Edwardlontah Legal Research

115
PELANGGARAN PENDAFTARAN NAMA DOMAIN INTERNET DENGAN MENGGUNAKAN MEREK SECARA TIDAK BERHAK DALAM PRAKTIK HUKUM INDONESIA Skripsi Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Dan Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Di Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana EDWARD NICODEMUS LONTAH NIM: 312001027 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA S A L A T I G A AGUSTUS 2007

Transcript of Edwardlontah Legal Research

  • PELANGGARAN PENDAFTARAN NAMA DOMAIN INTERNET

    DENGAN MENGGUNAKAN MEREK SECARA TIDAK BERHAK

    DALAM PRAKTIK HUKUM INDONESIA

    Skripsi

    Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Dan Memenuhi Salah Satu Syarat

    Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Di Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana

    EDWARD NICODEMUS LONTAH NIM: 312001027

    FAKULTAS HUKUM

    UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

    S A L A T I G A

    AGUSTUS 2007

  • PELANGGARAN PENDAFTARAN NAMA DOMAIN INTERNET

    DENGAN MENGGUNAKAN MEREK SECARA TIDAK BERHAK

    DALAM PRAKTIK HUKUM INDONESIA

    Skripsi

    Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Dan Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Di Fakultas Hukum

    Universitas Kristen Satya Wacana

    EDWARD NICODEMUS LONTAH NIM: 312001027

    PENGUJI I PENGUJI II

    JEFERSON KAMEO, S.H., LL.M.

    TITON SLAMET KURNIA, S.H., M.Hum.

    FAKULTAS HUKUM

    UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

    S A L A T I G A

    AGUSTUS 2007

  • KOMISI PENGUJI

    PENGUJI I PENGUJI II

    JEFERSON KAMEO, S.H., LL.M.

    TITON SLAMET KURNIA, S.H., M.Hum.

    PENGUJI III

    THEOFRANSUS LITAAY, S.H., LL.M.

    Skripsi ini disahkan pada tanggal : ________________________________________

    Dekan Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana

    Salatiga

    M. HARYANTO, S.H., M.H

  • i

    PENGANTAR

    Lebih dari sekedar suatu syarat akademis sehingga berhak untuk menyandang

    gelar sarjana hukum, skripsi yang ada dihadapan anda ini adalah media untuk

    mengekspresikan eksistensi diri, rasa hormat, dan terima kasih penulis kepada orang

    tua, keluarga, dan rekan-rekan yang nama-namanya tidak sempat dicantumkan di sini.

    Penghargaan sebesar-besarnya diberikan untuk segenap staff dosen dan pegawai

    Fakultas Hukum UKSW Salatiga, lebih khusus, dan tanpa bermaksud

    mengesampingkan yang lain, kepada Titon Slamet Kurnia, Theofransus Litaay,

    Jeferson Kameo, M. Haryanto, Ari Siswanto, yang secara moril, akademis, dan

    administratif, telah membantu penulis menyelesaikan studi dan penelitian hukum.

    Terkait dengan beberapa isu hukum yang tidak sempat dipecahkan saran,

    pertanyaan, dan kritik konstruktif (feedbacks), dapat diajukan melalui

    [email protected]

    Semoga ini dapat memperkaya kajian studi hukum hak kekayaan intelektual di

    Fakultas Hukum UKSW Salatiga. Selamat membaca, Tuhan memberkati.

    Salatiga, September 2007

    Penulis.

  • ii

    DAFTAR ISI

    PENGANTAR ................................................................................................ i

    DAFTAR ISI ................................................................................................... ii

    DAFTAR TABEL ........................................................................................... iii

    DAFTAR PERATURAN DAN KASUS ........................................................ iv

    BAB I PENDAHULUAN

    A. Alasan Pemilihan Judul .......................................................... 1

    B. Latar Belakang Masalah ......................................................... 2

    C. Rumusan Masalah .................................................................. 5

    D. Tujuan Penelitian .................................................................... 5

    E. Metode Penelitian ................................................................... 5

    F. Unit Amatan dan Unit Analisa ............................................... 6

    BAB II TINJAUAN PUSTAKA: Perlindungan Hukum atas Merek menurut Sistem Hukum Benda Indonesia

    A. Konsep Hak Milik ................................................................... 8

    A.1. Pengertian Hak Milik ...................................................... 8

    A.2. Fungsi Hak Milik ............................................................ 10

    A.3. Pemikiran tentang Konsep Hak Milik ............................. 12

    A.3.1. Hugo Grotius: Aturan-Aturan Keadilan .............. 13

  • A.3.2. John Locke: Lockean Proviso ............................. 15

    A.4. Perlindungan Hak Milik dalam Hukum Positif Indonesia 16

    A.4.1. Dalam Konstitusi Negara .................................... 16

    A.4.2. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ... 17

    A.5. Kaidah-Kaidah Perlindungan Hak Milik......................... 19

    B. Konsep Merek ......................................................................... 20

    B.1. Pengertian Merek............................................................. 20

    B.2. Fungsi Merek ................................................................... 21

    B.3. Perlindungan Hak Merek ................................................. 23

    C. Konsep Perlindungan Merek sebagai Benda........................... 27

    C.1. Kedudukan Merek dalam Sistem Hukum Benda Indonesia 27

    C.2. Kedudukan Merek dalam Sistem Hukum Hak Kekayaan Intelektual ....................................................................... 29

    C.3. Kaidah-Kaidah Perlindungan Merek menurut Sistem Hukum

    Benda Indonesia ............................................................. 31

    BAB III PELANGGARAN PENDAFTARAN NAMA DOMAIN DENGAN MENGGUNAKAN MEREK SECARA TIDAK BERHAK

    A. Perbedaan Merek dan Nama Domain ..................................... 34

    B. Bentuk-Bentuk Pelanggaran Pendaftaran Nama Domain ....... 38

    B.1. Cybersquatting ................................................................ 38

    B.2. Typosquatting .................................................................. 40

    B.3. Merek sebagai Secondary Level Domain (SLD) dan Third Level Domain ........................................................................... 41

  • ii

    C. Kasus-Kasus Pelanggaran Pendaftaran Nama Domain ........... 42

    C.1. Yang ditangani Pengadilan Indonesia (Kasus Nama Domain mustika-ratu.com) .......................................................... 42

    C.2. Perbandingan dengan Kasus-Kasus Nama Domain yang ditangani

    WIPO Arbitration and Mediation Center ...................... 51

    C.2.1. WIPO Domain Name Case No. D2003-0949 ...... 51

    C.2.2. WIPO Domain Name Case No. D2004-0299 ...... 54

    C.2.3.Kaidah yang digunakan WIPO Arbitration and Mediation Center .................................................................... 56

    BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM ATAS MEREK DARI PELANGGARAN PENDAFTARAN NAMA DOMAIN DENGAN MENGGUNAKAN MEREK SECARA TIDAK BERHAK

    A. Aplikabilitas UU Merek dalam Kasus-Kasus Pelanggaran

    Pendaftaran Nama Domain dengan menggunakan Merek secara Tidak Berhak ......................................................................... 59

    B. Perlindungan Hukum atas Merek dari Pelanggaran Pendaftaran Nama

    Domain dengan menggunakan Merek secara Tidak Berhak.. 75

    BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

    A. Kesimpulan ............................................................................ 81

    B. Saran ...................................................................................... 82

    DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 84

    LAMPIRAN

  • iii

    DAFTAR TABEL

    Tabel 1. Perbedaan Merek dan Nama Domain ............................................ 34

    Tabel 2. Top Level Domain (TLD) ................................................................ 36

  • iv

    DAFTAR PERATURAN DAN KASUS

    A. DAFTAR PERATURAN

    1. Undang-Undang Dasar 1945

    2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

    3. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

    4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

    5. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek

    6. Agreement of Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights

    7. Uniform Domain Name Dispute Resolution Policy

    B. DAFTAR KASUS

    1. Kasus nama domain mustika-ratu.com. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 1075/Pid.B/2001/P.N.JKT.PUS, tanggal 11 Desember 2001 dan Putusan Mahkamah Agung R.I Register No. 1082 K/PID/2002, tanggal 24 Januari 2003.

    2. Kasus nama domain balidiscovery.org (WIPO Domain Name Case No. D2003-

    0949). WIPO Arbitration and Mediation Center, ADMINISTRATIVE PANEL DECISION Case No. D2003-0949, January 20, 2004.

    3. Kasus nama domain balidiscovery.org dan balidiscoverytours.com (WIPO

    Domain Name Case No. D2004-0299). WIPO Arbitration and Mediation Center, ADMINISTRATIVE PANEL DECISION Case No. D2004-0299, June 17, 2004.

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Alasan Pemilihan Judul

    Pemanfaatan internet untuk aktifitas bisnis dan dagang menawarkan harapan-

    harapan prospektif bagi para pelaku usaha. Akan tetapi, terkait dengan prospektifitas

    yang ditawarkan, di satu sisi, memicu berbagai pelanggaran pemanfaatan internet,

    yang tidak secara langsung dapat diatur dengan hukum positif.

    Pendaftaran nama domain dengan menggunakan merek secara tidak berhak

    adalah salah satu bentuk pelanggaran pemanfaatan internet. Dalam tataran yuridis,

    praktik ini memancing diskursus terkait dengan bagaimana hukum Indonesia

    memberikan perlindungan atas merek yang digunakan sebagai nama domain, dan

    menyediakan sarana penyelesaian kasus pelanggaran pendaftaran nama domain

    dengan menggunakan merek secara tidak berhak.

    Beranjak dari uraian di atas, yang menunjuk pada persoalan yang dihadapi hukum

    positif untuk mengatur pelanggaran pemanfaatan internet, dan diskursus terkait

    dengan pendaftaran nama domain dengan menggunakan merek dalam praktik hukum

    Indonesia. Mendorong penulis untuk mengkaji isu-isu tersebut dalam penelitian

    hukum dengan judul: PELANGGARAN PENDAFTARAN NAMA DOMAIN

    INTERNET DENGAN MENGGUNAKAN MEREK SECARA TIDAK BERHAK

    DALAM PRAKTIK HUKUM INDONESIA.

  • 2

    B. Latar Belakang Masalah

    Ketika suatu nama domain didaftar dengan menggunakan suatu merek, maka

    fungsi merek sebagai pengidentifikasi produk barang dan/atau jasa yang digunakan

    dalam kegiatan perdagangan seakan berpindah pada nama domain1. Jika pendaftaran

    nama domain dengan menggunakan merek dilakukan di luar sepengetahuan pemilik

    merek sah, dan dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan secara tidak

    etis atas manfaat yang melekat pada merek yang direfleksikan oleh nama domain

    tersebut, jelas praktik semacam ini adalah suatu tindak pelanggaran pendaftaran nama

    domain dengan menggunakan merek secara tidak berhak2.

    Melalui uraian di atas, tampak bahwa diskursus yang dihadapi hukum Indonesia

    terkait dengan praktik pendaftaran nama domain dengan menggunakan merek sangat

    beralasan. Sebab, walaupun suatu nama domain dapat didaftar dengan menggunakan

    suatu merek, pada dasarnya merek dan nama domain berada dalam fungsi dan

    pengakuan atas eksistensi yang berbeda. Di samping itu, UU Merek tidak secara jelas

    mengatur tentang pelanggaran merek sebagai akibat dari pendaftaran nama domain

    dengan menggunakan merek secara tidak berhak, dan sampai saat ini, belum ada

    1 Pada dasarnya, nama domain adalah suatu deretan angka untuk menunjukkan alamat dari suatu komputer, dan digunakan untuk berkomunikasi dengan komputer-komputer lain yang saling terhubung dalam jaringan internet. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek (selanjutnya disebut dengan UU Merek) yang dimaksud merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa (Pasal 1 angka 1 UU Merek). 2 Praktik pelanggaran pendaftaran nama domain semacam ini biasanya disebut dengan cybersquatting. Lihat: Sih Yuliana Wahyuningtyas, Diskursus tentang Merek dan Domain Name: Batasan Ruang Lingkup dan Aturan Main yang Berlaku di Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 24 No. 1, 2005, hal. 69.

