Edisi 6 - Kiai dan Pesantren Indonesia

4
eperti mengenai banyak hal yang S lain, kalau kita berbicara tentang kiai dan pesantren, kita terpaksa harus membuat katagori pembeda: kiai sekarang atau kiai dulu; pesantren sekarang atau pesantren dulu. Soalnya memang terdapat banyak perbedaan antara kiai sekarang dengan kiai di zaman dulu. Demikian pula dengan pesantren; apalagi sekarang ini banyak pesantren baru yang sama sekali berbeda bahkan sering 'ideologi'nya bertolak belakang dengan pesantren di zaman dulu. Kiai di zaman dulu –biasanya 'pemilik' pesantren—rata-rata adalah orang yang di samping memiliki ilmu agama lebih dari kebanyakan masyarakatnya, memiliki kecintaan yang mendalam kepada tanah air dan umatnya. Para kiai di zaman dulu, membangun pondok pesantren mereka sendiri untuk menampung santri- santrin mereka yang menimba ilmu darinya. Santri-santri mereka, tidak hanya diberi ilmu agama, tetapi dididik untuk mengamalkan ilmu yang mereka dapat. Menurut mereka, iIlmu tidak ada gunanya bila tidak diamalkan. Kitab-kitab kuning yang diajarkan kiai-kiai kepada santri- Buletin SANTRI Edisi 06 Jum’at, 27 Maret 2015 1 Edisi 06/2015 Kiai dan Pesantren Indonesia Oleh: KH. A. Musthofa Bisri

description

 

Transcript of Edisi 6 - Kiai dan Pesantren Indonesia

Page 1: Edisi 6 - Kiai dan Pesantren Indonesia

eperti mengenai banyak hal yang

S lain, kalau kita berbicara tentang

kiai dan pesantren, kita terpaksa

harus membuat katagori pembeda: kiai

sekarang atau kiai dulu; pesantren

sekarang atau pesantren dulu. Soalnya

memang terdapat banyak perbedaan

antara kiai sekarang dengan kiai di zaman

dulu. Demikian pula dengan pesantren;

apalagi sekarang ini banyak pesantren

baru yang sama sekali berbeda bahkan

sering 'ideologi'nya bertolak belakang

dengan pesantren di zaman dulu.

Kiai di zaman dulu –biasanya

'pemilik' pesantren—rata-rata adalah

orang yang di samping memiliki ilmu

agama leb ih dar i kebanyakan

masyarakatnya, memiliki kecintaan

yang mendalam kepada tanah air dan

umatnya. Para kiai di zaman dulu,

membangun pondok pesantren mereka

sendiri untuk menampung santri-

santrin mereka yang menimba ilmu

darinya. Santri-santri mereka, tidak

hanya diberi ilmu agama, tetapi dididik

untuk mengamalkan ilmu yang mereka

dapat. Menurut mereka, iIlmu tidak ada

gunanya bila tidak diamalkan.

K i tab-k i tab kuning yang

diajarkan kiai-kiai kepada santri-

Buletin SANTRI Edisi 06Jum’at, 27 Maret 2015 1Buletin SANTRI Edisi 06

Jum’at, 27 Maret 20154

Jawaban: Wa'alaikumsalam. Para ulama berpendapat bahwa seseorang yang bacaan al-

Qurannya bagus (al-qari') tidak boleh makmum di belakangnya imam yang bacaan al-

Qurannya tidak bagus (al-ummi). Jika tetap dilakukan maka shalatnya batal. Namun, para

ulama berbeda pendapat dalam hal batasan seseorang disebut al-ummi. Sebagian besar

ulama berpendapat bahwa seseorang yang tidak mampu membaca al-Fatihah disebut al-

ummi. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa al-ummi adalah seseorang yang tak

mampu membaca walaupun hanya satu ayat. Sebaliknya, seseorang yg mampu membaca

walau hanya satu ayat dikategorikan sebagai al-qari'. Dengan berpijak pada pendapat Abu

Hanifah ini, maka orang yang bacaannya bagus boleh bermakmum di belakang imam yg

hanya bisa membaca satu ayat saja. Shalatnya sah, menurut Imam Abu Hanifah. Akan tetapi,

lebih utama jika yang yg menjadi imam adalah orang yang paling bagus bacaannya di suatu

komunitas masyarakat.

