Editor Pembahasan +Daftar Pustaka

47
1.Klasifikasi Kelainan Jumlah Gigi Kelainan jumlah gigi umumnya dibagi menjadi dua macam, yakni absence teeth dan supernumerary teeth (kelebihan gigi). Absence teeth (kekurangan gigi) merupakan kelainan yang menyebabkan hilangnya beberapa atau seluruh gigi geligi, sedangkan supernumerary teeth merupakan kelebihan satu atau beberapa gigi geligi. Prevalensi kekurangan gigi geligi biasanya lebih sering daripada kelebihan gigi geligi. Absense Teeth A. Agenesis Salah satu kelainan dari absence teeth adalah Agenesis. Agenesis merupakan tidak adanya perkembangan pada satu atau lebih elemen gigi permanen karena tidak terbentuk atau tidak adanya benih gigi permanen. Beberapa literature menyebutkan bahwa agenesis dibagi menjadi tiga macam, Oligodonsia; anodonsia; hipodonsia (penjelasan di bagian selanjutnya). Adanya agenesis pada gigi geligi menyebabkan maloklusi dan menimbulkan estetis yang kurang. Kejadian agenesis lebih sering terjadi pada gigi yang paling distal. Misalkan pada gigi insisiv, lebih sering terjadi pada insisiv lateral, pada premolar lebih

Transcript of Editor Pembahasan +Daftar Pustaka

Page 1: Editor Pembahasan +Daftar Pustaka

1.Klasifikasi Kelainan Jumlah Gigi

Kelainan jumlah gigi umumnya dibagi menjadi dua macam, yakni absence

teeth dan supernumerary teeth (kelebihan gigi). Absence teeth (kekurangan gigi)

merupakan kelainan yang menyebabkan hilangnya beberapa atau seluruh gigi

geligi, sedangkan supernumerary teeth merupakan kelebihan satu atau beberapa

gigi geligi. Prevalensi kekurangan gigi geligi biasanya lebih sering daripada

kelebihan gigi geligi.

Absense Teeth

A. Agenesis

Salah satu kelainan dari absence teeth adalah Agenesis. Agenesis

merupakan tidak adanya perkembangan pada satu atau lebih elemen gigi

permanen karena tidak terbentuk atau tidak adanya benih gigi permanen.

Beberapa literature menyebutkan bahwa agenesis dibagi menjadi tiga macam,

Oligodonsia; anodonsia; hipodonsia (penjelasan di bagian selanjutnya).

Adanya agenesis pada gigi geligi menyebabkan maloklusi dan

menimbulkan estetis yang kurang. Kejadian agenesis lebih sering terjadi pada gigi

yang paling distal. Misalkan pada gigi insisiv, lebih sering terjadi pada insisiv

lateral, pada premolar lebih sering pada premolar kedua, sedangkan pada molar

sering pada molar ketiga.

Umumnya gigi molar ketiga merupakan gigi yang paling sering agenesis,

kemudian insisiv lateral rahang atas, premolar pre molar rahang bawah, gigi

premolar kedua rahang atas. Gigi yang lain jarang mengalami agenesis. Walaupun

pada beberapa penelitian, gigi molar ketiga diklasifikasikan sendiri.

Etiologi Agenesis

Faktor Genetik, biasanya terkait pada autosomal dominan. Selain itu juga

bisa disebabkan adanya mutasi genetic, yang dipengaruhi oleh gen EDA’s

(anhidrotic ectodermal dysplasias).

Page 2: Editor Pembahasan +Daftar Pustaka

Faktor Lingkungan, bisa disebabkan karena trauma; penyakit sisemik

seperti diabetes mellitus maupun infeksi campak rubella selama proses

kehamilan; ibu perokok; terapi radiasi anti kanker pada anak usia kurang dari

2 tahun dapat menyebabkan agenesis gigi premolar, terapi pada anak di

bawah menyebabkan agenesis gigi premolar kedua atau molar kedua;

defisiensi vitamin D.

Gambaran Klinis

Bisa menunjukkan adanya diastema pada beberapa kasus, tetapi pada

beberapa kasus lainnya menyebabkan gigi yang nantinya crowded menjadi

cukup pada lengkung rahangnya, karena adanya space yang tersedia dari

hilangnya gigi.

Pada gigi insisiv lateral yang agenesis biasanya akan menyebabkan

keadaan estetis yang kurang, karena biasanya gigi caninus lebih besar dan

warnanya lebih gelap dibandingkan insisiv lateral.

Adapun jika terjadi agenesis pada gigi insisiv lateral, insisiv lateral

pada sisi lainnya cenderung lebih kecil dari ukuran mesial-distalnya. Dan

erupsi kaninusnya lebih ke palatal. Jika agenesis terjadi pada premolar kedua

rahang atas, biasanya terjadi persistensi pendahulunya, yakni molar kedua

sulung. Apabila gigi molar kedua ini baik, maka akan bertahan lama, dan

menyebabkan maloklusi. Sedangkan agenesis pada gigi molar ketiga

menimbulkan elemen lain di depannya cenderung lebih kecil.

Page 3: Editor Pembahasan +Daftar Pustaka

Gambaran Radiografis

B. Anodonsia

Merupakan kelainan perkembangan seluruh gigi, yang jarang ditemukan.

Anodonsia biasanya berkaiatan dengan penyakit sistemis, dysplasia ektodermal,

umumnya diturunkan sebagai sex-linked. Pada pria lebih sering terjadi anodonsia.

C. Hipodonsia

Hipodonsia adalah kurangnya jumlah gigi dari gigi normal.Hipodonsia

dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu Mild to moderate hipodontia, Severe

hipodontia dan Oligodontia. Etiologi dari hipodonsia secara umum lebih banyak

ke arah heredier ,meskipun ada faktor lain seperti trauma atau infeksi. Tetapi

masih sedikit bukti bahwa faktor lain dapat menyebabkan hipodontia. Gambaran

klinis dari hipodontia ini adalah hilangnya gigi, tapi harus dilakukan pendekatan

pada pasien apakah hilangnya gigi itu bekas pencabutan atau tidak. Jika bekas

pencabutan maka tidak bisa digolongkan sebagai kelainan hipodonsia

Page 4: Editor Pembahasan +Daftar Pustaka

Klasifikasi Hipodonsia

a. Mild to Moderate Hipodontia

Mild to Moderate Hipodontia merupakan hilangnya 2 atau lebih gigi tapi

lebih sedikit dari 6 gigi dan diluar molar ketiga. Perawatan Mild to Moderate

Hipodontia bisa tidak ada perbaikan atau dengsn resin komposit. Gambaran

Radiografi :

b. Severe Hipodontia

Severe hipodontia merupakan hilangnya 6 gigi atau lebih diluar gigi molar

ketiga. Perawatan Severe hipodontia yaitu prerestorative orthodontics untuk

mengatur posisi gigi sebelum dilakukan restorasi dan perawatan terbaik adalah

implant.Gambaran radiografi :

