Dyspepsia.pdf
-
Upload
renny-anggraeni -
Category
Documents
-
view
284 -
download
4
Transcript of Dyspepsia.pdf
MINI LECTURE
DISPEPSIA
Pembimbing : dr.Edhiwan Prasetya, Sp.PD
Penyusun :
Vicka Levia 0815073
Renny Anggraeni 0815155
William Wibowo 0815226
Firsandi P.F 0815176
Alvita Ratnasari 0815105
BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT IMMANUEL
BANDUNG
2012
BAB I
PENDAHULUAN
Dispepsia merupakan salah satu gangguan pada saluran pencernaan, khususnya
lambung. Dispepsia dapat berupa rasa nyeri atau tidak enak di perut bagian tengah
ke atas. Rasa nyeri tidak menentu, kadang menetap atau kambuh. Dispepsia
umumnya diderita oleh kaum produktif dan kebanyakan penyebabnya adalah pola
atau gaya hidup tidak sehat. Gejalanya pun bervariasi mulai dari nyeri ulu hati,
mual-muntah, rasa penuh di ulu hati, sebah, sendawa yang berlebihan bahkan bisa
menyebabkan diare dengan segala komplikasinya.1
Secara umum dispepsia terbagi menjadi dua jenis, yaitu dispepsia organik dan
dyspepsia non organik atau dispesia fungsional. Dispepsia dapat disebut dispepsia
organik apabila penyebabnya telah diketahui secara jelas. Dispepsia fungsional
atau dispepsia non-organik, merupakan dispepsia yang tidak ada kelainan organik
tetapi merupakan kelainan fungsi dari saluran makanan.2
Dispepsia merupakan salah satu masalah pencernaan yang paling umum
ditemukan. Dialami sekitar 20%-30% populasi di dunia setiap tahun.3 Data
Depkes tahun 2004 menempatkan dispepsia di urutan ke 15 dari daftar 50
penyakit dengan pasien rawat inap terbanyak di Indonesia dengan proporsi 1,3%.3
BAB II
2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
Gaster terletak di dalam perut bagian atas mulai dari hypochondrium kiri
sampai epigastrium dan kadang-kadang mencapai regio umbilicalis. Dalam
keadaan kosong, mempunyai ukuran seperti colon dan bentuknya menyerupai
huruf ‘J’. Bentuk ini dapat berubah tergantung pada isi, posisi tubuh, dan
pernapasan. Posisi gaster juga tergantung pada bentuk tubuh seseorang. Pada
orang gemuk letaknya lebih tinggi dan transversal, sedangkan pada orang kurus
tinggi terletak lebih memanjang vertikal.
Gaster mempunyai dua buah lengkungan atau curvatura yaitu curvatura minor
yang membentuk batas kanan gaster dan curvatura major yang membentuk batas
kiri gaster. Selain itu, gaster mempunyai dua permukaan yaitu facies anterior dan
facies posterior serta dua pintu ostium cardiacum dan ostium pyloricum.
Fundus gastricus merupakan bagian gaster yang letaknya paling tinggi, di atas
dan di sebelah kiri dari ostium cardiacum. Cardia merupakan bagian yang kurang
tegas batasnya dan didapatkan segera setelah oesophagus masuk ke gaster. Corpus
gastricum adalah bagian antara fundus dan pylorus, mulai dari ostium cardiacum
sampai incisura angularis yaitu lekukan pada bagian bawah curvatiura minor. Pars
pylorica terdiri dari dua bagian yaitu antrum pyloricum dan canalis pyloricus yang
berakhir pada pylorus yaitu sphincter yang memisahkan gaster dan duodenum.
Musculus sphincter pyloricus tidak mempunyai struktur seperti sphincter yang
sebenarnya. Otot ini berkontraksi secara sinergis dengan peristaltik pylorus secara
keseluruhan. Sphincter ini mengontrol ukuran dan saat partikel makanan masuk
ke duodenum. Bila dibuat garis horizontal melalui ostium cardiacum, akan tampak
batas antara fundus gastricus dan corpus gastricum. Garis miring yang
menghubungkan incisura angularis ke curvatura major memisahkan corpus
gastricum dari pars pylorica. Garis yang ditarik dari sulcus intermedius (pada
3
bagian bawah curvatura major) ke curvatura minor memisahkan antrum
pyloricum dari canalis pyloricus.
Gaster terbungkus oleh peritoneum kecuali sedikit pada daerah di belakang
ostium cardiacum. Curvatura minor dilekati oleh omentum minus, sedangkan
curvatura major yang lebih panjang dilekati omentum majus. Hubungan anterior :
dinding depan abdomen, arcus costarum kiri, pleura dan paru-paru kiri,
diaphragma, dan pars hepatis sinister hepatis. Hubungan posterior: bursa
omentalis, diaphragma, lien sebagian ren kiri, glandula suprarenalis kiri, arteria
lienalis pancreas, mesocolon transversum, dan colon transversum.
Mucosa gaster mempunyai glandula cardiaca, glandula gastrica, dan glandula
pylorica. Mucosanya tebal dan pada waktu kosong berlipat-lipat, terlihat sebagai
rugae yang umumnya berjalan horizontal sehingga disebut plicae gastricae. Pada
daerah curvatura minor antara cardia dan pylorus, lipatan mucosa terlihat
memanjang longitudinal membentuk canalis gastricus yang tidak berubah
meskipus gaster terisi penuh makanan. Bentuk rugae ini memungkin kan makanan
atau cairan dapat berjalan antara plica dengan cepatmenuju duodenum.
