Dyspepsia.pdf

38
MINI LECTURE DISPEPSIA Pembimbing : dr.Edhiwan Prasetya, Sp.PD Penyusun : Vicka Levia 0815073 Renny Anggraeni 0815155 William Wibowo 0815226 Firsandi P.F 0815176 Alvita Ratnasari 0815105 BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT IMMANUEL

Transcript of Dyspepsia.pdf

Page 1: Dyspepsia.pdf

MINI LECTURE

DISPEPSIA

Pembimbing : dr.Edhiwan Prasetya, Sp.PD

Penyusun :

Vicka Levia 0815073

Renny Anggraeni 0815155

William Wibowo 0815226

Firsandi P.F 0815176

Alvita Ratnasari 0815105

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

RUMAH SAKIT IMMANUEL

BANDUNG

2012

Page 2: Dyspepsia.pdf

BAB I

PENDAHULUAN

Dispepsia merupakan salah satu gangguan pada saluran pencernaan, khususnya

lambung. Dispepsia dapat berupa rasa nyeri atau tidak enak di perut bagian tengah

ke atas. Rasa nyeri tidak menentu, kadang menetap atau kambuh. Dispepsia

umumnya diderita oleh kaum produktif dan kebanyakan penyebabnya adalah pola

atau gaya hidup tidak sehat. Gejalanya pun bervariasi mulai dari nyeri ulu hati,

mual-muntah, rasa penuh di ulu hati, sebah, sendawa yang berlebihan bahkan bisa

menyebabkan diare dengan segala komplikasinya.1

Secara umum dispepsia terbagi menjadi dua jenis, yaitu dispepsia organik dan

dyspepsia non organik atau dispesia fungsional. Dispepsia dapat disebut dispepsia

organik apabila penyebabnya telah diketahui secara jelas. Dispepsia fungsional

atau dispepsia non-organik, merupakan dispepsia yang tidak ada kelainan organik

tetapi merupakan kelainan fungsi dari saluran makanan.2

Dispepsia merupakan salah satu masalah pencernaan yang paling umum

ditemukan. Dialami sekitar 20%-30% populasi di dunia setiap tahun.3 Data

Depkes tahun 2004 menempatkan dispepsia di urutan ke 15 dari daftar 50

penyakit dengan pasien rawat inap terbanyak di Indonesia dengan proporsi 1,3%.3

BAB II

2

Page 3: Dyspepsia.pdf

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi

Gaster terletak di dalam perut bagian atas mulai dari hypochondrium kiri

sampai epigastrium dan kadang-kadang mencapai regio umbilicalis. Dalam

keadaan kosong, mempunyai ukuran seperti colon dan bentuknya menyerupai

huruf ‘J’. Bentuk ini dapat berubah tergantung pada isi, posisi tubuh, dan

pernapasan. Posisi gaster juga tergantung pada bentuk tubuh seseorang. Pada

orang gemuk letaknya lebih tinggi dan transversal, sedangkan pada orang kurus

tinggi terletak lebih memanjang vertikal.

Gaster mempunyai dua buah lengkungan atau curvatura yaitu curvatura minor

yang membentuk batas kanan gaster dan curvatura major yang membentuk batas

kiri gaster. Selain itu, gaster mempunyai dua permukaan yaitu facies anterior dan

facies posterior serta dua pintu ostium cardiacum dan ostium pyloricum.

Fundus gastricus merupakan bagian gaster yang letaknya paling tinggi, di atas

dan di sebelah kiri dari ostium cardiacum. Cardia merupakan bagian yang kurang

tegas batasnya dan didapatkan segera setelah oesophagus masuk ke gaster. Corpus

gastricum adalah bagian antara fundus dan pylorus, mulai dari ostium cardiacum

sampai incisura angularis yaitu lekukan pada bagian bawah curvatiura minor. Pars

pylorica terdiri dari dua bagian yaitu antrum pyloricum dan canalis pyloricus yang

berakhir pada pylorus yaitu sphincter yang memisahkan gaster dan duodenum.

Musculus sphincter pyloricus tidak mempunyai struktur seperti sphincter yang

sebenarnya. Otot ini berkontraksi secara sinergis dengan peristaltik pylorus secara

keseluruhan. Sphincter ini mengontrol ukuran dan saat partikel makanan masuk

ke duodenum. Bila dibuat garis horizontal melalui ostium cardiacum, akan tampak

batas antara fundus gastricus dan corpus gastricum. Garis miring yang

menghubungkan incisura angularis ke curvatura major memisahkan corpus

gastricum dari pars pylorica. Garis yang ditarik dari sulcus intermedius (pada

3

Page 4: Dyspepsia.pdf

bagian bawah curvatura major) ke curvatura minor memisahkan antrum

pyloricum dari canalis pyloricus.

Gaster terbungkus oleh peritoneum kecuali sedikit pada daerah di belakang

ostium cardiacum. Curvatura minor dilekati oleh omentum minus, sedangkan

curvatura major yang lebih panjang dilekati omentum majus. Hubungan anterior :

dinding depan abdomen, arcus costarum kiri, pleura dan paru-paru kiri,

diaphragma, dan pars hepatis sinister hepatis. Hubungan posterior: bursa

omentalis, diaphragma, lien sebagian ren kiri, glandula suprarenalis kiri, arteria

lienalis pancreas, mesocolon transversum, dan colon transversum.

