Dominasi Abri Terhadap Orde Baru

15
DOMINASI ABRI TERHADAP ORDE BARU(judul perbaikin) Diajukan Untuk Memenuhi Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Politik Indonesia Dosen : Haniah Hanafie, M.Si Disusun oleh: Helmi Apriyanto - 1112112000019 ILMU POLITIK-A FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

description

Politik ilmu sosial

Transcript of Dominasi Abri Terhadap Orde Baru

Page 1: Dominasi Abri Terhadap Orde Baru

DOMINASI ABRI TERHADAP ORDE BARU(judul perbaikin)

Diajukan Untuk Memenuhi Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Politik Indonesia

Dosen : Haniah Hanafie, M.Si

Disusun oleh:

Helmi Apriyanto - 1112112000019

ILMU POLITIK-A

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2013

Page 2: Dominasi Abri Terhadap Orde Baru

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kita berbagai

macam nikmat, sehingga aktifitas hidup yang kita jalani ini akan selalu membawa

keberkahan, baik kehidupan di alam dunia ini, lebih-lebih lagi pada kehidupan akhirat kelak,

sehingga semua cita-cita serta harapan yang ingin kita capai menjadi lebih mudah dan penuh

manfaat.

Terima kasih sebelum dan sesudahnya kami ucapkan kepada Dosen serta teman-

teman sekalian yang telah membantu, baik bantuan berupa moril maupun materil, sehingga

makalah ini terselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan.

Saya menyadari sekali, didalam penyusunan makalah ini masih jauh dari

kesempurnaan serta banyak kekurangan-kekurangnya, baik dari segi tata bahasa maupun

dalam hal pengkonsolidasian kepada dosen, yang kadangkala hanya menturuti egoisme

pribadi, untuk itu besar harapan saya jika ada kritik dan saran yang membangun untuk lebih

menyempurnakan makalah-makalah saya dilain waktu.

Harapan yang paling besar dari penyusunan makalah ini ialah, mudah-mudahan apa

yang kami susun ini penuh manfaat, baik untuk pribadi, teman-teman, serta orang lain yang

ingin mengambil atau menyempurnakan lagi atau mengambil hikmah dari judul ini sebagai

tambahan dalam menambah referensi yang telah ada.

Jakarta, Oktober 2013

Penyusun

Page 3: Dominasi Abri Terhadap Orde Baru

PENDAHULUAN

Orde baru merupakan masa pemerintahan Soeharto yaitu berlangsung dari tahun 1966

sampai tahun 1998. Pada masa orde baru ini presiden Soeharto mengalami keruntuhan yaitu

seiring jatuhnya Soeharto sebagai presiden yang telah memimpin Indonesia selama 32 tahun,

setelah sebelumnya krisis ekonomi menghancurkan legitimasi pemerintahan Orde Baru.

Permasalahan-permasalahan banyak terjadi pada masa orde baru ini seperti

kolusi,korupsi,nepotisme, krisis ekonomi. Itu semua tidak lepas dari kebijakan-kebijakan

yang ditetapkan presiden Soeharto. Maka pemerintahan selama 32 tahun yang dijalankan oleh

Soeharto memberikan dampak negatif yang lebih besar dibandingkan dampak positifnya.

KONSEP

Sejarah kekuasaan orde baru adalah sejarah neofasisme (militer) yaitu suatu pemerintahan

yang dibangun dengan cara mengandalkan elitisme, irasionalisme, nasionalisme, dan

korporatisme. Pembahasan system otoriter orde baru tidak dapat dilepaskan dari peran militer

dalam menopang kekuasaannya melalui paradigma dwifungsi ABRI.  Ada 3 peran penting

yang dilakukan ABRI terutama dalam kaitannya dengan usaha-usaha menopang kekuasaan

Soeharto, yaitu:

Militer menempati jabatan-jabatan politis seperti menteri, gubernur, bupati, anggota

golkar, dan duduk mewakili dirinya di DPR.

Militer menghegemoni kekuatan-kekuatan sipil seperti dalam kasus pembentukan

Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan kassospol ABRI, Letjen Syarwan

Hamid, yang mengumpulkan para guru besar dari  seluruh Indonesia di Bogor pada

Maret 1997.

Militer melakukan tindakan-tindakan represif terhadap rakyat.