Jaringan submucosa terdiri dari jaringan ikat yang kuat sedangkan tunica
muscularis terdiri dari stratum longitudinale yang terletak di sebelah luar
sepanjang curvatura major. Stratum circulare pada lapisan tengan yang berjalan
melingkar dan di sekitar pylorus membentuk sphincter pyloricum yang kuat.
Stratum obliquum terdapat pada lapisan paling dalam yaitu sepanjang curvatura
minor dan kemudian membelok ke arah curvatura major. Tunica serosa pada
curvatura minor membentuk lapisan ganda dari omentum minus dan pada
curvatura major membentuk omentum majus.5
4
Gambar 1. Anatomi Gaster
Arteri-arteri gaster berasal dari truncus coeliacus dan cabangnya:
1. Arteri gastrica sinistra berassal dari truncus coeliacus dan melintas dalam
omentum minus ke cardia, lalu membelok secara tajam untuk mengikuti
curvatura gastrica minor dan beranastomosis dengan arteri gastrica
dextra.
2. Arteri gastrica dextra dilepaskan dari arteria hepatica dan melintas ke kiri,
mengikuti curvatura gastrica major untuk mengadakan anastomosis
dengan arteria gastrica sinistra.
3. Arteria gastroepiploica dextra merupakan cabang arteria
gaastroduodenalis dan melintas ke kiri sepanjang curvatura gastrica
major, lalu mengadakan anastomosis dengan arteria gastroomentalis
(epiploica) sinistra.
5
4. Arteria gastroomentalis (epiploica) sinistra berasal dari arteria splenica
(lienalis) dan beranastomosis dengan arteria gastroomentalis (epiploica)
dextra.
5. Arteria gastricae breves berasal dari ujung distal arteria splenica (lienalis)
dan menuju ke fundus.6
Vena-vena gaster mengikuti arteri-arteri yang sesuai dalam hal letak dan
lintasan. Vena gastrica dextra dan vena gastrica sinistra mencurahkan isinya ke
dalam vena portae hepatis, dan venaegastrica breves dan vena gastro-omentalis
(epiploica) membawa isinya ke dalam vena splenica(lienalis) yang bersatu dengan
vena mesenterica superior untuk membentuk vena portae hepatis. Vena gastro-
omentalis (epiploica) dextra bermuara dalam vena mesenterica superior.6
Gambar 2. Pembuluh darah Gaster
Pembuluh-pembuluh limfe gaster mengikuti arteri-arteri sepanjang curvatura
gastrica major curvatura gastrica minor. Pembuluh-pembuluh ini menyalurkan
limfe dari permukaan ventral dan permukaan dorsal gaster ke kedua curvatura
tersebut untuk dicurahkan ke dalam nodi limphoidei gastrici yang tersebar di
tempat tersebut. Pembuluh eferen dari kelenjar limfe ini mengikuti arteri besar ke
nodi limphoidei coeliaci.5,6
6
Gambar 3. Drainase Limfatik Gaster.
Persarafan gaster parasimpatis berasal dari truncus vagalis anterior dan
truncus vagalis posterior serta cabangnya. Persarafan simpatis berasal dari
segmen medulla spinalis T6 sampai T9 melalui plexus coeliacus dan disebarkan
melalui gastro-omentalis (epiploica). Truncus vagal anterior dan posterior berasal
dari plexus oesophagus dan memasuki abdomen melalui hiatus oesophagus.
Cabang-cabang hiatus dari n. vagus anterior berjalan ke hepar. Cabang coeliaca
dari n. vagus posterior berjalan ke ganglion coeliaca dimana cabang ini kemudian
mempersarafi usus ke bagian bawah sampai colon transersum distal. N. vagus
membawa saraf motoris dan sekretoris ke lambung. Saraf sekretoris mempersarafi
bagian yang menyekresi asam lambung (korpus).5,6
2.2 Fisiologi
Dinding lambung tersusun menjadi empat lapisan, yakni mukosa, submukosa,
muscularis, dan serosa. Mukosa ialah lapisan dimana sel-sel mengeluarkan
berbagai jenis cairan, seperti enzim, asam lambung, dan hormon. Lapisan ini
berbentuk seperti palung untuk memperbesar perbandingan antara luas dan
volume sehingga memperbanyak volume getah lambung yang dapat dikeluarkan.
Submukosa ialah lapisan dimana pembuluh darah arteri dan vena dapat ditemukan
untuk menyalurkan nutrisi dan oksigen ke sel-sel perut sekaligus untuk membawa
7
nutrisi yang diserap, urea, dan karbon dioksida dari sel-sel tersebut. Muscularis
adalah lapisan otot yang membantu perut dalam pencernaan mekanis. Lapisan ini
dibagi menjadi 3 lapisan otot, yakni otot melingkar, memanjang, dan menyerong.
Kontraksi dari ketiga macam lapisan otot tersebut mengakibatkan gerak peristaltik
(gerak menggelombang). Gerak peristaltik menyebabkan makanan di dalam
lambung diaduk-aduk. Lapisan terluar yaitu serosa berfungsi sebagai lapisan
pelindung perut. Sel-sel di lapisan ini mengeluarkan sejenis cairan untuk
mengurangi gaya gesekan yang terjadi antara perut dengan anggota tubuh lainnya.