Pertanyaan: Salam ustadz. Saya galau nih ustadz. Seringkali ketika saya sholat berjamaah, bacaan

sang imam itu tidak fasih. Terkadang makhrojnya seringkali salah. Yang seharusnya "dzal" tetapi

dibaca "dal", yang seharusnya "jim" dibaca "za'". Itu bagaimana ustadz. Hal itu saya alami kemrin

ketika sholat jumat. Khutbah khotibnya bagus tetapi bacaan sholatnya banyak yang salah.

Sebenarnya tidak kemarin saja tapi seringkali saya menemui fenomena ini. Bahkan, imam itu

sudah punya posisi di desanya, kalau mau diganti tetap aja sungkan dan imam itu tidak sadar diri.

Terimakasih ustadz atas jawaban dari kegalauan saya ini.

Abdul Karim Sastrawi, 30, Wartawan.

Makmum Kepada Imam

yang Tidak Fasih

Edisi 06/2015

Kiai dan Pesantren IndonesiaOleh: KH. A. Musthofa Bisri

Peringatan Haul Ke-76 Almaghfurlah KH. M. Munawwir

Bersama: Dr. KH. A. Musthofa Bisri

Selasa, 31 Maret 2015 pukul: 19.30 di halaman PP. Almunawwir, Krapyak

HADIRILAH!

Page 2: Edisi 6 - Kiai dan Pesantren Indonesia

santrinya adalah kitab-kitab yang

umumnya merupakan penjabaran dari

Kitab suci AlQuran dan Sunnah

Rasulullah SAW menurut pemahaman

Ahlu Sunnah wal Jama'ah. Paham yang

m e n g a j a r k a n I s l a m r a h m a t a n

lil'aalamiin dan sikap hidup tawassuth

wal i'tidaal, sikap tengah-tengah dan

tidak ekstrem.

Para santri juga dididik untuk

mencintai tanah air mereka. Hubbul

wathan minal iimaan, “Cinta tanah air

adalah bagian dari iman”, merupakan

slogan di kalangan kiai dan pesantren

tempo dulu. Di zaman penjajahan,

banyak k ia i yang men jad ikan

pesan t rennya sebaga i markas

perlawanan terhadap penjajah. Banyak

kiai yang gugur dan menjadi penghuni

penjara pemerintah kolonialis dalam

rangka membela tanah air. Dengan

berbagai dalil 'kitab kuning', para kiai

mengobarkan semangat rakyat

melawan penjajah . Fatwa jihad

melawan penjajah oleh Kiai Hasyim

Asyari Tebuireng Jombang, misalnya,

telah mengorbarkan semangat arek-

arek Jawa Timur untuk melawan Sekutu

di Surabaya. Kiai Subki Parakan

Te m a n g g u n g d e n g a n b a m b u

runc ingnya yang terkenal i tu ,

menggembleng mental pejuang-

pejuang kemerdekaan. Kiai Baidlowi

Lasem mengutus beberapa santrinya

untuk memata-matai Belanda yang

konon mendarat di daerah Sayung.

Itu hanyalah sekedar contoh

bagaimana para kiai pesantren dulu

m e n g a j a r k a n , m e n d i d i k , d a n

mencontohkan sikap patriotisme. Di

zaman kebangkitan, para kiai pesantren

medirikan organisasi yang mereka

namakan Nahdlatul Wathan yang

artinya Kebangkitan Tanah air.

Maka tidak heran bila beberapa

kiai yang –ketahuan-- kemudian

diangkat menjadi pahlawan nasional.

Bahkan Mohammad Asad Syihab,

seorang wartawan Arab yang di zaman

revolusi tinggal di Indonesia, di antara

buku-bukunya tentang tokoh-tokoh

nasional Indonesia yang diterbitkan di

Kuwait, menulis buku berjudul Al-

'Allaamah Mohammad Hasyim Asy'ari

Wadli'u Labinati Istiqlaali Indonesia.

Ter jemah har f iahnya: Mahakia i

Mohammad Hasyim Asy'ari Peletak

Batu Pertama Kemerdekaan Indonesia.

Para kiai 'model dulu' selalu

menanamkan kepada santri-santrinya

bahwa mereka adalah orang Indonesia

yang beragama Islam; bukan orang

Islam yang kebetulan berada di

Indonesia. Orang Islam yang kebetulan

di Indonesia boleh jadi tidak peduli

apapun yang menimpa Indonesia, tapi

orang Indonesia yang beragama Islam

tidak bisa tidak memikirkan dan

berjuang bagi kebaikan Indonesia.

Kecuali mungkin orang yang terbalik

akalnya.