PEMBAHASAN

PENUTUP

Page 4: Dominasi Abri Terhadap Orde Baru

DAFTAR PUSTAKA

Jenkins, David, Soeharto dan Barisan Jenderal Orba Rezim Militer 1975-1983, Jakarta:

Komunitas Bambu, 2010, hal.266

Liddle, R William, Pemilu-Pemilu Orde Baru: Pasang Surut Kekuasaan Politik, Jakarta:

LP3ES, 1992

Muhaimin,Yahya A, Perkembangan Militer dalam Politik Indonesia, Jogyakarta : UGM

Press,1982

Nordlinger, Eric A, Militer dan Politik, Jakarta: Rineka Cipta, 1994

Samego, Indra, Desakan Kuat Reformasi atas Konsep Dwi-Fungsi ABRI, Bandung : Mizan,

1998

Yulianto, Pratomo Dwi, Kekuasaan dan Militer, Jakarta: Narasi, 2005.

Yulianto, Arif, Hubungan Sipil Militer di Indonesia Pasca Orde Baru, Jakarta: Raja

Grafindo, 2002.

MATERINYADampak dominasi militer dalam peran politik

Peniadaan peran sosial-politik militer setidaknya didasari oleh dua pertimbangan, pertama , ada kekhawatiran bahwa peran sosial-politik ABRI akan mengurangi profesionalisme ABRI sehingga memperlemah daya tempur mereka dalam menghapi ancaman keamanan konvensional. Kedua, peran sosial-politik ABRI dinilai menghambat proses demokratisasi. Organisasi militer yang sangat hierarkis dan disiplin yang sangat ketat akan mempersulit partisipasi massa yang menuntut adanya kebebasan menyatakan pendapat dan kemampuan bertindak secara otonom. [23]

Dampak dominasi militer pada masa orde baru sebagai berikut :

1). Munculnya rezim otoriter sebagai penghambat demokratisasi

Page 5: Dominasi Abri Terhadap Orde Baru

Banyak kalangan melihat intervensi militer kedalam wilayah politik merupakan bagian faktor terbesar penyebab pelbagai persoalan bangsa dan faktor pendorong terciptanya zaman otoriterism. Posisi militer pada masa orde baru mempunyai 4 (empat) dampak . Pertama, peran sosial politik TNI yang melampaui batas telah mengakibatkan tersumbatnya wadah aspirasi masyarakat. Kedua, campur tangan pihak TNI yang terlalu jauh di berbagai sektor kehidupan telah mengakibatkan semakin rumit dan berlarut-larutnya beberapa konflik yang terjadi di tengah masyarakat. Ketiga, intervensi TNI yang terlalu jauh di bidang hukum telah mengakibatkan semakin lunturnya penghargaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga hukum dan peradilan. Akibat keterlibatan “oknum” TNI/ABRI, banyak kasus hukum yang masih misterius hingga sekarang, seperti pada kasus tewasnya Marsinah dan wartawan Bernas Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin. Keempat, keterlibatan TNI dalam bidang ekonomi dianggap sebagai penyebab bangkrutnya sektor ini. Bahwa banyak unit-unit bisnis yang melibatkan militer atau “oknum” militer yang biasanya dibungkus dengan kata “kerja sama” dengan sipil yang berujung pada kebangkrutan di pihak sipil. [24]

Sementara itu, Alfred C. Stepan meniliti bahwa hak-hak istimewa kelembagaan militer (military previlege ) yang tinggi cenderung menyebabkan kemungkinan terjadinya konflik antara sipil-militer, daripada terciptanya akomodasi sipil. Begitu juga pengembangan dan penyebaran teknologi militer yang tinggi juga menyebabkan terbukanya kemungkinan penyalahgunaan kekuatan militer untuk menghambat proses demokratisasi pemerintahan baru yang sedang berkembang[25] . Eep Saefullah Fatah[26] menyatakan bahwa demokrasi dan militer adalah sebuah oxymoron : dua buah kata yang tidak mungkin dipadukan. Oleh karenanya, keterlibatan militer dalam politik adalah sumber dari segala sumber penyakit sistem politik dan demokratisasi hanya dapat dijalankan oleh kekuatan sipil dengan terlebih dahulu membersihkan sistem politik dari intervensi militer. Sedangkan menurut Ikrar Nusa Bhakti dkk, Keterlibatan militer dalam politik akan merusak kompetisi politik, mendistorsi kebijakan politik, serta menciptakan berbagai kerusuhan dan keresahan sosial dalam rangka bargaining politik keamanan.[27] Bahkan Samuel Hutington menganalisa bahwa intervensi militer dalam politik adalah menyalahi kode etik keprofesionalannya, bahkan dikatakan sebagai tanda adanya political decay (pembusukan politik)[28].

