E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum...

75
BIDANC ILMU FILSN I;A1'HUKUM ISLAM LAPORAN PENELITIAN RELEVANSI TEORI BATAS MUHAMMAD SYAHRUR SEBAGAI BASIS PEMBAHARUANT HUKUM KEWARISAN DI INDONBSIA E4JIfulJIVI Peneliti: Rohidin, Dr., M.Ag. FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2014 ISLAM ,i o o z m Ul t U7 fl n lr trj z 3

Transcript of E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum...

Page 1: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

BIDANC ILMUFILSN I;A1'HUKUM ISLAM

LAPORAN PENELITIAN

RELEVANSI TEORI BATAS MUHAMMAD SYAHRURSEBAGAI BASIS PEMBAHARUANT

HUKUM KEWARISAN DI INDONBSIA

E4JIfulJIVI

Peneliti:

Rohidin, Dr., M.Ag.

FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

YOGYAKARTA2014

ISLAM ,ioozmUlt

U7

flnlrtrj

z3

Page 2: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

HALAMAN PENGESAHAN

Penelitian yang berjudul:

Relevansi Teori Batas Muhammad Syahrur

Sebagai Basis Pembaharuan Hukum Kewarisan di Indonesia

Oleh:Dr. Drs. Rohidin, M.Ag.

Telah diseminarkan pada 19 Mei 2014

Disetujui oleh:Ketua Prodi

Faqih, SH., M.Hum. *,*,k4,,MHum

v !Li.t | | ll | : l.:'-itujrls

* voovnrRnr

Page 3: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

SURAT PBRNYATAAN

Yang bertandatangan di bawah ini kami:

Nama

Alamat Rumah

Telp./HP

Judul Penelitian

ROHIDIN, Dr., M.Ag'

Warungboto Umbulharjo lV/81 5 Rt. 30/07 Yogyakarla

+62274 418 415

Relevansi Teori Batas Muhammad Syahrur sebagai Basis

Pembaharuan Hukum Kewarisan di Indonesia

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa:

l. Laporan Penelitian yang kami ajukan benal asli karya ilmiah yang kami tulis

sendiri.

2. Apabila di kemudian hari ternyata diketahui bahwa karya tersebut bukan

karya ilmiah kami (plagiasi), maka kami bersedia menanggung sanksi

sebagimana Yang beilaku'

Demikian pernyataan ini kami buat dengan sebenar-benarnya.

Yogyakarta, l0 Mei20l4Kami yang Men

Page 4: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

DAFTAII ISI

Halaman

HALAMAN JTJDI]L

HALAMAN PENGESAHAN

I{ALAMAN PERI\TYATAAN '.'.....' """"}""""'DAFTARISI ...........

ABSTRAK

BAB IPENDAIIULUAN

A. Latar Belakang Masalah

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan dan Kegunaan .....'......'

D. Kajian Pustaka

E. Kerangka Pemikiran

F. Metode

G. Sistematika Pembahasan ...'.."'

BAB IIM. SYAHR{'R DAN PEMIKIRANI\IYA TENTANG TEORI BATAS ..... 18

A. Biografi Singkat M. SYahrur 18

B. Prinsip-Prinsip Dasar Pemikiran M' Syahrur 2l

BAB IIIANALISIS MATERI TIUKUNI

TEORI BATAS M. SYAHRUR ..

KBWARISAN ISLAM BERBASIS

A. Formulasi Hukum Kewarisan Islam di lndcnesia 28

B. Pandangan M. Syahrur terhadap Hukum Kewarisan Islam """" 38

c. pembaharuan Hukum Kewarisan Islarn Berbasis Teori Batas M. Syahrur

ll

iii

iv

I

I

5

6

6

llt3

t6

lll

42

Page 5: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan

B. Rekomendasi dan Saran

DAFTAR PUSTAKA

64

64

65

67

IV

Page 6: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

Abstrak

Penelitian yang berjudul "Relevansi Teori Batas Muhammad Syahrur sebagai Basis

pembaharuan Hukum Kewarisan di Indonesia", ini difokuskan pada problem

;bugui*unu relevansi teori batas Syahrur jika dijadikan sebagai basis pembaharuan

hukum kewarisan Islam di Indonesia?. Tujuan dari pene-litian ini adalah untuk

*"ni*u*g relevansi teori batas Syahrur sebagai basis pembaharuan hukum kewarisan

Islam di Indonesia. Dengan ketercapaian tujuan tersebut, maka hasil penelitian ini-dapat

Jilunutun oleh staliholders slbagai bahan pertimbangan dalam malakukan

p""*f"rr".uun hukum kewarisan Islam di Indonesia. Selain itu, penelitian ini juga

diharapkan dapat memperkaya kajian filsafat hukum Islam yang lebih komprehensif

dan relevan dalam *urunyu. sebagai penelitian normatif yang bersifat filo-sofis dan

bersumber aari berUalai referensi [Uunun hukum), maka pendekatan yang digunakan

;;l.h pendekatan koiseptual. Pendekatan ini digunakan untuk menganalisa relevansi

teori batas Syahrur ,*t Oiporisikan sebagaitasis L..93h1Tan hukum kewarisan Islam

di Indonesia. setelah dianalisis secara deskriptif-kualitatifi yaitu data yang disajikan

,.ruru deskriptif dan dianalisis secara kualitatif (content analysis) deng11 laleJcah-

iunltun, seperti: tctasinmsi, sistematisasi, dan analisis, maka dapat disimpulkan bahwa'

per.tdma, Syahrur 1ntn"1nputtan keadilan sebagai asas utama.dalam aturan pembagian

waris. Basis pemb"d;; h;; waris ini tidak di dasarkan pada individu ahli waris' tetapi

pJu r."to*pok jenis kelamin. Kedua, Adanya penetapan batas atas dan bawah yang

memungkinkan bagi ahli waris untuk menetapkan bagiannya sesuai dengan kondisi dan

kebutuliannya, dan ketiga, dengan seperangkat metodologi.yang digunakan, tawaran-

tawaran teoretik syahrur mampu memecahkan problem radd dan 'awl yang hingga hari

ini masih buntu.

Kata kunci: Teori Batas dan Pembaharuan Hukum Kewarisan

Page 7: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hukum waris dalam Islam merupakan ekspresi penting hukum keluarga.

Vitalitas inilah yang kemudian hukum waris ditegaskan oleh Nabi Muhammad

saw sebagai separuh pengetahuan yang dimiliki manusia.1 Berpijak dari hal itu,

maka mempelajari hukum waris dalam Islam berarti mengkaji separuh

pengetahuan yang dimiliki manusia, yang telah dan terus hidup di tengah-tengah

masyarakat muslim hingga saat ini dan masa yang akan datang.

Dari awal hingga pembentukan dan pembaharuannya di masa modern

hukum waris Islam menunjukkan dinamika dan perkembangannya. Salah satu

dinamika tersebut adalah dimasukkannya hukum waris Islam ke dalam Kompilasi

Hukum Islam (KHI) di Indonesia. Ada tiga tema besar yang tercantum dalam KHI,

yaitu; hukum perkawinan, hukum kewarisan, dan hukum perwakafan. Hal ini

berarti bahwa hukum waris Islam menjadi hukum positif di Indonesia, yang

kemudian dikenal dengan istilah hukum kewarisan.

Istilah kompilasi merupakan serapan dari bahasa Inggris dan Belanda

berupa; compilation dan compilatie,2 yang berarti kumpulan yang tersusun secara

                                                            1Diriwayatkan dari Abi Hurairah dan ditakhrij oleh Abi Hasan al-Daruquthni dalam, Abi Hasan

al-Daruquthni, Sunan al-Daruquthni (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1966), juz IV, hlm. 67. 2Abdurrahman, Komplasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Akademika Pressindo, 1992),

hlm. 10. 

Page 8: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

2

teratur.3 Dalam dunia hukum, kompilasi didefinikan dengan sebuah buku hukum

atau buku kumpulan yang memuat uraian atau bahan-bahan hukum tertentu,

pendapat hukum, atau juga aturan hukum.4 Dengan demikian, KHI adalah buku

kumpulan yang memuat uraian tentang hukum Islam sebagaimana terurai secara

rinci di atas.

Semenjak ditetapkan melalui Instruksi Presiden (Inpres) pada tahun 1991,

KHI belum pernah mengalami perubahan. Sementara itu, kehidupan masyarakat

Indonesia secara bertahap telah mengalami perubahan yang sangat dinamis. Secara

sederhana dapat dikatakan bahwa dinamika perubahan kehidupan masyarakat tidak

diimbangi oleh perubahan hukum itu sendiri, yang dalam hal ini adalah KHI, dan

termasuk di dalamnya hukum kewarisan.

Kelambanan pembaharuan hukum Islam, termasuk di dalamnya KHI dan

hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan oleh dua faktor.

Pertama, masih kuatnya anggapan bahwa taklid terhadap pendapat para ulama,

sebagaimana terekam dalam literatur fikih, masih cukup memadai untuk menjawab

persoalan-persoalan kontemporer. Kedua, hukum Islam di Indoensia dalam

konteks sosial-politik masa kini selalu mengandung polemik. Ada dua polemik

yang menggelanyut di dalamnya, yaitu (1) hukum Islam berada di antara dua

                                                            3Dendy Sugono (red.), Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), hlm. 796. 4 Abdurrahman, Komplasi Hukum Islam, hlm. 12. 

Page 9: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

3

paradigma, agama dan negara; dan (2) hukum Islam berada pada ketegangan

agama itu sendiri.5

Pada dasarnya, hukum kewarisan di Indonesia baru akan dipergunakan oleh

masyarakat saat dibutuhkan untuk menyelesaikan konflik tentang harta pusaka.

Banyak masyarakat Indonesia yang membagi harta pusaka peninggalan

pendahulunya secara damai dengan asas kekeluargaan. Namun demikian, tidak

sedikit pembagian harta pusaka diwarnai dengan konflik dan harus diadili oleh

penegak hukum setempat. Pada tahun 2011 saja tercatat ada 1938 perkara tingkat

pertama di seluruh wilayah Indonesia yang diterima oleh pengadilan agama. Dari

sejumlah perkara tersebut, 958 di antaranya telah diputus.6 Secara statistik, besaran

angka perkara kewarisan selalu berada pada nomor urut dua setelah perkara

perkawinan. Hal ini terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia.7 Dengan kata

lain, perkara kewarisan di Indonesia masih sangat marak terjadi. Data itu pun

hanya yang terekapitulasi di Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktorat

Jenderal Badan Peradilan Agama. Hemat penulis, masih banyak perkara kewarisan

lain yang tidak terekam dalam rekapitulasi tersebut.

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa hingga saat ini KHI, dan

termasuk di dalamnya hukum kewarisan, belum mengalami pembaharuan yang

                                                            5Ahmad Rafiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta: Gama Media, 2001),

hlm. 99-100. 6Periksa, Rosmadi, Rekap Perkara yang Diterima dan Diputus Tk. Pertama Yuridiksi

MSy.P/PTA Seluruh Indonesia Tahun 2011, dalam http://www.badilag.net/statistik-perkara/10119-informasi-keperkaraan-peradilan-agama-tahun-2011.html (Diakses pada tanggal 21 Maret 2013). 

7Periksa, Ibid.  

Page 10: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

4

disesuikan dengan konteks dinamika dan kultur masyarakat Indonesia saat ini.

Salah satu contohnya adalah pada aspek rasio pembagian dengan basis jenis

kelamin. Pada Pasal 176 KHI dikatakan bahwa; “Anak perempuan bila hanya

seorang ia mendapat separoh bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-

sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak perempuan bersama-sama

dengan anak laki-laki, maka bagaian anak laki-laki adalah dua berbanding satu

dengan anak perempuan”. Materi dalam pasal tersebut mungkin sesuai dalam

konteks kultur dan kehidupan masyarakat Indonesia kala KHI disusun, tetapi

untuk konteks saat ini dalam hemat penulis bermasalah. Bagaimana tidak, seiring

dengan pergerakan peradaban, posisi antara laki-laki dan perempuan dalam

konteks Indonesia saat ini telah menjadi kabur, dalam arti tidak bersifat struktural-

hirarkis lagi sebagaimana saat KHI disusun. Hubungan laki-laki dan perempuan

saat ini (untuk menghidari generalisasi yang terlalu dini) bersifat struktural-

fungsional. Pada beberapa keadaan, laki-laki terkadang memang terdepan dalam

hubungan tersebut, tetapi tidak sedikit di beberapa keadaan lain justru perempuan

yang mengambil peranan. Meskipun, secara administratif laki-laki tetap

diposisikan sebagai pemimpin. Pertanyaannya kemudian, jika kultur dan

peradaban masyarakat telah berubah, kenapa materi hukum tidak bisa berubah?

Anomali-anomali yang terjadi dalam konstruksi hukum Islam seperti contoh

di atas juga dirasakan oleh Muhammad Syahrur. Dalam dua karyanya, Al-Kitab wa

al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah (1992) dan Nahwa Ushul Jadidah li al-Fiqh al-

Islami (2000), Syahrur menawarkan solusi untuk mengatasi anomali-anomali

Page 11: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

5

tersebut. Tawarannya ia sebut dengan teori batas. Baginya, metode penetapan

hukum yang ada dalam Islam selalu memuat dua karakter dasar sekaligus,

lengkung (fleksibel) dan lurus (paten). Dengan kedua karakter ini, hukum Islam,

lanjut Syahrur, akan selalu menemukan relevansinya di setiap ruang dan waktu,

yaitu memberikan ruang yang luas bagi ijtihad hukum selama tetap berada di

antara batas-batas yang telah ditetapkan.8 Dalam kasus kewarisan sebagaimana

penulis singgung, misalnya, Syahrur memberikan solusi untuk melihat dominasi

peranannya dengan batasan-batasan yang ia susun sesuai dengan nilai yang

terkandung dalam realitas redaksional teks al-Qur’an. Di antara batasan-batasan

itulah, ketetapan hukum mendapatkan fleksibelitasnya. Dengan fleksibelitas itulah

seorang pengadil dapat memutuskan hukum kewarisan sesuai dengan konteks

yang ada pada masing-masing perkara.

Pertanyaannya, bagaimana jika teori batas yang ditawarkan Shahrur

digunakan untuk melakukan pembaharuan hukum kewarisan di Indonesia? Apakah

menemukan relevansinya? Inilah yang menjadi batasan penelitian ini. Dengan

anomali-anomali sebagaimana gambaran yang disebutkan, penulis dapat

menemukan solusinya melalui teori batas Syahrur. Paling tidak, dengan tawaran-

tawaran pembaharuan ini, secara praktis dapat menjadi tawaran baru sebagai solusi

yang betul-betul relevan pada zamannya.