Mucosa gaster mempunyai glandula cardiaca, glandula gastrica, dan glandula

pylorica. Mucosanya tebal dan pada waktu kosong berlipat-lipat, terlihat sebagai

rugae yang umumnya berjalan horizontal sehingga disebut plicae gastricae. Pada

daerah curvatura minor antara cardia dan pylorus, lipatan mucosa terlihat

memanjang longitudinal membentuk canalis gastricus yang tidak berubah

meskipus gaster terisi penuh makanan. Bentuk rugae ini memungkin kan makanan

atau cairan dapat berjalan antara plica dengan cepatmenuju duodenum.

Jaringan submucosa terdiri dari jaringan ikat yang kuat sedangkan tunica

muscularis terdiri dari stratum longitudinale yang terletak di sebelah luar

sepanjang curvatura major. Stratum circulare pada lapisan tengan yang berjalan

melingkar dan di sekitar pylorus membentuk sphincter pyloricum yang kuat.

Stratum obliquum terdapat pada lapisan paling dalam yaitu sepanjang curvatura

minor dan kemudian membelok ke arah curvatura major. Tunica serosa pada

curvatura minor membentuk lapisan ganda dari omentum minus dan pada

curvatura major membentuk omentum majus.5

4

Page 5: Dyspepsia.pdf

Gambar 1. Anatomi Gaster

Arteri-arteri gaster berasal dari truncus coeliacus dan cabangnya:

1. Arteri gastrica sinistra berassal dari truncus coeliacus dan melintas dalam

omentum minus ke cardia, lalu membelok secara tajam untuk mengikuti

curvatura gastrica minor dan beranastomosis dengan arteri gastrica

dextra.

2. Arteri gastrica dextra dilepaskan dari arteria hepatica dan melintas ke kiri,

mengikuti curvatura gastrica major untuk mengadakan anastomosis

dengan arteria gastrica sinistra.

3. Arteria gastroepiploica dextra merupakan cabang arteria

gaastroduodenalis dan melintas ke kiri sepanjang curvatura gastrica

major, lalu mengadakan anastomosis dengan arteria gastroomentalis

(epiploica) sinistra.

5

Page 6: Dyspepsia.pdf

4. Arteria gastroomentalis (epiploica) sinistra berasal dari arteria splenica

(lienalis) dan beranastomosis dengan arteria gastroomentalis (epiploica)

dextra.

5. Arteria gastricae breves berasal dari ujung distal arteria splenica (lienalis)

dan menuju ke fundus.6

Vena-vena gaster mengikuti arteri-arteri yang sesuai dalam hal letak dan

lintasan. Vena gastrica dextra dan vena gastrica sinistra mencurahkan isinya ke

dalam vena portae hepatis, dan venaegastrica breves dan vena gastro-omentalis

(epiploica) membawa isinya ke dalam vena splenica(lienalis) yang bersatu dengan

vena mesenterica superior untuk membentuk vena portae hepatis. Vena gastro-

omentalis (epiploica) dextra bermuara dalam vena mesenterica superior.6

Gambar 2. Pembuluh darah Gaster

Pembuluh-pembuluh limfe gaster mengikuti arteri-arteri sepanjang curvatura

gastrica major curvatura gastrica minor. Pembuluh-pembuluh ini menyalurkan

limfe dari permukaan ventral dan permukaan dorsal gaster ke kedua curvatura

tersebut untuk dicurahkan ke dalam nodi limphoidei gastrici yang tersebar di

tempat tersebut. Pembuluh eferen dari kelenjar limfe ini mengikuti arteri besar ke

nodi limphoidei coeliaci.5,6

6

Page 7: Dyspepsia.pdf

Gambar 3. Drainase Limfatik Gaster.

Persarafan gaster parasimpatis berasal dari truncus vagalis anterior dan

truncus vagalis posterior serta cabangnya. Persarafan simpatis berasal dari

segmen medulla spinalis T6 sampai T9 melalui plexus coeliacus dan disebarkan

melalui gastro-omentalis (epiploica). Truncus vagal anterior dan posterior berasal

dari plexus oesophagus dan memasuki abdomen melalui hiatus oesophagus.

Cabang-cabang hiatus dari n. vagus anterior berjalan ke hepar. Cabang coeliaca

dari n. vagus posterior berjalan ke ganglion coeliaca dimana cabang ini kemudian

mempersarafi usus ke bagian bawah sampai colon transersum distal. N. vagus

membawa saraf motoris dan sekretoris ke lambung. Saraf sekretoris mempersarafi

bagian yang menyekresi asam lambung (korpus).5,6

2.2 Fisiologi

Dinding lambung tersusun menjadi empat lapisan, yakni mukosa, submukosa,

muscularis, dan serosa. Mukosa ialah lapisan dimana sel-sel mengeluarkan

berbagai jenis cairan, seperti enzim, asam lambung, dan hormon. Lapisan ini

berbentuk seperti palung untuk memperbesar perbandingan antara luas dan

volume sehingga memperbanyak volume getah lambung yang dapat dikeluarkan.

Submukosa ialah lapisan dimana pembuluh darah arteri dan vena dapat ditemukan

untuk menyalurkan nutrisi dan oksigen ke sel-sel perut sekaligus untuk membawa

7

Page 8: Dyspepsia.pdf

nutrisi yang diserap, urea, dan karbon dioksida dari sel-sel tersebut. Muscularis

adalah lapisan otot yang membantu perut dalam pencernaan mekanis. Lapisan ini

dibagi menjadi 3 lapisan otot, yakni otot melingkar, memanjang, dan menyerong.

Kontraksi dari ketiga macam lapisan otot tersebut mengakibatkan gerak peristaltik

(gerak menggelombang). Gerak peristaltik menyebabkan makanan di dalam

lambung diaduk-aduk. Lapisan terluar yaitu serosa berfungsi sebagai lapisan

pelindung perut. Sel-sel di lapisan ini mengeluarkan sejenis cairan untuk

mengurangi gaya gesekan yang terjadi antara perut dengan anggota tubuh lainnya.

