad (2009), mekanisme inilah yang
mendasari terjadinya resistensi nyamuk Culex quinquefasciatus terhadap berbagai
insektisida di beberapa wilayah di Indonesia.9
Banyak cara yang digunakan untuk pengaplikasian insektisida di
masyarakat, salah satunya dengan kelambu celup berinsektisida. Kelambu celup
insektisida digunakan karena efek residunya yang lebih tahan lama dibandingkan
dengan pengaplikasian jenis lainnya.10 Penggunaan kelambu celup insektisida
golongan piretroid sintetik juga merupakan rekomendasi WHO untuk program
pengendalian vektor. Salah satu zat aktif yang digunakan adalah Cypermethrin.1
Untuk mengetahui seberapa besar resistensi vektor terhadap suatu
insektisida dapat digunakan uji biokimia dan uji bioassay. Uji biokimia
merupakan suatu teknik untuk mendeteksi status resistensi nyamuk berdasarkan
3
kuantifikasi enzim yang bekerja pada penurunan status resistensi serangga
sedangkan uji bioassay merupakan uji resistensi yang dinilai berdasarkan
kematian nyamuk terhadap pemberian insektisida tertentu.11
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efikasi (LC50 dan LC90)
insektisida Cypermethrin 100 EC pada kelambu celup terhadap kematian nyamuk
Culex quinquefasciatus serta mengetahui pengaruh konsentrasi dan waktu
terhadap kematian nyamuk.
1.2 Rumusan Masalah
Resistensi merupakan salah satu masalah dalam program pemberantasan
vektor nyamuk di Indonesia. Penggunaan Cypermethrin dari golongan piretroid
sintetik direkomendasikan sebagai pengganti golongan organofosfat yang telah
banyak mengalami resistensi di Indonesia. Bagaimana efikasi kelambu celup
Cypermethrin 100 EC terhadap nyamuk Culex quinquefasciatus yang dilaporkan
telah mengalami resistensi terhadap berbagai jenis insektisida?
1.3 Hipotesis
Kelambu celup Cypermethrin100 EC efektif menyebabkan kematian Culex
quenquifasciatus dari wilayah Bekasi, Jawa Barat.
1.4 Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum
Mengetahui efikasi dari residu kelambu celup Cypermethrin 100 EC
terhadap kematian nyamuk Culex quinquefasciatus di wilayah Bekasi,
Jawa Barat.
b. Tujuan Khusus
Mengetahui efek Cypermethrin 100 EC pada konsentrasi 100, 200,
300, 400 dan 500 mg/m2 mengenai :
1. Konsentrasi Cypermethrin 100 EC mana yang menyebabkan kematian
nyamuk ≥ 50% pada minggu 1,4 dan 8.
2. Perbedaan efikasi antara konsentrasi Cypermethrin terhadap kematian
nyamuk Culex quinquefasciatus.
4
3. Perbedaan efikasi antara usia kelambu celup Cypermethrin 100 EC
pada minngu 1,4 dan 8 pada tiap konsentrasi terhadap kematian
nyamuk.
4. Konsentrasi kematian (Lethal Concentration/ LC50 dan LC90)
Cypermethrin 100 EC pada minggu 1,4 dan 8.
5. Lama efek residu kelambu celup Cypermethrin 100 EC.
1.5 Manfaat Penelitian
a. Memberikan tambahan informasi tentang status resistensinyamuk Culex
quinquefasciatus terhadap Cypermethrin di wilayah Bekasi, Jawa Barat.
b. Memberikan tambahan informasi tentang manfaat penggunaan kelambu
celup insektisida Cypermethrin sebagai salah satu cara pemberantasan
vektor nyamuk yang efektif.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori
2.1.1. Klasifikasi Nyamuk Culex quinquefasciatus12
Kingdom : Animalia
Kelas : Insecta
Ordo : Diphtera
Family : Culicidae
Genus : Culex
Spesies : Culex quinquefasciatus
2.1.2. Siklus Hidup dan Morfologi Nyamuk Culex quinquefasciatus
Secara umum, siklus hidup nyamuk terdiri dari 4 (empat) siklus, yaitu telur,
larva, pupa, dan nyamuk dewasa. Mulai dari siklus telur hingga pupa berlangsung
8-14 hari dan berlangsung di dalam air. Sedangkan jika pupa telah berubah
menjadi nyamuk dewasa akan bertahan sekitar 1-4 minggu.13
Gambar 2. Siklus Hidup Nyamuk14
6
a.Telur
Siklus hidup pertama yang dialami oleh seekor nyamuk adalah fase telur.
Hampir semua jenis nyamuk akan meletakkan telurnya pada permukaan air atau
permukaan tempat yang lembab. Saat pertama kali diletakkan warna telur nyamuk
akan berwarna putih. Akan tetapi, warna tersebut akan berubah menjadi coklat
atau hitam kurang lebih 12- 14 jam setelah telur diletakkan.13,15
Salah satu ciri khas yang dimiliki oleh nyamuk genus Culex adalah
peletakan telurnya yang bergerombol membentuk menyerupai rakit.1 Dalam
setiap gerombolan, biasanya terdapat 100 telur atau lebih yang akan menetas 24-
30 jam setelah diletakkan di dalam air.16
Gambar 3. Telur nyamuk Culex quinquefasciatus17
b.Larva
Setelah sebuah telur menetas, maka telur tersebut akan berubah menjadi
larva. Pada fase larva ini terdapat 4 tahap perubahan, mulai dari larva instar I,
larva instar II, larva instar III, hingga larva instar IV. Pada setiap perubahan
antar instar, seekor larva akan berganti kulitnya. Proses pergantian kulit ini
disebut sebagai proses “moulting”.13,15
Secara anatomis, seekor larva 3 segmen yaitu kepala, thoraks, dan
abdomen. Pada bagian abdomen terdapat delapan segmen. Selain itu pada larva
Culex sp terdapat ciri khas yaitu siphon yang panjangnya 4 kali lebih panjang
daripada larva nyamuk jenis lain.16 Selain itu tubuh larva juga ditutupi oleh
7
bulu halus. Untuk bertahan hidup larva memakan alga, jamur, bakteri, bahan
organik, serta organisme – organisme kecil yang terdapat di dalam air. Dengan
bentuk tubuhnya yang ramping, seekor larva berenang dengan membentuk sebuah
gerakan seperti menyapu yang dikenal dengan gerakan “wriggle”.13,15
Gambar 4.Larva instar 4 nyamuk Culex quinquefasciatus18
c. Pupa
Secara umum waktu yang dibutuhkan seekor larva menjadi seekor pupa
antara 5 – 8 hari. Pupa nyamuk memiliki bentuk seperti koma dan bergerak
secara aktif. Fase pupa ini berlangsung 1 – 3 hari. Selama waktu tersebut,
jaringan larva akan berubah menjadi jaringan dewasa sehingga siap untuk
menjadi nyamuk dewasa. Ketika seekor pupa telah matang, maka kulitnya akan
terbelah sehingga nyamuk dewasa siap untuk keluar.13,15
Secara anatomis, pupa memiliki dua segmen yaitu peleburan antara
kepala dan thoraks ( cephalothoraks) dan abdomen. Bagian cephalothoraks
memiliki warna yang bervariasi bergantung pada variasi habitatnya dan akan
menghitam pada bagian posteriornya. Pada cephalothoraks juga terdapat sebuah
trumpet yaitu bagian berbentuk seperti pipa yang makin membesar dan makin
pudar warnanya saat bagian tersebut menjauhi tubuh. Trumpet tersebut berfungsi
sebagai alat pernapasan pada pupa. Sedangkan pada bagian abdomen terdiri
dari 8 segmen dimana 4 segmen anterior lebih gelap digandingkan dengan 4
8
segmen posterior. Pada bagian apeks abdomen juga terdapat paddle yang
berwarna translusen dan kuat dengan 2 setae (rambut kaku) pada bagian akhir
posteriornya.16
Gambar 5. Pupa nyamuk Culex quinquefasciatus19
d. Nyamuk Dewasa
Nyamuk dewasa Culex sp berukuran panjang sekitar 3.96 hingga 4.25 mm.
Pada nyamuk dewasa, tubuhnya terdiri dari tiga segmen yaitu kepala, thorax, dan
abdomen. Pada bagian kepala terdapat sepasang antena yang berguna sebagai
sensor informasi bagi seekor nyamuk. Selain antena, pada bagian kepala juga
terdapat mulut yang berkembang sempurna pada nyamuk dewasa betina. Mulut
tersebut yang dinamakan probosis digunakan untuk menghisap darah dari
manusia. Pada nyamuk Culex sp. probosis dan antena memiliki panjang yang
tidak sama atau panjang antenna lebih pendek daripada probosis. Sedangkan pada
bagian perut atau abdomen bertanggung jawab terhadap pencernaan dan
perkembangan telur nyamuk.13,15
Lama kehidupan nyamuk jantan lebih pendek dari nyamuk betina, yaitu
kurang dari 1 minggu. Untuk energi, nyamuk dewasa memakan nectar tumbuhan.
Selain memakan nectar, nyamuk betina juga menghisap darah hewan
berdarah panas, seperti burung dan mamalia untuk perkembangan telur. 13,15
9
Gambar 6. Nyamuk betina dewasa Culex quinquefasciatus20
Gambar 7. Nyamuk jantan dewasa Culex quinquefasciatus21
2.1.3 Jenis, Kandungan dan Cara Kerja Insektisida yang digunakan sebagai
Pemberantasan Vektor Nyamuk di Indonesia
Insektisida adalah senyawa kimia yang digunakan untuk mengendalikan
dan membunuh serangga. Dalam fungsinya untuk mengendalikan dan membunuh
serangga sebagai vektor, insektisida bekerja terhadap tubuh serangga melalui 2
cara yaitu mode of action dan mode of entry. Mode of action adalah cara
insektisida memberikan pengaruh melalui titik tangkap (target size) di dalam
10
tubuh serangga. Titik tangkap dalam tubuh serangga dapat berupa enzim atau
protein, sedangkan mode of entry adalah cara insektisida masuk kedalam tubuh
serangga. Secara umum terdapat 5 cara kerja insektisida di dalam tubuh serangga
yaitu :10
1. Mempengaruhi sistem saraf
2. Menghambat produksi energi
3. Mempengaruhi sistem endokrin
4. Menghambat produksi kutikula
5. Menghambat keseimbangan air
Secara umum terdapat 2 kelompok besar insektisida yang digunakan
untuk pengendalian vektor, yaitu Insektisida kimiawi dan Insektisida biologis.