                                                            8Muhammad Syahrur, Al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah (Damaskus: al-Ahali,

1992), hlm. 451-452.  

Page 12: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

6

B. Rumusan Masalah

Berangkat dari latar belakang di atas, permasalahan yang dijawab dalam

penelitian ini adalah; bagaimana relevansi teori batas Syahrur jika dijadikan

sebagai basis pembaharuan hukum kewarisan Islam di Indonesia?

C. Tujuan dan Kegunaan

Tujuan yang dicapai dari penelitian ini adalah menimbang relevansi teori

batas Syahrur sebagai basis pembaharuan hukum kewarisan Islam di Indonesia.

Dengan ketercapaian tujuan tersebut, maka hasil penelitian ini dapat digunakan

oleh stakeholders sebagai bahan pertimbangan dalam malakukan pembaharuan

hukum kewarisan Islam di Indonesia. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan

dapat memperkaya kajian filsafat hukum Islam yang lebih komprehensif dan

relevan dalam masanya.

D. Kajian Pustaka

Berangkat dari redaksi judul penelitian ini, ada dua variabel yang menjadi

titik pijakan, yakni hukum kewarisan Islam dan teori batas Syahrur. Penelitian-

penelitian yang telah dilakukan memang banyak yang mengkaji dua hal tersebut.

Namun demikian, menghubungkan keduanya pada ranah pembaharuan hukum,

utamanya kewarisan Islam di Indonesia, sejauh penelusuran penulis, belum ada

yang melakukan. Beberapa penelitian yang dimaksud dan penulis anggap relevan

dengan penelitian ini di antaranya adalah:

Page 13: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

7

1. “Pembaharuan Hukum Waris Islam di Indonesia” karya Moh. Muhibbuddin.

Dalam artikel tersebut, Muhibbuddin berusaha untuk menggali letak

pembaharuan hukum yang telah dilakukan oleh Indonesia dalam kewarisan

Islam. Temuannya mengatakan bahwa pembaharuan hukum kewarisan Islam

di Indonesia terletak pada pemberian peluang bagi ahli waris non-muslim

untuk mendapatkan bagian harta pusaka, meskipun melalui ketentuan lain,

berupa wasiat yang bersifat wajib.9

2. “Pembaruan Hukum Keluarga, Wasiat untuk Ahli Waris: Studi Komparatif

Tunisia, Syiria, Mesir, dan Indonesia” karya Fatum Abubakar. Sebagaimana

tampak pada judulnya, artikel ini memiliki fokus pada pembaharuan hukum

kewarisan Islam pada aspek wasiat. Adapun pendekatan yang digunakan

adalah komparasi, yakni dengan mengkomparasikan hukum kewarisan Islam

di empat negara sekaligus yang notabene berpenduduk mayoritas Muslim,

dan bahkan tiga di antaranya menggunakan hukum Islam sebagai hukum

nasionalnya. Temuan Fatum menyebutkan bahwa Mesir adalah negara yang

paling progresif dalam melakukan pembaharuan, di mana metode yang

digunakan adalah extra doctrinal reform. Pembaharuan dengan metode ini,

salah satunya, menghasilkan rumusan bahwa anak yang meninggal terlebih

dahulu dan telah memiliki/ meninggalkan anak, maka cucu tersebut berhak

                                                            9Moh. Muhibbuddin, “Pembaharuan Hukum Waris Islam di Indonesia”, dalam

http://wwwbadilag.net/data/ARTIKEL/Pembaharuan%20Hukum%20Waris%20Islam%20Di%20Indonesia%20Artikel%20Badilag%20versi%20biasa.pdf (Diakses pada tanggal 22 Maret 2013).  

Page 14: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

8

untuk menggantikan posisi ayahnya dalam mendapatkan hak pembagian

harta pusaka melalui wasiat wajib yang tidak lebih dari sepertiga harta.10

3. Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia karya Ahmad Rofiq. Dalam buku

tersebut Rofiq memberikan satu pembahasan khusus tentang pola

pembaharuan yang telah dilakukan oleh Indonesia berkaitan dengan hukum

kewarisan Islam. Bagi Rafiq, selama ini Indonesia telah merumuskan hukum

kewarisan Islam yang berlandasankan pada mazhab al-Syafi’i. Namun

demikian, ada enam ketentuan kewarisan dalam KHI yang menurut Rafiq

justru tidak lazim dalam logika mazhab al-Syafi’i. Enam hal tersebut adalah;

(a) pembagian warisan dengan cara damai yang tercermin pada Pasal 183,

(b) penggantian kedudukan, mawali/ platvervullings yang tercermin pada

Pasal 185, (c) warisan anak zina/ anak li’an yang tercermin pada Pasal 186,

(d) pembagian warisan ketika pewaris masih hidup yang tercermin pada

Pasal 187, (e) sistem kewarisan kolektif yang tercermin pada Pasal 189, dan

(f) harta bersama gono-gini yang tercermin pada Pasal 190.11

4. “Konstruksi Historis Metodologis Pemikiran ‘The Theory of Limits’

Muhammad Shahrur” karya Ummu Iffah. Sebagaimana judulnya, artikel ini

memilki fokus kajian pada konstruksi kesejarahan metodologi yang

digunakan Syahrur dalam teori batasnya. Dengan kata lain, Iffah tidak

                                                            10Fatum Abubakar, “Pembaruan Hukum Keluarga, Wasiat untuk Ahli Waris: Studi Komparatif

Tunisia, Syiria, Mesir, dan Indonesia”, dalam Hunafa: Jurnal Studi Islamika, Vol. 8, No. 2, Desember 2011, hlm. 264.  

11Baca, Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam, hlm. 114-123. 

Page 15: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

9

banyak membincang konstruksi teori batas itu sendiri. Temuan Iffah

menunjukkan bahwa Syahrur hanya menginduksikan berbagai kesimpulan

para juris Islam sebelumnya. Ia hanya meramu bahan dasar fikih untuk

dijadikan tesa yang kemudian menjadi pijakan awal teori batasnya. Secara

metodologis, pengetahuan eksakta Syahrur sebagai Sarjana Teknik Sipil,

bagi Iffah, tampak sangat kuat mempengaruhi gagasan Syahrur.12

5. “Konsep Hudud pada Hak-hak Perempuan Menurut Muhammad Syahrur”

karya Halimah B. dalam artikel tersebut, Halimah mendeskripsikan secara

sekilas tentang pandangan Syahrur mengenai tiga topik yang berkaitan

dengan hak-hak perempuan, yakni poligami, kewarisan, dan hijab. Deskripsi

Halimah tentang ketiga topik tersebut sama sekali tanpa analisis. Dalam

kesimpulannya, ia hanya mengatakan bahwa pada masing-masing topik

tersebut Syahrur telah merumuskan batasan minimum dan maksimum.13

6. “Gagasan Teori Batas Muhammad Syahrur dan Signifikansinya bagi

Pengayaan Ilmu Ushul Fiqh” karya M. Zainal Abidin. Artikel ini memiliki

dua fokus kajian, yakni formulasi teori batas Shahrur dan signifikansinya

bagi pengembangan ushul fikih. Temuan Zainal menunjukkan bahwa ada

enam ketentuan batas yang diformulasikan oleh Syahrur mengenai teori

batasnya; (a) ketentuan hukum yang hanya memiliki batas minimum, (b)

                                                            12Ummu Iffah, “Konstruksi Historis Metodologis Pemikiran ‘The Theory of Limits’ Muhammad

Shahrur” dalam Kontemplasi, Vol. 6, No. 2, Nopember 2009, hlm. 123. 13Baca, Halimah B., “Konsep Hudud pada Hak-hak Perempuan Menurut Muhammad Syahrur”,

dalam Al-Risalah, Vol. 11, No. 2, Nopember 2011, hlm. 357-378. 

Page 16: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

10

ketentuan hukum yang hanya memilki batas maksimum, (c) ketentuan

hukum yang memiliki batas minimum-maksimum sekaligus, (d) ketentuan

hukum yang memilki batas minimum-maksimum sekaligus, tetapi dalam

satu titik koordinat, (e) ketentuan hukum yang memiliki batas dengan satu

titik yang cenderung mendekati garis lurus tetapi tidak ada persentuhan, dan

(f) ketentuan hukum yang memiliki batas maksimum positif dan tidak boleh

dilampaui dan batas minimum negatif yang boleh dilampaui.14 Pada fokus

kajian kedua, bagi Zainal, teori batas Syahrur memiliki signifikansinya pada;

(a) keberhasilan dalam melakukan pergeseran paradigma yang sangat

fundamental di bidang ushul fikih,15 (b) keberhasilan dalam menawarkan

batas minimum-maksimum dalam menjalankan hukum-hukum Allah,16 (c)

keberhasilan dalam melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi terhadap

metodologi ijtihad hukum, terutama berkaitan dengan ayat-ayat hudud yang

selama ini diklaim sebagai ayat-ayat muhkamat, yang bersifat pasti dan

hanya mengandung penafsiran tunggal,17 dan (d) keberhasilan dalam

membuktikan bahwa ajaran Islam benar-benar merupakan ajaran yang

relevan untuk tiap ruang dan waktu.18

                                                            14Baca, M. Zainal Abidin, “Gagasan Teori Batas Muhammad Syahrur dan Signifikansinya bagi

Pengayaan Ilmu Ushul Fiqh”, dalam Al-Mawardi, Edisi XV, Tahun 2006, hlm. 103-106. 15Ibid., hlm. 107.  16Ibid., hlm. 108.  17Ibid., hlm. 109.  18Ibid.  

Page 17: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

11

Dengan melihat pada fokus dan hasil dari beberapa penelitian di atas, telah

menjadi jelas bahwa penelitian ini memiliki urgensitasnya, baik dari sisi

relevansinya maupun kebaruannya.

E. Kerangka Pemikiran

Salah satu kaidah ushul fikih berbunyi bahwa keberadaan suatu hukum itu

sangat bergantung pada alasan dan penyebabnya (al-hukm yaduru ma’a ‘illatih

wujudan wa ‘adaman).19 Berkaitan dengan ini, Ibn Qayyim al-Jauziyyah (w. 751

H.) merumuskan bahwa perubahan dan perbedaan fatwa (pandangan hukum)

sesuai dengan perubahan waktu, tempat, kondisi, niat, dan kebiasaan (Tagayyur al-

fatwa wa ikhtilafiha yuhsabu tagayyur al-azminah wa al-amkinah wa al-ahwal wa

al-niyat wa al-‘awa’id).20 Dua rumusan kaidah tersebut secara gamblang telah

menggambarkan bahwa hukum bukanlah barang mati yang tidak bisa berubah,

sebaliknya pola dan bahkan eksistensinya sangat bergantung pada mahkum alaih-

nya. Karena itu, sangat lazim jika Muhammad bin Idris al-Syafi’i (w. 204 H.)

jamak memiliki ketetapan hukum yang berbeda saat di Mesir (qaul qadim) dan di

Bagdad (qaul jadid).21

                                                            19Muhammad Shalih al-Utsaimain, Al-Qawa’id wa al-Ushul al-Jami’ah (Riyadh: Mu’assasah

Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimain al-Khiriyyah, 1429 H.), hlm. 262., dan Zakariya al-Pakistani, Ushul al-Fiqh ala Manhaj Ahl al-Hadis (Ttt: Dar al-Haraz, 2002), hlm. 48. 

20Muhammad bin Abi Bakr bin Qayyim al-Jauziyyah, I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin (Kairo: Maktabah al-Kulliyah al-Azhariyyah, 1968), juz III, hlm. 2. 

21Baca, E. Abdurrahman, Perbandingan Mazhab-mazhab (Bandung: Sinar Baru, 1986), hlm. 31.  

Page 18: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

12

Penyesuaian hukum terhadap kondisi dan keadaan tersebut sangat jelas

mengindikasikan bahwa Islam sangat peka terhadap kemaslahatan. Hadis lā

ḍarara wa lā ḍirāran memberikan prinsip umum mengenai tidak bolehnya

melakukan tindakan (baca: menetapkan hukum) yang merugikan, yaitu tidak boleh

melakukan atau menyebabkan kerugian atau kerusakan sosial, harus diberi

prioritas pertimbangan di atas seluruh sumber hukum; penggunaan sumber-sumber

hukum tersebut harus dibatasi dalam rangka mengakhiri terciptanya kerugian dan

kejahatan sosial sebagai upaya merealisasikan kebaikan atau kemaslahatan sosial

dalam praktik aktual.22

Prinsip-prinsip tersebut juga tergambar dalam pemikiran Satjipto Rahardjo

(w. 2010). Baginya, hukum dibuat untuk (kepentingan/ kemaslahatan) manusia,

bukan sebaliknya. Hukum bukan sebagai institusi yang bersifat mutlak dan final,

melainkan sebagai institusi bermoral, bernurani, dan karena itu sangat ditentukan

oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia. Hukum adalah suatu

institusi yang bertujuan untuk mengantarkan manusia kepada kehidupan yang

berkemanusiaan yang adil beradab, sejahtera, serta membuat manusia bahagia.

Oleh karena itu, jika terjadi problematika hukum, maka hukumlah yang harus

ditinjau dan diperbaiki, bukan manusianya yang dipaksa-paksa untuk dimasukan

ke dalam skema hukum.23 Posisi yang demikian mengantarkan satu predisposisi

                                                            22Najm al-Din Sulaiman bin ‘Abd al-Qawiy al-Thufi, Syarh al-Arba’in al-Nawawiyyah (Beirut:

Dar al-Fikr, t.t.), hlm. 13.  23Satjipto Rahardjo, “Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan”, dalam Jurnal Hukum

Progresif, Vol. 1, No. 1, April 2005, hlm. 3. Lihat pula Satjipto Rahardjo, “Konsep dan Karakteristik

Page 19: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

13

bahwa hukum itu selalu berada pada status ‘law in the making’ (hukum yang

selalu berproses untuk menjadi).24 Hal demikian juga berlaku bagi hukum

kewarisan Islam, yang menjadi topik penelitian ini.

F. Metode

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian normatif.25

Dikatakan penelitian normatif karena penelitian ini bertujuan untuk menelaah

relevansi teori batas Syahrur sebagai basis pembaharuan hukum kewarisan

Islam di Indonesia. Artinya, objek material dari penelitian ini adalah asas

hukum. Sementara, penelitian yang mengkaji asas hukum termasuk dalam

kategori penelitian normatif.

2. Pendekatan

Menurut Peter Mahmud Marzuki, pendekatan dalam penelitian hukum

terdapat lima macam, yaitu pendekatan perundang-undangan (statute

approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical

approach), pendekatan perbandingan (comparative approach), dan pendekatan

                                                                                                                                                                          Hukum Progresif”, Makalah, dalam Seminar Nasional Hukum Progresif I, Diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Bekerjasama dengan Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro dan Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta di Semarang, 15 Desember 2007, hlm. 11. 