Page 5: Editor Pembahasan +Daftar Pustaka

D. Oligodontia

Oligodontia merupakan hilangnya 5 gigi atau lebih tidak termasuk molar

ketiga dan lebih disangkut pautkan dengan manifestasi sistemik. Perawatan

Oligodontia yaitu mahkota komposit gigi trauma sebagian lepasan.Gambaran

radiografi:

Supernumerary Teeth (Jumlah Gigi Berlebih)

Merupakan suatu kelainan jumlah gigi berupa bertambahnya gigi dari

jumlah normalnya serta memiliki bentuk dan ukuran yang tidak normal pula.

Page 6: Editor Pembahasan +Daftar Pustaka

Etiologi

Terdapat suatu teori mengenai etiologi gigi berlebih, yaitu teori

hiperaktifitas. Teori tersebut menyebutkan bahwa gigi berlebih merupakan hasil

hiperaktifitas dari dental lamina, dimana dental lamina mengalami perkembangan

secara berlebih dengan penyebab yang tidak diketahui secara pasti. Selain itu pada

beberapa kasus juga dapat didukung karena adanya faktor herediter.

Patogenesis

Pada masa perkembangan gigi, kurang lebih pada minggu ke-5 atau ke-6

Intra Uterin, lapisan dasar epitel yang telah melapisi rongga mulut akan

berdiferensiasi dan membentuk dental lamina. Dental lamina inilah yang nantinya

akan berkembang dan menghasilkan tunas gigi atau benih gigi. Apabila dalam

proses perkembangannya ia mampu bekerja secara normal, maka benih gigi yang

terbentuk juga akan berjumlah normal, yakni 10 buah benih gigi untuk masing-

masing rahang. Akan tetapi, bila dental lamina mengalami proses perkembangan

serta proliferasi sel yang terlalu aktif dan berlebihan, maka jumlah benih gigi yang

dihasilkan akan melebihi jumlah normal. Proses inilah yang dimaksud dengan

teori hiperaktifitas, dimana supernumerary teeth merupakan akibat dari

hiperaktifitas oleh dental lamina.

Klasifikasi

a. Mesiodens

Merupakan lebihnya benih gigi yang terdapat di dekat garis median.

Biasanya benih gigi tersebut akan bererupsi di bagian palatal atau bererupsi di

antara gigi insisivus sentralis (gigi I1 rahang atas).

b. Laterodens

Pada kasus ini, benih gigi akan mengalami erupsi di daerah interproksimal

maupun bukal dari gigi-gigi selain gigi insisiv sentralis.

Page 7: Editor Pembahasan +Daftar Pustaka

c. Distomolar

Lokasi dari tumbuhnya gigi pada kasus ini adalah di sebelah distal atau di

bagian paling belakang dari gigi Molar ketiga.

d. Paramolar

Adanya extra molar tooth (tambahan gigi molar) dan biasa disebut dengan

gigi molar ke empat yang terdapat di sebelah gigi molar khususnya rahang atas

sisi bukal atau palatal.

e. Parapremolar

Gigi berlebih yang terdapat di sebelah gigi premolar, biasanya pada

premolar rahang bawah.

Gambaran Klinis

a. Bentuk tidak menyerupai bentuk gigi pada umumnya. Biasanya dapat

berbentuk conus atau kerucut

Gambar: bentuk gigi conus pada kasus mesiodens

b. Ukuran gigi kecil (mikrodontia)

c. Lebih sering terjadi pada rahang atas dibandingkan rahang bawah

d. Terhambatnya erupsi gigi permanen

e. Dapat menyebabkan susunan gigi geligi berjejal.

Page 8: Editor Pembahasan +Daftar Pustaka

Gambaran Radiografi

Pada kasus supernumerary teeth, ketika dilakukan foto rontgen, maka akan

terlihat jelas adanya gigi tambahan/gigi berlebih yang tumbuh. Gambaran

radiografi dibawah ini merupakan hasil foto rontgen dari mesiodens. Tampak

adanya gigi berlebih di antara gigi 11 dan 21.

Sementara itu, pada gambar selanjutnya merupakan gambaran radiografis

dari paramolar. Terlihat adanya extra molar teeth yang terdapat di sebelah atau di

sekitar gigi molar.

2. Klasifikasi Kelainan Bentuk Gigi

A. Gigi Fusi

Gigi fusi merupakan kelainan perkembangan dimana terjadi penyatuan

atau penggabungan email, dentin atau email dentin benih gigi yang berdekatan

Page 9: Editor Pembahasan +Daftar Pustaka

sehingga menyebabkan struktur dental yang abnormal. Fusi ini ada dua macam.

Pertama, yaitu fusi sempurna dimana gigi bergabung menjadi satu gigi yang utuh

tanpa adanya groove dan umumnya terjadi sebelum kalsifikasi. Kedua, fusi tidak

sempurna dimana gigi bergabung secara parsial sehingga terdapat groove di

mahkota dan umumnya terjadi sesudah mahkota.

Etiologi

Penyebab gigi fusi masih deperdebatkan. Banyak ahli yang

mengemukakan pendapat tentang penyebab terjadiya gigi fusi, antara lain :

1. Shafer (1974) : Tekanan oleh sejumlah gaya fisik memperlama kontak antara

gigi yang sedang berkembang yang menyebabkan gigi mengalami fusi

2. Lowell dan Soloman (1964) : Benih gigi desidui berkontak menyebabkan

nekrosis jaringan di sekitarnya sehingga enamel organ dan dental papilla

kedua gigi menyatu.

Gambaran Klinis

Secara klinis, Nampak mahkota yang besar dan lebar mesiodistal yang

berlebih. Akar dan saluran akar cenderung multiple pada gigi yang mengalami

fusi. Umumnya, dua gigi yang fusi menempati panjang lengkung rahang yang

lebih sedikit daripada tidak menyatu sehingga akan ada sisa tempat dalam

lengkung rahang yang akan menjadi diastema. Fusi umumnya sering terjadi pada

gigi anterior, namun jika terjadi pada gigi posterior akan Nampak cusp yang

menyatu. Ciri lain yang spesifik pada kelainan ini adalah adanya satu gigi yang

hilang jika dihitung karena terdapat dua gigi yang fusi.