A l h a m d u l i l l a h , m e n u r u t

pengamatan saya, minimal para kiai dan

p e s a n t r e n p e l a n j u t g e n e r a s i

s e b e l u m n y a m a s i h t e t a p

mempertahankan pemahaman tentang

Islam rahmatan lil'aalamiin dan sikap

hidup tawassuth wal i'tidaal, sikap

tengah-tengah dan tidak ekstrem, serta

memiliki rasa keindonesiaan yang tebal

seperti kiai dan pesantren di zaman

dulu.

A k h i r - a k h i r i n i o r a n g

dibingungkan dengan munculnya

sikap-sikap kasar bahkan bengis dari

kalangan yang juga menyebut

d i r i k a u m m u s l i m i n .

Muncu lnya us tadz-

ustadz yang dari raut

m u k a h i n g g a

t i n d a k a n d a n

ucapannya membuat

orang bergidik. Ada

jama'ah yang tampak

b a n g g a d e n g a n

keangkerannya. Bahkan

ada yang tidak masuk akal:

perbuatan merusak yang

tegas-tegas dilarang oleh kitab suci

Al-Quran justru dianggap jihad atau

minimal dianggap amar makruf nahi

munkar. Bahkan ada yang tega

meledakkan bom di tengah-tengah

keramaian. Kalau yang melakukan

kekerasan dan pengrusakan itu bukan

orang Indonesia, mungkin kita bisa

mengatakan itu pihak yang iri dan

dengki kepada kita. Tapi kalau itu orang

Indonesia sendiri, kita jadi bingung.

Kalau jama'ah yang merupakan

sekedar anak-anak-buah, kita masih

bisa mengerti. Tapi mereka yang

merupakan imam-imam dan ustadz-

ustadz itu masak tidak mengenal

pemimpin agung panutan umat Islam

Nabi Muhammad SAW yang bassam,

wajahnya tersenyum menyenangkan,

yang bicaranya lembut, yang sikapnya

santun, yang penuh kasih sayang, yang

bergaul dengan penuh adab, yang

beramar-makruf dengan baik

dan bernahi-munkar tidak

dengan munkar, yang

berjihad dengan aturan

dan etika?

Saya pikir, inilah

yang merupakan

tantangan utama kiai

dan pesantren saat

ini. Mereka --yang

memiliki sanad, mata

rantai keIslaman sampai ke

Rasulullah SAW-- dituntut

untuk tampil sebagaimana kiai dan

pesantren dulu untuk mengenalkan

kerahmatan Islam dan kesantunan serta

kasih sayang Nabi Muhammad SAW.

Jangan sampai generasi kita dididik

oleh mereka yang yang –sadar atau

tidak , karena kepentingan atau

k e b o d o h a n — j u s t r u i n g i n

mencemarkan nama baik Islam dan

merusak tanah air kita.

*Penulis adalah seseorang yang masih

belajar

Buletin SANTRI Edisi 06Jum’at, 27 Maret 2015

Buletin SANTRI Edisi 06Jum’at, 27 Maret 2015

“..para kiai 'model dulu’

selalu menanamkan

kepada para santri-santrinya

bahwa mereka adalah

orang Indonesia yang beragama

Islam; bukan orang Islam yang

kebetulan berada

di Indonesia ..”

Page 3: Edisi 6 - Kiai dan Pesantren Indonesia

santrinya adalah kitab-kitab yang

umumnya merupakan penjabaran dari

Kitab suci AlQuran dan Sunnah

Rasulullah SAW menurut pemahaman

Ahlu Sunnah wal Jama'ah. Paham yang

m e n g a j a r k a n I s l a m r a h m a t a n

lil'aalamiin dan sikap hidup tawassuth

wal i'tidaal, sikap tengah-tengah dan

tidak ekstrem.

Para santri juga dididik untuk

mencintai tanah air mereka. Hubbul

wathan minal iimaan, “Cinta tanah air

adalah bagian dari iman”, merupakan

slogan di kalangan kiai dan pesantren

tempo dulu. Di zaman penjajahan,

banyak k ia i yang men jad ikan

pesan t rennya sebaga i markas

perlawanan terhadap penjajah. Banyak

kiai yang gugur dan menjadi penghuni

penjara pemerintah kolonialis dalam

rangka membela tanah air. Dengan

berbagai dalil 'kitab kuning', para kiai

mengobarkan semangat rakyat

melawan penjajah . Fatwa jihad

melawan penjajah oleh Kiai Hasyim

Asyari Tebuireng Jombang, misalnya,

telah mengorbarkan semangat arek-

arek Jawa Timur untuk melawan Sekutu

di Surabaya. Kiai Subki Parakan

Te m a n g g u n g d e n g a n b a m b u

runc ingnya yang terkenal i tu ,

menggembleng mental pejuang-

pejuang kemerdekaan. Kiai Baidlowi

Lasem mengutus beberapa santrinya

untuk memata-matai Belanda yang

konon mendarat di daerah Sayung.