a. Insektisida Kimiawi
1. Organofosfat
Insektisida jenis organofosfat bekerja di dalam tubuh serangga dengan
mengganggu kerja sistem saraf. Gangguan yang ditimbulkan dikarenakan
adanya inhibisi enzim asetilkolinesterase (AchE) yang penting dalam
penghantaran impuls saraf. Penghambatan enzim ini akan mengakibatkan
akumulasi asetilkolin didalam sistem saraf sehingga mengakibatkan
konvulsi, paralisis, hingga kematian pada organism yang terkena paparan
insektisida golongan organofosfat.22 Insektisida golongan organofosfat ini
biasa digunakan sebagai space spraying, IRS, maupun larvasida. Contoh
insektisida organofosfat adalah malation, fenitrotion, temefos, metal-pirimifos,
dan lain – lain.10
Menurut Loretta (1992), penggunaan malathion yang merupakan salah
satu contoh golongan oerganofosfat mengakibatkan banyak kerugian baik bagi
manusia, mamalia, unggas, dan lingkungan. Bagi manusia jika terjadi
toksisitas akut akan mengakibatkan berupa sakit kepala, mual, muntah,
pandangan buram, konstriksi pupil, depresi nafas hingga koma. Pada paparan
jangka lama, organofosfat dapat mengakibatkan defek kelahiran, masalah
11
reproduksi dan defek genetic bagi manusia. Bagi mamalia lingkungan,
malathion memiliki potensi tinggi untuk mengkontaminasi tanah dan air.22
2. Karbamat
Insektisida jenis karbamat bekerja pada serangga dengan cara menghambat
sistem saraf yaitu enzim esterase. Penghambatan ini berlangsung secara
reversible. Artinya penghambatan enzim tersebut tidak akan berlangsung lama
dan pada suatu waktu enzim kolinesterase akan kembali diproduksi. Karena
sifatnya yang reversible maka jenis karbamat terbilang lebih aman
dibandingkan jenis organofosfat. Contoh insektisida jenis karbamat adalah
bendiocarb, propoksur, dan lain – lain.10
3. Piretrin
Piretrin merupakan insektisida alami yang dibuat dari sintesis bunga
kering Chrysanthemum cinerariaefolium dan / atau Chrysanthemum cineum.
Sebagai insektisida alami, piretrin memiliki sifat – sifat sebagai berikut23 :
a. Titik didih tinggi
b. Sensitif terhadap oksidasi
c. Tidak dapat disimpan dalam waktu yang lama
d. Tidak tahan terhadap cahaya langsung
e. Waktu paruh < 5 jam dibawah sinar matahari langsung
Dikarenakan sifatnya diatas maka pada tahun 1924, Staudinger dan
Ruzicka mengembangkan sintesis piretrin dan menghasilkan 6 konstituen
piretrin yaitu piretrin I dan II, cinerin I dan II, dan jasmolin I dan II. Keenam
hasil tersebut dinamakan berdasarkan kandungan chrysanthemic dan asam
piretrik di dalamnya. Dari keenam hasil tersebut yang digunakan sebagai
insektisida adalah Piretrin I dan II. Keduanya digunakaan karena Piretrin I (eg.
permetrin) memiliki efek lethal yang tinggi sedangkan Piretrin II (eg.
deltametrin) memiliki efek knockdown yang tinggi.23
4. Piretroid Sintetik
12
Piretroid merupakan insektisida sintetik dari piretrin yang memiliki cara
kerja sama. Piretroid sintetik ini dikembangkan untuk meningkatkan spesifitas
dan aktifitas dari piretrin dengan tetap menjaga efek knockdown yang tinggi
dan efek toksik yang rendah terhadap vertebra. Tingkat aktifitas dari piretroid
ini ditentukan dari penetrasi, metabolisme, dan sensitifitas target.23
Berdasarkan struktur dan toksikositasnya, piretroid digolongkan menjadi
tipe I dan tipe II. Tipe I merupakan golongan piretroid yang tidak memiliki
gugus α-cyano dan tipe II yang memiliki gugus α-cyano.23
Secara umumcara kerja piretroid adalah dengan mengganggu sistem saraf
serangga. Tipe I piretroid bekerja dengan cara induksi berulang pada akson
sehingga serangga menjadi restlessness, un-coordination, dan hiperaktifitas
yang diikuti dengan prostration dan paralisis. Sedangkan tipe II piretroid
bekerja dengan cara depolarisasi terus menerus pada akson saraf yang bersifat
irreversible. Depolarisasi terus menerus pada akson ini mengakibatkan
serangga menjadi konvulsi pada serangga. Efek yang ditimbulkan oleh tipe I
berlangsung 10-100 milisecond, sedangkan tipe II berefek selama beberapa
detik.24
Terdapat beberapa cara masuk dan pengaruh piretroid dalam tubuh
organisme, yaitu23 ;
1. Penetrasi melalui epidermis
Cara ini memungkinkan piretroid untuk penetrasi secara cepat kedalam
tubuh organisme melalui folikel yang terdapat pada epidermis kulit.
2. Central Nervous System (CNS)
Piretroid mempengaruhi CNS organisme dapat melalui difusi piretroid
dalam sel epidermis yang didistribusikan ke CNS atau secara langsung
melalui kontak dengan organ sensori pada sistem saraf tepi.
3. Penetrasi melalui udara
Hanya sedikit molekul yang masuk ke dalam tubuh organisme dengan
cara penetrasi melalui udara ini.
4. Penetrasi melalui jalur hemolimf
Penggunaan jenis piretroid banyak untuk pengendalian vektor serangga
dewasa (space spraying dan IRS), kelambu celup atau Insecticide Treated
13
Net (ITN), Long Lasting Insecticidal Net (LLIN), dan sebagai formulasi
berbagai insektisida rumah tangga. Contoh insektisida jenis peritroid
antara lain metoflutrin, transflutrin, d-fenotrin, lamda-sihalotrin, permetrin,
sipermetrin, deltametrin, etofenproks, dan lain-lain. 10
5. Insect Growth Regulator (IGR)
Insect Growth Regulator bekerja mengganggu proses dan pertumbuhan
serangga. IGR terbagi dalam 2 kelas, yaitu :10
Juvenoid
Lebih dikenal sebagai Juvenille Hormone Analog (JHA). Pemberian
juvenoid pada serangga akan berakibat pada perpanjangan stadium larva
dan kegagalan pembentukan pupa, sehingga stadium dewasa pun tidak
terbentuk. Contoh JHA adalah fenoksikrab, metopren, piriproksifen, dan
lain – lain.10
Chitin Synthesis Inhibitor (CSI)
CSI bekerja mengganggu proses ganti kulit pada serangga dengan
menghambat pembentukan kitin. Proses penggantian kulit diperlukan oleh
serangga untuk berubah dari satu stadium ke stadium lain. Contoh
insektisida CSI adalah diflubensuron, heksaflumuron, dan lain – lain. 10
b. Insektisida Biologis
Insektisida biologis yang banyak digunakan untuk pengendalian vektor
adalah mikroba. Mikroba yang banyak digunakan untuk insektisida antara lain
Bacillus thuringinensis var israelensis (Bti), Bacillus sphaericus (BS),
abamektin, spinosad, dan lain – lain. 10
14
2.1.4 Aplikasi penggunaan Cypermetrin pada kelambu celup dalam
pengendalian vektor nyamuk di Indonesia
Penggunaan kelambu celup insektisida sebagai salah satu cara pengendalian
vektor telah disarankan oleh WHO sejak tahun 2007. Oleh WHO, kelambu celup
insektisida dibagi menjadi 2 jenis, yaitu10 :
1. Long Lasting Insecticidal Nets (LLINs)
LLINs merupakan kelambu insektisida yang efektif untuk penggunaan jangka
lama sekitar 3-5 tahun tanpa pencelupan ulang. Dalam proses pencelupannya,
terdapat 3 proses yang dilakukan, yaitu :
- Pencampuran pada serat benang (fiber)
- Pelapisan pada serat benang
- Pencelupan insektisida tahan lama pada kelambu yang sudah jadi
Bahan yang dapat digunakan untuk LLINs antara lain katun, nilon,
polyester dan polyethylene.
2. Impregnated Bed Nets (IBN) atau Insecticide Treated Nets (ITN)
IBN atau ITN adalah kelambu biasa (tidak berinsektisida) yang dicelup
dengan insektisida tertentu. Kelambu ini dapat bertahan kurang lebih selama 6-12
bulan dengan pencucian kelambu setiap 6 bulan. Agar tetap efektif , harus
dilakukan pencelupan ulang dengan insektisida setiap 6- 12 bulan sekali
bergantung dengan insektisida ynag digunakan. Jenis bahan yang digunakan untuk
kelambu celup ulang adalah katun, nilon, polyester, dan polyethylene.
Pencelupan kelambu biasanya menggunakan insektisida golongan Piretroid
Sintetik yang konsentrasinya telah direkomendasikan oleh WHO dan terdaftar di
KOMPES (Komisi Pestisida) berdasarkan tabel 2.1.
15
Tabel 2.1 Konsentrasi pemakaian insektisida piretroid sintetik di Indonesia25
Insektisida Konsentrasi (per m2)
Alpha-cypermethrine 10 SC 20 – 40 mg
Cyfluthrin 5 % EW 50 mg
Deltamethrin 1 % SC/WT 25 % 15 – 25 mg
Etofenprox 10 % EW 200 mg
Lamdacyhalothrin 2,5 % CS 10 – 20 mg
Permethrin 10 % EC 200-500 mg
Insektisida yang digunakan dapat juga berupa insektisida siap pakai dengan
konsentrasi yang telah direkomendasikan oleh WHO dan terdaftar di KOMPES
(Komisi Pestisida) yang terlihat pada tabel 2.2.
