Efek Desentralisasi

13
Kebijakan desentralisasi Pendidikan dan Kendala Pelaksanaanya Pemberlakuan UU Otonomi Daerah yang dimulai dengan diterapkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 dan kemudian disempurnakan dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dengan diserahkannya sejumlah kewenangan yang semula menjadi urusan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, mengakibatkan terjadinya perubahan dalam berbagai aspek pembangunan di Indonesia, termasuk juga dalam aspek pendidikan. Berdasarkan Pasal 10 ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004, urusan-urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintahan pusat meliputi 1. Politik luar negeri, 2. Pertahanan 3. Keamanan 4. Yustisi 5. Moneter dan fisikal nasional, 6. Agama Selain urusan-urusan tersebut, semua urusan telah diserahkan kepada pemerintah daerah baik pemerintah provinsi, kabupaten, maupun kota. Pelimpahan wewenang kepada daerah membawa konsekuensi terhadap pembiayaan guna mendukung proses desentralisasi sebagaimana termuat dalam Pasal 12 ayat 1 UU Nomor 32 Tahun 2004 bahwa urusan pemerintah yang diserahkan kepada daerah disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana, serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang didesentralisasikan. Untuk itu, dikeluarkan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, yang bertujuan memberdayakan dan meningkatkan kemampuan perekonomian daerah, menciptakan sistem pembiayaan daerah yang adil, proporsional, rasional, transparan, partisipatif, bertanggung jawab, dan pasti, serta mewujudkan sistem perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang jelas. Jumlah kewenangan yang begitu besar tersebut membawa perubahan struktur dalam pengelolaan pendidikan, dan berlaku juga pada penentuan stakeholders didalamnya. Jika pada masa sebelum diberlakukannya otonomi daerah, stakeholders pendidikan sepenuhnya berada ditangan aparat pusat, maka di era otonomi pendidikan sekarang ini peranan sebagai stakeholder akan tersebar lepada berbagai pihak yang berkepentingan.

description

sharing :)

