Edisi Oktober 2013 - pusaka.or.id fileserta Polsek Mantangai. Camat Mantangai, meminta warga yang...

6
Pusaka BERITA Kompleks Rawa Bambu I, Jl. B No. 6 B, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Indonesia. Telpon/Fax: 021 7892137 Edisi IV Oktober 2013 1 “Dalam aturan, kami dengar hutan sagu dan tempat keramat tidak ditebang tetapi semua sudah habis. Aturan itu tipu saja...” Serikat Tani Sepakat Garap Lahan Malam itu, tanggal 17 oktober 2013, seluruh pengurus dan anggota Serikat Tani Magantang Tarung, Kampung Mantangai Hulu, Kabupa- ten Kapuas, berembug dirumah salah satu anggota. Diskusi malam itu berlangsung sengit, seluruh anggota, perempuan maupun laki- laki diberi kesempatan mengeluarkan pendapat, untuk bersama menentukan sikap atas sengketa lahan warga dengan perkebunan sawit PT Usaha Handalan Perkasa. Basri HD, yang didapuk sebagai Ketua Serikat Tani, melalui selulernya mengabarkan, pertemuan itu dilakukan untuk menyatukan panda- ngan dan sikap anggota menyikapi persoalan sengketa lahan pasca kunjungan pihak TRIPIKA Mantangai ke lokasi tanggal 15 Oktober 2013. Pihak TRIPIKA terdiri dari: Camat Mantangai beserta staf, Dan- ramil, sekretaris Kadamangan yang merangkap Humas Perusahaan, serta Polsek Mantangai. Camat Mantangai, meminta warga yang berladang di Sei Hambiye menerima tali asih (ganti rugi) dari perusahaan. Basri, tidak meneri- ma begitu saja tawaran itu. Ia memilih melakukan musyawarah dengan warga untuk mengambil keputusan bersama. “Hasil pertemuan seluruh anggota memutuskan untuk tetap meng- garap lahan di Sei Hambiye, dalam waktu dekat, secara serentak kami akan menanam benih padi dengan cara Manugal”. Jelas Basri. Sikap itu diambil, karena proses penyelesaian sengketa melalui jalur pemerintah sejauh ini kebijakannya belum menunjukan tanda-tanda keberpihakan kepada warga. Selain itu, lahan tersebut sudah menja- di lahan pertanian warga jauh sebelum perusahaan sawit datang. Dilokasi tersebut, Serikat Tani menargetkan penggalian parit sepan- jang dua kilometer, dan sejauh ini panjang galian baru mencapai 300 meter. Kini, bibit pisang dan bibit karet sudah ditanam, sebagian warga juga sudah menanam benih padi gunung jenis geragai. (AP) PT. Nabire Baru Membongkar Hutan Adat Suku Yerisiam, Nabire. Masyarakat di Kampung Sima dan Wami, Distrik Yaur, Nabire, tidak dapat mengendalikan aktifitas perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Nabire Baru, yang terus memperluas pembongkaran hutan adat setempat untuk perkebunan kelapa sawit. Pemerintah Kabupaten Nabire memberikan izin lokasi seluas 17.000 ha untuk PT. Nabire Baru. Meskipun belum ada AMDAL (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan) tetapi perusahaan asal Singapura tersebut sudah membongkar hutan ribuan hektar. Demianus, tokoh pemuda setempat mengungkapkan “Masa depan saya sudah hancur. Kapan kayu bisa tumbuh lagi. Dalam aturan, kami dengar hutan sagu dan tempat keramat tidak ditebang tetapi semua sudah habis. Aturan itu tipu saja. Kalau kami hitung-hitung semua, perusahaan mampu bayar kami ka”. Kepala Suku Yeirsam, Simon Petrus Hanebora, telah meminta peme- rintah menutup aktifitas perusahaan PT. Nabire Baru, karena aktifitas perusahaan yang menggusur, merusak dan menghilangkan hutan adat masyarakat setempat, serta telah menimbulkan konflik diantara masyarakat. “Penebangan hutan sudah masuk hingga areal keramat, dusun sagu dan pinggiran pantai. Ribuan pohon kayu putih dan rotan yang me- miliki nilai komersial diterlantarkan dan dikuburkan begitu saja. Sedangkan kayu merbau diburu dan dijual”, ungkap Hanebora. Terjadinya penyimpangan perusahaan dan pengrusakan hutan ini diperkirakan melibatkan pemerintah provinsi Papua dan Pemerintah Daerah Nabire, yang melakukan persokongkolan dan membiarkan aktifitas perusahaan. Perusahaan juga menggunakan pendekatan keamanan (TNI dan Brimob) dalam menjaga dan mengamankan aktifitas perusahaan. Masyarakat setempat enggan dan takut untuk melakukan protes. (Ank, Okt 2013) Menambang Tanpa Ijin di Hutan Lindung Perusahaan PT. Madinah Qurataain (MQ) melakukan kegiatan pertam- bangan dan pembangunan landasan pesawat di kawasan hutan lin- dung tanpa ada ijin dan tidak memiliki dokumen AMDAL. Diketahui kawasan hutan tersebut berada di Kampung Nomouwodide, Distrik Bogobaida, Kabupaten Paniai, Provinsi Papua. Perusahaan MQ tidak sendirian, tetapi bekerjasama dengan sebuah perusahaan asal Australia yaitu West Wits Mining, Ltd, dalam melaku- kan kegiatan pembangunan landasan pesawat. Di daerah ini pula, pihak perusahaan terlibat menjadi pemodal dan penggerak eksploi- tasi pertambangan emas oleh rakyat yang berlangsung disepanjang Sungai Degeuwo. Ketua Dewan Adat Daerah Paniyai, John NR. Gobai, meminta Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua untuk menurunkan tim dan menghentikan kegiatan yang dilakukan dalam Kawasan Hutan Lindung oleh PT. Madinah Qurataain, karena diduga mereka melaku- kan kegiatan di hutan tanpa ijin. (Ank, Okt 2013) Pemetaan Tanah Adat Prioritas Pemerintah Sekitar 70 orang tokoh-tokoh masyarakat dari lima kampung, yakni: Kampung Baad, Wayau, Zanegi, Koa dan Kaiza, keseluruhannya di Distrik Animha, Kabupaten Merauke, mengikuti Lokakarya Pemetaan Tanah Adat, di Kampung Wayau, yang berlangsung selama dua hari, 21 dan 22 Oktober 2013. Hadir pula dalam lokakarya perwakilan kampung tetangga yang berbatasan, yakni: Kampung Kaliki, Distrik Kurik dan Kampung Muting, Distrik Muting. Lokakarya ini dilaksanakan kerjasama PUSAKA, YASANTO, JKPP Bogor dan WWF di Merauke, serta Pemkab Merauke. Efendi Kanan, Kadis Kehutanan dan Perkebunan, yang membuka Lokakarya tersebut mengatakan pemetaan tanah adat adalah priori- tas pemerintah daerah Merauke dan penting dilakukan untuk mem- perjalas batas-batas hak tanah adat. “Peta tanah adat penting agar berguna bagi masyarakat saat ini hingga generasi anak cucu nanti mengetahui batas-batas pemilikan tanah adatnya sehingga tidak terjadi konflik”, jelas Efendi Kanan. Diakui oleh Efendi, pemetaan tanah adat tidak gampang, prosesnya bisa berulang-ulang, namun harus difasilitasi oleh Pemerintah Daerah sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Otsus Papua dan Perdasus Papua tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Papua. Pada akhir kegiatan lokakarya, disepakati fasilitasi pemetaan tanah adat dimulai dari Kampung Zanegi dan Wayau, pada tahap pertama, menyusul Kampung Koa, Kampung Baad dan Kaiza. Jago Bukit dari YASANTO, menjelaskan fasilitasi pemetaan untuk lima kampung akan dilakukan pada bulan Oktober hingga November 2013. Diperki- rakan kegiatan survei pengambilan data dan penggambaran peta berakhir pada bulan Desember 2013 (Ank, Okt 2013)

Transcript of Edisi Oktober 2013 - pusaka.or.id fileserta Polsek Mantangai. Camat Mantangai, meminta warga yang...