Mengutip studi Robert K. Clark, [29]di delapan negara dunia ketiga, disimpulkan bahwa gejala naiknya kekuasaaan militer memang merupakan gejala umum dunia ketiga sebagaimana gejala maraknya otoriterisme. Sipilisasi tidak selalu mendatangkan demokratisasi, tapi militerisasi justru hampir selalu mendatangkaan otoritarisasi. Nordlinger menegaskan, jika sebuah pemerintahan dikuasai oleh militer maka hampir pasti akan melahirkan otoritarianisme.

Pada masa pemerintahan orde baru, dominasi militer dalam perpolitikan Indonesia dimana hampir posisi strategis pemerintahan dikuasi oleh militer membawa dampak bagi kebebasan berekspresi, berorganisasi dan berpendapat. Militer melakukan kontrol terhadap media massa ataupun aktivitas politik yang dilakukan partai politik maupun masyarakat umum. Kontrol militer yang berlebihan terhadap aktivitas masyarakat menyebabkan terjadinya kekerasan yang dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran HAM. Setidaknya ada 6 kasus

Page 6: Dominasi Abri Terhadap Orde Baru

kemanusiaan yang terjadi sebagai implikasi pendekatan kekerasan. Dimulai dari kasus malari (1971), Tanjung Priuk (1984), Talang Sari Lampung (1989), DOM Aceh (1989-1998), Kudatuli 27 Juli 1996, rentetan kekerasan ditutup dengan peristiwa penculikan aktivis 1998 dan tragedi trisakti I. Menurut data yang dimiliki KontraS (komisi orang hilang dan korban tindak kekerasan) kejadian tersebut menelan korban tidak kurang dari 9085 orang. Menurut Fajrul Falaakh,[30] suramnya penyelesaian masalah perburuhan dan pertanahan, juga operasi militer di Timor-Timur, Aceh, Lampung, Tanjung Priuk, merupakan bukti-bukti yang selalu diungkap sebagai keburukan peran non-militer ABRI. Dominasi militer pada kepemimpinan pemerintahan daerah berimplikasi pula, tidak ada netralitas birokrasi dan penyelenggaraan Pemilu yang dilakukan sejak 1971-1997. Investasi militer dalam netralitas birokrasi dan pemilu hanya terbatas pada fungsi kontrol atau memastikan birokrasi solid untuk mendukung Golkar. Keberadaan militer didalam DPR/MPR dan Golkar menghilangkan fungsi check dan balance dalam penyelenggaraan Negara.

2). Mempengaruhi profesionalisme militer

Huntington menegaskan :

Politik menangani tujuan-tujuan kebijakan negara, kemampuan dalam bidang ini terdiri dari pengetahuan yang luas mengenai elemen-elemen dan kepentingan yang mempengaruhi sebuah keputusan dan dalam menjalankan otoritas yang sah untuk membuat keputusan. Politik berada di luar lingkup kemampuan militer, dan partisipasi perwira militer di dalam politik merusak profesionalisme mereka, membatasi kemampuan profesional mereka, memisah-misahkan profesi mereka sendiri, dan menggantikan nilai-nilai profesional dengan nilai-nilai asing. Perwira militer harus netral secara politis. ” komandan militer jangan pernah mengizinkan pandangan militer yang dimilikinya terbungkus oleh asas manfaat politik ”21 .

c. Faktor penyebab dominannya peran politik yang dimiliki militer

Secara umum, ada dua kelompok utama yang memandang campur tangan militer dalam politik. Perlmutter (1980), Huntington (1959), dan Welch (1970) melihat faktor eksternal militer sebagai penyebab munculnya intervensi militer keranah sosial-politik, sedangkan Finer ( 1988 ) dan Nordlinger (1994) melihat faktor internal militer (kepentingan militer) sebagai penyebab terjadinya intervensi militer kedomain sipil22

aktor penyebab dominasi militer dalam perpolitikan Indonesia pada pemerintahan orde baru

adalah:

1). Momentum pemberontakan PKI dan balas jasa kepada militer

Faktor ini sebenarnya masuk dalam persepsi militer atas kegagalan pemerintahan sipil, penulis

sengaja memisahkannya untuk memberikan titik tekan yang lebih.