Transcript of Efek Desentralisasi

Kebijakan desentralisasi Pendidikan dan Kendala PelaksanaanyaPemberlakuan UU Otonomi Daerah yang dimulai dengan diterapkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 dan kemudian disempurnakan dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dengan diserahkannya sejumlah kewenangan yang semula menjadi urusan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, mengakibatkan terjadinya perubahan dalam berbagai aspek pembangunan di Indonesia, termasuk juga dalam aspek pendidikan. Berdasarkan Pasal 10 ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004, urusan-urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintahan pusat meliputi 1. Politik luar negeri,2. Pertahanan3. Keamanan4. Yustisi5. Moneter dan fisikal nasional,6. AgamaSelain urusan-urusan tersebut, semua urusan telah diserahkan kepada pemerintah daerah baik pemerintah provinsi, kabupaten, maupun kota.Pelimpahan wewenang kepada daerah membawa konsekuensi terhadap pembiayaan guna mendukung proses desentralisasi sebagaimana termuat dalam Pasal 12 ayat 1 UU Nomor 32 Tahun 2004 bahwa urusan pemerintah yang diserahkan kepada daerah disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana, serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang didesentralisasikan. Untuk itu, dikeluarkan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, yang bertujuan memberdayakan dan meningkatkan kemampuan perekonomian daerah, menciptakan sistem pembiayaan daerah yang adil, proporsional, rasional, transparan, partisipatif, bertanggung jawab, dan pasti, serta mewujudkan sistem perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang jelas.Jumlah kewenangan yang begitu besar tersebut membawa perubahan struktur dalam pengelolaan pendidikan, dan berlaku juga pada penentuan stakeholders didalamnya. Jika pada masa sebelum diberlakukannya otonomi daerah, stakeholders pendidikan sepenuhnya berada ditangan aparat pusat, maka di era otonomi pendidikan sekarang ini peranan sebagai stakeholder akan tersebar lepada berbagai pihak yang berkepentingan.Sejalan dengan arah kebijakan otonomi dan desentralisasi yang ditempuh oleh pemerintah, tanggung jawab pemerintah daerah akan meningkat dan semakin luas, termasuk dalam manajemen pendidikan. Pemerintah daerah diaharapkan untuk senantiasa meningkatkan kemampuanya dalam berbagai tahap pembangunan pendidikan, sejak tahap perumusan kebijakan daerah, perencanaan, pelaksanaan, sampai pemantauan atau monitoring di daerah masing-masing sejalan dengan kebijakan pendidikan nasional yang digariskan pemerintah.Kendatipun sentralisasi pendidikan di satu sisi mempunyai nilai positif, paling tidak dalam hal ini tercapainya standar mutu secara nasional, namun disisi lain mempunyai dampak yang tidak sedikit. Akibat sentralisasi, sekolah tidak memiliki kebebasan mengembangkan diri, sekolah yang baik akan terhambat karena dipaksa mengikuti aturan-atura pemerintah pusat, para guru menjadi sekadar pelaksana petunjuk, sehingga tidak kreatif mendampingi anak didik. Pada gilirannya, sekolah-sekolah akan memanipulasi laporan demi kebaikannya dan demi tuntutan pusat yang tidak memerhatikan kepentingan lokal.Dengan demikian, melihat plus minusnya bagaimanapun desentralisasi pendidikan merupakan suatu