  • 3

    aturan hukum yang khusus mengatur praktik pendaftaran nama domain dengan

    menggunakan merek di Indonesia. Akan tetapi, perlu ditekankan di sini, tidak ada

    ketentuan jelas dalam UU Merek, dan belum ada peraturan yang secara khusus

    mengatur praktik pendaftaran nama domain dengan menggunakan merek di

    Indonesia, sama sekali tidak mengurangi hak pemilik sah atas suatu merek yang

    dilanggar sebagai akibat dari pendaftaran nama domain secara tidak berhak, untuk

    mendapatkan perlindungan hukum atas mereknya tersebut.

    Suatu aturan hukum yang telah dirumuskan memang tidak dapat mencakup

    seluruh hal-hal yang berkembang seiring dengan kemajuan jaman. Dalam praktik

    hukum, sudah merupakan tugas seorang hakim untuk berusaha menemukan arti dari

    undang-undang, dan berusaha menangkap gagasan-gagasan yang diungkapkan

    melalui kata-kata dalam undang-undang untuk ditetapkan bagi suatu kasus3. Usaha

    yang dilakukan hakim untuk menemukan arti dan menangkap gagasan dari suatu

    undang-undang biasanya disebut sebagai metode penemuan hukum dengan

    melakukan interpretasi. Di dalam literatur, interpretasi digolongkan menjadi4:

    a) Interpretasi berdasarkan kata-kata yang digunakan dalam undang-undang. Interpretasi semacam ini dikenal juga dengan interpretasi harfiah/literal (plain meaning), yang beranjak dari makna kata-kata yang tertuang dalam undang-undang. Interpretasi menurut kata-kata dalam undang-undang akan dapat dilakukan apabila kata-kata yang digunakan dalam undang-undang itu singkat, tajam, akurat mengenai apa yang dimaksud, dan tidak mengandung sesuatu yang bersifat dubious (makna ganda). Akan tetapi, tidak semua undang-undang mengandung kata-kata yang singkat, tajam, akurat dan tidak bermakna ganda,

    3 Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hal. 47. 4 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2006, hal. 106-115.

  • 4

    untuk memperoleh makna dari ketentuan undang-undang tersebut, dalam hal demikian dilakukan interpretasi sistematis;

    b) Interpretasi sistematis. Menurut P.W.C. Akkerman interpretasi sistematis adalah interpretasi dengan melihat kepada hubungan di antara aturan dalam suatu undang-undang yang saling bergantung dan asas-asas yang melandasinya. Landasan pemikiran interpretasi sistematis menekankan suatu prinsip bahwa undang-undang merupakan suatu kesatuan, dan tidak satu pun ketentuan dalam undang-undang merupakan aturan yang berdiri sendiri.

    c) Interpretasi historis. Dalam interpretasi historis, makna undang-undang ditelusuri dari segi lahirnya undang-undang tersebut.

    d) Interpretasi teleologis. Di dalam interpretasi ini, yang perlu ditelaah yaitu pemikiran yang melandasi adanya suatu undang-undang, dan penjelasan yang rasional untuk apa dibuat suatu undang-undang.

    Ada kemungkinan interpretasi tidak memberikan jawaban yang konkrit atas apa

    yang dicari, dalam kondisi semacam ini, dapat digunakan konstruksi hukum yang

    terdiri dari:

    a) Analogi. Berasal dari kata analog (Inggris) yang berarti persamaan dan kias. Menurut Scholten, analogi ialah metode penemuan hukum dengan memberikan kias pada kata-kata dalam suatu peraturan sesuai asas hukumnya, sehingga suatu peristiwa yang sebenarnya tidak diatur dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut. Dalam analogi, suatu peraturan ditetapkan atas suatu kasus yang menurut bunyi dan maksudnya (setelah ditafsirkan) tidak diatur dalam peraturan tersebut, akan tetapi kasus ini mirip dengan peristiwa yang diatur dalam peraturan itu5.

    b) Argumentum a contrario. Suatu metode penemuan hukum yang didasarkan pada perlawanan pengertian (pengingkaran) yang merupakan kebalikan dari Analogi. Perbedaan antara analogi dan argumentum a contrario tidak terletak pada metode yang digunakan, melainkan terletak dalam penilaian hukum yang memberikan alasan apakah suatu peraturan dapat diterapkan pada suatu peristiwa atau tidak6.

    c) Penyempitan hukum (rechtsvervijning). Penyempitan hukum adalah pasangan dari analogi. Dalam penyempitan hukum, suatu penerapan peraturan untuk suatu peristiwa yang tidak terdapat dalam peraturan tersebut dibatasi oleh pengecualian-pengecualian tertentu (pembatasan peraturan)7.

    5 C. Asser, Penuntun dalam Mempelajari Hukum Perdata Belanda: Bagian Umum, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1993, hal. 83-84. 6 Ibid, hal. 95-96. 7 Ibid, hal. 84-85.

  • 5

    C. Rumusan Masalah

    Berdasarkan deskripsi latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya,

    dapat dikemukakan masalah-masalah yang akan dijawab melalui penelitian ini yaitu:

    1. Apakah UU Merek aplikabel untuk kasus-kasus pelanggaran pendaftaran nama

    domain dengan menggunakan merek secara tidak berhak ?

    2. Apakah hukum memberikan perlindungan bagi pemilik merek yang mereknya

    digunakan sebagai nama domain oleh pihak tidak berhak ?

    D. Tujuan Penelitian

    1. Mengetahui konstruksi hukum seperti apa yang diterapkan dalam kasus-kasus

    pelanggaran pendaftaran nama domain dengan menggunakan merek secara tidak

    berhak.

    2. Menemukan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum untuk digunakan sebagai sumber

    dan/atau dasar perlindungan terhadap suatu merek yang digunakan sebagai nama

    domain.

    E. Metode Penelitian

    1. Metode Pendekatan

    Untuk menjawab masalah-masalah penelitian sebagaimana dirumuskan di atas,

    maka penulis melakukan penelitian hukum (legal research). Pendekatan yang

    digunakan dalam penelitian ini adalah8:

    8 Marzuki, op.cit., hal. 93-95.

  • 6

    a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach) dengan melakukan telaah

    atas undang-undang, dan regulasi yang memiliki relevansi dengan isu hukum

    yang sedang dihadapi.

    b. Pendekatan kasus (case approach) dengan melakukan telaah terhadap kasus-

    kasus yang memiliki relevansi dengan isu hukum yang sedang dihadapi, dan telah

    menghasilkan putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

    2. Sumber penelitian9

    a. Bahan hukum primer (primary legal materials) yang berupa bahan-bahan hukum

    bersifat mengikat (authoritative). Dalam penelitian ini, bahan hukum primer yang

    digunakan yaitu peraturan perundang-undangan, putusan-putusan pengadilan, dan

    putusan-putusan kasus yang ditangani badan penyelesaian sengketa seperti WIPO

    Arbitration and Mediation Center yang terkait dengan penelitian ini.

    b. Penelitian ini juga menggunakan bahan hukum sekunder (secondary legal

    materials), sebagai bahan-bahan hukum untuk memberikan penjelasan mengenai

    bahan-bahan hukum primer, terdiri dari buku teks, kamus, dan publikasi-publikasi

    tentang hukum dalam bentuk jurnal dan makalah.

    F. Unit Amatan dan Unit Analisa

    1. Unit amatan

    Unit amatan dalam penelitian ini yaitu UU Merek, Kitab Undang-Undang Hukum

    Perdata, dan kasus-kasus pelanggaran pendaftaran nama domain yang pernah

    ditangani pengadilan Indonesia, dan WIPO Arbitration and Mediation Center. Di 9 Ibid, hal. 141-144.

  • 7

    mana putusan dari kasus-kasus pelanggaran pendaftaran nama domain yang ditangani

    WIPO Arbitration and Mediation Center akan dijadikan bahan perbandingan dalam

    rangka menetapkan asas/kaidah hukumnya.

    2. Unit analisa

    Unit analisa dalam penelitian ini meliputi asas-asas/kaidah-kaidah hukum, dan

    bentuk perlindungan terhadap suatu merek yang digunakan sebagai nama domain,

    serta konstruksi hukum yang digunakan dalam kasus-kasus pelanggaran pendaftaran

    nama domain, yang pernah ditangani pengadilan Indonesia dan WIPO Arbitration

    and Mediation Center.

  • 8

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA:

    Perlindungan Hukum atas Merek menurut Sistem Hukum Benda Indonesia

    Bab ini berisi hal-hal yang dianggap relevan oleh penulis dalam proses

    membangun suatu argumentasi hukum mengenai konsep perlindungan hukum atas

    merek menurut sistem hukum benda di Indonesia. Dalam argumentasi hukum yang

    akan dijelaskan dalam bab ini, dengan menggunakan asas-asas hukum yang dikenal

    dalam ilmu hukum, merek akan dikonstruksikan sebagai suatu benda, sehingga dapat

    dikonsepsikan sebagai obyek hak milik. Dengan demikian, asas-asas hukum

    fundamental mengenai kepemilikan atas suatu benda, dengan landasan prinsip-prinsip

    keadilan dan moralitas, akan diproyeksikan sebagai kaidah-kaidah perlindungan atas

    merek, di mana pengaturannya terdapat di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,

    yang dalam argumentasi hukum ini ditempatkan sebagai aturan hukum yang lebih

    umum dari UU Merek.

    A. Konsep Hak Milik

    A.1. Pengertian Hak Milik

    Secara etimologis, hak milik merupakan terjemahan langsung dari istilah property

    right (Inggris) dan dikenal juga dengan istilah eigendomsrecht (Belanda). Dalam

    Blacks Law Dictionary, property right diartikan sebagai the right of ownership10:

    10 Bryan Garner, Blacks Law Dictionary 7th Edition, West Group, St. Paul Minnesota, 1999, hal. 1323.

  • 9

    The collection of rights allowing one to use and enjoy property, including the right to convey it to others. (kumpulan hak-hak yang memperbolehkan seseorang untuk memakai dan menikmati benda miliknya, termasuk hak untuk menyerahkan hak-hak tersebut kepada pihak lain). Dalam Ensiklopedia Britannica, property right dikonsepsikan sebagai suatu

    obyek hukum yang menunjuk pada kompleksitas hubungan-hubungan hukum antara

    dua orang atau lebih terhadap benda milik11:

    An object of legal rights, which embraces possessions or wealth collectively, frequently with strong connotations of individual ownership. In law the term refers to the complex of jural relationships between and among persons with respect to things. (suatu obyek hukum, yang mencakup kepemilikan barang atau kekayaan kolektif, sering dikonotasikan sebagai kepemilikan secara individu. Dalam hukum, istilah ini menunjuk pada kompleksitas hubungan-hubungan hukum antara dua orang atau lebih terhadap benda milik).

    Melalui kedua pengertian hak milik secara etimologis di atas, tampak bahwa yang

    dimaksud dengan hak milik adalah sekumpulan hak untuk menikmati, menggunakan,

    dan untuk memperbolehkan seseorang mengalihkan hak tersebut kepada orang lain.

    Di mana yang menjadi obyek dari hak tersebut adalah benda milik, yaitu benda yang

    menjadi sasaran kepemilikan.