Page 7: Dominasi Abri Terhadap Orde Baru

Harold Crouch menyatakan:

Indonesia memasuki babakan politik baru pasca kegagalan kudeta 1965 yang menandai runtuhnya

keseimbangan 3 aktor politik utama dengan kehancuran PKI dan semakin merosotnya kewibawaan

politik Presiden Soekarno. Keberhasilan Angkatan Darat menumpas kekuatan komunis telah

menimbulkan efek psikologis luar biasa pada masyarakat anti komunis, akan citranya sebagai

penyelamat negara dari rongongan komunis. Setelah kewibawaan politik Presiden Soekarno

merosot secara drastis pada masa-masa pasca kudeta. Sentral kekuatan politik lambat-laun

bergeser dari istana kepresidenan ke Markas Kostrad, dimana Mayjen Soeharto selaku pemegang

kendali efektif atas tentara bermarkas pada waktu itu.[33]

Peristiwa PKI hanyalah momentum untuk menguatkan posisi militer dalam peran politik yang telah

dimainkan sebelumnya atau meminjam istilah Eric A Nordlinger, naiknya Soeharto pasca

pemberontakan PKI merupakan peralihan status ABRI dari “moderator praetorian” menjadi

“penguasa pretorian”.

2). Persepsi atas kegagalan pemerintahan sipil

Dalam Ensiklopedia Populer Politik Pembangunan Pancasila, sebagaimana dikutip Bilveer Singh,

disebutkan faktor-faktor yang mendasari konsep dwifungsi adalah:

a) Kegagalan para politisi sipil memaksa ABRI untuk memainkan peren sosial politik lebih besar.

b) Peran ABRI tetap menentukan karena merupakan kekuatan satu-satunya yang dapat menjamin

bahwa pancasila tetap menjadi idiologi nasional.

c) ABRI dipandang sebagai penyelamat nasional satu-satunya mengingat banyaknya krisis negara

yang telah dialami 27 .

Persepsi militer adalah kegagalan pemerintahan sipil (orde lama) dikarenakan tiga faktor yakni

instabilitas politik pasca pemilu 1955, terjadinya pelbagai pemberontakan di daerah serta

terjadinya kriris ekonomi yang melanda Indonesia (mengalami inflasi 1000 persen lebih). Dengan

persepsi kegagalan pemerintahan orde lama, militer Indonesia ingin menempatkan dirinya sebagai

motor pembangunan sebagaimana penilaian lembaga militer di Amerika Latin yang berhasil

meninggikan investasi asing, menyebabkan sebutan militer sebagai motor pembangunan,

argumentasi didasarkan beberapa hal :

a) Militer dilihat sebagai bentengan pertahanan melawan ketidakstabilan dan persebaran

komunisme di negara-negara berkembang.

b) Militer merupakan institusi yang terorganisir paling baik dalam negara (profesionalisme)

c) Militer dianggap sebagai institusi berorientasi rasional dan teknologi

d) Militer pun dianggap memiliki orientasi pembangunan bertata nilai modern.

Page 8: Dominasi Abri Terhadap Orde Baru

e) Militer berperan sebagai pemimpin dalam proses politik sebuah bangsa yang mampu

menghindari berbagai ekses partisipasi yang menjurus pada instabilitas.

f) Anggota militer dipandang berpendidikan, dengan pengetahuan teknis, kepakaran, dan

pengetahuan organisatoris.

g) Militer dipandang sebagai institusi paling efisien dalam memberikan solusi permasalahan,

karena pada keadaan darurat bisa menggunakan kekerasan

Terakhir, fungsi mililter yang” mempersatukan” dalam mengatasi konflik etnis, dipuji sebagai

personifikasi bangsa.

3). Menjaga stabilitas sebagai faktor utama pembangunan ekonomi

Ketika pemerintahan orde baru menegaskan untuk fokus pada masalah pembangunan ekonomi,

maka prasyarat utamanya tentunya masalah stabilitas politik. Lucyan W Pye menegaskan: polical

develompent as stabillity and orderly change. Bagaimana korelasi atas stabilitas politik dengan

pertembuhan ekonomi? Meminjam istilah Pye,political development as prerequisite of economy

development. Negara pasca kolonial mempunyai masalah dalam pembangunan ekonomi yakni

terkait modal dan teknologi. Oleh karenanya bisa dipahami peraturan pertama yang dikeluarkan

Soeharto terkait dengan investasi. Kebutuhan akan modal asing inilah yang mendasari

pemerintahan orde baru menciptakan stabilitas. Tidak ada kekuatan di Indonesia saat itu yang

lebih memungkinkan digunakan untuk menciptakan stabilitas selain militer. Atas pertimbangan

inilah kemudian Soeharto melakukan upaya menciptakan stabilitas politik, salah satu langkah yang

diambil yakni menempatkan militer dalam posisi strategis pemerintahan dan lembaga politik

khususnya Golkar dan lembaga legislatif. Fungsinya untuk mengawasi aktivitas politik masyarakat

dan ”mengikat kaki dan tangan” partai politik agar tidak melakukan aktivitas oposisi.