keharusan, disamping tentunya sejumlah peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan menuntut untuk dilaksanakan. Meskipun demkkian, pelaksanaan desentralisasi pendidikan sebaiknya tidak dilakukan melalui mekanisme penyerahan kekuasaan birokrasi dari pusat ke daerah, karena kekuasaan telah terbukti gagal dalam mewujudkan pendidikan yang bermutu. Melalui strategi desentralisasi pemerintah di bidang pendidikan. Departemen Pendidikan Nasional tidak hanya berkepentingan dalam mengembangkan kabupaten/kota dalam mengelola pendidikan, tetapi juga berkepentingan dalam mewujudkan otonomi satuan pendidikan, yaitu otonomi di tingkat sekolah.Belajar dari pengalaman bangsa-bangsa lain dalam pelaksanaan desentralisasi pendidikan, Supriadi (2003:71) mengelompokkan sistem desentralisasi pengelolaan pendidikan menjadi empat kemungkinan, yaitu :1. Suatu negara menganut sistem pengelolaan pendidikan sentralistik tanpa disertai dengan manajemen berbasis sekolah2. Suatu negara menganut sistem pengelolaan pendidikan desentraistik (ke tingkat provinsi atau kabupaten/kota), tetapi tidak diikuti dengan manajemen berbasis sekolah3. Suatu negara menganut sistem pengelolaan pendidikan sentralistik, tetapi pada saat yang sama mengembangkan manajemen berbasis sekolah 4. Suatu negara menganut sistem pengelolaan pendidikan desentralistik dan sekaligus melaksanakan manajemen berbasis sekolah.

A. Masalah KurikulumSebagaimana diketahui bahwa kondisi masyarakat Indonesia sangat heterogen dengan berbagai macam keragamannya, seperti budaya, adat, suku, sumber daya alam, dan bahkan sumber daya manusianya. Masing-masing daerah mempunyai kesiapan dan kemampuan yang berbeda dalam pelaksanaan desentralisasi pendidikan. Permasalahan relevansi pendidikan selama ini diarahkan pada kurangnya kepercayaan pemerintah pada daerah untuk menata sistem pendidikannya yang sesuai dengan kondisi objektif didaerahnya. Situasi ini memacu terciptanya pengganguran lulusan akibat tidak relevannya kurikulum dengan kondisi daerah.Dalam konteks otonomi daerah, kurikulum suatu lembaga pendidikan tidak sekadar daftar mata pelajaran yang dituntut didalam suatu jenis dan jenjang pendidikan. Dalam pengertiannya yang luas, kurikulum berisi kondisi yang telah melahirkan suatu rencana atau program pelajaran tertentu, juga berkenaan dengan proses yang terjadi didalam lembaga (proses pembelajaran), fasilitas yang tersedia yang menunjang terjadinya proses, dan akhirnya produk atau hasil dari proses tersebut.Kurikulum adalah keseluruhan program, fasilitas, dan kegiatan suatu lembaga pendidikan atau pelatihan untuk mewujudkan visi dan misi lembaganya. Oleh karena itu, pelaksanaan kurikulum untuk menunjang keberhasilan sebuah lembaga pendidikan harus ditunjang hal-hal sebagai berikut : Tersedianya tenaga pengajar (guru) yang kompeten Tersedianya fasilitas fisik atau fasilitas belajar yang memadai dan menyenangkan Tersedianya fasilitas bantu untuk proses belajar mengajar Adanya tenaga penunjang pendidikan, seperti tenaga administrasi, pembimbing, pustakawan, laboran Tersedianya dana yang memadai Manajemen yang efektif dan efisien Terpeliharanya budaya yang menunjang, seperti nilai-nilai religius, moral, kebangsaan, dan lain-lain. Kepemimpinan pendidikan yang visioner, transparan, dan akuntabel.