Di lapisan mukosa terdapat 3 jenis sel yang berfungsi dalam pencernaan, yaitu
sel goblet (goblet cell), sel parietal (parietal cell), dan sel chief (chief cell). Sel
goblet berfungsi untuk memproduksi mucus atau lendir untuk menjaga lapisan
terluar sel agar tidak rusak karena enzim pepsin dan asam lambung. Sel parietal
berfungsi untuk memproduksi asam lambung (Hydrochloric acid) yang berguna
dalam pengaktifan enzim pepsin. Diperkirakan bahwa sel parietal memproduksi
1.5 mol dm-3 asam lambung yang membuat tingkat keasaman dalam lambung
mencapai pH 2 yang bersifat sangat asam. Sel chief berfungsi untuk memproduksi
pepsinogen, yaitu enzim pepsin dalam bentuk tidak aktif. Sel chief memproduksi
dalam bentuk tidak aktif agar enzim tersebut tidak mencerna protein yang dimiliki
oleh sel tersebut yang dapat menyebabkan kematian pada sel tersebut.
Di bagian dinding lambung sebelah dalam terdapat kelenjar-kelenjar yang
menghasilkan getah lambung. Aroma, bentuk, warna, dan selera terhadap
makanan secara refleks akan menimbulkan sekresi getah lambung. Getah lambung
mengandung asam lambung (HCI), pepsin, musin, dan renin. Asam lambung
berperan sebagai pembunuh mikroorganisme dan mengaktifkan enzim pepsinogen
menjadi pepsin. Pepsin merupakan enzim yang dapat mengubah protein menjadi
molekul yang lebih kecil. Musin merupakan mukosa protein yang melicinkan
makanan. Renin merupakan enzim khusus yang hanya terdapat pada mamalia,
berperan sebagai kaseinogen menjadi kasein. Kasein digumpalkan oleh Ca2+ dari
susu sehingga dapat dicerna oleh pepsin. Tanpa adanya renin susu yang berwujud
cair akan lewat begitu saja di dalam lambuing dan usus tanpa sempat dicerna.8
Kerja enzim dan pelumatan oleh otot lambung mengubah makanan menjadi
lembut seperti bubur, disebut chime (kim) atau bubur makanan. Otot lambung
bagian pilorus mengatur pengeluaran kim sedikit demi sedikit dalam duodenum.
Caranya, otot pilorus yang mengarah ke lambung akan relaksasi (mengendur) jika
tersentuh kim yang bersifat asam. Sebaliknya, otot pilorus yang mengarah ke
duodenum akan berkontraksi (mengerut) jika tersentuh kim. Jadi, misalnya kim
yang bersifat asam tiba di pilorus depan, maka pilorus akan membuka, sehingga
makanan lewat. Oleh karena makanan asam mengenai pilorus belakang, pilorus
menutup. Makanan tersebut dicerna sehingga keasamannya menurun. Makanan
yang bersifat basa dibelakang pilorus akan merangsang pilorus untuk membuka.
Akibatnya, makanan yang asam dari lambung masuk ke duodenum. Demikian
seterusnya. Jadi, makanan melewati pilorus menuju duodenum segumpal demi
segumpal agar makanan tersebut dapat tercerna efektif setelah 2 samapi 5 jam,
lambung kosong kembali.
Pengaturan peristiwa ini terjadi baik melalui saraf maupun hormone. Impuls
parasimpatikus yang disampaikan melalui nervus vagus akan meningkatkan
motilitas, secara reflektoris melalui vagus juga akan terjadi pengosongan
lambung. Refleks pengosongan lambung ini akan dihambat oleh isi yang penuh,
kadar lemak yang tinggi dan reaksi asam pada awal duodenum. Keasaman ini
disebabkan oleh hormone saluran cerna terutama sekretin dan kholeistokinin-
pankreo-zimin, yang dibentuk dalam mukosa duodenum dan dibawa bersama
aliran darah ke lambung. Dengan demikian proses pengosongan lambung
merupakan proses umpan balik humoral.
Kelenjar di lambung tiap hari membentuk sekitar 2-3 liter getah lambung yang
merupakan larutan asam klorida yang hampir isotonis dengan pH antara 0,8-1,5,
yang mengandung pula enzim pencernaan, lender dan faktor intrinsic yang
dibutuhkan untuk absorpsi vitamin B12. Asam klorida menyebabkan denaturasi
protein makanan dan menyebabkan penguraian enzimatik lebih mudah. Asam
klorida juga menyediakan pH yang cocok bagi enzim lambung dan mengubah
pepsinogen yang tak aktif menjadi pepsin.9
Asam klorida juga akan membunuh bakteri yang terbawa bersama makanan.
Pengaturan sekresi getah lambung sangat kompleks. Seperti pada pengaturan
motilitas lambung serta pengosongannya, disini pun terjadi pengaturan oleh saraf
maupun hormone. Berdasarkan saat terjadinya, maka sekresi getah lambung
dibagi atas fase sefalik, lambung (gastral) dan usus (intestinal).
Fase sekresi sefalik diatur sepenuhnya melalui saraf. Penginderaan
penciuman dan rasa akan menimbulkan impuls saraf eferen, yang disitem saraf
pusat akan merangsang serabut vagus. Stimulasi nervus vagus akan menyebabkan
dibebaskannya asetilkolin dari dinding lambung. Ini akan menyebabkan stimulus
langsung pada sel parietal dan sel epitel serta akan membebaskan gastrin dari sel
G antrum. Melalui aliran darh, gastrin akan samapai pada sel parietal dan akan
menstimulasinya sehingga sel itu membebaskan asam klorida. Pada sekresi asam
klorida ini, histamine juga ikut berperan. Histamin ini dibebaskan oleh mastosit
karena stimulasi vagus. Secara tak langsung dengan pembebasan histamine ini
gastrin dapat bekerja.