Page 1: Edisi Oktober 2013 - pusaka.or.id fileserta Polsek Mantangai. Camat Mantangai, meminta warga yang berladang di Sei Hambiye menerima tali asih (ganti rugi) dari perusahaan. Basri, tidak

PusakaBERITA

Kompleks Rawa Bambu I, Jl. B No. 6 B, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Indonesia. Telpon/Fax: 021 7892137

Edisi IV Oktober 2013

1

“Dalam aturan, kami dengar hutan sagu dan tempat keramat tidak ditebang

tetapi semua sudah habis. Aturan itu tipu saja...”

Serikat Tani Sepakat Garap Lahan

Malam itu, tanggal 17 oktober 2013, seluruh pengurus dan anggota Serikat Tani Magantang Tarung, Kampung Mantangai Hulu, Kabupa-ten Kapuas, berembug dirumah salah satu anggota. Diskusi malam itu berlangsung sengit, seluruh anggota, perempuan maupun laki-laki diberi kesempatan mengeluarkan pendapat, untuk bersama menentukan sikap atas sengketa lahan warga dengan perkebunan sawit PT Usaha Handalan Perkasa.Basri HD, yang didapuk sebagai Ketua Serikat Tani, melalui selulernya mengabarkan, pertemuan itu dilakukan untuk menyatukan panda-ngan dan sikap anggota menyikapi persoalan sengketa lahan pasca kunjungan pihak TRIPIKA Mantangai ke lokasi tanggal 15 Oktober 2013. Pihak TRIPIKA terdiri dari: Camat Mantangai beserta staf, Dan-ramil, sekretaris Kadamangan yang merangkap Humas Perusahaan, serta Polsek Mantangai.Camat Mantangai, meminta warga yang berladang di Sei Hambiye menerima tali asih (ganti rugi) dari perusahaan. Basri, tidak meneri-ma begitu saja tawaran itu. Ia memilih melakukan musyawarah dengan warga untuk mengambil keputusan bersama.“Hasil pertemuan seluruh anggota memutuskan untuk tetap meng-garap lahan di Sei Hambiye, dalam waktu dekat, secara serentak kami akan menanam benih padi dengan cara Manugal”. Jelas Basri.Sikap itu diambil, karena proses penyelesaian sengketa melalui jalur pemerintah sejauh ini kebijakannya belum menunjukan tanda-tanda keberpihakan kepada warga. Selain itu, lahan tersebut sudah menja-di lahan pertanian warga jauh sebelum perusahaan sawit datang. Dilokasi tersebut, Serikat Tani menargetkan penggalian parit sepan-jang dua kilometer, dan sejauh ini panjang galian baru mencapai 300 meter. Kini, bibit pisang dan bibit karet sudah ditanam, sebagian warga juga sudah menanam benih padi gunung jenis geragai. (AP)

PT. Nabire Baru Membongkar Hutan Adat Suku Yerisiam, Nabire.

Masyarakat di Kampung Sima dan Wami, Distrik Yaur, Nabire, tidak dapat mengendalikan akti�tas perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Nabire Baru, yang terus memperluas pembongkaran hutan adat setempat untuk perkebunan kelapa sawit.Pemerintah Kabupaten Nabire memberikan izin lokasi seluas 17.000 ha untuk PT. Nabire Baru. Meskipun belum ada AMDAL (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan) tetapi perusahaan asal Singapura tersebut sudah membongkar hutan ribuan hektar.Demianus, tokoh pemuda setempat mengungkapkan “Masa depan saya sudah hancur. Kapan kayu bisa tumbuh lagi. Dalam aturan, kami dengar hutan sagu dan tempat keramat tidak ditebang tetapi semua sudah habis. Aturan itu tipu saja. Kalau kami hitung-hitung semua, perusahaan mampu bayar kami ka”.Kepala Suku Yeirsam, Simon Petrus Hanebora, telah meminta peme-rintah menutup akti�tas perusahaan PT. Nabire Baru, karena akti�tas perusahaan yang menggusur, merusak dan menghilangkan hutan adat masyarakat setempat, serta telah menimbulkan kon�ik diantara masyarakat.“Penebangan hutan sudah masuk hingga areal keramat, dusun sagu dan pinggiran pantai. Ribuan pohon kayu putih dan rotan yang me-miliki nilai komersial diterlantarkan dan dikuburkan begitu saja. Sedangkan kayu merbau diburu dan dijual”, ungkap Hanebora. Terjadinya penyimpangan perusahaan dan pengrusakan hutan ini diperkirakan melibatkan pemerintah provinsi Papua dan Pemerintah Daerah Nabire, yang melakukan persokongkolan dan membiarkan akti�tas perusahaan. Perusahaan juga menggunakan pendekatan keamanan (TNI dan Brimob) dalam menjaga dan mengamankan akti�tas perusahaan. Masyarakat setempat enggan dan takut untuk melakukan protes. (Ank, Okt 2013)

Menambang Tanpa Ijin di Hutan Lindung

Perusahaan PT. Madinah Qurataain (MQ) melakukan kegiatan pertam-bangan dan pembangunan landasan pesawat di kawasan hutan lin-dung tanpa ada ijin dan tidak memiliki dokumen AMDAL. Diketahui kawasan hutan tersebut berada di Kampung Nomouwodide, Distrik Bogobaida, Kabupaten Paniai, Provinsi Papua.Perusahaan MQ tidak sendirian, tetapi bekerjasama dengan sebuah perusahaan asal Australia yaitu West Wits Mining, Ltd, dalam melaku-kan kegiatan pembangunan landasan pesawat. Di daerah ini pula, pihak perusahaan terlibat menjadi pemodal dan penggerak eksploi-tasi pertambangan emas oleh rakyat yang berlangsung disepanjang Sungai Degeuwo. Ketua Dewan Adat Daerah Paniyai, John NR. Gobai, meminta Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua untuk menurunkan tim dan menghentikan kegiatan yang dilakukan dalam Kawasan Hutan Lindung oleh PT. Madinah Qurataain, karena diduga mereka melaku-kan kegiatan di hutan tanpa ijin. (Ank, Okt 2013)

Pemetaan Tanah Adat Prioritas Pemerintah

Sekitar 70 orang tokoh-tokoh masyarakat dari lima kampung, yakni:Kampung Baad, Wayau, Zanegi, Koa dan Kaiza, keseluruhannya di Distrik Animha, Kabupaten Merauke, mengikuti Lokakarya Pemetaan Tanah Adat, di Kampung Wayau, yang berlangsung selama dua hari, 21 dan 22 Oktober 2013. Hadir pula dalam lokakarya perwakilan kampung tetangga yang berbatasan, yakni: Kampung Kaliki, DistrikKurik dan Kampung Muting, Distrik Muting.Lokakarya ini dilaksanakan kerjasama PUSAKA, YASANTO, JKPP Bogor dan WWF di Merauke, serta Pemkab Merauke. Efendi Kanan, Kadis Kehutanan dan Perkebunan, yang membuka Lokakarya tersebut mengatakan pemetaan tanah adat adalah priori-tas pemerintah daerah Merauke dan penting dilakukan untuk mem-perjalas batas-batas hak tanah adat. “Peta tanah adat penting agar berguna bagi masyarakat saat ini hingga generasi anak cucu nanti mengetahui batas-batas pemilikan tanah adatnya sehingga tidak terjadi kon�ik”, jelas Efendi Kanan. Diakui oleh Efendi, pemetaan tanah adat tidak gampang, prosesnya bisa berulang-ulang, namun harus difasilitasi oleh Pemerintah Daerah sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Otsus Papua dan Perdasus Papua tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Papua.Pada akhir kegiatan lokakarya, disepakati fasilitasi pemetaan tanah adat dimulai dari Kampung Zanegi dan Wayau, pada tahap pertama, menyusul Kampung Koa, Kampung Baad dan Kaiza. Jago Bukit dari YASANTO, menjelaskan fasilitasi pemetaan untuk lima kampung akan dilakukan pada bulan Oktober hingga November 2013. Diperki-rakan kegiatan survei pengambilan data dan penggambaran petaberakhir pada bulan Desember 2013 (Ank, Okt 2013)