    Berikut adalah pendapat-pendapat mengenai hak milik menurut para ahli:

    a) Roscoe Pound: Hak milik adalah salah satu konsepsi hukum murni yang berasal dari dalam hukum dan bergantung pada hukum. Setiap pemilikan (possessions) adalah suatu pemunyaan secara yuridis (suatu konsepsi baik mengenai fakta maupun hukum) yang memperlihatkan bahwa hukum melindungi hubungan-hubungan dari suatu benda yang dipunyai oleh seseorang12.

    b) Purnadi Purbacaraka: Hak milik ialah peranan bagi seseorang atau suatu pihak (pemegangnya) untuk bertindak atas sesuatu yang menjadi obyek dari haknya itu terhadap orang lain, atau peranan seseorang atau suatu pihak untuk memiliki

    11 "Property" from Encyclopdia Britannica 2007 Ultimate Reference Suite, Encyclopdia Britannica, Chicago, 2007. 12 Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, Bhrata Karya Aksara, Jakarta, 1982, hal. 136.

  • 10

    sesuatu, dan bertindak atas sesuatu yang menjadi miliknya itu. Dan yang dapat menjadi obyek dari hak milik itu berupa segala macam benda yang diperlukannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya13.

    Pendapat mengenai hak milik menurut Pound dan Purbacaraka menunjukkan

    hakikat yang lebih konkrit dari hak milik, yaitu sebagai suatu obyek hukum yang

    menunjuk pada pengakuan sah menurut hukum bagi kepemilikan seseorang atas suatu

    benda untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan demikian, hukum menjalankan

    fungsi untuk melindungi hak milik seseorang, dengan mewajibkan setiap orang untuk

    saling menghormati hak milik satu dengan yang lain, agar supaya tidak melanggar

    apa yang ditentukan oleh hukum.

    A.2. Fungsi Hak Milik

    Pound berpendapat bahwa fungsi hak milik memiliki keterkaitan erat dengan

    aspek perekonomian dalam masyarakat. Dalam kerangka pemikiran Pound ini,

    urgensi dari status kepemilikan seseorang dalam suatu kondisi masyarakat yang

    menerapkan sistem perdagangan, didasari oleh tuntutan-tuntutan individu agar supaya

    ada suatu jaminan hukum dalam:

    a) Menguasai harta benda dan kekayaan alam untuk mencukupi kebutuhan hidup. b) Kebebasan berkontrak dan perlindungan atas hasil kerja tiap-tiap individu sebagai

    harta kekayaannya. c) Keuntungan-keuntungan yang memiliki nilai ekonomis dari hasil kerjanya untuk

    menjadi alat tukar dan saluran kegiatan perdagangan. d) Jaminan perlindungan terhadap campur tangan orang lain yang mengganggu

    hubungan perekonomian yang menguntungkan dengan orang lain, baik dalam bidang kontrak, perdagangan, maupun dalam hubungan rumah-tangga.

    13 Purnadi Purbacaraka, Hak Milik Keadilan dan Kemakmuran Tinjauan Falsafah Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hal. 10-14.

  • 11

    Tuntutan-tuntutan tersebut dianggap penting, karena setiap individu dalam

    masyarakat beranggapan, mereka boleh menguasai barang-barang yang telah mereka

    ciptakan dan temukan untuk penggunaan pribadi, baik melalui kerja secara jasmaniah

    maupun melalui hasil karya intelektualnya untuk tujuan yang menguntungkan. Di

    mana semua barang-barang tersebut adalah harta kekayaan individu untuk mencukupi

    kehidupan masing-masing, dalam suatu sistem perekonomian yang menjalankan

    metode penukaran, pembelian, pemberian dan pewarisan14.

    Menurut Macpherson, fungsi hak milik seperti yang dijelaskan Pound di atas

    merupakan fungsi hak milik yang menunjuk pada pandangan mengenai hak milik

    sebagai hak ekslusif15:

    Pendapat mengenai hak milik sebagai hak ekslusif didasari dengan dalil bahwa milik dalam bentuk benda itu berasal dari milik dalam bentuk kerja seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, di mana dalil ini diperlukan bilamana, dan karena orang itu harus menampilkan moralitas untuk meletakkan setiap orang pada tempatnya sendiri dalam suatu masyarakat pasar untuk membiarkan pembagian penghasilan dan kekayaan (keuntungan) dilakukan oleh pasar, bukannya oleh suatu kekuasaan politik. Dengan syarat, milik yang demikian tersebut harus di buat menjadi suatu milik yang dapat dipindah-tangankan; hak terhadap manfaat jerih payah secara ekslusif harus di buat menjadi sesuatu yang dapat di jual. Dari kutipan mengenai pandangan hak milik sebagai hak ekslusif tersebut,

    Macpherson berdalil, fungsionalitas hak milik menunjuk pada suatu ekslusifitas atas

    suatu kepemilikan, di mana jerih payah seseorang menjadi alasan pembenar atas

    14 Pound, op.cit., hal. 117-119. 15 C.B Macpherson, Pemikiran Dasar Tentang Hak Milik, Yayasan LBH Jakarta, Jakarta, 1989, hal. 237-238.

  • 12

    suatu perolehan benda milik oleh seseorang. Macpherson juga menekankan bahwa

    dalil hak milik sebagai hak ekslusif ini harus memenuhi syarat-syarat:

    a) Kepemilikan berasal dari bentuk kerja seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

    b) Adanya unsur moralitas atas kepemilikan tersebut untuk menempatkan setiap orang pada tempatnya sendiri dalam suatu sistem perdagangan.

    c) Bertujuan untuk membiarkan pembagian keuntungan dilakukan oleh sistem perdagangan tersebut; dengan syarat,

    d) Benda milik itu harus dibuat menjadi sesuatu yang dapat diperjual-belikan. Melalui dalil hak milik sebagai hak ekslusif, Macpherson menunjukkan adanya

    suatu persamaan dari hak milik sebagai hak ekslusif dalam bentuk benda milik

    sebagai hasil kerja seseorang, dengan hak merek sebagai hak ekslusif, yang diperoleh

    melalui hasil kreatifitas seseorang, untuk membedakan produk barang dan/atau jasa

    yang digunakan dalam kegiatan perdagangan.

    A.3. Pemikiran tentang Konsep Hak Milik

    Pemikiran tentang konsep hak milik banyak ditemukan melalui teori-teori tentang

    hak milik dari para ahli dalam aliran pemikiran atau mazhab hukum kodrat16. Yang

    dimaksud dengan hukum kodrat ialah17:

    Seperangkat hukum yang ideal atau sempurna yang mengungkapkan perintah alam atau kecenderungan yang disarankan dan dikehendaki oleh alam bagi seluruh isi alam. Perintah ini terutama berisikan serangkaian aturan keadilan, atau bahkan moralitas pada umumnya yang diketahui oleh semua manusia dengan bantuan akal budi atau perasaan moralnya. Sebagai perintah alam, hukum ini mengungkapkan prinsip-prinsip etis yang alamiah bagi manusia, dan dengan

    16 Selain istilah hukum kodrat yang digunakan penulis dalam penelitian ini, aliran/mazhab ini juga sering disebut dengan hukum alam. Selain itu, menurut Franz Magnis Suseno, hukum kodrat adalah lex naturalis dalam arti formil yang merupakan tata kelakuan semua makhluk sesuai dengan kodrat masing-masing. Bagi makhluk yang tidak berakal budi, hukum kodrat identik dengan hukum alam. Sedangkan bagi makhluk rasional, hukum kodrat identik dengan hukum moral. Lihat: Franz Magnis-Suseno, Etika Politik, Gramedia, Jakarta, 1987, hal. 87-88. 17 Sonny Keraf, Hukum Kodrat dan Teori Hak Milik, Kanisius, Yogyakarta, 1997, hal. 10.

  • 13

    sendirinya bersumber dari hakikat manusia. Dengan demikian, hukum kodrat mempunyai kewenangan yang jauh lebih tinggi daripada, dan mendahului kewenangan hukum positif serta kekuasaan sipil. Teori tentang hak milik dalam aliran pemikiran atau mazhab hukum kodrat pada

    intinya berisi hal-hal yang menjelaskan18:

    a) Hakikat dari kepemilikan. b) Dasar moral dari hak milik pribadi, sehingga hak milik pribadi merupakan hak

    yang sah dan tidak boleh dilanggar orang lain; dan, c) Mengapa keadilan perlu menjamin hak milik pribadi, dengan melarang setiap

    orang untuk tidak saling melanggar hak satu sama lain.

    Hal-hal tersebut dapat ditemukan melalui beberapa teori mengenai hak milik pribadi,

    diantaranya adalah aturan-aturan keadilan menurut Grotius, dan teori dari Locke yang

    dikenal dengan Lockean Proviso.

    A.3.1. Hugo Grotius: Aturan-Aturan Keadilan

    Menurut Grotius, di atas otoritas sosial negara sudah ada hukum yang benar yaitu

    hukum kodrat. Hukum kodrat yang dimaksud Grotius disebutnya sebagai hukum

    yang dapat ditemukan melalui refleksi atas kodrat manusia. Dalam konsepsi hukum

    kodrat menurut Grotius, manusia dipandang sebagai ukuran dari semua hal, dan

    semua aturan serta inspirasi kehendak disimpulkan dari kodrat manusia sebagai

    makhluk rasional19.

    Hukum yang dapat ditemukan melalui refleksi kodrat manusia menurut Grotius

    merupakan prinsip-prinsip obyektif yang menjadi dasar seluruh sistem hukum alam,

    18 Ibid, hal. 53. 19 Eugenius Sumaryono, Etika dan Hukum: Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas, Kanisius, Yogyakarta, 2002, hal. 97.

  • 14

    dan hak-hak subyektif dalam diri manusia yang disebut hak-hak alam20. Prinsip-

    prinsip obyektif dan hak-hak alam tersebut dirumuskan Grotius sebagai aturan-aturan

    keadilan yang berbunyi21:

    Pertama, setiap orang harus membela hidupnya, dan menentang hal yang cenderung merugikan. Kedua, setiap orang diperkenankan memperoleh untuk dirinya, dan untuk menguasai hal-hal yang berguna bagi hidupnya. Ketiga dan keempat, jangan biarkan siapapun mengambil milik yang telah menjadi milik orang lain. Dalam aturan keadilan kelima dan keenam, Grotius mengemukakan tentang apa yang disebut sebagai hukum pembalasan dan ganti rugi. Sedangkan aturan keadilan yang ketujuh dan kedelapan berisi mengenai kewajiban setiap orang untuk melindungi sesama warga lainnya, dan ikut menyumbangkan hal yang niscaya bagi orang lain serta bagi seluruh warga.

    Melalui aturan-aturan keadilan, Grotius menunjukkan bahwa keadilan

    sesungguhnya terletak dalam sikap menahan diri agar sampai tidak melanggar

    kebebasan seseorang (suum), dan barang pribadi orang lain seperti yang ditetapkan

    dalam aturan-aturan keadilan ketiga dan keempat. Dengan kata lain, tidak adil jika

    seseorang mengambil barang milik orang lain secara tidak sah. Grotius juga

    menunjukkan bahwa aturan-aturan keadilan menentukan hak setiap individu. Setiap

    orang pantas menuntut dan mengklaim hak-hak ini, bahkan memaksa orang lain

    untuk menghargainya. Dengan demikian, ketika seseorang melanggar hak milik orang

    lain, maka berlaku hukum pembalasan dan ganti rugi sesuai dengan yang ditentukan

    dalam aturan-aturan keadilan kelima dan keenam22.