Di lapisan mukosa terdapat 3 jenis sel yang berfungsi dalam pencernaan, yaitu

sel goblet (goblet cell), sel parietal (parietal cell), dan sel chief (chief cell). Sel

goblet berfungsi untuk memproduksi mucus atau lendir untuk menjaga lapisan

terluar sel agar tidak rusak karena enzim pepsin dan asam lambung. Sel parietal

berfungsi untuk memproduksi asam lambung (Hydrochloric acid) yang berguna

dalam pengaktifan enzim pepsin. Diperkirakan bahwa sel parietal memproduksi

1.5 mol dm-3 asam lambung yang membuat tingkat keasaman dalam lambung

mencapai pH 2 yang bersifat sangat asam. Sel chief berfungsi untuk memproduksi

pepsinogen, yaitu enzim pepsin dalam bentuk tidak aktif. Sel chief memproduksi

dalam bentuk tidak aktif agar enzim tersebut tidak mencerna protein yang dimiliki

oleh sel tersebut yang dapat menyebabkan kematian pada sel tersebut.

Di bagian dinding lambung sebelah dalam terdapat kelenjar-kelenjar yang

menghasilkan getah lambung. Aroma, bentuk, warna, dan selera terhadap

makanan secara refleks akan menimbulkan sekresi getah lambung. Getah lambung

mengandung asam lambung (HCI), pepsin, musin, dan renin. Asam lambung

berperan sebagai pembunuh mikroorganisme dan mengaktifkan enzim pepsinogen

menjadi pepsin. Pepsin merupakan enzim yang dapat mengubah protein menjadi

molekul yang lebih kecil. Musin merupakan mukosa protein yang melicinkan

makanan. Renin merupakan enzim khusus yang hanya terdapat pada mamalia,

berperan sebagai kaseinogen menjadi kasein. Kasein digumpalkan oleh Ca2+ dari

susu sehingga dapat dicerna oleh pepsin. Tanpa adanya renin susu yang berwujud

cair akan lewat begitu saja di dalam lambuing dan usus tanpa sempat dicerna.8

Page 9: Dyspepsia.pdf

Kerja enzim dan pelumatan oleh otot lambung mengubah makanan menjadi

lembut seperti bubur, disebut chime (kim) atau bubur makanan. Otot lambung

bagian pilorus mengatur pengeluaran kim sedikit demi sedikit dalam duodenum.

Caranya, otot pilorus yang mengarah ke lambung akan relaksasi (mengendur) jika

tersentuh kim yang bersifat asam. Sebaliknya, otot pilorus yang mengarah ke

duodenum akan berkontraksi (mengerut) jika tersentuh kim. Jadi, misalnya kim

yang bersifat asam tiba di pilorus depan, maka pilorus akan membuka, sehingga

makanan lewat. Oleh karena makanan asam mengenai pilorus belakang, pilorus

menutup. Makanan tersebut dicerna sehingga keasamannya menurun. Makanan

yang bersifat basa dibelakang pilorus akan merangsang pilorus untuk membuka.

Akibatnya, makanan yang asam dari lambung masuk ke duodenum. Demikian

seterusnya. Jadi, makanan melewati pilorus menuju duodenum segumpal demi

segumpal agar makanan tersebut dapat tercerna efektif setelah 2 samapi 5 jam,

lambung kosong kembali.

Pengaturan peristiwa ini terjadi baik melalui saraf maupun hormone. Impuls

parasimpatikus yang disampaikan melalui nervus vagus akan meningkatkan

motilitas, secara reflektoris melalui vagus juga akan terjadi pengosongan

lambung. Refleks pengosongan lambung ini akan dihambat oleh isi yang penuh,

kadar lemak yang tinggi dan reaksi asam pada awal duodenum. Keasaman ini

disebabkan oleh hormone saluran cerna terutama sekretin dan kholeistokinin-

pankreo-zimin, yang dibentuk dalam mukosa duodenum dan dibawa bersama

aliran darah ke lambung. Dengan demikian proses pengosongan lambung

merupakan proses umpan balik humoral.

Kelenjar di lambung tiap hari membentuk sekitar 2-3 liter getah lambung yang

merupakan larutan asam klorida yang hampir isotonis dengan pH antara 0,8-1,5,

yang mengandung pula enzim pencernaan, lender dan faktor intrinsic yang

dibutuhkan untuk absorpsi vitamin B12. Asam klorida menyebabkan denaturasi

protein makanan dan menyebabkan penguraian enzimatik lebih mudah. Asam

klorida juga menyediakan pH yang cocok bagi enzim lambung dan mengubah

pepsinogen yang tak aktif menjadi pepsin.9

Page 10: Dyspepsia.pdf

Asam klorida juga akan membunuh bakteri yang terbawa bersama makanan.

Pengaturan sekresi getah lambung sangat kompleks. Seperti pada pengaturan

motilitas lambung serta pengosongannya, disini pun terjadi pengaturan oleh saraf

maupun hormone. Berdasarkan saat terjadinya, maka sekresi getah lambung

dibagi atas fase sefalik, lambung (gastral) dan usus (intestinal).