Itu hanyalah sekedar contoh

bagaimana para kiai pesantren dulu

m e n g a j a r k a n , m e n d i d i k , d a n

mencontohkan sikap patriotisme. Di

zaman kebangkitan, para kiai pesantren

medirikan organisasi yang mereka

namakan Nahdlatul Wathan yang

artinya Kebangkitan Tanah air.

Maka tidak heran bila beberapa

kiai yang –ketahuan-- kemudian

diangkat menjadi pahlawan nasional.

Bahkan Mohammad Asad Syihab,

seorang wartawan Arab yang di zaman

revolusi tinggal di Indonesia, di antara

buku-bukunya tentang tokoh-tokoh

nasional Indonesia yang diterbitkan di

Kuwait, menulis buku berjudul Al-

'Allaamah Mohammad Hasyim Asy'ari

Wadli'u Labinati Istiqlaali Indonesia.

Ter jemah har f iahnya: Mahakia i

Mohammad Hasyim Asy'ari Peletak

Batu Pertama Kemerdekaan Indonesia.

Para kiai 'model dulu' selalu

menanamkan kepada santri-santrinya

bahwa mereka adalah orang Indonesia

yang beragama Islam; bukan orang

Islam yang kebetulan berada di

Indonesia. Orang Islam yang kebetulan

di Indonesia boleh jadi tidak peduli

apapun yang menimpa Indonesia, tapi

orang Indonesia yang beragama Islam

tidak bisa tidak memikirkan dan

berjuang bagi kebaikan Indonesia.

Kecuali mungkin orang yang terbalik

akalnya.

A l h a m d u l i l l a h , m e n u r u t

pengamatan saya, minimal para kiai dan

p e s a n t r e n p e l a n j u t g e n e r a s i

s e b e l u m n y a m a s i h t e t a p

mempertahankan pemahaman tentang

Islam rahmatan lil'aalamiin dan sikap

hidup tawassuth wal i'tidaal, sikap

tengah-tengah dan tidak ekstrem, serta

memiliki rasa keindonesiaan yang tebal

seperti kiai dan pesantren di zaman

dulu.

A k h i r - a k h i r i n i o r a n g

dibingungkan dengan munculnya

sikap-sikap kasar bahkan bengis dari

kalangan yang juga menyebut

d i r i k a u m m u s l i m i n .

Muncu lnya us tadz-

ustadz yang dari raut

m u k a h i n g g a

t i n d a k a n d a n

ucapannya membuat

orang bergidik. Ada

jama'ah yang tampak

b a n g g a d e n g a n

keangkerannya. Bahkan

ada yang tidak masuk akal:

perbuatan merusak yang

tegas-tegas dilarang oleh kitab suci

Al-Quran justru dianggap jihad atau

minimal dianggap amar makruf nahi

munkar. Bahkan ada yang tega

meledakkan bom di tengah-tengah

keramaian. Kalau yang melakukan

kekerasan dan pengrusakan itu bukan

orang Indonesia, mungkin kita bisa

mengatakan itu pihak yang iri dan

dengki kepada kita. Tapi kalau itu orang

Indonesia sendiri, kita jadi bingung.

Kalau jama'ah yang merupakan

sekedar anak-anak-buah, kita masih

bisa mengerti. Tapi mereka yang

merupakan imam-imam dan ustadz-

ustadz itu masak tidak mengenal

pemimpin agung panutan umat Islam

Nabi Muhammad SAW yang bassam,

wajahnya tersenyum menyenangkan,

yang bicaranya lembut, yang sikapnya

santun, yang penuh kasih sayang, yang

bergaul dengan penuh adab, yang

beramar-makruf dengan baik

dan bernahi-munkar tidak

dengan munkar, yang

berjihad dengan aturan

dan etika?

Saya pikir, inilah

yang merupakan

tantangan utama kiai

dan pesantren saat

ini. Mereka --yang

memiliki sanad, mata

rantai keIslaman sampai ke

Rasulullah SAW-- dituntut

untuk tampil sebagaimana kiai dan

pesantren dulu untuk mengenalkan

kerahmatan Islam dan kesantunan serta

kasih sayang Nabi Muhammad SAW.

Jangan sampai generasi kita dididik

oleh mereka yang yang –sadar atau

tidak , karena kepentingan atau

k e b o d o h a n — j u s t r u i n g i n

mencemarkan nama baik Islam dan

merusak tanah air kita.