24Ibid., hlm. 6. 25Lihat, Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 1997), hlm. 42-43. 

Page 20: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

14

konseptual (conceptual approach).26 Dalam penelitian ini, pendekatan yang

dianggap relevan dengan permasalahan yang diangkat di antaranya adalah

pendekatan konseptual. Pendekatan ini digunakan untuk menganalisa relevansi

teori batas Shahrur saat diposisikan sebagai basis pembaharuan hukum

kewarisan Islam di Indonesia.

3. Jenis Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian pada umumnya dibedakan antara data

yang diperoleh secara langsung dari masyarakat dan dari data yang diperoleh

dari bahan-bahan pustaka. Data yang dipeoleh pada jenis pertama dinamakan

data primer, sementara jenis kedua dinamakan data sekunder. Apabila

penelitiannya bersifat kepustakaan, maka data yang diperlukan adalah data

sekunder.

Sebagaimana tampak dari redaksi judul di atas, maka penelitian ini

termasuk dalam kategori normatif. Sebagaimana lazimnya, penelitian normatif

berbasis pada studi dokumen dan wawancara. Namun demikian, sumber data

utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yakni data

yang diperoleh dari bahan kepustakaan.27 Dalam penelitian hukum, data

sekunder dilihat dari kekuatan mengikatnya digolongkan menjadi:28

a. Bahan Hukum Primer

                                                            26Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 93. 27Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 51.  28Ibid., hlm. 52.  

Page 21: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

15

(1) Kompilasi Hukum Islam;

(2) Al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah; dan

(3) Nahwa Ushul Jadidah li al-Fiqh al-Islami.

b. Bahan Hukum Sekunder

Termasuk dalam kategori ini adalah bahan-bahan yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer, misalnya hasil penelitian dan

karya-karya yang berkaitan dengan fokus penelitian ini.

c. Bahan Hukum Tersier

Termasuk dalam kategori ini dalah bahan hukum yang memberikan

petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder,

seperti kamus atau ensiklopedia.

4. Teknik Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam pengumpulan data ini adalah dokumentasi

data literer. Sehingga, langkah yang dilakukan peneliti adalah mencari sumber-

sumber data di atas baik di perpustakaan fisik maupun di perspustakaan

elektronik.

5. Teknik Analisis Data

Teknik yang digunakan dalam menganalisis data dalam penelitian ini

adalah deskriptif-kualitatif, yaitu data yang disajikan secara deskriptif dan

dianalisis secara kualitatif (content analysis) dengan langkah-langkah, seperti:

klasifikasi, sistematisasi, dan analisis dasar suatu simpulan.

Page 22: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

16

G. Sistematika Pembahasan

Rangkaian pembahasan dalam sebuah penelitian harus berkaitan satu sama

lain dalam satu bingkai kajian. Untuk itu, agar dapat dilakukan lebih runtut dan

terarah, penelitian ini dibagi dalam empat bab pembahasan. Adapun sistematisasi

empat bab tersebut adalah sebagai berikut: Bab pertama berisi pendahuluan yang

medeskripsikan secara utuh seputar penelitian ini. Karenanya, ulasan bab ini terdiri

dari; latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan, kajian

pustaka, kerangka pemikiran, metode penelitian yang digunakan, dan sistematika

pembahasan. Bab ini sebagai kerangka dari seluruh isi penelitiannya. Sedangkan

secara rinci, hasil penelitian tersebut penulis ulas dalam beberapa bab selanjutnya.

Bab kedua berisi ulasan tentang deskripsi teori batas Syahrur. Untuk lebih

memperdalam ulasannya, penulis akan mengawalinya dari biografi singkat

Syahrur dan prinsip-prinsip dasar pemikiran M. Syahrur. Dalam konstruksi

pembahasan penelitian, bab ini dimaksudkan sebagai pengantar untuk menjawab

permasalahan yang telah dirumuskan mengenai relevansi teorinya sebagai basis

pembaharuan hukum kewarisan Islam di Indonesia.

Adapun jawaban atas permasalahan di atas akan diuraikan dalam bab ketiga.

Sebagaimana dijelaskan dalam kerangka teori bahwa terdapat dua variabel pokok

yang menjadi titik utama penelitian ini, yaitu materi hukum kewarisan Islam di

Indonesia dan relevansi teori batas Syahrur untuk pembaharuan hukum kewarisan

Islam tersebut. Adapun aspek-aspek yang dikaji dalam bab ini meliputi, deskripsi

dan analisis atas materi hukum dan analisa relevansi teori batas Syahrur terhadap

Page 23: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

17

materi hukum tersebut untuk kemudian dilakukan pembaharuan. Sedangkan bab

keempat adalah penutup yang berisikan kesimpulan dan rekomendasi dari seluruh

hasil penelitian serta saran-saran untuk para pengkaji selanjutnya.

Page 24: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

18

BAB II

M. SYAHRUR DAN PEMIKIRANNYA

TENTANG TEORI BATAS

A. Biografi Singkat M. Syahrur

Nama lengkap Syahrur adalah Muhammad Ibnu Da’ib Syahrur. Beliau

adalah seorang pemikir muslim kontemporer yang lahir pada tanggal 11 Maret

tahun 1938 di Damakus (Syiria). Pada awalnya Syahrur tidak mempelajari ilmu-

ilmu keislaman secara intensif, karena setelah menamatkan sekolah di tingkat

menengah, ia kemudian pergi ke Uni Soviet untuk belajar tehnik di Moskow.

Setelah menyelesaikan S1, kemudian ia kembali ke Syiria pada tahun 1964 dan

bekerja sebagai dosen di Universitas Damaskus.1

Pada tahun 1967, Syahrur memperoleh kesempatan untuk melakukan

penelitian di Imperial College London, Inggris. Namun kemudian Syahrur

terpaksa kembali lagi ke Syiria, sebab pada waktu itu tepatnya bulan Juni tahun

1967 terjadi perang selama enam hari antara Arab (gabungan Mesir, Yordania, dan

Syiria) melawan Israel yang mengakibatkan hubungan diplomatik antara Syiria

dengan Inggris terputus, sebab Inggris dalam hal ini berpihak ke Israel. Akhirnya,

ia memutuskan untuk pergi ke Dublin, Irelandia sebagai utusan dari Universitas

Damaskus untuk mengambil Program Master dan Doktor di The National

                                                            1Peter Clark, “The Shahrur Phenomenon: A Liberal Islamic Voice from Syria”, dalam Islam

and Christian Moslem Relation, Vol. 7 No. 3, hlm. 337. 

Page 25: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

19

University of Ireland (NUI) dengan mengambil bidang Tehnik Pondasi dan

Mekanika Tanah (Al-Handasah al-Madaniyyah).

Pada tahun 1969, Syahrur meraih gelar Master of Science. Tiga tahun

kemudian, 1972, ia dapat menyelesaikan program doktoralnya.2 Hingga sekarang,

ia masih tetap tercatat sebagai tenaga edukatif pada Fakultas Teknik Sipil

Universitas Damaskus tersebut dalam bidang mekanika tanah dan geologi dan

menjadi konsultan di bidang tehnik.3 Selanjutnya, pada tahun 1995, ia juga pernah

diundang untuk menjadi peserta kehormatan dan ikut terlibat dalam debat publik

mengenai pemikiran keislaman di Libanon dan Maroko.4 Meskipun basis

pendidikan awalnya adalah tehnik, namun kemudian ia tertarik mengkaji al-Qur’an

secara lebih serius dengan pendekatan ilmu filsafat bahasa dan dibingkai dengan

teori ilmu eksaknya, bahkan beliau juga menulis buku dan artikel tentang

pemikiran keislaman untuk merespon isu-isu kontemporer.

Perhatian Syahrur terhadap kajian ilmu-ilmu keislaman sebenarnya dimulai

sejak dia berada di Dublin, Irlandia pada tahun 1970-1980. Saat itu, ia sedang

mengambil program master dan doktor. Di samping itu, peranan temannya doktor

Ja’far Dakk al-Bab juga sangat besar. Berkat pertemuannya dengan Ja’far pada

                                                            2Muhami Munir Muhammad Tahir al-Syawwaf, Tahafut al-Qira'ah al-Mu’asirah (Limmasol

Cyprus: al-Syawwa fi al-Nasyr, 1993), hlm. 11. 3Lihat Charles Kurzman (ed.), Liberal Islam: A Sourcebook (New York: Oxford University

Press, 1998), hlm. 139. 4Peter Clark, “The Syahrur Phenomenon”, hlm. 341. 

Page 26: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

20

tahun 1958 dan 1964, ia dapat belajar banyak tentang ilmu-ilmu bahasa.5 Bukunya

yang pertama kali terbit adalah Al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’asirah pada

tahun 1990. Buku tersebut sesungguhnya merupakan hasil pengendapan pemikiran

yang cukup panjang sekitar 20 tahun. Pada fase pertama, yaitu tahun 1970-1980 ia

merasa bahwa kajian keislaman yang selama ini dilakukan kurang membuahkan

hasil, dan tidak ada teori yang baru yang diperolehnya. Mengapa, karena dia

merasa bahwa selama ini dirinya masih terkungkung dalam “kerangkeng”

literatur-literatur keislaman klasik yang cenderung memandang “Islam” sebagai

idiologi (al-aqidah), baik dalam bentuk pemikiran kalam (Islamic theology)

maupun fikih. Sebagai implikasinya, maka pemikiran fikih akan mengalami

stagnasi dan tidak bergerak sama sekali, sebab selama ini seolah pemikiran fikih

Islam dianggap telah matang (final).

Lebih lanjut, menurut Eikelman-Piscatori—sebagaimana dikutip Bisri

Effendi, buku tersebut secara umum mencoba melancarkan kritik terhadap

kebijakan agama konvensional maupun kepastian radikal keagamaan yang tidak

toleran. Dari situ, maka dapat dilihat bahwa apa yang diinginkan Shahrur

sebenarnya adalah perlunya menafsirkan ulang ayat-ayat sesuai perkembangan dan

interaksi antargenerasi, serta mendobrak kejumudan penafsiran al-Qur’an.6 Dalam

konteks hermeneutis, ia memperkenalkan istilah tsabat al-nashsh wa taghayyur al-

                                                            5Syahrur, Al-Qur’an wa al-Kitab, hlm. 46-47. 6Bisri Effendy “Tak Membela Tuhan yang Membela Tuhan” dalam Abdurrahman Wahid,

Tuhan tidak Perlu Dibela (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm. xviii. 

Page 27: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

21

muhtawa (Al-Qur’an itu teksnya tetap, namun kandungan makna teks mengalami

perubahan), sehingga dapat ditafsirkan secara dinamis seiring dengan

perkembangan zaman.

Syahrur termasuk pemikir kontemporer yang produktif (al-mufakkir al-

muntij), terbukti selain Al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’asirah bermunculan

pula karya-karya lain seperti 1) Dirasah Islamiyyah Mu’ashirah fi al-Dawlah wa

al-Mujtama’ (1994), 2) Al-Islam wa al-Iman: Mandzumat al-Qiyam (1996), 3)

Masyru’ Mitsaq al-‘Amal al-Islami (1999), dan 4) Nahwa Ushul al-Jadidah li al-

Fiqh al-Islami (2000). Di samping itu, Syahrur juga kerap menyumbangkan ide

kreatifnya lewat artikel-artikel dalam seminar atau media publikasi, seperti “The

Divine Text and Pluralism in Muslim Societies”, dalam, Muslim Politics Report

(1997), dan “Islam and the 1995 Beijing World Conference on Woman”, dalam,

Kuwaiti Newspaper, dan kemudian dipublikasikan juga dalam Liberal Islam: A

Sourcebook (1998) yang diedit oleh Charles Kurzman.

B. Prinsip-Prinsip Dasar Pemikiran M. Syahrur

Al-Islam shalih li kull zaman wa makan merupakan konsep kunci

Muhammad Syahrur untuk melakukan konstruksi baru dalam pemikiran

keislaman. Syahrur melihat bahwa problematika peradaban Islam dan fikih Islam

terkait dalam risalah Nabi Saw. Namun risalah itu tidak dipahami secara benar. Ia

menjadi bersifat tertutup, kaku, dan tidak dinamis. Akibatnya masyarakat Islam

kontemporer cenderung mengambil produk-produk hukum pemikiran di luar

Page 28: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

22

Islam. Hal ini secara tidak langsung memberi kesan bahwa Islam tidak shalih lu

kull zaman wa makan dan hal ini tentu bertolak belakang dengan Q.S. al-Anbiya’,

107.

Dengan berpedoman dengan metodologi analisis bahasa, Syahrur menganalisa

terma al-hanafiyyah, al-istiqomah, shirat al-mustaqim dalam al-Qur'an yang kemudian

sampai pada pemahaman bahwa al-hunafa’ adalah sifat alami dari seluruh alam.

Langit, bumi, dan seluruh susunan kosmos adalah bergerak dalam garis lengkung

bahkan elektron terkecil pun juga demikian. Tidak ada dari tata alam itu yang tidak

bergerak melengkung. Sifat ini yang menjadikan tata kosmos itu menjadi teratur dan

dinamis. Al-din al-hanif dengan demikian adalah agama yang selaras dengan

kondisi ini, karena al-hanif merupakan pembawaan yang bersifat fitri.

Sejalan dengan fitrah alam tersebut dalam aspek hukum juga terjadi. Realitas

masyarakat senantiasa bergerak secara harmonis dalam wilayah tradisi sosial,

kebiasaan atau adat. Oleh karena itu sebuah al-shirat al-mustaqim adalah

keniscayaan untuk mengontrol dan mengarahkan perubahan tersebut.

Berdasarkan hasil temuannya melalui analisis linguistik, Syahrur melanjutkan

rumusan teorinya dengan analisis matematis (al-tahlili al-riyadhi). Ia

menggambarkan hubungan antara al-hanafiyyah dan al-istiqamah bagaikan kurva

dan garis lurus yang bergerak pada sebuah matriks. Sumbu x menggambarkan

zaman atau konteks waktu, sejarah. Sumbu y sebagai undang-undang yang

ditetapkan Allah SWT. Kurva (al-hanafiyyah) menggambarkan dinamika bergerak

Page 29: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

23

sejalan dengan sumbu x, namun gerakan itu dibatasi dengan batasan hukum yang

telah ditentukan Allah SWT (sumbu y).

Dengan demikian hubungan antara kurva dan garis lurus secara keseluruhan

bersifat dialektik, yang tetap dan berubah senantiasa saling terkait (intentwined).