Pemerintahan orde baru terpengaruh pula dengan teori modernisasi yang menggambarkan

demokrasi dimulai dengan pembangunan ekonomi (Lipset ataupun Huntington). Wajar kiranya

ketika orbe baru ”menahan” demokrasi dengan dalih pembangunan ekonomi. Menahan demokrasi

sampai saat tertentu untuk menstimulus pertumbuhan ekonomi dapat dipahami, akan tetapi

Soeharto melakukan kesalahan dengan membiarkan dominasi militer terus berlangsung.

4). Upaya Soeharto mempertahankan kekuasaan, ketaatan serta hasrat kekuasaan

perwira.

Naiknya Soeharto banyak kalangan menilai merupakan buah dari kudeta militer, bukan dari

mandat SUPERSEMAR. Sejarah penyerahan estapet pemerintahan dari tangan Soekarno ketangan

Soeharto masih menyimpan banyak misteri. Dominasi militer dalam pemerintahan orde baru,

harus dilihat pula sebagai upaya Soeharto mempertahankan kekuasaanya. Pandangan ini sangat

relevan ketika Soeharto secara pribadi tampil dominan didalam tubuh Golkar sebagai ketua dewan

pembina ataupun mendorong militer untuk mendominasi struktur Golkar agar memastikan Golkar

dapat keluar sebagai pemenang sehingga bisa melanggengkan kekuasaan Soeharto. Keinginan

Soeharto melanggengkan kekuasaan bertemu dengan ketaatan dan hasrat kekuasaan para

perwira militer, apa yang dilakukan militer disatu sisi memperlihatkan bentuk ketaatan terhadap

Page 9: Dominasi Abri Terhadap Orde Baru

otoritas politik untuk memberikannya peran yang dominan dalam perpolitikan, namun, ketaatan

yang ada diliputi pula hasrat kekuasaan yang kuat. Tentunya kalangan militer mempunyai hasrat

kekuasaan yang sama kuatnya dengan kalangan sipil. Kondisi militer seperti ini menjadi

kecenderungan global. Banyaknya purnawirawan ataupun perwira militer yang pensiun dini (alih

satus) sebagai persyaratan maju dalam Pilpres ataupun pemilihan kepala daerah menunjukkan

hasrat tersebut.

5). Memperjuangkan kepentingan militer

Eric A. Nordlinger [34] menegaskan bahwa, anggaran dana tahunan militer yang memadai

merupakan salah satu kepentingan korporat militer. Campur tangan militer Peru diantara

rangkaian kudeta yang terjadi antara tahun 1912-1964, dikarenakan pemerintahan sipil berusaha

menurunkan anggaran belanja militer. Oleh karenanya, penguasa yang menggantikan pemerintah

yang ditumbangkan segera melakukan relokasi demi meningkatkan jumlah anggaran militer. Arif

Yulianto[35] melihat setidaknya ada 3 ( tiga ) kepentingan yang memainkan peranan amat penting

dalam keputusan militer untuk campur tangan dalam politik, yaitu: Pertama, militer dalam

memperjuangkan kepentingan kelompok atau organisasi, baik untuk memperoleh fasilitas-fasilitas

militer maupun untuk memberikan gaji yang layak kepada anggotanya, jika para pemimpin sipil

gagal untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, maka ada kecenderungan militer yang

lebih besar untuk terpolitisasi dan terintervensi dalam politik. Kedua, korps militer adalah wakil

penting dari kelas menengah perkotaan, dan apabila pemerintah gagal untuk memenuhi

kebutuhan kelas menengah, maka kelompok perwira militer diperkirakan akan melakukan tekanan

terhadap pemerintah, bahkan kemungkinan menjatuhkannya. Ketiga, para pemimpin puncak

militer dapat pula membangun kepentingan-kepentingan pribadinya melalui intervensi militer

dengan menempatkan mereka di dalam petronase pemerintah.