Fase lambung, Sekresi getah lambung disebabkan oleh makanan yang masuk
kedalam lambung. Relaksasi serta rangsang kimia seperti hasil urai protein, kofein
atau lakohol, akan menimbulkan refleks kolinergik local dan pembebasan gastrin.
Jika pH turun dibawah 3, pembebasan gastrin akan dihambat.
Pada fase usus mula-mula akan terjadi peningkatan dan kemudian akan
diikuti dengan penurunan sekresi getah lambung. Jika kim yang asam masuk ke
usus duabelas jari akan dibebaskan sekretin. Ini akan menekan sekresi asam
klorida dan merangsang pengeluaran pepsinogen. Hambatan sekresi getah
lambung lainnya dilakukan oleh kholesitokinin pankreozimin, terutama jika kim
yang banyak mengandung lemak sampai pada usus halus bagian atas.7
10
2.3 Definisi
Dispepsia didefinisikan sebagai nyeri akut, kronis, atau berulang atau
ketidaknyamanan yang berpusat di abdomen bagian atas. Ketidaknyamanan disini
didefinisikan sebagai perasaan negatif subjektif yang tidak menyakitkan, dan
dapat menggabungkan berbagai gejala termasuk cepat kenyang atau rasa penuh
pada perut bagian atas. Pasien yang sering (lebih dari sekali dalam seminggu) rasa
panas atau regurgitasi asam harus dipertimbangkan untuk memiliki
gastroesophageal reflux disease (GERD) sampai terbukti sebaliknya.8
2.4 Epidemiologi
Dispepsia yang oleh orang awam sering disebut dengan “sakit maag”
merupakan keluhan yang sangat sering kita jumpai sehari hari. Sebagai contoh
dalam masyarakat di negara negara barat dispepsia dialami oleh sedikitnya 25%
populasi. Di negara negara Asia belum banyak data tentang dispepsia tetapi
diperkirakan dialami oleh sedikitnya 20% dalam populasi umum.3 Mengenai jenis
kelamin, ternyata baik lelaki maupun perempuan bisa terkena penyakit itu.
Penyakit itu tidak mengenal batas usia, muda maupun tua, sama saja. Di Indonesia
sendiri, survei yang dilakukan dr Ari F Syam dari FKUI pada tahun 2001
menghasilkan angka mendekati 50 persen dari 93 pasien yang diteliti. Tidak
hanya di Indonesia di luar negeri juga, banyak orang yang tidak peduli dengan
dispepsia itu. Mereka tahu bahwa ada perasaan tidak nyaman pada lambung
mereka, tetapi hal itu tidak membuat mereka merasa perlu untuk segera ke
dokter.3
Padahal menurut penelitian masih dari luar negeri-ditemukan bahwa dari
mereka yang memeriksakan diri ke dokter, hanya 1/3 yang tidak memiliki ulkus
pada lambungnya atau dispepsia non-ulkus. Angka di Indonesia sendiri, penyebab
dispepsi adalah 86 persen dispepsia fungsional, 13 persen ulkus dan 1 persen
disebabkan oleh kanker lambung.3 Pada dispepsia fungsional, umur penderita
dijadikan pertimbangan, oleh karena 45 tahun ke atas sering ditemukan kasus
keganasan, sedangkan dispepsia fungsional diatas 20 tahun. Begitu pula wanita
11
lebih sering daripada laki-laki.3 Pada ulkus peptik perbandingan laki-laki dan
wanita 2 : 1. Insiden ulkus meningkat pada usia pertengahan.
2.5 Klasifikasi
Dispepsia organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik sebagai
penyebabnya. Penyebab dispepsia organik antara lain esofagitis, ulkus peptikum,
striktura esophagus jinak, keganasan saluran cerna bagian atas, iskemia usus
kronik, dan penyakit pankreatobilier.
Dispepsia non organik atau dispepsia fungsional, atau dispesia non ulkus, bila
tidak jelas penyebabnya. Dispepsi fungsional tanpa disertai kelainan atau
gangguan struktur organ berdasarkan pemeriksaan klinis, laboratorium, radiologi,
dan endoskopi setelah 3 bulan dengan gejala dispepsia.9
2 .6 Etiologi
Tabel 1. Etiologi dispepsia 10
Esofago – gastro – duodenal
Obat-obatan
Hepatobilier
Pankreas
Penyakit sistemik lain
Gangguan fungsional
Tukak peptik, gastritis kronis, gastritis NSAID, keganasan
Antiinflamasi non steroid, teofilin, digitalis, antibiotik
Hepatitis, Kolesistitis, Kolelitiasis, Keganasan, Disfungsi sfinkter Oddi
Pankreatitis, keganasan
Diabetes mellitus, penyakit tiroid, gagal ginjal, kehamilan, penyakit jantung koroner / iskemik
Dispepsia fungsional, irritable bowel syndrome
Tabel 2. Mekanisme terjadinya gejala dispepsia pada dispepsia fungsional 10
• Hipersensitivitas viseral
12
o Meningkatnya persepsi distensi o Gangguan persepsi asam o Hipersensitivitas viseral sebagai konsekuensi inflamasi kronik • Gangguan motilitas o Hipomotilitas antral post prandial o Menurunnya relaksasi fundus gaster o Menurunnya atau gangguan pengosongan lambung o Refluks gastro-esofageal o Refluks duodeno-gaster • Perubahan sekresi asam o Hiperasiditas • Infeksi kuman Helicobacter pylori • Stress • Gangguan dan kelainan psikologis • Predisposisi genetik
Beberapa obat dapat juga menyebabkan keluhan dispepsia seperti terlihat pada tabel 3. Pada umumnya adalah OAINS (Obat Anti Inflamasi Non Steroid) yang dapat merusak mukosa sehingga menyebabkan gastritis.