    Di samping itu, menurut aturan-aturan keadilan ketiga dan keempat, tampak

    bahwa hak milik pribadi bagi Grotius juga dianggap sebagai hak ekslusif. Dalam

    20 Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, 1982, hal. 60-61. 21 Keraf, op.cit., hal. 27. 22 Ibid, hal. 61-62.

  • 15

    konsepsi hak milik pribadi sebagai hak ekslusif menurut Grotius, pemilik barang

    mempunyai kekuasaan untuk mempertahankan, dan menggunakan barang tersebut

    secara ekslusif, dengan tidak memberi kemungkinan bagi orang lain untuk menuntut

    hak yang sama atas barang tersebut.

    A.3.2. John Locke: Lockean Proviso

    Lockean Proviso menjawab persoalan mengenai pengakuan sah atas milik

    seseorang, mencegah setiap orang akan saling melanggar milik satu dengan yang lain,

    dan secara khusus mengantisipasi setiap orang akan mengambil dari alam sebanyak

    mungkin, dengan mengabaikan hak orang lain disekitarnya23:

    Tanpa perlu adanya suatu persetujuan khusus antara semua orang, siapa saja boleh mengambil dari alam atau milik umum sebanyak ia bisa gunakan demi kemaslahatan hidupnya sebelum kadaluarsa dan sejauh akan ada sisa yang cukup dan sama baiknya yang ditinggalkan orang lain., karena manusia mempunyai hak atas semua yang dapat ia kerjakan, ia tidak terdorong untuk mengerjakan lebih dari yang dapat ia gunakan. Lebih daripada itu, kalau seseorang memperoleh lebih dari yang dapat ia gunakan, ia dianggap melanggar hukum kodrat dan karena itu pantas dihukum.

    Secara kontekstual, pada situasi perkembangan yang membawa masyarakat dalam

    suatu sistem perekonomian disertai berkembangnya sistem kapitalis, Lockean Proviso

    harus dimuat dalam hukum positif, sehingga dapat menentukan bagaimana seseorang

    itu boleh, secara tepat, dan tanpa merugikan orang lain, memiliki barang lebih dari

    yang dipakainya tanpa menjadi kadaluarsa.

    Hal penting dari teori Locke mengenai hak milik pribadi terdapat dalam

    penekanannya atas pentingnya kerja. Locke tidak hanya menganggap kerja 23 John Locke, The Second Treatise on Civil Government, Prometheus Books, New York, 1986. Lihat: Ibid, hal. 75.

  • 16

    merupakan dasar bagi hak kepemilikan secara pribadi atas barang milik, akan tetapi,

    menganggap kerja merupakan pemicu bagi kemajuan seseorang untuk menghadapi

    era industrialisasi.

    Dengan demikian, melalui Lockean Proviso, Locke memberikan dimensi baru

    dalam teori mengenai hak milik pribadi, dengan menekankan bahwa kerja yang

    memberikan nilai moral dan ekonomis atas barang milik pribadi. Dengan dasar nilai

    moral dan kepentingan ekonomis tersebut, seseorang tidak boleh melanggar, atau

    mengganggu hak milik orang lain.

    A.4. Perlindungan Hak Milik dalam Hukum Positif Indonesia

    Pada sub-bab sebelumnya, telah diuraikan mengenai prinsip-prinsip moralitas dan

    keadilan dalam diri manusia, yang melandasi konsepsi hak milik pribadi sebagai hak

    yang tidak boleh dilanggar, atau diganggu oleh orang lain. Adapun hukum positif

    berfungsi untuk melindungi, dan memberi efek terhadap hak tersebut24.

    A.4.1. Dalam Konstitusi Negara

    Konstitusi Negara Republik Indonesia yang tertuang dalam Undang-Undang

    Dasar 1945 (selanjutnya disebut dengan UUD 1945) dengan beberapa

    amandemennya, mengatur tentang perlindungan atas hak-hak dari setiap warga

    negara, termasuk didalamnya perlindungan atas hak milik dalam:

    Pasal 28 huruf G ayat (1) UUD 1945:

    Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan

    24 Pound, op.cit., hal. 42.

  • 17

    perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

    Pasal 28 huruf H ayat (4) UUD 1945:

    Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun. Kedua pasal ini menunjukkan adanya suatu pengakuan, penghormatan, dan

    perlindungan bagi hak milik pribadi seseorang yang berupa harta benda, sebagai

    bagian dari pemenuhan kebutuhan dasarnya, dan dilingkupi oleh aspek perlindungan

    hak asasi manusia. Dengan demikian, hak milik adalah hak warga negara sebagai

    salah satu hak asasi, sehingga menimbulkan kewajiban hukum bagi negara untuk

    melindunginya, yang ditetapkan dalam Pasal 28 huruf I ayat (4) UUD 1945:

    Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.

    A.4.2. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

    Dalam Pasal 570 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut

    dengan KUH Perdata), yang dimaksud dengan hak milik yaitu:

    Hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bersalahan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak orang lain, kesemuanya itu dengan tak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu demi kepentingan umum berdasar atas ketentuan undang-undang dan dengan pembayaran ganti rugi.

    Menurut rumusan Pasal 570 KUH Perdata, yang dimaksud hak milik adalah hak

    untuk menikmati kegunaan suatu benda dengan leluasa, dan berbuat bebas terhadap

    benda tersebut dengan kedaulatan sepenuhnya. Dalam rangka pelaksanaan hak milik,

  • 18

    hukum memberikan perlindungan kepada pemegang hak milik, berupa gugat

    kebendaan atas suatu ketidak-nyamanan dalam menikmati hak milik. Adapun gugat

    kebendaan tersebut terdiri dari penuntutan kembali benda milik, gugatan untuk

    menghilangkan gangguan-gangguan atas benda milik, gugatan untuk pemulihan

    dalam keadaan semula, dan gugatan untuk penggantian kerugian25.

    Walaupun pemegang hak milik telah diberikan kekuasaan mutlak dalam rangka

    pelaksanaan haknya, akan tetapi, pelaksanaan hak milik juga memiliki beberapa

    pembatasan yaitu26:

    a) Tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Undang-undang yang dimaksud yaitu segala peraturan yang dibuat oleh badan legislatif, dan peraturan umum yang dibuat oleh pihak yang berwenang.

    b) Tidak boleh mengganggu hak-hak orang lain. Undang-undang memberikan batasan bahwa dalam menggunakan hak miliknya, seseorang dilarang untuk melanggar/mengganggu hak orang lain. Jika orang mengganggu hak-hak orang lain atau melakukan perbuatan yang merugikan orang lain, maka orang tersebut dapat dikenakan tuntutan ganti rugi berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata tentang perbuatan melanggar hukum melalui mekanisme gugat kebendaan.

    Penggunaan hak milik yang dapat menimbulkan gangguan pada orang lain

    dibedakan menjadi dua yaitu:

    a) Gangguan yang menimbulkan kerugian materiil, dikenal dengan pengrusakan. b) Gangguan yang menimbulkan kerugian imateriil, dimana adanya pengurangan

    keleluasaan seseorang dalam menggunakan hak miliknya. Untuk menentukan bagaimana penggunaan suatu hak milik dapat dikategorikan sebagai suatu perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian imateriil, harus memenuhi unsur-unsur diantaranya; perbuatan itu melanggar hukum, dan perbuatan tersebut bersifat mengganggu, atau mengurangi penikmatan hak atas milik seseorang.

    25 Sri Soedewi Sofwan, Hukum Perdata: Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta, 1981, hal. 12. 26 Ch. Tri Budhayati, Hukum Perdata (Bahan Bantu), Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 2002, hal. 11-12.

  • 19

    Beberapa argumentasi hukum untuk menjelaskan secara konkrit bagaimana suatu

    perbuatan dikategorikan sebagai penyalahgunaan hak, antara lain, suatu jurisprudensi

    yang menyatakan bahwa untuk adanya penyalahgunaan hak, harus memenuhi

    persyaratan bahwa perbuatan yang dilakukan tidak masuk akal. Artinya, tidak ada

    kepentingan yang pantas, dan tujuan melakukan perbuatan tersebut sebenarnya hanya

    untuk merugikan orang lain. Sedangkan menurut Pitlo, untuk adanya penyalahgunaan

    hak, tidak perlu perbuatan itu tidak pantas dan merugikan orang lain. Jika ada suatu

    perbuatan yang masuk akal (pantas) dan tidak merugikan orang lain, akan tetapi,

    manfaat yang diterima oleh si pembuat tidak sebanding dengan kerugian yang

    diderita pihak lain, maka perbuatan yang dilakukan tersebut termasuk

    penyalahgunaan hak27.

    A.5. Kaidah-Kaidah Perlindungan Hak Milik

    Berdasarkan uraian-uraian dalam sub-bab A tentang konsep hak milik, adapun

    asas-asas hukum yang mendasari mengapa milik seseorang harus dilindungi, terdiri

    dari asas honeste vivere (hidup secara jujur), alterum non-laedere (jangan merugikan

    orang lain), dan suum cuique tribuere (berikanlah pada setiap orang apa yang menjadi

    haknya)28.

    Dengan demikian, asas-asas tersebut dapat menunjukkan kaidah-kaidah mengenai

    perlindungan hak milik diantaranya:

    27 Ibid, hal. 13. 28 Asas-asas hukum ini oleh Theo Huijbers diartikan sebagai prinsip-prinsip dasar (fundamen) hukum, nilai-nilai yang menjadi titik tolak berpikir tentang hukum, serta sebagai sarana pembentukan, dan interpretasi atas sebuah undang-undang. Lihat: Sumaryono, op.cit., hal. 220.

  • 20

    a) Dengan adanya pengakuan hak milik dan pemanfaatan atas milik seseorang untuk

    memenuhi tujuan hidupnya, menimbulkan konsekuensi bagi pihak lain untuk

    menghormati hak tersebut, sebagai suatu kewajiban yang didasari dengan akal

    budinya sebagai makhluk rasional.

    b) Sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup makhluk rasional yang

    memiliki akal budi, asas-asas hukum yaitu honeste vivere, alterum non-laedere,

    dan suum quique tribuere merupakan prinsip yang digunakan seseorang untuk

    menghormati hak milik orang lain, dan digunakan hukum sebagai prinsip untuk

    memberikan perlindungan terhadap gangguan-gangguan dari pihak lain, terkait

    dengan kepentingan seseorang atas benda milik.

    c) Pelaksanaan hak milik mewajibkan pemilik untuk melaksanakan haknya sesuai

    dengan peraturan umum yang dibuat pihak yang berwenang (negara). Dengan

    demikian, pelaksanaan hak yang bertentangan dengan peraturan dapat

    menyebabkan adanya peristiwa pencabutan hak milik atas dasar kepentingan

    umum.

    B. Konsep Merek

    B.1. Pengertian Merek

    Menurut Molengraaf, merek ialah dengan mana dipribadikanlah sebuah barang

    untuk menunjukkan asal dan jaminan kualitasnya, sehingga bisa dibandingkan

    dengan barang-barang sejenis yang dibuat, dan diperdagangkan oleh orang atau

  • 21

    perusahaan lain29. Secara etimologis, merek berasal dari istilah trade mark (Inggris)

    yang dalam Blacks Law Dictionary diartikan sebagai30:

    A word, phrase, logo, or other graphic symbol used by a manufacturer or seller to distiguish its product or products from those of others. (suatu kata, susunan kata, lambang atau gambar yang digunakan oleh pabrik atau penjual untuk membedakan produk mereka dengan produk lainnya). Sedangkan menurut Pasal 1 angka 1 UU Merek, merek ialah tanda yang berupa

    gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari

    unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda, dan digunakan dalam kegiatan

    perdagangan barang dan/atau jasa. Terdiri dari merek dagang, merek jasa, dan

    kombinasi antara keduanya (merek kolektif).