Fase sekresi sefalik diatur sepenuhnya melalui saraf. Penginderaan

penciuman dan rasa akan menimbulkan impuls saraf eferen, yang disitem saraf

pusat akan merangsang serabut vagus. Stimulasi nervus vagus akan menyebabkan

dibebaskannya asetilkolin dari dinding lambung. Ini akan menyebabkan stimulus

langsung pada sel parietal dan sel epitel serta akan membebaskan gastrin dari sel

G antrum. Melalui aliran darh, gastrin akan samapai pada sel parietal dan akan

menstimulasinya sehingga sel itu membebaskan asam klorida. Pada sekresi asam

klorida ini, histamine juga ikut berperan. Histamin ini dibebaskan oleh mastosit

karena stimulasi vagus. Secara tak langsung dengan pembebasan histamine ini

gastrin dapat bekerja.

Fase lambung, Sekresi getah lambung disebabkan oleh makanan yang masuk

kedalam lambung. Relaksasi serta rangsang kimia seperti hasil urai protein, kofein

atau lakohol, akan menimbulkan refleks kolinergik local dan pembebasan gastrin.

Jika pH turun dibawah 3, pembebasan gastrin akan dihambat.

Pada fase usus mula-mula akan terjadi peningkatan dan kemudian akan

diikuti dengan penurunan sekresi getah lambung. Jika kim yang asam masuk ke

usus duabelas jari akan dibebaskan sekretin. Ini akan menekan sekresi asam

klorida dan merangsang pengeluaran pepsinogen. Hambatan sekresi getah

lambung lainnya dilakukan oleh kholesitokinin pankreozimin, terutama jika kim

yang banyak mengandung lemak sampai pada usus halus bagian atas.7

10

Page 11: Dyspepsia.pdf

2.3 Definisi

Dispepsia didefinisikan sebagai nyeri akut, kronis, atau berulang atau

ketidaknyamanan yang berpusat di abdomen bagian atas. Ketidaknyamanan disini

didefinisikan sebagai perasaan negatif subjektif yang tidak menyakitkan, dan

dapat menggabungkan berbagai gejala termasuk cepat kenyang atau rasa penuh

pada perut bagian atas. Pasien yang sering (lebih dari sekali dalam seminggu) rasa

panas atau regurgitasi asam harus dipertimbangkan untuk memiliki

gastroesophageal reflux disease (GERD) sampai terbukti sebaliknya.8

2.4 Epidemiologi

Dispepsia yang oleh orang awam sering disebut dengan “sakit maag”

merupakan keluhan yang sangat sering kita jumpai sehari hari. Sebagai contoh

dalam masyarakat di negara negara barat dispepsia dialami oleh sedikitnya 25%

populasi. Di negara negara Asia belum banyak data tentang dispepsia tetapi

diperkirakan dialami oleh sedikitnya 20% dalam populasi umum.3 Mengenai jenis

kelamin, ternyata baik lelaki maupun perempuan bisa terkena penyakit itu.

Penyakit itu tidak mengenal batas usia, muda maupun tua, sama saja. Di Indonesia

sendiri, survei yang dilakukan dr Ari F Syam dari FKUI pada tahun 2001

menghasilkan angka mendekati 50 persen dari 93 pasien yang diteliti. Tidak

hanya di Indonesia di luar negeri juga, banyak orang yang tidak peduli dengan

dispepsia itu. Mereka tahu bahwa ada perasaan tidak nyaman pada lambung

mereka, tetapi hal itu tidak membuat mereka merasa perlu untuk segera ke

dokter.3

Padahal menurut penelitian masih dari luar negeri-ditemukan bahwa dari

mereka yang memeriksakan diri ke dokter, hanya 1/3 yang tidak memiliki ulkus

pada lambungnya atau dispepsia non-ulkus. Angka di Indonesia sendiri, penyebab

dispepsi adalah 86 persen dispepsia fungsional, 13 persen ulkus dan 1 persen

disebabkan oleh kanker lambung.3 Pada dispepsia fungsional, umur penderita

dijadikan pertimbangan, oleh karena 45 tahun ke atas sering ditemukan kasus

keganasan, sedangkan dispepsia fungsional diatas 20 tahun. Begitu pula wanita

11

Page 12: Dyspepsia.pdf

lebih sering daripada laki-laki.3 Pada ulkus peptik perbandingan laki-laki dan

wanita 2 : 1. Insiden ulkus meningkat pada usia pertengahan.

2.5 Klasifikasi

Dispepsia organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik sebagai

penyebabnya. Penyebab dispepsia organik antara lain esofagitis, ulkus peptikum,

striktura esophagus jinak, keganasan saluran cerna bagian atas, iskemia usus

kronik, dan penyakit pankreatobilier.

Dispepsia non organik atau dispepsia fungsional, atau dispesia non ulkus, bila

tidak jelas penyebabnya. Dispepsi fungsional tanpa disertai kelainan atau

gangguan struktur organ berdasarkan pemeriksaan klinis, laboratorium, radiologi,

dan endoskopi setelah 3 bulan dengan gejala dispepsia.9

2 .6 Etiologi

Tabel 1. Etiologi dispepsia 10

Esofago – gastro – duodenal

Obat-obatan

Hepatobilier

Pankreas

Penyakit sistemik lain

Gangguan fungsional

Tukak peptik, gastritis kronis, gastritis NSAID, keganasan

Antiinflamasi non steroid, teofilin, digitalis, antibiotik

Hepatitis, Kolesistitis, Kolelitiasis, Keganasan, Disfungsi sfinkter Oddi

Pankreatitis, keganasan

Diabetes mellitus, penyakit tiroid, gagal ginjal, kehamilan, penyakit jantung koroner / iskemik