Page 10: Editor Pembahasan +Daftar Pustaka

Gambaran Radiografi

Pemeriksaan radiografi dapat dilakukan dengan menggunakan proyeksi

panoramic, oklusal dan periapikal. Dalam pemeriksaan Radiografi, akan nampak

dentin gigi fusi akan menyatu. Selain itu, juga memiliki akar yang terpisah atau

saluran akar yang sama.

B. Dens Invaginatus

Dens invaginatus merupakan anomali perkembangan yang disebabkan

oleh trauma atau infeksi yang mengakibatkan terjadinya invaginasi epitel gigi dari

enamel dan dentin ke dalam mahkota atau dari sementum dan dentin ke dalam

akar. Sehingga,akan terbentuk lumen di dalam gigi dengan enamel di tengah dan

dentin dipinggirnya. Pada kasus ini, gigi lebih rentan terhadap karies karena

kedudukan dentin yang lebih superficial dari enamel. Dens invaginatus dapat

terjadi pada gigi desidui, permanen dan gigi supernumerari. Pada Rahang atas,

sering timbul pada gigi Insisiv lateral, Insisiv sentral, Caninus dan premolar.

Sedangkan pada gigi rahang bawah, sering timbul pada gigi insisiv dan premolar.

Klasifikasi

Hanet dan Oehlers mengklasifikasikan berdasarkan kedalamannya. Yaitu :

Tipe 1 : Garis enamel invaginasi terbatas hanya pada mahkota gigi

Tipe 2 : Garis enamel invaginasi sampai amelocemental junction dan dapat

berhubungan dengan pulpa

Tipe 3 : Garis enamel invaginasi seluruh akar sampai terbentuk foramen kedua di

periodontal

Page 11: Editor Pembahasan +Daftar Pustaka

Etiologi

Penyebab dens invaginatus masih diperdebatkan. Beberapa ahli berpendapat, yaitu

:

1. Euler dan Atkinson : Terjadi Karena tekanan pertumbuhan pada lengkung

gigi sehingga menimbulkan lekuk pada organ enamel

2. Fischer dan Sprawson : terjadi karena pengaruh trauma

3. Gustafon dan Sunberg : terjadi karena pengaruh infeksi

4. Serta para ahli berpendapat bahwa factor genetic tidak dapat dikesampingkan

dalam hal ini.

Gambaran Klinis

1. Secara klinis nampak diameter labiolingual mahkota lebih besar dari normal.

2. Enamel mengalami hipoplastik

3. Terdapat groove pada singulum mahkota gigi

4. Mahkota seperti tong, kerucut, lancip, atau tidak teratur

5. Mudah terserang karies terutama pit dan fissur

6. Mudah terkena pulpitis dan nekrosis pulpa

Gambaran Radiografi

Secara radiografi, tampak invaginasi yang radiopak enamel dari singulum

sampai ke akar. Selain itu, juga sering ditemukan lesi periapikal yang nampak

radiolusen

Page 12: Editor Pembahasan +Daftar Pustaka

Gambaran HPA

Secara mikroskopis, tampak adanya lumen yang mengelilingi email gigi

yang mengelami kalsifikasi tidak baik dan menipis ke arah apikal. Juga ditemukan

kerusakan yang berbentuk pipa sehingga menyebabkan dentin terbuka.

C. Taurodontia

Taurodontia adalah kelainan dimana ruang pulpa melebar dengan

karakteristik seperti tanduk sapi. Taurodontia disebabkan oleh faktor keturunan.

Penjalaran atau patogenesis dari kelainan ini belum diketahui secara pasti. Hanya

diketahui secara jelas bahwa kelainan ini terjadi karena diferensiasi akar gigi yang

tidak sempurna.

Gambaran Klinis

Secara klinis, penderita kelainan taurodontia memiliki panjang gigi

normal, namun perbandingan antara mahkota dan akar gigi yang tampak

abnormal. Rongga pulpa pada penderita taurodontia sangat besar, dengan akar

gigi yang menebal dan memendek karena furkasi terletak jauh ke apikal. Kelainan

ini banyak terjadi pada gigi dengan akar lebih dari satu seperti premolar dan

molar.

Gambaran Radiografi

Pada penampang radiografi, terlihat ruang pulpa yang sangat luas, akar

pendek, dan bifurkasi yang terletak hanya beberapa milimeter dari apeks.

Page 13: Editor Pembahasan +Daftar Pustaka

D. Dilaserasi

Dilaserasi merupakan penyimpangan pertumbuhan gigi sehingga

hubungan aksial antara mahkota dan akar berubah. Dilaserasi disebabkan oleh

adanya trauma mekanis pada gigi sulung, tepatnya pada saat pembentukan gigi

prmanen mencapai tahap odontogenesis (kurang lebih usia 6 bulan hingga 4

tahun). Dilaserasi banyak terjadi pada gigi anterior permanen rahang bawah.

Trauma pada gigi sulung yang menyebabkan gigi mengalami pergeseran pada

soketnya akan menabrak benih gigi permanen yang

terletak pada bagian palatal akar gigi sulung,

sehingga benih gigi permanen akan terdorong lebih

ke palatal. Namun, perkembangan selanjutnya dari

gigi permanen tersebut berjalan normal, hingga

pada akhirnya menyebabkan pembengkokan

mahkota pada gigi tersebut.

Gambaran Klinis

Pada penderita kelainan dilaserasi, secara

klinis gigi terlihat membengkok dan tidak harmonis apabila dibandingkan dengan

gigi sebelahnya.

Gambaran Radiografi

Pada penampang radiografi,

kelainan dilaserasi memperlihat -

kan lekukan pada akar (bengkok).

Pada beberapa kasus, dapat

ditemukan lebih dari satu lekukan

pada satu akar.

Page 14: Editor Pembahasan +Daftar Pustaka

E. Dens Evaginatus

Anomali pertumbuhan yang terdiri dari tonjolan ekstra yang langsing

(runcing), sering terdapat pada gigi premolar pertama bawah. Evaginasi memiliki

tanduk pulpa yang mendekati email. Oleh karena itu ketika terjadinya aus/patah

pada tonjol ini maka akan dapat menyebabkan pulpa terbuka.

Menurut tempatnya evaginasi di bagi menjadi dua yaitu pada Tuberculum

Fissura Sentral, dan Tuberkulum Vestibular pada Fissura Sentral. Tonjolan yang

lancip tertutup oleh selapis email. Rasa sakit dapat terjadi apabila Evaginatus

mengalami keausan dan kemudian patah, hal ini akan membuat terbukanya ruang

pulpa dan akan mempermudah terjadinya infeksi.