2. Militer di Era Reformasi

Gelombang reformasi Mei 1998 memaksa ABRI mengadakan perubahan internal dalam organisasi

hingga paradigmanya. Beberapa langkah awal reformasi organisasi TNI adalah mengubah nama

ABRI menjadi TNI, kemudian diikuti dengan langkah restrukturisasi dan reorganisasi TNI. Misalnya,

likuidasi beberapa organisasi ABRI yang dianggap tak sesuai dengan semangat reformasi seperti

Badan Pembinaaan Kekaryaan (Babinkar) yang di era Orde Baru mengelola penempatan ABRI

dalam struktur pemerintahan sipil, likuidasi Kepala Staf Komando Teritorial (Kaster) TNI, serta

likuidasi Badan Koordinasi Stabilitas Nasional (Bakorstanas) yang membuat militer mengontrol

kehidupan politik. [36]

Reformasi mencanangkan Paradigma Baru ABRI melalui langkah reaktualisasi, reposisi dan

redefinisi peran ABRI 1999. Pertama, mengubah cara-cara pendekatan secara langsung menjadi

tidak langsung. Kedua, mengubah konsep menduduki menjadi mempengaruhi. Ketiga, mengubah

dari konsep harus selalu di depan menjadi tidak harus selalu di depan. Keempat, kesiapan untuk

melakukan pembagian peran dengan mitra non ABRI. Empat hal yang dicanangkan oleh Panglima

ABRI Jenderal (TNI) Wiranto dinilai sebagai perubahan paradigma yang separuh hati. Makna

substansial Paradigma Baru ialah ABRI tetap menganggap dirinya superior, serba lebih tahu urusan

Page 10: Dominasi Abri Terhadap Orde Baru

negara dan dengan sendirinya mensubordinasi politik sipil. Pola pikir seperti ini yang masih

membuat lambatnya perubahan yang terjadi di internal militer.[37]

Demokratisasi politik tingkat nasional kemudian melahirkan produk regulasi politik dan kebijakan

yang menata sistem keamanan nasional. Ini tercermin dalam langkah positif yang berarti berupa

pemisahan TNI dan Polri, April 1999. tindakan kepolisian akan lebih oleh aparat kepolisian tanpa

harus khawatir dengan intervensi kepentingan militer.[38] Kemajuan ini lalu diperkuat oleh TAP

MPR No. VI Tahun 2000 dan TAP MPR No. VII Tahun 2000 yang mengatur tentang pemisahan peran

TNI dan Polri. Pada tahun yang sama, dilakukan amandemen konstitusi UUD 1945, termasuk

ketentuan Pasal 30 mengenai pertahanan dan keamanan negara yang menegaskan pembedaan

fungsi pertahanan dan keamanan. Langkah-langkah ini sempat menimbulkan polemik.

Kepentingan pemisahan organisasi antara TNI dengan Polri adalah sesuatu yang mendesak.

Namun sebagian kalangan menilai pemisahan tugas dan peran yang dikotomis antara pertahanan

dan keamanan, berpotensi menimbulkan masalah, diantaranya kebingungan dalam menangani

kejahatan transnasional dan potensi konflik antara personel Polri dan TNI di lapangan. [39]

Arus reformasi juga mulai mengurangi dominasi Angkatan Darat (AD) dalam TNI. Pada era

Soeharto berkuasa, jabatan Panglima TNI selalu berasal dari AD. Abdurrahman Wahid yang terpilih

sebagai Presiden, mendobrak tradisi ini dengan mengangkat seorang Marsekal Angkatan Laut (AL)

sebagai Panglima TNI. Presiden Megawati Soekarnoputri yang menggantikan Abdurrahman Wahid

membuat jabatan Panglima TNI diisi kembali dari AD. Di penghujung pemerintahan Megawati,

Undang-undang 34/2004 tentang TNI disahkan dan menyatakan bahwa posisi Panglima TNI dijabat

secara bergantian. Upaya melanjutkan kepemimpinan TNI di bawah Jenderal (AD) Ryamizard

Ryacudu sempat memicu kontroversi, saat Presiden hasil Pemilu 2004 Susilo Bambang Yudhoyono

tetap memutuskan Marsekal TNI AU Djoko Suyanto sebagai Panglima TNI.

KontraS mencatat, pasca 2004 banyak anggota TNI, baik purnawirawan maupun yang masih aktif

ikut dalam pertarungan pemilihan kepala daerah (pilkada). Meskipun jauh-jauh hari Panglima TNI

yang waktu itu dijabat oleh Jenderal Endriartono Sutarto sudah memperingatkan mengenai

netralitas TNI dalam pilkada, serta tidak diperkenankannya anggota TNI aktif untuk ikut

mencalonkan diri, namun kembali fakta di lapangan berkata lain, beberapa anggota TNI aktif tetap

tergoda untuk ikut bertarung berebut kursi gubernur/wakil gubernur ataupun walikota/bupati.