Dispepsia fungsional, irritable bowel syndrome

Tabel 2. Mekanisme terjadinya gejala dispepsia pada dispepsia fungsional 10

• Hipersensitivitas viseral

12

Page 13: Dyspepsia.pdf

o Meningkatnya persepsi distensi o Gangguan persepsi asam o Hipersensitivitas viseral sebagai konsekuensi inflamasi kronik • Gangguan motilitas o Hipomotilitas antral post prandial o Menurunnya relaksasi fundus gaster o Menurunnya atau gangguan pengosongan lambung o Refluks gastro-esofageal o Refluks duodeno-gaster • Perubahan sekresi asam o Hiperasiditas • Infeksi kuman Helicobacter pylori • Stress • Gangguan dan kelainan psikologis • Predisposisi genetik

Beberapa obat dapat juga menyebabkan keluhan dispepsia seperti terlihat pada tabel 3. Pada umumnya adalah OAINS (Obat Anti Inflamasi Non Steroid) yang dapat merusak mukosa sehingga menyebabkan gastritis.

Tabel 3. Obat-obatan yang dapat menyebabkan keluhan dispepsia 10

Acarbose Aspirin, Obat anti inflamasi non steroid Colchicine Digitalis Estrogen Gemfibrozil Glukokortikoid Preparat besi Levodopa Narkotik Niasin Nitrat Orlistat Potassium klorida Quinidine Sildenafil Teofilin

2.7 Patogenesis

13

Page 14: Dyspepsia.pdf

Patofisiologi dispepsia terutama dispepsia fungsional dapat terjadi karena

bermacam-macam penyebab dan mekanismenya. Penyebab dan mekanismenya

dapat terjadi sendiri atau kombinasinya. Pembagian dispepsia berdasarkan

gejalanya, seperti tercantum diatas, adalah untuk panduan manajemen awal

terutama untuk dispepsia yang tidak terinvestigasi. Patofisiologinya yang dapat

dibahas disini adalah :

1. Sekresi asam lambung dan keasaman duodenum

Hanya sedikit pasien dispepsia fungsional yang mempunyai hipersekresi

asam lambung dari ringan sampai sedang. Beberapa pasien menunjukkan

gangguan pengosongan asam dari duodenum dan meningkatnya

sensitivitas terhadap asam. Pasien yang lain menunjukkan buruknya

relaksasi fundus terhadap makanan. Tetapi paparan asam yang banyak di

duodenum tidak langsung berhubungan dengan gejala pada pasien dengan

dispepsia fungsional.

2. Infeksi Helicobacter pylori

Prevalensi dan tingkat keparahan gejala dispepsia serta hubungannya

dengan patofisiologi gastrik mungkin diperankan oleh H pylori. Walaupun

penelitian epidemiologis menyimpulkan bahwa belum ada alasan yang

meyakinkan terdapat hubungan antara infeksi H pylori dan dispepsia

fungsional. Tidak seperti pada ulkus peptikum, dimana H pylori

merupakan penyebab utamanya.

3. Perlambatan pengosongan lambung

25-40% pasien dispepsia fungsional mempunyai perlambatan waktu

pengosongan lambung yang signifikan. Walaupun beberapa penelitian

kecil gagal untuk menunjukkan hubungan antara perlambatan waktu

pengosongan lambung dengan gejala dispepsia. Sebaliknya penelitian

yang besar menunjukkan adanya perlambatan waktu pengosongan

lambung dengan perasaan perut penuh setelah makan, mual dan muntah.

4. Gangguan akomodasi lambung

14

Page 15: Dyspepsia.pdf

Gangguan lambung proksimal untuk relaksasi saat makanan memasuki

lambung ditemukan sebanyak 40% pada pasien fungsional dispepsia yang

akan menjadi transfer prematur makanan menuju lambung

distal.Gangguan dari akomodasi dan maldistribusi tersebut berkorelasi

dengan cepat kenyang dan penurunan berat badan.

5. Gangguan fase kontraktilitas saluran cerna

Gangguan fase kontraksi lambung proksimal terjadi setelah makan dan

dirasakan oleh pasien sebagai dispepsia fungsional. Hubungannya

memang belum jelas tetapi mungkin berkontribusi terhadap gejala pada

sekelompok kecil pasien.

6. Hipersensitivitas lambung

Hiperalgesia terhadap distensi lambung berkorelasi dengan nyeri abdomen

post prandial, bersendawa dan penurunan berat badan. Walaupun disfungsi

level neurologis yang terlibat dalam hipersensitivitas lambung masih

belum jelas.

7. Disritmia mioelektrikal dan dismotilitas antro-duodenal

Penelitian tentang manometrik menunjukkan bahwa hipomotilitas antrum

terdapat pada sebagian besar pasien dispepsia fungsional tetapi

hubungannya tidak terlalu kuat dengan gejala spesifiknya. Aktivitas

abnormal dari mioelektrikal lambung sangat umum ditemukan pada pasien

tersebut, meskipun berkorelasi dengan perlambatan pengosongan lambung

tetapi tidak berkorelasi dengan gejala dispepsianya.

8. Intoleransi lipid intra duodenal

Kebanyakan pasien dispepsia fungsional mengeluhkan intoleransi terhadap

makanan berlemak dan dapat didemonstrasikan hipersensitivitasnya

terhadap distensi lambung yang diinduksi oleh infus lemak ke dalam

duodenum. Gejalanya pada umumnya adalah mual dan perut kembung.

9. Aksis otak – saluran cerna

Komponen afferen dari sistem syaraf otonomik mengirimkan informasi

dari reseptor sistem syaraf saluran cerna ke otak via jalur vagus dan spinal.