Tabel 3. Obat-obatan yang dapat menyebabkan keluhan dispepsia 10
Acarbose Aspirin, Obat anti inflamasi non steroid Colchicine Digitalis Estrogen Gemfibrozil Glukokortikoid Preparat besi Levodopa Narkotik Niasin Nitrat Orlistat Potassium klorida Quinidine Sildenafil Teofilin
2.7 Patogenesis
13
Patofisiologi dispepsia terutama dispepsia fungsional dapat terjadi karena
bermacam-macam penyebab dan mekanismenya. Penyebab dan mekanismenya
dapat terjadi sendiri atau kombinasinya. Pembagian dispepsia berdasarkan
gejalanya, seperti tercantum diatas, adalah untuk panduan manajemen awal
terutama untuk dispepsia yang tidak terinvestigasi. Patofisiologinya yang dapat
dibahas disini adalah :
1. Sekresi asam lambung dan keasaman duodenum
Hanya sedikit pasien dispepsia fungsional yang mempunyai hipersekresi
asam lambung dari ringan sampai sedang. Beberapa pasien menunjukkan
gangguan pengosongan asam dari duodenum dan meningkatnya
sensitivitas terhadap asam. Pasien yang lain menunjukkan buruknya
relaksasi fundus terhadap makanan. Tetapi paparan asam yang banyak di
duodenum tidak langsung berhubungan dengan gejala pada pasien dengan
dispepsia fungsional.
2. Infeksi Helicobacter pylori
Prevalensi dan tingkat keparahan gejala dispepsia serta hubungannya
dengan patofisiologi gastrik mungkin diperankan oleh H pylori. Walaupun
penelitian epidemiologis menyimpulkan bahwa belum ada alasan yang
meyakinkan terdapat hubungan antara infeksi H pylori dan dispepsia
fungsional. Tidak seperti pada ulkus peptikum, dimana H pylori
merupakan penyebab utamanya.
3. Perlambatan pengosongan lambung
25-40% pasien dispepsia fungsional mempunyai perlambatan waktu
pengosongan lambung yang signifikan. Walaupun beberapa penelitian
kecil gagal untuk menunjukkan hubungan antara perlambatan waktu
pengosongan lambung dengan gejala dispepsia. Sebaliknya penelitian
yang besar menunjukkan adanya perlambatan waktu pengosongan
lambung dengan perasaan perut penuh setelah makan, mual dan muntah.
4. Gangguan akomodasi lambung
14
Gangguan lambung proksimal untuk relaksasi saat makanan memasuki
lambung ditemukan sebanyak 40% pada pasien fungsional dispepsia yang
akan menjadi transfer prematur makanan menuju lambung
distal.Gangguan dari akomodasi dan maldistribusi tersebut berkorelasi
dengan cepat kenyang dan penurunan berat badan.
5. Gangguan fase kontraktilitas saluran cerna
Gangguan fase kontraksi lambung proksimal terjadi setelah makan dan
dirasakan oleh pasien sebagai dispepsia fungsional. Hubungannya
memang belum jelas tetapi mungkin berkontribusi terhadap gejala pada
sekelompok kecil pasien.
6. Hipersensitivitas lambung
Hiperalgesia terhadap distensi lambung berkorelasi dengan nyeri abdomen
post prandial, bersendawa dan penurunan berat badan. Walaupun disfungsi
level neurologis yang terlibat dalam hipersensitivitas lambung masih
belum jelas.
7. Disritmia mioelektrikal dan dismotilitas antro-duodenal
Penelitian tentang manometrik menunjukkan bahwa hipomotilitas antrum
terdapat pada sebagian besar pasien dispepsia fungsional tetapi
hubungannya tidak terlalu kuat dengan gejala spesifiknya. Aktivitas
abnormal dari mioelektrikal lambung sangat umum ditemukan pada pasien
tersebut, meskipun berkorelasi dengan perlambatan pengosongan lambung
tetapi tidak berkorelasi dengan gejala dispepsianya.
8. Intoleransi lipid intra duodenal
Kebanyakan pasien dispepsia fungsional mengeluhkan intoleransi terhadap
makanan berlemak dan dapat didemonstrasikan hipersensitivitasnya
terhadap distensi lambung yang diinduksi oleh infus lemak ke dalam
duodenum. Gejalanya pada umumnya adalah mual dan perut kembung.
9. Aksis otak – saluran cerna
Komponen afferen dari sistem syaraf otonomik mengirimkan informasi
dari reseptor sistem syaraf saluran cerna ke otak via jalur vagus dan spinal.
