Edisi 6 - Kiai dan Pesantren Indonesia
-
Upload
santri-gus-dur -
Category
Documents
-
view
245 -
download
3
description
Transcript of Edisi 6 - Kiai dan Pesantren Indonesia
eperti mengenai banyak hal yang
S lain, kalau kita berbicara tentang
kiai dan pesantren, kita terpaksa
harus membuat katagori pembeda: kiai
sekarang atau kiai dulu; pesantren
sekarang atau pesantren dulu. Soalnya
memang terdapat banyak perbedaan
antara kiai sekarang dengan kiai di zaman
dulu. Demikian pula dengan pesantren;
apalagi sekarang ini banyak pesantren
baru yang sama sekali berbeda bahkan
sering 'ideologi'nya bertolak belakang
dengan pesantren di zaman dulu.
Kiai di zaman dulu –biasanya
'pemilik' pesantren—rata-rata adalah
orang yang di samping memiliki ilmu
agama leb ih dar i kebanyakan
masyarakatnya, memiliki kecintaan
yang mendalam kepada tanah air dan
umatnya. Para kiai di zaman dulu,
membangun pondok pesantren mereka
sendiri untuk menampung santri-
santrin mereka yang menimba ilmu
darinya. Santri-santri mereka, tidak
hanya diberi ilmu agama, tetapi dididik
untuk mengamalkan ilmu yang mereka
dapat. Menurut mereka, iIlmu tidak ada
gunanya bila tidak diamalkan.
K i tab-k i tab kuning yang
diajarkan kiai-kiai kepada santri-
Buletin SANTRI Edisi 06Jum’at, 27 Maret 2015 1Buletin SANTRI Edisi 06
Jum’at, 27 Maret 20154
Jawaban: Wa'alaikumsalam. Para ulama berpendapat bahwa seseorang yang bacaan al-
Qurannya bagus (al-qari') tidak boleh makmum di belakangnya imam yang bacaan al-
Qurannya tidak bagus (al-ummi). Jika tetap dilakukan maka shalatnya batal. Namun, para
ulama berbeda pendapat dalam hal batasan seseorang disebut al-ummi. Sebagian besar
ulama berpendapat bahwa seseorang yang tidak mampu membaca al-Fatihah disebut al-
ummi. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa al-ummi adalah seseorang yang tak
mampu membaca walaupun hanya satu ayat. Sebaliknya, seseorang yg mampu membaca
walau hanya satu ayat dikategorikan sebagai al-qari'. Dengan berpijak pada pendapat Abu
Hanifah ini, maka orang yang bacaannya bagus boleh bermakmum di belakang imam yg
hanya bisa membaca satu ayat saja. Shalatnya sah, menurut Imam Abu Hanifah. Akan tetapi,
lebih utama jika yang yg menjadi imam adalah orang yang paling bagus bacaannya di suatu
komunitas masyarakat.
Pertanyaan: Salam ustadz. Saya galau nih ustadz. Seringkali ketika saya sholat berjamaah, bacaan
sang imam itu tidak fasih. Terkadang makhrojnya seringkali salah. Yang seharusnya "dzal" tetapi
dibaca "dal", yang seharusnya "jim" dibaca "za'". Itu bagaimana ustadz. Hal itu saya alami kemrin
ketika sholat jumat. Khutbah khotibnya bagus tetapi bacaan sholatnya banyak yang salah.
Sebenarnya tidak kemarin saja tapi seringkali saya menemui fenomena ini. Bahkan, imam itu
sudah punya posisi di desanya, kalau mau diganti tetap aja sungkan dan imam itu tidak sadar diri.
Terimakasih ustadz atas jawaban dari kegalauan saya ini.
Abdul Karim Sastrawi, 30, Wartawan.
Makmum Kepada Imam
yang Tidak Fasih
Edisi 06/2015
Kiai dan Pesantren IndonesiaOleh: KH. A. Musthofa Bisri
Peringatan Haul Ke-76 Almaghfurlah KH. M. Munawwir
Bersama: Dr. KH. A. Musthofa Bisri
Selasa, 31 Maret 2015 pukul: 19.30 di halaman PP. Almunawwir, Krapyak
HADIRILAH!
santrinya adalah kitab-kitab yang
umumnya merupakan penjabaran dari
Kitab suci AlQuran dan Sunnah
Rasulullah SAW menurut pemahaman
Ahlu Sunnah wal Jama'ah. Paham yang
m e n g a j a r k a n I s l a m r a h m a t a n
lil'aalamiin dan sikap hidup tawassuth
wal i'tidaal, sikap tengah-tengah dan
tidak ekstrem.