Tabel 2.2 Konsentrasi pemakaian insektisida golongan piretroid sintetik siap pakai
di Indonesia25
Insektisida Konsentrasi per kelambu
Alpha-cypermethrine 10 % SC 6 ml
Cyfluthrin 5 % EW 15 ml
Deltamethrin 1 % SC 40 ml
Deltamethrin WT 1 tablet
Etofenprox 10 % EW 30 ml
Lamda-cyhalothrin 2,5 % CS 10 ml
Permethrin 10 % EC 75 ml
2.1.5 Cypermethrin
Cypermethrin merupakan salah satu insektisida yang tergolong kedalam
gologan Piretroid. Cypermethrin pertama kali disintesis pada tahun 1974. Secara
kimiawi, Cypermethrin memiliki rumus molekul C22H19Cl2NO3. Cypermethrin
memiliki kandungan kimia seperti piretrin yang diekstrak dari tanaman
16
Chrysanthemum. Akan tetapi golongan piretroid didesain agar lebih lama efektif
dibandingkan dengan golongan Pyrethrin.26
Dalam fungsinya sebagai insektisida, cypermethrin bekerja mempengaruh
secara langsung sistem saraf pusat dari serangga yang mendekat. Pada paparan
jangka lama, Cypermethrin akan menghasilkan impuls berulang pada susunan
saraf. Pengulangan impuls ini akan mengakibatkan kanal Na terbuka lebih lama
dari normal.27-28
Selain mempengaruhi pembukaan kanal Na, Cypermethrin juga
menghambat kerja ATPase. Pada serangga, ATPase merupakan enzim yang
menghasilkan energy bagi kelangsungan hidup. Sehinga penghambatan enzim ini
akan mengakibatkan gangguan pertukaran oksigen dan keseimbangan ion. 28
Di Indonesia, Cypermethrin digunakan secara luas untuk pengendalian
serangga seperti nyamuk, lalat dan kecoa. Penggunaan Cypermethrin pada
kelambu celup juga digunakan untuk mencegah malaria.10
2.1.6 Efek kelumpuhan (Knock down effect) pada serangga
Knock down effect merupakan salah satu ciri khas dari insektisida piretroid
sintetik. Pada serangga, efek ini berlangsung secara langsung saat seekor serangga
terpapar insektisida piretroid sintetik. Ketika seekor serangga terpapar oleh
piretroid, mereka akan pingsan tetapi tidak mati. Untuk serangga yang masih
rentan terhadap piretroid maka akan mati secara permanen. Serangga yang sudah
resisten terhadap piretroid akanpulih kembalidan kembali terbang setelah
Gambar 8. Struktur kimia Cypermethrin29
17
beberapa saat. Waktu yang dibutuhkan untuk akan semakin meningkat seiring
dengan status resistensi suatu serangga. 30
Serangga yang telah resisten terhadap suatu insektisida akan dapat dan
terbang kembali dikarenakan setelah piretroid masuk kedalam tubuh maka tubuh
akan melakukan proses metabolisme untuk detoksifikasi piretroid. Proses
detoksifikasi inilah yang akan membuat kadar piretroid lama – kelamaan akan
berkurang di dalam tubuh serangga sehingga serangga dapat pulih dan terbang
kembali.30
2.1.7 Mekanisme Resistensi Insektisida piretroid sintetik pada nyamuk
Culex quinquefasciatus
Piretroid merupakan insektisida yang telah digunakan secara luas untuk
pengendalian vektor baik secara indoor maupun outdoor. Piretroid juga
merupakan satu – satunya senyawa kimia yang direkomendasikan untuk mosquito
nets oleh WHO. Penggunaan yang secara luas dan dalam jangka waktu yang lama
mengakibatkan beberapa perubahan karena terjadinya resistensi piretroid pada
nyamuk.23
Resistensi merupakan kemampuan vektor dalam bertahan hidup pada
suatu konsentrasi insektisida yang dalam keadaan normal dapat mematikan
vektor.10 Resistensi terhadap piretroid yang terjadi pada serangga dapat terlihat
dari adanya penurunan sensitifitas kanal sodium karena adanya perubahan
struktur, penurunan sensitifitas terhdap piretroid melalui perubahan pada kinetika
kanal sodium, penurunan jumlah kanal yang dapat mengikat piretroid, dan
perubahan membran lipid disekitar saraf.23
Secara umum mekanisme resistensi piretroid pada nyamuk dapat dibagi
menjadi dua mekanisme, yaitu metabolic detoxification dan pengikatan protein
target pada channel sodium.31
Detoksikasi metabolik (Metabolic detoxification)
Mekanisme resitensi insektisida yang paling sering terjadi pada nyamuk
adalah dengan peningkatan metabolic detoxification. Hal yang berperan pada
18
detoksikasi metabolik tersebut antara lain metabolime Cytochrome P450,
Gluthation transferase (GSTs), dan esterase atau karboksilesterase.31 Metabolisme
Cytochrome P450 memiliki peran yang paling besar pada proses resistensi
insektisida pada nyamuk. Peran Cytocrhome P450 adalah untuk detoksifikasi,
aktivasi xenobiotics dan untuk metabolisme senyawa endogen.31 Glutathione
transferase (GSTs) merupakan protein larut dimer yang berperan dalam
metabolisme, detoksifikasi, dan eksresi dari senyawa endogen dan eksogen31
Esterase atau karboksilase merupakan kumpulan enzim heterogen yang terdapat
pada sebagian besar organisme. Enzim ini berperan dalam proteolisis, fungsi
sistem saraf, metabolism hormon, dan metabolisme insektisida/sequistrasi.31
Pada nyamuk yang masih rentan terhadap insektisida metabolisme enzim
dan protein tersebut akan menurun seiring dengan naiknya senyawa piperonyl
butoxide (PBO), S,S,S,-tributylphosphorotrithioate (DEF), dan diethyl maleate
(DEM) yang merupakan inhibitor dari Cytochrome P450 monooksigenase,
hidrolase, dan glutathione S-transferase (GST). Namun pada nyamuk yang telah
mengalami resistensi terhadap insektisida terjadi penurunan dari PBO, DEF, dan
DEM sehingga terjadi proses inhibisi pada proses detoksifikasi.31
Pengikatan protein target pada kanal sodium
Piretroid merupakan insektisida dengan sifat neurotoksin yang bekerja
dengan mengikat protein pada voltage – gated sodium channel (VGSC). VGSC ini
memiliki peran dalam depolarisasi potensial aksi pada membran neuron dan
proses eksitasi elektrik dari sel. Oleh sebab itu, jika terjadi pengikatan protein
pada VGSC akan menginhibisi repolariasi. Inhibisi repolarisasi ini akan
menyebabkan depolarisasi terus menerus pada sistem saraf sehingga
menyebabkan hipereksitasi pada serangga.31-33
2.1.8 Uji resistensi Insektisida pada nyamuk
Secara umum terdapat tiga cara yang dapat dilakukan untuk mengetahui
status resistensi nyamuk terhadap insektisida. Uji resistensi nyamuk terhadap
19
insektisida dilakukan dengan pengujian aktivitas enzim esterase spesifik dan non
spesifik sebagai berikut34 :
a. Bioassay test
Uji bioassay merupakan uji resistensi yang mudah dilakukan dan dapat
mendeteksi resistensi berdasarkan letak atau geografis suatu tempat. Uji ini
menggunakan nyamuk dewasa dengan standar usia, jenis kelamin dan status
fisiologis yang sama untuk menghindari faktor perancu dari hasil uji. Meskipun
mudah dilakukan, uji ini tidak dapat menentukan secara pasti level status
resistensi insektisida pada suatu populasi karena keterbatasan sensitifitasnya.
Penilaian resistensi didasarkan pada standar WHO yaitu jika kematian nyamuk di
suatu populasi <80%.34
Salah satu cara yang dipakai untuk uji bioassay adalah dengan kelambu celup
berinsektisida. Uji bioassay dengan kelambu celup berinsektisida digunakan
sebagai salah satu cara untuk mengukur efek residual insektisida pada kematian
nyamuk. Penggunaan insektisida sebagai bahan untuk kelambu celup harus
memenuhi kriteria WHO yaitu memiliki daya bunuh tinggi, penggunaan yang
aman bagi manusia, serta memiliki efek residu yang panjang. Salah satu bahan
insektisida yang direkomendasikan oleh WHO yaitu golongan piretroid sintetik.
Banyak golongan piretroid sintetik yang digunakan untuk bahan kelambu celup
antara lain : permetrin, cypermethrin, delta metrin dan lamda sihalotrin.35 Selain
itu WHO juga menetapkan kriteria nyamuk yang digunakan untuk uji bioassay ini
yaitu sugar-fed dengan usia kurang dari 7 hari setelah menetas dari pupa.36
b. Biochemical test
Uji biokimia merupakan suatu uji yang didasarkan pada deteksi perubahan
enzim yang terkait dengan insektisida uji yang digunakan. Pengujian ini dapat
mendeteksi resisten yang terjadi pada insektisida golongan organofosfat dan
karbamat dengan melihat peningkatan pada enzim asetilkolinesterase (AChE).
Peningkatan yang terjadi mengakibatkan perubahan warna yang dapat dilihat jelas
tanpa alat bantu tertentu. Akan tetapi uji ini memiliki batasan sensitifitas dan
spesifitas karena peningkatan yang terjadi dapat terjadi pula karena faktor lain
diluar insektisida.34
20
c. Molecular test
Uji molekular dikembangkan untuk mendeteksi alel kdr pada nyamuk. Uji ini
biasanya dilakukan oleh peneliti di laboratorium untuk pemantauan resistensi
insektisida secara bertahap terkait dengan program nasional pemberantasan
malaria. Deteksi mutasi genetik yang terjadi pada nyamuk yang telah resisten
dapat menjadi peringatan dini bagi status resistensi di suatu populasi.34
Dari ketiga uji yang dapat dilakukan terdapat kelebihan dan kekurangan dari
masing – masing uji sebagai berikut.