Di dalam otak, informasi yang masuk diproses dan dimodifikasi oleh
15
fungsi afektif dan kognitif. Kemudian otak mengembalikan informasi
tersebut via jalur parasimpatik dan simpatik yang akan memodulasi fungsi
akomodasi, sekresi, motilitas dan imunologis.
10. Faktor psikososial
a. Korelasi dengan stress
b. Korelasi dengan hidup
c. Korelasi dengan kelainan psikiatri dan tipe kepribadian
d. Korelasi dengan kebiasaan mencari pertolongan kesehatan
11. Dispepsia fungsional pasca infeksi
Hampir 25% pasien dispepsia fungsional melaporkan gejala akut yang
mengikuti infeksi gastrointestinal.11
2.8 Manifestasi Klinik
Karena bervariasi nya jenis keluhan dan kuantitas/kualitasnya pada setiap
pasien, maka disarankan untuk mengklasifikasi dispepsia fungsional menjadi
beberapa subgrup berdasarkan pada keluhan yang paling mencolok atau dominan.
Bila nyeri ulu hati yang dominan dan disertai nyeri pada malam hari
dikategorikan sebagai dispepsia fungsional tipe seperti ulkus (ulcer like
dyspepsia)
Bila kembung, mual, cepet kenyang merupakan keluhan yang paling
sering dikemukakan, dikategorikan sebagai dispepsia fungsional tipe
seperti dismotilitas (dismotility like dyspepsia)
Bila tidak ada keluhan yang bersifat dominan, dikategorikan sebagai
dispepsia non-spesifik.11
2.9 Dasar Diagnosis
16
Untuk menegakkan diagnosis dispepsia, diperlukan anamnesis, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan laboratorium sederhana dan pemeriksaan tambahan, seperti
pemeriksaan radiologis dan endoskopi. Pada anamnesis, ada tiga kelompok besar
pola dispepsia yang dikenal yaitu :
Dispepsia tipe seperti ulkus (gejalanya seperti terbakar, nyeri di
epigastrium terutama saat lapar/epigastric hunger pain yang reda dengan
pemberian makanan, antasida dan obat antisekresi asam)
Dispepsia tipe dismotilitas (dengan gejala yang menonjol yaitu mual,
kembung dan anoreksia)
Dispepsia non spesifik
Tidak semua pasien dispepsia dilakukan pemeriksaan endoskopi dan banyak
pasien yang dapat ditatalaksana dengan baik tanpa pengobatan sehingga diagnosis
secara klinis agak terbatas kecuali bila ada alarm sign, seperti terlihat pada tabel
4. Bila ada salah satu atau lebih pada tabel tersebut ada pada pasien, sebaiknya
dilakukan pemeriksaan endoskopi.10
Tabel 4. Gambaran alarm sign untuk dispepsia.10
Umur ≥ 45 tahun (onset baru)
Perdarahan dari rektal atau melena
Penurunan berat badan >10%
Anoreksia
Muntah yang persisten
Anemia atau perdarahan
Massa di abdomen atau limfadenopati
Disfagia yang progresif atau odinofagiaRiwayat keluarga keganasan saluran cerna bagian atas Riwayat keganasan atau operasi saluran cerna sebelumnya Riwayat ulkus peptikum
Kuning (Jaundice)
17
DISPEPSIA FUNGSIONAL BERDASARKAN KRITERIA ROMA II DAN III
No Roma III Roma IIDispepsia FungsionalKriteria diagnosis*Harus termasuk didalamnya:Satu atau lebih gejala dibawah ini:
a. Rasa tidak nyaman setelah makan
b. Cepat merasa kenyangc. Nyeri epigastriumd. Rasa terbakar didaerah
epigastriumDanTidak ada bukti penyakit struktural (berdasarkan endoskopi) yang menyebabkan gejala-gejala tesebut diatas.*Kriteria terpenuhi selama 3 bulan dengan onset gejala sekurang-kurangnya 6 bulan setelah terdiagnosis
a. Sindroma distress postprandial
Kriteria diagnosis*Harus termasuk salah satu atau keduanya gejala dibawah ini
1. Rasa tidak nyaman setelah memakan makanan sehari-hari sekurang-kurangnya beberapa kali seminggu
2. Rasa cepat merasa kenyang setelah makan sehari-hari sekurang-kurangnya beberapa kali seminggu
* Kriteria terpenuhi selama 3 bulan dengan onset gejala sekurang-kurangnya 6 bulan setelah terdiagnosis Kritria supportif
1. Terasa kembung pada perut atas atau mual setelah makan atau sendawa yang berlebihan
2. Bersamaan dengan nyeri epigastrik
b. Sindroma Nyeri EpigastrikKriteria diagnosis*Harus termasuk didalamnya::Nyeri atau rasa terbakar terlokalisasi
Dispepsia FungsionalBerlangsung sekurang-kurangnya selama 12 minggu, dalam 12 bulan ditandai dengan:
Gejala yang menetap atau berulang (nyeri atau tidak nyaman yang berpusat di abdomen atas);
Tidak ada bukti penyakit organik (berdasarkan endoskopi)
Tidak ada bukti bahwa dyspepsia berkurang setelah defekasi atau perubahan pola dan bentuk defekasi
a. Dispepsia like-ulcerRasa nyeri terutama dirasakan pada abdomen atas
b. Dispepsia like-dysmotilityRasa tidak nyaman terutama dirasakan pada abdomen atas berupa rasa penuh, lekas kenyang, sebah dan mual
c. Dispepsia Unspecified (Nonspesific)Gejala yang ditunjukkan tidak memenuhi criteria like-ulcer atau like-dysmotility
18
di epigastrium derajat sedang sekurang-kurangnya sekali seminggu
1. Nyeri bersifat intermitten2. Tidak menyebar ke region
abdomen lainnya atau ke region dada
3. Tidak berkurang setelah defekasi atau flatus
4. Tidak memenuhi criteria gangguan kandung empedu dan sfinter oddi
* Kriteria terpenuhi selama 3 bulan dengan onset gejala sekurang-kurangnya 6 bulan setelah terdiagnosis Kriteria supportif