Kurikulum sekolah yang amat terstruktur dan sarat beban menyebabkan proses pembelaaran di sekolah menjadi steril terhadap keadaan dan perubahan lingkungan fisik dan sosial yang berkembang dalam masyarakat. Akibatnya, proses pendidikan menjadi rutin, tidak menarik, dan kurang mampu memupuk kreativitas murid untuk belajar serta guru dan pengelola pendidikan dalam menyusun dan melaksanakan pendekatan pembelajaran yang inovatif.B. Masalah Sumber Daya Manusia (SDM)Sumber daya manusia merupakan pilar yang paling utama dalam melakukan implementasi desentralisasi pendidikan. Banyak kekhawatiran dalam bidang kesiapan SDM ini, diantaranya belum terpenuhinya lapangan kerja dengan kemampuan sumber daya yang ada. Prinsip The Right man on the right place semakin jauh pelaksanaanya. Implementasi desentralisasi pendidikan masih menyimpan beberapa kendala seperti dalam pengangkatan pengelola pendidikan yang tidak memerhatikan latar belakang dan profesionalisme, Kepada Dinas Pendidikan diangkat dari mantan Camat, Kepala Dinas Pasar, dan bahkan kepada Dinas Pemakaman yang terkadang sama seklai tidak mengerti masalah pendidikan. Meskipun para mantan pejabat itu pernah mengurus orang banyak, mereka mempunyai karakteristik yang berbeda dengan peserta didik dan manusia yang berkecimpung dalam dunia pendidikan.Sejak dilaksanakannya otonomi daerah, pengelolaan sumber daya manusia didaerah baik di provinsi, kabupaten dan kota memang cukup memprihatinkan. Pimpinan daerah (gubernur, bupati, dan walikota) yang kekuasaanya sangat besar kadang-kadang menempatkan orang-orangnya secara serampangan dan jarang memerhatikan aspek profesionalisme. Koordinasi lembaga juga agak terhambat karena tidak ada hubungan secara hierarkis antara lembaga yang ada ditingkat kabupaten/kota dengan provinsi. Tidak jarang ketika dinas pendidikan provinisi harus melakukan koordinasi dengan dinas pendidikan kabupaten/kota, tetapi pada waktu bersamaan di kabupaten dan kota juga dilaksanakan rapat dinas dengan bupati/walikota, maka Kepala Dinas Pendidikan biasanya lebih memilih mengikuti rapat dengan bupati/walikota yang merupakan atasannya, ketimbang mengikuti rapat atau koordinasi dengan Dinas Pendidikan Provinsi. Akibatnya hanya utusan yang mewakili Kepala Dinas Kabupaten/Kota yang bisa hadir, dan dalam hal ini terkadang informasi yang diperoleh juga tidak pas dengan apa yang diharapkan. Fenomena semacam ini suda lumrah terjadi seak dilaksanakannya otonomi daerah.Bagaimanapun sumber daya manusia yang kurang profesional akan menghambat pelaksanaan pelaksanaan sistem pendidikan penataan SDM yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan dan keahliannya menyebabkan pelaksanaan pendidikan tidak profesional. Banyak tenaga kependidikan yang latar belakang pendidikannya tidak relevan ditempatkan dunia kerja yang ditekuninya.C. Masalah Dana, Sarana, dan Prasarana PendidikanPersoalan dana merupakan persoalan yang paling krusial dalam perbaikan dan pembangunan sistem pendidikan di indonesia, dan dana juga merupakan salah satu syarat atau unsur yang sangat menentukan keberhasilan penyelenggaraan pendidikan. Selama ini dikeluhkan bahwa mutu pendidikan nasional rendah karena dana yang tidak mencukupi, anggaran untuk pendidikan masih terlalu rendah. Padahal kalau mau belajar dari bangsa-bangsa yang maju bagaimana mereka membangun, justru mereka berani secara nekad menempatkan anggaran untuk pembiayaan pendidikan melebihi keperluan-keperluan yang lain.UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebenarnya suda mengamantkan tentang pentingnya alokasi anggaran dana untuk pembiayaan dan pembangunan pendidikan ini. Dalam pasal 49 ayat 1 dikemukakan bahwa Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasi minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).Sayangnya, amanat yang jelas-jelas memiliki dasar dan payung hukum tersebut dengan berbagai dalih dan alasan sampai saat ini masih belum bisa dilaksanakan . sementara itu di daerah baik para ekskutif maupun legislatif masih sibuk berdebat dan sok pintarnya, sehingga menimbulkan kesan bahwa pendidikan merupakan bagian dari pembangunan yang belum diprioritaskan.D. Masalah Organisasi KelembagaanDalam hal kelembagaan kependidikan antar kabupaten/kota dan provinsi tidak sama dan terkesan berjalan sendiri sendiri, baik menyangkut struktur, nama organisasi kelembagaan, dan lain sebagainya. Menurut undang-undang memang ada kewenangan lintas kabupaten/kota, tetapi kenyataannya itu hanyalah dalam tataran konsep, praktiknya tidak berjalan.Didalam UU Nomor 22 Tahun 1999 Pasal 4 aya (2) di kemukakan bahwa masing-masing daerah provinsi, kabupaten/kota, berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarki termasuk di bidang pendidikan. Sementara itu, pada UU nomor 32 tahun 2004 dinyatakan lagi pada pasal 2 ayat 1 Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah dan ayat 2 pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Hal ini tentu tidak sejalan dengan UU Nomor 22 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa pendidikan merupakan satu sistem, keseluruhan yang terpadu dari semua satuan dan kegiatan pendidikan yang berkaitan satu sama lain untuk mengusahakan tercapainya tujuan pendidikan nasional.Proses desentralisasi kelembagaan pendidikan merupakan proses yang cukup rumit. Hal ini sebagaimana yang digambarkan Soewartoyo, dkk. (2003:80-81) disebabkan beberapa faktor, yaitu :1. Desentralisasi kelembagaan pendidikan akan menciptakan suatu sistem pendidikan dengan kebijakan-kebijakan yang faktual.2. Desentralisasi kelembagaan pendidikan harus mengelola sumber dayanya dan sekaligus memanfaatkannya3. Desentralisasi kelembagaan pendidikan harus melatih tenaga kependidikan dan tenaga pengelola tingkat lapangan yang profesional4. Desentralisasi kelembagaan pendidikan harus menyusun kurikulum yang tepat guna5. Desentralisasi kelembagaan pendidikan juga harus dapat mengelola sistem pendidikan yang didasarkan pada kehidupan sosial budaya setempat.