Page 2: Edisi Oktober 2013 - pusaka.or.id fileserta Polsek Mantangai. Camat Mantangai, meminta warga yang berladang di Sei Hambiye menerima tali asih (ganti rugi) dari perusahaan. Basri, tidak

Berita Pusaka, Edisi IV Oktober 2013

2

Buah Sawit PT RASR Diamankan Warga

Masyarakat korban perampasan lahan perkebunan kelapa sawit PT. Rezeki Alam Semesta Raya ( PT RASR ) di Kecamatan Mantangai, Ka-bupaten Kapuas, Kalimantan tengah, mengamankan empat buah perahu klotok yang mengangkut buah sawit dari kebun PT RASR. Sejak jumat (4/10/2013), buah sawit dengan bobot sekitar 28 ton itu teronggok di depan kantor Polsek Mantangai. Aksi penahanan itu, merupakan sikap masyarakat atas hasil kesepakatan dengan Bupati Kapuas yang tertuang dalam berita acara pada tanggal 17 Septem-ber lalu. Dalam berita acara itu tertuang, bahwa PT RASR diberi kesempatan satu minggu untuk melakukan panen.“Perusahaan sendiri yang telah melanggar kesepakatan. Sudah lebih dari satu minggu mereka tetap melakukan panen, jadi kami aman-kan buah sawit itu kemudian kami serahkan kepada pihak kepolisi-an”, kata Misradi, warga Sei Ahas.Warga sudah melaporkan aksinya dan pelanggaran yang dilakukan RASR kepada pihak polsek Mantangai, namun tidak ada tanggapan. Sebaliknya, pihak Wakapores Kapuas datang dan mendesak warga agar membiarkan buah itu diangkut untuk dijual oleh perusahaan.Warga menolak permintaan Pak Wakapolres, “sebelum masalah ini selesai, buah sawit tetap kami tahan dan jika tidak ada keputusan maka kami akan membawa buah sawit itu ke halaman kantor Bupati Kapuas”, kata Misradi.Masyarakat hingga saat ini masih berjaga-jaga disekitar polsek Man-tangai. Sebagian melakukan pemantauan diperkebunan sawit. (AP)

Warga Handel Sei Nyamuk Melayangkan Surat Protes Kepada Bupati Kapuas

Sebanyak 27 Warga Handel Sei Nyamuk, Desa Palingkau Baru, Keca-matan Kapuas Murung, Kabupaten Kapuas, melayangkan Surat Ke-pada Bupati Kapuas, pada 11 Oktober 2013.Surat tersebut memuat sikap penolakan dan protes wagra terkait keberadaan perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Semangat Usaha Agro (SUA), yang mendapatkan Ijin Lokasi berdasarkan Surat Keputusan Bupati Kapuas Nomor 186 tahun 2012, tanggal 30 Januari 2012, dengan luas areal 15.900 hektar, yang lokasinya tersebar di empat kecamatan, yakni: Kecamatan Kapuas Timur, Kapuas Hilir, Pulau Petak dan Kapuas MurungWarga meminta Bupati Kapuas mencabut izin perusahaan SUA, alasannya areal perkebunan kelapa sawit SUA berada dalam areal pertanian masyarakat di Handel Sei Nyamuk dan mengancam mata pencaharian di bidang pertanian, lingkungan, sosial dan budaya. (Ank, Okt 2013)

PT. SIS Menggusur Tempat Penting Orang Malind

Orang Malind mempunyai kearifan tradisional untuk melindungi tempat-tempat yang dianggap penting. Tempat penting tersebut mempunyai nilai sejarah, sosial budaya dan ekonomi, seperti: jalur perjalanan leluhur, tempat peninggalan yang keramat, kuburan lelu-hur, kampung tua dan dusun sagu. Ketua WWF Merauke, Lienke Rahawarin, dalam Lokakarya Pemetaan Partisipatif di Kampung Wayau, Distrik Animha, Merauke, (21/10/2013) menyampaikan hasil pemetaan tempat penting Orang Malind di Kam-pung Zanegi. Ditemukan ada sekitar empat dari 10 tempat penting yang hilang milik Orang Malind di Kampung Zanegi.Menurut Amandus Gebze, tokoh masyarakat Zanegi, tempat penting dusun sagu digusur oleh perusahaan hutan tanaman PT. SIS (Selaras Inti Semesta) yang beroperasi di Kampung Zanegi. Pada tahun 2012 dan 2013, PT. SIS membongkar hutan dan menggu-sur dusun sagu yang ada disekitar rawa kali Watkind. Nama tempat dusun-dusun sagu tersebut, antara lain: kakor, nggati�k, doga, kema-bus, okas, galti, ogati dan kombadi.Penggusuran tempat penting bertentangan dengan rekomendasi Gubernur Papua untuk melindungi tempat penting dan bernilai konservasi tinggi. Juga berarti, perusahaan tidak menghormati hak-hak dan pengetahuan ekonomi sosial budaya masyarakat. Warga tidakdapat berbuat dan berharap ada kehendak pemerintah untuk mene-gakkan hukum. (Ank, Okt 2013)

Perusahaan Kelapa Sawit Menggusur Hutan Papua

Skenario pemerintah Provinsi Papua untuk mengembangkan perke-bunan kelapa sawit guna mendukung gagasan pembangunan eko-nomi rendah karbon dan pengurangan emisi karbon di tanah Papua, tidak berjalan sebagaimana mestinya. Justeru menimbulkan keresa-han dan kon�ik yang mengorbankan masyarakat dan memperparah kerusakan hutan.Sebabnya, perusahaan kelapa sawit yang datang ke kampung tidak memanfaatkan lahan hutan sekunder yang rusak dan tidak produktif sebagaimana dikehendaki pemerintah. Sebaliknya yang terjadi meng-gusur hutan alam, merusak kawasan bernilai budaya dan konservasi tinggi, tidak menghargai hak-hak masyarakat, pemberian ganti rugi yang tidak layak, terjadi praktik kekerasan dan bersikap diskriminatif terhadap pekerja penduduk asli Papua.Silvester Ndiken, warga Kampung Muting, Distrik Muting, Merauke, mengabarkan aktivitas perusahaan sawit PT. Berkat Cipta Abadi dan PT. Bio Inti Agrindo, yang beroperasi didaerah Muting dan Ulilin, “ mereka menggusur dan menggunduli hutan alam dan daerah sekitar hutan keramat untuk perkebunan kelapa sawit”, ungkap Silvester. Di Nabire, perusahaan kelapa sawit PT. Nabire Baru menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat Suku Yerisiam, perusahaan menggusur dan merobohkan pohon di hutan keramat, dusun sagu hingga ke daerah pinggiran pantai. Perusahaan juga mengambil pohon merbau. Padahal perusahaan belum mempunyai AMDAL. Hal tersebut disampaikan oleh John Gobai, Sekretaris Dewan Adat Papua, melalui surat elektronik. “Situasi hutan dan masyarakat suku Yerisiam sangat memprihatinkan dan tidak ada pertanggung jawaban dari perusahaan,” tulis John Gobai.Berdasarkan info data PUSAKA, hingga tahun 2013, sudah ada puluh-an perusahaan kelapa sawit yang mendapatkan Izin Lokasi untuk ber-operasi di tanah Papua. Di Provinsi Papua, sudah ada 59 perusahaan yang mendapatkan izin lokasi dengan luas lahan konsesi 2.288.579 ha, sebagian besar sudah beroperasi di Merauke dan Boven Digoel. Di Provinsi Papua Barat, sudah ada 17 perusahaan yang mendapatkan Izin Lokasi dengan luas lahan konsesi 474.332 ha. Umumnya perusahaan perkebunan kelapa sawit di Papua dikuasai perusahaan besar dan modal asing, seperti: Korindo Group, Daewoo International, Medco Agro Group, Rajawali Group, Sinar Mas Group, Noble Group, Wilmar International Group, Musim Mas Group, Austindo Nusantara Jaya Group. (Ank, Okt 2013).