Di dalam otak, informasi yang masuk diproses dan dimodifikasi oleh

15

Page 16: Dyspepsia.pdf

fungsi afektif dan kognitif. Kemudian otak mengembalikan informasi

tersebut via jalur parasimpatik dan simpatik yang akan memodulasi fungsi

akomodasi, sekresi, motilitas dan imunologis.

10. Faktor psikososial

a. Korelasi dengan stress

b. Korelasi dengan hidup

c. Korelasi dengan kelainan psikiatri dan tipe kepribadian

d. Korelasi dengan kebiasaan mencari pertolongan kesehatan

11. Dispepsia fungsional pasca infeksi

Hampir 25% pasien dispepsia fungsional melaporkan gejala akut yang

mengikuti infeksi gastrointestinal.11

2.8 Manifestasi Klinik

Karena bervariasi nya jenis keluhan dan kuantitas/kualitasnya pada setiap

pasien, maka disarankan untuk mengklasifikasi dispepsia fungsional menjadi

beberapa subgrup berdasarkan pada keluhan yang paling mencolok atau dominan.

Bila nyeri ulu hati yang dominan dan disertai nyeri pada malam hari

dikategorikan sebagai dispepsia fungsional tipe seperti ulkus (ulcer like

dyspepsia)

Bila kembung, mual, cepet kenyang merupakan keluhan yang paling

sering dikemukakan, dikategorikan sebagai dispepsia fungsional tipe

seperti dismotilitas (dismotility like dyspepsia)

Bila tidak ada keluhan yang bersifat dominan, dikategorikan sebagai

dispepsia non-spesifik.11

2.9 Dasar Diagnosis

16

Page 17: Dyspepsia.pdf

Untuk menegakkan diagnosis dispepsia, diperlukan anamnesis, pemeriksaan

fisik, pemeriksaan laboratorium sederhana dan pemeriksaan tambahan, seperti

pemeriksaan radiologis dan endoskopi. Pada anamnesis, ada tiga kelompok besar

pola dispepsia yang dikenal yaitu :

Dispepsia tipe seperti ulkus (gejalanya seperti terbakar, nyeri di

epigastrium terutama saat lapar/epigastric hunger pain yang reda dengan

pemberian makanan, antasida dan obat antisekresi asam)

Dispepsia tipe dismotilitas (dengan gejala yang menonjol yaitu mual,

kembung dan anoreksia)

Dispepsia non spesifik

Tidak semua pasien dispepsia dilakukan pemeriksaan endoskopi dan banyak

pasien yang dapat ditatalaksana dengan baik tanpa pengobatan sehingga diagnosis

secara klinis agak terbatas kecuali bila ada alarm sign, seperti terlihat pada tabel

4. Bila ada salah satu atau lebih pada tabel tersebut ada pada pasien, sebaiknya

dilakukan pemeriksaan endoskopi.10

Tabel 4. Gambaran alarm sign untuk dispepsia.10

Umur ≥ 45 tahun (onset baru)

Perdarahan dari rektal atau melena

Penurunan berat badan >10%

Anoreksia

Muntah yang persisten

Anemia atau perdarahan

Massa di abdomen atau limfadenopati

Disfagia yang progresif atau odinofagiaRiwayat keluarga keganasan saluran cerna bagian atas Riwayat keganasan atau operasi saluran cerna sebelumnya Riwayat ulkus peptikum

Kuning (Jaundice)

17

Page 18: Dyspepsia.pdf

DISPEPSIA FUNGSIONAL BERDASARKAN KRITERIA ROMA II DAN III

No Roma III Roma IIDispepsia FungsionalKriteria diagnosis*Harus termasuk didalamnya:Satu atau lebih gejala dibawah ini:

a. Rasa tidak nyaman setelah makan

b. Cepat merasa kenyangc. Nyeri epigastriumd. Rasa terbakar didaerah

epigastriumDanTidak ada bukti penyakit struktural (berdasarkan endoskopi) yang menyebabkan gejala-gejala tesebut diatas.*Kriteria terpenuhi selama 3 bulan dengan onset gejala sekurang-kurangnya 6 bulan setelah terdiagnosis

a. Sindroma distress postprandial

Kriteria diagnosis*Harus termasuk salah satu atau keduanya gejala dibawah ini

1. Rasa tidak nyaman setelah memakan makanan sehari-hari sekurang-kurangnya beberapa kali seminggu

2. Rasa cepat merasa kenyang setelah makan sehari-hari sekurang-kurangnya beberapa kali seminggu

* Kriteria terpenuhi selama 3 bulan dengan onset gejala sekurang-kurangnya 6 bulan setelah terdiagnosis Kritria supportif

1. Terasa kembung pada perut atas atau mual setelah makan atau sendawa yang berlebihan

2. Bersamaan dengan nyeri epigastrik

b. Sindroma Nyeri EpigastrikKriteria diagnosis*Harus termasuk didalamnya::Nyeri atau rasa terbakar terlokalisasi

Dispepsia FungsionalBerlangsung sekurang-kurangnya selama 12 minggu, dalam 12 bulan ditandai dengan:

Gejala yang menetap atau berulang (nyeri atau tidak nyaman yang berpusat di abdomen atas);

Tidak ada bukti penyakit organik (berdasarkan endoskopi)

Tidak ada bukti bahwa dyspepsia berkurang setelah defekasi atau perubahan pola dan bentuk defekasi

a. Dispepsia like-ulcerRasa nyeri terutama dirasakan pada abdomen atas

b. Dispepsia like-dysmotilityRasa tidak nyaman terutama dirasakan pada abdomen atas berupa rasa penuh, lekas kenyang, sebah dan mual

c. Dispepsia Unspecified (Nonspesific)Gejala yang ditunjukkan tidak memenuhi criteria like-ulcer atau like-dysmotility