Epidemiologi

Evaginasi terutama dijumpai pada kedua gigi premolar bawah, tetapi

elemen-elemen lain juga dapat menunjukkan evaginasi. Uruta gigi Geligi yg

paling jarang terjadinya evaginasi adalah premolar atas, gigi molar, gigi kaninus,

dan gigi Insisive. Dens evaginatus paling banyak dijumpai pada orang asal

Mongolia yaitu sebesar 14% dilaporkan oleh Stewart et al. Pada Gambaran HPA,

dapat ditemukan tonjolan lancip yang ditutup oleh selapis enamel.

F. Mutiara Enamel

Mutiara enamel adalah email yang berbentuk bola kecil bulat oval yang

dapat dijumpai pada atau di dalam akar, kadang-kadang juga pada email terutama

pada gigi molar atas. Mutiara ini dapat mempunyai suatu inti dentin dan kadang-

kadang bahkan terdapat jaringan pulpa.

Mutiara email hampir selalu ditemukan tunggal, tetapi kadang-kadang

dijumpai dua, tiga bahkan empat pada satu elemen. Mutiara-mutiara itu sering

hanya dapat dilihat dengan mikroskop dan tertutup seluruhnya oleh sementum

akar maka jarang ditemukan. Ini tidak berlaku pada mutiara yang berukurn lebih

besar yang juga tertutup sementum dan pada foto Rontgen terlihat sebagai suatu

gambaran menyerupai karang gigi.

Page 15: Editor Pembahasan +Daftar Pustaka

Secara histologis Cavanha membedakan tiga tipe mutiara enamel.

1. Mutiara yang terletak di dalam tulang gigi dan oleh sebab itu sudah

ada sewaktu pembentukan dentin.

2. Mutiara terletak pada permukaan, tetapi walaupun demikian

mempengaruhi pembentukan dentine.

3. Mutiara yang terletak pada permukaan, tetapi tidak memengaruhi

pembentukan dentin, mutiara ini mudah patah.

Melihat sebab dan cara terjadinya, tidak ada yng dapat dipastikan, tetapi

ada kemungkinan bahwa selubung Hertwig yang menyebabkan adanya

pembentukan akar mempunyai potensi terhadap proliferasi setempat dan

diferensiasi sel sebagai bakal pembentukan enamel.

G. Taji Enamel

Taji enamel adalah enamel mahkota yang sering sering berekstensi sampai

ke bi- atau trifurkasi. Kemungkinan terjadinya adalah karena adana pembentukan

selubung Hertwig setempat, tidak hanya epitel email dalam dan luar dipindahkan

ke arah apikal, tetapi juga reticulum stellate dan stratum intermedium, sehingga

terjadi pembentukan email setempat.

3. Klasifikasi Kelainan Struktur GigiA. Hipoplasia Enamel

Hipoplasia enamel merupakan salah satu kelainan pada struktur gigi yang ditandai dengan terjadinya gangguan padda proses pembentukan matriks enamel pembentuk mahkota gigi yang disebabkan oleh beberapa faktor yang umumnya terjadi pada gigi permanen akibat adanya trauma dan infeksi pada gig sulung.Hipoplasia enamel terjadi karena terjadinya gangguan pembentukan enamel pada fase formasi atau pembentukan matriks organik penyusun enamel.

Page 16: Editor Pembahasan +Daftar Pustaka

Etiologi1. Faktor Umum

Trauma Infeksi Radiasi idiopatik

2. Faktor Lokal Lingkungan

Prenatal : Sifilis Kongenital Neonatal : Hipokalsemia Postnatal : Defisiensi vitamin A,C dan D atau

fluor yang berlebih. Herediter

Patogenesis

Pembentukan enamel pada gigi sulung dimulai saat fetus berusia 5 bulan intrauterin.Sedangkan pada gigi permanen, pembentukan enamel dimulai pada bulan ke-4 setelah bayi dilahirkan dan menjadi sempurna pada umur 4-7 tahun.

Pada anak yang mengalami trauma pada gigi sulung di bawah umur 4-7 tahun, di mana pada umur di bawah 4 tahun enamel masih dalam proses pembentukan, dapat menyebabkan terjadinya kelaianan pembentukan mahkota gigi.Trauma pada gigi sulung yang menyebabkan gigi mengalami fraktur mahkota yang melibatkan enamel, dentin dan terbukanya ruang pulpa merupakan penyebab terjadinya infeksi karena terbukanya ruang pulpa yang merupakan jalan masuknya mikroorganisme dan menginfeksi periapikal gigi sulung.Ketika infeksi telah mencapai pada akar gigi sulung, dapat mengganggu pembentukan enamel pada gigi permanen karena letak mahkota gigi permanen yang memang dekat dengan akar gigi sulung.

Adanya trauma yang meninggalkan jejas pada gigi sulung hingga menyebabkan infeksi pada periapikal gigi akan mengganggu ameloblas pembentuk mahkota gigi permanen.Akibatnya ameloblas yang semula berbentuk kolumnar berubah menjadi bentuk kuboid sehingga susunan epitel ameloblas menjadi berubah (abnormal).Selanjutnya akan terjadi proses degenerasi pada sel ameloblas yaitu adanya perubahan pada inti sel.Ini sel mengalami nekrosis berupa kariolisis ( hilangnya inti sel karena lisis ) dan piknosis (inti sel mengecil, bulat dan gelap ).Karena tidak ditemukannya lagi inti sel pada ameloblas, secara berangsur-angsur ameloblas akan berubah menjadi bentukan kista dan akan terlihat sitoplasma yang bervakuola.Lisisnya inti sel pada sel ameloblas menyebabkan terjadinya nekrosis pada sel ameloblas sehingga pada fase

Page 17: Editor Pembahasan +Daftar Pustaka

formation atau fase pembentukan matriks organik enamel terganggu dan proses penyusunan enamel terhenti dan menyebabkan enamel berkurang atau bahkan enamel tidak terbentuk sama sekali pada daerah tersebut sehingga membentuk groove dan pit yang dalam atau dangkal pada permukaan gigi akibat terjadinya hipoplasia enamel.

Gambaran Klinis

Pada hipoplasia enamel dapat ditemukan gambaran klinis berupa :

1. Perubahan warna pada enamel gigi

Mahkota gigi berwarna kuning sampai coklat.Perubahan warna gigi yang menjadi kuning pada hipolasi enamel disebabkan karena lapisan dentin tidak ditutupi atau sedikit ditutupi oleh enamel sehingga terjadi warna kuning akibat pancaran warna dentin yang selanjutnya pada daerah ini terjadi penyerapan stein dan akan berubah menjadi kecoklatan.