1. Jayapura 8 PT 183.3972. Sarmi 2 PT 61.6483. Keerom 2 PT 61.8304. Serui 1 PT 24.6605. Nabire 2 PT 17.0006. Mimika 3 PT 78.1597. Merauke 25 PT 1.156.0008. Boven Digoel 16 PT 705.8849. Manokwari 2 PT 31.66410. Sorong 7 PT 216.19211. Sorong Selatan 4 PT 120.57512. Bintuni 2 PT 85.37113. Fakfak 2 PT 20.530

Lokasi Perusahaan Luasε (Ha)

Page 3: Edisi Oktober 2013 - pusaka.or.id fileserta Polsek Mantangai. Camat Mantangai, meminta warga yang berladang di Sei Hambiye menerima tali asih (ganti rugi) dari perusahaan. Basri, tidak

Berita Pusaka, Edisi IV Oktober 2013

3

Hari Pangan Dunia: Kepedulian Terhadap Kemiskinan dan Kelaparan

Setiap tanggal 16 Oktober, diperingati sebagai hari Pangan Sedunia. Tanggal 16 Oktober ini berasal dari tanggal didiri-kannya Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), Perserika-tan Bangsa-Bangsa, yang didirikan tahun 1945.Semenjak tahun 1981, FAO membuat berbagai tema untuk perayaan hari pangan sedunia dengan tujuan untuk me-ningkatkan kepedulian terhadap permasalahan kemiskinan dan kelaparan yang sangat terkait erat dengan pangan.Pada tahun 2013 ini, FAO memberikan tema hari pangan dunia, yakni: "Sistem Pangan Berkelanjutan untuk Ketaha-nan Pangan dan Gizi". Pemerintah pusat hingga daerah mempunyai berbagai macam slogan tema untuk memperi-ngati hari pangan, seperti: meningkatkan kemandirian pangan, membangun kedaulatan pangan, mengusahakan keamanan pangan, memberi makan dunia. Slogan ini akan sangat berarti jika ada kebijakan program dan aksi nyata untuk rakyat kecil dan miskin.

Guru ke Kota, Siswa SD Koa Tidak Sekolah

Guru-guru SD di Kampung Koa, Distrik Animha, Merauke, pergi ke kota Merauke semenjak Juli 2013 dan belum kembali hingga akhir Oktober 2013. Akibatnya akti�tas belajar para siswa SD terhenti. Para siswa di Kampung Koa hanya bermain-main sepanjang hari dan pergi ikut membantu orang tua di bevak. Ada lima orang guru yang bertugas di satu-satunya SD di Kampung Koa, tetapi tidak ada satupun dari guru-guru tersebut mengabarkan keberadaannya, termasuk Kepala Sekolah. Hal ini diinformasikan Primus Gebze, Kepala Kampung Koa, Distrik Animha, Kabupaten Merauke, Papua.Alasan yang sering digunakan para guru ke kota adalah bertemu keluarga. Padahal sudah disiapkan rumah untuk guru dan keluarga, tetapi tidak ada guru dan keluarga yang tinggal. Seringnya guru meninggalkan tugas mengajar mempengaruhi ke-mampuan dan pengetahuan siswa yang tidak mengalami perkemba-ngan berarti. Diketahui kebanyakan siswa di Kampung Koa masih belum bisa membaca dan menulis. (Ank, Okt 2013)

Perusahaan Gagal Menghormati Hak Masyarakat Adat Malind

Forest Peoples Programme, Pusaka dan Sawit Watch, meluncurkan laporan berjudul “Manis dan Pahitnya Tebu: Suara Masyarakat Adat Malind dari Merauke, Papua”. Laporan ini diluncurkan bersamaan de-ngan peringatan Hari Pangan Sedunia, 16 Oktober 2013. Organisasi Pangan dan Pertanian PBB memberikan tema Hari Pangan Sedunia, “Sistem Pangan Berkelanjutan untuk Ketahanan Pangan dan Gizi”.Laporan ini mengkaji sejauh mana hak atas Keputusan Bebas, Dida-hulukan dan Diinformasikan masyarakat adat Malind dari Merauke di Provinsi Papua, Indonesia, dihormati oleh perusahaan perkebunan tebu PT. Anugrah Rejeki Nusantara (PT ARN) milik Wilmar Internasio-nal, dalam konteks proyek Merauke Integrated Food & Energy Estate (MIFEE) seluas 2 juta hektar yang disponsori pemerintah.Temuan-temuan penting dari laporan ini adalah perusahaan tebu, kelapa sawit dan kayu yang beroperasi di Merauke gagal menghor-mati hak masyarakat adat Malind untuk menentukan dan memutus-kan secara bebas pemanfaatan lahan berdasarkan informasi yang memadai. Peraturan perundangan nasional dan lokal tidak dilaksa-nakan atau ditafsirkan sesuai dengan kepentingan perusahaan dan pemerintah, secara inheren bertentangan dengan standar hak asasi manusia internasional.Perkembangan proyek MIFEE yang ada menunjukkan sistem ketaha-nan pangan masyarakat Malind terancam oleh maraknya konversi lahan menjadi perkebunan monokultur tanpa adanya jaminan per-lindungan yang memadai terhadap mata pencaharian mereka yang berbasis hutan, baik dari negara atau perusahaan.Rekomendasi dari laporan ini meminta pemerintah Indonesia segera menghentikan setiap bagian dari proyek yang dapat mengancam kelangsungan budaya masyarakat yang terkena dampak dan mem-berikan dukungan segera kepada masyarakat adat – yang dirancang dengan partisipasi dan persetujuan mereka – yang telah terampas sumber penghidupannya, melakukan reformasi kebijakan yang mengakui hak masyarakat adat di Papua untuk memberikan atau tidak memberikan persetujuan bebas, didahulukan dan diinformasi-kan mereka terhadap setiap proyek yang mempengaruhi tanah, wilayah dan sumber daya mereka. (Ank, Okt 2013)Laporan ini tersedia dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. (Lihat: www.forestpeoples.org/sites/fpp/�les/publication/2013/10/asweetnessundodeathmifeeindonesiabahasaindonesia2.pdf )

“sistem ketahanan pangan masyarakat Malind terancam oleh konversi lahan

menjadi perkebunan monokultur tanpa adanya jaminan perlindungan

yang memadai terhadap mata pencaharian mereka”