    B.2. Fungsi Merek

    Melihat dari pengertian merek dan obyek yang dilindunginya, merek digunakan

    untuk membedakan barang dan produksi satu perusahaan, dengan barang atau jasa

    produksi perusahaan lain yang sejenis. Dengan demikian, merek mempunyai fungsi

    untuk menghubungkan barang dan/jasa dengan produsennya, sehingga dapat

    menggambarkan jaminan kepribadian, dan reputasi barang dan/atau jasa tersebut

    sewaktu diperdagangkan31.

    Menurut Callman, fungsi merek terdiri dari tiga tingkatan fungsionalitas yang

    berbeda yaitu32:

    29 Muhammad Djumhana, Hak Milik Intelektual: Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal. 154. 30 Garner, op.cit., hal. 1500. 31 Djumhana, op.cit., hal. 160. 32 Rudolf Callman, The Law of Unfair Competition, Trademarks and Monopolies 4th Edition, 1998. Lihat: Garner, loc.cit.

  • 22

    a) As an indication of origin or ownership (sebagai suatu indikasi keaslian dan kepemilikan). Merek digunakan untuk membedakan barang atau produksi satu perusahaan dengan barang atau jasa produksi perusahaan lain yang sejenis.

    b) As a guarantee of constancy of the quality or other characteristics of a product or service (sebagai jaminan atas konsistensi mutu atau karakterisik lain dari suatu produk barang atau jasa). Merek merupakan tanda pengenal dari suatu produk barang atau jasa untuk menggambarkan jaminan nilai dan kualitas produk barang atau jasa tersebut. Hal ini tidak hanya berguna bagi produsen pemilik merek tersebut, tetapi juga memberikan perlindungan dan jaminan mutu barang kepada konsumen.

    c) As a medium of advertisement (sebagai sarana iklan). Merek berfungsi sebagai sarana promosi dan reklame bagi promosi bagi produsen-produsen atau pengusaha-pengusaha yang memperdagangkan barang atau jasa yang bersangkutan. Merek juga seringkali adalah satu-satunya cara untuk menciptakan dan mempertahankan good will (nama baik) di mata konsumen33.

    Bently & Sherman memperjelas tiga tingkatan fungsionalitas merek menurut

    Callman, melalui tinjauan tentang perkembangan eksistensi merek dalam sejarah

    perdagangan34:

    a) Proprietary marks/possessory marks (sebagai tanda pemilikan atas suatu barang). Sejarah perdagangan menunjukkan bahwa merek semula digunakan dalam praktek menandai ternak dengan tanda khusus, ataupun praktek penandaan barang yang akan dikirim melalui jalur transportasi laut, untuk memudahkan identifikasi ketika terjadi kecelakaan.

    b) Indicator of origins (sebagai penunjuk keaslian barang). Pada abad pertengahan di eropa, merek digunakan secara berbeda dalam struktur guild (organisasi perdagangan yang memiliki kendali untuk menentukan pihak-pihak yang boleh menghasilkan barang atau menyediakan jasa tertentu). Untuk dapat menjamin bahwa barang berada dalam mutu yang memuaskan, guild mensyaratkan para anggotanya untuk menerapkan identifying mark (merek pengenal) terhadap barang yang dihasilkannya, agar mampu mengidentifikasi sumber barang yang tidak memuaskan.

    c) Indicator of quality (sebagai penunjuk mutu barang). Dengan bertumbuhnya kegiatan perdagangan dan revolusi industri di Eropa, terlebih dengan pertumbuhan media massa dan masyarakat yang mengenal tulisan, pedagang mulai mengiklankan produk yang dihasilkannya dengan merujuk pada merek

    33 Djumhana, loc.cit. 34 Lionel Bently & Brad Sherman, Intellectual Property Law, Oxford University Press, Oxford, 2001, hal. 655-657.

  • 23

    produknya. Sebaliknya, para konsumen mulai mengandalkan merek sebagai indikasi yang benar mengenai sumber barang, dan menggunakan merek sebagai bantuan untuk memutuskan pembelian barang, dan lama kelamaan konsumen mulai menyadari bahwa merek menunjukkan pembuat barang dan mutu barang.

    d) Valuable assets (sebagai kekayaan berharga). Sekitar awal abad dua puluh, merek tidak hanya merupakan suatu tanda, akan tetapi telah membangkitkan perasaan dari konsumen. Hal ini disebabkan oleh karena meningkatnya kualitas industri periklanan, sehingga merek sudah lebih menjadi alat pemasaran dan berkurang sifatnya sebagai cara untuk mengidentifikasi produk. Dalam kondisi seperti ini, merek berubah sifatnya menjadi suatu simbol. Sebagai simbol, merek menerapkan berbagai bentuk makna karena telah digunakan untuk melekatkan atribut tertentu pada suatu barang. Itulah sebabnya menurut beberapa ahli, bahwa pada saat ini merek memiliki fungsi yang baru yaitu sebagai suatu simbol yang memiliki kaitan dengan the way of life (citra dan gaya hidup masyarakat modern).

    B.3. Perlindungan Hak Merek

    Setiap hak menurut hukum memiliki titelnya masing-masing, karena berindikasi

    pada suatu peristiwa tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak tersebut pada

    pemiliknya. Dalam bidang hukum hak kekayaan intelektual khususnya merek,

    peristiwa yang menjadi alasan melekatnya hak atas suatu merek adalah kegiatan-

    kegiatan berhubungan dengan kreatifitas seseorang, yang didasari kemampuan

    intelektual untuk diterapkan pada suatu produk. Penerapan merek atas suatu produk

    bertujuan untuk membedakan kualitas, karakter dan ciri khas produk tersebut,

    sehingga memiliki daya pembeda dengan merek lainnya. Dengan demikian, merek

    dapat memberikan jaminan nilai dan kualitas atas suatu produk barang dan/atau

    jasa35.

    Secara umum, terjadinya pelanggaran atas hak merek motivasinya untuk

    mendapatkan keuntungan secara tidak etis, sehingga dianggap tidak sah menurut 35 Suyud Margono, Pembaruan Perlindungan Hukum Merek, Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta, 2002, hal. v.

  • 24

    hukum, dengan mencoba meniru atau memalsukan merek-merek yang sudah terkenal

    di masyarakat. Tindakan-tindakan tersebut mengakibatkan kerugian bagi pihak

    produsen maupun konsumen, dan secara tidak langsung, negara sebagai penggerak

    perekonomian masyarakat turut dirugikan.

    Itu sebabnya mengapa setiap aturan hukum perlindungan hak merek, mengatur

    sanksi-sanksi bagi tindakan pelanggaran hak merek. Ketentuan-ketentuan tersebut

    dapat berupa ketentuan pidana, perdata, administratif, dan tindakan pencegahan lain

    yang bersifat non-litigatif36. Dengan demikian, tujuan dari perlindungan hak merek

    bertujuan untuk melindungi pemilikan merek, dan melindungi konsumen terhadap

    kebingungan menyangkut asal-usul suatu barang atau jasa37.

    Menurut Bently & Sherman, paling tidak ada tiga argumentasi untuk

    menjustifikasi mengapa merek harus dilindungi38:

    a) Reward of Investment (imbalan atas investasi). Menurut Bently & Sherman, the most plausible argument to see trade marks, as a reward of investment (argumentasi yang paling masuk akal yaitu melihat merek sebagai suatu imbalan atas investasi), dan dengan demikian suatu merek pantas untuk dilindungi. Pendapat ini didasarkan atas jurisprudensi Hakim U.S Supreme Court (Mahkamah Agung Amerika Serikat) dalam kasus (Qualitex v. Jacobson Products 115 S Ct. 1300 (1995)) yang berbunyi demikian; merek membantu untuk menjamin seorang produsen bahwa dia (bukan pesaingnya sebagai peniru) yang akan memetik imbalan finansial, dan imbalan yang terkait dengan reputasi, sehubungan dengan produk yang diinginkandan secara bersamaan melemahkan mereka yang berharap untuk menjual barang yang lebih rendah lewat cara memanfaatkan ketidakmampuan pembeli melakukan evaluasi secara cepat atas barang tertentu.

    b) Information (informasi bagi pembeli). Dengan adanya perlindungan merek (lewat pencegahan pemalsuan atau peniruan), maka akan tercipta suatu penghematan

    36 Djumhana, op.cit., hal. 187. 37 Theofransus Litaay, Pengantar Hak atas Kekayaan Intelektual: Modul Kuliah HaKI, Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, hal. 4. 38 Bently & Sherman, op.cit., hal. 663-665.

  • 25

    biaya belanja dan pembuatan keputusan. Karena merek yang digunakan dalam kepentingan umum dapat meningkatkan pasokan informasi bagi konsumen, dengan demikian dapat meningkatkan efisiensi pasar. Informasi mengenai merek sangat penting dalam kaitannya dengan experience goods (barang-barang yang tidak bisa dinilai oleh konsumen melalui metode pemeriksaan menyeluruh terhadap kualitas suatu produk).

    c) Ethical Justifications (argumentasi etis). Prinsip utama mengenai perlindungan merek menurut argumentasi ini didasari dengan gagasan fairness (keadilan). Gagasan ini diterangkan dengan suatu metafora bahwa seseorang tidak diperkenankan menuai dari apa yang tidak ditanamnya. Maksud dari metafora tersebut yaitu, dengan mengadopsi merek orang lain, maka seseorang telah mengambil keuntungan dari nama baik yang dihasilkan oleh pemilik merek yang asli. Argumentasi etis lainnya yang juga digunakan untuk melindungi merek yaitu norma moralitas mengenai truth-telling (menyatakan kebenaran), dan core good (kebaikan yang hakiki). Berdasarkan pendekatan ini, dikatakan bahwa hukum harus memungkinkan orang yang menderita kerugian akibat penipuan untuk menindak pelaku penipuan.

    Dalam Pasal 3 UU Merek, dijelaskan bahwa hak atas merek adalah hak ekslusif

    yang diberikan oleh negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum

    Merek untuk jangka waktu tertentu, dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau

    memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya. Berdasarkan rumusan

    tersebut, unsur-unsur yang terkandung dalam perlindungan hak merek menurut Pasal

    3 UU Merek antara lain:

    a) Hak atas merek adalah hak ekslusif. Hak atas merek memberikan hak khusus atau hak mutlak bagi pemegangnya. Dengan demikian, hak tersebut dapat dipertahankan terhadap siapapun, dan hak atas merek hanya dapat diberikan pada pihak yang beritikad baik39.

    b) Hak atas merek adalah hak yang diberikan oleh negara. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh pendekatan kebijakan negara (state policy) dari para penganut natural law theories (mazhab hukum kodrat) terhadap perolehan hak atas merek. Menurut pendekatan ini, hak merupakan suatu kebijakan negara untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditentukan seperti peningkatan kreatifitas, perkembangan

    39 Djumhana, op.cit., hal. 163.

  • 26

    seni yang memiliki daya guna (kemanfaatan), dan membangun suatu sistem pasar yang tertata bagi buah pikir manusia40.

    c) Diberikan pada pemilik merek terdaftar. Yang dimaksud dengan pemilik merek terdaftar disini ialah seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum yang diberikan pengakuan oleh negara sebagai pemegang hak atas merek yang sah, lewat prosedur pendaftaran merek yang syarat-syaratnya telah ditentukan menurut aturan hukum yang berlaku (diatur dalam Pasal 7-39 UU Merek). Jadi, pendaftaran atas suatu merek merupakan keharusan bagi pemilik merek, apabila ia menghendaki agar menurut hukum dipandang sah sebagai orang yang berhak atas merek tersebut. Sebaliknya, bagi pihak lain yang mencoba akan mempergunakan merek yang sama atas barang atau jasa lainnya yang sejenis, dan bagi pemohon pendaftaran merek yang tidak beritikad baik, akan ditolak permohonan pendaftarannya41.