1. Nyeri dapat terasa seperti terbakar tetapi tanpa nyeri retrosternal
2. Nyeri biasanya dipicu atau dihilangkan dengan makanan tetapi timbul saat puasa
3. Kadang-kadang bersamaan dengan sindroma post prandial.
2.10 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan untuk penanganan dispepsia terbagi beberapa bagian, yaitu:
1. Pemeriksaan laboratorium untuk mengidentifikasi adanya faktor infeksi
(leukositosis), pakreatitis (amylase, lipase), keganasan saluran cerna (CEA, CA
19-9, AFP). Biasanya meliputi hitung jenis sel darah yang lengkap dan
pemeriksaan darah dalam tinja, dan urine. Dari hasil pemeriksaan darah bila
ditemukan lekositosis berarti ada tanda-tanda infeksi. Pada pemeriksaan tinja,
jika tampak cair berlendir atau banyak mengandung lemak berarti
kemungkinan menderita malabsorpsi.Pada karsinoma saluran pencernaan perlu
diperiksa petanda tumor, misalnya dugaan karsinoma kolon perlu diperiksa
CEA, dugaan karsinoma pankreas perlu diperiksa CA 19-9.1
2. Barium enema untuk memeriksa esofagus, lambung atau usus halus dapat
dilakukan pada orang yang mengalami kesulitan menelan atau muntah,
penurunan berat badan atau mengalami nyeri yang membaik atau memburuk
bila penderita makan. Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi kelainan
19
struktural dinding/mukosa saluran cerna bagian atas seperti adanya tukak atau
gambaran ke arah tumor.1,12,13
3. Endoskopi bisa digunakan untuk memeriksa esofagus, lambung atau usus
halus dan untuk mendapatkan contoh jaringan untuk biopsi dari lapisan
lambung.Contoh tersebut kemudian diperiksa dibawah mikroskop untuk
mengetahui apakah lambung terinfeksi oleh Helicobacter pylori. Pemeriksaan
ini sangat dianjurkan untuk dikerjakan bila dispepsia tersebut disertai oleh
keadaan yang disebut alarm symptoms, yaitu adanya penurunan berat badan,
anemia, muntah hebat dengan dugaan adanya obstruksi, muntah darah, melena,
atau keluhan sudah berlangsung lama, dan terjadi pada usia lebih dari 45tahun.1
Pemeriksaan yang dapat dilakukan dengan endoskopi adalah:
a. CLO (rapid urea test)
b. Patologi anatomi (PA)
c. Kultur mikroorgsanisme (MO) jaringan
d. PCR
4. Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan radiologi, yaitu OMD dengan
kontras ganda, serologi Helicobacter pylori, dan urea breath test.
2.11 Penatalaksanaan
Pengobatan dispepsia mengenal beberapa golongan obat, yaitu:
1. Antasid
Golongan obat ini mudah didapat dan murah. Antasid akan menetralisir sekresi
asam lambung. Antasi d biasanya mengandungi Na bikarbonat, Al(OH)3,
Mg(OH)2, dan Mg triksilat. Pemberian antasid jangan terus- menerus, sifatnya
hanya simtomatis, untuk mengurangi rasa nyeri. Mg triksilat dapat dipakai
dalam waktu lebih lama, juga berkhasiat sebagai adsorben sehingga bersifat
20
nontoksik, namun dalam dosis besar akan menyebabkan diare karena terbentuk
senyawa MgCl2. Sering digunakan adalah gabungan Aluminium hidroksida dan
magnesium hidroksida.Aluminum hidroksida boleh menyebabkan konstipasi
dan penurunan fosfat; magnesium hidroksida bisa menyebabkan BAB encer.
Antacid yang sering digunakan adalah seperti Mylanta, Maalox, merupakan
kombinasi Aluminium hidroksida dan magnesium hidroksida. Magnesium
kontraindikasi kepada pasien gagal ginjal kronik karena bisa menyebabkan
hipermagnesemia, dan aluminium bisa menyebabkan kronik neurotoksik pada
pasien tersebut.13
2. Antikolinergik
Perlu diperhatikan, karena kerja obat ini tidak spesifik. Obat yang agak selektif
yaitu pirenzepin bekerja sebagai anti reseptor muskarinik yang dapat menekan
seksresi asam lambung sekitar 28-43%. Pirenzepin juga memiliki efek
sitoprotektif.14
3. Antagonis reseptor H2
Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia organik atau
esensial seperti tukak peptik. Obat yang termasuk golongan antagonis reseptor
H2 antara lain simetidin, roksatidin, ranitidin, dan famotidin.13,14
4. Penghambat pompa asam (proton pump inhibitor = PPI).
21
Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir dari
proses sekresi asam lambung. Obat-obat yang termasuk golongan PPI adalah
omeperazol, lansoprazol, dan pantoprazol. Waktu paruh PPI adalah ~18jam.