Kampung Zanegi Tanpa Petugas Kesehatan

Warga Kampung Zanegi mengeluhkan tidak adanya petugas keseha-tan di kampung sehingga warga kesulitan mendapatkan perawatan dan obat-obatan saat sakit, utamanya kejadian mendadak sakit, se-perti gangguan saluran pernafasan, demam tinggi dan malaria, yang seringkali dialami warga.Pustu di Kampung Zanegi, Distrik Animha, Kab. Merauke, sudah ko-song tiga bulan terakhir. Petugas sebelumnya pindah ke Kampung Baad dan belum ada pengganti hingga saat ini.Bulan September lalu, Komnas HAM Jakarta berkunjung ke Kampung Zanegi untuk menyelidiki kasus busung lapar dan meninggalnya lima anak di Zanegi. Namun kunjungan tersebut nampaknya tidak mem-pengaruhi sikap dan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan pela-yanan kesehatan.“Kita pasrah saja dan berharap ada perhatian dari pemerintah terha-dap kami,” ungkap Bonafasius Gebze. Masyarakat Zanegi juga tidak mengandalkan bantuan kesehatan dari perusahaan PT. SIS, yang ber-operasi disekitar kampung. Tidak bisa diharapkan, kata Bonafasius Gebze. (Ank, Okt 2013)

Gizi Buruk di Koa

Warga Kampung Koa, Distrik Animha, melaporkan adanya empat orang anak yang sedang mengalami gizi buruk. Tidak ada informasipenyebab terjadinya gizi buruk. Terlihat kondisi badan mereka masih sangat lemah. Petugas Kesehatan juga tidak melakukan pemeriksaan intensif dan berkala untuk pemulihan kesehatan anak gizi buruk di Koa. Perawatyang bertugas di Kampung Koa juga jarang di Kampung. Pustu yang baru dibangun tahun 2012 lalu, tidak pernah dimanfaatkan. Perawat sekali-kali datang ke Koa, kata Primus Gebze, Kepala Kampung Koa. Menurut petugas kesehatan di Puskesmas Distrik Animha, petugaskesehatan di Distrik Animha sangat minim sekali dan hanya ada satu dokter umum yang bertugas di Puskesmas. Pelayanan ke kampung dilakukan pada waktu tertentu atau berkala. (Ank, Okt 2013)

Page 4: Edisi Oktober 2013 - pusaka.or.id fileserta Polsek Mantangai. Camat Mantangai, meminta warga yang berladang di Sei Hambiye menerima tali asih (ganti rugi) dari perusahaan. Basri, tidak

4

Berita Pusaka, Edisi IV Oktober 2013

Mengkhawatirkan, Sawit Dimasukkan dalam Produk Ramah Lingkungan

Produk agribisnis dan kehutanan, yakni: sawit, karet, beras, dan rotan, berhasil diterima dan didaftarkan sebagai produk yang ramah ling-kungan (Environmental Goods and Services, EGS). Hal ini disampai-kan oleh Menteri Perdagangan (Mendag) Gita Wirjawan pada perte-muan APEC Ministerial Meeting (AMM) bersama Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa di Nusa Dua, Bali, Sabtu (5/10). �Seluruh anggota APEC yang berjumlah 21 negara secara bulat menyetujui keempat produk andalan Indonesia itu dicantumkan sebagai produk ramah lingkungan. “Ini sukses besar karena yang masuk daftar produk ramah lingkung-an tidak hanya CPO, tapi juga karet, rotan, dan beras. Itu produk agro yang bisa membantu pengentasan kemiskinan, pembangunan per-desaan, dan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan,” kata Gita.Keberhasilan itu disambut gembira para pelaku usaha. Mereka yakin setelah berstatus ramah lingkungan, produk-produk tersebut lebih diterima pasar. Apalagi keempat produk strategis itu secara otomatis akan memperoleh keringanan bea masuk (BM). Aktivis LSM mengkhawatirkan hasil pertemuan tersebut hanya mengakomodir kepentingan para pengusaha dibandingkan mem-pertimbangkan dampak social dan lingkungan dari bisnis minyak sawit yang merusak hutan dan keanekaragaman hayati, penghilang-an hak-hak masyarakat asli dan berkurangnya lahan pangan rakyat. Ketua SPKS (Serikat Petani Kelapa Sawit), Mansuetus Darto, meng-ungkapkan, pemerintah belum mempunyai kebijakan yang men-jamin dan mengikat pelaku bisnis kelapa sawit untuk tidak menggu-sur lahan rakyat dan tidak merusak kawasan hutan. Selain itu, tata kelola pemerintah yang buruk memperlemah proses pengawasan dan penegakan hukum bagi perusahaan kelapa sawit. "Indonesia butuh solusi atas masalah sosial dan lingkungan bukan pertumbuhan investasi semata," kata Darto. (Ank, Okt 2013)

“Indonesia butuh solusiatas masalah sosial dan lingkungan

bukan pertumbuhan investasi semata”

Kembalinya Praktik Feodalisme Negara dalam UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani Tim Advokasi Hak Asasi Petani, gabungan organisasi masyarakat sipil di Jakarta memohon Mahkamah Konstitusi untuk melakukan Uji Material (Judicial Review) terhadap Undang-Undang Nomor 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, yang disah-kan oleh DPR RI pada 9 Juli 2013.Pasalnya, pada bagian ketentuan menimbang Undang-Undang ter-sebut, tidak memasukkan persoalan tanah sebagai permasalahan petani sehingga undang-undang a quo tidak secara komprehensif mengupayakan redistribusi tanah kepada petani. Itupun dalam Pasal 59 Undang-Undang a quo, tanah yang diredistribusikan kepada pe-tani tidak menjadi Hak Milik petani, melainkan hanya berupa Hak Sewa, Izin Pengusahaan, Izin Pengelolaan, atau Izin Pemanfaatan.“Persoalan lahan pertanian atau lebih tepatnya tanah yang dimiliki adalah permasalahan utama dari petani Indonesia, namun persoalan tanah justeru tidak masuk dalam konsiderans Undang-Undang terse-but”, tulis Tim Advokasi Hak Asasi Petani dalam Surat Pernyataan, 11Oktober 2013.Ketentuan pemberian Hak Sewa kepada petani juga melanggar prin-sip dari Hak Menguasai Negara, karena berarti menjadikan negara menjadi pemilik tanah yang tanahnya disewa oleh petani. “Seharus-nya Hak Menguasai Negara bukan dalam makna negara memiliki, tetapi dalam pengertian bahwa negara merumuskan kebijakan (beleid), melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan pengurus-an (bestuurdaad), melakukan pengelolaan (beheersdaad), dan mela-kukan pengawasan (toezichthoudendaad)”, ungkap Tim Advokasi.Petani menyewa tanah kepada negara adalah suatu konsep yang menghidupkan kembali praktek feodalisme, yang mana negara men-jadi tuan tanah dan petani menjadi penggarap. Konsep sewa menye-wa akan menyulitkan untuk memperoleh penghidupan yang layak karena mengingat petani sebagai kelompok rentan yang tidak akan mampu membayar sewa. Pembatasan hak atas tanah melalui redis-tribusi tanah berdasarkan hak sewa dan izin merupakan bentuk dari tidak adanya upaya negara melakukan redistribusi tanah untuk se-besar-besarnya kemakmuran rakyat.Berdasarkan pandangan tersebut dan situasi kemiskinan petani maka Tim Advokasi Hak Asasi Petani melakukan Uji Materi atas UU No. 19 tahun 2013 tersebut. Di tingkat akar rumput, banyak petani yang tidak mengetahui ketentuan yang baru ditetapkan oleh DPRpada Juli 2013. Padahal ketentuan tersebut akan berdampak pada kehidupan petani. (Ank, Okt 2013)