Dialektika adalah kemestian untuk menunjukkan bahwa hukum itu adabtabel terhadap

konteks ruang dan waktu Syahrur kemudian mengenalkan teori batasnya. Syahrur

mengatakan bahwa Allah SWT telah menetapkan konsep-konsep hukum yang

maksimum dan yang minimum, al-istiqamah (ulvature) dan manusia bergerak dari

dua batasan tersebut, al-hanafiyyah (straightness ).7

Berdasarkan teori matematik, walaupun dengan nama “the theory of limits”,

teori ini nampaknva lebih pas dengan model teori kurva, baik kurva dengan nilai

balik minimum maupun maksimum. Dengan mengetahui titik balik maksimum atau

minimumnya saja, secara teoretis persamaan dari kurva tersebut dapat diketahui

selanjutnya kurva dapat ditentukan gambarnya dan posisi titik dalam kurva dapat

diketahui. Sayangnya Syahrur dalam hal ini tidak merumuskan persamaan-

persamaan kurva yang ia buat, mungkin ini suatu dilema bagi Syahrur karena baik

titik maksimum maupun titik minimum had-had hukum Allah berupa kata-kata bukan

berupa angka. Sehingga “the theory of limits” Syahrur tidak mudah dapat

dioperasikan sebagaimana teori kurva dalam matematika yang dengan memasukkan

                                                            7Wael B Halaq, A History of Islamic Legal Theories (Inggris: Cambridge University Press, 1995),

hlm. 45. 

Page 30: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

24

posisi titik x (yang disimbolkan Syahrur dengan kontek waktu dan sejarah) dalam

persamaan kurva, dapat diketahui posisi-nya (simbol batasan hukum Allah).

Shahrur dalam teori limitsnya, tampak hanya menginduksikan berbagai

kesimpulan para juris Islam sebelumnya. Ia hanya meramu bahan dasar fikih untuk

dijadikan tesa yang kemudian menjadi pijakan awal teori limits-nya. Ia menemukan

data-data klasik, dalam hal ini untuk menyusun kembali “grand teorinya”. Namun

demikian, nampaknya pengaruh pengetahuan eksakta yang digeluti Syahrur sangat

kuat. Ini terlihat dan penisbatan Syahrur pada Newton, saintis di abad pertengahan,

sebagai bagian yang include dalam teori besarnya.28

Dengan memaksakan penggunaan analisis matematik, Shahrur menghadapi

beberapa dilema. Anggapan Syahrur tentang titik maksimum dan minimum dalam al-

Quran tidak ada patokan yang jelas, walaupun kadang ia berusaha menemukan kata-

kata yang dianggapnya kunci dalam al-Qur'an seperti “nakaIan”, “rafah” sebagai

pertimbangan penentuan batas maksimum atau minimum. Namun itu ditemukan

dalam sedikit kasus dalam al Qur'an, sedangkan kasus-kasus lainnya masih sangat

kabur.

Demikian juga titik maksimum dan minimum dalam al-Qur’an berupa kata-kata

bukan angka sehingga sulit untuk merumuskan persamaan atau menggambarkan

kurvanya. Namun nampaknya Syahrur memaksa menggambar kurva-kurva untuk

teori limitnya, sehingga kurva yang dibuatnya tampak kasar.29 Lagi pula dengan

tidak dirumuskan persamaan kurvanya, teori limit Syahrur ini tidak mudah

dioperasikan, tidak sebagaimana teori kurva dalam matematika yang dengan

Page 31: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

25

memasukkan titik x (dalam teori Syahrur menggambarkan zaman atau konteks

waktu, sejarah) pada persamaan kurva dapat diketahui output-nya (batasan

hukum Allah yang diminta).

Di pihak lain dialektika yang digagas Hegel dan dilanjutkan Karl Mark sangat

mencengkram teori limits-nya Syahrur. Ini bisa dimaklumi ketika Syahrur tinggal

beberapa lama di Moskow untuk melanjutkan studinya, ia begitu terkesima dengan

gagasan-gagasan peletak dasar marxisme tersebut. Sehingga tidak mengherankan

jika “fikih selalu mengalami dinamika, sebagaimana terniscaya dalam proses

dialektika marxisme” merupakan titik tolak pikiran Syahrur yang kemudian

dijadikan premis mendasar dalam teorinya.

Juga tidak dapat dilupakan teori linguistik modern yang dia peroleh dari

Jakfar Dik al-Bab, sangat berjasa dalam membangun pikiran-pikiran Syahrur.

Jakfar Dik adalah seorang doktor yang mendalami studi bahasa di Universitas

Sovyet antara tahun 1958-1964. Pertemuan Syahrur dengan Jakfar Dik yang

juga teman lamanya dimulai tahun 1980 lewat Jakfar, Syahrur belajar banyak

tentang linguistik, termasuk filologi, serta mulai mengenal pandangan-pandangan

al-Farra’ serta muridnya Ibn Jinni dan al-Jurjani.8

Tidaklah mengherankan keterjebakan Syahrur pada pengaruh-pengaruh

pemikiran tersebut justru menjadi kelemahan utamanya. Karena postulasi yang

ditawarkan Syahrur lantaran pengaruh pikiran-pikiran tersebut menjadikan tidak

                                                            8M. Annul Abied Syah dan Hakim Taufiq, Islam Garda Depan dan Mosaik Pemikiran Islam Timur

Tengah (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 252.  

Page 32: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

26

membayangkan rentang waktu dan masa. Sebut saja misalnya ketika memberi

batas maksimum perkawinan hanya sampai empat, Syahrur nampaknya melupakan

praktik Muhammad saw, yang justru menikahi 9 orang istri. Atau ketika memberi

batas maksimum dan minimum bersamaan dalam satu titik sehingga ijtihad tidak

mungkin mengambil hukum selain bentuk itu pada had zina yaitu dengan didera

100 kali. Syahrur nampaknya melupakan praktik had zina mukhson yang diterapkan

Rasulullah saw, yaitu dengan cambukan sampai meninggal. Padahal dia telah

menegaskan bahwa Rasulullah adalah contoh teladan dalam penerapan salah

satu model hukum dalam batasan had-had Allah SWT.

Metode penafsiran semantik yang hanya bertumpukan pada aspek linguistik

dengan mengabaikan landasan historis akan cenderung kering. Hal ini

disebabkan oleh data-data historis yang akan menguatkan bangunan penafsiran

telah sedemikian disingkirkan. Asbab al-nuzul yang acapkali melatari turunnya

sebuah ayat juga akan ditinggalkan demi mengejar makna zahir yang disebar oleh

teks. Boleh jadi Syahrur akan terbawa oleh imajinasinnya yang kadang mengarah

pada tesa yang kurang bisa dibenarkan.

Kalaupun Syahrur tetap memaksakan teori limitsnya terhadap fikih yang

diproduksi dalam al-Qur’an maka terdapat kelemahan lain sebagai kelemahan dalam

al-qawa’id al-fiqhiyyah yang bertumpu pada tesa-tesa secara induktif.

Bahwa senantiasa yang terkecualikan dalam al-qawa’id al-fiqhiyyah,9 sudah

                                                            9Ahmad Fawaid Sazili, M. Syahrur: Figur Fenomental, dalam http://www.Islam liberal.com

(diakses pada tanggal 27 Nopember 2013). 

Page 33: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

27

seharusnya teori limits Syahrur mengecualikan beberapa hal yang tidak termuat

dalam grand teorinya, istina’iyyat (beberapa pengecualian) dalam teori limits,

dengan demikian menjadi niscaya keberadaannya.

Page 34: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

28

BAB III

ANALISIS MATERI HUKUM KEWARISAN ISLAM

BERBASIS TEORI BATAS M. SYAHRUR

A. Formulasi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia

Dalam istilah bahasa Arab, hukum kewarisan Islam umum dikenal dengan

sebutan fara’id. Secara etimologi kata fara’id bermakna kadar atau ketentuan.1

Pada saat ini fara’id merupakan disiplin ilmu tersendiri. Menurut Hasbi Ash-

Shiddieqy, fara’id adalah suatu ilmu yang dengan dia dapat kita ketahui orang

yang menerima pusaka, orang yang tidak menerima pusaka, serta kadar yang

diterima tiap-tiap ahli waris dan cara membaginya.2 Sementara itu, menurut

undang-undang hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang

pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-

siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagaiannya masing-masing.3

Pada tahun 1991, umat Islam Indonesia telah mempositivisasi hukum Islam

ke dalam suatu Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai hasil kesepakatan dalam

sebuah lokakarya yang digelar pada tanggal 2-5 Februari 1988 di Jakarta. Dengan

Intruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 1991 diresmikan pemamakaian dan

penyebarluasan KHI yang terdiri dari atas Buku I tentang Hukum Perkawinan,                                                             

1Muhammad Arief, Hukum Kewarisan dalam Islam (Surabaya: Bina Ilmu, 1986), hlm. 1. 2T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqhul Mawaris: Hukum-hukum Warisan dalam Syaria’at Islam

(Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 18.  3Pasal 171 huruf a Kompilasi Hukum Islam Buku II Hukum Kewarisan. 

Page 35: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

29

Buku II tentang Hukum Kewarisan, dan Buku III tentang Hukum Pewakafan.

Dalam Inpres tersebut dikatakan agar Menteri Agama menyebarluaskan KHI,

untuk digunakan oleh instansi pemerintah dan oleh masyarakat yang

memerlukannya dengan sebaik-baiknya, dan penuh tanggungjawab.

Sebagai tindak lanjut dari inpres tersebut, Menteri Agama mengeluarkan

Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun 1991. Surat tersebut berisikan

antara lain agar seluruh instansi yang ada di lingkungan Departemen Agama

(sekarang Kemnetian Agama) dan instansi lain yang terkait dalam menyelesaikan

masalah-masalah di bidang hukum perkawinan, kewarisan, dan perwakafan,

sedapat mungkin menerapkan KHI tersebut di samping peraturan perundang-

undang lainnya. Dengan demikian, KHI bukan hanya sekedar pedoman bagi hakim

di lingkungan peradilan agama, melainkan sumber hukum meteriil yang harus

dipergunakan olehnya dalam mengadili, memutus, dan menyelesaikan masalah-

masalah hukum perkawinan, kewarisan, dan perwakafan bagi mereka yang

beragama Islam, di samping peraturan perundang-undangan lainnya yang

berhubungan ketiga hal tersebut.

Sebelum KHI disusun, sumber hukum materiil yang digunakan atau berlaku

di lingkungan peradilan agama dalam mengadili adalah literatur agama Islam

(terutama fikih) yang biasa dikenal dengan istilah kitab kuning. Pada saat itu,

literaturnya pun tidak ada keseragaman, dalam arti tidak ditentukan literatur mana

yang boleh dan tidak boleh digunakan. Masing-masing peradilan agama memiliki

kebebasan untuk memilih kitab kuning mana yang dijadikan sumber hukum

Page 36: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

30

materiil dalam mengadili perkara. Pada 18 Februari 1958 dikeluarkan Surat

Edaran Biro Peradilan Agama Nomor B/1/735 yang berisikan tentang anjuran

penyeragaman penggunaan sumber hukum maetriil dalam mengadili perkara. Di

dalam surat tersebut dikatakan bahwa untuk mendapatkan kesatuan hukum yang

memeriksa dan memutus perkara, maka para hakim pengadilan agama/ mahkamah

syariah dianjurkan agar mempergunakan sebagai pedoman, yaitu al-Bajuri, Fathul

Muin dengan Syarah-nya, Syarqawi ‘ala al-Tahrir, Qalyubi/Muhalli, Fathul

Wahab dengan Syarahnya, Tuhfah, Targhibul Musytaq, Qawaninus Syariah li

Sayyid Usman bin Yahya, Qawaninus Syariah li Sayyid Shadaqah Dakhlan,

Syamsuri lil Fara’dl, Bughyatul Mustarsyidin, Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-

Arba’ah, dan Mughni al-Muhtaj.

Penggunaan literatur-literatur tersebut sebagai sumber materiil hukum Islam

dalam mengadili perkara tentu berimplikasi pada beberapa problem. Diantaranya

adalah kepastian hukum dan perkembangan problem yang mungkin tidak dapat

terjawab hanya dengan merujuk pada literatur-literatur tersebut. Problem-problem

inilah yang kemudian mendorong umat Islam merasa perlu untuk merumuskan

ketentuan perundangan yang seragam dan tersusun dengan baik.

Sebagai pedoman hukum terapan bagi hakim di lingkungan peradilan agama,

KHI yang berisikan 229 Pasal tidak hanya berisikan hukum materiil saja, tetapi

juga memuat hukum formil. Berkaitan dengan kewarisan, KHI memuatnya dalam

Buku II dari Pasal 171 sampai dengan Pasal 214 yang dilengkapi dengan

Penjelasan Umum dan Penjelasan Pasal demi Pasal. jika diklasifikasikan,

Page 37: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

31

pengaturan hukum kewarisan Islam dalam KHI tersebar dalam enam bab dengan

jumlah pasal sebanyak 44 butir dengan sistematika sebagai berikut:

No. Bab Materi Pasal Jumlah Butir 1 I Ketentuan Umum 171 1 2 II Ahli Waris 172-175 4 3 III Besarnya Bahagian 176-191 15 4 IV Aul dan Rad 192-193 2 5 V Wasiat 194-209 16 6 VI Hibah 210-214 5

Jumlah 44

Hukum kewarisan Islam di Indonesia yang tercantum dalam KHI tersebut

disusun berdasarkan lima asas yang berupa ijbari, individual bilateral, keadilan

berimbang, kewarisan hanya akibat kematian, dan personalitas keislaman. Sebagai

sebuah asas, empat hal tersebut dalam konteks hukum kewarisan Islam menjadi

dasar, prinsip, patokan, acuan atau tumpuan umum untuk berpikir atau

berpendapat dalam menyusun, merumuskan, menemukan, dan membentuk

ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan atau penarikan nilai-nilai, ide,

konsepsi atau pengertian-pengertian umum hukum terkait.

Asas ijbari dijalankan dalam hukum kewarisan Islam dipahami bahwa

peralihan harta dari seseorang yang telah mati kepada ahli warisnya berlaku

dengan sendirinya menurut kehendak Allah tanpa tergantung kepada kehendak

pewaris atau ahli waris. Dengan demikian, perpindahan tersebut bukan kehendak

ahli waris atau sang pewaris, melainkan kehendak Allah yang telah difirmankan

Page 38: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

32

melalui kitab suci-Nya.4 Oleh sebab itu, andaikata pewaris mempunyai hutang

lebih besar daripada harta peninggalannya, maka ahli waris tidak berkewajiban

untuk membayar sisa tanggungan hutang pewaris. Kalaupun pewaris berkehendak

untuk menanggung sisa hutang pewaris, hal itu bukan dianggap sebagai kewajiban,

melainkan kebaikan dari ahli waris itu sendiri.5

Adanya asas ijbari dalam hukum kewarisan Islam di Indonesia dapat dilihat

dari tiga segi.6 Pertama, segi peralihan harta. Bagi seorang laiki-laik maupun

perempuan ada “nashib” dari harta peninggalan orang tua dan karib-kerabatnya.