Para santri juga dididik untuk
mencintai tanah air mereka. Hubbul
wathan minal iimaan, “Cinta tanah air
adalah bagian dari iman”, merupakan
slogan di kalangan kiai dan pesantren
tempo dulu. Di zaman penjajahan,
banyak k ia i yang men jad ikan
pesan t rennya sebaga i markas
perlawanan terhadap penjajah. Banyak
kiai yang gugur dan menjadi penghuni
penjara pemerintah kolonialis dalam
rangka membela tanah air. Dengan
berbagai dalil 'kitab kuning', para kiai
mengobarkan semangat rakyat
melawan penjajah . Fatwa jihad
melawan penjajah oleh Kiai Hasyim
Asyari Tebuireng Jombang, misalnya,
telah mengorbarkan semangat arek-
arek Jawa Timur untuk melawan Sekutu
di Surabaya. Kiai Subki Parakan
Te m a n g g u n g d e n g a n b a m b u
runc ingnya yang terkenal i tu ,
menggembleng mental pejuang-
pejuang kemerdekaan. Kiai Baidlowi
Lasem mengutus beberapa santrinya
untuk memata-matai Belanda yang
konon mendarat di daerah Sayung.
Itu hanyalah sekedar contoh
bagaimana para kiai pesantren dulu
m e n g a j a r k a n , m e n d i d i k , d a n
mencontohkan sikap patriotisme. Di
zaman kebangkitan, para kiai pesantren
medirikan organisasi yang mereka
namakan Nahdlatul Wathan yang
artinya Kebangkitan Tanah air.
Maka tidak heran bila beberapa
kiai yang –ketahuan-- kemudian
diangkat menjadi pahlawan nasional.
Bahkan Mohammad Asad Syihab,
seorang wartawan Arab yang di zaman
revolusi tinggal di Indonesia, di antara
buku-bukunya tentang tokoh-tokoh
nasional Indonesia yang diterbitkan di
Kuwait, menulis buku berjudul Al-
'Allaamah Mohammad Hasyim Asy'ari
Wadli'u Labinati Istiqlaali Indonesia.
Ter jemah har f iahnya: Mahakia i
Mohammad Hasyim Asy'ari Peletak
Batu Pertama Kemerdekaan Indonesia.
Para kiai 'model dulu' selalu
menanamkan kepada santri-santrinya
bahwa mereka adalah orang Indonesia
yang beragama Islam; bukan orang
Islam yang kebetulan berada di
Indonesia. Orang Islam yang kebetulan
di Indonesia boleh jadi tidak peduli
apapun yang menimpa Indonesia, tapi
orang Indonesia yang beragama Islam
tidak bisa tidak memikirkan dan
berjuang bagi kebaikan Indonesia.
Kecuali mungkin orang yang terbalik
akalnya.
A l h a m d u l i l l a h , m e n u r u t
pengamatan saya, minimal para kiai dan
p e s a n t r e n p e l a n j u t g e n e r a s i
s e b e l u m n y a m a s i h t e t a p
mempertahankan pemahaman tentang
Islam rahmatan lil'aalamiin dan sikap
hidup tawassuth wal i'tidaal, sikap
tengah-tengah dan tidak ekstrem, serta
memiliki rasa keindonesiaan yang tebal
seperti kiai dan pesantren di zaman
dulu.
A k h i r - a k h i r i n i o r a n g
dibingungkan dengan munculnya
sikap-sikap kasar bahkan bengis dari
kalangan yang juga menyebut
d i r i k a u m m u s l i m i n .