E. Masalah Perundang undanganBagaimana sistem sentralisasi, dekonsentrasi, dan desentralisasi dalam pemerintahan mempunyai implikasi langsung terhadap penyelenggaraa sistem pendidikan nasional, terutama yang berkaitan dengan masalah kebijakan, manajemen, mutu, kontrol, dan sumber-sumber dana pendidikan. Penyelenggaraan sistem pendidikan nasional untuk masa kini, selain telah memiliki perangkat pendukung perundang-undangan nasional, juga dihadapkan kepada sejumlah faktor yang menjadi tantangan dalam penerapan desentralisasi pendidikan di daerah, seperti tingkat perkembangan ekonomi dan sosial budaya setiap daerah, tipe dan kualitas kematangna SDM yang diperlukan oleh daerah setempat, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perkembangan dunia industri, dan sebagainya.Sesuai dengan misi pendidikan nasional yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan merespons perkembangan global pada abad ke 21 maka arah kebijakan pendidikan nasioan ke depan tetap mengacu pada tiga hal, yaitu :1. Perluasan dan pemerataan layanan pendidikan yang bermutu2. Peningkatan mutu pembelajaran dan lembaga pendidikan 3. Perbaikan kapasitas dan manajemen pendidikan.

F. Masalah Pembinaan dan Koordinasi UU Nomor 32 Tahun 2004 pada dasarnya mengamanatkan bahwa dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, pemerintah berkewajiban untuk melakukan pembinaan pembinaan agar permasalahan yang muncul dapat diminimalisasi.Sayangnya, selama pelaksanaan otonomi daerah, pembinaan dan koordinasi ini semakin sulit dilaksanakan. Hal ini disebabkan oleh adanya gengsi antarpejabat, yang biasanya bupati/walikota enggan selalu berkonsultasi dengan gubernur karena merasa bukan bawahan dan tidak memiliki hubungan hierarkis. Maka ketika rapat-rapat dinas dan koordinasi dilakukan yang semestinya harus diikuti Bupati/Walikota seprovinsi hanya diikuti utusan-utusan dari kabupaten/kota . hal demikian berimplikasi keada bawahannya, termasuk dinas pendidikan. Meskipun desentralisasi sudah ada dalam peraturan regulasi otonomi dearah, tetapi dalam kelembagaan dan sikap akademik guru, kepada sekolah dan jajaran dinas pendidikan sebagai atasannya belum sinkron. Pemerintah daerah belum menunjukkan penampilan dan cara kerja yang jelas, dan yang mereka lakukan masih pada pemanfaatan dana, bukan pada academic aktivityHasbullah, Otonomi Pendidikan, PT Raja Grafindo, Jakarta, 2007 h. 17 20 23 25 27 29 31

Efek DesentralisasiPerbaikan pendidikanSeperti yang tercatat di depan, akhirnya semua pendukung desentralisasi sekolah, baik tujuan mereka yang tersurat maupun tersirat, menyatakan bahwa reorganisasi akan memperbaiki mutu mengajar belajar. Hal ini dapat terjadi karena menempatkan keputusan-keputusan lebih dekat dengan tempat mengajar belajar itu berlangsung dan memberi semangat kepada guru dan administrator untuk bekerja lebih baik. Pada beberapa kasus, tentu saja, memperbaiki mutu belajar memang telah merupakan tujuan utama, dan ternyata ada hasil-hasil positif. Laporan-laporan awal dari Selandia Baru, misalnya, menunjukkan bahwa desentralisasi mempunyai dampak positif terhadap minat belajar siswa. Demikian juga, pelajar kelas tiga di Minas Gerais telah memperbaiki angka-angka hasil ulangannya untuk bidang-bidang studi dasar. Akan tetapi, di Cile, yang termasuk sedikit negara yang mempunyai data yang bagus tentang hasil-hasil ujian antarkurun waktu yang panjang, nilai standar tentang ulangan nasional ternyata menurun (sebanyak 14 persen untuk bahasa Spanyol dan 6 persen untuk matematika) selama periode desentralisasi (Prawda 1993a). Para peneliti ternyata cepat menjelaskan bahwa prestasi pelajar dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk dari luar seperti tersedianya dana. Di Cile, nilai turun bisa disebabkan antara lain tekanan pada sistem desentralisasi untuk meningkatkan pendaftaran siswa. Pada umumnya, para penliti hanya mengembangkan sedikit data yang menunjukkan adanya suatu hubungan langsung dengan satu atau lain cara antara program desentralisasi dan prestasi pelajar yang diukur dengan ulangan standar.Efisiensi administrasiAlasan administrasi untuk perlunya desentralisasi adalah sistem sentralisasi tergolong birokrasi dan boros. Memberdayakan aparat di tingkat daerah dan lokal akan memberikan hasil yang lebih baik karena memang menghilangkan prosedur birokrasi yang bertingkat tingkat dan memotivasi pejabat pendidikan agar lebih produktif. Desentralisasi telah meningkatkan efisiensi usaha di Meksiko dimana para guru kini gajinya dibayar secara tepat waktu, dan di Minas Gerais, otonomi persekolahan telah menurunkan biaya dan pelayanan kini menjadi lebih baik pada bidang-bidang mulai dari pemeliharaan dan pelatihan guru sampai pada makanan tambahan di sekolah.Sebagian besar keberhasilan upaya Meksiko untuk memperbaiki efisiensi sistem persekolahan karena pemerintah pusat bersusah payah melatih bantuan tambahan ketika diperlukan. Demikian pula, di Cile, desentralisasi telah berhasil menurunkan biaya administrasi secara berarti, ketika jumlah pegawai departemen diciutkan dari 18.522 pada tahun 1989 menjadi 8.305 pada tahun 1989 (Winklere dan Rounds 1993). Jimenez, Paqueo, dan de Vera (1988) menemukan bahwa pembiayaan lokal di Filipina telah mengakibatkan penghematan secara keseluruhan.