Tabel 2.3 Kelebihan dan Kekurangan Metode Deteksi Resistensi Insektisida34
Metode Kelebihan Kekurangan
Uji bioassay dengan dosis
insektisida yang ditetapkan
oleh WHO
Terstandar, mudah untuk
dilakukan, mendeteksi tanpa
memperhatikan mekanisme
resistensi
Kurang sensitif, tidak dapat
mengetahui level dari status
dan tipe resistensi pada
nyamuk secara langsung
Uji bioassay dengan dosis
yang responsif
Dapat mengetahui level status
resistensi pada suatu populasi
tanpa memperhatikan
mekanismenya
Membutuhkan sampel yang
besar untuk sekali pengujian,
data pada grup insektisida
yang berbeda tidak dapat
dibandingkan
Uji biokimia
Dapat mengetahui informasi
spesifik tentang mekanisme
resistensi insektisida
berdasarkan perubahan enzim
Hanya dapat mendeteksi
mekanisme resistensi yang
berkaitan dengan perubahan
enzim
Uji molekular
Sangat sensitif, dapat menjadi
peringatan dini bagi
mekanisme terjadinya
resistensi selanjutnya
Membutuhkan alat dan tenaga
ahli dalam pengerjaannya,
hanya dapat dilakukan pada
sedikit mekanisme resistensi
21
2.2 Kerangka Teori
Kekejangan
pada nyamuk
Hipereksitasi
Depolarisasi
terus menerus
Peningkatan senyawa
piperonylbutoxide (PBO),
S,S,S,-tributyl phosphoro
trithioate (DEF), dan diethyl
maleate (DEM)
Mengikat
protein pada
kanal sodium
Metabolic
detoxification
Neurotoksin
pada nyamuk
Insektisida
Cypermethrin
Kematian pada
nyamuk
Penurunan Cytochrome
P450 monooksigenase,
hidrolase, dan
glutathione S-
transferase (GST)
Proses detoksifikasi
racun insektisida
tidak terjadi pada
nyamuk
22
2.3 Kerangka Konsep
Stadium
larva
Nyamuk Culex
quinquefasciatu
s
Homogenat larva
direaksikan
dengan substrat
Uji enzim
esterase dengan
ELISA
Nyamuk
dewasa
Identifikasi berdasarkan
kriteria Lee :
• 0 – 0,7 = sangat peka
• 0,7 – 0,9 = resistens edang
• > 0,9 = sangat
resisten
Peningkatan nilai
Absorbance
Value pada
ELISA
Konsentrasi
Cypermethrin 100
mg/m2, 200 mg/m2, 300 mg/m2, 400
mg/m2, dan 500
mg/m2
Uji Bioassay
dengan kelambu
celup
Cypermethrin
Paralisis yang
diamati pada
menit ke 30
pasca paparan
Menyebabkan hipereksitasi,
konvulsi, paralisis
dan kematian nyamuk
Mengganggu system
saraf dan metabolism
nyamuk
Memiliki efek
neurotoksin dan racun
perut
Kematian yang
diamati pada 24
jam pasca
paparan
23
2.4 Definisi Operasional
No Variabel Definisi Operasional Alat
Ukur
Hasil Ukur Skala
Ukur
1. Variabel terikat :
Kelumpuhan/Knock
down nyamuk Culex
quinquefasciatus
Banyaknya nyamuk
yang jatuh atau tidak
aktif bergerak terbang
setelah terpapar dengan
kelambu celup.
Tidak
ada
Jumlah nyamuk
yang lumpuh
Numerik
2. Variabel terikat :
Mortality atau
Kematian nyamuk
Banyaknya nyamuk
yang mati setelah 24
jam di luar kelambu
celup pasca paparandan
diberi pakan larutan gula
Tidak
ada
Jumlah nyamuk
yang mati
Numerik
3.
Variabel bebas :
Konsentrasi
Cypermethrin 100
EC
Cypermethrin dalam
bentuk larutan 100 EC
(Emulsifiable
Concentration) yang
dibuat dalam beberapa
konsentrasi dengan
pelarut air/aquades
Mikro
pipet
Konsentrasi
Cypermethrin
100 EC yaitu
100 mg/m2, 200
mg/m2, 300
mg/m2, 400
mg/m2, dan 500
mg/m2
Scale
24
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Desain penelitian ini bersifat eksperimental, dengan metode penelitian secara
bioassay terhadap nyamuk Culex quinquefasciatus dengan menggunakan kelambu
celup insektisida cypermetrin 100 EC. Pengambilan sampel nyamuk dilakukan
secara purposive sampling.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Pengambilan sampel dilakukan di daerah Bekasi, Jawa Barat. Sampel yang
diambil berupa telur dan larva nyamuk Culex quinquefasciatus instar 1-4 beserta
air tempat hidupnya. Sampel yang telah diambil kemudian dibiakkan untuk
mendapatkan nyamuk dewasa sebagai sampel uji. Pengujian sampel dilakukan
sejak April 2015 sampai Juli 2015 di Laboratorium Parasitologi Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3.3 Kriteria Sampel
3.3.1 Kriteria Inklusi
a. Sampel untuk uji resistensi enzim esterase
Sampel yang digunakan untuk uji resistensi enzim esterase adalah larva
nyamuk instar 3-4 yang diambil dari tempat pengambilan sampel. Kriteria
yang digunakan untuk sampel uji adalah :
Larva instar 3-4
Bergerak aktif dalam media biakan
b. Sampel untuk uji kelambu celup Cypermethrin 100 EC
Sampel yang digunakan untuk uji kelambu celup Cypermethrin 100 EC
adalah nyamuk dewasa betina yang telah dibiakkan di Laboratorium
25
Parasitologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Kriteria
sampel uji yang digunakan ;
Nyamuk dewasa betina
Usia 1-2 hari setelah menetas dari pupa
Masih aktif bergerak
Masih aktif makan (pakan berupa larutan gula)
3.3.2 Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah :
Larva atau nyamuk yang telah lumpuh, atau mati sebelum diberi perlakuan.
Usia nyamuk > 2 hari
Nyamuk tidak sehat atau cacat
3.4 Besar Sampel
Banyaknya nyamuk dewasa betina yang digunakan dalam penelitian adalah
150 ekor nyamuk atau sebanyak 25 ekor untuk setiap kelompok perlakuan.
Penentuan banyaknya sampel yang digunakan pada setiap wadah
menggunakan rumus Federer12, yaitu :
(n-1) (t-1) ≥ 15
Keterangan :
n = banyak sampel
t = jumlah kelompok perlakuan
Karena pada penelitian ini digunakan 5 kelompok perlakuan dengan 1
kelompok kontrol, maka banyaknya sampel yang digunakan adalah:
(n-1) (t-1) ≥ 15
(n-1) (5-1) ≥ 15
(n-1) 4≥ 15
4n - 4≥ 15
4n ≥ 20
26
n ≥ 5
Dari hasil perhitungan didapatkan minimal sampel yang digunakan untuk
setiap kelompok perlakuan adalah 5 ekor.
Pada penelitian ini digunakan 25 ekor nyamuk untuk setiap kelompok
perlakuan dan 3 kali ulangan.
3.5 Identifikasi Variabel
3.5.1 Variabel Bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah Cypermethrin 100 EC dengan
konsentrasi 100, 200, 300, 400 dan 500 mg/m2
3.5.2 Variabel Terikat
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah jumlah kelumpuhan/knock
down nyamuk pada menit ke 30 dan kematian nyamuk dewasa betina setelah 24
jam pasca paparan dengan kelambu celup Cypermethrin 100 EC dengan
konsentrasi yang berbeda.
3.6 Alat dan Bahan
3.6.1 Alat
Kandang nyamuk, pipet tetes, mikropipet, paper cup, gelas ukur, nampan
plastik, sarung tangan, masker, label, aspirator, termometer, kelambu, pengaduk,
kasa, kapas, dan microplate ELISA. Foto alat dilampirkan pada lampiran 1.
3.6.2 Bahan
Larva Culex quinquefasciatus instar IV, nyamuk dewasa betina Culex
quinquefasciatus, Cypermethrin 100 EC, air aquades sebagai pelarut, pellet ikan
sebagai pakan larva, air gula sebagai pakan nyamuk dewasa dan bahan uji esterase
: larutan phosphate buffer saline (PBS) 0,02 M, coupling reagen, α-naftil asetat
dan asam asetat 10%. Foto bahan dilampirkan pada lampiran 1.
27
3.7 Cara Kerja Penelitian
3.7.1 Persiapan dan pengumpulan sampel
Sampel didapatkan dari biakan larva nyamuk Culex quenquifasciatus yang
diambil dari daerah Bekasi, Jawa Barat. Larva yang telah dikumpulkan lalu
dimasukkan ke dalam wadah dan dibawa ke Laboratorium Parasitologi untuk
dibiakkan. Kemudian, nyamuk betina diambil untuk uji bioassay.
3.6.2 Pembuatan kelambu celup Cypermethrin 100 EC dengan berbagai
konsentrasi
Sebelum dilakukan proses pencelupan kelambu berbahan nilon, maka
dilakukan pengukuran larutan Cypermethrin 100 EC yang dibutuhkan dalam
berbagai konsentrasi. Pemilihan bahan nilon dibandingkan bahan katun karena
bahan nilon memiliki daya bunuh nyamuk yang lebih tinggi dibandingkan dengan
bahan katun pada konsentrasi yang sama.35 Kelarutan cairan dalam bahan nilon
adalah 15 ml/m2.10
Untuk itu dilakukan pengukuran luas kelambu yang berbentuk tabung
terlebih dahulu dengan rumus :
Luas kelambu = Luas tabung
= ( 2 x Luas lingkaran ) + Luas persegi panjang
= ( 2 x 𝜋𝑟2 ) + ( p x l )
= 2𝜋𝑟2 + ( keliling lingkaran x tinggi )
= 2𝜋𝑟2 + 2πrt
r = 11 cm
t = 34 cm
28
= 2πr (r + t )
= 2 x 3,14 x 11 (11 + 34 )
= 3108.6 cm2
= 0.31086 m2
Dari luas kelambu tersebut, dapat dihitung kebutuhan larutan
Cypermethrin 100 EC yang digunakan yaitu sebagai berikut:
Kebutuhan larutan Cypermethrin = luas kelambu x 15 ml/m2
= 0.31086 m2 x 15 ml/m2
= 4.6629 ml
Setelah mendapat jumlah larutan Cypermethrin 100 EC yang dibutuhkan
maka kita dapat membuat larutan Cypermehtrin 100 EC dalam berbagai
konsentrasi dengan perhitungan sebagai berikut.