Muncu lnya us tadz-
ustadz yang dari raut
m u k a h i n g g a
t i n d a k a n d a n
ucapannya membuat
orang bergidik. Ada
jama'ah yang tampak
b a n g g a d e n g a n
keangkerannya. Bahkan
ada yang tidak masuk akal:
perbuatan merusak yang
tegas-tegas dilarang oleh kitab suci
Al-Quran justru dianggap jihad atau
minimal dianggap amar makruf nahi
munkar. Bahkan ada yang tega
meledakkan bom di tengah-tengah
keramaian. Kalau yang melakukan
kekerasan dan pengrusakan itu bukan
orang Indonesia, mungkin kita bisa
mengatakan itu pihak yang iri dan
dengki kepada kita. Tapi kalau itu orang
Indonesia sendiri, kita jadi bingung.
Kalau jama'ah yang merupakan
sekedar anak-anak-buah, kita masih
bisa mengerti. Tapi mereka yang
merupakan imam-imam dan ustadz-
ustadz itu masak tidak mengenal
pemimpin agung panutan umat Islam
Nabi Muhammad SAW yang bassam,
wajahnya tersenyum menyenangkan,
yang bicaranya lembut, yang sikapnya
santun, yang penuh kasih sayang, yang
bergaul dengan penuh adab, yang
beramar-makruf dengan baik
dan bernahi-munkar tidak
dengan munkar, yang
berjihad dengan aturan
dan etika?
Saya pikir, inilah
yang merupakan
tantangan utama kiai
dan pesantren saat
ini. Mereka --yang
memiliki sanad, mata
rantai keIslaman sampai ke
Rasulullah SAW-- dituntut
untuk tampil sebagaimana kiai dan
pesantren dulu untuk mengenalkan
kerahmatan Islam dan kesantunan serta
kasih sayang Nabi Muhammad SAW.
Jangan sampai generasi kita dididik
oleh mereka yang yang –sadar atau
tidak , karena kepentingan atau
k e b o d o h a n — j u s t r u i n g i n
mencemarkan nama baik Islam dan
merusak tanah air kita.
*Penulis adalah seseorang yang masih
belajar
Buletin SANTRI Edisi 06Jum’at, 27 Maret 2015
Buletin SANTRI Edisi 06Jum’at, 27 Maret 2015
“..para kiai 'model dulu’
selalu menanamkan
kepada para santri-santrinya
bahwa mereka adalah
orang Indonesia yang beragama
Islam; bukan orang Islam yang
kebetulan berada
di Indonesia ..”
santrinya adalah kitab-kitab yang
umumnya merupakan penjabaran dari
Kitab suci AlQuran dan Sunnah
Rasulullah SAW menurut pemahaman
Ahlu Sunnah wal Jama'ah. Paham yang
m e n g a j a r k a n I s l a m r a h m a t a n
lil'aalamiin dan sikap hidup tawassuth
wal i'tidaal, sikap tengah-tengah dan
tidak ekstrem.
Para santri juga dididik untuk
mencintai tanah air mereka. Hubbul
wathan minal iimaan, “Cinta tanah air
adalah bagian dari iman”, merupakan
slogan di kalangan kiai dan pesantren
tempo dulu. Di zaman penjajahan,
banyak k ia i yang men jad ikan
pesan t rennya sebaga i markas
perlawanan terhadap penjajah. Banyak
kiai yang gugur dan menjadi penghuni
penjara pemerintah kolonialis dalam
rangka membela tanah air. Dengan
berbagai dalil 'kitab kuning', para kiai
mengobarkan semangat rakyat
melawan penjajah . Fatwa jihad
melawan penjajah oleh Kiai Hasyim
Asyari Tebuireng Jombang, misalnya,
telah mengorbarkan semangat arek-
arek Jawa Timur untuk melawan Sekutu
di Surabaya. Kiai Subki Parakan
Te m a n g g u n g d e n g a n b a m b u
runc ingnya yang terkenal i tu ,
menggembleng mental pejuang-
pejuang kemerdekaan. Kiai Baidlowi
Lasem mengutus beberapa santrinya
untuk memata-matai Belanda yang
konon mendarat di daerah Sayung.
Itu hanyalah sekedar contoh
bagaimana para kiai pesantren dulu
m e n g a j a r k a n , m e n d i d i k , d a n
mencontohkan sikap patriotisme. Di
zaman kebangkitan, para kiai pesantren
medirikan organisasi yang mereka
namakan Nahdlatul Wathan yang
artinya Kebangkitan Tanah air.