18

Page 19: Dyspepsia.pdf

di epigastrium derajat sedang sekurang-kurangnya sekali seminggu

1. Nyeri bersifat intermitten2. Tidak menyebar ke region

abdomen lainnya atau ke region dada

3. Tidak berkurang setelah defekasi atau flatus

4. Tidak memenuhi criteria gangguan kandung empedu dan sfinter oddi

* Kriteria terpenuhi selama 3 bulan dengan onset gejala sekurang-kurangnya 6 bulan setelah terdiagnosis Kriteria supportif

1. Nyeri dapat terasa seperti terbakar tetapi tanpa nyeri retrosternal

2. Nyeri biasanya dipicu atau dihilangkan dengan makanan tetapi timbul saat puasa

3. Kadang-kadang bersamaan dengan sindroma post prandial.

2.10 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan untuk penanganan dispepsia terbagi beberapa bagian, yaitu:

1. Pemeriksaan laboratorium untuk mengidentifikasi adanya faktor infeksi

(leukositosis), pakreatitis (amylase, lipase), keganasan saluran cerna (CEA, CA

19-9, AFP). Biasanya meliputi hitung jenis sel darah yang lengkap dan

pemeriksaan darah dalam tinja, dan urine. Dari hasil pemeriksaan darah bila

ditemukan lekositosis berarti ada tanda-tanda infeksi. Pada pemeriksaan tinja,

jika tampak cair berlendir atau banyak mengandung lemak berarti

kemungkinan menderita malabsorpsi.Pada karsinoma saluran pencernaan perlu

diperiksa petanda tumor, misalnya dugaan karsinoma kolon perlu diperiksa

CEA, dugaan karsinoma pankreas perlu diperiksa CA 19-9.1

2. Barium enema untuk memeriksa esofagus, lambung atau usus halus dapat

dilakukan pada orang yang mengalami kesulitan menelan atau muntah,

penurunan berat badan atau mengalami nyeri yang membaik atau memburuk

bila penderita makan. Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi kelainan

19

Page 20: Dyspepsia.pdf

struktural dinding/mukosa saluran cerna bagian atas seperti adanya tukak atau

gambaran ke arah tumor.1,12,13

3. Endoskopi bisa digunakan untuk memeriksa esofagus, lambung atau usus

halus dan untuk mendapatkan contoh jaringan untuk biopsi dari lapisan

lambung.Contoh tersebut kemudian diperiksa dibawah mikroskop untuk

mengetahui apakah lambung terinfeksi oleh Helicobacter pylori. Pemeriksaan

ini sangat dianjurkan untuk dikerjakan bila dispepsia tersebut disertai oleh

keadaan yang disebut alarm symptoms, yaitu adanya penurunan berat badan,

anemia, muntah hebat dengan dugaan adanya obstruksi, muntah darah, melena,

atau keluhan sudah berlangsung lama, dan terjadi pada usia lebih dari 45tahun.1

Pemeriksaan yang dapat dilakukan dengan endoskopi adalah:

a. CLO (rapid urea test)

b. Patologi anatomi (PA)

c. Kultur mikroorgsanisme (MO) jaringan

d. PCR

4. Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan radiologi, yaitu OMD dengan

kontras ganda, serologi Helicobacter pylori, dan urea breath test.

2.11 Penatalaksanaan

Pengobatan dispepsia mengenal beberapa golongan obat, yaitu:

1. Antasid

Golongan obat ini mudah didapat dan murah. Antasid akan menetralisir sekresi

asam lambung. Antasi d biasanya mengandungi Na bikarbonat, Al(OH)3,

Mg(OH)2, dan Mg triksilat. Pemberian antasid jangan terus- menerus, sifatnya

hanya simtomatis, untuk mengurangi rasa nyeri. Mg triksilat dapat dipakai

dalam waktu lebih lama, juga berkhasiat sebagai adsorben sehingga bersifat

20

Page 21: Dyspepsia.pdf

nontoksik, namun dalam dosis besar akan menyebabkan diare karena terbentuk

senyawa MgCl2. Sering digunakan adalah gabungan Aluminium hidroksida dan

magnesium hidroksida.Aluminum hidroksida boleh menyebabkan konstipasi

dan penurunan fosfat; magnesium hidroksida bisa menyebabkan BAB encer.

Antacid yang sering digunakan adalah seperti Mylanta, Maalox, merupakan

kombinasi Aluminium hidroksida dan magnesium hidroksida. Magnesium

kontraindikasi kepada pasien gagal ginjal kronik karena bisa menyebabkan

hipermagnesemia, dan aluminium bisa menyebabkan kronik neurotoksik pada

pasien tersebut.13

2. Antikolinergik

Perlu diperhatikan, karena kerja obat ini tidak spesifik. Obat yang agak selektif

yaitu pirenzepin bekerja sebagai anti reseptor muskarinik yang dapat menekan

seksresi asam lambung sekitar 28-43%. Pirenzepin juga memiliki efek

sitoprotektif.14

3. Antagonis reseptor H2

Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia organik atau

esensial seperti tukak peptik. Obat yang termasuk golongan antagonis reseptor

H2 antara lain simetidin, roksatidin, ranitidin, dan famotidin.13,14

4. Penghambat pompa asam (proton pump inhibitor = PPI).

21

Page 22: Dyspepsia.pdf

Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir dari

proses sekresi asam lambung. Obat-obat yang termasuk golongan PPI adalah

omeperazol, lansoprazol, dan pantoprazol. Waktu paruh PPI adalah ~18jam.