Rumus kebutuhan insektisida10 :
Luas kelambu (m2) x konsentrasi (gram/m2) x 1/konsentrasi insektisida
1. Kebutuhan Cypermethrin untuk konsentrasi 100 mg/m2
= luas kelambu x konsentrasi Cypermethrin x 1000ml/100gr
= 0.31086 m2 x 100 mg/m2 x 1000 ml/ 100 gr
= 0.31086 ml
= 31.086 µl
Kebutuhan air sebagai pelarut
= kebutuhan larutan – kebutuhan cypermethrin
= 4.6629 ml – 0.31086 ml
= 4.35204 ml
2. Kebutuhan Cypermethrin untuk konsentrasi 200 mg/m2
= luas kelambu x konsentrasi Cypermethrin x 1000ml/100gr
= 0.31086 m2 x 200 mg/m2 x 1000 ml/ 100 gr
= 0.62172 ml
29
= 62.172 µl
Kebutuhan air sebagai pelarut
= kebutuhan larutan – kebutuhan cypermethrin
= 4.6629 ml – 0.62172 ml
= 4.04118 ml
3. Kebutuhan Cypermethrin untuk konsentrasi 300 mg/m2
= luas kelambu x konsentrasi Cypermethrin x 1000ml/100gr
= 0.31086 m2 x 300 ml/m2 x 1000 ml/ 100 gr
= 0.93258 ml
= 93.258 µl
Kebutuhan air sebagai pelarut
= kebutuhan larutan – kebutuhan cypermethrin
= 4.6629 ml – 0.93258 ml
= 3.73032 ml
4. Kebutuhan Cypermethrin untuk konsentrasi 400 mg/m2
= luas kelambu x konsentrasi Cypermethrin x 1000ml/100gr
= 0.31086 m2 x 400 ml/m2 x 1000 ml/ 100 gr
= 1.24344 ml
= 124.344 µl
Kebutuhan air sebagai pelarut
= kebutuhan larutan – kebutuhan cypermethrin
= 4.6629 ml – 1.24344 ml
= 3.41946 ml
5. Kebutuhan Cypermethrin untuk konsentrasi 500 mg/m2
= luas kelambu x konsentrasi Cypermethrin x 1000ml/100gr
= 0.31086 m2 x 500 mg/m2 x 1000 ml/ 100 gr
= 1.5543 ml
= 155.43 µl
Kebutuhan air sebagai pelarut
30
= kebutuhan larutan – kebutuhan cypermethrin
= 4.6629 ml – 1.5543 ml
= 3.1086 ml
Setelah didapatkan banyaknya Cypermethrin 100 EC dan air yang
dibutuhkan, kedua bahan tersebut dicampur di dalam sebuah wadah.. Pencelupan
kelambu dalam larutan Cypermethrin 100 EC dilakukan sesuai dengan masing-
masing konsentrasi yang berbeda. Setelah dicampur, dilakukan pengeringan pada
tempat yang teduh (tidak terkena sinar matahari langsung).10
3.6.3. Uji pendahuluan
A. Uji resistensi enzim esterase terhadap larva nyamuk Culex quinquefasciatus
dengan metode Lee
Sebelum dilakukan uji bioassaydengan kelambu celup Cypermethrin 100
EC, maka dilakukan uji esterase dengan ELISA terlebih dahulu untuk mengetahui
status kerentanan nyamuk terhadap insektisida. Uji esterase dilakukan pada larva
yang nantinya akan menjadi nyamuk yang akan digunakan dalam bioassay.37
Sebelum dilakukan pembacaan dengan menggunakan ELISA, dilakukan
persiapan sampel dengan reagen terlebih dahulu.Berikut adalah tahapan – tahapan
persiapan sampel tersebut. 37
a. Ambil seekor larva instar 4 dan taruh dalam wadah kecil.
b. Haluskan larva tersebut dan tambahkan 0,5 ml larutan Phosphat Buffer Saline (
PBS ) 0,02 M, pH = 7.
c. Aduk homogenat yang berisi larva dan larutan PBS 0,5 ml.
d. Pindahkan homogenate tersebut kedalam microplat sebanyak 50 µl dengan
mikropipet.
e. Kedalam setiap sumur microplat tambahkan 50 µl larutan α-naftil asetat dan
diamkan selama 60 detik.
f. Lalu tambahkan reagen sebanyak 50 µl.
31
g. Selanjutnya dilakukan pembacaan aktivitas enzim esterase secara kuantitatif
dengan menggunakan ELISA reader pada panjang gelombang 450 nm.10
B. Uji Bioassay Kelambu celup Cypermethrin 100 EC38
a. Siapkan kelambu yang telah dicelup dalam larutan Cypermethrin 100 EC
dengan konsentrasi 100, 200, 300,400 dan 500 mg/m2
b. Pada kelambu tersebut dimasukkan 25 ekor nyamuk dewasa betina Culex
quenquifasciatus.
c. Nyamuk dewasa betina yang telah dimasukkan kedalam kelambu
didiamkan selama 30 menit di dalam kelambu lalu dicatat jumlah
nyamuk yang pingsan(knock down). Setelah dicatat, nyamuk dikeluarkan
dengan aspirator dengan perlahan, dan ditaruh didalam sebuah wadah
(paper cup) tertutup kasa.
d. Nyamuk diberi makan berupa larutan gula 10% yang diletakkan pada
permukaan kasa di bagian mulut cup.
e. Pengamatan dan penghitungan terhadap kematian nyamuk dilakukan
setelah 24 jam pasca pemaparan di luar kelambu celup.
Uji pendahuluan ditujukan untuk menentukan rentang konsentrasi
insektisida yang efektif memberikan kematian pada nyamuk uji serta menentukan
rentang waktu yang dibutuhkan untuk pemaparan atau kontak nyamuk dalam
kelambu.
32
3.8 Alur Penelitian
Nyamuk yang mati maupun
yang masih hidup setelah 24
jam ditaruh dalam paper cup
kemudian dimasukkan dalam
freezer -200C atau diberi
alhohol 70%.
Pengujian dilakukan
pada minggu ke 1, 4,
dan 8 pasca
pencelupan 1. Kelompok 1 : konsentrasi
Cypermethrin 100 mg/m2
2. Kelompok 2 : konsentrasi
Cypermethrin 200 mg/m2
3. Kelompok 3 : konsentrasi
Cypermethrin 300 mg/m2
4. Kelompok 4 : konsentrasi
Cypermethrin 400 mg/m2
5. Kelompok 5 : konsentrasi
Cypermethrin 500 mg/m2
Pengujian memakai 5
kelompok perlakuan dan
3 kali ulangan
Larva yang telah
dikumpulkan dari
lapangan dibiakkan
hingga menjadi nyamuk
dewasa
Siapkan 25 ekor nyamuk
dewasa betina untuk
setiap perlakuan
Pilih nyamuk betina
sebagai sampel penelitian
Larva dilaskukan uji
esterase untuk melihat
resistensi terhadap
insektisida
Diamkan nyamuk pada
cup dengan diberi larutan
gula selama 24 jam
Amati kematian nyamuk
pada 24 jam paska
perlakuan
Diamkan nyamuk
didalam kelambu celup
selama 30 menit
Hasil dilakukan analisis
data
Amati kelumpuhan
nyamuk pada menit ke 30
33
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Sampel
Karakteristik Sampel Jumlah / keterangan lain
1. Nyamuk Culex quinquefasciatus
1.1. Betina dewasa
1.2 Larva instar 3-4
2. Usia nyamuk
3. Jumlah sampel tiap perlakuan
konsentrasi
4. Konsentrasi Cypermethrin 100
EC
5. Jenis kelambu celup
450 ekor per satu kali uji/minggu
1 ekor per ulangan
1-2 hari setelah keluar dari pupa
25 ekor
100 mg/m2, 200 mg/m2, 300 mg/m2, 400
mg/m2, 500 mg/m2
Nilon
4.2 Hasil Uji Esterase
Sebelum dilakukan pengujian utama, terlebih dahulu dilakukan uji esterase
pada larva nyamuk untuk mengetahui status kerentanan nyamuk terhadap
insektisida. Uji esterase dilakukan dengan metode Lee yang mengukur tingkat
resistensi berdasarkan jumlah enzim esterase yang diproduksi oleh tubuh nyamuk.
Dari hasil pada tabel 4.1 , rata – rata nilai AV dengan ELISA reader pada panjang
gelombang 450 nm adalah 1.363 dan 1.101. Dari hasil tersebut, maka larva
sampel uji termasuk kriteria sangat resisten.
Hasil ini didasarkan pada penelitian Lee (1990) dengan kriteria37 :
0 – 0,7 = sangat peka
0,7 – 0,9 = resisten sedang
0,9 = sangat resisten
34
Tabel 4.13Nilai Absorbance Value (AV) larva uji pada ELISA
Percobaan
ke
Nilai AV pada tiap ulangan Rata – rata
nilai AV 1 2 3 4 5
1 1.257 1.483 1.508 1.333 1.240 1.364
2 1.311 1.479 1.369 1.347 1.310 1.101
Kriteria tersebut menunjukkan bahwa nyamuk Culex quinquefasciatus di
daerah pengambilan sampel sudah resisten terhadap insektisida golongan
Organofosfat, Karbamat, dan Piretroid. Pada keadaan normal, insektisida
Organofosfat bekerja menghambat produksi enzim esterase pada tubuh nyamuk.
Sedangkan pada keadaan resistensi, hambatan enzim esterase tidak dapat terjadi
karena produksi enzim esterase yang berlebih pada tubuh nyamuk. Hambatan
enzim esterase ini akan semakin besar seiring dengan banyaknya paparan nyamuk
terhadap insektisida.33
4.3 Hasil Uji Kelambu Celup Cypermethrin 100 EC 100 EC
a. Uji pendahuluan
Setelah dilakukan uji esterase, dilakukan pula uji pendahuluan untuk
mengetahui konsentrasi awal yang dapat dijadikan acuan untuk uji utama. Uji
pendahuluan dilakukan dengan menggunakan 4 konsentrasi rendah, yaitu 20
mg/m2, 40 mg/m2, 80 mg/m2, dan 100 mg/m2 serta kontrol. Pengujian dilakukan
dengan 3 kali pengulangan. Sampel uji yang digunakan untuk uji pendahuluan
adalah nyamuk keturunan pertama (F1) yang merupakan nyamuk biakan
laboratorium. Pengamatan dilakukan dengan menghitung knockdown/
kelumpuhan nyamuk pada 30 menit pasca paparan dan kematian nyamuk 24 jam
pasca paparan.
Berdasarkan tabel 4.2 dan grafik 4.1 dapat diketahui bahwa semakin besar
konsentrasi Cypermethrin 100 EC maka semakin banyak nyamuk yang
mengalami kelumpuhan.