*Penulis adalah seseorang yang masih

belajar

Buletin SANTRI Edisi 06Jum’at, 27 Maret 2015

Buletin SANTRI Edisi 06Jum’at, 27 Maret 2015

“..para kiai 'model dulu’

selalu menanamkan

kepada para santri-santrinya

bahwa mereka adalah

orang Indonesia yang beragama

Islam; bukan orang Islam yang

kebetulan berada

di Indonesia ..”

Page 4: Edisi 6 - Kiai dan Pesantren Indonesia

eperti mengenai banyak hal yang

S lain, kalau kita berbicara tentang

kiai dan pesantren, kita terpaksa

harus membuat katagori pembeda: kiai

sekarang atau kiai dulu; pesantren

sekarang atau pesantren dulu. Soalnya

memang terdapat banyak perbedaan

antara kiai sekarang dengan kiai di zaman

dulu. Demikian pula dengan pesantren;

apalagi sekarang ini banyak pesantren

baru yang sama sekali berbeda bahkan

sering 'ideologi'nya bertolak belakang

dengan pesantren di zaman dulu.

Kiai di zaman dulu –biasanya

'pemilik' pesantren—rata-rata adalah

orang yang di samping memiliki ilmu

agama leb ih dar i kebanyakan

masyarakatnya, memiliki kecintaan

yang mendalam kepada tanah air dan

umatnya. Para kiai di zaman dulu,

membangun pondok pesantren mereka

sendiri untuk menampung santri-

santrin mereka yang menimba ilmu

darinya. Santri-santri mereka, tidak

hanya diberi ilmu agama, tetapi dididik

untuk mengamalkan ilmu yang mereka

dapat. Menurut mereka, iIlmu tidak ada

gunanya bila tidak diamalkan.

K i tab-k i tab kuning yang

diajarkan kiai-kiai kepada santri-

Buletin SANTRI Edisi 06Jum’at, 27 Maret 2015 1Buletin SANTRI Edisi 06

Jum’at, 27 Maret 20154

Jawaban: Wa'alaikumsalam. Para ulama berpendapat bahwa seseorang yang bacaan al-

Qurannya bagus (al-qari') tidak boleh makmum di belakangnya imam yang bacaan al-

Qurannya tidak bagus (al-ummi). Jika tetap dilakukan maka shalatnya batal. Namun, para

ulama berbeda pendapat dalam hal batasan seseorang disebut al-ummi. Sebagian besar

ulama berpendapat bahwa seseorang yang tidak mampu membaca al-Fatihah disebut al-

ummi. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa al-ummi adalah seseorang yang tak

mampu membaca walaupun hanya satu ayat. Sebaliknya, seseorang yg mampu membaca

walau hanya satu ayat dikategorikan sebagai al-qari'. Dengan berpijak pada pendapat Abu

Hanifah ini, maka orang yang bacaannya bagus boleh bermakmum di belakang imam yg

hanya bisa membaca satu ayat saja. Shalatnya sah, menurut Imam Abu Hanifah. Akan tetapi,

lebih utama jika yang yg menjadi imam adalah orang yang paling bagus bacaannya di suatu

komunitas masyarakat.

Pertanyaan: Salam ustadz. Saya galau nih ustadz. Seringkali ketika saya sholat berjamaah, bacaan

sang imam itu tidak fasih. Terkadang makhrojnya seringkali salah. Yang seharusnya "dzal" tetapi

dibaca "dal", yang seharusnya "jim" dibaca "za'". Itu bagaimana ustadz. Hal itu saya alami kemrin

ketika sholat jumat. Khutbah khotibnya bagus tetapi bacaan sholatnya banyak yang salah.

Sebenarnya tidak kemarin saja tapi seringkali saya menemui fenomena ini. Bahkan, imam itu

sudah punya posisi di desanya, kalau mau diganti tetap aja sungkan dan imam itu tidak sadar diri.

Terimakasih ustadz atas jawaban dari kegalauan saya ini.

Abdul Karim Sastrawi, 30, Wartawan.

Makmum Kepada Imam

yang Tidak Fasih

Edisi 06/2015

Kiai dan Pesantren IndonesiaOleh: KH. A. Musthofa Bisri

Peringatan Haul Ke-76 Almaghfurlah KH. M. Munawwir

Bersama: Dr. KH. A. Musthofa Bisri

Selasa, 31 Maret 2015 pukul: 19.30 di halaman PP. Almunawwir, Krapyak

HADIRILAH!