Maka tidak heran bila beberapa
kiai yang –ketahuan-- kemudian
diangkat menjadi pahlawan nasional.
Bahkan Mohammad Asad Syihab,
seorang wartawan Arab yang di zaman
revolusi tinggal di Indonesia, di antara
buku-bukunya tentang tokoh-tokoh
nasional Indonesia yang diterbitkan di
Kuwait, menulis buku berjudul Al-
'Allaamah Mohammad Hasyim Asy'ari
Wadli'u Labinati Istiqlaali Indonesia.
Ter jemah har f iahnya: Mahakia i
Mohammad Hasyim Asy'ari Peletak
Batu Pertama Kemerdekaan Indonesia.
Para kiai 'model dulu' selalu
menanamkan kepada santri-santrinya
bahwa mereka adalah orang Indonesia
yang beragama Islam; bukan orang
Islam yang kebetulan berada di
Indonesia. Orang Islam yang kebetulan
di Indonesia boleh jadi tidak peduli
apapun yang menimpa Indonesia, tapi
orang Indonesia yang beragama Islam
tidak bisa tidak memikirkan dan
berjuang bagi kebaikan Indonesia.
Kecuali mungkin orang yang terbalik
akalnya.
A l h a m d u l i l l a h , m e n u r u t
pengamatan saya, minimal para kiai dan
p e s a n t r e n p e l a n j u t g e n e r a s i
s e b e l u m n y a m a s i h t e t a p
mempertahankan pemahaman tentang
Islam rahmatan lil'aalamiin dan sikap
hidup tawassuth wal i'tidaal, sikap
tengah-tengah dan tidak ekstrem, serta
memiliki rasa keindonesiaan yang tebal
seperti kiai dan pesantren di zaman
dulu.
A k h i r - a k h i r i n i o r a n g
dibingungkan dengan munculnya
sikap-sikap kasar bahkan bengis dari
kalangan yang juga menyebut
d i r i k a u m m u s l i m i n .
Muncu lnya us tadz-
ustadz yang dari raut
m u k a h i n g g a
t i n d a k a n d a n
ucapannya membuat
orang bergidik. Ada
jama'ah yang tampak
b a n g g a d e n g a n
keangkerannya. Bahkan
ada yang tidak masuk akal:
perbuatan merusak yang
tegas-tegas dilarang oleh kitab suci
Al-Quran justru dianggap jihad atau
minimal dianggap amar makruf nahi
munkar. Bahkan ada yang tega
meledakkan bom di tengah-tengah
keramaian. Kalau yang melakukan
kekerasan dan pengrusakan itu bukan
orang Indonesia, mungkin kita bisa
mengatakan itu pihak yang iri dan
dengki kepada kita. Tapi kalau itu orang
Indonesia sendiri, kita jadi bingung.
Kalau jama'ah yang merupakan
sekedar anak-anak-buah, kita masih
bisa mengerti. Tapi mereka yang
merupakan imam-imam dan ustadz-
ustadz itu masak tidak mengenal
pemimpin agung panutan umat Islam
Nabi Muhammad SAW yang bassam,
wajahnya tersenyum menyenangkan,
yang bicaranya lembut, yang sikapnya
santun, yang penuh kasih sayang, yang
bergaul dengan penuh adab, yang
beramar-makruf dengan baik
dan bernahi-munkar tidak
dengan munkar, yang
berjihad dengan aturan
dan etika?
Saya pikir, inilah
yang merupakan
tantangan utama kiai
dan pesantren saat
ini. Mereka --yang
memiliki sanad, mata
rantai keIslaman sampai ke
Rasulullah SAW-- dituntut
untuk tampil sebagaimana kiai dan
pesantren dulu untuk mengenalkan
kerahmatan Islam dan kesantunan serta
kasih sayang Nabi Muhammad SAW.
Jangan sampai generasi kita dididik
oleh mereka yang yang –sadar atau
tidak , karena kepentingan atau
k e b o d o h a n — j u s t r u i n g i n
mencemarkan nama baik Islam dan
merusak tanah air kita.