“Hak Menguasai Negara bukan bermakna negara memiliki, tetapi pengertiannya adalah

negara merumuskan kebijakan (beleid), melakukan pengaturan (regelendaad), pengurusan (bestuurdaad),

pengelolaan (beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudendaad)

REDD Berpotensi Hilangkan Akses Perempuan Terhadap Hutan

Proyek REDD telah membatasi akses kaum perempuan untuk menge-lola dan memanfaatkan hasil hutan. Hal ini dialami dan disampaikan oleh Herlina (22 thn) asal Kampung Sei Ahas, Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas.Herlina menyampaikan adanya proyek KFCP di Desa Sei Ahas, mem-buat kaum perempuan sudah tidak bisa lagi mengelola hutan, pada-hal hutan bagi kami memiliki fungsi ekonomi, sosial dan budaya”, ungkap Herlina pada acara dialog dengan Tim Penyusun STRADA REDD plus, Senin (21/10/13) di kantor Sekber REDD plus, Palangka-raya.Kaum perempuan disekitar proyek KFCP juga tidak banyak dilibatkan dalam pengambilan keputusan soal proyek REDD. Winda F Karotina, akti�s eLSPA (Lembaga Solidaritas Perempuan dan Anak) Kalteng, pada pertemuan dengan tim penyusun STRADA REDD plus menyam-paikan pandangan dan mendesak untuk mengintegrasikan standar perlindungan perempuan ke dalam STRADA.“Kami menganggap bahwa tim penyusun Strada REDD Plus belum memuat poin-poin yang melindungi hak-hak perempuan, agar kebi-jakan yang dihasilkan mampu melindungi hak-hak perempuan, maka standar perlindungan yang disusun berdasarkan pengalaman perem-puan akar rumput ini harus diintegrasikan dalam strada”, tegasnya.Rio Jenerio dari Tim Pengayaan Strada REDD Plus Kalteng menangga-pi, agar kaum perempuan dan organisasi perempuan yang ada di Kalteng untuk memberikan masukan terhadap Raperda pengarus-utamaan gender yang akan menjadi salah satu acuan strada itu sendiri”. (AP)

Komite CERD PBB Menyoroti Proyek MIFEE

Alexei Avtonomov, Ketua Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial (CERD) PBB menyoroti dugaan pengaruh negatif proyek MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate), dikarenakan dampak dari akti�tas puluhan perusahaan yang beroperasi di Merauke. Alexei Avtonomov dalam surat resminya kepada Triyono Wibowo, Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Indonesia pada PBB, pada akhir Agustus. Avtonomov mengatakan komite akan mempertimba-ngkan situasi orang-orang Malind dan masyarakat adat di Merauke, serta dugaan efek negatif yang berlangsung pada kehidupan mereka akibat perampasan secara massif oleh MIFEE dan kegagalan negara untuk mengimplementasikan UU Otonomi Khusus Papua. Sebelumnya, pada akhir Juli 2013, sedikitnya 27 organisasi sipil yang berbasis di Indonesia, Inggris dan Jerman menyurati komite yang berbasis di Jenewa, Swiss tersebut, yang mendesak secara resmi komite untuk PBB tersebut mempertimbangkan situasi masyarakat adat Malind yang terampas lahan-lahannya akibat proyek MIFEE. (Ank, Okt 2013)

Page 5: Edisi Oktober 2013 - pusaka.or.id fileserta Polsek Mantangai. Camat Mantangai, meminta warga yang berladang di Sei Hambiye menerima tali asih (ganti rugi) dari perusahaan. Basri, tidak

5

Berita Pusaka, Edisi IV Oktober 2013

Hak atas Bahan Pangan yang Layak

Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (EKOSOB) me-ngatur mengenai hak atas bahan pangan yang layak sangat komprehensif. Berikut beberapa Komentar Umum (sidang ke-20, 1999) tentang Hak atas Pangan yang Layak sebagaimana Pasal 11 Kovenan EKOSOB, disebutkan negara penandatangan mengakui “Hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak bagi dirinya dan keluarganya, termasuk makanan, pakaian dan tempat tinggal yang layak, serta atas perbaikan berkelanjutan dari kondisi hidupnya”.Hak atas Bahan Pangan yang Layak tak terpisahkan dari martabat inheren dari setiap manusia serta tak bisa ditinggalkan dalam pemenuhan hak asasi manusia lainnya yang tercantum dalam Piagam Internasional Hak Asasi Ma-nusia. Hak ini tidak bisa dipisahkan dari keadilan sosial, kebijakan ekonomi, lingkungan dan sosial yang layak, baik dalam skala nasional maupun inter-nasional, ditujukan untuk penghapusan kemiskinan serta pemenuhan selu-ruh Hak Asasi Manusia bagi semua. Pada dasarnya, permasalahan kelaparan dan kekurangan gizi bukanlah kurangnya bahan pangan tetapi akses terha-dap bahan pangan yang tersedia, diantaranya disebabkan oleh kemiskinan yang dialami oleh sebagian besar masyarakat dunia.Hak atas Bahan Pangan yang Layak terwujudkan ketika setiap laki-laki, pe-rempuan dan anak-anak, sendiri atau dalam komunitas, mempunyai akses �sik dan ekonomis sepanjang waktu kepada bahan pangan. Hak atas Bahan Pangan yang Layak haruslah diwujudkan secara progresif. Negara-negara mempunyai kewajiban inti untuk mengambil tindakan yang diperlukan untuk mengurangi meringankan kelaparan, bahkan dikala ben-cana alam atau lainnya. Konsep kelayakan mempunyai makna khusus dan arti sesungguhnya “Kelayakan” secara luas ditentukan oleh keadaan sosial, ekonomi, budaya, iklim, ekologis dan lain-lain yang terjadi saat ini, sedang-kan “Kesinambungan” berkaitan dengan gagasan persediaan dan aksesibili-tas jangka panjang dan tidak mengganggu pemenuhan hak asasi manusia lainnya.Inti dari Hak atas Bahan Pangan yang Layak adalah ketersediaan bahan pa-ngan dalam kualitas dan kuantitas yang memadai untuk memenuhi kebutu-han makanan individu, bebas dari substansi yang merugikan, serta bisa dite-rima dalam budaya setempat. Kebutuhan makanan adalah makanan seba-gai keseluruhan yang berisikan gabungan gizi untuk pertumbuhan �sik dan mental, perkembangan dan perawatan, serta aktivitas �sik sesuai dengan kebutuhan psikologis manusia di seluruh jenjang dalam roda kehidupan ser-ta sesuai dengan jender dan pekerjaan. Oleh karena itu, tindakan-tindakan mungkin diperlukan untuk menjaga, beradaptasi atau memperkuat keraga-man bahan makanan serta pola pemberian makan dan konsumsi yang layak, termasuk pemberian ASI dan pada saat yang sama menjamin bahwa peruba-han dalam ketersediaan dan akses kepada persediaan bahan pangan secara minimal tidak berpengaruh negatif komposisi dan pemberian makanan. Hak atas pangan bebas dari substansi-substansi yang merugikan, menetap-kan kebutuhan atas keamanan bahan pangan dan tindakan perlindungan, baik dalam arti publik atau swasta, untuk mencegah kontaminasi bahan pa-ngan melalui pencampuran atau melalui kesehatan lingkungan yang buruk atau penanganan yang buruk pada tingkat yang berbeda sepanjang rantai makanan; ketelitian juga harus dilakukan untuk mengidenti�kasi dan meng-hindarkan atau menghancurkan racun-racun yang terjadi secara natural.Penerimaan budaya konsumen berarti kebutuhan harus mempertimbang-kan, sebisa mungkin, unsur-unsur yang dirasakan Non-Nutrien yang terkan-dung dalam makanan dan konsumsi makanan serta menginformasikan pen-dapat konsumen tentang sifat dari suplai bahan makanan yang bisa diakses. Ketersediaan mengacu pada kemungkinan untuk memberi makan diri sen-diri langsung dari lahan produktif atau sumber daya alam lainnya, atau pada distribusi, pemrosesan dan sistem pemasaran yang berjalan baik, bisa me-mindahkan makanan dari tempat produksi ke tempat mana makanan itu dibutuhkan sesuai dengan permintaan.Aksesibilitas mencakup baik aksesibilitas ekonomis maupun �sik: Aksesibili-tas ekonomis berarti bahwa biaya �nansial personal atau rumah tangga ya-ng berkaitan dengan pembelian bahan pangan untuk suatu menu yang la-yak harus berada pada tingkatan tertentu dimana tidak mengganggu atau membahayakan perolehan dan pemenuhan kebutuhan dasar lainnya. Akse-sibilitas ekonomi berlaku pada semua pola pembelian atau perolehan deng-an mana masyarakat mengadakan bahan makanan dan merupakan suatu ukuran kepuasan bagi pemenuhan Hak atas Bahan Pangan yang Layak. Ke-lompok yang rentan secara sosial seperti orang-orang yang tidak memiliki