5. Sitoprotektif
Prostoglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil (PGE2). Selain
bersifat sitoprotektif, juga menekan sekresi asam lambung oleh sel parietal.
Sukralfat berfungsi meningkatkan sekresi prostoglandin endogen, yang
selanjutnya memperbaiki mikrosirkulasi, meningkatkan produksi mukus dan
meningkatkan sekresi bikarbonat mukosa, serta membentuk lapisan protektif
(site protective), yang bersenyawa dengan protein sekitar lesi mukosa saluran
cerna bagian atas. Toksik daripada obat ini jarang, bisa menyebabkan
konstipasi (2–3%). Kontraindikasi pada pasien gagal ginjal kronik. Dosis
standard adalah 1 g per hari.13
6. Golongan prokinetik
Obat yang termasuk golongan ini, yaitu sisaprid, domperidon, dan
metoklopramid. Golongan ini cukup efektif untuk mengobati dispepsia
fungsional dan refluks esofagitis dengan mencegah refluks dan memperbaiki
bersihan asam lambung (acid clearance).14
7. Antibiotik untuk infeksi Helicobacter pylori
Eradikasi bakteri Helicobacter pylori membantu mengurangi simptom pada
sebagian pasien dan biasanya digunakan kombinasi antibiotik seperti
amoxicillin (Amoxil), clarithromycin (Biaxin), metronidazole (Flagyl) dan
tetracycline (Sumycin).10
22
Kadang kala juga dibutuhkan psikoterapi dan psikofarmakoterapi (obat anti-
depresi dan cemas) pada pasien dengan dispepsia fungsional, karena tidak jarang
keluhan yang muncul berhubungan dengan faktor kejiwaan seperti cemas dan
depresi.10
Gambar 4. Algoritma Manajemen pada Pasien Dispepsia8
2.12 Pencegahan
1. Makan secara benar. Hindari makanan yang dapat mengiritasi terutama
makanan yang pedas, asam, gorengan atau berlemak.
23
2. Hindari alkohol.
3 Jangan merokok.
4 Lakukan olah raga secara teratur.
5 Kendalikan stress.
6 Ganti obat penghilang nyeri.
2.13 Prognosis
Umumnya baik, tergantung pada beratnya penyakit dan penanganan
yang cepat. Prognosis pada kasus yang telah mengalami perforasi
umumnya buruk.
BAB III
KESIMPULAN
24
Diagnosis dispepsia fungsional didasarkan pada keluhan/gejala/sindrom
dispepsia dimana pada pemeriksaan penunjang baku dapat disingkirkan penyebab
organik/biokimiawi, sehingga masuk dalam kelompok penyakit gastrointestinal
fungsional (berdasarkan kriteria Roma III). Dispepsia fungsional mempunyai
patofisiologi yang kompleks dan multifaktorial, dimana tampaknya berbasiskan
gangguan pada motilitas atau hipersensitivitas viseral. Modalitas pengobatannya
pun menjadi luas, berdasarkan kompleksitas patogenesisnya, serta lebih ke arah
hanya untuk menurunkan atau menghilangkan gejala. Pilihan pengobatan
berdasarkan pengelompokan gejala utama dapat dianjurkan, walaupun masih
dapat diperdebatkan manfaatnya.
Daftar Pustaka
25
1. Djojoningrat D. Pendekatan klinis penyakit gastrointestinal. Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi ke – 4. FKUI; 2007.h.285.
2. Jones MP. Evaluation and treatment of dyspepsia. Post Graduate Medical
Journal 2003;79:25-29.
3. Karakteristik Penderita Dispepsia Rawat Inap Di RS Martha Friska Medan
Tahun 2007. Edisi 2010. Diunduh dari,
http://library.usu.ac.id/index.php/index.php?option=com_journal_review&id.
4. Wibowo S. Daniel, Paryana Widjaya. 2009. Anatomi Tubuh Manusia.
Yogyakarta: Graha Ilmu. hal.
5. Snell, R.S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 6. Jakarta.
EGC. 2006.
6. Moore, K.L dan Agur, A.M.R. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta. Hipokrates.
2002.
7. Guyton A.C., Hall J.E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta. EGC.
2007.
8. Talley J. Nicholas, Vakil Nimish. 2005. Guidelines for the Management of
Dyspepsia. American Journal of Gastrienterology. 2324-2333
9. Talley N, Vakil NB, Moayyedi P. American Gastroenterological Association
technical review: evaluation of dyspepsia. Gastroenterology 2005;129:1754
10. Mc.Phee J. Stephen, Papadakis A. Maxine. 2010. Current Medical
Diagnosis & Treatment. Mc.Graw Hill; 502:504
11. Djojoningrat Dharmika. 2007. Mekanisme. Dispepsia Fungsional.Jakarta:
Pusat Informasi dan Penerbit Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. hal. 352-354
12. Tack J, Nicholas J, Talley, Camilleri M, Holtmann G, Hu P, et al.
Functional Gastroduadenal. Gastroenterology 2006;130:1466-1479.
13. Fauci AS, Braunwald, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson LJ et
al. Peptic ulcer disease. Harrison’s Principle of Internal Medicine. 17th.Mc
Graw-Hills; 2008.p.287.
26
14. Greenburger NJ. Dyspepsia. The Merck Manuals Online Medical Library.
2008 March. Available from:
http://www.merck.com/mmpe/sec02/ch007/ch007c.html.
27