*Penulis adalah seseorang yang masih
belajar
Buletin SANTRI Edisi 06Jum’at, 27 Maret 2015
Buletin SANTRI Edisi 06Jum’at, 27 Maret 2015
“..para kiai 'model dulu’
selalu menanamkan
kepada para santri-santrinya
bahwa mereka adalah
orang Indonesia yang beragama
Islam; bukan orang Islam yang
kebetulan berada
di Indonesia ..”
eperti mengenai banyak hal yang
S lain, kalau kita berbicara tentang
kiai dan pesantren, kita terpaksa
harus membuat katagori pembeda: kiai
sekarang atau kiai dulu; pesantren
sekarang atau pesantren dulu. Soalnya
memang terdapat banyak perbedaan
antara kiai sekarang dengan kiai di zaman
dulu. Demikian pula dengan pesantren;
apalagi sekarang ini banyak pesantren
baru yang sama sekali berbeda bahkan
sering 'ideologi'nya bertolak belakang
dengan pesantren di zaman dulu.
Kiai di zaman dulu –biasanya
'pemilik' pesantren—rata-rata adalah
orang yang di samping memiliki ilmu
agama leb ih dar i kebanyakan
masyarakatnya, memiliki kecintaan
yang mendalam kepada tanah air dan
umatnya. Para kiai di zaman dulu,
membangun pondok pesantren mereka
sendiri untuk menampung santri-
santrin mereka yang menimba ilmu
darinya. Santri-santri mereka, tidak
hanya diberi ilmu agama, tetapi dididik
untuk mengamalkan ilmu yang mereka
dapat. Menurut mereka, iIlmu tidak ada
gunanya bila tidak diamalkan.
K i tab-k i tab kuning yang
diajarkan kiai-kiai kepada santri-
Buletin SANTRI Edisi 06Jum’at, 27 Maret 2015 1Buletin SANTRI Edisi 06
Jum’at, 27 Maret 20154
Jawaban: Wa'alaikumsalam. Para ulama berpendapat bahwa seseorang yang bacaan al-
Qurannya bagus (al-qari') tidak boleh makmum di belakangnya imam yang bacaan al-
Qurannya tidak bagus (al-ummi). Jika tetap dilakukan maka shalatnya batal. Namun, para
ulama berbeda pendapat dalam hal batasan seseorang disebut al-ummi. Sebagian besar
ulama berpendapat bahwa seseorang yang tidak mampu membaca al-Fatihah disebut al-
ummi. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa al-ummi adalah seseorang yang tak
mampu membaca walaupun hanya satu ayat. Sebaliknya, seseorang yg mampu membaca
walau hanya satu ayat dikategorikan sebagai al-qari'. Dengan berpijak pada pendapat Abu
Hanifah ini, maka orang yang bacaannya bagus boleh bermakmum di belakang imam yg
hanya bisa membaca satu ayat saja. Shalatnya sah, menurut Imam Abu Hanifah. Akan tetapi,
lebih utama jika yang yg menjadi imam adalah orang yang paling bagus bacaannya di suatu
komunitas masyarakat.
Pertanyaan: Salam ustadz. Saya galau nih ustadz. Seringkali ketika saya sholat berjamaah, bacaan
sang imam itu tidak fasih. Terkadang makhrojnya seringkali salah. Yang seharusnya "dzal" tetapi
dibaca "dal", yang seharusnya "jim" dibaca "za'". Itu bagaimana ustadz. Hal itu saya alami kemrin
ketika sholat jumat. Khutbah khotibnya bagus tetapi bacaan sholatnya banyak yang salah.
Sebenarnya tidak kemarin saja tapi seringkali saya menemui fenomena ini. Bahkan, imam itu
sudah punya posisi di desanya, kalau mau diganti tetap aja sungkan dan imam itu tidak sadar diri.
Terimakasih ustadz atas jawaban dari kegalauan saya ini.
Abdul Karim Sastrawi, 30, Wartawan.
Makmum Kepada Imam
yang Tidak Fasih
Edisi 06/2015
Kiai dan Pesantren IndonesiaOleh: KH. A. Musthofa Bisri
Peringatan Haul Ke-76 Almaghfurlah KH. M. Munawwir
Bersama: Dr. KH. A. Musthofa Bisri
Selasa, 31 Maret 2015 pukul: 19.30 di halaman PP. Almunawwir, Krapyak
HADIRILAH!