Efisiensi keuanganTujuan-tujuan tersurat lainnya untuk desentralisasi adalah menggali penerimaan tambahan bagi sistem pendidikan secara keseluruhan. Hal ini dapat dicapai dengan memanfaatkan sumber-sumber pajak lokal dan mengurangi biaya operasi. Argentina mempunyai contoh dalam mengalihkan tanggung jawab keungan dari pusat ke pemerintah daerah dan lembaga-lembaga lokal yang lalu diikuti dengan meningkatna total pengeluaran untuk pendidikan. Sebaga bagian dari total pengeluaran pemerintah, uang untuk pendidikan naik dari 16,6 persen pada tahun 1975 menjadi 18,7 persen pada tahun 1986. Sebaliknya, pengeluaran untuk pendidikan di Meksiko menurun setelah desentralisasi, sebagian karena resesi pascaharga minyak tinggi. Kotamadya kotamadya di Cile meningkatkan kontribusi total untuk pendidikan setelah desentralisasi, tetapi sebagian motivasi tentu jelas berkaitan dengan turunya nilai riil beasiswa yang diterima dari pemerintah pusat.Suatu kesulitan bila mengalihkan keputusan pembelanjaan pada politisi lokal adalah mereka lebih tertarik menggunakan dana untuk hasil-hasil nyata, yang segera kelihatan hasilnya, seperti program untuk jalan raya dan irigasi daripada menggunakannya untuk pendidikan, yang manfaatnya kurang kasatmata dan lebih bersifat jangka panjang. Selama masa-masa ekonomi sulit, desentralisasi dalam kenyataanya malah mempermudah pengurangan sumber daya keungan untuk pendidikan (Hannaway 1994).Tujuan politisBarang kali contoh tentang sukses luar biasa adalah desentralisasi sebagai alat untuk benar-benar mencapai tujuan politik seperti yang terjadi di Spanyol. Dalam penyelidikan mereka tentang desentralisasi Spanyol, Hanson dan Ulrich (1994, 328) menemukan bahwa hampir tanpa kecuali orang-orang yang mereka wawancarai setuju bahwa praktek manajemen yang berbasis pada sekolah bukanlah mekanisme efektif untuk memperbaiki mutu manajemen dan atau mutu sekolah. Bukan saja kurang bukti bahwa desentralisasi memperbaiki prestasi belajar, tetapi ada kepercayaan di kalangan umum bahwa manajemen yang berbasis di sekolah ternyata menjadi perintang bagi perbaikan sekolah. Hal ini terjadi karena desentralisasi gagal menciptakan insentif yang cukup bagi para guru berkualitas untuk menjadi kepala sekolah. Di pihak lain, desentralisasi menawarkan cukup insentif bagi mereka yang menjadi kepala sekolah guna memperbaiki proses mengajar belajar.Efeksnya pada pemerataanSatu konsekuensi negatif dari desentralisasi adalah melebarnya jurang prestasi antara pelajar dari keluarga kaya dengan pelajar dari keluarga miskin. Upaya memeratakan baik dalam bentuk masukan seperti uang maupun keluaran seperti hasil nilai ujian yang lebih tinggi tidaklah selalu dipandang sebagai suatu tujuan konkret desentralisasi benar, ini bukanlah hal aneh karena dalam banyak kasus desentralisasi bahkan memperlebar jurang kaya miskin. Dalam memaksimumkan penggunaan kekuasaan yang diserahkan, daerah tertentu yang cukup keuangan dan sumber daya manusianya tentu berada dalam posisi yang lebih baik dari pada derah yang serba kekurangan. Bahkan ketika ada hasil pendidikan umum, sekolah-sekolah kayalah yang paling banyak memanfaatkan hasil-hasil itu.