Fenomena ini sebenarnya disebabkan oleh tiga faktor. Pertama, persoalan regulasi politik yang

memang masih memberi peluang bagi anggota aktif TNI untuk ikut mencalonkan diri dalam

pemilihan umum. Walaupun dalam UU TNI Pasal 39 Ayat (4) sudah ditegaskan, setiap prajurit

(anggota TNI aktif) dilarang untuk dipilih menjadi anggota legislatif dalam pemilu dan jabatan

politis lainnya, UU Pemilihan Umum masih memberi celah tersebut. Anggota TNI aktif boleh

mencalonkan diri sebagai calon dalam Pemilu dengan syarat harus berstatus non aktif yang

bersifat sementara, jika terpilih baru kemudian diberhentikan/pensiun dini. Celah inilah yang

membuat TNI secara institusional tidak bisa menjatuhkan sanksi kepada anggotanya yang berniat

untuk ikut bertarung dalam pemilihan umum. [40]

Kedua, tentu persoalan paradigma juga masih merupakan masalah pokok. Sejak proses reformasi

1998, TNI gagal untuk meredefinisikan atau merevitalisasi paradigma mengenai “TNI adalah

tentara rakyat” yang lahir dari rakyat dan bersama rakyat. Paradigma ini cenderung mengaburkan

Page 11: Dominasi Abri Terhadap Orde Baru

hubungan sipil militer dalam sistem negara, sehingga dengan berbekal paradigma itu, TNI selain

berperan dalam pertahanan negara juga harus memiliki peran di wilayah publik seperti ekonomi,

sosial, budaya dan politik. Kegagalan meredefinisikan paradigma ini, membawa figur-figur militer

masih terus tergoda untuk masuk ke wilayah publik, contoh nyatanya adalah pilkada. Celakanya

kegagalan paradigmatik ini diikuti dengan tumpulnya analisa politik dari kalangan militer dalam

membaca perubahan, peluang politik yang ditawarkan partai politik tidak seiring dengan

kesadaran dan minat pemilih.

Hal ini dibuktikan dengan tumbangnya beberapa figur militer di beberapa pilkada. Contohnya

adalah gagalnya Tayo Tahmadi di Jawa Barat yang disusul kalahnya Agum Gumelar pada pemilihan

Gubernur selanjutnya di Jawa Barat. Hal yang sama dialami Tritamtomo di Jawa Timur, disusul

Letkol (Bais) [41]Didi Sunardi di Serang Banten, dan Kolonel (Inf) DJ Nachrowi di Ogan Ilir Sumatera

Selatan. Belum lagi pertarungan dua Jenderal purnawirawan yakni Letjend TNI (Purn) Bibit Waluyo

dan Mayjen TNI (Purn) Agus Suyitno di Jawa Tengah. Kekalahan-kekalahan ini menunjukkan bahwa

pilihan rakyat tidak lagi menyandarkan pilihannya pada figur yang berlatar belakang militer,

sehingga sangat merugikan bagi TNI, jika melepaskan kader-kader terbaiknya untuk bertarung

dalam kontestasi pemilu. Tenaga dan pikiran mereka akan berkontribusi lebih banyak jika fokus

pada tugas pokok TNI yang diamanatkan konstitusi kita sebagai alat pertahanan negara. [42]

Ketiga, masalah lain berada di luar institusi TNI, yakni lemahnya kapasitas politik sipil dalam hal

kaderisasi internal partai. Frustasi politik dalam mencetak kader yang berkualitas, selalu membuat

partai masih mencari-cari figur dari militer yang sudah dikenal luas oleh masyarakat. Dalam hal ini

figur militer selalu difasilitasi dan ditarik-tarik oleh partai untuk masuk dalam kontestasi politik.

Peluang ini jelas disambut baik oleh para figur militer yang memang kebetulan punya ambisi politik

namun peluang politiknya tertutup oleh proses reformasi TNI yang memangkas tradisi politik TNI.

Secara institusi TNI juga tidak bisa berbuat banyak, karena peluang itu sah dan dibenarkan oleh

regulasi yang ada. Majunya calon berlatar belakang militer bisa dilihat dari banyaknya

purnawirawan Jenderal yang berminat untuk bertarung dalam kontestasi pemilihan presiden 2009

maupun yang ikut dalam pengurus partai politik.[43].

Konsep kemanunggalan yang disalah artikan. Tidak ada yang memungkiri, pada saat perang

kemerdekaan militer Indonesia adalah satu kesatuan, saling bahu membahu melawan kolonialisme

Belanda pada saat itu, namun fakta sejarah ini tidak bisa kemudian diklaim sebagai hak sejarah

oleh TNI.