Kata “nashib” berarti bagian saham atau jatah dalam bentuk sesuatu yang diterima

dari pihak lain. Dari kata “nashib” itu dapat dipahami dalam sejumlah harta yang

ditinggalkan pewaris, disadari atau tidak, telah terdapat hak ahli waris. Dalam hal

ini pewaris tidak perlu menjanjikan akan memberi sebelum ia meninggal, begitu

pula ahli waris tidak perlu meminta haknya. Kedua, segi jumlah harta yang

beralih. Bagian harta atau hak ahli waris dalam harta warisan sudah jelas

ditentukan hingga pewaris maupun ahli waris yang tidak mempuyai hak untuk

menambah atau menguranginya. Pembagian warisan sudah ditentukan atau

diperhitungkan, maka dengan sudah ditentukan jumlahnya ini harus dilakukan

sedemikian rupa secara mengikat dan memaksa. Ketiga, segi kepada siapa harta itu

                                                            4Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat

Minangkabau (Jakarta: PT Gunung Agung, 1984), hlm. 18. 5A. Rachmad Budiono, Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia (Bandung: PT

Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 2-3. 6Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan, hlm. 19. 

Page 39: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

33

beralih. Orang-orang yang berhak atas harta peninggalan itu sudah ditentukan

secara pasti, sehingga tidak ada suatu kekuasaan manusia pun dapat mengubahnya.

Asas ijbari yang digunakan sebagai landasan hukum kewarisan Islam di

Indonesia didasarkan atas ketentuan yang ada pada Q.S. 4:7, Q.S. 4:11, Q.S. 4:12,

dan Q.S. 4:176. Penampakan penggunaan asas ini terlihat dalam Pasal 187 ayat (2)

KHI yang menyatakan bahwa “Sisa dari pengeluaran dimaksud di atas adalah

merupakan harta warisan yang harus dibagikan kepada ahli waris yang berhak”.

Redaksi “harus dibagikan” pada pasal tersebut menunjukkan sifat memaksa dan

mengikatnya hukum kewarisan Islam Indonesia. Hal demikian dikecualikan dalam

konteks Pasal 183 yang berbunyi “para ahli waris dapat bersepakat melakukan

perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari

bagiannya”. Berdasarkan redaksi tersebut, pembagian harta peninggalan dapat

dilakukan secara damai dan musyawarah asalkan sebelumnya ahli waris secara

nyata telah mengetahui bagian peruntukannya masing-masing yang menjadi

haknya, baru setelah itu dengan kerelaan masing-masing ahli waris untuk

menyerahkan bagian peruntukannya kepada ahli waris lainnya atau dibagi sama

rata diantara ahli waris tersebut.

Ahli waris mewarisi harta warisan pewaris secara perorangan (individu)

tidak bersama-sama mewarisi harta warisan pewaris dengan ahli waris lainnya,

baik itu ahli waris laki-laki maupun ahli waris anak perempuan, dengan tanpa

mengadakan pembedaan ahli waris atas anak-anak dan orang sudah dewasa, sesuai

dengan peruntukkan bagiannya masing-masing yang didapatnya, baik dari kerabat

Page 40: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

34

ibunya maupun dari kerabat bapaknya serta kerabat mereka lainnya yang terdekat.

Asas kewarisan secara individual ini terlihat, dengan arti bahwa harta warisan

dapat dibagi-bagi untuk dimiliki secara perseorangan. Keseluruhan harta warisan

dinyatakan dalam nilai tertentu yang mungkin dibagi-bagi, kemudian jumlah

tersebut dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menurut kadar bagian

masing-masing. Ia berhak atas bagaian yang didapatnya tanpa terkait kepada ahli

waris yang lain, yang didasarakan kepada ketentuan bahwa setiap insan sebagai

pribadi mempunyai kemampuan untuk menerima hak dan menjalankan

kewajiban.7

Sedangkan asas bilateralnya terlihat dengan adanya penerima hak kewarisan

dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu pihak kerabat garis keturunan laki-laki

dan pihak kerabat garis keturunan perempuan. Tegasnya, jenis kelamin bukan

merupakan penghalang untuk mewaris atau diwarisi. Antara laki-laki dan

perempuan dalam mewarisi harta peninggalan orang tuanya terdapat kedudukan

sederajat satu sama lainnya.8

Asas individual dan bilateral didasarkan pada Q.S.4:7, Q.S.4:33, Q.S.4:12,

dan Q.S.4:176, yang menggariskan bahwa telah dijadikan ahli waris yang akan

mewarisi harta warisan pewaris, baik itu ahli waris laki-laki maupun perempuan,

dengan peruntukkan bagian tertentu sesuai dengan haknya. Asas individual terlihat

                                                            7Ibid., 21. 8Idris Djakfar dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Pustaka Jaya,

1995), hlm. 33. Bandingkan dengan Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan, hlm. 19, dan A. Rachmad Budiono, Pembaharuan Hukum Kewarisan, hlm. 33.  

Page 41: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

35

ketika terjadi pembagian harta warisan, ada ahli waris yang masih belum dewasa

(Q.S.4:2, Q.S.4:5, dan Q.S.4:6), maka bagiannya harus disisihkan dan tidak boleh

dicampur dengan harta bagian ahli waris lainnya. Di dalam KHI, asas ini tampak

pada, misalnya, Pasal 176 sampai 182 yang menetapkan besrnya bagian masing-

masing ahli waris. Sementara asas bilateral tampak pada Pasal 174 ayat (1) yang

mengelompokkan ahli waris golongan laki-laki dan perempuan menurut hubungan

darah dan ahli waris duda dan janda menurut hubungan perkawinan.

Asas keadilan dapat diartikan sebagai keseimbangan antara hak dan

kewajiban, keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan

kegunaannya. Dengan demikian asas ini mengandung arti bahwa harus senantiasa

terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara hak yang diperoleh

seseorang, dengan kewajiban yang harus ditunaikannya.9 Dalam sistem hukum

kewarisan Islam, baik laki-laki maupun perempuan sama-sama dapat menjadi

pewaris dan ahli waris dari harta warisan ibu, bapak, dan kaum kerabatnya, dengan

tidak mengadakan pembedaan dari segi usia dan asal-usul silsilah kekerabatan bagi

ahli waris. Pembedaan kedua jenis ahli waris ini, terletak pada jumlah perolehan

mereka masing-masing, yakni bagian seorang anak laki-laki sama besar dengan

bagaian dua orang anak perempuan. Sebagai kelompok keutamaan pertama di

antara ahli waris tersebut adalah anak laki-laki dan anak perempuan beserta

keturunan pewaris ke atas dan ke bawah, janda atau duda, sebab demikian tidak

                                                            9Mohammad Daud Ali, “Asas-asas Hukum Kewarisan Islam dalam Kompilasi Hukum Islam”,

Mimbar Hukum, No. 9 tahun IV 1993, hlm. 9. 

Page 42: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

36

diketahui siapa diantara mereka itu yang lebih dekat (banyak) manfaatnya.

Demikian pula antara suami-istri dapat saling mewarisi.

Dasar penggunaan asas keadilan di dalam al-Qur’an tidak perlu

dipertanyakan lagi. Banyak redaksi al-Qur’an yang mneyeru kepada umat muslim

untuk berlaku adil. Hingga saat ini KHI masing menganut ketentuan pembagian

yang ada pada fikih konvensional atau yang biasa disebut dengan furudul

muqaddarah. Pada Pasal 176 dan 180 diutarakan bahwa bagaian seorang laki-laki

sama besarnya dengan bagaian dua orang perempuan. Ketentuan demikian hingga

saat ini masih dianggap adil dan berimbang oleh penegak hukum kewarisan Islam

di Indonesia.

Asas kewarisan hanya akibat kematian dipahami bahwa kewarisan ada jika

ada yang meninggal dunia. Ini berarti bahwa kewarisan semata-mata sebagai

akibat dari kematian seseorang. Menurut hukum kewarisan Islam, peralihan harta

seseorang kepada orang lain yang disebut dengan nama kewarisan, terjadi setelah

orang yang mempunyai harta itu meninggal dunia. Ini berarti harta seseorang tidak

dapat beralih kepada orang lain dan disebut sebagai harta warisan, selama orang

yang mempunyai itu masih hidup. Juga berarti segala bentuk peralihan harta

seseorang yang masih hidup kepada orang lain, baik secara langsung maupun yang

akan dilaksanakan kemudian sesudah kematiannya, tidak termasuk ke dalam

kategori kewarisan menurut hukum Islam. dengan demikian hukum kewarisan

Islam hanya mengenal satu bentuk kewarisan satu bentuk kewarisan saja, yaitu

Page 43: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

37

kewarisan sebagai akibat dari kematian seseorang. Hukum kewarisan Islam,

karena itu tidak mengenal kewarisan atas dasar wasiat.10

Asas kewarisan hanya akibat kemitan ini mempunyai kaitan yang erat

dengan ijbari. Pada hakikatnya bila seseorang memenuhi syarat sebagai subjek

hukum dapat bertindak atas harta pribadinya yang menyangkut kemauan dan

keperluannya selama ia hidup. Tetapi ia tidak mempunyai kebebasan untuk

mengatur harta tersebut untuk penggunaan sesuah matinya. Walaupun ada

kebebasannya untuk bertindak dalam tujuan untuk memberikan sebagian hartanya

dalam kadar batas maksimal sepertiga dari hartanya, tidak disebut dengan nama

kewarisan. Asas yang demikian ini dapat digali dari penggunaan kata-kata

“warasa” yang banyak terdapat dalam al-Qur’an yang mengandung pengertian

bahwa peralihan harta berlaku sesudah yang mempunyai harta itu mati.11

Asas ini tampak pada Pasal 171, 181, dan 182 KHI. Pada Pasal 171 huruf b

KHI disebutkan bahwa “Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalkannya

atau dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan beragama Islam,

meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan”. Pada Pasal 181 disebutkan “Bila

seorang meninggal dunia tanpa minggalkan anak dan ayah…”. Sedangkan dalam

Pasal 182 disebutkan bahwa “Bila seorang meninggal tanpa minggalkan…”.

Dalam hukum kewarisan Islam, perbedaan agama antara pewaris dan ahli

waris merupakan penghalang terjadinya kewarisan diantara mereka. Pewaris yang

                                                            10Ibid., hlm. 9-10.  11Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan, hlm. 25. 

Page 44: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

38

beragama Islam, harta kewarisannya akan diselesaikan berdasarkan hukum Islam,

sehingga apabila ada diantara ahli warisnya yang tidak beragama Islam, maka hak

atau kedudukannya sebagai ahli waris dicabut. Jumhur ulama telah sepakat

menyatakan ahli waris yang tidak beragama Islam atau seagama, tidak berhak

mewarisi harta kewarisan pewaris yang beragama Islam dan sebaliknya ahli waris

yang beragama Islam juga tidak berhak mewarisi harta pewaris yang tidak

beragama Islam pula.

B. Pandangan M. Syahrur terhadap Hukum Kewarisan Islam

Secara spesifik Syahrur mengkaji kewarisan Islam di salah satu bab dalam

karyanya berupa Nahw Ushul Jadidah li al-Fiqh al-Islami. Termasuk dalam kajian

ini adalah persoalan wasiat. Bagi Syahrur, wasiat dan kewarisan dalam Islam

merupakan masalah serius yang harus diselesaikan. Ada empat alasan yang

digunakan Syahrur sehingga ia merasa berkepentingan untuk mengkaji ulang

persoalan ini.12 Pertama, wasiat dan warisan baginya telah dijelaskan dalam ayat-

ayat al-Tanzil al-Hakim. Kedua, dalam pengmatannya wasiat dan warisan telah

diterapkan oleh masyarakat muslim berdasarkan pemahaman para ahli fikih pada

abad-abad pertama Islam. Ketiga, menurutnya aplikasi wasiat dan kewarisan

masih berdasarkan ajaran-ajaran yang termuat dalam buku-buku faraid dan

mawarits. Keempat, ia melihat berbagai tradisi yang diterapkan oleh budaya lokal

                                                            12Muhammad Syahrur, Nahwa Ushul Jadidah li al-Fiqh al-Islami: Fiqh al-Mar’ah, al-

Washiyah, al-Irts, al-Qawamah, al-Ta’addudiyyah, al-Libas (Damaskus: al-Ahali, 2000), hlm. 221. 

Page 45: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

39

tertentu di negeri-negeri Arab maupun non-Arab di luar ketentuan-ketentuan dari

ayat-ayat al-Qur’an maupun dari buku-buku tentang pembagian harta warisan.

Empat realitas tersebut dalam pandangannya masih menggelanyuti problem

kewarisan dan wasiat yang hingga saat ini masih belum terselesaikan.

Bagi Syahrur, kewarisan Islam dalam kerangka fikih hari ini masih

mengandung beragam problem, yang di antaranya adalah sebagai berikut:13

1. Mengutamakan masalah waris dan hukumnya, tetapi mengesampingkan

wasiat beserta hukum yang menyertainya.

2. Memaksakan penghapusan (naskah) ayat-ayat wasiat, khususnya firman

Allah: “Al-washiyyatu li al-walidain wa al-aqrabin”, berdasarkan hadis

ahad yang statusnya terputus diriwayatkan oleh Ahl al-Maghazi, yaitu:

“La Washiyata li waritsin”.

3. Mencampuradukkan anatara dua konsep yang berbeda, yaitu al-hazz

(jatah pada warisan) dan al-nashib (bagian pada wasiat), sehingga

memunculkan kerancauan pemahan antara ayat-ayat waris dan ayat-ayat

wasiat. Firman Allah dalam Q.S. al-Nisa’ (4):7 dipahami sebagai ayat

yang membicarakan masalah waris; padahal ayat ini secara jelas

menjelaskan tentang masalah wasiat. Argumentasi kami adalah karena

terma nashib menunjuk pada pengertian bagian (baca: porsi) seseorang

                                                            13Lihat Ibid., 222-223.  

Page 46: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

40

dalma masalah wasiat, sedangkan hazz menunjuk pada pengertian bagian

harta (baca: jatah) yang diterima dari warisan.

4. Tidak membedakan antara keadilan universal dalam ayat-ayat waris dan

keadilan spesifik dalam ayat-ayat wasiat; padahal ketentuan yang bersifat

umum tidak berarti menghapus yang bersifat khusus.