2. Pembentukan groove yang dalam dan pit pada permukaan gigi

Perubahan kedalaman groove dan pit disebabkan karena terlepasnya atau hilangnya enamel dari permukaan gigi. Secara garis besar kerusakan yang ditimbulkan bervariasi tergantung dari keparahan dan lamanya infeksi. Bila infeksi ringan dan berlangsung dalam waktu singkat, maka groove terlihat berupa garis horizontal dengan kedalaman dangkal yang melintasi gigi.Sementara itu, bagian lain dari gigi terlihat normal.Kadangkala juga ditemukan adanya bentuka pit- pit kecil yang tersusun horizontal, terutama pada permukaan vestibular gigi insisivus dan molar pertama.

3. Timbul rasa ngilu pada gigi dan rentan terhadap karies

Enamel merupakan jaringan yang kuat dan paling keras yang melindungi gigi terhadap rangsangan pengunyahan seperti rangsangan thermis, mekanis dan kimiawi.Pada hipoplasia enamel, ditemukan lapisan enamel ang tipis bahkan tidak ada enamel yang melapisi dentin.Akibatnya dentin tidak lagi memiliki lapisan pelindung, sehingga ketika mendapatkan rangsangan pengunyahan, seperti panas dan dingin gigi akan menjadi ngilu.

Gigi yang mengalami hipoplasi enamel lebih rentan terhadap terjadinya karies karena permukaan gigi yang mengalami hipoplasia enamel tidak rata sehingga memudahkan melekatnya makanan, dan dengan oral hygiene yang buruk memperparah proses terjadinya karies.

Page 18: Editor Pembahasan +Daftar Pustaka

4. Hipoplasie enamel dapat terjadi pada gigi sulung dan gigi permanen, namun insidensi terbesar pda gigi permanen.

B. Amelogenesis Imperfecta

Amelogenesis imperfecta adalah penyakit keturunan yang menunjukan kerusakan enamel gigi baik secara kualitatif ataupun kuantitatif dengan tidak adanya manifestasi sistemik. Amelogenesis imperfecta juga diketahui dengan nama lain yaitu hereditary enamel dysplasia dan hereditary brown opalescent teeth.

Kerusakan Amelogenesis imperfecta terjadi hanya pada ektodermal dengan komponen mesodermal yang tetap normal. Amelogenesis imperfecta merupakan penyakit keturunan dimana Amelogenesis imperfecta diturunkan dalam x-linked , autosomal dominan dan autosomal resesif.

Proses pemebntukan enamel terdiri dari tiga tahap yaitu :

1. Secretory stageYaitu merupakan fase sekresi matriks organik

2. Transition stageYaitu merupakan fase mineralisasi matriks organik

3. Maturation stageYaitu merupakan fase maturasi atau pematangan kalsifikasi

Dari fase pembentukan enamel , bisa diketahui klasifikasi dari Amelogenesis imperfecta. Apabila terjadi kerusakan pada fase sekresi matriks organik maka disebut sebagai hipoplastik. Apabila terjadi kerusakan pada fase transisi maka disebut sebagai hipokalsifikasi dan apabila terjadi kerusakan pada fase maturasi maka disebut sebagai hipomaturasi.

Page 19: Editor Pembahasan +Daftar Pustaka

Gambaran Klinis :

1) Terjadi perubahan warna atau diskolorisasi menjadi kuning kecoklatan2) Terlihat adanya enamel yang berkurang atau menipis3) Gigi terlihat lebih kecil4) Terjadi perubahan morfologi yaitu menjadi lebih runcing

Page 20: Editor Pembahasan +Daftar Pustaka

1) Terjadi perubahan warna atau diskolorisasi menjadi kuning kecoklatan

2) Terlihat adanya enamel yang berkurang atau menipis3) Terjadi penurunan dimensi vertical

Gambaran Radiologi :

1) Enamel pada permukaan insisal dan oklusal menipis yaitu dengan terlihat putih samar

2) Caninus menjadi runcing3) Cusp menjadi tidak beraturan

Page 21: Editor Pembahasan +Daftar Pustaka

1) Enamel pada permukaan insisal , oklusal dan proximal menipis yaitu dengan terlihat putih samar

2) Cusp menjadi tidak beraturan dan

C. Dentinogenesis Imperfecta Etiologi

Dentinogenesis Imperfecta (DI) adalah gangguan struktur gigi, yang terjadi pada saat proses pembentukan dentin. Penderita DI mengalami gangguan berupa penurunan kandungan mineral akibat jumlah kristal hidroksi apatit yang menurun dan meningkatnya kandungan air pada matriks ekstraselular dentin, sehingga menyebabkan anomali pada struktur dentin. Struktur dentin yang anomali ini yang kemudian menyebabkan terjadinya kerusakan matriks predentin, sehingga lapisan dentin yang mengelilingi pulpa di bagian paling luar (dentin sirkumpulpa) menjadi tidak terbentuk dan tidak teratur.

Etiologi utama dari DI adalah faktor herediter, yang diturunkan secara

autosomal dominan. Sehingga apabila dimisalkan, kalsifikasi dentin yang tidak

sempurna diumpamakan sebagai D (dominan), dan kalsifikasi dentin yang normal

sebagai d (resesif). Sebagai contoh, dominan heterozigot (Dd) menikah dengan

sesama dominan heterozigot (Dd), maka kemungkinan keturunan yang lahir

adalah dominan homozigot (DD), dominan heterozigot (Dd), dan resesif (dd).

Dimana dominan heterozigot dan homozigot memiliki kalsifikasi dentin yang

Page 22: Editor Pembahasan +Daftar Pustaka

tidak sempurna, sedangkan gen resesif memiliki kalsifikasi dentin yang sempurna.

Akan tetapi, hampir semua penderita DI memiliki gen dominan heterozigot.

Tetapi secara spesifik, pada Dentinogenesis Imperfecta tipe I yang berkaitan

dengan Osteogenesis Imperfecta, terjadi mutasi gen COL1A 1 dan COL1A 2.

Sedangkan untuk Dentinogenesis Imperfecta tipe II dan III, terjadi perubahan

kromosom 4 yang menyebabkan mutasi gen dentino sialophosphoprotein yang

berhubungan dengan pembentukan dentin.

Faktor predisposisi dari kelainan ini adalah defisiensi nutrisi, vitamin D,

dan defisiensi kalsium.