5. Sitoprotektif

Prostoglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil (PGE2). Selain

bersifat sitoprotektif, juga menekan sekresi asam lambung oleh sel parietal.

Sukralfat berfungsi meningkatkan sekresi prostoglandin endogen, yang

selanjutnya memperbaiki mikrosirkulasi, meningkatkan produksi mukus dan

meningkatkan sekresi bikarbonat mukosa, serta membentuk lapisan protektif

(site protective), yang bersenyawa dengan protein sekitar lesi mukosa saluran

cerna bagian atas. Toksik daripada obat ini jarang, bisa menyebabkan

konstipasi (2–3%). Kontraindikasi pada pasien gagal ginjal kronik. Dosis

standard adalah 1 g per hari.13

6. Golongan prokinetik

Obat yang termasuk golongan ini, yaitu sisaprid, domperidon, dan

metoklopramid. Golongan ini cukup efektif untuk mengobati dispepsia

fungsional dan refluks esofagitis dengan mencegah refluks dan memperbaiki

bersihan asam lambung (acid clearance).14

7. Antibiotik untuk infeksi Helicobacter pylori

Eradikasi bakteri Helicobacter pylori membantu mengurangi simptom pada

sebagian pasien dan biasanya digunakan kombinasi antibiotik seperti

amoxicillin (Amoxil), clarithromycin (Biaxin), metronidazole (Flagyl) dan

tetracycline (Sumycin).10

22

Page 23: Dyspepsia.pdf

Kadang kala juga dibutuhkan psikoterapi dan psikofarmakoterapi (obat anti-

depresi dan cemas) pada pasien dengan dispepsia fungsional, karena tidak jarang

keluhan yang muncul berhubungan dengan faktor kejiwaan seperti cemas dan

depresi.10

Gambar 4. Algoritma Manajemen pada Pasien Dispepsia8

2.12 Pencegahan

1. Makan secara benar. Hindari makanan yang dapat mengiritasi terutama

makanan yang pedas, asam, gorengan atau berlemak.

23

Page 24: Dyspepsia.pdf

2. Hindari alkohol.

3 Jangan merokok.

4 Lakukan olah raga secara teratur.

5 Kendalikan stress.

6 Ganti obat penghilang nyeri.

2.13 Prognosis

Umumnya baik, tergantung pada beratnya penyakit dan penanganan

yang cepat. Prognosis pada kasus yang telah mengalami perforasi

umumnya buruk.

BAB III

KESIMPULAN

24

Page 25: Dyspepsia.pdf

Diagnosis dispepsia fungsional didasarkan pada keluhan/gejala/sindrom

dispepsia dimana pada pemeriksaan penunjang baku dapat disingkirkan penyebab

organik/biokimiawi, sehingga masuk dalam kelompok penyakit gastrointestinal

fungsional (berdasarkan kriteria Roma III). Dispepsia fungsional mempunyai

patofisiologi yang kompleks dan multifaktorial, dimana tampaknya berbasiskan

gangguan pada motilitas atau hipersensitivitas viseral. Modalitas pengobatannya

pun menjadi luas, berdasarkan kompleksitas patogenesisnya, serta lebih ke arah

hanya untuk menurunkan atau menghilangkan gejala. Pilihan pengobatan

berdasarkan pengelompokan gejala utama dapat dianjurkan, walaupun masih

dapat diperdebatkan manfaatnya.

Daftar Pustaka

25

Page 26: Dyspepsia.pdf

1. Djojoningrat D. Pendekatan klinis penyakit gastrointestinal. Sudoyo AW,

Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam. Edisi ke – 4. FKUI; 2007.h.285.

2. Jones MP. Evaluation and treatment of dyspepsia. Post Graduate Medical

Journal 2003;79:25-29.

3. Karakteristik Penderita Dispepsia Rawat Inap Di RS Martha Friska Medan

Tahun 2007. Edisi 2010. Diunduh dari,

http://library.usu.ac.id/index.php/index.php?option=com_journal_review&id.

4. Wibowo S. Daniel, Paryana Widjaya. 2009. Anatomi Tubuh Manusia.

Yogyakarta: Graha Ilmu. hal.

5. Snell, R.S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 6. Jakarta.

EGC. 2006.

6. Moore, K.L dan Agur, A.M.R. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta. Hipokrates.

2002.

7. Guyton A.C., Hall J.E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta. EGC.

2007.

8. Talley J. Nicholas, Vakil Nimish. 2005. Guidelines for the Management of

Dyspepsia. American Journal of Gastrienterology. 2324-2333

9. Talley N, Vakil NB, Moayyedi P. American Gastroenterological Association

technical review: evaluation of dyspepsia. Gastroenterology 2005;129:1754

10. Mc.Phee J. Stephen, Papadakis A. Maxine. 2010. Current Medical

Diagnosis & Treatment. Mc.Graw Hill; 502:504

11. Djojoningrat Dharmika. 2007. Mekanisme. Dispepsia Fungsional.Jakarta:

Pusat Informasi dan Penerbit Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. hal. 352-354

12. Tack J, Nicholas J, Talley, Camilleri M, Holtmann G, Hu P, et al.

Functional Gastroduadenal. Gastroenterology 2006;130:1466-1479.

13. Fauci AS, Braunwald, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson LJ et

al. Peptic ulcer disease. Harrison’s Principle of Internal Medicine. 17th.Mc

Graw-Hills; 2008.p.287.

26

Page 27: Dyspepsia.pdf

14. Greenburger NJ. Dyspepsia. The Merck Manuals Online Medical Library.

2008 March. Available from:

http://www.merck.com/mmpe/sec02/ch007/ch007c.html.

27