5. Firman Allah: fa in kunna nisa’an fawqa itsnataini dipahami dengan

pengertian: “Jika kalian (para perempuan) berjumlah dua atau lebih”.

Padahal ayat tersebut tidak bisa dipahami dengan pengertian yang tidak

masuk akal tersebut.

6. Terma “al-walad” dalam ayat-ayat waris dipahami sebagai anak laki-

laki, bahwa hanya anak laki-laki yang menjadi sebab terhalang dan

tertutupnya suatu pewarisan pada pihak lain. Pemahaman semacam ini

merupakan reduksi besar-besaran terhadap firman Allah: Yushikumullah

fi Awladikum li al-zakari misl hazz al-unsayain, karena dalam ayat ini

terma al-walad mencakup kedua jenis kelamin baik lelaki maupun

perempuan. Di samping itu, pemaknaan reduktif tersebut juga menyalahi

salah satu keistimewaan bahasa Arab yang memiliki kosa kata berbentuk

maskulin yang sekaligus mengandung arti feminin. Seperti kata abus

(kegentingan), armal (janda/duda), zawj (pasangan suami-isteri), dan

walad (anak), karena dalam bahasa Arab tidak dijumpai pemakaian kata

abusah, armalah, zawjah, dan waladah.

Page 47: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

41

7. Memeperlihatkan konsep ‘awl (menggenapkan prosentase ke atas) dan

radd (menggenapkan prosentase ke bawah), dua konsep yang terlahir

dari pemaksaan terhadap pemberlakuan empat pola perhitungan

(‘amaliyat al-hisab al-arba’) sehingga mengakibatkan beberapa pihak

menerima harta waris secara berlebihan, sementara pihak lain dikurangi

haknya secara tidak adil. Hal inilah yang sebenarnya dipertanyakan oleh

Ibn ‘Abbas sejak empat belas abad yang lalu dengan nada aneh:

“Bagaimana bisa dinalar, Tuhan Yang Maha Mengetahui jumlah butiran

pasir menetapkan aturan pembagian warisan yang menyebabkan kita

terpaksa merujuk pada konsep radd dan ‘awl?”.

8. Para cucu, meskipun yatim, tidak diperbolehkan menerima bagian

warisan dari kakek mereka—dalam keadaan mereka sebelumnya telah

ditinggal mati bapaknya—meskipun cucu juga tersebut dalam ayat waris.

9. Memberikan bagian tertentu kepada pihak yang sama sekali tidak disebut

dalam ayat-ayat waris, seperti paman (dari pihak bapak) dan sebagainya.

Penetapan ketentuan ini merupakan akibat dari nalar sosial dan politik

patriarkhis masa lalu.

Di bawah bayang-bayang kerancauan itulah, menurut Syahrur, yang menjadikan

hukum waris dalam Islam sulit dipahami dan tidak memiliki rujukan yang jelas,

dan dalam atmosfir kegelisahan umat Islam untuk berada dalam satu pandangan

Page 48: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

42

Islam dan mengatur hukum waris yang seragam. Baginya, kondisi ini telah

menyentuh titik rawan, yaitu problematika perpindahan harta antargenerasi.

Dalam rangka menyelesaikan problem wasiat dan kewarisan Islam tersebut

Syahrur melakukan pembacaan ulang terhadap 13 ayat al-Qur’an, di mana sepuluh

di antaranya berbicara tentang wasiat, dan sisanya berbicara tentang kewarisan.

Dalam memahami ayat-ayat tersebut, ia menegaskan tidak menggunakan

perspektif pengetahuan matematis yang digunakan oleh sarjana muslim abad

klasik. Berkaitan dengan hal itu, ia merujuk pada (1) Rene Descartes yang telah

meletakkan dasar-dasar analisis matematis modern yang memadukan antara

hiperbola (al-kam al-muttashil) dan parabola (al-kam al-munfashil); (2) Newton

yang menggagas analisis matematis tentang konsep turunan (diferensial/ al-

mushtaq) dan integral (al-takamul); dan (3) teori himpunan (nazariyat al-

majmu’at).

C. Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam Berbasis Teori Batas M. Syahrur

Pewarisan, menurut Syahrur adalah pemindahan harta yang dimiliki

seseorang yang sudah meninggal kepada pihak penerima (warasah) yang jumlah

dan ukuran bagian (nasib) yang diterimanya telah ditentukan dalam mekanisme

wasiat, atau jika tidak ada wasiat, maka penentuan pihak penerima, jumlah dan

ukuran bagiannya (haz) ditentukan dalam mekanisme pembagian warisan.14

                                                            14Ibid., 231. 

Page 49: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

43

Sementara itu, wasiat menurutnya adalah salah satu bentuk distribusi kekeyaan

yang dilakukan oleh seseorang setelah kematiannya untuk diberikan kepada pihak

atau kepentingan tertentu (dari sisi kualitas) dengan ukuran tertentu (dari sisi

kuantitas) dengan ukuran tertentu (dari sisi kuantitas) sesuai dengan keinginan dan

pertimbangan pribadinya.15 Dalam al-Tanzil al-Hakim,16 menurut Syahrur, wasiat

lebih diutamakan daripada waris, karena ia berpotensi untuk mewujudkan keadilan

yang khusus terkait dengan kepentingan pribadi dan memiliki efektivitas dalam

pemanfaatan harta, pengembangan relasi sosial, dan hubungan kekeluargaan, di

samping mencerminkan memperdulikan pihak pewasiat terhadap kepentingan

pihak lain.

Ayat-ayat tentang waris diturunkan dan diberlakukan bagi seluruh umat

manusia secara kolektif yang hidup di muka bumi, bukan untuk pribadi atau

keluarga tertentu. Ayat-ayat waris menggambarkan aturan universal yang

ditetapkan berdasarkan aturan matematis dan empat operasional ilmu hitung.

Aturan tersebut merupakan ketentuan Tuhan yang tetap dan sudah ditentukan.

Sementara ayat-ayat wasiat sama sekali tidak mengandung ketentuan hukum

ataupun ketentuan pihak keluarga/ keturunan (nasab) yang harus diikuti, karena

Allah memberikan keleluasaan yang sangat lebar kepada manusia untuk berwasiat

berdasarkan keinginannya sendiri. Allah cukup membirakan dorongan untuk

                                                            15Ibid., 225. 16Adalah al-Qur’an itu sendiri pada bagian ayat-ayat muhakamat dalam pengertian Syahrur

yang berupa kebijakan-kebijakan hukum yang bersifat subjektif. Baca Syahrur, Al-Kitab wa al-Qur’an, hlm. 103-122. 

Page 50: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

44

memberikan prioritas sasaran wasiatnya kepada mereka yang paling berhak

menerima dan kekurangan, seperti keluarga dekat, anak-anak yatim, orang-orang

miskin, dan keturunan yang lemah. Perspektif tersebut menuntun Syahrur pada

perbedaan lain antara wasiat dan waris, yaitu bahwa orang-orang yang disebut

dalam ayat-ayat wasiat berjumlah lebih banyak dari orang-orang yang disebut

dalam ayat waris. Seluruh pihak yang disebut dalam ayat waris juga disebut dalam

ayat wasiat, namun tidak demikian sebaliknya. Orang-orang miskin dan kerabat

yang lemah tidak didapati dalam ayat-ayat waris, sementara mereka disebut dalam

ayat-ayat wasiat.

Ayat pertama dari ayat-ayat waris dimulai dengan kalimat: Yushikumullah fi

Awladikum, dan ditutup dengan firman Allah: Washiyyatan minallah wallahu

‘alimun halim. Menurut Syahrur, ayat tersebut mengindikasikan bahwa wasiat

sama wajibnya dengan solat maupun puasa. Berkaitan denga perpindahan harta

warisan, bagi Syahrur Allah menginginkan agar manusia mampu menegakkan

hukum dan menyelesaikan masalah yang sangat urgen dengan pandangannya

sendiri, yakni dengan selalu berpegang pada asas keadilan dan menerapkan

kebebasan penuh untuk menentukan apa yang cocok menurut pandangannya. Ayat

waris yang dimaluai dengan ungkapan di atas sakan diabaikan begitu saja oleh

para ulama klasik. Bahkan, konsep naskh-mansukh telah dikukuhkan, yang di

dalamnya persoalan wasiat menjadi salah satu korbannya, yakni bahwa wasiat

telah ter-nasakh oleh ayat-ayat waris.

Page 51: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

45

Prinsip-prinsip yang ditetapkan Allah untuk menegakkan keadilan dalam

pembagian harta waris berdasarkan atas prinsip kedailan (‘adl) dan kesetaraan/

persamaan (musawah). Jika kita memperhatikan aturan-aturan (pembagian harta

waris) ini dengan perspektif individual (nazrah fardliyyah), maka kita akan

mendapati bahwa aturan-aturan tersebut tidak menerapkan kesetaraan antara laki-

laki dan perempuan, tetapi wasiat menerapkan persamaan antara kelompok laki-

laki (majmu’at al-dzukur) dan kelompok perempuan (majmu’at al-inats) di dunia.

Dari sinilah diperlukan kerangka pengetahuan matematik yang berbeda dari ilmu

perhitungan konvensional. Hanya saja, persamaan antara berbagai komunitas ini

bukan berarti persamaan antara anggota-anggotanya yang didasarkan pada kondisi

personal mereka atau posisi sosial mereka.

Prinsip pertama dari ayat waris adalah firman Allah yang berbunyi: li al-

zakari misl hazz al-untsayain. Dari ayat tersebut, muncullah Pasal 176 dalam KHI

yang menyebutkan bahwa:

“Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separoh bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan.”

Dilihat dari kacamata asas keadilan berimbang, materi pasal tersebut jelas tidak

berimbang, di mana bagian harta waris hanya dilihat dari unsur jenis kelamin,

tanpa yang lain. Hal ini berbeda dengan pola pembaharuan yang ditawarkan

Syahrur. Dalam memahami ayat tersebut, Syahrur berpandangan bahwa dasar atau

Page 52: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

46

titik tolak dalam penentuan bagian masing-masing pihak. Baginya, seakan-akan

Allah menyatakan: “Perhatikan bagian (hazz) yang telah kalian tentukan untuk dua

perempuan, lalu berikanlah semisal itu kepada pihak laki-laki”, karena dilihat dari

logika teoretis dan aplikasi ilmiah manapun, sangat tidak masuk akal mengetahui

dan menentukan hal semisal sesuatu sebelum mengetahui dan menentukan batasan

sesuatu yang dimisalkan tersebut.

Dalam pandangan Syahrur, para intelektual klasik membaca redaksi mitslu

hazz (semisal bagian) seakan-akan berbunyi mitsla hazz (sama dengan bagian).

Bagi Syahrur pembacaan tersebut merupakan kesalahan para intelektual klasik

dalam aturan-aturan pembagian harta waris. Mereka mengira bahwa hal itu hanya

problem linguistik, sementara hal itu bagi Syahrur memiliki problem yang sangat

kompleks. Pada pola pembacaan pertama terdapat tiga variabel; pengikut (tabi’),

pengubah (mtahawwil), dan pengubah tertentu (mutahawwil mafrud)—jumlah

perempuan yang terkadang bernilai satu, dua, atau lebih. Karena itulah, menurut

Syahrur, laki-laki hanya disebut sekali, sedangkan perempuan memiliki sejumlah

kemungkinan nilai yang beragam. Sedangkan pola pembacaan kedua tidak

memiliki variabel-variabel tersebut. Pola ini langsung dipahami bahwa bagian

laki-laki dua kali lipat dari bagian perempuan. Rasio pembagian semacam ini

berlaku dalam minda intelektual Islam klasik hingga saat ini.

Prisnip selanjutnya dari ayat waris adalah: fain kunna nisa’an fawqa

isnataini falahunna sulusna ma taraka; wa in kanat wahidatan fa laha al-nisfu.

Redaksi yang datang setelahnya merupakan penjelasan kasus-kasus spesifik dari

Page 53: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

47

ketiga kasus waris yang menggambarkan hududullah (batas-batas hukum Allah).

Hal ini berdasarkan atas kenyataan bahwa setelah Allah menjelaskan wasiat-Nya

tentang prinsip-prinsip waris dalam ayat 11 dan 12 surat al-Nisa’, Allah

mengawali ayat 13 dengan redaksi tilka hududullahi. Kasus-kasus warisan ini

mencakup pihak-pihak berikut: keluarga menurut garis asal (al-usul), keluarga

menurut garis cabang (al-furu’), pasangan suami-isteri (al-zawj), dan saudara (al-

ikhwah). Dengan demikian, pihak paman dari bapak (al-‘amam), pihak paman dari

ibu (al-akhwal), anak laki-laki paman, dan seterusnya yang tidak disebut secara

eksplisit dalam ayat waris adalah pihak-pihak yang tidak berhak memperoleh

bagian (hazz) apapun dari harta waris.

Berdasarkan analisis terhadap ayat-ayat wasiat dan waris, Syahrur

merumuskan tiga batasan hukum kewarisan Islam untuk kategori anak dengan

basis teori himpunan. Pertama, li al-zakar mitsl hazz al-untsayain. Batasan jatah

ini bagi Syahrur berlaku pada saat jumlah anak perempuan dua kali lipat dari anak

laki-laki. Contoh kasus dalam batasan ini adalah satu anak laki-laki dan dua anak

perempuan, dua anak laki-laki dan empat anak perempuan, dan seterusnya. Rumus

persamaan yang ditetapkan adalah F/M=2.17 Kedua, fa in kunna nisa’an fawqa

itsnatain. Batasan jatah ini bagi Syahrur berlaku pada saat jumlah anak perempuan

lebih dari dua. Contoh kasus dalam batasan ini adalah satu anak laki-laki dan tiga

anak perempuan, dua anak laki-laki dan lima anak perempuan, dan seterusnya.

                                                            17F adalah jumlah perempuan, sedangkan M adalah jumlah laiki-laki. 