“Historical fallacies (kesalahan sejarah) telah menumbuhkan persepsi yang salah, bahwa fakta

sejarah harus diperlakukan sebagai hak sejarah. Sekalipun barangkali fakta sejarah menunjukkan,

TNI adalah anak kandung revolusi dan tak terpisahkan dari rakyat, sehingga menyandang peran

ganda – sebagai militer profesional sekaligus sebagai kekuatan sosial politik – fakta tersebut tidak

bisa dengan sendirinya menjadi hak”[44]

Konsep kemanunggalan rakyat dengan TNI pada masa Orde Baru melegitimasi peran sosial politik

TNI. Kini zaman sedang berubah, landasan historis TNI seharusnya bisa lebih dinamis, konsep

pertahanan modern dengan melibatkan rakyat dalam definisi konvensional adalah paradigma

usang. Perlu digagas hubungan sipil militer, jarak, tugas dan tanggungjawab yang jelas. TNI dan

Page 12: Dominasi Abri Terhadap Orde Baru

masyarakat sipil di negara demokrasi tidaklah berada pada posisi sejajar, tapi masyarakat sipil

adalah pemegang kedaulatan tertinggi, termasuk supremasi terhadap militer melalui mekanisme

politik yang ada. [45]

Persoalan paradigmatik ini kemudian berujung pada kekeliruan doktrin pada level operasional

(doktrin pelaksanaan) yang dikenal sebagai doktrin Tri Dharma Eka Karya/Tridek (pengganti

doktrin Catur Dharma Eka Karya/Cadek). Paradigma lama tanpa usaha melakukan redefinisi

terhadap konsep kemanunggalan TNI dengan rakyat menjadikan pertahanan Indonesia masih

mengandalkan unsur masyarakat sipil dalam konsep perang rakyat semesta-nya. [46]

E. Penutup

Militer pada posisi yang sebenarnya bila ditandai dengan beberapa karakter: Pertama,militer

mempunyai orientasi profesional yakni tidak cenderung melakukan intervensi dan dominasi dalam

kehidupan politik; Kedua, militer hanya menjalankan fungsi pertahanan-kemanan; ketiga, secara

institusional militer bertindak sebagai lembaga yang bertugas sebagai aparat negara, bukan

sebagai komponen pemerintahan;keempat, militer sebagai lembaga yang didukung oleh

pemerintah mengembangkan militerisasi dalam pengertian build-up, yakni membangun industri

militer untuk kepentingan pertahanan-keamanan; kelima, ideologi militerisme ke dalam wilayah

kehidupan masyarakat relatif terbatas; keenam, militer berada dalam posisi subordinat yang

tunduk pada supremasi sipil dalam pemerintahan; ketujuh, derajat kontestasi militer atau

keterlibatan dalam pembuatan keputusan nasional sangat terbatas dalam bidang pertahanan-

keamanan dan kebijakan luar negeri; kedelapan, hak-hak istimewa militer dalam menggunakan

kekuatan senjata (perang) sangat terbatas, dibawah kontrol sipil; kesembilan, kekuatan sipil, baik

masyarakat sipil maupun masyarakat politik, dalam posisi dominan yang mengontrol sepak-terjang

militer.

Militer sangat mendominasi perpolitikan Indonesia pada masa orde baru dengan menempati posisi

strategis pemerintahan pusat ataupun daerah. Militer juga mendominasi struktur Golkar sampai

dengan Munaslub 1998 serta mendapat perlakuan istimewa dalam lembaga legislatif dengan

jumlah yang fluktuatif, militer mendapatkan jatah melalu mekanisme pengangkatan. Kondisi ini

menyebabkan pelbagai dampai, khususnya terkait tersumbatnya peluang demokrasi atau

berbaliknya Indonesia menjadi rezim otoriter serta menurunkan profesionalisme militer, ini bisa

dirasakan sampai saat ini, dimana Indonesia memiliki kompentensi tempur prajurit yang rendah

dan sistim pertahanan yang lemah. Lemahnya sistim pertahanan menjadi salah satu faktor

melemahnya posisi Indonesia dalam melakukan diplomasi dengan negara-negara tetangga. Faktor

penyebab dominasi militer dalam perpolitikan Indonesia disebabkan 2 faktor yakni faktor internal;

hasrat kekuasaan para perwira termasuk didalam upaya Soeharto mempertahankan kekuasaan,

memperjuangkan kepentingan militer khususnya terkait dana serta kesalahan memahami konsep

stabilitas sebagi prasyarat pembangunan. Sedangkan faktor eksternal terkait dengan kegagalan

pemerintahan orde lama.(instabilitas politik, pemberontakan didaerah dan krisis ekonomi).