Patogenesis

Tahap pembentukan gigi yang menyebabkan terjadinya DI adalah periode histodiferenisasi, dimana sel-sel akan terspesialisasi dan mengalami perubahan histologis pada stukturnya. Hal yang menginisiasi kelainan pembentukan dentin ini adalah karena defisiensi fosfoprotein dentin. Fosfoprotein memiliki kandungan protein yang berperan penting dalam proses maturasi dentin. Proses maturasi dentin mulai berkembang apabila vesikel matriks pada sel-sel odontoblas mulai muncul. Vesikel matriks memiliki membran yang mengandung banyak fosfatidilserin. Fosfatidilserin memiliki kemampuan untuk mengikat kalsium, sehingga apabila terjadi defisiensi fosfoprotein, maka hal ini akan berpengaruh terhadap pelaksanaan fungsi fosfatidilserin.

Gambaran Klinis

Gambaran Klinis Umum :

1. Diskolorisasi.

Pada gigi penderita Dentinogenesis Inperfecta tampak berwarna abu-abu

transparan hingga kecoklatan, hal ini dapat terjadi karena di dalam tubuli dentin

diendapkan berbagai mineral, yang mana akan menembus email samar-samar.

Segera setelah erupsi, perubahan warna menjadi cepat, dan terjadi aus yang

berhubungan dengan kerusakan email. Sehingga terlihat dentin yang terbuka

menjadi berwarna coklat. Selain itu di dalam tubuli dentin yang rusak juga di

jumpai pembuluh darah yang juga mengakibatkan diskolorisasi.

Page 23: Editor Pembahasan +Daftar Pustaka

2. Mahkota berbentuk bulbous (lonceng)

Hal ini dapat terjadi karena pada dentinogenesis imperfecta terjadi

kelainan pada tahap histodifferensiasi pembentukan gigi baru. Dimana pada tahap

histodifferensiasi, epitelium terus berinvaginasi dan mendalam hingga organ

enamel membentuk bentukan lonceng.

Berdasarkan penampakan klinisnya, DI diklasifikasikan menjadi tiga tipe, yaitu DI tipe I, tipe II, dan tipe III.

DI tipe I

DI tipe I dapat terjadi baik pada gigi desidui, maupun gigi permanen. Kelainan tipe ini selalu timbul dengan kombinasi Osteogenesis Imperfecta (OI), yaitu kerusakan pada tulang yang menimbulkan berbagai macam kelainan seperti gangguan pendengaran yang progresif, fraktur multiple, serta kerusakan dentin itu sendiri.

DI tipe I biasanya memperlihatkan gigi yang telah mengalami diskolorisasi, bisa berwarna biru muda hingga biru tua atau coklat. Selain gigi yang mengalami diskolorisasi, juga tampak adanya ciri-ciri berupa atrisi, serta enamel yang rusak ataupun patah. Mahkota gigi berbentuk seperti bulbous (lonceng), serta akar gigi yang tipis dan pendek.

DI tipe II

Pada DI tipe II ini, gambaran klinisnya hamper menyerupai DI tipe I. hanya yang membedakan adalah, pada kelainan tipe ini kemunculan kelainan tidak disertai dengan kombinasi dari OI.

Page 24: Editor Pembahasan +Daftar Pustaka

DI tipe III

DI tipe III memiliki gigi geligi dengan penampilan seperti shell (kulit kerang), dan pembukaan ruang pulpa pada gigi desidui. Bentuk mahkota terlihat seperti bulbous, dan gigi sudah mengalami atrisi ketika erupsi.

Gambaran Radiologis

1. Penyempitan ruang pulpa.

Penyempitan ruang pulpa terjadi karena obliterasi ruang pulpa dan saluran

akar yang diakibatkan karena terjadi degenerasi sistemik dari odontoblas yang

menyatu di dalam matriks dentin.

Berdasarkan klasifikasi, yaitu :

DI tipe I

Mahkota gigi pada DI tipe I memiliki bentuk bulbous, dan terlihat adanya penyempitan ke arah servikal. Akar gigi terlihat pendek dan tumpul. Sedangkan sementum, membran periodontal, dan tulang alveolar terlihat normal. Ruang pulpa dan saluran akar akan menyempit setelah atau segera setelah erupsi, sehingga mengakibatkan obliterasi ruang pulpa.

Page 25: Editor Pembahasan +Daftar Pustaka

DI tipe II

Karena memiliki gambaran klinis yang hampir sama dengan DI tipe I, maka pada gambaran radiologispun DI tipe II memiliki gambaran yang sama.

DI tipe III

Secara radiologis, mahkota gigi pada DI tipe III memiliki gambaran yang sama ketika dilihat secara klinis. Yaitu memiliki bentuk mahkota seperti bulbous. Berbeda dengan DI tipe I dan II, pada tipe III ini, tidak terlihat adanya obliterasi pulpa. Sebaliknya, justru ruang pulpa terlihat lebih besar dari ukuran normal.

Page 26: Editor Pembahasan +Daftar Pustaka

Gambaran Histologis

Dentinogenesis Imperfecta merupakan gangguan pada dentin, sehingga secara histologis, struktur enamel pada penderita DI terlihat normal, hanya dentin saja yang terlihat adanya perubahan-perubahan patologis. Perubahan-perubahan tersebut dapat terlihat dari mantel dentin yang abnormal serta pada sirkumpulpa dentin terlihat daerah yang tidak teratur. Selain perubahan-perubahan tersebut juga terlihat ukuran tubulus dentin yang besar, pendek, dan memiliki lebar yang bervariasi, juga tubulus dentin memiliki jumlah yang lebih sedikit dibandingkan dengan tubulus dentin pada dentin yang memiliki kalsifikasi normal.

D. Displasia Dentin

Displasia dentin merupakan kelainan autosomal dominan yang

mempengaruhi pembentukan dentin, yang ditandai oleh perubahan-perubahan

dalam bentuk pulpa, dan adanya gambaran radiolusen yang idiopatik pada apeks

akar gigi. Sehingga, sering diistilahkan “roothless teeth” yaitu gigi tanpa akar.

Dentin displasia diklasifikasikan dalam 2 tipe, yaitu tipe I adalah displasia

dentin radikuler, sedangkan tipe II adalah displasia dentin koronal.