    d) Diberikan perlindungan untuk jangka waktu tertentu. Jangka waktu perlindungan hak merek diberikan untuk jangka waktu tertentu pada merek yang terdaftar, dan dapat diperpanjang (diatur dalam Pasal 35-38 UU Merek) atas permintaan pemilik merek tersebut untuk jangka waktu yang sama, dan tidak dapat dilakukan bantahan atas keabsahannya, kecuali merek tersebut melewati atau kurang dari jangka waktu yang telah ditetapkan untuk pengajuan pendaftaran ulang. dan merek tersebut sudah tidak digunakan dalam barang dan jasa sebagaimana yang sesuai dengan sertifikat merek terdaftar, atau barang dan jasa yang menggunakan merek tersebut sudah tidak diproduksi dan/atau tidak diperdagangkan lagi (Pasal 28 UU Merek).

    e) Memberikan izin bagi pihak lain untuk mempergunakan hak tersebut. Hak atas merek dapat dialihkan haknya kepada pihak lain (perorangan atau badan hukum), dan pengalihan hak tersebut harus mendapatkan pengesahan oleh pihak yang berwenang (negara), sehingga dapat mempunyai kekuatan hukum bagi pihak ketiga (diatur dalam Pasal 40-49 UU Merek). Menurut Gautama, pengesahan oleh negara dalam hal pengalihan hak atas merek sebagai suatu syarat yang mutlak untuk mempunyai kekuatan hukum terhadap pihak ketiga, dan dengan demikian seolah-seolah mempunyai kekuatan yang dianggap sama dengan hukum kebendaan42. Itulah sebabnya maka hak merek dapat dialihkan kepada pihak lain baik melalui pewarisan, hibah, wasiat, maupun melalui perjanjian tertulis dan sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh undang-undang (Pasal 40 ayat (1) UU Merek).

    Unsur-unsur dalam Pasal 3 UU Merek memperlihatkan bahwa hak merek

    merupakan hak ekslusif adalah mutlak bagi seseorang, dan pelaksanaan hak merek

    40 Litaay, op.cit., hal. 3. 41 Djumhana, loc.cit. 42 Ibid, hal. 168.

  • 27

    diterapkan pada suatu produk barang dan/atau jasa yang digunakan dalam kegiatan

    perdagangan. Hak ini diberikan pengakuan oleh negara melalui kegiatan pendaftaran

    merek, sehingga hak merek tersebut diakui keabsahannya oleh hukum. Hak merek

    dapat dialihkan kepada pihak ketiga menurut ketentuan hukum yang berlaku,

    memberikan kewenangan bagi pemiliknya untuk menggunakan hak-hak tersebut, dan

    merupakan suatu kewajiban bagi pihak lain untuk tidak melanggar hak tersebut agar

    supaya tidak dianggap melakukan pelanggaran merek.

    C. Konsep Perlindungan Merek Sebagai Benda

    C.1. Kedudukan Merek dalam Sistem Hukum Benda Indonesia

    Hak kebendaan diatur dalam buku II (dua) KUH Perdata yang mencakup

    ketentuan-ketentuan mengenai pengertian benda, macam-macam benda, dan macam-

    macam hak kebendaan43. Ada pun ciri-ciri atau sifat hak kebendaan yaitu44:

    a) Hak kebendaan merupakan hak yang mutlak, yaitu dapat dipertahankan terhadap siapapun juga.

    b) Hak kebendaan mempunyai zaaksgevolt/droit de suit (hak yang mengikuti). Artinya hak itu terus mengikuti bendanya dimana pun juga (dalam tangan siapapun juga) barang itu berada.

    c) Sistem perolehan hak yang terdapat pada hak kebendaan ialah yang lebih dulu terjadi tingkatnya jauh lebih tinggi daripada yang terjadi kemudian. Berbeda dengan sistem yang terdapat dalam hak perorangan yaitu yang lebih dulu terjadi sama tingkatannya dengan yang terjadi kemudian.

    d) Hak kebendaan mempunyai droit de preferences (hak terlebih dahulu). e) Gugatan atas hak kebendaan (gugat kebendaan) memiliki beberapa bentuk yaitu:

    penuntutan kembali, gugatan untuk menghilangkan gangguan-gangguan atas haknya, gugatan untuk pemulihan dalam keadaan semula, dan gugatan untuk penggantian kerugian. Beberapa bentuk gugat kebendaan tersebut dapat dilaksanakan oleh seseorang terhadap siapapun juga yang mengganggu haknya atas benda miliknya.

    43 Sofwan, op.cit., hal. 12. 44 Ibid, hal. 25-27.

  • 28

    f) Pemindahan suatu hak kebendaan dapat dilakukan secara penuh (tidak terbatas). Berbeda dengan pelaksanaan pemindahan hak perorangan yang terbatas.

    Pengertian benda menurut Pasal 499 KUH Perdata adalah tiap-tiap barang dan

    tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik. Dari pengertian benda berdasarkan

    rumusan Pasal 499 KUH Perdata, kata benda dipakai dalam dua arti. Yang pertama,

    sebagai barang berwujud dan bagian dari harta kekayaan yang termasuk benda selain

    barang yang berwujud, kedua, beberapa hak tertentu sebagai barang yang tidak

    berwujud45:

    a) Benda bertubuh (lichamelijk) dan tidak bertubuh (onlichhamelijk). Suatu benda dinamakan bertubuh jika dapat ditangkap dengan panca indra, sedangkan benda tidak bertubuh yaitu benda-benda yang tidak dapat ditangkap dengan panca indra. Salah satu yang termasuk kelompok ini adalah hak milik industrial (Pasal 503 KUH Perdata).

    b) Benda yang dapat dihabiskan (verbruikbaar) dan benda yang tak dapat dihabiskan (onverbruikbaar). Yang termasuk benda yang dapat dihabiskan ialah semua benda yang jika dipakai menjadi habis, sedangkan suatu benda termasuk benda yang tidak dapat dihabiskan jika benda tersebut tidak akan habis dalam suatu pemakaian (Pasal 505 KUH Perdata).

    c) Benda bergerak dan benda tidak bergerak. Untuk menentukan bagaimana suatu benda dapat dimasukkan dalam jenis benda bergerak atau tidak bergerak, dapat dilihat dari sifat tujuannya dan ketentuan undang-undang (Pasal 504 KUH Perdata). Yang termasuk benda bergerak ialah: a. Karena sifat dan tujuannya. Yaitu benda yang menurut sifatnya dapat

    dipindahkan, dan tujuannya tidak dimaksudkan mengikuti benda tetap (Pasal 509 dan Pasal 510 KUH Perdata).

    b. Karena ketentuan undang-undang. Yaitu hak/tuntutan terhadap benda-benda yang bergerak (Pasal 511 KUH Perdata).

    Sedangkan yang termasuk benda tidak bergerak ialah: a. Karena sifatnya. Yaitu tanah dengan segala sesuatu yang secara langsung atau

    tidak langsung, karena perbuatan manusia atau alam bergabung menjadi satu dengan tanah (Pasal 506 KUH Perdata).

    b. Karena tujuannya. Yaitu benda yang menurut sifatnya adalah benda bergerak, akan tetapi oleh pemiliknya ditujukan untuk mengikuti benda tidak bergerak,

    45 Ibid, hal. 15.

  • 29

    maka benda tersebut termasuk dalam benda tidak bergerak (Pasal 507 KUH Perdata).

    c. Karena ketentuan undang-undang. Yaitu hak dan tuntutan-tuntutan terhadap benda tidak bergerak (Pasal 508 KUH Perdata).

    Dengan demikian, menurut sistematika hukum kebendaan menurut KUH Perdata

    di atas, dapat dilihat bahwa hak merek berada atau digolongkan sebagai hak

    kebendaan sebagai benda tidak berwujud (Pasal 503 KUH Perdata). Selanjutnya,

    berdasarkan Pasal 499 KUH Perdata, hak merek yang dipandang sebagai hak atas

    benda tidak berwujud merupakan salah satu jenis hak atas harta kekayaan yang dapat

    menjadi obyek hak milik. Argumentasi ini juga didasari dengan pertimbangan bahwa

    dalam sistematika hak-hak keperdataan, hak merek merupakan hak atas benda

    imateriil di dalam kategori hak absolut atas harta benda, yang terdiri dari46:

    a) Hak mutlak atas suatu benda (hak kebendaan), dan; b) Hak atas terhadap benda imateriil (rechten of immateriele goederen), atau hak

    atas hasil intelektual yang biasanya disebut dengan hak milik industrial (industrielle eigendom).

    C.2. Kedudukan Merek dalam Sistem Hukum Hak Kekayaan Intelektual

    Hak kekayaan intelektual (selanjutnya disebut dengan HKI) adalah terjemahan

    langsung dari istilah intellectual property rights (Inggris), dan dikenal juga dengan

    istilah industrielle eigendom (Belanda). Esensi terpenting dari setiap bagian HKI

    ialah adanya suatu ciptaan tertentu (creation) dalam bidang kesenian, bidang industri,

    dan bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

    46 Ali Chidir, Hukum Benda: H.F.A Vollmar, Tarsito, Bandung, 1990, hal 32-33.

  • 30

    Menurut World Intellectual Property Organization (WIPO), HKI terdiri dari hak

    cipta dan hak-hak terkait, serta hak milik perindustrian. Secara administratif,

    perlindungan HKI internasional dikaitkan dengan kategorisasi HKI menurut WIPO47:

    a) Copyright and related rights (hak Cipta dan hak-hak terkait). Hak cipta melindungi karya-karya cipta dalam bidang ilmu pengetahuan, sastra, dan seni seperti novel, puisi, sandiwara, film, ciptaan musik, lukisan, gambar, karya fotografi, ukuran, dan karya-karya arsitektur. Sedangkan hak-hak terkait terdiri dari hak para artis pertunjukan terhadap karya pertunjukannya, produser rekaman suara terhadap hasil kerjanya, dan para lembaga penyiaran terhadap program radio dan televisi mereka.

    b) Industrial property (hak milik perindustrian). Terdiri dari trademarks (hak atas merek, termasuk merek jasa), geographical indicators (indikasi-indikasi geografis), industrial designs (hak desain industri), patens (hak paten), layout-designs (topographies) of integrated circuits (hak desain tata letak sirkuit terpadu), undisclosed informations, including trade secrets (rahasia dagang).

    Perlindungan terhadap HKI dapat diterapkan dengan menempatkan HKI sebagai

    benda tidak berwujud (intangible things), dan mengkonsepsikan HKI sebagai suatu

    ciptaan, penemuan, dan produksi:

    a) Sebagai benda tidak berwujud (intangible things). Konsep HKI sebagai benda yang tidak berwujud ini diberikan perlindungan sesudah memperoleh wujud, akan tetapi yang dilindungi tetap dalam makna yang tidak berwujud (kemampuan intelektual manusia: gagasan, penemuan, tanda, informasi). Selanjutnya, benda ini diberi identitas sebagai hak, yang sekaligus juga sebagai obyek perlindungannya, dimana terhadapnya berlaku semua ciri-ciri atau sifat dari hak kebendaan48. Konsekuensi yang lahir dari sifat tidak berwujud HKI adalah, bahwa sifat dari HKI ini membatasi kemampuan pemilik benda untuk bertindak terhadap benda miliknya, dengan kata lain, penguasaan secara nyata atas suatu benda tidak pada saat yang sama melahirkan kepemilikan atas HKI dari benda tersebut49. Bentuk perlindungan HKI seperti ini erat kaitannya dengan bidang hukum perdata, dan dianggap memperkaya konsepsi tentang hukum kebendaan.