lahan dan kelompok-kelompok miskin tertentu di masyarakat mungkin membutuhkan perhatian melalui program khusus. Aksesibilitas �sik berar-ti bahwa bahan pangan yang layak harus terjangkau bagi semua orang, ter-masuk individu yang rentan secara �sik, seperti bayi dan anak-anak, orang lanjut usia, cacat, sakit parah dan tidak kunjung sembuh, serta sakit jiwa. Korban bencana alam, kelompok tak beruntung yang membutuhkan perha-tian khusus. Salah satu kerentanan khusus ialah banyak kelompok masyara-kat adat yang diganggu aksesnya kepada tanah leluhur mereka.Sedangkan kewajiban hukum negara penandatangan utamanya adalah me-ngambil langkah-langkah progresif untuk perwujudan penuh hak atas ba-han pangan. Menjamin akses kepada bahan pangan pokok minimum yang memadai, layak dan aman bergizi, menjamin kebebasan mereka dari rasa la-par. Hak atas Bahan Pangan yang Layak, membebankan 3 jenis kewajiban bagi negara penandatangan, yakni wajib menghormati, melindungi dan memenuhi. Kewajiban untuk memenuhi mencakup kewajiban memfasilitasi dan menyediakan. Beberapa tindakan pada kewajiban berbeda ini mempu-nyai sifat harus dilaksanakan segera dan lainnya berkarakter jangka panjang.Pelanggaran Kovenan terjadi ketika suatu negara gagal menjamin pemenu-han, setidaknya, tingkat pokok minimum yang dibutuhkan untuk bebas dari rasa lapar. Untuk menentukan tindakan atau pengecualian yang merupakan pelanggaran hak atas pangan, maka penting untuk membedakan antara ke-tidakmampuan dan ketidakmauan dari suatu negara untuk mematuhi ke-tentuan. Jika suatu negara penandatangan berargumentasi bahwa keterba-tasan sumberdaya menyebabkan negara itu tidak mungkin untuk menye-diakan akses bahan pangan bagi mereka yang tidak bisa menjamin akses itu sendiri, negara tersebut harus membuktikan bahwa semua usaha telah dila-kukan dengan menggunakan seluruh sumberdaya yang ada padanya untuk memenuhi dan sebagai suatu prioritas. Lebih jauh lagi, semua diskriminasi dalam akses atas bahan pangan, termasuk cara dan wewenang pengadaan-nya, dengan dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, umur, agama, poli-tik atau lainnya, asal negara atau sosial, kepemilikan, status lahir atau lainnya, dengan tujuan untuk meniadakan atau mengurangi pemenuhan atau pelak-sanaan yang sama dari hak-hak ekonomi, sosial dan budaya merupakan pe-langgaran Kovenan. Pelanggaran hak atas pangan bisa terjadi melalui tinda-kan langsung dari Negara atau entitas lainnya yang tidak diatur secara me-madai oleh Negara tersebut. Hal ini termasuk : pencabutan atau penundaan formal terhadap peraturan yang dibutuhkan bagi kesinambungan pemenu-han hak atas pangan; penolakan akses kepada bahan pangan terhadap indi-vidu-individu atau kelompok tertentu, baik diskriminasi ini berdasar atas suatu peraturan atau bersifat proaktif; pencegahan akses kepada bantuan pangan kemanusiaan ketika terjadi kon�ik internal atau keadaan darurat lainnya; pengesahan peraturan kebijakan yang secara nyata tidak sesuai de-ngan kewajiban hukum yang telah ada berkaitan dengan hak atas pangan; serta kegagalan mengatur aktivitas individu atau kelompok-kelompok se-hingga bisa mencegah mereka melanggar hak atas pangan dari orang lain, atau kegagalan dari suatu Negara untuk mengindahkan kewajiban hukum internasionalnya berkaitan dengan hak atas pangan ketika Negara tersebut mengikat perjanjian dengan Negara lain atau suatu organisasi internasional.Meskipun hanya negara yang ikut menandatangani tetapi yang paling ber-kewajiban untuk mematuhi Kovenan dan bertanggung jawab atas perwuju-dan hak atas Bahan Pangan yang Layak adalah seluruh anggota masyarakat – individu, keluarga, komunitas lokal, organisasi non pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan badan usaha swasta –. Badan usaha swasta –nasional atau transnasional– harus melakukan aktivitasnya dalam kerangka pedoman perilaku yang kondusif bagi penghormatan Hak atas Bahan Pangan yang La-yak, pedoman mana disepakati bersama dengan Pemerintah dan masyara-kat sipil. Setiap orang atau kelompok yang mengalami pelanggaran terhadap Hak atas Bahan Pangan yang Layak harus mendapatkan akses kepada proses yudisial yang efektif atau cara penyelesaian lainnya, baik ditingkat nasional ataupun internasional. Semua korban pelanggaran semacam itu berhak un-tuk mendapatkan ganti rugi yang layak, yang bisa berbentuk restitusi, kom-pensasi, pemuasan atau jaminan bahwa hal seperti itu tidak akan terulang lagi. Lembaga Ombudsmen dan komisi hak asasi manusia nasional harus memperhatikan pelanggaran terhadap Hak atas Bahan Pangan yang Layak.Penggunaan instrumen internasional tentang pengakuan terhadap hak atas pangan, atau pengakuan atas daya berlakunya, dalam sistem hukum nasio-nal, bisa secara signi�kan meningkatkan cakupan dan efektivitas tindakan-tindakan penyelesaian serta harus didorong penggunaannya. (Ank, Okt 2010)

(Artikel ini diringkas dari Komentar Umum 12, Sidang ke-20, 1999: Hak atas Bahan Pangan yang Layak, Pasal 11, sumber: www.elsam.or.id)

Page 6: Edisi Oktober 2013 - pusaka.or.id fileserta Polsek Mantangai. Camat Mantangai, meminta warga yang berladang di Sei Hambiye menerima tali asih (ganti rugi) dari perusahaan. Basri, tidak

6

Berita Pusaka, Edisi IV Oktober 2013

Surat Pernyataan Pers: Wujudkan Kedaulatan Pangan Rakyat: Hentikan Proyek MIFEE di Papua