Etiologi

Etiologi dari dentin displasia berhubungan dengan kelainan genetik,

tampak sebagai sifat yang terisolasi, yang biasanya diwariskan oleh transmisi

keturunan autosomal dominan yang berhubungan dengan kromosom. Lebih

Page 27: Editor Pembahasan +Daftar Pustaka

tepatnya terjadi perubahan kromosom 4 yang menyebabkan mutasi gen pada gen

dentino sialophosphoprotein yang berperan dalam pengerasan kolagen dalam

dentin dan deposisi kristal mineral diantara serat-serat kolagen (mineralisasi).

Gambaran Klinis

Pada displasia dentin tipe I, mahkota klinis tampak normal, baik dalam

bentuk, warna, matriks, dan konsistensinya. Sedangkan kamar pukpa berbentuk

thistle tube, dan terdapaat batu pulpa besar yang menyebabkan penyumbatan

pulpa.

Untuk displasia dentin tipe II, terlihat mahkota gigi berwarna opak dan

saluran akar pulpa gigi sulung sering sekali tersumbaat baik sebagian maupun

seluruhnya. Sedangkan pada gigi tetap, saluran pulpa lebih sempit dan berbentuk

bulan sabit. Selain itu, akar gigi terlihat pendek, tumpul, dan menguncup.

Gambaran Klinis gigi permanen

pada penderita Dentin Dysplasia

tipe II

Radiografi

Pada gambaran radiografi, terdapat kelainan perkembangan akar. Dimana

hampir tidak ada pembentukan akar sama sekali. Ruang pulpa berbentuk tabung

bunga widuri dan terjadi kalsifikasi pulpa. Terlihat gambaran radiolusen

periapikal multiple pada tipe I, sedangkan pada tipe II terlihat garis-garis

radiolusen horizontal.

Ruang pulpa berbentuk tabung bunga widuri dan

kalsifikasi pulpa pada pasien dengan Displasia Dentin

Page 28: Editor Pembahasan +Daftar Pustaka

Histopatologi

Secara mikroskopik, enamel terlihat normal. Sedangkan tubuli dentin

terlihat tidak teratur, berdiameter lebih besar daripada normal, dan jumlahnya

sedikit.

4. Klasifikasi Kelainan Erupsi Gigi

A. Natal Teeth dan Neonatal Teeth

Natal teeth merupakan gigi yang telah erupsi atau telah ada dalam mulut

pada saat bayi dilahirkan. Sedangkan neo natal teeth merupakan gigi yang erupsi

selama masa neonatal yakni sejak bayi lahir sampai berusia 30 hari. Beberapa hal

yang dapat menyebabkan natal teeth dan neonatal teeth itu sendiri yakni posisi

benih yang superfisial/ dekat ke permukaan, bertambahnya proses erupsi gigi

selama/ setelah anak mengalami demam, karena faktor keturunan, akibat sifilis

kongenital, gangguan kelenjar endokrin, dan defisiensi makanan.

Gambaran klinis:

- Menunjukkan perkembangan yang kurang dengan ukuran kecil, bentuk

konikal.

- Kurang/ tidak adanya perkembangan akar sehingga gigi tersebut hanya

melekat pada leher gingiva, tidak kuat, dan memungkinkan gigi dapat

bergerak ke segala arah.

- Lokasi paling sering terkena: gigi insisivus bawah (85%), jarang dijumpai

pada rahang atas.

Page 29: Editor Pembahasan +Daftar Pustaka

B. Gigi Molar Sulung yang Terpendam

Merupakan gangguan erupsi yang menunjukkan gagalnya gigi molar

sulung mempertahankan posisinya akibat perkembangan gigi di sebelahnya,

sehingga gigi molar sulung tersebut berubah posisi menjadi di bawah permukaan

oklusal. Lokasi paling sering terkena yakni gigi molar dua sulung rahang bawah.

Ada penelitian yang menemukan bahwa gigi tersebut terbenam seluruhnya sampai

di bawah gingiva.

Mekanisme terbenamnya gigi molar sulung ini belum diketahui dengan

pasti. Diduga berhubungan dengan ankilosis, yang disebabkan pengendapan

tulang yang berlebihan selama fase resorpsi dan reposisi, sehingga menyebabkan

pergerakan kea rah oklusal dari gigi molar dua sulung terhenti sehingga gigi

tersebut terletak di bawah permukaan oklusal gigi molar satu sulung dan molar

satu tetap.

Page 30: Editor Pembahasan +Daftar Pustaka

C. Erupsi Gigi yang Tertunda

Beberapa penyebab erupsi gigi itu tertunda yakni:

Gigi insisivus

Disebabkan resorpsi yang terlambat dari gigi insisivus sulung akibat

trauma/ kematian pulpa, kehilangan gigi sulung yang dini sehingga terjadi

penebalan jaringan yang menyebabkan gigi sukar erupsi.

Gigi kaninus

Disebabkan jalur erupsi gigi kaninus yang tidak sebagaimana mestinya,

mengalami penyimpangan. Hal ini sering terjadi pada rahang atas.

Gigi premolar

Disebabkan adanya tekanan ke arah gigi-gigi lain disebabkan angulasi

abnormal sehingga gigi yang erupsi mengalami penyimpangan. Terlambatnya

erupsi pada gigi premolar ini juga disebabkan gigi berjejal, resorbsi yang

terlambat dari gigi molar sulung, terpendamnya gigi molar sulung yang

menyebabkan premolar tidak dapat erupsi

Gigi molar

Disebabkan adanya impaksi ke arah lain.

D. Erupsi Ektopik Gigi Molar Pertama Tetap

Erupsi Ektopik Gigi Molar Pertama Tetap merupakan penempatan yang

abnormal dari gigi tersebut yang mengakibatkan resorpsi dini dari permukaan

distal akar gigi Molar dua desisui karena adanya impaksi dari Molar pertama tetap

terhadap permukaan distal Molar dua desisui. Klasifikasiya yaitu:

1. Irreversible ,yakni Molar pertama tetap berkontak dengan bagian distal

Molar dua desidui pada daerah servikal, sehingga Molar pertama tetap

tidak bisa membebaskan diri / tidak dapat erupsi keposisi normal

lengkung rahang.

Page 31: Editor Pembahasan +Daftar Pustaka

2. Reversible, yakni Molar petama tetap berkontak dengan Molar dua

desidui tetapi tidak terkinci, sehingga dapat membebaskan diri /

kembali erupsi ke posisi normal di lengkung rahang.

Etiologi

Faktor Lokal :

1. Seluruh gigi permanen dan desidui pada rahang atas memiliki ukuran lebih

besar dari normalnya.