    47 Litaay, op.cit., hal. 5. 48 Ibid, hal. 8. 49 Ibid, hal. 3.

  • 31

    b) Sebagai ciptaan, penemuan dan produksi50. Berbagai hak dari HKI adalah citra dari arti ciptaan atau penemuan, dan produksi. Ciptaan atau penemuan dan produksi tersebut merupakan hasil yang muncul setelah sebuah gagasan diaktualisasikan ke dalam obyek tertentu, sehingga mengakibatkan obyek ini mengandung HKI. Atau dengan kata lain menurut Bently: tindakan menciptakan terjadi pada saat individu tertentu melaksanakan usaha mentalnya untuk merubah bahan mentah. Hal-hal yang dipandang perlu diberi perlindungan hukum dalam konsepsi HKI sebagai ciptaan atau penemuan dan produksi adalah kegiatan yang memerlukan kreatifitas manusia yang bersifat khas dan membawa manfaat ekonomis, sehingga kegiatan-kegiatan tersebut memiliki nilai ekonomis. Hal-hal tersebut teraktualisasikan dalam kegiatan perdagangan dan industri, di mana dalam perdagangan dan industri lahir berbagai ciptaan, penemuan dan produksi yang didalamnya terdapat unsur-unsur kepentingan individu sebagai hasil dari penemuan atau usaha (endeavors) mereka secara intelektual. Pada saat produk atau benda-benda ciptaan dan penemuan tersebut diperjualbelikan secara masal dan di distribusi, maka usaha intelektual yang telah dilakukan oleh pencipta atau penemu menjadi kekayaannya (assets). Kekayaan intelektual ini perlu dilindungi dari penyalahgunaan dari pihak lain yang tidak beritikad baik, pada titik inilah kebutuhan perlindungan hukum muncul, dan pengaturan mengenainya perlu dilakukan.

    C.3. Kaidah-Kaidah Perlindungan Merek menurut Sistem Hukum Benda

    Indonesia

    Berdasarkan tinjauan mengenai konsep merek sebagai benda menurut sistematika

    hukum benda dan HKI, merek merupakan hak milik industrial. Argumentasi ini

    dirunut dari kategorisasi HKI menurut WIPO, dan jika merujuk pada sistematika hak

    absolut atas harta benda yang dikenal dalam sistem hukum benda Indonesia, merek

    digolongkan sebagai hak atas benda immateriil/hak atas hasil intelektual, yang

    disebut sebagai hak milik industrial.

    50 Ibid

  • 32

    Dengan demikian, berdasarkan rasionalisasi tersebut, berikut ini adalah rujukan

    kaidah-kaidah perlindungan merek menurut sistem hukum benda Indonesia, terkait

    dengan permasalahan yang akan dijawab dalam penelitian ini:

    a) Sebagai sesuatu yang dikonstruksikan hukum sebagai benda dalam sistem hukum benda Indonesia, merek adalah benda tidak berwujud, dan digolongkan sebagai hak milik industrial.

    b) Benda, baik berwujud maupun tidak berwujud adalah obyek dari hak milik. Perlindungan atasnya dapat ditemukan dalam Pasal 570 KUH Perdata. Ketentuan ini mengandung prinsip-prinsip dasar mengenai kepemilikan seseorang atas suatu benda yang terdiri dari asas honeste vivere (berbuat jujur), alterum non-laedere (tidak merugikan orang lain), dan suum cuique tribuere (berikanlah kepada setiap orang apa yang menjadi haknya).

    c) Ketiga asas tersebut dapat dipakai sebagai dasar gugatan atas gangguan terhadap hak milik menurut KUH Perdata (gugat kebendaan) yang terdiri dari: a. Penuntutan kembali. b. Gugatan untuk menghilangkan gangguan-gangguan atas haknya. c. Gugatan untuk pemulihan dalam keadaan semula; dan, d. Gugatan untuk penggantian kerugian. Secara mutatis mutandis, kaidah-kaidah mengenai perlindungan atas merek

    menurut sistem hukum benda Indonesia ini dapat diberlakukan untuk suatu kasus

    pelanggaran merek. Dalam argumentasi hukum ini, prinsip hukum untuk menjelaskan

    keterkaitan antara UU Merek dan KUH Perdata adalah lex specialis derogat lex

    generalis. Akan tetapi, jika ketentuan-ketentuan tentang perlindungan merek yang

    ada di UU Merek sebagai lex specialis belum memadai untuk diterapkan dalam suatu

    kasus pelanggaran merek, maka dapat dikembalikan pada aturan yang lebih umum

    (general) yang memuat ketentuan-ketentuan mengenai perlindungan hak milik yaitu

    KUH Perdata.

  • 33

    BAB III

    PELANGGARAN PENDAFTARAN NAMA DOMAIN DENGAN

    MENGGUNAKAN MEREK SECARA TIDAK BERHAK

    Merek dagang maupun jasa pada hakikatnya dapat digunakan sebagai nama

    domain, asalkan pihak yang mendaftarkan nama domain dengan menggunakan merek

    tersebut adalah pihak yang berhak. Dalam bab III ini, akan dideskripsikan penulis

    mengenai praktik pelanggaran pendaftaran nama domain dengan menggunakan

    merek oleh pihak tidak berhak. Praktik ini bisa dilakukan dengan sengaja dan

    dilandasi itikad buruk (bad faith), dengan motif untuk mendapatkan keuntungan

    secara tidak sah dari merek yang didaftarkan sebagai nama domain, dan bisa juga

    dilakukan tanpa adanya suatu unsur kesengajaan.

    Beberapa kasus nama domain yang ditangani pengadilan Indonesia dan WIPO

    Arbitration and Mediation Center juga akan ditinjau dalam bab ini, untuk

    menemukan kaidah-kaidah hukum yang menjadi dasar putusan kasus-kasus nama

    domain tersebut. Dengan demikian, kaidah-kaidah hukum yang terkandung dalam

    putusan-putusan tersebut, dapat digunakan penulis sebagai bahan perbandingan dalam

    rangka merujuk preskripsi yang dapat menjadi dasar perlindungan atas suatu merek

    dari pelanggaran pendaftaran nama domain dengan menggunakan merek secara tidak

    berhak di Indonesia, sebagai salah satu persoalan/isu hukum yang hendak dipecahkan

    melalui penelitian ini.

  • 34

    A. Perbedaan Merek dan Nama Domain

    Tabel yang disajikan penulis di bawah ini menunjukkan komponen-komponen

    yang membedakan nama domain dan merek:

    Tabel 1.

    Perbedaan Merek dan Nama Domain

    MEREK NAMA DOMAIN Fungsi Untuk mengidentifikasi suatu produk

    barang dan/atau jasa dalam lingkup kegiatan perdagangan. (pasal 1 angka 1 UU Merek).

    Untuk mengidentifikasi komputer dan/atau server yang saling terhubung dalam internet; tidak terbatas penggunaannya hanya dalam suatu lingkup kegiatan tertentu.

    Sistem Pendaftaran

    a. Sistem konstitutif b. Mengenal uji substantif (pasal 18-

    20 UU Merek) untuk melihat adanya persamaan pada pokoknya sebagai syarat validitas pendaftaran (pasal 6 ayat (1) huruf a UU Merek).

    a. First come first serve system b. Ada yang mengenal uji

    substantif sebagai syarat validitas pendaftaran, ada yang tidak.

    Eksistensi Sebagai tanda yang dilekatkan pada suatu produk barang dan/atau jasa. Dapat berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut.

    Sebagai alamat dari suatu komputer yang berupa susunan angka. Mis: 222.124.25.39

    Dalam Tabel 1, dapat dilihat bahwa nama domain dan merek berada dalam

    fungsi, sistem pendaftaran, serta pengakuan eksistensi yang berbeda. Dalam sistem

    hukum merek yang berlaku di Indonesia saat ini, untuk diakui sebagai merek dan

    dapat dilindungi dengan UU Merek, suatu merek terlebih dahulu harus menempuh

    prosedur pendaftaran merek dan uji substantif. Hal ini dimaksudkan agar pihak yang

    merasa dirugikan dapat mencegah pendaftaran merek yang akan didaftarkan tersebut.

    Singkatnya, menurut Pasal 18-20 UU Merek, pendaftaran merek berdasarkan stelsel

    konstitutif. Lain halnya dengan prosedur pendaftaran nama domain. Prosedur

  • 35

    pendaftaran nama domain tidak mengenal uji substantif, karena prinsip yang

    digunakan dalam pendaftaran nama domain adalah first come first serve system.

    Dengan demikian, metode pengujian dalam suatu proses pendaftaran nama domain

    cukup dengan mencocokkan nama domain yang akan didaftarkan dengan nama

    domain yang telah didaftarkan sebelumnya. Jika ternyata tidak terdapat kesamaan

    secara utuh, maka pendaftaran nama domain tersebut dapat diterima oleh suatu badan

    registrasi nama domain51.

    Secara teknis, nama domain adalah alamat dari Internet Protocol (IP) yang

    merupakan alamat (dalam bentuk angka) dari suatu host, server atau komputer yang

    terhubung pada jaringan internet. Untuk mempermudah dalam penggunaannya,

    deretan angka tersebut dikonversi oleh Domain Name Server (sistem navigasi global

    yang dipergunakan untuk menjelajahi jaringan internet) menjadi suatu deretan huruf

    atau kombinasi huruf, angka, dan simbol-simbol yang lebih mudah diingat oleh

    manusia52.

    Dalam lingkup teknis nama domain, setiap bagian dalam suatu informasi yang

    akan ditampilkan diberi alamat seperti layaknya sebuah alamat pada setiap rumah,

    perusahaan, atau kantor yang disebut dengan Uniform Resource Locator (URL)53.

    Sebagai ilustrasi bagaimana suatu URL beroperasi, penulis akan menggunakan

    51 Ahmad M. Ramly, Cyber Law & HAKI dalam Sistem Hukum Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2004, hal. 11. 52 Misalnya: 222.124.25.39 dikonversi oleh DNS menjadi nama domain uksw.edu. Lihat: Ibid, hal. 12. 53 Andrew D. Murray, Internet Domain Names: The Trade Mark Challenge, International Journal of Law and Information Technology, Vol. 6 No. 3, hal. 290.

  • 36

    contoh URL http://www.siasat.uksw.edu (Sistem Informasi Akademik Universitas

    Kristen Satya Wacana) yang terdiri dari:

    a) http:// adalah anda yang menyatakan bahwa situs web ini menggunakan hypertext transfer protocol yang merupakan suatu perangkat lunak sistem transfer informasi komputer yang digunakan dalam internet.

    b) www. adalah tanda yang menyatakan bahwa situs web ini dapat diakses melalui world wide web (format tampilan informasi di internet). Format ini adalah yang format paling populer saat ini, karena relatif mudah untuk digunakan oleh para pengguna internet (user friendly).

    c) uksw.edu menunjukkan alamat situs web Universitas Kristen Satya Wacana. Nama domain ini terdiri dari dua jenis yaitu: Top Level Domain (TLD) (.edu) dan Secondary Level Domain (SLD) (uksw.).

    d) .siasat adalah Third Level Domain yang berfungsi sebagai alamat internet dari sistem informasi akademis Universitas Kristen Satya Wacana, yang berisi informasi-informasi seputar kegiatan-kegiatan akademis.

    Adapun klasifikasi dan teknis pengelolaan dari Top Level Domain adalah sebagai

    berikut:

    Tabel 2.