Page 54: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

48

Rumus persamaan yang ditetapkan adalah F/M>2. Ketiga, wa in kanat wahidatan

fa laha al-nisf. Batasan jatah ini bagi Syahrur berlaku dalam kasus jika jumlah

anak perempuan sama dengan jumlah anak laki-laki. Contoh kasus dalam batasan

ini adalah satu anak laki-laki dan satu anak perempuan, dua anak laki-laki dan dua

anak perempuan, dan seterusnya. Rumus persamaan yang ditetapkan adalah

F/M=2. Secara sederhana batasan-batasan ini dapat dijelaskan melalui tabel

sebagai berikut:18

Anak-anak Hukum Tuhan

Laki-laki 1/3 ----------- 2/3 Perempuan Dewasa

Lebih dari Dua Batasan Kedua

½ ------------- ½ Dua Perempuan Batas Pertama ½ ------------- ½ Satu Perempuan Batas Ketiga

Keterangan: Laki-laki disebut sekali. Bagiannya mengikuti atau tergantung pada jumlah perempuan. Laki-laki berposisi sebagai variabel pengikut (al-tabi’)

Keterangan:Jumlah perempuan mulai dari satu

sampai bilangan tak terhingga. Perempuan berposisi sebagai variabel

pengubah (al-mutahawwil)

Berdasarkan pola batasan-batasan yang dirumuskan melalui teori himpunan,

muncul beragam kemungkinan yang dapat dianalisa menggunakan teori parabola

(al-kam al-munfashil). Secara ringkas kemungkinan-kemungkinan tersebut dapat

penulis sajikan dalam tabel sebagai berikut:19

Laki-laki (M) Perempuan (F) Hukum (Batasan) Prosentase Jatah

3 1 Ketiga M : 50% : 3 = @ 16.6%                                                             

18Lihat Syahrur, Nahwa Ushul Jadidah li al-Fiqh al-Islami, hlm. 248-249 dan Ibid., 286. 19Periksa Ibid., 250-262. 

Page 55: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

49

F : 50%

3 2 Pertama M : 50% : 3 = @ 16.6% F : 50% : 2 = @ 25%

3 3 Ketiga M : 50% : 3 = @ 16.6% F : 50% : 3 = @ 16.6%

3 4 Pertama dan Ketiga

M : 50% : 3 = @ 16.6% F : 50% : 4 = @ 12.5%

3 5 Pertama dan Ketiga

M : 50% : 3 = @ 16.6% F : 50% : 5 = @ 10%

3 6 Pertama M : 50% : 3 = @ 16.6% F : 50% : 6 = @ 8.3%

Perlu menjadi titik perhatian dalam memahami batasan-batasan yang

dirumuskan Syahrur berkaitan dengan penggunaan kata untsa dan nisa’. Bagi

Syahrur, perbedaan antara batasan pertama dan kedua (mitsl hazz al-untsayain dan

fa in kunna nisa’an fawqa itsnatain) juga mengindikasikan kondisi objektif

perempuan tersebut. Kata untsa merupakan bentuk tunggal dari kata inats yang

berarti jenis kelamin perempuan, sedangkan katan nisa’ merupakan bentuk plural

dari mar’ah atau imra’ah, yang berarti perempuan dewasa atau balig (al-untsa al-

baligah). Setiap mar’ah pasti untsa, namun tidak sebaliknya. Pada batasan

pertama, menurut Syahrur, Allah tidak memberikan syarat “dewasa”, sedangkan

pada batasan kedua Allah memberikan syarat “dewasa”. Dalam pada itu, di sini

muncul permasalahan-permasalahan baru; bagaimana jika untsa dan mar’ah

berkumpul dalam satu kasus, misalnya. Selain itu, kata fawqa juga perlu menjadi

titik perhatian.20 Bagi Syahrur, fawqa berbeda dengan aktsara, di mana ia

                                                            20Baca ibid., 255-256. 

Page 56: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

50

mencakup pengertian pada sisi kuantitas sekaligus sisi kualitas yang digunakan

untuk bilangan dalam konteks perbandingan (mansubat). Dalam pada itu, yang

dimaksud dengan fawqa itsnataini bagi Syahrur adalah prosentase antara jumlah

perempuan terhadap jumlah laki-laki, sehingga prosentase ini bisa dikatakan lebih

dari bilangan dua. Terkadang prosentase ini berupa bilangan bulat seperti 3/1=3,

dan terkadang berupa bilangan pecahan, seperti 5/2=2.5. Keduanya (3 dan 2.5)

sama-sama dapat dikatakan fawqa itsnataini.21

Menurut Syahrur teori hiperbola menjadi relevan guna memecahkan

permasalahan-permasalahan yang terkait dengan batasan kedua. Sebagaimana

nampak dalam tabel kedua bahwa perbandingan bagian perempuan terhadap

bagian laki-laki berbanding terbalik dengan jumlah perempuan terhadap jumlah

laki-laki. Jika jumlah anggota perempuan dilambangkan dengan “F” dan jumlah

anggota laki-laki dilambangkan dengan “M”, sedangkan perbandingannya

dilambangkan dengan “x”, maka dapat dirumuskan dengan pola x = F/M. Jika

jatah atau bagian laki-laki dilambangkan dengan “D1” dan jatah atau bagian

perempuan dilambangkan dengan “D2”, sedangkan perbandingannya

dilambangkan dengan “y”, maka dapat dirumuskan dengan pola y = D2/D1.

Dengan demikian, perbandingan bagian perempuan terhadap bagian laki-laki

berbanding terbalik dengan jumlah perempuan terhadap jumlah laki-laki dapat

dirumuskan dengan pola y = 1/X. Persamaan atau perbandingan ini disebut dengan

                                                            21Ibid., 258. 

Page 57: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

51

hiperbola (al-kam al-muttasil). Rumus ini menurut Syahrur dapat membantu untuk

menjelaskan batasan kedua dan ketiga dengan syarat perbandingan antara jumlah

perempuan terhadap laki-laki lebih besar dari nol dan lebih kecil sama dengan dua

(2 > F/M > 0).22 Demikian itu dapat digambarkan dalam ragaan sebagai berikut:

Ragaan 1 Persamaan dan Perbandingan I

Contohnya dapat dimulai dari jumlah pewaris tujuah orang terdiri dari dua

laki-laki dan lima perempuan dewasa. Jatah laki-laki adalah 1/3

(33.3%:2=16.66%), sedangkan jatah perempuan adalah 2/3 (66.66%:5=13.33%).                                                             

22Ibid., 254-255. 

Page 58: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

52

Perbandingan antara jatah laki-laki (D1) dan perempuan (D2) dirumuskan dengan

persamaan:

0.1333 = 0.8 = 2x2 (dua kali lipat jumlah laki-laki) 0.1666 5 (jumlah perempuan)

Jika hal demikian itu dimasukkan ke dalam rumus hiperbola, akan didapati bahwa

jatah seorang perempuan adalah D2=2:3F. Jatah laki-laki adalah D1=1:3M.

Perbandingan jatah perempuan terhadap laki-laki adalah:

D2 = 2M D1 F

Perbandingan jumlah perempuan terhadap laki-laki adalah:

x = F M

Jika dua batas tersebut dibalik, hasilnya adalah:

1 = M atau 2 = 2M x F x F

Dari perbandingan tersebut didapatkan persamaan:

y = 2 x

persamaan tersebut disebut dengan persamaan hiperbola, berikut dapat diragakan:

Ragaan 2

Page 59: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

53

Persamaan dan Perbandingan II

Persamaan demikian itu hanya dapat diberlakukan pada kasus ketika semua pihak

perempuan terdiri dari perempuan dewasa (nisa’), dan perbandingan jumlah

perempuan terhadap jumlah laki-laki adalah lebih besar dari dua (fawqa

itsnataini), atau dirumuskan dengan:

F > 2 M

Adapun hiperbola dengan persamaannya y = 1/x, berawal dari bilangan lebih dari

nol sampai tak terhingga.

Selanjutnya, persamaan tersebut dilihat dengan analisis matematis, dengan

mengambil derivasi (turunan) pertama dari persamaan: y = 1/x = x -1 dan

Page 60: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

54

turunannya adalah y’ = 1/x-1. Jika melihat pada y1 untuk x sama dengan satu, maka

didapati rumus: y2 = 1/1 =1= sudut tangent α (alfa).

Sudut tanget α adalah sebesar -45 derajat, yaitu bahwa turunan untuk x = 1

adalah garis yang terbentuk dari garis absis x = 1 yang berawal dari titik F = M.

Pada titik inilah terletak titik singgung hiperbola. Pada titik ini garis kurvanya

mengikuti sudut tangent α sebesar -45 derajat yang turunannya membentuk garis

lengkung tersebut. Analisis matematis ini menurut Syahrur dapat menjelaskan

bahwa garis lengkung bermula dari titik singgung hiperbola yang menjadi titik

awal persinggungan pada jumlah laki-laki yang sama dengan jumlah perempuan.

Pada daerah di bawah titik singgung ini, jumlah perempuan lebih sedikit dari

jumlah laki-lak, dan jatah satu orang perempuan lebih besar dari jumlah pihak

laki-laki, dan jatah seorang perempuan lebih sedikit dari jatah seorang laki-laki.

Hal ini berarti bahwa dalam model hiperbola ini terdapat pembalikan, dan terlihat

dari sisi himpunan secara kolektif tambahan yang diperoleh perempuan sebanding

dengan tambahan yang diambil pihak laki-laki. Titik singgung hiperbola tersebut

bagi Syahrur mencerminkan realitas kelahiran seluruh manusia di muka bumi,

yaitu bahwa jumlah laki-laki (cenderung) sama dengan jumlah perempuan, dan

persamaan ini sesuai dengan realitas bentuk-bentuk kelahiran penduduk bumi. Jika

persamaannya ditentukan:

Y = 2 y = -2x-1 maka Y = -2x-2 = 2 X x2 untuk x = 2, maka y = 2/4 = ½ = sudut tangent β

Page 61: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

55

Sudut tangent β = -30 derajat, sudut ini berlaku bagi hiperbola, sebagaimana

tampak dalam ragaan berikut:

Ragaan 3 Persamaan dan Perbandingan III

Dengan beragam penjelasan di atas, Syahrur mendapati bahwa setiap ayat

yang terdapat pada wilayah ini menggambarkan bentuk-bentuk penggunaan yang

beragam pada tiga macam batas hukum waris tersebut. Syahrur juga mendapati

bahwa setiap kasus pewarisan yang akan dihadapi menggambarkan titik-titik yang

terdapat pada persamaan hiperbola: y = 1/x, atau pada hiperbola y = 2/x. Tidak ada

kasus pewarisan lain yang keluar dari dua persamaan ini. Selain itu, Syahrur juga

mendapati bahwa (jumlah total) jatah warisan masing-masing pihak—setelah

Page 62: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

56

pembagian harta pusaka dengan menerapkan prinsip-prinsip waris—tidak akan

melebihi atau kurang dari 100%. Demikian itu dapat digambarkan dalam ragaan

sebagi berikut:

Ragaan 4 Persamaan dan Perbandingan General

Penghitungan ini juga tidak akan memaksa kita menerapkan pada penghitungan

radd dan ‘awl. Kami mendapati bahwa terma al-walad mencakup jenis kelamin

laki-laki dan perempuan. Pengertian ini akan menjawab problem “menghalangi

atau terhalangi dari memperoleh jatah warisan” yang telah menjerumuskan ahli

fikih pada masa Abbasiyah dalam kesalahan fatal dan memasukkan saudara-

saudara bapak (‘amam), saudara ibu (akhwat), dan anak-anak paman dalam daftar

Page 63: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

57

para pewaris harta, padahal Allah sama sekali tidak memberikan bagian sedikitpun

kepada mereka. Di samping itu tidak ada ketentuan pembagian waris bagi mereka

dan tidak pernah sekalipun nama-nama mereka di sebut al-Tanzil al-Hakim. Tak

pelak lagi bahwa masuknya mereka dalam daftar pewaris adalah akibat dari motif-

motif kekuasaan dan politik.

Aturan waris selanjutnya tergambar dalam Q.S. al-Nisa (4):11 dengan

redaksi wa li abawaihili kull wahidin minhuma al-sudus mimma tarak in kana lahu

walad. Dari ayat tersebut, di dalam KHI dirumuskan bahwa:

“Ayah mendapatkan sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, bila meninggalkan anak, ayah mendapat seperenam bagian.”23

Penggunaan kata abawaihi dalam ayat tersebut, menurut Syahrur, menunjukkan

bahwa di dalamnya tidak hanya hubungan darah, tetapi juga hubungan asuh.

Dalam pada itu, jatah bapak-ibu adalah 1/6 bagian dari harta peninggalan, baik itu

melalui proses kelahiran maupun proses adopsi. Redaksi li kulli wahidin minhuma

al-sudus menurut Syahrur memberi konsekuensi bahwa bapak memperoleh bagian

yang sama dengan ibu, bagi keduanya berlaku batas ketiga dari batasa Allah.

Dengan demikian, ketika jumlah pihak laki-laki sama dengan jumlah pihak

perempuan maka bagian tiap individu, baik laki-laki maupun perempuan adalah

sama. Sedangkan min ma taraka dipahami oleh Syahrur seabagai bahwa terdapat

                                                            23Pasal 177.  

Page 64: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

58

jatah lain yang harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum bagian jatah bapak dan

ibu ditentukan, yaitu bagian jatah suami atau istri jika ada.24

Ayat selanjutnya yang mengatur tentang pembagian harta waris adalah fa in

lam yakun lahu waladun wa waritsahu fa li ummihi al-tsulutsuh. Dari ayat ini,

dirumuskan materi dalam KHI sebagai berikut:

“(1) Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua saudara atau lebih. Bila tidak ada nak atau dua orang saudara atau lebih, maka ia mendapat sepertiga bagian. (2) Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda atau duda bila bersama-sama dengan ayah”.25

Dalam ayat tersebut, menurut Syahrur, Allah telah menetapkan batas kedua, di

mana jatah ibu adalah 1/6 bagian dan jatah bapak 5/6 bagian. Pola semacam ini

sama seperti jika misalnya seseorang meninggalkan sejumlah ahli waris yang

terdiri dari satu laki-laki dan 10 perempuan, maka penyelesaiannya adalah laki-

laki memperoleh 1/3 harta dan 2/3 harta sisanya diambil oleh 10 orang

perempuan.26

Setelah menjelaskan bagian orang tua, Allah menjelaskan bagian suami-

isteri. Dalam Q.S. al-Nisa’, 4:12 Allah berfirman, Dan bagimu (suami-suami)

seperdua dari harta yang diringgalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak

mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat

                                                            24Syahrur, Nahwa Ushul Jadidah li al-Fiqh al-Islami, hlm. 262-263. 25Pasal 178. 26Syahrur, Nahwa Ushul Jadidah li al-Fiqh al-Islami, hlm. 263. 