2. Ukuran gigi Molar pertama tetap dan Molar dua desidui lebih besar dari

normalnya

3. Rahang atas memiliki ukuran yang lebih kecil dari normalnya

4. Sudut erupsi Molar pertama tetap yang abnormal( lebih ke mesial)

Faktor Genetik

Erupsi ektopik gigi Molar pertama tetap rahang atas lebih umum dijumpai

diantara saudara kandung (19,8%) dibandingkan pada populasi umum (4,3%).

Pada erupsi ektopik Molar pertama tetap lebih disebabkan karena faktor genetik,

namun pada erupsi ektopik Insisivus sentral tetap lebih karena faktor gangguan

kekuatan otot.

Patogenesis

Molar pertama tetap erupsi condong kearah mesial sehingga meresorpsi

servikal (resorpsi patologis eksterna) yang meresorpsi jaringan organik( kolagen),

denting peritubuler, dan selubung prisma email. Ketika keadaan ini tidak dirawat/

dibiarkan maka akan terakumulasi sel-sel radang yang akan menimbulkan rasa

sakit. Selain itu juga dapat menyebabkan tanggal dini , rotasi, supraoklusi, dan

openbite dari gigi Molar dua desidui.

Gejala Klinis

1. Pemeriksaan subyektif ,yakni berdasarkan keluhan pasien pada gigi mana

yang mengalami erupsi ektopik

2. Pemeriksaan obyektif, yakni secara visual dan foto rontgen.

E. KISTA PARADENTAL

Page 32: Editor Pembahasan +Daftar Pustaka

Suatu kista odontogenik peradangan yang meningkat dalam hubungannya

dengan gigi Molar tiga tetap rahang bawah vital yang erupsi sebagian dan disertai

riwayat perikoronitis.

Etiologi

Impaksi pada gigi Molar tiga tetap menyebabkan terbentuknya

perikoronitis. Celah antara perikoronitis dan gigi Molar tiga tetap terjadi

akumulasi plak yang menyebabkan peradangan sehingga memicu inflamasi dan

terbentuk kista paradental.

Histologi

Secara histologi sama dengan kista dentigerous ,yaitu dilapisi epitel

squamous stratified hyperplastik non-keratinisasi. Perbedaanya pada kista

paradental kista terletak di akar gigi yang erupsi. Sedangkan kista dentigerous

kista terletak di atas mahkota gigi yang akan erupsi.

Gejala Klinis

Palasi terasa fluktuasi dan krepitasi /benjolan keras. Lebih sering pada usia

10 sampai 39 tahun. Dominan menyerang pada orang kulit putih. Lebih sering

menyerang pria dan sering terdapat dibagian bukal atau distal.

Pemeriksaan Radiologi

Kista berupa daerah radiolusent bulat yang berbatas jelas dengan diameter

sekitar 3/8inci. Didalam kista terdapat protein albumin( molekulnya kecil) dan

globulin(molekulnya besar)

F. Tetthing (Pertumbuhan Gigi)

Masalah teething biasanya muncul dengan erupsi gigi –gigi molar yang

relatif lebih besar.

Gejala Lokal

Kemerahan atau pembengkakan gingiva pada regio yang akan erupsi.

Bercak eritema pada pipi.

Gejala Sistemik

Page 33: Editor Pembahasan +Daftar Pustaka

- Gelisah dan menangis

- Kehilangan nafsu makan

- Tidak dapat tidur

- Meningkatnya saliva dan saliva terus menetes

- Nafsu makan berkurang

- Rasa haus meningkat

DAFTAR PUSTAKA

Andlaw, R.J.1992.Perawatan Gigi Anak.Jakarta:Widya Medika

Barron et al. 2008. Hereditary dentine disorders: dentinogenesis imperfecta and

dentinedysplasia.Orphanet Journal of Rare Diseases.

Bjerklin K, Kurol J. 1983. Ectopic Eruption of the Maxillary First Permanent

Molar --:Ortodontic Am.

Craig G.T. 1976. The paradental cyst. A specific inflammatory odontogenic

cyst.--: Br.Dent J.

Dinata, Nuraini .2009. Skripsi “Fusi Gigi pada Anak “ . USU : FKG USU

Garcia-Godoy F. 1982. Corection of ectopically eruption maxillary permanent

first molar--: SADA

Garg, Shushant K, Bansal Sanjay et al. 2012. Dentinogenesis Imperfecta-

Aetiology and Prosthodontic Management. Indian Journal of Dental

Sciences. Vol. 4(1)

Lanlais, Robert P. 1998. Atlas Berwarna Kelainan Rongga Mulut yang Lazim.

Jakarta : Hipokrates

Lee et al. 2013. A DSPP Mutation Causing Dentinogenesis Imperfecta

andCharacterization of the Mutational Effect. BioMed Research

International.

Lubis, Putri Mairani. 2004. Skripsi “ Dens Invaginatus “. USU : FKG USU

Page 34: Editor Pembahasan +Daftar Pustaka

Marx, Robert E. 2002. Oral and Maxillofacial Pathology : A Rationale for

Diagnosis and Treatment. Hongkong : Quintessense Publishing Co, Inc.

Marx, Robert E. 2002. Oral and Maxillofacial Pathology : A Rationale for

Diagnosis and Treatment. Hongkong : Quintessense Publishing Co, Inc.

Mega, Sandra. 2003. Dentinogenesis Imperfecta. Skripsi FKG USU. Medan.

Indonesia

Neiminen. 2007.Molecular of Tooth Agenesis. Finland: Department of Orthodontics Institute of Dentisty and Institute of Biotechnology And Department of Biological and Environmental Sciences Faculty of Biosciences University of Helsinki Finland

Salim, D. 2001. Perubahan-perubahan pada Dentinogenesis. Skripsi FKG USU.

Medan. Indonesia.

Shear Mervyn. 1992.Cyst of the oral region. --:WRIGHT

Sipayung, ANM. 2011. Gambaran Radiografi dari Dentin Dysplasia. Skripsi

FKG USU. Medan. Indonesia.

Sudiono, Janti.2007.Gangguan Tumbuh Kembang Dentokraniofasial.Jakarta:EGC

Tsai et al. 2003. Dentinogenesis Imperfecta Associated with Osteogenesis

Imperfecta:Report of Two Cases. Chang Gung Med Journal

Yamakoshi, Yasuo. 2008. Dentin Sialophophoprotein (DSPP) and Dentin. Journal

Oral Biosci. Vol. 50(1)

Yendriwati. 2004. Dentinogenesis Imperfekta. Skripsi FKG USU. Medan.

Indonesia

Yendriwati .---. Dentinogenesis Imperfekta. USU : Biologi Oral FKG USU