35
Tabel 4.2 Hasil kelumpuhan/knockdown nyamuk pada uji pendahuluan
Konsentrasi
(mg/m2)
Knockdown 30 menit pada tiap
ulangan (ekor)
Knockdown
30 menit
rata - rata
(ekor)
Presentase
Knockdown
30 menit rata
- rata (%)
Jumlah
sampel
(ekor) I II III
Kontrol 0 0 0 0 0% 10
20 1 1 1 1 10% 10
40 1 1 1 1 10% 10
80 2 1 1 1,3 13% 10
100 2 2 2 2 20% 10
Grafik 4.1 Kelumpuhan/knockdown nyamuk pada uji pendahuluan
Sedangkan hasil kematian nyamuk yang diamati dalam 24 jam pasca 30 menit
perlakuan dapat dilihat pada tabel 4.3 dan grafik 4.2
0%
5%
10%
15%
20%
25%
20 40 80 100
% K
no
ck D
ow
n
Konsentrasi Cypermethrin (mg/m2)
36
Tabel 4.35Hasil kematian nyamuk dalam 24 jam pada uji pendahuluan
Konsentrasi
(mg/m2)
Kematian nyamuk pada tiap ulangan
(ekor)
Kematian
nyamuk
rata - rata
(ekor)
Presentase
Kematian
nyamuk rata
- rata (%)
Jumlah
sampel
(ekor) I II III
Kontrol 0 0 0 0 0% 10
20 0 0 0 0 10% 10
40 1 1 2 1,3 13% 10
80 2 1 2 1,67 16,7% 10
100 2 2 2 2 20% 10
Grafik 4.2 Hasil kematian nyamuk setelah 24 jam pasca paparan
Dari uji pendahuluan didapatkan hasil bahwa dengan konsentrasi
Cypermethrin 100 EC 20 mg/m2, 40 mg/m2, 80 mg/m2, dan 100 mg/m2 hanya
menyebabkan sekitar < 20% kematian nyamuk. Hasil tersebut menunjukkan
bahwa nyamuk ini masihdapat bertahan terhadap perlakuan dengan Cypermethrin
100 EC. Hal ini dimungkinkan karena nyamuk yang digunakan untuk uji
0%
5%
10%
15%
20%
25%
20 40 80 100
% K
emat
ian
Konsentrasi Cypermethrin (mg/m2)
37
pendahuluan merupakan nyamuk keturunan laboratorium (F1) dimana belum
terdapat paparan terhadap insektisida sehingga metabolisme detoksifikasi zat aktif
insektisida belum terjadi. Hal lain yang memungkinkan terdapatnya kematian
nyamuk < 20% karena jumlah sampel yang digunakanuntuk uji pendahuluan
hanya 10 ekor tidak sebanding dengan luas kelambu celup yang digunakan. Hal
ini menyebabkan paparan insektisida yang diterima oleh nyamuk lebih sedikit
sehingga efek yang ditimbulkan oleh insektida lebih rendah.
b. Uji Utama
Setelah dilakukan uji pendahuluan, maka ditetapkan konsentrasi 100 mg/m2
sebagai konsentrasi awal meskipun pada uji pendahuluan konsentrasi tersebut
menyebabkan kematian < 20%. Hal tersebut dimungkinkan karena pada uji
pendahuluan masih banyak faktor – faktor perancu (suhu, kelembaban udara,
makanan nyamuk, usia nyamuk, dll) yang mempengaruhi kematian nyamuk.
Namun, pada uji utama ini faktor – faktor tersebut diharapkan sudah dapat
terkontrol sehingga jumlah kematian nyamuk tidak lagi disebabkan oleh faktor
perancu tersebut. Selain itu penentuan konsentrasi Cypermethrin 100 EC yang
dipakai juga didasarkan konsentrasi yang direkomendasikan oleh WHO.
Pada uji utama dilakukan pengujian untuk melihat banyaknya nyamuk yang
knockdown dan nyamuk yang mati pada tiap konsentrasi di minggu ke 1, 4, dan
8 pasca pencelupan. Konsentrasi yang digunakanpada uji utama adalah 100
mg/m2, 200 mg/m2, 300 mg/m2, 400 mg/m2, dan 500 mg/m2. Pengujian
dilakukan dengan 3 kali pengulangan dan dilakukan dalam waktu yang berbeda,
mulai dari minggu ke-1, 4, dan 8 setelah dilakukan pencelupan insektisida.
Hasil kelumpuhan/knockdown
Kelumpuhan/knockdown pada nyamuk diamati pada menit ke 30 pasca
paparan insektisida Cypermethrin 100 EC. Perhitungan dilakukan pada nyamuk
yang tidak dapat bergerak (pingsan), tidak dapat terbang, ataupun jika alat gerak
nyamuk telah terlepas. Dari tabel 4.4 dan grafik 4.3 dapat terlihat bahwa KD 50%
diperoleh pada konsentrasi 100 mg/m2 di minggu I dan IV perlakuan, sedangkan
38
pada minggu VIII KD meningkat menjadi 64%. Untuk KD 90% dicapai
padakonsentrasi 400 mg/m2 dan 500 mg/m2 pada minggu ke IV.
Tabel 4.46Tabel kelumpuhan/knockdown nyamuk pada 30 menit pasca perlakuan
di tiap minggu perlakuan
Konsentrasi
Minggu I Minggu IV Minggu VIII Jumlah
Sampel
(ekor)
KD (30 menit) KD (30 menit) KD (30 menit)
Jumlah
(ekor)
Presentase
(%)
Jumlah
(ekor)
Presentase
(%)
Jumlah
(ekor)
Presentase
(%)
Kontrol 0 0% 0 0% 0 0% 25
100 14 56% 13 52% 16 64% 25
200 17 68% 17 68% 18 72% 25
300 19 76% 18 72% 19 76% 25
400 20 80% 23 92% 21 84% 25
500 21 84% 24 96% 23 92% 25
Grafik 4.3 Presentase Knockdown 30 menit pada tiap minggu perlakuan
Dari tabel 4.4 dan grafik 4.3 dapat dilihat bahwa semakin tinggi konsentrasi
Cypermethrin 100 EC yang digunakan maka akan semakin banyak nyamuk yang
lumpuh / knockdown yang sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Erna K
(2013) di Lombok Barat.
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
100 200 300 400 500
% K
no
ck d
ow
n
Konsentrasi Cypermethrin (mg/m2)
Minggu I
Minggu IV
Minggu VIII
39
Knockdown terjadi karenacara kerja Cypermethrin sebagai racun perut yang
akan menginhibisi proses detoksifikasi racun serta sebagai neurotoksin yang
mengakibatkan hipereksitasi sehingga nyamuk yang sudah lumpuh akan dapat
bergerak aktif kembali.30-33 Proses inhibisi ini berlangsung semakin cepat seiring
dengan bertambahnya paparan insektisida yang diterima oleh nyamuk.32
Hasil kematian nyamuk
Kematian pada nyamuk diamati setelah 24 jam pasca paparan. Perhitungan
dilakukan pada nyamuk yang sudah benar – benar tidak dapat bergerak. Dari
pengamatan didapatkan hasil sebagai berikut :
Tabel 4.57Hasil Kematian nyamuk tiap minggu perlakuan
Konsentrasi
Minggu I Minggu IV Minggu VIII
Jumlah
Sampel
Kematian (24 jam) Kematian (24 jam) Kematian (24 jam)
Jumlah
(ekor)
Presentase
(%)
Jumlah
(ekor)
Presentase
(%)
Jumlah
(ekor)
Presentase
(%)
Kontrol 0 0% 0 0% 0 0% 25
100 17 68% 10 40% 7 28% 25
200 20 80% 12 48% 8 32% 25
300 20 80% 13 52% 10 40% 25
400 24 96% 17 68% 12 48% 25
500 24 96% 19 76% 16 64% 25
Berdasarkan tabel 4.5 dan grafik 4.4 dapat terlihat bahwa angka
kematian nyamuk meningkat seiring dengan kenaikan konsentrasi yang
diberikan. Pada minggu I angka kematian tertinggi dicapai oleh konsentrasi
400 mg/m2 dan 500 mg/m2 dengan 96% kematian. Untuk minggu ke IV
angka kematian tertinggi dicapai oleh konsentrasi 500 mg/m2 dengan 76%
kematian dan pada minggu VIII angka kematian tertinggi dicapai oleh
konsentrasi 500 mg/m2 dengan 64% kematian. Hasil tersebut menunjukkan
bahwa kelambu celup Cypermethrin 100 EC masih efektif menyebabkan
kematian nyamuk > 50% pada minggu ke VIII pasca pencelupan kelambu.
40
Grafik4.4 Presentase kematian nyamuk pada tiap minggu perlakuan
Hasil tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Suwarsono
(2004) bahwa kematian nyamuk terus menurun seiring dengan bertambahnya
usia residu insektisida pada kelambu celup. Hal tersebut dikarenakan semakin
bertambahnya usia kelambu celup maka kandungan insektisida yang terdapat
pada kelambu celup semakin berkurang.6 Hal lain yang dapat menurunkan
efektifitas kelambu celup insektisida adalah cara penyimpanan yang tidak baik.
Salah satu contohnya adalah debu – debu yang menempel pada kelambu celup
dapat mengurangi paparan insektisida terhadap kelambu celup sehingga
menyebabkan menurunnya kematian nyamuk.39
4.5 Hasil Analisa Statistik
4.5.1 Uji Normalitas Data
Sebelum dilakukan uji ANOVA one way, data harus memenuhi syarat
distribusi normal dan sebaran normal. Untuk mengetahui sebaran normal
dilakukan uji Saphiro-Wilk karena sampel <50 dengan menggunakan SPSS
21.0. Pada tabel normalitas berikut didapatkan hasil p value > 0,05, maka
dapat disimpulkan bahwa data berdistribusi normal. Hasil perhitungan dapat
dilihat pada lampiran 2.
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
100 200 300 400 500
% K
emat
ian
Konsentrasi Cypermethrin (mg/m2)
Minggu I
Minggu IV
Minggu VIII
41
4.5.2 Uji Varian Data
Syarat dilakukannya uji ANOVA one way adalahharus memiliki sebaran
normal dan memiliki varian data yang sama atau homogen. Untuk mengetahui
varian data sama atau tidak digunakan varian data dengan menggunakan SPSS
21.0. Dari tabel dapat dilihat bahwa p value bernilai p>0,05. Dapat
disimpulkan bahwa varian data homogen. Hasil perhitungan dapat dilihat pada
lampiran 2.
4.5.3 Uji ANOVA one way
Setelah didapatkan hasil data berdistribusi normal dengan sebaran yang
sama, maka data dapat dilakukan uji ANOVA one way.
Hasil uji ANOVA didapatkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang
signifikan antara kematian nyamuk dengan perbedaan konsentrasi, yang
ditunjukkan dengan nilai p=0,374. Namun terdapat perbedaan nyata antara
minggu perlakuan dengan kematian nyamuk, dengan nilai p=0,001. Hasil
perhitungan dapat dilihat pada lampiran 2.
4.5.5 Uji Regresi Linier
Hasil uji regresi linier didapatkan bahwaperbedaan konsentrasi
Cypermethrin 100 EC tidak berpengaruh terhadap kematian nyamuk Culex
quinquefasciatus dengan nilai R=0,561. Sedangkan perbedaan waktu efek
residu kelambu celup Cypermethrin 100 EC memiliki pengaruh yang kuat
terhadapterhadapkematian nyamuk Culex quinquefasciatus dengan nilai
R=0,966. Hasil perhitungan dapat dilihat pada lampiran 2.
4.5.6 Analisis Probit
Berdasarkan hasil pengamatan pada kematian nyamuk yang dilakukan
pada minggu ke I, IV, dan VIII dapat dilakukan perhitungan LC50 dan LC90
pada tiap minggu perlakuan. Setelah dilakukan uji probit didapatkan hasil
sebagai berikut.