Page 65: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

59

seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang

mereka buat dan/atau sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh

seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika

kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta

yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat dan/atau sesudah

dibayar hutang-hutangmu. Dari ayat ini, materi hukum kewarisan dirumuskan

dalam KHI sebagai berikut:

“Duda mendapat separoh bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak, maka mendapat seperempat bagian.”27 “Janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak, maka janda mendapat seperdelapan bagian.”28 Menurut Syahrur, ayat tersebut secara jelas memberlakukan kaidah hukum

lidzdzakari mitsl hazz al-untsayain yang merupakan batas pertama dari batas-batas

hukum Allah. Bagi suami setengah harta peninggalan isteri jika isteri tidak

memiliki anak, dan seperempat bagian jika isteri memiliki anak, tanpa

mempertimbangkan jenis kelamin dan jumlahnya, satu anak atau lebih, laki-laki

ataupun perempuan semuanya diposisikan sama. Dalam ayat tersebut juga

ditegaskan hukum demikian itu hanya berlaku ketika orang yang meninggal tidak

meninggalkan wasiat yang menjelaskan pewaris hartanya dan bagian masing-

                                                            27Pasal 179. 28Pasal 180. 

Page 66: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

60

masing. Hal ini bagi Syahrur memperkuat argumentasinya bahwa wasiat adalah

dasar, sedangkan hukum waris adalah ketentuan dari Allah sebagai pengganti

wasiat yang tidak ada.

Berdasarkan analisisnya, Syahrur merumuskan bahwa prosentase yang

ditentukan Tuhan bagi bagian suami atau isteri adalah sebagai berikut:29

Bagian Waris bagi Suami Bagian Waris bagi Isteri

Setengah (1/2), ketika tidak ada anak. Ini merupakan batas minimal (al-had al-adna) bagian waris bagi suami.

Seperempat (1/4), ketika tidak ada anak. Ini merupakan batas minimal bagian waris bagi isteri.

Seperempat (1/4). Ini merupakan batas minimal bagian waris bagi suami ketika ada anak.

Seperdelapan (1/8). Ini merupakan batas minimal bagian waris bagi isteri ketika ada anak.

Baginya, prinsip keadilan dan kesetaraan yang antara pihak laki-laki dan

perempuan. Konsekuensinya, menurut Syahrur, akan selalu didapati bahwa

kategori/ kelompok janda (zumrat al-aramil min al-rijal), meskipun bagian

seorang duda sebesar dua kali lipat bagian seorang janda. Yang jelas, bahwa

persamaan ini tidak akan tercapai kecuali jika jumlah kategori janda dua kali lipat

dari jumlah kategori duda (zumrat al-aramil min al-rijal).

Persoalan terakhir berkaitan dengan pembagian harta waris adalah kalalah.

Dalam pada itu, Allah berfirman “Jika seorang mati, baik laki-laki maupun

perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi

mempunyai seorang saudara laki-laki (se ibu saja) atau seorang saudara

                                                            29Periksa Syahrur, Nahwa Ushul Jadidah li al-Fiqh al-Islami, hlm. 268-269. 

Page 67: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

61

perempuan (se ibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu

seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu lebih dari seorang, maka

mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat

olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi madlarat (kepada

ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-

benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun. Dari ayat ini

dirumuskan materi hukum dalam KHI dengan bentuk:

“Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat seperenam bagian. Bila mereka itu dua orang atau lebih maka mereka bersama-sama mendapat sepertiga bagian.”30 “Bila seorang meninggal dunia tanpa meninggalkan ayah dan anak, sedang ia mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka ia mendapat separoh bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih, maka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara-saudara laki-laki kandung atau seayah, maka bagian saudara laki-laki dua berbanding satu dengan saudara perempuan.”31

Sementara itu, dari ayat tersebut Syahrur menarik beberapa kesimpulan.

Pertama, kalalah adalah kerabat dekat orang yang meninggal selain pihak bapak

dan anak. Kedua, bagian-bagian warisan ini diperoleh kerabat (kalalah) yang

terdiri dari saudara-saudara (al-ikhwah) saja jika mereka ada. Bagian-bagian

                                                            30Pasal 181. 31Pasal 182. 

Page 68: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

62

warisan ini hanya berlaku ketika ada suami-isteri, bukan ketika suami-isteri tidak

ada. Ketiga, kalalah menetapkan bagi laki-laki dan perempuan bagian yang sama/

sebanding (saudara laki-laki maupun saudara perempuan) dalam batas ketiga dari

batas-batas hukum waris Allah. Jika terdiri dari seorang saudara laki-laki atau

seorang perempuan, maka bagiannya adalah 1/6. Jika ahli waris terdiri dari

kumpulan saudara, maka secara total mereka memperoleh 1/3, dalam arti bahwa

1/3 merupakan batasan tertinggi bagi kumpulan saudara dalam kasus ini.32

Dengan beragam analisis dan pemetaan di atas, Syahrur menyimpulkan

bahwa Allah menentukan bagian-bagian warisan dan prosentasenya untuk para

pewaris (ahli waris) berdasarkan tingkat kekerabatan mereka dengan orang yang

mneinggal, yaitu dari yang paling dekat menuju ke yang paling jauh. Dimulai dari

anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan, secara kolektif maupun individu.

Maka seluruh harta peninggalan diberikan kepada anak, baik pada tingkat anak

maupun cucu, yang bapaknya meninggal, berlaku baik ketika mereka terdiri dari

seorang anak, laki-laki maupun perempuan, dua orang anak, ataupun lebih dari itu.

Allah menentukan bagi setiap kasus batasan dan aturan hukum warisnya.

Selanjutnya Allah beralih pada (bagian waris bagi) kedua orang tua, dan

menentukan bagian waris bagi keduanya setelah hutang dan wasiat ditunaikan.

Sisa dari pembagian ini secara keseluruhan dibagikan kepada anak-anak susuai

jumlah mereka sebagaimana digariskan dalam ayat al-Qur’an.

                                                            32Syahrur, Nahwa Ushul Jadidah li al-Fiqh al-Islami, hlm. 270-271. 

Page 69: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

63

Kemudian Allah beralih pada bagaian suami-isteri, dan menentukan bagaian

dan hak mereka ketika adanya kedua orang tua dan anak-anak yang mendapatkan

bagian waris setelah wasiat dan hutang ditunaikan persis sebagaimana kedua orang

tua mengambil bagian. Kemudian sisa harta dibagikan kepada anak-anak. Allah

menjelaskan bagian bagi kedua orang tua dan bagian salah satu dari suami-isteri

ketika anak-anak masih ada/ hidup dan ketika anak-anak tidak ada. Dalam hal ini,

kita memahami bahwa keberadaan kerabat yang dekat akan menghalangi kerabat

yang lebih jauh untuk menerima pembagian harta waris, baik jika mereka terdiri

dari satu orang atau lebih, baik laki-laki maupun perempuan. Kemudian Allah

beralih menjelaskan tata cara pembagian harta peninggalan seseorang yang pihak

bapaknya telah meninggal sebelumnya dan ia tidak memiliki anak. Kondisi inilah

yang mewarisi sebagai kalalah berdasarkan ungkapan Allah dalam ayat tersebut,

dan Allah menjelaskan bagian waris bagi saudara-saudara jika mereka ada.

Page 70: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

64

BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, teori batas Syahrur sangat relevan

untuk dijadikan dasar pembaharuan hukum kewarisan Islam di Indonesia yang

telah dirumuskan dalam KHI. Simpulan ini didasarkan atas beberapa alasan

sebagai berikut:

1. Syahrur menempatkan keadilan sebagai asas utama dalam aturan

pembagian waris. Basis pembagian harta waris ini tidak di dasarkan pada

individu ahli waris, tetapi pada kelompok jenis kelamin.

2. Adanya penetapan batas atas dan bawah yang memungkinkan bagi ahli

waris untuk menetapkan bagiannya sesuai dengan kondisi dan

kebutuhannya.

3. Dengan seperangkat metodologi yang digunakan, tawaran-tawaran

teoretik Syahrur mampu memecahkan problem radd dan ‘awl yang

hingga hari ini masih buntu.

Namun demikian, terdapat beberapa kelemahan yang penulis temukan dalam

menganalisis gagasan-gagasan Syahrur, yaitu:

1. Tidak ada standar baku yang dirumuskan Syahrur dalam menentukan

batas maksimum dan minimum. Ia hanya mengambil beberapa kata kunci

Page 71: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

65

secara acak yang kebetulan muncul dalam suatu ayat uantuk dijadikan

basis dari keberadaan batasan maksimum-minimumnya.

2. Syahrur belum dapat memecahkan posisi ahli waris non-muslim,

sementara dalam konteks kehidupan saat ini batas perbedaan agama

sudah tidak lagi menjadi persoalan yang berarti.

3. Syahrur juga belum dapat memecahkan poisis anak di luar nikah

berkaitan dengan hak waris dari jalur ayah kandungnya.

B. Rekomendasi dan Saran

Berdasarkan temuan di atas dan analisis yang telah dilakukan, penulis

merekomendasikan beberapa hal sebagai berikut:

1. Melihat maraknya kasus gugatan hak waris dan kondisi sosial masyarakat

yang telah sedemikian rupa berubah, sudah saatnya KHI, utamnaya

berkaitan dengan kewarisan, untuk direvisi. Hal ini mengingat bahwa

hukum yang harus mengikuti manusia, bukan manusia yang harus dipaksa

untuk mengikuti hukum.

2. Kerangka berpikir dan gagasan-gagasan Syahrur dapat dijadikan referensi

untuk melakukan pembaharuan materi hukum kewarisan yang ada dalam

KHI.

Hasil yang dicapai dalam penelitian ini memang sangat jauh dari

kesempurnaan, di samping karena kemampuan dan waktu peneliti, keterbatasan

Page 72: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

66

literatur dan batasan-batasan lain juga turut mewarnainya. Betapa tidak, tampak di

berbagai segi masih banyak persoalan yang perlu dikaji secara mendalam. Paling

tidak, hal tersebut menjadi peluang bagi para pengkaji selanjutnya untuk sama-

sama melengkapi kajian hukum interdisipliner.

Page 73: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

67

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Komplasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, 1992.

Abdurrahman, E., Perbandingan Mazhab-mazhab (Bandung: Sinar Baru, 1986.

Abidin, M. Zainal, “Gagasan Teori Batas Muhammad Syahrur dan Signifikansinya bagi Pengayaan Ilmu Ushul Fiqh”, dalam Al-Mawardi, Edisi XV, Tahun 2006.

Abubakar, Fatum, “Pembaruan Hukum Keluarga, Wasiat untuk Ahli Waris: Studi Komparatif Tunisia, Syiria, Mesir, dan Indonesia”, dalam Hunafa: Jurnal Studi Islamika, Vol. 8, No. 2, Desember 2011.

Ali, Mohammad Daud, “Asas-asas Hukum Kewarisan Islam dalam Kompilasi Hukum Islam”, Mimbar Hukum, No. 9 tahun IV 1993.

Arief, Muhammad, Hukum Kewarisan dalam Islam, Surabaya: Bina Ilmu, 1986.

B., Halimah, “Konsep Hudud pada Hak-hak Perempuan Menurut Muhammad Syahrur”, dalam Al-Risalah, Vol. 11, No. 2, Nopember 2011.

Budiono, A. Rachmad, Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1999.

Clark, Peter, “The Shahrur Phenomenon: A Liberal Islamic Voice from Syria”, dalam Islam and Christian Moslem Relation, Vol. 7 No. 3

Daruquthni, Abi Hasan al-, Sunan al-Daruquthni, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1966.

Djakfar, Idris dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Pustaka Jaya, 1995.

Halaq, Wael B., A History of Islamic Legal Theories, Inggris: Cambridge University Press, 1995.

Iffah, Ummu, “Konstruksi Historis Metodologis Pemikiran ‘The Theory of Limits’ Muhammad Shahrur” dalam Kontemplasi, Vol. 6, No. 2, Nopember 2009.

Jauziyyah, Muhammad bin Abi Bakr bin Qayyim al-, I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin, Kairo: Maktabah al-Kulliyah al-Azhariyyah, 1968.

Kurzman, Charles (ed.), Liberal Islam: A Sourcebook, New York: Oxford University Press, 1998.

Page 74: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

68

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2009.

Muhibbuddin, Moh, “Pembaharuan Hukum Waris Islam di Indonesia”, dalam http://wwwbadilag.net/data/ARTIKEL/Pembaharuan%20Hukum%20Waris%20Islam%20Di%20Indonesia%20Artikel%20Badilag%20versi%20biasa.pdf (Diakses pada tanggal 22 Maret 2013).

Pakistani, Zakariya al-, Ushul al-Fiqh ala Manhaj Ahl al-Hadis, Ttt: Dar al-Haraz, 2002.

Rafiq, Ahmad, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: Gama Media, 2001.

Rahardjo, Satjipto, “Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan”, dalam Jurnal Hukum Progresif, Vol. 1, No. 1, April 2005.

_______, “Konsep dan Karakteristik Hukum Progresif”, Makalah, dalam Seminar Nasional Hukum Progresif I, Diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Bekerjasama dengan Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro dan Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta di Semarang, 15 Desember 2007.

Rosmadi, Rekap Perkara yang Diterima dan Diputus Tk. Pertama Yuridiksi MSy.P/PTA Seluruh Indonesia Tahun 2011, dalam http://www.badilag.net/statistik-perkara/10119-informasi-keperkaraan-peradilan-agama-tahun-2011.html (Diakses pada tanggal 21 Maret 2013).

Sazili, Ahmad Fawaid, M. Shahrur: Figur Fenomental dalam http://www.Islam liberal.com (diakses pada 27 Nopember 2013).

Shiddieqy, T.M. Hasbi Ash-, Fiqhul Mawaris: Hukum-hukum Warisan dalam Syaria’at Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.

Soekamto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986.

Sugono, Dendy (red.), Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.

Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997.

Syah, M. Annul Abied dan Hakim Taufiq, Islam Garda Depan dan Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah, Bandung: Mizan, 2001.

Syahrur, Muhammad, Al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah, Damaskus: al-Ahali, 1992.

Page 75: E4JIfulJIVI - Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum ...law.uii.ac.id/old/images/Jurnal/Publikasi/rohidin/laporan... · hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan

69

______, Nahwa Ushul Jadidah li al-Fiqh al-Islami, Damaskus: al-Ahali, 2000.

Syarifuddin, Amir, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau, Jakarta: PT Gunung Agung, 1984.

Syawwaf, Muhami Munir Muhammad Tahir al-, Tahafut al-Qira'ah al-Mu’asirah, Limmasol Cyprus: al-Syawwa fi al-Nasyr, 1993.

Thufi, Najm al-Din Sulaiman bin ‘Abd al-Qawiy al-, Syarh al-Arba’in al-Nawawiyyah, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

Usman, Rachmadi, Hukum Kewarisan Islam dalam Dimensi Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Mandar Maju, 2009.

Utsaimain, Muhammad Shalih al-, Al-Qawa’id wa al-Ushul al-Jami’ah, Riyadh: Mu’assasah Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimain al-Khiriyyah, 1429 H.

Wahid, Abdurrahman, Tuhan tidak Perlu Dibela, Yogyakarta: LKiS, 1999.