Hari ini, 16 Oktober 2013, merupakan hari Pangan Sedunia. FAO memberikan tema "Sistem Pangan Berkelanjutan untuk Ketahan-an Pangan dan Gizi". Hari ini, faktanya sistem ketahanan pangan dan gizi di Indonesia masih carut marut yang ditandai dengan meningkat dan mudah-nya berubah harga-harga pangan, banjirnya produk pangan impor, sulitnya mengakses mendapatkan produk pangan yang berkwalitas dan murah, prioritas pembangunan pangan berbasis pada korporasi bermodal besar dibanding pertanian ataupun perkebunan rakyat, tanaman komersial untuk tujuan ekspor dan mengabaikan pangan lokal, praktik tengkulak dan korporasi yang memiskinkan dan menggantungkan kehidupan petani, dan sebagainya.Fakta-fakta tersebut menggambarkan bahwa pemerintah masih belum beranjak dari paradigma “ketahanan pangan”. Hal ini ber-akibat pada semakin rentan terpinggirkan dan dilemahkan sistem pangan Indonesia oleh sistem pasar yang dikuasai dan dikendalikan oleh korporasi. Selain itu juga dikarenakan adanya kebijakan pemerintah pro pada korporasi dibandingkan melin-dungi dan mengembangkan usaha produksi pangan rakyat, membangun dan menyediakan pemenuhan pangan yang adil dan mudah diakses oleh rakyat, serta mengembangkan dan me-manfaatkan potensi pangan lokal sesuai dengan UU Pangan yaitu memenuhi kebutuhan pangan secara berdaulat dan mandiri.Fakta lain yang saling terkait, yakni meningkatkan alih fungsi kawasan hutan untuk proyek kebutuhan pangan dan energy berbasiskan investasi skala luas, seperti: hutan tanaman, perke-bunan sawit, perkebunan tebu, perkebunan dan tanaman pangan lainnya. Pada kenyataannya proyek-proyek yang bertuju-an untuk bukan hanya pangan saja, melainkan tanaman ekspor dan pemenuhan industri energi, telah menyebabkan kerusakan hutan (deforestasi), bencana ekologi dan pemanasan iklim global. Sehingga pada gilirannya mengancam keberlanjutan sistem ketahanan pangan. Di Merauke, Provinsi Papua, pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan pembangunan yang sangat ambisius untuk pengem-bangan pangan dan energi nasional, yakni: MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate), yang berbasiskan pada investasi skala besar, pengetahuan teknologi dan organisasi modern. Lebih dari 80 perusahaan swasta mendapatkan Izin Lokasi dengan menguasai lahan berupa kawasan hutan, rawa, padang savana, yang luasnya lebih dari 2,5 juta hektar untuk investasi perkebunan tanaman tebu, kelapa sawit, hutan tana-man dan tanaman pangan lainnya.Proyek raksasa MIFEE yang dilakukan tanpa ada Kajian Lingkung-an Hidup Strategis telah menimbulkan dampak perubahan ber-arti dan mengancam keberlanjutan kemampuan kemandirian pemenuhan pangan Orang Malind, yang sebagian besar berdiam disekitar lokasi proyek MIFEE tersebut.Orang Malind yang hidup dari berburu dan mengumpulkan hasil hutan terpaksa kehilangan sumber mata pencaharian, semakin sulit untuk mendapatkan hewan dan sumber pangan dari hutan, sehingga menurunkan pendapatan dan kwalitas hidup masyara-kat. Mereka kehilangan alat produksi dan kemandirian dalam berusaha, berubah menjadi tergantung pada kebutuhan pokok yang dibeli pada kios dan toko, yang nilainya mahal dan tidak terjangkau dari upah rendah sebagai buruh perusahaan.Meningkatnya alih fungsi kawasan hutan dan tidak terkontrolnya akti�tas penebangan hutan, penggusuran rawa, padang dan sungai, merubah fungsi-fungsi ekologi, hidrologi dan terganggu-nya kehidupan habitat, pencemaran air sungai dan rawa, pada gilirannya menurunkan daya dukung lingkungan dan merugikan masyarakat. Dampak penting lainnya adalah meningkatnya kasus kesulitan

mengakses pangan, air bersih dan kasus busung lapar. Pada tahun 2013 saja, teridenti�kasi sudah ada 5 orang anak yang me-ninggal di Kampung Zanegi, Distrik Animha, yang diduga karena busung lapar. Demikian pula, meningkatnya kasus-kasus kekerasan yang meli-batkan TNI dalam memaksakan masyarakat untuk melepaskan tanah bagi kepentingan perusahaan dan pembangunan infra-struktur pendukung proyek MIFEE.Karenanya kami memandang perlu merekomendasikan dan men-desak pemerintah Indonesia untuk mengambil langkah-langkah kebijakan guna mewujudkan kedaulatan pangan di Indonesia dan menghentikan segera setiap bagian proyek MIFEE yang meng-ancam kelangsungan hidup Orang Marind, sebagai berikut:

Melakukan review, evaluasi dan menata setiap kebijakan dan izin-izin perusahaan yang menguasai alat produksi pangan, tanah dan kekayaan alam lainnya, infrastruktur, pasar dan ke-lembagan yang menyangkut hajat hidup orang banyak untuk dikembalikan, dikelola, dikembangkan dan digunakan oleh rakyat.Mendesak pemerintah Indonesia untuk melindungi dan meng-hormati hak-hak masyarakat adat, petani, nelayan dan pendu-duk pedesaan, untuk dapat leluasa mempertahankan dan mengembangkan hidup mereka dalam pemenuhan, pember-dayaan dan pengembangan pangan berbasiskan pada penge-tahuan, sistem sosial budaya dan hak-hak mereka secara adil dan berkelanjutan. Mendesak pemerintah Indonesia untuk mendata, mendukung, mempromosikan dan mengembangkan sumber-sumber pangan rakyat yang dikelola oleh rakyat sendiri. Merekomendasikan pemerintah Indonesia untuk meminta dan mengabulkan permintaan kunjungan lapangan dari Pelapor Khusus PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat dan Pelapor Khusus PBB tentang Hak-hak atas Pangan dan Bentuk-bentuk Kontemporer Perbudakan agar mendukung pemenuhan kewa-jiban internasional, termasuk yang terkait dengan hak-hak masyarakat adat di Papua.

1.

2.

3.

4.

Secara khusus dalam surat ini, kami luncurkan pula Laporan ten-tang Proyek Perkebunan Tebu PT. ARN, salah satu perusahaan milik Wilmar International, yang berinvestasi dalam skema MIFEE. Laporan ini berjudul "Manis dan pahitnya tebu": Suara Masyarakat adat Malind dari Merauke, Papua, yang diproduksi oleh Forest Peoples Programme, Pusaka dan Sawit Watch, tahun 2013. Laporan ini berusaha untuk memberi ilham pada salah satu tujuan utama Hari Pangan Sedunia, yaitu untuk mendorong partisipasi masyarakat pedesaan, khususnya kaum perempuan dan mereka yang memiliki kewenangan paling kecil, dalam keputusan dan kegiatan yang mempengaruhi kondisi hidup mereka.

Terima Kasih

Surat Pernyataan Press ini dikeluarkan oleh:1. WALHI Eksekutif Nasional, Jakarta 2. Forest Peoples Programme, UK 3. SAWIT WATCH, Bogor4. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Jakarta 5. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Jakarta 6. PUSAKA, Jakarta 7. HUMA, Jakarta 8. Greenpeace Indonesia, Jakarta 9. Transparansi untuk Keadilan Indonesia, Jakarta 10. Vivat Indonesia, Jakarta 11. FORMASI SSUMAWOMA, Merauke 12. Indonesia Human Rights Committee for Social Justice, Jakarta13. Sarekat Hijau Indonesia, Jakarta.