    Top Level Domain (TLD)54 UNRESTRICTED (First Come First- Served Basis)

    Country Code TLD (ccTLD) Generic TLD (gTLD)

    .uk United Kingdoms

    .mx Mexico

    .nz New Zealand

    .to Tonga

    .tv Tuvalu

    .md Moldera

    .fm French Micronesia

    .cc Cocos Island Etc

    .com

    .net

    .org

    .biz

    RESTRICTED (Certain Requirements: Documentations, Domicile, Domestic Office and etc.)

    .id Indonesia

    .us United States

    .jp Japan

    .hk Hongkong Etc

    .edu

    .gov

    .mil

    .int

    Sumber: Kenny Wiston, 2002. 54 Kenny Wiston, The Internet: Issues of Jurisdiction and Controversies Surrounding Domain Names, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal. 20.

  • 37

    a) Generic Top Level Domain (gTLD). Terdiri dari nama-nama domain dengan akhiran.com, .net, .org, .biz, .ws, .edu, .gov, .mil, .int55 yang ditetapkan dibawah wewenang The Internet Corporation for Assigned Names and Numbers (ICANN)56. Kategori ini berisi akhiran nama domain yang terbuka dan tertutup untuk umum. Sebagai contoh akhiran nama domain yang terbuka untuk umum adalah .com, .net dan .org, sedangkan yang tertutup (dalam artian hanya badan tertentu yang dapat mendaftarkan nama-nama domain tersebut) diantaranya adalah nama domain dengan akhiran .int (untuk organisasi internasional), .edu (untuk institusi pendidikan yang memberikan gelar minimal strata satu), .gov (untuk lembaga pemerintahan), dan .mil (untuk lembaga militer)57.

    b) Country Code Top Level Domain (ccTLD). Dikenal juga sebagai TLD regional yang mencakup nama domain tertentu yang diperuntukkan bagi tiap-tiap negara. ccTLD terdiri dari dua huruf kode negara yang diperoleh dari standard 3166 The International Organization for Standarisation (ISO 3166), misalnya .uk yang digunakan oleh Inggris, dan .id yang digunakan oleh Indonesia. Nama domain dalam kategori ini ada yang pendaftarannya bersifat terbuka misalnya .uk dan .nz, dan ada pula yang pendaftarannya tertutup (pihak pendaftar harus berdomisili atau berkedudukan di negara tersebut). ccTLD ditetapkan juga oleh ICANN, namun pengelolaan secara administratif diserahkan kepada pihak administrator yang berbeda pada tiap-tiap negara58. Untuk Indonesia, sejak bulan Juli 2007, lembaga yang ditunjuk pemerintah untuk mengelola ccTLD Indonesia (ccTLD-ID) adalah Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (PANDI). PANDI menetapkan beberapa sub-domain ccTLD-ID yang tersedia sesuai dengan peruntukkannya masing masing. Sub-domain yang tersedia antara lain adalah .ac.id untuk situs web pendidikan dan universitas, .co.id untuk situs web yang bersifat komersial termasuk entitas bisnis, .net.id untuk situs web penyedia layanan jasa telekomunikasi dan informasi yang telah memperoleh ijin beroperasi/lisensi, .web.id untuk situs web pribadi atau komunitas, .sch.id untuk situs web sekolah, .go.id untuk situs web instansi pemerintah, .mil.id untuk situs web militer, .war.net.id untuk situs web warung internet, dan .or.id untuk situs web organisasi-organisasi selain yang disebutkan sebelumnya59. Secara fungsional tidak ada perbedaan antara gTLD dan ccTLD. Sebuah nama domain yang terdaftar dengan menggunakan akhiran ccTLD memiliki konektifitas yang sama dengan nama domain yang terdaftar dengan menggunakan akhiran gTLD.

    55 Saat ini sudah ditambah dengan akhiran domain lain diantaranya (.aero, .coop, .info, .museum, .name, .pro). Untuk lebih jelasnya lihat: www.iana.org/gtld/gtld.htm (diakses tanggal 17 Juli 2007). 56 ICANN adalah suatu organisasi nirlaba internasional yang khusus menangani hal-hal yang berkaitan dengan manajemen sistem penamaan berbasis domain di Internet. ICANN juga merupakan lembaga yang berwenang untuk menetapkan gTLD. Lihat: Wahyuningtyas, op.cit., hal. 61. 57 Kenny Wiston, Pengaturan Hukum Domain Name di Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 18 Maret 2002, hal. 46-47. 58 Budi Rahardjo, Pengantar Nama Domain, NICE, Jakarta, 2004, hal. 10. 59 Domain yang Berbayar Berkualitaskah?, BISKOM, Juli 2007, hal. 64-66.

  • 38

    Dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa pada dasarnya nama domain adalah suatu

    deretan angka yang merupakan alamat internet untuk mengidentifikasi suatu

    komputer yang terhubung dalam jaringan internet. Akan tetapi, ketika DNS

    mengkonversi deretan angka tersebut menjadi suatu deretan huruf atau simbol-simbol

    tertentu agar supaya lebih mudah diingat manusia, dengan demikian, nama domain

    juga dapat digunakan untuk merefleksikan merek suatu produk barang dan/atau jasa,

    nama suatu entitas bisnis, serta lembaga/organisasi militer dan pemerintahan.

    B. Bentuk-Bentuk Pelanggaran Pendaftaran Nama Domain

    B.1. Cybersquatting

    Cybersquatting adalah suatu istilah yang menunjuk pada praktik pendaftaran

    nama domain dengan menggunakan merek atau nama seseorang oleh pihak yang

    tidak berhak atau tidak berkepentingan, dan dilakukan dengan itikad buruk (bad

    faith), untuk memperoleh keuntungan atas merek atau nama orang yang

    didaftarkannya sebagai nama domain. Pihak yang melakukan praktik cybersquatting

    disebut sebagai cybersquatter. Praktik cybersquatting biasanya dilakukan pada suatu

    merek terkenal (well-known marks), nama-nama orang terkenal, maupun organisasi-

    organisasi non-profit yang menjalankan kegiatannya melalui situs web internet60.

    60 Timothy D. Casey, Domain Name Hijacking and Anti-cybersquatting Policies, Proceeding of IDRC Domain Name Dispute Resolution Seminar, 22 September 2006, hal. 3.

  • 39

    Di Amerika Serikat, menurut The U.S Anti-cybersquatting Consumer Protection

    Act (ACPA), untuk dapat dikategorikan sebagai praktek cybersquatting, suatu

    pelanggaran pendaftaran nama domain harus memenuhi unsur-unsur ini61:

    a) Pemilik nama domain mendaftarkan nama domain dengan itikad buruk (bad faith), dengan tujuan untuk mengambil keuntungan atas suatu merek yang didaftarkan sebagai nama domain.

    b) Penggunaan nama domain menimbulkan kerugian secara komersial yang seharusnya diperoleh oleh pemegang merek sah, yang mereknya didaftarkan sebagai nama domain.

    c) Nama domain yang didaftarkan memiliki kemiripan dan/ atau persamaan pada pokoknya dengan suatu merek yang digunakan sebagai nama domain tersebut.

    ACPA adalah suatu aturan hukum yang mengamandemen undang-undang merek

    Amerika Serikat (The U.S Lanham Act), dengan menambahkan ketentuan-ketentuan

    yang dapat dikenakan pada saat seseorang mendaftarkan nama domain yang

    merefleksikan suatu merek terkenal atau merek tertentu yang dimiliki pihak lain.

    ACPA bertujuan untuk melindungi konsumen dan pelaku usaha di Amerika Serikat,

    dengan mencegah dan/atau melarang pendaftaran nama domain dengan itikad buruk,

    dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan dari nama baik yang melekat pada

    suatu merek yang direfleksikan melalui nama domain.

    WIPO melalui Final Report of the WIPO Internet Domain Name Process

    memakai istilah abusive registration of domain name (penyalahgunaan pendaftaran

    nama domain) untuk menjelaskan tindakan yang dikategorikan sebagai suatu praktik

    cybersquatting, dan praktik mendaftarkan sekumpulan nama domain yang

    berhubungan dengan merek tertentu dengan maksud untuk menjual kembali nama 61 W. Chad Shear, The Anti-cybersquatting Consumer Protection Act An Offensive Weapon for Trademark Holders, Journal of Law Technology & Policy, Vol. 2001 No. 1, hal. 219.

  • 40

    domain tersebut dengan harga tinggi kepada pemilik merek yang sah (domain names

    warehousing). Dalam Final Report of WIPO Internet Domain Name Process, untuk

    dapat dikategorikan sebagai praktik cybersquatting, suatu pendaftaran nama domain

    dengan menggunakan suatu merek atau nama tertentu harus memenuhi unsur-unsur62:

    a) Nama domain tersebut memiliki kemiripan/persaman pada pokoknya dengan merek yang didaftarkan sebagai nama domain tersebut.

    b) Pemegang nama domain tidak memiliki hak atau kepentingan apapun atas nama domain yang didaftarkannya.

    c) Nama domain tersebut telah didaftarkan, dan digunakan dengan beritikad buruk.

    Untuk dapat membuktikan bahwa seseorang/suatu pihak telah menggunakan

    nama domain dengan itikad buruk harus memenuhi unsur-unsur63:

    a) Menawarkan untuk menjual, menyewakan, atau mengalihkan nama domain tersebut dalam bentuk apapun kepada pemilik merek produk barang/jasa yang mereknya didaftarkan sebagai nama domain, atau kepada saingan bisnis dari pemilik merek produk barang/jasa tersebut, dengan harga yang dipertimbangkan; atau,

    b) Adanya suatu usaha untuk menarik, dan untuk mendapatkan keuntungan finansial dari para pengguna internet yang mengunjungi situs web/atau sarana lain di internet yang dimiliki oleh pemilik nama domain, dengan membuat pengeliruan atas suatu merek produk barang /jasa; atau,

    c) Pendaftaran nama domain dilakukan dengan maksud untuk mencegah pemilik merek produk/jasa bisa mendaftarkan nama domain yang merefleksikan merek produk/jasa yang dimilikinya; atau,

    d) Pendaftaran nama domain mengganggu kompetitor dan/atau kegiatan bisnisnya. B.2. Typosquatting

    Typosquatting merupakan varian dari cybersquatting. Akan tetapi, berbeda dari

    cybersquatting yang membiarkan nama domain tidak digunakan, typosquatting

    bertujuan untuk menyesatkan konsumen agar konsumen lebih banyak mengakses

    62 WIPO, Final Report of the WIPO Internet Domain Name Process, 30 April 1999, hal. 54. 63 Ibid

  • 41

    informasi perusahaan dari pihak pendaftar nama domain yang menggunakan suatu

    merek yang bukan miliknya. Modus dari typosquatting dilakukan dengan

    mendaftarkan nama domain yang hampir sama dengan merek yang akan ditirunya

    dengan mempertukarkan huruf dari nama atau merek sebuah perusahaan, sehingga

    seolah-olah nama domain tersebut sama dengan nama perusahaan yang ditirunya.

    Praktik ini didasari dengan suatu asumsi bahwa situs web yang menggunakan merek

    yang ditiru akan dikunjungi oleh pengguna internet akibat kesalahan pengetikan huruf

    dari nama domain situs web yang memang ingin di akses64.

    B.3. Merek sebagai Secondary Level Domain (SLD) dan Third Level Domain

    Terdapat beberapa contoh lain dari penggunaan merek sebagai nama domain yang

    menimbulkan pelanggaran merek diantaranya65:

    a) Penggunaan merek sebagai SLD yang mirip dengan suatu merek terkenal untuk kepentingan komersial dan melemahkan daya pembeda atas suatu merek. Contoh kasus micr0soft.com yang mirip dengan nama domain microsoft.com yang digunakan oleh Microsoft Corporation yang memproduksi peran