42
Tabel84.6 Lethal Concentration (LC50& LC90) tiap minggu perlakuan
Minggu ke LC50 LC90
I 57.565 355.345
IV 191.361 1598.27
VIII 383.627 4093.3
Grafik 4.5 Lethal Concentration (LC50 & LC90) tiap minggu perlakuan
Dari tabel 4.6 dan grafik 4.5 dapat dilihat bahwa kelambu celup masih
efektif mengakibatkan 50% kematian nyamuk hingga minggu ke VIII pada
konsentrasi ≤500 mg/m2. Namun kelambu celup Cypermetrin 100 EC ini tidak
lagi efektif untuk digunakan lebih dari 8 minggu. Dari grafik diatas juga
digambarkan bahwa efek kematian 90% bisa diperoleh bila konsentrasi
Cypermetrin 100 EC dinaikkan >500 mg/m2, yang berarti bahwa cypermetrin
tidak efektif digunakan untuk membunuh nyamuk Culex quinquefasciatus
dengan konsentrasi yang rendah dan aman bagi lingkungan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Suwarsono (2004) didapatkan
bahwa efek residu kelambu celup permetrin (piretroid sintetik) berbahan nilon
masih efektif hingga 3 bulan dengan satu kali pencucian dengan LC50 0,04
ml/m2.6 Sedangkan menurut Nasir (2013) kelambu celup permetrin dengan
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
4000
4500
5000
Minggu I Minggu IV Minggu VIII
Leth
al C
on
cen
trat
ion
(LC
)
Kematian nyamuk minggu ke
LC90
LC50
43
konsentrasi 200 mg/m2 masih efektif hingga 5 bulan pasca pencelupan.39
Dengan demikian diperkirakan efikasi kelambu celup dapat bertahan selama 2-3
bulan tanpa pencucian.
44
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan
sebagai berikut :
1. Konsentrasi Cypermethrin 100 EC yang menyebabkan kematian nyamuk
≥50% adalah : 100-500 mg/m2 pada minggu I, 300-500 mg/m2 pada minggu
IV, dan 500 mg/m2 pada minggu VIII
2. Perbedaan konsentrasi Cypermethrin 100 EC tidak berpengaruh terhadap
kematian nyamuk Culex quinquefasciatus dengan nilai p=0,374.
3. Perbedaan waktu mempengaruhi efek residu kelambu celup Cypermethrin
100 EC terhadap kematian nyamuk Culex quinquefasciatus dengan nilai
p=0,001.
4. Nilai terendah dari LC50 dan LC90 didapatkan pada minggu I. Semakin lama
usia kelambu celup maka nilai LC (Lethal Concentratiion) akan semakin
tinggi.
5. Kelambu celup Cypermethrin 100 EC efektif mengakibatkan kematian
nyamuk 50% hingga 2-3 bulan tanpa pencucian pada konsentrasi 400-500
mg/m2.
5.2 Saran
1. Perlu dilakukan pengujian dalam ukuran kelambu yang lebih besar atau
ukuran tempat tidur di dalam rumah, dan bisa juga digunakan untuk
gorden jendela rumah.
2. Merekomendasikan kepada dinas kesehatan setempat tentang penggunaan
kelambu celup insektisida golongan piretroid sintetik turunan terbaru
dengan konsentrasi yang lebih rendah dan efek residu lebih lama ( > 6
bulan) untuk digunakan secara masal dalam program pemberantasan
vektor nyamuk di wilayah endemis.
45
3. Perlu dilakukan adanya uji efek penggunaan insektisida serta limbah
pencelupannya terhadap dampak lingkungan dan hewan bukan sasaran.
46
DAFTAR PUSTAKA
1. Kemenkes RI. Pedoman penggunaan kelambu berinsektisida menuju
eliminasi malaria. Jakarta : Kemenkes RI. 2011
2. Zulhasril and Lesmana SD. Resistensi larva Aedes aegypti terhadap
insektisida organofosfat di Tanjung Priok dan Mampang Prapatan. Majalah
Kedokteran FK UKI 2010 Vol XXVII No.3
3. Kemenkes RI. Pedoman penggunaan insektisida (pestisida) dalam
pengendalian vector. Jakarta : Kemenkes RI. 2012
4. Widiarti, Heriyanto B, Damar TBD. Peta resistensi vektor demam berdarah
dengue Aedes aegypti terhadap insektisida kelompok organophosfat,
karbamat dan pyrethroid di Provinsi Jawa Tengah dan Yogyakarta. Buletin
Penelit Kesehatan. 2011;39(4)
5. Sayono DS. Distribusi resistensi nyamuk aedes aegypti terhadap insektisida
sipermetrin di Kota Semarang. Prosiding Seminar Hasil-hasil Penelitian.
LPPM Unimus. 2012
6. Suwasono H, Boewono DT, Sutopo, Suwaryono T, Raharjo. Uji efikasi
kelambu celup insektisida berbahan aktif Alphacypermethrin terhadap vector
filariasis Culexquinquefasciatus . Jurnal Ekologi Kesehatan. Vol 3. No 3.
Desember 2004 : 118-122
7. Ikawati B, Sunaryo, Widiastuti D. Peta status kerentanan Aedes aegypti
(Linn.) terhadap insektisida cypermethrin dan malathion di JawaTengah.
Aspirator, 7(1). 2015, pp. 23-28
8. Lagunes,. lmpact of the use of mixture and sequences of tissues in the
evolution of resistance in Culex quinquefaciatus. University of California
Riverside. 1980
9. Ahmad I, Astari S, Resti R, Hariani N. Status kerentanan Aedes aegypti
(Diptera : Culicidae) pada tahun 2006-2007 terhadap Malation di Bandung,
Jakarta, Surabaya, Palembang, dan Palu. Biosfera 26 (2). Mei 2009
47
10. Kemenkes RI. Pedoman penggunaan insektisida (pestisida) dalam
pengendalian vector. Jakarta : Kemenkes RI. 2012
11. Dindin W and Teguh BP. Aedes mosquito susceptibility test for the
insecticide used in dengue Haemorrhagice fever (dhf) controling programs
Incimahi city of west java province. Bandung : Politeknik Kesehatan
Bandung. 2012
12. University of Michigan Museum of Zoology. Culex quinquefasciatus.
[Cited 23 November 2014, 6:52 PM]. Available from :
http://animaldiversity.ummz.umich.edu/accounts/Culex_quinquefasciatus/clas
sification/
13. World Health Organization. World Health Organization Global Programme
to Eliminate Lymphatic Filariasis : a Handbook for National Elimination
Programmes. Geneva : WHO, 2013
14. Astuti MAW. Uji daya bunuh ekstrak bunga kecombrang (Nicolaiaspeciosa/
blumehoran) terhadap larva nyamuk Culex quinquefasciatus say .2011
15. New Zealand Biosecure Entomology Laboratory. Culex quinquefasciatus.
New Zealand, 2008
16. Stephanie H and Roxanne C. Southern house mosquito Culex
quinquefasciatus Say. USA : Institut of Food and Agricultural Sciences,
University of Florida. May 2013
17. NSW Arbovirus Surveillance and Vector Monitoring Program. Mosquito
photos : Culex quinquefasciatus. [cited at 26 July 2015]. Download from :
http://www.arbovirus.health.nsw.gov.au/mosquit/photos/eggraft_quinq.jpg
18. NSW Arbovirus Surveillance and Vector Monitoring Program. Mosquito
photos : Culex quinquefasciatus. [cited at 26 July 2015]. Download from :
http://www.arbovirus.health.nsw.gov.au/mosquit/photos/culex_quinquefascia
tus_larvgroup.jpg
19. NSW Arbovirus Surveillance and Vector Monitoring Program. Mosquito
photos : Culex quinquefasciatus. [cited at 26 July 2015]. Download from :
http://www.arbovirus.health.nsw.gov.au/mosquit/photos/culex_quinquefascia
tus_pupa.jpg
48
20. NSW Arbovirus Surveillance and Vector Monitoring Program. Mosquito
photos : Culex quinquefasciatus. [cited at 26 July 2015]. Download from :
http://www.arbovirus.health.nsw.gov.au/mosquit/photos/culex_quinquefascia
tus.jpg
21. NSW Arbovirus Surveillance and Vector Monitoring Program. Mosquito
photos : Culex quinquefasciatus. [cited at 26 July 2015]. Download from :
http://www.arbovirus.health.nsw.gov.au/mosquit/photos/culex_quinquefascia
tus_male.jpg
22. Brenner L. Organophosphates. Journal of Pesticide Reform, vol. 12, No. 9, p.
29 (9). 1992
23. Environmental Protection Agency. Synthetic pyrethroids for mosquito
control. United States : Environmental Protection Agency. May 2000
24. Davies TGE, Field LM, Usherwood PNR, and Williamson MS. DDT,
Pyrethrins, Pyrethroids and insect sodium channels. IUBMB Life, 59(3):
151-162. Maret 2007
25. World Health Organisations. 2002. Instruction for treatment and use
insecticide treated mosquito nets.WHO//CDS/RBM/2002.41
26. National pesticide Information Centre. Cypermethrin. USA : Oregon State
University, 1998
27. Jin H and GRB Webster. Persistence, penetration, and surface available of
cypermethrin and its majr degradation products in elm bak. J.Agric Food
Chem, 1998
28. Vijverberg and Ven den Bercken. Neurotoxicological effects and the mode of
action of pyrethroid insecticides. Critical reviews in Toxicology, 1990
29. Heitzman RJ. Cypermethrin. [cited 26 July 2015]. Available from :
http://www.fao.org/docrep/w4601e/w4601e07.htm
30. Astari S, Ahmad I. Insecticide resistance and effect of piperonylbutoxide as
a synergist in three strains of Aedesaegypti (Linn.) (Diptera: Culicidae) on
insecticides permethrin, cypermethrin, and d-allethrin. Bulletin Penelitian
Kesehatan. Vol 33. No 2. 2005 : 73-79
31. Liu N, Xu Q, Zhu F, Zhang L. Pyrethroid resistance in mosquitoes. Insect
Science (2005) 13, 159-166
49
32. Dykes CL, et al. Knockdown resistance (kdr) mutations in Indian Anopheles
culicifacies populations. Biomed Central : Parasites & Vectors (2015)8:333
33. Ghiffari A, Fatimi H, Anwar C. Deteksi resistensi insektisida sintetik
piretroid pada Aedesaegypti (L.) in Palembang using Polymerase Chain
Reaction. Jurnal Aspirator. Vol 5. No 2. 2013 : 37-44
34. Vincent C and Raphael N. Distribution, mechanisms, impact and
management of insecticide resistance malaria vectors: a pragmatic review.
InTech. 2013
35. Harminarti N. 2008. Kelambu celup permetrin. Majalah Kedokteran Andalas,
Vol. 1. No. 32
36. Lee HL, Abimbola O, Singh KI. Determination of insecticide susceptibility in
Culexquinquefasciatus Say adult by rapid enzyms microassay. Southeast
Asean J Trop Med Public Health Vol 23. No 3. September 1992
37. Lee et al. Determination of insecticide susceptibility in Culex
quinquefasciatus Say adults by rapid enzimse microassay. Nigeria. September
1992
38. WHO. Guidelines for laboratory and field testing of long-lasting insecticidal
nets. 2013. WHO/HTM/NTD/WHOPES/2013.1
39. Nasir M, Arsin A, Nawi R. Hubungan penggunaan kelambu berinsektisida
dengan kejadian malaria di Kabupaten Halmahera Timur. Jurnal Indonesia,
vol. 1, no. 3. Januari-Juni 2013
50
LAMPIRAN 1
a. Alat dan Bahan
Gelas ukur
Kemasan larutan
Cypermethrin 100 EC
Aspirator (Alat untuk
mengambil nyamuk)
Baki untuk penyimpanan larva
Kandang nyamuk dewasa
Mikropipet 100
dan 1000 μL
Kelambu celup uji dalam
5 konsentrasi + kontrol
100 mg/m2
200 mg/m2
300 mg/m2
400 mg/m2
500 mg/m2
51
Pemberian makan larva berupa
pelet ikan
Air conditioner untuk mengatur suhu
ruangan tempat nyamuk hidup
Temperatur ruangan 28ºC
Pengukuran pH air wadah tempat
larva hidup
52
b. Proses pengambilan dan pembiakan sampel
Lokasi pengambilan sampel
Telur dan larva Culex diambil dengan cara
disaring
53
Sampel yang didapat
dipisahkan berdasarkan telur,
larva, atau pupa
Sampel yang didapat dari lokasi
dipindahkan ke lab parasitologi
Pupa dimasukkan ke
kandang nyamuk
54
c. Proses pembuatan kelambu celup
Cypermethrin 100 EC yang
sudah dihitung dilarutkan
dengan aquades
55
Hasil campuran Cypermethrin
100 EC dengan aquades
Kelambu dicelupkan kedalam
larutan Cypermetrin 100 EC
56
d. Proses uji kelambu celup Cypermethrin 100 EC
Kelambu yang telah dicelup
dikeringkan di tempat teduh
Untuk pengujian pilih nyamuk betina dewasa
57
Nyamuk betina yang terpilih dimasukkan kedalam masing –
masing kelambu celup dan diobservasi selama 30 menit
Setelah 30 menit, nyamuk dikeluarkan dan diamati
banyaknya nyamuk yang pingsan (knockdown)
58
Nyamuk yang ada di dalam gelas karton didiamkan selama
24 jam dengan diberikan larutan gula 10%
Amati kematian nyamuk setelah 24 jam
59
e. Uji esterase
Setelah dilakukan pencatatan, cup berisi
nyamuk mati maupun hidup ditaruh di freezer
sebelum dibuang
Sampel uji : larva instar IV Bahan untuk uji resistensi
enzim esterase larva nyamuk
Cx. quinquefasciatus
59
f. Identifikasi sampel dibawa mikroskop
Sumur dalam uji resistensi enzim esterase
larva nyamuk Cx. quinquefasciatus
Hasil ELISA Reader
Telur Cx. quinquefasciatus yang
diidentifikasi dibawah mikroskop
Larva instar I Cx. quinquefasciatus
yang diidentifikasi dibawah
mikroskop
60
Larva instar II Cx. quinquefasciatus
yang diidentifikasi dibawah
mikroskop
Larva instar III Cx. quinquefasciatus
yang diidentifikasi dibawah
mikroskop
Larva instar IV Cx. quinquefasciatus
yang diidentifikasi dibawah
mikroskop
Pupa Cx. quinquefasciatus yang
diidentifikasi dibawah mikroskop
Nyamuk betina Cx. quinquefasciatus
yang diidentifikasi dibawah
mikroskop
Nyamuk jantan Cx. quinquefasciatus
yang diidentifikasi dibawah
mikroskop
61
LAMPIRAN 2
Hasil Analisa Data
a. Hubungan antara konsentrasi Cypermethrin yang digunakan dengan kematian
nyamuk Culex quinquefasciatus
Tabel uji normalitas Saphiro Wilk
Tests of Normality
konsentrasi Shapiro-Wilk
Statistic df Sig.
kematian
100 .949 3 .567
200 .964 3 .637
300 .949 3 .567
400 .991 3 .817
500 .980 3 .726
a. Lilliefors Significance Correction
Tabel uji Homogenitas
Test of Homogeneity of Variances
kematian
Levene Statistic df1 df2 Sig.
.172 4 10 .948
Tabel uji ANOVA one way
ANOVA
kematian Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 2169.600 4 542.400 1.188 .374
Within Groups 4565.333 10 456.533
Total 6734.933 14
62
b. Hubungan antara kematian nyamuk Culex quinquefasciatus dengan minggu
perlakuan
Tabel uji normalitas Saphiro Wilk
Tests of Normality
minggu_ke Shapiro-Wilk
Statistic df Sig.
kematian
1 .877 5 .295
4 .943 5 .687
8 .943 5 .685
*. This is a lower bound of the true significance.
Tabel uji homogenitas
Test of Homogeneity of Variances
kematian
Levene Statistic df1 df2 Sig.
.205 2 12 .818
Tabel uji ANOVA oneway
ANOVA
kematian Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 4462.933 2 2231.467 11.786 .001
Within Groups 2272.000 12 189.333
Total 6734.933 14
Tabel uji LSD
Multiple Comparisons
(I) minggu_ke (J) minggu_ke Mean Difference
(I-J)
Std. Error Sig. 95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
1 4 27.200* 8.702 .009 8.24 46.16
8 41.600* 8.702 .000 22.64 60.56
4 1 -27.200-* 8.702 .009 -46.16- -8.24-
8 14.400 8.702 .124 -4.56- 33.36
8 1 -41.600-* 8.702 .000 -60.56- -22.64-
4 -14.400- 8.702 .124 -33.36- 4.56
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
63
c. Uji Regresi Linier
Model Summaryc
Mode
l
R R
Square
Adjusted R Square Std. Error of the Estimate Durbin-Watson
1 .561a .314 .262 18.848
2 .966b .934 .923 6.096 1.053
a. Predictors: (Constant), konsentrasi
b. Predictors: (Constant), konsentrasi, minggu_ke
c. Dependent Variable: kematian
Coefficientsa
Model Unstandardized Coefficients Standardized
Coefficients
t Sig.
B Std. Error Beta
1 (Constant) 35.867 11.413 3.143 .008
konsentrasi .084 .034 .561 2.441 .030
2
(Constant) 61.070 4.391 13.907 .000
konsentrasi .084 .011 .561 7.547 .000
minggu_ke -5.816 .549 -.787 -10.595 .000
a. Dependent Variable: kematian
64
d. Tabel uji Probit
Minggu I
No Point Exposure
Concentration (mg/m2)
95% Confidence Limit
Lower Upper
1 LC1 2.114 .006 11.304
2 LC2 3.114 .015 14.526
3 LC3 3.981 .026 17.033
4 LC4 4.789 .040 19.204
5 LC5 5.566 .055 21.173
6 LC10 9.325 .176 29.623
7 LC20 17.419 .713 44.584
8 LC30 27.333 1.948 60.024
9 LC40 40.168 4.585 77.626
10 LC50 57.565 10.157 99.178
11 LC60 82.495 22.304 127.844
12 LC70 121.233 50.565 171.667
13 LC80 190.235 119.605 267.056
14 LC90 355.345 255.023 762.885
15 LC95 595.313 381.474 2267.678
16 LC96 691.872 424.625 3146.376
17 LC97 832.299 483.004 4719.898
18 LC98 1064.052 571.302 8119.171
19 LC99 1567.145 740.819 19181.818
65
Minggu IV
No Point Exposure
Concentration (mg/m2)
95% Confidence Limit
Lower Upper
1 LC1 4.060 .304 12.992
2 LC2 6.377 .632 18.038
3 LC3 8.492 1.004 22.218
4 LC4 10.535 1.422 25.994
5 LC5 12.553 1.887 29.538
6 LC10 22.912 4.983 45.856
7 LC20 47.478 16.075 78.459
8 LC30 80.290 37.132 116.411
9 LC40 125.784 74.897 165.341
10 LC50 191.361 139.206 237.918
11 LC60 291.126 233.938 378.639
12 LC70 456.084 355.297 714.227
13 LC80 771.288 539.252 1612.846
14 LC90 1598.273 931.424 5153.840
15 LC95 3476.092 1648.898 17998.137
16 LC96 4311.967 1930.174 25482.193
17 LC97 5742.211 2378.856 40470.170
18 LC98 9018.927 3304.953 83954.819
19 LC99 1961.086 1083.297 7158.689
66
Minggu VIII
No Point Exposure
Concentration (mg/m2)
95% Confidence Limit
Lower Upper
1 LC1 5.218 .247 17.526
2 LC2 8.634 .601 24.956
3 LC3 11.885 1.056 31.242
4 LC4 15.114 1.613 37.004
5 LC5 18.377 2.276 42.476
6 LC10 35.954 7.402 68.353
7 LC20 81.039 30.529 122.945
8 LC30 145.610 82.596 192.774
9 LC40 240.244 177.971 307.543
10 LC50 383.627 300.341 577.903
11 LC60 612.582 443.290 1241.644
12 LC70 1010.707 644.932 2933.702
13 LC80 1816.041 984.275 8154.447
14 LC90 4093.301 1751.748 33992.723
15 LC95 8008.370 2809.851 110897.457
16 LC96 9737.591 3223.449 156552.555
17 LC97 12383.243 3815.705 239225.577
18 LC98 17044.852 4773.807 420424.221
19 LC99 28202.936 6792.786 1022839.052
67
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
PERSONAL DATA
Nama : Fitriana Nurharyani Haryono
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 8 Maret 1995
Status : Belum Menikah
Agama : Islam
Alamat : Jl. Rawa Bebek Rt 015/013 No 34, Penjaringan,
Jakarta Utara
No. Telepon/HP : 0812-9061-7921
Email : [email protected]
RIWAYAT PENDIDIKAN
1998-2000 : TK Nurul Huda, Demak, Semarang, Jawa Tengah
2000-2001 : SD Negeri Jatilawang, Boyolali, Jawa Tengah
2001-2002 : SD Negeri Mangunranan, Kebumen, Jawa Tengah
2002-2006 : SD Negeri Penjaringan 09 Petang, Jakarta Utara
2006-2009 : SMP Negeri 21 Jakarta
2009-2012 : SMA Negeri 2 Jakarta
2012-sekarang : Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta